Theodor Adorno Columba Peoples Karya-karya Theodor Wiesengrund Adorno meninggalkan warisan wa risan berupa analisis yang luas (tentang topik sangat beragam, dari anti-Semitisme, psikoanalisis, hingga musik jazz), dan kosakata sekaligus konsep yang tak kalah luas dan canggihnya (misalnya; instrumental reason atau penalaran instrumental; negative dialectic atau dialektika negatif; dan damaged life atau kehidupan yang rusak), hingga berbagai refleksi mengharukan sekaligus provokatif, misalnya: “Hidup telah menjadi ideologi bagi ketidak-hadirannya sendiri” (Adorno 2005a: 190); dan “Pencerahan adalah totalitarian” (Adorno dan Horkheimer 1997: 6). Bab ini secara ringkas menggambarkan tema-tema utama pemikiran Adorno dan keterkaitan potensialnya dengan Hubungan Internasional. Untuk melakukannya, bagian ini menguraikan bagaimana ide-ide kunci Adorno berevolusi dan hubungannya dengan teori kritis, sejauh mana Hubungan Internasional tergambarkan dalam tulisan-tulisan Adorno, dan –sebaliknya– sejauh mana Adorno telah mempengaruhi dan mungkin masih mempengaruhi studi Hubungan Internasional.
Adorno dan Teori Kritis Dalam banyak hal, dapat dikatakan bahwa perkembangan intelektual Adorno tidak dapat dipisahkan dengan kisah hidupnya. 'Kehidupan yang rusak' (mengutip sub-judul dari karyanya Minima Moralia pada 1951) Adorno memang ditandai dengan peperangan, perobahan sosial penuh bencana, dan pengasingan/pengungsian. Dampaknya dapat dilacak bahkan dalam beberapa karya filsafatnya yang paling abstrak. Meski demikian, itu juga diwarnai oleh perdebatan dan keterkaitan intelektual yang ketat dengan berbagai pemikir kunci lainnya yang sekarang secara konvensional diasosiasikan dengan tradisi Teori Teori Kritis (lihat Jay 1996a). Adorno terlahir dengan nama Theodor Wiesengrund di Frankfurt am Main pada 1903. Adorno adalah nama gadis istrinya, yang ia adopsi pada 1930-an untuk perlindungan diri karena ia punya darah Yahudi Yahudi (Jarvis 1998: 3). Pada 1920-an, Theodor Adorno telah memantapkan diri sebagai pemikir yang berbakat dan berharga. Di bawah pengaruh mentor sosiolog dan kritikus budaya Jerman yakni Siegfried Kracauer, Adorno muda sudah fasih atas filsafat Barat, yakni Hegel, Marx dan, khususnya, Kant, serta fasih atas karya teoris kontemporer kon temporer semacam Georg Lukács, Ernst Bloch dan Max Weber Weber (Wiggershaus 1986: 66-69). Maka, Adorno pun terbenam dalam tradisi pemikiran idealis Jerman d an sekaligus dalam perdebatan kontemporer atas teori Marxis, yang kala itu dicontohkan dalam karya pemikir sekelas Lukács dan Bloch. Kedalaman Ked alaman intelektual ini mewarnai semua karya Adorno, yang kaya dalam acuan untuk filsafat klasik maupun filsafat modern, dan tulisan-tulisannya sering menunjukkan peng etahuan mendalam atas keduanya. Namun, pada 1920-an, Adorno tidak secara langsung berkaitan dengan filsafat itu. Malahan, perhatiannya yang pertama (dan selamanya) adalah pada kritik musik dan musikologi (Wiggershaus 1986: 70; Adorno 2007). Baru, pada 1930-an, ia mulai kontak dengan sekelompok pemikir yang kini secara kolektif dikenal sebagai 'Mazhab Frankfurt'. Sejak itu, Adorno lebih dikenal atas keterlibatannya dengan filsafat dan perdebatan dalam teori sosial. Istilah 'Mazhab Frankfurt', bersama karakteristik dan keanggotaan yang menetapkannya, adalah sumber dari begitu banyak perselisihan (Jay 1996b: 39). Karena sering digunakan selang-seling dengan istilah Teori Kritis, istilah itu selalu diambil untuk mengacu pada cap Marxis Barat atau pemikiran Marxis
Akhir yang memancar dari Institut für Sozialforschung (Institut Riset Sosial, atau IFS) yang pertama kali didirikan di Frankfurt pada 1923. Para pemikir kunci yang biasa terdaftar dalam Mazhab Frankfurt ini meliputi Adorno serta kolaborator intelektualnya; Max Horkheimer serta Herbert Marcuse, Leo Lowenthal dan Freidrich Pollock. Pemikir lain yang agak jauh terafiliasi dengan IFS antara lain Walter Benjamin, Franz Neumann, Otto Kircheimer dan Eric Fromm (Held 2004: 14-15). Walau perdebatan terus berlanjut tentang keutuhan atau kehancuran Mazhab Frankfurt (Held 2004: 14; Jay 1996b: 39), secara umum bagian awal atau generasi pertama dari pemikiran Mazhab Frankfurt, di mana Adorno menjadi bagian penting, ditandai oleh sejumlah k eprihatinan yang berulang-ulang. Hal itu layak kita singgung sebentar untuk mendapatkan pengertian lebih mendalam atas evolusi pemikiran Adorno. Salah satunya adalah alam penyatuan antar-disiplin yang disadari sendiri, seperti diilustrasikan oleh fakta