ALLAH SEBAGAI PROYEKSI DIRI MENURUT FEUERBACH Gusti A. B. Menoh Tugas ‘Filsafat Modern’ Program Matrikuliasi di STF Driyarkara “Cita-cita akal budi diproyeksikan melebihi batas-batas pengalaman yang mungkin, hal mana tidak menghasilkan suatu pengetahuan, melainkan kesan transendental palsu” (Imanuel Kant ) “Seandainya kuda, atau sapi, atau singa memiliki tangan untuk menggambar dan menghasilkan karya-karya seni seperti yang manusia lakukan, maka kuda akan menggambar allah-allah seperti mereka (kuda), sapi akan menggambar allah seperti sapi, dan mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada allah-allah seperti terdapat pada mereka sendiri” (Xenophanes) 1.Pendahuluan Pernahkah anda ketakutan sewaktu menonton film horor? Ketika monster merabaraba di layar, apakah anda bersembunyi dan meletakkan bantal di telinga anda? Teman anda yang menonton bersama barangkali menegur: “jangan takut, itu tidak nyata”; “Itu hanya film, gambar yang diproyeksikan pada sebuah layar”; “itu hanya film, ide dalam pikiran pembuat film dibuat nyata dan dilepaskan untuk menakut-nakuti kita”. Singkatnya, tokoh-tokoh bintang film itu hanyalah fantasi yang menyerupai monstermonster. Make-up para bintang, cara mereka dipotret, tokoh-tokoh yang mereka perankan, semuanya hanyalah fantasi dari dalam kepala produser atau penulis film. Semua itu adalah proyeksi. Ide ‘proyeksi psikologis’ kembali ke belakang melewati sejarah film. Ide itu kembali ke filsuf Jerman Ludwig Feuerbach. Ia terpesona oleh agama dan menulis mengenai Allah. Tuhan sebagai rahasia kepercayaan agama, menjadi sasaran kritiknya, bahwa Allah merupakan proyeksi diri manusia: bukannya Allah menciptakan manusia, melainkan manusialah yang menciptakan Allah. Tetapi, bagaimana Ia menjelaskan hal itu? Dan sejauh mana dapat diakui kena dan tidaknya kritik itu? Dalam tulisan ini, saya mencoba menunjukkan pendasaran (argumentasi) “ilmiah” Feuerbach atas atheismenya, dan juga sedikit mau menunjukkan sejauh mana perlu diakui kenanya kritik agama Feuerbach dan juga kelemahan-kelemahan pokoknya.
1
2. Uraian Pemikiran Feuerbach Titik tolak Feuerbach berangkat dari semangat zamannya yang penuh gairah besar terhadap evolusi dan ilmu. Suasana pemikiran Jerman waktu itu dikuasai oleh pemikiran rasionalis yang memuncak pada idealisme absolut Hegel. 1 Idealisme absolut Hegel begitu membius bangsa jerman. Dalam gagasan idealisnya ini, Hegel memberi kesan seakanakan yang real adalah Allah atau Roh, yang mengungkapkan diri di dalam sejarah dan dunia. Jadi alam material, manusia, keadaan inderawinya hanyalah obyektifikasi dari roh absolut tersebut. Terhadap dominasi gagasan metafisik Hegel itulah, Feuerbach mengajukkan protes. Ia menuduh Hegel memutarbalikkan kenyataan: yang nyata adalah alam material, manusia inderawi, bukan jiwa, ide, logos, kesadaran, sorga, Roh, atau Allah itu. Totalitas kenyataan adalah alam, yang hanya dapat diketahui dengan pengenalan inderawi. 2 Sebab alam material inilah dasar kenyataan satu-satunya dan yang terakhir. Dengan epistemologi naturalitik semacam ini, maka ia benar-benar menjadi seorang materialis – yang hanya mengakui materi sebagai kenyataan, sedangkan ide-ide religius seperti Tuhan ditolak. Allah bagi Feuerbach hanyalah ciptaan angan-angan manusia. Dalam karya termasyurnya, The Essence of Cristianity, ia mengatakan bahwa ide mengenai Allah tidak memiliki kenyataan pada dirinya tetapi hanya sebagai proyeksi manusia. 3 Jadi ide tentang Allah hanyalah proyeksi diri manusia, atau lebih tepatnya, hakekat ilahi tidak lain daripada hakekat manusia.4 Namun manusia lupa bahwa ide Tuhan itu hanya proyeksinya lalu ia mempercayainya sebagai realitas obyektif, memandangnya sebagai entitas otonom yang terpisah dari dirinya, menyapanya sebagai Tuhan, dan menyembahnya dengan kagum dan takut. Jadi Tuhan adalah penyembahan manusia terhadap ciptaannya sendiri, namun yang tidak disadari lagi sebagai itu. Apa yang sebenarnya hanyalah angan-angan 1 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol 3, New York, 1967, hlm 190 2 Ted Hendrich (ed.), The Oxford Companion to Philosophy, Oxford: 1995, hlm 276 3 Edward Craig (ed.), Rootledge Encyclopedia of Philosophy, London/New York, 1998, hlm 634 4 lihat F. Copleston, A History of Philosophy, vol 7 part II, image book, New York: 1963, hlm 63
