Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Belenggu Kokolot: Pada Ibu Hamil dan Melahirkan Etnik Sunda – Kabupaten Pandeglang
Arief R. Eka Vitriyani Tri Juni Angkasawati
Penerbit
Unesa University Press
1
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten Arief R, dkk
Belenggu Kokolot: Pada Ibu Hamil dan Melahirkan Etnik Sunda - Kabupaten Pandeglang Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email:
[email protected] [email protected] Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xvii, 137 hal., Illus, 15.5 x 23
ISBN: 978-979-028-960-4
copyright © 2016, Unesa University Press All right reserved Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
2
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
SUSUNAN TIM Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis
: Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM Dri Subianto, SE
iii
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Koordinator Wilayah: 1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala 2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan 3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan 4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru 5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan 6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat 7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng 9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke 10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu Raijua, Kab. Tolikara 12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna
iv
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
KATA PENGANTAR Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia. Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
v
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI
Drg. Agus Suprapto, MKes
vi
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
DAFTAR ISI SUSUNAN TIM ......................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................... DAFTAR ISI .............................................................................. DAFTAR TABEL ........................................................................ DAFTAR GAMBAR .................................................................... DAFTAR DIAGRAM ..................................................................
iii v vii xi xiii xvii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1.1. Latar Belakang........................................................ 1.2. Tujuan .................................................................... 1.3. Metode Penelitian ................................................. 1.3.1. Penentuan Lokasi Penelitian ...................... 1.3.2. Cara Pengumpulan Data ............................ 1.3.3. Jenis dan Sumber Informasi ....................... 1.3.4. Cara Analisis data .......................................
1 1 6 6 6 6 7 7
BAB II Bingkai Kebudayaan Daerah Penelitian ....................... 2.1. Sejarah Desa Tugu .................................................. 2.1.1. Perkembangan Desa Tugu ......................... 2.2. Geografi dan Kependudukan ................................. 2.2.1. Geografi Kecamatan Cimanggu, Desa Tugu 2.2.2. Kependudukan dan Mobilitas .................... 2.2.3. Pola Tempat Tinggal ................................... 2.3. Sistem Kepercayaan ............................................... 2.4. Organisasi Sosial..................................................... 2.4.1. Sistem Kemasyarakatan ............................. 2.4.2. Pernikahan dan Sistem Kekerabatan ......... 2.5. Pengetahuan Kesehatan ........................................ 2.5.1. Konsep Sehat dan Sakit .............................. 2.5.2. Pengobatan Tradisional .............................
9 9 11 15 15 17 19 23 29 29 31 33 33 34
vii
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
2.6.
2.7. 2.8. 2.9.
2.5.3. Pengetahuan Makan dan Minum .............. 2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan Mata Pencaharian .................................................. 2.6.1. Sawah ......................................................... 2.6.2. Kebun ......................................................... 2.6.3. Ternak......................................................... 2.6.4. Buruh .......................................................... Bahasa .................................................................... Kesenian ................................................................. Teknologi dan Peralatan ........................................
BAB III POTRET SITUASI KESEHATAN ...................................... 3.1. Kesehatan Ibu dan Anak ........................................ 3.1.1 Pra Hamil .................................................... 3.1.2 Kehamilan................................................... 3.1.3 Persalinan dan Nifas ................................... 3.1.4 Menyusui .................................................... 3.1.5 Neonatus dan Bayi ..................................... 3.1.6 Balita dan Anak .......................................... 3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................ 3.2.1 Persalinan dengan Tenaga Kesehatan ....... 3.2.2 Penimbangan Bayi, Balita dan Anak........... 3.2.3 Pemberian Air Susu Ibu (ASI) ..................... 3.2.4 Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) ................ 3.2.5 Jamban Sehat ............................................. 3.2.6 Pemakaian Air Bersih ................................. 3.2.7 Konsumsi Buah dan Sayur .......................... 3.2.8 Aktivitas Fisik .............................................. 3.2.9 Perilaku Merokok ....................................... 3.2.10 Pemberantasan Jentik Nyamuk ................. 3.3. Kesehatan Lingkungan ........................................... 3.3.1 Sampah....................................................... viii
36 39 42 42 46 50 50 52 53 54 56 56 56 58 61 64 66 67 68 69 71 73 74 76 78 80 83 84 87 88 88
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
3.4. Penyakit Menular ................................................... 3.4.1 Penyakit Kulit ............................................. 3.4.2 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISAP) ...... 3.4.3 Diare ........................................................... 3.5. Penyakit Tidak Menular ......................................... 3.5.1 Asam Urat................................................... 3.5.2 Hipertensi ...................................................
90 90 91 92 93 93 95
BAB IV BANTAHAN, BELENGGU KEPATUHAN PADA KOKOLOT 4.1. Kehamilan (Reneh) ................................................. 4.2. Persalinan (Ngajuru) .............................................. 4.3. Nifas ....................................................................... 4.4. PARAJI, Penolong Persalinan yang Menentramkan 4.5. Kematian ibu bersalin, bukan salah siapa-siapa? ..
98 98 105 109 118 120
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .............................. 5.1 Kesimpulan............................................................. 5.2 Rekomendasi..........................................................
127 127 129
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... INDEKS ................................................................................... GLOSARIUM ............................................................................
130 133 135
ix
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
x
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 1.3 Tabel 1.4 Tabel 2.1 Tabel 2.2
Penyebab Kematian Ibu Maternal di Kabupaten Pandeglang Tahun 2013 ............................................. Penyebab Kematian Bayi Usia 0-28 hari di Kabupaten Pandeglang Tahun 2013 ........................... Penyebab Kematian Bayi Usia 29 hari-12 Bulan di Kabupaten Pandeglang Tahun 2013 ....................... Data 10 Besar Penyakit Di Kabupaten Pandeglang Tahun 2013 ................................................................. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Tahun 2014 ........................... Istilah Lokal dalam Penamaan Sakit ...........................
2 3 4 4 17 52
xi
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
xii
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 2.10 Gambar 2.11 Gambar 2.12 Gambar 2.13 Gambar 2.14 Gambar 2.15 Gambar 2.16 Gambar 2.17 Gambar 2.18 Gambar 2.19 Gambar 2.20 Gambar 2.21
Pohon Bungur Sebagai Asal Usul Desa Tugu ......... Salah satu ruas jalan aspal yang menghubungkan desa ........................................................................ Akses jalan yang menghubungan kampung Cisalada di Desa Tugu ............................................ Pedagang menggunakan mobil los bak untuk berdagang di desa Tugu ......................................... Tiang listrik PLN Desa Tugu, Kampung Lalasari...... Poskes des Desa Tugu ............................................ Rumah Panggung di Desa Tugu.............................. Anyaman Daun Kirai yang digunakan sebagai AtapRumah Panggung............................................ Bungkusan Seren taun ........................................... Kokolot sedang melaksanakan ritual ..................... Slametan yang dilaksanakan pada malam hari sebelum hajat......................................................... Gotong royong membuat panggung dan tenda .... Kegiatan Memasak di Dapur .................................. Kopi sebagai suguhan ketika kegiatangotong royong .................................................................... KegiatanpengobatangratisdiPoskesdes Tugu ........ Kegiatan Posyandu di Desa Tugu ........................... Sistem Irigasi dan Tadah Hujan .............................. Kondisi Lahan Sawah salah Satu Warga................. Kebun Kelapa di Desa Tugu .................................... Pengepul Kelapa Desa Tugu ................................... Pengangkutan Buah Kelapa Menggunakan Los Bak..........................................................................
11 12 13 14 16 18 20 21 23 25 26 30 38 39 42 42 43 45 47 48 48
xiii
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 2.22 Pohon Melinjo sebagai Mata Pencaharian Sampingan Warga .................................................. 49 Gambar 2.23 Acara Marhaban setelah hajat sunat ..................... 53 Gambar 2.24 Barang yang selalu dibawa paraji ketika membantu proses persalinan ................................ 55 Gambar 3.1 Acara akad nikah pasangan muda ......................... 57 Gambar 3.2 Kegiatan Posyandu di Desa Tugu ........................... 58 Gambar 3.3 Ibu dan Bayi mengikuti Posyandu .......................... 65 Gambar 3.4 Paraji sedang mendandani bayi sehabis dimandikan ............................................................ 67 Gambar 3.5 Bidan desa keliling ................................................. 70 Gambar 3.6 Kader Kesehatan Menimbang Balita...................... 72 Gambar 3.7 Jamban Cemplung (kiri) dan jamban LeherAngsa(kanan) ................................................ 78 Gambar 3.8 Sumur Gali sebagai Sumber Air bersih Masyarakat Desa Tugu............................................................... 79 Gambar 3.9 Mencuci peralatan masak (kiri) danpakaian (kanan) di sungai .................................................... 80 Gambar 3.10 Ibu memotong sayur untuk dimasak ..................... 82 Gambar 3.11 Aktivitas Fisik yang dilakukan MasyarakatDesa Tugu ....................................................................... 83 Gambar 3.12 Kebiasaan Merokok masyarakat Tugu ................... 86 Gambar 3.13 Tempat Pembuangan Sampah Rumahtangga ...... 86 Gambar 3.14 Penyakit Kulit atau Dermatitis ............................... 90 Gambar 4.1 Gedog atau urut perut saat hamil yang dilakukan Paraji ....................................................................... 99 Gambar 4.2 Kenit yang dipakai Ibu Hamil untu Melindungi Ibu dari Gangguan Makhluk Halus/Kunti ............... 102 Gambar 4.3 Paraji sedang memberi jampe atau doa padasegelas air putih ............................................. 106 Gambar 4.4 Rumput Fatimah .................................................... 108
xiv
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16
Minyak Kelapa yang digunakan untukmemijatperut ibu yang akan melahirkan ...................................... Pembuatan Sambel Pepeh untuk Ibu Nifas ........... Ibu Nifas bersanda ................................................. Ibu Nifas memakai Sabuk Bereum berisi BijiGabah ................................................................ Tetojer berupa tulisan dari kapur yang ditulisoleh Paraji .................................................... Parutan Kunyit mencegah radang kulit padabayi .. Air untuk memandikan bayi yang telahdiberiramuan ................................................. Air dengan koin serta Beras kencur ....................... Batok kelapa berisi abu dan garam........................ Pereh Mata ............................................................ Hasepan yang diberi tulisan mantra ...................... Tradisi Nyiru ...........................................................
108 110 111 112 113 114 114 115 115 116 117 118
xv
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
xvi
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
DAFTAR DIAGRAM Diagram 2.1 Luas Wilayah Masing-Masing Desa di Kecamatan Cimanggu Tahun 2014 ...........................................
16
xvii
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia, Negara dengan beribu kepulauan yang kaya akan budaya dan keunikan di setiap daerahnya. Beragam suku, kebudayaan, kesenian, bahasa, adat istiadat, tradisi dan kepercayaan memberi warna nan elok. Beragam perbedaan yang sejatinya adalah satu. Masyarakat Indonesia masih percaya bahwa sakit bukan hanya dikarenakan pola hidup yang kurang baik, namun keadaan sakit bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai keadaan dimana seseorang yang sakit juga mendapat pengaruh dari berbagai hal yang bersifat supranatural atau karena gangguan makhluk halus. Kepercayaan tentang hal-hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, antaralain mitos ibu hamil yang rentan diganggu oleh roh jahat sehingga mengharuskan ibu hamil untuk menjalani ritualritual dan memakai jimat pelindung serta melaksanakan pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan makhluk halus/roh-roh jahat. Pantangan atau larangan mengkonsumsi makanan tertentu, yang justru mengurangi pemenuhan gizi ibu hamil sehingga mempengaruhi status gizi ibu hamil yang dapat berdampak pada bayi yang dikandungnya. Kesehatan dan kebudayaan memang dua sisi yang tidak bisa terpisahkan dan saling berhubungan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, ketika menyinggung masalah kesehatan manusia secara tidak langsung akan menyinggung unsur budaya di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Perilaku kesehatan masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh kepercayaan, pengetahuan, lingkungan, nilai moral dan kebiasaan/tradisi. Seperti etnis Sunda di Kabupaten Pandeglang yang masih memegang erat adat istiadat kebudayaan leluhur ketika mengambil tindakan untuk penanganan terkait masalah kesehatan.
1
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu lokasi terpilih untuk penelitian Riset Etnografi Kesehatan tahun 2015. Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)tahun 2013, menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang berada dalam urutan ke-408 yang memiliki indeks rendah sebagai kategori daerah bermasalah kesehatan. Salah satu indikator IPKM tersebut terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak seperti cakupan pemeriksaan kesehatan kehamilan (ANC), persalinan ke tenaga kesehatan, kunjungan ibu nifas, imunisasi bayi dan balita, posyandu ibu hamil dan balita, serta penimbangan rutin untuk memantau status gizi bayi dan balita. Derajat kesehatan masyarakat Pandeglang dapat di ukur dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Banten Tahun 2013, jumlah kasus kematian ibu maternal sebanyak 34. Penyebab kematian ibu maternal di Kabupaten Pandeglang tahun 2013 dapat di lihat pada table 1.1 sebagai berikut: Tabel 1.1Penyebab Kematian Ibu Maternaldi Kab. Pandeglang Tahun 2013 No. 1. 2. 3. 4.
Penyebab Kematian Ibu Perdarahan Hipertensi dalam kehamilan Infeksi Lain-lain JUMLAH
Jumlah 14 8 4 9 34
Persentase (%) 41,2% 23,5% 11,8% 26,5% 100%
Sumber: Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2013.
Berdasarkan tabel tersebut diatas dapat dilihat penyebab kematian ibu tertinggi di Kab. Padeglang adalah pendarahan yaitu sebesar 41,2%.
2
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Data di Puskesmas Cimanggu menunjukkanAngka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang masih tinggi menjadi perhatian dalam penelitian ini. Tercatat di tahun 2014 kasus kematian ibu hamil dan kematian nifas sebanyak 20 kasus, dengan penyebab kematian adalah pendarahan. Ketika penelitian ini berlangsung tim peneliti juga menjumpai secara langsung kasus kematian ibu ketika melahirkan dengan penyebab yang sama yaitu pendarahan. Berdasarkan pencatatan jumlah kematian bayi dan Neonatal di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2013 gambaran penyebab kematian bayi sebagai berikut: Tabel 1.2 Penyebab Kematian Bayi Usia 0-28 haridi Kab. Pandeglang Tahun 2013 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penyebab Kematian Bayi Tetanus Neonatorum BBLR* Afiksia Sepsis Kelainan Kontingenital Lain-lain JUMLAH
Jumlah
Persentase (%)
4 69 73 5 24 152 327
1,2% 21,2% 22,3% 1,5% 7,3% 46,5% 100%
*Berat Badan Lahir Rendah Sumber: Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2013.
3
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Tabel 1.3 Penyebab Kematian Bayi Usia 29 hari-12 Bulan di Kab. Pandeglang Tahun 2013 No 1. 2. 3.
Penyebab Kematian Bayi
Jumlah
Pneumonia Diare Lain-lain JUMLAH
14 1 16 31
Persentase (%) 45,2% 1,2% 51,6% 100%
Sumber: Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2013.
Namun demikian, masalah kesehatan dalam masyarakat bukan hanya masalah kematian ibu dan bayi, melainkan masalah kesehatan secara menyeluruh seperti penyakit menular, penyakit tidak menular, kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. Tabel 1.4 Data 10 Besar Penyakit di Kab. Pandeglang Tahun 2013 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Penyakit ISPA Gastritis Batuk Dermatitis Diare Demam Influenza Hipertensi Sakit kepala Gangguan kulit JUMLAH
Jumlah 151.212 62.821 51.768 42.943 41.905 40.546 30.163 23.922 21.457 17.987 484.724
Persentase (%) 31,2% 12,9% 10,7% 8,9% 8,6% 8,4% 6,2% 4,9% 4,4% 3,7% 100%
Sumber: Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2013.
Data di atas menunjukkan bahwa penyakit ISPA menduduki peringkat paling tinggi yaitu 31,1%. Berdasarkan hasil penelitianpenelitian sebelumnya yaitu penelitian Yuwono (2008) menyatakan
4
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
bahwa faktor lingkungan fisik rumah meliputi jenis lantai, luas ventilasi, kebiasaan merokok anggota keluarga, kelembaban udara dan bahan bakar kayu yang digunakan untuk memasak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Senada denga hasil penelitian yang dilakukan Yusup (2005), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi fisik terhadap kejadian ISPA pada balita. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat mempengaruhi kejadian ISPA. Letak desa-desa yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan masyarakat dan medan yang sulit karena jalan yang rusak, terlebih jika hujan turun, menjadi salah satu faktor penghambat masyarakat untuk menuju ke pusat pelayanan kesehatan.Penempatan Bidan desa sebagai tenaga kesehatan di desa banyak membantu masyarakat dalam pencarian pengobatan. Meskipun, tidak sedikit masyarakat yang berobat ke Dukun. Tingginya angka kematian ibu dan angka kematian anak dari data yang tersaji diatas menjadi salah satu faktor dipilihnya masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sebagai tematik penulisan buku ini.Beragam bantahan/larangan/pantangan yang tidak boleh dilakukan seorang wanita jika dia dalam keadaan hamil, bersalin dan nifas menjadi hal yang menarik untuk dihubungkan terkait dengan Kesehatan Ibu dan Anak yang ada di dalam kebudayaan Sunda khususnya Desa Tugu, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Hal lain yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah masih banyaknya masyarakat yang memilih untuk melahirkan di rumah, bukan di fasilitas kesehatan. Meskipun keberadaan tenaga kesehatan, seorang bidan desa, sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, namun mereka masih memegang erat tradisi leluhur dalam pencarian pengobatan secara tradisonal. Dari uraian diatas maka pertanyaan penelitian yang ingin
5
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
dijawab adalah bagaimana gambaran aspek potensi budaya masyarakat terkait kesehatan di Desa Tugu Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. 1.2 Tujuan 1. Mendeskripsikan dan menganalisis kebudayaan dalam rangka memahami masalah kesehatan ibu dan anak pada etnik Sunda di kecamatan Cimanggu, kabupaten Pandeglang. 2. Menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk penyelesaian masalah-masalah kesehatan ibu dan anak. 1.3 Metode Penelitian 1.3.1 Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian berdasarkan atas data IPKM yang rendah di kabupaten Pandeglang yaitu 408. Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan dengan kepala bidang Promosi Kesehatan (Promkes) Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang menunjukan adanya permasalahan kesehatan khususnya KIA, PM, PTM dan PHBS. Permasalahan tersebut banyak terjadi di Desa Tugu dengan etnis terbanyak adalah Etnis Sunda. 1.3.2 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan metode observasi, observasi partisipasi, wawancara mendalam, mengamati, dan menyimak. Penggalian informasi dengan menggunakan metode observasi dan mengamati serta terlibat dalam kegiatan lingkungan peneliti menetap di lokasi penelitian selama lebih kurang satu bulan guna mendapatkan informasi yang akurat. Peneliti tidak hanya melihat satu permasalahan tetapi peneliti juga akan mengamati perilaku masyarakat terkait budaya kesehatan untuk memperoleh gambaran masyarakat dalam persepsi sehat-sakit.
6
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Keakuratan informasi yang diperoleh peneliti saat melakukan pengamatan dan wawancara mendalam terhadap informan diharapkan dapat menggambarkan secara detail keadaan atau gambaran kesehatan masyarakat setempat dan menangkap fenomena budaya yang berhubungan erat dengan masalah kesehatan. Keaktifan peneliti dalam mengikuti rutinitas sehari-hari masyarakat setempat dapat melengkapi data pengamatan. Dalam pengumpulan data, peneliti merupakan instrumen utama, namun demikian diperlukan pedoman wawancara sebagai instrumen pembantu. Data sekunder diperlukan untuk mendukung hasil eksplorasi. Data sekunder berupa profil kesehatan Provinsi Banten, profil Kesehatan Kabupaten Pandeglang, Laporan tahunan Puskesmas Cimanggu.Informasi yang diperoleh peneliti dilengkapi dengan melakukan penulusaranpustaka terkait sejarah, budaya dan informasi terkait kesehatan. 1.3.3 Jenis dan Sumber Informasi Beberapa informan yang menjadi sasaran peneliti antara lain ibu yang sedang hamil atau pernah hamil dan bersalin beserta suami dan keluarganya. Ibu yang memiliki anak bayi atau balita beserta suami dan keluarganya. Remaja sebaya dan keluarganya. Tokoh masyarakat, tokoh agama atau tokoh adat yang mengetahui budaya dan tradisi setempat. Pengobat tradisional seperti dukun desa, dukun bayi dan informan dari sisi provider adalah petugas kesehatan puskesmas atau bidan desa setempat. 1.3.4 Cara Analisis Data Data yang telah terkumpul dari wawancara mendalam dilakukan atas dasar pemahaman masyarakat akan dikaitkan dengan lainnya. Sehingga data yang diperoleh tersebut membentuk suatu gambaran tentang budaya tertentu. Seperti
yang satu akan yang
7
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
telah diungkapkan oleh Spradley, bahwa budaya merupakan pengorganisasian tentang fenomena material yang terdapat dalam pikiran (mind) masyarakat dan untuk mendapatkannya adalah dengan melalui bahasa. Untuk menganalisis terkait masalah kesehatan peneliti menggunakan modifikasi teori H.L Blum (1974) dan Koentjaraningrat (1979), dalam teori ini mengatakan bahwa status kesehatan masyarakat di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lainperilaku, pelayanan kesehatan, faktor keturunan, lingkungan meliputi: lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan unsur-unsur budaya yaitu organisasi sosial, pengetahuan, teknologi, mata pencaharian, religi dan kesenian.
8
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
BAB II BINGKAI KEBUDAYAAN DAERAH PENELITIAN Banten,akan mengingatkan kami pada kekhasan budayanya antara lain seni bela diri, pencak silat dan debus. Di samping itu terdapat peninggalan warisan leluhur seperti Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang dan masih banyak peninggalan lainnya. Sebagian besar masyarakat memeluk agama Islam berdampingan dengan pemeluk agama lain. Banten terbagi menjadi beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Serang, Tangerang, Lebak dan Pandeglang. Wilayah penelitian berada di kabupaten Pandeglang. Secara geografi Kabupaten Pandeglang terletak pada 6021” – 7010‟ Lintang Selatan dan 104048‟-106011‟ Bujur Timur, memiliki luas 2.747,89 Km2 (274.689,91 ha), atau 29,98% dari luas Provinsi Banten1.Di wilayah kabupaten inilah desa Tugu kecamatan Cimanggu berada. Dari kabupaten Pandeglang desa Tugu dapat ditempuh selama empat jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor, dengan melewati beberapa kecamatan diantaranya adalah kecamatan Panimbang, Cigeulis Dan Cibaliung.Dalam bab ini kami akan membahas mengenai berbagai unsur budaya yang dapat kami temukan di desa Tugu. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (1985:9) 2.1.
Sejarah Desa Tugu Suara kendaraan bermotor terdengar dari kejauhan. Suara deru motor yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, dengan ban offroad agar mudah melalui jalan berbatu dan aspal yang telah rusak 1
Profil Kabupaten 2013
9
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
menjadi pemandangan sehari-hari di Desa Tugu, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandelgang, Provinsi Banten. Desa Tugu, inilah desa yang menjadi salah satu daerah penelitian etnografi kesehatan tahun 2015. Masyarakat Desa Tugu yang ramah menjadikan peneliti merasa nyaman ketika tinggal dan berinteraksi dengan mereka. Suasana pegunungan yang sejuk dan hujan yang masih sering mengguyur daerah ini menambah keasriannya. Mayoritas penduduk desa Tugu adalah suku bangsa/ etnik Sunda. Nama Tugu sendiri berasal dari adanya pohon Bungur yang tumbuh di pinggirKampung TuguGirang, Desa Tugu. Di sekamir pohon Bungur ini terdapat tatakan batu yang tersusun layaknya meja yang dulu dipercaya sebagai tempat pertemuan dan berkumpulnya para wali, sebelum mereka menjalankan tugasnya untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa. Dari pengamatan peneliti, ada lima pohon Bungur yang masih berdiri tegak. Tiga diantaranya tumbuh berjejer diatas tatakan batu besar, sedangkan dua lainnya berada di sebelah utara dan timur dari tatakan batu. Ukuran pohon ini memang lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon lain yang berada disekamirnya. Pohon Bungur dianggap sebagai penanda (Tugu) sehingga desa tersebut dinamakan desa Tugu. Dalam sejarah desa Tugu, pernah ada beberapa orang pengelana yang singgah pada petilasan pohon Bungur. Menurut salah seorang warga Tugu, ada tujuh orang yang berkumpul dan bertemu di lokasi pohon Bungur. Masing masing dari mereka membawa sebuah tongkat. Tongkat-tongkat tersebut kemudian ditancapkan menjadi satu disekamir pohon Bungur sebagai tanda mereka pernah bertemu disana. Beberapa nama tokoh yang dipercaya pernah berkumpul ditempat ini adalah Ki Buyut Ukur, Raden Surya Kencana, Raden Umar Dasim, Syekh Mansyur dan Raden Tampang Langlangbuana.
10
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 2.1 Pohon Bungur Sebagai Asal Usul Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti
2.1.1. Perkembangan Desa Tugu Wilayah desa Tugu meliputi enam kampung, yaitu Kampung Lalasari, TuguHilir, TuguGirang, Cisalada, Cikeuyep dan Sindangjaya. Ketika kami memasuki desa Tugu dari arah Kecamatan Cimanggu, kampung pertama yang akan kami lewati adalah kampung Sindangjaya, kemudian Lalasari, kampung Cisalada, Tugu Hilir, Tugu Girang dan yang terakhir adalah Cikeuyep. Jalan yang menghubungkan antardesa pada kecamatan Cimanggu yang melewati desa Tugu adalah jalan raya Ranca Pinang. Akses jalan mulai berkembang pada akhir tahun 2010-an, sejak keberadaan jalan aspal yang dibangunoleh sebuah perusahaan pertambangan yaitu PT. Cibaliung Sumber Daya dan pemerintah.Dengan adanya jalan ini mobilitas dan perekonomian di desa Tugu menjadi lebih baik.Sebelum jalan yang melintasi desa Tugu ini di aspal, warga sangat sulit mengakses pasar sebagai salah satu tempat jual-beli kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga waktu tempuh pergi-pulang menuju ke pasar memakan waktu hingga
11
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
seharian penuh, dan tidak jarang warga harus menginap di pasar.Saat ini dengan adanya jalan yang menjadi urat nadi transportasi dan menghubungkan desa satu dengan desa lain, mobilitas warga menjadi lebihmudah. Meskipun demikian, dari pengamatan peneliti tampak jalan beraspal yang telah terkikis dan berlubang sulit untuk dilalui.
Gambar 2.2 Salah satu ruas jalan aspal yang menghubungkan desa Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Selain jalan aspal yang menghubungan satu desa dengan lain yang ada di kecamatan Cimanggu, jalan berbatu juga masih dapat kami temui ketika kami ingin menuju ke kampung Cisalada yang merupakan daerah administrasi dari desa Tugu. Jalan berbatu yang belum diaspal, keadaanya akan bertambah parah ketika musim hujan tiba. Kondisi badan jalan menjadi lincin dan sulit untuk dilalui kendaraan bermotor.
12
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 2.3. Akses jalan yang menghubungan kampung Cisalada di Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti
Perekonomian dan pemenuhan kebutuhan pokok menjadi lebih mudah dengan adanya penjual yang menggunakan mobil bak terbuka (pickup) untuk menjual bahan pokok. Para penjual ini, sebagian berasal dari Desa Tugu, berangkat pada pukul dua dini hari menuju pasar Panimbang untuk mengambil barang dagang yang akan dijual secara keliling. Barang yang dijual antara lain adalah buahbuahan dan sayur. Buahan-buahan berupa salak, jeruk, duku dan kelengkeng, serta sayur berupa kangkung, bayam, wortel dan lain sebagainya. Secara tidak langsung keberadaan pedagang keliling ini membantu pemenuhan gizi dari sisi komposisi ragam makanan masyarakat desa Tugu. Hal ini sangat membantu masyarakat dalam pemenuhan konsumsi gizi yang seimbang.