bahwa Adorno dan rekan-rekannya tertanam dalam latar belakang intelektual yang berbeda (Adorno dalam ilmu musik, Horkheimer dalam sosiologi, Marcuse dalam filsafat, Benjamin dalam kritik sastra, Fromm dalam psikoanalisis, dan sebagainya). Lainnya adalah landasan bersama dari konstituen para pemikir yang berbeda (walaupun untuk berbagai kembangan) dalam tradisi idealis Jerman, dan khususnya, pemikiran Marxis. Perhatian intelektual dan filosofis yang berbeda dari para pemikir ini, bagaimanapun juga, membawa mereka ke dalam ranah –seni, budaya massal, psikoanalisis, keluarga– yang pada umumnya tidak dikenal dalam era Marxisme ortodoks (Held 2004: 1 3-14). Memang salah satu perhatian yang mengikat atas Mazhab Frankfurt era awal untuk bisa menjadi fluida keseluruhan adalah perasaan bersama tentang kekecewaan; tidak hanya kecewa pada masyarakat kapitalis tetapi juga pada ortodoksi Marxis kala itu. Pada awalnya, setidaknya, kelompok yang terbentuk di IFS itu terkait dengan penghitungan atas apa yang mereka anggap sebagai bentuk gagal dari sosialisme yang termanifestasi dalam Rusia era Stalinis dan dengan penjelasan a tas kondisi itu (misalnya; bangkitnya fasisme dan otoriterisme) yang tampak –bertentangan dengan ramalan Marxis ortodoks– telah menghambat terjadinya sosialisme di Jerman dan di negara industri Eropa Barat secara lebih luas. Karena perobahan radikal problematis ternyata lebih kompleks daripada yang digambarkan dalam Marxisme ortodoks, tujuan IFS adalah mengembangkan bentuk analisis lebih canggih yang, sambil tetap menegakkan komitmen Marxis terhadap perobahan sosial radikal dan kategori analitik Marx (Antonio 1981: 330-31), juga terbuka bagi aliran filsafat lainnya (termasuk Hegel, Kant, Schopenhauer dan Nietzsche) dan teoris kontemporer (Weber, Lukács dan Freud). Menteorikan perobahan sosial memang membutuhkan pemahaman yang lebih dalam terhadap masyarakat, dan ini pada gilirannya memerlukan palet teoris yang lebih bervariasi. Hal-hal itu lah yang mendasari karakter interdisipliner IFS yang memang sangat disengaja, dan, sebagian, alasan intelektual Adorno untuk terasosiasi dengan lembaga itu. Kekuatan intelektual penggerak di belakang institut itu dalam era awal bergabungnya Adorno, bagaimanapun, bukanlah figur Adorno sendiri tapi figur Max Horkheimer. Horkheimer, yang menjabat sebagai direktur IFS pada 1930, mendirikan p rogram penelitian yang Adorno ikut berkontribusi di dalamnya. Pada gilirannya, Adorno membantu membentuk dan, tentu saja, kemud ian mendorongnya ke arah yang berbeda. Dalam menjaga tema yang diuraikan di atas, Horkheimer menetapkan program untuk lembaga yang bertujuan melakukan reinterpretasi radikal atas hubungan antara filsafat dengan praktik, ilmu sosial dengan ilmu alam, dan manusia dengan alam, yang ia harapkan akan bergabung menjadi program riset sosial yang melandasi kemungkinan transformasi masyarakat secara radikal (Wiggershaus 1994: 36-40). Tugas dari Teori Kritis, dalam pandangan Horkheimer, adalah sebagian besar untuk mengungkap dan mendorong potensi-potensi laten dalam masyarakat yang dapat mengarah lebih jauh ke tujuan itu (Horkheimer 1972). Horkheimer menggambarkan tugas ini melalui kritik terhadap apa yang ia sebut sebagai Teori Tradisional, suatu bentuk teori yang ia asosiasikan khususnya dengan positivisme ilmiah
dan bentuk-bentuk ilmu sosial yang mencoba meniru objektivitas ilmu alam. Bagi Horkheimer, pretensi objektivitas semacam itu adalah selalu didasarkan pada asumsi ilusi atas lepasnya teoris dari jagad sosial (atau apa yang Horkheimer istilahkan sebagai 'swasembada imajiner' dari ilmu pengetahuan) (Horkheimer 1972: 242). Namun, Horkheimer berpendapat, kegiatan ilmiah itu sendiri adalah bagian dari tatanan sosial dan sistem kapitalisme seperti yang terwujud dalam, khu susnya, hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi dan produksi. Teori Kritis, sebaliknya, menantang landasan Teori Tradisional dan sekaligus landasan tatanan sosial yang secara inheren memang saling terikat. Dengan menantang 'pemikiran ilmiah borjuis' itu, pemikiran kritis, menurut Horkheimer, adalah bentuk 'aktivitas transformatif' (Horkheimer 1972: 232). Horkheimer pada awalnya percaya bahwa pekerjaan ISF di arah ini dapat berkontribusi untuk mengembangkan tingkat kesadaran sosial kritis dalam massa (Held 2004: 38). Dengan demikian, itu bisa membantu mengubah alat-alat produksi dan pengembangan teknologi menuju tujuan emansipatoris dan bukan tujuan eksploitatif. “Masa depan kemanusiaan,” begitu dideklarasikan Horkheimer pada 1937 dalam esai tentang Teori Tradisional dan Teori Kritis, “bergantung pada keberadaan sikap kritis hari ini.”