BUKU AJAR
ILMU REPRODUKSI TERNAK Disusun oleh
MUHAMMAD YUSUF Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2012
-i-
HALAMAN PENGESAHAN HIBAH PENULISAN BUKU AJAR BAGI TENAGA AKADEMIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2012 Judul Buku/Mata Kuliah Nama Lengkap Penanggung Jawab Penulisan NIP/NIDN Pangkat/Golongan Program Studi Fakultas Email Penulis
Biaya
: Ilmu Reproduksi Ternak : Muhammad Yusuf : 19700725 199903 1 001 / 0025077002 : Pembina / IV.a : Produksi Ternak : Peternakan :
[email protected] : Muhammad Yusuf
: Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) Dibiayai oleh dana DIPA BLU Universitas Hasanuddin tahun 2012 sesuai SK Rektor Unhas No
Dekan Fakultas Peternakan
Makassar, 26 November 2012 Penanggungjawab Penulisan
Prof.Dr.Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc NIP. 19520923 197903 1 002
Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt NIP. 19700725 199903 1 001
Mengetahui, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan
Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc NIP 19630501 198803 1 004 -ii-
Surat Pernyataan
Saya atau kami penulis buku ini: Nama
: Muhammad Yusuf
NIDN
: 0025077002
Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Buku ini benar saya tulis (atau kami tulis bila penulis lebih dari satu), bukan karya plagiat. Beberapa pernyataan, gambar, rumus, atau opini dari orang lain yang termuat dalam buku ini selalu disertai sumbernya yang jelas. 2. Buku ini saya (kami) serahkan kepada Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP) Unhas, untuk selanjutnya dijadikan koleksi Perpustakaan Pusat Unhas dan dalam bentuk softcopy dipajang di www.unhas.ac.id yang dapat diakses oleh semua pengguna, khususnya mahasiswa.
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sungguh sunggguh.
Makassar, 30 November 2012 Penulis,
Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt NIDN: 0025077002
-iii-
KATA PENGANTAR Mata kuliah Ilmu Reproduksi Ternak merupakan mata kuliah wajib yang harus diprogramkan oleh setiap mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Oleh karena itu, untuk efektifitas dan efisiensi dalam pencapaian kompetensi dalam bidang pengetahuan reproduksi ini maka dibuatlah satu buku ajar. Buku ajar Ilmu Reproduksi Ternak ini dibuat berdasarkan silabus dan garis-garis besar program rencana pembelajaran yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang perlu untuk diketahui oleh mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini. Di dalam buku ajar ini, pembahasan mencakup mulai dari pentingnya ilmu reproduksi ternak, perkembangan organ reproduksi baik organ reproduksi betina maupun organ reproduksi jantan, hormon reproduksi, gametogenesis, siklus reproduksi, ovulasi, fertilisasi dan kebuntingan yang dilanjutkan pada proses kelahirnan dan menyusui. Dibagian akhir daripada buku ajar ini, juga dibahas tentang efisiensi reproduksi yang memungkinkan untuk mengevaluasi pengukuran aspek reproduksi serta faktor-faktor yang berpengaruh didalam proses reproduksi. Perkembangan ilmu dan teknologi reproduksi juga dibahas pada bagian akhir buku ajar ini. Buku ajar ini bukua ajar dasar yang disusun berdasarkan kebutuhan dan tuntutan kompetensi yang harus dipenuhi oleh mahasiswa, oleh karena itu, buku ajar ini akan fleksibel terhadap perubahan-perubahan, baik perubahan kurikulum maupun perubahan dalam perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi reproduksi. Akhirnya penulis menyampaikan semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.
Makassar, 28 November 2012 Penyusun,
Muhammad Yusuf
-iv-
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Pengesahan
ii
Surat Keterangan Penulis
iii
Kata Pengantar
iv
Daftar Isi
v
Senarai Kata Penting
vi
BAB 1
Pendahuluan
1
BAB 2
Urgensi Ilmu Reproduksi Ternak
14
BAB 3
Perkembangan Organ Reproduksi
17
BAB 4
Hormon Reproduksi
43
BAB 5
Gametogenesis
52
BAB 6
Siklus Reproduksi
61
BAB 7
Ovulasi, fertilisasi dan kebuntingan
73
BAB 8
Kelahiran dan Menyusui
83
BAB 9
Efisiensi Reproduksi
92
BAB 10
Teknologi Reproduksi
98
Penutup
104
Daftar Pustaka
105
-v-
SENARAI KATA PENTING (Glosarium)
Androgen
Kelenjar pineal
Pubertas
Babi
Kelenjar prostat
Relaksin
Badan uterus
Kelenjar vesikular
Reproduksi ternak
Corpus luteum
Kopulasi
Saluran Mullerian
Domba
Kuda
Saluran Wolffian
Efisiensi reproduksi
LH
Sapi
Embrio
Miosis
Serviks
Epididimis
Mitosis
Sinkronisasi berahi
Estrogen
Oksitosin
Skrotum
Fertilisasi
Oogenesis
Spermatic cord
Fetus
Oosit
Spermatogenesis
FSH
Oosit primer
Spermatosit primer
Gamet
Oosit sekunder
Spermatosit sekunder
GnRH
Organ reproduksi betina
Spermatositogenesis
Grafian follicle
Organ reproduksi primer
Spermatozoa
Hipotalamus
Ovarium
Spermiogenesis
Hormon
Oviduct
Steroid
Induksi berahi
Ovulasi
Tanduk uterus
Inhibin
Penis Preputium
Testis
Inseminasi buatan (IB)
Peptida
Transfer embrio
In-vito
Pituitari anterior
Uretra
Kambing
Pituitari posterior
Uterus
Kebuntingan
Progestin
Vagina
Kelenjar asesori
Prolaktin
Vas deferens
Kelenjar bulbouretral
Prostaglandin
Vulva
Kelenjar endokrin
Protein
Zigot
-vi-
BAB 1 PENDAHULUAN Profil Lulusan Program Studi Profil lulusan program studi Peternakan adalah sarjana peternakan yang menguasai tiga aspek berikut:
1. Knowledgeable and skilful graduate (lulusan berpengetahuan dan trampil) 2. Manager 3. Enterpreneur Kompetensi Lulusan Kompetensi yang harus dimiliki oleh Sarjana Peternakan dibagi ke dalam komptensi Utama, Komptensi Pendukung dan Kompetensi lainnya. a. Kompetensi Utama Kompetensi utama merupakan yang kompetensi penciri lulusan sarjana peternakan meliputi penguasaan dan pengembangan ipteks peternakan, kemampuan kerjasama dan adaptasi dalam lingkungan kerja, berkomunikasi secara efektif, mampu mengelola dan memimpin usaha peternakan, mampu mengembangkan bisnis peternakan berbasis teknologi dan membangun jaringan (interkoneksitas). b. Kompetensi Pendukung Kompetensi pendukung yang harus dimiliki oleh sarjana peternakan adalah kemampuan dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, berbahasa asing, kemampuan membangun mengembangkan kelembagaan peternakan, mampu mengevaluasi, memasarkan, dan mencari dana untuk usaha peternakan, serta kemampuan kerjasama dalam tim. c. Kompetensi Lainnya
-1-
Kompetensi lainnya yang harus dimiliki oleh sarjna peternakan adalah berkarakter dan memiliki wawasan kebangsaan, mampu memahami budaya lokal, serta memiliki moral, etika, dan akhlak yang baik. Tabel 1. Matriks Hubungan antara Profil dan Kompetensi Lulusan
Profil
Utama
Pendukung
Lainnya
Knowledgeable and 1. Menguasai dan mampu 1. Mampu skillful worker menerapkan IPTEKS memanfaatkan dan (lulusan peternakan menggunakan berpengetahuan dan 2. Mampu menganalisis, Teknologi trampil) menginterpretasi dan Informasi dan memecahkan masalah di komunikasi bidang peternakan 2. Memiliki 3. Mampu mengikuti kemampuan perkembangan IPTEKS berbahasa asing 4. Mampu bekerjasama dan beradaptasi dalam lingkungan kerja
1. Berkarakter dan memiliki wawasan kebangsaan
Manager
1. Mampu berkomunikasi secara efektif 2. Mampu mengelola dan memimpin usaha peternakan 3. Mampu memotivasi dan menggerakkan masyarakat dalam pengembangan peternakan
2. Memahami dan toleransi terhadap budaya lokal
Enterprenuer
1. Mampu memulai dan mengembangkan bisnis berbasis teknologi 2. Mampu membangun jaringan usaha/ interkoneksitas
1. Mampu mengorganisasi dan mengembangkan kelembagaan peternakan
1. Mampu mengevaluasi usaha bisnis 2. Mampu memasarkan hasil usaha 3. Mampu mencari pendanaan usaha
1. Memiliki moralitas, etika, akhlak.
Struktur dan Isi Kurikulum Kompetensi lulusan yang telah dirumuskan di atas, telah dikaji apakah kompetensi tersebut telah mengandung kelima elemen kompetensi seperti yang diwajibkan dalam Kepmendiknas -2-
No.045/U/2002 (232/U/2005). Kelima elemen kompetensi tersebut adalah : (a) landasan kepribadian, (b) penguasaan ilmu dan keterampilan, (c) kemampuan berkarya, (d) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, (e) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya. Hubungan antara rumusan kompetensi dengan elemen kompetensi disajikan pada Tabel 2 Tabel 2. Matriks antara Rumusan Kompetensi dengan Elemen Kompetensi dalam SK Mendiknas No. 045/U/2002
KELOMPOK NO. KOMPETENSI 1
KOMPETENSI UTAMA
2
RUMUSAN KOMPETENSI 3
ELEMEN KOMPETENSI a 4
b 5
c 6
1
Menguasai dan mampu menerapkan IPTEKS peternakan
2
Mampu menganalisis, menginterpretasi dan memecahkan masalah di bidang peternakan
3
Mampu mengikuti perkembangan IPTEKS
4
Mampu bekerjasama dan beradaptasi dalam lingkungan kerja
5
Mampu berkomunikasi secara efektif
6
d 7
e 8
Mampu mengelola dan memimpin usaha peternakan
7
Mampu memotivasi dan menggerakkan masyarakat dalam pengembangan peternakan
8
Mampu memulai dan mengembangkan bisnis peternakan berbasis teknologi
9
Mampu membangun jaringan usaha/ interkoneksitas
-3-
KELOMPOK NO. KOMPETENSI 1
KOMPETENSI PENDUKUNG
KOMPETENSI LAINNYA
RUMUSAN KOMPETENSI
2
3
ELEMEN KOMPETENSI a 4
b 5
c 6
d 7
e 8
10
Mampu memanfaatkan dan menggunakan Teknologi Informasi dan komunikasi
11
Memiliki kemampuan berbahasa asing
12
Mampu mengorganisasi dan mengembangkan kelembagaan peternakan
13
Mampu mengevaluasi usaha bisnis
14
Mampu memasarkan hasil usaha
15
Mampu mencari pendanaan usaha
16
Berkarakter dan memiliki wawasan kebangsaan
17
Memahami dan toleransi terhadap budaya lokal
18
Memiliki moralitas, etika, akhlak
ELEMEN KOMPETENSI: a. b. c. d.
landasan kepribadian; penguasaan ilmu dan keterampilan; kemampuan berkarya; sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai; e. pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
-4-
Analisis Kebutuhan Pembelajaran Dalam pelaksanaan mata kuliah ini, disusunlah hirarki pembelajaran berdasarkan analisis kebutuhan untuk memenuhi kompetensi utama yakni: a) Memahami proses reproduksi yang
terjadi pada berbagai hewan ternak; b). Mampu menganalisis masalah reproduksi yang terjadi di lapangan. Sehingga setelah mempelajari mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu memahami proses reproduksi ternak dan menganalisa efisiensi reproduksi bagi ternak yang dipelihara oleh petani/peternak.
-5-
Kontrak Pembelajaran KONTRAK PEMBELAJARAN Nama Mata Kuliah
:
Ilmu Reproduksi Ternak
Kode Mata Kuliah
:
329I1103
Pengajar
:
Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt (Anggota Tim)
Semester
:
III/2011-2012
Hari Pertemuan/Jam
:
Senin, 08.00 – 09.40
Tempat Pertemuan
:
PB 512
1. Manfaat Mata Kuliah
Dalam upaya peningkatan jumlah/populasi ternak, baik populasi secara keseluruhan maupun kelompok, pengetahuan terhadap ilmu reproduksi ternak menjadi sangat penting. Untuk mencapai hal tersebut, pengetahuan dalam bidang reproduksi ternak sangat dibutuhkan dan secara khusus, teori tentang proses reproduksi yang terjadi pada ternak/hewan. Oleh karena itu, mata kuliah ini harus diikuti oleh seluruh mahasiswa peternakan, dimana dengan mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa dapat terbantu untuk memahami teori proses reproduksi ternak, menerapkan dalam praktek/praktikum serta mampu menerapkan teori proses reproduksi tersebut di lapangan. Disamping itu, mahasiswa juga dapat terbantu didalam menentukan masalah reproduksi dan mampu menganalisis masalah tersebut. 2. Deskripsi Perkuliahan
Mata kuliah ini merupakan mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa peternakan. Mata kuliah ini membahas tentang proses reproduksi yang dimulai dari pola perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi jantan dan betina, kelenjar -6-
dan hormonal yang yang terkait dengan proses reproduksi, proses oogenesis dan spermatogenesis, pubertas, estrus, siklus estrus, ovulasi, fertilisasi, kebuntingan, kelahiran dan menyusui, induksi/sinkronisasi estrus, faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi serta perhitungan efisiensi reproduksi.
3. Sasaran Pembelajaran
Pada akhir perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu : 1. Memahami ruang lingkup dan urgensi mempelajari mata kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. 2. Memahami proses perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi ternak serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses reproduksi. 3. Memahami proses perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi ternak serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses reproduksi. 4. Menjelaskan proses perkembangan ovum dan sperma, pencapaian pubertas, terjadinya berahi dan ovulasi. 5. Menjelaskan proses terjadinya fertilisasi, kebuntingan dan kelahiran serta memahami mekanisme yang terjadi selama proses menyusui. 6. Mengevaluasi
keberhasilan
proses
reproduksi
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. 7. Memilah upaya-upaya yang tepat untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak. 4. strategi Pembelajaran
Untuk mencapai sasaran pembelajaran di atas, strategi pembelajaran yang diterapkan pada mata kuliah ini adalah kombinasi kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, yang dipadukan dengan kegiatan praktikum. Diawal pertemuan dan pada topik-topik khusus, mahasiswa akan diberi kuliah interaktif yang diikuti dengan -7-
pemberian tugas kelompok yang harus dipresentasikan di depan teman-temannya. Dalam presentasi ini diharapkan terjadi diskusi yang difasilitasi oleh dosen. Lebih lanjut untuk membandingkan antara teori dan kenyataan, kegiatan praktikum merupakan wahana yang akan digunakan mahasiswa baik di laboratorium maupun di lapangan. Dengan demikian, mahasiswa mampu mengetahui dan membahas berbagai permasalahan reproduksi dan menganalisis masalah tersebut untuk mencapai efisiensi reproduksi ternak yang baik.
5. Materi/Bacaan Perkuliahan
Beberapa bahan bacaan yang digunakan dalam mata kuliah ini adalah sebagai berikut: 1. Roberts SJ. 2002. Veterinary Obstetrics and Genital Diseases. Second edition, Indian edition. CBS Publishers & Distributors, New Delhi, India. 2. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 3. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo. 4. Peters AR, Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths. London, Boston,Durban, Singapore, Sidney, Toronto, wellington. 5. Hutchinson JSM. 1993. Controlling Reproduction. Chapman & Hall, 2-6 Boundary Row, London SE1 8HN. Disamping itu, beberapa artikel/jurnal ilmiah akan diberikan kepada mahasiswa untuk didiskusikan dalam kelompok yang telah ditetapkan.
-8-
6. Tugas
Untuk efektivitas dan efisiensinya pelaksanaan perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan telah membaca bahan bacaan seperti yang dikemukakan sebelumnya. Sebagai tambahan, beberapa tugas setelah proses pembelajaran akan diberikan kepada mahasiswa sebagai bagian dari belajar mandiri yang topiknya akan ditentukan oleh pengajar yang sesuai dengan mata kuliah ini, sehingga dapat menunjang tujuan instruksional dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Disamping itu, tugas lain didalam praktikum akan diberikan kepada mahasiswa yang pada akhirnya juga akan menunjang keterampilan mahasiswa.
-9-
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN
Nama Mata Kuliah : Kode Mata Kuliah / : SKS Deskripsi Singkat :
Sasaran Pembelajaran
:
Ilmu reproduksi Ternak 329I1103 / 3 Mata kuliah ini membahas tentang proses reproduksi yang dimulai dari pola perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi jantan dan betina, kelenjar dan hormonal yang yang terkait dengan proses reproduksi, proses oogenesis dan spermatogenesis, pubertas, estrus, siklus estrus, ovulasi, fertilisasi, kebuntingan, kelahiran dan menyusui, induksi/sinkronisasi estrus, faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi serta perhitungan efisiensi reproduksi. Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu : 1. Memahami ruang lingkup dan urgensi mempelajari mata kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. 2. Memahami proses perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi ternak serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses reproduksi. 3. Menjelaskan proses perkembangan ovum dan sperma, pencapaian pubertas, terjadinya berahi dan ovulasi. 4. Menjelaskan proses terjadinya fertilisasi, kebuntingan dan kelahiran serta memahami mekanisme yang terjadi selama proses menyusui. 5. Mengevaluasi keberhasilan proses reproduksi dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. 6. Memilah upaya-upaya yang tepat untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak.
