BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penggunaaan Ice Pack 1.
Definisi dan Efek Fisiologi Ice Pack Ice Pack adalah pemanfaatan dingin untuk mengobati nyeri dan mengurangi gejala peradangan lainnya. Pada terapi dingin, digunakan modalitas terapi yang dapat menyerap suhu jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme konduksi (Swenson et al., 1996).
Aplikasi ice pack dapat mengurangi suhu daerah yang sakit, membatasi aliran darah dan mencegah cairan masuk ke jaringan di sekitar luka. Hal ini akan mengurangi nyeri dan pembengkakan. Aplikasi ice pack dapat mengurangi sensitivitas dari akhiran syaraf yang berakibat terjadinya peningkatan ambang batas rasa nyeri. Aplikasi ice pack juga akan mengurangi kerusakan jaringan dengan jalan mengurangi metabolisme lokal
sehingga
kebutuhan
oksigen
jaringan
menurun.
Respon
neurohormonal terhadap terapi ice pack adalah sebagai berikut : a.
Pelepasan endorphin
b.
Penurunan transmisi saraf sensoris
c.
Penurunan aktivitas badan sel saraf
d.
Penurunan iritan yang merupakan limbah metabolisme sel
e.
Peningkatan ambang nyeri
Secara fisiologis, pada 15 menit pemberian aplikasi ice pack terjadi vasokontriksi pembuluh darah. Vasokontriksi ini disebabkan oleh aksi reflek dari otot polos yang timbul akibat stimulasi sistem saraf otonom dan pelepasan aseltilkolin. Walaupun demikian apabila dingin tersebut terus diberikan selama 15 sampai dengan 30 menit akan timbul fase vasodilatasi yang terjadi intermiten selama 4 sampai 6 menit (Hurme et al., 1993). Periode ini dikenal sebagai respon hunting. Respon hunting terjadi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan akibat dari jaringan mengalami 12
anoxia jaringan (Ernst et al., 1994). Selain menimbulkan vasokontriksi, sensasi dingin juga menurunkan eksitabilitas akhiran saraf bebas sehingga menurunkan kepekaan terhadap rangsang nyeri. Aplikasi ice pack juga dapat mengurangi tingkat metabolisme sel sehingga limbah metabolisme menjadi berkurang. Penurunan limbah metabolisme pada akhirnya dapat menurunkan spasme otot.
2.
Aplikasi Ice Pack a.
Peralatan ice pack Pada prinsipnya ice packs merupakan kemasan yang dapat menyimpan es dan membuat es tersebut dapat terjaga dalam waktu relatif lama di luar freezer daripada kemasan plastik. Alat ini tersedia di apotek dan toko obat. Sebagian besar ice packs mengandung bahan kimia yang dapat mempertahankan suhu dingin dalam jangka waktu lama. Bahan kimia seperti isopropyl alkohol dapat ditambahkan denagn rasio 2 :1 terhadap air untuk mencegah terjadinya pembekuan sehingga ketika dipergunakan, ice packs dapat mengisi kontur tubuh. Terdapat dua jenis ice packs yaitu yang berbahan gel hypoallergenic dan yang berisi cairan atau kristal.
b.
Penggunaan ice pack Pada umumnya ice packs dapat dipergunakan selama 15 sampai 20 menit. Pada kemasan ice packs yang berupa plastik, diperlukan handuk untuk mengeringkan air kondensasi.
c.
Perhatian khusus ice pack Pengguna ice packs lebih praktis akan tetapi apabila terjadi kebocoran kemasan dapat menimbulkan bahaya iritasi kulit akibat bahan kimia yang dikandungnya (Swenson et al.,1996).
13
B. Nyeri Pada Episiotomi 1. Nyeri a. Definisi Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual (Judha, 2012).
Nyeri adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan, Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengevakuasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2008). Pada tahun 1996, International Association for the Study of Pain (IASP), mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.
