Bicara
kebudayaan dan peradaban, para orang bijak pernah mengatakan bahwa kebudayaan merupakan salah satu “buku petunjuk” yang dapat mengarahkan manusia menjalani kehidupan sehari-harinya. Ketika sejak kita lahir, ayah dan ibu kita telah mengajar budaya kepada kita. Kita diajarkan bagaimana cara makan yang baik, memakai baju yang baik, cara berjalan yang baik, dan sebagainya. Semakin kita dewasa, semakin banyak nilai-nilai budaya yang kita terima dari orang tua kita. Di masyarakat, kita pun menerima berbagai macam aturan-aturan (baca: adat/budaya) yang berlaku di dalam masyarakat. Dalam konteks antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah laku. Dengan demikian, kebudayaan sebenarnya merupakan sentral dari aturan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Secara umum, kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1. Kebudayaan berwujud (kebudayaan materi), berupa benda-benda yang wujudnya paling kecil, seperti jarum, kacing baju, dan sebagainya sampai benda-benda besar seperti bangunan-bangunan dan sebagainya. 2. Kebudayan tak berwujud (kebudayaan nonmateri) berupa tradisi-tradisi, adat-istiadat dan sebagainya.
Budaya Masyarakat Aceh
Bab
1
Pengantar A. Latar Belakang Pada dasarnya kesadaran bahwa kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan di suatu masyarakat telah ada pada para pendiri negara ketika menyusun undangundang dasar. Oleh karena itu, kemudian kebudayaan diatur pula dalam UUD 1945. Amanah pelesatarian kebudayaan tersebut termaktub dalam pada UUD 1945 pasal 32 (penjelasan) yaitu kebudayaan daerah merupakan akar kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah adalah milik kebudayaan nasional yang perlu dilestarikan. Kebudayaan diperlukan suatu masyarakat, perlu dipelajari, diinventarisir dikaji, dan dilestarikan agar para generasi selanjutnya dapat mewarisi. Lebih-lebih pada era globalisasi dewasa ini yang setiap saat dapat mengancam nilai yang terkandung dalam kebudayaan kita sebagai akibat masuknya berbagai nilai budaya luar/asing yang belum tentu sesuai. Demikian pula masyarakat Aceh telah memandang pentingnya kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, adat-istiadat1 sudah menjadi salah satu wawasan 1
Adat-istiadat adalah aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah yang tertentu di
2
Budaya Masyarakat Aceh
pembangunan daerah sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Kehidupan Adat. Bagi masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (kini Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), adat-istiadat telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, perjuangan kemerdekaan dan kelangsungan pembangunan. Bahkan adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan agama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan “Hukom ngon Adat Hanjeuet cre Lagee zat Ngon Sifeuet”. Usaha pelestarian adat-istiadat pada tingkat propinsi makin diintensifkan. Dengan pertimbangan tersebut Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh melahirkan Perda No. 2 tahun 1990 yaitu peraturan daerah yang mengatur pembinaan dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan masyarakat, serta lembaga adat di Daerah Istimewa Aceh. Kemudian Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Perda ini perlu ditindaklanjuti oleh semua komponen masyarakat dan diindahkan oleh semua daerah kabupaten dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu caranya adalah dengan melakukan inventarisasi dan Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi aturan hukum yang mengikat, yang kemudian disebut adat pesta atau upacara yang merayakan adanya peralihan tersebut (Syadily, 1991: 76).
3
Budaya Masyarakat Aceh
kemudian mengkaji secara cermat melalui pendekatan ilmiah dan penelitian-penelitian. B. Tujuan Penulisan Secara umum, penulisan kebudayaan pada masyarakat Aceh, khusus etnis Aceh2, maksudkan agar dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam urusan pemerintahan untuk memahami hal-ikhwal sosial dan kultural masyarakat. Hal ini tentunya sangat berguna dalam usahanya menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan pembangunan yang berwawasan budaya di Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi). Mereka telah eksis semenjak Aceh masih sebagai sebuah kerajaan. Di antara ke delapan etnis ini, etnis Aceh adalah yang paling dominan dan mendiami hampir seluruh daerah tingkat II di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Namun wilayah atau daerah yang paling banyak didiami etnis Aceh adalah Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Barat dan sebagian Kabupaten Aceh Timur (di sini juga didiami oleh etnis Tamiang, sebagian Kabupaten Aceh Selatan (disini juga didiami oleh etnis Aneuk Jamee dan Kluet), Kota Banda Aceh, dan Kota Sabang. Sementara di Kabupaten Aceh Tengah didominasi oleh etnis Gayo, di Kabupaten Aceh Tenggara oleh etnis Alas dan Gayo, di Kabupaten Singkil oleh etnis Singkil, dan Kabupaten Simeulue oleh etnis Simeulue. Buku ini menitikberatkan kepada bahasan tentang etnis Aceh. 2
4
Budaya Masyarakat Aceh
No. 44 tahun 1999. Pengenalan yang benar terhadap halikhwal kebudayaan masyarakat Aceh dapat diharapkan dapat memberi inspirasi bagi perumus konsep pembangunan dalam menentukan arah dan metode pembangunan di Nanggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya, pengkajian kebudayaan masyarakat Aceh yang akan dapat memperkaya kebudayaan nasional di Nusantara. Selain itu, penulisan kebudayaan pada masyarakat etnis Aceh bertujuan untuk mengumpulkan segala jenis dan bentuk kebudayaan yang hidup dan berkembang serta masih digunakan dalam masyarakat Aceh. Selain itu, juga untuk menyusun suatu laporan berupa dokumentasi dan informasi tentang kebudayaan masih digunakan di Nanggroe Aceh Darussalam. C. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan buku tentang budaya masyarakat Aceh adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis. Sebagai sebuah hasil penelitian, penulis menggunakan metodologi penelitian yang bersifat antropologis. Adapun metode yang digunakan dalam melakukan penelitian mengenai kebudayaan pada masyarakat Aceh adalah metode deskriptif kualitatif. Disebut deskriptif karena penelitian ini bertujuan memaparkan dan mendeskripsikan segala macam bentuk jenis adat-istiadat yang masih dilaksanakan dan kemudian menganalisiskannya secara riel dan objektif. Selanjutnya, melakukan interpretasi/penafsiran dan pemaknaan. Disebut kualitatif karena pengumpulan data dilakukan dalam situasi yang wajar alami (apa adanya). Peneliti sebagai instrumen penelitian.
5
Budaya Masyarakat Aceh
Pemaknaan dilakukan sesuai dengan pandangan masyarakat dan peneliti melakukan teknik snow ball (wawancara beruntun). Namun di sini pengumpulan data tidak terlepas dari empat kategori yaitu observasi, wawancara, studi kepustakaan, dokumen, dan perekaman. Oleh karena itu, pengumpulan data tentang hal ikhwal kebudayaan masyarakat Aceh digunakan teknik tersebut di atas. Namun teknik pengumpulan data ini tentunya dapat dikembangkan saat penelitian lapangan berlangsung. Hal ikhwal kebudayaan masyarakat Aceh yang diteliti adalah kebudayaan yang hidup berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, populasi penelitian ini adalah masyarakat. Walaupun kebudayaan itu dimiliki masyarakat, tetapi yang memahami hal ikhwal kebudayaan secara konsepsional adalah orang tertentu dalam masyarakat, di antaranya tokoh masyarakat, tuha adat, keujrun blang, cerdikpandai, dan alim ulama. Untuk itu, mereka inilah yang dijadikan responden penelitian, keperluan dokumentasi bila memungkinkan diperlukan data mengenai praktik adat dalam masyarakat. Karena itu, masyarakat yang sedang melakukan praktik kebudayaan juga akan dijadikan sumber data penelitian ini, sementara yang menjadi sampel penelitian akan dipilih mereka yang dianggap cukup representatif untuk hal ini.
6
Budaya Masyarakat Aceh
Sebagai sebuah entitas sosial budaya tersendiri di Indonesia, etnis Aceh memiliki wilayah dan kehidupan sosial budaya yang berbeda dengan etnis lain. Pada bab 2 ini pembaca dihantarkan pada pemahaman tentang kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh yang menyangkut aspek tempat tinggal, sejarah keberadaan, mata pencaharian, dan struktur birokrasi serta kekuasaan dalam masyarakat.
7
Budaya Masyarakat Aceh
Bab
2
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh A.
Latar Belakang Daerah
Masyarakat
Aceh tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam3. Daerah ini terletak di bagian utara Pulau Sumatra dan merupakan kawasan paling barat dari wilayah Nusantara. Secara geografis membentang dari arah barat laut ke tenggara pada posisi 20°- 6° Lintang Utara dan 95°- 98° Bujur Timur. Adapun batas-batasnya sebagai berikut sebelah utara dengan Laut Andaman dan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Propinsi Sumatra Utara, sebelah barat dengan Samudra Indonesia dan sebelah timur dengan Selat Malaka dan Propinsi Sumatra Utara. Berdasarkan posisi geografisnya ini, jelas kelihatan bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di pintu gerbang masuk wilayah Indonesia bagian barat. Dengan demikian, sangat strategis, baik dari segi kemiliteran maupun dari segi perekonomian. Luas wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah 57.365,57 km² atau 2,88 persen dari luas negara 3
Penyebutan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baru dilaksanakan pada tahun 2001 (lihat Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), sebelumnya disebut sebagai Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Oleh karena itu, penulisan nama provinsi ini disesuaikan dengan konteks tahunnya.
8
Budaya Masyarakat Aceh
Republik Indonesia. Secara administratif pemerintahan, luas ini dibagi dalam 20 Daerah Tingkat II, yaitu 16 Kabupaten dan 4 kota. Keenam belas kabupaten itu adalah Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Bireun, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Simeulu, Kabupaten Gayo Lues, dan Kabupaten Aceh Selatan. Empat kota adalah Kota Banda Aceh (ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Kota Sabang, Kota Lhokseumawe, dan Kota Langsa. Keseluruhan daerah ini terdiri dari 139 buah Kecamatan yang terbagi dalam 591 buah mukim dan 5.463 buah desa. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah awal dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan yang membentang di bagian tengah Pulau Sumatra dari arah barat laut ke tenggara. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam keadaan lereng pegunungan tersebut, sangat bervariasi dari landai sampai curam. Wilayah yang memiliki kelerengan lebih dari 40 persen diperkirakan luasnya mencapai 38,1 persen dari luas wilayah kelerengan antara 15-40 persen sekitar 25,8 persen dari luas wilayah dan kelerengan di bawah 15 persen tercatat seluas 36,1 persen dari luas wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hamparan dataran rendah yang tidak terlalu luas, terdapat di wilayah pesisir timur, utara dan barat serta di daerah-daerah muara sungai. Pada bentangan pegunungan Bukit Barisan tersebut, terdapat kurang lebih 39 buah puncak atau gunung. Di bagian utara terdapat Gunung Seulawah Agam (1.806 m). Gunung-
9
Budaya Masyarakat Aceh
gunung lainnya adalah Gunung Peut Sagoe (2.780 m), Gunung Abong-Abong (2.985 m) dan Gunung Lembu (3.044 m) yang terletak di bagian tengah. Sebelah barat, menjulang Gunung Leuser (3.381 m). Gunung ini adalah gunung tertinggi di Propinsi Aceh. Dekat perbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara terdapat Gunung Ucap Malu (3.012 m). Sungai-sungai yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilihat dari sudut muaranya dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sungai-sungai yang bermuara ke Samudra Indonesia dan sungai-sungai yang bermuara ke Laut Andaman dan Selat Malaka. Sungai-sungai yang bermuara ke Samudra Indonesia adalah Krueng (sungai) Tuenom, Krueng Woyla, Krueng Suakseumaseh, Krueng Meureubo, Krueng Seunagan, Lawe (sungai) Bulan, Lawe Mas dan Lawe Semplang. Sungai-sungai yang bermuara ke Laut Andaman dan Selat Malaka adalah Krueng Aceh, Krueng Raya, Krueng Meureudu, Krueng Trenggadeng, Krueng Tiro, Krueng Baro, Krueng Batee, Krueng Peusangan, Krueng Karep, Krueng Gerpa, Krueng Lumut, Krueng Samalanga, Krueng Jeunib, Krueng Peudada, Krueng Jambo Aye, Krueng Arakundo, Krueng Peurlak, Krueng Tamiang dan Krueng Bayeuen. Selain sungai-sungai tersebut di atas, masih terdapat sejumlah sungai lainnya yang ukurannya lebih pendek. Banyak di antara sungai-sungai ini dapat dilayari sampai 1520 km ke pedalaman. Di provinsi ini terdapat dua buah danau yang relatif besar, yaitu Danau Laut Tawar di Takengon dan Danau Aneuk Laot di Kota Sabang. Luas Danau Laut Tawar adalah 660 km². Danau ini terletak di Kabupaten Aceh Tengah pada ketinggian 1.225 m dari permukaan laut. Danau Aneuek
10
Budaya Masyarakat Aceh
Laot memiliki luas sekitar 300 km². Kedua danau tersebut mempunyai potensi ekonomi dan pariwisata yang relatif besar. Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dikelilingi oleh sejumlah pulau besar dan kecil. Secara keseluruhan ada 119 buah pulau, baik pulau yang dihuni ataupun pulau yang tidak dihuni. Pulau yang relatif besar dan dihuni penduduk adalah Pulau Simeuleu dan Pulau Banyak di sebelah pantai selatan. Pulau Weh, Pulau Breuh dan Pulau Nasi di sebelah pantai barat laut. Selain itu juga terdapat sejumlah sungai lainnya. Luas perairan Aceh lebih kurang 35.000 km², meliputi perairan laut Samudra Indonesia di sebelah barat dan selatan, serta Laut Andaman di sebelah utara. Meskipun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki banyak pulaupulau, yang satu dengan lainnya dipisahkan oleh selat, namun selat yang terutama dan telah mempunyai nama resmi adalah Selat Malaka yang memisahkan Pulau Weh dengan daratan Aceh, Selat Lampuyang, Selat Benggala, dan lain-lain. Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki pula sejumlah tanjung dan teluk. Tanjung-tanjung yang cukup ternama adalah Tanjung Bateeputih, Tanjung Bau, Tanjung Dewa, Tanjung Jambu Air, Tanjung Kakat, Tanjung Peureulak, Tanjung Peusangan, Tanjung Pidie, Tanjung Raja, dan lainlain. Secara makro, keadaan iklim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tidak banyak berbeda dengan keadaan iklim Indonesia pada umumnya, yaitu iklim tropis basah. Namun, secara makro di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim
11
Budaya Masyarakat Aceh
barat yang berlangsung dari bulan April sampai Oktober, angin berhembus dari arah barat daya yang membawa uap air, dan menjatuhkan hujan terutama di pesisir barat Aceh. Sebaliknya pada musim angin timur yang berlangsung dari bulan Oktober sampai April, angin berembus dari arah timur (dari arah Laut Andaman, Laut Cina Selatan dan Selat Malaka) yang banyak menurunkan hujan di pesisir timur, dan utara Aceh. Banyaknya curah hujan dan jumlah hari hujan yang terjadi, tidak merata diseluruh daerah. Curah hujan ratarata sebesar 2.300 mm per tahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 123 hari. Wilayah pantai barat dan selatan, mendapat curah hujan yang relatif lebih tinggi dari wilayah lainnya yaitu antara 2.000 mm-3.000 mm per tahun. Sedangkan wilayah pantai utara dan timur banyaknya curah hujan antara 1.000 mm-2.000 mm per tahun. Hujan maksimum umumnya terjadi pada bulan November dan hujan minimum pada bulan Juli. Suhu udara pada umumnya relatif tidak stabil, terutama pada bulan November dan April. Suhu udara maksimum berkisar antara 30°-33° Celcius dan suhu minimum antara 23°-25° Celcius. Tekanan udara berkisar antara 100-112 UB. Kelembaban nisbi antara 71-85 % dan kecepatan angin antara 0,5-0,7 knot per jam. Berdasarkan sensus tahun 1930 penduduk Aceh berjumlah 1.003.062 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 3,2 persen per tahun. Pada tahun 1961 penduduk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tercatat 1.628.983 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 1,6 persen. Rendahnya tingkat pertumbuhan penduduk selama periode ini, antara lain disebabkan kondisi keamanan di Aceh yang tidak stabil,
12
Budaya Masyarakat Aceh
terutama selama pendudukan Jepang serta terjadinya pergolakan di daerah ini pada permulaan masa kemerdekaan dan pada tahun 1950-an yang terkenal dengan Peristiwa DITII. Sensus penduduk 1971 memperlihatkan jumlah penduduk Aceh berjumlah 2.008.595 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 2,14 persen per tahun. Selanjutnya pada sensus penduduk Tahun 1980, jumlah ini meningkat menjadi 2.610.926 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,93 persen per tahun. Hasil sensus tahun 1990, tercatat penduduk di Aceh meningkat menjadi 3.415.875 jiwa, terdiri dari penduduk lakilaki 1.717.032 jiwa (50,27 persen) dan penduduk perempuan 1.698.843 jiwa (49,73 persen). Rasio perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan sex ratio adalah 1,011. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan sex ratio pada sensus penduduk Tahun 1980, yaitu sebesar 1,085. B. Kehidupan Sosial Budaya 1. Mitos/Sejarah Keberadaan Etnis Aceh Aceh adalah nama sebuah daerah di Indonesia yang populer dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan sekarang dinamakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah, yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) sebagai inti Kerajaan Aceh (Aceh proper). Karena daerah inilah pada mulanya yang menjadi inti kerajaan dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di
13
Budaya Masyarakat Aceh
sekitarnya (daerah takluk) yang Belanda menamakanya (Onderhorigheden). Sebutan Aceh juga digunakan oleh orangorang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh, untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh dan sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang. Selain sebagai nama daerah Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi). Mengenai kapan Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan belum ada suatu kepastian konkrit asal muasalnya. Data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tidak diketemukan. Informasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah populer yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi ke Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang
14
Budaya Masyarakat Aceh
Perancis menamakan Achen dan Acheh; orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh. Namun sumber-sumber ini ada yang bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda. K. F. H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul "De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat” (Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum yang tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul "Iets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh" (Serba-serbi Tentang AsalUsul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asalusulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh. Meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatip bahasa Batak dan Gayo. Tentang asal nama Aceh dikenal dalam sebuah cerita seperti sebagai berikut:
15
Budaya Masyarakat Aceh
"Sebuah kapal Gujarat dari Hindia Muka datang memasuki krueng (sebuah sungai) yang kemudian berubah menjadi krueng Aceh (Sungai Aceh) dengan tujuan berdagang. Para awak kapal turun ke darat untuk mencari air tawar. Sesampai di darat tiba-tiba hujan turun, sehingga mereka berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang, sambil memuji keindahan daun-daun tersebut dengan kata-kata AcaAca yang artinya indah-indah. Dari kata-kata Aca inilah kemudian nama tempat ihi berubah namanya menjadi Aceh. Cerita lain mengisahkan pada suatu hari dua orang putri kakak-beradik mandi di sebuah sungai. Di antara kakakadik ini si adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit berupa batang-batang pisang dengan sebuah sumpit di atasnya. Di dalam supit itu terdapat seorang bayi. Kedua kakak-beradik bersepakat untuk mengambil bayi tersebut dan dipelihara oleh si kakak karena si adik sedang mengandung dan tidak lama lagi juga akan mempunyai anak. Bayi tersebut dibawa ke rumah dan di kakak melakukan maadeueng (berdiang di api, suatu kebiasaan bagi seseorang yang baru melahirkan) selama 44 hari seperti lazimnya orang melahirkan. Penduduk kampung menjadi hebih, diucapkanlah kata-kata Adoe yang mume. A yang Ceh; artinya adik yang hamil kakak yang melahirkan. Dari kata-kata inilah kemudian menjadi kata Aceh. Selain itu, ada juga yang memperkirakan kata ACEH itu merupakan singkatan dari A yang artinya Arab. C sama dengan Cina, E singkatan dari Eropah, dan H sama dengan Hindia (India). Jadi, orang Aceh merupakan percampuran
16
Budaya Masyarakat Aceh
darah dari berbagai bangsa. Ada darah Arab, Cina atau Mongol, Eropa (Portugis) dan Hindia atau India. Untuk menguatkan perkiraan ini dicontohkan bahwa masyarakat Aceh di Aceh Besar banyak yang profilnya mirip dengan orang Arab, terutama mereka yang bergelar Sayid atau Habib (untuk laki-laki) dan Syarifah (untuk perempuan). Di wilayah Aceh Barat ada penduduk yang mirip dengan orang Eropah (Portugis) dengan mata biru. Sedangkan di Pidie dan Aceh Utara kebanyakan masyarakatnya menyenipai orang India atau Keling, seperti Prof Dr. Ibrahim Hasan (mantan Gubernur Aceh dan Menpangan Republik Indonesia) asal Pidie. Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouch Hurgronje dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Menurut bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Mengenai perbandingan atau persamaan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah diterbitkan oleh H.K.J. Cowan dengan judul "Aanteekeningen hetreffende de verhording van het Atjesche tot de Mon Khmer talen" dalam BKI 104 (1948). Seorang ulama Aceh terkenal Aceh pada XIX yaitu Teungku Kutakarang yang populer dengan sebutan Teungku Chik Kutakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya percampuran dengan suku-suku bangsa lain, seperti India dan lainnya.
17
Budaya Masyarakat Aceh
Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias. orang-orang lndia, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Untuk contoh dapat disebutkan misalnya keluarga Teungku Chik Di Tiro yang terkenal paling anti dan tidak kenal menyerah dalam melawan Belanda bermoyangkan suku Jawa dan Bugis. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asalusulnya etnis Aceh dibagi empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee ini yaitu
1. Kawom atau sukee lhee reutoh (kawum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
2. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
18
Budaya Masyarakat Aceh
3. Kawom atau sukee tok Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka berasal dari berbagai etnis, pendatang dari berbagai tempat.
4. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam. Pada awalnya akibat asal usul yang berbeda, keempat kawom ini sering kali terlibat dalam konflik internal. Akan tetapi, ketika pecah perang dengan Belanda semua kawom ini bersatu dan melupakan konflik atau perselisihan di antara mereka dan bersama-sama melawan Belanda. Kawom-kawon ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawomnya cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawon-kawom itu. Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semanjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang selanjutnya dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal. Karena eksodusnya para pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dan juga berubalmya rute perdagangan para pedagang
19
Budaya Masyarakat Aceh
muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dengan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan. 2. Gambaran Mata Pencaharian Mata pencaharian utama mayoritas penduduk Aceh adalah di sektor pertanian. Pada akhir Pelita keempat penduduk Aceh yang bekerja di sektor pertanian (meliputi pertanian tanaman, perikanan, perkebunan, peternakan dan kehutanan) tercatat 993.318 orang atau 71,68 persen dari jumlah angkatan kerja sebanyak 1.385.668 orang. Tingginya persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian menunjukkan bahwa peluang kerja di sektor lain belum cukup berkembang. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki lahan sawah seluas 258.266 hektar dan lahan kering yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian 386.742 hektar. Lahan tersebut tersebar di semua Daerah Tingkat II (Dati II). Sementara yang berusaha di perkebunan, ada pada perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Sebagian besar areal perkebunan yang ada merupakan perkebunan rakyat yang mencapai 72 persen (akhir Pelita keempat). Usaha perkebunan rakyat yang dikelola oleh petani perorangan dan badan hukum atas tanah yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Dari seluruh areal perkebunan besar, sekitar 77,2 persen diusahakan oleh swasta. Selain itu, ada juga penduduk yang bekerja di bidang perikanan, baik perikanan darat maupun perikanan laut.
20
Budaya Masyarakat Aceh
Dalam hal ini Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki potensi perikanan yang cukup besar karena hampir seluruh wilayahnya dikelilingi lautan, kecuali bagian Tenggara yang berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara. Produksi perikanan laut dan perikanan darat pada masa akhir Pelita keempat berjumlah 87, 8 ribu ton dan 32, 4 ribu ton. Penduduk yang mengusahakan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan unggas pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan. Meskipun demikian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak dulu dikenal sebagai salah satu daerah pemasok ternak ke propinsi-propinsi lain di sekitarnya. Dapat disebutkan misalnya pada tahun 1984\1985 pengiriman sapi ke luar Aceh masing-masing 4.121 ekor dan 10.784 ekor, kemudian pada tahun 1989/1990 masing-masing menurun hanya 2.500 ekor dan 8.807 ekor. Sedangkan untuk ternak unggas malahan tidak ada lagi pengiriman ke luar daerah sejak 1988/1989. Kondisi usaha peternakan seperti ini tentu akan mengurangi tingkat pendapatan masyarakat Aceh yang sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah pemasok ternak. Peningkatan populasi dan produksi ternak dengan demikian merupakan kunci jawaban untuk mengembalikan citra daerah ini sebagai produsen ternak potensial. Sedangkan luas areal hutan di Aceh tercatat 4.130 hektar atau 74,56 persen dari total luas wilayah. Dari luas wilayah tersebut yang termasuk kawasan hutan produksi adalah 2.411.794 hektar dengan perincian 188.350 hektar merupakan hutan produksi tetap, 1.375.704 hektar hutan produksi terbatas dan 847.740 hektar adalah hutan produksi yang dapat dikonservasi.
21
Budaya Masyarakat Aceh
Perkembangan produksi hasil hutan di Aceh menunjukkan kecenderungan menggembirakan sejak tahun 1983. Kebijaksanaan pemerintah yang melarang ekspor kayu bulat (log) sejak awal Pelita III telah mendorong peningkatan ekspor kayu lapis dan berbagai produk kayu lainnya dan menurunkan ekspor kayu gergajian dan kayu chip. Pelarangan ekspor kayu bulat dan secara bertahap kayu gergajian dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksi hutan. Mengenai sasaran pembangunan industri di Aceh hingga tahun 1990 adalah laju pertumbuhan industri meningkat rata-rata 10 persen per tahun yang untuk sebagian besar bertumpu pada kelompok industri dasar. Kemudian untuk kesempatan kerja tersedia bagi 31.000 orang dengan komposisi 2.400 orang di kelompok industri dasar, 5.600 orang di kelompok aneka industri dan 23.000 orang di kelompok industri kecil. Dari pengelompokan atas dasar unit usaha sektor industri sampai dengan tahun 1990, daerah ini memiliki 22.397 unit usaha yang terdiri yang terdiri dari industri kimia dasar sebanyak 17 unit usaha (0,23 persen), aneka industri 63 unit usaha (1,05 persen) dan kelompok industri kecil sebanyak 22.317 unit usaha (98,72 persen). Dilihat dari segi penyerapan tenaga kerja sampai akhir tahun 1990 jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini adalah 85.904 orang. Kelompok yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah justru industri kecil yakni sekitar 81,1 persen dari total tenaga kerja sektor industri. Aneka industri menyerap 12,7 persen dan industri dasar hanya mampu menampung 6,2 persen dari total tenaga kerja. Ini berarti
22
Budaya Masyarakat Aceh
pengembangan industri dasar yang mempunyai ciri padat modal dan padat teknologi kurang bermanfaat bagi penyediaan kesempatan kerja di daerah Aceh. Sedangkan sektor industri kecil yang nilai output-nya rendah dibanding kelompok industri dasar, justru mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Peranan sektor perhubungan dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi Aceh semakin meningkat setiap tahun seperti tercermin dari kontribusinya pada pendapatan daerah, penyerapan tenaga kerja dan perkembangan industri jasa terkait. Tenaga kerja yang terserap di sektor ini pada tahun 1990 berjumlah 116.439 orang (0,84 persen) dari total angkatan kerja 1.385.668 orang. Dari seluruh lapangan usaha, maka sektor pengangkutan menempati peringkat kedua setelah sektor pertanian dalam urutan jumlah sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak di provinsi ini pada tahun 1990. Pembangunan sektor perdagangan di Aceh dikaitkan langsung dengan pembangunan ekonomi daerah. Tujuannya antara lain untuk memperbaiki dan meningkatkan sarana penunjang yang dapat mempengaruhi kelancaran arus barang dan jasa, pemantapan bidang tata niaga terkendali komoditi tertentu, menciptakan struktur pasar yang sehat, pengadaan prasarana dan sarana pemasaran termasuk kelembagaan dan kondisi fisiknya (pasar, gudang, transportasi, dan faktor lainnya). Jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan (besar dan eceran) tahun 1990 tercatat 29.668 orang atau 2,14 persen dari total angkatan kerja sebanyak 1.385.668 orang tahun tersebut. Dari segi lapangan usaha, jumlah tenaga kerja yang
23
Budaya Masyarakat Aceh
terserap di sektor tersebut menempati peringkat keempat terbesar setelah sektor pertanian, jasa angkutan dan listrik, gas serta air minum. 3. Struktur Birokrasi dan Kekuasaan dalam Masyarakat Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat Aceh pertama kali berdiri dengan bentuk kerajaan pada tahun 1514 dengan rajanya yang pertama Ali Mughayat Syah. Kerajaan Aceh mencapai mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintah di Aceh disebut gampong atau dalam istilah Melayu kampung. Sebuah gampong terdiri atas kelompokkelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut geuchik atau keuchik, yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan teungku meunasah. Selain itu, dalam sebuah gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut ureung tuha (orang tua). Mereka yang tersebut terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan berpengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha Peut dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan. Bentuk teritorial yang lebih besar dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid. Pimpinan Mukim disebut Imeum Mukim. Imeum
24
Budaya Masyarakat Aceh
Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di mesjid. Pada mula dibentuk setiap mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1.000 orang laki-laki yang dapat memegang senjata. Hal ini tentunya untuk tujuan politis, yaitu apabila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imeum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imeum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid. Di wilayah Aceh Rayeuk (Kabupaten Aceh Besar sekarang), terdapat suatu bentuk pemerintahan yang agak unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau Sagi. Keseluruhan wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah sagi ini, yang dapat dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah sagoe atau sagi tersebut masing-masing dinamakan 1. Sagi XXII Mukim, 2. Sagi XXV Mukim, dan 3. Sagi XXVI Mukim. Penamaan ini erat kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada masing-masing sagi . Artinya pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di bawahnya sesuai dengan nama sagi yang bersangkutan. Misalnya, Sagi XXVI Mukim, ini berarti bahwa di bawah Sagi ini terdapat XXVI buah mukim, demikian juga untuk kedua sagi lainnya. Tiap-tiap sagi di atas diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima Sagoe atau Panglima Sagi, secara turun-temurun. Mereka juga diberi gelar uleebalang. Mereka
25
Budaya Masyarakat Aceh
sangat berkuasa di daerahnya dan pengangkatannya sebagai Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan pemberian suatu Sarakata yang dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Cap Sikureung (cap sembilan). Sedangkan di luar ketiga sagi atau federasi tersebut masih terdapat unit-unit pemerintahan yang berdiri sendiri yang disebut Mukim-mukim sesuai dengan nama tempat, misalnya Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim Lam Sayun, dan Mukim Meuraksa. Bentuk wilayah kerajaan lainnya yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut Nanggroe atau Negeri. Nanggroe ini sebenarnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Aceh dan berlokasi di luar Aceh Inti atau Aceh Rayeuk. Pimpinan Nanggroe disebut uleebalang yang ditetapkan oleh adat secara turun temurun. Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh dan pengangkatannya disyahkan oleh Sultan Aceh. Surat pengangkatannya ini dinamakan Sarakata. Dalam memimpin pemerintahan Nanggroe, uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya yang disebut Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara uleebalang. Pembantu lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom (hukum). Selain itu ada yang disebut Rakan yaitu pengawal uleebalang. Hal ini terus berlangsung hingga tahun 1903 dimana Sultan Mahmud Daud Syah yang berdamai dengan Belanda dan merupakan berakhirnya Kerajaan Aceh. Perkembangan struktur birokrasi lama kelamaan berubah dan mengikuti gaya pemerintahan kolonial. Seperti yang ada dalam Rechtreglement Buittengwesten Stbl 1927, No. 227 Pasal 324 menyebutkan bahwa untuk Aceh, Kepala Desa
26
Budaya Masyarakat Aceh
yang ditugaskan menjalankan kepolisian dan mengusut keterangan-keterangan adalah Keuchik dan Imeum Mukim. Pada zaman penjajahan Jepang tidak banyak hal yang dapat dicatat dan dikemukakan. Dengan UU No. 1 Tahun 1942 diatur segala sesuatu mengenai peralihan pemerintah dari Gubernur Pemerintah Hindia Belanda kepada bala tentara Jepang. Pasal II UU No. 1 Tahun 1942 menyebutkan bahwa "Pembesar bala tentara Dai Nippon memegang kekuasaan pemerintahan militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu ada pada tangan gubernur jenderal". Selanjutnya dengan Osamu Seirei No. 27 Tahun 1942 ditetapkan susunan pemerintahan di Indonesia, di antaranya pucuk pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima Tentara ke-16 khusus untuk Pulau Jawa yaitu Gunsyireihan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Gunseikan, Gunseibu membawahi residen-residen yang disebut Syucokan, dan merupakan pemerintah daerah yang tertinggi, dan lain sebagainya. Pada tanggal 28 Agustus 1945 setelah menerima kawat dari Dr. Adnan Kapau Gani dan Muhammad Syafei, Teuku Nyak Arief telah mengambil inisiatif untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Aceh. Sebagai ketua dari lembaga resmi ditetapkan Teuku Nyak Arief, yang semula memangku jabatan Ketua Syu Sangi Kai atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (bentukan Jepang) dan sebagai wakilnya dipilih Tuanku Mahmud. Sejak saat itu Teuku Nyak Arief diangkat sebagi Residen Aceh. Selama revolusi kemerdekaan, kedudukan daerah Aceh sebagai bahagian dari wilayah NKRI telah beberapa kali mengalami perubahan status seirama dengan gerak revolusi
27
Budaya Masyarakat Aceh
waktu itu. Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah administrasi Sumatera Utara dan pada bulan Agustus 1947 berhubung dengan adanya Agresi Militer Belanda terhadap Republik Indonesia, maka berdasarkan Keputusan Wakil Presiden RI No. 3/BPKU/47 tanggal 26 Agustus 1947, menjadi Daerah Militer dengan Gubernur Militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh). Selanjutnya, Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat menjadi Gubernur Militer dan pada masa itu walaupun telah dibentuk daerah militer pemerintah sipil (keresidenan) tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3 Provinsi Otonom, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli dengan Gubernur Mr. S.M. Amin yang dilantik pada tanggal 19 Januari 1948. Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Utara yang beranggotakan 45 orang mengadakan sidang pertama pada tanggal 12 Desember 1948 di Tapaktuan. Keputusan sidang antara lain menetapkan Kutaradja sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Pada periode ini kekuasaan pemerintah sipil (Gubernur) tetap didampingi oleh Gubernur Militer. Untuk menghadapi agresi militer yang kedua yang dilancarkan oleh Belanda dengan tujuan menguasai kembali Negara Republik Indonesia, pemerintah perlu memperkuat pertahanan dan keamanan. Memenuhi maksud tersebut dikeluarkanlah Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor : 21/Pem/PDRI, tanggal 16 Mei 1949 yang
28
Budaya Masyarakat Aceh
menetapkan kekuasaan sipil dan militer dipusatkan pada satu tangan, yaitu kepada Gubernur Militer. Keresidenan Aceh pada akhir tahun 1949 berdasarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor : 8/Des/Wk PM/49 tanggal 17 Desember 1949, dikeluarkan dari Propinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi provinsi tersendiri (Propinsi Aceh yang pertama). Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat menjadi Gubernur Provinsi Aceh, yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Perkembangan selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 Daerah Aceh kembali menjadi sebuah keresidenan yang berada di bawah Propinsi Sumatera Utara. Dengan demikian sejak saat itu daerah Aceh kembali menjadi satu keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Residen dalam periode ini berturut-turut yaitu R.M. Danubroto (1951-1953), Teungku Sulaiman Daud (1953), Abdul Wahab (1953-1954), Abdul Razak (1954-1956). Perubahan status dari provinsi menjadi keresidenan menyebabkan ketidakpuasan para pemimpin dan rakyat Aceh sehingga timbullah gejolak politik yang populer dengan sebutan "Peristiwa Aceh". Namun dalam perkembangannya, pemerintah dapat memahami apa yang diinginkan oleh pemimpin dan rakyat Aceh, sehingga dikeluarkanlah sebuah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan kembali Provinsi Aceh. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, status Provinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra
29
Budaya Masyarakat Aceh
Tingkat I. Pada tanggal 27 Januari 1957 bertempat di Pendopo Gubernuran Aceh dilaksanakan pelantikan Ali Hasjmy sebagi Gubernur Provinsi Aceh beserta anggota-anggota DPRD yang bertugas untuk menggerakkan roda pemerintahan . Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi persatuan dan kesatuan bangsa, maka pada berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 Daerah Swatantra Tingkat I Aceh atau Provinsi Aceh dapat disebut "Daerah Istimewa". Hal itu dimulai sejak tanggal 26 Mei 1959 dan mendapat sebutan lengkap "Provinsi Daerah Istimewa Aceh ". Dengan predikat Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan sendirinya birokrasi kekuasaan mulai ditata kembali untuk memberi kesempatan bagi rakyat dan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk membangun berbagai sarana dan prasarana dalam berbagai aspek kehidupan rakyat. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1996 Pemerintah Daerah mengesahkan "mukim" sebagai kesatuan masyarakat adat dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Menurut perkembangan terakhir menurut pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 18 tahun 2001 (tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) menjelaskan bahwa “Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri dari atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batasa wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan/sagoe cut yang dipimpin oleh imeum mukim”.
30
Budaya Masyarakat Aceh
Sedangkan menurut pasal 1 angka 6 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 7 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat menjelaskan bahwa mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang terdiri dari gampong yang mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Lebih kebelakang, yaitu Peraturan Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 1996 tentang mukim sebagai kesatuan masyarakat adat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh pasal 1 huruf f menyebutkan bahwa mukim adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang terdiri dari gabungan beberapa desa yang mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Huruf g mengatakan bahwa kemukiman adalah wilayah mukim yang meliputi beberapa gampong/desa yang tidak dapat dipisahkan-pisahkan dan yang telah ada sebelum berlaku Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Peraturan daerah tersebut dijabarkan antara lain oleh Bupati Kabupaten Aceh Besar dengan menerbitkan Surat Keputusan No. 1 tahun 1997 tentang Organisasi Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar dimana pasal 2 ayat 1 menyebutkan mukim adalah persekutuan daerah yaitu gabungan beberapa buah gampong yang mempunyai batasbatas wilayah tertentu, baik yang telah berwujud gampong maupun wilayah yang belum atau tidak merupakan gamponggampong. Sementara itu menurut pasal 1 ayat (1)nya gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai wilayah sendiri, mempunyai hak memilih kepalanya, berhak
31
Budaya Masyarakat Aceh
mempunyai harta serta sumber keuangan dan berhak pula mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Kemudian perihal kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam sekarang ini cukup jelas. Pasal 2 ayat 1 sampai dengan 3 merinci susunan dan kedudukan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UndangUndang No. 18/2001) yaitu
1. Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibagi dalam kabupaten/sagoe atau nama lain dan kota/Banda atau nama lain sebagai daerah otonom.
2. Kabupaten/sagoe atau nama lain dan kota/Banda atau nama lain terdiri atas kecamatan/sagoe cut atau nama lain.
3. Kecamatan/sagoe cut atau nama lain terdiri dari mukim atau nama lain dan mukim atau nama lain terdiri atas gampong atau nama lain. Walaupun beberapa waktu yang lalu (semenjak dikeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, lembaga (pemerintahan) mukim sempat tidak diakui keberadaannya, lembaga (pemerintahan) mukim sempat tidak akui keberadaannya, namun masyarakat tetap mengakui eksistensinya, sebab menurut mereka, kehidupan sosial akan terasa belum lengkap tanpa lembaga mukim. Karenanya, sangat beralasan apabila kemudian pada tanggal 25 April 1996 yang lalu, pemerintah daerah menerbitkan sebuah Peraturan Daerah No. 5 tahun 1996 tentang mukim sebagai kesatuan masyarakat (hukum) adat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Tentu saja kala itu kelahiran peraturan daerah ini disambut hangat oleh seluruh lapisan masyarakat
32
Budaya Masyarakat Aceh
Aceh, sebab dengan adanya peraturan daerah ini segala keragu-raguan tentang lembaga mukim tersebut menjadi sirna. Telah menjadi terarah kembali perilhal status, fungsi wewenang, dan peranan lembaga ini dalam masyarakat, walaupun masih dalam kadar yang terbatas, yaitu dalam kadar sebagai kesatuan masyarakat adat. Hal mana dijelaskan dalam pasal 2 Perda No. 5/1996 ini “Dengan ditetapkannya gampong menjadi desa dan kelurahan berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979, maka mukim bukan lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan terendah di daerah, akan tetapi semata-mata merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dan koordinator dari gampong-gampong/desa-desa yang berada dalam wilayahnya. Oleh karena itu menurut pasal 3 fungsi mukim antara lain
1. Membantu
pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, khususnya pembangunan kemasyarakatan dan sosial budaya di gamponggampong yang berada di dalam koordinasinya.
2. Mengurus segala urusan hukum adat dan istiadat dalam mukim yang menunjang pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. 3. Menyelesaikan, memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaanpersengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat.
33
Budaya Masyarakat Aceh
4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Aceh, dalam rangka memperkaya dan mengembangkan kebudayaan nasional.
5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan mukim untuk kesejahteraan mukim. 6. Dan lai-lain Berkaitan dengan fungsi di atas, maka menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 17 tahun 1997 tentang Pedoman Pelaksanaan Mukim sebagai Kesatuan masyarakat Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh lembaga mukim bertujuan (pasal 3) 1. Mendorong kelancaran pembangunan masyarakat desa agar terlepas dari belenggu keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. 2. Memadukan kegiatan pemerintahan, pembangunan sosial kemasyarakatan serta adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat, sehingga akan tercipta suatu masyarakat desa yang mandiri, dinamis, dan kreatif dalam menunjang pembangunan bangsa. 3. Menciptakan suatu mekanisme kerjasama antara lembaga-lembaga pemerintahan dengan lembagalembaga adat di pedesaan dalam rangka mempercepat terwujudnya dasa-desa swasembada. Dengan adanya Peraturan Daerah No. 5 tahun 1996 dan Keputusan Gubernur No. 17 tahun 1997 tersebut, pemahaman ureueng Aceh terhadap mukim, baik sebagai institusi adat, maupun sebagai organisasi masyarakat telah mempunyai landasan berpijak yang kokoh. Mukim sebagai
34
Budaya Masyarakat Aceh
kelembagaan adat mencerminkan nilai dan norma yang berlaku di kalangan mereka, sedangkan sebagai organisasi masyarakat, mukim mengatur, mengurus dan menata segala bentuk interaksi di antara sesama anggota masyarakat, antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain dan antara anggota masyarakat dengan sumber daya alam dan lingkungannya, demi kesejahteraan serta kepentingan bersama. Dua tahun kemudian pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh tepatnya pada tanggl 4 Oktober 1999. Keistimewaan nama menurut pasal 3 ayat 2 undang-undang nama ini meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Khusus dalam hal penyelenggaraan kehidupan adat undang-undang ini mempertegas (pasal 7) bahwa daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukan masing-masing di propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kemukiman dan kelurahan/desa atau gampong. Bahkan daerah diberi kewewenangan luas untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimilikinya (pasal 2 Undang-Undang No. 44 tahun 1999). Kelahiran undang-undang di atas segera disahuti oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan beberapa peraturan daerah yang mendukung antara lain Peraturan Daerah No. 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 14 Juni 2000 (lembaran daerah
35
Budaya Masyarakat Aceh
No. 23 tanggal 22 Juni 2000). Kemudian Peraturan Daerah No. 4 tahun 2000 tentang perubahan pertama atas peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 4 tahun 1999 tentang larangan minuman beralkohol di Propinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 14 Juni 2000 (lembaran daerah No. 24 tanggal 22 Juni 2000). Berikutnya, Peraturan Daerah No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam tanggal 25 Juli 2000 (lembaran daerah No. 30 tanggal 25 Agustus 2000). Dua tahun kemudian diterbitkan tentang UndangUndang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini tampaknya memperkuat dan mendukung berlakunya Undang-Undang No. 44 tahun 1999. Hal mana termuat dalam konsiderannya yaitu dalam salah satu pertimbangannya mengatakan bahwa pelaksanaan Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintah di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya undangundang ini dengan tegas menyebutkan bahwa lembaga mukim adalah merupakan lembaga adat pemerintahan terendah di atas gampong. Oleh karena itu, lembaga mukim ini di samping memiliki fungsi-fungsi konvensional tambahan, juga memiliki fungsi-fungsi antara lain: 1. Fungsi penyelenggaraan pemerintahan, baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi maupun urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya.