(Horkheimer 1972: 242). Berkembangnya Naziisme di Jerman pada akhir 1930-an tidak hanya meretakkan optimisme Horkheimer tentang difusi 'sikap kritis' di kalangan kaum proletariat yang tidak dapat diperbaiki lagi, tapi itu juga mengoyak landasan IFS. Para anggotanya dipaksa kabur ke pengasingan karena kecenderungan pandangan sosialis mereka. Untuk sebagian besar anggota, mereka juga diasingkan karena latar belakang Yahudi (termasuk Adorno yang seperti ayahnya adalah Yahudi hasil asimilasi). Sementara banyak anggota IFS mencari perlindungan di Amerika Serikat, Adorno pada awalnya menemukan perlindungan di Merton College, Oxford, pada 1933. Dari sana ia terus memberikan kontribusi pada jurnal IFS di pengasingan (yang sekarang didirikan kembali di Columbia University, New York), terutama dalam bentuk esai atas kritik musik (Jarvis 1998: 12). Di satu sisi, tampaknya ini jelas sangat jauh, tidak hanya secara geografis tetapi juga secara teoritis, dari visi Horkheimer tentang Teori Kritis. Namun Adorno, dalam refleksinya tentang seni dan musik, sudah menggabungkan dan mengasah kosakata konseptual secara integral baik terhadap fikirannya sendiri maupun terhadap Teori Kritis secara lebih umum. Di antara yang pertama adalah konsep immanent critique alias kritik yang secara natural sudah selalu ada. Aslinya didukung Horkheimer, pada gilirannya konsep itu berpaling ke Hegel dan Marx dalam hal ini (Antonio 1981). Konsep immanent critique yang dilontarkan Adorno ini mengacu pada metode mengkritik sebuah konsep, teori atau situasi, dengan cara mengevaluasi secara kritis atas istilah itu sendiri, dan menyoroti kontradiksi yang terkandung di dalamnya. Bu kannya tertarik pada ukuran eksternal atau titik Archimedes, metode immanent critique ini –sesuai dengan definisi aslinya– lebih imanen dan bukannya transenden: kritik yang berasal dari dalam istilah atau konsep itu sendiri. Immanent critique ini lebih baik daripada tanpa kritik. Meski pada dasarnya setia pada pemahaman ini, interpretasi dan penerapan Adorno terhadap immanent critique dalam kritik musik relatif kurang mengikuti Hegel daripada interpretasi Horkheimer yang sangat mengikuti Hegel. Intepretasi Adorno ternyata lebih 'berhutang banyak pada pengertian Kant tentang antinomies' –ide bahwa penggunaan akal pada akhirnya dapat mengarah untuk mengungkap kontradiksi, (Brunkhorst 1999: 36). Akan tetapi, Adorno juga tidak serta-merta mengikuti Kant, dan melibatkan diri dalam kritik terhadap pengertian Kantian tentang estetika (Adorno 1984). Dalam menentang idealisme Kantian, yang beranggapan bahwa keindahan adalah dialami secara subjektif, Adorno menjaga hitung-hitungan materialis tentang pengalaman estetika di mana karya seni menjaga 'truth content ' alias 'konten alias isi yang benar' (istilah kunci dalam pemikiran Adorno). Adorno berpendapat bahwa keindahan, pengalaman tentang kebenaran isi dari suatu objek, bukan hanya dialami oleh subjek individual, bukan juga sekadar kebenaran 'objektif'': “Karya seni, menurut Adorno, bukan hanya objek yang diam tak berdaya, yang hanya dihargai atau dikenali oleh subjeknya; namun
mereka membuat diri mereka sendiri sebagai momen subjektif karena mereka sendiri adalah kognitif, yakni upaya untuk diketahui” (Jarvis 1998: 96). Dengan demikian, ada ketegangan dialektis antara subjek dan objek yang Adorno yakini akan melekat p ada karya seni itu sendiri (Held 2004: 202), dan tingkat truth content yang dapat dikemukakan melalui refleksi kritis. Hal yang sama juga dapat dikatakan, dalam pandangan Adorno, tentang berbagai perspektif filsafat, yang juga akan ditandai oleh antagonisme internal dan karena itu harus juga tunduk pada analisis kritis, terutama dalam hal kaitan antara konteks material dan filosofi abstraknya. Jadi, saat Horkheimer mengusahakan pengembangan perspektif kritis melalui pengujian fungsi-fungsi sosial dari sistem berfikir, misalnya; positivisme, Adorno justru berkonsentrasi pada 'cara filsafat untuk mengekspresikan struktur masyarakat' (Held 2004: 201). Meskipun hal ini menyebabkan Adorno lebih berkonsentrasi pada teknis analisis rinci dan padat atas filosofi tertentu, metakritiknya terhadap filsafat secara luas tetap sesuai dengan upaya lebih luas di dalam Teori Kritis untuk mengembangkan 'kesadaran sosial kritis' (Adorno, 1973: 323) sejajar dengan upaya Horkheimer (Held 2004: 201).