13
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 2.4 Pedagang menggunakan mobil los bakuntuk berdagang di desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti.
Sarana listrik telah tersedia di desa Tugu, meskipun sering terjadi pemadaman arus listrik. Ketika terjadi pemadaman, sinyal dari alat komunikasi akan terputus/hilang. Perkembangan jaman dan arus globalilasi telah merambah hingga ke desa Tugu. Handphone atau telepon genggam telah menjadi alat yang umum dimiliki oleh hampir setiap warga di desa Tugu. Selain itu, televisi sebagai media informasi dan hiburan telah banyak dimiliki oleh masyarakat desa Tugu. Dan setiap televisi menggunakan parabola sebagai penangkap sinyal yang dipancarkan dari berbagai televisi swasta. Tidak jarang pula masyarakat yang memiliki kulkas sebagai alat untuk menyimpan dan mendinginkan berbagai bahan dan makanan.Meskipun listrik telah lama masuk ke desa Tugu, namun ketika malam tiba jalan Raya Ranca Pinang yang menghubungkan berbagai kampung di desa Tugu terlihat gelap karena tidak adanya lampu penerangan jalan yang dipasang.
14
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 2.5 Tiang listrik PLN Desa Tugu, Kampung lalasari Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi Desa Tugu, Kecamatan Cimanggu Luas wilayah Kecamatan Cimanggu lebih kurang adalah 18.878 Ha dan terdiri 12 desa yaitu Desa Mangkualam, Cimanggu, Cijalarang, Ciburial, Padasuka, Batuhideung, Tugu, Cibadak dan Rancapinang. Topografi yang dimiliki Kecamatan Cimanggu adalah pegunungan dan beriklim dingin. Secara Geografis Kecataman Cimanggu memiliki batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cigeulis, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cibaliung, sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sumur dan Taman Nasional Ujung Kulon. Masing masing desa yang berada di Kecamatan Cimanggu memiliki luas yang berbeda-beda sebagai berikut:
15
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Luas Wilayah (Km2) 800 222 1502
1250
1589
Tugu = 250 2500
1815
1690
1300
1537 1213
Tangkilsari
Cimanggu
Waringinkurung
Cijalarang
Ciburial
Padasuka
Mangkualam
Batuhideung
Keramatjaya
Tugu
Cibadak
Rancapinang
Diagram 2.1. Luas Wilayah masing-masing Desa di Kecamatan Cimanggu Sumber : Profil puskesmasCimanggu Tahun 2014
Data tersebut menunjukan bahwa luas desa Tugu menempati urutan kedua terkecil dari 12 desa di kecamatan Cimanggu dengan luas kurang lebih 250 Km2.Adapun jumlah penduduk di Kecamatan Cimanggu adalah 39.168 jiwa.Berikut ini merupakan jumlah penduduk Kecamatan Cimanggu secara lengkap :
16
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Tabel 2.1. Data Jumlah Penduduk Kecamatan CimangguKabupaten Pandeglang Tahun 2014 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Desa
Laki-laki
Perempuan
Rancapinang 1981 1963 Cibadak 1533 1548 Tugu 826 717 Batuhideung 2505 2058 Padasuka 1818 1880 Ciburial 2658 2454 Cijaralang 1514 1430 Cimanggu 1473 1343 Mangkualam 1211 1132 Tangkilsari 2205 1154 Waringinkurung 1382 1376 Kramat jaya 1457 1551 Jumlah 20563 18606 Sumber : ProfilPuskesmas Cimanggu Tahun 2014.
Jumlah KK 1056 1000 504 1075 1094 1281 898 862 724 1016 864 895 11273
Jumlah Penduduk 3944 3081 1543 4563 3696 5112 2944 2816 2343 3359 2758 3008 39168
2.2.2. Kependudukan dan Mobilitas Jumlah penduduk Desa Tugu pada tahun 2014 ada sekamir 1.543 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 826 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 717 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 504 KK. Sarana pendidikan yang dimiliki desa Tugu adalah dua sekolah dasar yang ada di Kampung TuguHilir dan Kampung Lalasari dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Kampung Sindangjaya. Dimasing-masing kampung terdapat sarana peribadatan berupa masjid dan mushola. Mata pencaharian penduduk yang utama adalah sebagai petani sawah dan pemetik kelapa. Mata pencaharian lain yang dimiliki warga adalah pedagang seperti warung, bensin dan dagang dengan mobil los bak. Sebagian besar warga memang masih mengusahakan lahan sawah dan kebunnya sebagai penghasilan utama
17
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
mereka.Sebagian warga bekerja sebagai buruh, seperti buruh tani, kelapa atau kayu dengan pendapatan yang bervariasi. Sarana kesehatan di Desa Tuguberupa sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang dikelola oleh seorang bidan. Poskesdes di Desa Tugu terletak di Kampung Lalasari, dan satu posyandu yang terdapat di Kampung TuguGirang, namun posyandu ini masih menumpang pada salah satu rumah warga yang berstatus sebagai kader.
Gambar 2.6 Poskesdes Desa Tugu Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Di Desa Tugu, sebagian besar masyarakat masih menggunakan sarana air sungai sebagai tempat mandi dan mencuci meskipun sebagian besar memiliki sumur, berupa sumur gali. Hal ini dirasakan oleh masyarakat lebih praktis karena mereka tidak harus menimba air di sumur. Namun dari hasil pengamatan peneliti, kesadaran masyarakat akan kesehatan nampak ketika mereka memasak. Masyarakat telah menyadari akan bahaya penggunaan air sungai jika diminum. Kebutuhan air untuk memasak mereka ambil dari air sumur yang mereka miliki, meskipun satu sumur digunakan untuk beberapa keluarga. Menurut mereka, air sungai saat ini sudah tidak baik untuk memasak karena sudah tercemar dari air bekas cucian kendaraan 18
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
bermotor. Setiap sore, banyak kaum laki-laki yangmencuci kendaraan bermotor mereka, baik sepeda motor maupun mobil seperti pick up ataulos bak. Dengan kehidupan masyarakat yang dekat dengan alam. Masyarakat memanfaatkan lahan mereka dengan baik. Lahan yang dekat dengan hutan menjadi penopang kehidupan mereka. Lahan yang ada mereka tanami dengan berbagai macam vegetasi seperti kelapa, pisang maupun melinjo. Beberapa vegetasi ini memberikan manfaat bagi kehidupan substansi dan ekonomi masyarakat. Selain itu, kayu bakar yang masih menjadi mayoritas bahan bakar untuk memasak dapat dengan mudah didapatkan di sekamir lingkungan yang dekat dengan hutan. 2.2.3. Pola tempat tinggal Rumah merupakan tempat yang penting. Rumah menjadi tempat berlindung bagi setiap individu. Ditempat inilah anggota keluarga pertama kali mendapatkan berbagai macam pembelajaran. Pengenalan terhadap berbagai macam ilmu pengetahuan dan pentingnya sebuah keluarga. Dalam membangun tempat tinggal, etnik Sunda di desa Tugu secara umum memiliki pola linier. Pola linier yang dimaksud adalah dengan mengikuti jalur jalan. Pola tempat tinggal berdekatan dengan tempat tinggal sanak saudara mereka, meskipun tidak berdempetan. Masih ada jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain. Selain mengikuti jalur jalan, pola rumah di desa Tugu, khususnya di dusun TuguHilir dan TuguGirang memiliki pola yang sama dengan mengikuti alur sungai Citugu yang melintasi desa Tugu. Masyarakat desa Tugu akan menghindari membuat rumah di persimpangan atau pertemuan antara dua sungai karena dipercaya akan membuat bala’ atau musibah dan gangguan makhluk halus atau jurig. Selain itu dipercaya akan mendatangkan mara bahaya dan tidak
19
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
akan tentram hidupnya, serta terkena berbagai macam penyakit pada keluarga yangmenempati rumah tersebut. Sebagian masyarakat telah menggunakan semen sebagai bahan dasar untuk membuat rumah. Luas rumah rata-rata sekamir 40 hingga 60 meter persegi. Rumah yang berbahan dasar semen biasanya berlantai keramik dan atap rumah adalah genting. Berdasarkan pengamatan, rumah masyarakat Tugu yang dibangun menggunakan semen, memiliki sistem ventilasi yang minim. Rumah semen ini identik dengan jendela yang tidak dapat dibuka, sehingga sistem sirkulasi udara di dalam rumah kurang. Terlebih ketika memasak, asap yang dihasilkan dari tungku yang masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar akan langsung masuk ke dalam rumah atau ruangan dan akan sulit untuk keluar. Sedangkan model rumah lain adalah rumah panggung setinggi setengah meter dari permukaan tanah. Rumah panggung biasanya berbahan dasar kayu sengon, mahoni dan laban. Bahan dasar kayu digunakan untuk membuat lantai, tembok dan langit langit, sedangkan untuk atap rumah menggunakan anyaman dari daun kirai.
Gambar 2.7 Rumah Panggung di Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti
20
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Menurut mereka ketiga kayu tersebut cepat pertumbuhannya dan cukup kuat. Kayu mahoni dan laban dapat digunakan untuk bahan dasar lantai dan dinding, sedangkan kayu sengon hanya digunakan untuk bahan dasar lantai karena karena kualitasnya masih dibawah kayu mahoni. Rompok(rumah) panggung yang terbuat dari kayu pada masyarakat Sunda rata-rata terdiri dari beberapa ruang, diantaranya adalah ruang tamu berada di depan, dua kamar tidur dan dapur sebagai tempat masak yang berlantai tanah. Pada bagian dapur masih menggunakan tungku berbahan bakar kayu karena lebih mudah diperoleh, terlebih lagi desa Tugu yang sangat dekat dengan hutan. Masyarakat enggan beralih menggunakan kompor gas karena kemudahan memperoleh kayu bakar tersebut. Bagian atap menggunakan anyaman daun kirai yang telah dijemur kurang lebih selama beberapa hari hingga kering dan siap digunakan. Proses penjemuran juga tergantung pada panas matahari.
Gambar 2.8 Anyaman Daun Kirai yang digunakan sebagai Atap Rumah Panggung Sumber : Dokumentasi tim peneliti
Menurut seorang informan, AS, rumah panggung dirasa lebih nyaman. Dia mengaku lebih leluasa membuang ludah disela-sela ruas lantai papan rumahnya.
21
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten “...kalau sekarang orang yang kecil-kecil itu merokok, waktu dulu dari mana rokok?... ni setiap dimana aja saya gini aja (meludah pada kaleng berisi pasir) waktu dulu kan masih panggung masih ada kolong meludah... enak enak...”
Selain itu, AS juga berangapan bahwa rumah panggung yang terbuat dari papan kayu memberikan kedekatan kepada tetangga karena mereka tidak enggan dan segan untuk duduk diteras rumah. Berbeda dengan rumah beton, tetangga enggan dan segan untuk duduk bersama diteras rumah, karenaadanya pagar sebagai batas halaman.Seperti yang dipaparkan oleh AS : “...ini gara-gara bini mau ngrasain bagaimana kalausekarang punya keramik... masih tenang masih panggung, masyarakat banyak yang kesini banyak, tapi kalau sekarang wah keramik malu, pakai pagar wah malu gak berani...tapi kalau sekarang sudah dikeramik mana orang?...”
Masyarakat memiliki kepercayaan ketika tahun baru Islam, mereka mengadakan doa bersama memohon keberkahan kepada Tuhan Maha Esa, dan menaruh bungkusan seren taun yang terdiri dari kemenyan, kapur dan panglai 2 diatas pintu utama rumah mereka.Ketika ada anggota keluarga yang sakit keras atau terkena musibah maka bungkusan ini akan digunakan sebagai obat. Kemenyan dibakar sedangkan kapur dan jahe dikunyah dan diusapkan pada kepala anggota keluarga yang sedang sakit.
2
Panglai memiliki nama latin zingiber cassummunar, tanaman ini sejenis dengan tanaman jahe dan kunyit.
22
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 2.9 Bungkusan Seren taun Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Salah satu informan menuturkan bahwa seren taun bukan hanya sebagai peringatan tahunan dan rasa syukur. Seren taun sebagai simbol keutuhan suatu keluarga atau sebagai identitas keanggotaan sebuah keluarga pada kerabatnya. Seperti yang dituturkan oleh TT : “...kalau misalkan kata orang tua masih di kampung kayak gini, nggak pake seren taun kayak gini ya katanya itu nggak ikut terdaftar... keturunan masing-masing itu mah...”
2.3.
Sistem Kepercayaan Masyarakat Sunda desa Tuguseluruhnya memeluk agama Islam. Kentalnya agama Islam di Desa Tugu tidak terlepas dari Kesultanan Banten yang merupakan salah satu kesultanan yang memeluk agama Islam di pulau Jawa.Saat ini dimasing-masing kampung yang ada di desa Tugu memiliki tempat peribadatan berupa masjid. Kegiatan peribadatan rutin dilakukan setiap harinya. Di kampung Lalasari, kegiatan yang rutin dilakukan adalah yasinan atau pembacaan surat Yasin yang dilakukan oleh anak-anak pada Kamis
23
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
malam. Kegiatan ini dilakukan setelah mereka sembahyang atau menunaikan sholat Isya’, yaitu sekamir pukul tujuh malam. Selain sebagai tempat sembahyang, masjid juga digunakan oleh ibu-ibu majelis taklim setiap Jumat pagi hingga pukul 10. Ibu-ibu majelis taklim mengadakan kegiatan pengajian dengan membaca ayat-ayat Al-Quran yang dilanjutkan dengan sholawatan dan ditutup dengan arisan.Setiap akhir bulan pada hari Jumat, majelis taklimini akanmengadakanpertemuan di salah satu desa yang ada di Kecamatan Cimanggu yang dihadiri oleh majelis taklim dari masing masing desa yang ada di Kecamatan Cimanggu. Pemilihan desa akan dilakukan dengan undian. Perkumpulan majelis taklim dari berbagai desa yang ada di kecamatan Cimanggu ini tergabung dalam Badan Kontrak Majelis Taklim (BKMT). Selain menganut agama Islam, ada beberapa kepercayaan pada masyarakat terkait dengan daur hidup (life cycle). Upacaraupacara dan slametan serta kepercayaan pada jimat sebagai pelindung masih seringkali dilaksanakan oleh masyarakat. Upacaraupacara atau slametan dilaksanakan ketika mengadakan hajatan seperti sunat, pernikahan, bercocok tanam atau rosul taun untuk mensyukuri hasil tanam dan lain sebagainya. Slametan akan diadakan pada malam hari sebelum acara hajat dilaksanakan. Slametan akan dipimpin oleh sesepuh atau kolot. Masyarakat percaya bahwa ketika mereka mengadakan hajat seperti pernikahan atau khitanan, leluhur mereka yang telah meninggal akan datang dan mengikuti prosesi slametan dan hajat. Oleh karena itu, ketika mengadakan slametan ini, kokolot akan menyediakan dan membakar kemenyan serta beberapa batang rokok, menyediakan berbagai jenis minuman seperti air putih, teh manis, teh tawar, kopi manis, kopi pahit, susu manis dan air honje3 sebagai suguhan. Selain beberapa suguhan tersebut, tersedia nasi dan telur 3
Honje memiliki nama latin Etlingera elatior, adalah sejenis tumbuhan rempah.
24
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
rebus yang dibungkus dengan daun pisang yang dibentuk kerucut. Telur rebus yang berbentuk bulat utuh dimaknai sebagai niat kepada Tuhan Yang Esa bahwa keluarga tersebut dengan itikat yang baik dan tekat yang bulat atau utuh ingin mengadakan hajat, seperti sunat atau pernikahan. Setelah semua perlengkapan telah siap, sesepuh akan segera membakar kemenyan dan rokok secara bersama diatas piring. Bahanbahan yang telah tersedia tersebut ditaruh secara berdekatan satu dengan yang lain. Dalam sebuah ruangan, sesepuh sesekali meniup kemenyan, rokok serta beberapa jenis minuman yang ada.
Gambar 2.10 Kokolot sedang melaksanakan ritual sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Setelah melaksanakan ritual, air tersebut dapat diminum oleh siapa saja. Menurut sesepuh, meminum air yang ditujukan kepada leluhur yang dipercaya hadir ditengah-tengah acara slametan ini akan membawa keselamatan, kesehatanserta menunjukan rasa hormat kepada leluhur. Dalam acara slametan para tetangga diundang untuk memanjatkan do’a bersama yang kemudian dilanjutkan dengan menikmati hidangan yang telah disediakan oleh tuan rumah. upacara-
25
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
upacara atau slametan ini bertujuan untuk mencari berkah atau keselamatan supaya acara hajat yang dilaksanakan pada keesokan harinya mendapat restu dari para leluhur dan berjalan dengan lancar.
Gambar 2.11 Slametan yang dilaksanakan pada malam hari sebelum hajat sumber : dokumentasi Tim Peneliti
Kepercayaan lainnya adalah masyarakat percaya adanya rohroh jahat yang menggangu disekamir mereka. Oleh karena itu, mereka menggunakan jimat atau yang sering disebut dengan kenit untuk melindungi diri. Jimat atau kenit ini berupa tali yang dipasangkan pada perut, leher ataupun pergelangan tangan. Pemasangan kenit harus dilakukan oleh sesepuh atau kolot yang dipercaya oleh keluarga atau masyarakat. Ada dua jenisbahan dasar kenit. Untuk laki-laki bahan dasar kenit berasal dari kulit kayu pohon Teureup yang telah dijemur atau dikeringkan, sedangkan untuk perempuan, bahan dasar kenit berasal dariselendang atau jarik keluarga. Sejauh pengamatan peneliti, kenitbanyak digunakan oleh berbagai kalangan mulai dari balita, ibu hamil, remaja hingga orang dewasa yang ingin pergi jauh atau merantau baik untuk mencari ilmu atau mencari pekerjaan. Untuk ibu hamil kenit dipasangkan pada perut. Ini dimaksudkan untuk menjaga ibu hamil serta bayinya dari gangguan 26
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
makhluk halus. Makhluk halus yang sering mengganggu ibu hamil disebut sebagai kunti. Pada balita kenit banyak dipasangkan pada leher, pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Sedangkan untuk remaja dan orang dewasa, kenit dapat ditemukan pada pinggang. Kenit akan dilepas ketika lingkar kenit tidak muat. Larangan Bulan Selain adanya slametan yang dilakukan, masyarakat desa Tugu memiliki kepercayaan pada larangan atau pantangan yang harus dihindari. Salah satunya adalah larangan bulan. Arti larangan ini adalah masyarakat dianjurkan untuk tidak melakukan aktifitas pada bulan dan hari tertentu, misal membeli barang-barang kecuali kebutuhan pokok (pangan), mengadakan hajat, menanam padi atau bercocok tanam serta melakukan pekerjaan di sawah.Masyarakat menggunakan perhitungan bulan pada tahun Islam yaitu bulan Muharam, Sapar, Mulud, Silih Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruah, Puasa, Syawal, Hapid dan Haji. Pada bulan Muharam, Sapar, Mulud masyarakat dilarang untuk melakukan aktifitas tersebut pada hari Sabtu dan Minggu. Bulan Silih Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir dilarang melakukan aktiftas pada hari Senin dan Selasa. Pada bulanRajab, Ruah, Puasa dilarang melakukan kegiatan tersebut pada hari Rabu dan Kamis. Dan terakhir adalah pada bulan Syawal, Hapid dan Haji, larangan jatuh pada hari Jumat. Selain itu, hari Rabu akhir dalam setiap bulannya tidak dianjurkan untuk melakukan kegiatan tersebut. Masyarakat percaya jika dalam bulan-bulan dan hari yang tersebut diatas masih melakukan aktifitas diatas maka harta yang diperoleh tidak berkah dan selalu kurang. Selain itu, jika melanggar dan mendapatkan musibah seperti sakit, maka penyakit yang diderita akan sulit untuk disembuhkan.
27
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Arti sebuah Nama Terdapat sebuah arti dalam sebuah nama. Pemilihan nama dianggap penting bagi masyarakat. Nama merupakan simbol harapan dari orang tua terhadap anaknya. Orang tua selalu mengharapkan keselamatan, kesehatan serta kesuksesan dari kehidupan anaknya. Menurut salah satu sesepuh, nama memiliki beberapa arti yaitu hantelu, bisa nyatu, kekere, panca dan warna. Arti ini diperoleh dari menghitung nama menggunakan haruf Arab dan aksara Jawa. Hantelubermakna baik, nama anak yang berarti sebagai hantelu diharapkan akan menampatkan nasib yang baik. Bisa nyatu dalam bahasa Sunda adalah bisa makan, sehingga bisa nyatu diartikan bahwa dimanapun nama yang memiliki makna ini akan memperoleh jalan rejeki yang lancar oleh Tuhan. Kekere adalah makna nama yang dihindari oleh masyarakat karena dianggap akan mudah sakit. Panca merupakan makna yang dianggap paling baik karena banyak memiliki kelebihan dan akan selalu diberi keselamatan. Terakhir adalah warna dimaknai sebagai perhitungan nama yang baik namun berbahaya ketika memiliki penyakit karena akan sulit untuk disembuhkan. Seperti yang pernah dialami oleh AJ. Nama cucu AJ sebelumnya adalah Dana Hermawan, namun karena cucunya sering nangis tanpa sebab yang pasti maka AJ mengganti nama cucunya menjadi Taryana. “...tadina baru lahir dinamaan namanya itu Dana Hermawan, ieuk naon sering mewek nu kitu-kitu lah.. heu.. sering nangis, itu lahirna di Rumah Sakit Jampang di Sukabumi. Namanya Dana Hermawan karena sering nangis, ganti nama aya nu cees sehat. Ada ririwit kata orang sini nya... ririwit itu hartina sehat nggak nangis, nggak apa tapi badannya kurus kering, sakit asupna, tapi sakitna nggak sakit gering apa muriang, nggak panas tapi itu hartina badannya kurang normal. Yang ririwit itu kadang kadang ceuk urang itu na badan gatal-gatal... heuh ganti nama kalo nggak baik nyah, kalo baik gak apa apa...”
Untuk menghindari keadaan akan adanya hal buruk, pemilihan atau penggantian nama diambil sebagai alternatif dalam kepercayaan 28
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
mereka. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat percaya bahwa penyakit yang diderita, khususnya pada anak, bukan hanya karena kondisi kesehatan yang lemah, demam atau sakit. Namun, ada hal-hal lain yang mempengaruhi kondisi anak yang menyebabkan keadaan mereka dianggap tidak pada keadaan normal. 2.4. Organisasi Sosial dan kemasyarakatan 2.4.1. Sistem kemasyarakatan Keluarga inti merupakan bagian dari sebuah kekerabatan dan masyarakat. Setiap keluarga inti terdiri dari seorang ayah, ibu dan satu anak atau lebih. Seperti halnya dalam sebuah masyarakat, keluarga inti memiliki peran penting dalam mengatur dan mengorganisasi setiap anggotanya. Kolot atau orang tua merupakan orang yang dihormati dan selalu memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan. Eratnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat Sunda terdapat dalam peribahasa “bengkung ngariung, bongkok ngaroyok”. Peribahasa ini bermakna bahwa masyarakat sunda dalam kekerabatannya akan sulit dipisahkan atau berjauhan. Hal ini senada dengan apa yang ada dalam pola perilaku masyarakat di desa Tugu. Eratnya jalinan kekerabatan, salah satunya dapat dilihat ketika kerabat mereka memiliki hajat. Saudara yang berada dekat dan jauh serta para tetangga akan membantu untuk mempersiapkan hajat. Bentuk bantuan yang diberikan dapat berupa materi ataupun tenaga. Bantuan materi yang diberikan adalah beras, kayu bakar atau pisang. Bantuan tenaga ditujukan untuk menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan hajat. Seperti yang dituturkan oleh AJ bahwa ketika kerabat ada yang punya hajat maka biasanya para tetangga akanlilieuran. “...sudah kebiasaan adat di kampung itu, kalau ada punya lagi bawa, tuker, nggak jadi utang, kalau ada rizki kami kasih, kalau nggak ada gak apa apa,
29
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten kalau main duit main duit terus nggak kebiaya makanya kalau di kampung itu istilah kampung mah lilieuran, gotongroyong...”
Masyarakat desa Tugu akan saling membantu dan bergotongroyong jika kerabat atau tetangga mereka mengadakan hajat, ini dimaksudkan untuk meringankan beban.Hajat menjadi salah satu media bagi setiap anggota masyarakat untuk saling membantu. Dengan keikhlasan, para tetangga dan kerabat datang untuk membantu, bergotong royong. Seperti yang terlihat ketika salah satu warga Tugu akan mengadakan hajat sunatan, satu minggu sebelum acara sunat, para tetangga telah datang untuk membantu. Tugas bagi kaum laki-laki adalah untuk mendirikan tenda dan panggung, sedangkan para wanita sibuk di dapur untuk memasak dan mempersiapkan makanan. Tidak ada pembagian tugas yang pasti dalam pembuatan kegiatan gotong royong, dalam hal ini adalah membuat panggung dan tenda. Setiap kerabat dan tetangga membantu melakukan tugas mereka dengan kemampuan mereka masing-masing. Ada yang mencari bahan seperti kayu dan bambu dapat diperoleh dari hutan, membersihkan tempat untuk mendirikan tenda.
