ALAT-ALAT MUSIK SUMATERA UTARA
Julianus P Limbeng Pendahuluan Sumatera Utara adalah salah satu propinsi yang didiami oleh suku bangsa yang majemuk atau heterogen. Sedikitnya ada 8 etnis yang mendiami daerah ini, yaitu : Melayu, Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Pak-Pak Dairi, Pesisir Angkola, Nias, Jawa, Tamil, Cina dan suku bangsa yang lain yang sudah lama tinggal di Sumatera Utara. Suku-suku bangsa ini dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan tempat atau wilayah yang didiaminya. Suku bangsa Melayu menempati daerah di sepanjang pantai Timur T imur mulai dari perbatasan Aceh sampai ke perbatasan Riau; Karo di Kabupaten Karo, sebagian Deli Serdang, dan sedikit di Aceh Tenggara; Simalungun di Kabupaten Simalungun, demikian juga Toba, Pak-Pak Dairi, Mandailing dan seterusnya. Nias mendiami pulau Nias. Identifikasi ini berdasarkan daerah administrasi saja, namun di masing-masing kabupaten tersebut juga terdapat etnis-etnis lain walaupun sebagai bahasa pengantar sehari-hari dipergunakan bahasa setempat. Namun jika kita lihat di Medan sebagai ibukota propinsi, maka sangat sulit bagi kita untuk mengidentifikasi asal-usul suku bangsanya.
Gambar 1. Peta Sumatera Utara Di dalam tulisan ini saya akan memaparkan musik-musik etnik secara ringkas saja mengingat banyaknya musik etnik yang ada di daerah ini, yang semuanya mempunyai perbedaan-perbedaan, baik dalam bentuk instrumentasi (klasifikasi alat musik), fungsi dan penggunaan, serta kaitan musik dan alat musik bagi sosial budaya masyarakat pendukungnya. 3.2. Kesenian Seperti kita ketahui, Sumatera Utara ditempati oleh multi etnik, tentunya hal ini juga berpengaruh pada jenis-jenis kesenian yang d imilikinya. imilikinya. Masing-masing etnis masih tetap mempertahankan keseniannya masing-masing, walaupun terjadi persentuhan buda ya, tetapi kita dapat membedakan jenis-jenis kesenian ini dari gaya, bentuk, melodi-melodinya. Walaupun Toba, Pak-Pak Dairi, Simalungun, Mandailing, Karo, dan
Pesisir Tapanuli Tengah/Angkola termasuk ke da lam suku bangsa Batak, tetapi kebudayaan musikal mereka sangat berbeda sekali, terutama suku bangsa Karo. Masyarakat Melayu di Sumatera Utara adalah menganut Islam dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulannya sehari-hari. Walaupun Toba, Pak-Pak Dairi, Simalungun, Mandailing, Karo dan pes isir Tapanuli Tengah termasuk kelompok etnik Batak, tetapi kebudayaan musikal mereka sangat berbeda sekali, terutama suku bangsa Karo, kebudayaan musikal etnis Batak juga berbeda dengan Nias dan Melayu. Masyarakat Melayudi Sumatera Utara adalah penganut agama Islam, dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulannya sehari-hari, walaupun banyak etnis Karo yang mengaku sebagai Melayu dan tidak menggunakan marga (klen)nya lagi.. Orang Karo menyebut orang yang telah masuk Melayu ini sebagai Jawi. Etnis sumatera Utara pada umumnya menganut sistim patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garis ayah. Oleh sebab itu mereka mengenal marga atau merga, kecuali Melayu. Penggunaan kesenian yang ada juga erat kaitannya dengan sistim kekerabatan yang dipakai. Masyarakat Batak pada umumnya mempunyai sistim kekerabatan berdasarkan dalihan no tolu (tungku yang tiga) atau rakut sitelu (ikatan yang tiga), yaitu pengelompokan kekerabatan pada tiga kelompok yang paling penting di dalam adat. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah hula-hula, sebagai pihak pemberi perempuan, dongan tubu, sebagai pihak saudara-saudara, dan boru, yaitu sebagai pihak penerima perempuan. Nama-nama untuk pengelompokan kerabat ini juga berbeda-beda sesama orang Batak, misalnya hula-hula, pada masyarakat simalungun disebut tondong, masyarakat Karo disebut kalimbubu, namunpada prinsipnya fungsi dan peranannya di dalam adat adalah hampir sama. Di dalam berkesenian peranan-peranan tersebut sangat berpengaruh, dan ketiga pengelompokan kekerabatan tersebut adalah akan dimiliki oleh setiap o rang Batak secara bergantian tergantung pada siapa yang melakukan hajatan atau acara. Sistem seperti ini tidak berlaku bagi masyarakat Melayu. Kalau pada masyarakat Batak biasanya pihak hula-hula, tondong, atau kalimbubu, adalah pihak yang sangat di hormati. Bagi masyarakat Batak, gondang atau gendang merupakan satu terminologi yang sangat penting. Gendang