-10-
MINGGU
I
SASARAN PEMBELAJARAN Memahami ruang lingkup dan urgensi mempelajari mata kuliah Ilmu Reproduksi Ternak
MATERI PEMBELAJARAN - Urgensi mempelajari Ilmu Reproduksi Ternak
STRATEGI PEMBELAJARAN
KRITERIA PENILAIAN
BOBOT NILAI (%)
Kuliah interaktif
Ketepatan alasan pentingnya mempelajari reproduksi ternak
0,31
- Kuliah interaktif, belajar mandiri, - “collaborative learning” - Praktikum - Penyerahan Tugas
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menunjukkan dan menerangkan fungsi organ reproduksi betina.
0,31
- Kuliah interaktif, belajar mandiri, - “collaborative learning” - Praktikum
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menunjukkan dan menerangkan fungsi organ reproduksi jantan.
- Belajar mandiri, - “collaborative learning” - Penyerahan Tugas
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dlm diskusi - Ketepatan dalam menunjukkan dan menerangkan fungsi kelenjar endokrin serta hormon yang dihasilkan. - Ketepatan dalam menerangkan mekanisme kerja hormon dalam mengatur proses reproduksi
- Ruang lingkup mata kuliah ini - Kontrak pembelajaran
II
Memahami proses perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi ternak serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses reproduksi
III
- Perkembangan organ reproduksi betina - Anatomi dan fisiologi organ reproduksi betina - Perkembangan organ reproduksi jantan - Anatomi dan fisiologi organ reproduksi jantan
- Anatomi dan fisiologi Kelenjar endokrin. - Jenis dan fungsi hormon reproduksi - Mekanisme kerja hormon reproduksi dalam mengatur proses reproduksi
IV
V
Menjelaskan proses perkembangan ovum dan sperma, pencapaian pubertas, terjadinya berahi dan ovulasi
- Proses oogenesis - Proses spermatogenesis - Pubertas dan faktorfaktor yang mempengaruhi
- Siklus Estrus - Induksi dan sinkronisasi estrus VI
- Proses ovulasi
- Kuliah interaktif, - Belajar mandiri, - “Collaborative learning” - Penyerahan Tugas
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menunjukkan dan menerangkan proses oogenesis dan spermatogenesis
- Belajar mandiri, - “Collaborative learning” - Praktikum
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dlm menunjukkan dan menerangkan gejala-gejala birahi pada sapi dan kambing
-11-
4,00 2,50
0,31 4,00
0,31 2,50
0,31 2,50
0,31 4,00
MINGGU
VII
SASARAN PEMBELAJARAN Menjelaskan proses terjadinya fertilisasi, kebuntingan dan kelahiran serta memahami mekanisme yang terjadi selama proses menyusui.
MATERI PEMBELAJARAN - Proses fertilisasi - Proses dan tahapan Kebuntingan - Pemeriksaan kebuntingan - Proses kelahiran - Hal-hal yang perlu diperhatikan selama masa menyusui
VIII
IX
X
STRATEGI PEMBELAJARAN - Kuliah interaktif, - Belajar mandiri, - “Collaborative learning” - Praktikum - Penyerahan Tugas
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menerangkan proses fertilisasi,dan kebuntingan
- Belajar mandiri, - “Collaborative learning”
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menerangkan hal-hal yang perlu diperhatikan selama fase menyusui
Mid Test Mengevaluasi keberhasilan proses reproduksi dan faktorfaktor yang mempengaruhinya.
- Tolok ukur keberhasilan proses reproduksi - Faktor-faktor yg mempengaruhi proses reproduksi
- Kuliah interaktif, - Belajar mandiri, - “Collaborative learning” - Penyerahan Tugas
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menerangkan metode pengukuran efisiensi reproduksi
Pengaruh faktor internal terhadap efisiensi reproduksi
- Belajar mandiri, - “Collaborative learning”
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menerangkan pengaruh faktor genetik, penyakit dan kelainan anatomis dan fisiologis terhadap efisiensi reproduksi
- Penyakit - Anatomis dan fisiologis
Pengaruh faktor eksternal terhadap efisiensi reproduksi
- Belajar mandiri, - “Collaborative learning”
- Lingkungan
XII
(%) 0,31 4,00 2,50
0,31
- Pengelolaan
Peningkatan efisiensi reproduksi melalui perbaikan manajemen: - Pemeliharaan - Pakan
- Kuliah interaktif - Belajar mandiri, - “Collaborative learning” - Penyerahan Tugas
- Kesehatan - Perkawinan
-12-
0,31 2,50
0,31
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menerangkan pengaruh faktor genetik, penyakit dan kelainan anatomis dan fisiologis terhadap efisiensi reproduksi
- Pakan
Memilah upaya-upaya yang tepat untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak.
BOBOT NILAI
25,00
- Genetik
XI
XIII
KRITERIA PENILAIAN
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menerangkan efektifitas perbaikan teknik pemeliharaan, pakan, kesehatan dan metoda perkawinan dalam meningkatkan efisiensi reproduksi
0,31
0,31 2,50
MINGGU
SASARAN PEMBELAJARAN
MATERI PEMBELAJARAN Peningkatan efisiensi reprod melalui penerapan teknik inseminasi buatan (IB):
XIV
STRATEGI PEMBELAJARAN - Belajar mandiri, - “Collaborative learning” - Praktikum
- Manfaat dan kelemahan IB - Prosedur pelaksanaan IB
KRITERIA PENILAIAN
BOBOT NILAI (%)
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menunjukkan metoda pelaksanaan IB dan menerangkan fungsinya dalam meningkatkan produksi ternak.
0,31
- Kualitas paper individu dan kelompok. - Keaktifan dan kualitas diri dalam diskusi - Ketepatan dalam menerangkan metoda berbagai teknologi reproduksi lainnya dan perannya dalam meningkatkan produksi ternak
0,31
4,00
- Pengawetan semen Peningkatan efisiensi reproduksi melalui penerapan teknologi reproduksi lainnya:
- Belajar mandiri, - “Collaborative learning”
- Embryo transfer
XV
- In-vitro maturation (IVM) dan In-vitro fertilization (IVF) - Cloning XI
Final Test
35,00
-13-
BAB 2 URGENSI ILMU REPRODUKSI TERNAK PENDAHULUAN Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai urgensi ilmu reproduksi ternak dalam kaitannya dengan efisiensi reproduksi. Oleh karena itu, sasaran pembelajaran pada pokok bahasan ini adalah untuk memahami ruang lingkup dan urgensi mempelajari mata kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Ruang lingkup materi pembelajaran ini adalah proses reproduksi dengan segala aspeknya, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses reproduksi, efisiensi reproduksi, serta pengenalan terhadap perkembangan teknologi reproduksi. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, dan pemberian tugas. URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Keberhasilan reproduksi pada ternak sangat penting bagi kehidupan ekonomi produser dan akhirnya mempengaruhi biaya konsumen terhadap daging dan produk hewani lainnya. Pada kebanyakan sistem produksi ternak, rendahnya fertilitas merupakan faktor utama yang membatasi produktivitas. Kemampuan hewan untuk mereproduksi secara efisien merupakan komponen integral dari usaha peternakan. Namun, ketidaksuburan merupakan masalah dalam semua sistem produksi ternak. Kegagalan reproduksi merupakan salah satu faktor yang paling penting yang membatasi produktivitas sistem produksi ternak dan kehilangan keuntungan setiap tahunnya. Tantangan utama yang dihadapi banyak produsen adalah bagaimana cara praktis, biaya-efektif untuk meningkatkan kinerja
-14-
reproduksi tanpa mengorbankan produksi yang aman, daging berkualitas tinggi dan produkproduk susu. Tidak efisiennya reproduksi ternak dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk: siklus reproduksi apakah normal atau tidak, kegagalan munculnya berahi (estrus), kematian embrio dan janin dan kematian selama periode neonatal, kegagalan untuk mencapai pubertas pada usia optimal atau ketidakmampuan ternak dara untuk menjadi bunting pada awal musim kawin, stres lingkungan seperti suhu ekstrim atau perubahan fotoperiodik (siang dan malam), atau produksi sperma dengan potensi rendah untuk fertilisasi. Dalam beberapa sistem produksi, program pemuliaan dirancang untuk memilih sifat untuk produksi susu atau daging, namun memiliki efek merusak pada kinerja reproduksi. Pada sapi perah, seleksi genetik untuk produksi susu disertai dengan penurunan yang signifikan terhadap fertilitas (kesuburan). Demikian pula, pada peternakan ayam pedaging (ayam dibesarkan khusus untuk produksi daging) kemampuan reproduksi menurun sebagai akibat berat badan (produksi daging) meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan dasar reproduksi, yang pada gilirannya memfasilitasi pengembangan dan strategi manajemen yang mengoptimalkan efisiensi reproduksi dan meminimalkan kerugian ekonomi.
PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran dengan mengajukan pemikiran-pemikirannya serta pengalaman-pengalaman sebelum mendalami pembelajaran dari mata kuliah ini. Juga
-15-
diharapkan mahasiswa mampu menganalisis urgensi pembelajaran pentingnya ilmu reproduksi dalam peningkatan kuantitas dan kualitas ternak.
Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Jelaskan urgensi mata kuliah ilmu reproduksi ternak. 2. Jelaskan pentingnya ilmu reproduksi ternak dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Peters AR and Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths & Co. (Publishers) Ltd, London, Boston, Durban, Singapore, Sydney, Toronto, Wellington. 3. Anonim. 2012. Animal reproduction: overview. United States Department of Agriculture. National Institute of Food and Agriculture. http://www. csrees.usda.gov/ProgViewOverview.cfm?prnum=18413. [Accessed on Nov 1, 2012]
-16-
BAB 3 PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI PENDAHULUAN Pada bab ini, sasaran pembelajaran mengenai perkembangan organ reproduksi, baik organ
reproduksi
betina
maupun
organ
reproduksi
jantan
adalah
diharapkan
mahasiswa/pembelajar dapat memahami proses perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi jantan dan betina ternak. Oleh karena itu, ruang lingkup materi pembelajaran ini mencakup: 1. Perkembangan organ reproduksi betina 2. Anatomi dan fisiologi organ reproduksi betina 3. Perkembangan organ reproduksi jantan 4. Anatomi dan fisiologi organ reproduksi jantan Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, praktikum dan pemberian tugas.
-17-
URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Organ Reproduksi Betina Sistem reproduksi betina, seperti yang diilustrasikan untuk ternak sapi pada Gambar 1, terdiri dari dua ovarium dan sistem saluran. Sistem saluran mencakup oviduct, uterus, tanduk uterus, vagina, dan vulva.
Gambar 1. Sistem reproduksi pada sapi betina (Bearden and Fuquay, 1992)
-18-
Organ reproduksi betina tersusun dari ovarium, oviduct, uterus, serviks, vagina (organ dalam = internal genital organs) dan organ luar (external genitalia); vulva. Organ dalam didukung oleh ligamentum yang terdiri dari mesovarium yang mendukung ovarium, mesosalpinx yang mendukung oviduct dan mesometrium yang mendukung uterus. Pada sapi dan domba, sokongan ligamentum secara dorsolateral pada daerah ilium dan ovarium berlokasi di dekat pelvis. 1. Perkembangan organ reproduksi betina Asal mula pembentukan ovarium adalah dari bagian kelamin seks sekunder.Untuk pertama kalinya dapat terlihat di dalam embrio sebagai penebalan sedikit dekat sistem saluran ginjal.Sistem saluran berasal dari saluran Mullerian, sepasang saluran yang muncul selama perkembangan embrio awal. Jenis kelamin fetus tergantung pada pewarisan dari gen-gen, gonadogenesis, serta pembentukan dan pematangan assesori organ reproduksi. Kedua saluran Wolffian dan Mullerian terdapat pada embrio yang belum berdiferensiasi secara seksual. Pada betina, saluran Mullerian berkembang ke dalam sistem gonaductal, dimana saluran Wolffian menjadi atropi. Saluran Mullerian menyatu secara caudal membentuk uterus, serviks, dan bagian depan vagina. Pada fetus jantan, androgen testicular berperan dalam persistensi dan pengembangan saluran Wolffian dan saluran Mullerian menjadi atropi. 2. Anatomi dan fisiologi organ reproduksi betina a. Ovarium Ovarium dianggap sebagai organ reproduksi utama betina. Keutamaan organ ini karena menghasilkan gamet betina (sel telur) dan hormon (estrogen dan progesteron). Sapi, kuda, dan domba betina adalah monotocous, biasanya melahirkan satu pada kehamilan -19-
setiap period. Oleh karena itu, satu sel telur dihasilkan pada setiap siklus berahi. Babi merupakan ternak polytocus, menghasilkan 10 sampai 25 sel telur setiap siklus berahi dan melahirkan beberapa anak pada setiap periode kehamilan. Ikhtisar organ-organ reproduksi betina dan fungsi utama dari organ-organ tersebut ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Organ
Fungsi Produksi oosit
Ovarium
Produksi estrogen (Graafian follicle) Produksi progesteron (Corpus luteum)
Oviduct Uterus
Transportasi gamet ( spermatozoa dan ovum) Tempat fertilisasi Mempertahankan dan memlihara embrio dan fetus Menghindari kontaminasi mikroba terhadap uterus
Serviks
Penyimpanan semen dan transportasi spermatozoa Tempat deposisi semen pada kawin alam babi dan kuda Organ kopulasi
Vagina
Tempat deposisi semen pada kawin alam sapi, kambing dan domba Saluran kelahiran
Vulva
Saluran luar organ reproduksi betina Ovarium sapi digambarkan sebagai berbentuk almond, tapi bentuknya berubah oleh
pertumbuhan folikel atau copora lutea. Ukuran rata-rata adalah sekitar 35 x 25 x 15 mm. Ukuran ovarium bervariasi diantara sapi, dan ovarium aktif lebih besar dari ovarium yang tidak aktif. Oleh karena itu, salah satu ovarium sering lebih besar dari yang lain dalam ovarium seekor individu sapi. Ovarium domba dan rusa dan kambing adalah juga berbentuk
-20-
seperti almond dan kurang dari setengah ukuran dari ovarium sapi. Pada kuda, ovariumnya berbentuk ginjal dan dua atau tiga kali lebih besar dari ovarium sapi. Ovarium terdiri dari medulla dan cortex korteks pada kulit terluarnya, medula tersusun dari pembuluh darah, saraf, dan jaringan ikat. Korteks berisi lapisan-lapisan sel dan jaringan yang terkait dengan ovum dan produksi hormon. Folikel primer terbentuk selama masa kehamilan dari induk. Diperkirakan sekitar 75.000 folikel primer di dalam ovarium ternak sapi muda. Dengan berlanjutnya pertumbuhan dan pematangan folikel pada sapi selama hidupnya, hanya sekitar 2.500 ovum yang berpotensi menjadi ova. Beberapa potensial ova mencapai kematangan dan dilepaskan ke dalam sistem saluran untuk kemungkinan terjadinya fertilisasi dan perkembangan anak. Kebanyakan mulai berkembang dan menjadi atresia (merosot). Folikel berada dalam keadaan konstan terhadap pertumbuhan dan pematangan. Histologi ovarium tahap pematangan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram dan struktur yang dapat diidentifikasi dalam pembelahan ovarium (Bearden and Fuquay, 1992)
-21-
Folikel primer diikuti oleh proliferasi sel-sel granulosa yang mengelilingi sel telur. Ovum yang dikelilingi oleh dua atau lebih lapisan sel granulosa adalah folikel sekunder. Pada saat kelahiran, sel-sel folikel mengelilingi oosit primerdi dalam ovarium membentuk folikel primordial. Bentuk dan ukuran ovarium bervariasi tergantung spesies dan tahapan dalam siklus berahi. Perkembangan folikel mencapai kematangannya melalui tingkatan-tingkatan perkembangan; primer, sekunder, tersier dan de graaf. Pola vascular ovarium berubah tergantung pada status hormonal sehingga adaptasi suplai darah tergantung pada kebutuhan organ. Aliran darah arterial ke ovarium bervariasi dalam proporsi aktifitas luteal. Perubahan homodinamik kelihatannya lebih penting dalam pengaturan fungsi corpus luteum (CL) dan kelangsungan hidupnya. Kemudian, perubahan aliran darah memulai penurunan sekresi progesteron, dimana pembatasan aliran darah ovarium menyebabkan regresi CL secara prematur. Pada sapi, aliran darah ke ovarium tertinggi selama fase luteal dan menurun pada saat regresi luteal serta mencapai titik terendah sesaat sebelum ovulasi (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Fitur penting fungsional dari folikel Graafian, (Hafez and Hafez, 2000) -22-
Gambar 4. Struktur dinding folikel Graafian menunjukkan bagaimana sel granulosa dimana pasokan darah telah menurun dengan membran basal (Bearden and Fuquay, 1992) b. Oviduct Terdapat keterkaitan anatomic antara ovarium dan oviduct. Panjang dan diameter oviduct bervariasi pada setiap mamalia. Oviduct dapat dibagi kedalam empat bagian fungsional: (1) fimbrae; bentuk saluran abdominal terbuka dekat dengan ovarium, (2) infundibulum,(3) ampulla, dan (4) isthmus; yang menghubungkan antara oviduct dengan uterus. Panjang ampulla sekitar setengah dari total panjang oviduct, menyatu dengan perbatasan isthmus. Isthmus terhubung langsung dengan uterus.
