Senin, 21 Januari 2013
Amlodipin Deskripsi Struktur amlodipine adalah 3-ethyl-5-methyl-2-(2-aminoethoxymethyl)-4-(2-chlorophenyl)-1,4-dihydro-6methyl-3,5 pyridinedicarboxylate benzenesulphonate. Farmakologi Amlodipine merupakan antagonis kalsium golongan dihidropiridin (antagonis ion kalsium) yang Amlodipine merupakan menghambat influks (masuknya) ion kalsium melalui membran ke dalam otot polos vaskular dan otot jantung, sehingga mempengaruhi kontraksi otot polos vaskular dan otot jantung. Am lodipine menghambat influks ion kalsium secara selektif, di mana sebagian besar mempunyai efek pada sel otot polos vaskular dibandingkan sel otot jantung. Efek antihipertensi amlodipine adalah dengan bekerja langsung sebagai vasodilator arteri perifer yang dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular yang pada gilirannya menyebabkan penurunan tekanan darah. Efek pada otot jantung akan menurunkan kecepatan detak jantung. Penurunan resistensi vaskuler dan kecepatan detak jantung, selanjutnya akan menurunkan beban kerja jantung. Obat ini juga memiliki efek melebarkan arteri koroner, sehingga aliran darah ke jantung juga meningkat. Dosis satu kali sehari akan menghasilkan penurunan tekanan darah yang berlangsung selama 24 jam. Onset kerja amlodipine adalah perlahan-lahan, sehingga tidak menyebabkan terjadinya hipotensi akut. Efek antiangina amlodipine adalah melalui dilatasi arteriol perifer sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total (afterload). Karena amlodipine tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, pengurangan beban jantung akan menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen miokardial serta kebutuhan energi. Amlodipine menyebabkan dilatasi arteri da n arteriol koroner baik pada keadaan ok sigenisasi normal maupun keadaan iskemia. Pada pasien angina, dosis amlodipine satu kali sehari dapat meningkatkan waktu latihan, waktu timbulnya angina, waktu timbulnya depresi segmen ST dan menurunkan frekuensi serangan angina serta penggunaan tabletnitrogliserin. Amlodipine tidak menimbulkan perubahan kadar l emak plasma dan dapat digunakan pada pasien asma, diabetes serta gout. Farmakokinetik Amlodipine diabsorpsi secara bertahap pada pemberian per oral. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 6-12 jam . Bioavailabilitas amlodipine sek itar 64-90%, dan tidak dipengaruhi dipengaruh i makanan. Ikatan dengan protein plasma sekitar 93%. Waktu paruh amlodipine sekitar 30-50 jam, dan kadar mantap dalam plasma dicapai setelah 7-8 hari. Amlodipine dimetabolisme di hati secara luas (sekitar 90%) dan diubah menjadi metabolit inaktif, dengan 10% bentuk awal serta 60% metabolit diekskresi melalui urin. Pola farmakokinetik amlodipine tidak berubah secara bermakna pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, sehingga tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Pasien usia lanjut dan pasien dengan gangguan fungsi hati didapatkan peningkatan AUC sekitar 40-60%, sehingga diperlukan pengurangan dosis pada awal terapi. Demikian juga pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
Indikasi Amlodipine digunakan untuk pengobatan hipertensi dan untu k mengontrol tekanan darah. Am lodipine digunakan sebagai first-line terapi untuk iskemia miokard, angina stabil kronik dan angina vasospastik (angina prinzmetal atau variant angina). Amlodipine dapat diberikan sebagai terapi tunggal ataupun dikombinasikan dengan obat antihipertensi dan antiangina lain. Kontra Indikasi Amlodipine tidak boleh diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap amlodipine dan golongan dihidropiridin lainnya. Dosis Penggunaan dosis diberikan secara individual, bergantung pada toleransi, berat penyakit dan respon pasien.
Dosis awal yang dianjurkan adalah 5 mg satu kali sehari, dengan dosis maksimum 10 mg satu kali sehari. Untuk melakukan titrasi dosis, diperlukan waktu 7-14 hari.
Pada pasien usia lanjut atau dengan kelainan fungsi hati, dosis yang dianjurkan pada awal terapi 2,5 mg satu kali sehari. Bila amlodipine diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lain, dosis awal yang digunakan adalah 2,5 mg.
Dosis yang direkomendasikan untuk angina stabil kronik ataupun angina vasospastik adalah 5-10 mg, dengan penyesuaian dosis pada pasien usia lanjut dan kelainan fungsi hati.
Amlodipine dapat diberikan dalam pemberian bersama obat-obat golongan tia zida, ACE inhibitor, βbloker, nitrat dan nitrogliserin sublingual. Efek Samping Secara umum amlodipine dapat ditoleransi dengan baik, dengan derajat efek samping yang timbul bervariasi dari ringan sampai sedang. Efek samping yang sering timbul dalam uji klinik antara lain : edema, sakit kepala, fatigue, nyeri, peningkatan atau penurunan berat badan.
Kardiovaskular Neurologi Gastrointestinal Muskuloskeletal Psikiatrik Respirasi Kulit Saluran kemih Metabolik Hemopoietik
: aritmia, bradikardi, nyeri dada, hipotensi, takikardi. : hipestesia, neuropati perifer, parestesia, tremor, vertigo. : anoreksia, konstipasi, dispepsia, muntah, diare. : artralgia, mialgia, kram otot. : insomnia , ansietas, depresi. : dyspnea, epistaksis. : angioedema, rash. : nokturia. : hiperglikemia, rasa haus. : leukopenia, trombositopenia, purpura.
