MENGUKUR KELANGKAAN SUMBER DAYA ALAM (Materi kuliah ESDAL Bab.VI)
A.
Pendahuluan
Pada bab bab sebelumnya sebelumnya kita kita telah telah menge mengenal nal adanya kelompok kelompok optimis dan kel kelom ompok pok pesimis yang berpendapat meng mengenai enai persediaan persediaan SDA. SDA. Untuk mengetahui mengetahui pendapat kelomp kelompok ok mana yang dapat diteri diterima ma,, kita perlu mengetahui sejauh mana ketersediaan SDA itu. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran tentang kelangkaan SDA. Meskipun demikian, tidaklah mudah bagi ahli ekonomi untuk mengetahui apakah SDA itu masih melimpah jumlahnya. Ahli ekonomi dengan peralatan analisis yang dimiliki, juga harus mengetahui masih banyak atau tinggal sedikit jumlah SDA tertentu itu tersedia di dalam bumi atau di permukaan bumi walaupun tidak dapat menentukan jumlah atau volumenya secara pasti. Sering ahli ekonomi hanya mengatakan SDA itu langka atau tidak, dan kelangkaan ini lebih mengarah pada pengertian kelangkaan ekonomi dan bukan kelangkaan fisik. Ap Apakah yang dimaksud dengan kata “lan langka” itu itu?. Pa Para ekonom mengartik tikan kata “lan langka” dengan “Keadaan dimana jumlah barang yang diminta lebih banyak dari pada jumlah barang yang ditawarkan atau yang tersedia”. Dalam pasar persaingan sempurna, kelangkaan ini akan menyebabkan harga barang bersangkutan naik. Dalam kaitannya dengan SDA, persediaan itu dihadapkan pada tingkat konsumsi SDA per-tahun per-tahun untuk untuk mem memperkirakan perkirakan berapa berapa lama lama lagi jumlah cadangan cadangan tersebut akan dapat dapat dikonsumsi dikonsumsi untuk menopang kehidupan manusia (rasio cadangan terhadap produksi/ konsumsi). Persediaan atau cadangan SDA kita artikan sebagai volume SDA yang sudah diketahui dan dapat diambil dan mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Namun seberapa besar tingkat persediaan itu belum dapat dapat diketahui secara secara pasti. pasti. Sebagai Sebagai contoh : sejak baru merdeka, merdeka, sudah diketahui bahwa bahwa Indonesia Indonesia memiliki pasir besi di pantai selatan Jawa Tengah, namun data statistic mengenai pasir besi tersebut belum sempurna sempurna sehingga tidak tidak diketahui berapa ca cadan dangan/ gan/ stock pasir pasir besi tersebut. tersebut. Setelah tahun 1970-an, setelah Jepang sanggup membeli pasir besi tersebut, maka pasir besi menjadi bernilai sebagai SDA dan perlu diperhitungkan diperhitungkan volume persediaannya. Untuk mengetahui langka tidaknya SDA itu, para ekonom menggunakan berbagai cara/ alat pengukur pengukur dalam dalam bidang bidang ilmunya, ilmunya, yaitu yaitu dengan dengan melihat elihat Harga barang sumber sumber daya daya dan Nilai sewa sewa ekonom ekonomis (economic rent), atau melihat melihat Satuan Satuan produksi produksi barang barang sumber ber daya daya tersebut. tersebut. Dapat Dapat pula dengan dengan melihat melihat Royalty oyalty maupu aupun n Elastisitas Elastisitas subs substit titus usi.i.
B.
Pengu enguku kuran ran Eko Ekono nom mi Terhad Terhadap ap Kela Kelang ngka kaan an SDA 1. Biaya iaya Prod roduksi ksi
Barnett Barnett dan dan Morse Morse (1963) (1963) membua embuatt hipotes hipotesis is tenta tentang ng kelangka kelangkaan an SDA SDA,, yaitu bahwa bahwa SDA SDA itu semakin langkaapa langka apabila bila : a. b. c.
Biaya Biaya riil unit output output meningk eningkat at terus selam selama a periode periode peng pengam ambilan/ ekstrak ekstraksi. si. Biaya Biaya prod produk uksi si komoditi oditi yang yang diambil relatif relatif lebih tinggi tinggi dari dari pada pada biaya biaya produ produksi ksi kom komoditi oditi lain. Harga arga kom komod oditi iti yang yang diambil relatif legih tinggi tinggi dari dari pada pada harg harga a kom komoditi oditi lain. lain.