Gambar 2.12 Gotong royong membuat panggung dan tenda Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
30
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Bagi kaum wanita, sama halnya dengan laki-laki, tidak ada pembagian kerja yang pasti. Setiap wanita, sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, ada yang mengupas dan membersihkan bumbu dapur, menyiapkan kayu bakar, mencuci dan menghidangkan makanan untuk laki-laki yang bekerja mendirikan panggung. 2.4.2. Pernikahan dan Sistem Kekerabatan Seperti halnya sebuah masyarakat, pernikahan menjadi salah satu hal penting dalam terciptanya hubungan antara keluarga satu dengan keluarga lainnya. Dari pernikahan inilah tercipta hubungan yang saling mengikat satu sama lain. Pernikahan menjadi suatu hal yang sakral dalam agama. Begitu pula yang terjadi dalam masyarakat Sunda. Perkawinan merupakan proses penyatuan dua kelompok yang tak bersaudara atau pengukuhan keanggotaan menjadi satu kelompok endogam bersama. Tetapi di Jawa hanya melibatkan dua keluarga inti yang akan dipersatukan kemudian ditandai dengan lahirnya seorang cucu yang merupakan milik bersama. Dan anggota keluarga besar dari masing masing pihak akan memberikan dukungan yang dapat berupa sumbangan, bantuan dan kesaksian masing masing sesuai dengan hubungan terhadap pengantin (Hildred Geerzt, 1983:58) Pernikahan di desa Tugu dilegalkan ketika perempuan telah mengalami masa haid, meskipun dia masih sangat muda. Sedangkan untuk laki-laki adalah sudah melewati masa balighatau keluar mani. Pernikahan tidak dianjurkan ketika terdapat hubungan darah, karena ini dianggap melanggar norma agama. Dalam bukunya yang berjudul Keluarga Jawa, Hildred Geertz menjelaskan bahwa bagi seorang anak perempuan, masa remaja diawali dengan menstruasi pertama sedangkan bagi anak laki-laki adalah dengan upacara khitanan. Khitan biasanya dilakukan ketika anak berumur 8 hingga 14 tahun baik berdasarkan atas bujukan orang
31
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
tua ataupun permintaan dari anak itu sendiri yang merasa dirinya sudah dewasa. Khitan juga hanya langkah awal bagi anak laki-laki menuju dewasa. Pernikahan dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu lamaran dan ijab kabul. Tahap pertama, pihak laki-laki akan datang pada pihak keluarga perempuan dengan maksud untuk melamar. Saat melamar pihak laki-laki dan perempuan melakukan negosiasi dan keputusan mengenai mas kawin dan hari baik dilaksanakannya pernikahan. Mas kawin yang diberikan merupakan permintaan dari pihak perempuan. Tidak ada aturan khusus yang menentukan besaran mas kawin. Tahap kedua adalah ijab kabul, yaitu perjanjian antara dua belah pihak untuk membina dan membentuk sebuah keluarga dan menjadi hal yang sakral. Karena sifatnya yang sakral, pernikahan menjadi hal yang penting untuk mengatur pergaulan. Termasuk pergaulan pada remaja atau pemuda. Oleh karena itu, tingkat pergaulan yang melanggar norma dan nilai pada remaja berbeda jenis kelamin mendapatkan perhatian khusus pada masyarakat, hal ini mengakibatkan banyak terjadi nikah muda. Pernikahan dengan tingkat umur SMP atau pun lulus SMA sudah menjadi hal yang wajar, dan sudah dianggap mampu untuk membina rumah tangga. Meskipun oleh negara pernikahan dibawah umur tidak dilegalkan. Pernikahan merupakan jalan yang tepat untuk menjaga norma dan nilai agama, serta nama baik keluarga. Menurut penuturan beberapa informan. Nikah muda menjadi hal yang biasa dan diperbolehkan ketika dua orang saling menyukai.Ketakutan hamil diluar nikah dan berbuat dosa menjadi alasan kuat mengapa jalan pernikahan ini diambil agar keluarga tidak menanggung malu. Pernikahan dilakukan dengan kesepakan antara keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan, dan yang terpenting dalam pernikahan adalah saksi dari masing masing pihak dan penghulu yang menikahkan mereka. 32
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Hal ini menimbulkan banyak kendala dalam pencatatan data penduduk negara karena pernikahan yang dilaksanakan tidak tercatat dalam KUA, sehingga kebanyakan dari keluarga yang menikah muda tidak memiliki buku nikah yang dikeluarkan oleh negara. Hal ini juga berdampak pada pengajuan kartu jaminan kesehatan.Kartu Jaminan Kesehanan Nasional (JKN) berupa kartu BPJS tidak bisa diurus bila tidak ada Kartu Keluarga (KK). Bila Pernikahan tidak tercatat di KUA atau pasangan tidak mempunyai buku nikah maka tidak akan bisa mengurus Kartu Keluarga. Hal ini merupakan salah satu kendala terkait akses kepesertaan BPJS yang merupakan program JKN. Jalan nikah muda dipilih sebagai jalan untuk membina rumah tangga agar tidak membebankan orang tua karena biaya pendidikan. Sehingga tidak sedikit dari masyarakat yang putus sekolah dan memilih untuk membina rumah tangga. 2.5. Pengetahuan kesehatan 2.5.1. Konsep sehat dan sakit Seseorang dikatakan sehat adalah orang yang tidak terganggu jasmani dan rohaninya. Sehat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan wajar, seperti pergi ke sawah, mengangkat beban yang berat atau melakukan aktifitas lainnya. Seseorang dikatakan sakit apabila badan terasa panas, pusing dan tidak dapat beraktifitas seperti biasanya. Terdapat dua kategori sakit yang sering disebut oleh masyarakat, yang pertama adalah sakit yang berkaitan dengan badan atau kondisi tubuh.Katagori sakit yang kedua adalah gelo atau gangguan jiwa yang bisa diakibatkan oleh gangguan makhluk halus atau yang sering disebut sebagai jurig. Respon dari keluarga orang yang menderita sakit terlihat cepat. Ketika anggota keluarga mereka merasakan sakit, maka mereka akan membawa ke bidan atau sesepuh untuk diobati. Semenjak
33
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
adanya bidan desa, pemilihan pengobatan ke tenaga kesehatan lebih dulu dilakukan. Jika penyakit tersebut dirasa tidak dapat disembuhkan secara medis maka alternatif selanjutnya adalah dengan pengobatan tradisional melalui dukun. Penyakit-penyakit yang terasa dibadan biasanyamencari alternatif dengan cara datang ke bidan. Tetapi penyakit gelo yang karena diganggu oleh jurig biasanya masyarakat akan datang pada sesepuh desa yang dapat mengobati penyakit. 2.5.2. Pengobatan tradisional Layanan kesehatan yang membaik dan informasi yang masuk dengan pesat ke masyarakat membuat masyarakat desa Tugubanyak menaruh perhatian pada pelayanan kesehatan yang ada. Masyarakat menilai dengan adanya bidan desa menjadi mudah untuk memeriksakan diri pada petugas kesehatan. Keadaan ini membuat masyarakat sedikit demi sedkit mulai melirik sistem pengobatan medis dari pada tradisional. Namun, masyarakat tidak begitu saja meninggalkan pengobatan tradisional. Pengobatan secara tradisional mereka pilih ketika pengobatan medis pada tenaga kesehatan tidak membuahkan hasil. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang informanAJyang dipercaya masyarakat sebagai sesepuh yang dapat mengobati penyakit : “...kadang kadang, ada yang sasap kesini insyaAllah diobatin, kalo harido Allah, alhamdulillah ada yang sehat, ada yang tidak gitu... sakitnya ruparupa, kalau bu dokter nggak bisa ka bidan nggak bisa hatenya ada penyakit lain, ditarehaken...”
Salah satu contoh pengobatan yang dilakukan untuk mengobati demam adalah dengan cara menumbuk ketela hingga halus, kemudian diberi garam dan ragi serta sedikit air. AJ yang dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan penyakit mengaku
34
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
bahwa dia membacakan jampe saat mengobati pasien dan jampe yang paling manjur adalah membaca dua kali kalimat Syahadat. Pengaruh agama Islam pada masyarakat Sunda memang sangat kental, meskipun mereka masih mempercayai hal gaib yang diwariskan oleh sesepuh mereka, namun mereka masih taat dalam tuntunan agama Islam. Salah satunya adalah dalam hal menyembuhkan penyakit, kalimat Syahadat merupakan kalimat yang dianggap penting dalam doa untuk mengobati berbagai macam penyakit. “...atu kadang-kadang ditiup, itu penyakitnya bangga atau tidak, itu biasanya penyakit gelo, tapi belum lama, baru sebulan dua bulan, kalu sudah lama nggak bisa, susah... air sama kemenyan, sama doa-doa dina qur’an kalau ketemu ayat sabaraha ayat naon, ulama ulama anu hatena haram ngabakar-bakar menyan, cuman pokokna percaya ka Allah, sifat jalma teu bisa apa-apa, berusaha nu perlu mah...”
Selain itu, penyakit yang dianggap berat adalah penyakit gelo atau sakit jiwa. Menurut AJ, jika penyakit gelo ini masih pada tahap ringan maka penyakit ini dapat disembuhkan. Bagi AJpenyakit gelodiakibatkan karena gangguan makhluk halus.Dalam melakukan pengobatan diamengaku membutuhkan satu gelas air putih dan kemenyan.Kemenyan digunakan untuk menghubungkan atau sebagai alat perantara berinteraksi antara AJ dengan makhluk halus yang ada di dalam tubuh orang yang sakit. “...kalau kemenyan itu sama, cuman kalau kemenyan itu surat,, pesan... kalau urang goib itu menyan hartina... wangi-wangian itu untuk para goib, supaya yang nempel hartina urang itu mulang... ya balik lagi ke kalau ke gunung kalau asal lautan ke lautan itu pendapat abah juga gitu...”
Dalam bukunya yang berjudul Terapi Air Putih, Puspitarani menjelaskan bahwa prof. Hardinsyah seorang pakar gizi dan IPB mengemukakan, mengkonsumsi air dengan suhu yang terlalu panas ataupun terlalu dingin akan membawa dampak yang kurang baik bagi tubuh, karena organ pencernaan di dalam tubuh akan ikut
35
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
menyesuaikan pada suhu yang diterima. Sehingga sangat disarankan untuk mengkonsumsi air minum dengan keadaan normal. Puspitarani menjelaskan bahwa air dapat menjadi alat untuk menyalurkan pesan, doa, harapan dan pikiran yang positif. Air akan merespon sejalan dengan perlakuan kami terhadapnya, jika perlakuan kami baik dan positif maka air tersebut juga akan merespon dengan cara yang positif, sehingga dengan metode atau doa dan pikiran yang positif air dapat menjadi media penyembuhan yang baik.(Puspitarani, 2012) Sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Puspitarani, masyarakat Tugu menggunakan media air sebagai penyembuh. Dengan doa, pikiran dan hati yang bersih serta selalu ingat dan bersyukur kepada Tuhan, air dianggap mampu menyembuhkan seseorang dari berbagai penyakit. Seperti yang diungkapkan salah seorang informan AB. “...Iya. Di bawa ka ieu nya ka mantri teu cageur sepertina nya, ceuk itu jadi lain mantrieun ieu mah kudu dibawa ka kolot kampung, kitu nya. Ari ka tanggalna mah Alhamdulillah kitu cageur, sehat... Air putih di ieu di syareatan, saperti kulhu kitu nya tujuh kali sepertina nya, jadi bikeun kanuhalangan nya....”
AB, mengaku berbagai macam penyakit akan dapat disembuhkan dengan air putih. Air putih yang telah dibacakan do’a dari ayat-ayat suci Al Quran seperti surat Al-ikhlas dan Yasin dianggap sebagai media paling baik. AB menambahkan bahwa yang terpenting adalah ridho Tuhan. Tanpa adanya ridho dan ijin dari Tuhan penyakit apapun tidak akan mampu diobati meskipun sudah mencari pengobatan pada tenaga kesehatan. 2.5.3. Pengetahuan Makanan dan Minuman Seperti masyarakat pada umumnya, masyarakat desa Tugu memiliki dapur yang dibuat pada bagian rumah paling belakang. Disinilah pengolahan makanan dilakukan. Beberapa diantara masyarakat ada yang sudah menggunakan gas elpiji namun dekatnya
36
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
hutan dengan masyarakat menjadikan hampir seluruh masyarakat masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar utama mereka. Menurut mereka, kayu sangat mudah di dapat di hutan dan kebun yang mereka miliki daripada harus menggunakan bahan bakar lainya seperti minyak dan elpiji. Terlebih lagi mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kayu, seperti halnya gas elpiji yang terkadang harganya sering naik. Di dapur rata-rata terdapat lebih dari satu tungku yang berjejer untuk memasak. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar terletak tidak jauh dari tungku. Dalam mengolah makanan atau memasak, masyarakat telah memiliki kesadaran tentang kebersihan dari masakan. Air yang digunakan untuk memasak mereka ambil dari sumur yang mereka miliki. Air yang digunakan untuk memasak tidak lagi mereka ambil dari sungai yang saat ini masih sering mereka gunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Mereka lebih memilih menggunakan air sumur untuk memasak, minum dan mencuci piring.Sayuran dan ikan asin menjadi menu yang banyak diolah oleh masyarakat. Menurut mereka, bahan sayuran mudah didapat dikebun seperti daun melinjo muda, melinjo, singkong atau bayam. Sedangkan ikan asin, mereka peroleh dari pedagang los bak yang setiap hari selalu menjajakan segala macam lauk-pauk dan bumbu bumbu dapur. Masyarakat percaya bahwa segala yang diterima merupakan rizki dari Tuhan, begitu pula dengan apa yang akan mereka konsumsi dan segala sesuatunya harus disyukuri. Sebelum memasak nasi menurut salah satu informan, TT, dia menggunakan jampe atau doa agar masakannya menjadi enak dan diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa.Jampe ini dia peroleh dari orang tuanya.Setiap keluarga memiliki doa atau jampe yang berbeda ketika ingin memasak, namun inti dari doa atau jampe yang digunakan adalah sama yaitu untuk memohon diberi kenikmatan dan keberkahan.
37
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Menurut TT hal terpenting dari jampe atau doa ini ada pada kalimat pertama yaitu membaca syahadat sebanyak dua kali. Jampe atau doa ini diucapkan sebelum atau bersamaan ketika mengambil beras, salah satu jampe atau doa yang digunakan yang dipaparkan informan TT sebagai berikut : syahadat (2X) sukma nu nyiekeun sukma nu disiekeun rohani panuntun iman, ya iman dawiyah dawiyah anawekaken cipta, rasa sukma langgeng, teuken ku ewah ewah berkah lailahailallah muhammadan rosulullah
Gambar 2.13 Kegiatan Memasak di Dapur Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Makan memang menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia agar asupan gizi yang ada dalam tubuh terjaga. Dari makanan ini akan diperoleh kalori sehingga tubuh memiliki tenaga dan mampu melakukan aktifitas fisik. Bagi kaum laki-laki kebanyakan, setiap selesai makan baik pagi, siang ataupun malam merasa tidak lengkap jika tidak ngopidan merokok.Dari hasil pengamatan, jenis kopi atau
38
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
merek kopi yang banyak beredar di masyarakat adalah kopi lampung. AR mengatakan bahwa : “...kopi lampung mah beda dengan kopi lain, kalau kopi lainnya seperti torabika atau kapal api itu sudah dicampur gula, kalau kopi lampung belum, jadi kami bisa suka suka kasih gula sesuai selera...”
Mengkonsumsi kopi dan rokok sudah menjadi kebiasaan masyarakat ketika berkumpul atau bertamu. Dalam bergotong royong pada orang yang memiliki hajatan, kopi dan rokok menjadi salah satu hal yang selalu dihidangkan oleh yang mempunyai hajat. Menurut salah seorang informan, meskipun rokok dan kopi ini bukan hal wajib, namun ketika bergotongroyong serasa ada yang kurang ketika kami tidak menyuguhkan kopi dan rokok.
Gambar 2.14 Kopi sebagai suguhan ketika kegiatan gotong royong Sumber : Dokumentasi tim peneliti
2.5.4. Pengetahuan tentangPelayanan Kesehatan Pada umumnya, masyarakat di desa Tugu telah sadar akan pentingnya pelayanan kesehatan dan memanfaatkan pengobatan secara medis seperti di puskesmas atau di Poskesdes. Setiap Poskesdes di kecamatan Cimanggu telah dilayani oleh seorang bidan. Bidan sendiri dibantu oleh beberapa kader di setiap kampung, sehingga memudahkan bidan dalam melayani masyarakat terutama
39
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
pada saat posyandu. Kader yang ada di desa Tugu membantu bidan dalam melayani pengobatan murah yang diadakan setiap bulannya.Masyarakat desa Tugu yang telah memiliki bidan dan kader ini merasa terbantu dalam mengakses pelayanan kesehatan. Tidak jarang dari mereka yang datang langsung ke poskesdes untuk memeriksakan diri. Menurut pandangan masyarakat, pelayanan yang diberikan kepada mereka dirasa cukup memuaskan. Bidan yang selalu siaga menjadi nilai tambah dimata masyarakat. Bidan yang dapat dipanggil dan dijemput setiap saat membuat warga merasa tenang ketika ada anggota keluarga mereka yang sakit dan butuh pengobatan secara medis.Bidan yang sering mendatangi rumah warga yang sakit menjadi hal yang biasa terlihat di desa Tugu. Hal ini dirasa lebih mudah karena akses jalan yang sulit dan jauh jika warga yang sakitlah yang datang ke Poskesdes. Pelayanan yang baik membuat meningkatnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan. Hal ini terlihat ketika adanya posyandu dan pengobatan murah yang dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti bidan dan kader. Melalui posyandu para ibu hamil dan ibu menyusui balita ramai memeriksakan diri. Posyandu sebagai ajang bagi para ibu ibu untuk menanyakan berbagai macam keluhan yang dirasakan oleh buah hatinya. Begitu pula pada pengobatan murah yang dilakukan. Baik warga usia produktif dan non-produkti atau lanjut, tidak segan untuk datang dan ke pustu dan menceritakan segala keluhan yang dirasakan.Pengobatan murah ini dirasakan memiliki banyak manfaat oleh masyarakat. Dari sini mereka dapat menambah pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang dideritanya secara medis. Bagi masyarakat yang memiliki kartu BPJS dan KIS pengobatan murah ini tidak akan dipungut biaya, namun bagi mereka yang belum memiliki kedua kartu ini, maka biaya akan dibebankan sebesar Rp 7.000,00.
40
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Namun, dibalik antusiasnya masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan ini. Adapula dari mereka yang beranggapan bahwa pengobatan yang memakan biaya besar atau mahal saja belum tentu sembuh, apalagi pengobatan murah atau gratis, apakah bisa sembuh? Pengobatan murah yang diberikan oleh tenaga kesehatan memang tidak sepenuhnya dapat menjamin kesembuhan secara keseluruhan. Namun, dengan adanya kegiatan ini setidaknya masyarakat dapat dengan mudah dan mampu untuk mengakses layanan kesehatan dan memperoleh informasi kesehatan secara medis. Manfaat dari BPJS dan KIS sangat penting. Dengan kartu ini, masyakarat dengan tingkat ekonomi yang rendah akan lebih mudah dalam menjangkau dan mengakses layanan kesehatan. Masyarakat Tugu sendiri merasa terbantu dengan adanya kartu ini. Namun, yang masih menjadi masalah yang harus dikaji kembali adalah distribusi kartu pada masyarakat. Ketidaktepatan sasaran masih kerap terjadi di dalam masyarakat. Menurut TT, di desa Tugu masih banyak keluarga dengan tingkat ekonomi rendah tidak mendapatkan akses kartu BPJS. Pendataan yang dilakukan dianggap tidak tepat karena pendataan dilakukan pada semua penduduk, bukan tertuju langsung pada penduduk yang benar-benar tidak mampu. Sehingga distribusi kartu tidak tepat sasaran karena yang menjadi penerima adalah orangorang yang dirasa mampu dan berkecukupan.
41
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 2.15 Kegiatan pengobatan gratis di Poskesdes Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti
Gambar 2.16 Kegiatan Posyandu di Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti
2.6. Mata pencaharian 2.6.1. Sawah Mata pencaharian mayoritas masyarakat desa Tugu adalah petani. Lahan sawah yang dimiliki oleh masyarakat hanya digunakan untuk menanam padi. Selama satu tahun masyarakat dapat menanam padi sebanyak dua hingga tiga kali. Masyarakat jarang yang mengusahakan tanaman tumpang sari. Sehingga padi merupakan satu
42
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
satunya hasil yang diperoleh dari sawah. Padi yang ditanam adalah jenis pare gajah, pare sepuluh. Sawah yang dimiliki oleh warga sangat tergantung dengan sistem irigasi dari sungai dan tadah hujan, sehingga ketergantungan akan air untuk pengairan sawah sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan mereka tidak dapat memanfaatkan lahan sawah selama setahun penuh. Pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang sedikit, kegiatan pertanian masyarakat di desa Tugu seakan mati. Sehingga masyarakat beralih ke kehutan dan kebun untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Gambar 2.17 Sistem Irigasi dan Tadah Hujan Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Ketika musim tanam tiba, sebagian masyarakat memiliki tradisi untuk memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar sawah dan hasil panen mereka diberkahi dan diberikan hasil panen yang berlimpah. Mereka akan mengadakan slametan terlebih dahulu, pada malam sebelum tanam. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan.
43
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten “...misal besok mau tandur gitu ya ntar malam didoain di rummah terus besoknya langsung tandur, kan yang suka nanamin pas nanamnya itu kakak saya yang pertama nancapin padinya...”
Seperti yang dijelaskan oleh TN, ketika dia ingin mulai tanam dia mengadakan slametan yang dipercayakan kepada kakaknya. Nantinya, kakaknya yang akan memulai segala sesuatunya terlebih dahulu mulai dari menanam atau menancapkan bibit padi di sawah, hingga mencicipi nasi hasil panen. Pada malam hari sebelum tandur. TN beserta keluarga menyiapkan beberapa hal diantaranya adalah tujuh macam air, seperti air putih, kopi pahit dan manis, teh manis dan pahit, susu dan air rujak asam. Bahan lain berupa nasi dan yang terpenting menurut dia adalah telur utuh meskipun hanya satu. Menurut salah satu informan, setiap keluarga atau keturunan memiliki doa yang berbeda meskipun inti dari doa atau jampe tersebut sama, yaitu untuk memohon rizki, hasil panen yang berlimpah dan berokah untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Doa ini diturunkan dari generasi ke generasi dan tabu jika disebutkan ketika tidak pada kegiatan tanam. Untuk pewarisannya sendiri ada waktunya. Waktu pewarisan doa atau jampe ini pada saat anak lakilaki mereka telah siap berumah tangga dan bercocok tanam sendiri, dan jampe ini tidak boleh diceritakan atau diajarkan kepada siapapun kecuali pada keturunannya. Hasil dari panen padi sebagian besar memang tidak untuk diperjualbelikan. Seperti salah seorang informan, sawah yang dia garap saat ini bukan milik pribadinya, melainkan milik kakaknya. Sistem maro digunakan untuk membagi hasil dari pertanian. Hasil pertanian dibagi rata antara pemilik sawah dan penggarap. Hasil yang diperoleh dari sawah yang dia garap sebanyak 13 karung gabah. Dari 13 karung gabah ini, dia mendapatkan tujuh karung, sedangkan pemilik sawah akan mendapatkan enam karung gabah.
44
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
“...apasih namanya kalau itu, nengah, jadi kalau kami udah panen, itu dibagi sama yang punya sawah, misal 13 karung paling yang punya sawah itu 6, jadi dibedakan satu karung...”
Menurut dia, semua biaya yang dikeluarkan untuk mengolah sawah berasal dari pemilik lahan seperti pupuk dan benih. Jika si penggarap terpaksa membiayai dalam perawatan pertanian, seperti halnya pupuk, maka sebelum pembagian hasil pertanian penggarap berhak untuk mengambil gabah seberat pupuk yang digunakan untuk perawatan dalam satu kali masa tanam. Seperti yang diungkapkan TN : “...tapi kalau pupuknya kami beli sendiri ya ganti buat pupuk dulu berapa, satu kintal misalkan ya padinya satu kintal lagi gitu, ntar sebelum dibagi ambil dulu buat ganti pupuknya...”
Harga satu karung pupuk adalah Rp 250.000,00. Dalam satu kali masa tanam memerlukan dua karung pupuk.Masing-masing adalah pupuk Urea dan pupuk TSP.
Gambar 2.18 Kondisi Lahan Sawah salah Satu Warga Sumber : Dokumentasi tim peneliti
Seperti halnya AK yang menggunakan jasa buruh cangkul. Upah yang diberikan pada buruh cangkul adalah Rp 50.000,00 per hari per satu orang sedangkan AK membutuhkan rata-rata empat hingga lima orang untuk mencakul sawahnya agar dapat ditanami. Selain memberikan upah Rp 50.000,00 pada setiap buruh cangkul, AK juga 45
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
berkewajiban untuk memberikan makan siang bagi para buruh cangkul. “...mencangkul di sawah ya eta mah Rp 50.000,00 sehari ada yang Rp 30.000,00 ada yang Rp 40.000,00 itu tergantung ngasihnya tapi biasa Rp 50.000,00... iya, ngasih itu ngasih makan,gula, kopi, rokok, ikan... ya nasi sama ikan, gula, kopi, rokok, banyak...ada traktor cuman sawahnya segini dalamnya...”
Kondisi lahan yang berbukit membuat traktor tidak dapat masuk ke lahan sawah untuk mengolah lahan sebelum ditanami sehingga buruh cangkul menjadi satu-satunya pilihan meskipun biaya mengolah lahan dirasa mahal oleh AK. 2.6.2. KebunKelapa Hutan dan kebun menjadi suatu tempat yang dekat dan kental dengan masyarakat Desa Tugu. Rumah dengan pola linier memperlihatkan bahwa rumah yang mengikuti jalur jalan dan sungai berjejer dan tidak jarang yang saling membelakangi. Oleh karena itu, di belakang rumah rata-rata warga adalah hutan dan kebun.Kebun yang dimiliki telah lama diusahakan warga untuk penghasil kelapa. Kelapa menjadi sumber uang yang dimiliki kebanyakan masyarakat Desa Tugu. Kelapa ini dijual dengan harga Rp 1.300,00 per-buahnya. Setiap hari selalu ada mobil pick up atau yang sering disebut dengan los bak. Satu los bak dapat mengangkut 2.000 hingga 3.000 buah. Masyarakat biasanya akan menimbun buah kelapa selama satu bulan, dan kemudian dikirimkan ke Pasar Cibaliung atau Pasar Panimbang.
46
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 2.19 Kebun Kelapa di Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti
Buah kelapa menurut pengakuan informan dapat dipetik satu bulan sekali, dengan banyaknya pohon yang dimiliki warga maka mereka dapat mengusahakan pohon kelapa ini secara berkesinambungan, apalagi pohon kelapa tidak mengenal musim. Sehingga setiap hari jika mereka mampu, mereka dapat memetik buah kelapa yang sudah tua. Beratnya pekerjaan memetik buah kelapa, tidak jarang pagi petani kelapa akan meminta bantuan orang lain untuk memetikkan buah kelapa dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang digunakan adalah maro, sehingga jumlah penghasilan yang didapat saat memetik buah kelapa akan dibagi sama rata antara si pemilik dan si buruh. Dengan tugas buruh adalah memetik kelapa, mengupas hingga memikul buah kelapa sampai pada tempat pengangkutan mobil los bak.
47
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 2.20 Pengepul Kelapa Desa Tugu Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Seperti halnya AR dia mengaku bahwa kelapanya dapat dipanen kurang lebih satu kali dalam satu setengah bulan. Dengan luas lahan satu Ha, terdapat sekamir 120 pohon kelapa dan satu batang menghasilkan 10 buah kelapa, dengan harga saat mencapai Rp 1.300,00 maka dengan lahan satu Ha rata-rata pendapatan yang akan diterima kurang lebih adalah Rp 1.560.000,00 per satu setengah bulan.
Gambar 2.21 Pengangkutan Buah Kelapa Menggunakan Los Bak Sumber : Dokumentasi tim peneliti
48
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Melinjo Melinjo merupakan salah satu penghasilan dari masyarakat. Dalam satu tahun melinjo dapat dipanen sebanyak dua kali. Harga satu kilo melinjo bekisar antara Rp 4.000,00 hingga Rp 5.000,00. Penjualan melinjo dari warga melalui pengepul yang ada di Desa Tugu, sehingga dari pengepul ini kemudian akan dibawa ke pasar Cibaliung ataupun Panimbang.Buah melinjo pertama-tama harus dikupas terlebih dahulu untuk mendapatkan bijinya. Biji ini kemudian dijemur selama kurang lebih satu hingga dua hari. Biji melinjo biasanya akan diolah menjadi emping, sedangkan kulit melinjo dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk membuat sayur, seperti sayur asam.