sedikitnya mempunyai 4 pengertian, yaitu gendang sebagai nama ensambel, sebagai nama lagu, sebagai instrumen, dan sebagai nama upacara. Oleh sebab itu kata gendang selalu harus kita lihat digabungkan dengan kata apa. Mungkin gendang dapat dikatakan sebagai mewakili kata musik, karena kata musik ini sendiri tidak dapat kita temukan pada masyarakat ini. Melayu yang di Sumatera Utara yang biasa dikenal dengan Melayu Deli. Melayu ini tinggal di Kabupaten Deli Serdang yang dulu beribukota di Medan, sekarang di kota Lubuk Pakam, yaitu gabungan dari dua kerajaan yaitu Deli dan Serdang. Istana kerajaan ini sendiri sekarang menjadi salah satu obyek wisata yang ada di Medan, yaitu Istana Maimoon, di Jalan Brigjen Katamso dekat sungai Deli. Kebudayaan musikal Melayu pada dasarnya banyak persamaan-persamaan dengan sesama Melayu di Nusantara. Yang khas dari Melayu Deli ini adalah tempo atau style patam-patam atau sigubang, yang merupakan musik pengaruh dari etnis Karo (Tengku Lukman Sinar, 1990). 3.3. Musik dan Ensambel Musik Untuk mendeskripsikan musik dan ensambel musik, baik yang solo instrumen, pendekatan yang dilakukan adalah bersifat organologi dengan sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan Horn von Bostel dan Curt Sach yang membagi alat musik berdasarkan lima kategori besar, yaitu : (1) idiofon, yaitu alat musik dengan karakter dimana badannya sendiri yang menghasilkan bunyi utama; (2) kordofon, yaitu alat musik yang suaranya dihasilkan akibat getaran senar atau dawai; (3) membranofon, yaitu alat musik yang menghasilkan bunyi dari getaran membran atau kulit; (4) aerofon, yaitu alat musik yang menghasilkan bunyi akibat getaran udara, dan (5) elektrofon, yaitu alat musik yang bunyinya berdasarkan kekuatan listrik. Meskipun pendekatan organologi tersebut, untuk memudahkan masyarakat pendukung instrumen musik tersebut, maka alat-alat musik tersebut juga dikelompokkan ke dalam masing-masing etnis dengan membagi lebih rinci lagi ke dalam sistem klasifikasi Curt Sach tersebut. Khusus tentang solo instrumen, pendekatan yang dilakukan juga adalah lebih bersifat khusus. Ada beberapa instrumen yang sebenarnya bukan merupakan alat musik yang digunakan secara umum, bahkan masyarakatnya sendiri sebenanrnya tidak mengkategorikan alat tersebut sebagai instrumen musik,
karena istilah musik sendiri tidak terdapat dalam budaya masyarakatnya. Namun apabila kita melihat alatnya sendiri, maka sebenanrnya alat itu sendiri dapat dikelompokkan ke dalam instrumen musik. Hal ini memang tidak dapat kita pungkiri lagi di dalam tradisi musik etnis di Indonesia. Sebagai contoh misalnya olek-olek (aerofon multi reed) yang terbuat dari satu ruas batang padi dengan pangkal ujungnya dipecah-pecah sedemikian rupamenjadi lidah (reed) untuk menghasilkan suara, dan badan batang padi itu sendiri dibuatkan beberapa lubang nada, dan pangkal ujung satu lagi dililitkan daun tebu atau enau sebagai resonator, tidak disebut sebagai alat musik. Padahal secara musikal alat tersebut sangat memeuhi syarat untuk dikatakan alat musik berdasarkan nada di dalam ruang dan waktu. 3.3.1. Toba Pada masyarakat Toba atau tapanuli utara terdapat beberapa jenis ensambel musik, yaitu gondang sabangunan, gondang hasapi, dan uning-uningan. Gondang Sabangunan merupakan ensambel musik ter besar yang terdapat di Toba. Ensambel musik ini juga digunakan untuk upacara-upacara adat yang besar. Disamping gondang sabangunan, gondang hasapi adalah ensambel lebih kecil, kemudian uning-uningan. Sebutan untuk pemain musik ini secara keseluruhan ² walaupun penyebutan untuk masing-masing instrumen juga ada ² disebut pargonsi (baca : pargocci). Terkadang disebut panggual pargonsi saja. Disamping ensambel tersebut juga masih terdapat alat-alat musik berupa so lo instrumen dan yang digunakan sebagai alat-alat mendukung permainan atau lebih bersipat pribadi. Jika dikelompokkan secara organologi berdasarkan klasifikasi Horn von Bostel dan Curt Sach maka alat-alat musik Toba dapat dilihat sebagai berikut : 3.3.1.1. Kelompok Idiofon : a. Oloan Oloan adalah salah satu gung berpencu yang terdapat pada Batak Toba. Oloan dimainkan secara bersamaan dengan tiga buah gung yang lain dalam satu ensambel, sehingga jumlahnya empat buah, yang juga dimainkan oleh empat orang pemain. Keempat gung ini biasa disebut dengan ogung, namun masing-masing penamaan ogung ini dibedakan berdasarkan peranannya di dalam ensambel musik. Oloan ini terbuat dari bahan metal/perunggu dengan sistem cetak. Sekarang ini bahan
gung ini sudah banyak terbuat dari bahan besi plat yang dibentuk sedemikian rupa. Untuk membedakannya dengan suara ogung lainnya maka tuning yang dilakukan adalah dengan menempelkan getah puli (sejenis pohon enau) dibagian dalam gung tersebut. Semakin banyak getah puli tersebut, maka semakin rendahlah suara gung tersebut. Gung oloan berukuran garis menengah lebih kurang 32,5 cm, tinggi 7 cm, dan bendulan (pencu) di tengah dengan diameter lebih kurang 10 cm. Oloan dipukul pencunya dengan stick yang terbuat dari kayu dan pangkal ujungnya dilapisi dengan kain atau karet. Gung oloan selalu diikuti oleh gung ihutan dengan ritem yang sama, namun tidak akan pernah jatuh pada ritem yang sama (canon ritmik). Gambar 2. Oloan b. Ihutan Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa ihutan juga adalah merupakan gung berpencu yang digunakan dalam satu ensambel dengan tiga gung lainnya. Yang membedakannya dengan gong lainnya adalah ukurannya, bunyi, dan teknik permainannya. Ihutan berukuran