ACARA II
PENGUJIAN KUALITAS PELET
Oleh :
Nama : Sugiarto
NIM : B0A015036
Kelompok : 6
Asisten : Rahmat Arief
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PEMBUATAN DAN PEMBERIAN PAKAN
KEMENTRIAN RSET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANA
PURWOKERTO
2016
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pellet merupakan ransum berbentuk silinder atau tabung dengan diameter tertentu, atau berbentuk bulat mengandung nutrien lengkap yang diformulasikan sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan ternak pada umumnya diperuntukkan untuk unggas. Menurut Rizal (2005), Pellet adalah bentuk ransum yang berasal dari berbagai bahan pakan dengan perbandingan komposisi yang telah dihitung dan ditentukan. Kemudian bahan-bahan tersebut diolah menggunakan mesin pellet (pelletizer). Tujuan ransum dibuat menjadi pellet untuk mengurangi loss nutrisi dan dalam bentuk yang lebih utuh. Pengolahan limbah padat industri menjadi bentuk pellet untuk meningkatkan kecernaan, meningkatkan efisiensi, memudahkan penanganan dan transportasi. Selain itu pengolahan pakan menjadi pellet dapat mengurangi sifat voluminus, sehingga dapat meningkatkan konsumsi bahan kering, mengurangi pakan tercecer tersisa (Slinger, 1973).
Pakan ikan dikatakan bermutu jika mengandung nilai nutrisi dan gizi yang dibutuhkan oleh ikan. Menurut Mudjiman (1983) bahwa Pakan yang berkualitas mengandung 70 % protein, 15 % karbohidrat, 10 % lemak, dan 5 % vitamin, air, dan mineral. Suryaingsih (2010) menyatakan bahwa kualitas pakan tidak hanya sebatas pada nilai gizi yang dikandungnya melainkan pada sifat fisik pakan seperti kelarutannya, ketercernaanya, warna, bau, rasa dan anti nutrisi yang dikandung. Kualitas pakan juga dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Pemilihan baku yang baik dapat dilihat berdasarkan indikator nilai gizi yang dikandungnya; digestibility (kecernaanya); dan biovaibility (daya serap). Pakan yang berkualitas akan mendukung tercapainya tujuan produksi yang optimal. Oleh karena itu pengetahuan tentang nutrisi, gizi, komposisi serta kualitas secara fisik perlu diketahui.
Ilmu nutrisi pakan ikan tidak terbatas pada cara pembuatan pakan saja. Pengetahuan tentang formulasi bahan dalam pembuatan pakan juga perlu diketahui. Komposisi suatu pakan perlu kita ketahui baik sebelum atau sesudah pembuatan pakan sebagai database dalam pembuatan pakan. Sebelum pembuatan pakan bobot masing-masing bahan harus diketahui untuk menghasilkan jumlah pakan dengan nilai nutrisi tertentu. Demikian juga setelah dalam bentuk pakan. Berdasrkan uraian sebelumnya maka pengetahuan mengenai cara pembuatan pakan (penyediaan bahan baku) dan teknik pengujian pakan (uji proksimat, uji daya tahan, uji daya apung, uji organolipstik, uji biologis) perlu dilatih melalui kegiatan praktikum.
Tujuan
Praktikum acara Pengujian Kualitas Pellet ini memberikan kompetensi kepada mahasiswa berupa pemahaman tentang kualitas pellet yang memiliki daya apung lama di perairan dan daya kekompakkan yang tinggi yang harus disiapkan bagi kelompok-kelompok ikan yang surface feeder, column feeder, dan bottom feeder.