Tentang Pencerahan sebagai Totaliterisme: Dialectic of Enlightenment Pada akhir 1930-an, Adorno dan Horkheimer bergerak mendekat satu sama lain, baik secara geografis maupun intelektual. Itu terjadi ketika Adorno diundang untuk bergabung dalam IFS di New York pada 1937. Optimisme Horkheimer sebelumnya mengenai prospek p erobahan sosial radikal telah lenyap dengan cepat akibat menjulangnya Hitler dan peristiwa Perang Dunia II, seperti yang dicontohkan melalui nada lebih pesimis dalam karya 1947 berjudul Eclipse of Reason (Horkheimer 2004). Adorno, pantas dikatakan demikian, tidak pernah sepenuhnya sependapat dengan keyakinan Horkheimer tentang potensi revolusioner kelas pekerja. Pada 1939 ia berkata pada teman dekatnya Walter Benjamin tentang kemenangan Franco di Spanyol, bahwa 'massa yang sama juga bersorak menyambut sang fasis penakluk meski pada hari sebelumnya masih bersorak menyambut oposisi' (dikutip dalam Brunkhorst 1999: 40). Berkat penggabungan atas kekecewaan bersama; kritik bersama mereka atas positifisme (di mana Adorno mengikuti prinsip-prinsip dasar Horkheimer) dan kritik berbasis materialistik mereka terhadap filosofis idealisme (Brunkhorst 1999: 36) –belum lagi persahabatan pribadi mereka yang akrab– Adorno dan Horkheimer mencapai titik kondusif untuk upaya-upaya intelektual bersama dalam periode di pengasingan Amerika Serikat. Horkheimer mengenang kembali waktu itu, “Akan sulit untuk mengatakan ide-ide mana yang berasal dari dalam fikiran Adorno dan yang dari fikiran saya sendiri; filosofi kami adalah satu” (Horkheimer 2004: vi). Kolaborasi mereka –yang awalnya terjadi di New York dan kemudian di California– akhirnya memuncak dalam salah satu karya seminal filsafat abad keduapuluh, Dialectic of Enlightenment (Adorno dan Horkheimer 1997). Meski lahir dari konteks langsung atas bangkitnya fasisme dan penolakan terhadap potensi revolusioner proletariat sebagai motor perobahan sosial, Dialectic of Enlightenment (yang pertama kali muncul dengan judul Philosophical Fragments pada 1944 dan dalam judul yang lebih umum dikenal pada 1947) menempatkan perkembangan ini dalam narasi trans-historis yang berjalan dari era Yunani kuno hingga abad kedua puluh. Ini adalah, sebagaimana diisyaratkan judul aslinya, karya fragmentaris yang menarik diri dari struktur naratif langsung mendukung gaya esai (seperti cenderung menjadi khas dari sebagian besar tulisan Adorno khususnya (Jarvis 1998: 137)). Isinya adalah argumen kuat yang menyebut bahwa keseluruhan sejarah filsafat Barat membalikkan asumsi-asumsi kemajuan manusia selama berabad-abad dan, dalam prosesnya, menantang radikal asumsi-asumsi Teori Kritis sebelumnya (Wyn Jones 1999: 29). Objek kunci analisis Adorno dan Horkheimer adalah 'enlightenment' alias 'pencerahan'. Beda dengan penggunaan secara umum, konsep 'enlightenment' , bagi Adorno dan Horkheimer, memiliki makna
sangat spesifik yang hanya sebagian terkait pada para pemikir seperti Descartes dan Kant. Secara konvensional, dalam menghitung ulang pemikiran politik Barat, enlightenment lebih merujuk pada periode sejarah abad kedelapanbelas dan pada kemajuan dalam pengetahuan dan pemikiran rasional yang menghalau takhayul kuno. Namun, Adorno dan Horkheimer justru berusaha mengajukan 'dua tesis' yang tampaknya sama sekali keluar dari penafsiran konvensional: bahwa 'mitos adalah sudah menjadi pencerahan; dan pencerahan kembali ke asalnya yakni ke Mitologi' (Adorno dan Horkheimer 1997: xvi). Di jantung penghitungan Adorno dan Horkheimer adalah konsepsi tentang perjuangan manusia dengan alam. Manusia telah terus-menerus terlibat dalam upaya melindungi diri dari k ekuatan elemental alam dan telah, dalam prosesnya, mendasarkan eksistensi mereka pada percobaan dominasi terhadap alam. Akibatnya, pencapaian pengetahuan telah diprioritaskan sebagai dasar untuk pertahanan diri. Maka, proses 'enlightenment ' sebenarnya sudah bisa dilacak bahkan dari tulisan-tulisan era Yunani kuno dan hingga Yahudi kuno, di mana manusia berjuang melawan kekuatan-kekuatan elemental mistis. 'Mitos adalah sudah menjadi pencerahan' dalam arti bahwa mitos sudah berusaha diklasifikasikan dan dikategorikan, yaitu, telah memiliki 'isi kognitif', seperti yang Adorno dan Horkheimer ilustrasikan dalam analisis mereka tentang Odyssey (1997: 43-80). Adorno dan Horkheimer juga terlibat dalam upaya kritik budaya untuk menunjukkan bahwa, 'pencerahan kembali ke asalnya yakni ke mitologi'. Modernitas, yang menghargai hak-hak istimewa pada kemajuan teknologi dan rasionalitas sekuler (fitur yang diidentifikasi Max Weber di bawah rubrik 'kekecewaan'), sering menggabungkan ingatan terhadap cita-cita mitos dan transendental. Ideologi Nazi, misalnya, menggabungkan elemen-elemen modern (tingginya teknologi modern dan industrialisasi) dengan elemen-elemen kuno dan mitologi (seperti panggilan menuju mitologi bangsa Arya di masa lalu). Adorno dan Horkheimer berpendapat lebih umum bahwa instrumen modernitas yang konon bebas-nilai (seperti ilmu pengetahuan dan teknologi modern) sebenarnya secara rutin sudah terikat dengan sistem ideologis, dan ini adalah karakter modernitas meski ada pretensinya yang bertentangan. Langkah menuju masyarakat yang tersanitasi dan terkelola dalam skala besar jelas-jelas menolak dan menekan hal-hal irasional, yang menyebabkan letusan kekerasan lebih besar, seperti yang diilustrasikan tentang kamp-kamp kematian Nazi Jerman dengan bentuk industrialisasi pembunuhan massal (Adorno 2003a). Demikian juga, Hollywood menggabungkan teknologi dan teknik-teknik film modern dengan romantisisme, dengan sekadar mengganti yang irasional dengan apa yang Adorno dan Horkheimer pandang sebagai pelarian kekanakkanakan, namun tetap dengan efek menciptakan audiens massal yang patuh dan pasif (Adorno dan Horkheimer 1997: 120-67; Adorno 2001). Budaya, yang pernah b isa memungkinkan adanya unsur kebebasan dan kreativitas individu, telah –melalui difusi massa film dan radio– menjadi 'Industri Budaya' lengkap dengan “kultus selebriti (bintang-bintang film) yang memiliki mekanisme sosial builtin untuk menurunkan derajad setiap orang yang menghambat dalam cara apa pun” (Adorno dan Horkheimer 1997: 236). Kedua fenomena tersebut, bagi Adorno dan Horkheimer, adalah sangat pas deng an dengan lintasan umum enlightenment , di mana akal sehat pada akhirnya digunakan untuk mendominasi (apa yang Adorno dan Horkheimer istilahkan dengan 'instrumental reason'). Pengetahuan tentang dunia alam dan dunia sosial, serta teknologi dan teknik yang dikembangkan dari situ, lebih digunakan untuk mengontrol dan mengeksploitasi –bukannya membebaskan– manusia, seperti yang terwujud dalam sistem produksi kapitalis (Adorno dan Horkheimer 1997: xv). Teknologi pada gilirannya mendorong kecenderungan untuk lebih memperlakukan manusia sebagai sarana (dan dengan demikian menjadi suatu komoditi) daripada sebagai tujuan. Ini a dalah inti dari instrumental reason, yang telah menjadi bentuk dominan dari rasionalitas. Jauh dari sekadar cerita tentang kemajuan manusia, karena itu enlightenment adalah juga proses dominasi: dominasi eksternal alam o leh manusia, dominasi internal kondisi manusia itu sendiri, dan dominasi beberapa manusia terhadap manusia lain. “Runtuhnya manusia dan kemanusiaan...,” begitu diprediksi Adorno dan Horkheimer, “...tidak akan dapat
dipisahkan dari perkembangan sosial ... perkembangan untuk menjadi regresi” (1997: xiv-xv). Tema ini –bahwa rasionalisasi, produksi massal, dan lambang lain yang sering diasumsikan sebagai kemajuan yang sebenarnya justru mengarah ke barbarisme– ad alah salah satu hal yang tetap konstan dalam karyakarya Adorno (Adorno 2003a: 19). Dalam beberapa hal, Dialectic of Enlightenment tetap setia pada unsur-unsur yang sebelumnya mendukung Teori Kritis. Dalam hal penghitungan kemajuan manusia yang tampaknya pesimis ini, masih ada unsur immanent critique: Penalaran, yang dipandang sebagai alat pencerahan, digunakan untuk mengkritik enlightenment itu sendiri dan menggambarkan bahwa 'kemerdekaan sosial tidak bisa dipisahkan dari fikiran yang tercerahkan' tapi enlightenment itu secara bersamaan juga berisi 'benih' bagi pembalikan diri sendiri (Adorno dan Horkheimer: 1997: xiii). “Kritik terhadap enlightenment...” yang diberikan itu “...dimaksudkan untuk membuka jalan bagi gagasan positif tentang pencerahan yang akan melepaskannya dari jeratan dominasi buta” (Adorno dan Horkheimer 1997: xvi). Namun, dalam hal lain, kolaborasi antara Adorno dengan Horkheimer sangat kontras dengan optimisme awal Horkheimer tentang prospek bagi perobahan masyarakat secara emansipatoris. Pembelokan ini telah dicatat sebagai bagian sangat signifikan dalam teori Hubungan Internasional dan studi keamanan kontemporer yang berusaha menghidupkan kembali dan menggabungkan konsep-konsep emansipasi dan immanent critique (Wyn Jones 1999: 39-52; Rengger 2001: 95) sebagaimana termuat dalam Teori Kritis sebelumnya. Ini bukan sekadar produk pengaruh Adorno terhadap Horkheimer yang, seperti ditunjukkan sebelumnya, sudah bergerak dalam arah yang sama (Horkheimer 2004). Post-Dialectic of Enlightenment , dengan memori tentang ketertarikan massa terhadap fasisme di Jerman terasa masih segar, Adorno dan Horkheimer sama-sama masih menjaga jarak dari proyek politik besar. Adorno, sekembalinya ke Jerman pada 1950-an (di mana ia menjadi direktur bagi IFS yang didirikan kembali di Frankfurt pada 1957) sering dianggap telah menjauhkan diri dari gerakan-gerakan untuk perobahan sosial dan perobahan politik pada masa itu, menjauhkan diri dari gerakan mahasiswa Jerman meski pengikut setianya, yakni Jürgen Habermas, sangat erat terlibat. Adorno membela sikap ini dalam hal ini melindungi otonomi intelektualnya. Tapi, seperti dicatat Wiggershaus, sikap ini “...tidak benar-benar sesuai dengan konsep Teori Kritis yang mampu mencerminkannya pada fungsi sosial yang telah dikembangkan Habermas dan, sebelumnya, oleh Horkheimer” (Wiggershaus 1986: 621).
