abu sekam padi ada dalam bentuk amorf terhidrat. Tapi jika pembakaran dilakukan terus menerus pada suhu diatas 700°C akan menaikan kristalinitasnya dan akhirnya akan terbentuk fasa kristobalit dan tridimit dari A. silika. Hal ini juga dilaporkan Shinohara dan Kahyoma dalam Foletto (2006: 1.
Abu Sekam Padi 337) bahwa pada suhu tersebut tingkat kristalinitas yang dimiliki berada di Abu hasil pembakaran sekam padi, yang pada hakikatnya hanyalah bawah 5% (silika dalam fasa amorf). Sedangkan perlakuan pada suhu 1350°C limbah, ternyata merupakan sumber silika yang cukup tinggi. Pirolisis lebih mengandung 83% silika kristalin. lanjut dari hasil pembakaran sekam padi menunjukkan bahwa kandungan SiO 2 Gambar 1. Morfologi Abu sekam Padi (Putro, 2007: 35) mencapai 96.51%. Yang juga menarik, 15% berat abu akan diperoleh dari total Perbedaan komposisi di dalam abu sekam padi dapat terjadi karena berat sekam padi yang dibakar. Dari 5 gram sekam padi, jika dibakar sampai faktor geografis, tipe tanah, masa panen, preparasi sampel dan metoda 7000C, akan diperoleh 1 gram abu warna putih. penganalisaannya (Folletto, 2006: 336). Selain itu menurut de Souza (2002: Abu sekam padi adalah hasil pembakaran sempurna dari sekam padi. 446) komposisi organik dan anorganik dalam sekam padi juga bergantung pada Setiap pembakaran sekam padi akan dihasilkan sekitar 20% abu sekam. Abu iklim dan varietas padi yang digunakan. Adapun Komponen organik utama pada sekam padi mengandung sekitar 94% silika (SiO 2), 6% lainnya terdiri dari K 2O, sekam yang kering adalah 50% selulosa, 26% lignin dan 4% komponen organik CaO, MgO, MnO, Al 2O3, Fe2O3, ZrO, Mn2O3, P 2O5. Silika yang terdapat dalam seperti minyak, protein dan lainnya.
2.
Silika
menggunakan 4 elektron orbital d untuk berikatan secara tetrahedral. Oleh
Silika merupakan suatu unsur bersifat asam dari batuan silikat, granit dan
sebab itu SiO 2 membentuk struktur tiga dimensi yang tidak terbatas dengan
batuan lain yang sejenis terdiri dari 20 sampai 30% silikon. Silika merupakan
pengertian bahwa monomer tetrahedral dari silika (SiO 4) dapat berikatan
suatu senyawa yang dianalogkan dengan alumina dan kapur. Silika atau silikon
bersama dengan monomer lainnya dengan berbagi atom O. Oleh karena itu SiO 2
dioksida (SiO2) adalah oksida dari silikon yang terdapat di alam dalam dua
dapat mewakili keberadaan SiO 4
macam bentuk yaitu amorf dan kristallin. Silika kristallin terbagi dalam tiga
Gambar 2. Struktur monomer dan trimer silika ( PQ Coorporation, 2005
bentuk yaitu mineral quartz, kristobalite dan tridymite. Silika adalah komponen
:2)
terbesar dari batuan. Silika membentuk mineral dalam batuan magma dan
Struktur quartz dan bentuk lain dari silika biasa digambarkan sebagai
metamorf. Kandungan silika dalam kulit bumi adalah sekitar 75% dari
SiO4 tetrahedral dengan masing-masing atom oksigen bertindak sebagai sudut
keseluruhan komponen pembentuk kulit bumi. Silika juga merupakan
dari tetrahedral tersebut. Kristobalite dan tridymite hampir sama dengan SiO 4
komponen penting dari sediment dan tanah.
tetrahedral
Unsur pada golongan IV biasanya membentuk empat ikatan. Karbon dapa dapatt memb memben entu tukk ikat ikatan an gan ganda da dua dua p
dan dan d
maka maka CO CO2 adalah molekul
yang deskrit dan berbentuk gas. Silikon tidak dapat membentuk ikatan ganda dua melain melainkan kan denga dengan n ikatan ikatan p
dan d
dengan dengan tiap tiap atom siliko silikon n
yang
digabungkan
dengan
pemakaian
bersama
atom
oksigen,perbedaannya terletak pada susunan ruang tetrahedralnya (Missler and Tarr, 1991:621).
2.
Silika
menggunakan 4 elektron orbital d untuk berikatan secara tetrahedral. Oleh
Silika merupakan suatu unsur bersifat asam dari batuan silikat, granit dan
sebab itu SiO 2 membentuk struktur tiga dimensi yang tidak terbatas dengan
batuan lain yang sejenis terdiri dari 20 sampai 30% silikon. Silika merupakan
pengertian bahwa monomer tetrahedral dari silika (SiO 4) dapat berikatan
suatu senyawa yang dianalogkan dengan alumina dan kapur. Silika atau silikon
bersama dengan monomer lainnya dengan berbagi atom O. Oleh karena itu SiO 2
dioksida (SiO2) adalah oksida dari silikon yang terdapat di alam dalam dua
dapat mewakili keberadaan SiO 4
macam bentuk yaitu amorf dan kristallin. Silika kristallin terbagi dalam tiga
Gambar 2. Struktur monomer dan trimer silika ( PQ Coorporation, 2005
bentuk yaitu mineral quartz, kristobalite dan tridymite. Silika adalah komponen
:2)
terbesar dari batuan. Silika membentuk mineral dalam batuan magma dan
Struktur quartz dan bentuk lain dari silika biasa digambarkan sebagai
metamorf. Kandungan silika dalam kulit bumi adalah sekitar 75% dari
SiO4 tetrahedral dengan masing-masing atom oksigen bertindak sebagai sudut
keseluruhan komponen pembentuk kulit bumi. Silika juga merupakan
dari tetrahedral tersebut. Kristobalite dan tridymite hampir sama dengan SiO 4
komponen penting dari sediment dan tanah.
tetrahedral
Unsur pada golongan IV biasanya membentuk empat ikatan. Karbon dapa dapatt memb memben entu tukk ikat ikatan an gan ganda da dua dua p
dan dan d
maka maka CO CO2 adalah molekul
yang deskrit dan berbentuk gas. Silikon tidak dapat membentuk ikatan ganda dua melain melainkan kan denga dengan n ikatan ikatan p
dan d
dengan dengan tiap tiap atom siliko silikon n
yang
digabungkan
dengan
pemakaian
bersama
atom
oksigen,perbedaannya terletak pada susunan ruang tetrahedralnya (Missler and Tarr, 1991:621).
Mineral silika mempunyai berbagai sifat kimia diantaranya adalah
bidang lainnya. Salah satu pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah
sebagai berikut:
sebagai penyerap kadar air di udara sehingga memperpanjang masa simpan
a. Reaksi Asam bahan dan sebagai bahan campuran untuk membuat membuat keramik seni. Silika amorf Silika relatif tidak reaktif terhadap asam kecuali terhadap asam terbentuk ketika silikon silikon teroksidasi secara termal. Silika Silika amorf terdapat dalam hidrofluorida dan asam phospat. beberapa bentuk yang tersusun dari partikel-partikel kecil yang kemungkinan SiO2(s)+4HF (aq) (aq)
SiF 4(aq) 4(aq) + 2H2O(l) (Vogel, 1985:376) ikut tergabung. Biasanya silika amorf mempunyai kerapatan 2,21 g/cm3
Dalam asam berlebih reaksinya adalah: (Harsono, 2002: 99). SiO2 + 6HF
H2[SiF 6](aq) + 2H2O(l) (Vogel, 1985:376) 3.
Silikat
b. Reaksi basa Sekitar 95% batuan kerak bumi mengandung mengandung bermacam-macam Silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat, seperti dengan mineral silikat. Bentuk sederhana ion silikat seperti (SiO 4)4- ; zirconium silicate , hidroksida alkali. ZrSiO4, gemstone zircon , merupakan beberapa mineral yang mengandung ion SiO2(s) + 2NaOH(aq)
SiO32-(aq) + 2Na+ + H2O ini (Geoff, 1999: 279).
(Vogel,1985:374) Silikat merupakan suatu senyawa yang mengandung satu anion Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya dengan satu atau lebih atom silikon pusat yang dikelilingi oleh ligan sangat luas mulai dibidang elektronik, mekanik, medis, seni hingga bidangelektronegatif. Jenis silikat yang sering ditemukan umumnya terdiri dari silikon
dengan oksigen sebagai ligannya. Anion silikat dengan muatan listrik negatif
termasuk gel silika, zeolit, aluminosilikat, magnesium silikat, tanah liat sintesis,
harus mendapatkan pasangan kation lain untuk membentuk senyawa
keramik, dan katalis.
bermuatan netral. Silika atau silikon dioksida, dioksida , sering dianggap sebagai silikat,
Dalam larutan asam, ion silikat reaktif terhadap ion hydrogen
walaupun senyawa ini tidak bermuatan negatif dan tidak memerlukan ion
membentuk asam silikat, yang bila dipanaskan akan membentuk gel silica. Sifat
pasangan. Silika ditemukan di alam dalam bentuk mineral kuarsa kuarsa..
sodium silikat, atom silikatnya dapat digantikan oleh kation lainya, seperti Al, B.
Silikat adalah komponen penyusun kebanyakan mineral di kulit bumi.
