Bacaan Gharib Ditulis oleh H.R. Taufiqurrochman, MA Rabu, 21 Juli 2010 08:31 Salah satu yang unik dan menarik dari al-Quran adalah adanya "Qira'ah Gharibah" atau bacaan-bacaan asing dalam riwayat Hafs bin Ashim yang di dunia, terutama di Indonesia, begitu dominan. Hanya sayangnya, tidak semua umat Islam memahami bacaan asing itu. Paling tidak, ada 9 macam bacaan gharib atau asing dalam al-Qur'an, yakni: 1) saktah, 2) imalah, 3) isymam, 4) shad dibaca sin, 5) ba' di-idgham ke mim, 6) sukun diganti lam, 7) tiga model bacaan washal-waqaf dalam surah al-Insaan/aldahr, 8) Tashiil, 9) bacaan washal-waqaf dalam surah al-Ahzaab. 1- Saktah
Yaitu, berhenti sebentar, tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan. Menurut Hafs, “Saktah” di dalam Al-Qur'an ada 4, yaitu : (1) Surah Kahfi : 1, (2) Surah Yasin : 52, (3) Surah Al-Qiyamah : 26, dan (4) Surah Al-Muthaffifin : 14. Berikut ini contoh-contoh saktah dalam sebuah ayat yang lengkap: ِّ لُد ْ ج َعْ َم يْ َلب َو ِ ْؤ َ ىَ َ َ زَ نَ أِذّل هِ ِ َُي َو ُهْنُدَ ل ُِا لً ( َق1) اَ َ اَتِكْل ِِد ْ ً ْ َ َِذ ُ ْل رَ ش ْ حَ ْل َ يِذّل َ ْ ِ ًيدِد َ سا َ ِ ُهَ ل َُ لّ َ أ (2)ًا َ َ رً ْ َم أْ ا ح ل ا ص ل ِ َ ِ ّ َ ُ َ ْعَي ُ س (52) َ َ َ ْيا َوَ يل ُالَق َ رْ ُ ْل ََد َ ْ رّ ل َد َ ا َوَ َذ َ اَنِدر َقْ َ َو ُ ْ ِ اََث َع َ ْ َ اَ َ َ َِ إ ّ َ ق (28) قِ ( َو26) ق قِ رَّلت َ ُ رَ ِفْل هُّنَ أ ْ َغ ّ َظ( َو27) ٍ َ ْ َ َ ْ رُ ط ُى ُقَ ْ َ ّ َ (13) (14) َ ُانَ اَ مْ َ َ َ ِولّ ِساط َ َ ىَْ تُ َِإ ِ ْكَ ين ُ ْ َ َ أَ اَا قَ ُ اَ آيِه َ ل ِ ِ 2- Imalah
Yaitu, bacaannya condong miring dari harakat fathah ke kasrah, dan dari huruf alif ke ya’. Imalah hanya terdapat 1 kata dalam Al-Qur'an, Surah Huud ayat 41, Juz 12. ّل ِسم (41)مٌ ِ َ ٌ ف ُغفََ ل َ ّ ِا إَسا ِ َ ْ َ اَقَو ُ َ رْ ُ ا َوَرَ جْ َ ِه ْ ِ اِ َا 3- Isymam
Yaitu, menutup kedua buah lisan seperti orang yang akan mengucapkan harakat dhammah untuk menunjukkan bahwa harakat yang dihilang dalam kata tersebut adalah harakat dhammah. Isymam di dalam Al-Qur'an hanya ada 1, yaitu di Surah Yusuf ayat 11, Juz 12. َ َا لَ اَانََاأَ يل (11)َ ح حُ ُى يَ َ اّ َْ َ َ ُالَق َ س ِ اََل ُهَا لّنِإ َو ُ ي 4- Shod dibaca Sin
Yaitu, huruf Shad dalam sebuah kata dibaca Sin. Bacaan ini di dalam Al-Qur'an terdapat di Surah Al-Baqarah ayat 245, Juz 2 dan di Surah Al-A’raf ayat 69 Juz 8. ُ ص ّلَ وًرةَ ث ّل (245) َ ع ُع َ رْ ُ ِه ْيَ هُ ِ ثَ اًاَع َ اً َ َ اًرْ ه َقَ ْيُ ِذّل َ َْلِإ َو َْيض َو ْ َ أ ُهَه لُ َفِ اَ ُ ِ ُ ُ ُ ِر ْ َ َ ص ْخَ ْل ِ مْ ُ ََ َوٍ ن ََع َ ِْ إروُ ُ نِ َُْم وْ ُ َِذ ِ َ مْ ُك َ ِْ مْ ُ ءَاَ ْ َم أْ ُ تْ جِ َ َوَأ ً ْ ُِم لْ ُك ْ َ ْ َقِدْع َ ْ ِ فءَاَ َ ُ مْ ُك ٍ ُ َ ىَ ْ ِ رٌ ِ ّ َ ّ َ ُ (69) َ ح حُ روُ ُ ْاَ ِفُْ مْ ك َ لعِه ل ءَ آ و 5- Ba’ diidham ke Mim
Yaitu, Huruf Ba’-Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Huud ayat 42 Juz 12.
