BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan daya dukungan bagi mahluk hidup untuk hidup secara optimal. Pencemaran
udara
dewasa
ini
semakin
menampakkan
kondisi
yang
sangat
memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dll. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan. Pertumbuhan pembangunan seperti industri, transportasi, dll disamping memberikan dampak positif namun disisi lain akan memberikan dampak negatif dimana salah satunya berupa pencemaran udara dan kebisingan baik yang terjadi didalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor) yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan terjadinya penularan penyakit. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa upaya kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat dan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, tempat kerja, angkutan umum, dan lingkungan lainnya yang meliputi penyehatan air, udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi, kebisingan, pengendalian vektor dan penyehatan lainnya. Keterbatasan tempat tinggal di daerah perkotaan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan dengan ketersediaan lahan. Kondisi ini mengakibatkan munculnya permasalahan perumahan yang semakin rumit di perkotaan terutama masalah sanitasi lingkungan yang kurang baik. Penduduk dengan status sosial
ekonomi rendah jumlahnya cukup banyak, dan untuk mengatasi kebutuhan perumahan, mereka cenderung tinggal di daerah pinggiran, termasuk masyarakat umum dan pemulung yang bermukim di sekitar lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS). Pemulung yang menjadikan TPAS sebagai sumber mata pencahariannya bahkan mendirikan rumahnya di atas timbunan sampah di lokasi TPAS. Kebutuhan ekonomiyang semakin meningkat dan sulitnya mencari pekerjaan yang layak membuat para pemulung tetap bertahan tinggal di lokasi TPAS. Tercemarnya udara di sekitar TPA sampah menyebabkan kesehatan lingkungan terganggu, termasuk kualitas udara dalam rumah yang berada disekitar TPA sampah terutama meningkatnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Hasil kajian dari Departemen Kesehatan pada tahun 2004/2005 menyatakan bahwa penyakit ISPA selalu berada di urutan pertama dari sepuluh besar penyakit di 80% kabupaten/kota pada 22 propinsi di Indonesia. Diketahui bahwa resiko terjadinya ISPA, Pneumonia dan penyakit gangguan saluran pernafasan lainnya disebabkan oleh buruknya kualitas udara di dalam rumah/gedung dan di luar rumah baik secara fisik, kimia maupun biologis. Kualitas udara dalam rumah penduduk di sekitar lokasi TPAS Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan tidak memenuhi syarat kesehatan disebabkan oleh adanya konsentrasi polutan-polutan gas penggganggu yaitu: gas H2S dengan konsentrasi maksimum 0,9 ppm, Gas H2S adalah rumus kimia dari gas Hidrogen Sulfida yang terbentuk dari 2 unsur Hidrogen dan 1 unsur Sulfur. Satuan ukur gas H2S adalah PPM ( part per milion ). Gas H2S disebut juga gas telur busuk, gas asam, asam belerang atau uap bau. Gas H2S terbentuk akibat adanya penguraian zat-zat organik oleh bakteri. Oleh karena itu gas ini dapat ditemukan di dalam operasi pengeboran minyak / gas dan panas bumi, lokasi pembuangan limbah industri, peternakan atau pada lokasi pembuangan sampah.
BAB II PEMBAHASAN
Rumusan Masalah
Peneliti (2008) menemukan bahwa kadar gas H 2S dalam rumah di sekitar tempat pembuangan akhir sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan berkisar 0,28±0,90 3
ppm (mg/m ). Berapa besar tingkat resiko non karsinogenik bagi orang yang terhirup gas tersebut ?
A. Estimasi Risiko Diketahui : H2S minimum = 0,28 ppm, H2S maximum = 0,90 ppm. Frekuensi pajanan = 350 hari/tahun Durasi pajanan = 30 tahun Berat badan = 55 kg Sehingga asupan nonkarsinogenik ( I ) untuk konsentrasi H 2S maksimum dapat nk
dihitung sebagai berikut:
I nk
=
-1
mg/kg/hari
Selanjutnya, dengan dosis-respon (IRIS 1998; NRC 1999) dihitung RQ sebagai berikut:
RQ =
= 0,1
= 0,57
Jelas RQ harus > 1 itu beresiko B.
Interpretasi
Estimasi Risiko
Berdasarkan estimasi risiko di atas, H2S yang terdapat di dalam rumah di sekitar tempat pembuangan akhir sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan berisiko bagi individu dengan berat badan 55 kg bila udara di sekitar tempat pembuangan akhir sampah Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan tersebut dihirup sebanyak 20 m3/hari selama 350 hari/tahun dalam jangka waktu 30 tahun karena RQ > 1. Estimasi
tersebut dihitung untuk durasi d efault sepanjang hayat (lifetime) 30 tahun sehingga efekefek toksisitas H2S mungkin baru dirasakan dalam masa 30 tahun ke depan juga. Untuk pembuktian secara epidemiologis, 30 tahun bukanlah jangka waktu survey yang normal. Karena itu perlu dihitung estimasi risiko untuk durasi pajanan real time yang dialami penduduk. Misalnya, berdasarkan hasil survey durasi pajanan real time dapat dikelompokkan menjadi 5 tahun, 10 tahun, dan seterusnya, atau dalam penggalan waktu yang lebih singkat. Berikut adalah esti masi risiko untuk durasi pajanan 5 dan 10 tahun.
p
-2
mg/kg/hari
-1
mg/kg/hari
RQ < 1 (tidak beresiko)
p
RQ < 1 (tidak beresiko)
Untuk efek nonkarsinogenik, jangka waktu pajanan 5 dan 10 tahun tidak berisiko karena RQ<1. C .