Bila digantikan oleh Al dalam struktur tiga dimensi silikat maka akan
Lebih dari 92% volume lapisan kulit bumi tersusun atas kuarsa dan beberapa
membentuk natrium aluminosilikat yang dinamakan juga dengan zeolit (Kirk
mineral pembentuk silikat. Kebanyakan dari mineral silikat sukar larut karena
and Othmer; 1969).
memiliki struktur ionik dan memiliki energi ikatan Si-O (452 kj/mol) lebih tinggi dibandingkan ikatan Si-Si (222 kj/mol) (Elvers, 1989: 662-663). Kegunaan larutan alkali silikat dapat dibagi menjadi dua kategori: kategori: 1)
Sebagai bahan dasar
2)
Sebagai bahan tambahan Penggunaan bermacam-macam sifat silikat antara lain sebagai; sumber kebasaan dan buffer, system polimer anorganik dengan bahan perekat, bahan pengikat, dan kemampuan pembentuk film. Sejumlah besar
Aplikasi ini menggunakan anion silikat sebagai blok pembangun untuk
silikat digunakan dalam industri pengecoran logam. Silikat dipersiapkan oleh
membuat material silikat yang mengandung silica. Produk yang dihasilkan
reaksi dengan CO2, disemprotkan melalui campuran silikat-pasir. Cairan silikat
digunakan secara luas sebagai bahan perekat, konsumen terbesar adalah industri kayu dan kertas. 4.
a.
b. Kalsium silikat banyak digunakan untuk menghindari penggumpalan baking
Kalsium Silikat
powder dan mempunyai kemampuan untuk mengikat air. Selain mengikat air,
Wollastonite (CaSiO3) adalah senyawa silikat yang dihasilkan dari
kalsium silikat juga dapat mengikat minyak dan senyawa-senyawa non polar
reaksi antara kalsium karbonat dan silika. Reaksinya sebagai berikut: CaCO3
(s)
Sebagai salah satu bahan baku dalam industri semen.
+ SiO2
(s)
CaSiO3
(l)
+ CO2
1989:
(g)
lainnya. (Elver, 704)
c. Untuk sintesis gel silika karena merupakan senyawa silikat. Reaksinya sebagai berikut :
Adapun sifat fisika dan sifat kimia dari calsium silikat: a. Sifat Fisika Warna : Putih Titik Leleh : 1540°C Bau : Tidak berbau b. Sifat Kimia ak larut dalam air tetapi larut dalam HCl pH : 9,0 Mr : 116,2 Rumus Molekul : CaSiO 3 Kegunaan kalsium silikat adalah:
CaSiO3(aq) + HCl(aq) H2SiO3(aq) 5.
∆
H2SiO3(aq) + CaCl2(aq) SiO2.H2O(s)
Kalsium Karbonat Kalsium adalah unsur terbanyak kelima dibumi, sangat banyak terdapat sebagai kalsium karbonat dalam deposit masif kapur (chalk), gamping atau batu kapur (limestone), dan marmer yang tersebar secara meluas dimana-mana. Pembentukan batuan karbonat terjadi secara kimia, dengan turut sertanya
organisme di dalam batuan karbonat. Batu kapur terbentuk dalam laut yang
b.
sama, tetapi sebagai endapan sederhana karena kelarutan kalsium karbonat menjadi berlebihan dalam air tersebut sehingga terjadi reaksi pengendapan: Ca2+(aq) + CO32-(aq)
Titik leleh
Kegunaan kalsium karbonat adalah a.
Sebagai bahan dasar sintesis kalsium silikat. Reaksinya adalah:
CaCO3 (s) (Geoff-Canham, 1999:
216)
: 825°C
CaCO3 (s) + SiO2 (s)
CaSiO3 (l) + CO2 (g) (Elver, 1989: 704)
b.
Sebagai antacid, yaitu untuk mencegah keasaman
1.
Katalis
Adapun sifat kimia dan fisika kalsium karbonat: Sifat kimia
Katalis adalah zat yang ditambahkan ke dalam suatu reaksi dengan a.
Bereaksi
dengan
asam
kuat,
melepaskan
karbon
dioksida maksud memperbesar kecepatan reaksi. Katalis terkadang ikut terlibat dalam
CaCO3(s) + 2HCl(aq) → CaCl2(aq) + CO2(g) + H2O(l) (Lee, J.D, 1991 : 424) reaksi tetapi tidak mengalami perubahan kimiawi yang permanen, dengan kata b.
Kalsium karbonat bereaksi dengan air yang dicampur carbon dioksida lain pada akhir reaksi katalis akan dijumpai kembali dalam bentuk dan jumlah untuk membentuk larutan kalsium bikarbonat yang sama seperti sebelum reaksi. Fungsi katalis adalah memperbesar kecepatan
c.
CaCO3 + CO2 + H2O → Ca(HCO3)2 (Lee, J.D, 1991 : 424) reaksinya (mempercepat reaksi) dengan jalan memperkecil energi pengaktifan
Sifat Fisika: a.
Warna
suatu reaksi dan dibentuknya tahap-tahap reaksi yang baru. Dengan : Putih
menurunnya energi pengaktifan maka pada suhu yang sama reaksi dapat
berlangsung lebih cepat. Dengan kata lain penambahan katalis memberikan
dilakukan. Suatu katalis padat terdiri dari 3 komponen utama, yaitu (1) fasa
jalan baru bagi reaksi yang memiliki energi aktivasi yang lebih rendah, sehingga
aktif, (2) penyangga, dan (3) promotor. Fasa aktif berfungsi untuk mempercepat
lebih banyak molekul yang bertumbukan pada suhu normal dan laju reaksi
dan mengarahkan reaksi, penyangga berfungsi untuk memberikan luas
semakin cepat.
permukaan yang lebih besar bagi fasa aktif, dan promotor berfungsi untuk meningkatkan kinerja katalis. Fasa aktif dari katalis bisa menjadi tidak aktif
Gambar 3. Grafik energi aktivasi suatu reaksi. (Munyati, 2007) (terdeaktivasi) karena beberapa sebab seperti kehadiran CO, CO 2, dan senyawaBerdasarkan grafik tersebut dapat terlihat bahwa penggunaan katalis senyawa sulfur serta temperatur operasi yang terlalu tinggi (Hidayat, W., 2007) memberikan alternatif mekanisme lain yang energi aktivasinya lebih rendah Katalis dibedakan menjadi dua yaitu katalis dengan pengemban dan sehingga reaksi dapat berjalan dengan lebih cepat. Pembentukan kompleks tanpa pengemban. Pengemban katalis merupakan komponen terbesar dari teraktivasi akan lebih tercapai dengan penambahan katalis yang menyebabkan katalis yang menyangga situs aktif katalis. Pengemban katalis dalam penelitian reaksi dapat lebih cepat berjalan. ini dilakukan dengan mendispersikan katalis melalui mertoda impregnasi basah Berdasarkan fasanya, katalis bisa digolongkan menjadi 2 yaitu katalis yang mengakibatkan luas permukaan situs aktif katalis semakin luas. Situs aktif heterogen (fasa katalis tidak sama dengan campuran reaksi) dan homogen (fasa merupakan titik pada permukaan katalis yang membentuk ikatan kimia kuat katalis sama dengan campuran reaksi). Namun, katalis heterogen lebih disukai dengan atom atau molekul teradsorpsi. Peningkatan jumlah situs aktif karena proses pemisahan katalis dan hasil-hasil reaksi lebih mudah untuk mengakibatkan kontak reaktan dengan katalis menjadi semakin besar sehingga
reaksi akan berjalan dengan cepat. Selain itu biaya preparasi katalis menjadi
b. Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat satu reaksi di antara
lebih murah karena hanya sedikit logam aktif yang didispersikan ke suatu
beberapa reaksi yang terjadi sehingga produk yang diinginkan dapat diperoleh
permukaan.
dengan produk sampingan seminimal mungkin.
Pemilihan pengemban harus memperhatikan beberapa hal yaitu : a.
Memilih luas permukaan yang besar.
b.
Memiliki porositas yang baik.
c.
Memiliki adsoptivitas yang baik.
d.
Tahan panas.
e.
Stabil secara kimia.
f.
Reaktif.
c. Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas seperti pada keadaan semula. d. Yield, yaitu jumlah produk tertentu yang terbentuk untuk setiap satuan reaktan yang terkonsumsi. e. Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan selektivitas katalis seperti semula (Handoko, P. Setyawan D., 2003). Dewasa ini katalis heterogen merupakan material yang sangat
Untuk menilai baik tidaknya suatu katalis, ada beberapa parameter yang harus diperhatikan : a. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi produk yang diinginkan.
dibutuhkan oleh industri karena di samping fungsi utamanya untuk meningkatkan laju reaksi, katalis jenis ini memiliki berbagai keunggulan dibanding dengan katalis homogen, antara lain efisiensinya yang tinggi, kemudahan untuk digunakan dalam berbagai media, kemudahan pemisahan katalis dari campuran reaksi, dan penggunaan ulang katalis (Kamisah. D.P,
2008). Katalis heterogen terdiri dari penyangga dan gugus aktif (dopan), yang
Penelitian tentang sintesis katalis Ni/SiO 2 yang telah dilakukan
keduanya merupakan penentu peruntukan dan unjuk kerja suatu katalis. Karena
sebelumnya oleh Ridla Bakri, dkk (2007) telah mensintesis katalis Ni/SiO 2 yang
peranan kedua komponen tersebut, pengembangan katalis heterogen dewasa ini
menggunakan kaolin sebagai sumber SiO 2. Untuk mendapatkan SiO2 sampel
diarahkan pada penggunaan berbagai jenis penyangga seperti, alumina,
kaolin dipanaskan pada suhu 800°C selama 6 jam untuk diubah menjadi kaolin
magnesia dan silica, serta penggunaan berbagai jenis dopan, terutama logam
meta stabil, karena pada suhu tersebut ikatan Si-O-Al menjadi lemah. Setelah
aktif seperti Ti, Zn, Ni, Cu, Fe dan Co, dan campuran logam.
ikatan Si-O-Al lemah, dengan penambahan asam kuat diharapkan Si dapat
Aspek penting dalam teknologi katalis heterogen adalah metode
terpisah dari Al. Untuk itu kaolin metastabil direfluks dengan aqua regia
preparasi katalis, yang pada hakekatnya bertujuan untuk mendapatkan katalis
(campuran HNO3 dan HCl pekat). Hasil refluks diperoleh endapan SiO 2 dan
yang mengandung dopan dengan jumlah yang cukup dan terdistribusi secara
larutan berwarna kuning kehijauan yang mengandung senyawa dari logam –
merata pada permukaan penyangga. Jumlah dopan perlu dikontrol untuk
logam pengotor seperti Al, Fe, Mn, Mg, P, Ca, dan K yang terdapat dalam kaolin.
mendapatkan jumlah situs aktif yang optimal dan distribusi dopan yang merata
Silika yang dihasilkan dari kaolin dapat diubah menjadi silikat dengan
diperlukan agar katalis mempunyai unjuk kerja yang konsisten. Untuk tujuan
mereaksikannya dengan Na2CO3 yang difurnance pada suhu 1400-1500°C
tersebut berbagai teknik telah dikembangkan, meliputi metode impregnasi,
yang
pertukaran ion dan metode sol-gel (Pandiangan, D. Kamisah, 2008).
air.