Berdasarkan definisi tersebut, nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen obyektif (aspek fisiologik sensorik nyeri) dan komponen subyektif (aspek emosional dan psikologis). Rasa nyeri memberikan informasi terhadap stimulus noksius yang memungkinkan tubuh merespons terhadap kerusakan jaringan yang terjadi. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit di nilai secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan menggunakan alat bantu.
14
b. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory) Teori gate control menjelaskan bahwa implus nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa implus nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. (Andarmoyo, 2013)
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan melepaskan substansi P selain itu, terdapat makanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A akan menutup mekanisme pertahanan.
Mekanisme penutupan ini diyakini dapat melihat saat seorang menggosok punggung dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal serabut delta-A dan serabut C maka akan membuka pertahanan tersebut dan mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika implus nyeri di hantarkan ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endophine dan dinorfin,
suatu
Neuromedulator
pembuluh ini
alami
menutup
yang
mekanisme
berasal
pertahanan
menghambat pelepasan substansi P. (Potter&Perry, 2010)
15
dari
tubuh. dengan
Menurut Prasetyo (2010) Teori Gate Control menyatakan bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh 2 sistem, yaitu : 1) Substansi gelatinosa pada dorsal horn di medula spinalis. 2) Sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang terdapat pada batang otak.
Serabut A delta berdiameter kecil membawa impuls nyeri cepat sedangkan serabut C membawa impuls nyeri lambat. Sebagai tambahan bahwa serabut A-beta yang berdiameter lebar membawa impuls yang dihasilkan oleh stimulus sentuhan. Didalam substansi gelatinosa impuls ini akan bertemu dengan suatu gerbang yang membuka dan menutup berdasarkan prinsip siapa yang lebih mendominasi, serabut taktil ABeta ataukah serabut nyeri yang berdiameter kecil. Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil melebihi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A-Beta maka gerbang akan terbuka sehingga perjalanan impuls nyeri tidak terhalangi sehingga impuls akan sampai ke otak. Sebaliknya, apabila impuls yang dibawa serabut taktil lebih mendominasi, gerbang akan menutup sehingga impuls nyeri akan terhalangi. (Prasetyo, 2010)
Gambar 2.1 Mekanisme Gate control
16
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Nosisepsi termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nosiseptor) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (Marsaban AHM, 2009) : a) Reseptor khusus yang disebut nosiseptor, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noksius. b) Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noksius ke susunan saraf pusat c) Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak. d) Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada CNS e) Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. f) Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk withdrawal respon). g) Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level medulla spinalis.
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan menghasilkan kerusakan sel dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri, akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik. (Marsaban AHM, 2009)
17
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu : (1) Tranduksi adalah perubahan rangsang nyeri menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujungujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah seratserat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. (2) Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Serat aferen A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medula spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke selsel neuron yang berada di kornu anterior medulla spinalis. Aktifasi selsel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior
18
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya. (3) Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, noradrenalin, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri. (4) Persepsi impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan rasa nyeri. (Andarmoyo, 2013)
Gambar 2.2 Patofisiologi nyeri
19
c. Dimensi Nyeri Multidimensionalitas nyeri terdiri atas : 1) Dimensi Fisiologis Dimensi ini mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan genetik, anatomi dan fisik dari pengaruh nyeri serta bagaimana stimulasi yang menyakitkan itu di proses, diakui dan di jelaskan (Lewis, et al., 2011). Menurut National Institute of Nursing Reseach [NINR] Dimensi ini mencakup aspek struktural, fungsional, dan biokimia dari pengalaman rasa sakit serta berbagai perbedaan jenis nyeri yang termasuk dalam dimensi fisiologis. Persepsi dan transmisi rasa sakit dibawa oleh nosiseptor sepanjang jalur naik dan jalur turun saraf yang difasilitasi oleh mediator neurochemical merupakan komponen penting dari mekanisme fisiologis dari pengalaman nyeri.
Menurut Ardinata (2007) Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan.
