BAB 1 PNDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini resiko tinggi terjadinya infeksi yang akan menambah tingginya biaya perawatan dan waktu perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan, sehingga kejadian infeksi atau berbagai permasalahan akibat pemasangan infus dapat dikurangi, bahkan tidak terjadi (Priharjo, 2008). Pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sebanyak 60% pasien yang dilakukan rawat inap mendapatkan terapi cairan infus. Sistem terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dapat dilakukan secara kontinue dan penderita pun merasa lebih nyaman jika dibandingkan dengan cara lainnya. Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah flebitis (Hinlay, 2006). Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi tanda dan gejala flebitis adalah nyeri yang terlokalisasi, pembengkakan, kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena, pada saat di raba terasa hangat, dan panas tubuh cukup tinggi. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan
(terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur intra vena yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Smeltzer & Bare, 2001). Nassaji dan Ghorbani (2003) telah mengkaji kekerapan flebitis pada 300 pasien yang dirawat di bangsal interna dan bedah. Berdasarkan paramater usia pasien, pada pasien yang berusia <60 tahun sebanyak 169 orang, yang mengalami flebitis sebanyak 47 orang (27,81%). Pasien yang berusia 60 tahun sebanyak 131 orang, yang mengalami flebitis sebanyak 31 orang (23,66%). Berdasarkan
paramater jenis kelamin, pasien wanita sebanyak 155 orang, yang
mengalami flebitis sebanyak 48 orang (30,96%). Pasien laki-laki sebanyak 145 orang, yang mengalami flebitis sebanyak 30 orang. (20,68%) Resiko terjadinya flebitis ditentukan lokasi pemasangan infus dengan jenis cairan yang digunakan dan lamanya pemasangan infus (Priharjo, 2008). Penelitian yang dilakukan Pujasari (2002) di ruang penyakit dalam di salah satu RSU Jakarta pada tahun 2002, ditemukan angka kejadian flebitis sebesar 10,1% (11 dari 109 responden). Prosentase lokasi yang lebih banyak menimbulkan flebitis adalah vena metakarpal (72,7%), dan kemudian pada vena sefalika (27,3%). Infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena sebagai akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian yang terlalu lama. Pemasangan infus tidak boleh lebih dari 72 jam kecuali untuk penanganan darah (Murder, 2001). Hasil penelitian kejadian flebitis menurut lama waktu terpasangnya infus didapatkan data kejadian flebitis pada hari
pertama (0-24 jam) sebesar 18,2%, pada hari kedua (> 24-48 jam) sebesar 54,5%, dan pada hari ketiga (> 48 jam) sebesar 27,2%.
Obat yang dimasukkan melalui infus juga mempengaruhi kejadian flebitis. Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna dalam pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis. Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain Kalium Klorida, Vancomycin, Amphotrecin B, Cephalosporins, Diazepam, Midazolam dan banyak obat kemoterapi (Darmawan, 2008). Penelitian yang dilakukan Asrin, Triyanto, & Upoyo (2006) tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian flebitis di RSUD Purbalingga, menujukkan bahwa 22,9% pasien mengalami plebitis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kejadian flebitis secara signifikan dipengaruhi oleh jenis dan ukuran kateter (= 0.01 <0,05), letak dan lokasi pemasangan infus (= 0.03 <0,05) serta jenis cairan infus (= 0.01 <0,05). Studi pendahuluan tentang kejadian flebitis sudah dilakukan di RSUD Kota Semarang. Insiden flebitis di RSUD Kota Semarang periode Agustus-Desember 2009 adalah 0,232%, 0,131%, 0,374%, 0,263%, dan 0,176%. Sementara itu pada tahun 2010, kejadian flebitis di ruang Parikesit sebanyak 0,078%, di ruang Prabu Kresna sebanyak 0,308%, ruang Yudhistira sebanyak 0,601%, ruang Bima sebanyak 0,412%, ruang Arimbi sebanyak 0,010%, ruang Banowati sebanyak 0,259%. Dari masalah di atas, dapat dilihat dampak yang terjadi dari infeksi yang diakibatkan pemasangan infus adalah flebitis. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisa intervensi perawatan infus dalam pencegahan flebitis di Ruang Rawat Inap Unit Storoke RS Wava Husada Kepanjen .”
1.2 Rumusan Masalah
Pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sebanyak 60% pasien yang dilakukan rawat inap mendapatkan terapi cairan melalui infus. Terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih aktif, dapat dilakukan secara kontinue dan penderita pun merasa lebih nyaman jika dibandingkan dengan cara lainnya. Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah flebitis. Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Hal-hal yang berkaitan dengan kejadian Flebitis di Ruang Rawat Inap RS Wava Husada di ruang rawat inap Unit Storoke” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kejadian flebitis di Ruang Rawat Inap RS 1.3.2
Untuk menganalisa intervensi perwatan infuse dalam untk mencegah terjadinya plebitis pada pasien di unit storeke RS wava Husada Kepanjen
1.4 Definisi Konsep
Infus digunakan untuk menggunakan untuk mengobati berbagai kondisi pasien. Meskipun kebanyakan pasien yang dirawat dirumah sakit mendapat terapi IV, pengobatan meluas di luar populasi ini ke lingkungan rawat jalan, perawatan jangka panjang, dan perawatan jangka panjang, dan perawatan di rumah untuk infus cairan, produk darah, obat, dan nutrisi parental. Oleh karena itu, karena banyak penyakit di obati di luar perawatan akut, para perawata di semua lingkungan perlu mengembangkan keterampilan terapi intra vena (IV) mereka.
Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi tanda dan gejala flebitis adalah nyeri yang terlokalisasi, pembengkakan, kulit kemerahan timbul dengan cepat di atas vena, pada saat di raba terasa hangat, dan panas tubuh cukup tinggi. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur intra vena yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Smeltzer & Bare, 2001). Sebagai seorang perawat tidak hanya harus pandai memasang infuse tetapi tetapi harus juga bias merawat infuse selama selang itu masih di gunakan oleh pasien. Perawatn infus ini agar bertujuan agar tidak terjadi infeksi akibat penusukan saat memasukan selang infuse dalam pembuluh darah. Tapi sekarang banyak sekali tenaga medis atau perawat yang menyepelekan keaadaan tersebut, karena pasang infus sangatlah penting bagi pasien. 1.5 Manfaat Studi Kasus
Penelitian ini, diharapkan memberikan manfaat bagi : 1.5.1
Bagi petugas kesehatan Menambah wawasan bagi perawat yang ada, agar dapat lebih memahami intervensi perawatan infus dalam pencegahan plebitis
1.5.2
Bagi Peneliti Memperoleh pengalaman riset keperawatan di dalam pelayanan keperawatan khususnya tentang intervensi perawatan infus dalam pencegahan plebitis.
1.5.3
Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat mengerti atau paham tentang tujuan, intervensi perawatan infus dalam pencegahan flebitis 1.6 Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari dengan penyusunan studi kasus ini di mungkinkan sekali terdapat kesalahan-kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunanya, terutama karena keterbatasan waktu yang tidak memunkinkan melakukan evaluasi terhadapa responden yang sama di satu tempat yaitu di Unit Storoke. Oleh karena itu perlu kiranya ada penelitian lanjutan , baik dari peneliti sendiri maupun dari peneliti lain guna lebih mendekatkan lagi studi kasus ini kepada studi kasus yang lebih mendalam dan mendekati kesempurnaan.