-23-
Gambar 5 Anatomi oviduct: atas, fitur makroskopik dari saluran telur; bawah, penampang ampula dan isthmus membandingkan ketebalan otot-otot dinding dan kompleksitas lipatan mukosa (Bearden and Fuquay, 1992) c. Uterus Uterus memanjang dari persimpangan uterotubal ke serviks. Pada sapi, babi, dan kuda panjang keseluruhan berkisar 35-60 cm. Pada babi, rusa, domba, dan sapi tanduk uterus mencapai 80 sampai 90% dari panjang total, sedangkan pada kuda, tanduk uterus sekitar 50% dari total panjang. Fungsi uterus umumnya untuk mempertahankan dan memelihara embrio, atau fetus. Sebelum embrio melekat ke uterus, makanan embrio berasal dari kuning telur dalam embrio atau dari susu uterus rahim yang disekresikan oleh kelenjar dalam lapisan mukosa uterus. Setelah melekat pada uterus embrio mengambil nutrisi dan buangan produk-produk limbah melalui plasenta. -24-
Gambar 6 menunjukkan jenis dasar uterus pada hewan mamalia. Uterus terdiri dari tanduk uterus, badan uterus dan leher uterus (serviks). Proporsi relatif masing-masing uterus, bentuk dan tanduk uterus bervariasi tergantung spesies. Pada babi, uterus dengan tipe bikornua (uterus bicornis). Tanduk uterus berlipat-lipat dan mencapai panjang 4 – 5 kaki, sedangkan badan uterus pendek. Panjang uterus ini merupakan adaptasi anatomik dalam melahirkan sejumlah anak apada satu satuan waktu kelahiran. Pada sapi, domba dan kuda, tipe uterus aadalah bipartite (uterus bipartitus). Pada ternak-ternak ini, uterus mempunyai penyekat (septum) yang memisahkan dua tanduk uterus dan badan uterus. Kedua bagian uterus melakat pada pelvis dan dinding abdominal.
Gambar 6. Jenis uterus pada mamalia (Bearden and Fuquay, 1992) d. Serviks (Leher Rahim) Meskipun secara teknis serviks merupakan bagian dari uterus, namun demikian serviks ini akan dibahas sebagai salah satu organ reproduksi tersendiri. Perbedaan yang mendasar dari uterus adalah bahwa serviks berdinding tebal dan elastis, bagian anterior yang menuju badan uterus sedangkan ujung posterior menjorok ke vagina. Kebanyakan spesies, panjang serviks berkisar antara 5 sampai 10 cm dengan diameter luar 2 sampai 5 -25-
cm. Serviks terdiri dari saluran yang merupakan pembukaan ke dalam uterus yang berfungsi untuk mencegah kontaminasi mikroba terhadap uterus, namun juga dapat berfungsi sebagai reservoir sperma setelah perkawinan.Semen disimpan ke dalam serviks saat kawin alam pada induk babi dan kuda. Serviks pada sapi, rusa, dan domba memiliki lekukan saling melintang yang dikenal sebagai cincin melingkar yang membantu menutup uterus dari kontaminan. Saluran serviks berbentuk corong, dengan lekukan pada saluran yang memiliki konfigurasi pembuka botol. yang sesuai dengan yang ada pada penis kelenjar di babi hutan (Bab 3). cannal leher rahim. Secara histologi, lapisan luar serviks adalah tunika serosa, lapisan tengah adalah jaringan ikat diselingi dengan serat otot polos. Mukosa, terdiri terutama dari sel epitel secrectory, tetapi beberapa sel epitel bersilia. Tingginya konsentrasi estrogen menyebabkan saluran serviks bersilia selama estrus (standing heat). Sinergisme antara tingginya kadar estrogen dan relaksin menyebabkan pelebaran yang lebih besar sebelum proses kelahiran. Terbukanya saluran ini menjadikan serviks. lebih rentan terhadap invasi organisme. Namun demikian, estrogen menyebabkan sel-sel epitel serviks mengeluarkan lendir yang sifat antibakteri, sehingga melindungi uterus.
e. Vagina Vagina adalah berbentuk tabung, berdinding tipis dan cukup elastis. Panjangnya berkisar antara 25 sampai 30 cm pada sapi dan kuda, dan 10 sampai 15 cm pada kambing dan domba. Pada sapi, kambing dan domba, semen disimpan di dalam ujung anterior vagina, dekat pembukaan serviks, selama perkawinan alami. Organ ini merupakan organ kopulasi pada betina. -26-
Lapisan luar, tunika serosa, diikuti oleh lapisan otot polos yang mengandung serat. Pada kebanyakan spesies, lapisan mukosa terdiri dari sel skuamosa epitel (kecuali pada sapi). Sel-sel epitel cornify (sel tanpa inti) di bawah pengaruh estrogen. f. Vulva Vulva, atau alat kelamin luar, terdiri dari vestibula depan dengan bagian-bagian terkait dan ruang depan labia.Vestibula adalah bagian dari sistem saluran betina yang umum bagi sistems reproduksi dan saluran kencing. Panjangnya sekitar 10 sampai 12 cm pada sapi dan kuda, setengah panjang tersebut pada babi dan seperempatnya pada domba dan kambing.Bagian luar uretra terdiri dari labia minora, lipatan dalam atau bibir vulva, dan labia majora, lipatan luar atau bibir vulva. Labia minora adalah homolog dengan preputium (selubung) pada jantan dan tidak menonjol. Labia majora, homolog dengan skrotum pada jantan, merupakan bagian dari sistem betina yang dapat terlihat secara eksternal. Pada sapi labia majora ditutupi dengan rambut halus hingga klitoris mucosa. Klitoris sekitar 1 cm secara ventral di dalam labia.
f. Struktur penunjang, saraf dan suplai darah Meskipun saluran reproduksi betina mungkin sebagian berada di pelvis, ligamen merupakan struktur yang mendukung organ tersebut. Darah dan saraf melewati ligamentum yang luas pada sistem reproduksi betina. Sistim reproduksi betina diberikan terutama dengan sistim saraf otonom, serta saraf pada daerah vulva, terutama daerah klitoris. Arteri ovarium, yang juga disebut utero-ovarian arteri, merupakan cabang dan suplai darah ke ovarium, oviduct, dan sebagian dari arteri tanduk uterus. Pola peredaran darah pada saluran reproduksi telah luas diminati dalam beberapa tahun terakhir sejak penemuan bahwa pelepasan prostaglandin F2 uterus mengontrol kehidupan luteum. -27-
Prostaglandin merupakan agen luteolytic (penyebab regresi korpus luteum) teroksidasi, dan sekitar 90% hancur selama satu bagian melalui sirkulasi paru-paru.
Organ Reproduksi Jantan Sistem reproduksi jantan terdiri dari organ kelamin primer, sekunder dan assesori. Organ kelamin primer adalah testis yang belokasi di dalam skrotum yang menggantung secara eksternal di daerah inguinal. Organ kelamin sekunder terdiri dari jaringan-jaringan duktus sebagai transportasi spermatozoa dari testis ke bagian luar, dan termasuk didalamnya duktus efferent, epididimis, vasa differentia, penis dan uretra. Sedangkan organ asesori terdiri dari kelenjar prostat, seminal vesicles dan kelenjar bulbo-urethral (Cowper’s). Testis Testis adalah organ reproduksi primer pada jantan, seperti ovarium yang merupakan organ reproduksi primer pada betina.Testis dikatakan sebagai organ reproduksi primer karena memproduksi gamet jantan (spermatozoa) dan hormon kelamin jantan (androgen). Testis berbeda dengan ovarium, dimana testis ini tidak tetap tinggal di dalam rongga tubuh; testis ini menurun dari asalnya di dalam rongga tubuh dekat ginjal melalui inguinalis ke dalam skrotum. Penurunan testis terjadi karena pemendekan gubernaculum, ligamentum yang memanjang dari daerah inguinalis dan melekat pada ekor epididimis. Ini terjadi karena gubernaculum tidak bertumbuh secepat dinding tubuh. Testis tertarik mendekati saluran inguinalis ke dalam skrotum yang dikontrol oleh hormon gonadotropik dan androgen. Penurunan ini terjadi di dalam fetus sapi pada pertengahan kebuntingan dan segera sebelum
-28-
kelahirna pada kuda. Pada beberapa kasus, salah satu atau kedua testis gagal menurun yang disebabkan oleh cacat didalam perkembangannya. Apabila kedua testis tidak turun, ternak tersebut diklasifikasikan sebagai bilaterral crytorchid dan ternak menjadi steril. Jika hanya satu yang menurun, disebut sebagai unilateral cryptochid dan ternak ini biasanya fertil (subur). Panjang testis ternak sapi serupa dengan babi yang berkisar antara 10 – 13
cm, dengan lebar sekitar 5 sampai 6,5 cm dan berat antara 300 – 400 gram, namun lebih kecil pada kambing dan kuda.
-29-
Gambar 7. Diagram sistem reproduksi jantan (a) sapi; (b) ram; (c) babi; dan (d) kuda. (Redrawn from Sorenson. 1979. Animal Reproduction: Principles and Practices. McGraw-Hill; dalam Bearden and Fuquay, 1992)
-30-
Pada semua spesies, testis dibungkus dengan tunica vaginalis, yang merupakan jaringan dari perpanjangan peritoneum. Bagian luar testis adalah tunica albuginea testis, membran tipis putih dari jaringan penghubung elastis. Di bawah tunica albugenia testis, terdapat parenchyma yang merupakan fungsional layer dari testis. Parenchyma ini berwarna kekuning-kuningan yang terbagi dalam beberapa segmen. Dalam segmen ini terdapat tubulus seminiferus yang didalamnya terdapat sel-sel germinal (spermatogonia) dan sel-sel Sertoli. Sel-sel Sertoli ini lebih besar namun jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan spermatogonia. Dengan pengaruh FSH (follicle stimulating hormone), sel-sel Sertoli memproduksi androgen binding protein dan inhibin. Tubulus seminiferus merupakan tempat diproduksinya spermatozoa. Ukurannya kecil berdiameter sekitar 200µ, menempati sekitar 80% dari berat testis. Apabila dibentangkan, panjang tubulus seminiferus ini mencapai sekitar 5 km. Tubulus seminiferus terhubng dengan beberapa tubulus, rete testis, yang menguhubungkan 12 sampai 15 duktus kecil, vasa efferentia, yang kemudian masing-masing terhubung dengan kepala epididimis. Sel-sel Leydig (interstitial) terdapat di dalam parenchyma testis diantara tubulus seminiferus. LH (luteinizing hormone) menstimulir sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron dan sejumlah kecil androgen lain. Testosteron dibutuhkan untuk perkembangan karakteristik kelamin sekunder dan untuk tingkah laku kawin.Sebagai tambahan, testosteron juga dibutuhkan untuk fungsi kelnjar asesori, produksi spermatozoa, dan mempertahankan sistim duktus jantan. Melalui pengaruhnya terhadap ternak jantan, testosteron membantu mempertahankan kondisi -31-
optimum pada spermatogenesis, transportasi spermatozoa, dan deposisi spermatozoa di dalam saluran reproduksi betina.
Skrotum dan Spermatic Cord Skrotum merupakan kantung dua lobus yang membungkus testis, berlokasi di bagian inguinal yang pada kebanyakan spesies terletak diantara dua paha. Spermatic cord menghubungkan testis dengan mekanisme yang mendukung kehidupannya. Baik scrotum dan spermatid cord berkontribusi dalam mendukung testis yang juga mempunyai fungsi bersama dalam pengaturan suhu testis. Pada ternak sapi, ketika ambien temperatur dari 5° sampai 21°C, suhu di dalam testis akan sekitar 4°C dibawah suhu tubuh (38,6°C). Apabila ambien temperatur meningkat kira-kira 38°C, suhu badan dan testis akan meningkat, dan perbedaan antara keduanya akan menurun sekitar setengah (2°C). Peningkatan suhu di dalam testis akan cukup dalam menghentikan spermatogenesis. Belum ada kejadian yang memperlihatkan bahwa suhu rendah menurunkan fertilitas. Peranan skrotum dan spermatic cord dalam mengatur suhu testis digambarkan dengan testis mendekati tubuh ketika suhu lingkungan menurun dan sebaliknya testis akan menjauhi tubuh ketika suhu lingkungan meningkat. Terdapat dua otot yang yang terlibat dalam pengaturan ini yakni tunica dartos dan cremaster. Tunica dartos merupakan otot licin yang melapisi skrotum , dan kremaster merupakan otot licin yang di sekitar spermatic cord, yang keduanya peka terhadap perubahan suhu. Selama musim dingin, kontraksi otot-otot ini menyebabkan skrotum mengerut dan spermatic cord memendek, menyebabkan testis mendekati tubuh. Pada musim panas, kedua otot ini berelaksasi mengakibatkan peregangan dan spermatic cord -32-
memanjang, sehingga testis menjauhi tubuh. Otot ini tidak mempunyai respon sampai mendekati umur pubertas yang dikarenakan oleh pekanya terhadap testosteron untuk merespon perubahan suhu lingkungan.
Epididimis Epididymis, saluran eksternal pertama dari testis, yang menyatu secara longitudinal pada permukaan testis dan terbungkus dalam tunika vaginalis bersama dengan testis. Caput (kepala) dari epididimis adalah daerah datar di puncak testis, di mana 12 sampai 15 saluran (duktus) kecil, vasa efferentia, menyatu menjadi satu ductus. Corpus (badan) memanjang sepanjang sumbu longitudinal dari testis dan satu saluran tunggal yang terhubung sampai pada cauda (ekor). Panjang total saluran berbelit-belit ini adalah sekitar 34 meter pada sapi dan lebih panjang lagi pada ram, babi hutan, dan kuda.
-33-
Gambar 8. Pendiginan testis dengan pertukaran panas melalui sistim sirkulasi (Setchell. 1977. Reproduction in Domestic Animals.(3rd ed) ed. cole and Cupps. Academic Press; dalam Bearden and Fuquay, 1992.
Transportasi: epididimis berfungsi untuk mengangkut spermatozoa. Beberapa faktor berkontribusi terhadap gerakan spermatozoa melalui epididimis. Salah satu faktor adalah tekanan dari produksi spermatozoa.Spermatozoa diproduksi dalam tubulus seminiferus, dimana spermatozoa ini dipaksa keluar melalui rete testis dan vasa efferentia ke epididymis. Lapisan epididimis berisi beberapa sel epitel bersilia, tetapi peran dari silia ini dalam memfasilitasi pergerakan spermatozoa dibantu oleh ejaculasi. Selama ejakulasi, -34-
kontraksi peristaltik yang melibatkan lapisan otot polos epididimis dan tekanan negatif sedikit (tindakan mengisap) dibuat oleh kontraksi peristaltik dari vas deferens dan uretra aktif bergerak spermatozoa dari epididimis ke dalam vas deferens dan uretra. Konsentrasi: fungsi kedua dari epididumis adalah konsentrasi spermatozoa. Spermatozoa masuk ke dalam epididimis dari testis berkonsentrasi relatif sekitar 100 juta spermatozoa/ml. Pada epididimis konsentrasinya meningkat sekitar 4 x 109 (4 miliar) spermatozoa per ml. Konsentrasi terjadi sebagai cairan, yang menangguhkan spermatozoa di testis, yang diserap oleh sel-sel epitel dari epididimis. Penyerapan cairan ini terutama di caput dan ujung proksimal dari korpus. Penyimpanan: Fungsi ketiga dari epididimis adalah penyimpanan spermatozoa. Kebanyakan spermatozoa disimpan dalam cauda epididimis dari mana spermatozoa terkonsentrasi yang dikemas ke dalam epididimis lumen. Epididimis sapi dewasa mengandung kira-kira 50 sampai 74 milyar spermatozoa. Kapasitas spesies lainnya belum dilaporkan. Kondisi yang optimal dalam cauda dibutuhkan untuk kelangsungan hidup spermatozoa selama penyimpanan. pH rendah,
viskositas tinggi, konsentrasi karbon
dioksida tinggi, rasio kalium-natrium tinggi, pengaruh testosteron, dan kemungkinan kombinasi beberapa-faktor lainnya berkontribusi ke tingkat metabolisme rendah dan memperpanjang daya hidup. Maturasi: Fungsi keempat epididimis adalah pematangan spermatozoa. Ketika spermatozoa baru terbentuk masuk ke caput dari vasa efferentia, spermatozoa tersebut tidak memiliki kemampuan motilitas ataupun kesuburan. Ketika spermatozoa melewati epididimis spermatozoa memperoleh kemampuan untuk menjadi motil dan subur. Jika
-35-
cauda yang diikat di setiap akhir, spermatozoa paling dekat dengan corpus meningkat kesuburannya hingga 25 hari. Selama periode yang sama, spermatozoa terdekat vasa deferens berkurang kemampuan kesuburannya. Oleh karena itu, tampak bahwa kemampuan spermatozoa menjadi subur di cauda dan kemudian menjadi matang namun akan menurun kesuburannya apabila tidak dikeluarkan. Selama di epididimis, spermatozoa kehilangan droplet sitoplasma yang terbentuk pada leher masing-masing spermatozoa selama spermatogenesis. Makna fisiologis droplet sitoplasma belum diketahui, namun telah digunakan sebagai indikator kematangan spermatozoa di dalam epididimis. Jika persentase yang tinggi dari spermatozoa segar yang diejakulasikan
dan mempunyai droplet
sitoplasma, maka dianggap spermatozoa tersebut belum matang dan memiliki kapasitas kesuburan yang rendah.