2) Dimensi Afektif Adalah suatu respon emosional terhadap nyeri seperti marah, takut, depresi dan cemas. Emosi yang negatif dapat mengurangi kualitas hidup. Hubungan negatif antara depresi dan nyeri dapat menyebabkan kerusakan fungsi. Tekanan emosional dapat dianggap sebagai komponen atau bagian dari rasa sakit, mungkin juga konsekuensi atau penyebab serta bersamaan dengan fenomena yang termasuk emosi seperti rasa takut, depresi, kecemasan, kemarahan, relief, antisipasi, agresi, dan karakteristik kepribadian. Adanya
20
tanda-tanda gangguan emosi memungkinkan seseorang mengenali adanya nyeri. (Lewis, et al., 2011)
Menurut Ardinata (2007) dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya.
3) Dimensi Sensori Dimensi sensorik nyeri mengacu ke lokasi, intensitas, dan kualitas. Ketika menilai lokasi, struktur anatomi dan lokasi ditengarai dapat membantu dalam menentukan etiologi nyeri. Intensitas ketegangan mengacu pada jumlah atau beratnya nyeri yang dialami dan dapat dinilai menggunakan skala penilaian nyeri numerik atau dengan kata-kata dengan menggunakan istilah-istilah seperti ringan, sedang, dan berat. Faktor-faktor seperti etiologi, toleransi, dan ambang nyeri dapat mempengaruhi intensitas nyeri. Kualitas adalah terkait dengan apa rasa sakit terasa seperti apa dan mungkin dipengaruhi oleh etiologi, menunjukkan bahwa berbagai jenis nyeri dapat memiliki kualitas sensorik yang berbeda. (Ardinata, 2007)
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Ahles, et al menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi (Ardinata, 2007).
21
Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan (Ardinata, 2007). Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal (Ardinata, 2007).
4) Dimensi Kognitif Dimensi ini berkaitan dengan suatu kepercayaan dan kebiasaan seseorang dalam berespon terhadap pengaruh nyeri. Penggunaan strategi koping kognitif dan keyakinan saat bernegosiasi dengan nyeri (Lewis, et al., 2011). Dimensi kognitif nyeri melibatkan persepsi individu tentang diri; makna penderitaan, pengetahuan, sikap, dan keyakinan tentang rasa sakit dan terapi nyeri; dan preferensi pribadi serta strategi penanggulangan. Dalam dimensi ini juga termasuk tingkat dan kualitas kognisi individu yang berkaitan dengan dirinya atau kemampuannya untuk mentoleransi nyeri. Individu dengan fungsi kognitif terbatas atau yang mengalami gangguan, seperti bayi, orang-orang dengan ketidakmampuan belajar, pasien dengan gannguan jiwa, atau orang-orang dengan demensia, mungkin tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan rasa sakit yang mereka alami. (Ardinata, 2007)
Barkwell 2005 melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan
22
mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi
respons
seseorang
terhadap
nyeri
dan
penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya.
5) Dimensi Perilaku Dimensi ini berkaitan dengan suatu perilaku yang dapat diamati sebagai respon atau kontrol terhadap nyeri. Misalnya ekspresi wajah saat menahan nyeri seperti meringis atau mudah marah. Orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengkomunikasikan rasa nyerinya dapat mengalami perubahan perilaku seperti agitasi (Lewis, et al., 2011).
Dimensi perilaku mencakup aspek perilaku nyeri termasuk yang dapat diamati atau diperlihatkan oleh individu yang menunjukkan rasa sakit yang sedang dialami, atau tindakan / upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Perilaku seperti merintih, mengerang, wajah meringis, dan berjalan pincang mungkin merupakan indikator nyeri, sedangkan tindakan seperti berbaring, kegiatan yang tidak aktif, pijat, penggunaan obat-obatan, dan mencari perawatan kesehatan adalah menampilkan upaya untuk mengurangi rasa sakit Perilaku seperti tidur, istirahat, atau kelelahan yang terkait dengan fenomena nyeri juga sesuatu yang dapat diamati Ardinata (2007). Menurut Fordyce dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut
23
mengalami atau merasakan nyeri. Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat.
