MODUL
FISIKA MODERN
Oleh : Dwi Teguh Rahardjo, M.Si
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
2 Daftar Isi
Bab 1. Relativitas 01. Kerangka acuan 02. Transformasi Galileo 03. Interferometer Michelson – Morley 04. Transformasi Koordinat Lorentz 05. Transformasi Kecepatan Lorentz 06. Transformasi Percepatan Lorentz 07. Relativitas Khusus Einstein 08. Keserempakan yang Relatif 09. Dilatasi Waktu 10. Kontraksi Panjang Lorentz – Fitzgerald 11. Pemuaian Massa 12. Hubungan Massa dan Energi 13. Transformasi Momentum – Energi 14. Efek Doppler Relativistik 15. Kovarian Lorentz pada Persamaan Maxwell 16. Sekilas Teori Relativitas Umum Einstein Bab 2. Permulaan Teori Kuantum 01. Radiasi Benda Hitam 02. Efek Fotolistrik 03. Efek Compton 04. Dualitas Gelombang dan Partikel dari suatu Materi 05. Gelombang Materi de Broglie 06. Ketidakpastian Heisenberg 07. Gelombang Mekanik Schrodinger Bab 3. Model – model Atom 01. Model Atom Thomson 02. Model Atom Rutherford 03. Model Atom Bohr 04. Teori Kuantisasi Momentum Sudut Wilson-Sommerfeld 05. Model Atom Vektor 06. Model Atom Mekanika Kuantum Bab 4. Radioaktivitas 01. Peluruhan Radioaktif 02. Umur Paruh Waktu 03. Umur Rata – rata 04. Aktivitas Unsur Radioaktif 05. Koreksi Massa Berhingga Inti 06. Disintegrasi berturut-turut 07. Hukum Pergeseran Radioaktif
3 BAB 1 RELATIVITAS 1.2 Kerangka Acuan
Posisi/letak suatu benda ditentukan oleh ukuran jaraknya dari suatu benda lain sebagai titik acuan, di mana titik acuan yang menentukan posisi benda-benda lain ini juga dapat berupa sumbu-sumbu koordinat. Sekumpulan sumbu koordinat sebagai acuan/referensi acuan/referensi di mana posisi dan waktu sebuah benda/obyek diukur atau ditentukan disebut kerangka acuan/referensi. Kerangka acuan sebagai referensi waktu pengukuran ini dinyatakan secara bersamaan dengan posisi sebagai satu kesatuan ruang dan waktu. Terdapat beberapa jenis sistem koordinat kerangka acuan yaitu sistem koordinat kartesian, sistem koordinat bola, sistem koordinat silinder, sistem koordinat kurvilinier, dan lain-lain. Nilai-nilai numerik koordinatkoordinat yang memberikan posisi sebuah obyek/benda pada saat itu adalah berbeda-beda untuk sistem koordinat yang berbeda, sehingga memungkinkan untuk menentukan hubungan matematika sederhana antara suatu sistem koordinat kerangka acuan dengan sistem koordinat kerangka acuan yang lain dalam sistem yang berbeda. Hubungan antara suatu sistem koordinat kerangka acuan dengan sistem koordinat kerangka acuan lain disebut transformasi koordinat. Kerangka acuan juga dapat bergerak relatif terhadap kerangka acuan lain. Misal pengamat di dalam mobil yang bergerak dengan kecepatan v menjatuhkan bola di dalam mobil, oleh pengamat di dalam mobil, bola tersebut terlihat jatuh lurus ke lantai mobil dan memantul lurus ke atas, tetapi oleh pengamat yang berada di pinggir jalan, bola tersebut t ersebut terlihat jatuh dan memantul menurut lintasan parabola. Pengamat di pinggir jalan yang berada dalam kerangka acuan diam, melihat pengamat di mobil (yang berada dalam kerangka acuan bergerak dengan kecepatan tetap) bergerak menjauhinya. Sedangkan menurut pengamat di dalam mobil, merasa dirinya diam dan melihat pengamat di pinggir jalan yang bergerak menjauhinya. Sehingga kerangka acuan diam dan kerangka acuan bergerak merupakan istilah relatif yang bergantung di dalam kerangka mana seorang pengamat menilai. Dua kerangka acuan yang bergerak lurus dengan kecepatan tetap satu sama lain adalah ekuivalen dan hukum gerak Newton sama-sama dapat diterapkan pada kedua kerangka acuan tersebut.
Pendahuluan
A. Deskripsi Maka Kuliah Fisika Modern Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan referensi bagi mahasiswa pada perkuliahan Fisika Modern. Materi modul ini disusun berdasarkan pencapaian kompetensi yang tercantum dalam silabus. Di dalam modul ini terdapat contoh – contoh contoh soal sebagai latihan bagi mahasiswa. Setelah mempelajari modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami konsep – konsep konsep yang ada dalam mata kuliah Fisika Modern, sebagai berikut : Definisi kerangka acuan dan gerak relatif, transformasi Galileo, interferometer Michelson – Morley, Morley, transformasi Lorentz, postulat relativitas khusus khusus Einstein, Implikasi teori relativitas khusus Einstein, dan rumuskan efek Doppler relativistik dari cahaya. Radiasi benda hitam, efek fotolistrik, efek Compton, gelombang de Broglie, ketidakpastian Heisenberg, dan mekanika gelombang Schroedinger. Model atom Thomson, Rutherford, dan Bohr, energi transisi menurut model atom vektor, model atom mekanika kuantum, fungsi gelombang elektron pada model atom mekanika kuantum, dan efek Zeeman, pemisahan energi elektron akibat medan magnet luar pada efek Zeeman. Peluruhan unsur radioaktif, umur paruh waktu unsur radioaktif, deskripsi umur rata-rata unsur radioaktif, umur rata-rata unsur radioaktif, dan disintegrasi berturut-turut unsur radioaktif
B. Petunjuk Belajar Modul ini berisi kajian konsep – konsep konsep penting, contoh soal, dan latihan soal yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa dapat mempelajari modul ini secara autodikdak. Untuk mencapai kompetensi yang telah dideskripsikan dalam silabus dan RPP, maka mahasiswa sebaiknya mempelajari modul dengan teliti, kemudian mengerjakan contoh soal dan dilanjutkan latihan soal
4 1.2 Transformasi Galileo
Posisi suatu peristiwa sering kali perlu ditentukan berdasarkan suatu kerangka acuan untuk melaporkan suatu peristiwa pada orang lain. Misal pengamat di titik O berada di kerangka acuan S atau kerangka acuan (x,y,z) akan melaporkan posisi suatu peristiwa di titik P pada gambar 1.1. sebagai P(2,1,2). y 1
S P
2
O
x
2 z Gambar 1.1. Posisi suatu peristiwa P di kerangka acuan (x,y,z)
Hubungan antar kerangka acuan untuk mengambarkan posisi suatu peristiwa dapat dirumuskan berdasarkan pengamat di suatu kerangka acuan terhadap kerangka acuan lain. Misal pengamat O berada di kerangka acuan (x,y,z) dan pengamat lain O' berada di kerangka acuan ( x' , y' , z' ) pada koordinat x = 2, suatu peristiwa di titik P dapat dirumuskan berdasarkan salah satu pengamat. Pengamat O' berada di kerangka acuan ( x' , y' , z' ) akan melaporkan posisi suatu peristiwa di titik P pada kerangka acuan (x,y,z) gambar 1.2. sebagai P − ( 2 − x ) , y', z' .
y
y'
S
S’
1
P O 2
x z
1
O'
2
3
x , x'
x' z'
Gambar 1.2. Posisi P di kerangka acuan O berdasarkan O'
Hubungan antar kerangka acuan juga dapat dirumuskan pada kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap terhadap kerangka acuan lain. Jika pengamat O berada di kerangka acuan (x,y,z,t) dan pengamat lain O ' berada di
5 kerangka acuan ( x' , y' , z' , t' ) di mana pada saat awal t = t' = 0 kedua kerangka acuan tersebut berhimpit. Kerangka acuan ( x' , y' , z' , t' ) kemudian bergerak dengan
kecepatan tetap v
searah sumbu x, sehingga terdapat hubungan
transformasi antara koordinat-koordinat dan waktu dari kerangka acuan (x,y,z,t) ke kerangka acuan ( x' , y' , z' , t' ) pada suatu peristiwa di suatu titik P. Menurut pengamat O' pada gambar 1.3., posisi koordinat suatu peristiwa di titik P yaitu [–(vt–x), y' , z' , t' ], sedangkan menurut pengamat O pada gambar 1.4., posisi koordinat suatu peristiwa di titik P yaitu [(v t' + x' ),y,z,t]. y
y'
S vt
P
S’ v
O'
O
x , x'
x'
x z
z'
Gambar 1.3. Posisi P di kerangka acuan O berdasarkan O'
persamaan transformasi koordinat suatu peristiwa di titik P pada gambar 1.3. menurut pengamat O' yaitu x' = x − vt
y' = y
….………………………………………………. (1.01)
z' = z t' = t y
y'
S vt
z
x
v P
O’
O
S’
x , x'
x'
z'
Gambar 1.4. Posisi P di kerangka acuan O' berdasarkan O
6 persamaan transformasi koordinat suatu peristiwa di titik P pada gambar 1.4. menurut pengamat O yaitu x = x' + vt'
y = y'
…….…………………………………………….…. (1.02)
z = z' t = t' Hubungan transformasi di atas dikenal sebagai persamaan transformasi koordinat Galileo. Persamaan transformasi koordinat (1.02) biasanya disebut transformasi koordinat invers. Jika persamaan tersebut didiferensialkan terhadap waktu, maka akan didapatkan persamaan transformasi kecepatan Galileo yaitu u'x = u x − v u 'y = u y
.…………………………………………………..…(1.03)
u'z = uz di mana u'x =
dx' dx' dt d ( x − vt ) dx − v = = = dt' dt dt' dt dt
dengan t = t' dan v = tetap, jika persamaan di atas didiferensialkan sekali lagi, maka akan didapatkan persamaan transformasi percepatan Galileo, yaitu
a'x = a x a' y = a y
……………………………………………………..…(1.04)
a'z = az Dari transformasi percepatan terlihat bahwa hukum gerak Newton tetap sama di kerangka acuan yang diam atau di kerangka acuan yang bergerak lurus dengan kecepatan tetap, yang artinya pengamat di suatu kerangka acuan akan tidak dapat memutuskan apakah kerangka acuannya diam atau bergerak lurus beraturan melalui percobaan mekanika dalam kerangka acuannya. Misal jika percobaan menjatuhkan bola dilakukan dalam pesawat yang terbang dengan kecepatan tetap dan seluruh jendela pesawat ditutup, maka pengamat di dalam pesawat tidak akan mengetahui dari hasil percobaannya, apakah pesawatnya diam atau bergerak. Ia akan memperoleh hasil percobaan yang sama dengan pengamat yang ada di laboratorium di permukaan bumi (dianggap kerangka acuan diam). Kerangka acuan yang bergerak lurus dengan kecepatan tetap relatif terhadap
7 kerangka acuan yang lain disebut kerangka
inersial. Kesetaraan kerangka inersial
terhadap hukum mekanika klasik dikenal sebagai relativitas Newton. Umumnya dianggap bahwa semua kerangka acuan yang berada di permukaan bumi adalah kerangka-kerangka acuan inersial, walaupun anggapan tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena benda-benda di permukaan bumi bergerak melingkar dengan kecepatan tetap yang tentu saja mengalami percepatan sentripetal menuju pusat bumi. Newton beranggapan bahwa alam semesta ini merupakan ruang absolut/mutlak dan dalam keadaan diam (tidak bergerak), sehingga hukum gerak Newton tetap berlaku baik di kerangka acuan diam maupun di kerangka acuan bergerak (dengan kecepatan tetap v) terhadap ruang absolut ini. Jadi hukum gerak Newton tetap sama di semua kerangka-kerangka inersial. Contoh 1 :
Sebuah mobil A berkecepatan 72 km/jam melewati mobil B yang berkecepatan 18 km/jam, pada saat kedua mobil sejajar kedua pengemudi melihat arlojinya masing-masing dan tepat jam 9.00. Lima detik kemudian pengemudi mobil B melihat burung terbang searah mobilnya dan mengukur jarak burung 200 m di depan mobil B. (mobil A, B, dan burung bergerak searah sumbu x). 1. Bagaimana koordinat burung menurut pengemudi mobil B dan A? 2. Lima detik kemudian pengemudi mobil B melihat burung lagi dan ia mengukur jarak burung tersebut 225 m di depan mobilnya. Hitung kecepatan terbang burung tersebut? Jawab : 1. Koordinat burung menurut pengemudi mobil B
( x1, y1 , z1 , t1 ) = ( 200 m, 0, 0, 5 s ) vA = 72 km/jam = 20 m/s ;
v B = 18 km/jam = 5 m/s
Koordinat burung menurut pengemudi mobil A
( x 2 , y2 , z2 , t2 ) = (125 m, 0, 0, 5 s) , di mana x 2 = x − vt =225 − ( 20)( 5) = 125 m 2. Koordinat burung menurut pengemudi mobil B
( x'1, y'1 , z'1 , t'1 ) = ( 225 m, 0, 0, 10 s)
8 kecepatan burung menurut pengemudi mobil B x' − x 225 − 200 v1 = 1 1 = = 5 m/s t 2 − t1 10 − 5 koordinat burung menurut pengemudi mobil A
( x'2 , y'2 , z'2 , t'2 ) = ( 75 m, 0, 0, 10 s ) , di mana x'2 = x' − vt =275 − ( 20)(10) = 75 m kecepatan burung menurut pengemudi mobil A v2 =
x'2 − x 2 75 − 125 = = − 10 m/s t 2 − t1 10 − 5
Contoh 2 :
Seorang anak berenang bolak-balik dengan kecepatan c menyeberangi sungai yang kecepatan arusnya v di mana lebar sungai yaitu L. Kemudian ia mencoba berenang searah aliran sungai sejauh L dan kembali (menentang arus) sejauh L juga. Tentukan waktu tempuh anak tersebut ketika bolak-balik menyeberangi sungai dan tentukan juga waktu ketika ia berenang searah dan berlawanan arus sungai. Jawab : v
L
L Gambar 1.5. Aliran sungai dengan kecepatan tetap v
Waktu bolak-balik menyeberangi sungai tA =
2L 2
c −v
2
=
2L v2 c 1− 2 c
2L v2 ≈ 1+ ……………..…..…(1.05) c 2c 2
Waktu berenang searah dan berlawanan arus sungai 2Lc 2L 2L v2 tB = 2 = ≈ 1+ ….. …….……….…….(1.06) c c2 v2 c − v2 c 1 − 2 c dengan deret binomial :
n
(1+x ) = 1+ nx +
n ( n − 1) 2 x +iii 2!
9 1.3 Interferometer Michelson – Morley
Telah diketahui bahwa kecepatan gelombang elastik bergantung pada kecepatan medium yang dilaluinya, jadi kecepatan gelombang bunyi dalam udara akan berbeda jika angin bertiup dan jika kerapatan udara berbeda. Berdasarkan prinsip tersebut Michelson dan Morley merancang percobaan untuk mendeteksi apakah terdapat efek yang sama untuk kasus gelombang cahaya. Karena menurut pendapat ilmuwan fisika klasik waktu itu, gelombang cahaya termasuk juga gelombang elastik yang memerlukan medium untuk perambatannya dan karena kecepatan gelombang cahaya sangat tinggi maka medium untuk perambatannya harus mempunyai elastisitas yang sangat tinggi dan kerapatan yang sangat rendah. Medium hipotetik (dugaan) ini mereka namakan ether. Ketika bumi mengelilingi matahari, bumi dianggap akan melewati medium ether dan hal ini akan menimbulkan angin ether yang dianggap akan mempengaruhi kecepatan cahaya pada percobaan Michelson-Morley. v
M1
LA S
LB
M
M2
di mana S = sumber cahaya M = cermin semi transparan M1 & M2 = cermin datar v = kecepatan rotasi bumi LA = jarak M ke M1 LB = jarak M ke M2 P = pengamat
P Gambar 1.6. Interferometer Michelson-Morley
Dari gambar 1.4. didapatkan waktu tempuh cahaya dari M ke cermin yaitu tA =
2LA v2 c 1− 2 c
dan
tB =
2L B v2 c 1 − 2 c
selisih waktu antara waktu tempuh cahaya dari M ke M1 dan dari M ke M2 yaitu ∆t = tA – tB
2 LA LB − ∆t = 2 c v2 v 1− 1 − 2 2 c c
10 Jika alat percobaan diputar 90 0 , maka t'A =
2L A v2 c 1 − 2 c
t'B =
dan
2 LA − ∆t' = t'A − t'B = c v2 1 − 2 c
2LB v2 c 1− 2 c
LB v2 1− 2 c
2 LA LB LA + LB − + ∆t' − ∆t = 2 2 c v2 v2 v v 1 − 2 1 − 2 1 − 2 1− 2 c c c c 2 1 − ∆t' − ∆t = ( L A + LB ) c v2 1 − 2 c
1 v2 1− 2 c
v2 ( L A + LB ) v2 2 ∆t' − ∆t ≈ ( LA + L B ) 2 ≈ c c3 2c
Selisih ini menghasilkan perubahan fase antara 2 cahaya yang masuk teleskop (pengamat) atau yang ditangkap layar. Jika periode vibrasi (getaran) sumber cahaya monokromatik yaitu T, maka pergeseran lingkaran yang teramati diharapkan menjadi
∆N =
∆t'
−
T
∆t
LA + LB v2 = ….....…………….…………...…(1.07) λ c2
Jika terjadi selisih lintasan 1 panjang gelombang (λ) antara 2 cahaya, maka akan menghasilkan pergeseran 1 lingkaran (fringe) yaitu lingkaran bagian dalam akan menggantikan posisi lingkaran bagian luar dan seterusnya. Dari gambar 1.6 di atas, panjang lintasan dari M ke M1 bolak-balik yaitu MM1 +M1M = ct A =
v2 ≈ 2L A 1 − 2 2 v 2c
2L A 1−
c2
11 Dan dari M ke M2 bolak-balik yaitu v2 2LB ≈ 2L B 1 − 2 MM2 +M2 M = ct B = v2 c 1 − 2 c Selisih lintasan cahaya yang sampai pengamat yaitu Lv2 ct B − ct A = 2 c
(jika LA = LB = L)
Jika keseluruhan alat diputar 90 0 , maka v2 2LA ≈ 2LA 1 − 2 MM1 +M1M = ct A = v2 c − 1 2 c 2L B v2 ≈ 2L B 1 − 2 MM 2 +M 2M = ct B = 2 v 2c 1− 2 c
Lv2 ct B − ct A = − 2 (jika LA = LB = L) c Maka selisih lintasan cahaya sebelum dan sesudah alat diputar 900 yaitu Lv 2 2Lv 2 Lv 2 − − 2 = 2 …………….………………………..…(1.08) c2 c c
v2 Jika kecepatan revolusi bumi v ≈ 30 km/s. maka 2 ∝ 10−8 dan jika L = 12,5 c meter, sehingga perubahan yang diharapkan pada selisih lintasan karena 2 perputaran alat 900 yaitu 2L 2v = 2 (12,5 ) (10 − 8 ) m = 2500 A
c
Gambar 1.7 Lingkaran–lingkaran (fringe) interferensi pada interferometer o
Michelson-Morley menggunakan cahaya dengan panjang gelombang λ = 5000 A , maka selisih lintasan di atas sebesar ½ panjang gelombang sumber cahaya yang digunakan, sehingga diharapkan akan menghasilkan pergeseran lingkaran
12 interferensi sebesar ½ atau 0,5 yaitu posisi lingkaran pertama berubah menjadi lingkaran yang terletak antara lingkaran pertama dengan lingkaran kedua (garis putus-putus), lingkaran kedua menjadi lingkaran yang terletak antara lingkaran kedua dengan lingkaran ketiga (garis putus-putus) dan seterusnya lihat gambar 1.7. Tetapi pergeseran lingkaran sebesar 0,5 tersebut ternyata tidak teramati pada eksperimen, sehingga Michelson-Morley kemudian menyimpulkan : 1. Tidak terdapat kecepatan relatif antara bumi dan ether, dengan kata lain ether sebenarnya tidak ada. 2. Kerangka acuan absolut yang diusulkan Newton tidak ada dalam kenyataan. 3. Kecepatan cahaya sama di semua kerangka inersial. Alat interferometer dapat juga digunakan untuk menentukan panjang gelombang (λ) suatu sumber cahaya monokromatik, yaitu dengan memasang v = 0 (karena tidak ada ether maka tidak ada efek kecepatan rotasi bumi dan interferometer dianggap berada dalam kerangka referensi diam ).