Adorno dan Hubungan Internasional Masa hidup Adorno dicemari oleh pergolakan internasional besar –dua perang dunia, Revolusi Rusia, Wall Street Crash, munculnya abad nuklir, dan banyak lagi– sehingga tulisan-tulisannya dibumbui oleh referensi dari peristiwa-peristiwa semacam itu. Namun, tulisan-tulisan Adorno hanya mencurahkan sedikit waktu atau ruang untuk pembahasan peristiwa-peristiwa itu secara eksplisit. Jelas, itu belum cukup banyak untuk jumlah teorisasi internasional agar ia segera dikenali sebagai ilmuwan mainstream Hubungan Internasional. Seperti dengan keterlibatannya pa da isu-isu politik yang lebih umum, keterlibatan Adorno dengan politik internasional dibatasi oleh keinginannya untuk otonomi. Meski Adorno mampu memberi pengkajian rinci di kolom astrologi untuk Los Angeles Times (Adorno, 2001), analisis mengenai isu-isu internasional utama pada zamannya relatif sangat sederhana. Ini bukan untuk mengatakan bahwa isu-isu internasional tidak penting, atau bahwa Adorno menganggap mereka memang seperti itu. Sebaliknya, isu internasional sering memainkan fungsi ilustratif penting dalam tulisan-tulisannya. Yang pasti, mereka memainkan peran ini ketika mereka benar-benar terjadi, mereka cenderung melakukannya dalam konteks refleksi begitu besar misalnya untuk membuat hal-hal konvensional dalam hubungan internasional sebagai sekadar catatan kaki. Saat berbicara tentang genocide dan penggunaan bom atom, Adorno menuliskan “... kekuatan yang harus kita lawan adalah mereka-mereka yang berada di jalur sejarah dunia” (Adorno 2003a: 20). “Tidak ada sejarah
universal...,” begitu dinyatakan Adorno dalam Negative Dialectics, “...yang mengarah dari kekejaman menuju kemanusiaan, tetapi ada satu yang mengarah dari katapel ke bom megaton” (Adorno 1973: 320). Di sini, Adorno memberikan suatu ketentuan dari keniscayaan dan kehancuran konflik yang semakin meningkat yang setiap tokoh realis pesimistis akan bangg akan, tapi tampaknya tanpa keperluan untuk menyertakan teori formal tentang konflik negara, perang, dan Hubungan Internasional. Sebuah catatan harus diutarakan dengan hati-hati di sini. Kurang pemilihan kutipan kunci dalam karya Adorno –meskipun ada kebutuhan untuk bab-bab pendahuluan yang ditawarkan di sini– memberi risiko kerusakan serius terhadap tulisan-tulisan Adorno yang sudah disusun dengan hati-hati di mana g aya dan posisi teks sudah bisa menjadi bagian integral dari argumennya. Kutipan yang dikutip sebelumnya, misalnya, terjadi dalam konteks diskusi tentang filsafat Hegel dan hubun gan antara kontinuitas dan diskontinuitas (Adorno 1973: 300-358). Selain itu, pengalaman Adorno tentang persitiwa-peristiwa sepanjang hidupnya –terutama tentang fasisme, perang, Holocaust, dan pengasingan yang dialaminya sendiri– memainkan peran besar dalam membentuk refleksi Adorno. Mereka semua bagian dari apa yang ia sendiri sebut sebagai 'dimensi historis' dari 'damaged life' (Adorno 2005: 33). Contoh klasik di sini adalah peringatan Adorno yang sering dikutip (namun, bisa dibilang sering disalahpahami) bah wa “Tidak mungkin untuk menulis puisi setelah terjadinya peristiwa Auschwitz” sering diterjemahkan secara alternatif sebagai “Menulis puisi setelah Auschwitz adalah barbar” (Hofman 2005). Komentar Adorno di sini harus diletakkan dalam konteks yang lebih luas atas refleksinya tentang bagaimana bahasa bisa mewakili besarnya penderitaan manusia (yang di kemudian hari ternyata cocok dengan refleksi-refleksinya tentang bahasa, identitas dan non-identitas). Mereka juga berkaitan dengan pertimbangannya lebih lanjut tentang pertanyaan, “Apakah orang bisa hidup setelah Auschwitz?” (Adorno 2003b: 435), yaitu pertanyaan apakah benar atau tidak kecenderungan yang memberi kebangkitan pada peristiwa Auschwitz, seperti; nasionalisme atavistis –karakter yang muncul kembali setelah tidak tampak dalam beberapa generasi– (Adorno 2003c) dan otoritarianisme (Adorno et al. 1950) bisa diberantas seluruhnya. Karena itu, pemahaman penuh atas karya Adorno membutuhkan pembahasan berkelanjutan dengan teks-teks primernya dan kesadaran akan konteks di mana teks itu ditulis, dan pembaca didorong ke arah rekomendasi untuk membaca daftar bacaan lebih lanjut di bawah ini. Jika tidak, seperti dikatakan Simon Jarvis:
Jika dibaca dengan terburu-buru, Adorno akan terlihat seperti elitis pesimistis yang tergolong dalam zaman mandarin modernisme salah kaprah –yakni pemikir dengan sedikit penerangan untuk menawarkan situasi historis yang tampaknya sangat berbeda... Jika kita memotong bagian-bagian yang tampak sulit atau usang –misalnya; keterlibatan dengan Idealisme Hegel– kita akan menemukan bahwa aspek yang bahkan tampaknya tidak tersambung dari karya Adorno, seperti teori sosialnya atau kritik musiknya, tiba-tiba membuat tidak masuk akal (Jarvis 1998: 1, 3).