2.
Reaksi Sintesis Katalis Ni/SiO 2
menghasilkan Na2SiO3
SiO2(s) +Na2CO3(s)
(waterglass )
yang
mudah
Na2SiO3(s) + CO2(g)
larut
dalam
Na2SiO3 yang dihasilkan dilarutkan kedalam air kemudian ditambahkan sedikit
Na2SiO3(aq) + Ni(NO3)2
∆
2Na+ + 3NO3- + SiO2NiO(s)
demi sedikit HNO 3 untuk mendapatkan silika hidrosol, H2SiO3. Setelah
Sedangkan pada penelitian ini, diperoleh katalis Ni/SiO 2 dengan reaksi sebagai
didiamkan selama 2 malam silika hidrosol akan mengalami proses membentuk
berikut,
gel yang kenyal (silika hidrogel), yang kemudian dikeringkan pada suhu 110°C
CaCO3
agar terbentuk silika gel.
∆
+ SiO2
CaSiO3
(s)
(l)
+ CO2
(g)
(Elver,
1989: 704)
Na2SiO3(aq) + HNO3(aq) H2SiO3(s)
(s)
H2SiO3(l) + NaNO3(aq) SiO2.H2O(s)
CaSiO3 (l) + 2HCl(aq)
(R. Bakri, 2007: 36-40)
H2SiO3(l) + NiCl2(aq)
H2SiO3(l) + CaCl2 ∆
NiOSiO2 (s) + 2HCl(aq)
Selanjutnya katalis Ni/SiO 2 dibuat dengan 2 cara yaitu : 1)
Katalis a (Ka) dibuat dengan cara merendam silika gel dalam larutan Ni(NO3)2 dengan harapan logam Ni akan terdistribusi merata di permukaan silika gel. 3. SiO2.H2O(s) + Ni(NO 3)2(aq)
∆
Kajian Termodinamika
SiO2NiO(s) + 2HNO3(g) Termodinamika dapat digunakan untuk menentukan kespontanan
2)
Katalis b (Kb) dibuat dengan menambahkan larutan larutan Ni(NO3)2 ke dalam reaksi kimia. Proses pembentukan suatu senyawa dapat diketahui melalui aspek waterglass (Na 2SiO3) dan diperoleh logam Ni ikut serta dalam proses termodinamika. Aspek termodinamika tersebut adalah entalphi ( ∆Hf °), entropi polimerisasi asam silikat, sehingga Ni akan terdistribusi tidak hanya (∆S°), dan energi bebas Gibbs ( ∆Gf °). Entalpi adalah kandungan kalor sistem dipermukaan tetapi juga didalam strukturnya. dalam tekanan tetap, perubahan ∆H bernilai negatif untuk reaksi eksoterm, dan
positif untuk reaksi endoterm. Entalpi reaksi standar, ∆H0, adalah perubahan
Spontanitas reaksi bergantung pada temperatur (T), entropi (S°), energi
entalpi dari 1 mol reaktan dan produk pada keadaan standar (105 Pa dan
bebas Gibbs ( ∆G) dan entalphi (∆H). seperti yang terlihat pada persamaan
298.15 K). Entalpi pembentukan standar, ∆Hf 0, suatu senyawa adalah entalpi
berikut ini,
reaksi standar untuk pembentukan senyawa dari unsur-unsurnya. Karena
∆G
entalpi adalah fungsi keadaan, entalpi reaksi standar dihitung dengan
= ∆H – T∆S Secara termodinamika tanda ∆G mempunyai arti penting. Harga energi
mendefinisikan entalpi pembentukan zat sederhana (unsur) bernilai nol.
bebas Gibbs ( ∆G) suatu reaksi adalah negatif pada temperatur 298 K dan
Dengan demikian: (T. Saito, 2009)
tekanan 1 atm maka senyawa tersebut dikatakan stabil, berarti merupakan
Entropi adalah fungsi keadaan, dan merupakan kriteria yang
reaksi spontan sehingga dapat berlangsung reaksi. Harga
∆G
menentukan apakah suatu keadaan dapat dicapai dengan spontan dari keadaan
positif berarti reaksi tidak spontan, sedangkan harga
adalah nol berarti
lain. Hukum ke-2 termodinamika menyatakan bahwa entropi, S, sistem yang
reaksi dalam keadaan setimbang. Beberapa sifat termodinamika dari unsur dan
terisolasi dalam proses spontan meningkat. Dinyatakan secara matematis yaitu,
senyawa anorganik dilihatkan sesuai tabel di bawah ini.
∆S > 0. Proses yang secara termodinamika ireversibel akan menghasilkan
Tabel 1. Sifat termodinamik beberapa unsur dan senyawa anorganik ∆
∆
∆G
reaksi adalah
entropi. CaCO3 calcite Aragonite
c
-288,45 -288,49
-269,78 -269,53
22,2 21,2
CaSiO3 α β, wolastonite
c c
-337,4 -378,6
-357,4 -358,2
20,9 19,6
NiCl2.6H2O
c
-502,67
409,54
82,3
SiO2 quartz Kristobalite Tridimite
c c c
-271,72 -271,37 -271,27
-204,75 -204,56 -204,42
10,00 10,20 10,4
H2SiO3 undissoc.std.state m=1
Aq
-282,7
-258,0
26
10,62 10,56 10,66
Gambar 4. Diagram difraksi Bragg (Anthony. R.W, 1995) Difraktometer sinar-X merupakan suatu teknik uji tak merusak yang berguna untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif dari berbagai bentuk kristalin yang dikenal sebagai “phase” dalam bentuk cuplikan serbuk maupun
(Dean. J. A, 1973 : 12-46) padatan. Keuntungan utama penggunaan sinar-X dalam karakterisasi material adalah kemampuan penetrasinya, sebab sinar-X memiliki energi sangat tinggi 1.
Difraktometer Sinar-X
akibat panjang gelombangnya yang pendek.
Difraktometer Sinar-X adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk Sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang melihat difraktogram (pola difraksi sinar-X) suatu padatan kristal yang bila 0,5-2,0 mikron. Sinar ini dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron diberi sinar-X. Suatu kristal memiliki bidang yang dibentuk oleh atom-atom berenergi tinggi. Elektron itu mengalami perlambatan saat masuk ke dalam yang tertata secara teratur akan memilik jarak bidang tertentu (d) dan sudut logam dan menyebabkan elektron pada kulit atom logam tersebut terpental difraksi tertentu (2 θ). Hubungan antar panjang gelombang sinar-X (λ ) pada membentuk kekosongan. Elektron dengan energi yang lebih tinggi masuk ke bidang kristal dengan jarak antar bidang (d) dan sudut difraksi( θ), tingkat tempat kosong dengan memancarkan kelebihan energinya sebagai foton sinardifraksi (n), dapat dijelaskan oleh Gambar 4 dan persamaan Bragg berikut: X. n.λ = 2d. sinθ
Metode difraksi sinar X digunakan untuk mengetahui struktur dari lapisan tipis
Pada dasarnya Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (disingkat
yang terbentuk. Sampel diletakkan pada sampel holder difraktometer sinar X.
FTIR) adalah sama dengan Spektrofotometer Infra Red dispersi, yang
Proses difraksi sinar X dimulai dengan menyalakan difraktometer sehingga
membedakannya adalah pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas
diperoleh hasil difraksi berupa difraktogram yang menyatakan hubungan antara
sinar infra merah melewati sampel. Fourier Transform Infrared Spectroscopy
sudut difraksi 2θ dengan intensitas sinar X yang dipantulkan.
(FTIR) adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi
Untuk difraktometer sinar X, sinar X terpancar dari tabung sinar X. Sinar X didifraksikan dari sampel yang konvergen yang diterima slit dalam posisi simetris dengan respon ke fokus sinar X. Sinar X ini ditangkap oleh detektor sintilator dan diubah menjadi sinyal listrik. Sinyal tersebut, setelah dieliminasi komponen noisenya, dihitung sebagai analisa pulsa tinggi. Teknik difraksi sinar x juga digunakan untuk menentukan ukuran kristal, regangan kisi, komposisi kimia dan keadaan lain yang memiliki orde yang sama.
material organik dan beberapa material anorganik. Teknik pengukuran FTIR adalah berdasarkan penyerapan pada panjang gelombang pada daerah infra merah tertentu oleh suatu material. Pita serapan infra merah pada FTIR secara khusus mengidentifikasi
komponen molekul dan struktur molekul (S,
Giwangkara EG, 2007). Selanjutnya pada sistim optik peralatan instrumen FTIR dipakai dasar daerah waktu yang non dispersif. Sebagai contoh aplikasi pemakaian gelombang radiasi elektromagnetik yang berdasarkan daerah waktu adalah interferometer
2.
Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
yang dikemukakan oleh Albert Abraham Michelson (Jerman, 1831). Perbedaan sistim optik Spektrofotometer IR dispersif ( Hadamard Transform ) dan
Interferometer Michelson pada Spektrofotometer FTIR (Fourier Transform )
ikatan tertentu akan menyerap radiasi dengan panjang gelombang tertentu
tampak pada gambar berikut :
tergantung pada mode vibrasi molekul tersebut. Tipe ikatan yang berlainan akan menyerap radiasi infra merah yang berlainan pula (Fessenden, 1999:315).
Gambar 5. Perbedaan sistim optik Spektrofotometer IR dispersif (Hadamard Transform ) dan Interferometer Michelson pada Spektrofotometer FTIR (Fourier
Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red :
Transform ) (S, Giwangkara EG, 2007). Sistim optik Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red seperti pada gambar Menurut Hamdan (1992:37-38), spektroskopi inframerah dapat
di bawah ini dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin
digunakan untuk mengidentifikasi ikatan dalam struktur tiga dimensi silika
yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan
karena ikatan O-Si-O dapat mengalami vibrasi jika menyerap radiasi
jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak ( M ) dan jarak cermin yang
inframerah: Vibrasi Ulur Asimetrik gugus O-Si-O, jika menyerap radiasi
diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya
inframerah pada 1250-900 cm-1. Vibrasi Ulur Simetrik gugus O-Si-O jika
disebut sebagai retardasi ( δ ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang
menyerap radiasi inframerah pada 680-850 cm -1. Vibrasi Tekuk gugus Si-O jika
diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan
menyerap radiasi inframerah pada 420-500 cm -1.
sistim optik dari Spektrofotometer Infra Red yang didasarkan atas bekerjanya
Radiasi infra merah yang diserap oleh suatu molekul menyebabkan kenaikan amplitude vibrasi atom-atom yang terikat satu sama lain. Suatu tipe
interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red (S, Giwangkara EG, 2007).
Secara keseluruhan, analisis menggunakan Spektrofotometer FTIR memiliki dua Gambar 6. Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (S, Giwangkara EG, 2007).
kelebihan utama dibandingkan metoda konvensional lainnya, yaitu :
Pada sistim optik Fourier Transform Infra Red digunakan radiasi LASER
1. Dapat digunakan pada semua frekwensi dari sumber cahaya secara
(Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi
simultan sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada
sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal
menggunakan cara sekuensial atau scanning.
radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik.
2. Sensitifitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara
Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red
dispersi, sebab radiasi yang masuk ke sistim detektor lebih banyak
adalah Tetra Glycerine Sulphate (disingkat TGS) atau Mercury Cadmium
karena tanpa harus melalui celah (slitless ) (S, Giwangkara EG, 2007).
Telluride (disingkat MCT). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena R. Bakri, dkk (2008) telah mensintesis katalis Ni/SO 2 dari silika yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan bersumber dari kaolin. Hasil analisis spektrum FTIR untuk katalis tersebut respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, disajikan dalam gambar berikut. tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah (S, Giwangkara EG, 2007). Keunggulan Spektrofotometer FTIR
Gambar 7. Spektra FTIR dari Ka-1 (Bakri, 2008: 41)
3.
Spektrum FTIR di atas menunjukkan bahwa produk katalis
sifat unsurnya. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak
mengandung gugus hidroksil (-OH pada 3.200-3.600 cm-1) yang berasal dari
energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikan tingkat energinya ketingkat
silanol dan dari air yang terabsorpsi, dan silikat (Si-O-Si pada 965 ; 1.088 cm-1 ;
eksitasi. Keberhasilan analisis ini tergantung pada proses eksitasi dan
Si- OH pada 1.630 cm-1 dan O-Si-O pada 460 cm-1).
memperoleh garis resonansi yang tepat. Skema alat SSA ditunjukkan pada
Spektrofotometer Serapan Atom
gambar di bawah.
Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah Spektrofotometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog et. al., 1998).
Gambar 8. Skema alat SSA (Renzo, Di Mauro : 1995)
Metode SSA berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom
Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada
menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada
suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka
sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi diturunkan dari:
A = Absorbans. Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya berbanding lurus dengan konsentrasi atom (Day & Underwood, 1989).
a. Hukum Lambert : Bila suatu sumber sinar monokromatik melewati medium transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorpsi. b. Hukum Beer : Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut. Dari kedua hukum tersebut diperoleh suatu persamaan: It = Io.e-εbc, atau A = - Log I t/Io = εbc Dimana : Io = Intensitas sumber sinar It = Intensitas sinar yang diteruskan ε = Absortivitas molar
b = Panjang medium c = Konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar
Abu sekam memiliki fungsi mengikat logam berat. Selain itu sekam berfungsi untuk menggemburkan tanah sehingga bisa mempermudah akar tanaman menyerap unsur hara di dalamnya. sehingga masih tetap terlu campuran media lain dalam media tanaman tersebut. bagus di campur dengan kompos. sekam ada dua jenis yang dipakai untuk tanaman hias, pertama yang hangus 50% untuk media tanam atau dicampur, tapi untuk semai bibit, adenium missalnya kurang baik, kedua yang hangus 100% ini baik untk media atau campuran dan juga baik untuk semai, lebih steril, soal kelembaban saat membuat tidak perlu diperhatikan, tapi saat aplikasinya ketanaman asal jangan becek aja. semua tanaman bisa tumbuh baik dg sekam bakar, keuntungan pakai media tanama sekam bakar adalah steril, poros, banyak unsur hara, ringan untuk mobilisasi, tapi harganya terbilang mahal, karena proses pembuatanya memakan waktu dan bahan bakar yang banyak. Juga, bahan organik dan merupakan kompos bagi tanah. yang namanya bahan organik itu berfungsi memperbaiki sifat tanah dan membantu mengikat unsur nitrogen, fospor, dan kalium (NPK) dalam tanah agar tidak lari kemana2 karena kalo unsut2 tsb lari, tanaman akan kekurangan. tanpa tanahpun dia akan berfungsi menahan unsur2 tadi, makanya tanaman bisa hidup jika ditanam di sekam atau abu sekam. tapi ingat, kandungan unsur hara sekam itu tak sebanyak yang ada di pupuk buatan, maka penggunaan yang terbaik adalah dengan mencampur antara
kompos (misalnya sekam) dan pupuk buatan, dengan intensitas sesuai kebutuhan tanah. Tahukah kalian:Ternyata abu sekam padi ini sangat kaya akan silica (Si) yang dalam oksidanya dikenal dengan silica dioxide. Sebenarnya penggunaan silica dalam dunia konstruksi khususnya teknologi beton sudah mulai dipakai sebagai bahan tambah. Hebatnya silica yang dari abu sekam padi ini tidak kalah dengan silica fume yang harganya cukup tinggi. Namun sayangnya, pertumbuhan tanaman padi dewasa ini telah berganti dengan pertumbuhan beton dan bata. Sehingga prospek usaha untuk pengembangan silica dari abu sekam padi akan semakin suram. Dari penelitian yang dilakukan secara intensif sejak tahun 1997 hingga 2005, didapat kesimpulan akhir bahwa abu sekam padi ini sangat potensial digunakan dalam bidang geoteknik terutama untuk perbaikan tanah. Dengan sedikit memberikan sentuhan iptek pada proses pembakaran, kandungan silica yang dihasilkan dapat mencapai diatas 90%. Sunggung nilai yang fantastis bukan. Dari catatan, 1995-2001, produksi sekam padi di Indonesia adalah bisa mencapai 4 juta ton per tahunnya. Berarti abu sekam yang dihasilkan 400 ribu ton per tahun. Inikan bisa menjadi nilai bagi para petani padi, jika ia tahu akan manfaatnya.