Gambar 2.22 Pohon Melinjo sebagai Mata Pencaharian Sampingan Warga Sumber : Dokumentasi tim peneliti
Seperti pengakuan AS. Dia memiliki lebih dari 30 pohon melinjo. Satu pohon melinjo dapat menghasilkan 10 hingga 20 kilo buah melinjo. Jika dikalkulasikan dengan harga satu kilogram melinjo adalah Rp 5.000,00 maka dari satu pohon melinjo, AS dapat memperoleh penghasilan sebesar Rp 50.000,00 hingga Rp 100.000,00. Untuk 30 pohon melinjo jika panennya bagus maka dia akan memperoleh Rp 3.000.000,00 per enam bulan. Oleh sebab itu, jika
49
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
masyarakat hanya menggantungkan hidupnya pada satu mata pencaharian saja maka dia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. 2.6.3. Ternak Secara umum mata pencaharian warga berasal dari hasil bumi, baik dari pertanian berupa padi dan kebun berupa kelapa dan melinjo. Namun, diantara mereka ada pula yang mengusahakan berternak kambing sebagai penghasilan sampingan masyarakat. Dari hasil pengamatan, masyarakat jarang ada yang berternak, jika berternak seperti halnya kambing. Kambing yang dipelihara hanya bekisar antara tiga hingga lima ekor saja. Ketika pagi hari kambing-kambing ini dilepaskan begitu saja disekamir rumah agar dapat mencari makan sendiri. Pada sore hari, kambing-kambing ini dimasukan kembali ke kandanganya yang berukuran sekamir dua meter persegi. Pemilik hanya sesekali saja mencarikan makan. Hal ini dilakukan jika rumput-rumput disekamir rumah telah habis. Maka ketika pergi ke hutan atau ke kebun, kesempatan ini mereka gunakan untuk mencari rumput. Kambing yang mereka pelihara jarang mereka jual. Kambingkambing ini merupakan tabungan bagi mereka. Menjual kambing dilakukan ketika mereka memang benar-benar sedang membutuhkan uang. Kambing yang mereka pelihara ini kebanyakan digunakan untuk acara hajatan dalam keluarga mereka. Jikapun dijual, harga kambing saat ini adalah Rp 400.000,00 untuk yang kecil dan Rp 700.00,00 hingga Rp 1.000.000,00 untuk kambing dewasa. 2.6.4. Buruh Selain memanfaatkan alam sebagai sumber pendapatan, ada beberapa masyarakat yang memanfaatkan kemampuan dan tenaganya untuk bekerja sebagai buruh. Ada beberapa jenis buruh diantaranya adalah sebagai buruh kayu, pengrajin rumah hingga 50
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
dagang. Seperti yang dilakukan oleh AO. Dia mengaku tiga jenis buruh ini pernah dia lakukan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pendapatan yang diterima pada masing-masing buruh ini berbeda. Misalnya saja buruh kayu, menurutnya pekerjaan buruh kayu inilah yang paling berat dan memakan banyak tenaga. Namun, hasil yang didapatkan per harinya lebih besar. Contohnya, beberapa waktu lalu, dalam sehari dia mampu memperoleh Rp 400.000,00 dalam sehari dengan memotong empat pohon laban. Untuk buruh membuat rumah, dia mengaku mendapatkan upah bersih sebesarRp 70.000,00 per hari. Selain upah bersih, selama sehari tersebut dia mendapatkan jatah makan sebanyak tiga kali dalam sehari dan dua bungkus rokok. upah perhari akan dibedakan antara tukang dan laden. Tukang adalah buruh utama sedangkan laden adalah pembantu tukang. Sehingga besaran bayaran yang diterimapun akan berbeda. Tukang akan mendapatkan bayaran sebesar Rp 70.000,00 sedangkan untuk laden akan mendapatkan bayaran sebesar Rp 50.000,00. Jenis buruh lainnya adalah buruh dagang. Dagang menurut AO merupakan pekerjaan yang paling mudah dan enak dilakukan karena tidak memakan tenaga yang besar seperti buruh kayu atau tukang. Namun, untuk dagang hasil bersih yang didapatkan sedikit. Dia mengaku dengan modal sebesar Rp 2.000.000,00 dia memperoleh keuntungan sebesar Rp 600.000,00 yang akan dibagi dengan teman atau partner-nya setelah dipotong biaya penyewaan mobil los bak dan biaya bensin atau bahan bakar. Biaya penyewaan mobil los bak dalam sehari adalah sebesar Rp 100.000 sedangkan untuk bensin atau bahan bakar sekamir Rp 100.000 untuk sekali jalan. Sehingga hasil yang didapatkan adalah sebesar Rp 200.000,00 per orang rata-rata dua hari atau ketika barang dagangan habis.Menurutnya, menjadi pedagang harus memiliki kesabaran yang tinggi karena hasilnya tidak bisa langsung dinikmati.
51
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Terkadang, barang dagangan yang tidak habis, dia sudah harus membeli barang dagang lagimeskipun modal sebelumnya belum kembali secara utuh. 2.7.
Bahasa Salah satu unsur kebudayaan yang menarik adalah bahasa. Bahasa merupakan alat atau simbol komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Bahasa inilah yang menjadi peranan penting dalam hubungan-hubungan sosial sehari-hari. Tanpa bahasa kami tidak mungkin akan dapat berinteraksi. Bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penduduk daerah pulau Jawa bagian barat. Masyarakat Sunda memiliki kekayaan dalam beberapa hal yang tersurat dalam bahasa, seperti ungkapan tradisional berupa pribahasa, pepatah, teka-teki, puisi rakyat dan pantun-pantun. Bahasa Sunda dalam pengaplikasiannya memiliki tingkatan. Secara garis besar tingkatan ini dibagi menjadi dua yaitu bahasa Sunda halus (lemes) dan bahasa Sunda kasar. Masyarakat Tugu berbicara menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda kasar.Terkait dengan kesehatan, ada beberapa istilah yang ada di tengah-tengah masyarakat,antara lain : Tabel 2.2Istilah lokal penamaan sakit Bahasa lokal Muriang Gering Nyeuri awak Ririwit Nyeuri hulu
52
Arti Demam Sakit Tidak enak badan Badan kurus kering pusing
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
2.8.
Kesenian Pengaruh agama Islam yang dianut oleh seluruh masyarakat Desa Tugu memiliki pengaruh yang kuat akan adanya kesenian. Salah satunya adalah marhaban. Marhaban merupakan puji-pujian atau sholawat yang ditujukan kepada Tuhan Yang Masa Esa dan Nabi Muhammad yang dilakukan dengan cara dilagukan. Marhaban dilakukan malam hari setelah acara hajatan dilaksanakan. Para tetangga diundang dan hidangan berupa makanan tradisional disiapkan. Dengan posisi berdiri, marhaban dipimpin oleh kolot. Terlebih dahulu kolot menyanyikan pembukaan lagu marhaban yang kemudian diikuti oleh semua tamu undangan atau tetangga yang hadir. Selain dilaksanakan setelah hajatan, marhaban juga dilaksanakan pada siang hari ketika acara rasul taun atau mensyukuri hasil panen yang telah diterima selama satu tahun. Tujuan dari marhaban adalah untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik karena acara atau hajatan telah berjalan dengan lancar ataupun karena telah diberi hasil panen selama satu tahun.
Gambar 2.23 Acara Marhaban setelah hajat sunat Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
53
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
2.9.
Teknologi dan peralatan Masyarakat tidak dapat terlepas dari sebuah teknologi yang menunjang berbagai aktifitasnya. Begitu pula masyarakat di Desa Tugu. Dengan perkembangan teknologi yang pesat di era globalisasi ini. Masyarakat Desa Tugu juga menjadi salah satu yang terkena dampak dari era ini. Pengetahuan masyarakat perlahan meningkat begitu juga pengetahuan mengenai kesehatan. Aliran listrik PLN yang telah masuk hingga ke seluruh daerah menjadikan informasi lebih mudah didapatkan oleh masyarakat. Terlebih lagi, saat ini hampir seluruh warga memiliki televisi yang ditunjang dengan peralatan antena parabola sebagai salah satu sumber informasi. Dengan adanya televisi, informasi dari luar dapat masuk dengan mudah. Baik mengenai hiburan, berita hingga programprogram kesehatan dari pemerintah yang ditayangkan. Media informasi lain yang tidak kalah penting adalah dengan adanya telepon genggam. Telepon genggam menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk saling memberikan informasi, baik untuk meminta bantuan dan lain sebagainya. Begitu juga halnya dengan kesehatan, alat komunikasi berupa telepon genggam menjadi andalan ketika ada keadaan darurat, misalnya adanya warga yang sakit dan perlu pertolongan ataupun ada ibu yang akan melahirkan. Paraji dan bidan yang dipercaya oleh masyarakat sebagai orang yang mampu memberikan pertolongan pada ibu yang akan melahirkan selalu membawa telepon genggam kemanapun mereka pergi agar mudah untuk dihubungi. Terlebih lagi, jarak dan jalan yang membuat akses transportasi semakin sulit maka memang telepon genggam merupakan alat yang penting untuk meminta bantuan baik bidan maupun parajiuntuk segera datang ke rumah orang yang sedangsakit atau ibu yang akan melahirkan.
54
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 2.24 Barang yang selalu dibawa paraji ketika membantu proses persalinan. sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Salah satu paraji yang menjadi informan dalam melakukan persalinan telah memiliki alat yang digunakan untuk menolong persalinan. Diantaranya alah gunting yang selalu dibawa bersama dengan benang, obat merah, kenit dari selendang dan kulit kayu pohon teureup dan rumput Fatimah.
55
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
BAB III POTRET SITUASI KESEHATAN 3.1 Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1 Pra Hamil Pengetahuan remaja perempuan mengenai menstruasi atau haid meliputi gejala-gejala haid dan bagaimana cara menangani nyeri haid mereka dapatkan dari mendengar pembicaraan orang dewasa dan teman-teman sebayanya yang sudah dulu mengetahuinya. Pendidikan formal di Desa Tugu terlebih untuk anak perempuan tidak ditekankan sehingga kebanyakan dari mereka tidak meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Remaja perempuan banyak yang memutuskan untuk berhenti sekolah, dimana ketidakmampuan biaya sekolah menjadi salah satu alasan mereka. Ada pula yang memutuskan untuk bekerja di kota dan tidak sedikit yang memutuskan untuk menikah. Berdasarkan pengamatanpeneliti sering terlihat pasangan muda, dan berdasarkan informasi dari masyarakat setempat menikah di usia muda sudah menjadi hal yang biasa. Di Desa Tugu jika masyarakat sering melihat pasangan muda berjalan berdua, para orangtua takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dan tidak sedikit dari mereka memintauntuk segera menikah. Karena memegang kuat ajaran agama sehingga ikatan antara perempuan dan laki-laki harus terlihat jelas dan kuat secara hukum. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan beberapa remaja perempuan. Informasi yang diperoleh dari informan terdapat batasan tertentu antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya yang disampaikan oleh remaja “Ht”, 16 tahun. “Biasanya mah kalo bermain ya bareng sama temen yang seumuran ajah, janjian dirumah temen gitu ajah sih, mau pergi jauh juga susah, ya namanya juga dikampung daripada nggak main aja.”
56
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Remaja perempuan di Tugu sama halnya seperti remaja di tempat lain, ketika berkumpul dengan teman sebayanya topik yang dibicarakan perihal ketertarikan dan cara berinteraksi dengan lawan jenis mereka.Pada dasarnya mereka sudah mengenal tentang hubungan pacaran sejak usia remaja, tetapi karena pengaruh agama di tempat tinggal mereka masih kuat, beberapa dari mereka menyadari tentang bagaimana menjaga diri karena hal tersebut masih tabu. Seperti penuturan yang disampaikan oleh “Mr”, 16 tahun. Yang sudah sejak masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengenal pacaran. “kalo saya udah mengenal pacaran sejak masuk smp kira-kira umur saya 13 tahun....ikut-ikut temen, pacar saya dulu banyak, dimana-mana ada....kalo salah satu ada yang tahu ya tinggal cari aja...maen juga jarang, kalo malem minggu nggak pernah keluar kadang mereka datang maen kerumah, kalo ditanya sama mamah ya bilang aja kalo temen. Kalo saya pacaran nggak berani macem-macem kan bukan mukhrimnya,takut soalnya banyak yang hamil dulu, kalo cuman gandengan tangan ya biasa masa jalan nggak gandengan ya gimana hehehe, temen-temen juga banyak yang begitu”
Gambar 3.1 Acara akad nikah pasangan muda Sumber: Dokumnetasi Tim Peneliti
57
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
“Mr” melanjutkan penuturannya terkait kebiasaan bermain dan berkumpul dengan teman sebayanya yang ada diperantauan. “Sepi disini mah, enakan dikota, kalo disini mah nggak enak, enak juga dikotamau maen malem-malem bisa bareng temen-temen kerja, maen ke kota tua, makan direstoran hehehe disini mah susah mau maen mah susah, palingan di rumah-rumah ajah. Paling habis nikah juga saya ke tanggerang lagi buat kerja, biar mandiri dan pingin bantu orangtua.”
Pengalaman “Mr” kerja di kota membuat dia berencana setelah menikah, dia akan kembali ke kota untuk mencari pekerjaan lagi. Selain belajar mandiri dengan hasil pekerjaannya, dai juga berkeinginan untuk membantu perekonomian keluarga yang ada di kampung. Saat mengamati kegiatan posyandu rutin yang dilaksanakan diPoskesdes terlihat beberapa ibu-ibu muda yang memeriksakan kehamilan. Beberapa diantara mereka membawa bayi mereka untuk imunisasi, dan beberapa dari mereka meminta suntik KB pada bidan.
Gambar 3.2 Kegiatan posyandu di Desa Tugu Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
3.1.2 Kehamilan Memiliki keturunan merupakan cita-cita setiap pasangan yang memutuskan untuk menikah. Hamil adalah fase yang istimewa bagi 58
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
perempuan dan menjadi kebanggaan telah menjadi wanita yang sempurna dan akan melahirkan seorang anak. Kehamilan merupakan proses penting pertumbuhan janin, sehingga tentu saja para calon orangtua atau pasangan suami istri harus menyiapkan mental dan juga fisik yang baik. Calon ibu pastinya mendambakan kehamilan yang sehat. Dengan kehamilan yang sehat dimungkinkan akan mendapatkan bayi yang sehat pula. Kehamilan yang sehat diawali dengan kesiapan calon bapak dan calon ibu baik secara fisik dan kejiwaan (Indiarti, 2015). Hal-hal yang perlu dilakukan antara lain: 1. Konseling Melakukan konsultasi sebelum memutuskan untuk hamil merupakan salah satu cara yang dapat mendorong pasutri untuk mencapai keluarga sehat dan bahagia. Pemeriksaan kesehatan perlu dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gejala-gejala seperti kencing manis, asma, tekanan darah tinggi, atau penyakit lainnya seperti penyakit kelamin, paru-paru, jantung, epilepsy, atau kanker mulut rahim yang dapat menghambat proses kehamilan. Menilik fasilitas dan jangkauan akses kesehatan yang sulit, orang yang dituju oleh masyarakat untuk melakukan konseling kehamilan adalah paraji (dukun bayi) dan bidan desa. 2. Olahraga secara rutin Kesehatan dan kebugaran adalah dambaan setiap orang tidak terkecuali ibu hamil. Aktifitas fisik sangat membantu ibu dalam mempersiapkan dan menjalani kehamilan secara menyenangkan. Di desa Tugu aktifitas fisik yang dapat mengeluarkan keringat menurut mereka adalah olah raga. Seperti halnya pada ibu hamil pada umumnya masih banyak yang bekerja ketika hamil, misal membantu suami bekerja di sawah, melakukan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan seperti menyapu, memasak, mencuci, mengepel dan kegiatan rumah lainnya.
59
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
3.
Konsumsi makanan bergizi Selama kehamilan, ibu hamil perlu mengkonsumsi makanan bergizi. Penting untuk ibu hamil mengatur pola makan sehat dengan memenuhi kebutuhan tubuh akan karbohidrat, protein, lemak,vitamin, dan mineral dalam makanan sehari-hari. Perencanaan Kehamilan Memutuskan untuk menikah di usia muda atau dibawah usia yang di tetapkan oleh pemerintah yaitu minimal usia 18 tahun, meningkatkan resiko tinggi komplikasi kehamilan. Pernikahan di bawah umur dapat mempengaruhi emosional dan juga mempengaruhi kesehatan ibu ketika hamil. Sistem reproduksi yang belum siap akan berdampak pada calon bayi. Kehamilan dibawah usia 18 tahun akan beresiko tinggi terjadinya komplikasi, begitu juga kehamilan di atas usia 40 tahun. Kehamilan di bawah usia 18 tahun mempunyai resiko tinggi, seperti bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) atau gangguan kesehatan lainnya. Biasanya, hal ini terjadi karena kurang memperhatikan asupan gizi ibu selama hamil, setelah bayi lahir sering terjadi kekurangan atau salah gizi pada bayinya. Pada usia ini, apalagi jika suaminya juga seusia secara psikologi dan kemampuan ekonomi yang belum mandiri sepenuhnya. Kemampuan dan kemapanan secara ekonomi akan mempengaruhi penyediaan makanan bagi ibu maupun janinnya. (Indiarti, 2015). Kehamilan di usia 36-40 tahun juga mempunyai resiko lebih tinggi,kesuburan wanita diatas usia 35 tahun mulai menurun. Kehamilan dan persalinan diusia ini mempunyai resiko lebih besar pada kesehatan ibu dan bayinya. Kehamilan setelah usia 40 tahun memiliki resiko tinggi mengalami keguguran, kematian saat bersalin juga lebih tinggi daripada wanita yang berusia muda. Akan tetapi, perlu diingat bahwa faktor usia hanyalah salah satu faktor yang menentukan kesehatan ibu maupun janinnya. 60
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
3.1.3 Persalinan dan Nifas Persalinan Persalinan merupakan detik-detik keluarnya bayi dari rahim ibunya. Secara umum, pertanda awal bahwa ibu hamil siap melahirkan adalah mengejangnya rahim atau dikenal dengan istilah kontraksi. Kontraksi pada umumnya bertujuan untuk menyiapkan mulut rahim untuk terbuka dan meningkatkan aliran darah di dalam plasenta. Kontraksi yang sesungguhnya akan muncul dan hilang secara teratur dengan intensitas makin lama makin meningkat. Kontraksi pertama akan berlangsung selama 12-14 jam, sehingga lebih baik ibu menunggu di rumah sambil beristirahat dan mengumpulkan energi untuk persalinan. Pembukaan jalan lahir ini dimulai dari bukaan 1 sampai bukaan 10. Pada pembukaan 10, sang ibu sudah harus siap di atas pembaringan dimana ia akan siap melahirkan. Otot-otot rahim berkontraksi dan kadang intensitas rasa mulas makin tinggi dan terus meningkat semakin kuat. Makin mendekati kelahiran, kontraksi semakin kuat. Lebih lagi pada bulan, minggu, hari-hari terakhir kehamilan. Rasa mulas ini mendominasi bagian atas perut, lalu menjalar ke pinggang, hilang dan timbul, serta semakin teratur dans sering. Rasa mulas itu akan berhenti dengan sendirinya hingga jabang bayi lahir ke dunia (Proverawati, 2012). Berikut penuturan parajiIbu “Nr”, 65 tahun terkait bagaimana cara Ibu “Nr” ketika menolong ibu hamil yang telah mengalami kontraksi. “Rumput Fatimah, itu nu itu, ti mekkah. Sok ditileumkeun kana cai eta. Kitu di kampong mah kitu rumput Fatimah ieu. Ceuk kolot tea, ari ngan ukur. Kunu karasa mun di celupkeun kana cai hanet tereh beukah keun keur ngalairkeun mah. Keur karasa diuyup kitu. Nah kitu, lamun cara di Sunda mah jadi tereh kitu.”
Ibu “Nr” menjelaskan bahwa ketika ibu mengalami kontraksi beliau akan memprediksi menggunakan rumput Fatimah. Rumput 61
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Fatimah merupakan benda turn temurun dari bapaknya yang berasal dari mekkah. Rumput Fatima, ini akan di celupkan atau direndam di dalam air hangat jika ibu sudah mendekati waktu bersalin makan rumput Fatimah ini akan merekah tetapi jika ibu mengalami kontraksi tetapi belum waktunya untuk bersalin selama apapun rumput Fatimah di rendam tidak akan merekah. Hasil rendaman rumput Fatimah ini hanya beberapa sendok saja yang akan diminumkan pada ibu yang akan melahirkan dengan tujuan untuk membantu kontraksi sehingga mempermudah proses persalinan. Nifas Nifas adalah keadaan ibu paska melahirkan mulai dari 6jam sampai 42 hari. Pelayanan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan pada ibu hamil yang dilakukan oleh bidan. Pentingnya pendampingan yang dilakukan oleh bidan adalah terkait dengan deteksi dini komplikasi pada ibu nifas. Diperlukan pemantauan kesehatan ibu nifas melalui kunjungan ibu nifas minimal sebanyak 3 kali (Kemenkes RI, 2010). Pelayanan ibu nifas yang diberikan yaitu meliputi: 1) Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. 2) Pemeriksaan fundur uteri. 3) Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran pervaginal lainnya. 4) Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eklusif 6 bulan. 5) Pemberian kapsul vitamin A, dan 6) Pelayanan KB paska persalinan. Lama masa nifas bisa berbeda-beda pada setiap ibu. Namun cepat lambatnya darah berhenti bukan merupakan indikasi singkat lamanya masa nifas. Pendarahan masa nifas juga bisa berlangsung selama lebih dari 40 hari. Keadaan ini jelas harus disikapi secara hatihati karena pendarahan panjang biasanya terjadi jika proses kontraksi rahim berlangsung tidak semestinya atau lemah. Penyebabnya bisa karena ada sesuatu yang tersisa dalam rahim, semisal ari-ari, atau selaput ketuban yang kemudian membungkus sisa darah yang 62
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
membeku sehingga bekuan darah tersebut menjadi benda asing dalam rahim. Ada empat tahapan masa nifas antara lain: 1. Lokia Lubra Darah keluar berwarna merah karena berisi darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi, rambut bayi dan kotoran bayi saat dalam kandungan. Itulah mengapa, darah nifas berpotensi mengandung banyak kuman. Lamanya masa Lokia Lubra biasanya sebentar, lebih kurang seminggu. 2. Lokia Sanguelenta Darah yang keluar berwarna merah dan berlendir. Lokia Lubra ke Lokia Sanguelenta lamanya sekamir 1-2 minggu. 3. Lokia Serosa Dua minggu berikutnya, cairan yang keluar berwarna kekuningan. Kandungannya berupa kandungan serosa atau sisa-sisa pengaruh hormone dan lainnya. 4. Lokia Alba Cairan yang keluar sudah berwarna putih biasa dan bening. Ini normal dan tandanya sudah memasuki tahap pemulihan. Keempat tahapan tersebut memakan waktu sekamir 6 minggu atau 40-42 hari. Ibu “Rd”, 22 tahun menyatakan larangan dan anjuran yang harus dia jalankan selama 40 hari setelah melahirkan. Berikut penuturan informan terkait hal tersebut: “Di kampung mah bu, nu ngalairkeun 40 poek 40 wengi tidurna kudu nyanda keur darah teu kaluhur bisi ngaganggu mata, bisa ngarapetkeun jalan lair. Mam na oge sangu jeung sambel pepeh, nu ieu kitu di kampung mah.” “Di kampung bu, yang melahirkan 40 hari 40 malam tidurnya harus nyanda biar darahnya tidak naik ke atas takut menganggu mata, bisa merapatkan jalan lahir. Makannya juga nasi sama sambel pepeh aja, yang seperti itu kalo di mampung.”
Peneliti menangamati bagaimana cara pembuatan sambel pepeh yang menjadi lauk ibu selama 40 hari setelah melahirkan. Sambel pepeh di buat dari ramuan yang berasal dari tumbuh63
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
tumbuhan yaitu kunyit, kunci, jahe, daun songom dan juga ditambah dengan trasi bakar. 3.1.4 Menyusui Pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan. ASImerupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi. ASI membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta melindungi terhadap penyakit (Kemenkes, 2014). Bidan desa memberikan informasi mengenai pemberian ASI Ekslusif kepada bayi sampai usia 6 bulan telah dipahami oleh ibu-ibu di desa Tugu. Selain peran bidan, peran suami dan keluarga juga menyumbang pengaruh besar terkait pemberian ASI. Bentuk dukungan suami dan keluarga terkait dengan makanan yang harus dimakan agar ASI keluar lancar dan banyak serta makanan apa saja yang sebaiknya tidak dimakan selama menyusui. Informan ibu “It”mengatakan setelah melahirkan dia langsung memberikan ASInya kepada sang bayi, namun setelah bayinya berumur 5 hari ibu “It” mencoba memberikan makanan berupa biskuit tetapi bayinya tidak mau menelannya kemudian ibu “It” menghentikan pemberian biskuit karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Berikut penuturan Ibu “It”, 22 tahun. “Ker mimiti lahiran langsung disusuan, ASI nu koneng tea nyah dipasihke, pernah dicoba dikasih makan biskuit tapi nggak mau makan, kalo dikasih makan muntah-munta, sekarang mah dikasih ASI aja.” “waktu setelah melahirkan langsung menyusui, ASI yang berwarna kuning itu juga diberikan sama bayinya, pernah di coba dikasih makan biskuit tapi tidak mau makan, kalau dikasih makanan dimutantahkan, sekarang yaa dikasih ASI aja.”
64
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar. 3.3 Ibu dan Bayi mengikuti Posyandu Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada masa menyusui terdapat beberapa anjuran makanan yang diberikan kepada ibu berdasarkan pengetahuan masyarakat untuk memperlancar ASI. Makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi ibu menyusui adalah memperbanyak makan sayur-sayuran seperti sayur pepaya yang direbus, kacang-kacangan dan sayur lainnya.Larangan pada saat Ibu menyusui, adalahtidak memakan makanan pedas karena dikhawatirkan bayi akan mudah mencret/diare, dan dilarang makan gorengan karena kandungan minyak yang terlalu banyak. Berikut penuturan ibu “It” terkait masa menyusui. “ker mam sayuran biar ASI nya banyak, kalo udah banyak mah nggak mam sayur deuik bisi luber, rencana dikasih susu formula sama makanan tambahan nyah kalo udah mau ajah” “harus makan sayur bias ASI nya banyak, kalau udah banyak nggak makan sayur lagi takut penuh, rencana dikasih susu formula sama makanan tambahan ya kalau sudah mau saja”
Pemberian ASI sampai 6 bulan dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sudah banyak dipahami, penuturan beberapa ibu menyusui di Desa Tugu pemberian susu formula dan makanan tambahan seperti
65
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
pisang dan biskuit akan diberikan setelah bayi berumur lebih dari 6 bulan. 3.1.5 Neonatus dan Bayi Bayi baru lahir mendapatkan perawatan paska lahir dari Bidan desa dan Paraji. Bidan desa memberikan suntik imunisasi sebagai bentuk perawatan bayi paska lahir dari segi kesehatan. Neonatus baru lahir yaitu usia 0-28 hari, merupakan umur resiko tinggi mengalami gangguan kesehatan. Upaya kesehatan yang harus dilakukan untuk mengurangi resiko tersebut antara lain melakukan pertolongan persalinan dengan menggunakan tenaga kesehatan (Kemenkes RI, 2010). Parajimelakukan perawatan pada bayi paska dilahirkan selama 3 sampai 7 hari disebut “tilu peuting” tiga malam sampai 40 hari kedepan. Sebelum memandikan bayi,paraji akan memijat bayi terlebih dahulu dengan tujuan agar badan bayi tidak merasa pegal, barulah bayi dimandikan dengan air. Paraji menggunakan air dingin untuk memandikan bayi, yang dimaksudkan agar bayi menjadi kuat dan tidak mudah sakit. Berdasarkan pengamatan peneliti, tatacara yang dilakukan paraji ketika memandikan bayi ialah pertama bayi dibaringkan di pangkuan paraji tanpa dilapisi kain atau apapun. Sebelumnya paraji telah menyediakan ember berisi air dingin dan beberapa uang koin, terdiri ada koin modern dankoin lama yang sudah di jampe-jampe oleh paraji. Secara perlahan paraji membasuh bagian badan bayi dari kepala sampai kaki. Selesai memandikan bayi, parajimengeringkan badan bayi menggunakan handuk, kemudian bayi diletakkan di atas pangkuan paraji kali ini telah dilapisi dengan kain lalu seluruh bagian tubuh bayi diberi bedak, kemudian dikenakan dengan popok dan baju. Setelah itu paraji akan menggedong bayi dengan kain ais dan kemudian membalur muka bayi dengan bedak dingin yang dibuat dari beras dan kencuryang ditumbuk halus serta dicampur dengan bedak bubuk. Tujuan pemberian bedak dingan ini,
66
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
agar bayi terhindar dari radang kulit, kulit bayi menjadi halus, dan tidak mudah luntur.