MATERI DAN CARA KERJA
Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah ember dan stopwatch
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah pellet yang sudah dibuat dan air
Cara Kerja
Cara kerja dalam praktikum acara Pengujian Kualitas Pellet adalah sebagai berikut:
Disiapkan alat dan bahan
Diisi ember dengan air
Dimasukan pellet kedalam air dan dicatat waktu daya apung dan daya ambyar
Dicatat hasilnya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 3.1 Pengujian Kualitas Fisik Pellet
Kegiatan
Hasil pengamatan
Pengamatan daya apung
06 menit 15 detik
Pengamatan daya ambyar
09 menit 51 detik
Gambar 3.1 pengamatan daya apung pellet
Gambar 3.2 pengamatan daya ambyar pellet
Pembahasan
Pellet merupakan ransum berbentuk silinder atau tabung dengan diameter tertentu, atau berbentuk bulat mengandung nutrien lengkap yang diformulasikan sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan ternak pada umumnya diperuntukkan untuk unggas. Menurut Rizal (2005), Pellet adalah bentuk ransum yang berasal dari berbagai bahan pakan dengan perbandingan komposisi yang telah dihitung dan ditentukan. Kemudian bahan-bahan tersebut diolah menggunakan mesin pellet (pelletizer). Tujuan ransum dibuat menjadi pellet untuk mengurangi loss nutrisi dan dalam bentuk yang lebih utuh. Pengolahan limbah padat industri menjadi bentuk pellet untuk meningkatkan kecernaan, meningkatkan efisiensi, memudahkan penanganan dan transportasi. Selain itu pengolahan pakan menjadi pellet dapat mengurangi sifat voluminus, sehingga dapat meningkatkan konsumsi bahan kering, mengurangi pakan tercecer tersisa (Slinger, 1973). Pengolahan dalam bentuk pellet (pelleting) merupakan salah satu cara teknologi pengolahan pakan. Menurut Ilmiawan, (2015), proses pelleting dapat dilakukan dengan 2 metode yakni metode panas (conditioning) dan metode dingin (tanpa conditioning).
Ilmu nutrisi pakan ikan tidak terbatas pada cara pembuatan pakan saja. Pengetahuan tentang formulasi bahan dalam pembuatan pakan juga perlu diketahui. Komposisi suatu pakan perlu kita ketahui baik sebelum atau sesudah pembuatan pakan sebagai database dalam pembuatan pakan. Sebelum pembuatan pakan bobot masing-masing bahan harus diketahui untuk menghasilkan jumlah pakan dengan nilai nutrisi tertentu. Demikian juga setelah dalam bentuk pakan. Berdasrkan uraian sebelumnya maka pengetahuan mengenai cara pembuatan pakan (penyediaan bahan baku) dan teknik pengujian pakan yang terdiri dari :
Uji fisik. Uji fisik pakan ikan meliputi daya apung, tingkat kekerasan, tingkat homogenitas, kecepatan pecah, dan uji organoleptik pakan ikan. Daya apung pakan dilakukan dengan menjatuhkan 5 butir pakan ke dalam gelas ukur 500 ml yang berisi air setinggi 20 cm. Setelah itu mengamati dan mencatat waktu yang dibutuhkan oleh pakan tersebut mencapai dasar ember dengan menggunakan stop watch. Tingkat kekerasan pakan diukur dengan memasukkan 2 g pakan ke dalam pipa paralon dengan tinggi 1 m. kemudian pakan dijatuhi beban anak timbangan dengan berat 500 g. Pakan yang telah dijatuhi beban kemudian diayak menggunakan ayakan dengan ukuran mata ayakan sebesar 0,5 mm. Tingkat kekerasan dihitung dalam persentasi pakan yang tidak hancur dengan menggunakan ayakan (Saade, 2009). Tingkat homogenitas pakan bertujuan untuk mengetahui tingkat keseragaman ukuran partikel bahan penyusun pakan. Pakan sebanyak 5g digerus di mortar dengan tekanan yang sama. Selanjutnya, pelet uji diayak menggunakan ayakan dengan ukuran mata ayakan sebesar 0,5 mm. Persentase pelet uji yang lolos pada ayakan tersebut menunjukkan tingkat homogenitas pakan ikan. Uji kecepatan pecah mengukur berapa lama waktu sampai pakan hancur di dalam air. Uji ini diamati secara visual. Sebanyak 10 butir pellet dimasukkan ke dalam beaker glass yang diisi 1 L air. Untuk mengetahui pelet sudah lembek atau belum dilakukan penekanan dengan jari telunjuk. Pengamatan ini dilakukan dengan memencet pelet setiap lima menit (Saade, 2009), sampai pakan pecah/hancur. Uji organoleptik merupakan metode analisis untuk mengidentifikasi tampilan fisik pakan ikan, meliputi tekstur, aroma, dan warna. Pengamatan dilakukan secara visual.