(42) َ ُياَ ٍ زِ عْ َ ِ َ اَوَ هُ َ ْ ٌ نُ َ ناَوَ ِ اَج ِ ْالَ ٍ ْ َ ْ َ ريِ ِ كاَ ْل َ َ ْ ُك َ َوَ اََع َ ّ ْ َ ِ مْ َ ِ وَ ِ ِ رِ جْ َ 6- Sukun diganti Lam
Yaitu, lafadz “Al-Ismu” diganti kasroh, sehingga Lam-nya “Al” terbaca “Li”. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat di Surah Al-Hujuraat ayat 11 Juz 26. ْ َ َوَ زوُ ِ ْ ِ رً ْ َ ُ َ آ َ َ ٍءاَ ِ ن َ َ ٍ ْ َ يَ ُ ُ ْ ِ رً ْ َ نُ كُ َ يْ َى أ ّ ّ ُكَ يْ َى أ ْ ِ ٌُءاَ ِ نَوَ مْ ْ قَ ْ ِ ٌ قَ رْ خَ َ ذيِ ّل اَ يَياأََ َ ّ َ َ ْ ْ ْ ْ َ ِولئْ (11)َ َ ُ ْ ُتَم يْ ل ُ فُ ل مُ س ْ ِ َ فُأن ُ ِال ل مْ ُ َ ْ ئِ ب ِ اَ ل اِ زوُ َاَ َ َوَ مْ ُك ْ َ وَ ِ اَي ِ َدْع َ 7- 3 (tiga) model bacaan
Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan tersebut dalah : - Bila washal, Ra’-nya dibaca
pendek keduanya.
- Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif - Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat
dibaca sukun (mati).
/ 2 harakat
pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat kedua
3 (tiga) buah model bacaan asing ini hanya terdapat di Surah Al-Insaan/Ad-Dahr ayat 15-16 Juz 29. (16) رً ديِ َْ اَوُّقدَ ُ اَُي وَ ٍ ٍ ٍ ّ ِ ّ ِ َِ نِ مْ ْ َ َ ْ َانَ ب ٍ ْ ِ رَ يِ َ قَ (15) رَ يِ َ قَ َ ْ َوأَ ْ ِ ِ 8- Tashiil
Yaitu, Hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah kedua dibaca tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat/Hamim Sajadah, ayat 44, Juz 24) ِّ ل َ ص ْ قُ مْ ِ جَ ْ َنا أًرآْ قُ ُاَ ْ عَ َ ُ ِ ْؤُ يَ ُ َ آ ِ جَ ْ َأَه أُ ُياَآ ْ ُ َ َ ذيِ ّلوَ َفٌءاِ وَ دً ُ َ ذيِ َ ُ ِرَ َوَ َْ للُاَلَ ا ُ َْولَ ِِنَ آ ِ َ َ َ َ َ (44)دٍ عِ َ ٍ كا َ ْ َ ْ ِ َ وْ َاَُ ي ِولئْ ى أً َ مْ َ ُ وَ رٌ قْ وَ ِ
9- Dibaca washal dan waqaf
Yaitu, sebuah kata yang rasm (tulisannya) tergolong tulisan asing, demikian pula dengan bacaannya. Dalam Hal ini terdapat 2 hukum bacaan : - Bila washal, akhirnya
dibaca pendek,
- Bila waqaf, akhirnya dibaca panjang 1 alif /
2 harakat.