Gambar 3.4 Paraji sedang mendandani bayi sehabis dimandikan Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sudah menjadi adat istiadat di Desa Tugu ketika bayi lahir mulai dari leher, tangan, pinggang akan dipasang tali/benang yang disebutkenitsebagaipenangkal gangguan dari makhluk halus dan bayi selalu diberi kesehatan. Untuk bayi laki-laki kenit berasal dari tumbuhan Teurep disebut dengan tali Teurep, sedangkan untuk bayi perempuan berasal dari sobekan kain/ais dari ibunya. Pemasangan kenit untuk bayi dilakukan oleh paraji. 3.1.6 Balita dan Anak Pengasuhan anak di Desa Tugu tidak terlepas dari hubungan kekeluargaan yang terjalin dalam suatu keluarga. Tidak sedikit balita atau anak-anak yang ditinggal merantau oleh orangtuanya ke kota, sehingga bukan orangtua kandung yang langsung mengasuhnya. Pengasuhan diserahkan kepada keluarga dekat yaitu nenek, bibi, atau uak/kakak dari ibu anak tersebut. Sepanjang peneliti melakukan pengamatan tentang pola asuh yang dilakukan selain oleh orangtua kandungnya, terkait pemenuhan asupan gizi pada balita masih kurang. 67
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Kebiasaan makan buah dan sayur juga kurang, menu makanan sering kali disamakan dengan menu makanan orang dewasa. Pola asuh balita dan anak-anak di desa Tugu sepenuhnya menjadi tanggungjawab ibu. Selama pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terkait pengajaran makan dan minum serta kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air bersih menjadi tanggungjawab ibu. Pengamatan kami lakukan pada “Dv” 4 tahun, “Ai” 1,5 tahun, “Rn” 8 tahun, dan “Nn” 7 tahun”. Kebiasaan bermain tidak menggunakan alas kaki, selesai bermain dan memegang mainan atau selesai bermain dari luar rumah tidak dibiasakan mencuci tangan dan kakinya terlebih dahulu. Bahkan salah satu dari orangtua yang kami amati menuturkan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun tidak dia terapkan karena terlalu ribet dan lama. Pola kebiasaan yang ibu terapkan kepada anak-anaknya merupakan kebiasaan yang mereka lakukan setiap hari. Sebagai contoh mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan air kobokan yang digunakan secara bersamasama. 3.2
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Sehat merupakan nikmat yang diberikan kepada makhluk hidup dan wajib disyukuri, sehat juga investasi setiap orang untuk meningkatkan produktivitas kerja guna meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kesehatan yang kami nikmati senantiasa perlu untuk dijaga, dipelihara dan ditingkatkan oleh setiap anggota keluarga. Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku hidup tidak sehat menjadi perilaku hidup sehat untuk menciptakan lingkungan rumah yang sehat. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan suatu cerminan pola hidup suatu keluarga yang memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarganya. Pola hidup bersih dan sehat perlu ditanamkan sedini mungkin agar menjadi kebiasaan yang positif dalam memelihara kesehatan. Menerapkan PHBS di dalam rumah adalah salah satu upaya untuk memberdayagunakan 68
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
anggota keluarga agar tahu, mau, dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat. Inilah 10 pilar yang digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan prinsip “Perilaku Hidup Bersih dan Sehat” diantaranya sebagai berikut: 3.2.1 Persalinan dengan Tenaga Kesehatan Persalinan ditolong tenaga kesehatan adalah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan antaralain dengan pertolongan bidan, dokter, dan tenaga para medis lainnya yang memiliki kompetensi dalam pertolongan persalinan. Pertolongan persalinan dengan tenaga kesehatan diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Data yang tercatat di Puskesmas Cimanggu AKI pada tahun 2014 sebanyak 20 kasus sedangkan, untuk AKB tercatat sebanyak 13 kasus.Penempatan tenaga terlatih di bidang kesehatan merupakan langkah tepat pemerintah dalam menjangkau masyarakat di daerah yang sulit menuju akses pelayanan kesehatan. Walaupun, dalam kenyataannya sebagian besar ibu hamil memilih untuk bersalin di rumah, meminta bidan desa dan paraji untuk membantu persalinan. Keberadaan tenaga kesehatan di Desa Tugu merupakan salah satu jembatan untuk menangani masalah kesehatan di desa. Tenaga kesehatan yang ditempatkan di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara berkala. Bidan desa yang bertempat tinggal dan bertugas di poskesdes tidak jarang harus menyambangi rumah-rumah warga yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan dengan datang langsung masih sangat rendah, masyarakat lebih menyukai ketika bidan mendatangi rumahmereka. Hal tersebut merupakan salah satu cara menjalin keakraban dan mencari kepercayaan dari masyarakat.
69
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Poskesdesmenyediakan pelayanan kesehatan secara terpadu, yang juga sebagai tempat tinggalbidan desa sebagai pilar tenaga kesehatan yang membantu persalinan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil merupakanhal yang penting untuk mengetahui perkembangan janin yang berada di dalam rahim ibu.Kegiatan posyandu dan puskesling rutin dilaksanakan oleh bidan banyak diikuti oleh ibu hamil.
Gambar 3.5 Bidan desa keliling Sumber: Dokumentasi Peneliti
Persalinan pada tenaga kesehatan di Desa Tugu masih rendah, ketidakmampuan secara ekonomi menjadi salah satu faktor mengapa persalinan ibu masih banyak ke Paraji,daripada ke tenaga kesehatan.Berdasarkan penuturan dari Bidan “Pb” yang sudah hampir 4 tahun bertugas di Desa Tugu, persalinan mayoritas masih menggunakanParaji walaupun dengan pendampingan Bidan. “Disini persalinan dengan Paraji sudah merupakan tradisi, entah dari ekonomi menengah sampai yang tidak mampu, yang berpendidikan sampai yang tidak berpendidikan pasti menggunakan paraji. Tradisi yang agak sulit dihilangkan karena sudah berjalan lama, tradisi yang sudah ada dari ibu-ibu mereka, sama menurut mereka kalo dirumah lebih nyaman dan privasinya
70
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
terjaga beda kalo melahirkan di rumah sakit atau puskesmas kan banyak orang, kalo dirumah hanya keluarga yang tau”.
Selama peneliti berada di Desa Tugu dan mengikuti kegiatan Bidan dalam pelayanan kesehatan. Bidan desa tidak pernah menolak memberikan pelayanan kesehatan bahkan jika diminta untuk datang kerumah pasien. Desa Tugu dan sekamirnya merupakan daerah yang dapat dikategorikan sebagai desa atau kampung yang terisolir. Keadaan jalan aspal rusak, tidak ada penerangan jalan sepanjang jalan. Baik pagi, siang, sore maupun malam hari bidan tetap melangkahkan kakinya melewati hutan, persawahan, kebun kelapa atau kebun sawituntuk mendatangi pasien bila diperlukan. 3.2.2 Penimbangan Bayi, Balita dan Anak Penimbangan bayi dan balita di lakukan setiap bulan sekali di posyandu. Hasil penimbangan dicatat di buku Kesehatan ibu dan anak(KIA) atau Kartu Menuju Sehat(KMS)sehingga dapat diketahuiberat badan bayi atau balita naik, tetap atau turun.Tujuan penimbangan balita adalah untuk memantau tumbuh kembang buah hati serta mencegah kemungkinan terjadinyagizi buruk pada anak. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, halus, berbicara, sosialisasi dan kemandirian. Adanya rangsangan/stimulus penglihatan, suara, pembau, sentuhan, bahasa, dan kontak mata membantu pembentukan hubungan neuron otak. Melakukan aktivitas stimulus berarti merangsang otak anak sehingga kemampuan gerak, bicara, dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian anak berlangsung sesuai dengan umur (Proverawati, 2012). Penimbangan berat badan anak dapat digunakan untuk memantaupertumbuhan dan perkembangan anak yang merupakan salah satu indikator perilaku hidup bersih dan sehat.
71
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 3.6 Kader Kesehatan Menimbang Balita Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
Petugas kesehatan melaksanakan kegiatan posyandu pada minggu setiap bulan. Respon masyarakatsudah baik, terlihat ibu-ibu membawa balitanya untuk ditimbang untuk mengetahui kondisi dan status gizi balitanya. Selain melakukan penimbangan berat badan, balita juga diberi imunisasi serta vitamin. Bidan desa di bantu oleh kader kesehatan,yang membantu dalam pendataan jumlah balita, menimbang balita, mencatat hasil penimbanganbaikbalita maupun ibu hamil. Proverawati (2012), menuliskan bahwa penimbangan balita setiap bulan di posyandu sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah balita tumbuh sehat, untuk mengetahui dan mencegah gangguan pertumbuhan balita dan untuk mengetahui balita yang sakit (batuk, demam atau diare). Bayi dengan berat badan selama dua bulan berturut-turut tidak naik, balita yang berat badannya BGM (Bawah Garis Merah) dan dicurigai Gizi Buruk dapat segeta dirujuk ke puskesmas. Itulah pentingnya dilakukan posyandu balita setiap bulan sekali, gunamemantau status gizi anak. Berdasarkan pengakuan Bidan “Pb”, tidak ada kasus gizi buruk yang ditemukan di Desa Tugu selama dia bertugas lebih kurang 3 tahun.
72
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
3.2.3 Pemberian (Air Susu Ibu) Air Susu Ibu merupakan makanan terbaik untuk bayikarena mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi. Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara ekslusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan. Mulai 6 bulan, bayi mendapatkan makanan pendamping ASI yang bergizi sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya (Kemenkes RI, 2014). Air Susu Ibu (ASI) pertama berupa cairan bening berwarna kekuningan (kolostrum), sangat baik untuk bayi karena mengandung zat kekebalan terhadap penyakit. Anjuran pemberian ASI eksklusif tanpa memberi makanan dan minuman kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan (Kemenkes RI, 2011). Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkanpemberian ASI sejak lahir mempunyai dampak yang positif bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, ASI mempunyai peran penting yang fundamental pada kelangsungan kehidupan bayi, kolostrum yang kaya akan zat antibodi, pertumbuhan yang baik, kesehatan dan gizi untuk bayi. ASI juga dapat mengurangi morbiditas (angka kesakamin) dan mortalitas (angka kematian) pada bayi dan balita. Inisiasi menyusui dini mempunyai peran penting bagi ibu dalam merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi pendarahan paska melahirkan (postpartum). ASI mengandung banyak zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasan. ASI mengandung zat kekebalan sehingga mampu melindungi bayi dari alergi. Selain itu ASI aman dan terjamin kebersihannya, karena langsung disusukan kepada bayi dalam keadaan segar. Bayi baru lahir sesegera mungkin paling lambat 30 menit setelah lahir, untuk merangsang ASI cepat keluar (Proverawari, 2012). ASI Eksklusif diberikan ibu kepada bayinya sampai usia bayi 6 bulan. Setelah bayi berusia 6 bulan selain memberikan ASI, bayi juga
73
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ASI tetap dilanjutkan sampai bayi brusia 2 tahun. Terkait hal tersebut, ibu-ibu di desa Tugu yang memiliki bayi sebagian besar mengetahui tentang pemberian ASI eksklusif.Berdasarkan pengakuan mereka informasi terkait pemberian ASI mereka peroleh dari bidan desa ketika mengikuti posyandu. Pada masa menyusui dengan ASI Eksklusif, ibumengkonsumsi sayur mayur lebih banyak, seperti daun pepaya, daun katuk, dan kacang-kacangan dengan tujuan memperlancar dan memperbanyak produksi ASI. Beberapa ibu mencoba memberi makanantambahan sebelum bayigenap berusia 6 bulan, namun ketika bayi mereka menolak maka mereka akan menghentikan pemberian makanan tersebut dan hanya memberikan ASI saja. Tambahan makanan yang biasa diberikan antara lain adalah biskuit, pisang, bubur beras yang dicampur dengan sayuran. 3.2.4 Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Kedua tangan kami adalah salah satu jalur utama masuknya kuman penyakit kedalam tubuh. Sebab, tangan adalah anggota tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan mulut. Makan dan minum sangat membutuhkan kerja dari tangan. Cuci tangan pakai sabun merupakan cara mudah dan tidak memerlukan biaya mahal (Proverawati, 2012). Membiasakan CTPS pada anak sama dengan mengajarkan anak dan seluruh anggota keluarga untuk hidup sehat sejak dini. Kebiasaan cuci tangan dengan menggunakan air dan sabun mempunyai peran penting terkait dengan pencegahan infeksi cacingan yang dapat menimbulkan diare. Beberapa penyakit yang umumnya timbul karena tangan yang kotor (berkuman), antara lain diare, kolera, ISPA, cacingan, flu, dan Hepatitis A. Berdasarkan hasil observasi peneliti selama tinggal dan berbaur dengan masyarakat Tugu selama lebih kurang satu bulan lamanya, kebiasaan cuci tangan dengan sabun masih sangat kurang. Kebiasaan makan dengan menyediakan air kobokan dimangkok 74
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
menjadi kebiasaan hampir di semua keluarga. Selesai makan hanya mencuci tangan di kobokan tersebut, peneliti mengamati tidak ada tindak lanjut mencuci tangan dengan sabun dan air bersih. Kebiasaan tersebut dilakukan baik oleh anak-anak, remaja baik dewasa, baik yang berpendidikan dan tidak berpendidikan.Hal senada disampaikan oleh Ibu “Nt”, 26 tahun perihal kebiasaan mencuci tangan. “Itu mah kebiasaan, kalo ada tamu kalo ada siapa,takut kami suka lupa,,,,,,,kalo udah cuci tangan dikobokan udah itu aja mau ditempat hajatan mau di mana aja pasti gitu disini mah semua orang pasti gitu…….saya sebenarnya tau kalo cuci tangan bersih pake sabun mah tahu cuman karena udah kebiasaan, tau ribet kalo pake sabun, adek juga dibiasakan kaya disini aja, mungkin kalo dibiasakan kaya ditempat lain mah pasti ikut juga.”
Selain kebiasaan menggunakan kobokan sebagai tempat mencuci tangan, masyarakat sekamir tidak pernah mencuci tangannya ketika memberi makan anaknya.Sehabis bermain, anak-anak mengambil makanantanpa mencuci tangannya terlebih dahulu. Mencuci tangan dengan menggunakan sabun tidak dibiasakan oleh orangtua terhadap anaknya, orangtua membiasakankebiasaan sehari hari yang mereka lakukan Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibu “Ey”, 32 tahun terkait kebiasaan mencuci tangan dengan sabun. “cuci tangan pake sabun kadang-kadang kalo inget,hehehehe inget dulu pak ABRI ceritaharus begini harus begitu cuman cuci tangan pake sabun mah ribet kudu satu-satu jadinya lama, keburu laper hehehe, apalagi kami kalo disawah mah cuman gini aja (diusap dibaju) tapi Alhamdulillah kami-kami sehat ajah. Bukannya kami tidak tahu mencuci tangan yang benar itu pake sabun, cuman aja ribet.”
Mencuci tangan dengan sabun dan air bersih sangat berguna membunuh kuman penyakit yang ada ditangan. Tangan yang bersih akan mencegah penularan penyakit seperti Diare, Kolera Disentri, Typus, cacingan, penyakit kulit, Infeksi Saluran Pernapasan Akut
75
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
(ISPA), Flu Burung. Dengan mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun, maka tangan menjadi bersih dan bebas kuman. 3.2.5 Jamban Sehat Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Proverawati, 2012). Jamban harus dipelihara supaya tetap sehat, jamban secara teratur harus dibersihkan. Syarat jamban yang sehat antaralain tidak mencemari sumber air minum, tidak berbau, kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus, tidak mencemari tanah disekamirnya, mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi dengan dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi yang cukup, lantai kedap air dan luas ruangan memadai, serta tersedia air, sabun, dan alat pembersih. Di Desa Tugubeberapa Kepala Keluarga (KK) yang memiliki jamban leher angsa, yaitusebesar 30% dan sisanya Buang Air Besar (BAB) di sungai dan sekamir pekarangan rumah (belakang rumah). Pemanfaatan sungai oleh penduduk tidak hanya digunakan sebagai tempat BAB, namun juga digunakan untuk mencuci mobil, mencuci motor, mencuci baju dan mencuci piring atau alat rumah tangga lainnya. Masyarakat lebih menyukai melakukan kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) di sungai, menurut masyarakat selain praktis, kotoran dan sisa-sisa dari mencuci akan langsung ikut hanyut terbawa aliran sungai.Penduduk yang rumahnya jauh dari sungai maka BAB dilakukan di “Jamban Satu Hektar”, sebutan penduduk untuk BAB di sekamir pekarangan rumah. Penuturan dari ibu “Ee” 30 Tahun: “Kami teu boga wc, kalo mau berak ya di jamban satu hektar hehehehehehehe……buri rompok kan aya hutan jadi kalo kerasa mah langsung ka hutan bae nu aya di buri. Ari tous wengi ya teu nanaon, pan teu aya nanaon ieu.”
76
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
“Kami tidak memiliki wc, kalo mau BAB ya di jamban satu hektar hehehehehehe…..belakang rumah kan ada hutan jadi kalo pingin ya langsung ke hutan saja yang ada di belakang. Kalo sudah malam ya tidak apaapa, kan tidak ada apa-apa ini.”
Kepemilikan jamban oleh masyarakat setempat dipengaruhi oleh penghasilan atau pendapatan yang mereka peroleh. Pekerjaan masyarakat yang mayoritas adalah petani sehingga penghasilan minim menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembuatan jamban dalam setiap rumah tangga. Beberapa informan yang sadar akan kebutuhan jamban di dalam rumah, mendasari pembuatan jamban, seperti yang disampaikan oleh informan Ibu “Nt”, 26 tahun yang memiliki jamban dirumahnya. “Kami ada jamban, airnya dari sumur.. nggak banyak yang punya jamban. Jauuuuuuh ….kalo mau buang air, takut kalo malem-malem, kalo lagi hujan bukannya banyak duit bikin itu juga takut kalo malem-malem pengen bab, malu kan buang air numpang terus, buang air keliatan ama orang.”
Beda halnya pandangan atau alasan yang disampaikan oleh ibu “Ey”, 32 tahun yang letak rumahnya berada di tengah-tengah kampung jauh dari sungai. “Mandi minum ambil dari sumur musolah. saya nggak punya jamban, kalo mau berak ya di susukan (kali kecil), dibelakang sana juga ada empang yang ada tempat beraknya tempat umum disitu mah…. Kalo malem-malem kerasa ya ditahan aja, nggak pingin berak, nggak punya duit buat bikinnya.”
77
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar3.7 Jamban Cemplung (kiri) dan jamban Leher Angsa (kanan) Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Dan ibu “Em”, 36 tahun yang letak rumahnya berada dekat dengan sungai Tugu, tidak memiliki jamban, berujar bahwa, kegiatanBAB dia lakukan di sungai, begitu juga dengan kegiatan mencuci pakaian, alat-alat rumah tangga, tetapi untuk memenuhi keburuhan air minum dan memasak dia mengambil ke tetangga yang memiliki sumur. “Kacaina thu kacai gedhe, rek nyuci pakaian, mandi, ngumbah piring kacai bae pan teu gaduh sumur. Kalo minum mah masak mah ka Abah. Di cai ada sumur kalo musim halodo, pan cai eta letik, ieu mah pan caina pinuh bae jadi ka Abah, gila kalo ambil di kali. Ngumbah sayur mah didieu bae kalo kakali mah capek. BAB kacai kan nggak punya wc, mau malem juga nggak papa saya juga jam 2 malem berani ngising dikali, banyak malem-malem yang nyuci mobil jadi nggak takut. Nggak berak aja ke kali, nyuci baju, nyuci alat rumah tangga kaya gini-gini di kali aja praktis. Ini rencana kalo bikin warung geus boga duit pingin juga bikin wc.”
3.2.6 Pemakaian Air Bersih Air bersih merupakan kebutuhan dasar manusia di kehidupan sehari-hari antara lain untuk minum, memasak, mandi, mencuci pakaian, mencuci peralatan rumah tangga, BAB, dan lain sebagainya.
78
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Air memiliki peran sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Manusia akan lebih cepat meninggal ketika kekurangan air dibandingkan kekurangan makanan. Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air, orang dewasa sekamir 50-60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sebesar 65% dan untuk bayi sekamir 80% tubuhnya adalah air. Menurut perhitungan WHO, di Negara-negara maju kebutuhan air setiap orang mencapai 60-120 liter per hari. Sedangkan di Indonesia rata-rata setiap orang memerlukan air antara 30-50 liter per hari (Proverawati, 2012).
Gambar 3.8 Sumur Gali sebagai Sumber Air bersih Masyarakat Desa Tugu Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
Air sumur adalah air yang keluar dari dalam tanah, sehingga disebut juga dengan air gali. Pada umumnya kedalamanlapisan air di setiap daerah berbeda-beda, biasanya kedalamannya antara 5-15 meter. Beberapa masyarakat Desa Tugumemiliki sumur gali, dengan kedamalan rata-rata 6-8 meter. Ketika musim kemarau tentusaja mempengaruhi volume air sumur yang mereka miliki. Kesadaran akan kegunaan air bersih membuat mereka tidak menggunakan air kali atau sungai untuk minum dan memasak, air sungaidigunakan untuk mencuci dan BAB saja. Kebutuhan air bersih mereka dapat dari
79
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
tetangga yang memiliki sumur. Hal tersebut juga disampaikan oleh Ibu “Em”, 36 tahun. “kalo buat minum, masak ambil di rumah Abah yang punya sumur, kalo air kali ya enggak. Air kali itu buat nyuci baju, nyuci peralatan masak, BAB, mandi gitu aja.”
Gambar 3.9 Mencuci peralatan masak (kiri) dan pakaian (kanan) disungai Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
3.2.7 Konsumsi Buah dan Sayur Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber makanan yang banyak mengandung gizi lengkap dan sehat. Sayur yang berwarna hijau merupakan sumber yang kaya akan karoten (provitamin A), semakin tua warna hijaunya, maka semakin banyak kandungan karotennya. Kandungan beta karoten pada sayuran membantu memperlampat proses penuaan dini, mencegah resiko penyakit kanker, meningkatkan fungsi paru-paru, dan menurunkan komplikasi yang berkaitan dengan diabetes. Tidak hanya di dalam sayuran saja, pada buah juga kaya akan kandungan vitamin yang bekerja sebagai antioksidan. Sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral dan vitamin yang sangat baik untuk membantu menjaga kondisi kesehatan tubuh (Proverawati, 2012). Di Desa Tugu sebagian besar bekerja sebagai petani, meskipun demikian petani-petani di Tugu tidak banyak yang menanam sayur
80
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
dan buah. Pemenuhan kebutuhan konsumsi sayur dan buah diperoleh penduduk dari pedagang sayur keliling yang menggunakan mobil bak terbuka untuk menjajakan dagangannya. Ketika musim kemarau akan sering dijumpai pedagang sayur tetapi ketika musim penghujan datang akan jarang ditemui dari mereka yang berkeliling karena kondisi jalan yang rusak dan licin. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Ibu “Nt”. “kadang sayur mlinjo, sayur ya beli aja di penjual…biasanya cuman beli sayur sop, sayur manis (jagung), wortel, bonteng (ketimun), apa lagi hehehe yang ada aja. Buah juga jarang kalo mau beli paling jeruk, salak, yang ada aja kalo mau. Penjual sayur banyak yang bawa cuman jarang yang beli, yang udah tua-tua gini mah nggak suka jajan yang gitu-gitu, nggak ada duit hehehe kalo puny amah suka aja beli”.
Hal senada juga disampainkan oleh Ibu “Ey”, terkait kebiasaan makan sayur dan buah. “Masak sayur ya biasa aja, kaya mlinjo yang ada aja. Kadang beli di mobil keliling ya biasa beli wortel, kol. Buah juga jarang, kalo ada juga salak pait juga dimakan mungkin,hehehehe kalo musim buah ya ada aja kaya buah kecapi”.
Penjual sayur pagi hari yang berkeliling menjajakan sayuran akan berhenti di pinggir jalan, ibu-ibu yang akan memasak untuk menyiapkan menu makan siang dan makan malam biasanya akan menghampiri pedagang. Sayur yang dibeli biasanya adalah kangkung, terong, bonteng (ketimun), jagung manis, kol, wortel dan kacangkacangan. Lauk pauk yang sering dibeli adalah tempe, tahu dan telur. Untuk konsumsi daging ayam atau daging sapi sangat jarang karena harganya yang mahal. Sebagai pengganti daging ayam atau daging sapi mereka membeli ikan asin atau ikan basah. Ada juga yang memperoleh ikan dari hasil tangkapan di sungai ketika pergi ke sawah atau memang sengaja pergi ke sungai untuk mencari ikan untuk dijadikan menu makan malam.
81
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Sayur tangkil (mlinjo), daun dangder (singkong), daun gedhang (pepaya) dapat mereka peroleh sendiri dari kebun. Sedangkan untuk buah-buahan jarang dikonsumsi oleh masyarakat, hanya sesekali saja ketika ingin membeli. Biasanya buah yang dibeli untuk dikonsumsi adalah jeruk dansalak, dimana buah-buahan tersebut sering di bawa oleh pedagang sayur keliling karena harganya yang relative murah dan terjangkau.
Gambar 3.10 Ibu memotong sayur untuk dimasak Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
As-sayyid (2006) di dalam bukunya menyatakan bahwa buah dan sayur kaya akan vitamin, zat besi dan kalsium. Sebuah penelitian ilmiah menunjukkan apabila dengan teratur mengkonsumsi buah dan sayur, akan mengurangi resiko terhadap serangan penyakit seperti diabetes, stroke, kanker, hingga tekanan darah tinggi (Hipertensi). Sayur harus dimakan 2 porsi setiap hari, dengan ukuran satu porsi sama dengan satu mangkuk sayuran segar atau setengah mangkuk sayuran matang. Sebaiknya sayuran dimakan segar atau dikukus, karena jika direbus cenderung melarutkan kadar vitamin dan mineral. Buah-buahan harus dimakan 2-3 kali dalam sehari, dalam penelitian itu juga menunjukkan asam folat yang terkandung dalam sayur dan buah-buahan dapat 82
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
mengurangi tingkat homocysteine, yaitu suatu jenis zat yang dapat menjadi faktor resiko timbulnya penyakit jantung koroner. 3.2.8 Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan salah satu dari sepuluh indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Aktivitas fisik adalah dengan melakukan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik, mental dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari (Proverawati, 2012). Aktivitas fisik yang dapat dilakukan bisa berupa kegiatan sehari-hari yaitu berjalan kaki, berkebun, kerja sawah, mencuci pakaian, mencuci peralatan rumah tangga, mengepel dan kegiatan rumah lainnya. Aktivitas fisik yang rutin dilakukan setiap hari lebih kurang selama 30 menit dapat menyehatkan jantung, paruparu serta alat tubuh lainnya. Gerak adalah ciri kehidupan, tiada hidup tanpa gerak dan apa guna hidup jika tidak mampu bergerak. Memelihara gerak adalah memelihara hidup, meningkatkan kemampuan gerak adalah meningkatkan kualitas hidup. Oleh karena itu, bergeraklah untuk lebih hidup, jangan hanya bergerak karena masih hidup.