2
dianggap mempunyai eksistensi pada dirinya sendiri, maka manusia lalu merasa takut dan menyembah dan menghormatinya sebagai Allah. Pandangan Feuerbach ini berdasarkan suatu anggapan tentang bagaimana manusia menjadi diri: untuk menjadi diri sendiri manusia harus menjadi obyek bagi dirinya sendiri. Jadi ia harus memproyeksikan diri ke luar dari dirinya sendiri supaya ia dapat menghadap dan melihat hakekatnya itu. Kemampuan memproyeksikan diri ini dimungkinkan berkat kesadaran yang dimiliki manusia. Unsur kesadaran dalam diri manusia inilah yang membedakannya dengan alam mau pun binatang. Bahkan manusia menjadikan alam sebagai acuan kesadaran dengan cara membedakan diri dengannya. 5 Dengan kesadaran, manusia mampu menjadikan eksistensinya sendiri sebagai obyek renungan. Kesadaran itu tak terbatas, ia melampaui batas-batas modus eksistensi. Ketakterhinggaan kesadaran ini membuat manusia sanggup mentransendensi alam semesta dan dirinya sendiri.6 Selain itu, kodrat manusia yang terdiri dari akal budi, kehendak, dan hati sangat mendukung lahirnya gagasan metafisik itu karena idealisasinya yang tak terhingga pula. Dalam agama Kristen, idealisasi itu jelas: Allah dipahami sebagai Yang Mahatahu (rasio sempurna), Yang Mahabaik (kehendak sempurna), dan kasih (hati sempurna). 7 Sesungguhnya kekuatan-kekuatan hakiki manusia ini terbatas dan tidak sempurna, maka ia membayangkan (berkat kodrat-kodrat tadi yang memungkinkannya berfantasi) adanya sebuah kenyataan yang memiliki semua itu secara tak terbatas. Kenyataan itu lalu dibayangkan berada di luar dirinya secara obyektif, padahal hanyalah obyektivasi kesadaran diri manusia itu sendiri. Jadi keinginan manusia mau menjadi dirinya dengan cara memproyeksikan diri ke luar supaya dapat melihat hakekatnya justeru melahirkan suatu realitas palsu yang dinamakan Tuhan, tetapi tidak disadari. Maka manusia berTuhan, sedangkan binatang tidak. Pandangan ini mengimplikasikan sikap ganda dari Feuerbach terhadap agama. Di satu sisi, ia melihatnya positif karena merupakan proyeksi hakekat manusia. Dalam 5 F. B. Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm 228 6 Eko P. Darmawan, Agama itu Bukan Candu, Yogyakarta: Resistbook, 2005, hlm 28 7 Lihat F. B. Hardiman, Op.Cit, hlm 229
3
agama manusia dapat melihat siapa dirinya, misalnya bahwa dia berkuasa, kreatif, baik, berbelaskasihan, dapat saling menyelamatkan, dst. Tetapi di lain pihak, oleh karena hakekat manusia diobyektivasikan dan disembahnya sebagai entitas asing (sebagai Allah), maka manusia sebenarnya memblokir dirinya sendiri untuk bisa menjadi semakin sesuai dengan cita-cita idealnya itu. Maka kepercayaan kepada Tuhan justeru mendehumanisasikan manusia. Manusia memiskinkan dirinya seraya memperkaya Allah. Ia mengakui dalam Allah apa yang diingkari dalam dirinya.8 Mengapa? Karena manusia menerapkan relasi yang berlawanan dengan Tuhan hasil ciptaannya itu. Ia meletakkan dirinya lebih hina dan rendah sambil memuliakan dan meninggikan hasil ciptaannya. Terjadi semacam relasi oposisi biner antara Allah dan manusia: Allah itu tak terbatas, sedangkan manusia terbatas; Allah itu sempurna, manusia tidak sempurna; Allah itu kekal, manusia hanya sementara; Allah itu maha kuasa, manusia lemah; Allah itu suci, manusia itu berdosa. Hubungan itu ekstrim: Allah mutlak positif, sebagai hakekat seluruh