Strategi Survey EKL Agar survey epidemiologi bisa menemukan gejala atau penyakit berbasis toksisitas H2S dan surveilansnya lebih tepat sasaran, perlu dihitung durasi pajanan berapa lama resiko mulainya dikendalikan dengan menyusun ulang.
sehingga:
Ini berarti, efek toksik H2S diprakirakan akan ditemukan pada orang dewasa dengan 55 kg berat badan yang telah menghirup udara yang mengandung H 2S 0,9 mg/m3 selama 114 bulan dengan laju konsumsi 20 m 3/hari selama 350 hari/tahun.
D.
Manajemen Risiko Manajemen hanya dilakukan dengan mengubah laju konsumsi ( R) pada konsentrasi H2S minimum dan maksimum untuk kelompok berisiko menurut kenaikan berat badan dengan menyusun ulang.
Tabel 1. Jumlah inhalasi udara yang aman untuk dihirup dari risiko nonkarsinogenik H 2S di tempat pembuangan akhir sampah dari menurut kelompok berat badan penduduk dengan pola pajanan fE 350 hari/tahun dan Dt 30 tahun di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan. Berat Badan (kg)
Tabel
1
Konsentrasi H2S Minimum
Konsentrasi H2S
(0,28 mg/ m3)
Maksimum (0,90 mg/L)
3
20,003 m
3
20,001 m
20,004 m
3
20,019 m
60
20,000 m3
20,016 m3
65
20,002 m3
20,013 m3
70
20,003 m
45
20,000 m
50
20,002 m
55
adalah
3 3 3
3
pilihan
manajemen
risiko
3
19,994 m
untuk
mengamankan
efek-efek
nonkarsinogenik H 2S. Laju konsumsi hirupan udara berdasarkan Baku Anjuran Kesehatan sangat sedikit sehingga perlu pasokan udara berkadar H 2S rendah. Berapa konsentrasi H2S 3
yang aman dari efek nonkarsinogenik bila laju konsumsi 20 m /hari selama 350 hari/tahun yang berlangsung dalam 30 tahun untuk populasi residensial dengan berat badan 55 kg. Untuk menjawab pertanyaan ini harus digunakan Rf C yang menyatakan dosis harian yang aman. Karena Rf C berarti dosis aman seluruh jalur pajanan, langkah pertama adalah mengubah Rf C menjadi tingkat kesetaraan inhalasi atau inhalation equivalen level ( I EL) menggunakan berat badan dan laju menghirup udara. Jika digunakan berat badan 55 kg dan frekuensi pajanan 350 hari/tahun maka:
Sumber kontribusi relatif (relative contributuion source, RC S ) udara untuk asupan mineral dari diet berkisar 80% dari total asupan inhalasi. Jika tidak ada data yang pasti, untuk keamanan biasanya dipakai RC S 80% untuk H 2S. Perkalian I EL dengan RC S menghasilkan apa yang disebut M C LG (maximum contaminant level goal ):
RCS H2S di udara = 80%
sehingga : MCLG = IEL X RCS = 0,275 X 0,8 = 0,22 mg/m3
M C LG adalah batas aman menurut kesehatan yang dianjurkan menjadi baku mutu bagi 3
populasi yang berat badannya 55 kg, inhalasi 20 m /hari selama 350 hari/tahun untuk jangka waktu pajanan sedikitnya 30 tahun.. Berapa batas aman H2S bagi populasi yang posturnya lebih besar, misalnya berat badan 70 kg seperti d efault Amerika (EPA 1990). Dengan pola pajanan yang sama (konsumsi 20 3
m /hari, 350 hari/tahun, 30 tahun) M C LG-nya lebih tinggi dari batas aman orang Indonesia menurut nilai
d efault
Nukman et al (2005). Jika demikian, apakah baku mutu H2S
berdasarkan Kepmen LH No. 13/Men LH/1995 tentang baku mutu H 2S adalah 10 ppm cukup aman bagi orang Indonesia.
E. Baku Mutu
Jelas bahwa baku mutu H2S 10 mg/m 3 kurang aman karena RQ>1. Baku mutu yang ditetapkan adalah baku mutu untuk menghindari kesakitan dan kecelakaan akibat H2S.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Penanggulangan
Kualitas fisik rumah seperti jenis dinding yang berhubungan dengan kualitas udara dalam rumah. Dinding yang terbuat dari papan atau seng mempunyai celah/lubang yang lebih banyak sehingga menyebabkan udara dari luar lebih banyak masuk ke dalam rumah. Udara dari luar rumah (udara bebas) yang telah tercemar polutan gas H2S dari kegiatan yang ada di TPAS Terjun masuk ke dalam rumah (udara tidak bebas), akibatnya udara dalam rumah menjadi tidak sehat. Dari sejumlah kecil udara dari luar masuk ke dalam rumah, beberapa polutan akan terakumulasi menjadi konsentrasi yang dapat mempengaruhi kesehatan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh ventilasi, dimana rumah yang di dibuat dengan pertukaran udara yang kurang dapat meningkatkan jumlah polutan gas dalam rumah. Ventilasi yang kurang menyebabkan aliran udara dalam rumah tidak segar karena kurangnya oksigen di dalam rumah dan meningkatkan polutan gas yang bersifat racun bagi penghuninya. Tidak cukupnya ventilasi menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit. Moerdjoko (2004) menyatakan bahwa ventilasi terjadi jika terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola aliran udara serta suhu ruangan.
Saran
Bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPAS sebaiknya memperbaiki kondisi fisik rumahnya seperti ventilasi yang memadai agar udara dalam rumah selalu berganti. Lingkungan di sekitar rumah ditanami dengan pohon-pohon yang fungsinya selain sebagai penyaring udara juga dapat menurunkan temperatur dalam rumah.