6) Dimensi Sosiokultural Dimensi sosiokultural adalah dimensi lainnnya yang mempengaruhi nyeri seperti faktor demografi, usia dan jenis kelamin. Keluarga dan care giver juga dapat mempengaruhi. Penggunaan obat-obatan dan strategi koping juga mempengaruhi terhadap tingkat nyeri yang dirasakan oleh seseorang (Lewis, et al., 2011).
Persepsi individu dan tanggapan rasa sakit tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran anggota keluarga serta kemampuan mereka untuk membayar biaya perawatan kesehatan. Daerah penting untuk menilai meliputi keluarga dan sosialnya, rumah dan lingkungan kerja, sikap dan keyakinan tentang rasa sakit. Tidak hanya variabelvariabel sosial budaya yang berkaitan dengan penderita tetapi juga variabel sosial budaya terkait dengan penyedia layanan akan mempengaruhi penilaian mereka dan manajemen dari pengalaman nyeri sebagai persepsi penderita dan penyedia layanan mungkin berbeda. Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya (Ardinata, 2007).
d. Sifat Nyeri 1) Sifat-sifat nyeri a) Incidental pain : nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu hilang b) Steady pain : nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama
24
c) Paroxymal pain : nyeri yang dirasakan berintesitas dan kuat sekali, nyeri tersebut biasanya menetap 10-15 menit, lalu menghilang kemudian timbul kembali (Hidayat, 2008) 2) Tingkatan nyeri a) Nyeri ringan : nyeri dengan intensitas rendah (hilang ) b) Nyeri sedang : nyeri yang menimbulkan reaksi (berkurang) c) Nyeri berat : nyeri dengan intensitas tinggi (semakin berat)
e. Kalsifikasi Nyeri Tamsuri (2008) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan waktu kejadian meliputi : 1) Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari satu detik sampai dengan kurang dari enam bulan yang pada umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat). 2) Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan, dimana umumnya timbul tidak teratur, interniten atau bahkan persisten. Sedangkan berdasarkan lokasinya, tamsuri (2008) membedakan nyeri menjadi : a) Nyeri supersial merupakan nyeri yang biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya, dimana nyeri ini memiliki durasi yang pendek, terlokalisir dan memiliki sensasi yang tajam. b) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta stuktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya perenggangan dan iskemia. c) Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ internal.
25
d) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan sekitar. e) Nyeri alih (referred pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi.
f. Respon Tingkah Laku Terhadap Nyeri Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencangkup : 1) Pernyataan
verbal
(mangaduh,
menangis,
sesak
napas,
mendengkur). 2) Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir). 3) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan). 4) Kontak dengan orang lain/ interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri). (Tamsuri 2008).
Meinhart
&
Mccaffery
dalam
buku
Tamsuri
(2008),
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri : a) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima) Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseoran belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien. b) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa) Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai
26
tingkat toleransi tinggi terhapap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. c) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti) Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hialng. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat terjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
g. Manajemen Nyeri Manajemen nyeri mencangkup pendekatan farmakologis dan bukan farmokologis. Pendekatan ini di seleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan keberhasilan terbesar sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simultan (Smelzer and Bare, 2009). 1) Farmakologis Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi pelayanan lainnya pada pasien. Obat-obat tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mugkin diresepkan atau kateter epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Obat-obat yang dapat mengurangi nyeri antara lain : golongan opioid (Narkotik),
27
nonopioid/NSAIDs
(Nonsteroid