Peringatan dan Perhatian
Hati-hati penggunaan amlodipin pada penderita dengan gagal jantung kongestif, seperti halnya pada penggunaan Calcium Blocker pada umumnya. Pada penderita gangguan fungsi hati, waktu paruh amlodipin akan memanjang, sehingga perlu pengawasan yang lebih ketat. Hindari minuman yang berakohol, ketika menggunakan amlodipin, karena tekanan darah dapat semakin turun dan dapat meningkatkan beberapa efek samping. Tetaplah menggunakan obat ini, meski tekanan darah dan kondisi badan telah membaik, tentunya juga tetap perlu pengawasan. Nyeri dada dapat menjadi lebih parah ketika pertama kali menggunakan amlodipine atau ketika dosisnya ditingkatkan. Jika keluhan ini semakin memburuk dan berlanjut, perlu dievaluasi ulang untuk pemberiannya. Pada penderita usia lanjut. waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak dalam plasma serupa pada pasien muda. Pada pemberiang dengan dosis yang serupa pada pasien muda, amlodipin dapat ditoleransi dengan baik, meski dosis awalnya hendaknya diberikan setengah dari dosis awal pasien muda. Amlodipine dapat diberikan pada pasien usia lanjut dengan dosis yang umum digunakan. Meski perubahan konsentrasi plasma Amlodipine tidak berhubungan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal dan obat ini tetap dapat diberikan dengan dosis biasa, tetapi tetap perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya efek samping. Hati-hati penggunaan amlodipine pada kehamilan dan laktasi, karena belum ada hasil penyelidikan yang memadai, sehingga penggunaannya selama kehamilan hanya bila keuntungannya lebih besar dibandingkan risikonya pada ibu dan janin. Belum diketahui apakah amlodipine diekskresikan ke dalam air susu ibu. Karena keamanan amlodipine pada bayi baru lahir belum jelas benar, maka sebaiknya amlodipine tidak diberikan pada ibu menyusui. Efektivitas dan keamanan amlodipine pada pasien anak belum jelas benar. Interaksi Obat Amlodipine dapat diberikan bersama dengan penggunaan diuret ik golongan tiazida, α-bloker, β-bloker, ACE inhibitor, nitrat, nitrogliserin sublingual, antiinflamasi non-steroid, antibiotika, serta obat hipoglikemik oral.
Pemberian bersama digoxin tidak mengubah kadar digoxin serum ataupun bersihan ginjal digoxin pada pasien normal.
Amlodipine tidak mempunyai efek terhadap ikatan protein dari obat-obat : digoxin, phen ytoin, warfarin dan indomethacin.
Pemberian bersama simetidin atau antasida tidak mengubah farmakokinetik amlodipine. Penyimpanan:
Simpan pada suhu kamar (di bawah 30°C).
Menyusui dan Pengobatan Pendahuluan Selama bertahun-tahun, terlalu banyak ibu telah secara keliru diminta untuk berhenti menyusui karena mereka mengonsumsi obat-obatan tertentu. Keputusan untuk terus menyusui ketika ibu berada dalam masa pengobatan, misalnya, seringkali lebih dipengaruhi oleh kekhawatiran akan masuknya zat kimia obat di dalam ASI. Padahal, seharusnya ada pertimbangan resiko tidak menyusui, bagi ibu, bayi dan keluarga, serta t entu saja masyarakat. Ada begitu banyak resiko tidak menyusui , jadi pertanyaan yang mendasar sesungguhnya adalah: Apakah masuknya sejumlah kecil obat ke dalam ASI membuat menyusui menjadi lebih berbahaya dibandingkan susu formula? Jawabannya hampir selalu tidak . ASI dengan hanya sedikit obat hampir selalu lebih aman. Dengan kata lain, arti kata berhati-hati adalah melanjutkan menyusui , bukan berhenti. Ingat bahwa menghentikan proses menyusui selama satu minggu dapat mengakibatkan penyapihan permanen karena bayi mungkin tidak mau menyusu langsung lagi pada payudara ibu. Di sisi lain, perlu dipertimbangkan juga bahwa beberapa bayi mungkin menolak minum dari botol, sehingga saran untuk berhenti menyusui bukan saja tidak tepat, tapi seringkali juga tidak praktis. Di atas itu semua, adalah mudah menyarankan ibu untuk memerah ASI-nya sementara bayi tidak menyusu, tapi hal ini tidak selalu mudah dalam prakteknya dan ibu dapat mengalami pembengkakan yang menyakitkan.