Vas Deferens and Urethra Vas deferens adalah sepasang saluran dari ujung distal cauda masing-masing epididimis yang ujungnya didukung oleh lipatan peritoneum, melewati sepanjang korda spermatika, melalui kanalis inguinalis ke daerah panggul, dimana kemudian menyatu dengan uretra. Ujung vas deferens yang membesar dekat uretra adalah ampula. Vas deferens memiliki lapisan tebal otot polos di dinding dan tampaknya memiliki fungsi tunggal trasportasi spermatozoa. Beberapa berpendapat bahwa ampulla berfungsi sebagai depot penyimpanan jangka pendek untuk semen. Namun, spermatozoa matang hanya dalam waktu singkat di dalam ampulla. Tampaknya lebih mungkin bahwa spermatozoa berenang di dalam ampulla selama ejakulasi sebelum memasuki uretra.
-36-
Uretra adalah saluran tunggal yang memanjang dari persimpangan ampulla ke ujung penis. Ini berfungsi sebagai saluran ekskretoris baik urin mapupun semen. Selama ejakulasi pada sapi, terdapat campuran lengkap konsentrasi spermatozoa dari vas deferens dan epididimis dengan cairan dari kelenjar aksesori pada bagian pelvis uretra untuk membentuk semen.
Kelenjar aksesori Kelenjar aksesori terletak di sepanjang bagian panggul dari uretra. Kelenjar ini terdiri dari kelenjar vesikuler, kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethral, berkontribusi besar terhadap volume cairan semen. Kelenjar ini mensekresikan solusi buffer, nutrisi, dan zat lainnya yang diperlukan untuk menjamin motilitas optimal dan kesuburan spermatozoa.
Gambar 9. Kelenjar-kelenjar aksesori pada sapi, babi, dan kuda yang menunjukkan hubungannya dengan ampulla dan uretra. (Redrawn from Ashdown and Hancock. 1974. Reproduction in Farm Animals.(3rd ed). ed. Hafez. Lea and Febiger.) -37-
Kelenjar vesikuler: Kelenjar vesikuler (kadang-kadang disebut seminal vasicles) adalah sepasang kelenjar lobular yang mudah didentifikasi karena bentuk yang menonjol. Digambarkan sebagai bentuk sekelompok anggur, dengan panjang yang sama pada sapi, babi hutan, dan kuda (13 hingga 15 cm), tapi lebar dan ketebalan kelenjar vesikular sapikira-kira setengah dari babi dan kuda. Kelenjar vesicular ini pada babi dan lebih kecil, menjadi sekitar 4 cm. Pada sapi, kelenjar ini memberikan kontribusi lebih dari setengah dari volume total cairan semen, dan tampaknya memberikan kontribusi yang besar pada spesies lain. Senyawa organik yang ditemukan di sekresi kelenjar vesikuler adalah unik dan tidak ditemukan dalam jumlah besar di tempat lain di dalam tubuh. Dua senyawa ini, fruktosa dan sorbitol, merupakan sumber utama energi untuk spermatozoa sapi dan babi hutan tetapi konsentrasinya lebih rendah pada babi dan kuda. Kedua fosfat dan karbonat buffer ditemukan dalam sekresi dan penting dalam melindungi perubahan pH semen. Perubahan pH tersebut merugikan spermatozoa. Kelenjar prostat: Prostat adalah kelenjar tunggal yang terletak di sekitar dan sepanjang uretra dibagian posterior saluran ekskretoris dari kelenjar vesikular. Bagian prostat terlihat dalam saluran dipotong dan dapat teraba sapi dan kuda. Pada domba, semua prostat tertanam dalam otot uretra seperti bagian dari jaringan kelenjar pada sapi dan babi hutan. Berkontribusi kecil untuk volume cairan semen di sebagian besar spesies. Namun, kontribusi dari kelenjar prostat lebih substatial dibandingkan dengan kelenjar vesikular pada prostat babi. Prostat babi lebih besar daripada sapi. Sekresi prostat yang tinggi ion anorganik dengan natrium, klor, kalsium, dan semua magnesium dalam larutan. Kelenjar bulbourethral: Kelenjar bulbourethral (Cowpers) adalah sepasang kelenjar yang terletak di sepanjang uretra dekat titik luar dari panggul. Ukuran dan bentuknya -38-
seperti kenari pada sapi, tetapi jauh lebih besar pada babi. Pada sapi, kelenjar ini melekat pada otot bulbospongiosum, berkontribusi sangat sedikit untuk volume cairan semen. Pada sapi, sekresinya merupakan residu urin dari uretra sebelum ejakulasi. Sekresi ini dipandang sebagai penggiring dari preputium sebelum kopulasi. Pada babi, sekresinya menjelaskan bahwa sebagian dari semen babi yang menggumpal. Selama kawin alami, benjolan putih yang dibentuk oleh koagulasi dapat mencegah sperma mengalir kembali melalui leher rahim ke dalam vagina babi betina. Penis Penis adalah organ kopulasi jantan, membentuk secara dorsal di sekitar uretra dari titik uretra dibagian pelvis, dengan lubang uretra eksternal pada ujung bebas dari penis. Sapi, babi hutan, dan domba memiliki lentur sigmoid, sebuah lengkungan berbentuk S pada penis yang memungkinkan untuk ditarik kembali sepenuhnya ke dalam tubuh. Ketiga spesies tersebut dan kuda memiliki otot penis retractor, sepasang otot polos yang relaks yang memudahkan perpanjangan penis dan kontraksi untuk menarik penis kembali ke dalam tubuh. Otot retractor penis ini dari vertebra di daerah ekor dan menyatu ke ventral penis pada anterior ke fleksura sigmoid. Glan penis, yang merupakan ujung bebas dari penis, disuplai dengan saraf sensorik yang merupakan homolog dari klitoris betina. Pada sebagian besar spesies, penis adalah fibroelastic, mengandung sejumlah kecil jaringan ereksi. Penis kuda mengandung jaringan ereksi yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi, babi hutan, babi, dan kambing atau domba.
-39-
Preputium Preputium merupakan invaginasi kulit yang tertutup pada ujung penis. Ini memiliki asal embrio sama dengan labia minora pada betina. Hal ini dapat dibagi ke dalam bagian prepenile, yang merupakan lipatan luar, dan bagian penis, atau lipatan dalam. Lubang kulit preputium ini dikelilingi oleh rambut preputial panjang.
Gambar 10. Diagram Perbandingan menunjukkan bentuk glan penis babi, sapi, babi hutan dan kuda. (Redrawn from Ashdown and Hancock. 1974. Reproduction in Farm Animals.(3rd ed.). ed. Hafez.Lea and Febiger.)
-40-
Ikhtisar organ-organ reproduksi jantan dan fungsi utama dari organ-organ tersebut ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Organ Testis
Fungsi Produksi spermatozoa Produksi androgen Mendukung testis
Skrotum
Mengontrol suhu testis Perlindungan testis
Spermatic cord
Mendukung testis Mengontrol suhu testis Konsentrasi spermatozoa
Epididimis
Penyimpanan spermatozoa Pematangan spermatozoa Transportasi spermatozoa
Vas deferens
Transportasi spermatozoa
Uretra
Transportasi semen
Kelenjar vesicular
Kontribusi cairan, substrat energi, dan buffer terhadap semen Kontribusi cairan dan ion anorganik terhadap semen
Kelenjar prostat Kelenjar bulbourethral Penis
Membersihkan sisa urin dari uretra
Preputium
Pembungkus/pelindung penis
Organ kopulasi jantan
-41-
PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui, menggambarkan dan menjelaskan bagian-bagian organ reproduksi betina dan organ reproduksi jantan serta fungsi masing-masing bagian. Materi ajar ini dilengkapi dengan dua kali praktikum di laboratorium; sekali praktikum mengenai organ reproduksi betina dan sekali praktikum mengenai organ reproduksi jantan, yang dimaksudkan kepada mahasiswa sehingga benar-benar dapat mengetahui dan menggambarkan bagian-bagian organ reproduksi. Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Gambarkan, sebutkan dan jelaskan masing-masing bagian organ reproduksi betina dan organ reproduksi jantan. 2. Jelaskan keterkaitan antara masing-masing bagian organ reproduksi betina dan organ reproduksi jantan. 3. Jelaskan fungsi masing-masing bagian organ reproduksi betina dan organ reproduksi jantan. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo.
-42-
BAB 4 HORMON REPRODUKSI PENDAHULUAN Pada bab terdahulu, telah diuraikan mengenai perkembangan dan gambaran organ reproduksi betina dan organ reproduksi jantan. Salah satu fungsi dari organ reproduksi khususnya organ reproduksi primer adalah memproduksi hormon, baik organ reproduksi primer betina; ovarium maupun organ reproduksi primer jantan; testis. Pada bab ini, sasaran pembelajaran mengenai hormon reproduksi yang bekerja pada proses reproduksi hewan adalah diharapkan mahasiswa memahami proses perkembangan, anatomi dan fisiologi organ reproduksi ternak serta mekanisme kerja hormon dalam pengaturan proses reproduksi, baik proses reproduksi pada betina maupun proses reproduksi pada jantan. Oleh karena itu, ruang lingkup materi pembelajaran ini mencakup: 1. Kelenjar endokrin 2. Hormon 3. Hormon-hormon reproduksi primer 4. Regulasi hormon reproduksi Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, dan pemberian tugas.
-43-
URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Kelenjar Endokrin Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran dan mensekresikan secara internal lansung ke pempuluh darah. Kelenjar endokrin ini kebalikan dari kelenjar eksokrin yang mempunyai saluran. Kelenjar endokrin mensekresikan hormon. Pada Gambar 11 di bawah ini ditampilkan sistim endokrin utama yang mengatur proses reproduksi pada ternak.
Gambar 11. Perkiraan lokasi kelenjar endokrin sapi yang mensekresikan hormon dalam pengaturan proses reproduksi. (Bearden and Fuquay, 1992)
Hipotalamus: hipotalamus merupakan kelenjar neuroendokrin yang membentuk sepanjang dasar dan dinding lateral ventrikel ketiga dari otak yang sangat dekat hubungannnya dengan pituitari (Gambar 12). Sekresi hormonn gonadotropik dari pituitari anterior dikontrol oleh hormon pelepas peptida (peptide-releasing hormone) yang -44-
diproduksi oleh sel-sel neurosecretory di dalam hipotalamus. Salah satunya adalah gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menyebabkan pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dari pituitary anterior.
Gambar 12. Hubungan antara hipotalamus dan kelenjar pituitary. (Bearden and Fuquay, 1992).
Endogenous opioids: Peptida-peptida endogenous opioids telah diidentifikasi di dalam jaringan otak yang salah satunya adalah B-endorphin. B-endorphin ini didentifikasi dengan konsentrasi tinggi pada hipotalamus dan portal darah hypophyseal yang konsentrasinya berubah selama siklus berahi dan selama perbedaan status reproduksi. Dengan penyuntikan peptida opioid akan menghambat sekresi FSH dan LH namun menstimulir pelepasan prolaktin. Kelenjar Pineal: Kelenjar pineal berlokasi di bagian belakang hipotalamus diantara belahan-belahan otak dan mempunyai hubungan langsung dengan sisitim saraf pusat. Kelenjar ini member respon terhadap cahaya lingkungan dan peka terhadap perubahan cahaya (panjang siang). Hormon yang dikarakterisasi pada kelenjar pineal adalah melatonin -45-
yang merupakan turunan dari asam amino triptopan. Kegelapan menyebabkan peningkatan aktivitas simpatetik terhadap kelenjar pineal yang meningkatkan sekresi melatonin. Beberapa studi mengindikasikan pola harian konsentrasi melatonin yang tinggi pada malam hari dan konsentrasi rendah pada siang hari baik pada hewan/spesies musiman maupun dengan tidak musiman. Perannya adalah sebagai pengatur aktivitas reproduksi yakni apakah dengan menstimulir atau menghambat fungsi gonad.
Gambar 13. Mekanisme cahaya mengatur sekresi melatonin dari kelenjar pineal. Impuls saraf dihasilkan dari photic signal ke mata yang ditarnsmisikan dari retina sepanjang saluran retinohypothalamic ke supra chiasmatic nuclei dan kemudian ke super cervical ganglia. (Bearden and Fuquay, 1992).
Beberapa kelanjar lain seperti ovarium, testis, adrenal korteks, plasenta dan uterus akan dibahas bersamaan dengan hormon yang diproduksi pada bagian hormon.
-46-
Hormon Hormon disekresikan oleh kelenjar endokrin dan merupakan senyawa kimia yang dibawa melalui darah ke sel-sel target organ atau sel-sel target lain dimana hormon tersebut mengatur aktivitas fisiologis tertentu. Pada tabel di bawah ini disajikan kelenjar dan hormon yang disekresikan Kelenjar Hipotalamus
Pituitari Anterior
Pituitari posterior Ovarium
Hormon Gonadotropin releasing hormone (GnRH) Prolactin inhibiting factor (PIF) Prolactin releasing factor (PRF) Corticotropin releasing hormone (CRH) Follicle stimulating hormone (FSH)
Kelas kimia Peptida
Pelepasan FSH dan LH
Peptida
Retensi prolaktin
Peptida
Pelepasan prolaktin
Peptida
Pelepasan ACTH
Protein
1. 2. 3. 1. 2.
Luteinizing hormone (LH)
Protein
Prolaktin Adenocorticotropin (ACTH) Oksitosin
Protein Polipeptida
Estrogens (estradiol)
Steroid
Peptida
Progestins (progesteron) Steroid Relaxin
Polipeptida
Inhibin
Protein
-47-
Fungsi
Pertumbuhan folikel Pelepasan estrogen Spermiogenesis Ovulasi Pembentukan dan fungsi corpus luteum (CL) 3. Pelepasan testosteron Sintesis susu Pelepas glucocorticoids 1. 2. 1. 2.
Kelahiran Pengeluaran air susu Tingkah laku kawin Karakteristik kelamin sekunder 3. Mempertahankan sisitim saluran betina 4. Pertumbuhan kelenjar susu 1. Mempertahankan kebuntingan 2. Pertumbuhan kelenjar susu 1. Ekspansi pelvis 2. Pelebaran serviks Mencegah pelepasan FSH
Kelenjar Testis
Hormon Androgens (testosteron)
Inhibin Adrenal cortex Glucocorticoids (cortisol) Plasenta Human chorionic gonadotropin (hCG) Pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) Estrogen Progestin Relaxin Uterus Prostaglandin F2α (PGF2α) Sumber: Bearden and Fuquay, 1992
Kelas kimia Steroid
Fungsi
Protein
1. Tingkah laku kawin jantan 2. Spermatositogenesis 3. Mempertahankan sisitim saluran jantan 4. Fungsi kelenjar aksesori Mencegah pelepasan FSH 1. Kelahiran 2. Sintesis susu Seperti LH
Protein
Seperti FSH
Protein Steroid
Lihat Ovarium Lemak
1. Regresi corpus luteum (CL) 2. Kelahiran
Hormon-hormon Reproduksi Primer Hormon-hormon reproduksi primer diproduksi baik di dalam ovarium pada ternak betina, maupun testis pada ternak jantan. Pada tabel di bawah ini disajikan beberapa hormone yang diproduksi oleh gonad. Kelas Estrogen
Hormon Estradiol-17 ß Estriol Estrone
Progestins
Progesterone 17-Hydroxyprogesterone 20 ß-dihydroprogesterone
Androgens
Testosterone Androstenedione Dyhydrotestosterone
Sumber: Bearden and Fuquay, 1992 -48-
Regulasi Hormon Reproduksi Regulasi hormone reproduksi baik pada ternak jantan dan ternak betina disajikan pada Gambar 14 dan 15.
Gambar 14. Hubungan antara pelepas hormon hipotalamik, gonadotropin, dan ovarium dalam pengaturan fungsi reproduksi (Bearden and Fuquay, 1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan FSH dan LH dari pituitari anterior. FSH menstimulir produksi estradiol dan inhibin pada sel-sel granulose di dalam folikel ovarium. Inhibin secara selektif menghambat pelepasan FSH. Ketika progesteron rendah, konsentrasi estradiol yang tinggi menstimulir gelombang GnRH, FSH dan LH sebagai umpan balik positif. LH menstimulir produksi dan pelepasan progesteron dari sel-sel granulose di dalam corpus luteum. Konsentrasi progesteron yang tinggi menghambat pelepasan GnRH, FSH dan LH sebagai umpan balik negatif.
-49-
Gambar 15. Hubungan hormon-hormon yang mengatur fungsi reproduksi pada ternak jantan (Bearden and Fuquay, 1992).
GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan FSH dan LH dari pituitari anterior. LH menstimulir sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Konsentrasi testosteron yang tinggi menghambat pelepasan GnRH, FSH dan LH, dimana pada konsentrasi yang rendah mengakibatkan pelepasan hormon-hormon tersebut, sebagai umpan balik negatif. FSH menstimulir sel-sel Sertoli untuk memproduksi inhibin dan androgen-binding-protein. Inhibin menghambat pelepasan FSH dan androgen-binding-protein mengikat testosteron di dalam tubulus seminiferus yang menjamin ketersediaan dan kelanjutan spermatogenesis. PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui, kelenjar-kelenjar endokrin serta hormon yang disekresikan. Hormon -50-
reproduksi primer merupakan hormon yang paling banyak bertanggung jawab dalam proses reproduksi, sehingga dengan mengetahui mekanisme hormon masing-masing hormon reproduksi primer, maka akan mudah bagi mahasiswa untuk membandingkan dan selanjutnya untuk memanipulasi status reproduksi khususnya pada ternak betina. Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Sebutkan beberapa kelenjar endokrin beserta hormon yang disekresikan. 2. Sebutkan dan jelaskan hormon reproduksi primer pada ternak betina dan ternak jantan. 3. Jelaskan hubungan antara pelepas hormon hipotalamik, gonadotropin, dan
ovarium dalam pengaturan fungsi reproduksi ternak betina. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo.