∆t = t A − t B
∆t =
2 c
∆t =
2 L −L c A B
∆t
2d cT
T
=
N= N=
LA LB − v2 v2 1− 2 1 − 2 c c
2d f c 2d
λ
λ=
d = L A − LB
dengan
dengan
N=
dengan
λ=
∆t T
dan
f =
1 T
c f
2d N
N = jumlah pergeseran lingkaran interferensi d = selisih lintasan cahaya yang dapat diketahui dari micrometer sekrup
λ = panjang gelombang sumber cahaya monokromatik
13 Contoh 3 :
Suatu percobaan dipakai interferometer Michelson-Morley untuk menguji keberadaan zat eather sebagai medium perambatan cahaya. Jarak antara cermin datar dan cermin semi transparan pada interferometer 22,5 meter dan kecepatan o
revolusi bumi v ≈ 30 km/s serta menggunakan sumber cahaya λ= 6000 A . Alat interferometer diletakkan di atas gunung dan percobaan dilaksanakan pada saat tidak ada angin. Jika dimisalkan terdapat eather di luar angkasa, tentukan berapa persen jarak pergeseran fringe pada pengamatan di alat interferometer? Jawab: 2 2 ( 22, 5 ) ( 9.10 8 ) 2 ( 22, 5 )( 30000 ) 2Lv 2 −7 = = = m 4, 5.10 m 4500 A λ= 2 = 2 9.1016 c ( 3.10 8 ) o
Jika sumber cahaya monokromatik 6000 A , maka persentase pergeseran fringe 4500 6000 x100% = 75% Contoh 4 :
Alat interferometer Michelson-Morley digunakan untuk menentukan panjang gelombang (λ) suatu sumber cahaya monokromatik. Jika selisih jarak lintasan cahaya antara cermin tetap 1 – cermin semi transparan dengan cermin tetap 2 – cermin semi transparan untuk 10 kali pergeseran lingkaran interferensi adalah 3.10–6 m, tentukan λ sumber cahaya yang digunakan dalam percobaan ? Jawab: −6 o 2d 2 ( 3.10 ) = = 6.10 − 7 m = 6000 A λ= N 10
contoh 5 :
Di percobaan Interfero Michelson-Morley, jarak lintasan optik (L) yaitu 10 m dan o
cahaya yang digunakan λ = 4000 A , kecepatan revolusi bumi v = 30 km/s. Hitung pergeseran fringe yang akan teramati seandainya eather benar-benar ada. Jawab : N=
2
2 (10 ) ( 3.104 )
2
2Lv = 0,5 2 = 2 7 8 − λc ( 4.10 ) (3.10 )
14 1.4 Transformasi Koordinat Lorentz
Ciri-ciri suatu transformasi persamaan yaitu : a. Agar kedua kerangka inersial (x,y,z,t) dan ( x' , y' , z' , t' ) sama, maka persamaan transformasi harus simetris, kecuali tanda kecepatan relatif antara dua sistem, akan positif di suatu sistem dan negatif di sistem lain. b. Jika semua kuantitas (x,y,z,t) berhingga, maka kuantitas ( x' , y' , z' , t' ) yang diperoleh dari transformasi harus juga berhingga. c. Ketika kecepatan relatif kedua kerangka nol, maka hubungan transformasi harus memberikan nilai-nilai koordinat dan waktu yang sama untuk kedua sistem yaitu x = x' , y = y' , z = z' , t = t' . d. Hukum penjumlah kecepatan yang diperoleh dengan menggunakan hubungan transformasi harus menggunakan kecepatan cahaya sama (invariant) di dalam semua kerangka inersial. Transformasi Lorentz didasarkan atas dua hal yaitu 1. Waktu pada kedua kerangka inersial berbeda (t ≠ t' ) 2. Kecepatan cahaya sama menurut pengamat di kedua kerangka. Didasarkan hal tersebut, transformasi Galileo perlu diubah bentuk persamaannya dengan memasukkan konstanta γ (untuk kerangka acuan bergerak searah sumbu x dengan kecepatan tetap v terhadap kerangka lain) yaitu
x = γ ( x'+ vt') dan
x' = γ ( x − vt ) ..……………………………..(1.09)
nilai γ di kedua kerangka inersial sama x = ct
dan
x' = ct'
…………..…………………... (1.10)
nilai c sama di kedua kerangka inersial dan x' disubstusikan ke persamaan x x = γ γ ( x − vt ) + vt' …………………………………………….. (1.11) x = γ 2 x − γ 2 vt + γvt' x − γ 2 x + γ 2 vt = γvt'
γvt' = ( γv ) γt + (1 − γ 2 ) x 1 − γ2 t' = γt + x ………………………………………………. (1.12) v γ
persamaan (1.09) dan (1.12) disubstitusikan ke persamaan (1.10)
15 x' = ct' γ ( x − vt ) = c γt +
1 − γ2 x γ v
1 − γ2 γx − c x = γct + γvt v γ
masing – masing sisi persamaan dikali dengan c 1 − γ2 x γ − c c = ct ( γc + γv ) γ v
x = ct
( γc + γv ) 1 − γ2 2 γc − c v γ
persamaan tersebut di atas harus sesuai dengan x = ct, maka ( γc + γv ) = 1 1 − γ2 2 γc − c v γ 1 − γ2 2 c = − γv v γ
(1 − γ 2 ) c2
= − γ2 v2
c2 = γ 2 ( c2 − v 2 )
γ =
1 2
v c2 1 v2 = 1 − 2 c γ2 1−
maka ………………………………….………...…. (1.13)
atau
v2 1 1 = − c2 γ2
nilai γ ini disubstitusikan ke persamaan (1.12) 1 − γ2 t' = γ t + 2 x γ v 1 γ2 −1 t' = γ t + v
x
maka
16 t' = γ t −
Sehingga
vx = c2
1 1−
vx t − 2 c v2 c2
persamaan transformasi koordinat Lorentz untuk
kerangka acuan
yang bergerak searah sumbu x dengan kecepatan tetap v terhadap kerangka lain yaitu ( x − vt )
x' =
1−
y' = y
v c2
………………………………….………………..….. (1.15)
z' = z
………………………………….………………...…. (1.16) 1
t' =
………………………….………………...…. (1.14)
2
vx t − 2 c v2
1−
………………….………………...…. (1.17)
c2
persamaan transformasi invers Lorentz dengan persamaan x disubstitusikan ke persamaan x' x' = γ γ ( x' + vt') − vt
atau
x' = ( γ 2 x' + γ 2 vt') − γvt
γvt = γ 2 vt' + γ 2 x' − x'
γvt = ( γv ) γt' + ( γ 2 − 1) x' γ2 −1 t = γt' + x' atau v γ
t = γ t' + 1 −
x' + vt' v2 1− 2 c
x=
γ2 −1 t = γ t' + 2 x' γ v
1 x' γ2 v ………………………….……………...……. (1.18)
y = y'
………………………………….………………….... (1.19)
z = z'
………………………………….………………….... (1.20)
t=
1 1 −
vx' t' + 2 …….....…………….…………………..…. (1.21) c v2 c2
17 kecepatan cahaya selalu tetap pada pengamat diam maupun bergerak, untuk pengamat diam, x = ct x' =
x − vt ct − vt = = 2 2 v v 1 − 2 1 − 2 c c
v c
1 − = ct v v 1+ 1 − 1 + c c
v c v c
v c v c
1 − x' = ct 1 +
vx t − 2 c = t' = v2 1 − 2 1 c t −
1 − t' = t 1 +
ct 1 −
v 2 ct c =
v2 − 2 c
t 1 −
v c
1 − =t v v 1+ 1 − 1 + c c
v c v c
v c v c
maka untuk pengamat bergerak x' = ct' .
Jadi kecepatan cahaya selalu tetap,
baik menurut pengamat diam maupun pengamat bergerak. Contoh 6 :
Persamaan Maxwell pada pola rambatan cahaya yaitu x2 + y2 + z2 – c2t2 = 0 apakah persamaan tersebut invarian terhadap transformasi Galileo atau transformasi Lorentz ?. Jawab : x2 + y2 + z2 – c2t2 = 0...……………………….……………………. (1.22) Menurut transformasi Galileo : 2
2
x 2 = ( x'+ vt') = ( x') + 2x'vt'+ v2 ( t') 2
y2 = ( y') z2 = ( z')
2
2
t 2 = ( t' )
2
18 ke empat persamaan transformasi Galileo lalu disubstitusikan ke persamaan (1.22) dalam contoh soal. x2 + y2 + z2 – c2t2 = 0 ( x')2 + 2x'vt'+ v2 ( t' )2 + ( y')2 + ( z') 2 − c2 ( t') 2 = 0 2
2
2
( x'+ 2vt') x'+ ( y') + ( z') + v 2 − c 2 ( t') = 0 .……….….……….. (1.23) ternyata persamaan (1.23) bentuknya
tidak sama
dengan persamaan (1.22),
sehingga persamaan Maxwell pola rambatan cahaya tersebut tidak invarian di bawah transformasi Galileo. Menurut transformasi Lorentz 2 2 2 x 2 = γ ( x' + vt') = γ 2 ( x') + 2x'vt'+ v 2 ( t' )
2
y2 = ( y') z2 = ( z')
2 2
vx' 2 2v v2 2 2 2 t = γ t' + 2 = γ ( t') + 2 x't'+ 4 ( x') c c c
substitusikan ke persamaan (1.22) 2 2v v2 γ ( x') + 2x'vt'+ v ( t ') + ( y') + ( z') − c γ ( t') + 2 x't'+ 4 ( x') = 0 c c 2
2
2
2
2
2
2 2
2
v2 2 γ ( x') + 2x'vt'+ v ( t ') + ( y') + ( z') − γ c ( t') +2vx't'+ 2 ( x ') = 0 c 2
2
2
2
2
2
2 2
2
v2 2 2 2 2 ( y') + ( z') + γ 1 − 2 ( x') + γ ( v − c 2 ) ( t') = 0 c 2
2
2
v2 2 2 2 v2 2 ( y') + ( z') + γ 1 − 2 ( x') − c γ 1 − 2 ( t') = 0 c c 2
2
2
v2 = 1 − 2 c γ2
1
dengan 2
2
2
2
( x') + ( y') + ( z') − c2 ( t') = 0 Bentuk persamaan (1.24)
sama
…….…….………………..…. (1.24)
dengan persamaan (1.22), maka persamaan
Maxwell tersebut invarian terhadap transformasi Lorentz.
19 1.5 Transformasi Kecepatan Lorentz
Persamaan transformasi koordinat Lorentz untuk kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap v searah sumbu x terhadap kerangka acuan lain yaitu
x' = γ ( x − vt ) ; y' = y ;
z' = z ; t' = γ t −
vx c2
lalu persamaan transformasi koordinat Lorentz didiferensialkan terhadap waktu dx' dx dt = γ − v ; dt dt dt dengan
dx dy dz = u x ; = u y ; = u z dan dt dt dt
sehingga jika
jika
jika
dy' dy = ; dt dt
dy' dx' = uy ; = γ ( u x − v ) ; dt dt
dz' dz = ; dt dt
dt' dt v dx = γ − 2 dt dt c dt
dx' dy' dz' = u'x ; = u'y ; = u'z dt' dt' dt'
dz' = uz ; dt
dt' vu = γ 1 − 2 x dt c
γ (ux − v) (ux − v) dx' dt' dx' = dibagi , maka = dt dt dt' γ 1 − v u x 1 − v u x c2 c2 uy dy' dt' dy' dibagi , maka = dt dt dt' γ 1 − v u x c2
dz' uz dz' dt' = dibagi , maka dt dt dt' γ 1 − v u x c2
sehingga
dengan
γ =
persamaan transformasi kecepatan Lorentz untuk
1 v2 1 − 2 c
kerangka acuan
yang bergerak dengan kecepatan tetap v searah sumbu x terhadap kerangka acuan lain yaitu u'x =
u'y =
u'z =
(ux − v) v ux 1 − 2 c
uy γ 1 − v u2x c uz γ 1 − v u2 x c
……………………………………..…...…… (1.25)
……………………………………..…...…… (1.26)
……………………………………..……...… (1.27)
20 Benda bergerak yang berada di kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap v searah sumbu x terhadap kerangka acuan lain, jika kecepatan kerangka acuan v << c maka
u'x = u x − v atau
v ≈ 0 sehingga persamaan (1.25) menjadi c2
dx' dx − v yang sesuai dengan persamaan transformasi = dt' dt
kecepatan Galileo. Untuk kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan v ≈ c searah sumbu x maka u'x =
(ux − c) ( u − c) = − c , yang , sehingga u'x = x 1 c ux (c − ux ) 1 − 2 c c
menunjukkan kecepatan benda yang berada di kerangka acuan diam seolah – olah bergerak menuju ke sumbu x negatif, karena besarnya kecepatan kerangka acuan c ke arah sumbu x positif, ini sesuai dengan postulat Einstein, di mana kecepatan cahaya tetap c dan tidak bergantung pengamat diam maupun pengamat bergerak. Dari persamaan transformasi koordinat Lorentz invers vx' c2 persamaan transformasi kecepatan Lorentz invers untuk kerangka acuan yang
x = γ ( x' + vt') ;
y = y' ;
z = z' ;
t = γ t' +
bergerak dengan kecepatan tetap v searah sumbu x dapat diturunkan di bawah ini. dx dt' dy dy' dx' = = γ + v ; ; dt dt ' ' ' ' dt' dt dt dengan sehingga
dz dz' = ; dt' dt'
dt dt' v dx' = γ + 2 dt' dt' c dt'
dx' dy' dz' dx dy dz = u'x ; = u'y ; = u'z dan = u x ; = u y ; = u z dt' dt' dt' dt dt dt dx dy = γ ( u'x + v ) ; = u'y ; dt' dt'
dz = u'z ; dt'
dt v u' = γ 1 + 2 x dt' c
γ ( u'x + v ) ( u'x + v ) dx dx dt = = dibagi , maka v u' v u' dt dt' dt' γ 1 + 2 x 1 + 2 x c c u' y dy dy dt = jika dibagi , maka v u' dt dt' dt' γ 1 + 2 x c dz u'z dz dt 1 = jika dibagi , maka dengan γ = v u' dt' dt' dt v2 γ 1 + 2 x 1− 2 c c jika
21 maka transformasi kecepatan Lorentz invers yaitu : ux =
uy =
uz =
u'x + v v 1 + 2 u'x c u' y v u' γ 1 + 2 x c u'z v u' γ 1 + 2 x c
……………………………………..……...… (1.28)
……………………………………..……...… (1.29)
……………………………………..……...… (1.30)
Ilustrasi penjumlahan kecepatan dapat diuraikan sebagai berikut : Misal ada dua orang pengamat yaitu A dan B, pengamat A berada di luar gerbong kereta, pengamat B berada di dalam gerbong kereta. Pengamat A diam di pinggir rel kereta. Kereta bergerak dengan kecepatan v relatif terhadap pengamat A, sedangkan pengamat B berjalan di dalam gerbong dengan kecepatan
u relatif
terhadap kereta dan searah gerak kereta. Bagaimana kecepatan relatif pengamat B menurut pengamat A?
Bagaimana kecepatan relatif pengamat A menurut
pengamat B?. v
B
u
A
Berdasarkan Tansformasi kecepatan Galileo : Kecepatan relatif pengamat B menurut pengamat A
uB = u + v Kecepatan relatif pengamat A menurut pengamat B
u A = −u − v Berdasarkan Tansformasi kecepatan Lorentz : Kecepatan relatif pengamat B menurut pengamat A uB =
u+v vu 1+ 2 c
22 Kecepatan relatif pengamat A menurut pengamat B uA =
− (u + v) −u − v = v ( −u ) 1 + vu 1− 2 2
c c Misal ada dua orang pengamat yaitu A dan B, pengamat A berada di luar gerbong kereta dan diam di pinggir rel kereta, sedangkan pengamat B diam dan berada di dalam gerbong kereta yang bergerak dengan kecepatan v relatif terhadap pengamat A. Pengamat B menyalakan senter ke ujung depan gerbong (gambar P), cahaya senter bergerak dengan kecepatan c dan jika pengamat A yang pegang dan menyalakan senter (gambar Q dan R), jika B memegang senter sambil jalan (gambar S) dan menyalakan senter ke depan dan pengamat A yang pegang dan menyalakan senter (gambar T, U, dan V) bagaimana kecepatan cahaya relatif menurut pengamat A? bagaimana kecepatan cahaya relatif menurut pengamat B?. c
B
v
v
B
A
c
A
Gambar P.
Gambar Q. v
B c
A
Gambar R. u
B
c
v
B c
A
A
Gambar S. u
Gambar T. v
v
u
B c
v
u
B A
Gambar U.
c
A
Gambar V.