dengan garis menengah (diameter) lebih kecil sedikit dari oloan, yaitu 31 cm, tinggi (tebal) 8 cm, dan diameter pencu lebih kurang 11 cm. Ritemnya konstan dan bersahut-sahutan dengan gong oloan (litany), sehingga bunyi sahut-sahutan antara dua gong ini secara onomatope disebut polol-polol. Gong ini juga dimainkan dengan mnggunakan satu stick yang terbuat dari kayu yang diobungkus dengan kain atau karet. Dimainkan oleh satu orang pe main. c. Panggora Panggora juga adalah satu buah gong yang berpencu yang dimainkan oleh satu orang. Bunyi dari gung ini adalah pok. Bunyi ini timbul adalah karena gong ini dimainkan dengan memukul pencunya dengan stick sambil berdiri dan sisi gong tersebut dimute dengan tangan. Gong ini adalah gong yang paling besar dinatara keempat gong yang ada. Ukurannya adalah garis menengah 37 cm, tinggi (tebal) 6 cm dan diameter pencunya lebih kurang 13 cm. Gambar 3. Tiga buah gong, gondang dan garantung d. Doal Doal juga adalah gong berpencu yang dimainkan secara
bersahut-sahutan dengan panggora dengan bunyi secara onomatopenya adalah kel sehingga apabila dimainkan secara bersamaan dengan gong panggora akan kedengaran pok ± kel ± pok ± kel dan seterusnya dengan ritem yang tidak berubah-ubah sampai kompisisi sebuah gondang (lagu) habis. e. Hesek Hesek adalah instrumen musik pembawa tempo utama dalam ensambel musik gondang sabangunan. Hesek ini merupakan alat musik perkusi konkusi. Hesek ini terbuat dari bahan metal yang terdiri dari dua buah dengan bentuk sama, yaitu seperti cymbal, namun ukurannya relatif jauh lebih kecil dengan diameter lebih kurang 10-15 cm, dan dua buah alat tersebut dihubungkan dengan tali. Namun sekarang ini alat musik ini terkadang digunakan sebuah besi saja, bahkan kadang-kadang dari botol saja. Gambar 4. Hesek. f. Garantung Garantung (baca : garattung) adalah jenis pukul yang terbuat dari wilahan kayu (xylophone) yang terbuat dari kayu ingol (Latin : «) dan dosi (Latin : «.). Garantung terdiri dari 7 wilahan yang digantungkan di atas sebuah kotak yang seka ligus sebagai resonatornya. Masing-masing wilahan mempunyai nada masing-masing, yaitu 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 4 (fa), 5 (so), 6 (la), dan 7 (si). Antara wilahan yang satu dengan wilahan yang lainnya dihubungkan dan digantungkan dengan tali. Kotak resonator sendiri juga mempunyai tangkai, yang juga sekaligus merupakan bagian yang turut dipukul sebagai ritem dasar, dan wilahan sebagai melodi. Gambar 5. Garantung Alat musik ini dimainkan dengan menggunakan dua buah stik untuk tangan kiri dan tangan kanan. Sementara tangan kiri berfungsi juga sebagai pembawa melodi dan pembawa ritem, yaitu tangan kiri memukul bagian tangkai garantung dan wilahan sekaligus dalam memainkan sebuah lagu. Alat musik ini dapat dimainkan secara solo (tunggal), namun dapat juga dimainkan dalam satu ensambel. 3.3.1.2. Kelompok Membranofon a. Gordang Gendang Batak Toba sering sekali disebut orang gondang atau taganing. Memang ke dua unsur tersebut terdapat
dalam gendang tersebut, hanya saja secara detail bahwa gondang dan taganing meskipun keduanya adalah termasuk klasifikasi membranofon dan bentuknya juga hampir sama (hanya perbedaan ukuran), namun keduanya adalah berbeda. Pengertian gondang sendiri bagi masyarakat Batak pada umumnya mempunyai beberapa pengertian tergantung dengan imbuhan kata apa yang melekat dengan kata gondang tersebut. Setidaknya ada empat pengertian gondang (Toba), gendang (Karo), gordang (Mandailing), genderang (Pak-Pak Dairi), gonrang (Simalungun), pada masyarakat ini, yaitu (1) sebagai nama lagu, (2) sebagai upacara, (3) sebagai instrumen, dan (4) sebagai ensambel. Gambar 6. Gordang Gordang adalah gendang yang paling besar yang terdapat pada masyarakat Batak Toba, yaitu gendang yang diletakkan pada sebelah kanan pemain di rak gendang tersebut. Gordang ini biasanya dimainkan oleh satu orang pemain dengan menggunakan dua buah stik. Gordang adalah merupakan bagian dari gendang yang lain (taganing). Gendang Toba adalah salah satunya gendang yang melodis yang terdapat di Indonesia . Oleh karena lebih bersifat melodis dari perkusif, maka gondang ini menurut klasifikasi Horn von Bostel dan Curt Sach diklasifikasikan lebih khusus lagi yang disebut dengan drum-chime. Gordang merupakan gendang satu sisi berbentuk konis dengan tinggi lebih kurang 80 - 120 cm dengan diameter bagian atas (membran) lebih kurang 30 ±35 cm, dan dia meter bagian bawah lebih kurang 29 cm. Gordang ini terbuat dari kayu nangka yang dilobangi bagian dalamnya, kemudian ditutuip dengan kulit lembu pada sisi atas, dan sisi bawah sebagai pasak untuk mengencangkan tali (lacing) yang terbuat dari rotan (rattan). Bagian yang dipukul dari gendang ini bukan hanya bagian membrannya, tetapi juga bagian sisinya untuk menghasilkan ritem tertentu secara berulang-ulang. Ritemnya lebih bersifat konstan. Gambar 7. Taganing dan Gordang Gordang biasanya dimainkan secara bersamaan dengan taganing. Gordang diletakkan disebelah kanan pemain (pargocci). Secara pintas gordang taganing adalah dianggap satu set karena bentuknya juga hampir sama, hanya saja dibedakan ukuran, letaknya juga dalam