Di dalam Al-Qur'an, bacaan seperti ini terdapat di Surah Al-Ahzaab, Juz 21-22, Ayat 10, 66 dan 67) ّالِ َ ُ َ َوَ ُصا َ فَسْ َ أ (10) نـاَ ُلْ ُ ل ِه ُ َوَ رَ ِ اَح َ ْل ب ْ ِ ُ ْ َغ ْ َ َ ِْوإَ مْ ُك َ ْ َْ ْ ِ وَ مْ ُقكِ ْ َ ْ ِ مْ ُ ءوُاَ ِْإ ّل اَْ عَطَا أََ تْ َيالَ َ لُ ّ َ َ ناَرَءَ َ ُوَ اَ َ َسا ُيَ ِاّل ِ مْ َُ َ َ َ ُ ّ ل ناَ َ اَعْ َطَنا أِّا إَ ّ َ لُقاَ وَ (66) َ س ُ رّ ل اَعْ َطَوأَ َه ِ ُ ُ ُ وُ َْي ْ َ 68) رً ُْ َعْلوَ ب ذ ع ل ف َ ع م آ ا ( 67 ِ ِ ِ َ َ ْ ْ ّ ِ َ اًْع َم لْ ْ ِ ْ ِ ِ َ ))
MENELUSURI RAHASIA DIBALIK BACAANBACAAN GHARIB Posted on 16 April 2009 by Ahmad Syafaat Oleh : Syafa’at
A. Pendahuluan Berbicara tentang al-Qur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek mana pun al-Qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam. Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah –dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar melafalkan huruf Arab dengan lancar- merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan, baik oleh kalangan santri maupun kaum terpelajar umumnya, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang paling utama. Hal ini barang kali bisa dimengerti, mengingat kurangnya buku rujukan yang mengupas tuntas ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki kemampuan memadai. Antusiasme para “santri” dalam mempelajari dan mencari dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis ataupun dari pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari jawaban tentang apa dan mengapa ada bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib (kifayah) dipelajari bagi kaum muslimin. Dari fenomena di atas perlu ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji aspek bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang sebagaimana semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar. Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai tentang bacaan alQur’an, bagi kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) dianggap hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja, lalu mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm, padahal banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan imalah, tash-hil, isymam dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini penulis berusaha memberikan sedikit pemahaman tentang bacaan gharib dari bacaan Imam Ashim dari riwayat Hafs yang banyak dianut oleh hampir seluruh kaum muslimin, sekaligus alasan-alasan secara bahasa tentang bacaan gharib tersebut. Alasan-alasan (ihtijaj) kebahasaan mengenai bacaan gharib al-Qur’an yang akan penulis paparkan di sini, hanyalah sebutir debu dibanding besar dan luasnya hikmah atau rahasia sesungguhnya yang dikehendaki Allah. Dengan kata lain, alasanalasan tersebut bukanlah faktor utama yang mendorong shahibul Qaul (Allah) memilih kata atau lahjah tertentu, akan tetapi hanya sebuah usaha dari para ulama terdahulu untuk memahami rahasia-rahasia Allah melalui tanda-tanda dan ilmu-ilmu yang dia titipkan pada hambanya. Imam Nashiruddin Ahmad mengatakan bahwa ihtijajul qira’ah tidak dimaksudkan mengkoreksi bacaan atau bahasa al-Qur’an
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, melakukan sebuah proses argumentasi induktif, yakni usaha mengkoreksi kaidah-kaidah bahasa Arab dengan bahasa al-Qur’an (Abi Thahir, 290). Seringkali argumen-argumen yang dikemukakan mengenai qiraah tertentu kurang relevan bila dianalogikan dengan bacaan imam lain pada kata yang sama atau hampir sama. Namun, hal itu justru menjadikan kita semakin meyakini bahwa perbedaan bentuk bacaan tersebut bukan hasil kreativitas imam-imam qiraah atau para pakar bahasa Arab di masa itu, akan tetapi mereka mewarisinya dari para sahabat, dari Nabi, dari Malaikat Jibril, dan dari Allah azza wa jalla. B. Pembahasan 1. Saktah Secara bahasa saktah berasal dari kata سكوتا – كي – سك berarti diam; tidak bergerak. Secara istilah saktah adalah memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan (Makky Nasr, 153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada bacaan Imam Hamzah (baik dari riwayat khalad maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif , seperti مب ألعذ ،خرةا (Arwani Amin, 3-6). Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; bacaan saktah hanya ada di empat tempat, yaitu: 1. Surat al-Kahfi ayat 1 : اق - له عوجا لم ي 2. Surat Yasin ayat 52 : نلرح اعد ا ذ - ارقد ن 3. Surat al-Qiyamah 27 : - ن ق 4. Surat al-Muthaffifin 14 : -
Alasan saktah ini adalah untuk memberikan tanda pada qari’ bahwa waqaf pada عوجا termasuk waqaf tamm (sempurna), dan kata اّق bukan sifat/naat dari عوجا, ia dinashabkan karena menyimpan fi’il زأ . Demikian juga halnya waqaf pada ارقد , kata ذ bukan sifat dari رقد , melainkan mubtada’ dan kata ذ dan sesudahnya adalah perkataan malaikat bukan perkataan orang kafir. Sedangkan pada ن pada – ن dan pada yaitu sebagai kata tanya pada yang pertama dan sebagai kata penegas pada yang kedua, juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang (al-Qaisy, 1987:II/55). 2. Imalah Secara bahasa imalah berasal dari kata لر) الإ – ي – اأ) yang berarti memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ (Abi Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, di antaranya pada kata yang diakhiri alif layyinah, seperti دى ،س ،ق ،لض. Khusus riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata ار (QS.Hud:41). Dalam qira’ah sab’ah ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina baina dari Imam
Warsy pada lafadz yang berwazan فُ، ف ِ ،فَ (Arwani Amin, 18), hanya saja taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata mereka.