23 Berdasarkan transformasi kecepatan Galileo : Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat A pada gambar P (B pegang senter) uC = c + v Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar Q (A pegang senter) uC = c − v Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar R (A pegang senter)
u C = −c − v = − ( c + v ) Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat A pada gambar S (B pegang senter) uC = u + c + v Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar T (A pegang senter) uC = c − u − v Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar U (A pegang senter)
u C = −c − u − v = − ( c + u + v ) Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar V (A pegang senter)
u C = −c + u − v = − c + ( u − v ) Berdasarkan tansformasi kecepatan Lorentz Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat A pada gambar P c + v c + v c (c + v ) = = =c vc v (c + v ) 1+ 2 1+ c c Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar Q uC =
c − v c − v c (c − v) = = =c vc v (c − v) 1− 2 1− c c Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar R uC =
uC =
− ( c + v ) −c ( c + v ) −c − v = = = −c v v ( −c ) c v + ( ) 1+ 1− 2
c c Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat A pada gambar S uC =
c + ( u + v ) c + ( u + v ) c c + ( u + v ) = = =c c + ( u + v) (u + v) c ( u + v) 1+ 1+ c2 c
24 Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar T c − ( u + v ) c − ( u + v ) c c − ( u + v ) = = =c uC = c − (u + v) (u + v) c ( u + v) 1− 1− c2 c Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar U
uC =
−c − ( u + v ) − ( c + u + v ) −c ( c + u + v ) = = = −c c + (u + v) ( u + v )( −c ) (u + v) 1− 1+ 2
c c Kecepatan relatif cahaya menurut pengamat B pada gambar V uC =
−c − ( − u + v ) − ( c − u + v ) −c ( c − u + v ) = = = −c ( −u + v )( −c ) ( −u + v ) c + ( −u + v ) 1− 1+ 2
c c Jadi kecepatan cahaya mempunyai nilai atau besar yang tetap yaitu c di semua kerangka acuan inersial dan tidak bergantung kecepatan pengamat. Contoh 7 :
Dalam kerangka S, 2 elektron mendekat dalam arah sumbu x satu sama lain, masing-masing mempunyai laju v = 0,5 c. Berapakah laju relatif kedua elektron tersebut? Jawab : Laju relatif 2 elektron adalah laju salah satu elektron dalam kerangka di mana elektronnya diam. Misal kerangka O' sebagai pengamat bergerak dengan laju 0,5c arah sumbu – x (negatif). Elektron lain bergerak dengan laju 0,5c dalam arah sumbu +x (positif). u 'x =
ux − v v 1 − 2 u x c
u'x =
0,5c − ( −0,5c ) c c 4c = = = −0,5c 1 − 2 0,5c 1 + 0, 25 1,25 5 c
u'x = 0,8c
di mana ux = gerak elektron (ke arah sumbu x+) dan v = gerak kerangka O' (ke arah sumbu x – )
25 Contoh 8 :
Dalam kerangka O, sebuah elektron mempunyai kecepatan 0,6c dalam arah sumbu x, sebuah foton kecepatan c dalam arah sumbu y. Bagaimana kecepatan relatif elektron dan foton ? Jawab : Kecepatan foton bila diamati oleh elektron Kecepatan foton di kerangka O ux = 0 uy = c Pengamat di kerangka O' = elektron, kecepatan kerangka acuan v = 0,6c u'x =
ux − v 0 − 0,6c = = − 0,6c vu x 0,6c 0 ( )( ) 1− 2 1 − c ( c) (c ) 2
( 0,6c ) v2 uy 1 − 2 c 1 − c = c2 u'y = = c 0,64 = 0,8c vu x 0,6c 0 ( )( ) 1 − 2 1− c c2 2
2
2
2
u' = ( u'x ) + ( u'y ) = ( −0,6c ) + ( 0,8c ) = c ( 0,36) + ( 0,64) = c Kecepatan elektron bila diamati oleh foton Kecepatan elektron di kerangka O ux = 0,6c uy = 0 Pengamat di kerangka O' = foton, kecepatan kerangka acuan v = c u −v −c 0−c u'y = y = = = −c vu y ( c ) (0 ) 1 1− 2 1 − c ( c) (c ) 2
(c) v2 ux 1 − 2 ( 0,6c ) 1 − 2 c = c =0 u'x = vu ( c ) (0 ) 1 − 2y 1− c c2 2
2
2
2
u' = ( u'x ) + ( u'y ) = ( 0) + ( −c ) = c
26 1.6 Transformasi Percepatan Lorentz
Persamaan Transformasi kecepatan Lorentz jika didiferensialkan terhadap waktu harus menggunakan differensial parsial, ini karena pada transformasi kecepatan Lorentz, pembilang dan penyebut persamaan transfomasi kecepatan masing-masing mengandung variabel waktu, sehingga perlu menggunakan kaidah differensial parsial berikut da db ( b ) + (a ) d a dt dt = dt b b2
maka jika persamaan (1.25, 1.26, dan 1.27) didiferensialkan terhadap waktu sumbu x :
du x v u x v du x − − − 1 u v ( ) x − 2 dt 2 du'x dt c c = 2 dt v ux 1 − 2 c 2 v u x a x v u xa x v 2a x 1 − v a x ax − 2 + 2 − 2 c2 du'x c c c = = 2 2 dt v ux v ux 1 − 2 1 − 2 c c
sumbu y :
du y v u x γ γ 1 − 2 − u y − v2 du x du'y dt c c dt = 2 dt v ux 2 γ 1 − 2 c
du'y = dt
sumbu z :
v u x γvu y a x + c2 c2 2 v ux 2 γ 1 − 2 c
a y γ 1 −
γv du du z v u x γ 1 − 2 − u z − 2 x du'z dt c c dt = 2 dt v ux 2 γ 1 − 2 c du'z = dt
v u x γvu z a x 2 + c c2 2 v ux 2 γ 1 − 2 c
a z γ 1 −
27 jika
du'x dt' dt' vu dibagi di mana = γ 1 − 2 x dt dt dt c
maka
v2 1 − 2 du'x c =
dt'
v ux a x 1 − 2 c γ 1 − v u2 x c
2
v2 1 − ax du'x c2 ax = = 3 dt' vu v ux γ 1 − 2 γ3 1 − 2 x c c
du'y dt' jika dibagi dt dt
maka
v2 1 1 − 2 = 2 c γ
v u x γvu y a x v ux 2 γ γ a 1 1 − + − du'y y c2 c2 c2 = vu dt' γ 1 − 2 x c
du'y = dt' du'y = dt'
jika
dengan
3
2
v u x γvu y a x + c2 c2 3 v ux 3 γ 1 − 2 c
a y γ 1 −
ay
γ 1 − v u2 x c 2
2+
vu y a x vu ( γc ) 1 − 2 x c 2
3
du'z dt' dibagi dt dt
maka
v ux a γ 1− 2 du'z z c =
dt'
du'z = dt'
v ux γvu z a x 2 γ 1 − + c2 c2 γ 1 − v u2 x c
v u x γvu z a x 2 + c c2 3 v ux 3 γ 1 − 2 c
a z γ 1 −
2
28 du'z = dt'
dengan
az vu z a x + 2 3 v ux v ux 2 2 γ 1 − 2 ( γc ) 1 − 2 c c
du y du x du = a y ; z = a z = a x ; dt dt dt
du' du'x du'z = a'x ; y = a'y ; = a'z dt' dt' dt' sehingga persamaan transformasi percepatan dan
Lorentz untuk
kerangka acuan
yang bergerak dengan kecepatan tetap v searah sumbu x terhadap kerangka acuan lain yaitu a'x =
a'y =
ax 3 v ux 3 γ 1 − 2 c ay
γ 2 1 − v u2 x
a'z =
c
2+
……………………………………..……...… (1.31)
vu y a x ( γc ) 1 − 2
3
v ux c2
az vu z a x + 2 3 v ux v ux 2 2 γ 1 − 2 ( γc ) 1 − 2 c c
……………..……...… (1.32)
……………..……...… (1.33)
Untuk Tranformasi percepatan invers dapat dirumuskan dengan cara persamaan transformasi (1.28, 1.29, dan 1.30) didiferensialkan terhadap waktu sumbu x :
v du' du'x v u'x 1 + 2 − ( u'x + v ) 2 x du x dt' c c dt' = 2 dt' v u'x 1 + 2 c v u'x a'x v u'x a'x v2 a'x − − 2 a'x + 2 2 du x c c c = 2 dt' v u'x 1 + 2 c v2 1 − a'x du x c 2 = dt' v u'x 2 1 + 2 c
dengan
v2 1 1 − 2 = 2 c γ
29
sumbu y :
du'y v u'x γv du'x γ 1 + 2 − u'y 2 du y dt' c c dt' = 2 dt' v u'x 2 γ 1 + 2 c
du y = dt'
sumbu z :
du x dt dibagi dt' dt'
maka
v u'x γvu'ya'x − c 2 c2 2 v u'x 2 γ 1 + 2 c
γv du' du'z v u'x γ 1 + 2 − u'z 2 x du z dt' c c dt' = 2 dt' v u'x 2 γ 1 + 2 c du z = dt'
jika
a'y γ 1 +
v u'x γvu'za'x − c 2 c2 2 v u'x 2 γ 1 + 2 c
a'z γ 1 +
dt v u' = γ 1 + 2 x dt' c
dengan
v2 v u'x 1 − 2 a'x 1 + 2 c du x c = ' dt γ 1 + v u2 x c
2
v2 1 − 2 a'x du x c a'x = = 3 3 dt v u'x v u'x 3 γ 1 + 2 γ 1 + 2 c c
jika
du y dt dibagi dt' dt'
maka
v u' v u'x γvu'y a'x ' a γ γ 2 1 + 2 x y 1 + 2 − 2 du y c c c = ' dt γ 1 + v u2 x c
2
30 du y = dt du y = dt
jika
v u'x γvu'y a'x − c 2 c2 3 v u'x 3 γ 1 + 2 c
a'y γ 1 +
a'y v u' γ 1 + 2 x c 2
2−
vu'ya'x v u' ( γc ) 1 + 2 x c 2
3
du z dt dibagi dt' dt'
v u'x γvu'za'x 2 v u'x a γ γ 1 + 2 ' z 1+ 2 − du z c c2 c maka = v u' dt γ 1 + 2 x c
du z = dt du z = dt sehingga
2
v u'x γvu'za'x − c 2 c2 3 v u'x 3 γ 1 + 2 c
a'z γ 1 +
a'z vu'z a'x − 2 3 v u'x v u 'x 2 2 γ 1 + 2 ( γc ) 1 + 2 c c
persamaan transformasi percepatan Lorentz invers untuk
kerangka
acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap v searah sumbu x terhadap kerangka acuan lain yaitu ax =
ay =
a'x 3 v u'x 3 γ 1 + 2 c
a'y
γ 2 1 +
az =
v u'x c2
2−
……………………………………..……...… (1.34)
vu'ya'x 2
( γc ) 1 +
3
v u 'x c2
a'z vu'z a'x 2− 3 v u v u ' ' 2 γ 2 1 + 2 x ( γc ) 1 + 2 x c c
……………..……...… (1.35)
……………..……...… (1.36)
31 Contoh 8 :
Sebuah partikel B (berada pada kerangka acuan S’ yang berkecepatan tetap 0,6c) bergerak dalam arah sumbu x dengan percepatan 10 m/s , partikel A (berada pada kerangka acuan diam S) bergerak dalam
0
tentukan
percepatan relatif partikel B menurut partikel A? Jawab : Percepatan partikel A menurut partikel B v = 0,6c ax = 0 m/s2 ay = 20 m/s2 .
γ=
1 v2 1 − 2 c
1
=
( 0,6c ) 1 − c2
a'x =
ax 3 v ux 3 γ 1 − 2 c
a'x =
ax 3 v ux 3 γ 1 − 2 c
a'y =
ay
γ 1 − v u2x c 2
2+
2
=
1 1 − 0,36
vu y a x vu ( γc ) 1 − 2 x c 2
3
B 0’
Tentukan percepatan relatif partikel A dan
2
A
arah sumbu y dengan percepatan 20 m/s . B?
v = 0,6c
20 m/s2
2
partikel
S’
S
2
menurut
y’
y
=
10 5 = 8 4
10 m/s
x' x
32 1.7 Relativitas Khusus Einstein
Percobaan Michelson–Morley sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip relativitas, yaitu ekuivalensi kerangka-kerangka inersial berbeda. Tetapi percobaan tersebut bertentangan dengan hukum penjumlahan kecepatan pada hubungan transformasi Galileo, tetapi karena kecepatan cahaya c sama di semua kerangka inersial, sehingga perlu merevisi persamaan transformasi Galileo. Persamaan elektromagnet Maxwell tidak mematuhi prinsip relativitas Newton karena tidak
kovarian terhadap
transformasi Galileo, sedang hukum
mekanika klasik mematuhi relativitas Newton, tetapi relativitas Newton tidak merepresentasikan hukum mekanika klasik. Untuk mengatasi hal tersebut, Einstein tahun 1905 mengusulkan prinsip relativitas baru yang dikenal sebagai teori relativitas khusus yang berupa dua postulat sebagai berikut : 1. Semua hukum-hukum fisika, elektromagnet dan mekanika, harus kovarian di dalam semua kerangka acuan yang bergerak linier dengan v tetap, relatif terhadap kerangka acuan yang lain (di dalam semua kerangka inersial). 2. Kecepatan cahaya adalah sama di dalam semua kerangka acuan inersial dan tidak bergantung kecepatan pengamat atau kecepatan sumber cahaya. Sepintas nampak postulat pertama mirip dengan relativitas Newton, tapi sebenarnya beda karena Newton mempostulatkan adanya kerangka acuan absolut sedang Einstein tanpa kerangka acuan absolut dan berlaku baik hukum mekanika maupun hukum-hukum ektromagnet. Inti dari postulat Enistein yaitu hukumhukum fisika sama di
dalam kerangka acuan inersial dan
kecepatan cahaya
sama di semua pengamat.
Postulat kedua Einstein menghendaki perubahan/penggantian hubungan transformasi Galileo dengan hubungan transformasi baru antara 2 kerangka acuan inersial O(x,y,z,t) dan O' ( x' , y' , z' , t' ). Transfomasi baru pengganti transformasi Galileo telah dirumuskan oleh H.A. Lorentz yang juga menurunkan persamaan transformasi dengan menganggap bahwa kecepatan cahaya tetap invarian di transformasi baru tersebut. Lorentz menganggap bahwa koordinat waktu (t) tidak sama di kerangka acuan inersial yang berbeda, tetapi dalam transformasi Galileo waktu dianggap sama di kerangka acuan inersial yang berbeda. Relativitas khusus Einstein dikatakan khusus karena hanya dibatasi pada kerangka acuan inersial.
33 Rangkuman Teori Relativitas : 1. Kecepatan cahaya mempunyai nilai yang sama di semua kerangka acuan inersial dan tidak bergantung kecepatan pengamat. 2. Waktu di kerangka acuan diam sama dengan waktu di kerangka acuan bergerak menurut transformasi Galileo. 3. Waktu di kerangka acuan diam berbeda dengan waktu di kerangka acuan bergerak menurut transformasi Lorentz. 4. Menurut relativitas Galileo, hukum-hukum fisika mempunyai bentuk sama (invarian) di semua kerangka acuan inersial. 5. Menurut relativitas Einstein, hukum-hukum fisika adalah sama di semua kerangka acuan inersial. 6. Keserempakkan suatu kejadian adalah relatif dan bergantung pengamat. 7. Benda dikatakan bergerak atau diam adalah relatif dan bergantung pengamat 8. Persamaan gelombang elektromagnetik Maxwell tidak invarian terhadap transformasi Galileo. 9. Persamaan gelombang elektromagnetik Maxwell invarian terhadap transformasi Lorentz.. 10. Tidak terdapat kerangka acuan mutlak di alam semesta 11. Tidak terdapat zat ether di alam semesta 12. Dalam relativitas, peran pengamat sangat penting. Pengamat menentukan atau mempengaruhi suatu kejadian. 13. Kerangka acuan inersial adalah kerangka acuan yang bergerak lurus dengan kecepatan tetap relatif terhadap kerangka acuan lain 14. Dikatakan invarian jika persamaan hasil transformasi mempunyai bentuk sama dengan persamaan keadaan awal atau sebelum transformasi. 15. Relativitas Einstein akan terlihat efeknya untuk benda-benda yang bergerak mendekati kecepatan cahaya. Konsekuensi-konsekuensi dari postulat Einstein yaitu : 1. Keserempakan yang Relatif 2. Dilatasi Waktu 3. Kontraksi Panjang 4. Pemuaian massa
34 1.8 Keserempakan yang Relatif
Einstein menunjukkan prinsip relativitas yang merupakan ekuivalensi kerangka-kerangka inersial berbeda di mana kecepatan cahaya c sama di semua kerangka inersial dengan ilustrasi sebagai berikut, misal sebuah kereta api mempunyai panjang 2L bergerak dengan kecepatan tetap v, di tengah gerbong seorang pengamat mengirim sinyal cahaya ke ujung depan gerbong dan ke ujung belakang gerbong secara bersamaan. Menurut pengamat yang berada di tengah gerbong (dalam gerbong), sinyal cahaya nampak mencapai kedua ujung gerbong secara bersamaan dengan waktu t = L c . Tetapi menurut pengamat di luar gerbong yang diam di pinggir rel, sinyal cahaya nampak mencapai ke dua ujung gerbong dengan waktu yang berbeda. Menurut Einstein, karena cahaya sama untuk kedua pengamat tersebut,
sehingga waktu yang terukur
oleh pengamat di luar gerbong yaitu : waktu tempuh cahaya ke gerbong belakang, yaitu : L ct1 = L + vt1 dan t1 = c−v waktu tempuh cahaya ke gerbong depan, yaitu : L ct2 = L + vt2 dan sehingga t2 = c+v 2L
kecepatan
t1 ≠ t2 2L v
v
Gambar 1.8. Ilustrasi tentang Keserempakan yang Relatif Jadi dua peristiwa/kejadian yang nampak terjadi secara bersamaan oleh pengamat di gerbong, akan nampak berbeda oleh pengamat di luar gerbong (diam di pinggir rel).
Dua kejadian pada lokasi berbeda yang nampak serempak di suatu
kerangka acuan, tidak akan serempak pada kerangka acuan inersial lain . Ini
menunjukkan bahwa keserempakan itu relatif dan koordinat waktu tidak sama pada kerangka acuan inersial yang berbeda. Jika kecepatan gerbong sangat kecil dari kecepatan cahaya yaitu v << c, maka t1 ≈ t2 yang sesuai dengan postulat Newton.
35 1.9 Dilatasi Waktu
Peristiwa dilatasi waktu (pemuluran waktu) merupakan salah satu implikasi dari teori relativitas khusus Einstein yang dapat dibuktikan secara eksperimen. Pemahaman tentang dilatasi waktu dapat dirumuskan sebagai berikut, misal dua kerangka acuan berimpit pada t = t ' = 0. Pengamat B mencatat waktu pada arlojinya sebagai t'1 dan pengamat A mencatat waktu pada arlojinya sebagai t1. Menurut transformasi invers Lorentz vx' c2 t1 = v2 1 − 2 c t'1 +
dan
vx' c2 t2 = v2 1 − 2 c t'2 +
Setelah pengamat B bergerak dengan kecepatan v relatif terhadap pengamat A, pengamat B mencatat waktu t'2 dan pengamat A mencatat waktu t2 , sehingga selang waktu menurut pengamat A yaitu
t'2 − t'1
t 2 − t1 =
v2 1− 2 c
di mana tA = t2 – t1 (selang waktu yang dicatat pengamat A) tB = t'2 – t'1 (selang waktu yang dicatat pengamat B)
dan maka
tA =
tB 1−
di mana
2
v c2
v2 1 − 2 <1 c
….…….……………….….……………...…. (1.37)
dan
tA > tB
Terlihat bahwa selang waktu yang dicatat pengamat B (bergerak dengan kecepatan v relatif terhadap pengamat A) lebih singkat daripada selang waktu yang dicatat pengamat A. Artinya pengamat B yang bergerak akan merasakan jarum arlojinya bergerak lebih lambat dibanding pengamat A yang diam atau pengamat A mencatat waktu lebih lama dibanding pengamat B untuk suatu peristiwa yang sama–sama mereka alami. Misal jika pengamat A mencatat waktu 1 jam, maka pengamat B akan mencatat waktu kurang dari 1 jam.
36 Pemahaman tentang dilatasi waktu dapat juga menggunakan ilustrasi yang dijelaskan sebagai berikut. Misal pengamat A diam dan menembakkan cahaya ke cermin yang berjarak L dari dirinya, sementara itu pengamat B (yang berada di dekat pengamat A) bergerak (secara bersamaan saat pengamat A menembakkan cahaya) tegak lurus arah cahaya (yang ditembakkan A) dengan kecepatan tetap v. Menurut pengamat A cahaya menempuh cahaya lurus bolak–balik, tetapi menurut pengamat B, cahaya menempuh lintasan berbentuk miring karena pengamat B bergerak meninggalkan pengamat A (lihat gambar 1.9.). L A
B
c
v
A
B
L2 + ( v∆t')
– v A
2
c
Gambar 1.9. Ilustrasi dilatasi waktu
Menurut pengamat A (tidak bergerak), cahaya yang ditembakannya mempunyai waktu tempuh cahaya bolak–balik yaitu 2∆t =
2L dan L = c∆t c
Menurut pengamat B seolah–olah pengamat A bergerak menjauhinya dengan kecepatan v, sehingga cahaya yang ditembakan oleh pengamat A menempuh lintasan lebih panjang dan waktu tempuh cahaya bolak–balik menurut pengamat B, yaitu (proses cahaya ditembakan terjadi di kerangka acuan pengamat A)
2 L2 + ( v∆t') 2∆t' = c 2
2
c∆t' = ( c∆t ) + ( v∆t') 2
2
2
2
2
2
( c ) ( ∆t') − ( v ) ( ∆t') = ( c ) ( ∆t )
2
37
∆t' =
∆t 1−
2
v c2
……………..…….…….……………………. (1.38)
jadi menurut pengamat B, pengamat A mengalami dilatasi waktu karena ∆t' > ∆t Efek dilatasi waktu adalah efek yang nyata dan telah dibuktikan secara eksperimen di laboratorium, di mana waktu hidup partikel muon di laboratorium yaitu 2.10–6 detik. Partikel muon tercipta secara alami pada ketinggian beberapa kilometer di atas permukaan laut (di atmosfir bumi) dan ternyata banyak terdeteksi partikel muon yang sampai di permukaan laut padahal jarak tempuh muon kalau dihitung diperkirakan hanya x = vt = (3.108)(2.10–6) = 600 m sehingga diduga tidak akan ada muon yang sampai di permukaan bumi. Banyaknya muon yang sampai di permukaan bumi secara nyata dapat terdeteksi, penjelasan dari fakta ini adalah karena waktu hidup muon yang bergerak mengalami dilatasi waktu sehingga dapat menempuh jarak lebih dari 600 m. Paradox Kembar
A dan B berteman, mempunyai usia yang sama yaitu 20 tahun. B kemudian pergi ke planet X naik pesawat dengan kecepatan 0,8 c. Setelah sampai di planet X, B lalu kembali ke Bumi dengan kecepatan pesawat 0,8c. Setelah sampai di bumi, B bertemu lagi dengan A yang telah menunggu 10 tahun dan saling membicarakan usia mereka. Menurut A
: usia-nya 30 tahun dan usia B yaitu 26 tahun. Menurut A , B
bergerak menjauhinya dengan kecepatan 0,8c sehingga B mengalami perlambatan waktu dan hanya menempuh waktu yaitu 10 thn x (0,6) = 6 tahun untuk B pergi dan kembali.. A melihat jarum jam yang ada di pesawat B bergerak lebih lambat. Menurut B
: usia-nya 26 tahun dan usia A yaitu 23,6 tahun. Menurut B , A
bergerak menjauhinya dengan kecepatan 0,8c sehingga A mengalami perlambatan waktu dan hanya menempuh waktu yaitu 6 thn x (0,6) = 3,6 tahun untuk A pergi dan kembali. B melihat jarum jam yang ada di pesawat A bergerak lebih lambat. Mereka saling mengklaim usia temannya lebih muda saat mereka bertemu. Bagaimana mungkin ini terjadi ? Inilah yang disebut paradoks. Terjadinya paradoks dikarenakan B mengalami percepatan dan perlambatan saat meninggalkan Bumi serta saat sampai di planet X.