-51-
BAB 5 GAMETOGENESIS PENDAHULUAN Gametogenesis dibagi dalam dua kelompok berdasarkan jenis kelamin yakni oogenesis dan spermatodenesis. Pembentukan dan pematangan gamet harus dilakukan baik betina maupun jantan. Oogenesis merupakan pembentukan dan pematangan gamet betina (ovum). Oogenesis berlangsung di dalam ovarium. Sedangkan spermatogenesis adalah proses dimana spermatozoa dibentuk. Proses ini terjadi di dalam tubulus seminiferus. Setelah pembentukan spermatozoa di dalam tubulus seminiferus, spermatozoa dipaksa masuk ke dalam epididimis sebagai tempat penyimpanan melalui rete testis dan vasa eferensia. Di dalam epididimis, spermatozoa dimatangkan yang kemudian mampu untuk berfertilisasi. Pembahasan mendalam terhadap proses pembentukan gamet betina dan spermatozoa akan dibahas pada bab ini. Oleh karena itu, ruang lingkup materi pembelajaran ini mencakup: 1. Oogenesis 2. Spermatogenesis Dengan sasaran pembelajaran adalah menjelaskan proses perkembangan ovum dan sperma. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, praktikum dan pemberian tugas.
-52-
URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Oogenesis Oogenesis atau ovigenesis bermula pada periode prenatal. Potensial gamet oogonium terkait dengan folikel primer pada awal pembentkannya. Oogonia berasal dari perpanjangan yolk sac yang terbentuk dari bagian belakang embrio. Pada awal pembentukannya, proliferasi oogonia dengan pembelahan mitosis terjadi dalam parenkim ovarium. Proliferasi ini berhenti sebelum kelahiran sehingga ovarium mempunyai jumlah potensial ova atau oosit yang tetap pada saat dilahirkan. Oosit memasuki profase pada pembelahan miosis pertama selama peride fetus dan kemudian dorman yang kemudian disebut dictyate oocytes. Selama periode prenatal dan selanjutnya setelah dilahirkan, telah dilaporkan bahwa terjadi pola siklus dalam pertumbuhan dan pematangan oosit, namun demikian, tidak ada oosit yang betul-betul matang sampai mencapai umur pubertas. Diperkirakan bahwa kurang dari 1% dari semua oosit yang mencapai kematangan dan dilepaskan selama ovulasi. Pertumbuhan dan pematangan oosit akan berlanjut secara bersiklus setelah pubertas. Selama gelombang pertumbuhan folikel yang terjadi pada setiap siklus berahi, sekelompok oosit terkait dengan mulainya pertumbuhan dan pematangan folikel ini. Kebanyakan menjadi atretic (atresia) sedangkan lainnya tetap dorman. Namun demikian, pada saat regresi luteal, oosit dengan folikel dominan mencapai kematangan dan dilepaskan melalui ovulasi ke sistim duktusuntuk fertilisasi pada sapi, domba, kambing dan kuda. Pada babi, 10 sampai 25 oosit dapat mencapai kematangan dan berovulasi. Setelah miosis berhenti, perkembangan, pematangan kembali dengan pertumguhan oosit dan pembentukan zona pellucid, membran luar seperti gel di sekitar oosit. -53-
Pertumbuhan oosit diikuti dengan pertumbuhan folikel. FSH menstimulir proliferasi sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit, dengan folikel berkembang dari folikel primer menjadi folikel sekunder. Berlanjutnya stimulasi FSH menghasilkan kelanjutan proliferasi sel-sel granulosa dan pembentukan antrum. Proliferasi sel-sel teka (thecal cells) diluar membran dasar terjadi dengan pengaruh LH. Selama perkembangan ini, folikel diperuntukkan untuk ovulasi, dan menjadi folikel dominan. Ketika folikel dominan dan folikel antral lainnya mensekresi cukup estrogen, lonjakan preovulatory LH terpicu. Tingginya level LH mengakibatkan pelepasan oosit ke dalam cairan folikel, yang kemudian berlanjut dan penyelesaian miosis I. Produk dari pembelahan pertama miosis adalah oosit sekunder dan polar body pertama yang tersimpan/berlokasi diantara membran vitelin dan zona pellucid di dalam ruang perivitelin. Pada pembelahan ini, jumlah kromosom di dalam oosit berubah dari diploid (2n) menjadi haploid (n). Oosit sekunder mempertahankan semua sitoplasma dan setengah materi inti (kromosom) dari oosit primer. Kemudian setengah dari materi inti tersebut terekstrusi sebagai polar body. Pembelahan miosis pertama ini berakhir sesaat sebelum ovulasi pada sapi, babi dan domba serta segera setalah ovulasi pada kuda. Pembelahan miosis kedua dimulai segera setelah pembelahan pertama selesai dan berhenti pada metaphase II. Miosis kedua dimulai kembali pada saat proses fertilisasi dan akan lengkap/selesai dengan interaksi antara oosit dengan spermatozoa. Produk dari pembelahan miosis kedua adalah sigot dan polar body kedua.
-54-
Gambar 16. Tahapan pematangan pada sel-sel germinal selama oogenesis (Bearden and Fuquay, 1992).
Selama periode fetus, pembelahan mitosis telah selesai dan miosis pertama mulai. Miosis pertama tertahan setelah kelahiran pada profase I. Pertumbuhan oosit dan pembentukan zona pellucida diikuti dengan pertumbuhan folikel. Preovulatory lonjakan LH
-55-
menginisiasi mulainya miosis. Miosis pertama selesai tetapi meiosis II berhenti pada metaphase II. Selama fertilisasi, miosis II kembali dan selesai dengan pembentukan sigot. Spermatogenesis Spermatogenesis
dapat
dibagi
dalam
dua
fase
yang
berbeda
yakni
spermatositogenesis dan spermiogenesis. Spermatositogenesis merupakan serangkaian pembelahan dari spermatogonia sampai membentuk spermatid. Spermatogonia merupakan potensial gamet yang kecil, bulat, dan lebih banyak sel-sel. Sedangkan spermiogenesis merupakan fase dimana spermatid bermetamorfosis membentuk spermatozoa. Dalam pembentukannya di tubulus seminiferus, proses ini akan berlangsung selama 46 – 49 hari pada domba, 36 – 40 hari pada babi dan lebih lama pada sapi (56 – 63 hari). Spermatozoa yang telah berkembang, kemudian bermigrasi dari membran dasar tubulus seminiferus menuju lumen. Terdapat dua jesis sel yang terdapat pada membran dasar tubulus seminiferus yakni sel-sel sertoli yang lebih besar dan dengan jumlah sedikit dan sel-sel somatik yang berperan dalam mendukung selama proses spermatositogenesis dan spermiogenesis. Selama spermiogenesis, spermatid melekat pada sel-sel Sertoli. Masing-masing spermatid bermetamorfosis (perubahan dalam morfologi) membentuk spermatozoon. Selama proses metamorphosis ini, materi inti akan kompak/menyatu pada salah satu bagian sel, membentuk kepala spermatozoon, sedangkan sel selebihnya memanjang membentuk ekor. Akrosom yang merupakan pembungkus kepala spermatozoon, akan terbetuk dari badan Golgi dari spermatid. Sitoplasma dari spermatid terlepas pada pembentukan ekor, droplet sitoplasmik ini akan membentuk leher spermatozoon. Mitokondria dari spermatid akan membentuk spiral bagian atas sekitar seperenam dari ekor, membentuk penutup -56-
mitokondrial.Spermatozoa yang baru dibentuk kemudian dilepaskan dari sel Sertoli dan dipaksa keluar melalui lumen tubulus seminiferus ke dalam rete testis. Spermatozoa merupakan sel-sel unik yang tidak mempunyai sitoplasma, dan setelah proses maturasi/pematangan, mempunyai kemampuan untuk motil secara progresif.
Gambar 17. Spermatogensis menunjukkan urutan peristiwa dan waktu yang terlibat dalam spermatogenesis pada domba (Bearden and Fuquay, 1992).
Proses pada Gambar 16 menunjukkan bahwa spermatogonium (A2) membelah dengan mitosis, membentuk spermatogonium aktif (A3) dan spermatogonium dorman -57-
(tidak aktif) (A1). Spermatogonium aktif mengalami empat pembelahan mitosis membentuk 16 spermatosit primer. Masing-masing spermatosit primer akan mengalami dua kali pembelahan miosis membentuk empat spermatid (sehingga membentuk 64 spermatid dari spermatogonium A3). Spermatogonium duorman (A1) kemudian akan membelah menghasilkan spermatogonia (A2) yang dengan pembelahan mitosis akan membentuk spermatogonia aktif baru (A3) dan spermatogonia dorman baru (A1). Masing-masing spermatid mengalami metamorfosis untuk membentuk spermatozoon (setiap spermatozoon membesar membentuk morfologi yang lebih detail).
Gambar 18. Segmen kecil dari tubulus seminiferus aktif menunjukkan tahap perkembangan yang terjadi selama spermatogenesis. Perhatikan lapisan konsentris dari spermatogonia, spermatosit, dan spermatid maju dari dinding tubulus seminiferus ke lumen (Bearden and Fuquay, 1992).
-58-
Kontrol Hormon pada Spermatogenesis TPada sapi dan domba, terdapat 3 sampai 7 lonjakan LH per hari yang juga diikuti oleh lonjakan testosteron. Peran utama LH dalam peraturan spermatogenesis tampaknya tidak langsung bahwa hal itu merangsang pelepasan testosteron dari sel Leydig. Testosteron dan FSH bekerja di dalam sel-sel tubulus seminiferus untuk menstimulir spermatogenesis. Testosteron diperlukan pada tahap-tahap tertentu dalam spermatositogenesis dan faktor dominan dalam pengaturan proses ini. Konsentrasi testosteron yang tinggi dalam cairan pada tubulus seminiferus (100-300 kali lebih tinggi dari plasma peripheral) nampaknya penting untuk untuk spermatogenesis normal. Konsentrasi tinggi ini dipertahankan melalui pengikatan testosteron terhadap androgen-binding protein (protein yang mengikat androgen). androgen-binding protein ini diserap di dalam epididimis yang disekresikan oleh oleh sel-sel Sertoli dibawah stimulasi FSH. Oleh karena itu, konsentrasi testosteron yang tinggi ini dipertahankan di dalam rete testis, vasa eferensia, bagian proximal epididimis dan juga pada tubulus seminiferus. FSH dan LH dilepaskan atas pengaruh GnRH. FSH penting untuk sel-sel Sertoli termasuk sekresi inhibin, estrogen, dan androgen-binding protein. FSH nampak lebih dominan dalam mengatur spermiogenesis melalui pengaruh secara langsung melalui sel germinal dan/atau tidak langsung melalui fungsi dari sel-sel Sertoli. FSH dibutuhkan untu produksi spermatozoa. Testosteron merupakan umpan balik negatif pada hipotalamus dan konsentrasi pituitari anterior. Konsentrasi testosteron yang tinggi akan menghambat pelepasan GnRH, FSH, dan LH, sedangkan konsentrasi rendah memungkinkan pelepasannya. PGF2α akan merangsang pelepasan LH dan testosteron. Oleh karena itu, PGF2α mungkin terlibat dalam pengaturan umpan balik antara hipotalamus, hipofisa anterior, dan testis.
-59-
PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui proses-proses yang terjadi dalam pembentukan ovum dan spermatozoa serta hormon yang terlibat dalam pembentukannya. Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Jelaskan proses pembentukan ovum. 2. Jelaskan proses pembentukan spermatozoa. 3. Hubungkan antara proses pembentukan ovum atau spermatozoa dengan hormone yang terlibat didalamnya. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo.
-60-
BAB 6 SIKLUS REPRODUKSI (Pubertas, Siklus Berahi, Musim Kawin, Induksi dan Sinkronisasi Berahi) PENDAHULUAN Siklus reproduksi pada ternak khususnya misalnya ternak sapi merupakan periode antara proses reproduksi yang dimulai dari pubertas, siklus berahi, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, laktasi, kondisi anestrus, kembali bersiklus, dan seterusnya yang terjadi secara berulang. Pada bab ini, akan dibahas secara khusus tentang pubertas, siklus berahi, musim kawin, serta induksi dan sinkronisasi berahi. Sasaran pembelajaran adalah menjelaskan Pubertas dan faktor-faktor yang mempengaruhi, siklus berahi/estrus, serta induksi dan sinkronisasi berahi. . Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, praktikum dan pemberian tugas. URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Pubertas Pubertas pada ternak dapat didefinisikan sebagai umur pada saat pertamakali diekspresinya berahi yang diikuti dengan ovulasi. Pubertas terjadi ketika gonadotropin (FSH dan LH) diproduksi pada level yang cukup tinggi untuk memulai pertumbuhan folikel, pematangan oosit, dan ovulasi. Folikel bertumbuh dapat dideteksi beberapa bulan sebelum pubertas. Mendekati pubertas, frekuensi pulsa GnRH meningkat dan menstimulir ovarium. Pertama-tama, gelombang folikel bertumbuh dan diikuti dengan atresia. Ketika -61-
frekuaensi dan amplitudo pulsa GnRH mendekati pola dewasa, maturasi oosit dan ovulasi akan terjadi. Semakin tinggi frekuensi GnRH pada awal munculnya pubertas nampaknya sebagai bagian dari penurunan sensitivitas hipotalamus terhadap pengaruh umpan balik negatif steroid ovarium yang mungkin berinteraksi dengan atau hasil dari faktor lain. Endogenous opioids dan/atau melatonin dapat terlibat dalam pengaturan perubahan polapola hormon ini. Umur pubertas dipengaruhi baik faktor genetik maupun lingkungan, sedangkan berat badan pada saat pubertas dipengaruhi oleh faktor genetic. Faktor genetik dapat dilihat dengan membandingkan spesies atau bangsa didalam spesies. Umur dan berat badan pada saat pubertas dari spesies dan bangsa yang berbeda disajikan pada tabel di bawah ini. Spesies dan bangsa
Umur (bulan)
Berat (kg)
Kambing
5–7
10 – 30
Babi
4–7
68 – 90
Domba
7 – 10
27 – 34
Kuda
15 – 24
Bervariasi dengan ukuran kematangan bangsa
Sapi Perah
8 – 13
160 – 270
Jersey
8
160
Guernsey
11
200
Holstein
11
270
Ayrshire
13
240
10 – 15
-
Zebu 17 – 27 Sumber: Bearden and Fuquay, 1992
-
Beef cow (European breeds)
Sejumlah faktor lingkungan mempengaruhi umur pubertas. Umumnya faktor dengan pertumbuhan lambat, kekurangan nutrisi, suhu lingkungan yang tinggi, musim pada
-62-
saat dilahirkan, penyakit, sanitasi lingkungan yang kurang baik akan menghambat munculnya pubertas. Kebanyakan bangsa-bangsa domba mencapai pubertas pada saat 40 – 50% berat dewasa, namun perkawinan hanya direkomendasikan sekitar 65% berat dewasa. Pada sapi perah, pubertas tercapai pada 35 – 45 % berat dewasa dan tidak direkomendasikan untuk dikawinkan sampai mencapai 55% berat dewasa. Siklus Berahi Siklus berahi didefinisikan sebagai waktu atau jarak diantara periode berahi. Periode siklus berahi terdiri dari estrus, metestrus, diestrus, dan proestrus. Periode ini terjadi dan berurutan di dalam satu siklus kecuali untuk periode anestrus (tidak bersiklus) pada ternak yang mempunyai musim kawin seperti domba, kambing dan kuda, dan juga anestrus selama kebuntingan dan periode postpartum dini pada semua spesies. Tabel di bawah ini menunjukkan karakteristik variasi dalam siklus berahi pada spesies tang berbeda. Karakteristik Siklus Berahi
Sapi
Domba
Babi
Kuda
Kambing
Siklus Berahi (hari)
21
17
20
22
21
3–4
2–3
2–3
2–3
2–3
Diestrus (hari)
10 – 14
10 – 12
11 – 13
10 – 12
13 – 15
Proestrus (hari)
3–4
2–3
3–4
2–3
2–3
12 – 18 jam
24 – 36 jam
48 – 72 jam
4 – 8 hari
30 – 40 jam
Akhir estrus Pertengahan estrus
Sebelum estrus berakhir
Beberapa jam setelah estrus
Metestrus (hari)
Estrus Ovulasi
Setelah estrus
Sumber: Bearden and Fuquay, 1992
-63-
Estrus: estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika ternak betina menerima jantan untuk perkawinan. Panjang periode estrus bervariasi diantara spesies. Sebagai contoh, lama estrus pada sapi adalah 12 sampai 18 jam. Namun demikian, pada lingkungan panas lama estrus pada sapi akan lebih pendek sekitar 10 sampai 12 jam dibandingkan dengan rata-rata 18 jam pada iklim dingin. Metestrus: Periode metestrus dimulai pada saat berhentinya estrus dan berlangsung sekitar tiga hari. Keutamaan periode ini adalah merupakan periode pembentukan corpus luteum (CL) (corpora lutea pada multiovulasi). Ovulasi terjadi selama periode ini pada sapid an kambing. Juga sebuah fenomena yang dikenal sebagai “metesrous bleeding” yang terjadi pada sapi, dan hal ini terjadi pada sekitar 90% pada sapi dara dan 45% pada induk sapi. Selama periode akhir proestrus dan estrus, konsentrasi estrogen yang tinggi meningkatkan vaskularitas endometrium, dan vaskularitas ini mencapai puncak sekitar satu hari setelah berakhirnya estrus. Dengan menurunnya level estrogen, beberapa kerusakan kapiler mungkin terjadi mengakibatkan sedikit pendarahan. Darah yang keluar ini biasanya dapat dilihat pada ekor sekitar 35 sampai 45 jam setelah akhir estrus. Ini bukan merupakan indikasi terjadi konsepsi atau tidak, dan juga bukan sebagai hasil menstruasi seperti yang terjadi pada manusia. Diestrus: Diestrus dikarakterisasi sebagai periode di dalam siklus ketika corpus luteum berfungsi secara penuh. Pada sapi dimulai sekitar hari kelima siklus, dimana pertama kali dideteksi terjadinya peningkatan konsentrasi hormon progesteron, dan berakhir dengan regresi corpus luteum pada hari ke-16 atau 17. Untuk babi dan domba, periode ini dari hari ke-4 sampai hari ke 13, 14, atau 15. Pada kuda lebih bervariasi yang disebabkan oleh ketidakaturan panjang/lama berahi. Pada kuda, ovulasi terjadi pada hari -64-