Uji kimiawi. Uji kimia pakan ikan meliputi uji kandungan nutrisi pakan secara kimiawi. Pengujian kimiawi yang dilakukan adalah uji proksimat berupa kadar protein kasar dan kadar air dalam pakan uji. Pada umumnya, tujuan pengujian pakan buatan secara kimiawi adalah untuk mengetahui kandungan zat – zat gizi yang terdapat didalam pakan. Pengujian pakan secara kimiawi ini umumnya dilakukan dilaboratorium kimia. Ada beberapa yang dilakukan dalam pengujian kimia ini adalah analisa proksimat, analisi nitrien, uji kimia untuk mengetahui kualitas pakan, skor kimia dan IAAI (Sukamto, 1995).
Pengujian biologis kualitas pakan dilakukan untuk mengetahui pengaruh nutrisi bahan baku yang dibuat dengan mengamati pertumbuhan ikan selama beberapa waktu. Dalam praktiknya, pakan alami atau pakan buatan diberikan kepada ikan dengan dosis 3 - 5 % bobot ikan per hari. Pembarian pakan dilakukan tiga kali sehari, yaitu pagi, siang atau malam. Tatapi dalam terapan budidaya banyak pula disarankan untuk memberikan pakan kapan saja selagi ikan mau makan. Dengan demikian pakan yang diberikan lebih dari 3 - 5 %. Hal ini dapat dilakukan dengan syarat pakan termakan secara optimal oleh ikan. Ikan nila merupakan ikan omnivore. Kebiasaan makan ikan nila saat benih ialah memakan di perairan dangkal sedangkan setelah dewasa nila cenderung mampu mencari makan hingga dasar perairan, untuk itu pakan yang baik untuk nila adalah pakan yang mengapung dan tahan lama di air. Pakan ikan nila adalah pakan buatan dapat berupa pellet dengan kadar protein 28 - 35% dan kadar lemak tidak lebih dari 3% (Sukamto, 1995).
Menurut Soemarto (1983), berdasarkan jenis makanannya ikan dapat dibedakan dalam beberapa golongan yaitu :
Jenis ikan yang hanya makan bangsa tumbuh-tumbuhan (Herbivora). Umumnya ikan pada tingkat larva setelah habis persediaan kuning telur (yolk) mulai makan plankton yaitu tumbuh-tumbuhan halus yang terdapat dalam air termasuk bakteri. Makanan dasar bagi ikan ialah fitoplankton atau plankton nabati.
Golongan ikan pemakan daging (Karnivora). Golongan ikan pemakan daging atau pemakan sebangsanya, ikan ditandai dengan mulut yang relatif besar dengan rahang bergigi. Saringan insangnya kasardan jarang-jarang makan. Makanannya terdiri dari macro intervertebrata misalnya jenis-jenis cacing (anelida), binatang lunak (moluska), crustacea dan arthropoda.
Golongan ikan pemakan segalanya, baik tumbu-tumbuhan maupun binatang (Omnivora). Golongan omnivora terdapat baik di laut maupun di air tawar, giginya tidak tajam sperti pada jenis penerkam mangsa tetapi berbentuk alat pengerat.
Golongan ikan pemakan detritus. Pemakan detritus tidak bergigi seperti jenis ikan belanak (mungil), petek (Leioghtus). Detritus adalah sisa-sisa berasal dari daun-daun yang membusuk. Banyak protozoa cacing kecil, larva dan jenis crustucea kecil sebagai sumber makanan ikan.