38 Untuk menyelesaikan paradoks tersebut, perlu memakai pengamat lain yaitu pengamat C yang
sedang dalam perjalanan ke bumi dengan kecepatan 0,8c. Saat
C melintas planet X, tepat saat B sampai planet X, sehingga C tidak mengalami percepatan/perlambatan. Ketika C melintasi Bumi, A berusia 30 tahun (karena menunggu 5 tahun B mencapai planet X dan menunggu 5 tahun perjalanan C dari planet X ke Bumi, sedangkan menurut A, C hanya memerlukan 3 tahun perjalanan dari planet X ke Bumi ). Menurut C yang menempuh 3 tahun perjalanan Bumi – planet X, seolaholah A bergerak mendatanginya, sehingga menurut C, A menempuh waktu 1,8 tahun perjalanan. Jika A berusia 30 tahun ketika C sampai bumi, dan A menempuh waktu 1,8 tahun selama perjalanan, maka A haruslah berusia 28,2 tahun menurut C. Contoh 8 :
Sebuah partikel muon ( µ–meson) tercipta di ketinggian atmosfir dan mempunyai kecepatan 0,9c. Muon akan meluruh setelah menempuh perjalanan 5,4 km. Berapa waktu muon meluruh jika diukur (i)
oleh kerangka kita di bumi
(ii) oleh kerangka di muon itu sendiri (iii) berapa jarak yang ditempuh muon menurut kerangka acuan muon? Jawab : (i)
5,4.103 −5 t' = = 2.10 s 8 ( 0,9 ) ( 3.10 )
(ii)
t' =
t v2 1− 2 c
v2 2 dan t = t' 1 − 2 = ( 2.10−5 ) 1 − ( 0,9 ) c
t = ( 2.10−5 ) ( 0,436) = 8,72.10−6 s -
(iii) s = vt = (0,9 c)(8,72.10 6) = 2354 m = 2,354 km
39 1.10 Kontraksi Panjang Lorentz – Fitzgerald
Pengukuran ruang dan waktu tidak absolut tetapi bergantung pada gerak relatif pengamat dan obyek yang diamati. Misal sebuah batang logam panjang L 0 bergerak searah sumbu x dan mempunyai koordinat ujung-ujungnya x 1 dan x2 dalam kerangka A. Pengamat di kerangka A mengukur panjang batang logam L 0 = x2–x1. Misal kerangka B bergerak dengan kecepatan tetap v (sepanjang sumbu x) terhadap kerangka A. Pengamat di kerangka B mengukur ujung koordinat batang sebagai x'1 dan x'2 dengan panjang L = x'2 – x'1 . Menurut transformasi invers Lorentz. x1 =
x'1 + vt' v2 1− 2 c
x 2 − x1 =
dan
x2 =
x'2 + vt' v2 1− 2 c
x'2 − x'1 v2 1− 2 c
v2 L = L0 1 − 2 c
…….……………………...…………………. (1.39)
Ini menunjukkan bahwa benda akan terlihat lebih pendek oleh pengamat yang bergerak. Selain menggunakan transformasi invers Lorentz untuk menjelaskan kontraksi panjang di atas, dapat juga menggunakan ilustrasi yang dijelaskan sebagai berikut. Misal pengamat A diam dan menembakkan cahaya ke cermin yang berjarak L dari dirinya, sementara itu pengamat B (yang berada di dekat pengamat A) bergerak (secara bersamaan saat pengamat A menembakkan cahaya) sejajar arah cahaya (ke arah cermin) dengan kecepatan tetap v (lihat gambar 1.10). Menurut pengamat A 2∆t =
2L c
dan
L = c∆t L' A B
c v
40 Menurut pengamat B Saat cahaya mendekat cermin L' c+v Saat cahaya menjauhi cermin
∆t'1 =
∆t'2 =
L' c−v
L' – v
A
c
B L' – v
A
c
B
L' –v
c
A B
Gambar 1.10. Ilustrasi kontraksi panjang
Total perjalanan cahaya (diukur oleh B) 2∆t' = ∆t'1 + ∆t'2 2∆t' =
L' L' 2cL' + = 2 c + v c − v c − v2
substitusikan rumus dilatasi waktu persamaan (1.30) 2∆t v2 1− 2 c
=
2cL' c2 − v 2
v2 L' 1 − 2 c ∆t = v2 c 1 − 2 c
dan
1 2 − 2 v
c2
c∆t = L' 1 −
41
1 2 − 2 v
c2
L = L' 1 −
v2 L' = L 1 − 2 c
……………...…………………..………...…. (1.40)
di mana L' mengalami
kontraksi panjang
Contoh 9 :
Sebuah batang kayu panjang 2 m di luar angkasa, kemudian melintas pesawat ruang angkasa di dekat dan sejajar batang kayu dengan kecepatan 0,6 c relatif terhadap batang kayu tersebut. Tentukan panjang batang kayu menurut penumpang pesawat ruang angkasa. Jawab : v2 L = L0 1 − 2 c
2
atau
( 0,6c ) L=2 1 − = 2 1 − 0,36 = 2 0,64 c2
L = 1,6 meter Contoh 10 :
Seseorang astronot pergi ke bintang X yang jaraknya 400 tahun cahaya dari bumi. Menurut pengamat di bumi astronot tersebut memerlukan waktu berapa 4 tahun untuk sampai ke bintang X. Tentukan jarak bintang X dari Bumi menurut astronot tersebut ? (dalam satuan tahun cahaya !) Jawab : v2 v2 L0 1 − 2 400 tahun cahaya 1 − 2 v v2 x L c c = = 1− 2 v= = = atau 100c t t 4 tahun 4 tahun c dan
v 2 104 v 2 v 2 + 104v 2 10001v2 v 2 10000 = = 1 atau 2 = + = 1 atau 104c 2 104c2 104c 2 10000c2 c 10001
v = 0, 99995c ( v = kecepatan astronot )
Menurut astronot (yang bergerak), jarak Bumi– galaksi X yaitu :
v2 10000 L = L0 1 − 2 = 400 tahun cahaya 1 − 10001 c
L = 400 tahun cahaya ( 0,0099995) = 3,99995 tahun cahaya
42 1.11 Pemuaian Massa
Tinjau dua kerangka A dan B, di mana kerangka B bergerak dengan kecepatan v sepanjang sumbu x relatif terhadap kerangka A. Sebuah partikel bergerak sepanjang sumbu x, massa dan kecepatannya terhadap kerangka A yaitu m1 dan u1 , massa dan kecepatannya terhadap kerangka B yaitu m 2 dan u2 , maka dari persamaan (1.13) 1
k=
1 −
2
v c2
1
k1 =
dan
1
;
u12 − 2 c
1
k2 =
u 22 1− 2 c
dan dari prinsip relativitas kecepatan u1 =
u2 + v vu 2 1+ 2 c
k2u2 =
k 2u 2 =
k2u 2 =
k2u 2 =
dan
u2 =
u1 − v
, substitusikan nilai u2 ke sisi kanan
u 22 − 2
vu1 1 1 − c2
u1 − v vu 1 − 21 c
c
u1 − v vu1 1 − c2 1 −
2
( u1 − v ) 2 vu1 2 c 1 − 2 c
( u1 − v ) c
1 2
2
2 vu 2 c 1 − 21 − ( u1 − v ) c
u1 − v 1
v2 2
1 − 2 1 c
k 2 u 2 = k k1 ( u1 − v)
1
u12 2 − 2 c
u1 − v
=
v u12 1 − 2 − 2 2
c
c
1 2 2 2 vu + 41
c
43 k 2u 2 = k ( u1 − v ) ……………………………………….…..…. (1.41) k1 Untuk sejumlah besar partikel, selama massa dan momentum invarian dalam kerangka A, maka Σm1 = tetap
dan Σm1u1 = tetap
selama k dan v sama untuk masing-masing partikel Σm1kv = tetap
dan Σm1ku1 = tetap
kedua persamaan tersebut dikurangkan Σm1k(u1–v) = tetap
………………………………………..….…. (1.42)
dari persamaan (1.33) dan (1.34) k 2u 2 = tetap k 1
∑ m1
…………………………………… . (1.43)
Dalam kerangka B dan dengan menerapkan hukum kekekalan momentum Σm2u2 = tetap
…………………………………………… . (1.44)
Dari persamaan (1.43) dan (1.44) m2u 2 =
m1k 2 u 2 k1
m 2 m1 = = tetap = m0 k2 k1 m1 = k1m0 m2 = k2m0 atau m1 =
m0 u12 1− 2 c
dan
m2 =
m0 u 22 1 − 2 c
dalam bentuk umum
m=
m0 1−
2
v c2
………………………………………. (1.45)
di mana m mengalami relativitas massa
44 Relativitas massa di atas dapat juga diturunkan dari hukum kekekalan momentum berikut ini. Misal kerangka S' bergerak searah sumbu x dengan kecepatan tetap v, di dalam kerangka S' bola A bergerak dengan kecepatan tetap u searah sumbu x dan bola B juga bergerak dengan kecepatan u berlawanan arah gerak bola A, pengamat S berada dalam kerangka inersial S. Menurut pengamat S, sebelum tumbukan bola A nampak bergerak dengan kecepatan u1 dan melalui penggunaan transfomasi invers kecepatan u1 =
u+v vu 1 + 2 c
…………………………………….…....…… (1.46)
di mana u1 = u'1 Bola B nampak bergerak dengan kecepatan u2 u2 =
−u + v
vu 1 − 2 c
…………………………………….………… (1.47)
di mana u 2 = u'2
y'
y
S' v
A 0 z
x
u
u
B
0'
x'
z' Gambar 1.11. Ilustrasi relativitas massa S'
Setelah bola A dan bola B tumbukan tidak lenting sempurna, kedua bola bergabung. Oleh pengamat O kedua bola gabungan berkecepatan v. Dari hukum konservasi momentum mAu1 + mBu2 = (mA + mB)v …………………………………..……. (1.48) Substitusikan persamaan (1.46) dan (1.47) ke dalam (1.48) m A ( u + v ) m B ( −u + v ) + = ( m A +m B ) v vu vu 1+ 2 1− 2 c c
45 (u + v) mA − 1 + vu c2
( −u + v ) v = mB v − vu − 2 1 c
v2 u v 2u u + v − v − 2 v − 2 + u − v c =m c mA B vu vu 1 − 1+ 2 2 c c
vu 2 mA c = mB 1 − vu c2 1+
…………………………………….……….... (1.49)
misal : 2
2 2
2
2
v u 2vu u v 2vu 1+ 2 4 + 2 − 2 − 2 − ( u+v ) /c u1 c c c c c2 1 − 2 =1 − = 2 vu c vu 1+ 2 1+ c2 c u2 v2 u2 u 2 v2 1 − c2 − c 2 1 − c 2 1 − c 2 1 − c 2 u12 = ...... (1.50) 1− 2 = 2 2 c vu vu 1+ 1+ 2 2 c c
dan juga u 2 v2 1 − c2 1 − c 2 2 u 1 − 22 = 2 c vu 1 − c2
…………………………….… (1.51)
persamaan (1.51) dibagi persamaan (1.50) u 22 1− 2 1 + c = u12 1− 2 1 − c 1 + 1 −
2
vu c2 2 vu c2
vu u 22 1 − 2 c2 = c vu u12 1 − 2 c2 c
dan
……………………………….…….... (1.52)
46 persamaan (1.52) disubstitusikan ke persamaan (1.49) u 22 1 − 2 mA c = mB u12 1 − 2 c
maka m A
u12 u 22 1 − 2 = mB 1 − 2 = m0 c c
Kedua sisi persamaan ini bebas satu sama lain, maka harus keduanya sama dengan tetapan sama, maka m0
mA =
u12 1− 2 c
dan
mB =
m0 u 22 1− 2 c
secara umum dapat ditulis m0
m=
1−
2
v c2
v2 m0 = m 1 − 2 c
atau
………………………………………..……... (1.53)
Contoh 11 :
Berapakah panjang 2 meter tongkat yang bergerak sejajar panjangnya jika massa tongkat 3 massa diamnya. 2
Jawab : m=
m0 1−
2
v c2
v2 dan L = L 0 1 − 2 c
dari kedua persamaan di atas
L L0 v2 = 1 − 2 m m0 c 2
m m m L = L0 0 = L 0 0 m m0 m
2 4 L = ( 2 ) = = 1,33 m 3 3
47 1.12 Hubungan Massa – Energi
Peningkatan energi kinetik (Ek) jika sebuah gaya F dikenakan pada sebuah benda pada jarak sepanjang dS, diberikan oleh dS dt = Fvdt dt
dE k = F.dS = F
di mana F =
m0 v maka dE k = vd ( mv ) = vd v2 1 − 2 c
d ( mv ) dt
gunakan
1 2 2 2 2 2 2 v dv c − v + v dv v dE k = vm0 1 − 2 + = 1 1 2 c v2 v 2 2 2 2 v v c2 1 − 2 1 − c2 c 2 1 − 2 1 − c2 c c
dE k =
vm0 dv 3 2
di mana
m0
m=
v2 1− 2 c
v 1 − c2 2
2
maka dE k = c dm
dan
m
∫ dE k = c m∫ dm = c 2
m0 vdv
dan dm =
c2 1 −
2
2
3 2
v c 2
( m − m0 )
0
sehingga E k = mc 2 − m0 c2 Total energi = Ek benda bergerak + energi benda diam E = E k + m0c2
…………………………………………...….. (1.58)
E = ( mc2 − m 0 c2 ) + m 0 c2
maka hubungan massa dan energi yaitu E = mc2
……………………………………………..... (1.59)
Jika benda massa m bergerak dengan kecepatan v , momentumnya p = mv
di mana
E = mc2
maka E 2 − c2 p2 = m2 c4 − c 2 m 2 v 2
m=
m0 v2 1 − 2 c
48 m02c 4 c2 m 02 v 2 − E −cp = 2 v v2 1 − c2 1 − c 2 2
2 2
v2 m c 1 − 2 c E 2 − c2 p 2 = v2 1 − c2 2 4 0
maka hubungan momentum dan energi yaitu E 2 = c 2 p2 + m 02 c 4
…………………………………………...….. (1.60)
Contoh 12 :
Air 106 kg dipanaskan dari 273 K sampai 373 K. Hitung kenaikan massa air. (panas jenis air = 10 3 kal/kg.K) Jawab : Panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 10 6 kg air dari 273 K sampai 373 K yaitu 106 x 103 x 100 = 10 11 kalori (1 kalori = 4,18 joule) Maka kenaikan energi E = 10 11 x 4,18 joule E 4,18.1011 dan m = 2 = = 4,64.10 −6 kg 2 c (3.108 ) Contoh 13 :
Berapa rasio laju elektron (yang energi kinetiknya 0,5 Mev) dengan laju cahaya ? (m0 = 9,1.10-31 kg) Jawab : E = (m – m0)c2 = 0,5 Mev = 0,5 x 10 6 x 1,6.10-19 joule = 0,8.10 -13 J 0,8.10-13 J = (m – 9,1.10-31 kg)(3.108 m/s)2 m = 18.10-31 kg m = m0
v2 1,8.10−31 2 − 2 = ( 0,5055 ) = 1 maka − 31 c 9,1.10 v2 1− 2 c
1
2
v c = 0,7445
maka
v = 0,863 c
49 1.13 Transformasi Momentum – Energi
Tinjau sebuah partikel bergerak dengan kecepatan u x diukur dari kerangka S dan u'x jika diukur dari kerangka S ' (yang bergerak dengan kecepatan v terhadap kerangka S. Dalam sistem kerangka acuan S m0 u x p x = mu x = 2 u 1 − 2x c
m 0 c2 E = mc = u 2x 1− 2 c 2
dan
Dalam sistem kerangka S' p'x = m'u'x =
m0 u'x
( u'x ) 1− c2
2
E' = m'c =
m 0 c2
2
dan
( u'x ) 1− c2
2
misal : ( u'x ) 1 − = 2 c2 ( u'x ) 1− 2
1
2
−1
2
1 2 −2
= 1 − c ( u'x ) −2
c
dengan menggunakan transformasi kecepatan 1 u − v = 1 − c−2 x 2 vu x ' u ( ) 1− 2 1 − x2 c c
2
−1 2
2
vu x 2 −2 1 − − c u − v ( ) x c2 = 2 vu x 1 − c 2
v u 2vu x u v 2vu x − 2 − + 2 − 2 1 + c c c c 1 c = 2 2 vu x ( u'x ) − 1 2 1− 2 c c 2 2 x 4
2 x 2
u v vu 1 − − 2 + 1 c c = c 2 2 vu x ( u'x ) 1 − c2 1− 2 c 2 x 2
2
2 2 x 4
−
2
1 2
−1
2
u 2x v 2 1 − 2 1 − 2 c c = vu x 2 1 − 2 c
−1
2
−1
2
50 1 2
vu x vu x vu x 1 − 2 1 − 2 1 − c 2 1 c c = = 1 2 2 2 v u 2 2 v 2 12 ( u'x ) 1 − u 2x 1 − c 2 1− 2 1 − 2x 1 − 2 c c c c
maka u − v vu 1 − 2x m0 x c 1 − vu x 2 m0 ( u x − v ) c p'x = = 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 ux v ux v 1 − 2 1 − 2 1 − 2 1− 2 c c c c
di mana γ =
1 v2 1 − 2 c
m0u x m0v p'x = γ − 1 1 2 2 2 2 u u 1 − 2x 1 − 2x c c
Ev p'x = γ p x − 2 …….……………………..………..…………… (1.54) c dengan cara yang sama m 0c 2 m 0 vu x = = − ' E γ 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 u 2 u 2 ux v − − 1 1 1 − 2x 1− 2x c 2 c2 c c
vu m 0c 2 1 − 2x c
E' = γ [E − vpx ]
………………………..………………...…… (1.55)
misal : 1 1−
(ux ) c2
2
(u ) = 1 − x2 c
2
−1
2
1 2 −2
= 1 − c ( u x ) −2
51 1 u' + v = 1 − c −2 x 2 vu' x 1 + 2 (u ) 1 − x2 c c
2
−1
2
vu'x 2 −2 + − + 1 c u' v ( x ) 2 c = 2 vu'x + 1 c 2 2
v ( u' ) 2vu' ( u' ) v 2vu' x 1 + + 2 x − x2 + 2 + 2 x 4 c c c c c 1 = 2 2 vu'x (ux ) 1 + c2 1− 2 c 2
2
2
( u' )2 v 2 v 2 ( u' )2 2 1 − 22 − 2 + 4 1 c c c = 2 2 vu'x ( u x ) 1 + c 2 1− 2 c
−1
2
2
−1
2
−1
2
( u' ) v 1 − 22 1 − 2 c c = 2 vu'x 1 + c 2 2
2
−1
2
1 2
vu'x 1 + vu'x 1 + vu'x 1 + 2 2 2 1 c c c = = 1 2 2 1 2 2 2 ( u'x ) v 2 2 (ux ) ( u'x ) v 1 − 2 1 − 2 1− 2 1 − 1− c c 2 c c 2 c
maka u' + v vu' 1 + 2 x m0 x c 1 + vu'x c2 px = 1 1 2 2 2 2 ux v 1 − 2 1 − 2 c c
=
m0 ( u x + v ) 2 x 2
1 2
2
1 2
u v − 1 1− 2 c c
Untuk persamaan transformasi invers E'v p x = γ p'x + 2 c
………………………..………………...…… (1.56)
' 'x E = γ E+vp
………………………..…………………...… (1.57)
52 Contoh 14 :
Kerangka O' bergerak dengan kecepatan tetap v relatif terhadap kerangka O, ( E')2 2 2 − ( p') adalah invarian terhadap transformasi c
tunjukkan bahwa
momentum – energi, di mana p dan E adalah momentum dan energi partikel dalam kerangka O serta p' dan E' adalah momentum dan energi partikel dalam kerangka O' . Jawab :
p2 = p2x + p2y + p2z 2
2
γ2 =
dan 2
( p') = ( p'x ) + ( p'y ) + ( p'z )
1 v2 1 − c2
2
Ev di mana p'x = γ p x − 2 ; p'y = p y ; p'z = pz dan c
E' = γ [E − vpx ]
( E')2 k2 2 2 2 2 2 maka 2 − ( p') = 2 ( E − vp x ) − ( p'x ) + ( p'y ) + ( p'z ) c c 2 ( E')2 k2 2 2 2 Ev 2 2 2 − ( p') = 2 ( E − vp x ) − k p x − 2 − ( p'y ) − ( p'z ) c c c ( E')2 2 c ( E')2 2 c ( E')2 2 c
2 2 k2 2 2 2p Ev E v 2 2 2 2 2 x ' ' p p − ( p') = 2 ( E − 2p x Ev + v p x ) − c p x − + − − ( ) ( ) y z c c2 c 4 2 2 k2 2 2 2 E v 2 2 2 2 2 − ( p') = 2 E + v p x − c p x − 2 − ( p'y ) − ( p'z ) c c 2 k 2 v2 2 2 2 v 2 2 2 − ( p') = 2 E 1 − 2 − c p x 1 − 2 − ( p'y ) − ( p'z ) c c c
( E')2 2 c ( E')2 2 c
E2 − ( p') = 2 − p 2x − p 2y − p 2z c E2 2 − ( p') = 2 − p 2 c
2
2
2
di mana p'y = p y ; p'z = pz di mana p2 = p2x + p2y + pz2
( E') 2 − ( p' ) adalah invarian terhadap transformasi momentun-energi maka 2 c
53 1.14 Efek Doppler Relativistik
~ v∆tscos (~θ)
2
~θ
~ 90 θ
v∆ts
1
Gambar 1.12. Ilustrasi Efek Doppler Cahaya
Pengamat berada di kerangka acuan S (gambar 1.11), bintang bergerak dengan kecepatan v membentuk sudut θ terhadap garis lurus pengamat dengan posisi 1 bintang. Bintang memancarkan cahaya frekuensi f s di kerangka acuan S’. Selisih waktu antara pancaran cahaya pada posisi1dan posisi 2 adalah ∆ts dan jarak antara posisi 1 dan posisi 2 yaitu v ∆ts. Jika diproyeksikan ke garis antara pengamat dan posisi 2 bintang, maka didapat jarak ekstra ~ v∆tscos (~θ) (lambang ~ sebagai pendekatan), waktu cahaya menempuh jarak ekstra yaitu ~ v∆tscos (~θ)/c. Waktu antara kedatangan cahaya bintang dari kedua posisi bintang ke pengamat yaitu ∆t p = ∆t s +
v∆t s cos θ v = ∆ t s 1+ cos θ c c
………………………. (1.61)
Selisih waktu teramati yaitu ∆tp dan selisih waktu sumber cahaya yaitu ∆ts. Periode sumber Ts adalah interval waktu antara pemancaran dua muka gelombang cahaya berturut-turut dari posisi 1 dan posisi 2 dalam kerangka acuan S’. Karena muka gelombang dihasilkan pada tempat sama dalam kerangka acuan S’, maka interval waktu antara pemancaran muka gelombang menurut kerangka acuan S adalah lebih lama atau mengalami dilatasi waktu yaitu ∆ts = γTs. Hubungan antara periode waktu cahaya teramati (∆tp ≡ Tp) dengan periode sumber cahaya yaitu v Tp = γTs 1 + cos θ c dan
f p =
f s v γ 1 + cos θ c
……………………………………………..... (1.62)
54 a. Efek Doppler Longitudinal
Untuk bintang yang bergerak menjauhi pengamat, θ = 00 v2 1− 2 c =f f p = fs s v 1 + c
v v 1 − c 1 + c = fs v v 1 + c 1 + c
v 1 − c = f c − v f p = fs s c+ v v 1 + c
v 1 − c v 1 + c
dengan
f p < f s
Untuk bintang yang bergerak mendekati pengamat, θ = 1800
v2 1− 2 c =f f p = fs s v 1 − c
v v v 1 − c 1 + c 1 + c = fs v v v 1 − c 1 − c 1 − c
v 1 + c+v c = f P = fs f s −v c v 1 − c
dengan
f p > f s
b. Efek Doppler Transversal
Untuk bintang yang bergerak tegak lurus pengamat, θ = 900 Bintang bergerak menjauh secara tegak lurus pengamat
v2 f p = fs 1 − 2 di mana f p < f s c Pada bintang bergerak menjauh secara tegak lurus pengamat bumi, frekuensi cahaya yang diamati oleh pengamat di Bumi lebih kecil dari frekuensi sumber cahaya bintang yang memancarkan cahaya dengan frekuensi khas. Spektrum bintang menunjukkan garis-garis diskrit dari frekuensi khas cahaya yang dipancarkan suatu bintang. Frekuesi khas ini berasal dari materi yang menyususn suatu bintang. Telah teramati bahwa garis-garis spektrum dari galaksi-galaksi bergeser ke arah frekuensi merah (red shift). Ini menunjukkan bahwa galaksigalaksi bergerak menjauhi bumi. Telah dihitung pula bahwa 13 milyar tahun yang lalu, material awal alam semesta meledak dan mengembang yang setelah beberapa waktu kemudian menjadi galaksi-galaksi (teori Big Bang).