EKSTRAKSI SILICA (SiO2) DARI ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKU PENGUAT KOMPOSIT BERMATRIKS ALUMUNIUM (AMCs) UNTUK APLIKASI BAHAN KOMPONEN OTOMOTIF
Dewasa ini, perkembangan teknologi komposit, khususnya metal matrix composite (MMCs) semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi industri otomotif. Penggunaan baja sebagai bahan suku cadang dan komponen otomotif mulai digantikan dengan bahan komposit dimana memiliki sifat mekanik dan ketahanan korosi yang lebih baik. Metalurgi serbuk (powder metallurgy) merupakan salah satu metode pembuatan MMCs yang paling banyak digunakan dalam pembuatan komponen industri otomotif karena menawarkan efisiensi bahan baku dan energi yang lebih baik dibandingkan dengan metode produksi lainnya. Penerapan teknologi MMCs dalam industri otomotif di Indonesia, khususnya yang berbasis powder metallurgy masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi komponen otomotif dalam negeri yang masih rendah, yaitu sebesar 200 produk dibandingkan dengan Thailand yang sudah memiliki 1.500 produk industri komponen. Padahal, kebutuhan komponen otomotif dalam negeri, baik untuk kendaraan baru maupun untuk spare parts cukup besar karena menurut data statistik tahun 2006, jumlah
populasi kendaraan bermotor roda empat di tanah air adalah 9.461.984 unit, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua adalah 23.312.945 unit. (http://www.bppt.go.id/). Kekayaan SDA nasional sebenarnya menawarkan potensi pengadaan material – material yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan MMCs untuk mendukung kemajuan industri otomotif dalam negeri. Salah satunya adalah sekam padi dimana berdasarkan penelitian, (Houston, 1972; Hara,1986; Shofiatun, 2000 dalam Harsono, 2002), diketahui banyak mengandung bahan keramik silika (SiO2). Harga sekam padi di pasaran cukup murah, dan ketersediannya di alam juga melimpah. Di wilayah Jawa Timur saja, potensi sekam padi yang dapat dihasilkan dapat mencapai 3,2 juta ton tiap tahunnya. Akan tetapi, dari jumlah ini hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan. Selama ini, sekam padi sering hanya digunakan sebagai bahan pembakar bata merah atau dibuang begitu saja. (Pakpahan, 2006). Padahal bahan SiO2 yang terkandung dalam sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan penguat pada MMCs. Proses ekstraksi silika dilakukan terhadap abu sekam padi yang merupakan hasil proses pembakaran sekam padi. Terdapat beberapa metode pemurnian silika dari sekam padi mulai dari yang mahal hingga yang murah dan sederhana. (Harsono, 2002; Mittal, D., 1997). Harsono (2002) melakukan ekstraksi silika dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses. Proses tersebut meliputi pengeringan, pengabuan, pengarangan, pengasaman, dan identifikasi unsur. Silika (SiO2) memimilki kekerasan, sifat tahan aus, ketahanan
termal dan kekakuan yang tinggi. Apabila material ini digunakan sebagai penguat dan dipadukan dengan aluminium sebagai matriks maka akan dapat dihasilkan komposit yang memiliki kekuatan serta ketahanan korosi tinggi, ringan serta machinability yang baik. Jenis MMCs yang bermatriks alumunium seperti ini disebut AMCs (Alumunium Matrix Composite). Aplikasi AMCs pada komponen otomotif diantaranya pada cylinder liner, disc brake, drum brake, dan engine piston. (Schumacher.C., 1991). Penelitian terhadap AMCs berpenguat SiO2 pernah dilakukan sebelumnya oleh Gregolin (2002). Bahan SiO2 yang digunakan merupakan bahan non sintetik yang diambil dari endapan mineral yang terdapat di pegunungan Brazil yang disebut spongilites. Komponen yang terkandung pada mineral ini adalah silika (> 90 %), Al2O3 (< 0,5 %), dan Fe2O3 (dapat mencapai hingga 1 persen) serta mempunyai struktur kristal campuran amorf dan kristalin. Selama proses heat treatment pada suhu 600 oC diketahui terbentuk struktur co – continuous AlSi/Al2O3 pada interface dimana mampu menambah kekuatan ikatan antar muka antara partikel matriks dan penguat pada komposit. Pada kegiatan ini akan diteliti pengaruh besar temperatur pengabuan sekam padi terhadap kandungan SiO2 dan fasa – fasa lain yang dihasilkan. Temperatur pengabuan divariasikan pada tempertur 600, 750, dan 900 oC. Dari variasi temperatur pengabuan ini dikatahui juga akan berpengaruh terhadap karakteristik kristal SiO2 yang terbentuk dimana kemudian akan ditinjau pengaruhnya terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada partikel komposit. Fraksi volume penguat
SiO2 divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen. Sifat mekanik komposit perlu juga diukur untuk mengetahui apakah komposit Al/SiO2 ini layak untuk diaplikasikan sebagai bahan komponen otomotif.
2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit. 3. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.
Permasalahan yang diangkat pada program ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan. 2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit. 3. Bagaimana pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.
Luaran yang diharapkan dari program ini adalah diperoleh suatu teknik rekayasa material baru yang berbasis metal matrix composites melalui metode powder metallurgy dengan memanfaatkan bahan – bahan SDA nasional. Seperti diketahui Indonesia memiliki kekayaan bahan tambang seperti bijih bauskit yang merupakan bahan baku alumunium serta kuantitas sekam padi yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mendorong adanya penelitian – penelitian untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi keberadaan bahan – bahan tersebut melalui pengembangan teknologi rekayasa material yang murah dan sederhana seperti yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Besar harapan agar dari teknologi tersebut nantinya bangsa Indonesia mampu memproduksi bahan komponen dan suku cadang otomotif secara mandiri.
Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengkaji pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
Kegunaan dan manfaat dari program penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Memberikan solusi upaya peningkatan nilai fungsi serta nilai jual sekam padi yang selama ini kurang mampu dimanfaatkan secara
maksimal sehingga diharapkan nantinya dapat meningkatkan taraf hidup petani. 2. Memberikan bahan masukan dalam upaya pengembangan industri otomotif dalam negeri yang bertujuan meningkatkan kemampuan memproduksi komponen otomotif dan suku cadang secara mandiri. 3. Dapat dijadikan referensi atau acuan pembuatan komposit bermatriks alumunium (Al) dengan penguat silika (SiO2) yang dapat diaplikasikan dalam bidang otomotif dengan metode metalurgi serbuk misalnya pada pembuatan automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets. 4. Dapat digunakan sebagai bahan referensi pada penelitian – penelitian selanjutnya yang sejenis.
penguatnya tersebar merata pada matriks, sehingga distribusi penguatannya sama ke segala arah. Komposit partikulat pada umumnya keuletan (ductililty) dan ketangguhannya (failure thoughness) menurun dengan semakin tinggi fraksi volume penguatnya. (Froyen dan Verlinden, 1994).
Komposit adalah gabungan dari dua material atau lebih yang berbeda secara makroskopis, dimana sifat yang dihasilkan merupakan perpaduan sifat dari elemen penyusunnya. Material pembentuk komposit ada dua yaitu matriks dan penguat (reinforcement). Matriks merupakan bahan yang berperan sebagai penyangga dan pengikat bahan penguat. Matriks memiliki karakteristik lunak, ulet, berat per satuan volume yang rendah serta modulus elastisitas yang lebih rendah dari penguatnya. Antara partikel matriks dan penguat harus memiliki kemampuan mengikat dan atau memberikan ikatan antar muka (interface bonding) yang kuat satu sama lain. (Jones, R. M., 1975)
Salah satu contoh dari MMCs yang paling banyak penggunaannya adalah AMCs dimana bahan logam alumunium bertindak sebagai matriks. Pemanfaatan AMCs dalam industri otomotif memiliki beberapa alasan yaitu untuk meningkatkan temperatur operasi mesin, memperbaiki properti (tahan aus), meningkatkan kekakuan dan kekuatan, serta mereduksi berat bagian mesin. (Schumacher.C., 1991).
Metal Matrix Composites (MMCs) merupakan salah satu jenis komposit dimana matriks yang digunakan adalah dari bahan logam. MMCs tergolong ke dalam komposit partikulat dimana termasuk komposit isotropik karena partikel
Pada komposit partikulat, nilai modulus elastisitasnya secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Halpin-Tsai (Cawla, 1987), yaitu:
MMCs dapat dibuat dengan menggunakan metode peleburan atau dengan metalurgi serbuk (powder metallurgy). Metode peleburan dilakukan dengan memasukkan komponen penguat yang memiliki titik leleh lebih tinggi ke dalam komponen matriks yang dilelehkan. Pencampuran ini disertai dengan pengadukan untuk diperoleh penguat yang tersebar lebih merata pada matriks kemudian dituang atau dicetak ke dalam cetakan.
Sedangkan pada metode metalurgi serbuk terdapat beberapa tahapan proses yang meliputi pencampuran, penekanan dan sintering. (Hirschhorn, J. S., 1976). Pencampuran adalah penggabungan dua bahan serbuk atau lebih dengan komposisi tertentu untuk memperoleh struktur komposit yang isotropik. Penekanan merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk menjadi bentuk tertentu yang sesuai dengan cetakannya (dies). Sintering merupakan teknik untuk memproduksi material dengan densitas yang terkontrol melalui aplikasi termal. Teknik sintering menawarkan kemudahan dalam desain kontrol mikrostruktural yaitu kontrol ukuran butir (grain size), densitas pasca sintering (sintered density), ukuran dan distribusi fase lain termasuk pori (pores). (Kang Suk – Joong., 2005). Sintering umumnya dilakukan pada temperatur konstan dengan waktu tahan (holding time) yang bervariasi untuk mendapatkan hasil tertentu. Proses metalurgi serbuk merupakan proses fabrikasi yang sangat efektif dari segi biaya (cost effective). Metalurgi serbuk juga menawarkan efisiensi bahan baku yang sangat tinggi dengan komposisi matriks dan reinforced yang bervariasi.(Fogagnolo.J.B., 2004.). Gambar 2.1 menunjukkan efisiensi bahan baku dan efisiensi energi dari metode powder metallurgy dibandingkan metode manufaktur lainnya. Keunggulan lainnya adalah banyaknya variabel proses yang dapat dikontrol, sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan. Untuk itu, penggunaan metode powder metallurgy perlu menjadi pertimbangan mengingat aplikasinya terhadap dunia otomotif yang mensyaratkan standar keamanan yang tinggi. Gambar 2.2 menunjukkan persentase aplikasi powder metallurgy pada berbagai jenis.