Anti-Inflammation
Drugs),
analgesik, obat anastesi. (Smelzer and Bare, 2009)
2) Non Farmakologi Penatalaksanaan Non farmakologi terdiri dari bebrbagai tindakan penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif, antara lain : a) Masage kulit Masase kulit memberikan efektif penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan masase ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau menurunkan implus nyeri. Masase adalah stimulasi kulit tubuh secara umum, dipusatkan pada punggung dan bahu, atau dapat dilakukan pada satu atau beberapa bagian tubuh dan dilakukan sekitar 10 menit pada masing-masing tubuh untuk mencapau hasil relaksasi yang maksimal. b) Stimulasi kontralateral Stimulasi kontralateral adalah memberi stimulasi pada daerah kulit di sisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri. Teknik ini dapat berupa garukan pada daerah yang berlawanan jika terjadi gatal, menggossok jika terjadi kram. c) Acupressure (Pijat Refleksi) Pada teknik ini, terapis memberi tekanan jari-jari pada berbagai titik organ tubuh seperti pada akupuntur. d) Transcutaneous Elektrical Nerve Stimulation (TENS) Teknik ini menggunakan satu unit peralat yang dijalankan dengan
elektroda
yang
dipasang
pada
kulit
untuk
menghasilkan sensasi kesemutan, getaran atau mengdengung pada area kulit tertentu. TENS telah digunakan, baik untuk menghilangkan nyeri akut maupun kronis. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor non nyeri di
28
area yang sama dengan serabut yang menstramisi nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gerbang kendali nyeri. e) Distraksi Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Terknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivitas retikuler menghambat stimulus nyeri, jika seorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya implus nyeri ke otak. f)
Relaksasi Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri, beberapa penelitian menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pascaoperasi. Menurut penelitian Imamah (2009) diperoleh tingkatan nyeri ibu post partum dengan luka perineum sebelum dilakukan teknik relaksasi mengalami nyeri sedang sebanyak 17 orang atau 85 %, setalah dilakukan teknik relaksasi nyeri berkurang menjadi ringan sebanyak 11 orang atau 55% dan tidak merasa nyeri sebanyak 9 orang atau 45% yang artinya terdapat pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan nyeri luka perineum pada ibu post partum. (Smelzer and Bare, 2009)
h. Penilaian Nyeri Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari kombinasi rangsang nyeri dan kerusakan jaringan, pengalaman nyeri sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda. Oleh karena tidak
29
terdapat suatu alat obyektif, maka kita harus mempercayai laporan pasien tentang tingkat nyeri yang mereka alami (Andarmoyo, 2013).
i. Penilaian Respon Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intesitas nyeri sangat subyektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intesitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. (Andarmoyo, 2013)
Skala numerik : skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.
Gambar 2.3 Skala NRS
NRS (Numerical Rating Scale) ditandai dengan garis angka nol sampai sepuluh dengan interval yang sama dimana 0-3 menunjukkan tidak ada nyeri, 4-6 menunjukkan nyeri sedang, dan 7-10 menunjukkan nyeri berat. (Andarmoyo, 2013)
30
2.
Episiotomi a. Definisi Episiotomi Menurut Sarwono (2007), episiotomi merupakan suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum (Sarwono, 2007, hal. 171).
Episiotomi adalah insisi pudendum / perineum untuk melebarkan orifisium (lubang / muara) vulva sehingga mempermudah jalan keluar bayi (Benson dan Pernoll, 2009, hal 176).
b. Tujuan Episiotomi Tujuan episiotomi yaitu membentuk insisi bedah yang lurus, sebagai pengganti robekan tak teratur yang mungkin terjadi. Episiotomi dapat mencegah vagina robek secara spontan, karena jika robeknya tidak teratur maka menjahitnya akan sulit dan hasil jahitannya pun tidak rapi, tujuan lain episiotomi yaitu mempersingkat waktu ibu dalam mendorong bayinya keluar (Williams, 2009, hal. 160).
c. Waktu Pelaksanaan Episiotomi Menurut Benson dan Pernoll (2009), episiotomi sebaiknya dilakukan ketika kepala bayi meregang perineum pada janin matur, sebelum kepala sampai pada otot-otot perineum pada janin matur.(Benson dan Pernoll, 2009, hal. 177).