Menyusui dan Pengobatan pada Ibu Obat-obatan umumnya terserap di dalam ASI, namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Walaupun ada sebagian obat yang dapat menimbulkan efek samping bagi bayi meskipun dalam dosis yang sangat rendah, Namun kasus seperti ini sangat jarang. Ibu menyusui yang diberitahu untuk berhenti menyusui karena obat-obatan tertentu sebaiknya bertanya pada dokter untuk memastikan hal ini dengan mengecek pada sumber yang handal . Catat bahwa CPS (Kanada) dan PDR (Amerika Serikat) bukan sumber informasi yang handal tentang obat dan menyusui. “Sumber-sumber” ini hanya kompilasi informasi yang disediakan oleh produsen obat yang lebih tertarik dengan kewajiban hukum medisnya dibandingkan lepada kepentingan i bu dan bayi. Kebijakan mereka pada dasarnya “Kami tidak bisa bertanggungjawab jika ibu berhenti menyusui.” Atau ibu sebaiknya meminta dokter untuk meresepkan obat alternatif yang aman selama menyusui . Saat ini mencari alternatif obat yang aman seharusnya sudah tidak menjadi masalah. Jika dokter yang menanganinya tidak fleksibel, maka ibu sebaiknya mencari pendapat lain, tapi jangan berhenti menyusui . Mengapa sebagian besar obat hanya t erserap/terbawa dalam kadar yang sangat rendah dalam ASI? Karena apa yang masuk/terserap di dalam ASI sangat tergantung pada kadar yang terbawa di dalam darah ibu, dan hal i ni biasanya terukur dalam mikro- atau bahkan nano-gram per mililiter (sepersejuta atau sepersemilyar dari satu gram), jika ibu mengkonsumsi obat dalam dosis miligram (seperseribu dari gram) atau bahkan gram. Lebih jauh lagi, tidak seluruh obat yang ada di dalam darah ibu akan masuk/terserap di dalam ASI. Hanya obat-obatan yang tidak terikat dengan protein dalam darah ibu yang dapat terserap oleh ASI. Banyak obat yang hampir seluruhnya terikat dengan protein dalam darah ibu. Dengan demikian, bayi tidak mendapat jumlah obat yang sama dengan yang dikonsumsi ibu, tapi hampir selalu, jauh lebih sedikit dalam basis berat. Contohnya, dalam sebuah studi dengan
antidepresan paroxetin (Paxil), ibu mengkonsumsi lebih dari 300 mikrogram per kg per hari, sedangkan bayi mendapat sekitar 1 mikrogram per kg per hari. Kebanyakan Obat Aman Jika: Obat tersebut lazim diresepkan bagi bayi. Jumlah yang akan diterima bayi melalui ASI jauh lebih sedikit dibandingkan yang akan dia dapatkan jika diberikan secara langsung. Obat tersebut dianggap aman dikonsumsi selama kehamilan . Hal ini tidak selalu benar, mengingat selama kehamilan tubuh ibu akan membantu bayi mengeluarkan obat. Oleh karena itu secara teori, akumulasi obat yang mengkhawatirkan dapat terjadi saat menyusui dan ti dak terjadi selama kehamilan (meskipun hal ini jarang t erjadi). Namun, jika kekhawatirannya adalah bayi akan terpapar obat, misalnya antidepresan, maka bayi lebih banyak terpapar obat pada saat yang lebih sensitif saat kehamilan dibandingkan saat menyusui. Penelitian terbaru tentang withdrawal symptoms (gelaja pengeluaran) pada bayi baru lahir yang terpapar obat-obatan antidepresan SSRI (misalnya Paxil) selama periode kehamilan, entah bagaimana berhasil mengkaitkan menyusui seakanakan ini adalah jenis masalah yang mengharuskan ibu untuk tidak menyusui. (Contoh yang bagus tentang bagaimana menyusui selalu disalahkan untuk segalanya). Kenyataannya, Anda tidak dapat mencegah withdrawal symptoms ini pada bayi dengan menyusu, karena bayi mendapat sedikit sekali melalui ASI. Obat tersebut tidak diserap dalam perut atau pencernaan. Ini termasuk banyak, tapi tidak semua, obat yang diberikan melalu suntikan. Contohnya adalah gentamicin (dan obat lain dalam golongan antibiotik ini), heparin, interferon, anastesi lokal, omeprazole. Omeprazole (Losec, prilosec) cukup menarik karena obat ini hancur dengan sangat cepat di dalam perut. Selama proses pembuatannya, sebuah lapisan pelindung ditambahkan untuk mencegah rusaknya obat, sehingga diserap dalam tubuh ibu. Jadi, obat ini dibungkus oleh lapisan pelindung yang mencegah kerusakan obat dalam perut. Namun, jika bayi menerima obat ini (dalam jumlah yang sangat sedikit secara tidak sengaja), tidak ada lapisan pelindung dari obat, sehingga obat ini akan segera hancur di perut bayi. Obat tersebut tidak dikeluarkan melalui ASI . Sebagian obat terlalu besar untuk bisa masuk ke dalam ASI. Contohnya, heparin, interferon, insulin , infliximab (Remicade), etanercept (Enbrel). Berikut Ini adalah Beberapa Obat-Obatan yang Dinyatakan Aman untuk Dikonsumsi Selama Menyusui: Acetaminophen (Tylenol, Tempra), alkohol (dalam jumlah yang wajar), aspirin (dalam dosis wajar, untuk jangka waktu pendek). Sebagian besar obat-obatan antiepilepsi, obat-obatan antihipertensi, tetracycline, kodein, obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (misalnya ibuprofen), prednisone, thyroxin, propylthiourocil (PTU), warfarin, antidepresan trcyclic, sentraline (Zoloft), paroxetine(Paxil), antidepresan lainnya, metronidazole (Flagyl), omperazole (Losec), Nix, Kwellada. Catatan: Walaupun secara umum aman, fluoxetine (Prozac) memiliki daya tahan yang sangat panjang (tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama). Oleh karena itu, bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengonsumsi obat ini selama kehamilan, akan memiliki sejumlah besar obat ini dalam tubuhnya, dan ju mlah yang sedikit sekalipun yang ditambahkan saat menyusu akan
mengakibatkan akumulasi yang signifikan dan efek samping. Hal ini jarang, namun pernah terjadi. Ada dua pilihan yang dapat Anda pertimbangkan:
Menghentikan konsumsi fluoxetine (Prozac) pada 4-8 minggu terakhir kehamilan. Dengan cara ini Anda akan menghilangkan obat dari tubuh Anda, juga dari tubuh bayi. Ketika bayi lahir, ia akan bebas dari obat tersebut dan sejumlah kecil yang terbawa di dalam ASI biasanya tidak akan menimbulkan masalah dan Anda dapat memulai konsumsi fluoxetine (Prozac).
