MAKALAH SEMINAR BHP “Aspek Etik, Agama dan Budaya pada Euthanasia”
TUTORIAL A-2
Fritta Aulia Sari
121 0211 146
Gani Rahmani Hanif
121 0211 058
Putry Andriany
121 0211 198
Lutfhi Khairul Umam
121 0211 185
Niko Nofian Nugroho
121 0211 078
Dea Novianda Geovani
121 0211 079
Argo Dwi Reza
121 0211 072
Vina Dwiningsih
121 0211 088
Alfi Ramadhanti
121 0211 187
Mutiara Dwi Sukma
121 0211 181
Dodi Saputra
101 0211 103
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKA RTA 2014
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur syukur kami panjatkan panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat berkat rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan selama kegiatan Seminar ini berlangsung dan juga kepada seluruh penyusun penyusun makalah yang telah menyelesaikan makalah ini dengan baik sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas BHP. Semoga ma kalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya makalah ini menjadi lebih baik lagi. Atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih.
Jakarta, November 2014
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................. 2 Daftar Isi .......................................................................................................................... 3 BAB I Pendahuluan ......................................................................................................... 4 BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 7 BAB III Pembahasan ..................................................................................................... 16 BAB IV Kesimpulan ..................................................................................................... 18 Daftar Pustaka ............................................................................................................... 19
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik. Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran maupun. Oleh karena itu, masalah ini menarik perhatian kami untuk menulis makalah ini terkait dengan isu-isu etik tersebut, baik dari segi agama maupun budaya 1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana masalah Euthanasia dilihat dari aspek etik, agama dan budaya ?
Apa pengertian Euthanasia ?
Apa saja jenis-jenis Euthanasia ?
Apa alasan seseorang melakukan Euthanasia ?
4
Bagaimana Euthanasia dari segi aspek etik kedokteran ?
Bagaimana Euthanasia dari segi aspek agama ?
Bagaimana Euthanasia dari segi aspek budaya ?
1.3 Tujuan
Mengetahui masalah Euthanasia dilihat dari aspek etik, agama dan budaya.
Mengetahui pengertian Euthanasia
Mengetahui jenis-jenis Euthanasia
Mengetahui alasan Euthanasia
Mengetahui Euthanasia dari segi aspek etik
Mengetahui Euthanasia dari segi aspek agama
Mengetahui Euthanasia dari segi aspek budaya
1.4 Manfaat
Sebagai sarana memperluas wawasan mengenai Euthanasia
Memahami mengenai aspek etik, agama dan budaya pada Euthanasia
Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat
Sebagai bahan latihan untuk menulis karya ilmiah
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Euthanasia 2.1 Sejarah Euthanasia Setelah mengetahui mengenai metode dan kategori euthanasia, kita juga perlu mengetahui sejarah asal-muasal istilah euthanasia. Sejarah ini saya dapatkan dari wikipedia yaitu Kata etanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "euthanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
2.2
Definisi Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, enjoy the death (mati dengan tenang). Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan
dengan
panggilan
manusia
untuk
mempertahankan
dan
memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan.
6
Artinya
dari
segi
kesusilaan
dapat
dipertanggungjawabkan
bila
orang
yang
bersangkutan menghendakinya. Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
2.3
Klasifikasi Euthanasia
2.3.1
Euthanasia ditinjau dari Sudut Cara Pelaksanaan
1. Eutanasia Aktif Eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003;178). 2. Eutanasia pasif Eutanasia Pasif adalah suatu tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian
7
pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003;176). Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003;177). 3. Eutanasia non agresif atau autoeuthanasia Merupakan (eutanasia otomatis) yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima
perawatan
medis
dan
si
pasien
mengetahui
bahwa
penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas
permintaan 2.3.2
Euthanasia ditinjau dari Pemberian Izin
1. Eutanasia di luar kemauan pasien Suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana. 2. Eutanasia secara tidak sukarela
8
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi lain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan kondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar. 3. Eutanasia secara sukarela Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum. 2.3.3 Euthanasia ditinjau dari Segi Tujuannya
Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu: 1. Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing) Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. 2. Eutanasia hewan Khusus dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan
untuk
melakukan
eutanasia.