Bila episiotomi dilakukan terlalu cepat, maka perdarahan yang timbul dari luka episiotomi bisa terlalu banyak, sedangkan bila episiotomi dilakukan terlalu lambat maka laserasi tidak dapat dicegah. sehingga salah satu tujuan episiotomi itu sendiri tidak akan tercapai. Episiotomi biasanya dilakukan pada saat kepala janin sudah terlihat dengan diameter 3 - 4 cm pada waktu his. Jika dilakukan bersama dengan
31
penggunaan ekstraksi forsep, sebagian besar dokter melakukan episiotomi setelah pemasangan sendok atau bilah forsep (Williams, 2009, hal. 161).
d. Tindakan Episiotomi Pertama pegang gunting epis yang tajam dengan satu tangan, kemudian letakkan jari telunjuk dan jari tengah di antaraa kepala bayi dan perineum searah dengan rencana sayatan. Setelah itu, tunggu fase acme (puncak his). Kemudian selipkan gunting dalam keadaan terbuka di antara jari telunjuk dan tengah. Gunting perineum, dimulai dari fourchet (komissura posterior) 45 derajat ke lateral kiri atau kanan. (Sarwono, 2007, hal. 457).
e. Indikasi Episiotomi Untuk persalinan dengan tindakan atau instrument (persalinan dengan cunam, ekstraksi dan vakum); untuk mencegah robekan perineum yang kaku atau diperkirakan tidak mampu beradaptasi terhadap regangan yang berlebihan, dan untuk mencegah kerusakan jaringan pada ibu dan bayi pada kasus letak / presentasi abnormal (bokong, muka, ubun-ubun kecil di belakang) dengan menyediakan tempat yang luas untuk persalinan yang aman (Sarwono, 2007, hal 455-456).
f. Jenis Episiotomi Untuk melancarkan jalannya persalinan, dapat dilakukan insisi pada perineum pada saat kepala tampak dari luar dan mulai meregangkan perineum. Menurut Benson dan Pernoll (2009) jenis-jenis insisi perineum ada 3 yaitu : 1) Insisi medial Insisi medial yang dibuat pada bidang anatomis dan cukup nyaman terdapat lebih sedikit perdarahan dan mudah untuk diperbaiki. Akan tetapi, aksesnya terbatas dan insisi memberikan resiko perluasan ke rektum, sehingga insisi ini hanya digunakan untuk
32
individu sehingga yang berpengalaman. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah perdarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah. Sayatan simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Kerugian dari episiotomi medialis ini dapat terjadi ruptur perineum tingkat II inkomplet (laserasi muskulus spingter ani) atau komplet (laserasi di dinding rektum). Gambar 2.4 Insisi Medial
2) Insisi lateral Sayatan disini dilakukan kearah lateral mulai kira-kira 3 jam atau 9 jam menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak dilakukan lagi, oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka sayatan dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudental interna, sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.
33
3) Insisi mediolateral Insisi ini aman, mudah untuk dilakukan sehingga paling sering digunakan. Guntingan harus dimulai pada titik tengah lipatan kulit titpis dibelakang vulva dan diarahkan ke tuborsitas ke bantalan iskioerkta (Benson dan Pernoll, 2009, hal. 176-177).
Gambar 2.5 Insisi Mediolateral
g. Klasifikasi Robekan Episiotomi Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan : a.
Derajat I : luasnya robekan hanya sampai mukosa
vagina,
komisura posterior tanpa mengenai kulit perineum. Tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan posisi luka baik. b.
Derajat II : robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot perineum. Jahit menggunakan teknik penjahitan laserasi perineum.
c.
Derajat III : robekan yang terjadi mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum hingga otot sfingter ani.
d.
Derajat IV : robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot sfingter
34
ani sampai ke dinding depan rektum. Penolong asuhan persalinan normal tidak dibekali keterampilan untuk reparasi laserasi perineum derajat tiga atau empat. Segera rujuk ke fasilitas rujukan (Siswosudarmo & Emilia, 2008).