Gambar 3.11 Aktivitas Fisik yang dilakukan Masyarakat Desa Tugu Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
83
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Aktivitas fisik yang dipahami masyarakat desa Tugu, adalah melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa mereka lakukan dan dari hasil kegiatan tersebut dapat menghasilkan keringat sebagai tanda mereka dalam keadaan sehat. Aktivitas sedang dan berat dilakukan pada pagi hari. Aktifitas yang dilakukan ibu-ibuadalah menjalankan kewajiban rutinnya seperti memasak, menyapu, mencuci, mengepel rumah. Sedangkankaum laki-laki melakukan pekerjaan berat di pagi dan sore hari, antara lainbekerja di kebun, memetik kelapa, mencari kayu, dan merawat sawah. Namun tidak hanya kaum laki-laki yang pergi kesawah, kaum perempuan pun ikut membantu pekerjaan suaminya di kebun atau di sawah. 3.2.9 Perilaku Merokok Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang menjadi kebutuhan dasar derajat kesehatan masyarakat, salah satu aspeknya adalah “tidak ada anggota keluarga yang merokok”. Asap rokok baik sengaja ataupun tidak sengaja menghirupnya, berarti juga menghirup lebih dari 4.000 macam racun. Banyak penyakit yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok tidak hanya merugikan perokok tetapi juga lingkungan sekamirnya (Proverawati, 2012). Unsur-unsur yang terkandung dalam rokok antaralain: tar, nikotin, benzopyrin, metal-kloride, aseton, amonia, dan karbonmonoksida. Tar mengandung ratusan zat kimiawi yang kebanyakan bersifat karsinogenik (pemicu kanker). Nikotin merangsang pelepasan catecholamine yang bisa meningkatkan denyut jantung. CO merupakan 1-5% dari asap rokok (Bustan, 2007). Merokok merupakan salah satu masalah yang belum dapat diatasi hingga saat ini. Kebiasaan merokok sudah melanda berbagai kalangan masyarakat baik anak-anak, sampai orang tua, laki-laki maupun perempuan. Umur pertama kali mencoba merokok adalah pada usia 15-19 tahunmenunjukkan persentase mencapai 43,3%. Untuk kelompok umur 10-14 tahunsebesar 17,5%, kelompok umur 2084
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
24 tahunsebesar 14,16%, dan umur 5-9 tahun sebesar 1,7% (Kemenkes RI, 2011). Kondisi ini menunjukkan rata-rata penduduk Indonesia yang telah menghirup rokok terjadi pada usia muda. Hal ini juga didukung dengan mudahnya akses penduduk Indonesia untuk mendapatkan rokok. Kabiasaan merokok kini sudah meluas hampir di semua kelompok masyarakat di Indonesia dan cenderung meningkat, terutama di kalangan anak dan remaja. Karena itulah, masalah rokok menjadi sangat serius, mengingat merokok dapat menimbulkan resiko timbulnya penyakit dan gangguan kesehatan seperti penyakit tidak menular, baik perokok itu sendiri maupun orang lain yang berada disekamirnya yang tidak merokok (perokok pasif) (Irianto, 2014). Hasil pengamatan peneliti menunjukkan mayoritas kaum lakilaki masyarakat di Tugu baik muda maupun tua terbiasa merokok. Kebiasaan merokok dilakukan perokok dimanapun dan kapanpun. Kebiasaan merokok tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki bahkan kaum perempuan dan anak-anak pun merokok meskipun sebagian kecil saja. Berdasarkan informan pak “Rk”, 46 tahun mengatakan bahwa merokok merupakan kebiasaannya sejak kecil, anak-anak SDSMP pun sudah mencoba rokok walaupun dengan sembunyisembunyi. Pak “Rk” menuturkan jika sehari saja tidak merokok dia akan merasa pusing dan lemas sehingga membuat malas untuk beraktivitas (ke kebun misalnya). Hal senada juga disampaikan oleh Pak “Wk”, 37 tahun terkait kebiasaannya merokok. “Aduuh….sehari bisa sebungkus habis, kalo punya duit 3 bungkus juga habis. Kalo nggak ngerokok sehari aja bisa pusing, geleng-geleng kepala ini. Kalo liat di tipi-tipi, merokok kan bisa bikin sakit, kalo ini mah nggak ngerokok malah tambah sakit, hehehe.”
Kebiasaan merokok pada perempuan di Desa Tugu, bukan merupakan kebiasaan yang harus dilakukan oleh perempuan kebanyakan. Hal tersebut muncul dari keinginan sendiri atau sudah
85
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
menjadi kebiasaan yang dilakukan sejak masih muda. Berdasarkan informan pak “Sr”, ibunya dulu adalah perokok berat, merokok sejak masih muda, tubuhnya juga kurusakibat kebiasaannya merokok dan kemudian ibu dari pak “Sr” mengalami sakit yang membuatnyatidak dapat melakukan aktivitas. Kemudian ibu pak “Sr” melakukan pengobatan sampai ke kota dan dokter mengharuskan untuk menghentikankebiasaannya merokok. Himbauan dari dokter dilakukan ibu pak “Sr”, sekarang beliau sudah sembuh dan sehat.
Gambar 3.12 Kebiasaan Merokok masyarakat Tugu Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
Hal tersebut dikuatkan oleh A’ “My”, 21 tahun salah seorang pemuda di Tugu, dia mengatakan pemuda-pemuda desa sudah terbiasa merokok. Hal tersebut dilakukan ketika berkumpul dengan teman sebayanya pada saat malam minggu nongkrong bareng.Menurut mereka jika tidak merokok belum bisa dikatakan sebagai laki-laki. Kebiasaan merokok di Desa Tugu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa bahkan anak-anak sudah mulai mencoba merokok. Anak-anak usia 13 sudah mulai mencoba, sebagaimana disampaikan oleh informan “Ms” 19 tahun. “kalo nggak salah kenal rokok sejak SMP kira-kira 13-14 tahun, nyoba-nyoba sama temen. Tapi ngerokok dibelakang orangtua, dulu pernah nyimpen
86
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
rokok dibawah kasur ditemuin sama ibu ditanyain saya jawab aja rokok temen hehehe, pernah juga waktu dijalan lagi asik ngerokok ada pak guru lewat baru rokok dihisap belum juga dikeluarin asapnya dari mulut, rokok kan langsung dibuang. Trus ditanyain sama gurunya, mau dijawab gimana nggak dijawab tambah gimana yaa akhirnya ketauan asapnya keluar dari mulut dah deh di jewer langsung di bawa ke ruangan guru. Rokok bagi saya mah udah kaya istri kemana kemana cuman rokok yang nemenin, lagi nglamun cuman rokok yang ngertiin.”
Di kemasan rokok sudah tertulis dengan jelas “merokok adalah mati”, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan minat masyarakat untuk merokok. Bahaya rokok terhadap kesehatan tubuh telah banyak diteliti dan dibuktikan oleh banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok sudah diketahui dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan resiko timbulnya berbagai penyakit. Seperti, penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker osefagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi, serta gangguan kehamilan dan kecacatan pada janin. Penelitian baru juga menunjukkan adanya bahaya dari secondhand-smoke, yaitu asap rokok yang terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena berada disekamir perokok. Komponen racun yang terkandung di dalam rokok adalah di dalam asap rokok dan partikel dalam rokok. Asap rokok mengandung gas karbon monoksida, amoniak, asam hidroksianat, nitrogen oksida, dan formaldehid. Sedangkan partikal yang menyusun rokok antara lain adalah tar, nikotin, indol, karbarzol, dan kresol. Zatzat ini beracun, mengiritasi, dan memicu terjadinya kanker (Karsinogen). 3.2.10 Pemberantasan Jentik Nyamuk Selama lebih kurang satu bulan peneliti berada di Desa Tugu, peneliti tidak pernah melihat kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) baik yang dilakukan oleh masyarakat, kader maupun dari
87
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
puskesmas secara langsung. Pemeriksaan jentik juga tidak pernah dilakukan, baik oleh rumah tangga, kader maupun petugas kesehatan. Sehingga tidak diketahui bagaimana kondisi keberadaan jentik yang ada di bak mandi, bak penampung air maupun sumur yang dimiliki warga. Rumah bebas jentik nyamuk adalah keadaan rumah tangga yang setelah dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala tidak terdapat jentik nyamuk. Pemberantasan jentik nyamuk dimaksudkan untuk membebaskan rumah dari jentik-jentik nyamuk yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Jika dilihat dari kebiasaan masyarakat yang terbiasa mandi di sungai dan mayoritas kepemilikan kamar mandi yang sedikit dan tampungan air yang kurang, menjadikan tidak ada genangan air yang terdapat di dalam rumah. Namun demikiannyamuk yang luar biasa banyak nya ketika malam hari, disiasati dengan memasang kelambu di tempat tidur. Dari hasil wawancara dengan informan dan bidan desa mengatakan bahwadi Desa Tugutidak pernah ditemukan kasus Demam Berdarah (DB). Informan ibu “Tk” 40 tahun menyatakan pendapatnya terkait nyamuk yang ada di Desa Tugu. “ Di sini ya dek, nyamuknya itu banyak. Nyamuk-nyamuk ini dari hutan di belakang. Kan belakang rumah teteh pas hutan sama kaya yang lain juga, nyamuk dari sana mungkin. Nyamuk banyak juga nggak ada yang DB. Soalnya orang sini pasti pake kelambu ahhh,,kalo nggak pake nggak bisa tidur mungkin.”
3.3 Kesehatan Lingkungan 3.3.1 Sampah Sampah merupakan salah satu penyebab terjadinya ketidak seimbangan lingkungan. Berdasarkan asalnya sampah digolongkan menjadi dua yaitu sampah organik (sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Selain itu juga sampah dibedakan berdasarkan asalnya sebagai contoh adalah sampah rumah tangga atau sampah domestik.
88
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Sampah/limbah domestik rumah tangga yang dihasilkan oleh rumah setiap harinya, baik sampak organik maupun sampah anorganik. Hasil pengamatan yang telah dilakukan sebagian besar warga membuang sampah sembarangan, hanya dibuang ke belakang atau sekamir rumah. Menurut penuturan salah satu informan sampah-sampah rumah tangga tersebut ketika musim kemarau akan ditimbun kemudian dibakar setelah terkumpul banyak, sedangkan ketika musim hujan akan dibiarkan begitu saja di belakang rumah dan dibiarkan hanyut terbawa air ke hutan belakang rumah. Penduduk desa Tugu tidak ada yang membuang sampah di sungai, sungai merupakan sumber kehidupan mereka. Mayoritas penduduk menggunakan sungai sebagai pusat melakukan kegiatan mencuci, mandi, bab, dan kegiatan lainnya.
Gambar 3.13 Tempat Pembuangan Sampah Rumah tangga Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Tidak disadari bahwa sampah memberi dampak yang berarti terhadap kesehatan lingkungan. Dampak terhadap kesehatan lingkungan terkait dengan kebiasaan membuang sampah yang tidak terkontrol dengan baik merupakan tempat paling cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi binatang seperti lalat dan anjing serta
89
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
binatang lainnya yang berperan sebagai vektor pembawa penyakit. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh sampah yang dibawa oleh vektor penyakit antara lain penyakit diare, kolera, tifus, DBD (Proverawati, 2012). Sebagai contoh vektor lalat penyebab penyakit diare, tikus penyebab penyakit pes. 3.4 Penyakit Menular 3.4.1 Penyakit Kulit Dermatitis adalah penyakit kulit yang disebabkan adanya infeksi bakteri. Infeksi kulit dapat menyerang siapa saja, baik bayi, balita, anak-anak, bahkan orang dewasa. Seperti kasus yang peneliti temukan ketika mengikuti kegiatan bidan desa yang berugas di poskesdes Cibadak. Penyakit kulit yang ditemukan pada bayi dengan gejala yang ditunjukkan adalah panas tinggi dialami bayi selama seminggu kemudian muncul bintik merah dan gatal. Bintik-bintik merah tersebut kemudian tumbuh banyak dan menyebar merata keseluruh bagian tubuh mulai dari leher, dada, perut, punggung, selangkangan, dan paha.
Gambar 3.14 Penyakit Kulit atau Dermatitis Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Panas tinggi yang dialami bayi berusia lebih kurang 2 bulan tersebut selama seminggu, kemudian timbul bintik-bintik merah di 90
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
sekujur tubuhnya dan beberapa diantaranya bernanah. Penuturan ibu “Am”, 20 tahun merupakan kedua kalinya dia membawa bayinya untuk diperiksa. Berdasarkan pengakuan ibu, ketika memandikan bayi, ibu memasukkan beberapa uang koin kedalam air mandi yang hangat. Sedangkan untuk makanan, ibu “Am” tidak makan sembarangan selama menyusui, yang banyak dikonsumsi adalah sayur danmenghindari makan ikan. “Dina caina aya encisan, awalnya panas trus aya bintik-bintik kayak gini. Tos ker di bawa ka dieuk dua kali ieuk. ASI iyah…mam sayur doang, sayur kates…kalo sundah mah gedhang..nggak makan apa-apa…paling makan sayur solek,..jagung ..nggak..nggak makan ikan…paling gek makan nasi, ikan nggak makan. Paling oge makan sayur teu makan apa-apa.”
Asupan makanan yang dikonsumsi ibu juga tidak macammacam, ibu hanya memperbanyak makan sayur hijau seperti dauurn gedhang (pepaya) yang direbus, sayur amis (jagung manis), sayur soleng, sayur bening, dan menghindari makan makanan pedas karena takut bayinya mencret serta menghindari makan ikan karena khawatir bayinya gatal-gatal. Larangan dan anjuran mengkonsumsi makananmakanan tersebut adalah anjuran dari ibunya. 3.4.2 Infeksi saluran Pernafasan akut (ISPA) ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas dengan perhatian khusus pada radang paru (pneumonia).Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Penyakit infeksi yang menyerang paru-paru ditandai dengan batuk, disertai dengan nafas cepat dan atau nafas sesak, sering terjadi pada anak usia 0-<5 tahun. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali pertahun (rata-rata 4 kali per-tahun). Di Negara berkembang penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak terutama bayi berusia kurang dari dua bulan. Data kasus ISPA yang kami peroleh dari Profil Kesehatan Puskesmas Cimanggu mencatat terdapat 293 kasus ISPA di wilayah puskesmas Cimanggu. ISPA dapat 91
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
di cegah dengan menjauhkan balita dari penderita batuk, memberi imunisasi lengkap, memberi ASI pada bayi sampai dengan usia 2 tahun, menjaga kebersihan lingkungan (higiene sanitasi), dan menjauhkan balita dan anak-anak dari asap, debu dan pencemaran udara lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Yuwono (2008) menyatakan bahwa faktor lingkungan fisik rumah meliputi jenis lantai, luas ventilasi, kebiasaan merokok anggota keluarga, kelembaban dan bahan bakar kayu mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Senada dengan hasil penelitian Yusup (2005), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi fisik terhadap kejadian ISPA pada balita. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat mempengaruhi kejadian ISPA. 3.4.3 Diare Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. Jumlah penderita KLB diare tahun 2013 di wilayah Puskesmas Cimanggu sebanyak 646 kasus. Diare adalah penyakit yang di tandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak dari biasanya. Hal-hal yang dapat menyebabkan diare antara lain adalah tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah BAB, minum air mentah (tidak dimasak terlebih dahulu), makan makanan yang tidak di tutup (memiliki kemungkinan besar di hinggapi lalat), dan tidak BAB di WC/jamban. Proses penularan diare dapat melalui banyak alur yaitu BAB tidak di WC atau jamban, sehingga tinja kemungkinan besar dihinggapi lalat yang kemudianhinggap di makanan yang tidak di tutupi sehingga menyebabkan kotoran yang menempel di kaki lalat akan menempel di makanan yang dimakan oleh manusia sehingga menyebabkan perut menjadi sakit dan menjadi diare. Kebiasaan 92
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
mencuci tangan dengan menggunakan sabun dapat mengurangi kejadian diare.Jika setelah BAB kami cuci tangan tidak menggunakan sabun kemungkinan besar tangan masih dalam keadaan kotor bakteri yang berasal dari feces (kotoran) manusia masih menempel pada tangan, kemudian tanggan digunakan untuk memegang makanan secara tidak langsung bakteri yang menempel pada tangan akan ikut termakan kemudian perut menjadi sakit dan kemungkinan besar menjadi diare. Diare dapat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan dan kualitas hidup anak, angka kejadian diare di kecamatan Cimanggu pada tahun 2014 tercatat sejumlah 1629 (87,77%) (Puskesmas Cimanggu, 2014). Diare dapat dicegah melalui pemberian ASI secara penuh selama 4-6 bulan, ASI adalah makanan yang tepat bagi bayi, aman, antibiotik, daya lindung 4 kali lebih baik dan dapat menurunkan kesakamin (8-20%) dan menurunkan kematian (24-27%). Kebiasaan cuci tangan dengan menggunakan sabun dapat mengurangi angka kesakamin 1-48%. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan minum air yang sudah dimasak, menutup makanan, BAB di WC atau jamban (Munir, 2011). 3.5 Penyakit Tidak Menular 3.5.1 Asam Urat Asam urat sering disebut “sakit para raja”, mengapa demikian? Karena penyakit ini banyak diderita oleh orang kaya dan bangsawan yang suka makan enak tetapi kurang beraktivitas fisik atau olah raga (Irianto, 2014). Asam urat (Gout) adalah akibat pola makan yang salah dan berlebihan, jika penyakit kambuh maka penderita akan merasakan nyeri pada persendian yang luar biasa. Hasil proses metabolisme tubuh yang tidak sempurna, sehingga kelebihan asam urat akan menyebabkan penyakit ini. Kadar asam urat normal berkisar untuk laki-laki 3,5-7,0 mg/dl sedangkan untuk wanita 2,6-6,0 mg/dl.
93
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gejala asam urat antara lain adanya rasa nyeri yang mendadak dengan rasa panas, bengkak kemerahan, terlihat pucat pada persendian diakibatkan adanya penimbunan kristal asam urat. Pada serangan akut disertai dengan demam, muncul rasa nyeri hebat dengan sentuhan kecil menimbulkan rasa sakit luar biasa.Rasa nyeri tersebut akan menghilang dengan sendirinya dalam beberapa jam/hari tanpa pengobatan. Persendian pada pangkal ibu jari paling sering terkena serangan asam urat, selain itu tumit, lutut, pergelangan tangan, jarijari dan siku. Ibu “Rs” sudah beberapa kali mencari pengobatan ke rumah sakit di pandeglang dan ke Tanggerang serta mengurangi makanan yang dapat menyebabkan asam uratnya kambuh seperti, jengkol dan petai Sebagaimana diceritakan ibu “Rs” 65 tahun. “Yeeh, ibu ieu geus lama sakit ti dieuk (memegang lututnya), geus sabarapa taun?aya mereun 12 tahun mah. Geus berobat kamana-kamana ibu mah. Ka pandeglang, ka tanggerang kamana bae geus di datangan. Tahun 2012 ibu haji, ieuk nyeuri lengit diangkat mereun ka gusti Allah. Jalan sabarapa jauh oge kuat bae, teu ngarasakeun nyeri. Mimiti uih kadieu aya deuik ki panyakitna. Ibu mah geus lami teu ngaemam jengkol, petei, sieun ari ngaemam nyeurina karasa.”
Faktor risiko terkena asam urat antara lain adalah konsumsi terlalu banyak xatindan turunnya purin terdapat dalam tubuh di semua sel hidup dari tumbuhan dan hewan (jerohan dan kulit hewan).Kandungan asam urat yang terlalu tinggi akan di timbun di dalam ginjal. Bila kondisi ini berlangsung lama dan terus menerus akan terjadi penyumbatan tubulus-tubulus ginjal sehingga akan merusak fungsi ginjal, pada kondisi parah akan menyebabkan gagal ginjal. Cara pencegahan adalah dengan memperbaiki pola makan, hindari mengkonsumsi xatin dan mencegah turunnya purin. Menghindari makan jerohan sapi, kambing, ayam, telur puyuh. Menghindari makan kacang-kacangan seperti kacang mete, kacang tanah, kecipir, kacang ijo dan kacang tolo serta kacang-kacangan lainnya.
94
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Cara pengobatan secara herbaldapat ditempuh pula. Jahe merah (Zingiber officinale) adalah herbal anti peradangan, jahe merah membantu mengurangi peradangan di sendi dan membuang tumpukan asam urat dengan memperlancar sirkulasi darah. Brotowali (Tinospora cordifolia) sebagai herbal utama meningkatkan daya imun tubuh, meringankan asam urat mengatasi diabetes, hipertensi, kolesterol tinggi dan menyehatkan organ vital. The hijau mengandung banyak polifenol yang berkerja sebagai antioksidan pencegah serangan asam urat (Irianto, 2014). 3.5.2 Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menularyang menyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia. Menurut data Kementrian Kesehatan RI tahun 2011, menunjukkan hipertensi masuk kedalam 10 penyakit angka morbiditas (kesakamin) tinggi dengan angka mortalitas (kematian) sebanyak 4,81%. Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang akan berkelanjut ke suatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (pembuluh darah jantung). Dengan target organ stroke di otak yang berupa stroke, hipertensi menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian tinggi (Bustan, 2007). Dimulai dengan atherosclerosis, gangguan struktur anatomi pembuluh darah peripher yang berkelanjutan dengan kekakuan pembuluh darah. Kekakuan dan kelambanan aliran darah menyebabkan beban jantung bertambah berat yang akhirnya dikompensasikan dengan peningkatan upaya pemompaan jantung yang memberi gambaran peningkatan tekanan darah dalam sistem sirkulasi. Sebagian besar orang tidak menyadari bahwa dirinya menyandang/mengidap hipertensi oleh sebab itu dalam dunia medis hipertensi disebut Silent Diseasekarena pengidap biasanya tidak merasakan sakit. Namun, apabila mengalami
95
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
kenaikan yang sangat tinggi baru akan muncul gejala sakit kepala, pusing, berdebar-debar, mimisan dan lain-lain. Tekanan darah tinggi jika tidak diperiksa dan diobati dengan baik, jantung akan cepat lemah. Keletihan, napas pendek (terengahengah) dan pembengkakan pada kaki dan pergelangan kaki merupakan tanda dari hipertensi. Tekanan darah normal berada antara sistolik 130-140 dan distolik 70-90. Pada tekanan distolik, hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi ringan (95-104 mmHg), hipertensi sedang (105-114 mmHg) dan untuk hipertensi berat (bisa mencapai 115 mmHg atau lebih) (Irianto, 2014). Hipertensimerupakan salah satu penyakit yang banyak dikeluhkan di Desa Tugu, tercatat terdapat 26 kasus Hipertensi (Profil Puskesmas CImanggu, 2015).Ketika peneliti mengikuti kegiatan Puskesling di kampung Tugu hilir beberapa warga yang memeriksakan kesehatan dan berobat mengeluhkan sering mengalami pusing, sakit kepala dan ketika diperiksa tekanan darahnya tinggi. Seperti yang diungkapkan salah satu informan Ibu “Um”. Ibu Um adalah salah satu penderita darah tinggi/hipertensi,dia sering mengalami sakit kepala, pandangannya kabur, dan tidak kuat berdiri lama karena merasa berputar-putar. Hasil pemeriksaan darah ibu Um mencapai 170 mmHg, ibu Um mengaku sudah lama menderita hipertensi lebih kurang sudah 10 tahun. Seperti yang di tuturkan ibu Um terkait penyakitnya. “berobat ka pandeglang titah ku anak,teuing geus sabaraha kali ka pandeglang, pandeglang oge teu kadinya bae ieu,kamari gek ke Bidan ka Cibadak di acak bae, teu matuh geus tilu kali, dokter agus tilu kali, nuju rumah sakit sakali jeung bidan, puguh kieu-kieu bae, ceuk abah Irca cena panyakit paeh cena terek cager berobat sabarapa kali oge karasa bae, puguh paeh enteu kie kie bae. Teuk di itung-itung keur berobat jeung bidan bae.Naon tea ubaran paling cengkudu, belimbing, bonteng, daun salam,geus kebel ieu oge teu matuh, kadokter kieu bae, nyeri beteng nyeri angen kana lambung cek dokter. Ngaemam bonteng, ubaran lain nyak kieu-kieu bae teu cager-cager acan. Kana sirah lieur lempang oge sok gegelonyoran.”
96
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Informan Ibu “Um” menyatakan sudah lama sakit hipertensi dan sudah mencoba berobat ke banyak tempak. Beliau pergi ke dokter, praktek bidan, ke rumah sakit di pandeglang. Karena tidak kunjung merasakan perubahan selama berobat, beliau mencoba obat herbal yaitu mengkonsumsi mengkudu, blimbing, mentimun, dan rebusan daun salam. Meskipun demikian, pengobatan herbal yang beliau lakukan juga tidak membuahkan hasil. Beliau tetap merasakan pusing pada kepala, pandangan kabur, dan tidak kuat berdiri lama. Pemicu hipertensi belum jelas, namun obesitas, dan asupan garam yang tinggi berperan dalam kemunculan hipertensi. Ketika tekanan darah tinggi maka jantung dipaksa untuk bekerja untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah yang terus menerus tinggi dapat mengakibatkan beberapa penyakit antaranya adalah Stroke, serangan jantung, gangguan ginjal, gangguan penglihatan dan kematian. Hipertensi dapat disembuhkan dengan menerapkan polah hidup sehat. Rumus untuk upaya pencegahan hipertensi adalah SEHAT artinya Seimbang gizi, Enyahkan rokok, Hindari Stres, Awasi tekanan darah teratur dan Teratur berolahraga sesuai usia (Kristanti, 2013).
97
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
BAB IV BANTAHAN, BELENGGU KEPATUHAN PADA KOKOLOT Masyarakat memiliki cara sendiri untuk menyikapi kehamilan, persalinan dan nifas. Kehamilan diartikan sebagai hal yang ditunggutunggu bagi ibu-bu yang telah berumah tangga. Berbagai prosesi tradisional dilakukan agar kehamilan ibu dan kandungannya terlindung dari hal buruk, seperti upacara tujuh bulanan. Prosesi acara tujuh bulanan sering dilakukan pada kehamilan pertama. Peran parajisangat besar dalam kehamilan, persalinan dan nifas. Berbagai bentuk larangan yang disarankan oleh kokolot termasuk parajimempengaruhi pemilihan keputusan yang diambil oleh ibu untuk penanganan kehamilannya sampai masa nifas, serta perawatan bayi. 4.1.
Kehamilan (Reneh) Kehamilan adalah proses penting terbentuknya calon penghuni bumi. Pasangan yang menikah membutuhkan kesiapan mental (kejiwaan) dan fisik (kesiapan sistem reproduksi baik perempuan ataupun laki-laki) yang kuat untuk memperoleh kehamilan yang sehat sehingga dapat menghasilkan anak yang sehat pula. Kehamilan adalah fase yang paling istimewa dalam kehidupan seorang wanita. Rasa bangga atas kehamilan yang dialami dan perasaan bahagia menjadi seorang wanita yang sempurna karena hamil dan akan melahirkan anak. Begitu juga yang dirasakan ibu-ibu di Desa Tugu terkait penyambutan kehamilan. Hamil, melahirkan, nifas adalah prosesi yang akan dilalui wanita dewasa, pengetahuan mengenai gejala kehamilan sedikit banyak telah diketahui oleh ibuibu. Di desa Tugu ketika seorang perempuan merasakan gejala kehamilan seperti mual-mual, pusing, tidak nafsu makan dan lemas. Ibu hamil akan memeriksakan kehamilan pertamanya ke paraji (dukun
98
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
bayi), untuk memastikan kebenaran hamil atau tidak. Biasanya paraji akan melakukan gedok atau urut perut untuk memeriksa kehamilan ibu. Pemeriksaan kehamilan pertamake bidan jarang ditemukan, kebanyakan ibu-ibu akan menghubungi paraji baru kemudian ke bidan desa. Namun pentingnya kesehatan menyadarkan ibu-ibu untuk senantiasa rutin mengikuti posyandu untuk memeriksakan kesehatan kandungannya ke bidan. Menurut pengakuan ibu-ibu semenjak ada bidan desa kesadaran Antenatal Care (pemeriksaan kehamilan) sedikit demi sedikit meningkat. Akan tetapi untuk persalinan mayoritas ibu hamil memilih untuk bersalin di rumah dengan parajidengan pendampingan oleh bidan. Berikut penuturan bidan Pibri terkait pemeriksaan gejala kehamilan yang dirasakan oleh ibu-ibu. “Kalau disini mah, jarang banget mbak misal ibu ada yang merasakan kalau dia hamil langsung diperiksakan ke saya. Periksanya ke paraji dulu, misal waktu di gedog sama paraji ternyata ada orognya baru dibawa kesini untuk di periksa lebih lanjut. Kalau periksa hamil dengan test pack jarang, tetapi kalo perawatan kehamilan sedikit-sedikit sudah mulai mau ke bidan”.