36
Budaya Masyarakat Aceh
2. Pelaksanaan pembangunan, baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual. 3. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan syariat Islam, pendidikan, peradatan, sosial budaya, ketentraman, dan ketertiban masyarakat. 4. Peningkatan percepatan pelayanan masyarakat. 5. Penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengkataanpersengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat. Sementara itu, kedudukan dan tugasnya juga telah semakin jelas. Dalam rancangan qanun tentang pemerintahan mukim tegas disebutkan bahwa mukim berkedudukan sebagai perangkat pemerintahan yang membawahi beberapa gampong yang berada langsung di bawahnya dan bertanggungjawab kepada wali sagoe cut atau nama lain. Sedangkan mengenai tugas disebutkan bahwa mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan syariat Islam.
37
Budaya Masyarakat Aceh
Salah satu wujud kebudayaan adalah sistem ide. Wujud kebudayaan ini tidak nampak. Ia ada dalam kepala masingmasing pemilik budaya bersangkutan. Wujud ini akan tampak apabila kita melakukan inventarisasi atau melakukan wawancara serta membaca naskah-naskah dari masyarakat yang mememiliki budaya tersebut. Pada bab 3 ini dibahas sistem ide yang meliputi aspek kepribadian, tata kelakuan, dan adat.
38
Budaya Masyarakat Aceh
Bab
3
Sistem Kemasyarakatan dan Upacara Tradisional
A. Sistem Kemasyarakatan 1. Karakteristik Kepribadian Karena posisi geografisnya yang menguntungkan menyebabkan Aceh sarat dengan kontak dan pengaruh dari luar. Salah satu di antaranya ialah agama Islam. Berdasarkan beberapa sumber disimpulkan para sejarawan dan arkeolog bahwa agama Islam pertama masuk ke Nusantara ialah daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa Islam yang masuk ini yaitu Islam yang terlebih dahulu tersebar dan teradaptasi dengan unsur-unsur di daerah Persia dan Gujerat (India). Masuk dan kemudian berkembangnya agama Islam di Aceh telah menjadikan etnis Aceh secara keseluruhan penganut agama Islam. Namun karena Islam yang masuk ini, Islam yang telah berbaur dengan unsur-unsur budaya dari mereka yang memasukkan (budaya Persia dan India) telah memberikan corak tersendiri terhadap budaya dan adat istiadat serta agama Islam di Aceh. Pengaruh agama Islam yang kuat menyebabkan pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari sedapat mungkin disesuaikan dengan kaidahkaidah Islam. Namun sebaliknya praktik-praktik keagamaan mereka sesuaikan pula dengan tradisi atau adat-istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya etnis
39
Budaya Masyarakat Aceh
Aceh yang tercakup berbagai unsurnya telah diwarnai dengan ajaran Islam. Akibatnya, pada masyarakat Aceh antara agama dan budaya telah menyatu sehingga sukar untuk dipisahkan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer, yaitu adat ngon hukom hanjeuet cree lagee zat ngon sifeut, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya. Maksudnya hukum agama Islam yang berlaku itu telah menyatu dengan adat laksana zat dengan sifat Allah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain dapat disebut bahwa kedua hal itu berjalan sejajar dan jika di antaranya ada yang tidak cocok, dalam arti jika adat bertentangan dengan unsur-unsur agama lslam, maka keadaan itu dianggap timpang dan salah. Di kalangan etnis Aceh terdapat sebuah pedoman hidup yaitu adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala, yang maksudnya adat yakni kebiasaan-kebiasaan, tata cara atau peraturan-peraturan yang telah dibiasakan secara turuntemurun ditetapkan oleh raja atau penguasa (umara) dan hukum-hukum agama Islam difatwakan oleh para ulama. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disebutkan bahwa adat pergaulan dan tata cara hidup etnis Aceh telah terjalin rapat dengan nafas Islam yang tidak terpisahkan itu. Ajaranajaran agama Islam yang dihayati oleh penduduk (orang Aceh) sejak dahulu masih membekas sampai sekarang. Salah satu warisan pengaruh agama yaitu tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab. Meskipun etnis Aceh mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Aceh (termasuk rumpun bahasa Austronesia), tetapi tidak memiliki sistem huruf khas bahasa Aceh asli. Berbagai karya (kitab) yang dikarang oleh para ulama (pada masa kerajaan) ditulis
40
Budaya Masyarakat Aceh
dengan huruf Arab. Ada yang dalam bahasa Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe dan juga bahasa Aceh serta Arab. Dapat dikatakan semua generasi tua mengenal huruf Arab (bahasa Jawi) ini didapatkannya melalui pendidikan agama. Kuatnya pengaruh agama Islam dalam masyarakat Aceh dapat dilihat ketika terjadi peperangan dengan Belanda. Dalam perang ini semangat Islam yang digerakkan oleh para ulama seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kutakarang dan sebagainya telah membuat perang itu menjadi Perang Sabil; yakni peperangan pada jalan Allah, sehingga menyebabkan perang itu tercatat sebagai perang terlama dihadapi Belanda di Nusantara. Hal inilah yang menyebabkan C. Snouck Hurgronje menasihati pemerintah Belanda antara lain dengan anjuran supaya pihak keamanan Belanda lebih banyak menumpahkan perhatiannya kepada penghancuran golongan ulama karena hanya golongan inilah yang paling mampu membakar semangat perjuangan rakyat Aceh dengan unsur-unsur agama Islam. Selanjutnya di sini diketengahkan beberapa segi adat istiadat dan pandangan hidup etnis Aceh yang mungkin akan berarti di dalam hidup pergaulan sesama suku bangsa, sehingga akan terjalin suatu ukhuwah dan pengertian yang lebih harmonis serta melenyapkan sesuatu pandangan yang dapat timbul pada golongan suku bangsa lain. Menurut Rusdi Sufi ada beberapa karekteristik yang khas dari masyarakat Aceh yaitu,
41
Budaya Masyarakat Aceh
Memberi Salam Suatu cara khas etnis Aceh yang juga ada pada suku bangsa Indonesia lain ialah dalam hal bertamu ke tempat seseorang yang belum dikenalnya. Sebelwn ia masuk ke rumah yang punya terlebih dahulu ia menyapa penghuninya dengan menggunakan kata assalamu 'alaikum (bukan dengan sesuatu sebutan yang lain dari itu) yang artinya seperti samasama kita maklumi, moga-moga anda (sekalian) sejahtera. Ini adalah suatu sikap hidup yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnva. Karena Islam itu damai, maka setiap pemeluknya disuruh supaya ia hidup berdamai dengan sesamanya. Menjawab salam ini wajib hukumnya. Jika ucapan salam itu tidak dijawab karena ketiadaan penghuni umpamanya, maka tamu tadi tidak akan masuk ke dalam rumah yang didatanginya itu, ia segera beranjak dari tempat ini untuk menghindarkan fitnah. Ini sesuai dengan maksud A1 Qur'an surat An-Nur ayat 27 dan 61. Tidak menjadi kebiasaan bagi seorang tamu atau pemuda di Aceh yang dengan sengaja datang bertamu kepada seorang gadis di rumahnya, baik ada ataupun tidak ada orang tua si gadis di rumahnya. Begitu pula tidak termasuk adat istiadat di Aceh jika seorang gadis atau pemuda mengurus sendiri perkawinannya tanpa melalui seorang seulangkee atau penghubung yang diatur oleh orang tua si pemuda itu untuk menghubungi pihak si gadis, tegasnya tidaklah biasa seorang gadis yang menyatakan kehendaknya untuk kawin. Hal ini seperti yang tercermin dalam ungkapan Aceh hana mon mita tima, yang maksudnya tidak ada sumur yang mencari timba.
42
Budaya Masyarakat Aceh
Selain itu, suatu hal yang sangat pantang apabila seorang menantu, baik Iaki-laki maupun perempuan, bergaul dengan mertuanya seperti ia bergaul sesama kawannya tanpa mengindahkan tata cara yang sewajarnya berlaku dengan seorang tua yang patut dihormatinya. Karena di dalam hal ini selain tidak pantas terutama sekali dianggap bertentangan dengan perasaan malu karena malu itu adalah sebagian dari iman. Tangan Kiri atau Kaki Seorang Aceh tidak akan menyerahkan, menerima sesuatu atau menghimbau seseorang dengan tangan kirinya, baik secara berkelakar apalagi secara bersungguh-sungguhan. Dalam hal ini tangan kiri dianggap paling tidak sopan karena kegunaannya hanyalah untuk membersihkan bahagian tubuh setelah melakukan hajat besar. Pengertian kiri dan kanan dalam pandangan orang Aceh sudah jelas, analog dengan yang tercantum dalam A1 Qur'an surat Al-Haqqah ayat 19 dan 25 atau surat Al Waqiah ayat 8, 9, 41 dan 90 atau surat A1 Insyiqaq ayat 7. Begitu juga halnya bercanda dengan menggunakan kaki, baik kiri ataupun kanan sesuatu yang paling pantang. Memegang Kepala Kepala merupakan bahagian tubuh yang ditakdirkan 'Tuhan berada di atas sekali. Di situ dipusatkan indera-indera terpenting seperti otak, mata, telinga, mulut dan lidah, yang kemudian baru berhubungan dengan organ-organ tubuh yang lain ke bawah. Dari letaknya saja secara aqliah harus diterima bahwa bagian tubuh ini penting sekali.
43
Budaya Masyarakat Aceh
Dalam pandangan orang Aceh memegang atau mengambil penutup kepala yang sedang dipakai seseorang, baik secara berkelakar apalagi secara sengaja merupakan hal yang sangat dilarang. Yang Dituakan Dalam pergaulan hidup orang Aceh, seseorang yang lebih tua usianya dipandang terhormat. Dengan tua di sini dimaksudkan seseorang yang telah lama hidup dan telah berpengalaman serta dengan sendirinya lebih bijaksana dalam tindak-tanduknya dibandingkan dengan seseorang yang masih berusia muda. Dalam hal ini tidak berarti bahwa seperti halnya sekarang pemuda yang telah bergelar sarjana dipandang tidak terhormat. Hal ini jelas dapat dirasakan dalam pergaulan. Jiran Jiran atau tetangga merupakan kelompok orang yang paling rapat hubungannya dengan orang Aceh. Kendatipun orang itu mempunyai saudara kandung atau famili yang bagaimanapun besar martabatnya, tetapi jauh daripadanya, namun .jiran atau tetangga yang walaupun tidak seagama dan sesuku dengannya merupakan kelompok orang yang sangat berarti baginya. Oleh karena itu, seorang Aceh tidak akan merasakan asing jika ia berdiam dekat dengan seseorang yang berlainan suku bangsa atau agama yang dianutnya. Dia dapat merasakan hubungan kekeluargaan vang mesra dengan jirannya dalam batas pandangan-pandangan hidupnya.
44
Budaya Masyarakat Aceh
Cara hidup demikian telah pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan seorang Aceh akan merasa rendah sekali apabila ia hidup berseteru dengan jiran atau tetangganya. Pandangan hidup ini sesuai dengan Hadist Nabi yang artinya "Barangsiapa yang percaya Allah dan hari akhirat, hendaklah ia berkata benar atau diam saja. Barangsiapa percaya kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barang siapa yang percaya kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya" (H.R. Bukhari dan Muslim). Damai Karena cara hidup orang Aceh terjalin dengan unsurunsur agama Islam seperti telah disinggung di atas, maka sesuai dengan maksud dan tujuan Islam sendiri, pada prinsipnya setiap orang Aceh itu berperasaan damai di hatinya terhadap siapapm sejauh ia tidak dipandang remeh atau dihina oleh sesuatu golongan lain. Makna salam yang diucapkan pada setiap waktu bertemu dan berpisah dimana pun tempatnya itu sebenarnya merupakan ajaran bagi seorang Aceh untuk hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi ini. Prinsip hidup ini telah berlaku juga ketika terjadi perang dengan Belanda dahulu. Aceh diperangi oleh Belanda walaupun Belanda boleh saja mengemukakan beragam alasan mengapa ia memerangi Aceh. Akan tetapi, sudah jelas bahwa sikap Belanda telah merusak sikap hidup orang Aceh yang damai dan tidak dapat ditolerir. Hal ini pula sebabnya mengapa orang-orang Aceh menyebut orang Belanda dengan istilah kaphe atau kafir karena ia memerangi Aceh. Orang yang
45
Budaya Masyarakat Aceh
memerangi orang lain yang beragama Islam, oleh orang Aceh pada masa itu dianggap sebagai kafir. Orang yang seagama sajalah yang tidak mau memerangi sesamanya. Oleh karena itu, melawan orang semacam ini merupakan prinsip hidup orang Aceh yang utama. Mereka itu akan melawan dengan sekuat tenaga tanpa perlu memperhitungkan untung-ruginya, sehingga tercapai batas waktu yang memungkinkan bagi mereka mtuk bersikap damai kembali. Kendatipun peperangan Belanda di Aceh berakhir dengan dapat diduduki Aceh oleh Belanda, tetapi dalam peperangan itu orang-orang tua Aceh tidak pernah merasa bahwa mereka itu kalah dari lawannva. Dalam pandangan orang Aceh, taloe atau kalah merupakan hal yang sangat negatif. Jika ia merasa taloe atau tersisih dari suatu pergaulan masyarakat, maka ia akan keluar dari kampungya dan pergi berdiam di tempat lain dimana orang belum mengenal dirinya dengan maksud agar ia dapat hidup secara terhormat kembali. Oleh karena itu, prinsip hidup berdamai itu sangat penting bagi seorang Aceh, suatu sikap yang dipertahankan secara sungguh-sungguh. Ihi pula maka setiap sengketa di kampung Aceh selalu dibawa kepada titik perdamaian yang dilakukan oleh kepala kampung bersama anggota-anggota pemerintah kampung itu. Di Aceh kepala kampung dinamakan keuchik, maksudnya seseorang yang dituakan untuk memimpin kampung kendatipun muda usianya. tetapi tetap disebut lebih tua daripada orang tuanya sendiri (keuchik = ku-chik = leubeh chik nibak ku) dan disebut eumbah artinya ayah, sedangkan teungku gampong atau pengawas agama di kampung disebut ma atau ibu kampung. Tegasnya keuchik atau teungku merupakan dwitunggal kampung yang bersama-sama
46
Budaya Masyarakat Aceh
penasihatnya disebut dengan tuha peut atau tuha empat mengatur keamanan, ketentraman, dan kebaikan di kampung. Pengertian taloe atau kalah yang disebut di atas bukanlah istilah yang biasa dipergunakan dalam permainan seperti permainan bola, badminton, dan sebagainya di mana ada pihak yang kalah supaya permainan itu dapat diakhiri babaknya atau dimulai lagi dengan babak permainan yang baru. Sehubungan dengan prinsip hidup damai itu dalam penghidupan orang Aceh dikenal pula sebuah ucapan vang berbunyi sihet bek rho bah habeh maksudnya miring jangan tumpah biarlah, artinya daripada miring-miring atau tanggung-tanggung, biarlah tumpah atau sungguh-sungguh sekali asal tidak sampai malu. Prinsip hidup ini berarti bahwa orang Aceh hanya mengenal sahabat yang setiap saja, sahabat yang benar-benar seperasaan dan sependeritaan dengannya dan untuk sahabat yang sedemikian ia rela mengorbankan apa saja, jika perlu nyawapun akan rela dikorbankan. Dendam Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas setiap kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur'an surat A1 Baqarah ayat 178 atau surat A1 Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup
47
Budaya Masyarakat Aceh
orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah dan ma di sebuah kampung sebagai tokohtokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali di dalam pergaulan masyarakat di kampung itu. Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang itu tidak memahami prinsip hidupnya sebagai seorang Aceh. Pergaulan Dari beberapa hal yang telah dicoba dijelaskan untuk dikemukakan tadi jelas bahwa bagi setiap orang Aceh tidak merupakan masalah untuk berasimilasi dengan setiap orang di luar sukunya. baik di dalam maupun di luar daerahnya sendiri. Sikap hidup ini sebenarnya sudah ada dalam darah setiap orang Aceh jika diingat bahwa orang Aceh merupakan percampuran darah dengan bangsa lain seperti telah diutarakan di atas. Kekeluargaan Pada masa dahulu dimana setiap kaum itu mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka keluarga itu mempunyai arti yang penting sekali. Peperangan di antara satu daerah dengan daerah lain telah membuat setiap keluarga itu amat menonjol dan bertanggung jawab satu dengan yang lain, sebagaimana telah disebutkan di atas
48
Budaya Masyarakat Aceh
bahwa menurut asal-usulnya bangsa Aceh itu terdiri atas 4 kaum atau suku. Prinsip hidup mencintai keluarga seperti pada masa dahulu sampai sekarang pun masih dipegang kuat dimana pun orang Aceh itu berada. Oleh karena itu, apabila seseorang telah lama berada di luar daerahnya dan pada suatu waktu ia kembali ke kampung halamannya, maka apabila familinya menjamunya makan menurut kesanggupannya, maka hal itu adalah suatu kebiasaan yang sukar untuk ditolak, bahkan penolakannya merupakan pelanggaran adat yang membuat orang Aceh rendah dalam pandangan umum. 2. Struktur Masyarakat Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat. Tetapi dalam kenyataan kehidupan di daerah ini dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia tidaklah demikian. Hal ini antara lain disebabkan karena dalam suatu kelompok masyarakat ada hasrat untuk menghargai sesuatu. Hal inilah yang menjadi embrio untuk menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat yang bersangkutan. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat tersebut mungkin dapat berupa uang/kekayaan, kekuasaan, kehormatan, ilmu pengetahuan, keturunan dan sebagainya. Secara historis sistem berlapis-lapisan di dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Tetapi ada juga yang dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan bersama.
49
Budaya Masyarakat Aceh
Dalam memberikan uraian mengenai struktur lapisan sosial dalam masyarakat Aceh, penulis menitik beratkan pada pendekatan historis. Berdasarkan pendekatan historis ini, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan yaitu golongan umara dan golongan Ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pinpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler. Sementara golongan Ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para Ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem. Dengan demikian tebntunya sesuai dengan predikat/sebutan Ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. 10 Adapun golongan atau yaitu :
kelompok Ulama ini dapat disebut
50
Budaya Masyarakat Aceh
1. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imeum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh. Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya. Mereka adalah pekerja-pekerja keras dalam mengembangakn ekonomi pribadi. Dari mereka yang
51
Budaya Masyarakat Aceh
sudah berada inilah terbentuk suatu golongan dalam masyarakat, yaitu golongan hartawan. Kelompok yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh yaitu lapisan rakyat biasa yang didistilahkan dalam sebutan Ureung leue (orang banyak). Golongan ini merupakan golongan yang mayoritas. Penggolongan masyarakat Aceh atas dasar adat/tradisi pada masa sekarang sudah mulai berubah. Meskipun beberapa lapisan tersebut masih tampak atau ada dalam masyarakat, tetapi tidak memperlihatkan lagi perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kehidupan seharihari. Pada masa sekarang (sesudah kemerdekaan) sudah muncul elite-elite baru dalam masyarakat Aceh. Dengan tumbuh dan berkembangnya beberapa perguruan tinggi bagi putera-puteri Aceh, baik ke luar daerah maupun di daerah Aceh sendiri sudah semakin mendorong proses perubahan pelapisan sosial atau stratifikasi sosial dalam masyarakat Aceh. Pimpinan pemerintahan mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah (dari Gubernur hingga Keuchiek) sudah dijabat oleh mereka yang memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengatur dan memimpin. Dengan adanya perubahan strtifikasi sosial tersebut, maka dewasa ini masyarakat Aceh umumnya dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Golongan penguasa, terdiri pemerintahan dan pegawai negeri.
atas
penguasa
2. Kelompok Ulama, yaitu orang-orang berpengetahuan di bidang agama. 3. Kelompok kekayaan).
hartawan
52
(mereka
yang
yang
memiliki
Budaya Masyarakat Aceh
4. Kelompok rakyat biasa. Keempat kelompok tersebut, tidak menunjukkan batas-batas yang tajam. Antar kelompok itu dapat saja memasuki atau menjadi kelompok yang lain. Timbulnya pelapisan-pelapisan tersebut merupakan hasil kompetisi ilmu pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahua, dapat saja masuk ke dalam kelompok penguasa, atau seseorang yang mempunyai pengetahuan di bidang keagamaan dengan sendirinya menjadi bagian dari kelompok Ulama.12 Demikian pula kelompok hartawan, pengusaha atau rakyat biasa, dapat saja beralih ke kelompok atau lapisan lainnya. Adat-Istiadat yang Ada Dalam Masyarakat Adat yang Berkaitan dengan Kepemilikan dan Pengusaan Tanah (i). Kedudukan dan Hak atas Tanah Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan baik perseorangan maupun masyarakat. Besar-kecilnya pemilikan tanah seseorang atas tanah menentukan status sosial orang itu dalam pergaulan sehari-hari. Sebagian besar masyarakat Aceh hidup dari pertanian. Segala kegiatan dari perseorangan dan masyarakat dilakukan di atas tanah atau berhubungan dengan tanah. Di atas tanah itulah mereka mendirikan rumah tempat tinggal, tanah pula yang memberi mereka makan, di atas tanah mereka mengadakan upacara-upacara dan pada akhir hayatnya mereka pun dikuburkan dalam tanah. Akibat dari difaraidnya harta pusaka apabila seorang meninggal dunia di Aceh sesuai dengan hukum Islam, maka
53
Budaya Masyarakat Aceh
tanah yang sudah dikerjakan baik untuk sawah maupun untuk kebun pada umumnya merupakan hak milik. Tanah milik kaum seperti apa yang disebut dengan pusaka tinggi di Minangkabau tidak dijumpai dalam hukum adat Aceh. Apabila seseorang meninggal dunia, maka semua ahli warisnya dapat bagian sesuai dengan hukum waris Islam. Di samping itu ada pula ketentuan-ketentuan menurut hukum adat, misalnya rumah untuk anak perempuan. (ii). Pembukaan Tanah dan Hak Milik Atas Tanah Yang dibenarkan membuka tanah baru atau tanah yang belum dikerjakan oleh siapa pun adalah orang yang beragama Islam. Pembukaan tanah baru tidak dibatasi karena masih luas tanah yang tersedia. Orang yang mula-mula mengerjakan kebun/tanah disebut peutua pangkay dan mereka yang datang kemudian disebut aneuk seuneubok. Tidak jarang pula peutua pangkay oleh sultan Aceh pada zaman dahulu diangkat menjadi uleebalang dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk jabatan itu. Seandainya tanah yang dibuka itu ditinggalkan oleh yang mengerjakannya, maka haknya gugur. Apabila seseorang meninggal dunia, maka harta benda miliknya dibagi kepada ahli warisnya. Milik yang dibagi itu antara lain ialah tanah. Selain milik atas tanah diperoleh dengan jalan warisan dapat pula melalui pembelian atau hibah. Hak milik adalah hak yang terkuat menurut hukum adat Aceh. Pemilik tanah dapat memindahkan haknya kepada orang lain, baik dengan jalan menjual, menggadaikan maupun menyerahkan kepada orang lain.
54
Budaya Masyarakat Aceh
(iii). Perjanjian Tanah Bersegi Dua Selain dipakai sebagai tempat tinggal, tanah dipakai untuk bercocok tanam, untuk mengadakan upacara-upacara. Menurut hukum adat tanah dapat pula menjadi objek dalam perjanjian yang bersegi dua. Yang termasuk dalam perjanjian bersegi dua adalah a. Gadai Tanah Gadai tanah adalah perjanjian antara seseorang yang punya tanah untuk menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dapat menerima sejumlah uang tunai dengan permufakatan bahwa yang menyerahkan berhak kembali dengan jalan membayar sejumlah uang yang sama. Menggadaikan tanah milik jarang dilakukan oleh anggota masyarakat Aceh. Seandainya masih ada jalan yang dapat ditempuh untuk memperoleh sejumlah uang dengan gadai sedapat mungkin dihindarkan. Si penerima gadai tidak boleh meminjamkan dan menyerahkan barang yang digadaikan itu. Gadai harus ditebus sebesar yang digadaikan. Ada juga terjadi berhubung karena keperluan si pemilik sudah cukup banyak kira-kira seharga tanah tersebut kemungkinan barang itu terpaksa dijual karena tidak sanggup lagi ditebus. Pembuat perjanjian gadai haruslah bersifat terang. Artinya, dilakukan dihadapan keuchik dan dijelaskan tanah tersebut terletak dimana ditambah dengan seorang saksi yang biasanya adalah teungku meunasah. Di zaman dahulu, perjanjian itu dibuat secara lisan dihadapan penguasa setempat (keuchik) dan teungku meunasah. Namun sejak zaman penjajahan Belanda, perjanjian gadai dibuat secara tertulis
55
Budaya Masyarakat Aceh
Orang Aceh agak merasa malu untuk menggadaikan tanah miliknya, kalau tidak terpaksa. Sebab hal ini adalah hutang dan berhutang dianggap sebagai suatu bencana dunia, yang disebut dengan neuraka donya (neraka dunia). Kalau orang hendak menggadaikan tanahnya terlebih dahulu ditawarkan kepada famili. Kalau famili tidak berhasrat untuk menerima gadai tersebut ditawarkan kepada yang berbatasan dengan tanah tersebut, selanjutnya kepada orang sekampung dan akhirnya kepada orang yang berdiam di luar kampung di penggadai. b. Jual Tanah Jual tanah ialah penyerahan tanah kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tunai tanpa untuk menebus, jadi untuk selama-lamanya. Perbuatan hukum jual-beli ini harus dilaksanakan secara terang dan tunai. Perbuatan tunai berarti bahwa segera setelah pengakuan seseorang dihadapan keuchik si penjual mengaku sudah menyerahkan tanah itu kepada orang lain dan untuk itu sudah menerima harganya, maka pada saat itulah tanggal haknya atas tanah dan menjadi hak si pembeli. Mulai saat itu si pembeli menjadi pemilik atas tanah dan lepaslah hak si pemilik semula. Untuk menentukan batasbatasnya dan untuk kepastian hukum tentang kedudukan tanah itu di kemudian hari, maka sering diletakkan batu pada tiap-tiap sudutnya. c. Penghibahan Tanah Perbuatan menghibahkan dalam bahasa Aceh disebut peunulang. Penghibahan tanah dilakukan sewaktu orang masih hidup. Penghibahan adalah suatu perbuatan hukum
56
Budaya Masyarakat Aceh
adat yang menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, harus bersifat tunai dan terang. Hak milik atas tanah yang dihibahkan itu segera berpindah kepada si penerima hibah setelah si penghibah mengucapkannya di muka keuchik dan teungku meunasah dimana tanah itu berada. Biasanya agar perbuatan itu diketahui orang banyak sering pula diadakan upacara dan memanggil orang-orang yang pantas di kampung itu. Benda yang dihibahkan itu ditentuka tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah harta si penghibah. Di samping itu, satu kebiasaan pula bahwa barang yang dihibahkan itu disesuaikan dengan kepentingannya, misalnya rumah diberikan kepada anak perempuan, tanah pertanian kepada anak laki-laki. Oleh karena penghibahan itu adalah kemauan sepihak dari si penghibah, maka secara hukum dapat ditarik kembali, tetapi hal itu jarang terjadi karena merasa malu. (iv). Perjanjian Yang berhubungan dengan Tanah Dalam perjanjian yang berhubungan dengan tanah seperti disebutkan di atas tanah bukanlah sasaran pokok dalam perjanjian, tetapi yang terpenting tanah ikut terlibat di dalamnya. Yang termasuk dalam perjanjian itu adalah a. Perjanjian Bagi Hasil Seringkali seseorang pemilik tanah tidak mempunyai kesempatan untuk mengerjakan tanah miliknya. Untuk memperoleh hasil dari tanah itu si pemilik mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakannya dan membagi hasilnya. Yang menjadi objek dalam perjanjian itu bukanlah tanah, tetapi tenaga kerja dari yang mengerjakannya
57
Budaya Masyarakat Aceh
dan hasil tanaman itu. Perjanjian itu tidak perlu bersifat terang dan tunai dan jarang pula dibuat secara tertulis karena waktu berlakunya hanya satu tahun. Besarnya pembagian tergantung kepada perjanjian kedua belah pihak. Seringkali pembagiannya setengah untuk yang empunya dan setengah bagian lagi untuk yang mengerjakannya, tetapi ada pula yang dibagi tiga, sepertiga untuk pemilik dan dua pertiga untuk yang mengerjakan. Untuk menetapkan pembagian ini banyak tergantung kepada jarak dan suburnya tanah tersebut. Tanah atau sawah yang terletak di dekat kampung dalam pembagiannya lebih menguntungkan si pemilik dan sebaliknya jauh letaknya dan kurang subur pembagian biasanya lebih banyak yang untuk mengusahakannya. b. Perjanjian Sewa Tidak semua orang yang penghidupannya dari pertanian mempunyai tanah untuk bertani. Apabila seorang tidak mempunyai tanah pertanian dia akan berusaha memperolehnya, kadang-kadang dengan perjanjian bagi hasil dan ada juga dengan perjanjian sewa. Lamanya masa sewa dan berapa jumlah sewa beserta syarat-syaratnya tergantung kepada perjanjian pihak pemilik dan penyewa. Perjanjian sewa menyewa ini diberitahukan kepada keuchik yang akan menyelesaikan kalau di antara kedua belah pihak timbul sengketa di kemudian hari. c. Tanah sebagai Jaminan Ada juga terjadi apabila seseorang berhutang uang tunai, maka ia akan memberikan tanah miliknya sebagai jaminan. Hal ini biasanya kalau mereka berhutang dengan
58
Budaya Masyarakat Aceh
bank. Tanah yang dijadikan tetap berada pada pemiliknya yang memberi pinjaman. Apabila si peminjam tidak dapat menyelesaikan pinjamannya, maka tanah tersebut akhirnya akan dilelang. Keuchik di sini sebagai orang yang mengetahui kebenaran tentang milik seseorang atas tanah yang bersangkutan. 3. Sistem Bagi Hasil a. Bidang Pertanian Pada umumnya petani di Aceh mengerjakan sendiri tanah pertaniannya untuk ditanami padi atau tanaman lain yang sesuai dengan kondisi tanahnya. Bagi petani yang memiliki lahan pertanian yang luas dan tidak sempat mengelola tanah pertaniannya agar tanah tersebut berproduksi, maka mereka bekerja sama dengan orang lain untuk menggarapnya. Adapun bentuk kerjasama ini ada bermacam-macam cara. Salah satu di antaranya yaitu melalui sistem bagi hasil. Bagi hasil (bagi hase’) yaitu tradisi yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bagian yang diperoleh seseorang yang menggunakan sebidang tanah milik orang lain. Transaksi bagi hasil ini terjadi karena pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapt izin harus memberikan hasilnya sebagian kepada pemilik tanah. Dari macam-macam jenis tanah menurut penggunaannya, hanya tanah pertanian, khususnya tanah sawah, ladang, kebun biasanya yang banyak dijadikan transaksi dalam kaitannya dengan bagi hasil. Dalam bagi hasil
59
Budaya Masyarakat Aceh
pada tiap daerah di Aceh mempunyai keunikan tersendiri seperti apa yang disebut pajoh asoy yang berarti suatu perjanjian yang menyangkut tanah di Aceh Besar, di mana seorang pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya tersebut kepada orang lain untuk digunakan secara cumacuma selama beberapa waktu, dengan ketentuan setelah saatnya berakhir, dilanjutkan dengan bagi hasil seperti yang berlaku pada tanah-tanah lainnya. Perjanjian pajoh asoy pada umumnya dilakukan untuk tanoh blang (tanah sawah) tanoh lampoih (tanah kebun) yang sudah lama terbengkalai sehingga membutuhkan tenaga dan biaya yang besar dan waktu yang cukup lama untuk mengolahnya agar dapat menghasilkan sesuai dengan harapan. Pada tanah sawah dan irigasi pada umumnya sistem bagi hasil yang berlaku yaitu hasil bersih dari tanah yang bersangkutan, di bagi dua antara pemilik dan petani penggarap (1:1). Adapun yang dimaksud dengan hasil bersih yaitu setelah dipotong bibit dan biaya-biaya lainnya seperti ongkos bajak, pupuk dan obat-obatan. Namun demikian tidak semua biaya termasuk dalam perhitungan antara pemilik sawah dan petani penggarap. Pemilik tanah dapat memilih apakah ia menanggung biaya tanam, biaya pajak, atau membayar baiaya meu umpo (membersihkan rumput) untuk tahap pertama. Sedangkan untuk tahap kedua pemilik tanah dapat memilih salah satu antara biaya potong (sabit) dengan baiaya girik. Masing-masing tahap pembiayaan biasanya diperhitungkan dengan hasil padi, yaitu sebanyak dua nale’h bibit atau satu yok (petak) sawah. Pekerjaan selanjutnya menjadi kewajiban petani penggarap untuk mengerjakannya. Pekerjaan tersebut meliputi membayar biaya meluku/ membajak, mengairi, memberantas hama dan sebagainya.
60
Budaya Masyarakat Aceh
Khusus untuk sawah tadah hujan/tegalan di daerah ini memberlakukan sistem mawaih, sistem bagi lhee, sistem bagi peut, sistem bagi limo’ng dan seterusnya. (1:2, 1:3, 1:4, 1:5, dan seterusnya) . Pada umunya perimbangan sistem bagi hasil ini sangat tergantung pada kondisi sawah, letak sawah, tingkat kesuburannya dan sebagainya, sehingga jarang sekali mereka membuat perjanjian khusus yang menyimpang dari apa yang telah berlaku pada blang atau sawah bersangkutan. Untuk bagi hase’ tanaman keras, baru dilaksanakan pembagiannya setelah tanaman mulai berbunga atau berbuah. Dalam hal ini yang dibagi adalah jumlah batangnya, termasuk batang sisipan yang belum dewasa. Di daerah Aceh, khususnya di Aceh Besar jika seseorang menanam tanaman keras seperti pohon kelapa dan pohon pisang pada tanah milik orang lain, dengan persetujuan jika pohon-pohon yang bersangkutan berbuah, maka pohon-pohon itu akan dibagi antara pemilik tanah dan yang menanam pohon-pohon itu dalam bentuk mawaih (1/2:1/2). Dalam hal ini yang dibagi hanya khusus pohon-pohonnya saja. Tanah tempat pohon itu tumbuh tetap (menjadi hak si pemilik tanah. Pada umumnya pembagian hasil ini dilakukan dengan diawali upacara bersama yang dihadiri oleh kepala gampong (keuchik) setempat. Petani penggarap yang menanami tanaman keras atas tanah milik orang lain, pembagiannya tidak termasuk tanahnya. Yang menanam/penggarap hanya mempunyai hak pakai saja atas tanah yang bersangkutan selama tanaman yang ditanam masih hidup. Jika akan mengganti tanaman yang sudah mati atau akan menebang tanaman yang sudah tua untuk diremajakan sebelumnya harus minta persetujuan dari pemilik tanah.
61
Budaya Masyarakat Aceh
Selain sistem bagi hasil seperti diuraikan di atas juga masih ada sistem bagi hasil bentuk lain di antaranya yaitu bagi hase tanoh lampoih dan bagi hase tanoh loon (bagi hasil tanah kebun dan bagi hasil tanah yang berada di sepanjang tepian sungai Aceh). Tanoh loon merupakan tanah yang sangat subur yang berada di sepanjang kanan-kiri tepian sungai. Pada kedua jenis tanah itu biasanya ditanami dengan tanaman palawija, kacang-kacangan, sayuran dan sebagainya. Selain itu khusus pada tanoh loon juga ditanami jenis tanaman keras yang menghasilkan buah-buahan. Pada daerah tertertentu di Nanggroe Aceh Darussalam ada bentuk bagi hasil yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah bungkay yang artinya sama dengan siewa (sewa). Bagi hasil dengan sistem bungkay ini biasanya pohon yang ditanam berwujud sayur-sayuran seperti kangkung darat, kacang panjang, kedelai dan sebagainya. Bagi hasil dengan sistem bungkay ini biasanya dalam bentuk in natura. Misalnya, jika tanah tersebut ada kesepakatan untuk ditanami tebu si penanam ini nantinya harus memberi blek manisan kepada yang mempunyai tanah. Pada umumnya bungkay disesuaikan dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dengan si penggarap. Pada bagian lain di daerah ini juga berlaku sistem bagi hasil atas tanah sawah berpengairan dengan pembagian hasil panen 1: 1. Bagi hasil di daerah ini juga dilakukan berdasarkan atas rasa saling percaya di antara kedua belah pihak. b. Bidang Peternakan Sebagaimana dengan sistem bagi hasil atas tanah, bagi hasil dalam bentuk pemeliharaan ternak orang lain juga menunjukkan adanya variasi. Istilah yang dipakai dalam
62
Budaya Masyarakat Aceh
bentuk ini adalah mawaih atau meudua laba juga sangat tergantung pada jenis hasil yang diperjanjikan dalam kerjasama bagi hasil tersebut. Perjanjian bagi hasil dalam hal pemeliharaan ternak milik orang lain, baik itu berujud kerbau, kambing, lembu atau sapi terlebih dahulu ternak tersebut harus ditaksir usianya, besarnya, dan harus diketahui pula jenis kelaminnya. Taksiran ini untuk mengetahui harga pokok hewan yang bersangkutan yang dalam istilah Aceh disebut dengan pangkay. Jika pangkay ini telah ditentukan ternak tersebut kemudian diserahkan kepada seseorang yang telah bersedia memeliharanya. Jika ternak yang akan dipelihara tersebut berjenis kelamin betina nanti setelah beranak dan berkembang biak menjadi banyak yang akan dibagi adalah anak-anak hewan dari induk ternak yang diperjanjikan dalam bentuk mawaih. Seandainya yang akan dibagi hasil berupa keuntungan sebagai akibat adanya selisih harga pokok (pangkay) yang telah ditetapkan bersama, ketika hewan tersebut diserahkan oleh pemilik kepada si pemelihara, maka perjanjian tersebut disebut meudua laba. Bagi hasil ternak ini dapar terjadi antara pemilik ternak dengan saudara atau famili, teman orang lain yang sudah dikenal atau diperkenalkan lewat perantara. Biasanya kerja sama bagi hasil ternak ini dilakukan dengan orang sedesa atau dengan orang yang tempat tinggalnya tidak terlalu jauh sehingga si pemilik dapat memantau ternak-ternaknya. Jika menurut perkiraan si pemilik ternak ternyata ternaknya tidak dirawat dengan baik, maka si pemilik dapat mencabut perjanjian itu dan menyerahkan kepada orang lain untuk dipelihara. Sedangkan jerih payah si pemelihara dapat diganti
63
Budaya Masyarakat Aceh
rugi menurut taksiran jumlah anak yang lahir dibagi dua dan kemudian dinilai dengan uang. Dalam perjanjian ini, baik pemilik maupun pemelihara mempunyai hak dari anak ternak yang lahir dari induk yang dipelihara. Pembagian itu adalah sebagai berikut si pemilik mendapatkan bagian yang lebih besar yaitu dua suke (2/3 bagian) dan yang memelihara memperoleh saboih suke (1/3 bagian). Pembagian semacam ini berlaku khusus untuk ternak kerbau. Sedangkan untuk ternak sapi pembagiannya agak beda. Anak sapi yang telah dewasa dibagi sama banyak antara pemilik dan pemelihara yaitu masing-masing dua suke (1/2 bagian). Pembagian semacam ini banyak terdapat di daerah Aceh Besar yang lazimnya disebut saboih phaa, dua phaa, atau lhe (satu kaki, dua kaki, atau tiga kaki). Namun ada pula yang menyebut sa suke, dua suke, dan lhee suke (satu bagian, dua bagian, dan tiga bagian). Setelah adanya kesepakatan pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada pemelihara. Setelah ternak diterima si pemelihara bertanggung jawab atas keselamatan ternak dari pencurian dan terkaman binatang buas. Di samping itu, si pemelihara juga harus menyediakan kandang, memberi pakan dan lain-lain pekerjaan yang ada hubungannya dengan pemeliharaan ternak sampai saatnya ternak tersebut tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak. Hasilnya baru dapat dinikmati oleh kedua belah pihak setelah ternak itu dijual dan keuntungannya dibagi dua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Semua perjanjian yang berhubungan dengan pemeliharaan ternak ini tidak ada yang tertulis, tetapi hanya lisan saja dan tanpa menghadirkan saksi. Jadi, semuanya
64
Budaya Masyarakat Aceh
semata-mata hanya berdasarkan salin percaya dari kedua belah pihak. Perjanjian bagi hasil ini dapat diakhir setiap saat, baik karena kemauan dari kedua belah pihak maupun oleh salah satu pihak yang terikat perjanjian. Setelah adanya pemutusan perjanjian bagi hasil ini masing-masing pihak akan mendapatkan bagian yang menjadi haknya. Jika pada saat pemutusan ada ternak yang bunting (uluue), maka kedua belah pihak akan tetap memperoleh bagian atas tanah hewan tersebut. Mengenai pembagiannya diputuskan nanti setelah ternak yang bunting itu melahirkan dan anaknya ditaksir dengan harga menurut kesepakatan bersama dan dari harga taksiran itu kemudian dibagi dua sama besar. Jika ternak yang bunting itu oleh pemiliknya kemudian diserahkan kepada orang lain untu dipelihara, orang yang memelihara itupun tidak berhak atas anak ternak yang akan dilahirkan sampai saatnya disapih dari induknya. Jika ada ternak yang hilang atau mati dalam masa pemeliharaan, pemelihara tidak diharuskan mengganti. Dengan demikian, dapat dikatakan risiko yang besar atas mati hidupnya ternak dibebankan kepada si pemilik ternak, sedangkan pemelihara hanya bertanggung jawab merawat, memelihara, membesarkan dan menyediakan kandang. 3. Adat Tentang Pelanggaran Yang termasuk dalam kategori pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Hukum pelanggaran diartikan ketentuan-ketentuan hukum adat yang
65
Budaya Masyarakat Aceh
mengatur tentang apa yang termasuk dalam pelanggaran dan ancaman hukuman yang akan dijatuhkan terhadap si pelanggar. Peraturan-peraturan hukum adat yang mengatur tentang pelanggaran ini tidak ada yang tertulis. Perbuatanperbuatan mana yang termasuk pelanggaran. Hukuman pada umumnya berasal dari hukum Islam. Jenis-jenis pelanggaran yang diatur oleh hukum adat Aceh belum dapat dikumpulkan sebab belum adanya penulisan yang khusus untuk itu. Berbeda dengan sistem yang dianut oleh hukum pidana dalam KHUP yang berasal dari hukum perbuatan itu tidak dibedakan. Yang termasuk dalam pelanggaran tersebut adalah a. Pembunuhan Sebelum kedatangan agama Islam pembunuhan dan perbuatan jahat lainnya banyak dilakuka di Aceh, tetapi setelah agama Islam berkembang jumlahnya menurun karena persengketaan-persengketaan yang mengakibatkan pembunuh-an dengan cepat dapat diselesaikan, baik secara damai maupun diserahkan pada pengadilan. Setelah Islam berkembang, maka hukuman terhadap pembunuhan adalah qisas, yaitu pembalasan yang sama dengan pembunuhan dan diadakan pula hukuman denda (diet) Hukuman terhadap yang membunuh hanya dijatuhkan apabila pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja oleh orang yang berakal dengan mempergunakan perkakas yang sengaja dipergunakan untuk itu, kecuali dimaafkan oleh ahlinya dengan membayar denda.