Bacaan imalah merupakan salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini bermanfaat untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih ringan dari terangkatnya lidah. (Abi Thahir, 312) Alif layyinah itu menyerupai huruf ya’, dengan membaca imalah diharapkan
pendengar tahu asal kata tersebut, sebaliknya dengan membaca fathah dianggap tidak berakhiran alif layyinah. 3. Naql Secara bahasa naql berasal dari kata – ي – berarti memindah; menggeser. Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat suatu huruf ke huruf sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh خرةا terbaca خرة dan مب ألعذ terbaca معذ . Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata سم ئ (QS. al-Hujurat:11). Alasan bacaan naql pada kata سم yaitu terdapatnya dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang berhamzah washal),
yang mengapit lam sehingga menjadi tidak terbaca di kala sambung dengan kata sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya. 4. Ibdal (Penggantian) A. Penggantian Hamzah dengan Ya’ Ibdal yang dimaksud di sini adalah اءال ال زةل دإ (mengganti hamzah sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’ sukun, seperti ااءل (QS. Yunus:15), و ول ف (QS .al-Ahqaf:4). Adapun bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan. (Abdul Fattah, 1981:143) B. Penggantian Shad dengan Siin Yakni mengganti shad dengan siin pada kata صطي (QS. al-Baqarah:245) dan ص (QS. al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Ibid, 119) sedangkan pada ر ص (QS. alGhasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya dengan ر صل (QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya. (Ibid, 306) Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada asal katanya, sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat utsmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’. (al-Qaisy, 1987:I/34) 5. Isymam Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti ن . Dalam bacaan Imam Hisyam, diisymamkannya kata ق dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata لصر ،ر dengan memadukan bunyi dan (Abdul Fattah, 1981:15). Namun dalam bacaan Hafs isymam hanya ada kata ات (QS. Yusuf:11), yakni lidah melafadzkan ات tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya اّ ت . Secara bahasa bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua nun yang diidharkan, yang awal didlammah dan kedua difathahkan (Ibid, 161). Sementara itu rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu secara bunyi mengikuti rasm dan gerakan bibir mengikuti kata asal. 6. Tash-hil
Arti tash-hil secara bahasa “memberi kemudahan atau keringanan”, sedangkan dalam istilah qiraat, tash-hil diartikan membaca hamzah kedua (dari dua hamzah yang beriringan) dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti مأأ ،متذأأ dan lain-lain. Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tash-hil hanya satu yaitu عر أأع (QS. al-Fushshilat:44). Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa meringankan. Juga ada tash-hil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan Imam Nasr Makky ada enam tempat, yaitu 1. Surat al-An’am ayat 143 : نِ َْث َ ْ ُْ َِأ َر حَ نِ ْيرَ َذل َء ْ ُق 2. Surat al-An’am ayat 144 : نِ َْث َ ْ ُْ َِأ َر حَ نِ ْيرَ َذل َء ْ ُق 3. Surat Yunus 51 : َ و ُِ ْ َ ْ َت ِه ِ ْم ُ ُْ ْدَقَ َ ْ آ 4. Surat Yunus 91 : نَ ِدي ِ ُْْل نَ ِ َ ُْ َ ُ ْقَ َ ْص َ عَ ْدَقَ َ ْ آ 5. Surat Yunus 59 : رُ َ ْ تَ ِ َعَ َْأ ْمكَُل َ َِأ ُ آ ْ ُق 6. Surat al-Naml 59 : َ وُر ِ شْ ُي ا أَ رٌ ْخَ ُ آ (Nashr Makky, 137) 7. Madd & Qasr Dalam qiraat sab’ah khususnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm utsmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di antaranya:
a- ملك terbaca كما Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an :ل ال مل ق dan bukan ل juga karena maalik berarti dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam al-Quran Allah berfirman: ال yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan لدين يو (al-Qaisy, I/26). b-أنا terbaca أ ketika washal Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata اأ (dlamir yang berarti saya), adalah karena alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti (كل اء ). Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat. (al-Qaisy, 1987:II/61) Ada juga lafadz yang mirip dengan اأ yaitu الك (QS. Al-Kahfi:38), yakni dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari الك adalah اأ + لكن dan bukan ن + لكن . c- يرقو ،وناظ ،رسو Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin, sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul, keduanya mewaqafkan tanpa alif (al-Qaisy, 1987:II/352). Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khat mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca, khusus kata يرقو tidak ditanwin karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif . Sedangkan ل ،لرسو ،اولظ meskipun bukan termasuk jama’
akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya (qafiyah) terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif (Ibid, II/353). d- ء ،وأ ،ئكأ Dalam rasm utsmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أ ءل ،لوأ لئ, ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti ل ،ذ ،ذ . Inilah yang merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat.