Jika tidak memungkinkan untuk menghentikan fluoxetine (Prozac) selama kehamilan, pertimbangkan untuk mengganti dengan obat lain yang tidak secara signifikan t erserap di dalam ASI setelah bayi lahir. Dua pi lihan yang baik adalah setraline (Zoloft) dan paroxetine (Paxil). Obat-obatan yang digunakan pada kulit, dihirup (misalnya obat asma ) atau dioleskan pada mata atau hidung, hampir selalu aman untuk menyusui.
Obat untuk anestesi lokal atau regional tidak akan terserap pencernaan bayi dan aman. Obat untuk anestesi umum akan terserap di dalam ASI dalam jumlah yang sangat sedikit (seperti semua obat) dan sangat tidak mungkin menimbulkan efek samping pada bayi Anda. Obat ini umumnya memiliki masa tinggal yang sangat pendek dalam tubuh dan hilang dengan sangat cepat dari tubuh. Anda dapat kembali menyusui segera setelah sadar dan nyaman untuk menyusui. Imunisasi yang diberikan kepada ibu tidak membuatnya harus berhenti menyusui. Sebaliknya, imunisasi akan membantu bayi mengembangkan imunitas dari imunisasi tersebut, jika ada yang masuk ke dalam ASI . Kenyataannya, umumnya tidak ada yang masuk ke dalam ASI, kecuali, mungkin sebagian virus hidup imunisasi, seperti campak Jerman. Dan hal i ni adalah baik, tidak buruk. Rontgen dan Pemindaian (scan). Rontgen yang biasa tidak harus mengganggu proses menyusui bahkan jika digunakan dengan bahan yang kontras (misalnya, i ntravenous pyelogram). Alasannya adalah material tersebut tidak akan terserap di dalam ASI, dan meskipun terserap tidak akan mungkin terserap oleh tubuh bayi. Hal ini berlaku juga untuk CT scan dan MRI scan. Anda tidak perlu berhenti menyusi sedetikpun.
Bagaimana dengan Pemindaian (Scan) yang Menggunakan Radioaktif? Kita tidak ingin bayi terkena radioaktif, tapi kita jarangkali ragu-ragu untuk melakukan pemindaian/rontgen radioaktif terhadap mereka. Ketika seorang ibu melakukan pemindaian/rontgen paru-paru, atau limfangiogram dengan bahan radioaktif, atau pemindaian/rontgen tulang, umumnya dilakukan dengan technetium (walaupun bahan lain dapat digunakan). Technetium memiliki masa half life (waktu yang diperlukan tubuh untuk menghilangkan ½ dari efek obat) selama 6 jam, yang artinya setelah 5 masa half life ia akan hilang dari tubuh ibu. Dengan demikian, 30 jam setelah injeksi seluruh obat akan hilang (yah, 98% akan hilang) dan ibu dapat menyusui kembali bayinya tanpa rasa khawatir bayinya akan terkena radiasi. Tapi apakah semua radioaktif harus hilang? Setelah 12 jam, 75% technetium sudah hilang, dan konsentrasi dalam ASI sangat rendah. Me nurut saya menunggu 2 masa half life sudah cukup, untuk bahan seperti technetium. Tapi: Tidak semua technetium mengharuskan ibu untuk berhenti menyusui sama sekali (misalnya HIDA scan). Hal ini tergantung molekul mana technetium terikat. Pada beberapa hari pertama, volume ASI sangat sedikit (walaupun cukup). Dalam kondisi ini, i bu tidak perlu berhenti menyusui setelah rontgen paru-
paru, misalnya. Bagaimanapun, satu alasan paling umum untuk melakukan rontgen paru-paru adalah untuk mendiagnosis adanya pembekuan atau gumpalan di paru-paru. Hal ini bisa dilakukan dengan lebih baik dan lebih cepat dengan CT scan, yang tidak mengharuskan ibu untuk berhenti menyusui sedetik pun. Jika Anda memutuskan bahwa menghentikan menyusui sementara waktu adalah saran yang baik untuk diikuti, maka sebelumnya perahlah ASI untuk beberapa hari (ji ka Anda mendapat peringatan lanjutan tentang tes tersebut) dan ASI i ni dapat diberikan pada bayi melalui gelas selama beberapa hari. Pelacak radioaktif yang ada dalam ASI akan meluruh dan radiasi akan hilang dalam 5 masa half life. Jadi, bahkan untuk I¹³¹ yang digunakan dalam rontgen tiroid (lihat bawah), radiaktifitas dari iodin akan hilang dalam 5 masa half life, sehingga ASI dapat digunakan dalam 6 atau 8 minggu (half life I¹³¹ berkisar 8 hari). H anya kadang-kadang saja rontgen radioaktif begitu mendesak sehingga tidak bisa ditunda selama beberapa hari. Rontgen tiroid berbeda. Radioaktif Iodine (I131) akan terkonsentrasi dalam ASI dan dapat tercerna oleh bayi dan akan menuju tiroidnya dimana ia akan tinggal disana untuk jangka waktu lama. Hal ini jelas perlu menjadi perhatian. Jadi, apakah ibu harus berhenti menyusui? Jawabnya tentu saja tidak, karena seringkali tes tersebut tidak perlu dilakukan sama sekali. Membedakan tiroiditis paska melahirkan dengan penyakit Graves (alasan paling umum u ntuk melakukan rontgen pada ibu menyusui) tidak memerlukan rontgen