Dengan mencamkan pengertian ini, maka akan masuk akal jika ada pembukaan logis untuk referensi Adorno dalam Hubungan Internasional kritis. Sebagian b esar kaum post-positivis menoleh ke teori Hubungan Internasional yang telah digarap Mahzab Frankfurt baik secara langsung (Linklater 1996) atau sebagai komponen dari teori kritis yang dipahami secara lebih luas (Smith 1996). Di sini mungkin bisa disebut sebagai homologi tertentu atas keterlibatan Adorno sendiri dalam sengketa positivis di Jerman pada 1950-an dan 60-an (Adorno 1976). Namun, ada beberapa keterkaitan eksplisit yang dibuat di sini. Arah teori kritis Hubungan Internasional, saat sering membuat referensi pada kontribusi Adorno terhadap Kritis Teori, telah –karena berbagai alasan– cenderung menyempit ke sekitar Adorno daripada ke karyanya secara langsung. Beyond Realism and Marxism: Critical Theory and International
Relations karya Andrew Linklater and Security, Strategy and Critical Theory karya Richard Wyn Jones sama-sama merujuk pada Adorno secara simpatik tapi negatif untuk studi Hubungan Internasional dan studi keamanan. Linklater lebih merekomendasikan upaya-upaya Habermas untuk 'membangun dasar bagi bentuk alternatif teori sosial' yang berbeda dari yang ditawarkan Adorno (Linklater 1990: 25). Wyn Jones lebih mencermati penekanan Horkheimer pra- Dialectic of Enlightenment pada emansipasi dan berpendapat bahwa “karya Adorno berikutnya tidak dapat memberikan bantuan apa pun bagi tugas meminjamkan dukungan intelektual pada perjuangan praktis untuk emansipasi” (Wyn Jones 1999: 52). Di tempat-tempat lain, beberapa konsep dari tulisan-tulisan Adorno berikutnya telah dipungut oleh penulis Hubungan Internasional. Nicholas Rengger misalnya, dalam upaya mengatasi 'masalah ketertiban dunia' seperti dibahas dalam teori kritis Hubungan Internasional, mengutip konsep Adorno tentang negative dialectics (Rengger 2001). Teori Kritis, menurut Rengger, memiliki 'dua mode atau wajah', yakni; yang optimis diwakili teori Habermas yang diinspirsi Kant dan yang pesimis diwakili terutama oleh sikap Adorno terhadap prospek kesadaran sosial yang kritis. Jika teori kritis Hubungan Internasional adalah benar-benar untuk memajukan proyek emansipasi, Rengger berpendapat, hal itu harus melibatkan tidak hanya desakan 'utopis' dari Teori Kritis (Hoffman 1987), tetapi juga 'sisi gelapnya' seperti ditekankan dalam karya Adorno (Rengger 2001: 96). Untuk mensketsa kontur Teori Kritis dalam Hubungan Internasional, Rengger menggambarkan bahwa salah satu konsep paling terkenal Adorno adalah dialektika negatif. D alam Negative Dialectics (Adorno 1973), Adorno mengajukan kritik yang panjang dan berkelanjutan atas identitas pemikiran, yaitu, kecenderungan –terutama yang tampak jelas dalam idealisme Kant– untuk mengidentifikasi objek tertentu dalam konsep universal melalui proses kategorisasi. Dalam upaya melepaskan diri dari bentuk pemikiran ini, yang mengasumsikan bahwa k onsep dan objek adalah identik, Adorno sekali lagi menarik gagasan dialektika dari Hegel, tetapi juga berpendapat bahwa itu adalah aspek negatif dari dialektika –bukannya aspek positif dari dalektika itu– yang harus lebih ditekankan. Yang negatif menekankan persatuan, yang positif menekankan 'non-identik', 'ekstrimitas yang berada di luar jangkauan konsep'. Seperti dikatakan Adorno sendiri:
“Jika dialektika negatif menyerukan pemikiran refleksi-diri, implikasi yang nyata adalah bahwa jika berfikir adalah benar –jika berfikir itu benar hari ini, dalam semua kasus– maka itu juga berarti berfikir melawan dirinya sendiri. Jika fikiran tidak diukur dengan ekstrimitas yang berada di luar jangkauan konsep, maka itu berasal dari luar sifat alami iringan musik yang SS suka lakukan untuk meredam jeritan para korbannya (Adorno, 1973: 365).
Adorno berpendapat bahwa konsep, bahasa, dan kerangka berfikir, harus 'difikirkan melawan' dasar bahwa mereka tidak pernah benar-benar bisa menangkap apa yang mereka rancang untuk digambarkan dan justru sering membuang elemen-elemen dari wilayah non-identitas. Jadi, “...dialektika negatif menilai hubungan antara konsep dan objek, antara seperangkat properti yang tersirat dalam konsep dan aktualisasi dari konsep itu sendiri” (Held 2004: 215). Meski semua ini tampak sangat abstrak, Adorno mendasarkan usahanya untuk berlaku adil terhadap kenyataan penderitaan manusia (dan, sekali lagi, referensi ke SS dan para korbannya adalah indikasi bagi konteks tulisan Adorno). “Kebutuhan untuk meminjamkan suara pada pen deritaan adalah syarat bagi semua kebenaran,” menurut Adorno (1973: 18); Dengan kata lain, kesadaran akan aktualitas ragawi atas penderitaan manusia harus terus mendorong perhatian kita ke ketidak-cukupan bentuk bentuk tertentu representasi untuk menyampaikan penderitaan itu. Namun, seperti diakui Adorno, konsep-konsep memang tersedia bagi kita untuk mencoba dan menciptakan pemaknaan, termasuk konsep dari dirinya. Sarannya adalah bahwa kita menggunakan