ke-5, periode diestrus kira-kira pada hari ke-8 sampai hari ke 19 atau 20. Periode ini dikenal sebagai periode persiapan uterus untuk kebuntingan. Proestrus: Proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan penurunan konsentrasi hormon progesteron untuk memulai periode estrus. Perbedaan prinsip dari cirri proestrus adalah terjadinya pertumbuhan folikel yang cepat.Selama akhir periode ini pengaruh estrogen pada sistim saluran dan tanda-tanda tingkah laku mendekati estrus dapat diamati. Kontrol Hormon pada Siklus Berahi Pengaturan siklus berahi melibatkan interaksi timbal balik antara hormon-hormon reproduksi pada hipotalamus, pituitari anterior, dan ovarium. Progesteron mempunyai peranan dominan dalam mengatur siklus berahi. Selam diestrus dengan fungsional corpus luteum, konsentrasi hormon progesteron yang tinggi menghambat pelepasan FSH dan LH melalui kontrol umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan pituitari anterior, yang juga progesteron menghambat tingkah laku estrus. Dan juga selama kebuntingan progesteron menghambat pelepasan hormon gonadotropik dan juga tingkah laku estrus. Untuk kontrol hormon pengaturan siklus berahi ini telah digambarkan pada bab sebelumnya mengenai regulasi hormon reproduksi. Musim Kawin Kebanyakan spesies liar mempunyai musim kawin yang dmulai pada waktu lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup anak yang dilahirkan. Pola ini berkembang melalui seleksi alam terhadap banyak generasi. Pola-pola musim kawin
-65-
dengan kisaran dari spesies yang mempunyai satu periode estrus setiap tahunnya (monoestrous) sampai kepada spesies yang mempunyai serangkaian siklus estrus yang terbatas setiap tahunnya (seasonally polyestrous). Semua ternak-ternak yang didomestikasi mungkin menunjukkan tendensi musim kawin sebelum didomestikasi. Hal ini mungkin dapat berubah setelah perbaikan lingkungan (perkandangan dan pakan/nutrisi) dan dengan seleksi untuk ternak-ternak yang atau supaya lebih produktif. Pola-pola musim kawin masih melekat pada domba, kambing dan kuda. Domba dan Kambing: Kebanyakan bangsa domba dan kambing menunjukkan polapola musim kawin, kecuali domba dan kambing pada daerah tropis yang bersiklus sepanjang tahun. Musim kawin domba adalah pada saat hari pendek atau pada musim gugur. Musim kawin dimulai pada rasio antara siang dan malam menurun dan berakhir ketika panjang hari meningkat yang mendekati rasio yang sama atara siang dan malam. Namun demikian, beberapa bangsa domba seperti Dorset, Horn, Merino, dan Rambouillet memperpanjang musim kawin dengan beberapa individu menjadi polyestrous jika kondisi lingkungan (nutrisi dan iklim) membaik. Quiet ovulation (ovulasi tanpa tingkah laku berahi) sering terjadi pada permulaan dan akhir musim kawin. Seperti pada domba, kambing juga merupakan ternak dengan musim kawin pada hari/siang pendek, dengan aktivitas siklus terjadi antara akhir juni dan awal april. Puncak aktivitas perkawinan biasanya pada musim gugur antara September dan januari. Panjang siang mempunyai kontrol yang dominan mempengaruhi permulaan dan berakhirnya musim kawin. Kuda: Kuda merupakan ternak yang musim kawinnya dengan hari/siang yang panjang. Musim kawin kuda dimulai pada rasio siang dan malam meningkat dan berakhir selama penurunan lama waktu siang. Tingkah laku estrus terjadi selama bulan dengan hari -66-
pendek tanpa diikuti dengan ovulasi. Variasi yang tinggi terhadap panjang musim kawin terhadap individu kuda betina. Pola musim kawin belum diketahui dengan pasti pada kuda jantan. Semen yang fertil dapat ditampung sepanjang tahun. Namun demikian, penurunan aktivitas seksual dan produksi semen terjjadi pada bulan-bulan dengan hari pendek (short photoperiod). Peranan cahaya dalam mengatur aktivitas musim kawin telah diketahui dengan baik dan telah dijelaskan kaitannya dengan hormon reproduksi pada bab sebelumnya. Induksi dan Sinkronisasi Berahi Induksi berahi dimaksudkan untuk terjadinya berahi pada ternak yang anestrus. Ovulasi selama anestrus tidak terjadi yang disebabkan oleh sekresi LH sangat rendah, tidak ada perkembangan folikel dan progesteron rendah pada kondisi ini. Hal ini banyak terjadi pada ternak-ternak yang mempunyai musim kawin atau siklus berahi tidak muncul sepanjang tahun. Sedangkan sinkronisasi berahi dimaksudkan untuk menjadikan beberapa ternak berahi secara bersamaan dengan cara memanipulasi siklus berahi dengan menggunakan preparat hormon dengan berbagai kombinasi. Sinkronisasi berahi telah dipromosikan sebagai penghematan tenaga kerja bagi produser untuk mendapatkan genetik superior yang tersedia melalui penggunaan metode perkawinan inseminasi buatan (IB). Beberapa jenis hormon yang biasanya digunakan dalam induksi maupun sinkronisasi berahi seperti GnRH, prostaglandin, progestagen (progesteron), estradiol dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaan induksi atau sinkronisasi berahi pertama-tama dimulai dengan mengetahui kondisi status fisiologi reproduksi.
-67-
Namun demikian, kebanyakan pelaksanaan induksi ataupun sinkronisasi berahi mengabaikan kondisi status fisiologi reproduksi pada awal perlakuan. Beberapa protokol sinkronisasi berahi telah dikembangkan dengan berbagai tingkat keberhasilan. Prostaglandin (PGF) adalah hormon alami. Selama siklus estrus normal pada ternak yang tidak bunting, PGF dilepaskan dari uterus 16 sampai 18 hari setelah ternak tersebut berahi. Pelepasan PGF adalah untuk regresi corpus luteum (CL). CL merupakan struktur dalam ovarium yang memproduksi hormon progesteron dan mencegah ternak kembali berahi. Pelepasan PGF dari uterus adalah mekanisme pemicu yang menghasilkan ternak kembali berahi setiap 21 hari. PGF tersedia secara komersial (Lutalyse, Estrumate, Prostamate) dengan kemampuan secara bersamaan melisiskan CL pada semua ternak yang bersiklus dan memudahkan untuk deteksi berahi dan selanjutnya proses perkawinan. Keterbatasan utama dari PGF adalah tidak efektif pada ternak yang tidak memiliki CL, termasuk ternak dalam 6 sampai 7 hari setelah berahi, sapi sebelum pubertas dan postpartum anestrous sapi. Meskipun keterbatasan ini, prostaglandin adalah metode paling sederhana untuk menyinkronkan estrus pada sapi.
Gambar 19. Pilihan untuk sinkronisasi berahi dengan dua kali injeksi dengan jarak 14 hari (DeJarnette, 2004). -68-
Gambar 20. Sinkronisasi berahi dengan Select-Synch (DeJarnette, 2004)
Gambar 21. Sinkronisasi berahi dengan MGA-PGF (DeJarnette, 2004) -69-
Gambar 22. Sinkronisasi berahi dengan protokol Cosynch dan Ovsynch (DeJarnette, 2004)
Gambar 23. Sinkronisasi berahi dengan sistim MGA-Select (DeJarnette, 2004)
-70-
Gambar 24. Sinkronisasi berahi dengan aplikasi CIDR (DeJarnette, 2004) Tingkat keberhasilan dari berbagai metode sinkronisasi berahi disajikan pada tabel di bawah ini.
Sumber : DeJarnette, 2004 -71-
PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui 1) proses-proses awal terjadinya pubertas serta mekanisme hormonal yang mengaturnya 2) proses dalam satu siklus berahi serta mekanisme hormonal yang mengaturnya, perbedaan ternak dengan musim kawin dan ternak polyestous, serta dapat menjelaskan manipulasi hormon dalam menginduksi atau melakukan sinkronisasi berahi pada ternak baik yang tidak sedang bersiklus maupun yang bersiklus. Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Jelaskan proses terjadinya dan mekanisme hormonal yang mengatur munculnya pubertas. 2. Jelaskan proses satu siklus berahi dan mekanisme hormonal yang mengatur serta periode siklus berahi. 3. Uraikan beberapa metode sinkronisasi berahi Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo. 3. DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: A reproductive management tool. Select Sires Inc. 11740 U.S. 42 North Plain City.
-72-
BAB 7 OVULASI, FERTILISASI DAN KEBUNTINGAN PENDAHULUAN Dalam proses reproduksi, salah satu dari beberapa tahapan proses ini adalah ovulasi yang apakah diikuti oleh fertilisasi dan kebuntingan atau tidak. Ketiga proses reproduksi ini memegang peranan penting dalam aspek reproduksi. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mahasiswa mengetahui proses dan keterlibatan aspek lain di dalam ovulasi, fertilisasi dan kebuntingan. Sasaran pembelajaran adalah menjelaskan proses terjadinya ovulasi, fertilisasi, dan kebuntingan. . Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, praktikum dan pemberian tugas. URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Ovulasi Dengan matangnya oosit dan folikel, preovulatory lonjakan LH akan memulai rangkaian peristiwa yang menyebabkan terjadinya ovulasi atau pelepasan sel telur dari ovarium sekitar 24 sampai 45 jam kemudian. Setelah gelombang LH, konsentrasi progesteron di dalam cairan folikel meningkat yang dikuti pada beberapa jam kemudian dengan meningkatnya estradiol dan prostaglandin (PGF 2α dan PGE2). Penghambatan baik sekresi steroid ovarium atau prostaglandin akan memblokir ovulasi. Peranan prostaglandin dalam ovulasi nampaknya memecah.merusak vesikula seperti lisosom yang berisi enzim proteolitik yang berlokasi di luar folikel antara permukaan epithelium dan tunica albuginea, -73-
dan juga yang mengaktifkan plasmin, enzim proteolitik yang ditemukan di dalam cairan folikel. Enzim proteolitik dari lisosom menyebabkan degenerasi local tunica albuginea, teka eksterna dan teka interna, dimana plasmiin bekerja pada membran dasar. Dinding folikel menjadi tipis dan lemah. Sebuah tonjolan (stigma) yang muncul pada puncak (apex) folikel yang merupakan titik dimana folikel akan pecah. Dengan melemahnya dinding folikel, menyebabkan plasma masuk ke dalam ruang diantara sel-sel teka, menyebabkan edema, dan pada akhirnya kapiler menembus luar membran basal ke lapisan granulosa. Ketika folikel pecah, cairan folikel, oosit sekunder, dan mengendurnya sel-sel granulose akan terekstrusi ke dalam rongga peritoneal dekat infundibulum. Kontraksi ovarium distimulir oleh prostaglandin, dan cenderung juga berkontribusi dalam pemecahan folikel dan pelepasan oosit. Kontraksi spontan ovarium meningkat pada saat mendekati ovulasi. Oosit tertanam di dalam massa kumulus, yang merupakan matriks longgar yang melekat pada sel-sel kumulus sekitar sel-sel radiata yang selubungi oleh korona yang mengelilingi oosit. Sel-sel granulosa ini (kumulus dan korona radiata) diyakini tidak ikut sampai pada proses fertilisasi berlangsung. Ini merupakan salah satu yang menjadi faktor penangkapan oosit oleh infundibulum dan pergerakannya hingga mencapai ampulla.
-74-
Gambar 25. Oosit dan sel-sel yang terkait segera setelah ovulasi (sumber: http://teleanatomy.com/nutfah-FemaleGametes.html)
Fertilisasi Proses fertilisasi dengan pertemuan antara oosit dan spermatozoa yang diakhiri dengan penyatuan pronuclei menhasilkan sel diploid yang mengandung kode genetik untuk menjadi sigot dan selanjutnya individu baru. Tahapan pertama fertilisasi adalah penetrasi spermatozoon melalui sel-sel kumulus dan sel-sel korona radiata dengan kepala melekat pada zona pellucida. Terdapat dua enzim yang berperan dalam proses ini yakni enzim hyaluronidase dan enzim penetrasi korona yang membantu perjalannanya. Kedua enzim ini berasal dari spermatozoa yang dilepaskan selama proses kapasitasi dan reaksi akrosom. Pada tahap kedua, spermatozoon penetrasi zona pellucida dan membran plasma kepala sperma berfusi dengan membran vitelin. Reaksi zona dimulai dengan hilangnya granula/butiran kortical. Sperma masuk ke dalam sitoplasma oosit menimbulkan blokade vitelin yang mencegah masuknya sperma lain. Setelah memasuki sitoplasma, ekor sperma terlepas dari kepala. Mitokondria yang terdapat
-75-
di dalam ekor berdegenerasi di dalam sitoplasma yang kemudian sitoplasma menyusut dan polar body terekstrusi. Baik pronuclei jantan dan betina terbentuk dan yang diakhiri dengan syngamy; penyatuan pronuclei membentuk sigot yang merupakan akhir dari fertilisasi.
Gambar 26. Rangkaian tahapan fertilisasi (sumber: http://www.tutorvista.com/content/ biology/biology-iv/reproduction-in-animals/fertilisation.php#)
-76-
Gambar 26. Fertilisasi (sumber: http://www.answers.com/topic/fertilization) Kebuntingan Kebuntingan merupakan periode yang dimulai dengan fertilisasi dan diakhiri dengan kelahiran. Rata-rata lama periode kebuntingan pada babi adalah 114 hari, domba 148 hari, kambing 149 hari, sapi 281 hari, dan kuda 337 hari. Lama kebuntingan pada induk yang mengandung anak jantan sedikit lebih panjang dibanding dengan mengandung anak betina. Demikian halnya dengan kembar, kebuntingan lebih sedikit pendek disbanding dengan tidak kembar. Selama kebuntingan awal, embrio melayang bebas pertama di dalam uviduct dan kemudian di dalam uterus. Nutrisi embrio berasal dari dalam sitoplasmanya dan dengan penyerapan dari susu uterus (uterine milk). Setelah plasentasi terjadi (embrio melekat pada uterus), embrio memperoleh makanan dan membuang produk buangan melalui darah -77-
induk. Plasentasi setelah fertilisasi terjadi sekitar 12 – 20 hari pada babi, 18 – 20 hari pada domba, 30 – 35 hari pada sapi, dan 50 – 60 hari pada kuda. Lama kebuntingan pada spesiae dan bangsa yang berbeda dapat dilihat pada tabel berikut. Bangsa
Rata-rata lama kebuntingan (hari)
Sapi Ayrshire
278
Guernsey
283
Jersey
279
Holstein
279
Brown Swiss
290
Angus
279
Hereford
284
Shorthorn
283
Brahman
293
Domba Hampshire
145
Southdown
145
Merino
151
Belgium
335
Morgan
342
Arabian
337
Kuda
Kambing
149
Babi Sumber: Bearden dan Fuquay, 1992
114
Terdapat tiga perbedaan dalam perkembangan konseptus yakni 1) cleavage, 2) diferensiasi, dan 3) pertumbuhan.
-78-
Cleavage: Ini diartikan sebagai proses pembelahan sel tanpa diikuti dengan pertumbuhan. Setelah fertilisasi, sigot akan membelah berkali-kali tanpa adanya peningkatan di dalam sitoplasma. Ukuran keseluruhan mungkin meningkat karena adanya absorpsi air namun materi selular total menurun. Cleavage pertama akan menghasilkan dua sel embrio yang diikuti dengan cleavage lainnya menjadi 4, 8, 16, 32 sel dan seterusnya. Ketika embrio dari oviduct menuju uterus, bola embrio 16 sampai 32 sel akan terkandung dalam zona pellucida, dimana struktur ini disebut sebagai morula yang beberapa hari kemudian membentuk blastosis yakni struktur rongga yang berisi cairan (blastocoele) yang dikelilingi dengan lapisan sel. Setelah periode cleavage, pembelahan sel akan terus berlanjut dan diikuti dengan pertumbuhan. Pola perkembangan selama cleavage umumnya sama untuk semua spesies, dimana periode ini berlangsung dari fertilisasi kira-kira 12 hari pada sapi, 10 hari pada domba, dan 6 hari pada babi. Untuk perkembangan yang cepat, dapat dilihat pada ternak yang mempunyai lama kebuntingan yang pendek. Perbandingan dari ovulasi selama cleavage pada spesies yang berbeda disajikan pada tabel di bawah ini.