ensambel adalah dalam satu rak (hanger) yang sama. b. Taganing Taganing adalah drum set melodis (drum-chime), yaitu terdiri dari lima buah gendang yang gantungkan dalam sebuah rak. Bentuknya sama dengan gordang, hanya ukurannya bermacam-macam. Yang paling besar adalah gendang paling kanan, dan semakin ke kiri ukurannya semakin kecil. Nadanya juga demikian, semakin ke kiri semakin tinggi nadanya. Taganing ini dimainkan oleh satu atau 2 orang dengan menggunakan dua buah stik. Dibanding dengan gordang yang rtelatif konstan, maka taganing adalah melodis. Gambar 8. Taganing c. Odap Odap adalah gendang dua sisi berbentuk konis. Odap juga terbuat dari bahan kayu nangka dan kulit lembu serta tali pengencang/pengikat terbuat dari rotan. Ukuran tingginya lebih kurang 34 ±37 cm, diameter membran sisi satu 26 cm, dan diametermembran sisi 2 lebih kurang 12 ±14 cm. Cara memainkannya adalah, bagian gendang dijepit dengan kaki, lalu dipukul dengan alat pemukul, sehingga bunyinya menghasilkan suara dap«, dap«, dap«, dan seterusnya. Alat musik ini juga dipakai dalam ensambel gondang sabangunan. Gambar 9. Odap 3.3.1.3. Kelompok Aerofon a. Sarune Bolon Sarune bolon (aerophone do uble reed) adalah alat musik tiup yang paling besar yang terdapat pada masyarakat Toba. Alat musik ini digunakan dalam ensambel musik yang paling besar juga, yaitu gondang bolon (artinya : ensambel besar). Sarune bolon dalam ensambel berfungsi sebagai pembawa melodi utama. Dalam ensambel gondang bolon biasanya hanya dimainkan satu buah saja. Pemainnya disebut parsarune. Gambar 10. Sarune Bolon Teknik bermain sarune ini adalah dengan menggunakan istilah marsiulak hosa (circular breathing), yang artinya, seorang pemain sarune dapat melakukan tiupan tanpa putus-putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup sarune. Teknik ini dikenal hampir pada semua etnis
Batak. Tetapi penamaan untuk itu berbeda-beda, seperti di Karo disebut pulunama. Sarune ini terbuat dari kayu dan terdiri dari tiga bagian utama, yaitu (1) pangkal ujung sebagai resonator, (2) batangnya, yang sekaligus juga sebagai tempat lobang nada, dan (3) pangkal ujung penghasil bunyi dari lidah (reed) yang terbuat dari daun kelapa hijau yang dilipat sedemikian rupa yang diletakkan dalam sebuah pipa kecil dari logam, dan ditempelkan ke bagian badan sarune tersebut. b. Sarune Bulu Sarune bulu (sarune bambu) seperti namanya adalah sarune (aerophone-single reed, seperti Clarinet) terbuat dari bahan bambu. Sarune ini terbuat dari satu ruas bambu yang kedua ujungnya bolong (tanpa ruas) yang panjangnya kira-kira lebih kurang 10 ± 12 cm, dengan diameter 1 ± 2 cm. Bambu ini dibuat lobang 5 biji dengan ukuran yang berbeda-beda. Pada pangkal ujung yang satu diletakkan lidah (reed) dari bambu yang dicungkil sebagian badannya untuk dijadikan alat penggetar bunyi. Lidahnya ini dimasukkan ke batang sarune tersebut, dan bisa dicopot-copot. Panjang lidah ini sendiri lebih kurang 5 cm. Sarune ini di Mandailing juga dikenal dengan nama yang sama. c. Sulim Sulim (Aerophone : side blown flute) adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu seperti seruling atau suling. Sulim ini panjangnya berbeda-beda tergantung nada dasar yang mau dihasilkan. Sulim ini mempunyai 6 lobang nada dengan jarak antara satu lobang nada dengan lobang nada lainnya dilakukan berdasarkan pengukuran-pengukuran tradisional. Namun secara melodi yang dihasilkan suling ini meskipun dapat juga memainkan lagu-lagu minor, tetapi lebih cenderung memainkan tangga nada mayor (major scale) dengan nada diatonis. Gambar 11. Sulim Toba Perbedaan sulim ini dengan suling-suling lainnya adalah, suara yang dihasilkan adalah selalu bervibrasi. Hal ini dikarenakan adanya satu lobang yang dibuat khusus untuk menghasilkan vibrasi ini, yaitu satu lobang yang dibuat antara lobang nada dengan lobang tiupan dengan diameter lebih kurang 1 cm, dan lobang tersebut ditutupi dengan membran dari