tiroid. Cari informasi lebih banyak dari fasi litas kesehatan. Jika rontgen harus dilakukan, dimungkinkan melakukan rontgen tiroid I¹²³ yang hanya memerlukan waktu 12 sampai 24 jam bagi ibu untuk berhenti menyusui, tergantung dari dosis yang diberikan atautechnetium. Jangan lupa untuk memerah ASI sebelumnya agar bayi tetap dapat mengonsumsi ASI daripada susu formula. Pertanyaan? Pertama-tama kunjungi laman nbci.ca atau drjacknewman.com. Jika informasi yang Anda butuhkan tidak ada, klik Contact Us dan tulis pertanyaan Anda ke dalam email. Informasi juga tersedia di dalam Dr. Jack Newman's Guide to Breastfeeding (atau The Ultimate Breastfeeding Book of Answers); dan/atau DVD kami, Dr. Jack Newman's Visual Guide to Breastfeeding (tersedia dalambahasa Perancis atau dengan teks dalam bahasa Spanyol, Portugis dan Itali); dan/atau The Latch Book and Other Keys t o Breastfeeding Success; dan/atau L-eat Latch and Transfer Tool; dan/atau GamePlan for Protecting and Supporting Breastfeeding in the First 24 Hours of Life and Beyond. untuk membuat perjanjian dengan klinik kami kunjungi www.nbci.ca. jika Anda kesulitan mengirim email atau mendapat akses internet, hubungi (416) 498-0002. Menyusui dan Pengobatan, 2009© Written and revised (under other names) by Jack Newman, MD, FRCPC, 1995-2005© Revised Jack Newman MD, FRCPC, IBCLC and Edith Kernerman, IBCLC, 2008, 2009©
Obat Untuk Ibu Menyusui? Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang paling sempurna bagi bayi, karena ASI memiliki kandungan zat gizi dan antibodi (kekebalan tubuh) yang lebih lengkap dan mudah dicerna daripada susu formula atau makanan lainnya.Bayi yang mendapatkan ASI umumnya lebih jarang sakit, mengalami alergi atau kelebihan berat badan, serta cenderung lebih cerdas pada saat bertambah usia. Selain itu, pemberian ASI juga menguntungkan bagi sang ibu karena dapat mencegah kehamilan selama 6 bulan pertama (sebagai KB alami), membantu penurunan berat badan setelah melahirkan, serta menurunkan risiko kanker payudara dan ovarium (indung telur). 5 Oleh karena itu, setiap ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI kepada bayi setelah melahirkan . ASI tidak hanya diberikan selama 6 bulan pertama. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) & UNICEF merekomendasikan ASI terus dilanjutkan sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih, dengan disertai makanan pendamping ASI.1 Selama periode menyusui yang cukup panjang ini , ada kalanya seorang ibu jatuh sakit dan membutuhkan pengobatan. Nah, obat-obat tertentu yang digunakan oleh ibu dapat masuk ke dalam ASI dan memberikan efek kepada bayi. Obat yang diminum oleh ibu, akan diserap oleh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh termasuk kelenjar payudara. Di payudara tersebut obat akan bercampur dengan ASI. Umumnya, semakin besar dosis obat yang digunakan atau semakin lama obat digunakan (pengobatan jangka panjang/kronis), semakin besar pula kadar obat yang berada di dalam ASI. Bayi yang baru lahir dan bayi yang lahir prematur (belum cukup bulan) juga mempunyai risiko lebih besar terhadap paparan obat melalui ASI. Hal ini dikarenakan fungsi ginjal dan hati yang belum berkembang dengan baik, sehingga obat lebih sulit dikeluarkan dari dalam tubuh dan berisiko terjadi penimbunan obat. 2,3 Menurut WHO, ada 5 klasifikasi keamanan obat pada ibu menyusui: 1.
Obat yang diperbolehkan, yaitu obat yang berdasarkan hasil penelitian belum ditemukan memiliki efek samping pada bayi, sehingga dikategorikan aman untuk ibu menyusui dan bayinya. 1 2.
Obat yang diperbolehkan, tetapi perlu diwaspadai efek sampingnya pada bayi. Secara teori, obat dapat menimbulkan efek samping tapi belum terbukti atau efek sampingnya ringan dan jarang terjadi. Ibu dianjurkan untuk memantau kondisi bayi. 1
3.
Obat yang harus dihindari karena efek sampingnya pada bayi . Digunakan hanya bila obat sangat dibutuhkan oleh ibu. Bila terjadi efek samping pada bayi, ASI dihentikan sementara dan dilanjutkan setelah pengobatan selesai.1
4.
Obat yang dihindari karena menghambat produksi ASI. Jika ibu harus mengonsumsi obat tersebut untuk jangka waktu pendek, tidak perlu stop ASI. ASI yang sedikit dapat diatasi dengan merangsang bayi menyusu lebih sering. 1 5.
Obat yang tidak boleh diberikan karena menyebabkan efek samping berbahaya pada bayi. Ibu dianjurkan berhenti menyusui hingga pengobatan selesai.1 Hal-hal yang harus diperhatikan jika ibu menyusui akan menggunakan obat: 1.