Kelemahan dari metode ini adalah tidak bisa digunakan pada proses pembuatan benda – benda yang mempunyai dimensi relatif besar. Hal ini membuat motode metalurgi serbuk cocok untuk digunakan dalam pembuatan komponen otomotif dan suku cadang otomotif yang mempunyai dimensi relatif kecil. Misalnya pada automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
Pada tahun 1980-an, industri transportasi mulai mengembangkan AMCs berpenguat discontinuous. Keunggulan AMCs ini adalah karakteristik mekaniknya yang isotropik dan biaya proses pembuatan dan bahan penguat discontinuous seperti SiC dan Al2O3 yang murah. Pada Gambar 2.1 disajikan beberapa contoh produk AMCs dalam aplikasi industri transportasi : (a) Brake rotor pada kereta api kecepatan tinggi dari Jerman, ICE – 1 dan ICE – 2 yang dikembangkan oleh Knorr Bremse AG dan dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat (AlSi7Mg + SiC partkulat). Dibandingkan dengan komponen konvensional yang terbuat dari besi tuang dengan berat 120 kg/komponen, produk AMCs ini jauh lebih ringan yaitu sebesar 76 kg/komponen. (b) braking system (disc, drum, dan caliper) dari New Lupo untuk Volkswagen yang dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat. (c). Pushrod AMCs berpenguat serat continuous yang diproduksi oleh 3M untuk mesin balap. Pushrod – pushrod tersebut mempunyai berat 40% dari berat baja, selain itu juga lebih kuat dan kaku, serta mempunyai kemampuan meredam getaran yang lebih baik. (d) Kawat AMCs juga dikembangkan oleh 3M untuk core dari konduktor listrik. (Froyen,L., Verlinden,B., 1994). MPIF (Metal Powder Industry Federation) melaporkan beberapa produk komponen otomotif terbaik di dunia yang dibuat dengan teknik powder metallurgy. (ASM Handbook, Vol 7). Salah satunya adalah auto transmission sprockets (Gambar 2.2) yang diproduksi oleh Stackpole Limited Automotive Gear Division yang berbahan dasar ferrous. Komponen – komponen tersebut mempunyai kekeuatan tarik sebesar 860 MPa (125 ksi), tegangan luluh 825 MPa (120 ksi), serta kekerasan permukaan lebih dari 60 HRC.
Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 – 35 persen dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih lima belas persen dari komposisi sekam padi adalah abu sekam. (Hara, 1986 dalam Harsono 2002). Tabel 2.1 menunjukkan analisis proksimasi kandungan komponen fisik sekam padi.
Harsono (2002), mensintesa silika dioksida (amorf) dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses, yaitu pencucian, pengeringan, pengabuan, pengarangan, dan pengasaman. Kandungan SiO2 tertinggi diperoleh dengan pengeringan dengan sinar matahari selama 1 jam yaitu sebesar 89,46 persen, dibandingkan dengan pengeringan dalam oven (190 oC) selam 1 jam yang sebesar 83,15 persen. Persentase bobot yang hilang dari sekam padi setelah proses pembakaran adalah antara 78,78 80,2 persen. – Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 90 – 96 %. Silika yang terdapat dalam sekam memiliki struktur amorf terhidrat ( Houston, 1972 dalam Harsono, 2002). Apabila pembakaran dilakukan pada suhu di atas 650 oC, kristalinitas SiO2 akan meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit (Hara,1986 dalam Harsono 2002).
Penelitian Hwang C. L. (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan sekam dalam oven akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi. Temperatur optimal adalah 1.000 oC dengan kandungan silika maksimal 95,48 persen. Selain silika yang kandungannya dominan terdapat zat – zat lainnya yang terkandung dalam abu sekam yang dapat disebut sebagai zat pengotor (impurities). Apabila diurut dari kandungannya yang tertinggi, zat – zat tersebut yaitu : K2O, CaO, MgO, SO3, Na2O, dan Fe2O3. Komposisi kimia abu sekam setelah proses pemurnian pada perlakuan temperatur berbeda ditunjukkan oleh Tabel 2.2. Silika (SiO2) dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode vickers atau knoop) adalah sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya adalah sebesar 790 kg/mm2. (Mantell, C. L., 1958). Gambar 2.3 Berikut adalah diagaram fase SiO2 polimorf.
dilakukan cold compaction sebesar 100 MPa kemudian disinter dengan temperatur sebesar 450 oC dan waktu tahan 4,5 jam. Hot extrusion dilakukan untuk mereduksi diameter penampang spesimen yang dihasilkan dari 100 mm menjadi 18 mm. Pada spesimen lalu dilakukan heat treatment pada temperatur 600 oC dengan variasi waktu tahan dan media pendingin air.
Pada AMCs, pemanfaatan silika masih belum dikaji secara optimal karena selama ini diketahui memiliki reaktifitas yang tinggi terhadap alumunium. Kontak antara leburan alumunium dengan silika akan merusak struktur silika berdasarkan reaksi reduksi : 4Al + 3SiO2 2Al2O3 + 3Si → Bahkan, proses pencampuran kedua material tersebut pada temperatur 400 oC sudah dapat memicu terjadinya reaksi reduksi tersebut dimana terbentuk struktur material yang disebut co – continous microstructure AlSi/Al2O3 pada interface antara penguat dan matriks. Gregolin E. N., (2002) melakukan penelitian tentang AMCs dengan memanfatkan SiO2 sebagai penguat. Proses pembuatannya dilakukan dengan metode powder metallurgy. Setelah proses mixing dilakukan, pada bahan
Dari analisa struktur mikro dengan menggunakan SEM diketahui terbentuk bentuk fase co – continuous pada permukaan partikel penguat seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah B meruapakan daerah dimana terjadi reaksi antara penguat dan matriks. Warna abu – abu gelap pada wilayah batas butir di wilayah B menunjukkan tigginya kandungan Si di wilayah tersebut. Struktur co – continuous tersebut (wilayah B) akan makin dominan seiring penambahan temperatur dan waktu tahan pada proses pemanasan hingga reaksi berhenti pada saat seluruh penguat telah bertransformasi menjadi struktur co – continuous. Sebenarnya pembentukan struktur semacam ini, menawarkan pengembangan komposit in situ dimana penguatnya dibentuk dalam matriks melalui reaksi kimia antar elemen selama proses fabrikasi komposit. Dengan mengupayakan reaksi yang terjadi dapat diminimalkan dan terkontrol, maka
dapat dihasilkan komposit dengan ikatan antar muka partikel yang lebih kuat sehingga memiliki kekuatan mekanik lebih baik.
beberapa tahap poses pengerjaan yang meliputi ekstraksi silika dari sekam padi, pembuatan spesimen komposit dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro dan mekanik. Adapaun rincian dari prosedur penelitian ini akan disajikan mulai dari sub bab III.1.1 sampai III.1.9.
III.1.1.
Ekstraksi
SiO2
Dari
Sekam
Padi
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi.
Fase gelap menunjukkan fase logam sedangkan fase terang menunjukkan fase keramik. Berdasarkan Gambar 4, fase keramik yang terbentuk mempunyai ukuran lebar sekitar 0,25 µm dimana ukuran ini seragam (homogen) pada seluruh penguat. Padahal pada penelitian – penelitian yang lain diketahui fase keramik yang terbentuk pada penguat mempunyai ukuran yang bervariasi dari 0,2 – 0,5 µm. Perbedaan ini diakibatkan karena adanya kandungan Fe2O3 pada bahan penguat. Struktur yang seragam (homogen) seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini tentunya meyebabkan komposit memiliki distribusi tegangan yang lebih baik.
Penelitian ini dimulai dari persiapan alat dan bahan. Lalu dilanjutkan dengan
1. Pencucian, dilakukann dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. 2. Pengeringan, dilakukan di bawah sinar matahari 3. Penimbangan, dilakukan untuk membagi sampel sekam padi menjadi dua bagian sama besar yaitu sampel A, B dan C dimana harus memenuhi berat sekam padi yang akan diproses yaitu masing – masing dengan berat 250 gram. Dengan asumsi persentase berat sekam yang hilang selama proses sebesar 80 persen, maka nantinya akan didapatkan abu sekam dari masing – masing sampel sebanyak 50 gram. 4. Pengarangan dan Pengabuan, merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan dimana masing – masing sampel dikenai variabel temperatur pengabuan seperti disajikan pada Tabel 3.1 berikut.
5. Pemurnian, dilakukan setelah didapatkan abu sekam untuk memisahkan zat – zat pengotor dari abu sekam. Metode yang dipakai untuk pemurnian ini adalah metode pengasaman yaitu dengan menggunakan larutan HCl pekat. Proses pemurnian dibawah kondisi asam dimaksudkan untuk menghilangkan oksida – oksida logam dan non logam dari dalam abu sekam karena asam klorida yang diberikan akan mengikat oksida logam yaitu P2O5, K2O, MgO, Na2O,CaO dan Fe2O3 menjadi kloridanya dan oksida non logam kecuali silika diubah menjadi asamnya. Proses pemurniannya dilakukan dengan cara memasukkan sampel berupa abu sekam ke dalam gelas piala dan dibasahi dengan akuades panas, lalu pada campuran ditambahkan 200 ml HCl pekat dan diuapkan sampai kering. Pengerjaan ini diulangi tiga kali. Selanjutnya dituangkan 625 ml akuades dan 40 ml HCl pekat ke gelas piala tadi dan dibiarkan di atas penangas air selama 15 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci lima kali dengan akuades panas. Hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300 oC selama 1 jam hingga kertas saring menjadi arang. Kemudian dilanjutkan dengan memanaskan pada suhu 600 oC selama 2 jam hingga yang tersisa ha nya endapan Silika (SiO2) berwarna putih. 6. Pengujian XRD dan Gravimetri, ditujukan untuk identifikasi apakah fase SiO2 telah terbentuk dan jenis SiO2 apa yang terbentuk, kristalin atau amorf, serta zat pngotor apa yang terkandung. Selain itu juga dilakukan perhitungan kuantitas kandungan SiO2 dalam abu sekam tersebut dengan menggunakan analisa gravimetri. 7. Penggerusan dan Pengayakan, dilakukan pada endapan silika pada sampel A, B dan C dimana masing – masing dihaluskan secara mekanik dengan menggunakan mortar lalu diayak hingga didapatkan partikel SiO2 dengan ukuran lebih besar dari 200 mesh.