'konstelasi' (istilah yang diambil dari Walter Benjamin) konsep adalah karena “kecacatan yang ditentukan dalam setiap konsep membuat kita perlu mengutip konsep lain” (Adorno 1973: 53). Dengan cara ini kita bisa berharap menyampaikan beberapa pemaknaan bagi pengalaman khas, mengungkapkan sisi tertentu dari objek yang tidak bisa diakses untuk pemikiran identitas (Held 2004: 215) dan, pada saat yang sama, menolak godaan sekadar mereduksi objek menjadi pengalaman subjektif (yang merujuk kembali ke konsep ke benaran-konten Adorno). Tapi ini juga menciptakan tunjangan yang penuh harapan terhadap 'pemikiran utopis' (di mana Adorno menariknya dari Ernst Bloch). Saat konsep tidak pernah dapat sepenuhnya menangkap apa yang ada, konsep juga tidak bisa menangkap apa yang mungkin belum terjadi; sehingga Adorno mempertahankan sifat berobah-obah dari hubungan sosial meski ia sendiri mengungukapkan abstraksi dari gerakan-gerakan untuk perobahan sosial. Rengger, meniru strategi yang dikembangkan Adorno, berpendapat bahwa karakter kritis teori Hubungan Internasional ala Habermasian (misalnya, Linklater 1996) perlu dikaitkan dengan sisi 'negatif' dari Teori Kritis ini. Kecenderungan untuk menafsirkan teori kritis Hubungan Internasional sebagai 'proyek emansipatoris', menurut ia, mengabaikan sejauh mana emansipasi itu mungkin memerlukan program rekomendasi untuk rekonstruksi ketertiban dunia yang bisa sangat mengandalkan instrumental reason. Sebagaimana sudah dicatat di atas, Adorno memiliki pemahaman tentang rangsangan utopis yang berlawanan atas proyek program semacam itu, dan Rengger merekomendasikan peran lebih besar untuk Adornoesque ' critique' dalam teori kritis Hubungan Internasional sebagai kontra bagi kecenderungan ini (Rengger 2001: 103). Upaya ke arah ini telah mengikuti kebangkitan kritik terhadap pendekatan 'etika wacana' yang diasosiasikan dengan teori kritis Hubungan Internasional yang diilhami Habermasian –yang hingga belakangan ini cenderung mendominasi kerja teori Mazhab Frankfurt dalam Hubungan Internasional. Linklater mencatat bahwa “kritik atas etika wacana mengundang diskusi lebih lanjut bagi latar belakang klaim tentang kerentanan manusia dan kapasitas penderitaan”. Linklater juga berpendapat bahwa penekanan Adorno pada kerentanan manusia memberikan titik awal yang berguna bagi penyelidikan terhadap penderitaan dan kewajiban kosmopolitan (Linklater 2007a: 23). Adorno mengamati bahwa manusia punya lebih sedikit kesulitan dalam mengidentifikasi 'bentuk-bentuk kehidupan yang buruk' yang harus dilawan, daripada bersepakat tentang bagaimana sejatinya 'kehidupan yang baik' (Adorno, dikutip dalam Linklater 2007a: 23). Sebagaimana diungkapkan Jarvis, pendekatan seperti ini sangat sesuai dengan 'negatifitas utopia' Adorno yang “...tidak dapat menyediakan cetak biru bagi seperti apa kehidupan yang baik itu, tetapi hanya mengkaji seperti apa kehidupan kita yang 'rusak' itu” (Jarvis 1998: 9). Jadi Linklater dapat dilihat menempatkan d asar bagi 'sociology of global morals' (sosiologi moral global) dan pengertian tentang 'embodied cosmopolitanism' (kosmopolitanisme yang diwujudkan) dalam perhatian Adorno terhadap sifat keragawian dan penderitaan manusia (Linklater 2007b; Adorno, 1973: 18-19; Adorno 2005). Gerakan yang terjadi baru-baru ini menunjukkan bahwa potensialitas bagi penggabungan dan penerapan ide-ide dan konsep-konsep Adorno ke dalam studi Hubungan Internasional adalah baru tahap awal untuk dijelajahi. Lebih lanjut, perlu dicatat bahwa Adorno pada akhirnya menjaga sikap kritis canggih terhadap klaim-klaim kebenaran dan bentuk-bentuk representasi. Mengingat hal ini, ideidenya mungkin menawarkan jembatan antara teori kritis Hubungan Internasional yang digambarkan di Mahzab Frankfurt dan berbagai pendekatan post-strukturalis, feminis dan kritis lain yang juga mengisi subjek itu. Atas landasan ini, serta berdasarkan apa yang sering dikatakan Adorno tentang pendalaman ke sifat kehidupan modern, keterlibatan lebih besar antara teori Hubungan Internasional dan karyakarya Adorno adalah harus terus didorong untuk dikaji.
Bacaan Lebih Lanjut Batu pijakan bagi penjajagan ide-ide Adorno adalah Dialectic of Enlightenment (Adorno dan Horkheimer 1997) yang, seperti diuraikan di atas, menetapkan beberapa tema yang muncul kembali dalam karya solonya kemudian. Negative Dialectics (Adorno 1973) adalah risalah epistemologi Adorno yang padat dan bermanfaat. Minima Moralia: Reflections on a Damaged Life (Adorno 2005) adalah karya aphoristic yang memberikan wawasan tentang berbagai topik dan mengandung teori sastra dalam gaya filsafat. Aesthetic Theory (Adorno 1984), koleksi yang diterbitkan pasca-kematian Adorno, dimaksudkan sebagai magnum opus, refleksi Adorno terhadap karya seni dan estetika, yang memperluas beberapa poin yang dibuat di sini. Beberapa bacaan juga tersedia yang berfungsi sebagai perkenalan pada Adorno serta mencetak ulang beberapa kutipan dari tulisan-tulisannya. Brian O'Connor (ed.) (2000) The Adorno Reader (Oxford: Blackwell) dan Rolf Tiedemann (ed.) (2003) Can One Live After Auschwitz? Theodor W. Adorno: A Philosophical Reader (Stanford, CA: Stanford University Press) sangat baik dalam hal ini, dengan reproduksi beberapa esai yang biasanya sulit diperoleh dalam bahasa Inggris. Pembaca didorong ke arah penggunaan langsung teks primer. Tetapi jika hanya mendapatkan panduan sekunder, maka baca saja Adorno: A Critical Introduction (Jarvis 1998) yang sangat baik dan dirancang untuk digunakan bersamaan dengan membaca tulisan-tulisan Adorno sendiri.