55 1.15 Kovarian Lorentz pada Persamaan Maxwell A.
Transformasi Lorentz Umum
Sebuah titik P mempunyai koordinat x, y, z dalam satu kumpulan sumbu koordinat, sedangkan koordinat x', y', z' berada pada kumpulan sumbu koordinat yang lain. z P
z’
y’ y
0, 0’
x’ x
Gambar 1. Dua sekumpulan sumbu koordinat yang berputar terhadap yang lain Kedua koordinat berbeda mempunyai titik P yang sama. Jarak r yaitu jarak P dari titik asal 0 atau 0’ yang memiliki angka sama dengan koordinat sistem yang digunakan. Dengan kata lain r adalah sebuah invarian dan harus memiliki bentuk yang sama yaitu 2
2
2
r 2 = x 2 + y 2 + z 2 = ( x') + ( y' ) + ( z' ) ..…………………………….(1.63)
notasi bentuk umum x1 = x
x2 = y
x 3 = z …..……… …...…………………(1.64)
untuk kemudian (1.63) dapat dituliskan dalam bentuk singkat 2
r =
3
∑x = 2 j
j=1
3
2
∑ ( x' j ) …..…………………..……………………..(1.65) j=1
Persamaan yang menghubungkan dua koordinat tersebut akan linier sehingga dapat ditulis menjadi tiga persamaan. x' j =
3
a jk x k ∑ k 1 =
( j = 1, 2, 3) ...…………………………….(1.66)
56 persamaan ketiganya antara lain x'1 = a11x1 + a12 x 2 + a 13x 3 x'2 = a 21x1 + a 22x 2 + a 23x 3 ……………………….……………….....(1.67) x'3 = a 31x1 + a 32x 2 + a 33x 3 Atau dalam bentuk matrik dapat dituliskan x'1 a11 a12 a13 x1 x' = a a a x 2 21 22 23 2 x'3 a 31 a 32 a 33 x 3
Sekumpulan sembilan nilai a jk mencirikan rotasi yang menghubungkan poros utama dan poros tidak utama yang menyatakan bahwa a jk tidak semuanya bebas. ˆ + y' y' ˆ + z' z' ˆ dan Posisi vektor P dalam sistem utama dapat ditulis r' = x' x'
untuk sistem tidak utama ditulis
r = x xˆ + y yˆ + z zˆ , karena keduanya
ˆ ˆ = 1 , y'.y' ˆ ˆ = 1 dan ˆ ˆ = 1 , z'.z' menggambarkan vektor yang sama maka dengan x'.x' ˆ ˆ = 1 , y.y ˆ ˆ = 1 , serta r' = r , sehingga ˆ ˆ = 1 , z.z x.x ˆ xˆ + yx' ˆ .yˆ + zx' ˆ .zˆ = Ixx x + Ixy y + Ixz z ..……......….(1.68) x' = r'.xˆ ' = r.xˆ ' = xx'.
di mana I xx , I xy , I xz menunjukkan arah cosinus dari xˆ ' terhadap sumbu x, y, z berturut-turut. Arah cosinus ini memenuhi persamaan I xx2 + I2xy + I 2xz = 1 . Dari membandingkan persamaan (1.68) dan (1.67) dapat dilihat a11 = I xx , a12 = I xy dan a13 = I xz . Dengan cara yang sama akan didapat a 2k adalah cosinus langsung dari yˆ ' dan
a 3k adalah zˆ ' . Persamaan (1.66) menggambarkan efek dari sebuah rotasi dalam
komponen-komponen dari vektor khusus ini. Oleh karena itu, jika A1 , A 2 , dan A 3 adalah komponen-komponen tegak lurus dari vektor A, yang kemudian akan didapat hubungan seperti (1.66) A' j =
3
a jk A k ∑ k =1
( j = 1, 2, 3) ..…………………………….(1.69)
di mana a jk adalah sekumpulan koefisien-koefisien sama yang melukiskan efek rotasi sumbu dalam koordinat dari sebuah titik.
57 Persamaan gelombang elektromagnetik menurut transformasi Lorentz, dalam kuantitas S2 dapat diberikan 2
2
2
2
S2 = x 2 + y 2 + z 2 − c 2 t 2 = ( x' ) + ( y' ) + ( z' ) − c 2 ( t' ) …….…..…....(1.70)
notasi bentuk umum untuk koordinat empat yaitu x1 = x
x2 = y
x3 = z
x 4 = ict ……..…...……………...(1.71)
Persamaan (1.70) juga dapat ditulis 4
S = ∑ xµ = 2
2
µ=1
4
2
∑ ( x'µ ) ……………………..………….………...…(1.72) µ=1
Dengan membandingkan persamaan (1.72) dan (1.65) dapat dilihat bahwa transformasi Lorentz secara umum dapat diungkapkan sebagai rotasi sebuah poros dalam ruang empat dimensi dengan poros x1 , x 2 , x 3 , x 4 . Persamaan transformasi yang menghubungkan dua koordinat sebagai empat persamaan linier umum adalah 4
x'µ = ∑ a µv x v
dengan (µ = 1, 2, 3, 4) …………..……....…(1.73)
v =1
subtitusikan persamaan (1.73) ke (1.72) didapat
∑ ( x'λ ) = ∑ ∑ a λµ xµ ∑ aλ v x v = ∑ ∑ a λµ a λv xµ xv …........(1.74) 2
λ
λ
µ
v
karena persamaan (1.74) juga harus sama
∑λ a λµ a λv = δµv
µv
λ
∑µ xµ2 , maka harus memiliki
…...…………………..……………..……………(1.75)
Koefisien dari x µ x v bernilai 1 jika v = µ dan bernilai 0 jika v ≠ µ Persamaan transformasi dapat ditulis dalam bentuk sama seperti persamaan (1.73) 4
x v = ∑ b vλ x'λ
(v = 1, 2, 3, 4) ..…………...…………...……(1.76)
λ =1
di mana b vλ adalah sekumpulan koefisien dan subtitusikan persamaan (1.76) dalam (1.73) didapat
x'µ = ∑ a µv ∑ b vλ x'λ = ∑ x'λ ∑ aµv bvλ = ∑ δµλ x'λ …..…....…(1.77) v
λ
λ
v
δµλ
λ
58
∑v aµv bvλ = δµλ ………………..…………………….……………...(1.78) Persamaan (1.78) dapat diselesaikan untuk mendapatkan b dengan mengalikan kedua sisinya oleh a µρ dan menggunakan persamaan (1.75) a µρ a µv b vλ = ∑ a µρ δµλ = a λρ ∑ µv µ
……...…....…. (1.79) = ∑ b vλ ∑ a µρa µv = ∑ b vλ δρv = bρλ v µ v
di mana bρλ = a λρ sehingga bentuk transformasinya dapat ditulis jika
x'µ = ∑ a µv x v maka λ
x µ = ∑ a vµ x'v ………….……….…...... (1.80) λ
Persamaan (1.78) dapat ditulis seluruh dalam bentuk a dari hasil subtitusi dalam a dan menukarkan indeks λ dan v mendapatkan
∑λ aµλa vλ = δµv ………………..………………….……….………..(1.81) Dari persamaan transformasi koordinat Lorentz
x' = γ ( x − vt ) y' = y z' = z
t' = γ t −
vx c 2
Persamaan transformasi koordinat Lorentz bentuk umum x1 = x , di mana β =
v c
x2 = y
, x3 = z
, x 4 = ict
t=
x4 ic
v = βc
Persamaan transformasi koordinat Lorentz bentuk umum dimasukkan ke persamaan transformasi koordinat Lorentz x4 = γx1 + iγβx 4 ic
x' = γx − γvt = γx1 − γ (βc ) y' = x 2 z' = x3
59 t' = γt − γ
vx γx 4 i ( γβ )( x1 ) γx 4 iγβx1 = − = − c2 ic ic ic ic
ict' = γx 4 − iγx1 Jadi x'1 = γx1 + 0x 2 + 0x 3 + iβγx 4 x'2 = 0x1 + 1x 2 + 0x 3 + 0x 4 x'3 = 0x1 + 0x 2 + 1x 3 + 0x 4 x'4 = −iβγx1 + 0x 2 + 0x 3 + γx 4
x'1 = x' = γx1 + iβγx 4 x'2 = y' = x 2 x'3 = z' = x 3 x'4 = ict' = γx 4 − iβγx1 Sehingga x' = x1
,
x'1 a11 x' a 2 = 21 x'3 a 31 x'4 a 41
y' = x 2 a12 a 22 a 32 a 42
dapat dilihat koefisien
a13 a 23 a 33 a 43
, a14 a 24 a 34 a 44
a µ v
z' = x 3 x1 x 2 x3 x 4
,
ict' = x 4
atau
4
x'µ = ∑ a µv x v v =1
menunjukkan transformasi koordinat dapat ditulis
dalam bentuk matrix a11 4 a aµv = 21 ∑ a 31 v=1 a 41
a12 a22 a32 a42
a13 a 23 a 33 a 43
a14 γ 0 a 24 = 0 a 34 a 44 −iβγ
0 1 0 0
0 0 1 0
iβγ 0 ….(1.82) 0 γ
Terlihat rotasi sumbu dalam ruang tiga dimensi juga menampakkan x 2 + v 2 + z 2 − c 2 t 2 invarian karena dari persamaan (1.63) dan tidak tergantung
oleh waktu. Oleh karena itu, rotasi sumbu secara fisika juga mengandung transformasi koordinat Lorentz secara umum seperti terlihat pada persamaan (1.73). Dalam hal ini, akan digunakan untuk menghasilkan beberapa kuantitas baru yang umumnya analog dengan ruang tiga dimensi. Invarian adalah sebuah kuantitas yang angka tidak dapat berubah pada hasil dari transformasi Lorentz. Sebagai perluasan dari vektor A dalam persamaan (1.69), empat vektor Aµ dinyatakan sebagai sekumpulan empat kuantitas ( A1 , A2 , A3 , A 4 ) yang mempunyai ciri sama seperti transformasi koordinat. Jika transformasi Lorentz
60 dinyatakan oleh persamaan (1.80) maka komponen Aµ dan A'µ dihubungkan oleh x'1 γ 0 x' 2 = x'3 0 x' −iβγ 4
0 1 0 0
0 0 1 0
iβγ x1 0 x 2 0 x3 γ x 4
A'µ
didapat A'µ =
Aµ 4
a µv A v ∑ v =1
dari persamaan transformasi koordinat Lorentz invers
x = γ ( x' + vt') y = y' z = z'
vx' c 2 persamaan transformasi koordinat Lorentz diubah ke bentuk umum yaitu t = γ t' +
x' = x'1 ,
y' = x'2 ,
z' = x'3 , ict' = x'4
⇒
t' =
x'4 ic
v v = βc c persamaan transformasi koordinat Lorentz dimasukkan ke persamaan transformasi di mana β =
koordinat Lorentz invers menghasilkan x = γx' + γvt' = γx' + γ ( βc )( t') y = y' z = z' t = γt' + γ v x' = γt' + γβx' c2 c x'4 x = γx'1 + γ ( βc ) ic = γx'1 − iγβx'4 y = y' = x'2 = x'3 z = z' γx'4 + iγβx'1 x' γβx'1 = t = γ 4 + c ic ic
61 x = γx'1 − iγβx'4 y = x' 2 z = x'3 ict = γx'4 + iγβx'1
γ 0 0 iβγ
0 1 0 0
−iβγ
0 0 1 0
0 0
γ
dengan bentuk umum transformasi koordinat Lorentz yaitu x = x1 , y = x 2 , z = x 3 , ict = x 4 dapat dilihat koefisien a µv menunjukkan transformasi dapat ditulis dalam bentuk matrix
a µv
a11 a 21 = a 31 a 41
a12 a 22 a 32 a 42
x1 γ x2 = 0 x3 0 x 4 iβγ
a14 γ a 24 0 = a 34 0 a 44 iβγ
a13 a 23 a 33 a 43 0 1 0 0
0 0 1 0
0 1 0 0
0 0 1 0
−iβγ
0 0
γ
−iβγ x'1
0 0
γ
x' 2 x'3 x'4
Aµ
A'µ 4
didapat Aµ = ∑ a vµ A'ν v =1
maka dapat dituliskan persamaan transformasi koordinat Lorentz dan persamaan transformasi koordinat Lorentz Invers dalam bentuk umum yaitu A'µ =
4
∑=1 a µ A v v
v
dan
4
Aµ = ∑ a vµ A'ν ………………..…....(1.83) v =1
di mana koefisien a µv terlihat dalam persamaan (1.73).
62 B.
Kovarian Persamaan Maxwell Pada Transformasi Lorentz
1.
Persamaan Maxwell Dalam Bentuk Umum
Dalam hal ini, rumusan makroskopik elektromagnetik secara lengkap saat ini adalah
∇ . D = ρ f ………..………………………………………………….(1.84)
∂B ∇× E = − ……..…………………………………………………(1.85) ∂ t
∇ . B = 0 ……...…………………..…………………………………(1.86)
∂D ∇ × H = J f + …..……………………………………………….(1.87) ∂ t
Persamaan ini disebut Persamaan Maxwell dan diasumsikan selalu benar. Persamaan (1.84) meupakan ringkasan hukum Coulomb terutama dari gaya antara muatan titik dengan imbas listrik dari materi, sedangkan (1.85) menggambarkan hukum Faraday tentang induksi dan juga sesuai dengan hukum Coulomb untuk medan statik. Persamaan ke tiga (1.86) adalah akibat dari hukum Ampere tentang gaya antara aliran arus dan juga menyatakan bahwa muatan magnetik bebas tidak diketahui keberadaannya. Terakhir persamaan (1.87) meliputi hukum Ampere tentang gaya antara aliran arus listrik dengan imbas magnetik dari materi ditambah konservasi dari muatan bebas, persamaan terakhir mengikuti dari fakta bahwa persamaan dari kontinuitas dapat diturunkan dari persamaan (1.87) dan (1.84) dan tidak membutuhkan rumus yang panjang secara terpisah. Persamaan dasar deferensial ini haruslah dilengkapi oleh persamaan definisi yang mana menghubungkan pasangan vektor medan bersama dengan karakteristik dari materi dalam bentuk dari bersesuaian densitas volum dari momen dipol:
D = ε 0 E + P ..………………………………………………………(1.88)
H=
B µ 0
− M …………………….………………………….……….(1.89)
63 Meskipun syarat batas di permukaan tidak kontinu bisa selalu diperoleh dari persamaan Maxwell dan hasil umum yang didapatkan, hal ini selalu dan tepat untuk menjabarkan secara terpisah. nˆ . (D 2 − D1 ) = σ f ………..………………………………………….(1.90)
nˆ ×(E2 − E1 ) = 0
or
E2t − E1t …………..…………………...……..(1.91)
nˆ . (E2 − E1 ) = 0 …..…………………………………………………..(1.92) nˆ ×(H2 − H1 ) = K f
atau H2t − H1t = K f × nˆ ………...……………...(1.93)
Mengingat kembali nˆ selalu digambarkan dari daerah satu ke daerah dua. Semua persamaan ini melukiskan sifat-sifat vektor medan. Hubungan yang mendasar antara medan tersebut dan efeknya pada partikel bermuatan dilukiskan oleh gaya Lorentz dalam muatan titik q.