66
Budaya Masyarakat Aceh
b. Pencurian Dalam hukum adat Aceh pencurian dianggap perbuatan yang hina. Mencuri adalah perbuatan mengambil milik orang lain tanpa suatu alasan yang sah. Dahulu kala terhadap orang yang melakukan pencurian dijatuhkan hukuman yang berat. Oleh karena itu, orang merasa takut untuk melakukan pencurian. Pencurian baru terjadi apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut 1. Mengambil tanpa hak terhadap milik orang lain yang tersimpan atau terpelihara dengan baik. 2. Barang tersebut berharga sekurang-kurangnya ¼ dinar. 3. Si pencuri adalah baligh dan berakal sehat. Ancaman hukuman terhadap pencuri dalam hukum adat adalah potong tangan terhadap barang-barang yang tahan lama. Orang-orang yang membantu melaksanakan pencurian dikenai hukuman tergantung besar-kecilnya kesalahan. Mengenai ancaman hukuman dapat diperinci sebagai berikut:
a. Apabila mencuri untuk pertama kali dipotong tangan kanannya4. b. Mencuri untuk kedua kalinya dipotong kaki kirinya. c. Mencuri ketiga kali dipotong tangan kirinya.
4
Pencurian yang diancam dengan hokum potong tangan antara lain mencuri kain kafan dengan membongkar kuburan, pencurian ke dalam rumah dengan membongkar, mencuri patung emas, mencuri kain di tempat pemandian umum, dan perzinahan.
67
Budaya Masyarakat Aceh
d. Mencuri untuk kanannya.
keempat
kalinya
dipotong
kaki
c. Perzinahan Perzinahan (bahasa Aceh: meumukah) dianggap sebagai suatu kejahatan besar yang diancam dengan hukuman yang berat. Orang yang melakukan perbuatan zinah ini yaitu orang yang dapat dipertanggungjawabkan yaitu orang merdeka, dewasa, sudah beristri yang belum mendkhuli istrinya. Sebelum terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam hukuman terhadap penzinah adalah dirajam dan dipukul dengan cambuk. Terhadap orang merdeka yang melakukan zinah dipukul masing-masing 100 kali dan diasingkan tempat tinggalnya di luar kampung selama 1 tahun. Terhadap budak yang melakukan perzinahan dipukul sampai 50 kali dan diasingkan tempat tinggalnya di luar kampung selama ½ tahun. Setelah terbentuk Kerajaan Aceh adat yang bertentangan dengan hukum Islam dihapuskan. Pelaksanaannya dilakukan dengan jalan dibenamkan dalam kali sampai mati yang dalam istilah bahasa Aceh disebut boh trieng doe bak takue. Harus diingat bahwa tidak bengitu mudah untuk membuktikan adanya perbuatan zinah, harus dibuktikan oleh 4 orang saksi laki-laki yang adil yang dapat menerangkan tentang terjadinya perzinahan yakni melihat adanya persetubuhan. d. Perampokan Perampokan adalah pengambilan barang orang lain dengan kekerasan dengan maksud memilikinya. Perbuatan merampok ini dianggap suatu perbuatan yang hina dalam
68
Budaya Masyarakat Aceh
masyarakat. Ancaman hukuman terhadap perampokan ini adalah potong tangan. e. Minum Arak Membuat dan menjual minuman yang memabukkan seperti arak dan sebagainya terlarang menurut hukum adat Aceh. Memang ada sejenis minuman yang dapat dijadikan arak yaitu air (nira) enau yang disebut ie jok, tetapi orang Aceh mengetahui dengan baik bila air nira itu berubah menjadi arak yang memabukkan. Menurut hukum adat dilarang meminum minuman arak. B. Upacara Tradisional 1. Adat dan Upacara Kenduri Yang Berkaitan dengan Kepercayaan a. Kenduri Apam Upacara mengandung arti berdasarkan upacara itu sendiri, namun pada dasarnya upacara itu berwujud perayaan atau pesta. Suyono (1985: 423) menyatakan bahwa upacara merupakan suatu pesta tradisional yang telah diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan literatur dan wawancara dengan informan pelaksanaan kenduri apam dilaksanakan pada bulan Rajab terutama pada malam 27 Rajab yang diperingati sebagai perjalanan Israk Mikraj Nabi Muhammad Saw, pada malam hari masyarakat berkumpul di meunasah, mesjid, atau di rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat Israk Mikraj yang disampaikan dalam bentuk syair prosa. Mengenai latar
69
Budaya Masyarakat Aceh
belakang pelaksanaan kenduri apam dikemukakan oleh seorang informan sebagai berikut : "Dasar dilaksanakan kenduri apam pada mulanya ditujukan kepada orang laki-laki yang tidak sembahyang Jumat ke Mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke Mesjid dan akan di kenduri (dimakan bersama) sebagai sedekah. Dengan seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang bersangkutan sering meninggalkan kewajiban sembahyang Jumat" Selanjutnya Hurgronje (1985: 250), mengemukakan pula versi yang berbeda mengenai latar belakang pelaksanaan kenduri apam sebagai berikut, "Menurut kisah, pernah ada seoerang Aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat-malaikat kubur Munkar dan Nankir dan hukuman-hukuman yang mereka jatuhkan, ia berpurapura mati dan dikuburkan hidup-hidup. segera ia diperiksa oleh kedua malaikat mengenai agama dan amalnya, karena banyak kekurangannya, maka orang tersebut mulai dipukul dengan pentungan besi . Tetapi, pukulan itu tidak mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan mempunyai bentuk seperti bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan. Ia berhasil keluar dari tempatnya yang sempit (kuburannya) dan segera menemui anggota keluarganya dan terkejut
70
Budaya Masyarakat Aceh
melihatnya kembali. Ketika pengalamannya diceritakan, diketahuilah bahwa yang menolongnya sewaktu dipukul di kubur bulat seperti bulan adalah kue apam yang sedang dibuat oleh keluarganya" Di setiap rumah orang membuat kue apam (serabi) dari bahan tepung beras dan santan, berbentuk bulat dan dibawa sebagai kenduri ke mesjid dan meunasah. Sampai 100 kue apam ditumpuk di atas pinggan disertai sebuah mangkok seurawa (saus) yang terdiri dari santan, gula dan telur dikocok. Kue apam mempunyai pengaruh baik terhadap nasib mereka yang meninggal. Sebab itu dapat dikatakan bahwa asal mulanya orang Aceh membuat kue apam dan membagikannya sebagai kenduri dalam bulan ke-7 dari tahun Hijriah, demi leluhur dan anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Selain itu, kenduri apam juga dilaksanakan di rumah pada hari ke-7 sesudah orang meninggal, juga kalau terjadi gempa bumi karena gempa itu akan mengocok sisa-sisa mayat. Uraian sebelumnya menerangkan bahwa untuk menghubungkan manusia dengan alam sekelilng mereka di luar rasionalitas yang dimiliki memerlukan unsur-unsur tertentu sebagai mediator. Pada kenduri apam mediatornya adalah kue apam yang disimbolkan dapat membuat seseorang terhindar dari hukuman atau denda, sekaligus sebagai sedekah kepada orang banyak. Simbol-simbol ini dapat menjadi benang penghubung antara manusia dengan kenyataan-kenyataan yang ada di luar dirinya. Geertz dalam Suparlan (1981:18) menyatakan, "Dalam upacara simbol berperanan sebagai alat penghubung antara sesama manusia dan antara
71
Budaya Masyarakat Aceh
manusia dengan benda; dan juga sebagai alat penghubung antara dunia yang nyata dengan dunia yang gaib. Hal-hal atau unsur-unsur yang gaib berasal dari dunia gaib menjadi nampak nyata dalam arena upacara berkat peranan dari berbagai simbol (baik yang suci maupun yang biasa) ..." Dewasa ini kenduri apam telah jarang dilakukan oleh masyarakat Aceh. Kalaupun dilakukan kenduri apam tidak besar-besaran hanya secara sederhana. Selain itu, alasan pelaksanaan kenduri apam yang dikemukakan berbeda antara kecamatan yang satu dengan lainnya dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. b. Kenduri Blang Upacara kenduri blang merupakan salah satu upacara dari sejumlah upacara kenduri yang terdapat pada masyarakat Aceh, terutama bagi para petani di pedesaan. Upacara ini dilatarbelakangi dari kesepakatan para ulama yang membenarkan dapat melakukan kenduri dalam melaksanakan segala sesuatu untuk kebaikan yang dapat memberikan manfaat. Dalam melaksanakan hal yang demikian itu yang terpenting adalah adanya niat yang tulus serta diiringi dengan kerja keras, doa, dan sedikit pengorbanan. Adapun yang dimaksud dengan pengorbanan di sini adalah mengeluarkan sedikit harta benda untuk disedekahkan atau dalam bentuk kenduri. Berkaitan dengan itu, salah satu dari kesepakatan ulama tersebut bahwa di antara sepuluh macam kenduri yang dapat dilakukan adalah kenduri pada
72
Budaya Masyarakat Aceh
awal sesuatu pekerjaan yang baik, di antaranya termasuk upacara kenduri blang ini. Sudah merupakan suatu kebiasaan para petani di Aceh, apabila hendak mengerjakan sawah untuk bercocok tanam terutama tanaman padi tidak boleh melakukan dengan sekehendaknya sendiri-sendiri. Hal ini harus terlebih dahulu dimulai dengan kenduri blang. Dengan demikian, maksud daripada kenduri blang adalah sebuah upacara kenduri yang dilangsungkan di sawah sebelum para petani memulai kegiatannya mengerjakan sawah. Lazim juga masyarakat menyebutnya dengan kenduri Troeun U Blang (turun ke sawah). Upacara kenduri blang dilakukan dalam tiga tahapan, tetapi secara umum yang dikenal hanya satu kali yaitu kenduri pada tahap pertama. Hal yang demikian disebabkan karena kenduri pada tahap pertama ini berlangsung secara massal. Kenduri-kenduri pada tahap berikutnya hanya dilakukan oleh pribadi petani yang bersangkutan masingmasing. Upacara tahap pertama yang diselenggarakan secara massal dilakukan pada saat menjelang para petani akan turun ke sawah, sedangkan upacara tahap kedua dilakukan pada saat padi telah setengah umur dan batangnya telah mulai bulat pertanda akan segera bunting. Selanjutnya, upacara kenduri terakhir, dilakukan di rumah pada saat mereka menunaikan zakat bagi mereka yang berhasil mencapai kewajiban mengeluarkan zakat. Kadangkala bagi mereka yang belum beruntung yang mana hasil panen yang dicapainya belum mencapai taraf kewajiban membayar zakat,
73
Budaya Masyarakat Aceh
juga turut serta menyelenggarakan kenduri, tetapi hanya sebagai tanda syukur, bukan kenduri penyerahan zakat. Karena kenduri pada tahap kedua dan ketiga dilakukan oleh petani yang bersangkutan secara sendirisendiri, maka dilakukan atau tidak kenduri tersebut sangat tergantung kepada pribadi petani itu sendiri. Biasanya, mereka tetap menyelenggarakan kenduri walau secara sederhana. Bagi mereka yang kondisi ekonominya lemah, mereka sangat bahagia bila mampu memberi makan bagi seorang yatim walau hanya untuk sekali waktu, apalagi bagi mereka yang berkecukupan. Kesemuanya ini mereka lakukan hanyalah semata-mata disebabkan motivasi imbalan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu, karena upacara kenduri ditahap kedua dan ketiga ini dilakukan secara pribadi oleh petani yang bersangkutan, kadang-kala disebabkan oleh satu dan lain hal, tentu ada di antara mereka yang tidak melakukannya. Kemudian dengan kondisi lahan yaitu sawah tadah hujan tanpa irigasi teknis yang memadai, membuat para petani di Aceh hanya dapat bertanam sekali setahun yaitu pada musim penghujan, maka upacara kenduri blang pun berlangsung setahun sekali pada tiap tahun. Sebagaimana telah kami uraikan di atas, bahwa upacara kenduri blang berlangsung tiga tahapan yaitu kenduri pada saat akan turun ke sawah (troeun u blang ), kenduri pada saat batang padi sudah bulat menjelang bunting dan kenduri pada saat mengeluarkan zakat. Mengenai tempat penyelenggaraan ketiga tahapan kenduri ini dilakukan pada tiga tempat yang berbeda, yaitu tahap pertama sering dilakukan di lapangan-lapangan yang berdekatan dengan sawah yang akan ditanami atau di tengah-tengah sawah yang akan ditanami, yaitu suatu tempat yang sengaja dibuat agak
74
Budaya Masyarakat Aceh
luas di tengah-tengah persawahan dan ditanami pepohonan yang rindang. Tempat ini selain berfungsi sebagai tempat upacara kenduri troeun u blang, juga berfungsi sebagai tempat perteduhan para petani jika hendak beristirahat pada waktu sedang menggarap sawahnya. Selain itu, di tempat ini pula padi yang telah selesai dipanen dipusatkan (Phui Padee) sebelum digirik. Kemudian padi dianginkan (Peukrui Padee) dibersihkan/disiangi, baru setelah itu dibawa pulang ke rumah. Pada tahap kedua yaitu kedua kenduri yang dilakukan pada saat batang padi telah bulat dan akan mulai bunting, dilakukan pada beberapa petak sawah secara simbolik saja. Upacara ini hanya berlangsung secara sederhana dan penyelenggaraannya tidak serentak, hal yang demikian disebabkan karena di samping diadakan oleh masing-masing petani yang bersangkutan, juga disebabkan perbedaan bibit yang ditanami dan tingkat kesuburan tanah yang berbeda pula. Sedangkan upacara kenduri yang terakhir yaitu upacara kenduri penyerahan zakat dilakukan di rumah masing-masing petani yang berhasil menunaikan zakat. Oleh karena itu, kenduri ini tidak dilakukan oleh semua petani. Sebagian dari mereka hasil panennya belum mencapai hasil yang diharuskan mengeluarkan zakat. Dalam upacara kenduri tahap pertama yaitu kenduri troeun u blang dipimpin dan dikoordinir secara langsung oleh kepala desa dan dibantu oleh Keujreun Blang (pengetua sawah), imeum meunasah (imam musalla) yang ada di desa dimana upacara diselenggarakan. Begitu pula oleh seluruh petani yang bermukim di desa yang bersangkutan. Selanjutnya, pada upacara kenduri tahap kedua dan ketiga, karena upacara kendurinya yang sedemikian sederhana, maka
75
Budaya Masyarakat Aceh
penyelenggara teknisnya cukup dilakukan oleh keluarga batih petani itu sendiri dan dibantu oleh teungku imeum meunasah (ustaz). Selain penyelenggara teknis, dalam upacara tahap pertama semua penduduk dalam satu desa terlibat dalam kenduri ini. Baik ia sebagai penentu kebijaksanaan, perencana, pelaksana maupun hanya sebagai penikmat dari hidangan kenduri itu sehingga tidak satupun warga yang tidak terlibat dalam upacara kenduri, baik pria, wanita, dewasa maupun anak-anak. Pada tahap kedua dari upacara ini yang diselenggarakan oleh para petani yang bersangkutan hanya melibatkan keluarga batih, teungku imeum meunasah dan beberapa petani yang sawahnya berdekatan. Keterlibatan petani yang petak sawahnya berdekatan inipun biasanya hanya kebetulan saja yang mana pada saat upacara berlangsung petani tersebut kebetulan sedang berada di sawah, maka diajaklah mereka bergabung dalam upacara ini. Dalam tahap terakhir yang terlibat dalam upacara ini adalah terdiri dari keluarga batih petani yang bersangkutan, beberapa orang tetangga dekat, sejumlah anak yatim yang diundang, pengetua desa, imam meunasah, dan yang terpenting adalah pengurus zakat di desa tersebut sebagai penerima penyerahan zakat dalam upacara ini. c. Kenduri Tulak Bala Di beberapa daerah dalam kawasan Nanggroe Aceh Darussalam, upacara kenduri tulak bala (tolak bala), mempunyai latar belakang yang jauh berbeda dengan upacara
76
Budaya Masyarakat Aceh
kenduri-kenduri lainnya. Bahkan dapat dikatakan bertolak belakang. Sebab sebagian besar dari upacara kenduri yang terdapat dalam masyarakat Aceh dilatarbelakangi oleh ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kita sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengerjakan/berbuat sesuatu untuk kebaikan dengan hasil yang sempurna. Dengan hasil tersebut manusia dapat hidup dalam kemakmuran, rukun dan damai di atas permukaan bumi ini, begitu pula harapannya di akhirat kelak, sepantasnyalah manusia itu bersyukur kepada Tuhannya. Sebagai manusia hamba Tuhan, kadangkala kita bisa lupa diri, sehingga dengan seenaknya baik disadari maupun tidak manusia itu telah berbuat bathil. Apabila hal yang demikian terus berlanjut, maka Tuhan pun sering memperingatkan manusia itu dengan berbagai bentuk dan cara. Salah satunya adalah menimpa manusia ini dengan berbagai bala (musibah). Bala ini dapat berbentuk semacam penyakit yang datang secara tiba-tiba dan begitu dramatis, seperti datangnya sesuatu penyakit yang begitu hinggap pada tubuh manusia ataupun hewan maupun tumbuh-tumbuhan langsung mati. Menurut istilah Aceh, "Jangankan berobat, mengucap kalimah syahadah saja tidak sempat". Penyakit semacam ini di Aceh di istilahkan dengan bala taeun ija breok. Sedangkan bentuk lain dari bala ini dapat berupa kebakaran besar, angin kencang, air bah, kemarau yang berkepanjangan dan lain-lain. Apabila hal itu telah menimpa manusia, dan dengan segala daya upaya manusia telah berusaha untuk menghindarinya, namun juga belum membawakan hasilnya. Secara logika manusia hal itu memang sudah tidak dapat
77
Budaya Masyarakat Aceh
dihindari, jalan satu-satunya sebelum manusia itu pasrah, adalah berdoa kepada Tuhan memohon keampunan dan dijauhkan dari marabahaya yang sedang melanda mereka. Maka diadakanlah kenduri tulak bala ini. Latar belakang lainnya dari upacara kenduri tulak bala tersebut adalah dianalogikan dari kisah terdamparnya kapal Nabi Nuh a.s. pada bukit Kaf. Sedangkan pada beberapa daerah lainnya dalam kabupaten Aceh Besar, upacara kenduri tulak bala ini dilatar belakangi oleh adanya keinginan yang kuat terhadap hasil usaha yang sedang mereka kerjakan. Misalnya, terhadap padi yang telah mereka tanam sehingga upacara kenduri tulak bala ini rutin dilakukan setiap tahunnya. Sebagaimana latar belakang upacara yang telah kami uraikan di atas, maka upacara kenduri tulak bala ini di beberapa daerah tidak lazim diadakan. Upacara ini baru dilakukan apabila telah terlihat adanya gejala sesuatu musibah akan datang menimpa mereka. Contohnya, apabila sesuatu desa yang berdekatan dengan desa mereka telah tertimpa oleh salah satu malapetaka/musibah/bala yang secara logika manusia tidak dapat menghindarinya, maka upacara ini baru diadakan. Pada beberapa daerah di Nanggroe Aceh Darussalam lainnya upacara ini rutin dilakukan setiap tahunnya, yaitu pada saat menjelang padi yang ditanaminya mulai bunting. Walaupun upacara kenduri tulak bala ini memiliki latar belakang upacara yang berbeda dengan versi upacaranya yang berbeda pula, tetapi tempat upacaranya sama yaitu di babah jurong (mulut lorong) sehingga upacara kenduri tulak bala ini sering juga disebut dengan kenduri Babah Jurong. Tempat ini dipilih mengingat ada anggapan bahwa bala itu
78
Budaya Masyarakat Aceh
datang melalui lorong (jurong) sebagaimana biasanya mereka pulang ke rumah. Dengan mereka mengadakan upacara di tempat itu, mereka beranggapan bahwa rencana bala tersebut mendatangi mereka telah terlebih dahulu mereka halangi dengan doa yang mereka bacakan pada saat upacara berlangsung, sehingga selamatlah mereka dari ancaman maut tersebut. Dalam upacara ini tidak terdapat perlengkapan upacara yang khusus, tetapi pada masyarakat yang melakukan upacara kenduri babah jurong dengan memasak bubur beras, sebelum upacara kenduri dilakukan terlebih dahulu mereka mengadakan semacam pawai dengan menggunakan suwa (obor). Obor inipun sebenarnya bukan sebagai bagian dari perlengkapan upacara itu, tetapi hanyalah sebagai penerang belaka. Sedangkan pada masyarakat yang mengadakan upacara dengan kenduri sebagai mana orang berkenduri, juga tidak ditemukan adanya kelengkapan khusus. Jadi dalam upacara kenduri tulak bala itu baik yang dilakukan di daerah dengan latar belakang kendurinya dari patungan sisa bahan makanan yang tertinggal dalam kapal Nabi Nuh, maupun di daerah yang melakukan kenduri dengan latar belakang agar usaha pertanian (padi) mereka dapat berjalan dengan sempurna, tidak terdapat kelengkapan upacara yang khusus dan memiliki makna atau simbol tertentu. Sebagaimana kami uraikan di atas di beberapa wilayah, malam hari sebelum upacara kenduri dilakukan mereka terlebih dahulu berpawai keliling kampung dengan menggunakan obor sebagai penerangnya. Selama pawai berlangsung, didalam perjalanan keliling desa dengan berjalan
79
Budaya Masyarakat Aceh
kaki, mereka secara bersama-sama membacakan "Waquljaa al haqqu wazahaqal baathil, innal baathil nalaka zahuuqa". Besok harinya upacara baru dilakukan di babah jurong. Upacaranya sederhana saja. Pada hari itu setelah bahan kenduri yang telah dikumpulkan seperti beras, kelapa, pisang dan lainnya dimasak. Suatu hal yang rada aneh bila kita perhatikan, di mana bubur ini dimasak dengan rasanya yang asin, tidak sebagaimana biasanya kita memasak bubur. Hal yang demikian juga dianalogikan dari latar belakangnya, yang mana pada saat itu memang tidak ada lagi gula yang ada hanyalah garam, maka dibuatlah bubur itu dengan rasanya asin. Kemudian setelah bubur masak mereka secara bersama-sama membacakan doa yang dipimpin oleh teungku imeum menasah. Doa ini berintikan permohonan ampun dan dijauhkan mereka dari malapetaka seperti yang sedang dialami oleh warga desa lainnya. Setelah itu bubur ini dimakan secara bersama-sama, bila bubur tidak habis lalu dibagi-bagikan lagi sampai habis. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa bubur ini tidak boleh dimakan berulang kali, maksudnya tidak boleh melebihi satu porsi dan tidak boleh dibawa pulang. Bahkan bukan hanya buburnya saja yang tidak boleh dibawa pulang, tetapi semua bahan yang dibawa untuk dimasak bubur itu bila berlebih tidak boleh dibawa pulang lagi, kecuali peralatan untuk memasaknya yang bisa dibawa pulang. Pada masyarakat yang melakukan upacara kenduri di saat padi mulai bunting, jalannya upacara ini juga sangat sederhana, yang mana setelah semua bahan makanan dimasak di rumah untuk hidangan kenduri, kemudian dibawa ke babah jurong yang telah mereka pilih. Lalu kemudian disitu mereka
80
Budaya Masyarakat Aceh
berdoa yang intinya memohon kepada Tuhan agar padinya yang telah bunting itu dapat dipanen secara sempurna dan mencapai hasil hingga mereka dapat menunaikan zakat. Setelah mereka menikmati hidangan kenduri yang telah disiapkan secara bersama-sama. Di dalam upacara ini baik yang dilakukan menurut versi pertama maupun menurut versi kedua, tidak ada undangan khusus, tetapi hidangan kenduri itu diberikan kepada siapa saja, baik yang berada di tempat itu maupun bagi siapa saja yang kebetulan lewat pada saat upacara diselenggarakan. 2. Kenduri yang Berkaitan dengan Hari-Hari Perayaan Agama a. Kenduri Maulod Pelaksanaan kanduri Maulod (kenduri Maulid) pada masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang Ulee (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir pembawa dan penyebar ajaran agama Islam. Kenduri ini sering pula disebut kanduri Pang Ulee. Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiul Akhir
81
Budaya Masyarakat Aceh
sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir. Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiul Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadil awal. Umumnya seluruh masyarakat mengadakan kenduri maulid hanya waktu pelaksanaan yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan dari masyarakat. Kenduri maulid yang diselenggarakan masyarakat Aceh merupakan suatu keharusan. Maksud penyelenggaraan kenduri maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan. Penyelenggaraan kenduri maulid dapat dilangsungkan kapan saja asal tidak melewati batas bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal, tepatnya mulai tanggal 12 Rabiul Awal sampai tanggal 30 Jumadil Awal. Selain itu waktu kenduri maulid ada yang menyelenggarakan pada siang hari dan ada pula yang menyelenggarakannya pada malam hari. Bagi desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada siang hari mulai jam 12 siang hidangan telah siap untuk diantar ke meunasah atau mesjid. Demikian pula bagi yang menyelenggarakan kenduri di rumah, hidangan telah ditata rapi untuk para tamu. Pertandingan meudikee maulod (zikir marhaban atau zikir maulid) dimulai sejak pukul 9 pagi dan
82
Budaya Masyarakat Aceh
berhenti ketika Sembahyang dilanjutkan kembali.
dhuhur
untuk
kemudian
Selanjutnya desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada malam hari hidangan dibawa ke meunasah atau mesjid setelah sembahyang Ashar atau menjelang maghrib, sedangkan lomba meudikee maulod dilangsungkan setelah sembahyang Isya. Penyelenggaraan kenduri maulid umumnya dilangsungkan di meunasah atau mesjid. Panitia pelaksana kenduri mengundang penduduk dari desa-desa lain yang berdekatan atau desa tetangga minimal empat desa, terkadang ada juga yang mengundang semua desa dalam kemukimannya yang mana satu kemukiman terdapat 1 sampai 9 desa di dalamnya. Di samping itu ada juga yang melaksanakan kenduri di rumah saja atau secara pribadi disebut maulod kaoy (maulid nazar). Maulid ini diselenggarakan untuk melepas nazar yang menyangkut kehidupan pribadi atau keluarga disebabkan permohonan mereka kepada Allah SWT telah dikabulkan. Penyelenggaraan kenduri maulid ini sesuai dengan nazar yang dicetuskan sebelumnya. Apabila nazarnya ingin menyembelih seekor kerbau, maka pada saat kenduri akan disembelih hewan tersebut, demikian pula jika nazar ingin menyembelih seekor kambing maka wajib dilaksanakan. Daging hewan yang dinazarkan setelah dimasak dan ditambah lauk-pauk lainnya akan dihidangkan kepada undangan. Besar atau kecilnya kenduri tergantung kepada kemampuan orang yang melaksanakan.
83
Budaya Masyarakat Aceh
Pihak yang mengadakan kenduri, sebelumnya telah memberitahu kepada keuchik (kepala desa) dan teungku meunasah (imam desa). Apabila kendurinya besar akan dibentuk panitia yang berasal dari penduduk desa setempat. Penduduk dari luar desa tidak diundang, kecuali sanak saudara atau ahli famili pihak yang mengadakan kenduri serta anak yatim yang berada di sekitarnya. Hidangan yang menjadi keharusan dalam kenduri maulid di rumah berupa beuleukat kuah tuhee (nasi ketan dengan kuah), sebagai hidangan siang hari selain nasi dan lauk pauk. kuah tuhee tidak dimasak lalu dimakan bersama ketan. Pada malam hari hidangan yang harus disediakan berupa beuleukat kuah peungat. Kuah peungat adalah santan dicampur dengan pisang raja dan nangka serta diberi gula secukupnya lalu dimasak, kemudian dimakan dengan ketan. Kenduri maulid yang terdiri dari tiga tahap dimulai dari bulan Rabiul awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal. Apabila kenduri telah dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal berarti pelaksanaan kenduri pada tahun bersangkutan telah dilaksanakan, tidak perlu diadakan lagi pada pada bulan Rabiul Akhir dan bulan Jumadil Awal. Dengan demikian, ketiga tahap pelaksanaan kanduri tadi bukan berarti ketiga bulan dilaksanakan, hanya salah satu tahap saja. Namun bagi yang belum melaksanakan kenduri pada bulan Rabiul Awal dapat melaksakan pada dua bulan berikutnya karena ada kemungkinan pada bulan pertama tadi masyarakat belum mempunyai kemudahan rezeki. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal mempunyai nilai yang
84
Budaya Masyarakat Aceh
sama tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, hanya tergantung kepada kemampuan dan kesempatan warga desa. b. Israk Mikraj Upacara ini untuk memperingati kenaikan Nabi Muhammad SAW yang diantar oleh Malaikat Jibril menghadap Allah SWT di langit ke tujuh. Seperti halnya, dengan upacara Maulid, Israk Mikraj juga diperingati oleh masyarakat Aceh, hanya saja kenduri yang dilaksanakan lebih sederhana. Upacara ini dilaksanakan pada malam hari di meunasah. Pada waktu upacara masyarakat gampong menghadirinya dengan membawa makanan ringan (kue-kue) dan minuman. Materi acara biasanya disajikan ceramah tentang peristiwa Israk Mikraj oleh salah seorang teungku. Penceramah itu adakalanya diundang dari kampung lain atau dayah tertentu yang populer. c. Nisfu Syakban Upacara ini dilaksanakan ada 15 hari bulan Syakban yang berlangsung pada malam hari di meunasah. Upacara ini dirayakan dengan ceramah agama oleh seorang teungku sehubungan dengan menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan (bulan puasa). Setelah selesai cara para hadirin melakukan makan kenduri bersama yang dibawa penduduk gampong bersangkutan. d. Siploh Muharram (sepuluh muharram) Orang Aceh menyebutnya urou asyura. Upacara ini dilaksanakan untuk memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan Husen. Pelaksanaannya dilakukan oleh kaum wanita pada siang hari berupa kenduri di meunasah-meunasah, dengan membuat bubur nasi yang dibagi-
85
Budaya Masyarakat Aceh
bagikan kepada semua penduduk gampong. Kenduri ini dalam istilah Aceh disebut kenduri ie bu kanji (kenduri bubur). e. Peutamat Daruih (pengkhataman Al Qur'an) Pada bulan puasa setiap malam (mulai malam pertama) dilangsungkan pembacaan ayat Al Qur'an di meunasah-meunasah yang dilakukan oleh anak-anak muda (khusus laki-laki) dan para lintho baro secara sambung bersambung yang disebut meudaruih (taddarus). Bila pengajian taddarus itu sudah tamat, maka dilangsungkan kenduri peutamat daruih di meunasah yang dilakukan dengan cara buka bersama yang juga biasanya diundang orang kampung lain. f. Kenduri 27 puasa Kenduri ini dilaksanakan dalam rangka menyambut malam 27 Ramadhan. Pada malam ini seluruh penduduk gampong yang pergi ke meunasah untuk makan kenduri dengan berbuka bersama g. Kenduri boh kayee (kenduri buah-buahan) Kenduri ini dilaksanakan pada bulan Jumadil Akhir dan sudah menjadi suatu kebiasaan Orang Aceh. Pada suatu hari bulan itu, mereka menyediakan bermacam-macam buahbuahan untuk kenduri atau sedekah kepada mesjid atau meunasah agar dapat dinikmati oleh mereka yang rajin mengunjungi tempat-tempat ibadah itu di bawah pengawasan imam mesjid atau teungku meunasah.
86
Budaya Masyarakat Aceh
3. Kenduri Yang Berkaitan dengan Life Cycle a. Upacara Kematian Demikian juga pada upacara kematian, masyarakat Aceh umumnya melaksanakan menurut ketentuan Islam. Seperti terdapat dalam kitab-kitab hukum Islam, dalam hal seorang Islam meninggal, ada empat hal yang harus dilakukan oleh mereka yang harus ditinggalkan, yaitu memandikan jenazah, membungkusnya dengan kain kafan, menyembahyangkan dan menguburkan. Keempat hal ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum Islam. Namun demikian, dalam pelaksanaan sesungguhnya sudah ditambah lagi dengan tradisi-tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, pada saat memandikan jenazah selain air, juga digunakan sabun (lebih baik yang dibawa dari Mekkah oleh mereka yang sudah menunaikan ibadah haji) atau digunakan air jeruk purut dalam istilah Aceh, boh kruet, serta juga daun sijaloh (sejenis daun yang tumbuh di pinggir-pinggir sungai) dengan meremas-remasnya dalam air yang digunakan untuk satu dari keenam kali pembasuhan. Begitu pula dengan upacara penangisan jenazah yang disebut pemoe bae (menangis secara meratap) pada saat jenazah diletakkan hendak dibawa ke kubur (upacara ini sekarang tidak dilakukan lagi). Selain itu, ada pula yang melakukan begitu iring-iringan pengantar jenazah meninggalkan rumah semua pakaian milik orang yang telah meninggal tersebut, diletakkan di atas tempat tidur dan ditaburi bunga yang wangi, dan pakaian tersebut dibiarkan di situ selama 44 atau 100 hari. Di bawah tempat tidur tersebut selalu diletakkan sebuah bejana yang disebut mundam yang penuh dengan iar
87
Budaya Masyarakat Aceh
untuk menghilangkan rasa haus roh yang meninggal (aruah). Dengan demikian, menurut kepercayaan rakyat, roh orang yang meninggal itu masih ada di dalam rumah selama jangka waktu tertentu setelah meninggal. Dalam upacara penguburan, teungku meunasah yang memimpin upacara membaca teuleukin (talqin) dari sebuah kitab yang disertai doa bagi ketenangan roh yang meninggal. Semua orang yang hadir kemudian membaca ratep (zikir), yakni mengulang seratus kali atau lebih kalimat la ilaha illa llah (tiada Tuhan selain Allah). Taleukin di kubur dimaksudkan terutama agar orang yang berada dalam kubur itu dapat mendengar kalimat syahadat yang terakhir sebelum ditinggalkan. Setelah selesai penguburan semua orang yang hadir kembali ke rumah duka di mana sudah menungggu suatu kenduri dengan hidangan nasi beserta lauk pauknya, yang dinamakan kenduri bagi mereka yang kembali dari kubur (atau disebut kanduri ureng woe bak jeurat). Hari-hari berikutnya dihitung sejak hari kematian, diadakan kenduri di rumah duka, mulai dari pertama sampai sepuluh, setiap malam diadakan pembacaan doa (samadiah) yang dilanjutkan dengan kenduri hari ketiga, kelima, ketujuh, dan kesepuluh diadakan agak besar. Selanjutnya, pada hari ketiga puluh, keempat puluh, keseratus dan tahun kematian (sampai setahun) juga diadakan kenduri di mana orang-orang sekampong diundang. Nama-nama kenduri mengikuti nomor urut hari-hari diadakannya selamatan itu. Kenduri hari ketiga, kelima, kelima, ketujuh, dan kesepuluh, berkaitan dengan ungkapan-ungkapan berikut, uroe sa pula/tanom, uroe lhee mubee, uroe limong keumong, uroe tujoh beureutoih, uroe siploh ka ulat pajoh. Artinya, hari ketiga mayat berbau, hari kelima
88
Budaya Masyarakat Aceh
mengembung, hari ketujuh ia pecah, dan hari kesepuluh sudah dimakan cacing. Pada hari ke-44 anggota keluarga orang yang meninggal khususnya wanita mengunjungi kuburan. Mereka membawa air untuk disiramkan di atas kuburan, bungabunga sebagai sesajen dan pisang raja untuk dimakan di tempat. Mereka juga membaca ayat-ayat Al Qur'an untuk ketenangan roh yang meninggal (lapang kubu). Kadangkadang pada hari itu juga dipilih untuk memasang batu nisan yang disebut pula bate'e. Akan tetapi, upacara ini disesuaikan dengan waktu turun ke sawah. Oleh karena adanya anggapan bahwa selama masa penaburan padi di sawah, orang tidak boleh memasang batu nisan dan ini bukan sekedar ketentuan adat yang boleh dilanggar, seperti ketentuan adat lainnya. Apabila ada yang melanggarnya keuchiek akan melarangnya, karena jika tidak maka semua tanaman padi di daerah itu tidak akan berbuah, sebagai akibat pelanggaran itu. Pada waktu pemasangan batu nisan itu disertai dengan suatu kenduri. Ada yang menyelenggarakannya di rumah ada pula yang melakukannya dengan cara yang lebih besar di kuburan itu sendiri. Nasi ketan kuning merupakan suatu keharusan dan lebih baik lagi jika menyembelih seekor kambing. Teungku meunasah biasanya bertindak sebagai pemimpin upacara atau pemasang batu, yang didahului dengan peusijuek (tepung tawar) dengan jalan menaburkan beras dan padi di atas kedua batu serta memerciknya dengan tepung dan air dengan menggunakan sapu yang dibuat dari 3 jenis rerumputan yang dianggap sebagai pendingin. Upacara ini didahului dengan mengucapkan bismillah.
89
Budaya Masyarakat Aceh
Apabila yang meninggal oran dewasa dan oleh keluarganya atau ahli waris dianggap semasa hidup meninggalkan tunggakan yang besar, yaitu shalat yang diwajibkan bagi setiap orang dewasa untuk melakukannya lima kali sehari, maka untuk kelalaian itu harus membayar padiah (fidyah). Dalam padiah ini shalat-shalat yang sudah dilalaikan oleh orang yang meninggal itu harus dihitung seseksama mungkin. Untuk setiap shalat yang dilewatkan itu harus menyedekahkan kepada fakir miskin satu mok (sekitar satu kaleng susu), padi (makanan pokok dan itu dibebankan kepada harta warisan yang ditinggalkannya. Ada juga teungku-teungku yang menyatakan bahwa apabila yang meninggal itu sejumlah harta, wali-walinya berkewajiban melunasi (Qadha) shalat-shalat yang dilalaikannya, atau menunjuk orang-orang lain (teungku-teungku) untuk melakukannya sebagai wakil, jika perlu dengan membayarnya. 4. Beberapa Peusijuk a. Peusijuk Meulangga Apabila terjadi perselisihan di antara penduduk, misalnya antara A dan B ataupun antara penduduk gampong A dengan penduduk gampong B serta perselisihan ini mengakibatkan keluar darah, maka setelah diadakan perdamaian dilakukan pula peusijuk. Peusijuk ini sering disebut dengan peusijuk meulangga. Pada upacara itu juga sering diberikan uang, yang disebut sayam yang jumlahnya menurut kesepakatan. Apabila perselisihan terjadi seperti tersebut di atas, tetapi tidak mengeluarkan darah, misalnya
90
Budaya Masyarakat Aceh
perkelahian, perdamaian dan upacara peusijuk dilakukan juga tetapi tidak diberikan uang. b. Peusijuk Pade Bijeh Acara peusijuk pade bijeh ini dilakukan oleh petani terhadap padi yang akan dijadikan benih (bibit) sebelum penyemaian di sawah. Tujuan daripada peusijuk ini mengandung harapan agar bibit yang akan ditanam mendapat rakhmat Allah SWT, subur dan berbuah banyak. c. Peusijuk Tempat Tinggay Setiap orang yang mendiami rumah baru, kebiasaannya dilakukan acara peusijuk. Pelaksanaannya oleh beberapa orang terdiri dari tiga, lima orang dan seterusnya dalam jumlah ganjil. Upacara ini dimaksudkan untuk mengambil berkah agar yang tinggal di tempat ini mendapat ridha Allah mudah reziki dan selalu dalam keadaan sehat wal’afiat. d. Peusijuk Peudong Rumoh Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu, kegiatan membangun rumah selalu dipilih pada hari baik. Demikian juga dalam memilih bahan-bahan rumah yang dianggap baik. Selanjutnya, membangun rumah atau sering disebut peudong rumoh diawali dengan upacara peusijuk. Yang dipeusijuk biasanya adalah tiang (tameh) raja, dan tameh putroe serta tukang yang mengerjakannya (utoh) agar ia diberkati oleh Allah SWT. e. Peusijuk Keurubeuen Bagi orang Islam yang mampu sering memberikan kurban pada hari raya sesuai dengan hukum agama. Seekor
91
Budaya Masyarakat Aceh
hewan kecil (kambing atau domba) cukup untuk korban bagi seorang, sedangkan tujuh orang secara bersama-sama memberi korban seekor hewan besar (sapi). f. Peusijuk Kendaraan Apabila seorang yang baru memiliki kendaraan ataupun angkutan lainnya, maka diadakan peusijuk. Hal ini dimaksudkan supaya kendaraan yang dipakai akan terhindar dari kecelakaan. Yang melaksanakannya satu orang atau pun tiga orang. Adat-Istiadat yang Berlaku dalam Masyarakat Hampir semua masyarakat manusia di dunia ini selalu terikat pada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adat kebiasaan mengatur kehidupan manusia. Kehidupan manusia itu sendiri terbagi dalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkattingkat kehidupan manusia ini berlangsung sepanjang hidup manusia sejak lahir hingga meninggalnya. Dalam ilmu Antropologi, tingkatan ini disebut stage along the life cycle. Tingkat-tingkat hidup itu, misalnya, masa kelahiran bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa perkawinan, masa hamil, masa tua dan meninggal. Pada waktu manusia beralih dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya, biasanya diadakan upacara.
92
Budaya Masyarakat Aceh
1. Adat dan Upacara Kelahiran a. Masa Hamil (i). Ba bu (mee bu) Upacara ba bu (mengantar nasi) sering juga disebut dengan upacara mee bu. Menurut adat masyarakat Aceh dara baro yang sudah hamil harus dikunjungi oleh mak tuan dengan membawa bu kulah, yaitu nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk piramid. Upacara ini dilangsungkan setelah selesai upacara tangkai atau masa umur kandungan 7 bulan sampai 8 bulan. Untuk upacara ini bahan yang perlu dipersiapkan berupa bu kulah (nasi bungkus) dan lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging, ayam panggang, dan burung yang dipanggang. Bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam dua buah kateng (katil). Kateng pertama diisi dengan bu kulah dan kateng kedua diisi dengan lauk pauk. Bu leukat (nasi ketan) dan kuekue masing-masing dimasukkan dalam sebuah talam (baki). Selain bahan-bahan di atas mertua menyediakan juga sirih setapak (bahan-bahan sirih), pakaian sesalin (satu salin) dan uang ala kadarnya. Bahan-bahan ini akan diberikan kepada bidien (bidan) sebagai tanda penyerahan tanggung jawab untuk merawat kelahiran bayi. Bahan-bahan pemberian ini disebut dengan peunulang. Semua bahan peunulang diisi dalam sebuah baki. Daging burung yang dipanggang, khusus disediakan untuk dara baro agar anak dalam kandungan menjadi cerdik dan lincah, secerdik dan selincah burung yang dimakan. Jenis burung yang biasa dipilih adalah burung merpati. Tujuan umum dari upacara ini adalah dara baro mendapat makan
93
Budaya Masyarakat Aceh
yang enak-enak sebagai penghormatan dari mertua untuk menghadapi masa kelahiran bayi. Karena pekerjaan melahirkan dianggap sebagai sambong nyawong (sabung nyawa), maka dara baro mendapat santunan dari sanak keluarganya. Tiga hari sebelum berlangsung upacara di rumah mertua tampak kesibukan-kesibukan. Ia memberitahukan kepada kaum keluarga dan tetangga supaya bersama-sama memasak bahan-bahan persiapan dan turut serta mengantar ke rumah menantunya. Peserta dalam kegiatan ini terdiri dari orang-orang perempuan, sedangkan laki-laki tidak turut serta kecuali seorang pembantu untuk mengangkat bahan bawaan. Setelah siap semua berangkatlah rombongan menuju ke rumah menantu. Di rumah tersebut sudah menunggu beberapa orang patut dalam keluarga yang bersangkutan. Setibanya rombongan, mereka dijemput oleh seorang penyambut untuk dipersilakan masuk ke rumah. Mereka langsung dibawa ke seuramo keue (serambi muka) dan pihak keluarga dara baro berada di seuramo likot (serambi belakang). Bahan-bahan yang dibawa tadi diberikan oleh salah seorang dari rombongan kepada salah seorang pihak dara baro lalu dibawa ke seuramo likot untuk diperlihatkan kepada keluarganya. Kemudian bahan-bahan itu dibuka untuk dimakan bersama-sama. Pihak rombongan makan di seuramo keue dan pihak dara baro di seuramo likot. Setelah selesai acara makan dara baro menjumpai mertuanya serta rombongan untuk mohon maaf dan doa restu dengan bersalaman sambil bersujud pada mertua dan ibu kandungnya serta seluruh peserta upacara. Acara selanjutnya mertua menyerahkan menantunya kepada bidien (bidan) yang
94
Budaya Masyarakat Aceh
kemudian diterima oleh bidan. Penyerahan ini diiringi oleh kata-kata dari yang menyerahkan dan dibalas pula oleh yang menerima. (ii). Pantangan Apabila seorang istri mengalami hamil, maka iapun mulai memasuki suasana penghidupan sehari-hari yang penuh dengan berbagai pantangan, disamping timbul kewajiban-kewajiban baru atas dirinya selaku calon ibu. Pantangan-pantangan yang harus dijalaninya antara lain dilarang duduk di ujung tangga, berada di luar rumah pada senja dan malam hari, melangkahi kuburan, mendatangi ke tempat-tempat yang seram, membicarakan hal-hal yang kurang senonoh, melihat benda-benda dan hewan ajaib dan sebagainya. Selain itu, ada anggapan bahwa setan jahat selalu ikut bersama dengan setiap tamu yang berkunjung ke rumah wanita hamil pada malam hari karena itu tamu, tetangga dan sanak keluarga tidak dapat dengan leluasa berkunjung ke rumah itu pada malam hari. Jika ada kunjungan malam hari yang dilakukan oleh tetangga atau sanak keluarga, maka mereka setibanya di pekarangan rumah tersebut haruslah mengeluarkan suara (berdehem) kemudian berhenti beberapa saat di luar rumah. (iii). Meuramien Upacara meuramien (makan bersama) dara baro yang sudah hamil di tempat-tempat tamasya merupakan kebiasaan yang terdapat pada masyarakat Aceh. Pada saat waktu luang, dara baro hamil dibawa ke pantai. Biasanya kegiatan ini dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga.