Gambar 4.1 Gedog atau urut perut saat hamil yang dilakukan Paraji Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Pengetahuan ibu-ibu di desa Tugu tentang ciri-ciri kehamilan, tentangapa yang dirasakan atau yang dialami sebagian besar menuturkan hal yang sama. Antaranya adalah tidak ada nafsu makan,
99
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
cepat merasa lelah, mual-mual, muntah-muntah, dan mengeluhkan pusing. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Ibu “En”, 30 tahun. “hamil nyah apal…….urang nu rek hamil tea? Sok lalieur, sok sarebel nah kitu ciri-cirina, rek masuk angin tea muntah-muntah kitu.” “ulah ngabelitken handuk bisi pabelit dina orokna, ulah ngaemamen genjer jen jantung pisang ke dina oroknya jadi hideung, ulah ngaemamen nu lada-lada tea bisi oroknya gugur.”
Mencermati tanda-tanda kehamilan yang dialami para ibu. Memastikan tubuh mengalami perubahan yang menunjukkan tandatanda kehamilan, yakni berhentinya haid adalah tanda pertama kehamilan.. Hampir semua kehamilan pada bulan pertama ditandai dengan munculnya rasa mual dan muntah. Gejala-gejala tersebut diatas sudah diketahui oleh ibu-ibu di desa Tugu. Tes kehamilan secara medis biasanya melalui tes urin dengan menggunakan Test Pack untuk memastikan adanya kehamilan. Berbeda dengan cara tradisional yaitu cara paraji melakukan pemeriksaan kehamilan yaitu dengan melakukan gedog atau mengurut perut ibu. Biasanya paraji akan meng-gedog ibu hamil sesuai dengan permintaan ibu, tetapi tidak terlalu sering. Di usia kehamilan tujuh bulan hingga menjelang persalinan paraji akan melakukan “disangsuri” yaitu kandungan ibu akan diurut guna membenarkan posisi bayi, memposisikan bayi ke atas. Perawatan Kehamilan Di desa Tugu kehamilan merupakan hal yang biasa saja sehingga tidak ada ritual khusus untuk ibu hamil. Tidak ada perbedaan perlakuan untuk perempuan yang sedang hamil, mereka tetap bekerja, baik pergi bekerja ke sawah, ke kebun atau mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan. Untuk ritual kehamilan juga bukan merupakan hal yang harus dilakukan ibu hamil. Seperti yang disampaikan oleh Ibu “Rh”, 40 tahun,yang usia kehamilannya menginjak bulan ke-6.
100
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
“nujuh bulanan kalo disini mah slametan doang……nu ngaharti mah nu kolot doank, biar selamet doank, ngalahirken gampang buat jaga-jaga kitu, teu gedhe-gedhe. Didieu mah jarang nu nujuh bulan, nu boga we nu nujuh bulan, yang nggak punya nggak nujuh bulan juga nggak apa-apa.”
Tidak banyak memang yang melakukan ritual tujuh bulan untuk ibu hamil, hanya orang-orang yang mampu secara finansial yang melakukannya. Menurut warga desa Tugu, ritual tujuh bulan tidak harus dilakukan, yang penting percaya dan berdoa kepada yang di “atas” meminta keselamatan dan kelancaran ketika menjelang persalinan. Berdasarkan informasi yang diperoleh ritual tujuh bulan biasanya warga menyediakan atau membuat rujak tujuh macambuahbuahan sebagai isi dari rujak itu. Tidak ada ketentuan harus berisi buah-buahan tertentu,asal ada tujuh macam buah yang digunakan. Selain menyediakan rujak, dihidangkan pula makanan lain yang akan disantap bersama keluarga dan tetangga. Pada usia kehamilan menginjak usia tujuhbulan, perut ibu akan di-sangsuri oleh paraji guna membenarkan posisi bayi dengan tujuan ketika proses persalinan bayi akan keluar dengan lancar. Ibu hamil juga menggunakan kenit dengan tujuan melindungi ibu dan bayi dari gangguan makhluk halus, tidak hanya ibu hamil saja yang menggunakan kenit bahkan semua perempuan dan balita baik perempuan atau laki-laki dan anak-anak juga menggunakan kenit. Masyarakat di Desa Tugu masih mempercayai dan menjalankan kebiasaan kolot (orangtua dulu). Kepercayaan ini diperoleh secara turun menurun dari dulu terkait menjaga diri dari gangguan makhluk gaib. Kenit dipercaya akan menjaga mereka dari gangguan makhlus halus (jurig/kunti).
101
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 4.2 Kenit yang dipakai Ibu Hamil untuk Melindungi dari Gangguan Makhluk Halus/Kunti Sumber: Dokumentasi Peneliti
Larangan atau Pantangan Ibu Hamil Desa Tugu berada di provinsi Banten, dimana kata “Banten” memiliki arti bantahan atau larangan.Banyak bantahan atau larangan yang berlaku di daerah ini, dari larangan hari, pemberian nama, larangan dalam bercocok tanam hingga pada larangan/pantangan untuk ibu hamil. Ibu hamil mempunyai beberapa pantangan atau larangan yang harus dipatuhi agar nantinya proses kelahirannya berjalan babari (lancar). Pantangan atau larangan biasanya akan disampaikan oleh orang tua, paraji (dukun bayi) dan atau oleh tetangga yang sudah berpengalaman atau yang lebih tahu dan memahami. Pantangan tersebut merupakan upaya menghindari halhal yang tidak diinginkan terkait kesehatan ibu dan bayinya. Berikut pantangan atau larangan untuk ibu hamil : 1. Ngabelit Handuk Ibu yang sedang hamil tidak boleh mengalungkan handuk ke leher untuk seluruh keluarga terutama suami dan istrinya. Handuk di gambarkan sebagai tali pusat bayi, berdasarkan penuturan dari
102
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
beberapa orangtua,pamali jika membelitkan handuk ke leher ketika hamil karena dikhawatirkan tali pusat akan mencekik bayi ketika berada di dalam rahim ibunya. Seperti yang di tuturkan oleh ibu “Nt”, 65 tahun “eta ceunah matak kitu, matak itu bayi. Kitu ditalian, jadi matak pantang, ulah. Anduk matak pantang dibeulit-beuliteun tuh ulah, eta geuning, atuh kurang….. kadinyana percaya. Loba nu kitu, loba, keun loba, eta, ceunah ceuk kolot. Atuh meureun hartina mah atuh…kitu, ulah teu beunang kitu.”
Membunuh binatang Selain pantangan untuk ibu, suami juga memiliki pantangan ketika istrinya hamil. Suami tidak boleh membunuh binatang apapun, baik binatang yang ditemui di dalam rumah dan di luar rumah. Menurut pandangan masyarakat desa Tugu, dikhawatirkan akan berdampak pada kesehatan bayi dan mengalami kecacatan ketika lahir. 3. Keluar malam Ibu yang dalam keadaan mengandung dilarang keluar rumah setelah maghrib. Selain pamalidikhawatirkan akan diganggu roh halus/kunti. 4. Dilarang tidur siang Ibu hamil dilarang tidur siang selama 9 bulan atau bisa dikatakan ibu hamil dilarang tidur siang selama hamil.Dikhawatirkan jika ibu hamil senang tidur siang, maka bayinya akan banyak memilikikili-kili (lemak) di sekujur tubuhnya. Misal ibu tidak sengaja tertidur diwaktu siang hari ibu diharuskan segera mandi ketika bangun. 5. Makan genjer, kangkung dan Jantung pisang Seorang wanita hamil dilarang makan genjer karena bisa menyebabkan “Ngabogbog bali”, bali atau Ari-ari bayi akan susah keluar ketika persalinan. juga dilarang makan jantung pisang karena 2.
103
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
warna kulit bayi akan hitam. Sesuai dengan penjelasan paraji ibu “Nt”, 65 tahun mengenai pantangan makanan tertentu. “Pantanganna sepertina kampong mah kitu nya. Kangkung, kitu nyah. Seperti sangu, sangu, intip tea nya, intip eta kitu. Maksudna ceuk kolot, ulah pamali eta….rapet ceunah kitu dina ieu kitu. Eta balina. Eta ge….di sawah tea nya kangkung paranti nyayur, kitu. Atuh di kampong mah eta ceunah sok regah seperti cacareunde ceunah kitu, regah itu tea, pegat kitu.”
Makan nanas, jahe, cikur (bebetihan), cabe Nanas, jahe, durian, cikur, cabe merupakan makanan yang dianggap panas, sehingga ketika hamil dilarang makan jenis makanan tersebut karena dikhawatirkan mengugurkan kandungan. 6.
Anjuran untuk ibu hamil Selain beberapa pantangan yang harus dipatuhi ibu hamil, ada beberapa anjuran yang harus dilakukan oleh ibu agar selama kehamilan memperoleh keselamatan dan kelancaran ketika menjelang persalinan. Beberapa anjuran untuk ibu hamil antara lain: 1. Kenit Pemakaian tali benang atau sobekan kain yang di ikatkan di perut ibu hamil agar tidak diganggu makhluk halus/jurig/kunti baik ibu hamil ataupun bayinya.Kenit pada umumnya diperoleh dari paraji, kenit yang dibuat dari tali benang akan di beri jampe-jampe atau doadoa oleh paraji kemudian baru dipasangkan ke perut ibu hamil. Penuturan mengenai kenit ibu hamil oleh paraji ibu “Nt”, 65 tahun. “ Oh eta doang kenit. Di pakean. Atuh nu hamil ge anu hayangeun mah dipakean dan hayang….henteuna, geuning kitu. Ai eta mah pan maksudna ai kenit nu eta mah ceuk kolot tea kitu nya urang ceunah, mun eta tea mah bieu ceuna ngenaunaheun ieu tereh peot, geuning kitu. Mun tos lahir, pan tali itu doang benang. Enya, lamun bikang samping euceu, sisina. Sisina tea. Ganti opat puluh poe bae ceuk pegatna, ai pegat mah atuh teu nanaon. Di kampong mah rame…nanaon deui ngan mah ngeunaheun bae kitu.”
2.
104
Membawagunting lipat dan peniti
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Selain menggunakan kenit ibu hamil juga perlu membawagunting lipat dan peniti yang dipasang di BH ibu hamil agar kunti tidak datang menganggu. 3. Minum minyak goreng Ibu hamil yang telah mendekati waktu kelahirandianjurkan untuk minum minyak goreng dengan maksud agar memudahkan proses saat persalinan. Dengan ibu meminum minyakgoreng dipercaya dapatmembuatvagina atau jalan lahir licin sehingga memudahkan bayi keluar.Paraji-pun menuturkan: “...mimiti keur eta ibu hamil uduna ngaleute minyak. Kitu di kampung mah, tereh ngajuruna... mun sok ngurut make minyak kalapa maksudna ai mun ngalahirkeun babari eta mah cekolot kitu nyah...”
Cara paraji mengetahui jenis kelamin bayi yang dikandung oleh ibu. Menurut paraji kalau perut ibu yang menonjol kanan biasanya perempuan, sedangkan jika perut yang lebih menonjol adalah sebelah kiri biasanya laki-laki. Persalinan (Ngajuru) Persalinan atau melahirkan merupakan peristiwa yang paling ditunggu-tunggu oleh ibu, suami dan keluarga. Siapa orangtua yang tidak bahagia menyambut anugerah terindah Illahi yang akan hadir dan mengisi warna dalam kehidupan rumah tangga. Suami harus siap siaga untuk memanggil paraji dan bidan desa ketika istrinya sudah merasakan mulas diperutnya. Ritual pra-persalinan umumnya hanya memberikan air putih yang sudah diberi jampe-jampe atau doa oleh paraji untuk mempermudah proses persalinan. 4.2.
105
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 4.3 Paraji sedang memberi jampe atau doa pada segelas air putih Sumber: Dokumentasi Penelitian
Mayoritas ibu hamil di Desa Tugu memutuskan untuk bersalin di rumah. Alasan utama ibu-ibu hamil memilih untuk melahirkan di rumah antaralain karena faktor biaya, dimana biaya ke paraji lebih murah dibandingkan biaya persalinan ke bidan.Menurut mereka melahirkan di rumah lebih nyaman, lebih leluasa, lebih enak, banyak keluarga yang menunggu sehingga kekhawatiran sedikit berkurang. Selain itu sudah menjadi tradisi ketika memilih untuk melahirkan di rumah dan di bantu oleh paraji. Berikut penuturan dari ibu “Rm”, 20 tahun. “ngelahirken ya dirumah bae, Bidan aja dipanggil sama paraji, lahir di rumah tidak ngerepotken bidan, mau apa-apa gampang tinggal ambil, banyak yang nungguin, pokonya enak aja. Biayanya kalo di pelayanan kesehatan juga mahal”
Pengambilan keputusan persalinan di desa Tugu sangat dipengaruhi oleh kolot (orang tua). Kepatuhan sangat dikedepankan karena takut akan terjadi hal-hal buruk. Peran suami juga sangat penting, peran utamanya adalah berjaga-jaga saat persalinan istri tiba. Suami bertugas untuk memanggil paraji dan bidan untuk membantu
106
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
persalinan ketika istri sudah merasakan gejala akan melahirkan. Alasan pemilihan bersalin pada parajikarena masyarakat merasa mendapatkan “paket komplit”. Paraji tidak hanya membantu persalinan tetapi juga pasca persalinan. Paraji akan memberikan perawatan menyeluruh kepada ibu dan bayi mulai memijat ibu dan memasang kenit setelah persalinan selama tujuh hari serta merawat bayi dan memandikannya sampai 40 hari. Untuk memperlancar dalam menolong persalinan pada ibu, paraji mengunakan beberapa alat bantu diantaranya adalah rumput fatimah dan minyak kelapa. Rumput Fatimah adalah salah satu tumbuhan yang selalu berada di dalam tas Paraji (Ibu Nr). Rumput Fatimah ini akan di rendam di gelas atau mangkok berisi air panas, jika kontraksi yang dialami oleh ibu merupakan kontraksi mendekati persalinan. Rumput Fatimah ini akan mengembang menjadi besar bahkan ukurannya akan melebihi gelas atau mangkuknya. Setelah itu air rendaman rumput Fatimah ini diminumkan kepada ibu sebanyak satu sendok makan, untuk menguatkan atau memicu kontraksi yang dirasakan ibu. Sisanya digunakan untuk membasuh wajah ibu dan diusapkan ke perut ibu. Tetapi jika belum mendekati saat persalinan, rumput Fatimah yang direndam tersebut tidak akan mengembang (ukurannya akan tetap sama dan tidak akan berubah).
107
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 4.4 Rumput Fatimah Sumber: Dokumentasi Peneliti
Minyak kelapa digunakan untuk mengurut ibu hamil menjelang bersalinsaatibu mengalami kontraksi. Paraji biasanya memijatperut ibu untuk memposisikan bayi agar mudah keluar, selain itu dapat mengurangi rasa sakit akibat kontraksi.
Gambar 4.5 Minyak Kelapa yang digunakan untuk memijat perut ibu yang akan melahirkan Sumber: Dokumentasi Peneliti
Setelah proses persalinan selesai, air putih yang telah diberi jampe, kemudian digunakan paraji untuk menyiram vagina atau jalan
108
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
lahir. Hal ini dimaksudkan untukmenghentikan darah yang keluar ketika proses persalinan berlangsung, dan sisanya diusapkan ke wajahibu. Semua prosesi yang dilakukan oleh paraji adalah untuk mencari keselamatan bagi ibu dan bayinya. Foster dan Anderson (1986:335) menjelaskan bahwa pada sebagian besar masyarakat non-Barat, kelahiran menimbulkan suatu pergumulan denga roh-roh yang tertarik oleh unsur-unsur yang keluar dari tubuh si wanitadan peristiwa persalinan. Janin yang belum sepenuhnya berbentuk manusia, dapat dengan mudah dipancing ke alam supranatural, dimana seringkali dianggap belum dibebaskan. Kelahiran merupakan saat dimana rasa sakit dirasakan oleh ibu, pendarahan dapat menjadi ancaman kematian, oleh karena itu hal ini juga merupakan dari karekteristik dari sakit yang dianggap oleh banyak masyarakat. Nifas Pantangan atau larangan kepada seorang ibu tidak hanya ketika dia mengandung, setelah melahirkanpun ibu memiliki pantangan yang juga harus dipatuhi. Selama 40 hari setelah melahirkan ibu dilarang makan-makanan sembarangan. Ibu hanya diperbolehkan makan nasi dengan sambal pepeh, sambal khusus untuk mempercepat proses penyembuhan. Seperti yang sedang dilakukanoleh ibu Rd, ibu Am dan ibu Ia.Ketiga ibu yang masih dalam masa nifas ini dilarang mengkonsumsi makanan selain nasi dan sambal pepeh selama 40 hari kedepan. Sambal tersebut terbuat dari kunyit, kunci, jahe, daun songom, ditambah dengan terasi bakar. 4.3.
109
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 4.6 Pembuatan Sambel Pepeh untuk Ibu Nifas Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti
Pasca persalinan selama 40 hari ibu juga dilarang tidur terlentang. Pada masa nifas ibu diharuskan tidur dengan posisi nyanda (bersandar), dandiujung telapak kaki ibu diletakkan sebuah batu atau kayu atau benda berat untuk membuat posisi badantetap tegak. Posisi tidur bersandar bertujuan mengembalikan posisi rahim ke tempat semula dan untuk merapatkan kembali jalan lahir setelah dilewati kepala bayi.Posisi tidur bersandar juga dipercaya membuat darah kotor sisa persalinan tidak akan mengalir ke kepala sehingga tidak menganggu penglihatan ibu, misalkan penglihatan akan berkurang/menjadi rabun.
110
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 4.7 Ibu Nifas Nyanda Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain bersandar,ibu nifasjuga menggunakan sabuk bereum (sabuk merah) yang diisi biji-biji gabah pada ujung sabuk.Sabuk yang diisi dengan biji-biji gabah sebelumnya telah diberi jampe oleh paraji. Biji gabah tersebut disimpan di ujung sabuk dan kemudian akan di sampulkan agar tidak terlepas.Perut ibu yang sudah di gedok oleh paraji kemudian ditali dengan sabuk bereum,yang dibalutkan mulai dari pinggang sampai pantat ibu. Hal ini bertujuan agar rahim kembali ke tempat semula dan tidak khawatir akan turun kebawah. Perawatan ibu nifas tidak hanya dilakukan atau diberikan oleh bidan saja, perawatan oleh paraji masih berlangsung sampai hari ke 40 (masa nifas). Banyak pantangan atau larangan yang harus dilakukan ibu nifas sampai masa pembersihan yaitu pada hari ke-40.
111
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 4.8 Ibu Nifas memakai Sabuk Bereum berisi Biji Gabah Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain benda-benda yang harus dipakai ibu nifas selama 40 hari, tempat tidur ibu dan bayi juga di beri tetojer (penahan/penangkal) jimat yang ditulis oleh parajidengan menggunakan bubukkapur putih. Hal ini dipercaya agar tempat ibu dan bayi beristirahat tidak diganggu oleh makhluk halus yang berniat menganggu ibu dan mengambil bayinya.
112
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 4.9 Tetojerberupa tulisan dari kapuryang ditulis oleh Paraji Sumber: Dokumentasi Peneliti
Perawatan Bayi Sama halnya dengan ibu hamil dan nifas yang mengandung unsur budaya yang melekat dalam nafas penduduk desa Tugu, perawatan bayipun tidak lepas dari ritual budaya. Paraji melakukan perawatan tilu peuting (tiga malam), tujuh peuting (tujuh malam) pada bayi sejak kelahirannya. Bayi dimandikan oleh paraji, kemudian setelah bersih parajiakan segera membaluri badan bayi dengan menggunakan parutan kunyit yang telah disediakan. Parutan kunyit tersebut di percaya dapat mencegah radang kulit yang sering dialami oleh bayi yang baru lahir. Selain menggunakan parutan kunyi, sebagian masyarakat juga menggunakan beras kencur untuk dibalurkan ke badan bayi. Penggunaan kencur selain untuk membuat kulit bayi menjadi halus, badan bayi akan menjadi harum.
113
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Gambar 4.10 Parutan Kunyit mencegah radang kulit pada bayi Sumber:Dokumentasi Peneliti
Air yang digunakan untuk memandikan bayi, akan dicampur dengan telur, kembang tujuh rupa, uang koin, dan juga honje Bendabenda yang terdapat dalam air mandi tersebut mengandung beberapa makna antara lain adalah: telur bermakna sesuatu yang utuh.Telur ini nantinya akan digunakan ketika hari ke tujuhpada saat upacara ngayun dan pemberian nama. Kembang tujuh rupa bermakna agar bayi kelak banyak orang yang menyukainya. Uang koin yang dimasukkan ke dalam air mandi bermakna agar rejeki pada anak ini kelak lancar dan berlimpah.
Gambar 4.11 Air untuk memandikan bayi yang telah diberi ramuan Sumber: Dokumentasi Peneliti
114
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 4.12 Air dengan koin serta Beras kencur Sumber: Dokumentasi Peneliti
Batok kelapa berisikan abu (hasil pembakaran di tungku dapur yang telah dicampur dengan garam dapur), dipercaya sebagai obat untuk membantu mempercepat keringnya pusar bayi. Setelah dimandikan oleh paraji, pusar bayi diberi abudan garam lalu dibalut dan diikat dengan menggunakan kain. Pemberian abudan garam ini sampai pusar bayi kering dan puput. Jika pusar bayi belum kering pemberian abudan garam belum akan dihentikan.
Gambar 4.13 Batok kelapa berisi abu dan garam Sumber: Dokumentasi Peneliti
115
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Pereh mata adalah air putih yang berisi bakaran batok kelapa. Batok kelapa tersebut awalnya adalah satu buah kelapa utuh yang dibakar hingga berubah menjadi arang. Arang batok kelapa hasil pembakaran tersebut kemudian dimasukkan kedalam gelas yang berisi air. Pereh mata ini akan diteteskan ke mata bayi, dengan tujuan agar penglihatan bayi baik, matanya bagus, bening dan sehat.
Gambar 4.14 Pereh Mata Sumber: Dokumentasi Peneliti
Hasepan adalah tempat untuk menanak nasi. Hasepan dipakai sebagai pelindung atau penangkal untuk melindungi bayi dan ibunya dari gangguan makhluk gaibhalus/kunti yang suka mengganggu bayi dan ibunya. Hasepanyang telah ditulisi mantraoleh paraji dengan menggunakan apudiletakkan di tempat tidur bayi dan ibunya.Hanya parajiyang paham dan mengerti arti mantra yang ditulis di hasepan.
116
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Gambar 4.15 Hasepan yang diberi tulisan mantra Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tradisi Nyiru Bayi yang baru lahir diletakkan di atas nyiru(tampah). Nyiru tersebut di isi dengan beras, uang, gunting, honje, panglai golok (untuk bayi laki-laki), sisir dan kaca (untuk bayi perempuan) serta air dalam botol.Nyiruberfungsisebagai pengganti tempat tidur. Bendabenda yang diletakkan di dalam nyiru juga mengandung makna. Beras bermakna kemakmuran, beras ini akan ikut dimasak ketika upacara tujuh hari bayi sekaligus ngayun dan pemberian nama pada bayi tersebut. Uang bermakna rejeki, tidak ditentukan nilai uang yang harus di letakkan di dalam nyiru tetapi wajib untuk menaruh uang di dalamnya. Hal ini dipercaya agar kelak bayi memiliki rejeki yang baik dan berlimpah. Gunting, honje, dan panglai bermakna sebagai pelindungdari kunti yang suka mengganggu bayi yang baru lahir. Air bermakna suci, air dalam botol yang diletakkan di dalam nyiru bermaksud agar bayi tidak takut air dan senang mandi agar selalu bersih dan suci. Golok bermakna keberanian, golok ini diletakkan di dalam nyiru ketika bayi yang lahir adalah laki-laki,agar kelak bayi lakilaki ini berani dan bertindak benar. Sedangkan sisir dan kaca yang
117
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
diletakkan di dalam nyiru ketika bayi yang terlahir adalah perempuan, hal ini bermaksud agar bayi ini suka berhias diri.
Gambar 4.16 Tradisi Nyiru Sumber: Dokumentasi Peneliti
PARAJI, penolong persalinan yang menentramkan Budaya dan tradisi adalah sesuatu yang dianggap masyarakat harus terus diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Atas kepercayaan dan keyakinan terhadap hal tersebut, jika tradisi itu ditinggalkan takut akan menyebabkan hal yang berdampak buruk terhadap keluarga dan masyarakat. Riskesdas 2010 menunjukkan sebesar 40,2% masyarakt Indonesia memilih bersalin bersama dukun bayi. Paraji bayi adalah tenaga penolong persalinan yang dipercaya dan disegani oleh masyarakat setempat. Paraji adalah seseorang yang trampil dan mampu serta paham dalam menolong persalinan. Paraji juga seseorang yang dianggap mampu dan mempunyai kekuatan supranatural dan spiritual yang dapat diandalkan dalam melakukan pertolongan persalinan sehingga ketika ibu bersalin, ibu merasa aman dan nyaman jika ditolong oleh paraji (Nuraeni, 2012).Rasa kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan paraji tentu tidak tumbuh dengan sendirinya, rasa kepercayaan dan keyakinan tersebut
4.4.
118
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
tumbuh karena masyarakat itu sendiri mempertahankan nilai-nilai dan tradisi yang ada di masyarakat. Di desa Tugu bersalin dengan pertolongan paraji sudah menjadi hal umum dan sudah mendarah daging di masyarakat. Alasan memilih paraji karena mempertahankan tradisi serta dipengaruhi oleh faktor ekonomi atau biaya yang relatifterjangkau. Seperti yang disampaikan oleh ibu “Rh” 40 tahun. “soal nyaman teu nyamanya mah mereun kalo pake paraji, kalo orang sini mah soal nyamannya mah dina keuangannya. Kalo sama bidan mah dobel, tapi nayaman mah nyaman aya bidan kalo ada bidan missal kurang aman langsung di bawa kakaler (puskesmas). Nyaman lagi aya dua-duanya, paraji kan langsung selesai lairan di urut, di kasih jampe-jampe, jadi ngerasa aman nggak di ganggu ama kunti”
Berbagai alasan dilontarkan oleh informan yang memilih paraji bayi atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan “Paraji” untuk membantu proses kelahiran. Faktor rasa aman: Pelayanan yang diberikan oleh paraji bayi bukan hanya ketika persalinan saja, tetapi sampai dengan empat puluh hari, yaitu mulai dari menolong persalinan, mengurus bayi, memandikan bayi setiap hari, memijat tiga hari, memijat tujuh hari, lima belas hari, dan empat puluh hari (pembersihan).Informan menyatakan, selain menjalankan tradisi yang sudah ada sejak lama, penggunaan paraji juga merupakan salah satu cara mencari keselamatan.Meskipun sudah sedikit bergeser melahirkan dengan bidan, tetapi paraji selalu ada ketika persalinan. Bersalin dengan bidan lebih tenang jika terjadi hal yang apa-apa bisa memberi pertolongan medis dan lebih tenang lagi jika di tambah dengan keberadaan paraji karena ada yang memberi doa-doa untuk keselamatan. Faktor tradisi: kebiasaan dari jaman orang tua dulu melahirkan ke paraji bayi. Dengan bersalin ke paraji, ibu lebih merasa nyaman, dalam artiparaji dapat memijatperut ibu ketika merasa sakit, selalu ada jika dibutuhkan, memberi perawatan selama 40 hari berturut119
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
turut.Paraji juga memberikan rasa aman dari gangguan makhluk gaib, karena dipercaya bahwa paraji memiliki kekuatan spiritual untuk melindungi ibu dan bayinya dengan jampe-jampe dan doa-doa yang diberikan. Faktor biaya: biaya ke paraji bayi lebih terjangkau, pembayarannya dapat menggunakan beras, atau sembako, atau pemberian seikhlasnya dari keluarga. Paraji tidak pernah mematok biaya bersalin. Fakto jarak: paraji cenderung lebih cepat datang jika dibutuhkan, selalu siap dan cepat. Jika ada ibu hamil yang akan melahirkan dan berupayamenghubungi bidan, ternyata bidan sedang berada di puskesmas atau berada di tempat lain sehinggamembutuhkan waktu lama, mereka akan berupaya mencari paraji.Dengan adanyaparajiyang rumahnyalebih dekat dan mudah dihubungi maka mereka akan memanggil paraji. yang dipikirkan adalah keselamatan ibu dan bayi.Bagi mereka yang penting adalah keselamatan ibu untuk segera dapat melahirkan dengan cepat dan selamat. 4.5.