Spesies
1 sel (jam)
8 sel
Blastosis
Masuk ke uterus
Sapi
24
3
Hari 8
Kuda
24
3
6
5
Domba
24
2,5
7
3
2
6
2
Babi 14-16 Sumber: Bearden dan Fuquay, 1992
3,5
Diferensiasi: Periode embrio yang sesungguhnya adalah pada saat diferensiasi, dimana periode ini ketika sel-sel dalam proses pembentukan spesifik organ di dalam tubuh embrio, termasuk didalamnya pembentukan lapisan-lapisan germinal (germ layers),
-79-
membran luar embrio (extraembryonic membrane) dan organ. Peristiwa pertama pada permulaan diferensiasi adalah penampakan lapisan germinal yakni endoderm, mesoderm, dan ectoderm yang merupakan cikal bakal organ yang akan dibentuk seperti pada tabel berikut. Lapisan Germinal
Organ
Ectoderm
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sisitim saraf pusat Organ perasa Kelenjar susu Kelenjar keringat Kulit Rambut Kuku
Mesoderm
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sistim sirkulasi Sistim pertulangan Otot Sistim reproduksi (jantan dan betina) Ginjal Saluran urinasi (kencing)
Endoderm
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sistim pencernaan Hati Paru-paru Pankreas Kelenjar tiroid Kelenjar lainnya
Sumber: Bearden dan Fuquay, 1992 Setelah penampakan lapisan germinal, pembentukan membran luar embrionik dimulai yakni amnion dan allanto-chorion serta kantong kuning telur (yolk sac) yang dilihat pada awal diferensiasi dan akan menghilang menjelang akhir tahap perkembangan ini. Amnion membentuk trophoderm (lapisan luar yang terbentuk dari penggabungan antara ectoderm dan mesoderm). Amnion ini berisi cairan yang memungkinkan perlindungan dan perkembangan embrio. Amnion ini dapat dipalpasi melalui rektum antara 30 sampai 45 hari kebuntingan. Allanto-chorion; bagian luar dari membran embrionik yang terbentuk dari -80-
penyatuan antara chorion dan allantois melekat pada endometrium selama plasentasi membentuk plasenta, yang menyebabkan oksigen dan makanan dari darah induk melalui plasenta masuk ke dalam sirkulasi embrio yang mengakibatkan perkembangan embrio. Hasil buangan termasuk ammonia dan karbondioksida dari embrio melalui plasenta ke dalam darah induk untuk eliminasi di dalam sistim induk. Setelah proses diferensiasi ini selesai, maka dilanjutkan dengan pembentukan dan perkembangan organ, dimana produk dari konseptus ini disebut fetus. Bagian kebuntingan antara selesainya proses diferensiasi dan kelahiran diistilahkan dengan periode fetus. Sebagai contoh periode fetus pada sapi, pola-pola pertumbuhan sangat menarik. Jika pertumbuhan diekspresikan sebagai perubahan ukuran pada periode tertentu, tingkat pertumbuhan fetus untuk 2 sampai 3 bulan meningkat, dan kemudian menurun secara perlahan pada sisa waktu kebuntingan. Fetus antara 61 sampai 90 hari pada periode kebuntingan berat rata-rata 72,5 gram, dibandingkan 5,9 gram pada periode kebuntingan antara 31 sampai 60 hari; pertumbuhan ini melebihi 1100%. Ketika fetus antara 241 sampai 270 hari, beratnya rata-rata 28,6 kg meningkat secara relatif hanya 62% dari 17,7 kg pada umur kebuntingan antara 211 sampai 240 hari. Pola yang sama dapat dilihat pada domba dengan tingkat pertumbuhan relatif lambat pada akhir kebuntingan. Tabel dibawah ini sebagai contoh perubahan berat uterus sapid an isinya selama kebuntingan.
-81-
Tahapan kebuntingan Hari 0-30 31-60 61-90 91-120 121-150 151-180 181-210 211-240 241-270 271-300
Berat uterus dan isinya Kg 0,9 1,6 2,3 4,0 10,1 14,6 23,8 37,4 53,8 67,8
Embrio atau fetus Gram 0,5 5,9 72,6 531,4 Kg 1,6 3,8 9,5 17,7 28,6 39,9
Cairan amnion Gram 181,6 590,2 1600,0 Kg 5,0 5,5 6,4 10,0 11,8 15,4
Fetal membran Gram 4,5 49,5 149,8 258,8 Kg 0,7 1,3 2,5 2,4 3,4 3,8
PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui 1) proses ovulasi, fertilisasi dan kebuntingan serta mekanisme yang mengaturnya 2) dapat membedakan periode-periode dalam satu kebuntingan. Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Jelaskan proses terjadinya ovulasi pada ternak sapi dengan menjelaskan keterlibatan hormon yang mengatur. 2. Sebutkan dan jelaskan perbedaan periode-periode kebuntingan. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo.
-82-
BAB 8 KELAHIRAN DAN MENYUSUI PENDAHULUAN Kelahiran merupakan proses melahirkan yang dibagi dalam tiga tahap, yang diawali dengan dilatasi/pelebaran serviks bersamaan dengan kontraksi uterus dan diakhiri dengan pengeluaran fetus serta membran plasenta. Segera setelah kelahiran, diikuti dengan laktasi untuk proses menyusui. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mahasiswa mengetahui tahapan dalam proses kelahiran dan menyusui serta keterlibatan aspek lain di dalamnya. Sasaran pembelajaran adalah menjelaskan proses kelahiran berikut tahapannya serta memahami mekanisme yang terjadi selama proses menyusui. . Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, dan pemberian tugas. URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Kelahiran Kelahiran dapat dibagi dalam tiga tahapan; dimana tahapan pertama kelahiran adalah berakhirnya pelebaran serviks dan fetus masuk ke dalam serviks. Tahap ini biasanya berlangsung dari 2 sampai 6 jam pada sapi dan domba. Dibutuhkan waktu yang lebih pada babi dan lebih sedikit pada kuda. Tahapan kedua adalah pengeluaran fetus. Tahap kedua ini membutuhkan lebih sedikit waktu disbanding dengan pada tahap pertama pada semua spesies, dimana biasanya berlangsung tidak lebih dari 2 jam pada sapi dan domba. Waktu yang sama dibutuhkan pada babi, namun variasi waktu bisa tejadi dengan perbedaan litter -83-
size (banyaknya jumlah anak) Pada kuda, tahap ini lebih cepat dan berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit. Tahap ketiga adalah pengeluaran plasenta. Tahap ini dapat terjadi sekitar 30 menit setelah pengeluaran fetus, namun lebih cenderung terjadi antara 3 sampai 5 jam kemudian. Proses kelahiran ini diatur oleh sistim endokrin. Tabel di bawah ini menunjukkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk tiga tahapan kelahiran pada spesies yang berbeda.
Ternak
Tahapan (jam) Pertama
Kedua
Ketiga
Sapi
2-6
0,5 - 2
4-5
Domba
2-6
0,5 - 2
0,5 - 8
Babi
2 - 12
1-4
1-4
0,15 - 0,5
0,5 - 3
Kuda 1-4 Sumber: Bearden dan Fuquay, 1992
Mendekati kelahiran, tanda-tanda dapat dilihat pada akhir kebuntingan. Untuk ternak monotokus seperti domba, kambing, kuda dan sapi tanda-tanda pertama mendekati klahiran adalah perputaran fetus ke arah posisi kelahiran. Kebanyakan pada kebuntingan spesies ini, kaki depan fetus mengarah ke atas yang merupakan posisi yang mudah bagi fetus untuk keluar, kecuali pada babi baik posisi depan maupun belakang mempunyai kemudahan yang sama dalam kelahiran. Pertumbuhan pada kelenjar susu dapat dilihat pada akhir kebuntingan yang disebabkan oleh kerja sinergis antara estrogen dan progesteron yang menstimulasi perkembangan saluran dan jaringan sekresi pada kelenjar susu. Mendekati kelahiran, kelenjar susu membesar yang berisi susu, dimana sintesis susu ini merupakan fungsi prolaktin dalam senergitasnya dengan hormon-hormon lain. Perubahan lain adalah ketika -84-
mendekati kelahiran, relaksin bersinergi dengan estrogen yang menyebabkan pelebaran pelvis, memperbesar saluran kelahiran untuk memfasilitasi jalannya fetus keluar.Vulva akan kelihatan lembut dan membengkak dan rangkaian mucus/lendir dapat dilihat dari vulva sebagai pengaruh estrogen yang menyebabkan sel-sel epitel serviks mengeluarkan lender. Sekitar dua hari sebelum kelahiran, perubahan cepat pada level hormon terjadi pada fetus dan induk seperti pada Gambar 27.
Gambar 27. Perubahan relatif konsentrasi hormon mendekati waktu kelahiran (Bearden and Fuquay, 1992).
-85-
a. Kortisol fetus dilepaskan, menyebabkan peningkatan konsentrasi estrogen (semua spesies) dan rendah konsentrasi progesteron (domba). b. Estrogen menstimulir sintesis dan pelepasan PGF2α dari endometrium yang menurunkan sekresi progesteron pada babi, kambing dan sapi. c. Relaksin pada babi meningkat tajam, dan mencapai puncak sekitar 14 jam sebelum kelahiran, dan kemudian turun secara drastis. d. Meningkatnnya pelepasan oksitosin yang cenderung parallel dengan PGF2α dan mencapai puncak pada pengeluaran fetus. e. Lonjakan kortisol dan prolaktin pada induk tidak berperan secara langsung pada proses kelahiran.
Gambar 28. Posisi normal pada ternak sapi yang diasumsikan mendekati waktu kelahiran (Bearden and Fuquay, 1992). -86-
Gambar 29. Posisi abnormal yang dapat dilihat pada ternak sapi (Bearden and Fuquay, 1992).
-87-
Menyusui Laktasi merupakan produksi susu, dimana fungsi utama laktasi ini adalah menyediakan kebutuhan makanan pada anak yang dilahirkan pada kebanyakan spesies. Fungsi kedua dari laktasi ini adalah menyediakan antibodi terhadap anak yang baru dilahirkan melalui kolostrum dan dapat diabsorpsi oleh anak selama beberapa jam setelah kelahiran. Antibodi ini merupakan kekebalan awal terhadap penyakit bagi anak. Perkembangan kelenjar susu: Perkembangan kelenjar mammae/susu dapat dibagi ke dalam empat fase, yakni perkembangan embrio, perkembangan fetus, perkembangan periode pertumbuhan postnatal, dan perkembangan selama kebuntingan. Pada bagian ini hanya akan dibahas dua bagian terakhir dari perkembangan kelenjar susu tersebut di atas. Setelah kelahiran, perkembangan mammae akan berlanjut pada sapi dara yang tidak bunting sampai sekitar umur 30 bulan. Perkembangan utama adalah penggantian jaringan lemak di dalam kelenjar mammae dengan jaringan duktal, yang lonjakan perkembangannya sekitar tiga bulan sebelum pubertas dan berlanjut beberapa bulan setelah pubertas. Pertumbuhan duktal yang terjadi pada sapi dara yang tidak bunting sebagai akibat lonjakan siklus estrogen yang bermula pada beberapa bulan sebelum pubertas dan berlanjut dengan siklus berahi setelah pubertas. Ketika terjadi kebuntingan, pertumbuhan mammae berlanjut selama kebuntingan. Estrogen merupakan faktor dominan yang menstimulasi perkembangan saluran mammae. Progesteron bersinergi dengan estrogen dan nampaknya merupakan faktor dominan dalam menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan alveolar. Hormon lain yang bersinergi dengan estrogen dan progesteron dalam mempersiapkan jaringan mammae untuk -88-
sekresi/pengeluaran air susu adalah prolactin growth hormone, insulin, hormon tiroid, dan kortisol. Laktogen plasenta yang diproduksi oleh plasenta dan telah diidentifikasi pada beberapa mamalia menstimulasi perkembangan jaringan mammae. Perlu dicatat bahwa ketika jaringan mammae mempersiapkan sintesis susu selama kebuntingan, sekresi susu tetap dihambat hingga saat sebelum kelahiran. Konsentrasi progesteron yang tinggi selama kebuntingan mungkin menjadi penyebab. Sekresi air susu: Perubahan level hormon menjelang akhir kebuntingan tidak hanya menginisiasi kelahiran tetapi juga menginisiasi produksi susu. Prolaktin merupakan hormon dominan yang menginisiasi laktasi pada kebanyakan spesies. Stimulus/rangsangan menyusu serta stimulus lainnya akan memicu pelepasan prolaktin. Rangsangan menyusu bersamaan dengan pengeluaran air susu mungkin lebih penting dalam mempertahankan laktasi daripada stimulus lain. Sedangkan prolaktin dominan pada laktasi, prolaktin ini berinteraksi dengan hormon lain untuk mencapai pengaruhnya. Hormon yang bersinergi dengan prolaktin dalam menstimulasi laktasi adalah kortisol, hormoon pertumbuhan (somatotropin), hormon tiroid, dan insulin. Pada ternak sapi, hormon pertumbuhan lebih dominan daripada prolaktindalam mempertahankan laktasi setelah puncak produksi tercapai, sekitar dua bulan laktasi. Pengeluaran air susu: Istilah ini biasa disebut dengan “letdown” air susu, yang secara fisiologis merupakan fungsi yang terpisah dari sintesis susu. Pengeluaran air susu dipicu oleh stimulasi saraf sensory di dalam putting melalui baik oleh menyusu atau dengan pengurutan puting. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan oksitosindari pituitari posterior dan oksitosin mencapai kelenjar mammae melalui sirkulasi arteri yang menstimulir sel-sel -89-
myoepitel di sekitar alveoli dan saluran kecil yang memaksa air susu turun ke dalam saluran besar, kelenjar cisterns, dan puting dimana tempat dilepaskan. Sedangkan stimulasi saraf sensory di dalam puting akan memicu refleks pengeluaran air susu.
Gambar 30. Refleks neurohormonal pengeluaran air susu (Bearden and Fuquay, 1992).
Stimulus (A) pada sapi yang sedang laktasi menyebabkan impuls saraf (B) melalui saraf inguinal (1) ke spinal cord (2) dan otak (3). Pada otak menyebabkan pelepasan oksitosin (D) dari pituitari posterior (C). Oksitosin dilepaskan ke dalam cabang-cabang vena jugularis (4) ke jantung (5) dan kemudian ditransportasikan ke seluruh bagian tubuh melalui darah arteri. Untuk mencapai ambing oksitosin meninggalkan jantung melalui aorta (6) dan masuk ke dalam ambing melalui arteri external pudic (7). Di dalam ambing, -90-
oksitosin menyebabkan sel-sel myoepitel berkontraksi mengakibatkan pengeluaran susu dari alveoli. PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui proses dan tahapan kelahiran serta hal-hal yang perlu diperhatikan selama masa menyusui. Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Jelaskan proses dan tahapan terjadinya kelahiran pada ternak sapi dengan menjelaskan keterlibatan hormon yang mengatur. 2. Sebutkan dan jelaskan mekanisme terjadinya laktasi dan menyusui. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo.
-91-
BAB 9 EFISIENSI REPRODUKSI PENDAHULUAN Pada bagian ini, pembahasan akan mencakup mengenai efisiensi reproduksi, dimana proses reproduksi yang terjadi dapat dievaluasi di dalam bagian ini. Hal ini berarti bahwa apakah pemeliharaan ternak itu efisien dalam hal reproduksinya atau tidak. Sebagai contoh, pada peternakan sapi terdapat dua sektor produksi ternak sapi yakni produksi sapi perah dan produksi sapi pedaging. Pada ternak sapi perah, tujuan utamanya adalah memproduksi susu seekonomis mungkin, dimana reproduksi berperan dalam menghasilkan anak per satuan waktu untuk mempertahankan laktasi pada sapi perah, disamping fungsi lain sebagai pengganti induk dari kelahiran anak sapi betina. Sedangkan kelahiran anak jantan pada usaha peternakan sapi perah dianggap merupakan byproduct pada usaha ini untuk produksi daging. Pada sapi pedaging untuk aspek reproduksi, tujuan utamanya adalah bagaimana menghasilkan anak semaksimal mungkin per satuan waktu, dan dipelihara seefisien mungkin dalam meningkatkan pertambahan berat badan sampai pada waktu tertentu dengan hasil produksi daging yang maksimal. Oleh karena itu, sasaran pembelajaran pada pokok bahasan ini adalah memilah upaya-upaya yang tepat untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak melalui pembelajaran tentang peningkatan efisiensi reproduksi melalui perbaikan manajemen pemeliharaan, manajemen pakan, dan manajemen kesehatan serta manajemen perkawinan. Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, dan pemberian tugas. -92-
URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Pentingnya Efisiensi Reproduksi Reproduksi merupakan faktor vital dalam menentukan efisiensi produksi ternak. Umumnya, induk yang paling baik adalah induk yang dapat melahirkan sekali dalam setahun. Namun demikian, reproduksi ternak sapi kurang efisien dibandingkan dengan spesies lain seperti babi dan domba, yang juga berarti bahwa kemajuan genetik ternak sapi lebih lambat. Pada ternak sapi perah, tujuan utamanya adalah bagaimana menghasilkan susu sebanyak mungkin dan sering mengesampingkan faktor lain. Namun demikian, perlu dicatat bahwa induk sapi perah hanya akan mulai laktasi secara efektif setelah melahirkan dan produksi susu akan berhenti pada waktu tertentu apabila tidak melahirkan kembali. Anak sapi yang dilahirkan oleh induk sapi perah sangat penting untuk pengganti bagi kelahiran betina dan untuk produksi daging pada kelahiran anak jantan. Oleh karena itu, proses reproduksi menjadi sangat penting pada ternak sapi. Sehingga dengan maksimumnya efisiensi reproduksi maka hal tersebut menentukan profitabilitas usaha peternakan sapi.