95
Budaya Masyarakat Aceh
Ketika mereka pergi, mereka membawa makan/santapan seperti pada upacara ba bu yaitu bu kulah, bermacam-macam lauk-pauk, nicah, dan buahan-buahan yang asam. Semua bahan-bahan ini dipersiapkan oleh mertua dan ibu kandungnya masing-masing di rumahnya. Acara ini hanya terbatas pada kedua belah pihak keluarga saja. b. Adat dan Upacara Kelahiran Bayi (i). Masa Kelahiran Setelah masa kehamilan tujuh atau delapan bulan, mertua sudah mengusahakan seorang bideun untuk menyambut kelahiran bayi. Pihak mertua bersama ibunya sendiri biasanya mempersiapkan juga hadiah yang akan diberikan kepada bideun pada saat mengantar nasi sebagai tanda persetujuan. Tanda ini disebut dengan peunulang, artinya hidup atau mati orang hamil itu diserahkan kepada bideun. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bideun untuk menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai sang bayi lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bideun adalah sebagai berikut 1. Sirih setapak (bahan-bahan sirih). 2. Pakaian sesalin (biasanya satu stel). 3. Uang ala kadarnya. Setelah bideun menerima hadiah-hadiah tersebut ia membuat seunangkai atau ajimat untuk dipakai oleh wanita hamil itu agar tidak mudah diganggu oleh setan. Seunangkai atau ajimat itu terdiri dari benang panca warna, sepotong
96
Budaya Masyarakat Aceh
kemenyan, dan tiga buah putik limau. Kemudian bendabenda ini dibungkus dengan kain putih serta dirajah oleh bideun untuk diikat di pinggang wanita hamil itu. Pada saat bayi lahir disambut oleh bideun. Pusat bayi dipotong dengan sebilah sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit, dan air ludah sirih. Kesemuanya diaduk menjadi satu untuk ditempelkan pada pusat bayi. Sebelum pusat tadi dipotong terlebih dahulu pangkal pusatnya diikat. Kalau bayi laki-laki diikat dengan tujuh ikatan dan kalau bayi perempuan dengan lima ikatan. Setelah itu bayi dibersihkan oleh bideun. Sesudah bayi bersih ia dipangku oleh ayah dan kakeknya dengan mengucapkan azan ke telinga bayi kalau bayi itu laki-laki. Kalau bayi itu perempuan cukup dengan qamat saja di telinganya. Kedua macam perkataan itu dilakukan sebagai simbol untuk menyambut seorang muslim atau muslimat. Kemudian bayi itu dibaringkan kembali di samping ibunya. Teman bayi (ari-ari) yang disebut dalam bahasa Aceh sebagai adoi (adik) dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan dibubuhi aneka warna bunga dan wangiwangian untuk ditanam di halaman rumah. (ii). Selama Masa Bayi Pada hari ketujuh setelah bayi lahir diadakan upacara cukur rambut dan peucicap, yang terkadang bersamaan dengan pemberian nama. Acara peucicap dilakukan dengan mengoles manisan lebah pada bibir bayi disertai dengan beberapa pengharapan dengan kata-kata.
97
Budaya Masyarakat Aceh
Selama empat puluh empat hari (44 hari) ibu bayi banyak menjalani pantangan-pantangan. Ia harus tetap berada dalam kamarnya, tidak boleh berjalan-jalan, apalagi keluar dari rumah. Tidak boleh minum banyak, nasi dimakan tanpa gulai atau lauk pauk. Begitu pula dengan makanan yang pedas-pedas sangat dilarang. Selama pantang tersebut disebut dengan masa pantangan atau duk dapu. Karena selama pantangan tersebut ibu bayi selalu dipanasi dengan bara api yang terus menerus disampingnya atau di bawah tempat tidurnya, maka masa pantangan ini sering juga disebut dengan masa madeung. Setelah masa madeung ini selesai (44 hari), ibu bayi dimandikan oleh bideun dengan air yang telah dicampur dengan irisan limau parut yang telah disediakan terlebih dahulu. Acara mandi ini disebut dengan manou peut ploh peut. Pada hari ini mertua datang lagi membawa nasi pulut kuning, ayam panggang, dan bahan-bahan untuk peusijuk yaitu beras padi, kunyit, daun sidingin, rumput padi dan tepung tawar. Bahan-bahan ini dibawa oleh mertua untuk kebutuhan dalam acara peusijuk ro darah (keluar darah) menantunya pada masa melahirkan. Setelah upacara itu selesai kepada bidan diberikan hadiah berupa 1. Pakaian satu salin. 2. Uang ala kadarnya. 3. Uang penebus cincin suasa. 4. Beras dua bambu. 5. Padi segantang (dua bambu). 6. Pulut kuning, ayam panggang, dan seekor ayam hidup.
98
Budaya Masyarakat Aceh
Setelah masa tersebut, bayi juga akan menjalani upacara turun tanah (peutron tanoh). Waktu diadakan upacara ini ada yang melakukannya setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu lakilaki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah. 2. Adat dan Upacara Sebelum Dewasa a. Upacara Antar Mengaji Sudah menjadi suatu keharusan dalam masyarakat Aceh bahwa setiap anak yang akan diantar mengaji pertama kali, anak tersebut harus dipeusijuek (ditepung tawari) terlebih dahulu. Selain itu, dibekali dengan bawaan yang akan dipersembahkan kepada teungku yang akan mengajarkan kepada si anak tersebut mengaji. Bawaan ini berupa: 1. Bu
99
Budaya Masyarakat Aceh
leukat kuneng (nasi ketan kuning) satu piring; 2. Manok Panggang (ayam panggang) seekor; 3. Pisang Abin (pisang susu) satu sisir; 4. Beurueteh atau kembeu (beras yang digonseng sehingga menjadi salah satu makanan ringan) sepiring; 5. Boh manok reuboh (telur rebus) satu butir; 6. Quran ubiet (qur'an kecil) atau surat Juz Amma beserta rehalnya; 7. Ranub Seuseupuh (sirih seikat) dan 8. Enam hasta ija puteh (enam hasta kain putih). Setelah anak tamat Juzamma, akan pindah pula pengajiannya kepada pengajian Al Qur’an. Pemindahan pola pengajian ini kadang-kadang diadakan pula upacara seperti tersebut di atas, tetapi kadang-kadang tidak ada lagi upacara. b. Upacara Khitan (Sunat Rasul) Bagi anak laki-laki yang berumur sekitar sepuluh tahun dan anak perempuan sekitar satu tahun diadakan upacara peusunat (sunat rasul). Untuk anak perempuan biasanya tidak diadakan upacara khusus, malah ada yang dilakukan secara diam-diam. Namun bagi anak laki-laki diadakan upacara khusus; upacara ini memakai pakaian adat dan dipeusijuk (ditepung tawari) oleh keluarganya. Rumah tinggal si anak dihiasi dengan hiasan khas adat Aceh. Pada hari upacara sunat rasul anak tersebut dimandikan terlebih dahulu. Kemudian dikenakan pakaian adat dilakukan peusijuk. Bagi yang mampu anak itu diarak di atas tandu atau kuda dengan diiringi kesenian seurunee kalee, gendarang dan lain-lain dibawa keliling kampung serta disinggahkan ke mesjid. Tamu-tamu yang datang sesudah makan kenduri memberikan buah tangan bawaannya kepada anak yang akan disunat atau kepada orang tuannya. Tiap-tiap
100
Budaya Masyarakat Aceh
kamar digantung tirai pada dinding dan di atas direntangkan langit-langit yang dibuat dari hasil kerajinan khas Aceh. 3. Adat dan Upacara Perkawinan Saat peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga merupakan suatu yang berkesan bagi seseorang atau masyarakat. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia hampir dipastikan mempunyai adat dan upacara yang berkaitan dengan perkawinan. Masa ini disebut masa perkawinan yang ditandai dan diawali dengan adanya upacara perkawinan. Bentuk-bentuk upacara perkawinan antara daerah satu dengan daerah lain tidaklah sama. Pada umumnya orang-orang menggunakan adat dan tata cara perkawinan yang sesuai dengan daerah asalnya masingmasing, kendatipun orang tersebut mungkin tinggal di daerah lain atau kota lain. Hal tersebut bisa terjadi karena masing-masing suku bangsa di dunia, telah menciptakan suatu aturan yang mengatur perkawinan ini secara turuntemurun. a. Adat Sebelum Perkawinan. Adat sebelum perkawinan merupakan ketentuan yang berhubungan dengan perkawinan, tetapi tidak termasuk ke dalam upacara perkawinan. Dalam hal ini yang termasuk adat sebelum perkawinan adalah tujuan perkawinan, perkawinan ideal dan pembatasan jodoh, syarat-syarat kawin dan cara pemilihan jodoh.
101
Budaya Masyarakat Aceh
(i). Tujuan perkawinan menurut adat. Perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat naluriah bagi setiap makluk hidup. Pada dasarnya perkawinan berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia dan kebutuhan biologisnya, untuk menyambung keturunan. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik dan selaras dengan keinginan manusia, maka dibuatlah bermacam-macam aturan yang kemudian menjadi adat tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Masyarakat Aceh dalam menyelenggarakan perkawinan mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk memenuhi kebutuhan biologis. 2. Untuk melaksanakan perintah agama. 3. Untuk memenuhi adat. 4. Tujuan yang bersifat ekonomi. 5. Tujuan untuk mempererat tali silaturrohmim dan memperluas jaringan keluarga serta kekerabatan antara dua keluarga yang melakukan hubungan perkawinan. 6. Tujuan untuk mencari ketenangan hidup. Hampir sama dengan konsep dan tujuan perkawinan seperti tersebut di atas, Koentjaraningrat (1990: 103) mengatakan sebagai berikut, "Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan sexnya, terutama persetubuhan. Perkawinan menyebabkan bahwa seorang laki-laki dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh
102
Budaya Masyarakat Aceh
dengan wanita lain, tetapi hanya satu atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakatnya. Kecuali sebagai pengatur kelakukan sexnya saja, perkawinan juga mempunyai berbagai fungsi lain dalam kehidupan kebudayaan dan masyarakat manusia. Pertama-tama perkawinan juga memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan, ialah anak-anak; kemudian perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan harta, akan gengsi dan naik kelas masyarakat; sedangkan pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat yang tertentu sering juga merupakan alasan dari perkawinan. Sungguhpun demikian, lepas dari apapun juga, maksud dan alasan dari perkawinan, perbuatan sex selalu termaktub di dalamnya". (ii). Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh. Pada suku bangsa Aceh mengenal adanya perkawinan yang ideal dan pembatasan jodoh. Perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang lebih disukai, walaupun bukan merupakan suatu keharusan. Pembatasan jodoh yang terdapat pada masyarakat Aceh menyebabkan masyarakat harus kawin di luar batas lingkungan tertentu (eksogami). Masyarakat Aceh mempunyai pantangan untuk tidak melakukan perkawinan dengan satu keluarga. Masyarakat Aceh, yang pada umumnya beragama Islam, sangat mematuhi ajaran Islam tentang perkawinan. Karenanya, perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak saudara laki-laki ayahnya yang perempuan tidak boleh terjadi
103
Budaya Masyarakat Aceh
karena menurut Islam orang tersebut bersaudara. Di samping itu, perkawinan dengan saudara kandung sendiri sangat dilarang dan tidak dapat dibenarkan menurut agama, sedangkan perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang seagama. Kawin dengan orang sekampung (satu rukun tetangga) walaupun dibolehkan, tetapi dianggap kurang baik karena sekampung biasanya tinggal berdekatan sekali. Hal ini seolah-olah sudah tidak ada pergaulan yang luas dengan kampung-kampung lain atau seolah-olah kurang laku sehingga terpaksa mengawini orang yang tinggal di sebelahnya sebagai tetangga dekatnya. Pembatasan jodoh lainnya sangat berhubungan dengan kepercayaan. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa masyarakat Aceh menganut agama Islam yang fanatik. Perkawinan dengan orang di luar agama Islam (tidak seiman) sangat dilarang dan dianggap membuat aib atau malu keluarga dan seluruh kampung, kecuali jika yang dikawini itu seorang muallaf (telah mengucapkan kalimat syahadat). Biasanya, sanksi yang diberikan, orang yang bersangkutan tidak diakui lagi oleh orang tua dan keluarganya serta dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Selain pembatasan jodoh yang bersifat pantangan kawin seperti tersebut di atas, pada masyarakat Aceh dijumpai pula perkawinan-perkawinan yang menjadi preferensi umum (marriage preferences). Maksudnya, perkawinan yang diharapkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Perkawinan semacam ini dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Aceh adalah perkawinan yang dilakukan dengan orang yang
104
Budaya Masyarakat Aceh
kedudukannya setara atau seimbang. Perkawinan yang setara kedudukannya itu di lingkungan masyarakat Aceh bukan berarti keduanya harus berasal dari keturunan bangsawan, tetapi dapat saja mereka yang akan melangsungkan perkawinan berasal dari orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam hal kemampuan sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, kebanyakan mereka mencari jodohnya di lingkungan orang-orang yang sama-sama senasib, sepertinya perkawinan antara orang yang berpendidikan tinggi dengan orang yang berpendidikan tinggi pula, orang dari klas menengah dengan orang yang berasal dari klas yang sama. Perkawinan ini juga sangat ditentukan oleh akhlak dari masing-masing calon pengantin. Perkawinan dengan saudara sepupu, walaupun boleh dilakukan menurut agama Islam, tetapi jarang dilakukan oleh orang-orang Aceh, karena dianggap terlalu dekat atau dianggap sebagai saudara sendiri (kerabat sendiri). (iii). Bentuk Perkawinan. Pada dasarnya hanya ada satu bentuk perkawinan yang terpuji menurut adat yaitu perkawinan dengan peminangan, terutama bagi para gadis dan jejaka. Pihak keluarga pria mengirim utusan sebagai wakil orang tuanya untuk meminang anak gadis dari keluarga lain. Pinangan dilakukan secara adat. Jika sudah ada kata sepakat, maka ditentukan oleh kedua belah pihak hari pelaksanaan perkawinan bertempat di rumah orang tua gadis, yang dipimpin oleh keuchik atau pemangku adat. Setelah perkawinan selesai, untuk sementara pengantin bertempat tinggal di rumah orang tua dara baro (pengantin perempuan).
105
Budaya Masyarakat Aceh
Bentuk perkawinan yang lain jarang terjadi. Bentuk perkawinan yang lain di antaranya, kawin lari. Perkawinan ini terjadi karena apabila orang tua kedua belah pihak tidak setuju atas percintaan anak-anak mereka. Misalnya, karena tidak seagama, bertabiat buruk atau tidak sopan, baik pria maupun gadis, sedangkan keduanya sudah saling mencintai dan sudah memutuskan untuk kawin. Secara diam-diam keduanya melarikan diri ke tempat lain untuk menghadap kadli/pegawai Kantor Urusan Agama agar mau menikahkan mereka. Sesuai dengan perintah agama, keduanya harus dinikahkan, agar tidak berbuat zina. Masyarakat tidak mempermasalahkan orang yang kawin lari karena tidak melanggar ketentuan agama. Hanya saja, untuk sementara waktu keduanya belum direstui oleh orang tua kedua belah pihak. Apabila mereka sudah mempunyai anak, hidup bahagia, dan datang kepada orang tua masing-masing untuk meminta maaf, mereka akan direstui sebagai suami-istri. Perkawinan ini jarang terjadi dan tidak dilazimkan oleh adat. Kawin gantung, seperti pada beberapa suku bangsa lainnya, tidak begitu dikenal pada masyarakat masyarakat Aceh. Sedangkan perkawinan ganti tikar, walaupun ada juga jarang terjadi pada masyarakat Aceh. Perkawinan ganti tikar ini terjadi jika istri meninggal dunia, maka suami kawin dengan adik atau kakak istrinya. Hal ini dilakukan karena untuk memelihara keutuhan keluarga dan hubungan kekerabatan. Anak-anak mereka dapat dididik/dirawat seperti anak sendiri dan keguyuban dapat pula terjaga seperti sedia kala.
106
Budaya Masyarakat Aceh
(iv). Syarat-Syarat Kawin Sebelum melakukan perkawinan, seseorang terlebih dahulu harus memenuhi syara-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat kawin dalam agama Islam, di antaranya harus ada wali, ada yang menerima nikah, ada saksi dan mahar. Dengan kata lain, perkawinan Islam yaitu suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan, disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua orang di mana ijab-kabul (aanbodaanname) disebutkan dan mas kawin ditentukan (Soekanto, 1981: 116). Di samping itu terdapat pula syaratsyarat perkawinan dalam bentuk adat, seperti yang dikatakan Koentjaraningrat (1990: 103) sebagai berikut, ".........perkawinan itu merupakan suatu peristiwa sosial yang luas, maka orang yang mengambil inisiatif (biasanya dari pihak laki-laki) untuk kawin harus memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat untuk kawin itu, yang dapat dilihat dalam adat-istiadat berbagai suku bangsa di dunia, bisa berupa tiga macam, yaitu: (a) mas kawin atau bride price, (b) pencurahan tenaga untuk kawin atau bride-service, (c) pertukaran gadis atau bride exchange". Pada masyarakat Aceh syarat-syarat perkawinan dapat digolongkan ke dalam bentuk mas kawin atau mahar. Syaratsyarat lain yang menentukan seseorang boleh melakukan perkawinan yaitu orang tersebut harus sudah dewasa. Di daerah Aceh, pemuda dianggap dewasa, jika sudah berumur 18-22 tahun atau sudah akil baliq (sweat dream). Biasanya, dalam umur ini, pemuda-pemuda Aceh melakukan perkawinan untuk pertama kalinya, sedangkan gadis dianggap sudah dewasa jika sudah berumur 16-20 tahun atau
107
Budaya Masyarakat Aceh
sudah mendapatkan haid pertama. Inisiatif untuk melakukan perkawinan datangnya dari pihak pemuda, sedangkan wanita hanya menerima saja. Dalam hal ini timbul istilah kon mon mita tima yang artinya bukanlah sumur mencari timba, tetapi sebaliknya. Menurut masyarakat Aceh pada umumnya, sebelum melakukan perkawinan, orang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sudah dapat membaca Al-Qur'an dengan lancar. Orang akan malu, jika pada malam bulan Ramadlan (Puasa) tidak dapat turut serta dalam pengajian Al-Qur'an yang disebut meudaruih atau tadarus. 2. Dapat mengerjakan sembahyang lima waktu, sembahyang Jum'at, sembahyang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha (Hari Raya Haji). Begitu juga perintah-perintah agama Islam lainnya. Ia juga harus mengetahui kewajibankewajiban agama yang menyangkut perkawinan. 3. Mengetahui adat sopan-santun dalam pergaulan seharihari dengan masyarakat. 4. Sehat jasmani dan rohani. Unsur kesehatan jasmani dan rohani merupakan pertimbangan bagi para orang tua atau keluarga sebagai syarat untuk melangsungkan perkawinan anaknya baik pria atau wanita. Persyaratan terakhir untuk sahnya perkawinan, di samping harus ada wali juga harus ada taklik. Taklik artinya ikrar yang harus diucapkan oleh pria waktu dinikahkan oleh wali. Sedangkan wali ini ada dua macam, yaitu wali nazab dan wali hakim. Wali nazab adalah orang tua (ayah kandung) dari dara baro dan wali hakim adalah orang lain yang dikuasakan untuk menikahkan (keuchik atau pegawai KUA).
108
Budaya Masyarakat Aceh
Sebelum perkawinan dimulai, antara orang-orang tua dari kedua belah pihak mengadakan pembicaraan non-formal. Setelah ada kata sepakat, orang tua pihak laki-laki secara resmi mengutus seseorang yang dituakan untuk mewakili sebagai seulangke. Jabatan seulangke ini dahulu dianggap terpandang, karena orangnya di samping harus tahu adatistiadat, harus tahu pula hukum-hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan. Sebelum seulangke tersebut diutus ke pihak wanita, keluarga dari pihak pria berusaha untuk melakukan pengamatan yang dalam bahasa Aceh disebut phaj. Phaj ini dilakukan agar perkawinannya kelak berbahagia. Jika menurut pengamatan phaj tersebut dinyatakan tidak akan dapat berbahagia, maka perlu diadakan perubahan nama dari pihak pria atau dari pihak wanita. Jika hal ini tidak mendapat persetujuan dari pihak keluarga wanita, maka perkawinan dibatalkan. Bagi masyarakat Aceh jiname (mas kawin atau mahar) merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan aturan dalam agama Islam di mana pihak pengantin laki-laki diharuskan membayar sejumlah uang kepada calon istrinya. Jiname (mas kawin atau uang mahar) tersebut kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya.5 5
Pada masa pertunangan biasanya pihak orang tua si jejaka membawa emas 1 atau dua mayam sebagai tanda pertunangan dan tidak jarang pula juga dibawa 1 stel pakaian dan panganan. Masa pertunangan inilah nantinya yang apabila si perjaka menarik diri, maka mas yang dibawa tersebut hilang (hangus) dan apabila pihak si gadis menarik diri, maka mas tanda pertunangan tersebut dikembalikan dengan ganda dua (2 x). Hal ini tergantung kesepakatan menurut adat setempat di daerah Aceh (ketentuan
109
Budaya Masyarakat Aceh
Jumlah jiname tersebut biasanya ditentukan menurut jumlah jiname dari kakak-kakaknya yang terdahulu. Apabila anak yang akan dinikahkan itu anak pertama, maka ukuran jiname menurut kebiasaan yang berlaku dalam kerabat yang disesuaikan dengan tingkat sosial ekonominya. Biasanya jiname6 berkisar dari 5 sampai dengan dua puluh lima mayam7 mas 24 karat. Emas 24 karat adalah emas 90 % sampai 97 %. Saat ini penentuan jiname tidak lagi dengan jumlah ringgit, tetapi telah diganti dengan sejumlah emas atau dengan uang yang diukur dengan harga emas. Bahkan ada pula golongan orang-orang kaya tertentu yang jinamenya
yang berlaku di suatu tempat di Aceh). 6
Pada zaman Kerajaan Aceh dahulu besarnya jiname untuk seorang gadis, ditentukan menurut tingkat dan kedudukannya dalam masyarakat. Sebagai contoh, misalnya: 1. Untuk putri Sultan sebesar 1.000 ringgit.(Alfian, 1977: 123). 2. Anak perempuan dari seorang tuanku sebesar 500 ringgit Aceh (sekati emas). 3. Anak perempuan dari ureueng ulee (orang terkemuka) dalam kelompok famili raja seperti cut dan meurah, uleebalang dan lain-lain yang sederajat, sebesar 100 ringgit Aceh (4 bungkal emas). 4. Anak perempuan dari orang pertengahan, seperti imeum, Keuchik, Teungku Meunasah dan sebagainya ditentukansebesar 50 ringgit Aceh (2 bungkal emas). 5. Mas kawin dari anak perempuan yang sangat miskin orang tuanya adalah satu atau dua tahil (the). Sedangkan besarnya jiname (mahar) untuk wanita janda, ditentukan menurut kesepakatan kedua belah pihak (di bawah tangan).(Hoesin, 1978: 45). 7
Mayam adalah ukuran mas untuk orang Aceh. Satu mayam kirakira sama dengan 3, 30 gram.
110
Budaya Masyarakat Aceh
hanya berwujud kitab suci Al-Qur'an dan seperangkat kelengkapan shalat. (v). Cara Memilih Jodoh. Memilih jodoh tidak dilakukan oleh pemuda dan pemudi yang bersangkutan, tetapi oleh orang tuanya. Di lingkungan masyarakat masyarakat Aceh, pada prinsipnya tidak ada media pergaulan formal yang mempertemukan antara pria dan wanita, apalagi yang mengarahkan mereka ke perkawinan. Jika pemuda dan pemudi telah pantas untuk kawin, maka orang tualah yang berperan dalam mencarikan jodoh anak-anaknya. Konsepsi dasar pola berpikir masyarakat suku bangsa Aceh tentang perkawinan lebih banyak tertuju pada pihak laki-laki. Jika seorang laki-laki telah cukup umur, tingkah lakunya sudah dewasa, sudah dapat berusaha sendiri, dan memiliki pengetahuan dalam pergaulan dengan lingkungannya, maka orang tuanya berkewajiban mencarikan jodoh anaknya. Seseorang yang akan mencarikan jodoh anaknya, terlebih dahulu ia akan mengundang kawom (keluarga besar seketurunan) untuk duekpakat (musyawarah). Apabila duekpakat telah ada kesesuaian untuk meminang seorang gadis, maka ditugaskan seorang seulangke (utusan) untuk menyampaikan maksud kepada pihak laki-laki. Untuk ini, seulangke sering menggunakan pantun-pantun tradisi dengan kata-kata yang halus, sopan dan hormat. Apabila maksud lamaran itu ditolak, biasanya orang tua si gadis memberikan alasan yang halus pula supaya pihak laki-laki tidak tersinggung. Apabila lamaran itu diterima, biasanya orang tua si gadis meminta tempo sekitar tiga hari untuk duekpakat dengan kerabatnya. Setelah itu, pihak keluarga si gadis
111
Budaya Masyarakat Aceh
mengirimkan kembali khabar kepada pihak laki-laki untuk datang kembali meminang. Kemudian serombongan utusan dari pihak laki-laki yang terdiri dari keuchik (Kepala Kampung), seulangke dan beberapa orang penting datang ke rumah si gadis untuk meminang. Begitu pula pihak keluarga si gadis telah menanti atas kedatangan peminangan tersebut. Rombongan yang menanti itu terdiri dari keuchik, dan beberapa orang yang dirasa perlu diundang. Setelah disampaikan maksud kedatangan rombongan oleh keuchik atau seulangke yang disertai dengan bate ranub (tempat sirih) pertunangan, dulang berisi pakaian dan alat-alat rias wanita, serta sebentuk perhiasan emas diserahkan kepada keluarga si gadis. Benda-benda ini disebut dengan tanda kong haba. Setelah menerima benda-benda ini pihak keluarga si gadis tidak dibenarkan menerima lamaran orang lain. Apabila ketentuan ini dilanggar pihak keluarga gadis akan didenda secara adat sebanyak dua kali lipat dari tanda kong haba yang harus dikembalikan kepada pihak keluarga laki-laki. Pada hari peminangan tersebut di atas, diadakan pula perikatan janji mengenai:
1. Jumlah jiname (mahar atau mas kawin). 2. Tahap-tahap proses yang harus dilalui seperti (a) tunangan; (b) nikah gantung; (c) nikah pulang terus. (Alfian, 1978: 134) Mengenai tahap-tahap proses yang dilalui dalam suatu perkawinan, biasanya sudah ada perjanjian pada saat meminang dilakukan. Apakah perkawinan itu dilakukan tunangan dahulu, nikah gantung atau nikah pulang terus. Kalau perkawinan tersebut dengan tunangan dahulu, maka ditentukan saat akad nikah (ijab kabul), saat peresmian
112
Budaya Masyarakat Aceh
perkawinan dilakukan. Sedangkan pemberian jiname, adakalanya diberikan setengah dahulu, dan adakalanya pula diberikan sekaligus pada saat akad nikah. Sedangkan nikah gantung hampir sama dengan pertunangan. Bedanya calon suami-istri tidak diikat oleh pertunangan, tetapi diikat oleh akad nikah. Calon suami-istri belum boleh bergaul dahulu sebelum masa peresmian dilakukan seperti juga dalam masa pertunangan di atas. Nikah gantung ini dilakukan biasanya karena calon istri belum dewasa atau masih sangat muda. Kawin gantung ini di masyarakat Aceh sudah jarang dilakukan. Nikah pulang terus adalah suatu sistem perkawinan yang paling lazim dilakukan dewasa ini di Aceh. Akad nikah dilakukan pada saat peresmian perkawinan. Dengan demikian suami-istri dapat terus tinggal bersama untuk membina rumah tangga. Sistem perkawinan ini tidak banyak melalui tahap-tahap, karena tidak melalui pertunangan, dan perkawinan dahulu, kemudian baru pulang. Dengan demikian biaya pernikahan relatif dapat ditekan. b. Upacara Dan Pesta Perkawinan. (i). Upacara Sebelum Perkawinan Dalam hal ini upacara sebelum perkawinan maksudnya adalah upacara-upacara yang dilakukan waktu sebelum adanya ijab dan kabul atau akad nikah dan sebelum pesta perkawinan dilangsungkan. Ke dalamnya termasuk cara-cara perkenalan antara calon suami dan istri, upacaraupacara peminangan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu.
113
Budaya Masyarakat Aceh
(ii). Acara perkenalan sebelum perkawinan. Pada umumnya tidak terdapat perkenalan antara pemuda dan gadis sebelum mereka kawin. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa pria atau wanita yang akan kawin tidak diberi tahu lebih dahulu. Fischer (1954: 80) mengatakan bahwa pilihan kawin berlangsung di luar pemuda-pemudi itu sendiri. Hal ini terlihat pada masa sebelum kemerdekaan, bahwa pemuda Aceh terpisah dengan pemudi dalam adat pergaulannya. Pemuda biasanya bergaul bersama pemuda dalam wadah kelompok-kelompok tertentu, seperti kesenian, olah raga dan berburu. Pemudi mempunyai pula kelompok tersendiri, biasanya kelompok ini sibuk untuk mempelajari bermacam-macam ketrampilan. Kesibukan ini biasa dilakukan pada rumah-rumah janda tua, seperti belajar menganyam tikar dan lain-lain kepandaian putri. Di bidang kesenian merupakan kelompok tersendiri seperti kelompok tari pho, laweut ratep meuseukat dan lain-lain. Keterbatasan pergaulan antara muda-mudi, bukan saja disebabkan dibatasi wadah-wadah kelompok tersebut di atas, tetapi adat telah terlebih dulu melarang pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi. Apabila seseorang datang bertamu ke suatu rumah, ia tidak boleh masuk ke rumah tersebut, apabila suaminya tidak ada di rumah. Bahkan tamu tadi dilarang masuk ke dalam pekarangan rumah. Apalagi untuk menjumpai seorang gadis. Dengan demikian, acara perkenalan sebelum perkawinan dilangsungkan hampir tidak ada. Pemuda dan pemudi menerima apa adanya yang disodorkan oleh orang tuanya dalam menjodohkan anakanaknya.
114
Budaya Masyarakat Aceh
Sekarang pergaulan muda-mudi sudah menunjukkan gejala perubahan. Pergaulan pemuda dan pemudi menunjukkan tidak seberapa ketat lagi. Cara pergaulan di sekolah yang tidak memisahkan antara pemuda dan pemudi menjadi salah satu pengaruh kepada proses perubahan tersebut. Namun perubahan ini belum tampak seperti di kotakota. Hal ini disebabkan pengaruh perubahan di kota lebih banyak, seperti dengan pengaruh film dan cara pergaulan kota. Dewasa ini di kalangan orang tua di pedesaan menjadi gelisah melihat lajunya proses perubahan pergaulan mudamudi ini, sehingga dalam mencari jodoh pun, orang tua tidak lagi dapat memaksakan kehendaknya seperti dulu. Pemuda dan pemudi sudah boleh mencari jodohnya sendiri sesuai dengan keinginannya dalam perkawinan. Orang tua tinggal merestui apa yang diingini anaknya. (iii). Masa Peminangan. Sebelum melakukan pekerjaan yang telah menjadi urusannya, seulangke juga memperhatikan hari baik. Ini didasarkan pada hari pertama dalam bulan Islam jatuh pada hari langkah, hari ke dua jatuh pada rezeki, hari ketiga jatuh pada pertemuan (peuteumuen), hari keempat jatuh pada hari maut dan seterusnya berulang kembali seperti tersebut. Hari yang baik menurut perkiraannya itu adalah rezeki atau hari peuteumuen. Orang Aceh mengetahui dengan baik bahwa langkah, rezeki, pertemuan dan maut berada dalam tangan Allah. Namun mereka selalu berusaha supaya mereka mendapat kebajikan di dunia dan akhirat. Ketika melamar, seulangke mempergunakan kata-kata yang telah lazim menurut tradisi yang maksudnya kira-kira:
115
Budaya Masyarakat Aceh
"Hamba datang mengunjungi tuan, disebabkan Teuku A telah meminatnya. Beliau mohon supaya tuan dapat menerima anaknya yang laki-laki sebagai pelayan tuan. Jawaban dari ayah wanita : "Itu tidak patut, karena kami orang miskin". Seulangke mendesaknya dan pada penghabisan ayah wanita itu memberikan jawaban. "Segala pembicaraan tuan ingin kami memenuhinya. Kami yang sebenarnya mempunyai rendah kebangsaan dan dalam penyelesaian urusan banyak dijumpai kekurangan. Karena itu hamba tidak tahu, bagaimana seharusnya diberikan jawabannya." Setelah lamaran itu diterima oleh ayah si gadis dengan persetujuan ibunya, seulangke itu kembali pada ayah si pria yang hendak kawin dan melapurkan bahwa lamaran telah berhasil baik. Selanjutnya, ia mengundang ayah pemuda itu bersama-sama dia mengunjungi keuchik dan teungku meunasah dari kampung, di mana gadis itu tinggal untuk menetapkan hari penyerahan tanda telah bertunangan (peukong haba/narit) sebagai hadiah pertunangan. Sebelum mereka memulai urusan itu, orang tua dari pemuda meminta izin pada keuchik dan teungku meunasah untuk dapat melakukan perkawinan. Orang tua dari anak dara pun melakukan hal yang sama, yaitu setelah diterimanya kunjungan pertama dari tuan seulangke. Perkawinan menurut adat Aceh, dahulu kala bukan hanya urusan famili yang berkepentingan, tetapi juga urusan kampungnya. Keuchik mempunyai hak untuk melarang berlangsungnya perkawinan seorang pemuda ke Kampung lain, jika jumlah gadis-gadis yang belum menikah jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pemudanya.
116
Budaya Masyarakat Aceh
Susunan pembicaraan antara orang tua gadis dengan keuchiknya: Barusan A seulangke sudah datang untuk menyampaikan kata-kata dari teuku B (ayah dari pria yang akan kawin) yaitu meminta anak kami untuk beliau. Hal inilah kami ceritakan kepada keuchik ? Jawaban keuchik: "Apa yang dapat saya campuri dalam hal itu. Terserahlah kepada tuan sendiri untuk memikirkan yang baik tentang anak itu." (iv). Bawaan Hadiah Pertunangan. Untuk menentukan pertunangan, orang Aceh juga menentukan hari dan biasanya pada bulan purnama, tanggal 14 atau 15 bulan Islam. Jika hal ini berhalangan dapat digeser pada tanggal 22. Biasanya yang membawa tanda tunangan bukan orang yang menjadi famili dari pemuda yang bersangkutan, tetapi keuchik, teungku meunasah dan beberapa orang tua dari kampung pemuda itu serta seulangke. Tanda konghaba ini diterima oleh keuchik, teungku imum/meunasah dari kampung si gadis. Selain dari tanda kong haba (pertunangan), dibawa serta sirih yang sudah disusun (ranub dong) yang terdiri dari sirih, pinang dan telur ayam/itik yang sudah dimasak (geureuboih) dan dicelup dengan warna merah, hijau dan lainlain serta dipermainkan kertas tipis-tipis beraneka ragam. Tanda kong haba itu di antaranya yaitu satu mayam emas, kain sarung, kain baju, kain selendang, masing-masing satu helai. Saat ini, barang-barang itu ditambah jenisnya, di antaranya selop, sabun mandi, minyak wangi dan lain-lain. Selain itu, dibawa pula satu talam/baki telur ayam/bebek rebus yang telah diberi warna dan disertakan pula karangan bunga kenanga, seumanga.
117
Budaya Masyarakat Aceh
Bawaan itu kemudian dibalas oleh pihak calon dara baro dua atau tiga talam/hidang penganan (halwa Meusekat) yang yang diikuti oleh satu talam kecil sirih tersusun (renubgapu). Kemudian naik ke rumah (ek u rumoh) dipersilahkan oleh pihak dara baro. Ranub dong yang dibawa pihak linto, untuk sementara disisihkan. Orang-orang yang mengantar linto laki-laki dan wanita-wanita sebagai besan, ketika hampir tiba di rumah dara baro, dijemput dan ditunggui oleh pihak dara baro, laki-laki dijemput oleh laki-laki dan besan dijemput oleh wanita. Para tamu kemudian diberi sirih oleh pihak dara baro yang sudah tersedia di dalam cerana. Seorang yang dituakan dari pihak pengantin laki-laki berbicara dalam bahasa Aceh yang maksudnya bahwa mereka datang menghadap keuchik, teungku meunasah dan orang-orang tua kampung setempat untuk menyerahkan pengantin laki-laki (linto), dengan menanyakan, apakah mereka itu bersedia menerimanya. Secara berkelakar, pertanyaan itu dijawab oleh orang yang dituakan dari pihak dara baro. Setelah mengobrol, akhirnya diterima. Keuchik dan beberapa orang tua yang mewakili calon linto mengantarkan tanda kong haba ke rumah dara baro yang telah ditunggu pula oleh keuchik dan beberapa orang tua dari kampungnya. Kemudian salah seorang dari pihak calon linto yang mengantar tanda kong haba, mengambil tanda pertunangan, misalnya sebentuk cincin mas atau tusuk sanggul, perhiasan rambut (bungong preuek) dan menyerahkannya kepada calon dara baro, sambil mengatakan bahwa barang-barang tersebut adalah tanda pertunangan.
118
Budaya Masyarakat Aceh
Biasanya pertemuan mengenai penyerahan tanda kong haba itu, diakhiri dengan mengadakan kenduri yang dihadiri oleh pihak linto dan pihak dara baro. Berakhirnya acara ini, berarti pertunangan secara resmi telah dilakukan, dan masingmasing pihak harus menjaga statusnya sebagai orang yang telah bertunangan (Hoesin, 1978: 18-20). Dahulu jika pertunangan itu diputuskan oleh pihak dara baro, oleh Uleebalang ia dikenakan hukuman denda yang harus diberikan kepada kepala adat. Ada juga yang diselesaikan secara di bawah tangan dan disaksikan oleh keuchik. Pihak dara baro harus mengembalikan tanda pertunangan senilai dua kali lebih banyak. (v). Upacara Peresmian Perkawinan. Beberapa hari sebelum diadakan peresmian perkawinan, kerabat kedua belah pihak tampak sibuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan upacara. Oleh karena itu, masa peresmian sering pula disebut dengan meukeureuja. Tempat-tempat menerima tamu dibuat dimuka rumah yang disebut dengan seung (tenda). Dapur untuk memasak dibuat dibelakang atau di samping rumah, agar jangan kelihatan oleh tamu-tamu undangan. Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
119
Budaya Masyarakat Aceh
Setelah tiba saat hari pesta, kerbau atau lembu telah disembelih pada menjelang subuh, untuk menerima (persiapan) tamu-tamu undangan dan sanak keluarga yang datang. Sanak keluarga biasanya sudah berkumpul di rumah, beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan. Tamu-tamu undangan lainnya pagi sampai petang. Tamu-tamu yang termasuk kawom membawa beberapa macam hadiah yang akan dipersembahkan kepada kerabatnya yang akan naik ranjang pengantin. Hadiah-hadiah tersebut ada yang berupa sebentuk cincin, atau kalung dari emas, ada pula yang membawa kambing dan lain-lain kebutuhan untuk pesta. Barang-barang bawaan ini disebut dengan bungong jaroi. Tamu-tamu undangan biasanya membawa uang yang diisi dalam sampul, kemudian diberikan kepada pengantin melalui panitia pesta. Setelah selesai menerima tamu-tamu undangan di rumah masing-masing, maka pada malamnya akan dilanjutkan dengan upacara intat linto (antar pengantin lakilaki ke rumah dara baro (pengantin perempuan). Pakaian kebesaran adat Aceh menghiasi linto baro. Baju dan celana panjang berpola hitam di atasnya dililit dengan kain sarung, sebilah rencong di pinggang dan kupiah meukeutop, merupakan pakaian kebesaran adat perkawinan Aceh. Setelah selesai linto baro berpakaian, ia diiringi oleh rombongan dengan dipayungi oleh teman-teman sejawatnya, menuju ke rumah dara baro. Rombongan dipimpin oleh keuchik (Kepala Kampung) dan teulangkee. Turut pula rombongan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang penting seperti untuk membawa barang-barang yang akan dipersembahkan kepada dara baro. Barang-barang bawaan ini disebut dengan peuneuwoi. Barangbarang ini biasanya dimasukkan ke dalam sebuah dulang.