bahan plastik, sehingga suara yang dihasilkan adalah bervibrasi. d. Ole-Ole Ole-ole (Aerophone : multi-reed) adalah alat musik tiup yang sebenarnya termasuk ke dalam jenis alat musik bersifat solo instrumen. Alat musik ini terbuat dari satu ruas batang padi dan pada pangkal ujung dekat ruasnya dipecah-pecah sedemikian rupa, sehingga pecahan batang ini menjadi alat penggetar udara sebagai penghasil bunyi (multi lidah/reed). Alat musik ini juga terkadang dibuat lobang nada pada batangnya. Banyak lobang nada tidak beraturan tergantung kepada pembuat dan nada-nada yang ingin dicapai. Hal ini karena alat ini lebih bersifat hiburan pribadi. Pada pangkal ujungnya digulung daun tebu atau daun kelapa sebagai resonatornya, sehingga suara yang dihasilkan lebih keras dan bisa terdengar jauh. Alat musik ini bersifat musiman, yaitu ketika panen tiba. e. Sordam f. Talatoat g. Balobat h. Tulila 3.3.1.4. Kelompok Kordofon a. Hasapi b. Sidideng (Arbab) c. Panggepeng d. Saga-saga Ensambel gondang sabangunan ini terdiri dari satu buah sarune bolon (Aeropon,double-reed!), terkadang juga menggunakan sarune etek (sarune kecil yang bentuknya lebih kecil dari sarune bolon sebagai pembawa melodi, satu set drum yang disebut taganing (drum-chime), yaitu enam buah drum yang digantung pada satu buah rak, dipukul oleh dua orang dengan stik. Gondang ini adalah drum yang melodis, d isamping sebagai pembawa ritem gondang ini juga pembawa melodis. Empat buah gong, yaitu odap, panggora, doal dan ihutan. Satu buah hesek, yaitu satu buah besi yang dipukul sebagai pembawa tempo. Pada masyarakat Batak, status sosial mereka adalah dapat dikatakan tinggi dan di hormati. Oleh sebab itu, pmain musik biasanya selalu mengambil tempat lebih tinggi dari masyarakat pada umumya dalam satu upacara. Misalnya pada upacara mangalahat horbo (upacara memotong kerbau), pemain musik di daerah Toba biasanya bermain musik di rumah adat, sedangkan
upacaranya sendiri dilaksanakan di halaman rumah adat tersebut. Ini juga menggambarkan simbol, bahwa musisi itu juga statusnya di hormati dan tinggi. Ensambel gondang hasapi adalah ensambel musik dengan menggunakan hasapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi disertai alat musik sulim (aeropon, side-blown flute). Hasapi biasanya digunakan dua buah, satu haspi ende, yaitu hasapi sebagai pembawa melodi dan satu lagi hasapi doal, yaitu hasapi sebagai pembawa tempo. Uning-uningan adalah satu ensambel yang menggunakan instrumen yang dianggap lebih kecil dari dua ensambel musik diatas. Ensambel ini menggunakan a lat musik sebagai pembawa melodi garantung (sejenis xylophone), dipukul dengan menggunakan dua buah stik. Stik ini tidak saja dipukul ke wilayah-wilayah, t etapi juga sebagai pembawa tempo dengan memukul stik yang satu kebagian tangkai garantung tersebut. 3.3.2. Mandailing Suku bangsa mandailing atau Tapanuli Selatan mempunyai ensambel musik yang terbesar adalah gordang sambilan (drum-chime) Gordang sambilan adalah berarti sembilan buah gendang yang diletakkan didalam satu buah rak yang dimainkan oleh tiga orang,setiappemain menggunakan dua buah stik dari kayu. Gordang atau gendang ini adalah merupakan gendang yang terbesar yangada di Sumatera Utara. Gordang ini berfungsi sebagai pembawa ritem tetap dan ritem variatif. Gendang ini dimainkan sambil berdiri. Sebagai pembawa melodi biasanya adalah sarune (aerofon,double-reed) atau sarune bulu, yaitu sarune yang terbuat dari bambu. Disamping instrumen itu juga ada dua buah gong, yaitu gong jantan (jantan) dan gong dadaboru (wanita) yang dipukul secara bergantian. Di ensambel ini juga terdapat dua buah talempong, yang diletakkan dalam satu rak yang dipukul secara bergantian, terkadang juga dipegang, seperti talempong pacik di minang kabau. 3.3.3. Karo Masyarakat Karo sedikitnya ada dua ensambel musik yang sering digunakan dalam konteks upacara adat yang ada yaitu, gendang telu sedalanen dan gendang lima sedalanen. Gendang lima sedalanen adalah seperangkat alat musik yang terdiri dari lima macam yang d i mainkan secara bersamaan. Pemain ensambel ini disebut sierjabaten atau penggual, walaupun masing-masing pemain instrumen mempunyai nama yang lebih khusus
lagi. Alat musik yang digunakan dalam ensambel ini adalah, satu buah sarune (aerofon double-reed) sebagai pembawa melodi.Pemainnya disebut penarune. Satu buah gendang indung (membranofon,conical-drum) sebagai riterm variatif, pemainnya disebut penggual. Satu buah gendang anak, yaitu bentuknya sama dengan gendang indung, tetapi disisi badannya ditempel gendang yang lebih kecil dengan diameter 5 cm dan panjang lebih kurang 5 cm. Gendang ini berfungsi sebagi ritem konstan. Satu buah gung, yaitu satu buah gong sebagai pembawa tempo, pemainnya disebut simalu gung. Satu buah penganak, yaitu gong kecil, sebagai pembawa tempo, pukulannya merupakan kelipatan bunyi gong, jadi didalam satu gung terdapat dua kali pukulan penganak, penabuhnya disebut simalu penganak. Ensambel gendang lima sedalanen adalah ensambel musik yang besar terdapat pada masyarakat Karo, dan ensambel ini dipakai untuk mengiringi upacara-upacara adat yang besar seperti perkawinan, kematian, guro-guro aron dan upacara-upacara besar lainnya. Sedangkan ensambel gendang telu sedalanen dipakai untuk upacara yang lebih kecil lagi. Ensambel yang lain adalah gendang telu sedalanen. Gendang telu sedalanen adalah terdiri dari kulcapi (long-neck lute) atau balobat (aerofon, recorder) sebagai pembawa melodi. Pemainnya disebut perkulcapi atau perbalobat. Disamping instrumen pembawa melodi tersebut juga ada alat musik keteng-keteng (idiokordofon), yaitu satu ruas bambu yang dicungkil