kenyataan, sedangkan manusia mutlak negatif, sebagai hakekat ketiadaan. Dengan demikian, dengan memproyeksikan hakekat dirinya ke realitas transenden dan mengobyektivasikannya sebagai Allah, manusia mereduksi dirinya sendiri menjadi makhluk yang menyedihkan dan penuh dosa. 9 Dalam hal ini, bagi Feuerbach kepercayaan kepada Tuhan merupakan hal negatif, karena mengalienasi manusia dari dirinya sendiri. Sebagai tanggapan, pendapat Feuerbach bahwa kepercayaan kepada Tuhan merupakan proyeksi manusia ada benarnya juga. Disadari atau tidak, manusia kadangkala membangun berhala-berhala – melalui pikiran-pikiran dan keinginan-keinginannya, lalu menyembahnya. Belum lagi, seringkali mereka yang haus kekuasaan (entah politikus atau pemimpin agama) dengan berani berbicara atas nama Tuhan, dengan berbagai gambaran antropomorfis tertentu mengenai Allah, padahal dibaliknya terselubung berbagai kepentingan politiknya. Selain itu, fantasi saleh yang berlebihan juga bisa jadi hanyalah pelarian khayal dari kemalasan dan ketakutan berusaha. Secara teologis pula, wahyu Tuhan tidak begitu eksplisit sehingga interpretasi dan tambahan kontekstual juga bisa menghasilkan proyeksi baru terhadap Tuhan. 8 lihat Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1985, hlm 91 9 F. Copleston, Op.Cit, hlm 64
4
Namun, dengan demikian kelihatan juga bahwa Feuerbach hanya bicara tentang fungsi agama, bukan hakekatnya, yakni Allah yang disembah dalam agama itu. Feuerbach tidak menyentuh pertanyaan mendasar apakah Allah itu pada dirinya sendiri ada atau tidak. Maka Feuerbach tidak dapat meyakinkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Feuerbach juga tidak dapat menjawab seandainya ditanyakan: keharusan apa yang membuat manusia mengadakan proyeksi. Selain itu, Feuerbach juga tidak mampu menjelaskan unsur-unsur “ketakterhinggan” (konsep “Maha”) yang dikenakan pada Allah karena dalam hakekat manusia ketakterhinggan tidak ada. Dalam lingkup pengalaman tentang diri kita sendiri, tak ada yang tak terhingga! Mestinya Feuerbach bertanya: apakah mungkin manusia merentangkan hati dan pikiran ke arah Yang Tak Terhingga seandainya ia tidak mempunyai suatu pengalaman sungguh-sungguh tentang Yang Tak Terhingga itu?10 Catatan terakhir, dalam ateisme Feuerbach, ia tidak berhasil menggantikan cara berpikir metafisik dengan pemutlakan pengalaman inderawi yang diklaimnya sebagai “filsafat baru”, karena ia sendiri berbicara tentang keabadian manusia, ketakterbatasan potensi-potensi manusia, juga kesempurnaan manusia (gattung). 3. Kesimpulan Feuerbach bercita-cita menggantikan teologi menjadi antropologi – karena Allah hanyalah proyeksi manusia, agar manusia benar-benar merealisasikan segala potensi dirinya – dan tidak lagi teralienali. Namun dengan ateisme materialistiknya, ia justeru mempermiskin pengertian mengenai manusia karena mengatakan bahwa manusia hanyalah makhluk inderawi – jadi kemampuan lain di luar kemampuan inderawi (misalnya kemampuan rohani, kemampuan etis, kebebasan) diremehkan. Manusia Feuerbach adalah manusia kurus, materialistik, miskin, dan mono-dimensional. Dengan kata lain, dibuangnya Tuhan dari manusia, Feuerbach mengajarkan suatu antropologi yang justeru miskin. Alhasil, para pemikir di abad ke 20 meyakinkan bahwa percaya kepada Tuhan bukan ilusi. Adalah Emmanuel Levinas yang paling kuat argumentasinya dengan menunjukkan bahwa dalam pengalaman tanggung jawab mutlak manusia terhadap sesamanya sinar kesucian Yang Ilahi ikut terlihat. Levinas dalam analisa eksistensial10 lihat Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm 70-71
5
fenomenologis, menunjukkan bahwa pengalaman moral adalah titik tolak segala kesadaran, sikap dan dimensi penghayatan manusia, dan bahwa pengalaman dasariah itu sekaligus merupakan kesadaran akan adanya Yang ilahi di belakangnya.11
11 lihat ibid, hlm 184
6