120
Budaya Masyarakat Aceh
Dalam dulang ini berisi beberapa salin pakaian seperti baju, selendang, kain panjang dan sarung, selop jenis pakaian dalam dan alat-alat rias wanita. Di samping dulang pakaian ini terdapat pula sebuah dulang lagi yang berisi jenis makananmakanan seperti roti kaleng, pisang, gula dan lain-lain lagi. Kadang-kadang ada yang disertai lagi dengan sebuah bibit kelapa atau sebatang tebu yang masih berdaun, sebagai simbolik bahwa perkawinan itu sebagai seorang petani yang menanam tumbuh-tumbuhan yang mengharap akan hasilnya. Beberapa meter menjelang rombongan tiba di rumah dara baro seseorang di antaranya mengucapkan allahumma shalli ala sayiddina Muhammad, lalu pengikut rombongan menyambut serempak dengan shallu alaih, tiga kali berturutturut. Salah seorang pihak keluarga pengantin perempuan dengan didampingi oleh beberapa orang kawan datang menjemput linto baro sambil seupeuk breuh padee (menabur beras padi). Kadang-kadang pada saat menyambut rombongan linto baro sering dipertunjukkan silat antara satu pihak dengan pihak yang lain. Pada saat seupeuk breuh padee tadi, bersama dengan kata-kata sapa linto (selamat datang) dengan kata-kata berirama petatah-petitih yang mengandung nasihat dan puji kepada linto baro. Kemudian linto baro dibimbing oleh salah seorang wanita tua untuk dibawa ke ruang muka, sebelum linto baro duduk di pelaminan. Tempat duduk sementara di ruang muka ini, sudah disediakan sebuah tilam (kasur) bersulam benang emas, bantal dan kipas terletak di sampingnya. Rombongan linto yang perempuan langsung masuk ke kamar penganten, dan yang laki-laki diterima dalam sebuah
121
Budaya Masyarakat Aceh
seung (tenda) di muka rumah. Tidak berapa lama kepada rombongan dipersilahkan makan. Kepada kerabat linto baro yang terdekat, dan teman-temannya yang memayungi tadi diberikan hidangan khusus yang ditempatkan di dalam dulang. Hidangan ini disebut dengan nama idang bu bisan. Kata bisan adalah untuk panggilan antara mertua dengan mertua. Idang bu bisan yang diberikan oleh pihak dara baro, adalah hidangan khusus kepada ibu linto baro (Alfian, 1977: 102). Setelah rombongan selesai makan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do'a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna. Acara pernikahan seperti di atas dilakukan dalam bentuk perkawinan nikah pulang terus. Namun dalam bentuk perkawinan nikah gantung, bukan dilakukan pada saat peresmian. Bikah pulang terus seperti yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh, biasanya dilakukan di rumah dara baro. Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto,
122
Budaya Masyarakat Aceh
maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah). Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian. Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Dan linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang. (vi). Upacara Intat Dara Baro. Proses upacara intat dara baro (antar penganten perempuan) ke rumah linto baro, mempunyai pola yang sama pada seluruh masyarakat Aceh. Hanya ada perbedaan di segi istilah-istilah, dan bawaan yang akan dipersembahkan kepada
123
Budaya Masyarakat Aceh
pihak penganten laki-laki atau penganten tampaknya saling lengkap-melengkapi.
perempuan,
Proses upacara intat dara baro masyarakat Aceh pada umumnya dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada yang setelah tujuh hari selesai malam pengantin. Keluarga pihak linto baro kembali mengutuskan teulangke ke pihak dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan dara baro. Setelah ada kata mufakat kedua belah pihak, maka teulangke kembali untuk menyampaikan saat waktu menerima dara baro. Sejak saat itu kedua belah pihak sudah sibuk sekali dengan persiapan-persiapan untuk keperluan upacara tersebut. Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan dengan mengiringi dara baro dan linto baro menuju ke rumah pihak penganten laki-laki. Rombongan ini terdiri dari sanak keluarga, jiran setempat dan kawan-kawannya. Biasanya rombongan ini semuanya perempuan, kecuali seorang teulangkee dan beberapa orang kawannya untuk keperluan tertentu seperti untuk mengangkat barang bawaan dara baro kepada mertuanya. Kedua mempelai linto baro dan dara baro berpakaian adat lengkap seperti pakaian pada hari upacara pengresmian dahulu. sepanjang jalan ia dipayungi oleh teman-teman sebayanya secara bergantian. Kedatangan rombongan ini sudah ditunggu di pekarangan rumah oleh beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih sebagai tanda penerimaan tamu. Kemudian tamu tersebut dipersilakan naik ke rumah pada ruang temanten. Linto baro dan dara baro langsung dipersilakan duduk di atas pelaminan persandingan, seperti pada upacara peresmian.(Alfian, 1977: 140).
124
Budaya Masyarakat Aceh
Setelah selesai acara makan rombongan, salah seorang di antara mereka menyerahkan secara adat semua bawaan tadi dalam sebuah dulang kepada pihak mertua. Dulang tersebut diterima oleh salah seorang wanita terkemuka. Kemudian barang-barang bawaan ini diperlihatkan kepada Keuchik kampung setempat, kepada kerabat dan jiran setempat. Barang-barang bawaan ini biasanya dibagi-bagi kepada kerabatnya dan jiran. Terlebih dahulu oleh orangorang tua menaksirkan jumlah harga barang-barang tersebut. Karena rombongan dara baro pulang nanti, mertuanya akan mengembalikan dulang tadi dengan mengisi uang sejumlah dari harga bawaan tadi atau paling sedikit setengah dari harga bawaan tersebut. Uang pembalasan dulang ini sudah menjadi adat, kalau tidak demikian akan timbul malu di pihak keluarga pengantin laki-laki. Kedua mempelai kemudian di peusunteng (dipersunting) dengan menepung tawari, ketan kuning dan memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk. Acara ini dimulai oleh ibu mertua dan kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh kerabatnya serta jiran-jiran setempat yang datang. Ketika dara baro melakukan seumah jaro tuan (sembah mertua), ia akan diberikan uang atau sebentuk emas oleh mertuanya. ada kalanya pula turut diberikan barang-barang pecah belah. Barang-barang pecah pelah yang diberikan tersebut di antaranya yaitu dua buah piring, satu buah mangkuk (tempat nasi), dua buah sendok, satu buah tempat cuci tangan, dan satu buah cawan (tempat sayur). Barangbarang ini disebut dengan peunulang. Setelah selesai upacara, semua rombongan dara baro kembali pulang, dan dara baro tetap tinggal di rumah
125
Budaya Masyarakat Aceh
suaminya beberapa hari lamanya. Kemudian ia bersama-sama suaminya akan pulang lagi ke rumah orang tuanya. (vii). Peusijuek Dara baro. Sebelum melakukan pengandaman (mengukur rambut didahi), dara baro yang berkepentingan ditepung tawari peusijuek. Cara peusijuek, diretik atas orang atau barang yang bersangkutan dengan tepung tawar yang dicampuri air dingin, kemudian ditaburi beras-padi. Peretikan dengan tepung tawar diselenggarakan dengan pohon-pohon kecil tertentu yaitu si dingin (sisijuek) dan manek manoe yang ditambahi dengan sejenis rumput yang disebut naleuengsambo. Alat pengandaman darabaro dan bahan-bahan untuk peusijue diletakkan dalam dua talam. Dalam talam pertama berisi beras dan talam kedua berisi padi. Kemudian kedua talam itu ditaruh cawan (mangkok) dengan tepung tawar dan satu berkas pokok si dingin, maneukmanoe dan naleungsambo. Pada talam yang lain ditaruh kelapa muda yang terbelah, pisau cukur, gunting, minyak wangi, dua butir telur, kayu cendana dan sedikit celak (seureuma) untuk menghitamkan bulunya. Sebelum peusijuek dimulai, terlebih dahulu harus mengucapkan bismillahirohmanirrohim. Setelah pekerjaan mengandam selesai, para tamu yang duduk bersama-sama di serambi belakang, secara bergantian mengambil ketan kuning dan meletakkan pada telinga dara baro yang kemudian disambut dara baro dengan sembah sambil menerima hadiah dari para tamu. Acara ini disebut peusunteng (Hoesin, 1978: 26).
126
Budaya Masyarakat Aceh
4. Poligami. Perkawinan yang mengalami kebahagiaan ialah perkawinan yang mana istri sanggup memberikan semua kebutuhan suami dan sanggup mengatur rumah tangga. Kekurangan-kekurangan yang ada pada istri seperti pemboros, tidak pandai memasak, mencuci, bergaul, mengurus anak, tidak sanggup melayani suami dalam segi seksual, tidak tahu kebersihan, biasanya salah satu kekurangan yang dimiliki istri, sudah menjadi penyebab bagi suami untuk kawin lagi (berpoligami). Istri kedua juga masih memiliki salah satu atau beberapa kekurangan tersebut di atas, suami kawin lagi untuk ketiga kalinya demikian seterusnya. Dengan perkataan lain yang disebut nasib baik dalam rumah tangga belum tercapai, selama itu pula suami belum berhenti kawin untuk kedua, ketiga. Bahkan ada juga yang memiliki istri sampai empat orang. Mereka mengikuti atau mencontoh Nabi Muhammad SAW yang kawin lebih dari satu orang. Mereka beranggapan bahwa dengan berpoligami akan banyak anak dan berarti juga banyak rezeki. Banyak anak berarti juga banyak amal salehnya. Sejak zaman kerajaan para sultan, para bangsawan, para ulama, dan para uleebalang banyak yang melakukan poligami. Pada umumnya orang yang melakukan poligami adalah golongan Tuanku, Cut, Meurah, uleebalang, ulama besar dan orang-orang yang mempunyai gelaran (ureueng meunama). Orang-orang kaya ada juga yang kawin lebih dari seorang. Orang Aceh dulu mengawinkan anak perempuannya kepada orang-orang besar tersebut untuk menjadi istri kedua, ketiga
127
Budaya Masyarakat Aceh
atau keempat karena mereka adalah orang terpandang dan ini berarti menaikkan status sosialnya di masyarakat. Istri kedua, ketiga atau keempat yang dikawini oleh orang-orang besar tersebut letak kampungnya berjauhan dengan kampung madunya. Dengan demikian, kebanyakan istri-istri ini tidak mengikuti suaminya. Uleebalang atau keujreun yang kawin di luar daerahnya tidak dapat tinggalbersama-sama dengan istri mudanya. Ia harus selalu berada di lingkungan di mana ia bekerja dan biasanya ditemani istri pertama, sedangkan istri kedua dan seterusnya hanya digilir saja pada hari-hari tertentu. Kebanyakan famili-famili sultan, uleebalang atau keujreun dan pembesar-pembesar lain memilih istri kedua dan ketiga dari golongan terpandang pula seperti misalnya anak gadis panglima perang, panglima kaum dan orang kaya. Sekarang poligami ini sudah mulai jarang dilakukan orang. Bahkan mereka beranggapan, bahwa dengan berpoligami hanya akan menimbulkan banyak masalah dan tidak bahagia. Apalagi tujuan perkawinan para orang tua tidak menghendaki adanya poligami. Mereka mengharapkan agar anak-anaknya hanya satu kali melakukan perkawinan seumur hidupnya, dengan rezeki yang murah dan anak-anak yang banyak serta bahagia. Seorang istri atau suami baru akan kawin lagi bila suami atau istri sudah meninggal dan sudah mencapai lebih satu tahun. Melakukan penyimpangan dari ketentuan tersebut memungkinkan pengurangan nilai pribadi seseorang dalam masyarakat.
128
Budaya Masyarakat Aceh
5. Adat Menetap Setelah Perkawinan Biasanya setelah menikah linto baro tinggal di rumah orang tua dara baro sampai saatnya mempunyai anak satu atau dua orang. Selama berada di rumah mertuanya linto baro harus taat dan tunduk apa yang berlaku di lingkungan istrinya sehingga kadang-kadang memberi kesan bahwa kehidupannya kurang ada kebebasan. Untuk keluar dari ikatan keluarga istrinya ini linto baro berusaha sekuat tenaga untuk dapat membangun rumah sendiri di tempat lain. Untuk usaha ini kadang-kadang linto baro mendapat bantuan dari orang tuanya atau juga dari mertuanya sehingga dapat membangun rumah sendiri. Selama ikut orang tuanya masalah belanja dan kebutuhan hidup suami isteri yang baru menikah tersebut berusaha memisahkan diri atau tidak tergantung pada kebutuhan orangtua dara baro. Pemisahan belanja ini pada masyarakat Aceh disebut pumeukléh. Masa goh pumeukléh biasanya diakhiri dengan mengadakan kenduri pemisahan. Pada kenduri pumeukléh itu, orangtua dara baro mengundang sanak famili, keuchik, teungku meunasah, dan orang-orang tua kampung. Setelah bersantap bersama ayah dari dara baro itu menceritakan maksudnya kepada keuchik dan mereka yang hadir dengan ucapan sebagai berikut, "Sebabnya saya undang tuan-tuan teuku keuchiek, teungku dan orang-orang tua karena ingin memberitahukan bahwa anak saya bernama A sekarang sudah saya pisahkan (pumeukléh) harap agar hal ini diketahui tuan-tuan. Seterusnya kepadanya saya berikan, misalnya satu pasang gelang kaki suasa
129
Budaya Masyarakat Aceh
seberat 6 bungkal, satu petak sawah yang letaknya di..... dan watasnya....., satu pasang subang emas permata intan" (Hoesin, 1978: 55). Semua barang-barang ini diperlihatkan kepada hadirin sebagai bukti tanggung jawab orang tua terhadap anak dan menantunya. Walaupun sebagai penegasan, ayah dari dara baro tersebut kadang juga memberi rumah yang didiami seluruhnya atau sebagian sesuai dengan kemampuan. Rumah yang menurut adat kelak menjadi hak anak perempuan jika orangtua meninggal sering kali diserahkan lebih dulu kepada anaknya jika anak dan menantunya bersedia menanggung masa tuanya sampai saatnya meninggal. Pemberian semacam ini disebut peunulang. Sebagai penutup, ayah dara baro mengatakan bahwa keinginannya itu supaya hadirin mengetahuinya. Harta pemberian itu (areuta peunulang) menjadi hak milik istri (dara baro) yang dinamai areuta tuha (harta warisan). Jika suami meninggal dunia, areuta tuha itu tetap menjadi hak istrinya dan tidak dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerima pusaka dari orang-orang yang mati itu. Harta yang diperoleh bersama-sama suamiisteri jika mereka bercerai, akan dibagi sesuai dengan adat setempat yaitu setengah atau sepertiga dan sebagainya sesuai dengan kesepakatan. Jika suami meninggal pemberian orangtua tidak dapat diwariskan kepada isterinya, tetapi kembali kepada orangtua atau saudara kandungnya. Jika sudah punya anak, harta tersebut jatuh kepada anaknya.
130
Budaya Masyarakat Aceh
6. Perceraian Adanya campur tangan orangtua dalam perjodohan anak seringkali menimbulkan adanya kawin paksa. Kawin paksa ini terjadi jika menurut pandangan orangtua, anaknya bakal hidup bahagia bersama gadis pilihannya. Namun kadang-kadang pilihan orang tua tersebut terpaksa diterima walaupun tidak dicintainya sehingga dalam perjalanan hidupnya perkawinan tersebut tidak bahagia. Hal ini menyebabkan terjadinya perceraian. Seorang anak gadis dapat juga dipaksa kawin dengan seorang laki-laki oleh orangtuanya, jika orang tua itu merasa bahwa anaknya akan memperoleh kesenangan dan kesejahteraan dalam hidupnya nanti. Sebelum menerima lamaran, orang tua itu melakukan pemeriksaan terhadap calon menantunya, agar tidak terjadi penyesalan. Badai perkawinan sering kali timbul jika suami tidak bertanggungjawab atas nafkah atau tidak setia pada istrinya. Jika istri tidak bersabar, apalagi mendengar bahwa suaminya kawin lagi, maka ia berhak meminta pasah kepada kadliUleebalang dengan perantaraan teungku meunasah. Kadli kemudian berusaha menjernihkan dan merukunkan kembali hubungan suami-istri tersebut. Namun jika sudah tidak dapat didamaikan lagi, barulah pasah/pisah dilakukan. Sebaliknya, talak juga dapat berasal dari pihak suami kepada istrinya. Hal ini dapat terjadi jika istrinya sudah tidak setia, curang, atau berbuat serong. Kadli juga berperan untuk mendamaikan, tetapi jika si suami sudah patah arang dan tidak cinta lagi pada istrinya, sudah hilang semangatnya yang dalam istilah Aceh disebut ka pajoh ek teulheue yang artinya sudah termakan cirik berandang, maka mau tidak mau
131
Budaya Masyarakat Aceh
perceraian harus dilakukan. Dalam hal istri tidak setia lagi dan telah mengkhianati perkawinan sehingga tidak dapat dimaafkan, maka suami dapat mentalak istrinya. Mengenai talak ini ada tiga jumlahnya, talak satu, talak dua dan talak tiga. Jika suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, maka mereka masih bisa rujuk kembali, setelah melewati masa idah selama 3 bulan 10 hari. Rujuk dapat terjadi, setelah kedua belah pihak merasa menyesal atas keputusannya untuk bercerai dan mempertimbangkan baik buruknya terhadap kelangsungan hidup anak-anak hasil perkawinannya. Jika sudah diberikan talak tiga, maka keduanya sudah tidak dapat lagi rujuk kembali. Cara mentalakkan istrinya sambil memberikan satu atau dua atau tiga pinang masak dengan mengucapkan sitaleuek atau dua taleuek ataupun lhee taleuek, artinya talak satu, talak dua dan talak tiga gata sah sedara donya akherat, artinya kau sah saudara dunia dan akherat. Pihak istri kemudian memberitahukan perceraian itu kepada teungku meunasah dan keuchik dari kampungnya, dengan membawa pinang sebagai tandanya (Hoesein, 1978: 57). Ada juga perceraian yang terjadi, tidak dengan memberikan pinang pada istrinya, tetapi dengan memberikan surat talak (surat taleuek), yang dialamatkan kepada teungku meunasah, keuchik dan orang-orang tua kampung dari istrinya. Perceraian seringkali terjadi disebabkan ketidakharmonisan hubungan suami-istri tersebut. Hal ini dapat terjadi karena salah satu atau keduanya mengkhianati atau tidak bertanggungjawab sebagai suami-istri. Kadang-kadang juga karena salah satu di antara pasangan suami-istri ada yang mandul, maka menyebabkan mereka tidak dikaruniai anak
132
Budaya Masyarakat Aceh
yang diidam-idamkannya. Jika keretakan hubungan suamiistri ini sudah di ambang pintu, maka famili dari kedua belah pihak, keuchik, teungku meunasah, dan orang-orang tua kampung yang diberi tahu, berusaha mendamaikan perselisihan suami-istri tersebut. Jika usaha perdamaian ini tidak berhasil, maka perceraian terpaksa dilakukan. 7. Rujuk Boleh juga seorang lelaki yang sudah menceraikan istrinya ingin rujuk kembali, setelah berpisah beberapa bulan. Rujuk dalam agama Islam diperbolehkan, dengan syarat si wanita sudah melewati masa idah selama 100 hari sejak diceraikan oleh suaminya. Jika mantan suaminya ingin mengunjungi istrinya dan rujuk kembali sesudah masa idah, maka keduanya harus menikah lagi. Ketika keduanya melangsungkan perkawinan lagi, tidak ada upacara khusus. Rujuk biasanya terjadi setelah pendekatan antara kedua belah pihak, sesudah bercerai beberapa waktu merasa dingin kemarahannya dan menyesal akan kekhilafannya, serta teringat anak dan sebagainya sehingga suami ingin kembali dan si istri mau pula menerima mantan suaminya. Rujuk hanya bisa dilakukan sebanyak dua kali talak. Sesudah talak yang ketiga, tidak boleh kembali lagi kepada istrinya yang sudah diceraikan. kalau ingin kembali sesudah itu maka si istri harus kawin lagi dengan orang lain dan setelah bercerai baru dapat dinikahi oleh bekas suaminya. Jika rujuk ini terpaksa harus dilakukan, maka si istri disuruh kawin dulu dengan orang lain dengan catatan setelah kawin kemudian harus diceraikan kembali oleh suaminya
133
Budaya Masyarakat Aceh
yang baru. Untuk melicinkan jalan agar cepat terlaksana, bekas suami mengupah seseorang untuk mengawini bekas istrinya yang telah ditalak tiga. Selanjutnya, suami baru ini menceraikan istrinya agar dapat beristri dengan suaminya yang lama. Jika hal ini terjadi, maka perkawinan semacam ini disebut kawin cinta buta. Kawin cinta buta bagi masyarakat Aceh dianggap hina dan aib, sehingga dapat dikatakan hampir tidak pernah dilakukan orang. Mereka lebih baik mencari gadis lain yang dapat dijadikan istri daripada kawin cinta buta (Hoesin, 1978: 58).
134
Budaya Masyarakat Aceh
Bab
4
Kebudayaan Nonmateri A. Bahasa Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda 'eu' kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e). Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vokal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti "turun " menjadi" tron", karena hilangnya suku pertama, seperti "daun" menjadi "beuec". Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa indonesia bagian timur. Dewasa ini, bahasa Aceh masih merupakan sarana komunikasi yang penting dalam kehidupan keluarga, bahasa pengantar awal pada lembaga pendidikan pesantren sekolah dasar, lambang kebanggaan, sarana penerangan dalam pelayanan kesehatan seperti penyuluhan keluarga
135
Budaya Masyarakat Aceh
berencana, pembuatan sanitasi, baik di Puskesmas maupun dalam pertemuan warga dengan aparat pedesaan. Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya mengunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar baik dalam keluarga atau dalam kehidupan sosial. Namun demikian masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka. Aparat pemerintahan setempat dalam menyampaikan pesan pembangunan menggunakan bahasa Aceh dengan tujuan lebih mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat. Antara warga yang satu dengan lainnya bahasa Aceh menjadikan mereka terasa lebih akrab karena bahasa Aceh merupakan bahasa ibu. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli. Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab - Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe. Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh, banyak orang tua orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi ini. Di Dayah atau pesantren-pesantren yang ada di Aceh dewasa ini, huruf Jawi masih diajarkan karena kitabkitab pelajaran mengenai ketauhidan dan masalah keagamaan banyak terdapat dalam tulisan Jawi. Generasi muda Aceh yang mengikuti pendidikan modern tidak mengenal huruf Jawi, mereka mengenal huruf-huruf yang
136
Budaya Masyarakat Aceh
digunakan di sekolah-sekolah yaitu tulisan latin. Minimnya generasi muda Aceh yang mempelajari tulisan Jawi melalui pesantren menyebabkan bahasa Jawi hampir tidak dikenal lagi. B. Sistem Kekerabatan Sistem kelompok keluarga masyarakat Aceh umumnya menganut sistim keluarga batih. Rumah tangga terdiri atas keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Anak sudah kawin, ia akan mendirikan rumah tangga sendiri sebagai keluarga batih pula. Seseorang yang baru kawin tidak berapa lama menetap bersama-sama dalam keluarga batih orang tua atau mertuanya. Jika mereka merasa mampu maka akan langsung pindah ke rumah sendiri. Seseorang yang sudah memisahkan diri dari keluarga batih orang tua atau mertua di sebut peumeukleh. Namun jika orang tua merasa anaknya lebih baik tinggal bersama dengan mereka maka si anak tetap tinggal. Ayah dan ibu dalam keluarga batih, mempunyai peranan penting untuk mengasuh keluarga sampai dewasa. Peranan ini sudah menjadi tanggung jawab ayah dan ibu meliputi segala kebutuhan keluarga akan sandang pangan, kesehatan dan pendidikan. Masyarakat Aceh menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yang memperhitungkan hubungan kekerabatan, baik melalui garis ayah maupun garis ibu. Kerabat-kerabat dari garis ayah disebut wali atau biek. Apabila ayah meninggal dunia yang bertanggung
137
Budaya Masyarakat Aceh
jawab terhadap anaknya adalah wali, yaitu saudara laki-laki ayah yang sekandung. Kalau saudara laki-laki sekandung dengan ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara sepupu ayah yang laki-laki dan saudara sepupu ini keturunan dari saudara kandung dari ayah yang laki-laki. Garis keturunan melalui pihak ibu disebut karong atau kaoy. Prinsip bilateral ini menyebabkan tidak tidak ada perbedaan istilah kekerabatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang seangkatan. Status wali yang lebih tinggi dari status karong, menyebabkan wali dapat menjadi wali dalam perkawinan dan asabat dalam warisan. Ini berkaitan dengan ajaran Islam. Dalam kehidupan sehari-hari satu keluarga inti lebih akrab hubungannya dengan _karong, hal ini dipengaruhi oleh adat menetap sesudah nikah uxorilokal yang mereka anut. Kelompok kerabat yang lebih besar adalah kawom, yang apabila ditelusuri garis keturunannya melalui garis ayah, berasal pada satu orang laki-laki yang menurunkan mereka. Orang Aceh banyak yang memiliki atau menyimpa silsilah dari kerabat-kerabatnya (sarakata). kawom cenderung semakin hilang (hanya sedikit orang Aceh yang dapat menemukan garis keturunannya lebih dari 3 generasi ke atas). Mereka masih menyebut dirinya tergolong dalam satu kawom tertentu garis keturunan ayah. Kelompok lainnya adalah sukee, misalnya sukee lhee reutoh, Cut (Ja atau To Sandang), Tok Batee, Imeum Peuet. Mereka mengacu kepada asal usul keturunannya yang berasal dari luar seperti dari Karo, Hindu, Arab, Parsi dan Turki. Hubungan antara keluarga inti menunjukkan suatu pola. Sejak umur enam tahun seorang anak mulai dibatasi hubungannya dengan ibu dan saudara perempuannya. Anak
138
Budaya Masyarakat Aceh
laki-laki dibatasi hubungan dengan ibu dan saudara perempuannya. Anak laki-laki yang terlalu banyak berada di rumah akan diejek oleh teman-temannya sebagai orang yang masih menyusui pada ibunya. Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan keluarga. Mereka kembali ke rumah pada saat makan atau ganti pakaian. Pada malam hari mereka tidur di meunasah sambil belajar mengaji Al-Quran dan mempelajari dasar-dasar agama. Proses belajar di luar rumah tersebut mendidik mereka menjadi seorang Aceh sejati dan seorang muslim yang baik (Siegel, 1969; Melalatoa, 1995). Proses sosialisasi itu juga menumbuhkan sikap sungkan anak-anak Aceh dalam menghadapi dan berbicara dengan ayahnya. Jika ada keinginan cukup disampaikan melalui ibunya. Hubungan menantu dengan mertua juga bersifat terbatas, apabila menantu ingin menyampaikan sesuatu hal kepada mertua terkadang disampaikan melalui pesan kepada isterinya. Hubungan yang kelihatan tidak terlalu akrab ini bukan berarti tidak saling memperhatikan dan menyayangi. tetapi semata-mata untuk menjaga rasa hormat terhadap orang tua. C. Sistem Pengetahuan 1. Pengetahuan Tentang Makhluk Halus. a. Burong Tujoh Penyakit Burong Tujoh ialah semacam setan tidak kelihatan yang suka mengganggu anak-anak Apabila ada anak-anak yang dirasuki oleh Buriong kelihatan matanya terbeliak melihat ke atas dan tidak
139
yang kecil. Tujoh sadar,
Budaya Masyarakat Aceh
kemudian setelah dijampi oleh pawang barulah berangsurangsur anak yang kena rasuk tadi menjadi sadar. b. Orang Bunian Semacam setan yang terdapat di huatan. Apabila seseorang pergi mencari damar atau rotan dan keperluan lain orang tersebut akan disamunnya, kadang-kadang berhari-hari hilang dan baru ditemukan kembali setelah dilepaskan oleh orang bunian tersebut. c. Gulung Tikar (Balum Beude) Setan yang tidak dapat dilihat mata bertempat di kuala atau tepi pantai, kalau setan itu menampakkan dirinya seolah-olah seperti tikar merah yang dihamparkan. Karena itulah diberi nama setan ini dengan gulung tikar (Balum Beude). d. Sane Bertempat dirawa-rawa atau sungai-sungai yang airnya tidak mengalir lagi, akan tetapi masih ada air yang tergenang di sana. Sanae hinggap pada sepotong kayu, baik kayu terapung di atas air atau yang tenggelam. Bila seseorang menyentuh kayu tersebut badannya terasa sakit dan tulang-tulangnya terasa ada yang menggigit atau seakan akan ditusuk jarum atau duri.
140
Budaya Masyarakat Aceh
e. Geunteut Jin ini sangat hitam dan tinggi sekali. Biasanya menampakkan diri di tengah jalan, ia berjalan kaki dengan langkahnya yang panjang-panjang dan akhirnya masuk ke dalam rumpun bambu atau ke dalam semak-semak. f. Beuno Apabila orang sedang tidur nyenyak sambil mengorok itu disebabkan ada gangguan setan dan suara tenggorok itu sedang dicekik semacam hantu yang bernamabeuno. g. Pohon Lumbe Pohon lumbe yang tumbuh di hutan-hutan adalah tempat bersarangnya hantu. Apabila orang meminum air yang berasal dari akar pohon tersebut maka lehernya akan membesar dan bengkak di bawah dagu. Penyakit ini disebut cugong. h. Kuntianak Hantu jenis ini ditemui pada malam hari yang terbungkus dalam kain putih atau dengan nama lain Burong Punjot. Kuntilanak berasal dari perempuan yang mati melahirkan dan lupa melepaskan tali pengikat kafannya ketika kuburnya mau ditimbuni. i. Tuleueng Dong Merupakan jenis hantu berupa tulang berdiri sering dijumpai ketika malam gelap gulita.
141
Budaya Masyarakat Aceh
2. Pengetahuan Alam Fauna. a. Manok Manok (ayam) merupakan salah satu ternak yang dipelihara oleh masyarakat Aceh. Di samping untuk kebutuhan keluarga juga untuk khasiat-khasiat akan tuahnya. Masyarakat Aceh beranggapan jika memelihara ayam-ayam bertuah, harta akan bertambah dan ayam-ayam peliharaan lain tidak mudah kena penyakit. Ayam yang bertuah itu biasanya ayam jantan seperti ayam _genantan, ayam birieng, ayam belurang rajawali, belurang kasih, ayam jalak serta ayam siwak. Perbedaan ayam-ayam ini dengan ayam lainnya adalah dari sisiknya yang di kaki, bulunya, cara berkokok dan pada jeureumen (lembing di atas kepala). b. Keubeu Keubeu(kerbau) dipelihara untuk menarik bajak, di samping untuk kebutuhan daging. Kerbau yang akan dijadikan bibit dipilih pula kerbau-kerbau tertentu seperti kerbau yang besar, kitong (bagian pinggul), ujung tetek lurus ke bawah dan tidak miring ke samping, pusat tidak dekat dengan pusar. c. Baneng Glee Baneng Glee adalah sejenis penyu yang biasanya terdapat di hutan. Baneng Glee berkhasiat untuk menyembuhkan gatal-gatal dan reumatik dengan cara memakan dagingnya.
142
Budaya Masyarakat Aceh
d. Kurungkhong Binatang kurungkhong (sejenis binatang) dan labahlabah air dapat dijadikan obat berbisa. Katak hijau dapat dijadikan obat digigit ular. Jeureumen manok (lembing ayam) dapat dijadikan obat digigit lipan atau kalajengking. e. Pengetahuan mengenai tingkah laku binatang Rumah-rumah yang banyak didiami tokek, menandakan yang punya rumah akan kaya. Orang-orang yang memelihara meurubok (sejenis balam) biasanya dihadapkan pada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama orang tersebut akan kaya bila meurubok tu berbunyi "kutumpok" (kutambah). Dan kemungkinan kedua ia akan miskin bila meurubok tu berbunyi "tho-tho" (kering). 3. Pengetahuan Alam Flora. a. Tumbuh-tumbuhan untuk obat-obatan. Tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan obatobatan tradisional antara lain adalah tungkat ali, daun sijaloh, daun being, dapat dipergunakan untuk obat demam malaria. Daun misemie (kumis kucing) dapat dijadikan obat sakit pinggang. Daun bunga melur dan daun peria dapat dijadikan obat turun panas anak-anak. b. Pengetahuan tentang waktu yang baik untuk menanam tanaman muda. Salah satu pengetahuan mengenai waktu yang baik untuk menanam adalah waktu menanam padi di sawah.
143
Budaya Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh telah mengerti mempergunakan rumus. Rumus tersebut yaitu : K = C-2xB K = Keadaan musim, disebut keuneunong. C = Angka konstanta (angka tetap) yaitu angka 25. 2 = Angka tetap untuk pengalian. B = Bulan Masehi yang sedang berjalan. Contoh : Untuk mencari Keuneunong bulan Agustus adalah: K = 25-2x8 = 25-16 = 9 Jadi bulan Agustus jatuh pada keuneunong 9. Pada bulan ini sudah dapat dimulai penyemaian bibit padi yang berumur relatif pendek. Secara umum mengenai keuneunong sudah ada ketentuannya, yaitu : Keuneunong 11 , jatuh pada bulan juli untuk jenis padi yang panjang umurnya. Keuneunong 99, jatuh pada bulan Agustus untuk padi yang agak panjang umurnya. Keuneunong 77, jatuh pada menyemai bibit secara merata. Keuneunong penanaman.
bulan September
untuk
5 , jatuh pada bulan Oktober mulai saat
Keuneunong 3, jatuh pada bulan November akhir masa penanaman.
144
Budaya Masyarakat Aceh
Keuneunong 1, jatuh pada bulan Desember seluruh pekerjaan di sawah sudah selesai. 4. Gejala Alam Sesuatu gejala alam merupakan sebab akibat bagi masalah-masalah lainnya. Sebab akibat dari gejala alam ini akan memberikan arti yang tertentu pula kepada manusia. Pelangi melingkari bulan, menandakan akan musim kemarau. Apabila pelangi melingkari matahari menandakan akan musim penghujan. Hujan gerimis disiang hari menandakan ada orang yang meninggal berdarah. Bagi pelaut-pelaut gejala alam mempunyai arti penting. Pada waktu awan menyerupai sisik-sisik ikan menandakan musim ikan sudah tiba. Untuk menentukan arah utara atau selatan, mereka memperhatikan letak bintang biduk dan bintang pari. Untuk menentukan arah Timur, mereka menandakan dimana letak bintang Timur. Dan apabila seseorang tersesat dihutan, mereka mencari arah kemana air mengalir. 5. Waktu Saat penentuan waktu untuk mencari rezeki dan jodoh, mempunyai perhitungan tertentu. Perhitungan itu sering dijabarkan kedalam arti _langkah, raseuki, peuteumun, maut Kemudian arti ini digabungkan dengan hri bulan hijrah sebagai sistem perhitungan bulan yang umum dikalangan masyarakat Aceh. Perhitungan tersebut adalah sebagai berikut :
145
Budaya Masyarakat Aceh
Tanggal 1 = Langkah Tanggal 2 = Raseuki (rezeki) Tanggal 3 = Peuteumun (pertemuan jodoh) Tanggal 4 = Maut (tidak baik untuk semuanya) Tanggal 5 = Langkah Tanggal 6 = Raseuki Tanggal 7 = Peuteumun Tanggal 8 = Maut Dan seterusnya ... Keterangan : Langkah menandakan baik untuk mencari rezeki atau untuk segala gerak manusia. Raseuki sangat baik untuk mencari rezeki. Peuteumun sangat sangat baik untuk mencari jodoh. Maut tidak baik untuk semua gerak manusia. D. Permainan Tradisional a. Kapai-Kapai Inggre'h Permainan ini dijumpai pada etnis Aceh dan etnis Aneuk Jamee di Kabupaten Aceh Selatan. Jadi lokasi permaianan ini adalah pada bagian pesisir Aceh (pesisir Utara dan pesisir Timur) juga di pesisir Barat (termasuk kabupaten Aceh Selatan). Kapai-kapai Inggre'h dalam bahasa Indonesia artinya Kapal-kapal Inggris. Mengenai nama permainan ini ada
146
Budaya Masyarakat Aceh
kaitannya dengan pertanyaan dan jawaban yang dilontarkan. Permaianan ini umumnya dilakukan pada malam hari ketika bulan purnama. Jumlah pemain berkisar 5 sampai 6 orang, berusia antara 8 sampai 12 tahun. Permainan ini dapat dilakukan dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan. Tetapi jarang terjadi percampuran antara anak laki-laki dan anak perempuan. Jadi kalau anak-anak perempuan yang memainkannya maka yang menjadi pemain anak-anak perempuan semua, begitu pula sebaliknya. para pemain itu terdiri atas anak-anak para petani. Peralatan yang digunakan adalah kain sarung yang dapat menutupi tubuh salah seorang para pemain bila ia berjongkok. Jalannya permaianan yaitu ketika pemain telah berkumpul maka dilakukan pemilihan sorang wasit atau juri diantara mereka. Selanjutnya ditetapkan salah satu diantara pemain untuk menebak siapa orang yang ditutup dengan kain oleh juri. Kemudian setelah orang yang ditebk di tutup dengan kain maka sipenebak mulai menebak siapa yang berada di dalam sarung tersebut. b. Makah-Makah Permainan ini dilakukan pada siang hari, terutama pada hari-hari libur, atau pada waktu-waktu senggang, atau pada sore hari di tanah lapang atau pekarangan rumah. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak secara beregu terdiri atas dua kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan 4 atau 5 anak tergantung dari banyak anak-anak. Usia pemain sekitar 9-13 tahun.
147
Budaya Masyarakat Aceh
Peralatan yang diperlukan hanya sebiji batu atau benda lainnya yang kecil agar mudah disembunyikan dalam genggaman tangan yang diletakkan di bagian belakang punggung. Kedua regu saling berhadap-hadapan berdiri pada suatu garis secara berurut yang jarak antara regu satu dengan regu lain sekitar 2 meter. Semua regu menghadap ke titik sasaran yang disebut Makkah. Masing-masing regu berlomba-lomba untuk dapat terlebih dahulu sampai ketitik sasaran (Makkah). Ketua regu bertugas mengawasi atau menempatkan batu pada pada salah satu anggota regu. Untuk ini ketua regu seakan-akan semua anggota regu diberi batu untuk disembunyikan dalam kedua tangan dan ditempatkan di belakang. Sebenarnya yang diberi batu hanya satu orang. Setelah batu disembunyikan, maka tugas dari regu lain melalui ketua regu menebak pada siapa batu yang disembunyikan berada. Kalau regu lawan tidak dapat menerka, maka peserta yang tempat batu disembunyikan itu maju selangkah kedepan. Demikian seterusnya, sehingga salah satu regu mencapai titik tujuan (Makkah). Regu yang duluan sampai keluar sebagai pemenang. c. Meu Genteut-geunteut Permainan ini dilakukan waktu senggang dengan jumlah pemain sekitar 2 sampai dengan 8 orang dengan usia 8 sampai dengan 14 tahun dan 14 sampai dengan 20 tahun, khusus dimainkan oleh anak laki-laki secara perorangan. Lamanya waktu bermain tidak dibatasi. Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah 2 ujung bambu yang besarnya memadai dan panjangnya 2,3 meter atau lebih menurut kebutuhan sipemai.
148
Budaya Masyarakat Aceh
Pada kedua ujung bambu ini disediakan dua atau lebih tungkeh (tempat injak), yaitu tempat untuk menginjak untuk naik dan turun waktu berjalan. Sebagian lainnya dibersihkan sedemikian rupa sehingga enak dilihat dan mudah dipakai. Pada tungkeh tempat injakan biasanya diberi alat menurut selera sipemakai. Umumnya digunakan sabut atau batok tempurung kelapa yang diraut sedemikian rupa sehingga tidak menyakitkan kaki waktu berjalan. d. Ghieng-Ghieng Asee Dimainkan pada siang hari baik waktu pagi, tengah hari atau sore ketika anak-anak berkumpul. Usia anak-anak yang ikut permainan ini umumnya Sekolah Dasar dan dimainkan oleh anak laki-laki. Anak perempuan jarang ikut karena dianggap tidak sopan apabila mereka bergerak dengan leluasa ditempat-tempat terbuka. Jalannya permainan yaitu ketika anak-anak sudah berkumpul masing-masing sebelah kaki dengan membengkokkan hingga lutut diselang seling sehinga antara satu dengan yang lain saling berkait. Ketika kaki-kaki saling terkait dan masing-masing berdiri dengan sebelah kaki, mulailah mereka meloncat. Pada saat meloncat tidak dibolehkan saling berpegangan. Apabila salah satu jatuh dan kaitan kaki terlepas, kepada yang jatuh dianggap kalah dengan hukuman mendukung temannya secara bergantian dengan jarak yang telah ditentukan. e. Meu Een Aceue Berkembang di Aceh Utara dimaikan pada bulan puasa dan bertempat di Meunasah. Usia pemain terdiri dari
149
Budaya Masyarakat Aceh
kelompok Sekolah Dasar dan kelompok pemuda serta orang dewasa. Permainan ini khusus untuk anak laki-laki, tidak pernah bercampur anak perempuan dengan anak laki-laki. Peralatan dan perlengkapan terdiri dari Aneuk Kiraeoe (buah kemiri) dan _Pineueng Ruek_ (pinang yang sudah cukup tua). Perlengkapan yang lain adalah lapangan bersih dan rata serta teduh. Pada lapangan yang bersih dan rata tadi ditarik garis lurus dimana ditumpuk anak kemiri, untuk mencari siapa yang duluan memukul dengan cara melempar Eumpien (kemiri yang ditempa khusus sebagai alat pemukul) dengan cara melempar kearah garis lurus tadi tempat tumpukan kemiri. Eumpien yang terjatuh dari garis lurus dan tumpukan kemiri, dia yang pertama memukul dengan posisi jongkok. Pergantian giliran terjadi apabila tumpukan kena dan berserakan. f. Meu Creek Berkembang di Aceh Besar, dimainkan oleh anak perempuan yang belum bersekolah dan kelompok usia 6 sampai 13 tahun. Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah lidi yang diperoleh dari daun kelapa kelapa kering yang berjumlah tergantung dari perjanjian dalam permainan. Selain itu juga diperlukan batu-batu kecil yang disembunyikan dalam genggaman tangan dengan jumlah tak tertentu. Kegunaan dari batu kecil tadi apanila kalah harus menebak berapa batu yang ada dalam genggaman pemenang. Cara permaianan Meu Creek dengan menentukan terlebih dahulu urutan para pemain melalui sut. Pemain yang
150
Budaya Masyarakat Aceh
mendapat giliran pertama mengambil lidi sejumlah yang disepakati, lalu menaruh lidi di atas telapak tangan, kemudian di lempar ke atas dan dengan segera pemain membalikkan telapak tangan untuk menahan lidi tersebut melalui punggung tangan. Apabila lidi menyangkut di punggung tangan sebanyak tiga berarti nilai yang diperoleh adalah tiga. Jika tidak ada lidi yang menyangkut berarti orang tersebut mati dan dilanjutkan dengan pemain lain. Pemenang yang keluar dalam setiap permainan adalah yang berhasil mencapai nilai yang disepakati. g. Meusom-som Aneuk Dalam permainan som-som Aneuk seorang diantara pemain bertindak sebagai pemain tempat disembunyikan anak tersebut oleh penyembunyi. Untuk menentukan orang pertama menjadi penyembunyi dilakukan undian sesama mereka melalui sut. Misalkan yang keluar sebagai pemenang adalah si A, berarti A yang bertindak sebagai penyembunyi anak. Setelah ada pemain yang bertindak sebagai penyembunyi maka dibentuk lingkaran untuk memulai permainan. Kegunaan lingkaran atau garis untuk memudahkan penyembunyi menyembunyikan anak di antara sesama teman yang kalah dalam undian. Setelah si B, C, D, E membentuk lingkaran dengan menghadap keluar, selanjutnya mereka membungkuk dengan tangan menelentang dia atas tulang belakang. si A sebagai penyembunyi mengambil anak untuk disembunyikan diantara si B, C, D, E. Anak dipegang oleh si A sedangkan si B, C, D, E membungkuk dengan tangan menelentang di atas
151
Budaya Masyarakat Aceh
tulang belakang untuk memudahkan menyembunyikan anak oleh si B. Dengan menyanyikan jel-jel sambil berputar di luar lingkaran atau sambil berjalan di depan barisan dengan batu ditangan meletakkan tangannya yang berisi batu satu persatu di atas tangan B, C, D dan E. Selanjutnya yang mencari di mana anak tersebut disembunyikan adalah pemain yang tangannya berisi batu, dengan menerka di belakang siapa anak tersebut disembunyikan. Kalau terkaan salah A masih memimpin pertandingan, jika terkaan benar maka posisi A digantikan oleh si penerka. j. Peh Kayee Meuen Peh Kayee disebut juga meuen gok atau meuen sungkeet. Para pemain adalah anak-anak yang sudah bisa berhitung, karena untuk mengakhiri permainan dengan hitungan. Perlengkapan yang dibutuhkan sebuah gagang sepanjang lebih kurang 60 cm yang dipergunakan sebagai alat untuk memukul dan sebuah anak kayu sepanjang lebih kurang 10 sampai 15 cm untuk dipukul oleh pemain, juga dibutuhkan lapangan yang luas. Gagang dan anak kayu biasanya dari pelepah rumbia yang telah dipotongpotong dan dibulatkan dengan maksud tidak mencederai bagi pemainkarena ringan. Dalam permainan peh kayee ada beberapa istilah, yaitu boh sungkeet, boh peh, dan boh jeungki_. Boh Sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah diletakkan diatas lobang yang telah disediakan dengan gagang sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Peh adalah bola kedua di mana anak
152
Budaya Masyarakat Aceh
diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Jeungki adalah bola ketiga dimana anak diletakkan secara membujur yang sebagian berad di dalam lubang dan kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah naik diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali, seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat kearah lawan. k. Meusom-Som Taloe Permainan ini umumnya dimainkan oleh anak lakilaki, namun kadang-kadang terdapat pula peserta puteri. Jumlah pemain sekitar 4 atau 7 anak berusia sekitar 10-12 tahun. Peralatan yang digunakan yaitu seutas tali tidak lebih sehasta. Tali ini disambung kedua ujungnya sehingga menjadi sebuah gulungan kecil. Selain tali juga diperlukan lidi yang ukuran panjangnya sehasta satu jengkal. Melalui undian ditetapkan siapa yang pertama menyembunyikan tali ke dalam tanah. Sementara tali disembunyikan dalam tanah pserta permainan lainnya menghadap ketempat lain sambil menutup mata. Untuk mengelabui pemain lain, dibuat onggokan-onggokan tanah selain tempat tali disembunyikan seolah-olah disitu tali disembunyikan. Selanjutnya para pemain yang menutup mata tadi, secara bergiliran mencari tali. Pencarian dilakukan dengan lidi, dan setiap pemain boleh memakai lidi sepuluh biji. Lidi ditancapkan bergiliran pada tempattempat dalam lingkaran yang diperkirakan disitu tali disembunyikan. Tancapan lidi harus tepat berada di tengahtengah (dalam gulungan tali), karena lidi yang ditancapkan ini kemudian ditarik ke luar lingkaran tersebut. Jika lidi
153
Budaya Masyarakat Aceh
tersebut tertancap tepat dalam gulungan tadi, dengan sendirinya tali akan ikut tertarik ke luar lingkaran. Siapa yang lidinya berhasil berbuat demikian, maka ia akan keluar sebagai pemenang. l. Meuen Geuti Permainan ini tidak membutuhkan perlengkapan banyak, Hanya biji-bijian seperti biji Melinjo dan biji asam jawa. Jika biji-biji tersebut tidak ada maka diganti dengan batu kecil. Sebelum permainan dimulai terlebih dahulu diadakan perjanjian seperti menentukan jumlah point yang akan dimainkan, besarnya taruhan serta menentukan urutan pemain. Setelah ditentukan siapa yang berhak main pertama, maka permainan dimulai. Misal, pemain terdiri dari grup A dan B, nilai atau skor yang akan dimainkan sebesar 500, untuk sekali main terdapat 25 pasang anak dan besar taruhan 25 biji. A akan melakukan terlebih dahulu permainan, kemudian disusul oleh B. Caranya adalah sebagai berikut : mula-mula A mengambil anak tadi sebanyak 25 pasang atau 50 biji, dimasukkan dalam genggaman tangan selanjutnya disebarkan secara sekaligus di atas lapangan permainan. Lapangan harus yang datar dan biasanya digunakan papan yang lebar atau lantai semen rumah. Setelah biji atau batu ditabur di lapangan permainan dan berserakan, maka mulai di _geuti_ (tengki). setiap pasang yang ditengki bisa dianggap sah apabila biji atau batu tidak mengenai satu pasang, tidak menyentuh biji ketiga, tidak
154
Budaya Masyarakat Aceh
menggoyangkan biji yang lain seandainya biji tersebut letaknya berdempetan, dan mempunyai jarak (setiap biji yang ingin ditengki) sekurang-kurangnya bebas dimasuki jari kelingking pemain dan tidak tersentuh. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka setiap kali menengki memperoleh satu point. Bagi siapa yang terlebih dulu mencapai nilai yang disepakati, maka keluar sebagai pemenang. E. Kesenian 1. Alat musik (i) . Serune Kalee Sebutan serune dalam bahasa Aceh adalah; Serune (serunai) dan Kalee (nama desa di Laweung Kabupaten Pidie). Jadi pengertian lengkap adalah Serunai dari Kalee. Alat tiup serune kalee diklafikasikan sebagai alat tiup jenis Aerophone, karena memakai lidah (mondstuk) dan mempunyai rit (rohrblatt). Bentuk alat ini adalah memanjang bulat lurus, seperti Hobo atau Fagot mulai dari batas atas mulut (mondstuk) berukuran kecil, pada tubuhnya terdapat lubang-lubang pijitan (fingering) dengan ukuran cukup besar, pada bagian bawah sekali (Bell = bulatan, holuntul klankgehalte) bertambah besar lagi seperti kelopak bunga teratai. (ii) . Gendrang Gendrang berfungsi sebagai pelengkap dari musik serune kalee sebagai alat rithmik, mengatur tempo dengan tingkahan-tingkahan yang dapat menghidupkan suasana dalam upacara antar pengantin atau saat keramaian lainnya.