III.1.2.
Penentuan
Banyaknya
Spesimen
Yang
Akan
Dibuat
Fraksi volume penguat divariasikan sebesar 10, 25, dan 40 persen untuk masing- masing sampel abu sekam (A, B, dan C) sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan spesimen sebanyak sembilan jenis. Replikasi dilakukan sebanyak tiga kali sehingga jumlah spesimen total adalah 27 spesimen. Adapun penentuan banyak sampel berdasarkan variabel perlakuannya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut.
III.1.3.
Penentuan
Dimensi
Komposit
Yang
Akan
Dibuat
Dari cetakan yang telah tersedia diketahui memiliki diameter rongga cetakan berbentuk silinder sebesar 14 mm. Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen komposit yang memiliki ukuran diamater dan tinggi yang sama sehingga diketahui volume spesimen komposit yang akan dibuat adalah sebesar 2,154 cm3.
III.1.5.
Pencampuran
Material
Matriks
Dan
Penguatnya
(Mixing)
III.1.4. Penentuan Dan Penimbangan Massa Masing – Masing Konstituen Penentuan massa masing – masing kontituen (matriks dan penguat) dalam struktur komposit dilakukan sesuai fraksi volume masing – masing. Densitas komponen (matriks dan penguat) yaitu untuk Al sebesar 2,7 gr/cm3 dan silika amorf sebesar 2,21 gr/cm3. Massa masing – masing komponen ditentukan berdasarkan perhitungan persentase komponen dikalikan dengan volume komposit dikalikan dengan massa jenis komponen.
Proses pencampuran yang digunakan adalah metode wet mixing dengan menambahkan pelarut polar, yaitu metil alkohol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan hot plate magnetic stirrer dengan temperatur pemanasan 80oC. Dalam metode wet mixing ini pengadukan terus dilakukan hingga larutan media pencampur menguap seluruhnya. Indikasinya ditunjukkan dengan stirrer yang telah berhenti berputar karena tertahan oleh gumpalan matriks dan penguat yang telah tercampur. Stirrer kemudian diambil dari baker yang berisi gumpalan sedangkan gumpalan tersebut dikeringkan dengan furnace pada temperatur konstan sebesar 100 oC selama 30 menit. III.1.6.
Dimana m SiO2 adalah massa silika (gr), V SiO2 adalah fraksi volume silika yang besarnya divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen, ρ SiO2 adalah densitas silika yaitu sebesar 2,21 gr/cm3, m Al adalah massa alumunium (gr), V Al adalah fraksi volume alumunium yang besarnya adalah 100% - , ρ Al adalah densitas alumunium (gr/cm3) yaitu sebesar 2,70 gr/cm3 dan Vc adalah volume komposit yang besarnya adalah 2,154 cm3. Hasil perhitungan massa masing komponen adalah seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.3 berikut.
Kompaksi
Kompaksi dilakukan dengan metode cold compaction dimana proses penekanan dilakukan pada temperatur kamar serta tipe penekanan singgle compaction dimana arah kompaksi hanya satu arah. Sebagai bahan lubricant digunakan zinc stearat yang dioleskan secara merata pada permukaan rongga cetakan (dies) dan penekan. Besar tekanan kompaksi yang diberikan yaitu sebesar 15 kN dan lama penekanan 15 menit. III.1.7.
Sintering
Sintering dilakukan dengan menggunakan vacuum furnace dengan tekanan ruang vakum sebesar 10-2 torr (10-2 mmHg). Besar temperatur sinter yang diberikan yaitu 600 oC dengan lama penahanan (holding time) 2 jam. III.1.8.
Pengujian
Tekan
dan
SEM
Pengujian tekan dilakukan untuk mendapatkan karakteristik grafik tegangan dan regangan sehingga bisa diketahui karakteristik mekanik dari masing – masing spesimen seperti nilai modulus elastisitas dan kekutan tarik komposit. Pengujian kompresi dilakukan sesuai standar ASTM E9 – 89a, yang digunakan untuk mengetahui nilai modulus elastisitas komposit yang menunjukkan karakteristik mekaniknya. Pengamatan struktur mikro dengan menggunakan SEM untuk mengetahui karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk. III.1.9.
Pengukuran
Densitas
Setelah
Sinter
dan
Fraksi
Porositas
Sebagai data pendukung perlu juga dilakukan pengukuran densitas komposit setelah sinter dan fraksi porositas. Untuk pengukuran densitas setelah sinter digunakan metode archimides. Volume komposit setelah sintering diukur dengan prinsip archimides. Pertama, tentukan besarnya massa benda setelah sinter (ms) dengan timbangan seperti pada Gambar 3.1.(a), lalu tentukan berat benda (Ws) dengan cara mengalikan massa benda setelah sinter (ms) dengan nilai percepatan gravitasi bumi (g) yang besarnya 9,8 m/s2. Dengan menggunakan timbangan gantung tentukan apparent weight (Wap) atau berat benda saat dicelup pada fluida. Gaya apung Fby, atau disebut juga buoyant force ditentukan dengan persamaan Fby = Ws - Wap, dimana Fby adalah sama dengan berat fluida yang dipindahkan (Wf), sehingga massa fluida yang dipindahkan (mf) dapat ditentukan dari persamaan 3.1 berikut.
Maka volume fluida yang dipindahkan dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 3.4 berikut.
Dimana fluida yang digunakan pada penelitian ini adalah butanol dengan massa jenis sebesar 0.809 gr/cm3. Volume fluida yang dipindahkan (Vf) sama dengan volume benda yang dimasukkan fluida (Vs). Sehingga densitas benda setelah sinter adalah:
Porositas setelah sintering dapat dihitung, dimana terlebih dahulu densitas komposit teoritik, ρt ditentukan. Teori ini berdasarkan pada formula rule of
mixture seperti pada persamaan 3.7. Hasil perhitungan densitas teoritis untuk fraksi volume 10, 20, 30, dan 40 persen disajikan pada Tabel 3.4. Porositas setelah sinter, Ps, ditentukan berdasarkan persamaan 3.8.
Adapun variabel penelitian dalam kegiatan ini disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi. Tahap awal dari sintesa silika dari sekam padi ini adalah, pencucian dilakukan dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. Penimbangan dilakukan untuk tiga sampel, sampel A, B dan C, dengan berat masing – masing 250 gram. Selanjutnya, adalah pengeringan dengan sinar matahari dilanjutkan pengeringan dengan pengarangan dan pengabuan dengan furnace pada temperatur berbeda-beda dari tiap-tiap sampelnya.
Setelah proses pengabuan dengan variasi temperatur yang berbeda, ternyata dari masing – masing sampel, kecuali dari sampel C, didapatkan dua jenis produk, yaitu abu sekam berwarna hitam dan putih. Abu sekam yang berwarna putih terpisah dengan produk abu sekam yang berwarna hitam, dimana terletak pada pemukaan lapisan teratas dari produk abu sekam secara keseluruhan. Adapun visualisasi dari fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada sampel C, tidak terbentuk abu sekam yang berwarna putih, namun hanya terbentuk abu sekam berwarna hitam.
Pada sampel A dan B dimana terbentuk abu sekam berwarna putih dan hitam, dilakukan pemisahan diantaranya. Lalu massa masing – masing jenis produk abu sekam ini ditimbang. Adapun hasil penimbangan abu sekam pada sampel A, B, dan C disajikan pada Tabel 4.2.
Tahap selanjutnya adalah pemurnian dengan metode pengasaman menggunakan HCl pekat. Sampel yang pertama dimurnikan yaitu sampel A yang meliputi jenis sampel A berupa abu sekam berwarna putih, dan abu sekam berwarna hitam.
sampel A, B, dan C maka didapatkan sampel hasil pemurnian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Pada sampel A yang berwarna hitam, setelah dilakukan pemurnian tidak dihasilkan abu sekam yang berwarna putih seperti yang diharapkan dimana seharusnya tampilan warna fisik silika berwarna putih. Hal ini dikarenakan pada sampel abu sekam A yang berwarna hitam kandungan unsur karbonnya sangat dominan yang menyebabkannya berwarna hitam dimana setelah ekstraksi pun unsur karbon ini tidak dapat dipisahkan dengan silika. Maka dapat dikatakan bahwa pada sampel abu sekam yang berwarna putihlah kandungan silikanya yang paling banyak. Untuk itu, pada pemurnian sampel B cukup dilakukan pada abu sekam yang berwarna putih saja. Sedangkan pada sampel C, karena tidak terdapat abu sekam berwarna putih maka proses ekstraksi dilakukan pada sampel C secara keseluruhan yang berwarna hitam.Setelah Proses pemurnian dilakukan terhadap
Dalam penelitian ini, karakteristik silika yang akan dikaji meliputi karakteristik kualitas dan kuantitas silika yang dihasilkan dari variabel perlakuan temperatur pengabuan yang diberuikan pada sekam. IV.1.1
Analisa
Kualitatif
Sampel A, B, dan C ini diuji XRD untuk mengetahui apakah telah terbentuk silika. Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 4.3. Dari Gambar 4.3 tersebut diketahui bahwa bentuk grafik dari masing – masing sampel menunjukkan kemiripan dalam hal nilai 2 θ dimana terbentuk puncak – puncak difraksi serta terbentuknya fase amorf yang dapat dilihat dari terbentuknya noise pada grafik yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan, sinar – X yang ditembakkan oleh alat XRD tidak mampu didifraksikan secara sempurna oleh struktur kristal yang amorf
sehingga sudut difraksi sinar – X yang dibaca oleh alat menjadi tidak beraturan akibat terjadinya penghamburan. Walaupun sama – sama terbentuk fase amorf, namun pada masing – masing sampel sebenarnya terdapat perbedaan karakteristik puncak tertinggi yang dihasilkan. Pada nilai 2 θ sekitar 26, terlihat perbedaan nilai intensitas puncak tertinggi masing – masing sampel dimana akan kita dapatkan bahwa puncak terendah terjadi pada Sampel A dan tertinggi pada Sampel C. Selain itu dapat juga kita amati bahwa pada masing – masing sampel terdapat perbedaan bentuk puncak tertinggi yang terbentuk. Untuk sampel A puncak tertingginya adalah yang paling landai dibandingkan yang lainnya, sedangkan untuk sampel C adalah yang puncak tertingginya paling lancip. Dari sini dapat dikatakan bahwa dengan menaikkan temperatur pengabuan, maka akan semakin ada kecenderungan silika amorf bertransformasi menjadi fase kristalin dimana dari hasil pengujian XRD dapat ditunjukkan dengan semakin terbentuknya puncak yang semakin lancip dan semakin besar intensitasnya.