kulitnya sebagai senar. Instrumen ini sebagai pembawa ritem tetap dan variatif, dipukul oleh satu orang, tetapi terkadang keteng-keteng ini juga dipakai dua buah. Instrumen yang lain adalah mangkok mbentar (mangkuk putih) sebagai pembawa tempo, dimainkan oleh satu orang. Ensambel ini dipakai untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat ritual seperti erpangir kulau, raleng tendi dan sebagainya. Disamping ensambel musik tersebut pada masyarakat Karo juga masih ada ditemukan alat-alat musik yang bersifat solo instrumen, yaitu surdam (end-blown flute), murbab (sejenis rebab), genggong (jews harp) dan se baginya. Secara lebih detail, maka masing-masing alat musik yang terdapat pada masyarakat Karo adalah sebagai berikut, berdasarkan pengklasifikasian alat musik berdasarkan Horn von Bostel dan Curt Sach. 3.3.3.1. Kelompok Idiofon
a. gung Gung (gong) Karo adalah alat musik yang sangat penting bagi masyarakat Karo. Hal ini berkaitan dengan budaya Karo, dimana setiap upacara atau acara akan selalu dihadirkan kesenian dan landek (menari). Sebagai patokan untuk endek (tempo menari) adalah bunyi penganak dan gung. Oleh sebab itu kehadirannya sangat penting dalam acara menari. Bahkan untuk endek alat musik ini dapat dikatakan lebih pent ing dari instrumen pembawa melodi sekalipun. Hal ini ter maktub dalam pepatah Karo yang mengatakan ³uga gungna, bage endekna´, yang artinya bagaimana bunyi gong, demikianlah tarinya.
Gambar . Gung Gung ini adalah gung berpencu yang terbuat dari bahan metal, yaitu kuningan atau perunggu. Menurut Jaap Kunst, keahlian membuat gung pada masyarakat Karo sebenarnya pernah ada, namun keahlian itu sudah punah. Gung yang dipakai orang Karo biasanya didatangkan dari Jawa, tetapi sekarang ini gung ini juga sudah dibuat oleh orang Karo sendiri. Bunyi gung yang bagus bagi masyarakat Karo disebut gung yang suaranya erbolo-bolo (ber-delay dan ber-echo). Oleh sebab itu meskipun didatangkan dari Jawa, konsep bunyinya itu harus erbolo-bolo. Ukuran gung Karo diameternya lebih kurang 70 ± 90 cm dengan diameter pencu (pencon) lebih kurang 10 ± 12 cm. Antara pencu dan sisinya juga ditempa sedemikian rupa mengikuti bentuk sisinya, sehingga ada bagian tengahnya yang lebih rendah dari sisinya dan bagian antara pencunya. Gung ini biasanya digantung pada sebuah rak, dan dimainkan oleh satu orang yang disebut dengan simalu gung. Di dalam proses belajar, seorang sierjabaten (musisi Karo) harus belajar memukul gong dahulu baru bisa mempelajari instrumen lainnya. Hal ini karena penanaman dan rasa tempo harus ditanamkan terlebih dahulu. Gung merupakan alat musik yang berfungsi sebagai pembawa tempo. b. penganak Penganak (small gong) adalah juga gong, namun karena sangat kecil sekali, maka disebut penganak. Penganak terbuat dari bahan yang sama dengan gung, bentuknya juga sama, hanya perbedaan ukuran. Diameter penganak
lebih kurang 15 ± 20 cm. Gambar . Penganak Dalam teknik bermain, maka dua kali pukulan penganak akan diikuti sekali pukulan gung. Rumus ini berlaku untuk seluruh permainan gung dan penganak. Gambar . Cara memainkan penganak. Penganak biasa digantung di sebuah rak yang sangat kecil sekali, tetapi biasa dimainkan dengan digantung di tangan sambil dimainkan oleh satu orang pemain yang disebut dengan simalu penganak. Namun sekarang ini pemain gung dan penganak sudah biasa juga dimainkan oleh satu orang saja. Hal ini semata-mata lebih bersipat fraktis dan berkaitan dengan pengupahan (honour), karena sistem pengupahan bagi pemusik tradisional Karo, upah yang paling kecil adalah pemain gung dan penganak. Pada masyarakat Karo, pada jaman dahulu setiap kampung biasanya terdapat gung dan penganak serta pemainnya. Jadi bila ada pertunjukan atau upacara adat di satu kampung pemain gung dan penganak biasanya dipakai pemain kampung tersebut. Oleh sebab itu masalah honor, meskipun secara tradisional di atur, namun tidak begitu penting. Honor tradisional biasanya bagi mereka adalah hanya beras, sira (garam) serta bagian tertentu dari daging yang dipotong dalam upacara tersebut. Namun sekarang pengupahan sudah diberikan dalam bentuk uang, bahkan lebih modern lagi semua pemain musik dianggap sama, maka pengupahan antara pemain instrumen yang satu dengan yang lainnya adalah disamakan. c. keteng-keteng Keteng-keteng sebenarnya adalah dapat dikelompokkan dalam klasifikasi idiofon dan juga kordofon. O leh sebab itu lebih khusus tentang instrumen ini dapat dikatakan ke dalam kelompok idiokordofon, yaitu alat musik idiofon yang mempunyai senar, dan senarnya itu sendiri terbuat dari badannya sendiri. Gambar . Keteng-Keteng Keteng-keteng terbuat dari satu ruas buluh belin (bambu betung) dengan panjang lebih kurang 35 ± 50 cm, tergantung panjang ruas bambunya. Pada bagian badan (ruas) bambu tersebut dicungkil untuk membuat senarnya, yang terdiri dari dua senar. Cungkilan tersebut di kencangkan dengan mengganjal dengan kayu.