155
Budaya Masyarakat Aceh
(iii). Buloh Meurindu Sebutan buloh meurindu dapat ditafsirkan pengertiannya "buloh = buluh" atau sejenis bambu, sedangkan merindu sama artinya dengan ejaan dalam bahasa Indonesia. Alat musik ini termasuk alat musik tiup, bentuknya memanjang lurus seperti suling, akan tetapi pada batas atas dekat empat letak embochure bentuknya seperti dua buah corong yang dipertemukan atau didemperkan permukaannya, sedangkan pada bagian bawah (bell) seperti sebuah corong biasa hampir mirip dengan demper jenis muted trompet. (iv). Rapai Rapaitermasuk salah satu alat perkusi tradisional yang dipukul khusus dengan tangan saja. Rapai sebagai alat musik tradisional juga dimaksudkan untuk suatu group permainan terdiri dari 8 sampai 12 orang yang disebut awak rapai, dapat diartikan permaianan rapai itu sendiri, dan bukan semata-mata jenis alatnya saja. Jenis sebutan atau nama rapai dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu Rapai Daboih, Rapai Gerimpheng, Rapai Pulot, Rapai Pase, Rapai Anak/tingkah, Rapai Kisah/hajat Membunyikan dan memukul rapai dapat dalam posisi duduk melingkar, duduk berbanjar. Tangan kanan memukul kulit _rapai_ dan bila dipukul di tengah-tengah membran akan menghasilkan suara dengungan atau gema yang besar, tetapi tidak tajam suaranya. Apabila dipukul pada pinggirnya akan mendapatkan suara tajam dan nyaring. (v). Alee Tunjang Bentuk dari Alee Tunjang adalah alunya menunjang seperti galah, sedangkan lesungnya seperti gelondongan
156
Budaya Masyarakat Aceh
batangan kayu yang diletakkan berdiri, lebih kurang setinggi paha. Alee Tunjang merupakan alat musik rithmik yang memberikan suara-suara atau bunyi-bunyi akibat pukulan atau hempasan alat alu ke dalam lubang lesung. Sehingga lebih tepat dikatakan memberikan gema suara atau irama untuk suatu tempo. Agar lebih memperindah tarian, nyanyian dengan alat musik alee tunjang ditambah lagi dengan menggunakan musik rapai, gedumbak (gendang kecil), serune kalee sebagai pembawa melodi dan gong untuk tingkahan ritmik yang pemainnya terdiri dari pria.
2. Tarian a. Saman Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian. b. Tari Likok Pulo Aceh Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Aceh atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalam semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk
157
Budaya Masyarakat Aceh
bersimpuh, berbanjar bahu membahu. Seorang pemain utama yang disebut syeh berada ditengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman/keserentakan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat. c. Laweut Laweut berasal dari kata Salawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut_dipakai, pertama sekali disebut Akoon (seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II PKA II). Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan gerakan tarian. d. Tari Pho Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian
158
Budaya Masyarakat Aceh
orang besar dan raja-raja, didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat. e. Seudati Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian bariu ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang anak syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo dari lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.
159
Budaya Masyarakat Aceh
Bab
5
Kebudayaan Materi Salah satu aspek dari kebudayaan yang hidup dalam
masyarakat adalah aspek material. Aspek material dari suatu kebudayaan meliputi sistem teknologi, sistem perlengkapan hidup, sistem ekonomi dan sistem mata pencaharian. Biasanya sistem teknologi dan perlengkapan hidup yang ada pada suatu masyarakat satu dengan kelompok masyarakat yang lain tidaklah sama. Dengan kata lain penggunaan teknologi dan perlengkapan hidupnya bagi tiap-tiap masyarakat terdapat perbedaan dan tergantung dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat Aceh yang merupakan pendukung dari kebudayaan Aceh juga mempunyai ciri sendiri dalam budaya materi yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan peralatan rumah tangga, alat-alat produksi dan alat pertahanan bagi dirinya. Sistem teknologi dalam peralatan rumah tangga, alat-alat produksi dan alat senjata yang mereka miliki dan kuasai tersebut biasanya akan diturunkan dan diwariskan kepada keturunannya untuk dipelihara dan dipertahankan demi kelestarian budaya itu sendiri.
160
Budaya Masyarakat Aceh
A. Peralatan Kehidupan Sehari-sehari 1. Jenis dan Bentuk Ukuran, Takaran dan Timbangan Sebelum adanya peralatan yang canggih dalam mengukur, menakar, dan menimbang masyarakat Aceh mengenal beberapa jenis dan bentuk ukuran, takaran, takaran, dan timbangan. a. Jenis dan Bentuk Ukuran Pada masyarakat Aceh dikenal ukuran dengan istilah seunipat, yaitu alat ukur yang menggunakan anggora tubuh manusia itu sendiri, di antaranya
•
Si atout jaroe untuk mengukur panjang yang sama dengan seruas jari.
•
Si batee yaitu jarak yang sama dengan jarak 1 km atau 1000 meter dan dapat diukur dengan ukuran seribu langkah.
•
Si deupa, yaitu panjang antara ujung jari telunjuk tangan kiri sampai ke ujung jari telunjuk tangan kanan, dalam posisi kedua tangan direntangkan ke kiri dan ke kanan secara horizontal.
•
Si deupa meunara atau deupa meulara, yaitu panjang yang ditentukan oleh jarak kedua ujung jari tangan kiri dan kanan bila tangan dilengkungkan sejauh mungkin ke belakang.
•
Si Hah merupakan panjang yang sama dengan se hasta. Panjang ini adalah jarak dari ujung jari tengah hingga sampai ke siku.
161
Budaya Masyarakat Aceh
•
Si Ila yaitu jarak dari pertengahan dada sampai ke ujung jari tengah dalam dengan posisi tangan direntangkan secara horizontal. Dengan demikian, panjang si ila sama dengan panjang setengah deupa.
•
Si jeungkai yaitu panjang dari ujung ibu jari hingga ke ujung jari tengah, dengan posisi jari-jari tangan itu direntangkan sejauh mungkin. Ukuran ini sama dengan sejengkal.
•
Si jeungkai telunyok yaitu panjang dari ujung ibu jari sampai ke ujung jari telunjuk apabila kedua jari-jari tangan itu direntangkan sejauh mungkin.
•
Si jeungkai getiek yaitu panjang dari ujung jari kelingking hingga ujung ibu jari apabila kedua jari-jari tangan itu direntangkan sejauh mungkin.
•
Si jaroe yaitu ukuran sepanjang satu jari tangan.
•
Si jaroe eih yaitu ukuran sama dengan ukuran lebar 1 jari (kira-kira 1 cm).
•
Dua atout jaroe yaitu ukuran sepanjang dua ruas jari.
•
Si krunyong yaitu alat mengukur panjang yang digambarkan melalui anggota tubuh dari telapak kaki sampai ujung jari tangan yang diangkat tegak lurus ke atas. Posisi tubuh dalam keadaan berdiri tegak lurus.
•
Si langkah yaitu jarak yang seukuran dengan 1 langkah (100 cm).
•
Si lheuk merupakan panjang dari pangkal ketiak sampai ke ujung jari tengah dalam posisi tangan direntangkan.
162
Budaya Masyarakat Aceh
•
Si meusenti yaitu ukuran selebar tangan yang digenggam dengan ibu jari yang direntangkan.
•
Si ningkoy yaitu jarak dari ujung jari tengah tangan kiri yang direntangkan secara horizontal sampai ke siku tangan kanan yang dilipatduakan dalam posisi merentang sacara horizontal begitu pula dapat dilakukan dengan cara sebaliknya. Oleh karena itu, panjang si nongkoy ini lebih panjang dari si ila, tetapi lebih pendek dari si deupa.
•
Si paleut yaitu panjang yang sama dengan lebar empat jari tangan tidak termasuk ibu jari.
•
Si padei eih yaitu diperkirakan ukuran ini selebar satu biji padi (± 2 mm).
•
Si tapak yaitu panjang telapak kaki yang diukur dari tumit sampai ujung jari.
•
Si tulueng yaitu panjang dari lengan bagian bawah dari siku sampai pergelangan tangan.
•
Si tumbok yaitu panjang dari siku sampai ujung tangan yang tergenggam atau lebih pendek dari si hah.
Mengenai ukuran luas tidak ada ukuran yang dipastikan. Oleh karena itu, untuk menentukan luas suatu ukuran biasanya ditentukan oleh kegunaan tempat/lahan itu sendiri. Beberapa ukuran luas tersebut dikenal beberapa di antaranya
a. Saboh cupek yaitu luas sama dengan luas ½ gupang yang juga dipakai untuk sebutan satu petak sawah. Sudah tentu petak dimaksud jauh lebih kecil dari petak sawah biasa. Jadi dalam hitungan meter adalah 12,5 x 12,5 meter.
163
Budaya Masyarakat Aceh
b. Saboh gupang yaitu ukuran luas yang dipakai untuk menyebut satu petak sawah. Gupang memiliki luas ± ½ yok. Jadi ukuran ini kira-kira 25 x 25 meter.
c. Saboh keubeung adalah ukuran sepetak sawah yang luasnya ½ cupek (± 6 meter). Keubeung ini biasanya dipakai untuk persemaian bibit.
d. Saboh lampoh yaitu sama dengan sebuah kebun, baik kebun kelapa, pepaya, mangga, dan sebagainya. Namun ukuran ini tidak diketahui secara pasti, tetapi untuk menaksir berapa kira-kira luas kebun itu adalah dengan cara menghitung jumlah tanaman yang ada di kebun itu.
e. Ruweung merupakan ukuran yang tidak jelas. Orang menyebut luas bangunan rumah dengan jumlah ruweung, misalnya rumoh lhee ruweung (rumah tiga ruang), rumoh peut ruweung (rumah empat ruang).
f. Si yok atau saboh yok yaitu sautu ukuran luas sepetak sawah yang dapat ditanami dengan 16 bambu bibit padi atau si naleh. Akan tetapi, pengertian si yok inipun abstrak karena apabila ada petak sawah lainnya yang lebih besar, mereka menyebutnya dengan si yok rayeuk. Begitu pula ditemukan petak sawah lain yang lebih kecil mereka menyebutnya dengan si yok ubit. Oleh karena itu, untuk ukuran si yok ini lebih identik dengan sebutan saboh umong (sepetak sawah). Ukuran si yok ini sebenarnya adalah seluas 50 x 50 meter. b. Jenis dan Bentuk Takaran Sejak dulu masyarakat Aceh telah mengenal adanya takaran. Alat ini diberi nama dengan seunukat yang terbuat dari berbagai jenis bahan seperti bambu, kayu, seng, dan
164
Budaya Masyarakat Aceh
sebagainya. Secara umum, alat ini berbentuk sebuah silinder dengan masing-masing diberi nama
•
Aree atau bambu. Aree terdiri dari dua jenis yaitu aree kaye (yang terbuat dari kayu dan yang terbuat dari seng tebal. Bentuknya seperti sebuah silinder kosong. Isi atau ukurannya yaitu satu aree kaye sama dengan 2 ¼ liter beras/padi. Dalam timbangan modern biasanya satu aree beras sama dengan ± 1,6 kg, sedangkan gabah beratnya sama dengan 1,2 kg. Untuk mendukung penggunaan aree ini digunakan sepotong kayu bulat yang disebut dengan koh atau glet, dengan panjangnya kira-kira satu jengkal (15-20 cm). Guna alat ini adalah untuk meratakan beras atau padi yang disukat dengan aree, sehingga padi/beras yang ditakar itu isinya sesuai dengan satu aree.
•
Awieh merupakan suatu bentuk takaran yang jumlahnya belum pasti. Hal ini sangat tergantung jenis barang dimasukkan ke dalam awieh. Adapun bentuk awieh adalah kain sarung yang dipasang menyilang dari leher sebelah kanan dan menyilang ke bawah ketiak tangan kiri atau sebaliknya. Hal ini dapat juga dipergunakan kain selendang atau kain panjang yang ujungnya disambungkan kemudian disangkutkan secara menyilang dari leher seperti sarung tadi, sehingga bagian tengah membantuk semacam ayunan bayi di bawah ketiak. Di tempat itulah diisi barang yang akan ditakar.
•
Beurakah. Banyaknya takaran saboh beurakah ini belum mempunyai suatu jumlah yang pasti dapat dalam jumlah yang banyak atau sedikit. Yang jelas menyebut takaran saboh beurakah biasa jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah satu takaran ikat yang besar. Takaran saboh
165
Budaya Masyarakat Aceh
beurakah ini sering dipakai untuk menakar kayu, tebu, dan sebagainya.
•
Blakay merupakan alat yang terbuat dari belahang tempurung kelapa yang besarnya ½ kay. Dengan demikian, isi takaran dari blakay ini akan sama dengan isi ½ kay atau sama dengan isi 1/8 bambu. Apabila ditimbang dengan timbangan modern beratnya sama dengan 2 ons beras.
•
Si ceukak atau si geucay yaitu takaran yang setara dengan suatu yang dapat dicapai oleh ibu jari dengan jari tengah tangan.
•
Si ceukai atau saboh paleut yaitu takaran setara dengan isi satu telapak tangan. Takaran ini dipakai untuk bendabenda tertentu dan keperluan tertentu pula.
•
Si jeumpet yaitu takaran setara dengan sebanyak yang dapat diambil dengan kelima ujung jari tangan.
•
Si geucay rayeuk yaitu takaran setara dengan sebanyak bila dicekal dengan kedua ibu jari dan kedua jari telunjuk yang dipertemukan dari kedua tangan.
•
Sigeupai atau segumpal yaitu ukuran segenggam penuh. Dipakai untuk menyebut ukuran terhadap benda-benda tertentu seperti beras, gula, tepung dan sebagainya.
•
Si ikat yaitu banyaknya benda satu ikat, yang sampai saat belum mempunyai ukuran pasti. Bentuk takaran ini sering dipakai untuk takaran benda-benda yang dapat diikat seperti kayu, tebu, lidi, dan juga termasuk sayursayuran seperti bayam, kacang panjang, kangkung, dan sebagainya.
166
Budaya Masyarakat Aceh
•
Idang adalah suatu peralatan tradisional yang terbuat dari rotan yang disebut dengan glong. Kedua ujung glong ini, yaitu rajutan rotan yang panjangnya kira-kira tiga meter dipertemukan dan diikat, sehingga membentuk sebuah silinder dan diberi alas dengan talam. Kemudian, dibaki inilah diisi dengan sejumlah makanan yang terdiri dari nasi, lauk-pauk, dan dilengkapi dengan buah-buahan serta penganan lainnya atau kue. Mengenai berapa isi porsi dari satu idang tergantung dari besar-kecilnya ukuran idang itu sendiri.
•
Kateing atau gateing yaitu suatu alat takar untuk menakar volume dan berat barang yang dari hasil produksi pertanian. Kateing/gateing terbuat dari anyaman kulit pelepah rumbia atau kulit bambu dengan diberi kaki agar dapat menahan beban. Alat ini berbentuk persegi empat. Kateing ini memiliki takaran isi 20 bambu/aree. Menurut alat timbang modern satu kateing setara dengan 32 kg beras.
•
Kay adalah alat takaran yang terbuat dari paruhan tempurung kelapa. Biasanya tempurung yang dipilih adalah tempurung yang memiliki 3 lubang tunas atau khususnya bagian kepala tempurung (ulee bruk). Hal ini dilakukan agar alat ini disamping dapat dipergunakan untuk menakar benda-benda padat juga dapat menakar benda-benda cair, malalui lubang yang pada alat ini mulamula ditutup dengan telapak tangan, cairan yang telah ditakar dapat dialirkan dengan mudah. Kay kuno dahulu dibalut dengan kulit scrotum seekor sapi yang telah dialirkan, sehingga alat ini menjadi lebih kuat dan tidak mudah pecah kalau terjatuh. Takaran isi dari kay adalah
167
Budaya Masyarakat Aceh
sama dengan isi ¼ bambu. Dalam timbangan modern kay ini setara dengan berat 4 ons beras atau 3 ons gabah.
•
Kulah adalah ukuran yang setara dengan 1 meter kubik. Ukuran ini biasanya untuk mengukur kebutuhan air.
•
Raga/keranjang. Alat ini terbuat dari rajutan rotan tali dan anyaman daun kelapa serta memiliki bentuk yang bulat. Biasanya dipergunakan untuk menakar jumlah dari isi buah-buahan.
•
Seurahi atau botol dipakai untuk menakar benda-benda cair. Terbuat dari kaca dan bentuknya ada yang bulat dan ada juga berbentuk segi empat.
•
Tong/peti terbuat dari papan dalam bentuk segi empat. Biasanya dipakai untuk menakar pinang dan sebagainya. Jumlah isinya setara dengan 18 bambu.
•
Teim atau blet merupakan alat takar yang terbuat dari seng dalam bentuk empat persegi dengan isi setara 10 bambu/are, tetapi ada juga yang membandingkan 1 teim padi setara dengan 12 kg.
•
Si Tumpok merupakan alat untuk menakar, tetapi belum diketahui jumlahnya secara pasti. Biasanya ukuran si tumpok ini dipakai untuk menakar sayur-sayuran, ikan, bahkan daging.
•
Sundie atau ndie merupakan alat takar yang terbuat dari belahan tempurung kelapa yang besarnya ½ dari besarnya bkalay. Setara dengan 1 ons berat beras menurut timbangan modern.
168
Budaya Masyarakat Aceh
•
Siput atau sipeut merupakan alat takar yang terbuat dari belahan tempurung kelapa yang besarnya ½ sundie/ndie, setara dengan ½ ons berat timbangan modern.
•
Si yodou ukuran untuk sepasang. c. Jenis dan Bentuk Timbangan
Sebelum masyarakat Aceh mengenal adanya timbangan di Aceh telah berlaku suatu bentuk tradisi dalam tukar-menukar barang. Cara ini disebut dengan istilah subok. Subok adalah salah satu cara tukar-menukar barang dengan menggunakan alat takar tradisional. Alat takar yang sering digunakan adalah aree atau bambu. Setelah adanya timbangan cara subok ini perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Adapun bentuk dan jenis timbangan tradisional yang ada dan dipakai oleh masyarakat adalah (i). Neuraca atau neraca yaitu sejenis timbangan kecil yang biasanya dipakai untuk menimbang emas, kadangkala dipakai untuk menimbang candu. Neuraca ini terbuat dari tembaga dengan tiga komponen yaitu gagang atau gou, piring atau oun, dan jarum (lidah atau mata) sebagai penunjuk keseimbangan. Jarum ini diisi ke dalam sebuah kotak yang berbentuk oval dan diletakkan di antara gagang dan piring dari neuraca tersebut. Untuk menjaga agar neuraca ini tidak rusak, maka setiap selesai dipakai disimpan di dalam kotak yang disebut dengan plok neuraca. Kesatuan berat yang dipakai neuraca ini adalah
169
Budaya Masyarakat Aceh
1. Saga yaitu kesatuan berat emas yang diambil dari bijian yang berwarna merah dan hitam dengan beratnya adalah ± 0,14 gram.
2. Bayi yaitu kesatuan berat emas yang juga diambil dari suatu bijian yang berwarna merah batu. Bayi ini memiliki berat ± 0,28 gram.
3. Mayam yaitu kesatuan berat emas yang setara dengan 3,3 gram.
4. Bungkay merupakan suatu kesatuan berat emas yang setara dengan 16 mayam atau ± 54 gram. (ii). Ceing Yaitu suatu timbangan besar yang biasa dipakai khusus untuk menimbang daging pada hari mak meugang. Ceing tidak mempunyai kesatuan berat, tetapi hanya untuk mengatur keseimbangan berat antara satu benda dengan benda lainnya atau untuk mengatur kesamaan besarnya terutama tumpuk-tumpuk daging di hari mak meugang. (iii). Dacing Alat ini terdiri dari sepotong tongkat kayu yang disebut gou dan diberi garis-garis (bahasa Aceh: tonggam/tahe). Tahe ini yang menyatakan berat-ringannya barang yang ditimbang. Sebagai kelengkapan dacing, di tengah-tengah dibuat batangan kayu bersegi empat, yang dilengkapi dengan anak timbangan (boih ceing atau aneuk ceing). Dacing ini memiliki satuan berat yang terdiri dari
1. Si pikoy merupakan salah satu kesatuan berat yang setara dengan 60 kg.
170
Budaya Masyarakat Aceh
2. Si katoe merupakan salah satu kesatuan berat yang setara dengan 6 ons.
3. Si peuha merupakan salah satu kesatuan berat yang setara dengan 180 kg.
4. Si diwa merupakan salah kesatuan berat yang setara dengan 90 kg. Selain ukuran-ukuran tersebut ada pula beberapa ukuran lainnya yang tidak pasti. Misalnya,
1. Keumeun untuk menggambarkan istilah ukuran terkecil suatu benda.
2. Taeueon untuk menyebutkan benda yang terbesar. 3. Se laksa yaitu ukuran terbanyak (berlipat ganda) dalam hitungan setara dengan satu trilliun.
4. Se laksir di bawah selaksa. 5. Se peser diistilahkan jumlah uang terkecil yaitu setengah sen. 2. Perlengkapan Rumah Tangga Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dapur dan alat-alat memasak turut mengalami perubahan baik dalam bentuk maupun bahan bakunya. Begitu juga dengan adanya perubahan di lapangan kebudayaan yaitu dari cara hidup yang berpindah-pindah tempat ke bentuk hidup menetap. Pada masa hidup berpindah-pindah yang menjadi bahan makanan adalah apa yang dapat dihasilkan oleh alam, sedangkan pada mas hidup menetap manusia telah mulai memproduksi bahan
171
Budaya Masyarakat Aceh
makanan. Selain itu mereka telah mengenal sistem pengolahan bahan makanan tersebut dari bahan mentah menjadi bahan yang dimasak. Perkembangan proses masak memasak ini, maka berkembanglah apa yang kita kenal sekarang sebagai budaya dapur dan alat-alat memasak yang berfungsi mengubah bentuk dan cita rasa bahan makanan sebelum dimakan. Kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi mencakup di dalam segenap aspek kebudayaan. Dalam kaitannya dengan alat-alat memasak tradisional juga mengalami perubahan. Perubahan yang sangat dirasakan yaitu masuknya unsur-unsur baru ke dalam alat-alat memasak tradisional. Masuknya unsur baru tersebut tidak dapat dihindari, terutama disebabkan para pemakainya menginginkan alat-alat yang baru. Unsur-unsur baru yang telah memasuki alat-alat memasak tradisional meliputi berbagai peralatan. Di antara peralatan tersebut dapat disebutkan seperti ember plastik, kompor, panci alumunium, dan lain-lain. Pada masa yang lampau orang mempergunakan wadah tempat menyimpan air yaitu guci dan kendi baik yang terbuat dari tanah liat keramik asing, namun kini wadah tersebut telah diganti dengan emberember plastik. Wadah untuk memasak nasi dan menggulai sayur yang dulu dipergunakan periuk, kukusan dan kuali dari tanah liat, dewasa ini orang telah mempergunakan panci, dandang, dan wajan yang bahan bakunya terbuat dari alumunium, seng dan besi. Alat-alat memasak tradisional yang dipakai di dalam dapur rumah tangga pada masyarakat Aceh yang dimaksudkan adalah alat-alat masak memasak yang dipakai di dapur untuk memproses makanan yang masih mentah
172
Budaya Masyarakat Aceh
menjadi makanan atau minuman yang siap dihidangkan untuk dimakan. Berikut ini akan diinventarisir alat- alat memasak tradisional yang terdapat di dapur rumah tangga masyarakat Aceh. Sistematika uraian dari alat-alat tersebut yang terdiri nama daerah, bentuk, ukuran, bahan baku dan teknik pembuatannya, fungsinya, cara memperoleh, cara memakai, membersihkan, menyimpan pemanfaatan setelah tidak terpakai lagi serta kepercayaan sehubungan dengan alat tersebut. a. Kanet Di dalam bahasa Indonesia disebut periuk. Bentuknya bundar dan pada mulutnya lebih kecil serta terdapat bibir sebagai tempat penahan tutupnya. Selain itu kanet juga berarti ketel-ketel bundar dari tanah atau pancipanci dari kuningan. Untuk membedakan ukuran maka disebutlah terdapatlah sebutan kanet asoe sikaj (berisi lebih kurang satu kaleng susu beras), asoe sicupak (3 kaleng susu beras) dan kanet asoe siarae (berisi 1 bambu beras). Kanet dibuat dari tanah liat dengan mempergunakan teknik putar di atas mal yang dipergunakan sebagai acuan. Setelah kering, kemudian dibakar baru kemudian siap untuk dipakai. Kanet dipergunakan khusus untuk menanak nasi. Kanet dipakai sebagai wadah menanak nasi dengan cara memasukkan beras dengan memberikan air secukupnya, lalu diletakkan di atas tungku perapian sampai nasi tersebut menjadi matang. Sehabis dipakai lalu dibersihkan dengan air pada bagian dalam sedang bagian luar jika perlu digosok dengan serabut kelapa. Bila dibagian dalam terdapat kerak nasi, tentu saja harus direndam lebih
173
Budaya Masyarakat Aceh
dahulu agar kerak tersebut menjadi lunak baru kemudian dibersihkan. Setelah selesai dicuci sebelum dipakai pada waktu berikutnya, kanet tersebut disimpan di atas sandeng (para-para) di atas dapur. Sandeng ini bisa juga menempel di dinding di mana terdapat perabotan dengan laci-laci atau berupa rak-rak. b. Blangong Blangong atau dalam bahasa Indonesia disebut belanga. Bentuknya bundar dengan mulut besar atau dengan kata lain antara bagian bawah dan atas sama besarnya. Ukurannya berbeda-beda ada dari ukuran yang paling kecil sampai ukuran yang besar. Dari yang berukuran isi 1 kaleng susu air sampai 10 bambu air. Blangong dipakai untuk tempat memasak sayur atau menggulai ikan dan daging. Seperti halnya dengan kanet, blangong juga dibuat dari tanah liat dengan teknik yang sama. Pada penjaja selain bisa membeli dengan uang, dapat pula diperoleh dengan sistim barter (tukar barang dengan barang) dengan memberikan padi, beras, asam sunti (asam belimbing) dan lain-lain. Hal-hal yang berhubungan dengan pemakaian, pembersihan, penyimpanan dan memperbaikinya serta unsur-unsur lain yang berkenaan dengan blangong ini sama dengan yang telah dijelaskan pada kanet. c. Batee Lada Batee lada dalam bahasa Indonesia disebut batu giling. Batee lada dalam bahasa Aceh terdiri dari dua perkataan yaitu batee (batu) dan lada (lada atau merica).
174
Budaya Masyarakat Aceh
Dikatakan batee lada untuk menyebut batu giling, karena salah satu jenis rempah-rempahan yang dipakai sebagai bumbu masak dalam masyarakat Aceh yaitu lada yang dilumatkan dengan batu giling ini. Batee lada terdiri dari dua bagian yaitu batu induk dan anaknya yang disebut aneuk batee lada. Batu induknya berbentuk empat persegi panjang yang komposisinya panjang 25 - 35 cm, lebar 15 - 25 cm dan tingginya 10 - 15 cm. Sedangkan aneuk batee lada berbentuk bulat bergaris tengah 7 cm dengan panjangnya selebar batee lada (batu induk). Ada juga orang menyebut batee lada dengan nama yang lain yaitu batee mupeh, batee neupeh atau batee pumupeh. Dilihat dari segi nama-nama ini yang di dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang sama yaitu batu giling. Batee lada merupakan istilah yang umum dipergunakan untuk menyebut batu giling. Batee lada dibuat dari jenis batu kuarsa, batu andesit atau jenis batu lainnya dengan sistim memangkas. Kegunaannya untuk menggiling segala jenis bumbu masak seperti lada, lombok, asam sunti, ketumbar dan lain sebagainya. Batee lada yang telah siap dipakai jarang yang dicuci, tetapi langsung ditutup dengan upih pinang, untuk kemudian disimpan kembali di samping atau di bawah dapur. Apabila pada bagian tengahnya telah berlekuk karena aus akibat pemakaiannya, batee lada ini tidak dapat difungsikan lagi dan juga tidak dapat ditempel untuk memperbaikinya. Tindakan satu-satunya yang diambil adalah menggantinya dengan yang baru.
175
Budaya Masyarakat Aceh
d. Dandang Dandang berguna untuk memasak nasi selain dipergunakan kanet sebagai wadahnya. Dalam kehidupan sehari-hari di dapur rumah tangga masih dipakai pula dandang atau disebut juga kanet dandang atau sangku tanoh. Bentuknya pada bagian bawah bundar, pada bagian tengah genting serta dibagian atas berbentuk terbuka serta tutup sebagai penutupnya. Pada bagian tengah yang genting ini terdapat penyekat yang diberi lobang-lobang kecil yang berfungsi sebagai tempat penguapan pada saat beras dikukus untuk dimasak menjadi nasi. Dandang dipergunakan untuk memasak nasi baik nasi biasa maupun nasi ketan. Beras yang sudah di luar dimasukkan ke dalam dandang dibagian atas menurut ukuran yang telah ditentukan. Pada bagian bawah terlebih dahulu diisi air kira-kira setengah sampai dua pertiga bagian. Jika airnya terlampau banyak mengakibatkan nasi menjadi lembek atau airnya tidak cukup nasinya tidak matang. Penggunaan kanet dandang ini umumnya dipakai dirumah-rumah yang dihuni oleh lebih dari 6 orang atau pada saat kedatangan tamu yang perlu dijamu dengan makan. Membersihkan dandang sama halnya dengan membersihkan kanet dan blangong. Dandang disimpan di tempat yang sama atau bersama-sama dengan kanet dan blangong. e. Peune Peune di dalam bahasa Indonesia dapat diartikan piring. Masyarakat menyebutnya Capah. Peune bentuknya seperti piring dan ukurannyapun sebesar piring makan.
176
Budaya Masyarakat Aceh
Sebagai bahan bakunya untuk membuat peune dipergunakan tanah liat. Fungsinya yang paling utama dipergunakan sebagai piring tempat makan. Di dalam kegiatan dapur peune juga berfungsi sebagai tempat menggiling bumbu masak yang bersifat lunak seperti asam sunti (asam belimbing, cabe rawet dan lain-lain). Selain itu kadang-kadang difungsikan juga sebagai tempat untuk memeras santan kelapa. Berkenaan dengan cara memakainya yang perlu diterangkan disini pada saat difungsikan untuk menggiling bumbu masak. Bumbu masak diletakkan dipermukaan peune dan untuk melumatkannya dipakai peralatan penggiling di buat dari kayu. f. Aweuek Aweuek dalam bahasa Indonesia disebut irus. Bentuk aweuek hampir menyerupai sebuah sendok dengan tangkainya yang lebih panjang. Besarnya aweuek sangat tergantung kepada besar kecilnya tempurung kelapa yang dipergunakan sebagai bahan bakunya. Pada umumnya tempurung kelapa yang akan dipergunakan dipilih yang berdiameter 10 cm. Tangkainya lebih panjang dari ukuran sendok biasa dan yang sering kita ketemukan atau yang umum dipakai berkisar antara 25-30 cm. Untuk tangkai bahannya dapat dipergunakan bambu, atau batang pinang yang telah dibentuk dengan sistim meraut. Bagian yang kecil dimasukkan ke tempurung yang telah diberi lobang. Aweuek dipakai untuk mengaduk sayur dan gulai yang sedang dimasak dan sekaligus berfungsi untuk
177
Budaya Masyarakat Aceh
mengambilnya sesudah masak, selain itu juga dipakai untuk mengambil nasi dalam periuk, menggoreng ikan dan lainlain. Membersihkan aweuek sangat mudah yaitu dengan mencucinya. Aweuek yang tidak dipakai atau yang telah dibersihkan digantung ditempat gantungan yang disebut salang. Salang yang dipakai sebagai tempat gantungan aweuek ini dibuat dari rotan. Berbeda dengan kanet, blangong dan peune jika telah rusak tidak dapat lagi diperbaikinya, tetapi aweuek biasanya yang rusak pada bagian tangkai seperti terbakar atau patah tangkainya masih bisa diganti dengan tangkai yang lain-lain. Jika batok kelapa yang pecah hal ini tidak akan dipakai lagi. g. Cinu Cinu dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan gayung. Dalam masyarakat Aceh istilah cinu ada pula orang menyebutnya bruek cinu. halnya dengan aweuek, cinu juga dibuat dari tempurung kelapa yang diberi tangkai dari kayu. Besarnya sebesar tempurung kelapa dan panjang tangkainya antara 25-50 cm. Teknik pembuatannya sangat sederhana. Tempurung kelapa dipilih yang tua yang telah berwarna kehitam-hitaman, biasanya diambil tempurung kelapa tua yang telah digigit oleh tupai yang isi di dalamnya sudah tidak ada lagi. Pekerjaan tahap berikutnya mengupas kulit kelapa serta membersihkannya. Lalu diberi beberapa lubang kecil sebagai tempat mengikat tangkainya. Lubang batok kelapa yang telah digigit oleh tupai jika dianggap masih belum cukup besar akan ditambahnya. Kalau aweuek dipergunakan untuk mengaduk, sayur, mengambil sayur dan
178
Budaya Masyarakat Aceh
nasi, maka cinu, digunakan untuk mengambil air dalam guci tayeuen atau keutuyong. h. Guci Guci sebagai wadah menyimpan air di dapur yang dipergunakan sehari-hari untuk kebutuhan masak memasak. Guci terdiri dari berbagai ukuran dari yang besar sampai yang kecil. Di Aceh dikenal sebagai tipe guci ada yang disebut peudeuna (guci yang sangat besar), guci (ukuran kecil dan sedang)yang sering dipakai di rumah. Melihat asalnya ada guci yang berasal dari luar (negara asing seperti Cina dan Jepang) ada yang merupakan hasil produksi setempat. Guci berasal dari bahan bakunya porselin atau keramik, sedangkan produk lokal mempergunakan tanah liat. Penggunaan guci dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari terutama yang berkaitan dengan aktifitas dapur, selain dipergunakan sebagai wadah menyimpan air, masih terdapat fungsi yang lain. Ada yang dipergunakan sebagai tempat penyimpanan minyeuk brok (jenis minyak makan yang dihasilkan dengan sistem pengolahan tradisional, tempat menyimpan asam sunti, tempat menyimpan cuka jok (cuka aren) cuka nipah. Guci dalam bentuk yang kecil disebut guro. Pada lazimnya dipergunakan untuk tempat menyimpan asam sunti, garam, cuka dan minyak kelapa dalam jumlah kecil. h. Tayeun Tayeun yang disebut di dalam istilah bahasa Aceh mempunyai makna kendi. Pemberian nama terhadap kendi di Aceh didasarkan kepada bahan yang dibuatnya. Ada yang disebut tayeun tanah (kendi yang dibuat dari tanah liat) ada pula tayeun teumaga sejenis kendi yang bahannya dibuat
179
Budaya Masyarakat Aceh
dari tembaga. Tayeun mempunyai ukuran standar yang berisi sekitar sepuluh liter air ke atas. Bila kendi tersebut ukurannya kecil tidak lagi disebut tayeun, akan tetapi berubah namanya menjadi keutuyong. Tayeun teumaga untuk mengangkut dari perigi guna diisi ke dalam guci dan secara insidental dipergunakan pula sebagai tempat menyimpan air yang dipakai pada waktu memasak seharihari. Tayeun tanoh selain berfungsi sebagai tayeun teumaga, masih mempunyai fungsi yang lain dalam kaitannya dalam masak-memasak. Tayeun tanoh sering dipakai untuk memasak nasi ketan dalam ukuran yang banyak, sedang dalam ukuran sedikit dimasak pada kanet. Masih pula dipergunakan sebagai tempat memasak air dan tempat menyimpan manisan. i. Geuneuku Geuneuku alat untuk mengukur kelapa yang lazim dipakai orang Aceh disebut geuneuku. Ada pula orang menyebutnya geuneuku atau geudungku atau geuleungku. Di dalam bahasa Indonesia disebut kukuran kelapa. Geuneuku termasuk perkakas dapur yang sangat penting. Tanpa adanya sebuah geuneuku belumlah sempurna sebuah dapur rumah tangga di Aceh. Geuneuku terbuat dari sebuah balok kayu di mana pada ujungnya ditancapkan sebuah besi pipih bergerigi seperti mata gergaji yang dinamai mata geuneuku atau gigoe geuneuku. Bentuknya seperti seekor snak binatang yang pendek kakinya tanpa kepala. Panjang dari depan sampai ke belakang lebih ukuran 50 cm dengan tingginya sekitar 20
180
Budaya Masyarakat Aceh
cm. Geuneuku di dalam masyarakat Aceh dipergunakan untuk kukuran kelapa. Sebagai alat pengukur kelapa pemakaiannya sangat sederhana sekali. Orang yang akan mengukur kelapa cukup dengan menduduki di punggungnya, kemudian kelapa yang sudah dibelah dua (tanpa kulit luar) digosokkan pada mata geuneuku yang bergigi. Dalam wakatu yang sangat singkat kelapa siap diparut tanpa harus mencongkel isinya seperti yang kita lihat ditempat-tempat lain di luar Aceh. Batok kelapa tetap tinggal untuk lagi keperluan lain seperti kayu bakar, membuat aweuek, dan lain-lain. j. Blangong Sudu Salah satu perkakas dapur yang juga memegang peranan penting dalam kebutuhan dapur rumah tangga disebut blangong sudu. Pengertian yang umum yang dapat disamakan dengan pengertian wajan (penggorengan) yang terdapat di dalam kamus Bahasa Indonesia. Bentuknya ada dua macam yaitu yang berbentuk wajan yang dibuat dari besi atau dari alumanium dengan menggunakan dua buat telinga kiri dan kanan yang berfungsi sebagai tempat pegangan. Ada satu macam lagi yang bentuknya mempunyai sebuah tangkai yang juga berfungsi sebagai pegangan. Bahan baku yang dipergunakan untuk membuat blangong sudu dipergunakan tanah liat dengan menggunakan teknik putar seperti membuat periuk atau belanga seperti yang telah dijelaskan. Dewasa ini penggunaan blangong sudu di dapur dapur tradisional sudah mulai tidak dipergunakan lagi atau sudah mulai ditinggalkan. Kedudukannya telah mulai digeser dengan wajan-wajan yang dibuat dari besi atau
181
Budaya Masyarakat Aceh
alumunium. Blangong sudu mempunyai fungsi untuk tempat menggoreng makanan lain seperti berbagai jenis kue. k. Leusong Leusong berasal dari bahasa Aceh, bahasa Indonesia disebut lesung. Lesung di Aceh dikenal ada beberapa jenis seperti leusong pade (lesung pada jengki penumbuk padi), leusong jaroe (lesung tangan), dan leusong ranub (cobek elumat sirih). Yang dimaksudkan di sini, adalah leusong tangan yang berukuran kecil yang dipergunakan di dalam dapur. Hal ini karena leusong jaroe ada dua ukuran, ada yang besar dan kecil, yang besar tidak merupakan alat yang berhubungan dengan dapur, karena luesong ini ditempatkan di kolong-kolong rumah yang berfungsi untuk menumbuk tepung, padi, emping beras dan lain-lain. Leusong jaroe bentuknya ada bundar dan ada yang empat persegi. Ukuran leusong yang bundar mempunyai garis tengah sekitar 20 cm dengan ketinggian 15 - 20 cm. Leusong yang bentuk empat persegi mempunyai ukuran lebar tiap sisi pada bagian permukaan berkisar 20 cm dan di bagian kaki antara 12 - 15 cm, dengan ketinggian di antara 15 - 20 cm. Perawatan sebuah lesung sangat sederhana. Lesung yang baru digunakan harus selalu dibersihkan dengan mencuci atau menghapuskannya. Setelah selesai pemakaiannya, lesung disimpan ditempat penyimpanan dengan cara ditelungkupkan. Pada sebuah lesung kayu yang telah menunjukkan tanda-tanda retak, dilakukan tindakan preventif untuk menghindari agar rusaknya jangan lebih parah, yakni dengan cara menyikat badan lesung di bagian paling atas dengan kawat (usaha yang paling mudah) atau
182
Budaya Masyarakat Aceh
memasukkan klah (rotan yang dianyam) sebagai pengikat lingkaran lesung tersebut. l. Jeu'ee Satu-satunya alat yang dipergunakan untuk menampi beras dipakai jeu'ee, yang dalam bahasa Indonesia disebut niru. Jeu'ee berbentuk lonjong yang pada pangkalnya lebih besar sedangkan pada bagian paling ujung lebih runcing. Sebuah jeu'ee mempunyai lebar pada bagian pangkal sekitar 50 cm. Pada bagian ujung sekitar 20 cm dengan panjangnya sekitar 60 cm. Untuk menganyam sebuah niru dipergunakan kulit dari batang bili, kulit rotan atau kulit bambu. Perkakas ini merupakan salah satu alat terpenting dalam kehidupan masyarakat Aceh. Niru selalu dipergunakan setiap saat untuk menampi beras yang akan dimasak. Menyangkut dengan niru, dalam kehidupan masyarakat Aceh terdapat hal-hal yang bersifat magis. Ada suatu kepercayaan yang tumbuh di dalam masyarakat, terutama pada masa pengobatan secara medis belum begitu berkembang, alat ini dipergunakan berhubungan dengan kesehatan. Niru sering dipergunakan untuk menangkal penyakit apabila seseorang menderita sakit seperti demam panas orang tersebut menurut keyakinan mereka telah disapa oleh setan-setan jahat. Untuk menyembuhkannya yakni setan tersebut harus diusir dan salah satu alat untuk mengusirnya dipergunakan niru. Oleh karena itu, di dalam lingkungan masyarakat tradisional ada suatu kepercayaan yang bersifat tabu, di mana semua orang dilarang melangkahi niru. Sejalan dengan itu maka perlakuan terhadap niru agak berhati-hati.