F = q(E + v × B) ……………………………………………………(1.94) di mana v adakah kecepatan dari muatan. Hal tersebut selalu tepat untuk menggunakan persamaan Maxwell dinyatakan hanya dalam dua bentuk vektor satu elektrik dan satu magnetik.
Sebagai contoh (1.88) dan (1.89) untuk menghilangkan D dan H menggunakan
persamaan Maxwell yang hanya mengungkapkan bentuk dari E dan B :
∇.E =
1 ε 0
( ρ
f
− ∇ . P ) …...…..………………………………………(1.95)
∂B ∇× E = − …….…………………………………….……………(1.96) ∂ t
∇ . B = 0 ………….………………………………….………………(1.97)
∂ E ∂ P …..……………..…………(1.98) ∇ × B = µ 0 J f + ∇ × M + ε 0 + t t ∂ ∂
2.
Elektromagnetisme Dalam Vacum
Berbeda seperti dalam mekanika, elektromagnetisme yang digambarkan oleh persamaan Maxwell dalam vacum telah kovarian terhadap tranformasi Lorentz. Hal ini tidak dikehendaki secara langsung meskipun postulat kedua sesuai dengan invarian adalah salah satu hasil persamaan Maxwell.
64 Dari persamaan kontinuitas yang mengungkapkan secara dasar konservasi muatan dapat menjadi kovarian
∇.J +
∂ ρ = 0 dan ∂t
∇' . J'+
∂ρ ' = 0 ..…………………………….(1.99) ∂t'
Jika ditampilkan 4 kuantitas J µ melalui kesamaan kuantitas, maka ( J 1 , J 2 , J 3 , J 4 ) = ( J X , J Y , J Z , ic ρ ) …..…………………………..…..(1.100)
dengan menggunakan persamaan (1.99) dapat dituliskan ∂ J µ
∑ ∂ x µ
=0
∂ J ' µ
∑ ∂ x
dan
µ
µ
= 0 ……..………………..……….(1.101)
µ
Perbandingan ini dengan memperlihatkan sebuah bentuk divergensi dari 4-vektor, yang menunjukkan bahwa J µ adalah sebenarnya suatu 4-vektor. Elemen volume dV dalam koordinat sistem S yang mana muatan mempunyai kecepatan v, muatan total dalam
dV
adalah ρ dV . Sekarang
berdasarkan koordinat S0 yang mana muatan mempunyai kecepatan v0 = 0, sistem ini disebut sistem diam. Dalam elemen volume bersesuaian untuk
dV pada
dV 0 dari
kerangka S0 yang mana
kerangka S. Muatan total adalah ρ 0 dV 0 di mana ρ 0
adalah rapat muatan dalam sistem diam. Hasil asumsi yang masuk akal dari total muatan adalah invarian. Didapat ρ 0 d V 0 = ρ d V ………………………………………………..….(1.102)
Dalam kasus ini, kecepatan relatif dari sistem S dan S0 adalah v karena dimensi transversal gerak relatif tidak berpengaruh, maka kedua volume dihubungkan oleh v 2 d V = 1 − 2 c
1 / 2
d V 0 ……..……..…………………………..……(1.103)
Dari persamaan (1.103) didapatkan rumus transformasi untuk rapat muatan ρ =
ρ 0
[1 − (v c )]
1 / 2
2
……………………..………………………..….(1.104)
2
Karena arus dan rapat muatan dihubungkan dengan rumus J = ρ v maka didapatkan J x = ρ v x =
ρ 0vx
[1 − (v c )] 2
2
1 / 2
= ρ 0v1
65 analog didapat
J y = ρ 0U 2 , J z = ρ 0U 3 , ic ρ = ρ 0U 4
sehingga persamaan (1.100)
dapat ditulis J µ = ρ 0U µ ……..……………………………………………...…...(1.105)
Ini menunjukkan bahwa J µ sesungguhnya adalah sebuah 4 vektor hasil lain dari 4 vektor (4-kecepatan) dan skalar invarian ρ 0 (rapat muatan sistem diam). 4 vektor ini disebut 4 aliran arus. Jadi persamaan kontinuitas (1.99) telah ditulis secara benar dalam bentuk kovarian. Sifat transformasi dari J µ diberikan oleh persamaan (1.83) J x , J y , J z , ρ bertransformasi seperti x, y, z, t berturut-turut. Oleh karena itu, untuk tranformasi Lorentz khusus menjadi J ' x = γ ( J x − v ρ )
J ' y = J y
J ' z = J z
ρ ' = γ ρ −
v
c
..……………….(1.106)
J 2 x
yang mana persamaan invers J x = γ ( J ' x +v ρ ')
J y = J ' y
J z = J ' z
ρ = γ ρ '+
v
c
..……...……….(1.107)
J ' x 2
Limit nonrelativistik di mana v/c<<1 dan γ ≈ 1 maka persamaan (1.107) memberikan J x ≈ J ' x +v ρ '
ρ ≈ ρ ' ……..………………………..…..(1.108)
Bila kerapatan muatan kembali konstan, jumlah muatan yang diketahui dalam S adalah jumlah J ' x yang didapatkan dari S ' dan aliran arus konveksi v ρ ' dikarenakan gerakan rapat muatan ρ ' dengan mengacu pada S. Bila kuantitas empat A µ dinyatakan oleh iφ ( A1 , A2 , A3 , A4 ) = A x , A y , A z , …….…………………………….(1.109) c
Persamaan
2
2
2 1 ∂2 ∂2 =∑ 2 = ∇ − c ∂t 2 µ ∂ x µ
Persamaan ∇ A − di mana
2
1 ∂ A c
2
∂t 2
= − µ 0 J
(sebuah invarian)
66
A adalah sebuah vektor potensial iφ besar vektor A = ( A1 , A2 , A3 , A4 ) = A x , A y , A z , c
J adalah sebuah vektor rapat arus listrik Besar vektor J = ( J 1 , J 2 , J 3 , J 4 ) = ( J X , J Y , J Z , ic ρ ) Dari persamaan kotak kuadrat dan kemudian menggunakan persamaan dibawahnya, didapat 2
2
2
1 ∂ A
A=∇ A−
= − µ 0 J
c 2 ∂t 2
maka didapat 2
A µ = − µ 0 J µ ……………………………………………….…...(1.110)
karena 1 ∂ 2Φ
2
∇ Φ−
c
2
∂t 2
=−
2 A4 = ∇ A4 −
1 ∂ 2 A4
2
c 2 ∂t 2
iφ
2 iφ
2 =∇
c
ρ ε 0
1
− 2 c c
i 2
= ∇ φ − c
c 2 ∂t 2
⇒ di mana J 4 = ic ρ
c ε 0
=−
∂t 2
1 ∂ 2φ
i ρ
= −
iφ c
∂2
J 4 2
c ε 0
sehingga didapat 2
(iφ / c ) = −i ρ / cε 0 = − J 4 / c 2ε 0 = − µ 0 J 4
iφ dari besar vektor A = ( A1 , A2 , A3 , A4 ) = A x , A y , A z , c
⇒ φ =
Persamaan Lorentz umum x1 = x
Persamaan ∇. A +
x2 = y
1 ∂φ c 2 ∂t
x3 = z
=0
x 4 = ict
t =
x4 ic
c A4 i
67 menjalankan vektor A diatas didapat ∂ A x ∂ A y ∂ A z 1 ∂φ ∂ x
+
∂ y
+
∂ z
+
c 2 ∂t
=0
cA4 ∂ A1 ∂ A2 ∂ A3 1 i + + + =0 ∂ x1 ∂ x2 ∂ x3 c 2 x4 ∂ ic ∂
cA4 c ∂( ) 1 i 1 i A4 = 2 ⇒ 2 x c c 1 ∂ ( x ) ∂ 4 4 ic ic ∂
∂ A1 ∂ A2 ∂ A3 ∂ A4 + + + =0 ∂ x1 ∂ x2 ∂ x3 ∂ x4
= =
1 c
2 ∂ A4 ( ) c 2
∂ x4
∂ A4 ∂ x 4
persamaan Lorentz diringkas menjadi ∂ A µ
∑ ∂ x µ
= 0 ……..………………………………………………....(1.111)
µ
Karena persamaan (1.111) yang menunjukan operasi terhadap
A µ dengan
sebuah
invarian 4-vektor. Di mana A µ adalah sebuah 4-vektor yang disebut 4 potensial. Dapat lihat dari persamaan (1.110) menunjukkan A x , A y , Az ,φ melakukan transformasi menyerupai x, y, z, c 2t berturut-turut. Oleh karena itu, transformasi Lorentz khusus dapat secara cepat dinyatakan
A' x = γ A x −
v φ c 2
A' y = A y
A' z = A z
.…………………..…(1.112)
φ ' = γ (φ − v A x )
Persamaan (1.110) dan (1.111) adalah bentuk kovarian dari persamaan
Maxwell’s yang ditulis dalam bentuk potensial dan dapat dipakai untuk medan E
dan B .
Bila telah memperoleh B dari B = ∇ × A , itu dapat digunakan untuk mendefinisikan antisimetri tensor medan elektromagnetik f µ v melalui dengan besar vektor A = ( A1 , A2 , A3 ) =
A x , A y , Az
68 xˆ
∇×A=
yˆ
zˆ
∂ ∂ x
∂ ∂ y
∂ ∂ z
A x
A y
A z
∂ A z
= xˆ
∂ y
−
∂ A y
∂ A ∂ A ∂ A ∂ A + yˆ x − z + zˆ y − x ∂ z ∂ x ∂ y ∂ z ∂ x
∂ A z ∂ A y − ∂ y ∂ z
B x =
∂ A x ∂ A z − ∂ z ∂ x ∂ A y ∂ A x − B z = ∂ x ∂ y B y =
dari hasil B x dituliskan menjadi bentuk umum f µ v =
∂ Av ∂ Aµ − ……..…………………………………….……(1.113) ∂ x µ ∂ xv
∂A dengan menggunakan persamaan (1.110) dan persamaan E = −∇φ − ∂t
∂
E = −
xˆ
∂ Aµ ∂ ∂ yˆ zˆ φ − ∂ y ∂ z ∂t
∂ x ∂φ ∂φ ∂φ ∂ A ∂ A ∂ A = − xˆ yˆ zˆ − 1 + 2 + 3 ∂t ∂ x ∂ y ∂ z ∂t ∂t ∂φ ∂φ ∂φ ∂ A ∂ A y ∂ A z = − xˆ yˆ zˆ − x + + ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ x y z t t t
∂φ ∂ A x − ∂ x ∂t ∂φ ∂ A y − E y = − ∂ y ∂t E x = −
E z = −
∂φ ∂ A z − ∂ z ∂t
kemudian menggunakan persamaan (1.113)
69 f 11 =
∂ A1 ∂ A1 ∂ A x ∂ A x − = − =0 ∂ x1 ∂ x1 ∂ x ∂ x
f 12 =
∂ A2 ∂ A1 ∂ A y ∂ A x − = − = B z ∂ x1 ∂ x2 ∂ x ∂ y
∂ A3 ∂ A1 ∂ A z ∂ A x ∂ A ∂ A − = − = − x − z = − B y ∂ x1 ∂ x3 ∂ x ∂ z ∂ x ∂ z iφ ∂ ∂ A4 ∂ A1 ∂ A i ∂φ 1 ∂ A x − = c − x = − f 14 = ∂ x1 ∂ x4 ∂ x ∂ict c ∂ x ic ∂t f 13 =
i ∂φ
1 ∂ A x
iE x i ∂φ ∂ A x = − − = − ∂t c ∂ x i 2 ∂t c ∂ x c ∂ A y ∂ A y ∂ A x ∂ A ∂ A ∂ A = − B z = − − f 21 = 1 − 2 = x − ∂ x2 ∂ x1 ∂ y ∂ x ∂ ∂ x y
=−
+
f 22 =
∂ A2 ∂ A2 ∂ A y ∂ A y − = − =0 ∂ x 2 ∂ x2 ∂ y ∂ y
f 23 =
∂ A3 ∂ A2 ∂ A z ∂ A y − = − = B x ∂ x 2 ∂ x3 ∂ y ∂ z ∂
f 24 =
iφ
∂ A y i ∂φ 1 ∂ A y ∂ A4 ∂ A2 − = c − = − ∂ x 2 ∂ x4 ∂ y ∂ict c ∂ y ic ∂t i ∂φ
= −
+
1 ∂ A y
i ∂φ
= −
c ∂ y i 2 ∂t ∂ A ∂ A ∂ A ∂ A f 31 = 1 − 3 = x − z = B y ∂ x3 ∂ x1 ∂ z ∂ x c ∂ y
−
∂ A y
iE
= − y ∂t c
∂ A ∂ A y ∂ A2 ∂ A3 ∂ A y ∂ A z = − B x − = − = − z − ∂ x3 ∂ x 2 ∂ z ∂ y ∂ ∂ y z ∂ A3 ∂ A3 ∂ A z ∂ A z − = − =0 f 33 = ∂ x3 ∂ x3 ∂ z ∂ z f 32 =
∂
f 41 =
iφ
∂ A1 ∂ A4 ∂ A x 1 ∂ A x i ∂φ − = − c = − ∂ x4 ∂ x1 ∂ict ∂ x ic ∂t c ∂ x i ∂φ
= −
c ∂ x
+
1 ∂ A x i2
i ∂φ ∂ A x iE x − = − = ∂t c ∂ x ∂t c
70 ∂
∂ A2 ∂ A4 ∂ A y 1 ∂ A y i ∂φ − = − c = − ∂ x 4 ∂ x2 ∂ict ∂ y ic ∂t c ∂ y
f 42 =
i ∂φ
= −
c ∂ y
+
1 ∂ A y
i ∂φ
= −
i 2 ∂t
c ∂ y
∂
−
∂ A y
iE
= y ∂t c
iφ
∂ A3 ∂ A4 ∂ A z 1 ∂ A z i ∂φ − = − c = − ∂ x 4 ∂ x3 ∂ict ∂ z ic ∂t c ∂ z
f 43 =
i ∂φ
= −
c ∂ z
f 44 =
iφ
+
1 ∂ A z i ∂φ ∂ A z iE z − = − = 2 ∂t
i
c ∂ z
∂t
c
∂ A4 ∂ A4 − =0 ∂ x 4 ∂ x 4
karena E = −∇φ − (∂A / ∂t ) dan dengan cara ini, didapatkan E dan B terlihat dalam komponen dari
f µ v sebagai berikut
0 − B z f µ v = B y i E x c
B z
− B y
−
0
B x
−
− B x
0
−
i E y
i E z
c
c
i E x
c i E y
c ..………………………....(1.114) i E z c
0
Sejak diketahui bagaimana komponen sebuah tensor bertransformasi, dapat ditemukan sifat transformasi dari komponen medan. Hal tersebut dapat ditunjukkan bahwa semua persamaan Maxwell ditulis dalam bentuk medan yang mengandung sistem kovarian persamaan berikut: dari persamaan (1.113) dengan mengubah kolom dan baris ∂ f λ ρ ∂ x v ∂ f λ ρ ∂ xv
+
+
∂ f µ ν
∑ ∂ x v
v
∂ f ρ ν ∂ xλ ∂ f ρ ν ∂ xλ
+
+
∂ f ν λ ∂ x ρ ∂ f ν λ ∂ x ρ
= 0 ..……………...………………….…...(1.115)
=0
= µ 0 J µ …..……………………………………………...(1.116.)
71 Dalam komponen dari persamaan (1.115) yang membentuk dari indek satu tidak terlihat, dengan menggunakan persamaan (1.114). Persamaan (1.115) dengan menggunakan nilai λ = 3, ρ = 4 dan v = 2 didapatkan ∂ f 3 4
+
∂ x 2
0=−
∂ f 4 2
+
∂ x3
i ∂ E z c ∂ y
+
∂ E z
i 0 = −
c ∂ y
∂ E z
i 0 = −
c ∂ y
∂ f 2 3 ∂ x 4
i ∂ E y c ∂ z
− −
∂ E y ∂ z ∂ E y ∂ z
=0 +
1 ∂ B x ic ∂ t
1 ∂ B x
−
i 2 ∂ t
∂ B x ∂ t
+
∂ E z ∂ E y ∂ B x i − = − + 0 ∂ ∂ ∂ c y z t ∂ B ∂ E z ∂ E y − = − x ∂ y ∂ z ∂ t xˆ
∇×E=
zˆ
∂ ∂ x
∂ ∂ y
∂ ∂ z
E x
E y
E z
∂ E z
= xˆ
∂ y
E x =
yˆ
−
∂ E y
∂ E y ∂ E x ∂ E ∂ E + yˆ − x − z + zˆ ∂ z ∂ x ∂ y ∂ z ∂ x
∂ E z ∂ E y − ∂ y ∂ z
∂ E x ∂ E z − ∂ z ∂ x ∂ E y ∂ E x = − E z ∂ x ∂ y E y =
merupakan komponen x dari ∇ × E = −∂B / ∂ t analog dapat ditunjukkan bahwa tiga komponen dari persamaan (76) memberikan komponen-komponen
y dan z
dari hukum Faraday sama dengan ∇ × B = 0 . Bila nilai µ = 1 dalam persamaan (1.116) dan menggunakan persamaan (1.114) dan (1.100) dapat diperoleh
72
∑ v
∂ f µ ν
= µ 0 J µ
∂ x v
∂ f 1ν
+
∂ xv ∂ f 11
+
∂ xv ∂ f 1 2
+
∂ x1
∂ f 1ν
∂ x 2
+
∂ f 1ν ∂ xv ∂ f 13 ∂ x3
+
+
∂ f 1ν ∂ xv ∂ f 1 4 ∂ x 4
= µ 0 J 1
dengan J µ berjalan 1,2,3,4
= µ 0 J 1
Menggunakan nilai dari persamaan (1.114) ∂ f 11
∂ f 1 2
+
∂ x1
∂ x 2
µ 0 J 1 =
+
∂ f 13 ∂ x3
+
∂ f 1 4 ∂ x 4
= µ 0 J 1 =
∂ B z ∂ B y 1 ∂ iE x − − + ∂ y ∂ z i c ∂ t c
∂ B z ∂ B y 1 ∂ iE x − − + ∂ y ∂ z i c ∂ t c
∂ B z ∂ B y 1 ∂ E x − = µ 0 J x + 2 ∂ y ∂ z c ∂t
∇ × B=
xˆ
yˆ
∂ ∂ x
∂ ∂ y
∂ ∂ z
B x
B y
B z
∂ B z
= xˆ
∂ y
B x =
−
zˆ
∂ B y
∂ B ∂ B ∂ B ∂ B + yˆ x − z + zˆ y − x ∂ z ∂ x ∂ y ∂ z ∂ x
∂ B z ∂ B y − ∂ y ∂ z
∂ B x ∂ B z − ∂ z ∂ x ∂ B y ∂ B x − B z = ∂ x ∂ y B y =
yang mana merupakan komponen
x
dari ∇ × B = µ 0 J x + c −2 (∂E / ∂ t ). Dua
komponen sisanya dari persamaan ini diperoleh untuk µ = 2 dan µ = 3 , ketika µ = 4 dipakai dalam persamaan (1.116) untuk menemukan hasil persamaan
Maxwell dalam vacum yaitu ∇.E = ρ / ε 0 . Komponen tensor medan elektromagnetik akan ditransformasikan seperti f ' µ v =
∑a
µ λ av ρ f λ ρ
λ ρ
…………………………..……………..……(1.117)
73 dan dapat menggunakan ini dengan memasukkan nilai dari persamaan (1.114) untuk memperoleh formula transformasi E dan B, ini hanya akan digunakan untuk transformasi Lorentz khusus seperti digambarkan dalam persamaan (1.82). Sebagai contoh, tinjau komponen 1 4 dari persamaan (1.117). Mengingatkan bahwa
f ρ λ = − f λ ρ , diperoleh
f '14 = −
i E' x c
= ∑ a1 λ a4 ρ f λρ = ∑ a1λ (a41 f λ 1 + a44 f λ 4 ) λ ρ
λ
= a11 (a41 f 11 + a44 f 14 ) + a14 (a41 f 41 + a44 f 44 ) = (a11a44 − a14 a41 ) f 14 = (γ 2 − β 2γ 2 ) f 14 = f 14 = −
iE x c
oleh karena itu E' x = E x . Analog didapatkan bahwa komponen 4 2 dari persamaan (1.117) mengantarkan untuk f '42 = −
i E' x c
= ∑ a4 λ a2 ρ f λρ = ∑ a4λ a22 f λ 2 λ ρ
λ
i E y c
= a41 f 12 + a44 f 42 = (− i βγ )B z + γ
Jadi bahwa E ' y = γ E y − β cB z = γ E y − vB z . Dengan menjalankan proses ini, dapat dikemukakan sekumpulan lengkap rumus transformasi menjadi E' x = E x
B' x = B x
E' y = γ (E y − vB z )
B' y = γ B y +
E' z = γ (E z + vB y )
vE z
…..…………………....(1.118) c 2 vE B' z = γ B z − 2 y c
74 1.16 Sekilas Teori Relativitas Umum Einstein
Relativitas umum merupakan perluasan teori relativitas khusus Einstein yang untuk kasus kerangka acuan dipercepat. Menurut teori ini semua gaya inersial dan gaya gravitasi merupakan manifestasi peristiwa yang sama dan dikenal sebagai prinsip ekuivalensi Einstein yang didapat dari persamaan eksak massa inersial (dinyatakan oleh hukum gerak Newton) dan massa gravitasi (yang diukur oleh R.V.Eotsos tahun 1922 dan R.H. Dicke tahun 1961) Beberapa ramalan-ramalan penting teori relativitas umum. 1. Presessi perihelium planet Mercurius Orbit sebuah benda langit mengelilingi sebuah benda langit lain umumnya berbentuk ellips, tetapi jika yang mengelilingi benda langit tersebut lebih dari satu benda langit, maka orbit ellips tersebut akan mengalami gangguan (presessi). Teori gravitasi Newton dapat menghitung kecepatan presessi planet Mercurius (dipilih planet Mercurius karena pengaruh medan gravitasi matahari paling kuat sebab dekat dengan matahari, sedangkan planet lain efek presessi sangat kecil), tetapi hitungan tersebut tidak sesuai dengan hasil pengamatan eksperimen karena hukum gravitasi Newton hanya cocok untuk medan gravitasi lemah. Teori relativitas umum dapat menghitung kecepatan presessi perihelion planet Merkurius akibat distorsi ruang-waktu yang ditimbulkan oleh planet lain dengan ketepatan yang sangat tinggi dengan hasil pengamatan ekperimen. Hasil perhitungan menurut teori relativitas umum terhadap kecepatan presessi perihelion planet Mercurius yaitu 43 second derajat per abad. 2. Pergeseran merah gravitasi Frekuensi garis spektral disebabkan transisi atom akan nampak mengecil/berkurang jika cahaya menjalar menuju medan gravitasi. Efek tersebut telah teramati dengan ketepatan tinggi oleh R.V.Pound dan G.A.Rebka (tahun 1960) yang mengukur pergeseran panjang gelombang cahaya di bawah medan gravitasi dengan menggunakan efek Mossbauer, hasil percobaan sekitar 2,5 bagian per 1015.