Gambar 2.6 Derajat Laserasi Perineum
h. Benang Yang Digunakan Dalam Penjahitan Episiotomi Alat menjahit yang digunakan dalam perbaikan episitomi atau laserasi dapat menahan tepi – tepi luka sementara sehingga terjadi pembentukan kolagen yang baik. Benang yang dapat diabsorbsi secara alamiah diserap melalui absorbsi air yang melemahkan rantai polimer jahitan. Benang sintetik yang dapat diabsorbsi yang paling banyak digunakan adalah polygarin 910 (Vicryl) yang dapat menahan luka kira-kira 65% dari kekuatan pertamanya setelah 14 hari penjahitan dan biasanya diabsorbsi lengkap setelah 70 hari prosedur dilakukannya.
Ukuran yang paling umum digunakan dalam memperbaiki jaringan trauma adalah 2-0, 3-0, dan 4-0, 4-0 yang paling tipis. Benang jahit yang biasa digunakan dalam kebidanan dimasukkan ke dalam jarum, dan hampir semua jahitan menggunakan jarum ½ lingkaran yang runcing pada bagian ujungnya. Ujung runcing dapat masuk dalam jaringan tanpa merusaknya. (Walsh, 2008, hal. 560).
35
i. Penyembuhan Luka Episiotomi Menurut Walsh (2008) proses penyembuhan terjadi dalam tiga fase, yaitu : 1) Fase 1: Segera setelah cedera, respons peradangan menyebabkan peningkatan aliran darah ke area luka, meningkatkan cairan dalam jaringan, serta akumulasi leukosit dan fibrosit. Leukosit akan memproduksi enzim proteolitik yang memakan jaringan yang mengalami cedera. 2) Fase 2 : Setelah beberapa hari kemudian, fibroblast akan membentuk benang – benang kolagen pada tempat cedera. 3) Fase 3: Pada akhirnya jumlah kolagen yang cukup akan melapisi jaringan yang rusak kemudian menutup luka.
Proses penyembuhan sangat dihubungkan oleh usia, berat badan, status nutrisi, dehidrasi, aliran darah yang adekuat ke area luka, dan status imunologinya. Penyembuhan luka sayatan episiotomi yang sempurna tergantung kepada beberapa hal. Tidak adanya infeksi pada vagina sangat mempermudah penyembuhan. Keterampilan menjahit juga sangat diperlukan agar otot-otot yang tersayat diatur kembali sesuai dengan fungsinya atau jalurnya dan juga dihindari sedikit mungkin pembuluh darah agar tidak tersayat. Jika sel saraf terpotong, pembuluh darah tidak akan terbentuk lagi (Walsh, 2008, hal. 559).
36
C. Kerangka Teori Berdasarkan uraian teori diatas, maka kerangka teori pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Skema 2.1 Kerangka Teori
Secara fisiologis, pada 15 menit pemberian aplikasi ice pack terjadi vasokontriksi pembuluh darah. Vasokontriksi ini disebabkan oleh aksi reflek dari otot polos yang timbul akibat stimulasi sistem saraf otonom dan pelepasan aseltilkolin. (Hurme et al., 1993)
Penggunaan ice pack
Episiotomi
Perubahan Skala Nyeri
Nyeri
Indikasi Episiotomi : Dimensi nyeri : 1. Persalinan dengan cunam, ekstraksi dan
1. Dimensi Fisiologis
vakum).
2. Dimensi Afektif
2. Mencegah robekan perineum yang kaku atau diperkirakan
tidak
mampu
3. Dimensi Sensori
beradaptasi
4. Dimensi Kognitif
terhadap regangan yang berlebihan.
5. Dimensi Perilaku
3. Mencegah kerusakan jaringan pada ibu dan
6. Dimensi Sosiokultural
bayi pada kasus letak / presentasi abnormal
(Lewis, et al., 2011; Ardinata, 2007)
(bokong, muka, ubun-ubun kecil di belakang).
1.
(Sarwono, 2007, hal 455-456).
Sumber : Sarwono (2007), Lewis, et al (2011), Ardinata (2007), Hurme et al (1993)
37