Pakan ikan yang berkualitas, selain ditentukan oleh kandungan nutrisinya, juga ditentukan oleh sifat fisik pakan tersebut di dalam air, di antaranya, daya apung pakan, tingkat kekerasan, tingkat homogenitas, dan kecepatan pecah pakan. Hal ini dikarenakan, pakan ikan selalu terpapar di dalam air sehingga secara fisik harus memiliki daya apung yang baik (tidak cepat tenggelam), tidak mudah lembek, homogen, dan tidak mudah pecah agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh ikan ketika pakan tersebut dimasukkan ke dalam air tempat budidaya.
Ada beberapa faktor yang menentukan kualitas pelet yang dihasilkan, yaitu bahan baku, proses variabel, sistem variabel dan perubahan fungsi pakan pada saat pembuatan pelet. Menurut Thomas (1997), faktor bahan baku dipengaruhi oleh sifat fisik kimia, komposisi kimia, dan komposisi fisik bahan. Sifat fisik kimia terdiri dari protein, pati, dan serat. Komposisi kimia terdiri dari kandungan bahan kering, lemak, abu, dan kandungan nitrogen. Komposisi fisik terdiri atas berat jenis dan ukuran partikel. Proses variabel berhubungan dengan spesifikasi mesin yang digunakan seperti kecepatan putaran mesin per menit (RPM), jarak antara die dan roller, kecepatan die, penempatan pisau pemotong, dan permukaan roller. Sistem variabel berhubungan dengan lamanya bahan baku berada di dalam mesin pelet selama proses pemeletan berlangsung dan jumlah energi yang digunakan (Thomas., 1997). Thomas . (1997), juga menyatakan bahwa perubahan fungsi berhubungan dengan proses gelatinisasi pati, solubilisasi serat, dan denaturasi protein. Faktor tujuan berhubungan dengan kualitas nutrisi dari pelet yang dihasilkan (kandungan energi dan protein), kualitas fisik seperti kekerasan dan ketahanan benturan pelet, serta kualitas higienis (jumlah mikroba) pelet.
Faktor yang mempengaruhi pelet ikan bisa mengambang atau terapung yaitu dari bahan atau dari mesinnya yang hebat dan canggih. Pelet bisa terapung karena ada pori pori dalam pelet yang terjadi karena gesekan dari bahan yang dibawa oleh ekstruder dengan dinding tabung dan dipadatkan diujung ekstruder dengan tekanan tinggi hingga menimbulkan panas yang cukup untuk membuat pelet matang,kemudian masuk kedalam lubang yang dinamakan dies setelah keluar dari lubang dies tersebut dipotong oleh pisau pemotong. Karena perbedaan suhu d idalam dan suhu ruang maka pelet tersebut dapat membuat pori-pori pelet. Intinya dari proses ini adalah thermo mechanical cooking (teknik memasak dengan mekanik). Steam boiler dihilangkan tetapi memasak dengan kekuatan mekanik mesin sehingga menggunakan energi yang cukup besar (Alip, 2010).
Uji daya tahan dalam air dilakukan dengan merendam pellet dalam air dan dihitung berapa lama pellet tersebut tahan dalam air sampai hancur. Semakin lama pellet tersebut hancur, semakin baik dan berkualitas pellet tersebut. Selain dari faktor kekerasan pellet, daya tahan pellet dalam air dapat disiasati dengan beberapa cara, antara lain yaitu dengan mempergunakan perekat, lama pengeringan yang optimal dan merata dan memperbesar ukuran pellet seoptimal mungkin. Pellet umumnya dibuat dari campuran beberapa macam bahan pakan dan umumnya kemudian ditambahkan perekat baik alami maupun kimiawi. Salah satu bahan perekat yang murah dan mudah didapat adalah kanji yang berasal dari tepung tapioka. Lama pengeringan juga menentukan keras tidaknya pellet. Semakin lama dilakukan pengeringan akan semakin keras pellet tersebut, problemnya adalah akan mengurangi kandungan nutrisi pellet. Demikian juga pengeringan dengan suhu yang semakin tinggi akan menyebabkan pellet akan cepat menjadi keras (Handajani, 2010).