Ekonomi Sumber Daya Daya Alam dan Lingkungan – Mengukur Kelangkaan Sumber Daya Alam
27
Setelah menganalisis data yang tersedia, akhirnya mereka menolak hipotesisnya tersebut karena ternyata harga riil dan biaya produksi riil semakin turun dari tahun ke tahun sejak tahun 1870 sampai 1957, kecuali komoditi kehutanan. Dengan demikian mereka berkesimpulan bahwa SDA itu tidak semakin langka. Kerry Smith (1979) memperbaharui data yang digunakan oleh Barnett dan Morse dengan menggunakan data sampai dengan tahun 1972 dan menemukan bahwa ada sedikit kecendrungan kenaikan harga relatif produk pertanian, kenaikan harga yang berfluktuasi untuk komoditi kehutanan, tetapi ada kecendrungan penurunan harga yang berarti untuk barang-barang logam dan bahan bakar minyak. Ada beberapa alasan, mengapa SDA tidak menjadi semakin langka, yaitu : 1)
Karena adanya barang subtitusi, yang masih berlimpah adanya bagi SDA yang terus menerus diambil dan semakin sedikit jumlahnya. Misalnya peran Aluminium digantikan dengan Tembaga, biji-bijian menggantikan daging (protein nabati menggantikan protein hewani), plastik menggantikan kulit, dan serat sintetis menggantikan serat alami. 2) Karena adanya penemuan baru dengan dipakainya metode eksplorasi baru, seperti metode geofisik, geokhemis dan satelit. 3) Karena ada peningkatan dalamimport mineral dan metal dari Negara lain. 4) Karena ada peningkatan pengetahuan teknis yang berguna bagi eksplorasi, pengambilan dan pengangkutan SDA sehingga produksi dapat bersifat besar-besaran dan biaya produksi dapat ditekan. 5) Adanya kemungkinan daur ulang(recycling)
2. Harga Barang Sumber Daya Alam Kelangkaan SDA dapat dilihat dari harga barang sumber daya yang semakin meningkat maupun dilihat dari Royalty atau Rent. Rent adalah harga bayangan suatu unit barang sumber daya yang ada dalam cadangan/ stock. Karena Rent sulit untuk diamati, maka Harga lebih banyak dipakai sebagai indicator baik untuk melihat kelangkaan maupun pengorbanan guna menghasilkan barang sumber daya (biaya produksi). Namun demikian setelah menganalisa data statistic mengenai harga barang SDA non minyak dari tahun 1969 – 1979 diketahui bahwa harga cenderung menurun untuk barang-barang ekstraktif (mineral). Dengan melihat angka-angka harga itu saja tampaknya dapat disimpulkan bahwa kelangkaan SDA itu tidak akan terjadi. Analisis Harga ini memiliki kelemahan karena harga tidak saja dipengaruhi oleh jumlah SDA yang diekstraksi, namun juga sangat dipengaruhi penemuan baru dan kemajuan teknologi. Seperti halnya dengan para ekonom lainnya, Brown dan Field (1979) juga mencoba mempelajari dan membandingkan alat analisis tersebut dan mencari mana yang terbaik di antara ketiganya untuk mengetahui langka tidaknya SDA. Brown dan Field mengatakan bahwa ke tiga alat analisis yaitu biaya produksi per-unit, harga barang SDA dan nilai sewa ekonomi memiliki kelemahannya sendiri-sendiri, dan mereka menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1)
Biaya rata-rata atau biaya per-unit yang dipakai oleh Barnett dan Morse dalam mengukur kelangkaan SDA merupakan indicator yang meragukan karena hal-hal berikut : a. Dalam kehidupan yang berkembang terus, biaya rata-rata tidak tepat digunakan untuk mengukur kelangkaan yang semakin meningkat karena tingkat teknologi berkembang terus. b. Bahwa biaya per-unit tidak memperhitungkan biaya-biaya pengambilan SDA di masa datang sebagai akibat dari meningkatnya kelangkaan itu sendiri. c. Biaya per-unit tidak dapat menjadi indeks pengukur yang tepat, karena biaya pengambilan di masa datang tidak dapat diperhitungkan di saat ini. d. Biaya per-unit tidak mencerminkan keadaan semakin berkurangnya SDA.