8. Shilah Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti ه ،له dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, inilah ijma para ulama qira’ah (al-Qaisy, 1987:I/44), sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti هإل ،ه. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih. (Ibid, I/42) Dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjangkan walau didahului huruf mati seperti اا هف دي (QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini Imam Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi ف atau ع (al-Qaisy, I/42). Dan ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu ملك هير (QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Abdul Fattah, 1981:274). Alasan dipanjangkannya kata هف yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang mana ه berasal dari kata و . Ketika digabung dengan ف menjadi وف , akan tetapi ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah sehingga harakat ha’ harus disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi ف dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: هف . Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata هير dan semacamnya yaitu mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’. 9. Memfathah atau mendlammah dlad Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ْ (QS. al-Ruum:54). Kata tersebut adalah masdar dari َ ي ض – ُ . Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan syu’bah memfathah dlad dan ulama lainnya -kecuali Imam Hafs- membacanya dengan dlammah. Sedang Imam Hafs sendiri membaca fathah dan dlammah.
Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata َ يض – ُ itu mempunyai dua masdar yaitu ْ َ dan ْ ُ , sebagaimana yang terjadi pada kata ر ف juga mempunyai dua masdar yakni رَْف dan رْف ُ (al-Qaisy, II/213). 10. Basmalah dalam Surat Taubat Dalam Mushaf Utsmani semua surat al-Qur’an diawali dengan basmalah kecuali surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu Ubay bin Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di setiap awal surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya. Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan. (al-Qaisy, 1987:I/20) Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang lain. (Abdul Fattah, 1981:13)
جرل قا مم مم م م م مممم،(را وأ)
د ل ولغ دع ن ول دع دلر ا : ةول ديل ، مممممممم ،1981 ل ل ، ممممم مم ممم ممم،ال ال دع رل ابلك : ر مم م م م ممممم م ممم مم مممم م ،ر ص ك د د و اب ، ممممممم مم مم م م مممم م،ل كل ال أ ن ك د وأ ، ممممم م ممممم م ممم مم ممم ممممم لرسال ؤس : ر ،1987 لر ل ، ممم مم ممم مم مم م م مممم مم ،ويل ق دل صل كل : كرل ك ، 1994 لثا ل : دةج ، 1979 ، ممممممم م ممم ممممم،ضل ال دع ل ل Nama-Nama Imam Qira’ah Asyrah dan Para Perawinya No Nama Imam Tempat Tahun Nama Perawi Tahun Nama Perawi Asal Wafat Wafat 1 Nafi’ Madinah 169 Qalun 220 Warsy 2 Ibnu Katsir Mekkah 120 Al-Bazzi 250 Qanbul 3 Abu Amr Bashrah 154 Al-Dury 246 Al-Susy 4 Ibnu Amir Syam 118 Hisyam 245 Ibnu Dzakwan 5 Ashim Kufah 128 Syu’bah 193 Hafs 6 Hamzah Kufah 156 Khalaf 229 Khalad 7 Al-Kisa’i Kufah 189 Abul Haris 240 Al-Dury 8 Abu Ja’far Madinah 128 Ibnu Wardan 160 Ibnu Jamaz 9 Ya’qub Bashrah 205 Ruwais 238 Ruh 10 Khalaf Bagdad 229 Ishaq 286 Idris
55 Kendal Ahmad KH. 0294-385190 Tashih 56 Kendal Ibnu Mas'ud Ust 081326670329 Metodologi
Tahun Wafat 197 291 261 242 180 220 246 170 235