Pada
kasusyang
lain,
beberapa
kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya
harus
diikutkan
ke
dalam
kubur,
termasuk
hewan-hewan
kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.
9
3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.
2.4 Alasan Euthanasia Berikut ini adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan. 1.
Rasa sakit yang tudak tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penuman semakin gencar untuk mengetasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung meningkatkan presentase “assistea suicede” berkurang. Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stres yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yan g dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karean pengaruh obat. Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan dengan mengirim seseorang kedalam keadan rasa sakit tapi mereka tetap di euthanasiakan karena cara tersebut tidak terpuji. Hampir semua rasa sakit dihilangkan,adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurangi jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik.Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut.Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien,apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien. Meskipun
begitu,beberapa
dokter
tidak
dibekali
dengan
“ pain
management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit,sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi,hendaklah pasien tersebut mencari dokter lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu,bukan yang akan membunuh sang pasien.Ada banyak spesialis
10
yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik
seseorang,namun juga dapat mengatasi depresi
penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2.
Hak untuk melakukan bunuh diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya,yaitu “HAK” . Tapi jika kita teliti lebih dalam,yang kita bicarakan disini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang di bunuh,tetepi memberikan hak kepada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain ,euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati,tetapi hak untuk membunuh. Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya,tapi
sebaliknya,ini
adalah
persoalan
mengubah
hukum
agar
dokter,kerabat,atauorang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang. Manusia memang punya hak untuk bunuh diri,hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi,aksi sendiri. Euthanasia bukanlah
aksi
pribadi,melainkan
membiarkan
seseorang
memfasilitasi
kematian orang lain. Inibisa mengarah ke suatu tindakan panyiksaan pada akhirnya.
3.
Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien untuk tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien,menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan,tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis. Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah,bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.
11
2.5 SYARAT-SYARAT DILAKUKAN EUTHANASIA Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi sebuah Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk melakukan Euthanasia, yaitu: 1) Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan mengajukan permintaan tersebut dengan serius. 2) Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir atau dekat dengan kematiannya. 3) Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri. 4) Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan. 5) Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya 6) Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi
2.6 Teori Aspek – Aspek Etik, Agama dan Budaya 2.6.1
Aspek Etik
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini : - Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam
berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. - Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. - Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
12
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya. 3.6.1.1 Bioetik
Di dalam kaidah dasar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang harus selalu diperhatikan. Empat prinsip etik (beneficence, non-maleficence, auotonomy, dan justice) dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prinsip etik ini dapat bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya 3. Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan bioetik yang harus selalu dipegang oleh seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah: a) Beneficence Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan suatu tindakan untuk kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu mencegah atau menghilangkan bahaya atau hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien.4 Lebih khusus, beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya
tetap
dalam
kondisi
sehat.
Point
utama
dari
prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih banyak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi. b) Non-maleficence
13
Non-malficence
adalah
suatu prinsip dimana seorang
dokter tidak
melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan yang paling kecil resikonya. “ Do no harm” merupakan point penting dalam prinsip non-maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat. c) Autonomy Dalam prinsip
ini,
seorang dokter wajib menghormati
martabat dan
hak manusia, terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus dihormati secara etik, dan di sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis 5. Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan medis secara tertulis. Informed consent menyaratkan bahwa pasien harus terlebih dahulu menerima dan memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan, resiko, dan juga manfaat dari tindakan medis tersebut6. d) Justice Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb. Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar ada kesamaan dalam perlakuan kepada pasien. Contoh dari justice misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang untuk merawat orang tersebut.
14
Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dari seberapa penting masalah yang sedang dihadapi oleh pasien. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.
3.6.1.2 Kode Etik Kedokteran Indonesia
Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan
praktek
kedokteran.Tertuang
dalam
SK
PB
IDI
no
221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.
KEWAJIBAN UMUM
Pasal1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.
Pasal2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standard profesi yang tertinggi .
Pasal3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
15
Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal6 Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya..
Pasal7a Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan
medis
yang
kompeten
dengan
kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya,
dan
berupaya
untuk
mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi,
atau
yang
melakukan
penipuan
atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien .
Pasal7d Setiap
dokter
harus
senantiasa
mengingat
akan
kewajiban
melindungi hidup mahluk insani.
16
Pasal8 Dalam
melakukan
pekerjaannya
seorang
dokter
harus
memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.
Pasal9 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien.. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
17
Pasal14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi kedokteran/kesehatan.
2.6.2
Aspek Agama
AGAMA
2.6.3
Pandangan dan prinsip hidup,
Didasarkan pada kepercayaan,
Akan adanya “Yang Mutlak ”,
Yang berkuasa terhadap kehidupan
Aspek Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan
karyaseni. Bahasa, sebagaimana
juga
budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
18
menganggapnya
diwariskan
secara
genetis.
Ketika
seseorang
berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan social manusia. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
19
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Aspek Etik Euthanasia 3.1.1
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia Euthansia merupakan upaya terakhir seseorang (dokter) untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam kesakitan atau penderitaan hebat menjelang kematiannya.. Dari segi etik kedokteran, tindakan ini harus dipertimbangkan baik buruk dan indikasinya, berlandaskan beberapa pasal dalam kodeki, yaitu : o
Pasal2
Seorang
dokter
harus
senantiasa
berupaya
melaksanakan
profesinya sesuai dengan standard profesi yang tertinggi. o
Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan
medis
yang
kompeten
dengan
kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia.
“Bagaimana pun keadaan pasien, dokter harus senantiasa semaksimal mungkin
memberikan
pelayanan
medis,
kasih
sayang
dan
penghormatan atas martabat manusia dengan tidak mudah membuat keputusan sebelum ada ijin dari pihak terkait serta indikasi yang kuat”
20
o
Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien , hak-hak sejawatnya,
dan
hak
tenaga
kesehatan
lainnya,
dan
harus
menjaga kepercayaan pasien. “Setiap manusia (pasien) ada haknya untuk sehat, hidup bahkan mati. Sebagai dokter, harus tetap bijak & menghormati apapun hak
dari
pasien.
Terutama
bila
hal
tersebut,
memang
yang
pasien/keluarganya inginkan. Tapi tidak mengindahkan juga hak dokter, karena tindakan Euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati,tetapi hak untuk membunuh. Dokter juga harus terus mencari solusi terbaik & mengupayakan agar pasien tetap bertahan serta adanya dukungan emosional & spiritual agar pasien nyaman dengan sisa hidupnya.” o
Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani. “Setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan
dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang
dokter
tidak
boleh
melakukan:
(1)
Menggugurkan
kandungan (Abortus Provocatus), (2)Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi/(euthanasia). Terutama disini adalah Euthanasia aktif yang dokter secara sengaja melakukan tindakan untuk mempercepat kematian pasien. Hal ini perlu dilakukan pertimbangan dari pihak pasien (keluarga) maupun pihak dokter serta terus mencari alternative/solusi terbaik untuk pasien.”
3.1.2
Berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik Kedokteran
a) Beneficence b) Non Malaficence c) Autonomy d) Justice
21
3.2 Aspek Agama (Islam) Euthanasia Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu adalah : a) Surat Al-Hijr ayat 23 : Artinya : “Dan sesungguhnya benar -benar kami-lah yang menghidupkan , dan kami (pulalah) yang mewarisi”. dan memati kan b) Surat Al-Najm ayat 44 : Artinya : “Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan ”. menghidupkan Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang
setimpal
(qishash atau diyat ).
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-An’am : 151 Artinya : “Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (sebab) yang benar”. 3.2.1
Aspek Agama Euth anasia Aktif (positif)
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif).
22
Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat m enciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Adapun pada euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan dengan sangaja. Dan pembunuhan dengan sengaja atau terencana adalah Haram, apapun alasan yang melandasinya. Islam tidak membenarkan dalam situasi atau alasan apapun baik itu dengan alasan kasih sayang, permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan lainnya yang jelas tidak diterima oleh syariat untuk melepaskan nyawanya
hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan Allah Ta’ala berfirman yang artinya, " Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik ." (QS Al-Baqarah: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, " Janganlah engkau membunuh dir imu sendir i ," (QS AnNisa: 29), yang makna langsungnya adalah " Janganlah kamu saling berbunuhan ."