183
Budaya Masyarakat Aceh
Niru yang sudah rusak yang tidak dapat dipakai lagi tidak boleh dibuang sembarang tempat dan sebaiknya niru tersebut harus dibakar. m. Bruek Keukaraih_ Salah satu alat yang dipergunakan untuk memasak kue khas Aceh disebut Bruek Keukaraih. Dalam bahasa Indonesia dapat disebutkan tempurung karan-karan. Bruek keukaraih dibuat dari tempurung kelapa yang pada bagian bawah diberi lubang besar atau sepertiga dari batok kelapa tersebut dipotong. Pada bagian bawahnya diberi lubang kecil-kecil berbentuk melingkar serta diberikan gagang yang dibuat dari kayu dan diikat pada bagian atas tempurung. Bruek keukaraih ini dipergunakan untuk kue khas Aceh yang dalam masyarakat Aceh disebut keukarah. Bruek keukaraih agar dapat bertahan lebih lama, dengan sendirinya setelah dipakai lalu dicuci sebersihbersihnya sampai hilang semua bekas tepung yang leekat tadi. Baru kemudian disimpan di tempat-tempat yang aman seperti di para-para rumah agar terhindar dari anak-anak. n. Capah Capah yang berasal dari bahasa Aceh. Di beberapa tempat ada yang menyebutnya pingan kayee dalam bahasa Indonesia disebut pinggan kayu. Nama pingan kayee dalam masyarakat Aceh, karena pinggan tersebut dibuat dari kayu. Bentuknya menyerupai peune atau piring makan yang ukurannya lebih dalam dan bermacam-macam. Kalau peune fungsi utamanya sebagai piring tempat makan
184
Budaya Masyarakat Aceh
disamping fungsi-fungsinya yang lain, maka capah atau pingan kayee dipergunakan sebagai tempat memeras santan. Capah dapat dipergunakan untuk fungsi yang lain seperti tempat membuat rujak, mencuci sayur, menggiling asam belimbing dan lain-lain. Capah dibuat dari kayu yang lunak seperti batang rubek, batang waru atau kayu-kayu lain yang sejenis. Dipilih jenis kayu ini karena mudah dibentuk serta tidak retak. o. Sikin Alat memasak tradisional lain yang terdapat dalam dapur rumah tangga tradisional yang terdapat di Aceh disebut sikin. Pengertiannya di dalam bahasa Indonesia adalah pisau. Di dalam masyarakat Aceh terdapat berbagai jenis pisau seperti sikin blati, sikin lipat, sikin mudroih, sikin panyang, sikin cut dan lain-lain. Maka pisau yang dipergunakan di dapur umumnya dipakai sikin mudroih atau sikin cut, yang sering diistilahkan di dalam bahasa Indonesia dengan pisau dapur. Pisau dapur bentuknya seperti pisau belati dengan ukuran yang kecil. Sebuah pisau dibuat dari dua jenis bahan baku yang terdiri dari besi dan kayu. Untuk mata pisau dibuat dari besi sedangkan gagangnya dibuat dari kayu. Pisau dalam ukuran apapun besarnya harus dibuat oleh utoih (tukang) besi. Pisau dapur dalam kegiatan dapur sehari-hari dipergunakan untuk memotong sayur-sayuran, membersihkan ikan serta mencincang daging dan sebagainya. p. Chok Boh Manok Kehidupan masyarakat Aceh pada saat-saat tertentu melakukan kegiatan dapur untuk membuat kue-kue baik
185
Budaya Masyarakat Aceh
kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti hari besar, kegiatan adat dan sebagainya. Salah satu alat untuk memasak kue tradisional disebut chok boh manok, yang berarti kocokan telur. Bentuknya seperti spiral yang mungkin bergagang semakin kecil. Kocokan telur dibuat dari kawat yang digulung berbentuk spiral, gagangnya dibuat dari kayu dan ada pula yang dibuat dari kawat itu sendiri yang diputar. Kocokan telur digunakan untuk mengocok telur yang akan dipergunakan sebagai campuran bahan untuk pembuatan kue-kue yang diinginkan seperti peunajoh tho, boi (kue bolu) dan lain-lain. q. Sareng Santan Sareng santan yang terdapat di dalam masyarakat Aceh. Di dalam bahasa Indonesia mengandung pengertian alat untuk menyaring santan. Saring santan bentuknya bundar yang mempunyai garis tengah sekitar 15 - 20 cm. Saring santan ada yang dibuat permanen dan ada yang dibuat secara darurat. Yang permanen biasanya dibuat atau dianyam dari kulit bili, atau kulit bambu. Sistim anyaman sama dengan anyaman pada jeu'ee. Selanjutnya diberi gagang sebagai tempat pegangan yang dibuat dari belahan bambu. Saring santan yang dibuat secara darurat dibuat dari ining kelapa, yang pada pinggirnya dirajut dengan tali serta diberi tempat pegangan kayu atau dari kawat. Kegunaan dari alat ini untuk menyaring santan yang akan dipergunakan untuk memasak sayur atau lain-lainnya. r. Bruek Boi Salah satu alat memasak kue tradisional selain _bruek keukaraih, terdapat lagi bruek boi, yang di dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan cetakan kue bolu. Bruek
186
Budaya Masyarakat Aceh
boi dibuat dari tembaga dalam berbagai ukuran, ada yang besar atau kecil. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bundar atau empat persegi. Tempat cetakannya ada berbagai motif seperti motif ikan, bunga dan lain-lain. Alat ini dipergunakan untuk mencetakkan kue bolu (boi), yang dalam kehidupan masyarakat Aceh merupakan kue yang penting. Boi selalu dipergunakan dalam pesta-pesta adat seperti pada saat upacara mee bu, dan euntat daro baroi serta pada acara lebaran. Bruek boi karena bahan bakunya dari tembaga, maka tidak sembarang tempat dapat dihasilkannya. Untuk memperolehnya terpaksa harus dibeli di pasar atau pada pedagang yang menjajakannya ke kampung-kampung. s. Bruek Samaloyang Selain boi masih terdapat lagi kue tradisional yang disebut samaloyang. Alat untuk membuat kue ini disebut juga bruek samaloyang. Bahannya dibuat dari tembaga yang berbentuk bunga serta diberi tangkai sebagai tempat pegangan. Seperti halnya bruek boi, bruek samaloyang juga dapat dapat dibeli untuk memilikinya. Membersihkan bruek samaloyang sangat mudah. Setelah selesai digunakan bruek samaloyang diolesi dengan minyak kelapa. Hal ini diperuntukkan agar pada saat penyimpanan tidak terjadi proses oksidasi berupa karatan. Tempat penyimpanannya disandeng atau digantung pada dinding rumah dapur. t. Ulak-Ulak Salah satu lagi alat memasak yang dipergunakan di dapur yaitu ulak-ulak, yang dalam bahasa Indonesia disebut
187
Budaya Masyarakat Aceh
ulek-ulek. Ulak-ulak dibuat dari kayu dengan teknik yang sederhana. Ulak-ulak dipergunakan untuk menggiling cabe, asam sunti dalam jumlah yang sedikit. Jika dalam jumlah yang banyak dipergunakan batee lada. Sebuah ulak-ulak dapat dibuat sendiri atau dapat pula membelinya dengan mudah di pasar karena harga sangat murah. Ulak-ulak dipakai untuk menggiling bumbu masak di dalam peune. Bumbu seperti cabe, asam sunti, bawang putih, jahe dan lain-lain, dimasukkan ke dalam peune atau capah besar, lalu digiling dengan ulak-ulak tadi. 3. Alat-Alat Produksi_ Sebagaimana juga masyarakat Indonesia yang lain masyarakat adat di tanah Aceh dalam melengkapi kebutuhan hidupnya selalu menjaga keseimbangan antara alam benda dan alam manusia. Oleh karena itu manusia harus mampu dan sanggup mengolah benda-benda alam itu untuk keperluannya sendiri. Demikian juga dalam sistem teknologi dan perlengkapan hidup masyarakat Aceh, mereka sering berorientasi dengan benda-benda alam lingkungannya, sejak dari alat-alat kuno hingga kepada alat-alat modern, sehingga kebutuhan hidupnya selalu harus dapat dipersiapkan menurut perkembangan zaman. Yang dimaksud dengan alat-alat produksi adalah alat-alat yang dapat menghasilkan dan dimanfaatkan oleh manusia untuk kepentingan jasmaninya. Alat-alat produksi ini terdiri dari alat-alat tradisional yang meliputi bidang pertanian dan kenelayanan. Begitu juga dengan kenelayanan, di mana Nanggroe Aceh Darussalam memiliki potensi laut
188
Budaya Masyarakat Aceh
yang cukup besar. Oleh karena hampir seluruh wilayahnya dikelilingi lautan kecuali bagian tenggara yang berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara. Selanjutnya akan diinventarisir alat-alat produksi pertanian dan kenelayanan. a. Alat-Alat Pertanian (i). Langa (langai) Langa (langai) adalah sejenis alat yang dipakai untuk membajak sawah yang bertujuan menggemburkan tanah agar mudah ditanami. Langa biasanya ditarik oleh kerbau atau sapi. Pekerjaan ini (membajak) disebut dengan istilah me'ue dan orang yang melakukannya disebut ureueng me'ue (orang yang sedang membajak sawah). Langa ini terdiri dari beberapa bagian, yang masing-masing bagian memiliki nama sendiri-sendiri. Akan tetapi penggunaannya tidak dapat dipisahkan jadi harus merupakan satu kesatuan. Diantara bagian-bagian itu terdapat boh langa yaitu bagian langa yang dibuat dari sejenis kayu yang lazim digunakan yaitu yang dalam bahasa Aceh disebut bak mane. Pada boh langa ini dipasang mata yang dibuat dari besi yang gunanya untuk mengorek/menggemburkan tanah ketika langa (bajak) ditarik. Mata ini disebut mata langa dan merupakan alat yang penting dan harus dibuat dari besi. Bentuk mata langa ini menyerupai anak panah dalam ukuran yang besar. Bagian lainnya adalah eh langa. Eh langa ini dibuat dari sepotong kayu yang keras, dan biasanya untuk ini dibuat dari kayu/batang ijuk. Eh langa berguna untuk menghubungkan antara boh langa dengan sapi atau kerbau.
189
Budaya Masyarakat Aceh
(ii). Chreueh Bila tanah sawah telah selesai dibajak dengan langa (dua sampai tiga kali), berikutnya dilakukan penaburan padi. Dan agar tanah yang telah dibajak tadi menjadi rata dan halus serta supaya padi yang telah ditabur itu menjadi rata pada seluruh tanah yang dibajak, maka untuk ini digunakan suatu alat yang dalam bahasa Aceh disebut chreueh. Bahan untuk membuat alat ini terdiri dari kayu, batang jok, bambu dan besi. Chreueh ini juga terdiri atas beberapa bagian, yaitu : 1. mata chreueh, dibuat pada umumnya dari besi bulat yang ujungnya runcing, kadang-kadang ada juga yang dibuat dari kayu yang kuat (batang jok/enau). Jumlah mata chreueh biasanya sekitar 12 - 15 biji. 2. eh chreueh, bentuknya sama dengan eh langa dan juga dibuat dari batang jok/enau yang keras. Gunanya juga untuk dihubungkan pada sapi-sapi yang menarik chreueh ini (biasanya digunakan dua ekor sapi). 3. kaye chreueh, yaitu tempat mata chreueh dipasangkan (bagian bawah), biasanya dibuat dari sejenis kayu yang kuat yang disebut bak mane (sejenis pohon kayu yang biasanya digunakan untuk tiangtiang rumah Aceh). 4. Tempat mat chreueh, secara harafiah artinya pegangan chreueh/tempat pegang. Dibuat dari bambu yang licin agar mudah dipegang. 5. Yok chreueh, bahan dan bentuknya sama dengan yok langa. 6. Talo jeureubab, yang dibuat dari anyaman rotan sebagai alat pengikat yang ditempatkan di bawah leher sapi (pengikat leher sapi dan yok). Chreueh ini biasanya digunakan pada sawah kering (sebelum sawah berair) dan seperti telah disebutkan kegunaannya yaitu untuk meratakan tanah dan juga meratakan padi yang telah ditabur.
190
Budaya Masyarakat Aceh
(iii). Cangkoy Cangkoy (cangkul) juga merupakan alat untuk pengolahan tanah yang digunakan di sawah. Bahannya dari kayu dan besi. Kayu sebagai tempat berpegang dan besi sebagai mata. Kayu pegangan ini pada umumnya juga dibuat dari bak mane atau jenis kayu keras lainnya. Pegangan ini dinamakan gou cangkoy (gagang cangkul). Besi yang disebut mata cangkoy, dibuat dari besi lempengan bekas yang oleh pande (pandai besi) diolah/ditempa menjadi mata cangkoy. Kegunaan dari pada alat ini yaitu sebagai alat pengolah tanah/penggembur tanah dan juga sebagai alat untuk membuat pematang sawah. (iv). Lhaam Lhaam juga sebagai alat pengolah tanah. Bahannya juga terbuat dari kayu dan besi. Pegangannya dibuat dari kayu keras atau batang jok yang disebut gou lhaam dan matanya dibuat dari besi, sama seperti cangkoy cuma ukurannya lebih kecil dan bentuknya agak melengkung yang dalam bahasa Aceh disebut mata lhaam. Kegunaan dari pada alat ini yaitu, untuk menggali tanah, membuat saluran air dan pematang sawah. (v). Empang Duk Empang duk, secara harafiah artinya karung yang duduk. Dinamakan demikian karena alat ini mudah diletakkan atau "didudukkan". Empang duk ini digunakan sebagai wadah bibit padi yang dalam bahasa Aceh disebut bijeh pade ini ditempatkan/diwadahkan dalam empang duk
191
Budaya Masyarakat Aceh
untuk ditaburi dengan menggunakan tangan pada sawah sawah/tanah yang telah selesai dibajak. Adapun bahan untuk membuat empang duk adalah dari sejenis daun palem yang dalam bahasa Aceh disebut daun iboih. Daun iboih yang sudah kering ini terlebih dahulu direndam beberapa lama di dalam air, kemudian bila dianggap sudah cukup di air diambil dan dijemur. Bila sudah kering baru dianyam sama seperti halnya dengan menganyam tikar. Kegunaan dari pada empang duk ini sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu sebgai wadah yang dalam hal ini wadah bijeh pade (padi yang siap untuk ditaburi). Jika seseorang yang hendak menabur bijeh pade ini, biasanya empang duk itu ditempatkan di atas pundak/bahu atau ada juga yang menempatkannya di atas kepala. Isi dari sebuah empang duk biasanya sekitar 4/5 bambu. Empang duk sebenarnya khusus sebagai wadah padi/gabah yang sudah kering, ataupun sebagai alat takaran bila seseorang menyukat padi. (vi). Tukoy Bahan pembuat tukoy yaitu kayu dan besi. Kayu dipakai sebagai gagang/tempat pegangan dan besi untuk mata. Bentuknya menyerupai cangkoy (cangkul) dalam ukuran kecil. Kayu untuk gagang besarnya sebesar gagang pisau/parang dan panjangnya kira-kira lebih kurang 30 atau 40 cm. "Matanya" yang terbuat dari besi biasanya dibuat oleh tukang besi/pandai besi; dan dipasang sama seperti memasang mata atau gagang cangkul. Besar mata tukoy ini berbeda-beda/tidak sama, ada dalam ukuran pendek dan ada dalam ukuran yang agak panjang. Kegunaan dari pada tukoy
192
Budaya Masyarakat Aceh
yaitu untuk menyiangi atau mendangir rumput, pada saat padi baru tumbuh atau saat padi sedang dara/muda. (vii). Culek Secara harafiah artinya cungkil. Alat ini seluruhnya dibuat dari besi; yang pembuatnya juga melalui atau oleh pande besi (tukang besi). Kegunaan dari pada culek yaitu untuk mencungkil-cungkil tanah dalam rangka untuk menyiangi/menyengir rumput di sawah, di saat padi baru tumbuh dan padi masih dara yang dalam bahasa Aceh disebut wate dara pade. Mungkin itulah sebabnya maka alat ini disebut culek. (viii). Droem Seumibu Droem seumibu ini juga termasuk salah satu alat untuk pemeliharaan tanaman/padi. Meskipun dapat juga digunakan untuk pemeliharaan tanaman lainnya. Bahan pembuat seluruhnya terdiri dari seng dan sedikit timah sebagai alat pengelasnya. Adapun yang membuat droem seumibu ini biasanya selain disuruh pada orang yang ahli juga kadang-kadang ada yang membuat sendiri, yaitu dengan mengelas seng-seng bekas (membentuk) dengan menggunakan timah dalam membentuk alat diinginkan, sesuai dengan keperluan (agar mudah untuk digunakan). Kegunaan dari pada droem seumibu ini adalah untuk menyiram tanaman yang dalam hal ini padi-padi yang baru tumbuh pada lokasi-lokasi tertentu, tempat padipadi ini ditaburkan. Tempat padi ditaburkan ini dalam bahasa Aceh disebut tempat tabu sieneulong. Pekerjaaan
193
Budaya Masyarakat Aceh
untuk menyiramnya disebut menyibu sieneulong (menyiram padi yang baru tumbuh). Sieneulong ini bila sudah besar/dara atau sudah sampai saatnya, dipindahkan ke sawah-sawah untuk disai (ditanam) dengan menggunakan tangan. (ix). Rangkang Peralatan yang juga dapat digolongkan sebagai alat pemeliharaan tanaman/padi yaitu yang dinamakan rangkang. Rangkang adalah suatu bangunan kecil yang dibangun oleh petani di sawah dalam rangka pemeliharaan padi. Bahan untuk membuatnya yaitu dari kayu, pelepah rumbia dan daun rumbia sebagai atap). Kegunaan dari pada rangkang yaitu sebagai tempat untuk menjaga padi yang sudah berbuah agar tidak dimakan oleh binatang/burung pipit. Oleh karenanya rangkang ini biasanya dibangun pada saat padi sudah berbuah. Selain itu juga rangkang ini juga berguna sebagai tempat berteduh para petani jika turun ke sawah. (x). Tudoeng Seperti halnya rangkang, tudoeng juga termasuk sebagai salah satu alat pemeliharaan padi, meskipun mungkin tidak secara langsung. Tudoeng merupakan alat yang digunakan oleh para petani baik oleh pihak laki-laki maupun oleh pihak wanita sebagai penutup kepala, bila mereka mengerjakan sawah. Adapun bahan untuk membuat tudoeng ada tiga macam yaitu dari daun nipah, daun bambu dan tali rami.
194
Budaya Masyarakat Aceh
Menurut jenisnya tudoeng ini dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu tudoeng nipah dan tudoeng trieng (yang dibuat dari bambu). Tudoeng nipah dibuat dari daun nipah, dengan diberi bingkai bambu, bentuk bagian atas seperti kerucut. Sedangkan tudoeng trieng, keseluruhannya dibuat dari bambu (belahan-belahan bambu), bentuknya seperti/menyerupai topi militer, cuma bagian pinggirnya agak melebar. (xi). Sadeuep Sadeuep adalah alat untuk memotong padi, bila padi telah tiba saatnya untuk dipotong. Terdiri atas dua bagian, yaitu yang disebut gouo (gagang) dan mata sadeuep. Bentuknya menyerupai parang, tetapi sadeuep, bagian matanya lebih tipis dan diberi gerigi (bergerigi) kecil-kecil. Bahan pembuatnya terdiri dari kayu dan besi, kadang-kadang juga digunakan rotan sebagai alat pengikat. Kadang-kadang antara mata sadeuep dengan gagang juga diberi kotoran rayap (sejenis binatang yang hidup dalam kayu) yang memiliki kotoran sebagai alat perekat yang disebut dalam bahasa Aceh eik malo atau eik linot. Kegunaan dari pada sadeuep yaitu sebagai alat untuk pemotong padi, khususnya pada jenis-jenis padi yang batangnya tinggi, sama dengan tinggi orang yang memotongnya. (xii). Gleiem Gleiem juga merupakan salah satu alat untuk memungut atau memotong padi. Biasanya padi yang dipotong dengan menggunakan gleiem yaitu padi jenis pendek. Gleiem ini hanya digunakan oleh para wanita saja.
195
Budaya Masyarakat Aceh
Jadi kaum laki-laki tidak ada yang menggunakan gleiem untuk memotong padi. Bahan pembuatnya terdiri dari kayu, besi dan aur (buluh kecil). Kayu yang digunakan yaitu kayu papan yang tipis dan ukurannya lebih kurang 15 cm. Aur digunakan sebagai penahan tangan atau sebagai gagang yang dalam istilah Aceh disebut goui; ukurannya sebesar ibu jari dan panjangnya juga 15 cm. Besi digunakan untuk mata, yang dipasang pada bagian bawah. Kegunaan gleiem semata-mata untuk pemotong/memetik padi. Dan khususnya digunakan oleh para wanita jika memotong padi di sawah. Pemotong padi biasanya dilakukan ada dua kali. Pertama, terhadap padi biasa dan kedua dilakukan setelah beberapa bulan berselang dari pemotongan pertama, yang merupakan sisanya, yang dalam bahasa Aceh disebut koh ceuding. Koh ceuding inilah yang dilakukan dengan menggunakan gleiem. (xiii). Bleuet Bleuet adalah alat pemungut/pengangkat atau sebagai wadah padi yang telah selesai dipotong. Bahan untuk membuatnya yaitu daun kelapa yang belum kering. Untuk menjadikan bleuet, daun kelapa tersebut dianyam seperti menganyam tikar. Kegunaan bleuet yaitu sebagai wadah untuk mengangkat dan mengangkut padi yang telah selesai dipotong/dipetik dari sawah untuk dibawa ke tempat penumpukan untuk digirik, yang biasanya dilakukan dengan menginjak-injaknya. (xiv). Tika Tika merupakan alat yang digunakan untuk pengolahan padi, yaitu sebagai tempat menggirik/alas dalam usaha untuk memisahkan padi dari batangnya. Padi yang
196
Budaya Masyarakat Aceh
sudah selesai dipotong, setelah beberapa hari biasanya diangkut ke suatu tempat. Dan di tempat ini dibuat suatu tumpukan padi yang disebut dengan istilah phui pade. Selang beberapa hari kemudian, padi ini digirik dengan cara menginjak-injak yang dilakukan oleh orang laki-laki ataupun oleh para wanita. Wadah yang digunakan untuk melakukan pekerjaan inilah yang disebut tika atau ada juga yang menyebut tika iboih. Ukuran besarnya tika ini tidak tentu tergantung pada selera orang yang membuatnya. Ada yang berukuran 3 x 4 meter dan ada pula 4 x 5 meter dan sebagainya. Bahan yang digunakan untuk membuat tika ini yaitu, yang disebut daun iboih sejenis daun palem yang batangnya besar dan tinggi. Cara membuatnya yaitu dengan menganyam daun iboih tersebut. Mungkin karena dibuat dari daun iboih itulah maka disebut dengan istilah tika iboih. Kegunaan tika iboih ini yaitu sebagai alas bila padi hendak diinjak/digirik yang disebut dengan istilah Aceh lho pade (injak padi). Selain itu tika ini berguna pula sebagai tempat/wadah untuk menjemur gabah/padi. (xv). Tungkat Tungkat (tongkat) juga merupakan alat yang digunakan dalam rangka pengolahan padi. Alat ini termasuk jenis peralatan yang paling sederhana bila dibandingkan dengan peralatan lain yang juga digunakan untuk kepentingan pertanian padi. Bahan untuk membuat tungkat hanya dari pelepah rumbia. Kegunaannya untuk tempat pegangan agar ada keseimbangan badan bila sedang mengerjakan lho pade (injak padi), atau supaya orang yang melakukan lho pade tidak jatuh ketika memilin-milin padi dengan kakinya. Tungkat yang digunakan ini berjumlah dua
197
Budaya Masyarakat Aceh
potong, yang satu dipegang dengan tangan kanan dan satu lagi dengan tangan kiri. (xvi). Jeungki Jeungki juga merupakan alat pengolahan hasil, yaitu sebagai alat penumbuk padi secara tradisional di Aceh. Dan terdapat hampir di semua petani. Alat ini sebenarnya lebih tepat bila disebut sebagai alat "prosesing", karena memproses padi menjadi beras. Jeungki terbuat dari sepotong kayu balok yang besar pada bagian kepala yang disebut ulee jeungki dan lebih kecil pada ekornya yang disebut iku jeungki. Kayu untuk membuat jeungki dipilih dari sejenis kayu tertentu yang tidak cepat pecah dan retak bila dipakai, dan biasanya kayu yang disebut bak mane. Panjang sebuah jeungki dari kepala sampai ujung ekor kira-kira 2 meter. Agar sebuah jeungki dapat diangkat turun naik, maka diperlukan suatu bagian lain lagi yang disebut pha jeungki (paha jeungki). Bagian ini dipakai sebagai alat untuk menyangkut/menggantung bagian tengah dari jeungki. Bagian lain yaitu tempat pegangan pada waktu menumbuk padi yang disebut sapai jeungki (secara harafiah artinya tangan jeungki). Sapai jeungki hanyalah kayu yang ditancapkan ke tanah sebagai pegangan. Satu bagian lagi yang merupakan alat penting pada sebuah jeungki yaitu yang disebut leusong (lesung). Leusong ini digunakan sebagai tempat meletakkan padi yang akan ditumbuk, yang ditempatkan pada bagian ulee jeungki sejajar dengan alu yang ditanam dalam tanah. Leusong ini pada umumnya dibuat dari kayu dan ada juga yang dari sejenis kayu.
198
Budaya Masyarakat Aceh
Kegunaan dari jeungki semata-mata untuk padi/alat penumbuk padi.
menumbuk
(xvi). Jieie Jieie ini juga termasuk salah satu alat pengolah hasil, yang dalam hal ini alat penampi beras, bila padi telah selesai ditumbuk dengan menggunakan jeungki. Bahan pembuatnya yaitu rotan dan bambu. Rotan dipakai sebagai bingkai dan bambu (kulitnya) dirangkaikan sedemikian rupa sehingga merupakan suatu wadah yang digunakan sebagai alat untuk menampi beras. Kegunaan alat ini yaitu untuk membersihkan beras dari sisa-sisa padi dan butir-butir beras kecil yang dalam istilah Aceh disebut keunekut untuk makanan ayam. Bentuk jieie hampir menyerupai suatu segi tiga besar tetapi tanpa ada suatu sudut yang jelas. 3. Kenelayanan Sebagaimana diketahui Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian yang termasuk juga bidang perikanan. Mereka yang bermata pencaharian dalam bidang ini membutuhkan peralatan-peralatan yang dapat menunjang usahanya. Dalam kaitan ini mereka menciptakan berbagai peralatan penangkap ikan yang dapat dikatakan masih bersifat tradisional, karena peralatan itu masih sederhana sifatnya dan digunakan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun dan merupakan bagian dari sistem teknologi yang mereka miliki menurut
199
Budaya Masyarakat Aceh
konsepsi kebudayaannya, sehingga dengan demikian kebanyakan alat-alat yang digunakan tetap itu-itu saja. Masyarakat di mana pun berada akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Teknologi modern, sedikit demi sedikit telah menggeser peranan teknologi tradisional. Dengan demikian maka peralatan penangkap ikan tradisional ini pun mengalami perkembangan juga, baik dari segi kualitas maupun kuantitas sesuai dengan perkembangan teknologi itu sendiri. Berdasarkan berbagai sumber yang kami peroleh serta hasil kajian dari beberapa literatur yang berkenaan dengan perikanan, dapat diketahui bahwa peralatan yang lazim dipergunakan oleh penduduk di Aceh dikelompokkan dalam dua jenis bagian yaitu : jenis perlatan yang digunakan untuk menangkap ikan yang hidup di air asin ( di laut, tambak dan sebagainya) dan yang dipergunakan untuk menangkap ikan yang hidup di air tawar seperti di krueng (sungai), paya atau bueng (rawa-rawa), umong (sawah), kulam (kolam), mon eungkot (sumur ikan), neuheun (tambak) , dan alue (alur atau sungai kecil) Adapun berbagai jenis peralatan penangkap ikan tersebut, baik namanya maupun tempat di mana peralatan itu digunakan akan dideskripsikan di bawah ini : a. Pukat Peralatan ini khusus digunakan untuk menangkap ikan di laut pada lokasi-lokasi yang mempunyai pantai yang landai dan berpasir. Jenis ini juga sering disebut pukat Aceh. Penamaan pukat Aceh ini sekedar untuk
200
Budaya Masyarakat Aceh
membedakan dengan jenis pukat-pukat lain yang juga digunakan oleh daerah lain di Nusantara. Pukat ini merupakan suatu unit peralatan yang terdiri dari beberapa unsur atau komponen yang saling mendukung. Komponen ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah pukat. Adapun unsur-unsur tersebut adalah yang disebut lamat atau taloe (tali) pukat. Lamat ini dibuat dari sejumlah atau beberapa batang rotan yang digabung yang terdiri dari beberapa gulungan yang dalam istilah Aceh disebut glong. Setiap glong memiliki panjang antara 30 - 50 meter. Lamat ini dipakai sebagai alat penarik pukat ke pantai yang dalam istilah para nelayan disebut pukat sedang laboh darat. Jumlah glong yang dipakai untuk sebuah pukat tergantung kepada jarak atau dekatnya lokasi penangkapan ikan tersebut dengan pantai. Bagian lain dari pukat adalah jok. Jok pukat ini dibuat dari sejumlah tali pohon enau atau tali ijuk yang dirajut agak jarang. Panjangnya sekitar 200 meter. Pada bagian atas dari jok diberi kaja (tali) tempat mengikat pelampong (pelampung), pada bagian bawahnya digantung benda-benda yang berat seperti batu kali bulat atau timah yang khusus agar jok itu pada bagain bawahnya dapat tenggelam. Selanjutnya yang disebut dengan ulaya. Ulaya ini dibuat dari benang yang dirajut di mana perajutannya lebih rapat dari jok. Lubang rajutannya lebih kurang sebesar telapak tangan. Pada bagian atas juga diberi pelampong dan bagian bawahnya khusus diikat timah supaya dapat tenggelam. Panjang ulaya ini berkisar antara 30 - 40 meter. Unsur lain dari pukat adalah euntong atau kuncong. Euntong atau kuncong merupakan bagian yang paling ujung
201
Budaya Masyarakat Aceh
dari sebuah pukat. Pada bagian inilah ikan-ikan yang terperangkap dalam sebuah pukat terkumpul. Bentuknya mirip sebuah kantong besar, meskipun terbuat dari rajutanrajutan benang yang sangat rapat. Pada setiap pukat, biasanya terdapat dua buah euntong meskipun ada yang hanya satu. Pada setiap euntong dibagian atasnya diberi pelampung besar yang terbuat dari sejenis kayu gabus yang dinamakan galong. Euntong ini dirajut sangat rapat sehingga semua jenis ikan yang terjaring terkumpul di sini. Euntong ini di pasang pada bagian akhir/ujung dari sebuah ulaya dan setiap euntong memiliki mulut yang disebut babah euntong. Melalui babah (mulut) inilah ikan-ikan terperangkap dalam euntong tersebut. Alat penunjang lainnya dari sebuah pukat Aceh adalah peraho (perahu) pukat. Alat ini merupakan sarana penunjang paling utama, karena tanpa perahu pelaksanaan menangkap ikan dengan pukat tidak dapat dilakukan. Perahu pukat ini berbentuk ramping sehingga dapat lebih cepat lajunya. Oleh karena itu perahu pukat ini harus dibuat sedemukian rupa dan juga harus dari kayu yang terpilih. Kayu kharus yang kuat dan bentuk yang praktis serta mudah dipakai. Adapun bentuk dayung dan kemudi pukat Aceh berbentuk panjang dan kecil. Setiap perahu menggunakan 6 buah dayung . Sedangkan kemudi pukat ada dua macam yaitu yang dipakai untuk berlayar yang disebut keumudoe duek (kemudi duduk) dan keumudoe dong (kemudi berdiri). Keumodoe duek bentuknya besar dan pendek sedang keumudoe dong bentuknya kecil tetapi ramping. Jika nelayan sedang laboh laot (mayang) digunakan keumudoe duek, sedangkan keumudoe dong digunakan jika
202
Budaya Masyarakat Aceh
pukat Aceh sedang laboh darat yaitu menangkap ikan dengan menarik ke darat. b. Nyareng (Jaring) Nyareng ini merupakan alat penangkap ikan baik di laut (air asin) maupun di air tawar (ikan air tawar). Nyareng ini dibuat dari benang yang dirajut. Benang ini bisa dari benang katon juga ada dari benang nilon/sansi (tali pancing) atau benang atom. Lebar nyareng ini biasanya lebih dari dari 2,5 meter dan panjangnya tidak tentu yaitu ada yang 50 meter bahkan sampai 100 meter. Perajutannya bisa jarang dan ada juga yang rapat. Perajutan yang jarang biasanya untuk menangkap ikan yang besar, sedang perajutan yang kecil/rapat untuk menangkap ikan yang kecil atau sedang. Penggunaan nyareng yaitu dengan merentangkan di dalam air (baik di laut yang airnya dangkal/pinggiran laut, sungai maupun kolam). Pada bagian atas nyareng biasanya diberi alat yang ringan sebagai tanda, biasanya dibuat dari gabus atau sejenisnya yang disebut pelampung. Kemudian pada bagian bawah diberi alat pemberat agar nyareng dapat tenggelam sampai ke tanah. Pada masa dulu diikat dengan batee peulhom (batu untuk menenggelamkan), tetapi masa sekarang lazim dipakai timah yang khusus dirancang untuk sebuah nyareng. Nyareng ini dipergunakan pada siang atau malam hari dan dikerjakan oleh 1 atau 2 orang. Untuk mengetahui apakah sudah ada ikan yang terperangkap atau belum bisa dilihat dari pelampung apakah bergoyanggoyang atau tidak.
203
Budaya Masyarakat Aceh
c. Jeue Jeue dalam istilah Indonesia disebut jala. Jeue ini merupakan alat penangkap ikan baik di laut dan di darat. Biasanya jeue ini digunakan untuk menangkap ikan pada perairan yang tidak terlalu dalam misalnya di tambak, di rawa-rawa, di sungai dan lain-lain. Caranya yaitu dengan menebarjatuhkan alat ini ke dalam air sehingga ikan yang ada di tempat jeue ini dilempar yang tidak sempat lari akan terperangkap di dalamnya dan tersangkut pada siratan mata jeue tersebut. Jeue ini dibuat dari benang katun mentah atau dari benang samsi (benang nilon/atom). Sebelum dirajut benang ini diawetkan terlebih dahulu dengan ramuan-ramuan pengawet. Pada bagian bibir/pinggir setiap jeue ini diberi alat/benda pemberat yang terbuat dari timah yang mirip seperti rantai. Pada bagian pemegang jeue ini diberi tali yang disebut pucok jeue. Ukuran atau rentangan sebuah jeue tidaklah sama, tergantung pada kebutuhan si pembuat. Biasanya sekitar 6-7 meter yang terdiri dari set-set dengan diameter lebih kurang 10 meter. Jeue untuk menangkap ikan di laut disebut dengan jeue laot/jeue rayeuk (jala besar). Penggunaan jeue ini memakai perahu ditengah laut dan selanjutnya jeue ini ditebarjatuhkan lalu ditarik kembali dengan menggunakan katrol. Jeue ini lazim digunakan untuk menangkap ikan besar. Selain itu ada jeue ubit (jala kecil) yang berfungsi untuk menangkap ikan yang kecil seperti teri, udang dan sebagainya. Dan penangkap ikan ini hanya digunakan di tepi-tepi pantai yang landai di mana airnya tidak begitu dalam.
204
Budaya Masyarakat Aceh
d. Nyab atau Jhab Alat ini terbuat dari rajutan benang baik benang katun mentah maupun benang nilon. Bentuknya sejenis jaring yang bersegi empat ataupun lima yang hampir menyerupai bulatan. Agar bisa berbentuk persegi empat atau persegi lima atau bulatan maka pada bagian ujungnya diberi kayu yang dapat dibongkar yang disebut gheup. Gheup ini juga bisa dibuat dari besi bulat kecil yang gampang dibentuk. Ukuran jhab ini biasanya berdiameter kurang lebih 5 meter. Alat penangkap ikan ini dapat digunakan baik pada air tawar maupun air laut pada bagian yang dangkal. Penggunaan jhab ini biasanya ditunggui oleh si penangkap ikan. Bila diperkirakan ada ikan terperangkap maka jhab ini cepat-cepat diangkat. Untuk mengangkat jhab diperlukan tali untuk mengatrolnya dan diikat pada tengah-tengah jhab pada keempat sisi/segi pada jhab tersebut. e. Sawok Awok pada masa dahulu lazim disebut dengan nama Ali. Alat ini terbuat dari benang katun atau nilon yang dirajut seperti jaring. Ukurannya lebih kurang 0,5 meter. Sekelilingnya pada bagian muka diberi geup sebagai penguat yang berbentuk bulat. Ada dua jenis sawok yaitu yang bergagang dan tidak bergagang. Penangkap ikan yang menggunakan sawok besar cukup memegang geup saja. Sedangkan sawok yang memakai gagang, sawoknya pada ujung gagang (biasanya dari kayu). Selanjutnya si penangkap ikan berdiri di darat dan sawoknya dimasukkan ke dalam air dan dilakukan penyawokan.
205
Budaya Masyarakat Aceh
f. Kawe Kawe atau pancing di sini mempunyai dua macam yaitu kawe darat (pancing darat) dan kawe laot (pancing laut). Untuk menangkap ikan dengan memakai kawe laot, lazimnya digunakan perahu yang disebut jalo kawe (perahu pancing). Pancing ini ditarik oleh jalo (perahu) tadi, sehingga lazim pula disebut kawe hue (pancing yang dihela). Untuk kawe laot ini dipakai umpan palsu dan yang biasa dipakai adalah bulu ayam yang warnanya putih. Bulu ayam ini di pasang di atas kail yang disebut mata kawe, sehingga dapat bergerak maju mundur. Jenis kawe darat (pancing di darat) biasanya diberi gagang yang disebut goe kawe (gagang kail) dan juga diberi pelampung untuk mudah dideteksi bila ikan sudah memakannya. Selain itu juga agar kawe (kail) ini tenggelam, maka diberi timah yang berjarak sejengkal dengan mata pancing. Untuk kawe laot ada juga jenis yang disebut kaweranggong. Kawe ranggong adalah pancing yang talinya terdiri dari dua bagian yang duhubungkan dengan suatu alat yang dibuat dari tanduk dan dinamakan ranggong. g. Geuneugon Geuneugon ini sejenis alat penangkap ikan yang dalam istilah Melayu disebut serkap. Alat ini dipakai khusus untuk menangkap ikan di tempat yang airnya dangkal atau di rawa-rawa. Geuneugon ini dibuat dari bambu atau pohon pinang yang dibelah dan dijalin dengan rotan. Bentuknya seperti kerucut yang terbuka bagian atasnya dan juga bagian bawahnya. Pada bagian bawah yang merupakan ujung,
206
Budaya Masyarakat Aceh
terbukanya lebih lebar yang sekonyong-konyong dimasukkan ke dalam air (lumpur). Selanjutnya tangan dari si penangkap ikan dimasukkan ke dalam geuneugon ini melalui lubang bagian atas yang ukurannya sempit hanya dapat dimasukkan tangan dan ikan yang terjerat di dalamnya diambil melalui lubang ini. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat ini dilakukan dengan cara berjalan di dalam air yang dangkal/di rawa-rawa dan sesekali geuneugon ini ditanamkan ke dalam air/rawa-rawa tadi. h. Bubee Bubee atau bubu merupakan sejenis alat penangkap ikan yang lazim dan cukup bervariasi di pakai oleh penangkap ikan di Aceh. Jenis bubee ini yang dipasang di sungai disebut bubee krueng (bubu sungai) yang terdiri dari bubee rayeuk (bubu besar) untuk menangkap ikan-ikan besar, bubee sedang (bubu sedang) untuk menangkap ikanikan sedang, bubee ubit (bubu kecil), bubee udang (bubu udang) dan ada pula bubee bareng yaitu bubu yang khusus untuk menangkap anak-anak udang yang sangat kecil-kecil yang disebut ebi. Selanjutnya ada pula bubu yang dipasang di pematang-pematang sawah yang disebut bubee blang (bubu sawah) dan juga di pasang di mulut-mulut tanggul. Jenis bubee yang lain yaitu bubee jareueng (bubu jarang) yaitu bubu yang perajutannya agak jarang dan khusus digunakan untuk menangkap ikan besar. Selanjutnya bubee laot (bubu laut) yang digunakan khusus menangkap ikan di laut. Bentuknya hampir setengah bola, dasarnya tertutup dan ada lubang di dinding. Ikan-ikan kecil dapat keluar masuk melalui lubang ini. Ada juga yaitu bubee dom
207
Budaya Masyarakat Aceh
(bubu yang tidak ditunggu, dibiarkan begitu saja). Jenis bubu ini dipasang biasanya pada senja hari dan keesokan harinya akan dilihat kembali oleh si penangkap ikan. Dalam istilah Aceh disebut jak rhueng bubee, jadi dom di sini maksudnya bubu yang diinapkan. Selain terbuat dari bambu, bubee juga da yang dibuat dari lidi-lidi, baik lidi daun kelapa, lidi daun enau, dan juga lidi pelepah rumbia. Untuk bubee-bubee ukuran kecil biasanya dibuat dari lidi daun kelapa, lidi daun pelepah rumbia, dan juga lidi pohon enau dan ada juga dari lidi batang enau yang berwarna hitam disebut pureh jok. Dalam pembuatan sebuah bubee, pada bagian babah (mulut) dan tengah dikepit dengan kayu atau rotan berbentuk lingkaran yang dalam istilah Aceh disebut gheup, sehingga bentuknya menjadi bundar, demikian juga pada bagian belakangnya. Dalam sebuah bubee terdapat 1 atau 2 perangkap yang disebut jab. Jab (perangkap) ini gunanya untuk menahan ikan-ikan yang telah masuk ke dalam bubee, tidak dapat keluar kembali. i. Jamboh Alat perangkap ikan ini dapat dikatakan sederhana karena terbuat dari serat ijuk yang dirajuk sehingga berbentuk kerucut. Pembuatan ukuran jamboh ini tergantung dari kebutuhan. Pada bagian mulut jamboh ini terdapat lingkaran rotan atau sejenis kayu yang dapat digulung/dibengkokkan supaya mulut atau babah jamboh ini selalu terbuka.