Sedapat mungkin, ibu menyusui dianjurkan untuk menghindari penggunaan obat yang tidak perlu, termasuk suplemen dan obat tradisional (jamu).2,3 2.
Jika pengobatan memang diperlukan, berkonsultasilah terlebih dahulu dengan Dokter atau Apoteker mengenai keamanan obat-obat yang akan digunakan.2,3 3.
Pada saat memeriksakan diri ke Dokter, selalu informasikan bahwa ibu masih menyusui supaya Dokter meresepkan obat yang aman.
4.
Jika ibu menggunakan obat selama menyusui, maka dianjurkan untuk selalu memantau kondisi bayi. Waspadalah jika bayi menunjukkan gejala-gejala yang berbeda setelah mendapatkan ASI. 2,3 5.
6.
Jika obat diketahui memiliki efek samping yang berbahaya pada bayi , dianjurkan untuk menghindari atau menghentikan sementara pemberian ASI sampai pengobatan selesai.2,3 Ibu dianjurkan untuk menjadwalkan penggunaan obat yaitu segera setelah menyusui atau pada saatwaktu tidur bayi yang paling panjang. Diharapkan
7.
kadar obat di dalam ASI paling rendah pada saat menyusui. Untuk pengaturan jadwal minum obat, ibu dapat berkonsultasi dengan Apoteker. Gunakanlah obat sesuai aturan pakai yang telah ditentukan dan jangan menghentikan atau memperpanjang pengobatan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Dokter atau Apoteker.
Berikut ini adalah tabel yang memuat contoh obat-obat yang aman untuk digunakan selama menyusui dikarenakan kadarnya yang sangat rendah di dalam ASI atau obat tidak menimbulkan efek samping pada bayi. CONTOH OBAT-OBAT YANG AMAN UNTUK DIGUNAKAN SELAMA MENYUSUI 1,4,6 Golongan Obat Pilihan Obat yang Aman Keterangan Obat nyeri, demam, Parasetamol, Ibuprofen, Parasetamol dan Ibuprofen sakit kepala Asam Mefenamat memiliki data keamanan yang paling memadai. Obat batuk berdahak Ammonium Chloride Gunakan dosis yang lazim untuk pengobatan jangka pendek. Obat batuk kering DMP (Dextromethorphan) Pilih formula yang tidak mengandung ethanol(alkohol) Antibakteri Jika timbul gejala gangguan Amoxicillin, Ampicillin, (antibiotik) Ceftazidime, Ceftriaxone, pencernaan (diare) atau gejala alergi (ruam kulit) pada bayi, Cefadroxil, Cefotaxime, segera hentikan obat dan Erythromycin berkonsultasilah dengan Dokter. Ethambutol, INH Jika muncul gejala berupa kulit Anti TBC (Isoniazid), Pyrazinamide, menguning, sariawan, dan diare Rifampicin, Streptomycin pada bayi, segera hentikan obat dan berkonsultasilah dengan Dokter. Antivirus Umumnya digunakan untuk Acyclovir pengobatanherpes . Antihipertensi (obat Methyldopa, Verapamil, Jika timbul gejala berupa sesak tekanan darah tinggi) Captopril, nafas atau kulit membiru pada bayi, segera hentikan obat dan Propranolol, Nifedipine berkonsultasilah dengan Dokter. Obat luar Betamethasone, Calamine, Krim/salep dioleskan tipis pada (krim/salep/bedak) Hydrocortisone kulit dan hanya untuk pemakaian untuk radang dan angka pendek.
gatal-gatal pada kulit Obat asma (sesak) Aminophylline, Salbutamol, Theophylline, Terbutaline, Beclometasone, Prednisolone Vitamin dan Mineral Vitamin A (retinol), C, E, B1, B2, B6, B12, asam folat, zat besi Obat alergi Loratadine, Fexofenadine
Obat maag (gangguan Antasida (Aluminium dan lambung) Magnesium Hidroksida), Ranitidine, Sucralfate Antidiabetes Insulin
Kortikosteroid
Prednisolone, Prednisone
Lebih dianjurkan menggunakan obat asma bentuk inhalasi (hirup) atau spray (semprot) untuk mengurangi efek pada bayi. Gunakan sesuai aturan pakai (dosis yang lazim). Gunakan sesuai aturan pakai dan hanya untuk penggunaan jangka pendek. Gunakan sesuai aturan pakai dan hanya untuk penggunaan jangka pendek. Berkonsultasilah dengan Dokter mengenai penyesuaian (penurunan) dosis selama masa menyusui. Gunakan sesuai aturan pakai dan hanya untuk penggunaan jangka pendek.