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Mengukur Kelangkaan Sumber Daya Alam
28
2)
3)
Bahwa Harga barang sumber daya relatif lebih baik dari pada Biaya per-unit sebagai pengukur kelangkaan SDA, karena : a. Harga riil barang sumber daya lebih melihat ke depan dan mencerminkan adanya biaya yang diharapkan di masa datang baik untuk eksplorasi, penemuan maupun pengambilan. b. Kemajuan teknologi mengalihkan tanda-tanda kelangkaan SDA yang ditunjukan oleh harga riil barang sumber daya. Misalnya, pada akhir abad ke – XIX kayu menjadi langka, tetapi kemajuan teknologi telah dapat menjamin kestabilan harga barang. c. Harga riil tidak menunjukan adanya kecendrungan semakin langkanya SDA yang memiliki sumber daya pengganti (substitusi). d. Harga riil sumber daya dapat meningkat ataupun menurun, yang berarti menunjukan adanya kelangkaan atau berkurangnya kelangkaan, tergantung pada harga mana yang dipakai untuk membuat angka indeks. Nilai sewa dari SDA (economic rent) atau Nilai SDA di tempatnya (in situ resources), merupakan alat pengukur yang ke tiga terhadap kelangkaan SDA. Nilai sewa ini lebih tepat menggambarkan kelangkaan SDA dari pada dua cara yang disebut sebelumnya. Nilai sewa SDA pada umumnya meningkat dalam beberapa puluh tahun terakhir, tetapi biaya produksi dan harga barang justru menurun, khususnya untuk kayu. Ada beberapa keberatan terhadap alat pengukur (economic rent) ini, yaitu :
a.
Sulit untuk mendapatkan data nilai sewa ekonomis SDA karena nilai sewa SDA itu tidak praktis dalam jangka pendek. b. Nilai sewa lebih memperkirakan kelangkaan SDA yang semakin meningkat dalam arti ekonomi, sedangkan berkurangnya SDA secara fisik belum tentu sejalan dengan kenaikan nilai sewa SDA sebagai cermin dari kelangkaan ekonomis. Selanjutnya masih ada beberapa kelemahan lain yang dimiliki Harga SDA dan Nilai ekonomi sebagai alat ukur kelangkaan SDA, yaitu : c. d. e.
Sebagian SDA diusahakan untuk memenuhi kepentingan umum, sehingga harga pasar tidak mencerminkan penilaian yang sesungguhnya terhadap SDA tersebut. Tidak ada istilah “future market” untuk SDA, sehingga tingkat harga di masa yang akan datang hanya ditentukan oleh harapan (expectation) saja. SDA mempunyai aspek barang public, yang pengkonsumsiannya tidak harus mengorbankan orang lain dalam persaingan mendapatkannya (exclution principle dan rivalry in consumption tidak berlaku).
Sebagai upaya selanjutnya, Brown dan Field mencoba mengajukan sebuah alat ukur lagi yaitu dengan melihat Elastisitas substitusi antara factor-faktor produksi khususnya modal dan tenaga kerja apabila terdapat kelangkaan SDA, yaitu dengan melihat kemudahan bagi faktor produksi lain dalam menggantikan SDA yang relatif semakin langka. Dalam hal ini SDA itu tidak akan menjadi langka selama mudah dalam mencari penggantinya (substitusi). Ukuran kelangkaan itu dapat dilihat dari elastisitas substitusinya yang mencerminkan tanggapan dalam perubahan penggunaan SDA. Berdasarkan uraian-uraian alat ukur kelangkaan SDA tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan secara fisik maupun ekonomis sama-sama memiliki kelemahan. Pendekatan secara fisik tidak memiliki kepastian mengenai besarnya cadangan, sedangkan pendekatan secara ekonomis memiliki kelemahan yaitu bila mekanisme pasar tidak dapat bekerja secara sempurna. Oleh karena itu masih sulit untuk memastikan kondisi SDA itu, apakah masih melimpah atau sudah langka adanya, walaupun kita mengetahui secara pasti bahwa pengambilannya telah dilakukan secara terus menerus bahkan dengan laju yang semakin meningkat.
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Mengukur Kelangkaan Sumber Daya Alam
29
------------------Materi ini disajikan ketika kami menjadi dosen pengisi antar waktu di salah satu Perguruan Tinggi di Ende (Flores), tahun 2010. Sumber utama : Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), oleh Drs. M. Suparmoko, M.A., Ph.D.
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Mengukur Kelangkaan Sumber Daya Alam
30