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil untuk daya apung pellet ikan yang telah kami buat adalah 6:15 detik . Hal ini menunjukkan bahwa pellet ikan tersebut sudah dapat kategorikan pellet kurang baik . Hal ini sesuai dengan pendapat Kater (2014), yang menyatakan bahwa semakin lama pellet ikan terapung di permukaan air, maka semakin baik pula kualitas pellet tersebut. Pellet yang kami buat memiliki daya apung yang kurang baik mungkin dikarenakan pellet kami tidak menggunakan alat pembuata pellet yang canggih. Selain daya apung, berdasarkan praktikum yang telah kami lakukan bahwa daya ambyar pellet yang kami buat adalah 9:51 menit di daerah dasar air. Pengujian daya ambyar berkaitan erat dengan uji kekerasan. Menurut Mahardika (1999), kekerasan dapat diuji dengan memberi baban pada pelet sampai batas beban tertentu pelet akan hancur. Pelet yang baik harus mempunyai kekerasan yang tinggi, dan biasanya berasal dari bahan baku yang cukup halus.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa daya apung pellet yang telah dibuat adalah 5:75 detik, hal tersebut menunjukkan bahwa pellet tersebut sudah dapat dikategorikan pellet yang kurang baik.
Daya ambyar pellet yang kami buat adalah 9:51 menit didaerah dasar air. Semakin lama daya apung dan daya ambyar pellet, maka semakin baik pula kualitas pellet tersebut.
Saran
Sebaiknya dalam praktikum alat lebih dipersiapkan, agar praktikum berjalan lancar dan tidak memakan waktu lama
DAFTAR PUSTAKA
Alip.R.H. 2002. Memilih & Membuat Pakan Tepat Untuk Lou Han. Hal 47. Jakarta: Agromedia.
Handajani, Wahyu Widodo . 2010 . Nutrisi Ikan. Hal 1. Malang : UMM press.
Ilmiawan, Teguh B., B. Sulistiyanto, and Cahya Setya Utama.2015. Pengaruh Penambahan Pollard Fermentasi Dalam Pellet Terhadap Serat Kasar Dan Kualitas Fisik Pellet. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah .13(2): 143-152.
Khater, El-Sayed G., Adel H. Bahnasawy, and Samir A. Ali. 2014. Physical and Mechanical Properties of Fish Feed Pellets." Journal of Food Processing & Technology. 5(10), PP: 2157-7110.
Mahardika , Yudha. 1999. Makanan ikan. Yogyakarta : UGM Press
Mudjiman, A.. 1987. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mulia .D.S, Heri. M. 2014. Uji Fisik dan Kimiawi Pakan Ikan yang Menggunakan Bahan Perekat Alami. Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Rizal, A. 2005. Pengolahan Pakan Ayam dan Ikan Secara Modern. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Saade, E. & S. Aslamyah. 2009. Uji Fisik dan Kimiawi Pakan Buatan untuk Udang Windu Penaeus monodon Fab. yang Menggunakan Berbagai Jenis Rumput Laut sebagai Bahan Perekat. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). Vol. 19 (2) : 107-115.
Slinger, S.J. 1973. Effect of Pelleting and Crumbling Method on the Nutritional Value of Feeds Prodedding of Symphosium Effect of Processing on the Nutritional of Feeds. natioNal Academi of Science .
Soemarto. 1983. Formula dan Pengujian Pellet Ikan Air Tawar. Bogor : citro abdika
Sukamto , Aji. 1995. Pengujian Mutu Pellet. Jakarta : granmedia
Thomas. 1997. Optimization Of Protein Content In Earthworm-Based Fish Feed Formulation For Catfish (Clarius gariepinus). Sains Malaysiana 41(9): 1071–1077.