75 3. Pembelokan cahaya oleh medan gravitasi. Tahun 1919 terjadi gerhana matahari, peristiwa ini kemudian digunakan untuk mengamati posisi bintang dekat matahari pada saat siang hari dengan cara memotretnya. Enam bulan kemudian posisi bintang tersebut dapat diamati pada malam hari juga dengan cara memotretnya, dengan membandingkan posisi pada siang dan malam hari pada bintang tersebut maka akibat medan gravitasi di sekitar matahari, terlihat perubahan posisi bintang dan peristiwa pembelokkan cahaya oleh medan gravitasi ini dapat diukur. 4. Perubahan Periode Pulsar Pulsar adalah Pulsing Radio Star yang merupakan peristiwa di mana sebuah bintang memancarkan denyut/gelombang radio. Pulsar diduga terjadi pada bintang neutron termagnetisasi atau sistem bintang kembar yang mengelilingi pusat massanya dapat memancarkan gelombang radio secara teratur dengan interval beberapa detik sampai milli detik. Periode (bintang kembar) pulsar berubah karena emisi gelombang gravitasi seperti yang diramalkan teori relativitas umum Einstein. Emisi tersebut mengakibatkan pengurangan jarak antara 2 bintang yang menghasilkan perubahan periode rotasi ke 2 bintang tersebut. Ini belum dibuktikan secara eksperimen/melalu pengamatan.
76 Soal-soal latihan Bab 1 :
1. Sebuah mobil A berkecepatan 36 km/jam melewati mobil B yang berkecepatan 18 km/jam, pada saat kedua mobil sejajar dengan orang yang berdiri di pinggir jalan, kedua pengemudi melihat arlojinya masing-masing dan tepat jam 9.00. Lima detik kemudian pengemudi mobil B melihat burung terbang searah mobilnya dan berjarak 100 m di depan mobil B. (mobil A, B, dan burung bergerak searah sumbu x). a. Bagaimana koordinat burung menurut pengemudi mobil A, B dan orang yang berdiri di tepi jalan? b. Sepuluh detik kemudian pengemudi mobil B melihat burung lagi dan ia memperkirakan burung tersebut berjarak 125 m di depan mobilnya. Hitung kecepatan terbang burung tersebut menurut pengemudi mobil A, B, dan orang yang berdiri di tepi jalan? 2. Dalam kerangka O, sebuah elektron mempunyai kecepatan 0,5c dalam arah sumbu x, sebuah foton kecepatan c dalam arah sumbu y. Bagaimana laju relatif elektron dan foton ? 2
2
2
2
3. Tunjukkan bahwa pernyataan differensial ( dx ) + ( dy ) + ( dz ) − c2 ( dt ) adalah invarian terhadap tranformasi Lorentz. 4. Tunjukkan bahwa persamaan gelombang elektromagnet. ∂ 2 φ ∂ 2φ ∂ 2φ 1 ∂ 2φ + + = 0 adalah invarian terhadap transformasi Lorentz − ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 c2 ∂t 2
5. Sebuah tongkat pada saat diam panjangnya 1 meter, berapakah panjang tongkat yang bergerak searah panjangnya jika massa geraknya 4/3 massa diam. 6. Sebuah kelereng massa diamnya 10 gram, hitung massanya ketika kelereng bergerak dengan laju 0,6c. 7. Sebuah partikel muon tercipta di ketinggian 1 km di atas permukaan laut bumi dan bergerak menuju ke bumi dengan kecepatan 0,8c. Muon akan meluruh setelah 3 µ menurut kerangka muon itu sendiri. a. Secara klasik berapa jarak tempuh muon? Apakah muon sampai bumi? b. Secara relativistik berapa waktu dan jarak tempuh muon menurut pengamat di bumi
77 c. Secara relativistik berapa jarak dan waktu tempuh muon menurut kerangka muon? 8. Massa diam proton adalah 2000 kali massa diam elektron. Hitung laju gerak elektron agar massanya sama dengan massa diam proton?. 9. Energi total suatu partikel secara tepat 5/3 kali energi diamnya. Hitung berapa kali kecepatan cahaya laju partikel tersebut? 10. Berapa rasio laju elektron yang energi kinetiknya 0,4 Mev dengan laju cahaya ? Jika massa diam elektron tersebut 0,6 Mev/c 2 . 11. Berapa seharusnya laju partikel yang massa diamnya 4 Mev/c 2, sehingga massa relativistiknya 5 Mev/c2. 1,28 −28 .10 kg dan energi kinetiknya 9 2 Mev, hitung laju partikel tersebut berapa kali kecepatan cahaya ? (1 eV =
12. Sebuah partikel mempunyai massa diam
1,6.10-19 joule). 13. Dua partikel bergerak saling mendekat dengan kecepatan masing-masing 2.108 m/s , dan massa diam masing-masing partikel 3.10-25 kg, hitung kecepatan satu partikel jika dilihat dari partikel yang lain. Berapa massa relativistik satu partikel jika dilihat dari yang lain.
78 BAB 2 PERMULAAN TEORI KUANTUM
Pada akhir abad ke 19 terdapat beberapa eksperimen yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmuwan fisika klasik (fisikawan yang merujuk sepenuhnya pada mekanika Newton dan teori gelombang elektromagnet Maxwell) yaitu : radiasi benda hitam, efek fotolistrik, efek Compton, dan garis terang pada spektrum optik. Peristiwa-peristiwa tersebut semuanya melibatkan interaksi antara radiasi dengan materi. Pengukuran berulang-ulang pada eksperimen tersebut oleh fisikawan dengan ketelitian yang tinggi, tetap tidak dapat dijelaskan oleh teori fisika klasik. Masing-masing peristiwa tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 2.1. Radiasi Benda Hitam
Suatu benda jika dipanaskan akan memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik dengan rentang frekuensi yang lebar. Pengukuran terhadap radiasi rongga (lubang kecil dari bejana tertutup yang dipanaskan oven) menunjukkan bahwa intensitas radiasi berubah terhadap frekuensi radiasi. Jika suhu benda naik, maka frekuensi puncak radiasi yang dipancarkan juga bergeser naik. Suatu benda juga dapat menyerap radiasi gelombang elektromagnetik yang mengenainya. Benda yang dapat memancarkan seluruh frekuensi radiasi maupun menyerap seluruh frekuensi radiasi gelombang elektromagnetik yang mengenai Iλ benda tersebut disebut benda hitam. Dinding dalam sebuah rongga
T1 < T2 < T3 < T4
T4
yang dipanaskan juga dapat memancarkan
T3
radiasi gelombang elektromagnet dengan
T2
rentang panjang gelombang yang lebar melalui sebuah lubang kecil. Rongga ini juga dapat mewakili karakteristik benda hitam.
T1 λm4
λm2
λm1
λ
Gambar 2.1 Distribusi radiasi benda hitam
Variasi intensitas radiasi (I) yang dipancarkan sebagai fungsi panjang gelombang λ ditunjukkan dalam gambar 2.1 yang ternyata hampir mirip dengan kurva distribusi kecepatan Maxwell. Beberapa teori yang menjelaskan kurva distribusi radiasi benda hitam tersebut yaitu distribusi energi radiasi Wien, distribusi energi radiasi Rayleigh-Jeans, dan distribusi energi radiasi Planck.
79 Distribusi Energi Radiasi Wien
Dari kurva distribusi energi radiasi benda hitam terlihat nilai panjang gelombang maksimal (λm) hanya bergantung pada suhu (T), dimana jika T naik maka λm mengalami pergeseran turun (lebih pendek panjang gelombangnya) dan jika T turun maka λm bergeser naik (lebih panjang), sehingga perkalian λmT merupakan suatu tetapan. Pergeseran puncak kurva distribusi intensitas terhadap perubahan suhu ternyata mengikuti hubungan empirik yang kemudian dikenal sebagai hukum pergeseran Wien (tahun 1893 dirumuskan) yaitu λmT = konstan
……………………………………...…..… (2.01)
Wien mengusulkan sebuah hubungan empirik antara intensitas I λ dengan panjang gelombang λ untuk suatu suhu T menurut tinjauan secara termodinamik yaitu I λ dλ =
A
λ5
f ( λT ) dλ
………………………………...…….. (2.02)
di mana A adalah tetapan dan f(λT) adalah sebuah fungsi perkalian λT. Hukum Stefan-Boltzmann dan hukum pergeseran Wien dapat diturunkan melalui hukum distribusi Wien (persamaan (2.02)) ∞
∞
0
0
I = ∫ I λ dλ = A ∫
f ( λT ) λ 5 d
λ
misal x = λT ∞ f ( λT ) dx 4 f (x) I = A ∫ 5 = AT ∫ 5 dx T 0 x 0 x T5 ∞
f (x) ∫0 x 5 dx bernilai tetap, sehingga ∞
di mana integral I = σT4
…………………………………………………...….. (2.03)
σ merupakan tetapan Stefan-Boltzmann
Jika persamaan (2.02) didiferensialkan terhadap λ dIλ 5A AT = − 6 f ( λT ) + 5 f ' ( λT ) dλ λ λ pada λ = λm maka
dI λ = 0 dλ
di mana I =
watt m2
80 AT ' 5A λ − λ = f T ( ) m 5 6 f ( m T ) 0
λm
λm
x m f ' ( x m ) − 5f ( x m ) = 0
di mana x m = λ m T
Persamaan di atas dalam sebuah variabel tunggal xm , dapat hanya mempunyai satu buah solusi, oleh karena itu
λ mT = tetap ………………………………………………….….... (2.04) ini adalah hukum pergeseran Wien Bentuk fungsi f(λT) sebenarnya tidak bisa diturunkan dari termodinamika, oleh karena itu diperlukan anggapan model yang sesuai untuk sistem radiasi. Wien telah mengusulkan bentuk fungsi f(λT) didasarkan pada beberapa anggapananggapan sembarang yang sesuai dengan mekanisme pemancaran dan penyerapan radiasi, sehingga hukum Wien untuk kerapatan energi radiasi benda hitam yaitu u λ dλ =
a
λ
5
exp ( − b λT ) dλ
………………………………...…..… (2.05)
a dan b adalah tetapan sembarang untuk dicocokkan dengan data eksperimen. Distribusi Energi Radiasi Reyleigh – Jeans
Menurut mekanika klasik, energi total sebuah osilator harmonik linier p2 1 yaitu E = E k + V = + kx2 , yang mempunyai 2 derajat kebebasan. Menurut 2m 2 hukum ekuipartisi energi, rata-rata energi masing-masing derajat kebebasan adalah
1 kT , sehingga rata-rata energi osilator yaitu <∈> = kT , di mana k 2
tetapan Boltzmann. Untuk mendapatkan kerapatan energi radiasi rongga pada suatu frekuensi f = c λ , harus dimulai dengan mencari jumlah nf osilator per satuan volume yang mempunyai frekuensi f dan mengalikannya dengan rata-rata energi <∈>, nf dapat dihitung melalui penentuan jumlah mode-mode getaran stasioner yang dapat dieksitasi dalam kotak 3 dimensi dengan syarat batas yang sesuai. Persamaan perambatan getaran stasioner yaitu 1 ∂ 2φ ∇ φ = 2 2 …………………………………………………...….. (2.06) c ∂t 2
∂ 2φ misal ϕ ∼ exp(iωt) di mana ω = 2πf , maka 2 = −ω2 φ ∂t
81 ∂ 2φ ∂ 2φ ∂ 2φ ω2 + + + φ = 0 ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 c2
untuk gelombang stasioner ϕ = 0 pada x = y = z = 0 dan x = y = z =
ℓ
Menggunakan metode pemisahan variabel
φ = φ ( x,y,z ) = φx ( x ) φ y ( y ) φz (z ) = φx (x )φ yz ( y,z ) , sehingga 1 d 2φ x ω2 1 ∂ φ yz ∂ φ yz ω223 + =− + = 2 = tetap φ x dx 2 c2 φ yz ∂y 2 ∂z 2 c 2
2
karena persamaan kiri hanya fungsi fungsi x saja, maka persamaan kanan bernilai tetap. 1 d 2φ x ω12 + =0 φ x dx 2 c2
; di mana ω12 = ω − ω223
solusi persamaan di atas yaitu
φ x ( x ) = A1sin
ω1x
+ B1cos
c
ω1x c
…………………..………….….... (2.07)
dengan syarat batas ϕx = 0 pada x = 0, maka nilai B 1 = 0 , sehingga
φ x = A1sin
ω1x c
karena ϕx = 0 pada x = ℓ , maka
φ x = A1sin
n1 π x ℓ
ω1ℓ c
= n1 π atau n1 =
φ y = A 2sin
, dan
n 2 πy ℓ
ω1ℓ cπ ; φ z = A 3sin
n 3 πz ℓ
di mana n1 , n 2 , n 3 bilangan bulat maka φ = φ0sin
n1 π x ℓ
sin
n 2 πy ℓ
sin
n 3 πz ℓ
…………….……………..….. (2.08)
ω12 ℓ 2 ω22 ℓ 2 ω32 ℓ 2 2 2 di mana n = 2 2 ; n 2 = 2 2 ; n 3 = 2 2 cπ cπ cπ 2 1
dengan ω12 = ω − ω223 , maka ω12 + ω22 + ω32 = ω2 , sehingga
ω 2 ℓ 2 4π 2 f 2 ℓ 2 n + n + n = 2 2 (ω + ω + ω ) = 2 2 = 2 2 cπ cπ cπ 2 1
2 2
2 3
ℓ
2
2 1
2
2 2
2ℓ 2f ℓ n + n + n = = λ c 2 1
2 2
2 3
2 3
2ℓ = λ
2
2
………………………………. (2.09)
82 Sekumpulan nilai-nilai n1 , n 2 , n 3 yang memenuhi persamaan (2.09) menyatakan sebuah mode getaran khusus. Untuk menghitung jumlah mode-mode getaran (stasioner) dalam interval frekuensi f s/d f + df , nilai-nilai n1 , n 2 , n 3 dinyatakan dalam diagram 3 dimensi dengan n 1 sepanjang sumbu x, n 2 sepanjang sumbu y, n3 sepanjang sumbu z. Kombinasi nilai-nilai n1 , n 2 , n 3 dinyatakan sebagai sebuah titik dalam diagram ini yang koordinatnya ( n1 , n 2 , n 3 ). Jadi jumlah mode getaran antara f dan f + df dapat ditentukan dengan menghitung
jumlah
titik-titik
antara
dua
lingkaran
r=
2f ℓ c
dan
2 ( f + df ) ℓ dalam kuadrant pertama. Kuadrant pertama dipilih karena n1 c dan n2 dianggap hanya bernilai positif. Jumlah titik-titik tersebut Nf df sama r + dr =
dengan volume kulit bola pada kuadrant pertama dibagi volume masing-masing satuan kubus, yaitu 2
3 2 1 1 2fℓ 2ℓdf 4πℓ f df 2 N f df = ( 4πr dr ) = ( 4π ) = 8 8 c3 c c
n2 n2
n1
n1 n3
n3 Gambar 2.2 Mode-mode getaran
4πVf 2 df N f df = c3
Gambar 2.3 Satu mode getaran
di mana V = ℓ 3
maka jumlah mode-mode getaran per satuan volume selubung untuk frekuensi antara f dan f + df yaitu 2N f df 8πf 2df n f df = = V c3
…………………………..………..…. (2.10)
angka 2 dimasukkan karena radiasi gelombang elektromagnetik di alam adalah transversal yang mempunyai dua arah polarisasi, sehingga jumlah osilator per
83 satuan volume radiasi yang dipancarkan dengan panjang gelombang antara λ dan λ + dλ yaitu
n λ dλ =
8πdλ
………………………..…………………..…. (2.11)
λ4
sedangkan kerapatan energi radiasi benda hitam dalam jangkauan λ yaitu u λ dλ = < ∈> n λ dλ =
8πkTdλ
λ4
……………………………...…….…. (2.12)
persaaman di atas dikenal sebagai hukum radiasi Rayleigh – Jeans. Intensitas radiasi yang dipancarkan yaitu Iλ =
c u 4 λ
……………………………………………..……..…. (2.13)
Distribusi Energi Radiasi Planck
Rumus distribusi energi radiasi benda hitam yang diturunkan Wien ternyata hanya cocok dengan hasil eksperimen pada frekuensi tinggi, sedang pada frekuensi rendah tidak sesuai dengan hasil eksperimen. Sebaliknya rumus distribusi energi radiasi benda hitam yang diturunkan Rayleigh - Jeans hanya cocok dengan hasil eksperimen pada frekuensi rendah, sedang pada frekuensi tinggi tidak sesuai dengan hasil eksperimen (lihat gambar 2.4). Max Planck lalu mengajukan postulat berkenaan dengan getaran alamiah osilator-osilator harmonik linier yang berada dalam kesetimbangan dengan radiasi gelombang elektromagnet dalam rongga yaitu sebuah osilator dapat mempunyai energi diskrit yang merupakan kelipatan energi kuantum ∈0 = hf , di mana f adalah frekuensi osilator, sehingga energi osilator dapat bernilai ∈n = n∈0 = nhf , (di mana n = 0,1,2, …). Planck juga menganggap bahwa perubahan energi osilator disebabkan pancaran atau serapan radiasi yang juga bernilai diskrit. Iλ
menurut Rayleigh – Jeans (garis putus-putus) dari hasil eksperimen (garis padat) menurut Wien (garis titik-titik) λ
Gambar 2.4 Kurva distribusi radiasi benda hitam
84 Jumlah osilator-osilator dalam sebuah keadaan energi ∈n = hf ditentukan menurut fungsi distribusi Maxwell – Boltzmann yaitu nhf = N exp 0 …………………………….…. (2.14) kT kT
N n = N 0 exp -
∈n
di mana untuk ∈n = 0 maka Nn = N0 sehingga N0 adalah jumlah osilator-osilator dalam keadaan ground. ∈n
n
3hf
3 emisi
2hf
2
hf
1
absorpsi 0
0
Gambar 2.5 Tingkat-tingkat energi sebuah osilator menurut Planck
Jumlah Nn menurun secara eksponensial terhadap kenaikkan energi ∈n, sehingga rata-rata energi osilator yaitu : ∞
<∈> =
n=0
=
∞
∑ Nn
nhf
N 0 nhf exp − ∑ kT n=0 ∞
∑ N n ∈n n=0
nhf
N 0 exp − ∑ kT n=0 ∞
hfx(1+2x+3x 2 +4x3 +...) hfx(1− x)−2 hf <∈> = = = −1 2 3 −1 (1+x+x +x +...) (1 − x) (x − 1) hf , sehingga rata-rata energi osilator yaitu kT
di mana x = exp − <∈> =
hf hf e kT
−1
jika hf << kT, maka e
hf
kT
………………………...………………….…. (2.15) ≈ 1+
hf sehingga <∈> = kT (seperti pada fisika klasik) kT
Dari hasil di atas, maka kerapatan energi radiasi benda hitam menurut Planck yaitu hf 8πf 2df 8πhf 3 df ……. (2.16) u f df = < ∈ >n f df = hf = 3 3 hf c c kT kT −1 e −1 e