Berikut ini adalah tabel yang memuat contoh obat-obat yang sebaiknya dihindari selama menyusui dikarenakan efek sampingnya yang berbahaya pada bayi atau pengaruhnya terhadap produksi ASI. CONTOH OBAT-OBAT YANG SEBAIKNYA DIHINDARI SELAMA MENYUSUI 1,4,6 Antibiotik: Chloramphenicol, Ciprofloxacin, Doxycycline, Metronidazole, Tetracycline Semua obat kanker (obat kemoterapi) Obat tekanan darah tinggi: Furosemide, Atenolol, Clonidine, diuretik golongan Thiazide Obat alergi: Chlorpheniramine (CTM), Diphenhydramine Obat untuk sistem saraf (penenang): Chlorpromazine, Haloperidol, Lithium Antinyeri dan antiradang: Asetosal (Aspirin), Antalgin Kontrasepsi oral yang mengandung estrogen Selain obat: rokok (nikotin), kafein, dan alkohol (ethanol)
Semua contoh di atas hanyalah sebagian dari sekian banyaknya obat yang beredar. Untuk menjamin keamanan obat yang digunakan, ibu dapat berkonsultasi dengan Dokter atau Apoteker. Pastikan bayi ibu mendapatkan manfaat yang terbaik dari ASI tanpa mengabaikan kesehatan ibu sendiri. Penyusun: Juliana Kurniawati, S.Farm., Apt. Daftar Pustaka: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Anonim, 2002, Breastfeeding and Maternal Medication: Recommendations for Drugs in the Eleventh WHO Model List of Essential Drugs, World Health Organization. Anonim, 2006, Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil dan Menyusui, Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik , Departemen Kesehatan RI. Aslam, M., dkk., 2003, Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), Jakarta: PT Elex Media Komputindo. th Briggs, G.G., et al., 2001, Drugs in Pregnancy and Lactation, 6 Edition, USA: Lippincott Williams & Wilkins. Leon-Cava, N., et al., 2002, Quantifying the Benefits of Breastfeeding: a Summary of the Evidence, Washington: PAHO & LINKAGES Project. MICROMEDEX Healthcare Series (www.thomsonhc.com).
St. Layli Prasojo, S.Farm.(078115065)
I. SASARAN TERAPI
Secara umum, yang menjadi sasaran terapi pada penyakit hipertensi adalah tekanan darah. Berdasarkan mekanisme penurunan tekanan darah, sasaran terapi hipertensi secara khusus terbagi menjadi: 1.
Sasaran pada tubula ginjal.Anti hipertensi yang bekerja di tubula ginjal bekerja dengan cara
mendeplesi (mengosongkan) natrium tubuh dan menurunkan volume darah. 2.
Sasaran pada saraf simpatis.Pengaruh anti hipertensi pada saraf simpatis yaitu menurunkan tahanan
vaskuler perifer, menghambat fungsi jantung, dan meningkatkan pengumpulan vena di dalam pembuluh darah kapasitans. 3.
Sasaran pada otot polos vaskuler.Anti hipertensi menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi
otot polos vaskular sehingga mendilatasi pembuluh darah resistans. 4.
Sasaran pada angiotensinAnti hipertensi menyakat produksi angiotensin atau menghambat ikatan
angiotensin dengan reseptornya, sehingga menyebabkan penurunan tahanan vaskular perifer dan volume darah. Sasaran terapi hipertensi dengan menggunakan amlodipin adalah pada otot polos vaskular. Hal ini berdasarkan mekanisme kerja dari amlodipin, yaitu sebagai inhibitor influks kalsium ( slow chanel blocker atau antagonis ion kalsium), dan menghambat masuknya ion-ion kalsium transmembran ke dalam jantung dan otot polos vaskular. Ion kalsium berperan dalam kontraksi otot polos. Jadi dengan terhambatnya pemasukan ion kalsium mengakibatkan otot polos vaskuler mengalami relaksasi. Dengan demikian menurunkan tahanan perifer dan menurunkan tekanan darah. II.
TUJUAN TERAPI
Tujuan terapi hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga taraf yang direkomendasikan. Tekanan darah yang disarankan oleh JNC7, yaitu : 1.
Di bawah 140/90 mmHg
2.
Untuk pasien dengan diabetes, di bawah 130/80 mmHg
3.
Untuk pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis, di bawah 130/80 mmHg (GFR < 60
ml/menit, serum kreatinin > 1,3 mg/dL untuk wanita dan > 1,5 mg/mL untuk pria, atau albuminuria > 300 mg/hari atau ≥ 200 mg/g kreatinin). III.
STRATEGI TERAPI
Terapi hipertensi dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu: 1.
Terapi non farmakologi. Terapi non farmakologi yaitu pengobatan tanpa menggunakan obat. Terapi
non farmakologi pada hipertensi lebih ditekankan pada gaya hidup. Gaya hidup yang disarankan untuk penderita hipertensi antara lain: mengurangi asupan natrium (garam), mengurangi makan makanan berlemak, jangan merokok, hindari minuman beralkohol, olah raga secara teratur, dan hindari aktivitas fisik yang berat.
Terapi farmakologi. Terapi farmakologi yaitu penanganan penyakit menggunakan obat. Obat-obat
2.
yang biasa digunakan pada terapi hipertensi adalah: a.
Diuretik. Diuretik bekerja dengan meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air, sehingga
mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel, sehingga tekanan darah menurun. Ada tiga golongan obat diuretik, yaitu: tiazid (cth: Hidroklortiazid), diuretik kuat (cth: furosemid), dan diuretik hemat kalium (cth: Spironolakton). b.
β-blocker (Misal : propanolol, bisoprolol). Merupakan obat utama pada penderita hipertensi ringan
sampai moderat dengan penyakit jantung koroner atau dengan aritmia. Bekerja dengan menghambat reseptor β1 di otak, ginjal dan neuron adrenergik perifer, di mana β1 merupakan reseptor yang bertanggung jawab untuk menstimulasi produksi katekolamin yang akan menstimulasi produksi renin. Dengan berkurangnya produksi renin, maka cardiac output akan berkurang yang disertai dengan turunnya tekanan darah. c.
α-blocker (Misal : Doxazosin, Prazosin). Bekerja dengan menghambat reseptor α1 di pembuluh darah
sehingga terjadi dilatasi arteriol dan vena. Dilatasi arteriol akan menurunkan resistensi perifer. d.