Dengan
demikian,
seorang
Muslim
(dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Tapi, jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa. Adapun hukum Allah di dunia, maka dikembalikan kepada keluarga pasien, berdasarkan dalil (QS.Al-Baqarah:178). Dan dalam hal ini keluarga pasien mempunyai 3 opsi:
23
I.
Memaafkan si dokter dan membebaskannya dari semua tuntutan dan ganti rugi
II.
Meminta ganti rugi (diyat) kepada si dokter. Dan diyat untuk pembunuhan dengan sengaja adalah 100 ekor unta atau yang senilai dengannya berupa emas/perak atau 1000 dinar atau 12.000 dirham menurut pendapat mayoritas ulama. Sementara 1 dinar setara 4,25 grm emas
III.
Menuntut si dokter dengan hukuman mati (qishash). Hanya saja perlu diingatkan bahwa masalah qishash mempunya beberapa hokum dan masalah tersendiri, yang rinciannya bisa dilihat dalam buku-buku fiqh Pada dasarnya mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas
dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga. 3.2.2 Aspek Agama Eu thanasia Pasif (Negatif)
Sedangkan terhadap euthanasia pasif , para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan karena
hakikat
sebenarnya
dari
euthanasia
pasif
ini
adalah
tindakan
menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah
tidak
bermanfaat
dan
hanya
akan
menambah
kesusahan
bagi
pasien/keluarga. Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi kepastian hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang berada di RS yang lengkap peralatannya. Tetapi bila pasien berada di RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian pasien.
24
Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah? Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan
(euthanasia
pasif)
hukumnya
adalah
Haram .
Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh ( boleh, tapi lebih utama meninggalkannya ). Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah. Euthanasia pasif tidak diharamkan jika memang sudah dipastikan (atau dugaan besar) si pasien sudah tidak bisa sembuh dan hidupnya dia hanya akan menambah penderitaannya . Jika si dokter melakukannya maka
insya Allah dia tidak mendapatkan hukuman di akhirat. Hanya saja untuk pelaksanaan euthanasia pasif ini tetap disyaratkan harus adanya izin dari pasien, atau walinya, atau atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak
mempunyai wali atau washi, maka yang dimintai izin adalah pemerintah. Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab
3.3 Aspek Budaya Euthanasia
25
BAB IV KESIMPULAN Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003;177). Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, enjoy the death (mati dengan tenang). Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu aktif dan euthanasia pasif . Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien sedangkan Euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras. Dari Aspek Etik, yang berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia terdapat pada pasal 2, 7a, 7c dan 7d. Dimana dokter harus s enantiasa memberikan pelayanan dan melaksanakan profesinya sebaik dan semaksimal mungkin dan mengupayakan agar pasien tetap sehat serta menjunjung tinggi martabat manusia. Pada Euthanasia terutama yang aktif, banyak hak-hak pasien dan kewajiban dokter yang tidak sesuai dengan Kode Etik
Kedokteran
Indonesia.
Berdasarkan
Kaidah
Dasar
Bioetik
Kedoteran_____________________________________
26
Dari Aspek Agama (Islam), Euthanasia aktif berdasarkan dalil & kesepakatan jumhur ulama hukumnya adalah tidak diperbolehkan/diharamkan baik dengan alasan apapun, jika hal tersebut tetap dilakukan, maka si pasien menanggung dosa yang sangat besar, dokter dan keluarganya pun ikut mendapat dosa. Sedangkan Euthanasia pasif para ahli sepakat membolehkan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien/keluarga. Dan
hakikatnya
yang
berhak
mengakhiri
hidup
seseorang
hanyalah
Allah
Subhannallahu wata’ala Dari Aspek Budaya ___________________________________
Daftar Pustaka
Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).
27
Etika kedokteran dan hukum kesehatan EGC
Samil,RS. Etika kedokteran Indonesia Yayasan Bina pustaka Sarwono. Jakarta.2001
Lebaron.Garn.2010.The Etics of Euthanasia
Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7.
Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9.
Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing' legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6 (May 1958).
Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality . New York: Oxford University Press, 1986.
28