Kekencangan ukuran antara senar yang satu dengan senar yang lain adalah disetem berdasrkan kayu pengganjal tersebut. Meskipun instrumen ini mempunyai nada, tetapi dalam permainannya instrumen ini lebih bers ipat perkusif. Oleh sebab itu kekencangan talinya diukur untuk mewakili bunyi instrumen Karo yang lain, suara senar satu dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu untuk mewakili bunyi gendang anak (membranophone : conical-drum) dan bunyi penganak (small gong). Sedangkan senar yang kedua adalah untuk mewakili bunyi gung. Oleh sebab itu satu instrumen musik ini sebenarnya mewakili tiga bunyi instrumen musik Karo, yaitu gendang anak, gung dan penganak. Didepan senar kedua di badan bambu biasanya dibuat lobang resonator, dan di senar dua itu sendiri dilengketkan bambu persis di atas lobang resonator itu sendiri untuk menghasilkan suara gung yang erbolo-bolo seperti yang telah dijelaskan di atas. d. mangkuk mbentar e. ketuk f. kap-kap g. genggong 3.3.3.2. Kelompok Membranofon a. gendang anak b. gendang indung c. gendang binge 3.3.3.3. Kelompok Aerofon a. sarune b. balobat c. surdam d. surdam cingkes e. surdam pingko-pingko f. surdam tangko kuda g. balobat pingko-pingko h. olek-oleh 3.3.3.4. Kelompok Kordofon a. kulcapi b. murbab c. keteng-keteng 3.3.3.5. Kelompok Elektrofon a. kibot karo 3.3.4. Pak-Pak Dairi Pada masyarakat Pak-Pak Dairi juga terdapat ensambel musik yang dikenal dengan genderang sisibah (drum-chime), yaitu sembilan buah gendang satu sisi yang diletakkan dalam satu rak yang dipukul dengan
menggunakan stik (pemukul). Genderang ini dipakai untuk mengiringi upacara-upacara adat yang ada di Pak-Pak Dairi, melus bulung bulu, melus bulung sempula, dan melus bulung simburnaik. Didalam ensambel ini juga terdapat alat musik kalondang (xylophone), lobat (aerofon, recorder), kecapi dan gong. Lobat dan serdam (end-blown flute) adalah merupakan solo instrumen juga walaupun terkadang dipakai juga dalam ensambel musik. Lobat biasa juga ditiup seseorang yang melakukan kegiatan merkemenjen ( menyadap getah kemenyan ) serta bernyanyi tentang keluh kesah kehidupannya. Nyanyian ini disebut dengan odhong-odhong. Odhong-odhong dinyanyikan diatas pohon, atau nyanyian rimba. Serdam biasanya dipakai seseorang untuk melepaskan lelah ketika mermakan (menggembalakan ternak dipadang rumput). Disamping alat musik tersebut juga ada ensambel musik genderang si pitu, yang terd iri dari 7 buah gendang (drum set) yang diletakkan pada satu rak. Permainan kalondang biasanya dimainkan dengan melodi yang sama dengan vokal dengan pukulan gendang yang variatif. Sejauh ini tradisi musik Pak-Pak Dairi belum banyak mengalami perubahan-perubahan. 3.3.5. Simalungun Pada masyarakat Simalungun terdapat sedikitnya dua buah ensambel musik disamping instrumen-instrumen yang bersifat solo. Ensambel yang paling besar ada lah gonrang sipitu-pitu, dan ensambel yang paling kecil adalah gonrang sidua-dua. Gonrang sipitu-pitu dalah terdiri dari beberapa alat musik yaitu, satu set gonrang yaitu gendang satu sisi yang terdiri dari tujuh buah anak yang diletakkan dalam satu rak, dipukul dengan stik. Gendang ini sebagai pembawa ritem dan ritem variatif. Disamping itu sebagai pembawa melodi adalah satu buah sarune, (aerofon, double reed) dan dua buah gong, yaitu gong jantan dan gong betina, serta dua dua buah gong kecil yang disebut dengan mong-mongan. Sarune yang digunakan adalah terbuat dari kayu, dan ada juga yang terbuat dari bambu. Ensambel lainnya adalah gonrang sidua-dua. Ensambel ini lebih kecil dari gonrang sipitu-pitu. Sebagai pembawa ritem dalam ensambel ini adalah dua buah gendang dua sisi yang dipukul dengan stik untuk sisi sebelah kanan, dan pukulan dengan tangan untuk sebelah
kiri. Sedangkan untuk pembawa melodi dan gong adalah prinsipnya sama saja. Instrumen yang lain juga ditemukan di Simalungun adalah saligung (nose flute), yaitu sejenis flute yang ditiup dengan hidung. Jatjaulul atau tung-teng (idiokordo) adalah instrumen yang terbuat dari satu ruas bambu yang bagian badannya dicungkil sebagai senar, dan senar ini dipukul dengan dua buah stik. Alat musik lain adalah husapi (long-neck lute), yaitu kecapi bertali dua dengan cara dipetik. Disamping itu juga terdapat beberapa instrumen musik yang bersifat solo instrumen seperti ingon-ingon (free-aerofon) yang terbuat dari bambu. Su lim (side blown flute), yang biasa dimainkan di ladang atau ketika di ladang. Tulila (aerofon), dan sebagainya. 3.3.6. Angkola/Pesisir Pada masyarakat Angkola juga ditemukan instrumen musik yang banyak dipengaruhi dari berbagai etnis, yaitu minangkabau, melayu, dan Aceh. Dalam tradisional Angkola juga ditemukan musik seperti zapin, yaitu musik yang bernuansa ke-Islaman. Juga terdapat jenis kesenian sikambang dengan menggunakan vokal dan alat musik pukul gendang seperi frame-drum, seperti gendang ronggeng, biola, rebab dan ada juga gendang marwas yang dipukul dengan tangan. 