Penghambat Renin Angiotensin System1). Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor /ACEI (Cth:
Captopril, Enalapril)Bekerja dengan menghambat enzim peptidil dipeptidase yang mengkatalisis pembentukan angiotensin II dan pelepasan bradikinin (suatu senyawa vasodilator). Dengan demikian, akan terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan TD.2). Angiotensin II Reseptor Antagonist /AIIRA (Cth: Losartan)Bekerja dengan bertindak sebagai antagonis reseptor angiotensin II yang terdapat di otot jantung, dinding pembuluh darah, sistem syaraf pusat, ginjal, anak ginjal, dan hepar sehingga efek sekresi aldosteron yang disebabkan oleh angiotensin II tidak terjadi. Akibatnya akan terjadi penurunan tekanan darah.Digunakan sebagai obat kombinasi dengan ACEI sebagai penurun TD yang efektif, karena kerja kedua kelas obat ini saling sinergi. e. Calcium channel blocker (Cth: Nifedipin, Amlodipin). Bekerja dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam otot polos pembuluh darah sehingga mengurangi tahanan perifer. Merupakan antihipertensi yang dapat bekerja pula sebagai obat angina dan antiaritmia, sehingga merupakan obat utama bagi penderita hipertensi yang juga penderita angina. IV.
OBAT PILIHAN
1.
Nama Generik
Amlodipin; sebagai garam amlodipin besilat atau amlodipin asetat. 1.
Nama Dagang di Indonesia
Tensivask ® (Pfizer), Norvask ® (Dexa Medica), Divask ® (Kalbe Farma) 1.
Indikasi
Amlodipin diindikasikan untuk pengobatan hipertensi, dapat digunakan sebagai agen tunggal untuk mengontrol tekanan darah pada sebagian besar penderita hipertensi. Penderita hipertensi yang tidak
cukup terkontrol jika hanya menggunakan anti hipertensi tunggal akan sangat menguntungkan dengan pemberian amlodipin yang dikombinasikan dengan diuretik thiazida, inhibitor β-adrenoreseptor, atau inhibitor angiotensin converting enzyme . Amlodipin juga diindikasikan untuk pengobatan iskemia myokardial, baik karena obstruksi fixed (anginastabil ), maupun karena vasokonstriksi (angina varian) dari pembuluh darah koroner. Amlodipin dapat digunankan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan obat-obat anti angina lain, terutama pada penderita angina yang sukar disembuhkan dengan nitrat dan atau dengan β-blocker pada dosis yang memadai. 1.
Kontraindikasi
Amlodipin dikontraindikasikan pada pasien yang sensitif terhadap dihidropiridin. 1.
Bentuk sediaan
Amlodipin yang beredar di pasaran semuanya berada dalam bentuk sediaan tablet per oral dengan kekuatan 5 mg dan 10 mg. 1.
Dosis dan Aturan Pakai
Untuk hipertensi dan angina, dosis awal yang biasa digunakan adalah 5 mg satu kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan hingga maksimum 10 mg tergantung respon pasien secara individual dan tingkat keparahan penyakitnya. Untuk anak-anak, pasien lemah, dan usia lanjut atau pasien dengan gangguan fungsi hati dapat dimulai dengan dosis 2,5 mg amlodipin satu kali sehari. Dosis ini juga dapat digunakan ketika amlodipin diberikan bersama anti hipertansi lain. 1.
Efek Samping
Efek samping pada kardiovaskular: Palpitasi; peripheral edema; syncope; takikardi, bradikardi, dan aritmia. Pada SSP: sakit kepala, pusing, dan kelelahan. Pada kulit: dermatitis, rash, pruritus, dan urtikaria. Efek pada Saluran pencernaan: mual, nyeri perut, kram, dan tidak nafsu makan. Efek pada saluran pernafasan: nafas menjadi pendek-pendek, dyspnea, dan wheezing. Efek samping lain: Flushing, nyeri otot, dan nyeri atau inflamasi. Pada penelitian klinis dengan kontrol plasebo yang mencakup penderita hipertensi dan angina, efek samping yang umum terjadi adalah sakit kepala, edema, lelah, flushing , dan pusing. 1.
a.
Resiko Khusus
Penggunaan pada pasien dengan kegagalan fungsi hatiWaktu paruh eliminasi amlodipin lebih
panjang pada pasien dengan kegagalan fungsi hati dan rekomendasi dosis pada pasien ini belum ditetapkan. Sebaiknya perlu diberikan perhatian khusus penggunaan amlodipin pada penderita dengan kegagalan fungsi hati b.
Penggunaan pada wanita hamil dan menyusuiKeamanan penggunaan amlodipin pada wanita hamil
dan menyusui belum dibuktikan. Amlodipin tidak menunjukan toksisitas pada penelitian reproduktif pada hewan uji selain memperpanjang parturisi (proses melahirkan) pada tikus percobaan yang diberi amlodipin 50 kali dosis maksimum yang direkomendasikan pada manusia. Berdasarkan hal itu,
penggunaan pada wanita hamil dan menyusui hanya direkomendasikan bila tidak ada alternatif lain yang lebih aman dan bila penyakitnya itu sendiri membawa resiko yang lebih besar terhadap ibu dan anak. V.
PUSTAKA
Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 6thedition, The McGrawHill Company, USA Katzung, G. dan Bertram, M., 2007, Basic and Clinical Pharmacology, 10th edition, The
McGraw-Hill Company, USA
Tatro, David S., Pharm D, 2004, A to Z Drug Facts, 5th edition, 80-82, Wolters Kluwer
Health, Inc., USA