Pengukuran Efisiensi Reproduksi Pengukuran efisiensi reproduksi dapat digambarkan sebagai ukuran kemampuan ternak untuk menjadi bunting dan memproduksi anak. Dengan kata lain bahwa ukuran efisiensi reproduksi tergantung pada fertilitas ternak. Secara biologis tingkat kelahiran barangkali yang paling tepat dalam mengukur fertilitas. Tingkat kelahiran ini didefinisikan sebagai jumlah ternak yang lahir per 100 perkawinan. Fertilitas biasanya dinilai pada
-93-
tingkat ekonomis melalui calcing interval (jarak kelahiran) yakni periode waktu antara dua kelahiran. Jarak kelahiran dapat dibagi dalam dua komponen: 1. Interval/jarak antara melahirkan dan kembali konsepsi (bunting) 2. Periode kebuntingan Jarak antara melahirkan dan kembali bunting merupakan waktu dari melahirkan sampai tercapainya kebuntingan berikutnya. Jarak ini merupakan penentu utama dari jarak kelahiran dan selanjutnya merupakan parameter yang biasanya dimanipulasi untuk mencapai target jarak kelahiran. Sedangkan periode kebuntingan, normalnya sekitar 280 – 285 hari pada ternak sapi, dimana variasi ini disebabkan oleh perbedaan pengaruh genetik dari induk dan pejantan. Periode ini dapat diperpendek pada tingkat terbatas hanya dengan induksi kelahiran (artificial induction of parturition).
Gambar 31. Hubungan antara konsentrasi progesteron dengan jarak kelahiran serta komponennya (Peter and Ball, 1987). -94-
Untuk mencapai jarak kelahiran satu tahun atau 365 hari, maka jarak antara melahirkan dan kembali bunting harus tidak lebih dari 80 – 85 hari. Oleh karena itu, untuk kegunaan recording/pencatatan penampilan reproduksi maka jarak antara melahirkan dan kembali bunting sering dibagi lagi ke dalam dua komponen yakni: 1. Jarak antara melahirkan dan perkawinan pertama 2. Jarak antara perkawinan pertama dan kembali bunting Jarak antara melahirkan dan perkawinan pertama tergantung pada a) kembalinya siklus ovarium setelah melahirkan, b) munculnya dan deteksi berahi, c) pernencanaan waktu perkawinan pertama apabila lebih lambat dari (a) dan (b). Sedangkan jarak antara perkawinan pertama dan kembali bunting tergantung pada a) kemampuan ternak untuk bunting dan mempertahankan kebuntingan setelah perkawinan, dan b) berlanjutnya siklus ovarium dan ketepatan deteksi berahi pada ternak yang bunting pada perkawinan sebelumnya. Untuk menentukan pengaruh manajemen terhadap efisiensi reproduksi, dibutuhkan beberapa petunjuk yang tetap untuk mengukur efisiensi reproduksi. Ukuran-ukran ini adalah sebagai berikut: 1. Services per conception: atau jumlah perkawinan per kebuntingan yang ditentukan dengan membagi jumlah perkawinan dengan jumlah kebuntingan. 2. Calving rate: atau angka kebuntingan dihitung dengan membagi total jumlah ternak yang dikawinkan dari jumlah ternak yang melahirkan. Hal ini juga diekspresikan sebagai persen calf crop.
-95-
3. Nonreturn rates: atau tidak kembali berahi adalah persentase ternak betina yang tidak kembali berahi atau dikawinkan kembali pada jarak waktu yang ditentukan atau pada siklus berahi berikutnya. Namun demikian, jarak waktu yang umum digunakan adalah 28 sampai 35 hari, 60 sampai 90 hari, dan 150 sampai 180 hari. Nonreturn rates selalu lebih tinggi dibandingkan dengan angka kebuntingan yang sebenarnya karena beberapa ternak yang tidak bunting kembali dikawinkan.
Perbaikan Efisiensi Reproduksi Ternak Untuk perbaikan dan peningkatan efisiensi reproduksi pada ternak, setidaknya beberapa manajemen penting yang perlu dilakukan seperti perbaikan manajemen pemeliharaan, manajemen pakan, dan manajemen kesehatan serta manajemen perkawinan. Sinergitas beberapa manajemen ini dapat memperbaiki dan meningkatkan efisiensi reproduksi. PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui pentingnya efisiensi reproduksi pada ternak, dan mampu menganalisis peningkatan efisiensi reproduksi melalui perbaikan manajemen pemeliharaan, manajemen pakan, dan manajemen kesehatan serta manajemen perkawinan.
-96-
Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Jelaskan pentingnya efisiensi reproduksi pada ternak sapi, baik ternak sapi perah maupun ternak sapi pedaging. 2. Sebutkan dan jelaskan pengukuran efisiensi reproduksi. 3. Jelaskan pendapat anda cara memperbaiki efisiensi reproduksi ternak sapi dengan kondisi anestrus ternak yang terlalu panjang. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo. 3. Peters AR and Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths & Co. (Publishers) Ltd, London, Boston, Durban, Singapore, Sydney, Toronto, Wellington.
-97-
BAB 10 TEKNOLOGI REPRODUKSI PENDAHULUAN Pada bagian ini, pembahasan hanya akan mencakup mengenai perbaikan efisiensi reproduksi dengan menggunakan salah satu teknologi reproduksi yakni dengan inseminasi buatan (IB). Sedangkan teknologi reproduksi yang lain hanya akan dibahas sedikit dan terbatas pada bab ini. Oleh karena itu, teknologi reproduksi IB ini akan dijelaskan serta bagaimana teknologi ini dapat meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak. Oleh karena itu, sasaran pembelajaran pada pokok bahasan ini adalah menjelaskan tentang manfaat dan kelemahan IB, prosedur IB, dan pengawetan semen, serta kaitannya dengan peningkatan efisiensi reproduksi.
Untuk mencapai sasaran pembelajaran pada
materi ini, maka strategi pembelajaran yang diterapkan adalah melalui kuliah interaktif, belajar mandiri, collaborative learning, dan pemberian tugas. URAIAN BAHAN PEMBELAJARAN Teknologi Reproduksi Bioteknologi reproduksi dimaksudkan untuk digunakan digunakan secara rutin untuk memperpendek interval generasi dan menyebarkan materi genetik di antara populasi ternak. Untuk mencapai tujuan ini, teknologi reproduksi telah dikembangkan dari generasi ke generasi selama bertahun-tahun, yaitu inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), manipulasi fertilisasi dan produksi embrio in vitro (IVF) dan teknik multiplikasi (kloning) untuk aplikasi transgenesis, dan ini bersamaan dengan tehnik pemisahan spermatozoa. Teknologi reproduksi yang secara genetik relevan sejak setengah abad lalu dengan tiga -98-
generasi pertama, yakni inseminasi buatan, kriopreservasi gamet atau embrio, induksi multiovulasi berlipat, ultrasonografi, transfer embrio dan in vitro fertilisasi. Teknologi generasi ketiga dan keempat seperti sexing semen atau embrio, kloning, transgenesis, stem sel, diagnosis molekuler yang berpotensi untuk meningkatkan pengaruh ternak unggul terhadap produksi, namun aplikasi secara komersial masih terbatas. Generasi Pertama: Inseminasi buatan (IB) merupakan generasi pertama teknologi reproduksi yang telah dikembangkan dan digunakan lebih dari 200 tahun yang lalu. Sebagai teknologi modern, IB dengan semen segar atau semen beku merupakan teknologi reproduksi yang paling sukses dan efisien dalam produksi ternak selama enam abad. Penggunaan teknologi IB berdampak pada program perbaikan genetik di Negara-negara maju dengan pencapaian tingkat genetik pertahun sebesar 1,0 sampai 1,5% pada sapi perah. Sejalan dengan teknologi IB ini, teknik kriopreservasi semen (semen beku) yang membuat IB berkembang sebagai teknologi reproduksi juga berkembang dengan pesatnya sehingga penggunaan pejantan unggul dengan genetik yang diharapkan dapat digunakan secara luas walaupun dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan penggunaan Semen beku mendorong industri susu, untuk membuat IB lebih sederhana, ekonomis, dan sukses. Sebagai contoh, lebih dari 60 persen dari sapi perah di Amerika menggunakan teknologi IB. Sebaliknya, karena sistem produksi secara ekstensif pada ternak sapi pedaging, maka IB hanya menyumbang kurang dari 5 persen ternak sapi pedaging yang diinseminasi. Sama halnya dengan IB, kriopreservasi embrio memungkinkan komersialisasi global ternak dengan genetik yang tinggi, sebagai embrio. Pembekuan embrio telah menjadi prosedur yang sukses pada sapi selama hampir tiga dekade dan menjadi penggunaan rutin di lapangan. Namun, in vitro-produksi (IVP) embrio sapi lebih sensitif terhadap kriopreservasi daripada -99-
dengan in vivo. Namun demikian, berbagai upaya telah difokuskan pada penyesuaian metode kriopreservasi dengan kebutuhan khusus dari embrio IVP, dengan prosedur vitrifikasi sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk kriopreservasi embrio IVP pada sapi daripada metode pembekuan lainnya. Untuk menerima teknologi IB, beberapa keuntungan/manfaat dan kekurangan dari teknologi ini adalah sebagai berikut: 1) keuntungannya: perbaikan genetik melalui evaluasi yang lebih akurat terhadap penggunaan pejantan superior, dan bahkan dengan teknik penyimpanan semen, pejantan superior tersebut masih dapat digunakan walaupun ternak pejantan tersebut telah mati, kontrol penyakit, perbaikan pencatatan, lebih ekonomis dibandingkan dengan perkawinan secara alami karena tidak perlu memelihara pejantan yang mempunyai sifat genetik yang diharapkan, serta aman terhadap pejantan yang berbahaya khususnya pada sapi perah. Sedangkan kekurangan/kerugiannya adalah sangat sedikit namun termasuk didalamnya penggunaan waktu dan tenaga untuk deteksi berahi, fasilitas pelaksanaan inseminasi, training inseminator. Generasi Kedua: Pada generasi kedua teknologi reproduksi, telah dikembangkan multipelovulasi dan embrio transfer (MOET). Embrio transfer telah dikembangkan sekitar empat abad yang lalu dan merupakan bioteknologi reproduksi yang lebih maju daripada IB namun menggunakan prosedur IB dalam proses transfer embrio dan teknologi ini ditetapkan sebagai generasi kedua teknologi reproduksi. Generasi Ketiga: Generasi ketiga dari teknologi reproduksi yakni gamet dan embrio sexing, recovery oosit dan fertilisasi in vitro (IVF). Prosedur tambahan juga telah berkembang, seperti gamet intrafallopian transfer (GIFT), zigot intrafallopian transfer
-100-
(ZiFT), dan injeksi sperma intracytoplasmic (ICSI), tapi masih dengan aplikasi praktis yang terbatas. Teknologi IVF merupakan teknologi yang dikembangkan untuk menghasilkan embrio sepenuhnya di laboratorium. Generasi Keempat: Teknologi reproduksi generasi keempat mencakup penggunaan kloning embrio, transgenesis, stem sel, juga bidang molekular yang dapat membantu dalam seleksi dan pemahaman proses fisiologis dalam meningkatkan fertilitas. Kloning melalui transfer inti (Nuclear Transfer) telah dimulai pada ternak pertama (domba) pada tahun 1986 dengan menggunakan sel dari embrio dini. Kemudian, kelahiran dolly pada bulan Juli 1996 melalui transfer inti somatik-sel dewasa yang merupakan representasi jatuhnya sebuah dogma biologis yang penting, yaitu, bahwa sel-sel somatik tidak bisa diprogram dalam memungkinkan pengembangan individu baru. selanjutnya, kloning oleh transfer inti dari sel somatik dewasa, atau somatic cell nuclear transfer (SCNT), telah dikonfirmasi dalam peningkatan jumlah spesies hewan. Bahkan jika masih relatif tidak efisien, kloning oleh SCNT, bersama dengan IVF, juga telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan dan menghasilkan minat yang besar pada bidang yang terkait. Somatik-sel kloning dapat dilakukan untuk tujuan reproduksi, yakni untuk menghasilkan salinan genetik identik dari individu yang memasok sel donor, atau untuk tujuan terapeutik, yaitu untuk menghasilkan sel-sel atau jaringan untuk transplantasi kembali ke individu donor. Somatik-sel kloning berkembang pesat dan teknik bernilai untuk menyalin genotipe unggul dan untuk memproduksi atau menyalin hewan transgenik. Teknologi reproduksi berikutnya adalah stem sel embrio atau germinal sel embrio serta transgenik hewan.
-101-
PENUTUP Untuk mencapai kompetensi bahan ajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui perkembangan teknologi reproduksi serta pentingnya teknologi reproduksi ini dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak dalam mencapai efisiensi reproduksi pada ternak yang maksimal. Juga diharapkan mahasiswa mampu memilah teknologi reproduksi yang dapat digunakan pada kondisi peternakan tertentu. Soal-soal latihan sebagai penugasan 1. Jelaskan mamnfaat dan kerugian penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB). 2. Jelaskan perkembangan teknologi reproduksi khususnya pada ternak sapi. 3. Berikan
perbedaan
mendasar
terhadap
teknologi
reproduksi
yang
telah
dikembangkan. 4. Jelaskan pendapat anda mengenai teknologi yang tepat untuk digunakan dalam meningkatkan angka kelahiran pada ternak sapi di daerah saudara. Sumber Bacaan 1. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3 rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 2. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo. 3. Peters AR and Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths & Co. (Publishers) Ltd, London, Boston, Durban, Singapore, Sydney, Toronto, Wellington. 4. Bertolini M and Bertolini LR. 2009. Advances in reproductive technologies in cattle: from artificial insemination to cloning. Rev. Med. vet. Zoot., 56:184-194.
-102-
5. Rodriguez-Martinez H. 2011. Assisted reproductive techniques for cattle breeding in developing countries: a critical appraisal of their value and limitations. Department of Clinical and Experimental Medicine, Faculty of Health Sciences, Linköping University, SE-581 85 Linköping, Sweden, Swedish Links Indonesia Symposia 2010-2011-Chapter HRM-2011.
-103-
PENUTUP
Kemampuan hewan untuk mereproduksi secara efisien merupakan komponen integral dari usaha peternakan. Namun, ketidaksuburan merupakan masalah dalam semua sistem produksi ternak. Kegagalan reproduksi merupakan salah satu faktor yang paling penting yang membatasi produktivitas sistem produksi ternak dan kehilangan keuntungan setiap tahunnya. Tantangan utama yang dihadapi banyak produsen adalah bagaimana cara praktis, biaya-efektif untuk meningkatkan kinerja reproduksi tanpa mengorbankan produksi yang aman, daging berkualitas tinggi dan produk-produk susu. Tidak efisiennya reproduksi ternak dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk: siklus reproduksi apakah normal atau tidak, kegagalan munculnya berahi (estrus), kematian embrio dan janin dan kematian selama periode neonatal, kegagalan untuk mencapai pubertas pada usia optimal. Pengetahuan dasar yang mencakup hal tersebut di atas adalah proses reproduksi secara normal sehingga bisa dibandingkan dengan keadaan yang terjadi secara faktual. Deviasi yang terjadi antara normatif dengan faktual bisa dibandingkan melalui pengetahuan ilmu reproduksi. Oleh karena itu, buku ini telah memberikan gambaran dasar tentang ilmu reproduksi pada ternak yang memuat tentang proses reproduksi mulai dari proses perkembangan organ reproduksi serta mekanisme hormon yang mengikutinya, proses perkembangan gamet jantan dan betina, siklus reproduksi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan diakhiri dengan pengukuran efisiensi reproduksi sebagai pedoman suksesnya proses reproduksi. Teknologi reproduksi terkini juga dimasukkan sebagai bahan perbandingan terhadap perkembangan ilmu reproduksi dari waktu ke waktu. Namun demikian,
diharapkan
kepada
para
pembaca,
utamanya
para
mahasiswa
yang
memprogramkan mata kuliah ini untuk tetap mencari bahan bacaan yang terkait dengan buku bahan ajar ini sehingga dapat memperkaya dirinya dengan wawasan yang lebih luas tentang proses reproduksi khususnya pada ternak/hewan.
-104-
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2012. Animal reproduction: overview. United States Department of Agriculture. National Institute of Food and Agriculture. http://www. csrees.usda.gov/ProgViewOverview.cfm?prnum=18413. [Accessed on Nov 1, 2012] 2. Bearden HJ, Fuquay JW. 1992. Applied Animal Reproduction. 3rd Ed, Prentice Hall, Englewood Cliffs, Ney Jersey 07632. 3. Bertolini M and Bertolini LR. 2009. Advances in reproductive technologies in cattle: from artificial insemination to cloning. Rev. Med. vet. Zoot., 56:184-194. 4. DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: A reproductive management tool. Select Sires Inc. 11740 U.S. 42 North Plain City. 5. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th, Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Baltimore, New York, London Buenos Aires, Hongkong, Sidney, Tokyo . 6. Hutchinson JSM. 1993. Controlling Reproduction. Chapman & Hall, 2-6 Boundary Row, London SE1 8HN. 7. Peters AR, Ball PJH. 1987. Reproduction in Cattle. Butterworths. London, Boston,Durban, Singapore, Sidney, Toronto, wellington. 8. Roberts SJ. 2002. Veterinary Obstetrics and Genital Diseases. Second edition, Indian edition. CBS Publishers & Distributors, New Delhi, India. 9. Rodriguez-Martinez H. 2011. Assisted reproductive techniques for cattle breeding in developing countries: a critical appraisal of their value and limitations. Department of Clinical and Experimental Medicine, Faculty of Health Sciences, Linköping University, SE-581 85 Linköping, Sweden, Swedish Links Indonesia Symposia 2010-2011-Chapter HRM-2011.
-105-