3.3.7. Melayu Melayu di Sumatera Utara yang paling dikenal adalah Melayu Deli, walaupun ada juga Melayu Langkat dan Serdang. Pada prinsipnya tidak ada hal-hal yang amat berbeda dari Melayu-melayu ini, perbedaan nama tersebut hanya berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka saja di Sumatera Utara. Ha l ini juga berlaku bagi kesenian mereka yang dikenal disini seperti ronggeng. Seperti halnya Melayu di Riau, di Sumatera juga dikenal teater-teater tradisional Melayu seperti bangsawan, makyong, menora dan mendu. Teater-teater ini walaupun sudah jarang kita lihat, tetapi kehadiran alat-alat musik yang digunakan sebagai pengiring dalam teater tradisional ini sangat penting dan masih bisa kita temukan didalam tradisi adat Melayu d i Sumatera Utara. Alat-alat musik yang khas dan yang paling penting bagi Melayu adalah rebab (alat musik gesek yang terakhir digantikan oleh biola atau akordeon), gendang dan gong. Tetapi banyak juga alat-alat musik lainnya yang dipakai terutama dalam musik-musik yang
dipengaruhi dari luar seperti dari Timur Tengah, pada tari zapin. Untuk tari ini biasanya dipakai alat-alat musik seperti gambus (alat musik pengaruh dar i Arab, yaitu sama dengan Ud di Timur Tengah), gendang ronggeng (membranofon,frame-drum) yang terbuat dari batang kelapa yang diregangkan dengan kulit lembu; gendang marwas (frame-drum) yang terdiri dari lebih tiga buah yang dipukul dengan teknik kolotomik. Tempo atau irama yang kita temui pada masyarakat Melayu di Sumatera Utara ini adalah tempo senandung, yaitu tempo yang paling lambat dengan meter 8 ketuk dalam satu birama; tempo cekrup atau lagu dua, patam-patam atau sigubang (yaitu pengaruh dari Karo), dan tempo mak inang. Kesenian Melayu yang paling hidup saat ini di masyarakat adalah ronggeng, yaitu kesenian seni pertunjukan dengan menampilkan musik dan penari perempuan. Kesenian ini adalah kesenian sebagai hiburan. 3.3.8. Nias Nias dalah merupakan satu-satunya kabupaten di Sumatera Utara yang berada d i pulau tersendiri, yaitu di sebelah barat Sumatera Utara. Kabupaten ini beribukota Gunung Sitoli. Dipulau Nias terdapat peninggalan-peninggalan kebudayaan megalitik, yaitu kebudayaan batu dengan di temukannya beberapa meja batu disana, seperti menhir dan do lmen. Kesenian Nias yang paling diketahui disamping adanya juga instrumen-instrumen musik adalah hoho. Hoho dapat dianggap sebagai kesenian Nias, didalam hoho terdapat tarian, musik dan syair. Para pemainnya biasanya semuanya laki-laki dengan melompat membawa perisai dan pedang seperti mau perang. Nyanyian dan gerakan-gerakannya dipimpin oleh seorang pemimpin dengan teknik bernyanyi responsoria antiponal, yaitu seorang pemimpin dilawan oleh kelompoknya. Disamping itu juga ada sebuah instrumen musik yang dikenal dengan nama nduridana yang terbuat dari bambu yang mempunyai lubang di badannya. Nduridana dimainkan dengan mengguncang alat tersebut layaknyta seperti rattle. Disamping itu juga terdapat instrumen musik yang terbuat dari gendang. Yaitu gendang dua sisi yang disebut dengan dol. 3.4. Penutup Secara detail inpormasi ini memang dirasakan kurang
lengkap, karena menyangkut banyak etnis didalamnya. Tetapi diharapkan inpormasi ini dapat memberikan gambaran umum sebagai pengantar untuk mengenal jenis-jenis kesenian yang terdapat di Sumatera Utara. Kesenian-kesenian di Sumatera Utara masih banyak yang belum tercover disini seperti kesenian etnik Tionghoa, Tamil (Hindustan) di sekitar kampung Keling dan pinggiran kota Medan, kesenian orang Jawa yang dulu dikenal dengan jakon (Jawa Kontrak), kemudian menjadi Jadel (Jawa Deli) Sekarang ini nama Jaw ini menjadi Pujakesuma (Putra jawa Kelahiran Sumatera) yang tinggal di hampir tiap kabupaten di Sumatera Utara, diperkebunan-perkebunan karet, kelapa sawit dan sebagainya. Sekarang ini ada satu seni yang tumbuh subur di Sumatera Utara, yaitu kesenian dengan menggunakan alat musik program, yaitu seperti organ tunggal yang diprogram sehingga dapat menirukan suara dari alat musik aslinya. Alat-alat musik ini sendiri (di Karo disebut; gendang kibot), dapat diterima keberadaannya dan dipakai dalam kontek upacara-upacara adat dan hiburan, seperi upacara-upacara perkawinan, meresmikan rumah baru, hiburan mudas-mudi dan sebagainya. Hal ini merupakan pertumbuhan kesenian yang dapat berdampak positif dan negatif. Tetapi kita tidak dapat memungkiri hal ini apabila masyarakat sendiri menerima keberadaan instrumen tersebut. (Jkt. Aug-2001).