Hasil penelitian ini, khususnya pada Sampel A yang dikenakan temperatur pengabuan sebesar 600 oC sama dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Harsono (2002) dimana sama – sama didapatkan SiO2 dalam fasa amorf. Namun, pada sampel B dan C dengan temperatur pemanasan hingga 750oC dan 900oC perlu diteliti lebih lanjut seberapa banyakkah fase kristalin yang terbentuk dari variabel perlakuan temperatur pemanasan tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengujian XRD diketahui pada Sampel B dan C semakin
cenderung membentuk fase kristalin dimana ditunjukkan dengan puncak grafik yang semakin lancip dan semakin tinggi intensitasnya. Hal ini sesuai dengan teori Hara (1986) dalam Harsono (2002) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan fasa kristalin maka harus dilakukan pemanasan pada suhu di atas 650oC agar kristalinitas SiO2 meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit. V.1.2
Analisa
Kuantitatif
Pada analisa kuantitatif silika dalam abu sekan digunakan analisa gravimetri untuk mengetahui berapa persentase kandungan SiO2 dalam abu sekam yang dihasilkan, dimana hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.5. Dari hasil pengujian gravimetri diketahui bahwa kandungan silika tertinggi terbentuk pada Sampel B yaitu pada temperatur pengabuan sebesar 750oC. Hasil ini ternyata di luar dari prediksi yang diharapkan, dimana berdasarkan Hwang, C. L., (2002) seharusnya pada temperatur pemanasan sekam yang semakin tinggi akan dapat dihasilkan kandungan silika yang semakin tinggi pula.
Penjelasan mengenai hal ini dapat dijelaskan apabila dihubungkan dengan diagram fasa SiO2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Ketika pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer yaitu sebesar 1 bar, maka saat temperatur pemanasan mencapai 900oC, temperatur ini telah mencapai temperatur perubahan fase dari quartz (high) menjadi SiO2 tridymite. Pada proses perubahan fasa kristal ini waktu tahan yang diberikan kurang memadai untuk
terbentuknya SiO2 tridymite kristalin secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada SiO2 amorf yang sudah memutuskan ikatan terhidratnya namun belum sempat menyusun atom – atomnya secara teratur untuk membentuk SiO2 kristalin akan membentuk SiO2 amorf dan sejumlah unsur silikon bebas yang bereaksi dengan zat pengotor atau lingkungan. Unsur silikon bebas inilah yang kemudian hilang selama proses karena bereaksi dengan zat pengotor yang kemudian mengakibatkan persentase silika total (amorf dan kristalin) pada Sampel C lebih rendah dibandingkan Sampel B.
Pengujian struktur mikro dengan SEM sedang dalam proses pengerjaan saat laporan ini dibuat. Tempat pengujian yaitu di Laboraturium Geologi Kuarter, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung 40174. Dalam laporan ini penulis menampilkan foto SEM dari spesimen yang diuji yaitu spesimen dengan varibel temperatur pengabuan sekam sebesar 600oC, 750oC, dan 900oC pada fraksi volume penguat silika untuk masing – masing spesimen tersebut yakni sebesar 10 persen.
Dari hasil pengujian tekan diketahui karakteristik keuatan tekan dari masing – masing spesimen seperti yang disajikan pada Gambar 4.2 Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada sampel dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memiliki karakteristik kekuatan tekan yang berbeda dengan sampel lainnya, khususnya untuk fraksi volume silika lebih besar dari 25 persen. Fenomena ini diakibatkan karena pada sampel tersebut mempunyai fraksi porositas yang rendah dimana karakteristik fraksi porositas dapat dilihat pada Gambar 4.6. Sedangkan dari karakteristik densitas komposit pada Gambar 4.3 dikeatahui bahwa untuk spesimen dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memberikan nilai densitas yang cenderung meningkat untuk fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen dibandingkan dengan spesimen pada variabel lainnya dimana memiliki tren karakteristik nilai densitas yang cenderung menurun. Ini berarti pada spesimen tersebut terjadi peningkatan berat.
Dari foto SEM, dapat dilihat bahwa anatara partikel alumunium dan alumina terbentuk ikatan yang secara visual dapat dilihat pada gambar. Namun, hal ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui apakah struktur cocontinuous AlSi/Al2O3 terbentuk.
Penjelasan dari fenomena naiknya nilai kekuatan tarik pada spesimen dengan temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC adalah semakin rendah fraksi porositas yang terjadi akan semakin sedikit daerah yang menjdi konsentrasi tegangan ketika spesimen dikenakan beban mekanik. Karena jumlah konsentrasi tegangan yang sedikit, maka semakin sulit gejala – gejala failure (patah) dari suatu material memulai prosesnya, sehingga material yang seperti ini akan lebih kuat menerima beban mekanik dibandingkan denganmaterial yang mempunyai banyak daerah konsentrasi regangan, dimana dalam hal ini daerah tersebut dapat dikatakan sebagai produk cacat dari suatu proses pembuatan material.
Porositas merupakan salah satu bentuk cacat yang sering dijumpai pada produk – produk hasil pengecoran dan proses powder metallurgy. Dalam hubungannya dengan proses powder metallurgy, keberadaan cacat sulit untuk dipisahkan selama proses powder metallurgy yang digunakan yaitu proses manual. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi fraksi porositas pada produk powder metallurgy. Salah satu caranya adalah dengan mereduksi ukuran partikel serbuk yang akan dikompaksi seminimal mungkin. Dengan mereduksi ukuran partikel berarti memberikan sedikit kesempatan bagi partikel – partikel serbuk untuk membentuk rongga yang terbentuk antar permukaan partikel yang diakibatkan bentuk partikel yang kasar dan cukup besar sehingga cukup memberi ruang kosong. Walaupun rongga ini seharusnya hilang ketika proses pemadatan dilakukan, namun seringkali masih belum mampu menghilangkan secara keseluruhan keberadaan rongga tersebut terutama yang terletak di bagian dalam – tengah spesimen karena udara yang terjebak dan sulit keluar.
Saat proses sinter dilakukan rongga ini seharusnya akan semakin berkurang lagi, namun karena letak porous terlalu jauh dari permukaan spesmen sehingga mengakibatkan udara terjebak di dalam spesimen saat setelah sinter. Dalam penelitian ini, walaupun telah dilakukan upaya untuk mereduksi ukuran partikel dengan menggunakan mortar, hingga ketika diayak partikel lolos ayakan dengan kerapatan ayakan sebesar 200 mesh, namun kenyataanya porositas yang terjadi masih tetap ada dimana kisarannya dalah 1 – 8 persen dari volume komposit.
n
Berdasarkan data penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat dibuat beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1. Variasi temperatur pengabuan sekam dalam furnace sebesar 600oC, 750oC dan 900oC ternyata m ampu menghasilkan produk silika dengan struktur kristal yang sebagian amorf dan sebagian lagi kristalin dengan persentase kandungan silika paling tinggi didapatkan dengan perlakuan temperatur pengabuan 750oC yaitu sebesar 91 persen. 2. Dari pengujian SEM diketahui bahwa antara partikel alumunium dan silika terbentuk ikatan antar muka 3. Untuk karakteristik kekuatan tekan diketahui bahwa yang paling baik adalah spesimen dengan temperatur pengabuan silika sebesar 900oC dan fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen.
1. Beberapa perhitungan, pengamatan dan pengujian perlu dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih mendetail hasil percobaan ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya yang diberikan kurang mendukung. Untuk itu pada penelitian selanjutnya terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah dari hasil penelitian ini yaitu perbandingan jumlah silika kristalin dan amorf yang dihasilkan dalam abu sekam, karakteristik thermal, perilaku korosi, serta karakteristik mekanik yang meliputi karakteristik impak, kekerasan dan abrasivitas komposit. 2. Penelitian pendukung sebaiknya dilakukan dengan variasi perlakuan yang lain dimana nantinya dapat dijadikan sebagai pendukung dari penelitian ini mengingat penelitian ini merupakan penelitian awalan dari penelitian besar yang masih memiliki banyak varibel yang perlu diteliti untuk bisa mengetahui variabel – variable terbaik yang dapat dijadikan sebagai refrensi dalam produksi komponen otomotif berbasis komposit alumunium – silika. 3. Mengingat potensi pemanfaatan dari silika yang luas dimana tidak hanya seperti yang ditujukan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan penguat dari komposit bermatriks alumunium, tetapi juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan kaca, dan bahan baku peralatan – peralatan elektronik, maka perlu diadakan suatu sistem industrialisasi ekstraksi silika dari sekam padi, agar nantinya dapat menambah stok silika dalam negeri.
Adapun saran yang dapat disampaikan hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
_________, 1998. ASM Handbook Vol. 7, Powder Metal Technologies and Aplications. ASM International