208
Budaya Masyarakat Aceh
Pemasangan jamboh ini juga sangat gampang yaitu dengan diletakkan di dalam air yang diperkirakan tempat lalu lalang ikan. Jamboh dipergunakan untuk menangkap ikanikan yang berukuran besar seperti ikan gabus, ikan emas, ikan lele, dan lain-lain. Jamboh di pasang di semak-semak di sawah, di rawa-rawa maupun di pinggir sungai. j. Palong Palong adalah alat tangkap sejenis jaring yang berbentuk persegi panjang yang dibentangkan di dalam air secara horisontal dengan menggunakan kayu atau bambu sebagai kerangkanya. Palong ini ada yang dibangun di atas perahu dan ada pula yang didirikan di tengah laut. Palong yang memakai perahu terdiri dari beberapa bagian, yaitu Bubong (atap) yang sekaligus berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dingin di malam hari serta turunnya hujan. Tali nilon yaitu tali yang digunakan untuk menarik jareng yang ditenggelamkan dalam laut. Aleue Palong, merupakan lantai palong sebagai tempat untuk mengoperasian palong, dan sekaligus berfungsi sebagai tempat istirahat bagi nelayan palong saat menunggu ikan berkumpul di bawah lampu. Kayu yang digunakan untuk menggulung tali penarik saat tali diputar. Lampu petromaks yang berfungsi sebagai penarik ikan masuk ke dalam palong. Lubang yang besarnya kira-kira 150 cm x 150 cm dibagian aleue palong untuk tempat mengulur lampu. Jareng (jaring) berbentuk persegi empat panjang, berukuran 16 x 16 meter digunakan untuk menjaring ikan yang sudah terkumpul di bawah cahaya lampu. Ketika ikan telah terkumpul dalam jareng, digunakan sawok/sareng
209
Budaya Masyarakat Aceh
yang terbuat dari nilon untuk memindahkan ikan ke raga/keuranjang (keranjang) penampungan. Ikan-ikan yang sudah terkumpul dibawa ke darat dengan menggunakan peuraho (perahu), perahu ini juga yang membawa nelayan palong dari darat ke laut dan sebaliknya. Palong dioperasikan pada malam hari, yaitu mulai pukul 18.00 sampai 05.00 pagi. Cara pengoperasian palong yaitu lampu diletakkan pada bagian antara dua perahu, yang pada sebelah atasnya diberi atap sebagai tempat menurunkan lampu dan sekaligus tempat istirahat awak palong. Jaring juga terletak di antara dua perahu yang di atasnya diberi tempat menggantung lampu sebanyak lima pasang. Demikian pula tempat memutarnaikkan jaring juga ada pada bagian atas. Jadi, perahu hanya berfungsi sebagai rakit ketika palong akan dipindahkan beroperasi. Jenis ikan yang sering ditangkap oleh palong adalah: bileh bu (teri nasi), suree (tongkol), noh (cumi-cumi) dan lain-lain. k. Tempuling Tempuling terbuat dari kawat yang diruncingkan dan diberi tangkai kayu atau rotan gajah. Tempuling sering digunakan untuk menusuk ikan-ikan besar yang sedang lalai (berjemur) di permukaan air. Masyarakat Aceh menamakannya tampuleng.
4. Senjata
210
Budaya Masyarakat Aceh
Berdasarkan penggunaannya senjata-senjata stradisional yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga). Pertama senjata yang berfungsi untuk menyerang, kedua senjata untuk membela diri dan ketiga senjata yang bergerak sendiri. Adapun senjata-senjata untuk menyerang antara lain : a. Reuncong (Rencong) (i). Reuncong Meucugek Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh. (ii). Reuncong Meupucok Jenis rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil pada gagang atau pegangan pada bagian bawahnya. Namun semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacaraupacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian. Ukiran yang terdapat pada gagang rencong bermacam-macam bentuknya, ada yang menyerupai bungan mawar, kembang daun dan lainnya tergantung kepada selera pemakai. (iii). Reuncong Pudoi Istilah pudoi dalam masyarakat aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekurangan, atau masih ada yang
211
Budaya Masyarakat Aceh
belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud _pudoi_ atau yang belum sempurna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut.
(iv). Reuncong Meukuree Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga dan lainnya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama maka pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong makin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong yang bersangkutan. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis. b. Siwaih Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari pada rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. c. Peudeung (Pedang) Pedang digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Jika rencong digunakan untuk menikam, maka pedang digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang. Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung
212
Budaya Masyarakat Aceh
Habsyah (dari negara Abbesinia), Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki berasal dari raja-raja Turki. Berdasarkan bilah atau bentuk mata pedang, masyarakat mengenal nama-nama pedang sebagai berikut peudeung on teubee sejenis pedang yang bilah atau matanya menyerupai daun tebu. Pedang ini dibuat sedemikian rupa, panjangnya kira-kira 100 Cm (sudah termasuk gagangnya). Umumnya terbuat dari besi, bentunya lebih halus dan lebih kecil dari peudeung on jok. Peudeung on jok sesuai dengan namanya menyerupai daun enau atau daun nira. Bentuknya lebih kasar dan tebal dari peudeung on teubee dan sedikit agak pendek dari peudeung on teubee. Berdasarkan bentuk gagangnya, jenis pedang adalah sebagai berikut pertama, Peudeung Tumpang Jingki, gagangnya seperti mulut yang sedang terbuka dan seakanakan dapat menahan sandaran benda lain di atasnya. Gagang pedang ini berasal dari tanduk dan matanya dari besi. Panjang keseluruhannya mencapai 70 Cm. Bentuknya hampir serupa dengan peudeung tumpang beunteung yang lazim disebut oleh masyarakat Pidie. Kedua, Peudeung Ulee Meu-apet, pada gagangnya terdapat apet atau penahan untuk tidak mudah terlepas. Jenis pedang ini selalu ditempatkan di dalam sarungnya. Bahkan amat jarang dikeluarkan. Pedang ini dianggap mempunyai kekuatan magis, pantang dikeluarkan disembarangan tempat dan waktu. Ketiga, Peudeung Ulee Tapak Guda, gagangnya menyerupai telapak kaki kuda. Gagangnya dibuat dari tanduk, dan bilahnya dari besi. Panjangnya mencapai 72 Cm. Di samping jenis pedang yang telah disebut di atas, didapati nama-nama lainnya seperti
213
Budaya Masyarakat Aceh
Peudeung ulee iku mie karena gagangnya menyerupai ekor kucing, peudeung ulee iku itek, karena gagangnya menyerupai ekor bebek, Peudeung ulee babah buya karena gagangnya seperti mulut buaya, peudeung lapan sago gagangnya bersegi delapan. Ada satu pedang yang sering diceritakan dan disebut-sebut orangtua di Aceh yaitu peudeung Zulfaka yang mengandung kekuatan magis tinggi karena berasal dari Saidina Ali Radhiallahu'anhu. d. Kreih (keris) Walaupun jenis senjata ini sudah terlanjur populer, masih terdapat perbedaan pendapat di antara para tokoh masyrakat tentang asal-usul jenis senjata tersebut. Pada umumnya jenis senjata ini dipergunakan oleh etnis Jawa, namun tidak ada kajian yang menyatakan bahwa keris tersebut sebagai produknya kebudayaan Jawa. Bilahnya yang bergelombang seperti riak, adalah salah satu ciri keris yang membedakan dirinya dengan segala rupa senjata lain. Gagang keris pada umumnya juga meucugek seperti halnya gagang rencong. Panjang maksimal gagng keris yang dikenal masyrakat Aceh berkisar antar 40 sampai 50 Cm. e. Parang Parang umumnya digunakan untuk menetak dan mencincang. Secara umum parang terdiri dari yang berbentuk panjang dan yang berbentuk pendek. jenis parang yang panjang, termasuk di dalamnya apa yang disebut parang Cot Lantrieng di Aceh Besar, Rudus di Pidie, dan kelewang. Jenis parang yang relatif pendek, disebut dengan istilah parang meurapet, parang iku manok dan sikin.
214
Budaya Masyarakat Aceh
f. Badek (Badik) Badek hampir menyerupai sikin (pisau), hanya gagangnya yang menunjukkan perbedaan. Selain sebagai senjata, badek juga digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti meraut rotan, lidi untuk membuat sapu, atau bubu untuk perangkap ikan. Ukuran panjang badek yang digunakan untuk senjata sekitar 40 Cm, Badek dalam ukuran kecil sebesar pisau dapur biasanya berukuran lebih kurang 20 Cm. g. Tumbak (Tombak) Tumbak (tombak) dipergunakan sebagai untuk menyerang dalam skala jarak yang relatif jauh.
senjata
h. Keurambet Senjata ini tergolong ke dalam jenis senjata ringan, yang dapat disimpan di dalam saku celana. Bentuknya melengkung membentuk setengah lingkaran, salah satu ujungnya terdapat gagang yang diberi lubang sekedar agar dapat dimasukkan anak jari. Senjata ini sering dipergunakan oleh anak muda ketika meninggalkan rumah dalam situasi genting. Kegunaannya untuk melukai musuh pada bagian tertentu, juga untuk menyabit bagian-bagian tubuh yang mencuat keluar, seperti telinga, leher, mata, tangan dan lainnya. i. Sadeup (sabit) Walaupun sadeup digunakan untuk pemotong rumput, namun juga merupakan senjata penyerang atau sebagai senjata dalam keadaan terpaksa. Sabit yang populer di Aceh ada dua jenis, pertama sabit untuk memotong rumput yang bentuknya tipis, agak lebih panjang dan
215
Budaya Masyarakat Aceh
lebih tajam. Masyarakat menyebutnya sadeup koh naleueng. Kedua, agak tebal, lebih lebar dan lebih pendek dan disebut sadeup koh padee (sabit pemotong padi). j. Kloeng atau Klah Jaroe (Kalong) Digunakan pada jari, karena fungsi utama untuk meninjau orang. Sasaran utama senjata ini pada bagian kepala musauh. Jika terkena besar kemungkinan akan retak dan robek. k. Sekin Panyang (pisau panjang) Bentuk sekin panyang hampir menyerupai pedang. Senjata ini merupakan harta pusaka, baru dipergunakan bila ada keperluan seperti perang atau perkelahian antar keluarga. l. Kreih Bahari Rayeuk Senjata ini sama seperti keris biasa, tetapi ukurannya lebih besar dan panjang. Sama halnya seperti pisau panjang, keris bahari besar ini jarang dibawa ke luar kecuali bila sangat diperlukan. Jenis-jenis senjata untuk mempertahankan diri adalah : • Perisai Awe (perisai rotan). Senjata ini dahulu digunakan pada masa Aceh masih berupa kerajaan dan khusus dipakai oleh seorang panglima. • Perisai Tembaga Senjata ini terbuat dari tembaga. Senjata ini khusus digunakan oleh para _uleebalang_ (hulubalang) di Aceh. • Beregoe. Senjata ini terbuat dari tanduk kerbau. Disamping sebagai senjata untuk mempertahankan diri, alat ini juga digunakan untuk mengeluarkan suara dalam usaha memanggil atau memberi isyarat.
216
Budaya Masyarakat Aceh
Jenis-jenis senjata yang bergerak sendiri adalah : • Seurumpet, senjata ini disebut juga senjata tiupan. Ia terbuat dari dari dua bagian, induknya dari bambu dan anaknya dari jenis kayu. Anaknya dibuat sedemikian rupa dan pada ujungnya dilengketkan racun yang berbisa. Kemudian anaknya dimasukkan ke dalam induknya dan ditiupkan ke arah badan musuh. Apabila badan musuh terkena senjata ini maka badannya akan membiru, gatal-gatal, membengkak, luka, infeksi dan terus menderita kesakitan. • Panah atau busu adalah jenis senjata yang berbentuk setengah lingkaran dan terbuat dari bahan rotan dan bambu, ditambah sedikit kulit binatang seperti kulit lembu dan kulit kambing. Antara ujung-ujung setengah lingkaran itu diikat dua utas rotan yang ditengahnya diikat kulit untuk menempatkan anak panah atau anak busu. Di Pidie terkenal dengan nama busu bleut. • Sejenis dengan senjata di atas adalah gandoi atau ketapel oleh sebagian masyarakat terutama di Aceh Besar disebut peutek. Senjata ini terbuat dari kayu bercabang dua yang pada kedua ujungnya diikat karet dan ujung satu lagi diikat kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu yang sudah dikeringkan. Senjata ini berguna untuk memukul atau melempar musuh dari skala jarak jauh dengan anak ketapel dari batu. • Taroen dan Peuneutek (perangkap) Jenis senjata ini bermacam-macam, ada yang terbuat dari jenis rotan dan kayu dan ada yang terbuat dari jenis tali lainnya.
217
Budaya Masyarakat Aceh
Antara taroen dan peuneutek terdapat perbedaan, dimana taroen memiliki gagang yang lebih besar, lebih kaku dan lebih pendek dari gagang peuneutek. Kedua jenis senjata ini memiliki fungsi yakni untuk menjerat musuh baik leher maupun kakinya dan biasanya ditempatkan di hutan-hutan atau di jalan yang sering dilalui musuh. Jenis senjata ini tidak melukai musuh karena sifatnya hanya sebagai perangkap dan etelah musuh masuk perangkap maka akan dilukai dengan pedang atau kelewang. 5. Perhiasan Berikut ini penulis akan memaparkan sejumlah perhiasan tradisional Aceh dengan mengelompokkan berdasarkan tempat di bagian anggota badan mana perhiasan tersebut dipakai. a. Perhiasan yang dipakai di rambut/kepala Perhiasan-perhiasan yang dipakai di rambut yang terkenal yaitu : (a) cucok ok atau cucok sanggoi (tusuk rambut atau tusuk sanggul). Bentuknya berbagai, ada yang berbentuk bungong sunteng (Bungong sunting), bungong tajuk(sejenis bunga tanjung), bungong jeumpa (bungong cempaka) dan bungong ok (bungong rambut). Pada umumnya perhiasan ini dibuat dari suasa atau perak yang disepuh emas. (b) Ayeuem Gumbak yaitu hiasan yang membentuk daun sukun dibuat dari emas atau suasa yang memakainya dengan cara digantung di sebelah kanan atau sebelah kiri sanggul. (c) Priek-priek yaitu hiasan atau mainan yang berbentuk rumbai-rumbai, digantung di sanggul bagian kiri dan bagian kanan. (d) Ulee Ceumara hiasan rambut yang
218
Budaya Masyarakat Aceh
berbentuk piramid, bersegi empat atau enam, pada ujungnya diberi rantai yang berkait untuk bersangggul. b. Perhiasan yang dipakai di dahi Satu-satunya perhiasan yang dipakai di dahi ini disebut patam dhoe. Berbentuk tiara (mahkota) yang dilekatkan di dahi, seperti yang dipakai oleh para ratu di negara-negara Eropah Barat pada saat penobatannya sebagai ratu atau dalam suatu upacara tertentu. Perhiasan ini pada umumnya dibuat dari emas atau suasa. Seperti pada tiara patam dhoe dihiasi juga dengan butir-butir permata yang beraneka warna. Dalam perkembangannya perhiasan ini ada juga yang dibuat dari lempengan emas dan bentuknya tetap seperti mahkota, tetapi tidak dihiasi dengan butir-butir permata. Pada lempengan ini hanya diberi bentuk ragam hias dengan motif daun-daunan yang teknik pembuatannya dengan cara tuangan/cetakan. c. Perhiasan yang dipakai di telinga Jenis perhiasan yang digunakan di telinga yaitu yang disebut subang atau anteng-anteng glunyung anting-anting telinga). Kedua jenis perhiasan ini dibuat dari emas, suasa atau dari perak yang disepuh emas. Ada juga dari tanduk kerbau yang dilapisi emas. Diantara jenis perhiasan ini ada yang berukuran cukup besar, sehingga menjadikan lobang telinga si pemakainya makin lama makin besar/melebar. Bentuk subang banyak macam dan namanya diberikan sesuai dengan bentuknya. Ada yang disebut subang meucintra (bentuk bunga matahari), subang bungong meulu (subang bunga melur/melati), dan subang meulimpok. Bentuk subang ini tidak sama besarnya dan hiasan yang dibubuhkan di atasnya juga tidak sama. Ada yang bermata
219
Budaya Masyarakat Aceh
banyak dan ada yang hanya satu saja. Umumnya subang hanya dipakai oleh wanita dewasa yang sudah berumah tangga. Sementara anteng-anteng glunyung bentuknya juga bermacam-macam tergantung kepada jenis hiasan atau motif yang dibuat untuk itu. Terbuat dari emas, suasa atau perak yang disepuh emas. Anteng-anteng ini dipakai dengan menggantungkannya pada telinga dan biasanya dipakai oleh para gadis atau wanita yang belum berumah tangga. d. Perhiasan yang dipakai di leher Perhiasan leher yang cukup terkenal yaitu yang disebut a. Taloe taku (kalung), dibuat dari suasa, emas atau perak, biasanya taloe-taku ini dihiasi dengan berbagai tambahan hiasan. Untuk anak-anak ada yang dibuat dari aneuk saga (biji saga), boih gleim (biji tasbih) yang berwarna hitam dan merah. Ada juga dari boih dram (berasal dari derham), boih agok yang didalamnya dibubuhkan azimat. Ada juga yang berbentuk bieng (kepiting) meuih (emas), uke rimueng (kuku harimau) dan sebagainya. Jenis lain yaitu yang disebut : euntuk yaitu sejenis kalung yang dibuat dari bulatan-bulatan emas yang dirangkaikan/dimasukkan pada rantai dan dililit atau digantung di leher. Meuseukah yaitu jenis kalung leher yang dibuat dari emas Aceh, terdiri dari butiran manik-manik bulat yang disebut manek keutumba atau manek roe (butiran-butiran ketumbar). b. Klah takue atau lilet. Pemakaiannya dililit pada leher. Dibuat dari lempengan-lempengan emas Aceh atau dari suasa dan kuningan. Bentuk seperti kalung leher yang ukurannya pas pada sebuah leher, berukir seperti yang dipakai di pinggang, sehingga pada masa dulu ada yang menyebutnya dengan nama taloe keuieng takue (tali pinggang leher).
220
Budaya Masyarakat Aceh
e. Perhiasan yang dipakai di dada Perhiasan yang digunakan di dada bagi wanita Aceh diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut : • Kawet bajee. Berbentuk setengah bulatan seperti bulan sabit. Digantung pada rantai emas, disematkan pada baju di bagian dada kanan. • Ganceng. Juga terdiri setengah bulatan-bulatan kecil yang bentuknya menyerupai bulan sabit yang bersusun tiga. Digantung pada leher seperti kalung yang letaknya tepat di dada. Untuk ganceng ini ada juga yang menyebut dengan nama keutab lhee lapieh (ketab tiga lapis atau berlapis tiga). Dibuat dari emas Aceh, perak dan tembaga yang dilapisi emas, atau suasa. • Seurapi/Semplang. Hiasan yang berbentuk bintang dibuat dari emas dan perak, biasanya disematkan pada bagian dada sebelah kiri. • Simplah. Perhiasan yang berbentuk bintang dirangkaikan dengan rantai dan digantungkan pada kedua pundak dengan cara menyilang di atas dada dan juga menyilang di bagian belakang. Terbuat dari emas, perak dan suasa. • Boih dokma. Sejenis bros, berbentuk kerucut dipakai baik oleh wanita maupun laki-laki. • Boih caie. Juga sejenis bros yang bentuknya menyerupai telur laba-laba. Dibuat dari emas, disematkan di baju, baik di dada sebelah kiri maupun sebelah kanan. • Boih Kraleub. Bentuknya seperti binatang kecoa, mungkin itulah sebabnya mengapa dinamakan boih kraleub (telur kecoa). Terbuat dari emas,
221
Budaya Masyarakat Aceh
pemakaiannya disematkan di dada baik pada bagian kiri maupun bagian kanan. Dapat disebutkan disini, bahwa hampir semua perhiasan yang dipakai di dada, termasuk jenis perhiasan yang mahal. Selain karena hampir semuanya di buat dari emas juga karena pembuatannya banyak memerlukan kelihaian dan ketelitian, mengingat hiasan-hiasan yang dibuat untuk itu kebanyakan bentuknya sukar seperti bentuk-bentuk binatang kecil. f. Perhiasan yang dipakai di tangan/pergelangan Perhiasan tangan yang paling terkenal pada masyarakat Aceh diantaranya adalah : • Gleueng jaroe (gelang tangan). Dibuat dari emas, perak dan suasa. Jenisnya bermacam-macam, ada yang disebut gleueng licen (gelang licin), di dalamnya diisi dengan eik malo, gleueng keuroncong (gelang keroncong) di dalamnya diisi dengan batubatu kecil, dahulu ada juga yang menyebutnya dengan nama gleueng meugeunta (bergetar). • Ikay/punta dipakai di lengan atas. Bentuknya hampir menyerupai gelang, setengah selang dan sisi dalamnya rata, di luarnya bulat yang diberi ukiranukiran timbul dan memakai engsel. • Sangga adalah sejenis gelang yang dipakai di bawah ikay untuk menyangga. Baik sangga maupun ikay dipakai di kiri atau kanan lengan. • Pucoek reubong atau keutab adalah sejenis gelang yang indah, dipakai di tangan bagian bawah yang terdiri dari dua bagian yang disambung oleh engsel.
222
Budaya Masyarakat Aceh
•
Berbentuk pucuk rebung (tunas bambu) umumnya dibuat dari emas dan suasa. Sawek adalah sebuah hiasan tangan yang terdiri dari beberapa buah rantai kecil yang dihiasi dengan bentuk bentuk dedaunan. Terdiri dari dua bagian kepala yang dikaitkan dengan ganceng. Perhiasan ini dipakai di lengan kanan bawah atau diantara gleueng dan pucoek reubong.
g. Perhiasan yang dipakai di jari. Perhiasan yang menghiasi jari yaitu yang disebut eunci en (cincin). Dibuat dari emas, perak, suasa dan tembaga. Dipakai oleh laki-laki dan perempuan, terdiri dari banyak jenis, ada yang bermata dan ada yang tidak. Adapun jenisjenisnya adalah : • Euncien broek geuteuen. bentuknya seperti sarang kepiting. • Euncien boih eungkot bentuknya seperti telur ikan. • Euncien boih jantong bentuknya seperti kancing besar yang • menyerupai kerucut atau seperti jantung pisang, ada yang rata saja, bulat seperti cincin kawin. • Euncien awe siblah bentuknya menyerupai rotan dibelah. • Euncien si patah bentuknya mempunyai segi banyak seolah-olah patah maka disebut euncin si patah. • Euncien Gajah Minom bentuknya seperti trapesium yang dibelah dua, mempunyai tepi tetapi tidak rata. • Euncien seuleupok bentuknya menyerupai bunga teratai yang dalam istilah Aceh disebut bungong reukih.
223
Budaya Masyarakat Aceh
• • • • •
•
Euncien salah sagoe dinamakan salah sagoe (salah segi) karena sisinya tidak benar. Euncien Meugeunta di dalamnya kosong, diisi dengan sepotong logam sehingga mengeluarkan bunyi atau disebut meugeunta. Euncien meucicem bentuknya seperti seekor burung kecil. Euncien gilek terbuat dari kancing-kancing kecil berbentuk kerucut yang terpisah satu sama lainnya. Euncien boih muling bentuknya menyerupai buah melinjo. Cincin jenis ini hanya dipakai oleh kedua pengantin dan pada masa dahulu juga dipakai pada jari jempol. Euncie cab yaitu cincin stempel, menunjukkan inisial si pemakainya.
h. Perhiasan yang dipakai di pinggang Perhiasan pinggang disebut taloe pending atau taloe keuieng (ikat pinggang). Umumnya dibuat dari suasa atau tembaga yang dilapisi suasa dan ada juga yang terbuat dari perak dan emas. Bentuknya berupa lempengan-lempengan logam yang digabungkan. Setiap lempengan ini dihiasi dengan motif-motif yang pada umumnya dari jenis-jenis bunga. Pada bagian tengah terdapat lempengan dan hiasan yang lebih besar berbentuk bersegi sedang lempengan lainnya bersegi empat.
i. Perhiasan yang digunakan di kaki Perhiasan ini disebut gleueng gaki (gelang kaki). pada umumnya dibuat dari perak, suasa dan emas. Berbentuk
224
Budaya Masyarakat Aceh
lingkaran, karena dipakai di kaki maka disebut gleueng gaki. Gelang ini dipakai oleh anak-anak baik laki-laki maupun anak perempuan. Anak laki-laki memakainya hingga berumur delapan tahun, sementara anak perempuan terus menerus. Semakin anak perempuan itu berumur bila orang tuanya mampu, maka gelang itu akan semakin diperberat. Bila sudah berumur 12 tahun berat gelang itu sudah mencapai 5 atau 8 bungkai (1 bungkai = 16 mayam sama dengan 270 432 gram). Dan apabila sudah kawin maka gelang itu akan lebih diperberat lagi sampai 25 bungkai atau 1 1/3 (satu sepertiga kilo). Sesudah kawin masih tetap memakai gelang itu, tetapi bila sudah mempunyai beberapa orang anak, baru tidak dipakainya lagi. Gleueng gaki ini bentuknya ada beberapa macam, ada yang bulat dan ada juga yang bersegi yang disebut gleueng gaki meusagoe. Ada juga yang disebut gleueng gaki peunuta, berbentuk tali yang berputar. Ada juga yang bagian dalamnya kosong dan diisi dengan batubatu kecil atau pada pinggirannya diikat beberapa batu kecil yang dilapisi tembaga atau suasa, supaya mengeluarkan bunyi/suara. Gelang jenis ini disebut gleueng keuroncong. Perhiasan pada dasarnya adalah pelengkap dari cara seseorang berbusana, namun perhiasan adakalanya dapat menjadi lambang/status dari si pemakai. Di antaranya yaitu mahkota atau yang disebut patam dhoe, perhiasan ini selain dipakai oleh pengantin wanita, dahulunya seorang putri raja selalu menggunakan mahkota (tiara) sebagai lambang kerajaan, atau benda pusaka kerajaan.
225
Budaya Masyarakat Aceh
B. Rumah Secara umum bentuk rumah Aceh mempunyai arsitektur yang sama di tiap-tiap daerah di Aceh, kecuali pada Kabupaten Aceh Tengah yang banyak didiami oleh suku Gayo, Kabupaten Aceh Tenggara yang didiami oleh suku Gayo dan Alas dan di Aceh Timur yang didiami oleh suku Tamiang dan di Aceh Selatan pada suku Aneuk Jamee rumah Aceh ada yang berarsitektur rumah Aceh ada juga yang berarsitektur perpaduan antara rumah Aceh dengan rumah adat Minangkabau Rumah Aceh terbuat dari kayu, didirikan di atas tiang-tiang yang tinggi dan terdiri dari 1. Seuramou-keu (serambi muka) yang berfungsi tempat menerima tamu laki-laki, sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan mereka. 2. Seuramou–likoot (serambi belakang) yang juga berfungsi tempat menerima tamu perempuan dan menjadi tempat tidur dan makan mereka. 3. Rumoh-Inong (rumah induk) antara seuramou keu dengan seuramou likoot adalah bagian tengah yang lebih tinggi dari pada keduanya. Rumoh inong ini dibagi menjadi dua jurai (kamar tidur) yang antara keduanya dibatasi oleh rambat (gang) yang menghubungkan antara serambi muka dengan serambi belakang. 4. Rumoh-dapu (dapur) yang terletak bertautan dengan serambi belakang dan agak rendah sedikit. 5. Seulasa (teras depan) yang terletak di depan serambi depan dan bertautan dengan serambi muka. 6. Kroong-padee (lumbung padi) yang berdiri terasing dari rumah, tetapi masih dalam perkarangan.
226
Budaya Masyarakat Aceh
Tempatnya di depan atau di samping, ataupun di belakang. 7. Keupaleh (pintu gerbang yang ada bilik di atasnya), yang ada keupaleh ini biasanya di rumah orangorang besar, orang-orang kaya dan kepala kampung. Rumah Aceh berbentuk tinggi, memakai tiang-tiang bulat dari kayu-kayu pilihan seperti bak thue, bak manee, bak panah dan sebagainya. Tiang ini dinamakan tamee, jumlah tiangnya 16, 20, 24 dan 28 buah, ini tergantung kepada banyaknya ruang (panjang pendeknya rumah tersebut). Garis tengah tiang berkisar 35 cm, tinggi bangunan dari tanah ke antai kira-kira 2,5 sampai dengan 3 meter. Di bawah lantai merupakan kolong terbuka dan ada juga sebagian yang diberikan batas antara bagian muka dan bagian belakang, bila ada upacara-upacara keramaian/ perkawinan, sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak bercampur (bahagian depan untuk laki-laki dan bagian belakang untuk perempuan). Bagian atas berlantai, terbuat dari kayu nibung, bak pineung atau bak trieng bambu) yang dibelah. Bahagian tengah lebih tinggi dari pada bagian muka dan belakang kira-kira 50 cm. Letaknya rumah Aceh umumnya memanjang dari timur ke barat untuk memudahkan menandai arah kiblat, sehingga bila tamu datang mereka tidak perlu menanyakan kemana kiblat jika akan shalat. Pintu terletak di bagian tengah, sedangkan bagian sebelah timur dan barat terdapat jendela. Bagian depan juga mempunyai jendela. Jendela terbuat dari kayu
227
Budaya Masyarakat Aceh
bentuk susun sirih. Untuk naik ke rumah dipergunakan rinyeun (tangga) yang jumlah anak tangganya harus ganjil. Tangga ini terbuat dari kayu dan diberi ukiran. Rumah ini mempunyai dua cucuran atap yang memanjang dan berabung satu, satu cucuran atap bagian depan dan satu lagi cucuran atap bagian belakang, sedangkan berabungnya (du) terletak di bagian tengah. Bagian bawah berbentuk kolong. Pada kolongnya terdapat deretan tiang-tiang yang sejajar dari bagian belakang ataupun dari timur ke barat. Tiang ini terdiri dari empat deretan: 1. Deretan depan (banja keu) 2. Deretan tengah (banja teungoh keu) 3. Deretan tengah belakang (banja teungoh likoot) 4. Deretan belakang (banja likoot). Jika rumah tersebut terdiri dari 24 tiang, deretan dari timur ke barat enam tiang sedangkan dari selatan ke utara empat tiang. Antara satu tiang ke tiang lainnya dalam satu deretan kira-kira berjarak 2,5 meter. Pada kolong bagian depan biasanya dibuat balai tempat duduk, keseluruhan ruangan berbentuk bujur sangkar. Pada ruang tungai atau disebut juga rammat yaitu ruang yang letaknya lebih tinggi (pada bagian tengah) terdapat dinding/bersekat dan loteng yang dinamakan para. Para ini selain berfungsi sebagai loteng juga sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang jarang digunakan ataupun senjata-senjata tajam seperti pedang, rencong, kreeh, kelewang tombak, dan lainlain.
228
Budaya Masyarakat Aceh
Bentuk atap berabung satu yang dalam bahasa Aceh du, memanjang dari kiri ke kanan. Atap terbuat dari daun rumbia yang dianyam dan kadang-kadang ada juga yang memakai daun nipah ataupun daun kelapa, namun hal ini agak jarang di dapat. Ruangan depan polos, terdapat pintu yang ukurannya kira-kira lebarnya 80 cm dan tingginya 1,8 meter. Jendela berukuran 60 cm dan tingginya 1 meter. Tiap kamar mempunyai jendela, jendela (tingkap) dibuat pada rumah-rumah yang terbuat dari kayu, sedangkan rumah tradisional yang terbuat dari tepas tidak memakai jendela. Pada ruang tengah terdapat bilik (juree) jadi untuk menghubungkan bagian depan (seuramou keu) dengan bagian belakang (seuramou likoot) terdapat gang yang disebut rambat. Pintu kamar biasanya menghadap bagian serambi muka. Ada juga yang dua pintu bagian muka dan belakang, dan ada juga pintu dibuat menghadap ke rambat. Kamar yang tidak ada pintu bagian muka, biasanya dinding muka ini bisa dibuka bila diperlukan. Ruang belakang (seuramou likoot) merupakan ruangan yang polos tidak ada kamar. Ruang belakang ada yang diperlebar dengan menambah dua tiang pada bagian timur. Bagian yang ditambah ini disebut anjong ataupun ada yang menyebutnya ulee keudee. Di anjong inilah biasanya diletakkan dapur, rumah yang tidak ditambah anjong, dapur ditempatkan di bagian timur dari seuramou likoot. Untuk menghubungkan antara tiang deretan tengah dengan tiang deretan belakang dipasang balok yang disebut toi. Dengan memasang balok toi yang ujungnya lebih panjang satu setengah meter, maka pada ujung dapat disambung lantai ruangan belakang. Sehingga ruangan belakang seuramou likoot bertambah luas. Bagian ruangan yang ditambah ini disebut timphik (gudang
229
Budaya Masyarakat Aceh
alat dapur). Guna ruangan ini antara lain tempat menyimpan kayu api, guci boh sunti, guci air, geutuyong dan lain-lain. Selain ruangan-ruangan yang telah disebutkan di atas, ada juga yang mendirikan satu ruang khusus yang disebut dapur (rumoh dapu). Rumoh dapu ini berdempetan dengan ruang seuramou likoot dan didirikan langsung di atas tanah. Fungsi ruangan belakang ini bagi yang telah mempunyai dapur tersendiri bisa dipergunakan untuk tempat istirahat kaum wanita, ataupun tempat berkumpul, ada juga yang dipergunakan untuk tempat mengaji, mengayam tikar dan lain-lain. Suatu yang khas dari bangunan rumoh Aceh di pekarangannya masih ditambah dengan rumah kecil yang disebut balee (balai) suatu bangunan rumah berukuran kecil lebih kurang 3 x 3 meter bujur sangkar dengan tinggi 1 - 1,5 meter dari tanah, anak tangga biasanya cukup tiga buah. Di depan tangga masuk ke rumah Aceh juga diletakkan guci air gunanya untuk mencuci kaki sebelum masuk ke rumah Aceh, karena rumah kegunaannya tempat shalat dan beristirahat jadi harus dijaga kebersihannya. Selain itu juga sering terdapat lumbung padi, lumbung padi terbuat dari anyaman bambu berbentuk selinder, memuat beberapa blet padi hasil panen dan disimpan untuk persediaan keluarga. Beberapa keistimewaan dari bangunan rumoh Aceh yaitu : 1. Bangunan rumah tidak memakai paku tetapi hanya memakai pasak kayu dan tali pengikat dari rotan. 2. Rumah Aceh dapat dengan mudah dibongkar kalau mau dipindahkan ke tempat lain. Segala alat/bahan dapat dibuka dengan mudah dan dipasang kembali di tempat yang baru.
230
Budaya Masyarakat Aceh
3. Mudah diselamatkan bila terjadi kebakaran, karena atap rumah dalam tempo yang singkat dapat diturunkan ke tanah, dengan demikian bahaya kebakaran dapat diatasi dengan mudah dan cepat. 4. Dibangun dengan tiang-tiang yang tinggi, sehingga mudah digeser kemana saja jika diperlukan, umpamanya di tempat rumah tersebut dibangun jalan umum, rumah akan dapat dipindahkan tanpa harus membongkarnya. C. Pakaian Tradisional Berbicara mengenai pakaian tradisional pada suatu suku bangsa, berarti kita bicara pakaian yang telah menjadi tradisi pada suatu suku bangsa. Pada sub bahasan tentang pakaian tradisional ini tentunya terdapat pakaian, baik yang pernah dipakai maupun sudah tidak pernah/punah. Hosein Djajadiningrat (1934: 109-110) mernyebutkan jenis baju yang terdapat pada masyarakat Aceh pada masa lampau yaitu bajee Aceh, bajee balek takue atau balek dada (baju jas terbuka mode Eropa), bajee bandong (baju model orangSunda), bajee beuso (baju yang dipakai pada sebuah peperangan), bajee dara baro atau cop Meulaboh (atau disebut juga bajee meukeureuyay jenis baju ini seperti baju kurung atau dilekatkan emas di antaranya, baju ini pada zaman lampau hanya dipakai oleh pengantin perempuan), bajee direh (semacam baju ziarah), bajee jaih atau bajee kot (baju jas atau coot), bajee jubah atau haji (baju ibadah haji), bajee et sapay (baju lengan pendek), bajee geutah (baju dalam), bajee jah (jas militer yang diisi kapas di dalamnya), bajee hak kot (eng hal coat) , bajee keumeja atau bajee krot jaro (baju kemeja atau disebut juga baju kerut tangan), bajee hob, bajee kuala
231
Budaya Masyarakat Aceh
(baju merah yang khusus dipakai oleh para uleebalang), bajee panyang (baju Melayu), bajee meuseuket (baju tanpa tangan, baju ini diberi nama menurut nama sebuah kata di dras, yaitu maskat), bajee meuseuson (baju bersusun dimana pada bagian dada diberikan hiasan dengan sulaman), bajee plah dada (baju kebaya biasa), bajee rok (rok), bajee sadariah (baju Arab), bajee sayeup seumantong (baju yang mirip dengan kimono dan tangannya longgar). Pada masyarakat Aceh juga memakai celana yang dalam bahasa Aceh disebut sileueu atau seuleue. Perkataan ini berasal dari bahasa Melayu seluar atau bahasa Arab Sirwal. Bentuk celana adalah panjang yang bagian atas dari pinggang sampai ke paha berbentuk lebar dan pada bagian kaki agak sempit. Di samping petak celana (bahasa Aceh disebut thong) agak turun sesuai dengan longgarnya celana tersebut. Menurut Hoesein Djajadingrat terdapat jenis-jenis celana yang dipakai oleh masyarakat Aceh yaitu siueue Aceh dengan petaknya yang lebar, celana jenis ini dipakai oleh lakilaki dan perempuan yang membedakan s yaitu pada jenis sulamannya silueue balek suja (celana yang pada petak celananya ditambah kain lain), silueueu mubang-bang (celana yang diberikan sulaman kupu-kupu), silueue gampong (celana yang diberikan sulaman kupu-kupu), silueueu gampong (celana yang petaknya sampai ke lutut), silueueu gukee kameng (celana yang pahanya lebar), silueueu kujoeuet atau kukoi (celana yang berasal atau berbentuk dari Gujarat), silueueu Lambayong (warna lembayung), silueueu lambhuk, silueueu lamsayung (berdasarkan nama tempat di tempat), silueueu lutong meukasab (celana yang diberi benang kasab), silueueu masam keueng, silueueu dua lhee neucob, silueueu
232
Budaya Masyarakat Aceh
pha gajah, silueueu pang tujoh lumpat, silueueu cham, silueueu cina, silueueu Arab, dan sebagainya. Selain memakai baju dan celana, dalam berpakaian masyarakat Aceh juga memakai perlengkapan lainnya sebagai kelengkapan pakaian terutama yang menyangkut pakaian adat. Di antara kelengkapan pakaian adat terutama untuk pakaian wanita, yaitu perhiasan. Karena tanpa menggunakan perhiasan masih dianggap belum sempurna dalam berbusana.
233
Budaya Masyarakat Aceh
Bab
6
Penutup Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Salah satu kelebihan itu adalah bahwa manusia mempunyai daya pikir yang lebih baik dibandingkan makhluk lain ciptaan-Nya. Dengan kemampuan berpikir itu, manusia dapat mengelola alam beserta isinya. Kemampuan berpikir ini akhirnya berwujud pada budaya, yang mana di dalamnya terdapat sistem ide, sistem sosial dan hasil karya. Salah satu bentuk ideal dari budaya ini adalah adat. Adat dan budaya merupakan dua unsur yang satu sama lainnya terjalin dengan erat. Adat merupakan sistem sosial budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, sedangkan budaya adalah keseluruhan gagasan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan hasil budi dan karya seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam kehidupan sehari-hari adat ini mempunyai peran penting dalam masyarakat seperti memberi arah dan gerak dari dinamika kehidupan masyarakat, dan alat pengendali sosial masyarakat. Dengan adanya adat kehidupan masyarakat diharapkan dapat berjalan secara harmonis. Anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan dan perannya dalam masyarakat menurut kaca mata adat. Selain itu, masyarakat Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam pun telah mempunyai budaya dalam bentuk lain, seperti budaya
234
Budaya Masyarakat Aceh
materi dan nonmateri. Kebudayaan ini sangat menunjang kehidupan sehari-hari masyarakat. Kebudayaan ini ada yang masih dipakai, tetapi ada pula yang sudah tidak dipakai lagi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dari apa yang dipaparkan tampak pula adat ini terdapat kearifan budaya yang dapat dipergunakan untuk menggerakkan pembangunan, bagi kemajuan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah dapat menggunakan kearifan ini di dalam pembangunan. Dengan demikian, pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pembangunan yang didasarkan kepada nilainilai budaya (pola pikir) dan sistem sosial masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya masyarakat akan merasa memiliki arti pembangunan. Artinya, pembangunan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
235
Budaya Masyarakat Aceh
DAFTAR PUSTAKA Alfian (ed.) 1977
Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.
Drewes, G.W.J. dan Voorhove P. 1958 “Adat Atjeh”. Dalam V.K.I. 24. Jacobs, Julius 1894
Het Familie en Kampung Leven Op Groot Atjeh. Leiden: E.J. Brill.
Hakim Nyak Pha, M. 2002 “Mukim sebagai Komunitas Adat Aceh”. Makalah disampaikan pada Pelatihan dan Pembinaan Pemangku Adat Gampong Oktober 2002 di Banda Aceh. Laka Propinsi NAD. Hoesin, Moehamad 1978
Koentjaraningrat 1990
Adat Aceh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
236
Budaya Masyarakat Aceh
Kremer, J. 1923
Atjeh. Leiden: E.J. Brill
Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh 1990 Pedoman Umum Adat Aceh edisi I. Banda Aceh: LAKA Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Nasruddin, Sulaiman, dkk 1992 Aceh Manusia Masyarakat Budaya. Banda Aceh: PDIA. Shabri A. 1999
Sufi, Rusdi, dkk 1997
Adat
dan
“Upacara Tradisional Kenduri yang Berkaitan dengan Kepercayaan terhadap Alam dan Kekuatan Gaib Pada Masyarakat Etnis Aceh di Aceh Besar”. Dalam Jurnal SUWA No. 1. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Sistem Bagi Hasil Tradisional Pada Masyarakat Etnis Aceh dan Aneuk Jamee. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
1997
Ukuran, Takaran, dan Timbangan Tradisional Masyarakat Aceh. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
1998
Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
237
Budaya Masyarakat Aceh
Sufi, Rusdi, dkk 2002
Sufi, Rusdi 2002
Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam “Struktur Pemerintahan Desa/ Gampong di Aceh Dulu dan Sekarang”. Makalah yang disampaikan pada penataran Tokoh Adat Gampong Oktober 2002 di Banda Aceh.
Sulaiman, Nasruddin dkk 1993
Pakaian Tradisional Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: P3NB.
Syamsuddin, T. dkk 1978 Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Depdikbud, PPKD. 1994
Syamsuddin, T. 1975
Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Proyek P2NB Depdikbud. “Kebudayaan Aceh”, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: Djembatan.
238
Budaya Masyarakat Aceh
Van Langen, K.F.H 2002
Susunan Pemerintahan Aceh Kesultanan. Banda Aceh: PDIA.
Semasa
Wibowo, Agus Budi, dkk 1999 Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan dan Perilaku budaya Tradisional Berkenaan dengan Perkawinan Pada Generasi Muda Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Depdiknas, Proyek P2NB.
239