Kematian ibu bersalin, bukan salah siapa siapa? Pada saat observasi di lapangan, peneliti menemukan kejadian tragis, memilukan dan sangat memprihatinkan terkait kejadian kematian Ibu saat melahirkan. Kejadian tersebut semestinya tidak perlu terjadi, mengingat Kab. Pandeglang merupakan salah satu kabupaten prioritas Kemenkes dalam percepatan penurunan AKI. Saat itu, Kamis malam Jumat, hampir tengah malam, bidan Pb (seorang bidan desa) mendapatkan telpon dari keluarga Teh Ts terkait dengan kontraksi yang dirasakannya. Menurut pengakuan dari Teh Ts dia merasakan kontraksi sejak pukul 23:00, sakit perut yang tidak dapat dia tahan. Jumat, dini hari, bidan di jemput oleh suami Teh Ts untuk memastikan keadaan istrinya. Ketika dilakukan pemeriksaan, baru pembukaan satu tetapi darah sudah keluar dari jalan lahir 120
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
(vagina). Ketika itu bidan telah berunding dengan Teh Ts dan suami mengenai keadaan tersebut, dan menyarankan untuk dirujuk ke puskesmas. Tetapi ternyata dari pihak orang tua belum mengijinkan untuk di rujuk, mereka masih mempertahankan Teh Ts untuk bersalin di rumah. Bidan tidak dapat melakukan apapun, jika kolot (orang tua) sudah menghendaki untuk melakukan persalinan di rumah. Karena pembukaan masih lama, kemudian bidan diantar kembali pulang ke Puskesdes (Bidan tinggal di Puskesdes). Pagi itu tepat pukul 10, bidan kembali dijemput oleh suami Teh Ts. Pembukaan jalan lahir berjalan lancar dan cepat, proses persalinan tidak mengalami kesulitan yang bermakna (babari kalo orang sunda bilang). Lebih kurang 15 menit Teh Ts melakukan proses bersalin (ngeden), tepat pukul 10:30 bayi perempuan dengan berat badan ± 3,2 kg, berkulit putih lahir dari rahim ibunya. Bidan kembali memeriksa kesehatan ibu, mengecek tekanan darah, denyut jantung, semua baik. Teh Ts sempat meminta makanan, dia juga minta untuk dibuatkan teh manis dan susu. Pukul 11 siang pasien menunjukkan keadaan umum tubuh yang menurun, banyak darah yang keluar dari jalan lahir, tekanan darah mulai turun saat itu tensi darah menunjukkan 70/sekian mmHg (diastole kurang terdeteksi). Secepat mungkin bidan memasang infus di tangan kanan Teh Ts, untuk membantu pemulihan tubuh. Perdarahan tidak mau berhenti, berkali-kali bidan mengganti kain sebagai dasaran/alas pasien, kain tersebut kembali basah dengan darah. Kemudian bidan memeriksa jalan lahir pasien, dan meminta ijin kepada paraji yang kebetulan adalah ibu dari Teh Ts sendiri untuk menjahit jalan lahir yang mengalami robekan. Selesai menjahit, perdarahan yang keluar dari jalan lahir tidak mau berhenti.
121
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Paraji kemudian memijat perut Teh Ts dengan menggunakan minyak kelapa, dipijat beberapa kali dengan maksud menghentikan pendarahan. Paraji juga mengunyah panglai (kunyahan kunyit dan jahe) untuk menghilangkan sawan yang dialami oleh Teh Ts. Tetapi sekian banyak usaha yang dilakukan bidan dan paraji, belum membawa perubahan yang berarti. Bidan kemudian memutuskan untuk memasang kembali infus di tangan kiri Teh Ts, untuk menghindari hal yang tidak di inginkan. Bidan sudah tidak tahu apa yang akan dilakukannya, saat itu hujan turun cukup deras, keadaan mati lampu, sinyal HP hilang. Jum’at siang itu tidak ada yang dimintai tolong untuk menjemput bidan I (teman bidan Pb) yang berada di Rencecet (salah satu kampung terdekat) karena para laki-laki sedang sholat Jum’at. Bidan Pb masih melakukan usaha untuk kembali mengembalikan kekeadaan yang normal. Setelah shalat Jumat, bidan Pb meminta beberapa laki-laki untuk menjemput bidan I, dengan keadaan jalan menuju Rencecet sangat sulit apalagi ketika hujan turun. Kendaraan tidak dapat melintas, perjalanan harus di tempuh dengan berjalan kaki. Tidak hanya pengobatan secara medis yang diusahakan dari pihak keluarga. Keadaan yang di hadapi Teh Ts dipercaya oleh masyarakat merupakan gangguan dari makhluk gaib (kunti), sehingga pihak keluarga memanggil paraji untuk menolongnya. Seorang paraji yang berusia ± 70 tahun datang dengan menggunakan peci hitam dan celana panjang. Alat yang di sediakan dari pihak keluarga adalah daun siri, kemenyan, rokok, panglai dan uang yang dibungkus dengan menggunakan daun pisang. Dengan membawa piring berisi arang panas, paraji tersebut mengambil kemenyan yang berada di dalam bungkusan daun pisang dan ditaburkan ke dalam piring sambil membaca doa-doa. Selesai melakukan doa-doa tersebut kemudian paraji itu memegang piring, dan piring tersebut diputarkan ke seluruh tubuh Teh Ts mulai dari kepala sampai kaki dan seterusnya sampai 3 122
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
kali. Setelah itu panglai yang juga terdapat di dalam bungkusan daun pisang, di beri doa-doa kemudian dikunyah dan disemburkan ke kepala, perut dan kaki Teh Ts. Ketika proses tersebut terjadi, Teh Ts tidak mau diam, dia terus berkata kata tidak jelas yang membuat seisi rumah menjadi panik. Tubuhnya juga tidak mau diam selalu ingin untuk beranjak dari tidurnya sehingga bidan dan beberapa orang menahan dan memegang kaki dan pundaknya. Ritual penyembuhan yang dilakukan paraji telah selesai, tetapi pendarahan yang terjadi tidak berhenti pula. Paraji kemudian ke dapur belakang dan mengambil air yang disimpannya di dalam gelas plastik. Kemudian dibawanya mendekati pasien, dan memberi jampe air tersebut. Setelah selesai memberi jampe air tersebut kemudian disiramkan sebanyak 3 kali ke jalan lahir dengan tujuan untuk menghentikan pendarahan, dan sisanya diusapkan ke wajah dan perut pasien. Sekian lama menanti akhirnya bidan I datang, keadaan semakin panik karena Teh Ts sudah tidak menunjukkan gerakan apapun. Semua keluarga yang saat itu menunggu di dalam rumah histeris, karena berpikir Teh Tstelah meninggal. Tetapi bidan I dengan tenang meyakinkan kepada pihak keluarga bahwa Teh Ts belum meninggal, bidan Pb dan bidan I masih berusaha menolong. Mereka juga berusaha memasangkan infus ke tiga di kaki sebelah kiri dan meminta pihak keluarga untuk menekan infus agar cairan infus mau masuk ke dalam tubuh pasien. Tetapi karena denyut nadi sangat lemah,sehingga sangat sulit menentukan pembuluh darah yang harus dipasang infus. Beberapa saat pihak keluarga sedikit tenang, bidan I kembali memeriksa denyut jantung pasien, dan bidan Pb masih berusaha memencet cairan infus.
123
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Tetapi, Innalillahi wa inna illahi rojiun, memang takdir berkata lain, lebih kurang pukul 13:30 hari Jumat itu Teh Ts meninggal dunia. Perdarahan yang dia alami menyebabkan kematian. Kesedihan tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga, tetapi bidan Pb juga merasakan hal yang sama. Dalam hati kecilnya berkata, semua hal yang dia lakukan tidak membuahkan hasil. Teh Ts tetap pergi meninggalkan keluarga kecilnya. Teh Ts adalah ibu muda berusia 28 tahun, ini merupakan persalinan anak kedua. Anak pertamanya laki-laki berumur 5 tahun. Bidan Pb seakan tidak percaya dengan peristiwa tersebut.Setiap menyambangi rumah duka untuk memeriksa keadaan bayi Teh Ts, bidan Pb selalu teringat akan kejadian itu. Namun dengan tegar dia tetap melakukan kewajibannya untuk memeriksa neonatus, bayi Teh Ts. Cerita-cerita adanya sosok makhluk halus yang lebih dikenal masyarakat sebagai kunti juga memberi warna dan cara pandang masyarakat dalam menyikapi peristiwa ini. Masyarakat juga tidak menyalahkan siapa-siapa dalam kejadian kematian Teh Ts, seperti yang diungkapkan oleh salah satu kokolot yang ada di Desa Tugu : “Moal, moal ayeuna nanaon beujakeun tanggung jawab abah siap terjun. Moal ge sadar ieh keluargana, balik peuting ainggeh diditu, heeh dasar mah kolotna paraji atuh maksudna ngalahir beres, teu ayeuna naon” “tidak apa apa, bilangin tanggung jawab, abah siap turun. Tidak akan sadar keluarganya, pulang malam dari sana, heeh dasar itu kan orang tuanya paraji, melahirkanya juga lancar, tidak ada apa apa”
Merujuk peristiwa ini, beberapa keputusan memang ada di tangan keluarga pasien. Saran yang telah diberikan oleh bidan untuk dirujuk melakukan persalinan pada fasilitas kesehatan dengan harapan tersedianya peralatan yang lebih memadai dan menjaga keselamatan, namun keluarga tetap menolak. Kepercayaan bahwa ibu hamil rentan terhadap gangguangangguan makhluk halus (kunti) menjadikan banyaknya tindakan
124
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
penjegahan (preventif) secara tradisional. Masyarakat desa Tugu, dengan keadaan seperti ini, lebih memilih untuk melahirkan dirumah. Menurut mereka rompok (rumah) merupakan tempat yang nyaman dan aman untuk melahirkan. Selain itu, ada beberapa alasan mengapa mereka memilih untuk melahirkan di rumah, diantaranya adalah, lebih leluasanya pihak keluarga untuk menjaga dan menemani, biaya ke fasilitas kesehatan (faskes) yang mahal dan jauh. Pemilihan melahirkan dirumah juga dipengaruhi karena faktor keselamatan agar terhindar dari hal-hal gaib yang mengganggu. Untuk menghindari hal itu, paraji merupakan orang yang dirasa tepat untuk mengatasi hal tersebut. Jika mereka melahirkan dan dirujuk ke puskesmas, maka mereka hanya akan dibantu oleh tenaga kesehatan dengan tindakan medis, bukan secara tradisional. Karena dengan cara tradisional dan kepercayaannya, mereka merasa lebih nyaman. Manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sehingga setiap individu juga tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari pihak luar. Masyarakat jawa, keluarga besar memegang peran penting terhadap kehidupan keturunannya. Peran keluarga luas yang kuat nampak pada berbagai aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi hingga pada sistem kepercayaan. Masalah yang dihadapi oleh setiap anggota keluarga dapat dengan mudah diketahui oleh keluarga luas termasuk masalah dalam keluarga inti. Sebagai mana juga dijelaskan oleh Clark dalam Foster and Anderson, dalam sebuah masyarakat hubungannya dengan personal medis, seorang pasien tidaklah bebas untuk membuat keputusan yang segera dan menentukan mengenai kesehatannya sendiri. Ia tidak bertindak sebagai individu tetapi seorang anggota keluarga. Teh Ts yang merupakan anggota dari sebauh keluarga luas juga harus menunggu keputusan dari ibunya yang merupakan paraji ketika dia melahirkan. Teh Ts yang sebelumnya juga telah menceritakan segala
125
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
keluhan yang dialami dan mendapat saran dari bidan Pb agar mendapatkan perawatan yang terbaik (1986:187) Dalam foster dan anderson juga dijelaskan bahwa penyakit bukan hanya merupakan gangguan biologi, melainkan merupakan krisis sosial dan merupakan masa penyesuaian kembali bagi suatu kelompok secara keseluruhan. Oleh karena itu, telah menjadi kebiasaan bagi seseorang untuk mengutarakan semua keluhan sakit yang dirasakan pada kerabat dan handai taulan untuk ikut mempertimbangkan, sebelum ia mengambil langkah untuk memperoleh pengobatan. Disinilah terlihat berbagai peran dari keluarga luas dalam membantu mengambil suatu keputusan untuk kemudian ditindak lanjuti. Keluarga luas menjadi tumpuan bagi keluarga inti, seperti halnya teh Ts, dalam pengambilan keputusan. Ibu teh TS yang merupakan paraji memiliki peran ganda dalam penanganan proses kelahiran, sehingga dalam proses pengambilan keputusan beliau sangat dipercaya. Seperti yang dijelaskan oleh foster dan anderson (1986:301)bahwa pengakuan terhadap para penyembuh adalah penting karena, sebagai tambahan terhadap masalah tenaga kerja, kenyataan tetap ada bahwa tidak ada sistem medis ilmiah yang sepenuhnya memuaskan seluruh kebutuhan kesehatan dari suatu bangsa. Banyak orang pada kondisi tertentu akan berpaling pada bentuk pengobatan yang bersifat non-lembaga. Bentuk perawatan kesehatan alterbatif sekiranya dapat memenuhi kebutuhan kesehatan dari segi sosial, psikologis dan mungkin pula organik, yang bagi beberapa orang, paling sedikit tidak berhasil diperoleh dari dokter maupun dari pelayanan kesehatan yang bersifat formal. Singkatnya, apabila pengobatan ilmiah yang baik tidak tersedia bagi penduduk dan sulit untuk dijangkau -seperti fasilitas kesehatan, mode transportasi hingga sarana jalan- oleh masyarakat pada waktu
126
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
dan tempat yang tepat, maka pengobatan alternatif dapat menjadi pilihan pertama bagi penduduk tradisional.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1.
Kesimpulan Masyarakat Desa Tugu memiliki adat istiadat yang masih dilaksanakan dan dipercayai.Terlebih terkait dengan masalah kesehatan ibu dan anak. Masyarakat memiliki banyak pilihan dalam mengatasi tantangan kesehatan. Mulai dari pengobatan medis yang dilakukan oleh bidan hingga pengobatan tradisional dan dukun bayi (paraji) yang khusus mengatasi tantangan pada Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Di Desa Tugu sendiri, peran bidan menjadi bagian penting dari upaya-upaya masyarakat mendapatkan kesehatan dan keselamatan.Bidan sebagai tenaga kesehatan yang ditempatkan di Desa berperan dalam pengobatan medis. Melalui poskesdes masyarakat memeriksakan penyakit untuk mendapatkan pengobatan. Namun, jika pengobatan medis dirasa tidak mampu mengobati masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. masyarakat akan beralih pada pengobatan tradisional. Masyarakat percaya bahwa penyakit yang tidak dapat disembuhkan melalui medis merupakan penyakit yang berasal dari hal supranatural. Dalam hali ini, orang tualah (kolot) dipercaya mampu mengobatinya.
127
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Media yang digunakan adalah air putih dan kemenyan. Air putih digunakan untuk mensucikan badan sedangkan kemenyan digunakan sebagai perantara antara kokolot dan makhluk goib yang mengganggu. Kolot juga berperan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin acara slametan yang diadakan sebelum malam hajatan seperti nikah atau khitanan. Acara ini bertujuan untuk mencari ridho dan keselamatan pada Tuhan agar upacara hajat yang akan diadakan keesokan harinya dapat berjalan dengan lancar. Terkait dengan kesehatan ibu dan anak salah satu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan adalah kegiatan Posyandu. Pelayanan Posyandu rutin dilaksanakan setiap satu bulan sekali. Pelayanan kesehatan yang diberikan adalah penimbangan berat badan ibu hamil dan balita, memberikan imunisasi dan vitamin, dan memeriksa tekanan darah serta mendeteksi resiko tinggi pada ibu hamil. Selain bidan, paraji menjadi pilihan masyarakat terkait permasalahan kesehatan ibu dan anak. Hal ini berkatan dengankepercayaan mengenai hal-hal mistis yang melekat kuat pada masyarakat. Masyarakat percaya bahwa ibu hamil dan bayi rentan di ganggu oleh makhluk halus yang sering disebut sebagai kunti. Adanya hal mistis ini ibu hamil dianjurkan untuk menjalani ritual-ritual dan memakai jimat pelindung serta melaksanakan pantangan dan anjuran yang diberikan oleh paraji dan orang tua.Suami mempunyai tanggung jawab yang sama dengan istri di dalam melaksanakan serangkaian pantangan yang diperkirakan mencegah bahaya yang akan terjadi saat kelahiran yang akan berdampak pada ibu dan bayi. Paraji memiliki peran yang menyeluruh. Mulai dari awal kehamilan hingga pada lahirnya bayi. Pemeriksaan awal kehamilan ibu akan terlebih dahulu diperiksakan kepadaparaji untuk memastikan benar atau tidak ibu dalam keadaan “isi”. Ketika paraji memastikan bahwa ibu sedang mengandung, barulah ibu memeriksakan kehamilannya ke bidan. Perawatan pertama adalah dengan memijat 128
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
perut ibu hamil, memberikan perlindungan kepada ibu hamil dengan kenit hingga pada proses melahirkan dan nifas. Dalam melakukan persalinan, sudah terdapat koordinasi antara bidan dan paraji. Dengan bidan sebagai memegang peran terhadap medis dan paraji memegang peran terhadap hal yang bersihat supranatural. Apa yang dilontarkan dan disarankan oleh paraji dan orang tua (kolot) selalu memiliki tempat yang utama bagi para ibu hamil. Bantahan atau larangan dan anjuran yang diberikan oleh paraji dan orang tua sebisa mungkin dihindari dan dilakukan, agar mendapatkan keselamatan. 5.2. Rekomendasi 1. Kemitraan bidan-dukun harus selalu berjalan beriringan, meskipun tidak sedikit yang masih memilih paraji sebagai penolong persalinan, ketika bidan dan dukun berada bersama saat persalinan, bidan harus berupaya selalu memegang peran utama dalam persalinan. Bidan dapat berbagi tugas lain kepada paraji untuk pemasangan kenit, memandikan bayi dan mengubur ari-ari. 2. Mendayagunakan sumber daya manusia terutama kokolotdi Desa Tugusebagaiagen kesehatan untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat pentingnya menggunakan fasilitas kesehatan untuk menangani persalinan ibu. 3. Menguatkan fungsi sarana dan prasarana yang mendukung pelayanan kesehatan masyarakat seperti akses jalan dan poskesdes.
129
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Foster. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia As-sayyid, A. B. 2006. Pola Makan Rasulullah Makan Sehat Berkualitas Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah. Al Mahira: Jakarta Bustan . M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit tTidak Menular Cetak 2. Rineka Cipta. Jakarta Dinkes Kabupaten Pandeglang. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2014. Pandeglang: Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang. Fahmi Arma. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Ibu dalam Memilih Penolong Persalinan Di Nagari Sungai Buluh Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Usang Kabupaten Padang Pariaman tahun 2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2008-Maret 2009, Vol.3, No.1. Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Penerbit Grafiti Pers. Indiarti. M.T. 2015.Panduan Terbaik A-Z Kehamilan, Persalinan, dan Perawatan Bayi. Indoliterasi: Yogyakarta. Irianto, Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan Klinis. Alfabeta: Bandung Kemenkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI. 2014. Profil kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: GRAMEDIA.
130
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Kristanti, H. 2013. Mencegah Dan Mengobati 11 Penyakit Kronis. Citra Pustaka: Yogyakarta. Muyosaro, Puspitarani. 2012. Terapi Air Putih. Jakarta Timur: Dunia Sehat. Noor, N. N. 2008. Epidemiologi Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta. Noor. N. N. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. PT. Asdi Mahasatya: Jakarta Proverawati. A dan Eni. R. 2012. Perilaku Hidup Bersih danSehat (PHBS). Mulia Medika: Jogyakarta. Puskesmas Cimanggu. 2015. Profil Kesehatan Puskesmas Kecamatan Cimanggu Tahun 2014. Cimanggu: Puskesmas Kecamatan Cimanggu. Rina Anggorodi. Dukun Bayi dalam Persalinan oleh Masyarakat Indonesia. Makar, Kesehatan, Vol.13. No.1, Juni 2009:9-14. Riskesdas. 2010. Analisis Kematian Ibu di Indonesia Tahun 2011. Jakarta. Siti, N dan Dewi P. Perilaku Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi di Kabupaten Kaarawang 2011. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan. Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK UNSOED. Purwokerto: 31 Maret 2012. Soemirat. Juli. 2010. Epidemiologi Lingkungan Edisi Dua. University Gajah Mada:Jogyakarta. Yusup, N. A. Hubungan Sanitasi Rumah secara Fisik dengan Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.1, No.2, Januari 2005. Yuwono, T. A. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
131
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap [Skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.
132
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
INDEKS A ASI Ekslusif : 80
B Bantahan : 6, 108, 112, 142 Banten : 2, 6, 10, 11, 25, 112 Bidan : 6, 7, 8, 19, 36, 37, 43, 44, 59, 64, 65, 68, 70, 72, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 97, 99, 106, 109, 116, 117, 118, 122, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 141, 142
C Cuci Tangan Pakai Sabun : 81
D
Kenit : 28, 29, 60, 73, 74, 112, 115, 118, 141, 142 Kepercayaan : 1, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 76, 112, 130, 137, 138, 141 Kesehatan Ibu dan Anak : 2, 6, 7, 61, 78, 140, 141 Kesuburan : 66 Khitan : 26, 34, 140 Kirai : 21, 22, 23 Kolot : 26, 27, 28, 37, 39, 57, 67, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 133, 136, 137, 140, 142 Kopi : 26, 42, 43, 47, 50
M
I
Marhaba : 57, 58 Menikah Muda : 36 Menstruasi : 34, 61 Menyusui : 44, 70, 71, 72, 80, 81, 100 Merokok : 5, 23, 42, 92, 93, 94, 95, 96, 101
ISPA : 5, 82, 83, 100, 101
N
J Jamban : 83, 84, 85, 102 Jurig : 21, 36, 37, 112, 115
Nifas : 2, 3, 6, 66, 68, 69, 108, 120, 121, 122, 123, 124, 141
K
P
Kehamilan : 2, 3, 63, 64, 65, 66, 96, 108, 109, 110, 111 Kekerabatan : 31, 32, 33
Paraji : 59, 65, 67, 72, 73, 74, 76, 77, 108, 109, 110, 111, 113, 114, 115, 116,
Diare : 4, 5, 71, 79, 82, 83, 99, 101, 102
H Hipertensi : 3, 5, 90, 104, 105, 106, 107
133
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
117, 118, 119, 122, 123, 124, 126, 128, 130, 131, 132, 134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142 Pendidikan : 36, 61, 77, 82 Pengetahuan : 1, 9, 20, 36, 40, 43, 44, 58, 61, 71, 108, 110 Pengobatan : 6, 36, 37, 38, 40, 43, 44, 45, 76, 94, 103, 104, 107, 134, 138, 139, 140 Penyakit Menular : 4, 99 Penyakit Tidak Menular : 4, 93, 103, 104 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat : 4, 75, 78, 91, 92 Pernikahan : 26, 33, 34, 35, 36, 65 Persalinan : 2, 59, 60, 66, 67, 68, 72, 75, 76, 77, 108, 109, 110, 111, 114, 115, 116, 117, 118, 120, 121, 130, 131, 133, 136, 137, 141, 142 Poskesdes : 19, 43, 44, 45, 63, 76, 99, 140, 142 Posyandu : 2, 19, 43, 44, 46, 63, 64, 71, 76, 78, 79, 81, 109, 141
134
R Rumput Fatimah : 60, 67, 68, 118, 119
S Sampah : 97, 98, 99 Slametan : 26, 27, 28, 29, 47, 111, 140
T Tenaga Kesehatan : 2, 6, 36, 37, 40, 44, 72, 75, 76, 77, 137, 140
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
GLOSARIUM Ais Babari Banga’ Bala Bikang Bisa nyatu
Boga Budak Caigedhe Dangdeur Pasihkeun EncisAcis Gedog Gelo’ Gering Jalu Jurig Kekere Kenit
: selendang milik ibu yang digunakan untuk membuat kenit untuk bayi. : cepat dalam proses persalinan/kelancaran dalam proses persalinan tidak terhalang kendala. : sulit/susah di sembuhkan. Penyakit : kesialan : sebutan untuk perempuan : dalam bahasa Sunda adalah bisa makan, sehingga bisa nyatu diartikan bahwa dimanapun nama yang memiliki makna ini akan memperoleh jalan rejeki yang lancar oleh Tuhan : punya/memiliki/kepemilikan : anak : sungai/mata air : daun singkong : diberikan/diserahkan : uang : urut atau pijat yang dilakukan paraji terhadap ibu hamil : penyakit gila : sakit : sebutan untuk laki-laki : hantu dalam bahasa Sunda : makna nama yang dihindari oleh masyarakat karena dianggap akan mudah sakit. : kenit merupakan jimat yang dipakai oleh ibu hamil, bayi dan balita serta masyarakat desa Tugu yang di percayauntuk melindungi diri dari gangguan makhluk halus/roh-roh jahat.
135
Etnik Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
Kolot/Kokolot Koneng Liliuran
Matuh Muriang Ngabeulit Ngajuru Nyeuri hulu Panca
Paraji
Pereh mata
Reneh Ririwit Rompok Rosul taun Sambel Pepeh
136
: orangtua : sebutan untuk kunyit : Saudara yang berada dekat dan jauh serta para tetangga akan membantu untuk mempersiapkan hajat. Bentukbantuan yang diberikan dapat berupa materi ataupun tenaga.Bantuan materi yang diberikan adalah beras, kayu bakar atau pisang : kesembuhan setelah proses pengobatan : sakit demam : menjerat/mengikat/ngelilit : melahirkan/bersalin : sakit kepala : makna dalam penamaan kepada anak yang dianggap paling baik karena banyak memiliki kelebihan dan akan selalu diberi keselamatan. : dukun yang membantu proses persalinan yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural untuk menangkal gangguan dari makhluk halus. : air putih yang berisi bakaran batok kelapa.Pereh mata ini akan diteteskan ke mata bayi, dengan tujuan agar penglihatan bayi baik, matanya bagus, bening dan sehat. : hamil : badan kurus tetapi tidak sakit : rumah panggung : pesta panen yang dilakukan setiap setahun sekali untuk mensyukuri rejeki yang diberikan Tuhan. : sambel khusus untuk ibu nifas sebagai lauk selama 40 hari. Sambal tersebut terbuat dari kunyit, kunci, jahe, daun songom, ditambah dengan terasi bakar
Buku Seri Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2015
Sangsuri
Seren Taun
Susukan Tangkil Tilu peuting
: pijat atau urut yang dilakukan paraji ketika usia kehamilan mendekati persalinan untuk mengatur posisi bayi untuk mempermudah bayi keluar. : bungkusan seren taun yang terdiri dari kemenyan, kapur dan panglai diatas pintu utama rumah mereka.Ketika ada anggota keluarga yang sakit keras atau terkena musibah maka bungkusan ini akan digunakan sebagai obat. : sungai kecil yang biasa digunakan untuk BAB masyarakat setempat. : mlinjo : ritual yang paraji lakukan untuk memandikan Bayi yang baru lahir selama tiga hari berturut-turut (tanpa putus).
137