Agonis Dopamin (Agen Anti-Parkinson)
Variasi dari pengobatan agonis dopamine langsung dan tidak langsung telah dievaluasi, berdasarkan hipotesi deplesi dopamine untuk ketergantungan kokain, walaupun data yang mendukung hipotesis tersebut pada manusia adalah serupa, agonis dopamine, yang menstimulasi aktivitas sinaps dopamine, akan memperbaiki efek penurunan aktivitas dopamine yang diakibatkan dari peningkatan penggunaan kokain. Yang termasuk dari efek penggunaan kokain adalah antara lain, anhedonia, anergia, depresi, dan cocaine craving. Pada tikus, reseptor agonis dopamine seperti bromocriptine dan lisuride mengurangi metabolism kokain, membalikkan tingkat metabolism dan peningkatan ambang stimulasi intracranial dalam memproduksi mesokortikolimbik dopaminergic stelah pemakaian kronik kokain. Bromokriptin, pergolide, dan amantadine, semua dijual untuk pengobatan Parkinson (atau dalam keadaan defisiensi dopamine lainnya), adalah pengobatan dopamine agonis yang paling banyak diteliti. Amantadine adalah agonis dopamine tidak langsung yang bekerja engan melepaskan dopamine pada presinaps, obat ini juga merupakan antagonis lemah pada reseptor N-Methyl D-Aspartate glutamate. Namun, dari enam penelitian tentang obat ini, hanya satu yang menunjukkan bahwa amantadine (200-400 mg/hari) lebih baik dari placebo dalam pengobatan penyalahgunaan kokain. Asam aminio L-DOPA, precursor untuk katekolamin sintetik yang digunakan untuk terapi Parkinson telah digunakan untuk meningkatkan level dopamine pada otak dalam pengobatan ketergantungan kokain. Biasa digunakan sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi dengan carbidopa, inhibitor dekarboksilasi asam amino perifer, yang mencegah perubahan L-DOPA menjadi dopamine di luar otak. Pada empat penelitian yang dilakukan bahwa pengobatan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan pengobatan dengan placebo. L-thyrosine, precursor asam amino dari L-DOPA, mengurangi Cocaine carving pada sekelompok kecil pasien (dua belas banding lima puluh dua) pada penelitian double blind, dan ditemukan kurang efektif dalam pengurangan pemakaian kokain. Disulfiram dapat dikelompokka menjadi agen agonis dopamine karena cara kerjanya yang memblokir konversi dopamine ke norepinefrin melalui enzim dopamine-B-Hidroksilase, yang mengakibatkan peningkatan level dopamine.ketertarikan penggunaan disulfiram untuk terapi ketergantungan kokain dikarenakan banayaknya ketergantungan kokain yang berbarengan dengan ketergantungan alcohol. Pada penelitian, ditemukan bahwa disulfiram (250 mg/hari) meningkatkan abstinensi penggunaan kokain dibandingkan dengan placebo. Walapun disulfiram ditemukan efektof dalam pengobatan ketergantungan kokain, tetapi muncul pertanyaan tentang keamanan pemakaiannya dalam praktik klinik. Pada penelitian ditemukan bahwa premedikasi disulfiram (250 mg/ hari selama 3 hari) secara signifikan akan memperpanjang kadar waktu paruh plasma kokain, meningkatkan konsentrasi plasma kokain, dan mempotensiasi efek
takikardia dan hipertensi pada pemakaian kokain intranasal. Namun demikian, disulfiram tetap dianggap sebagai terapi baru yang menjanjikan dalam pengobatan ketergantungan kokain, terlepas dari adanya efek samping yang mungkin dapat disebabkan oleh obat ini. Stimulan dari analogi dengan terapi manteinans metadon pada ketergantungan opiate atau nikotin dalam pengobatan pengganti pada ketergantungan tembakau, penggunaan zat stimulant sebagai terapi maintenans pada ketergantungan kokain dapat menjadi salah satu cara untuk dapat mengatasi penggunaan kokain dan cocaine craving.seperti metadon, keuntungan dari terapi substitusi stimulant adalah rendahnya risiko medis karena merupakan terapi oral, penggunaan medikasi yang murni yang telah diketahui potensinya, dan penggunaan medikasi yang mempunyai onset lambat dan efek yang panjang. Beberapa pengobatan psikomotor stimulant sekarang digunakan untuk pengobatan pada penyakit Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD), narkolepsi, dan penekan nafsu makan. Dari penelitian – penelitian yang dilakukan, dilaprkan tidak ada efek samping yang bearti, yang memberikan suatu kemungkinan bahwa terapi substitusi ini mempunyai tingkat keamanan yang baik dalam pengobatan ketergantungan kokain. Modafinil, digunakan sebagai terapi narkolepsi, OSA, serangan kantuk, dan kelainan tidur, dapat dikelompokkan sebagai stimulant lemah, mekanisme kerjanya belum jelas, tetapi termasuk dalam blok transporter dopamine presinaps yang kemudian akan meningkatkan pelepasan glutamate pada otak dan akan menurunkan kadar pelepasan GABA. Pada penelitian, disebutkan bahwa penggunaan sebanyak 200 - 400 mg/hari secara teratur dapat meningkatkan abstinensi pada penggunaan kokain. Modafinil adalah agen stimulant yang sangat aman dan dapat ditoleransi dengan baik, tidak pernah dilaporkan penggunaan agen ini dapat mengakibatkan cocaine craving maupun menyebabkan euphoria. Pada prinsipnya, kokain sendiri, dalam formulasi onset lambat, dapat digunakan sebagai terapi agonis maintenans, sama seperti pada nikotin transdermal onset lambat atau transbukal untuk terapi ketergantungan nikotin onset cepat (cigarettes). Kapsul garam kokai oral (100 mg, 4 kali sehari) dapat menjadi terapi pengganti pada penggunaan kokain intravena (25 mg) dan mengurangi konsumsi rokok rasa kokain di Peru (dimana kokain oral merupakan barang industry legal). Antipsikotik antipsikotik generasi pertama, yang dimana merupakan reseptor antagonis dopamine poten, tidak secara signifikan merubah penggunaan ataupun cocaine craving, yang pada pengalaman klinik, pasien skizofrenia yang menyalahgunakan kokain selama pengobatan kronik antipsikotik. Kegunaan yang lebih besar diharapkan pada generasi kedua antipsikotik, yang dikarenakan spectrum mekanisme kerjayang lebih luas dari obat tersebut pada pengikatan reseptor ( pada dopamine dan serotonin ). Walaupun demikian, pemakaian obat ini belum dapat dibuktikan melalui penelitian pada pengguna kokain tanpa disertai adanya gangguan psikotik. Pada penelitian, olanzapine digunakan pada 18 pasien ketergantungan opiate dan kokain (yang juga diterapi substitusi dengan metadon) mengalami penurunan pemakaian kokain sebanyak 53.2%. Kewaspadaan tetap harus diteliti dalam penggunaan antipsikotik pada pengguna kokain karena potensinya yang dapat mengakibatkan terjadinya neuroleptic malignant syndrome, yang didasarkan pada penurunan level dopamine pada pengguna kokain. Pengguna kokain dan
amphetamine juga dapat berada di risiko yang meningkat dalam terjadinya dyskinesia yang disebabkan oleh antipsikotik.