(
)
85 u λ dλ =
8πhc
λ5
dλ
(e
hc
λkT
………………...………………….…. (2.17)
)
−1
persamaan (2.17) dikenal sebagai persamaan distribusi energi Planck. jika
λ →0 e
hc
hc
λkT − 1 ≈ e λkT , misal
maka lim u λ = λ →0
a
λ
hc = b dan 8πhc = a k b λT
− 5 exp
persamaan di atas sesuai dengan hukum Wien (persamaan 2.05) untuk frekuensi tinggi. jika
λ → ∞ hc
λ e
hc
≪ kT λkT
hc hc − 1 = 1+ −1 = λkT λkT
maka lim u λ = λ→∞
8πkT
λ4
persamaan di atas sesuai dengan hukum Rayleigh-Jeans (persamaan 2.12) untuk frekuensi rendah. jika
λ = λ m (panjang gelombang pada intensitas maksimum/puncak kurva) maka
du λ = 0 , sehingga dλ
hc hc hc = 5 1 − e − λmkT dan = 4,965 , λ m kT λ m kT
sehingga λ m T =
hc = 2,898.10−3 mK , 4,965k
di mana λmT merupakan besaran tetap dan persamaan di atas merupakan hukum pergeseran Wien. Dari persamaan (2.16) didapat kerapatan energi total radiasi yang dipancarkan benda hitam yaitu 8πh ∞ f 3df u = ∫ u f df = 2 ∫ hf c 0 e kT − 1 0 ∞
(
)
86 misal : z =
hf h zkT kT dan dz = dan df = df , di mana f = dz kT kT h h
8πh k 4 T 4 ∞ z 3dz u = 3 4 ∫ z c h 0 ( e − 1) 4
kT u = 8πhc Γ ( 4 ) ζ ( 4 ) hc ∞
di mana fungsi gamma Γ ( n+1) = ∫ x n e− x dx = n! 0
dan fungsi Riemann Zeta ζ ( p ) =
∞
n −p ∑ n=1
(lihat lampiran A)
3 π4 kT u = 8πkT ( 3!) hc 90
Dari persamaan (2.13)
c 2π5 k 4 4 2π 5 k 4 I= u= T di mana σ = = 5,67.10 −8 m 2K 4 3 2 3 2 4 15h c 15h c
I = σT 4
……………………………………………….……… (2.18)
persamaan di atas sesuai dengan hukum Stefan-Boltzmann dan σ merupakan tetapan Stefan-Boltzmann. Hukum Stefan-Boltzmann tersebut dapat juga diturunkan dari persamaan (2.17) ∞
u= ∫ 0
di mana x = jika
8πhc
λ
5
dλ
(
e
hc
λkT
)
−1
hc hc hc ; λ = ; dλ = − dx λkT xkT kTx 2
λ = 0 → x = ∞
maka λ = ∞ → x = 0 , sehingga batasan integral dibalik 0
5
kTx 1 hc u = ∫ 8πhc dx x − 2 hc ( e − 1) kTx ∞ 8πk 4T 4 ∞ x 3 u= 3 3 ∫ x dx h c 0 ( e − 1)
;
87 8πk 4T 4 π 4 u= 3 3 h c 15 c 2π5k 4 4 4 I= u= T T σ = 4 15h 3c 2 didapat hasil yang sama dengan persamaan (2.18) di mana intensitas radiasi benda hitam berbanding lurus suhu pangkat empat. Contoh-contoh soal : 1. Berapa jumlah foton yang terdapat dalam 1 cm 3 radiasi dalam kesetimbangan termal pada 1000 K ? dan berapa energi rata-ratanya ? Jawab : a) Jumlah total foton per satuan volume yaitu N ∞ = n df , V ∫0 f di mana n f df = jumlah foton per satuan volume dengan frekuensi antara f dan f + df, karena foton tersebut berenergi hf, maka
u f df , u f df = kerapatan energi foton (rumus Planck) hf maka jumlah total foton dalam volume V yaitu n f df =
u f df 8πV ∞ f 2df N = V∫ = 3 ∫ hf hf c 0 e kT − 1 0 ∞
kT N = 8πV hc
3∞
3
x 2 dx kT = 8 V π hc Γ ( 3 ) ζ ( 3 ) ∫0 ex −1 3
−23 22 −6 3 (1,38.10 J/K ) (1000 K ) N = 8 (10 m ) ( 2!)(1,2025) ( 6,63.10−34 J.s )( 3.108 m/s ) 7
N = 2,027.1010 foton
b) Energi rata-rata <∈> dari foton sama dengan energi total per satuan volume dibagi dengan banyaknya foton per satuan volume. ∞
∫0 u f df
aT 4 4σVT 4 <∈> = ∞ = = N Nc V n df f ∫ 0
88
σc2h 3T 4σVT4 <∈> = = 3 2,405 ( 2πk 3 ) kT 8πcV ( 2 )(1,2025 ) hc <∈> = 3,73.10−20 joule = 0,233 eV
atau 4
8π ( kT ) π4 3 ( 3!) kT ( 3!) ( π 4 ) ( hc ) 90 <∈> = = 3 ( 2!)(1,2025)( 90 ) kT 8π ( 2!)(1,2025 ) hc 4
−23 kT ( π ) (1,38.10 ) (1000) ( 22 7 ) (1,38 )( 97,566 ) (10−20 ) <∈>= = = 36,075 36,075 36,075
4
<∈>= 3, 73.10
−20
3,73.10−20 joule = = 0, 223 eV 1,6.10 −19
2. Tentukan suhu permukaan matahari jika panjang gelombang cahaya pada energi maksimum yang dipancarkan permukaan matahari adalah 5100 Å. Jawab :
λ m T = 2,898.10−3 mK 2,898.10−3 mK T= = 5700 K 5100.10−10 m 3. Tentukan energi radiasi dari 1 cm2 permukaan bintang yang menpunyai λm = 3500 Å. Jawab :
λ m T = 2,898.10−3 mK T=
2,898.10−3 mK
λm
2,898.10−3 mK = = 8300 K 3500.10−10 m
E = σT 4 = (5,67.10−8 W E = 271 MW
m2
2
mK
4
) (8300 K )4
89 2.2. Efek Fotolistrik
Efek fotolistrik pertama kali ditemukan oleh Heinrich Hertz tahun 1888 di Jerman. Telah diamati bahwa sebuah plat logam ketika disinari radiasi ultra violet akan menjadi bermuatan positif, ini ditunjukkan dengan berkurangnya atau lepasnya muatan negatif dari permukaan plat logam tersebut. Partikel-partikel bermuatan negatif ini kemudian diidentifikasikan sebagai elektron oleh P. Lenard tahun 1899. Peristiwa lepasnya partikel negatif dari permukaan logam akibat disinari radiasi gelombang elektromagnetik dikenal sebagai efek fotolistrik dan elektron yang dipancarkan dikenal sebagai fotoelektron. Einstein kemudian memberikan penjelasan tentang efek fotolistrik (1905), Einstein menganggap bahwa kuantum energi bukan merupakan sifat khusus atomatom pada dinding dalam rongga osilator (menurut Planck), tetapi merupakan sifat radiasi itu sendiri. Energi cahaya datang diserap logam dalam bentuk paket-paket atau quanta yang disebut juga foton dan energi foton tersebut E = hf. Sejumlah energi foton diperlukan untuk melintas/melewati permukaan logam adalah tetap untuk suatu logam tertentu yang disebut fungsi kerja fotolistrik. Semakin sedikit energi elektron yang hilang dalam tumbukan dengan atom-atom, maka semakin besar energi kinetik (Ek) elektron yang dilontarkan/dipancarkan permukaan logam, oleh karena itu Ek maksimum elektron yang dipancarkan logam berhubungan dengan tidak adanya kehilangan energi elektron dalam tumbukan dengan atom-atom atau elektron yang terlepas dari ikatan atom berada pada permukaan logam sehingga tidak sempat menumbuk atom-atom dalam logam tersebut. Proses terjadinya efek fotolistrik dapat digambarkan sebagai berikut : atom elektron hf Ek
hf
hf
Ek
Ed Ed
Gambar 2.6 Proses terlontarnya elektron dari logam
Ek max
90 Energi cahaya datang (E = hf) digunakan untuk : 1. Melepaskan elektron yang terikat dalam atom, setiap logam mempunyai nilai W (energi ambang) tertentu. Cahaya datang dengan energi hf < W tidak akan dapat melepaskan elektron dari ikatannya dalam atom. 2. Menggerakkan elektron menuju permukaan logam, diperlukan energi sebesar Ed , semakin dalam letak elektron dari permukaan, semakin besar energi yang diperlukan elektron untuk menuju permukaan. 3. Menggerakkan elektron setelah lepas dari permukaan logam, jika elektron berada di permukaan logam maka tidak diperlukan energi untuk menuju permukaan, sehingga energi kinetik (E k) elektron akan maksimum. Menurut hukum kekekalan energi hf = W + (Ek + Ed) di mana W = energi ambang/fungsi kerja logam Ek = energi kinetik elektron setelah lepas dari permukaan logam Ed = energi elektron menuju permukaan logam setelah lepas dari ikatan atom. hf = energi cahaya yang datang (foton) Jika elektron berada jauh dari permukaan, ada kemungkinan energi cahaya datang hanya digunakan untuk melepaskan elektron dari ikatan atom (W) dan hanya untuk menggerakkan elektron menuju permukaan logam (E d), sehingga ketika elektron sampai permukaan sudah kehabisan energi dan tidak dapat lepas dari permukaan logam, sehingga energi kinetiknya nol (E k = 0) atau kecepatan elektron lepas dari permukaan logam nol (v = 0), sehingga hf = W + Ed ……………………………..……………...…… (2.19) Jika elektron berada di permukaan logam, maka tidak diperlukan energi elektron untuk menuju ke permukaan (E d = 0), sehingga energi cahaya datang hanya digunakan untuk melepaskan elektron dari ikatan atom (W) dan hanya untuk menggerakkan elektron lepas dari permukaan logam (E k), karena W tetap maka energi kinetik elektron lepas dari permukaan logam akan maksimum (E k max) dan kecepatan elektron lepas dari permukaan logam juga akan maksimum (v max), sehingga Einsten merumuskan persamaan untuk efek fotolistrik yaitu hf = W + Ek max ………………………………...…….…..… (2.20)
91 Jadi kecepatan elektron-elektron yang dilontarkan dari permukaan logam, pada proses fotolistrik dapat bernilai 0 s/d vmax atau energi kinetik elektron dapat bernilai 0 s/d Ek max. Ek max elektron yang terpental dari logam tidak bergantung pada intensitas cahaya datang tetapi berbanding lurus dengan frekuensi cahaya datang. Jika logam yang disinari cahaya diberi voltase positif maka ½mv2max = eVs (Vs = stopping potensial/tegangan penghenti). Sehingga hf = W + eV s hf = hf 0 + eVs …………………………………………..…….…..… (2.21) di mana f 0 = frekuensi ambang cahaya datang untuk melepaskan elektron dari ikatan atom. hf
Peralatan untuk mempelajari efek
vacum
fotolistrik terlihat pada gambar 2.7 dan gambar 2.10. Logam R dan logam S ada
R
di dalam tabung gelas hampa udara. Logam R dikenai cahaya dan logam S dihubungkan alat ammeter. Antara logam
A
Gambar 2.7 Skema efek fotolistrik logam R lebih negatif
R dan logam S terdapat selisih voltase yang awalnya voltase logam S
S
V
lebih
tinggi atau lebih positif daripada logam R
(misal voltase di logam R 0 volt). Ketika logam R disinari cahaya dengan frekuensi f, elektron-elektron akan terlontar keluar
i I3 I2 I1
I1 < I2 < I3
permukaan logam R jika energi cahaya 0 V datang (hf) lebih besar dari energi ambang Gambar 2.8 Grafik antara i dan V pada intensitas (I) berbeda-beda W logam R. Elektron-elektron yang i terlontar dari permukaan logam R akan menuju ke logam S (karena voltase logam S lebih positif) yang memunculkan arus i
f 1 < f 2 < f 3
di ammeter. Jika voltase di logam S diturunkan/dikecilkan, ternyata arus yang 0 V sampai di ammeter konstan walaupun Gambar 2.9 Grafik antara i dan V pada voltase di logam S (sumbu x) dikecilkan sampai 0 volt (lihat gambar 2.8.).
frekuensi (f) berbeda-beda
92 Ketika intensitas cahaya datang ditingkatkan dan frekuensi cahaya datang dan voltase di logam S dibuat tetap, maka arus yang timbul di ammeter juga meningkat (gambar 2.8), sehingga intensitas cahaya datang berbanding lurus arus yang ditimbulkan. Ketika frekuensi cahaya datang diubah-ubah dan intensitas cahaya datang dibuat tetap, ternyata arus listrik yang timbul tidak berubah, walaupun voltase di logam S diturunkan/dikecilkan sampai 0 volt (gambar 2.9). Jika voltase di logam S dikurangi /diturunkan lagi di bawah 0 volt atau
hf
menjadi lebih negatif, sehingga logam R
vacum
(voltase 0 volt) mempunyai voltase lebih R
tinggi atau lebih positif dibanding logam S
V
(voltase negatif). Ketika logam R disinari cahaya dengan frekuensi tetap f, elektronelektron akan terlontar keluar permukaan
yang
terlontar
dari
i
permukaan logam R akan menuju ke logam S. Ketika logam S dibuat lebih negatif, maka logam R menjadi lebih positif, sehingga suatu ketika elektron yang
A
Gambar 2.10 Skema Efek Fotolistrik logam R lebih positif
logam R jika energi cahaya datang (hf) lebih besar dari energi ambang W logam R. Elektron-elektron
S
I3 I2 I1
I1 < I2 < I3
V
0 Vs antara i dan V pada logam S dan kembali ke logam R. Voltase Gambar 2.11 Grafik intensitas (I) berbeda-beda
terlontar dari logam R tidak akan sampai ke
lebih positif di logam R akan menarik elektron yang terlontar dari permukaan
i
logam R (karena elektron bermuatan negatif), dan ketika voltase di logam S
f 1 < f 2 < f 3
(sumbu x) diturunkan menjadi lebih negatif lagi, maka elektron-elektron yang sampai
f 3
ke logam S jumlahnya semakin menurun (gambar 2.11) sehingga suatu ketika tidak ada elektron yang sampai ke logam S.
V
f 2 f 1 0
Gambar 2.12 Grafik antara i dan V pada λ berbeda-beda
93 Arus listrik turun tajam menuju nol ampere (artinya tak ada elektron yang sampai ke logam S) pada voltase tertentu (stopping potensial) logam S. Ketika intensitas cahaya datang diubah-ubah dan frekuensi cahaya datang tetap, maka arus akan menuju nol pada nilai stopping potensial (Vs) tetap (gambar 2.11). Untuk frekuensi f sinar datang yang berbeda-beda dan intensitas cahaya tetap, ketika voltase listrik logam S diturunkan (lebih negatif), maka arus listrik akan turun menuju nol pada voltase Vs yang berbeda-beda (gambar 2.12). Ketika frekuensi diturunkan terus maka suatu ketika tidak ada pelontaran elektron dari logam R yang disinari, meskipun intensitas cahaya datang dinaikkan. Jadi
nilai
stopping potensial (Vs) suatu logam tidak bergantung intensitas cahaya datang, tetapi bergantung frekuensi cahaya datang.
Grafik antara stopping potensial
Vs
(Vs) terhadap frekuensi cahaya datang (f) terlihat pada gambar 2.13. Jika gambar 2.8
Cesium
dan gambar 2.11 digabungkan didapatkan grafik lengkap hubungan antara kuat arus i
Calsium f
dengan berbagai voltase V pada logam S
0
(sumbu x) dari voltase positif menuju ke voltase negatif untuk intensitas I berbedai beda.
Gambar 2.13 Grafik antara Vs dan f pada logam berbeda
f 0(Ce)
f 0(Ca)
I3 I2 I1
I1 < I2 < I3
-Vs
0
V
Gambar 2.14 Grafik antara i dan V pada intensitas (I) berbeda-beda
dan jika gambar 2.9 dan gambar 2.12 digabungkan untuk f yang berbeda-beda i f 1 < f 2 < f 3 f 3
f 2 f 1 0
Gambar 2.15 Grafik antara i dan V pada λ berbeda-beda
V
94 Kesimpulan yang dapat ditarik dari eksperimen efek fotolistrik di atas yaitu 1. Kecepatan elektron yang terlontar dari permukaan logam tergantung pada frekuensi cahaya datang dan tidak tergantung intensitas cahaya datang. Energi kinetik maksimum (Ek.max) elektron yang dipancarkan meningkat secara linier terhadap frekuensi cahaya datang. 2. Pelontaran/pemancaran elektron adalah peristiwa spontan. Tidak ada selisih waktu antara cahaya datang dengan pelontaran elektron. 3. Terdapat frekuensi ambang (f 0) atau frekuensi minimum cahaya datang agar elektron dapat terlontar dari permukaan logam. Frekuensi ambang ini nilainya tergantung pada jenis material yang digunakan. 4. Arus fotolistrik tergantung pada intensitas cahaya datang dan tidak tergantung fekuensi cahaya datang untuk voltase logam S lebih tinggi dari logam R. 5. Nilai potensial stopping tidak tergantung pada intensitas cahaya datang, tetapi bergantung pada frekuensi cahaya datang. Terdapat 4 karakteristik efek fotolistrik yang tidak dapat dijelaskan oleh teori gelombang elektromagnetik maupun teori fisika klasik yaitu : 1. Ek.max elektron tidak bergantung intensitas cahaya datang, padahal menurut teori gelombang elektromagnet, energi kinetik akan meningkat bersamaan meningkatnya intensitas cahaya datang. 2. Untuk masing-masing permukaan logam terdapat frekuensi minimum (f 0) yang jika f < f 0 , maka tidak terjadi pemancaran/pelontaran fotoelektron, padahal menurut teori gelombang elektromagnet, pemancaran elektron akan terjadi pada setiap frekuensi yang datang. 3. Tidak terdapat selisih waktu antara cahaya datang dengan pemancaran elektron (terjadi secara spontan), sedang menurut teori gelombang elektromagnet, elektron memerlukan waktu untuk menyerap energi cahaya datang sebelum terlontar dari permukaan logam. 4. Kecepatan elektron yang terlontar dari permukaan logam bergantung pada frekuensi cahaya datang, sedang menurut teori gelombang elektromagnet, apapun frekuensi cahaya datang, elektron akan dipancarkan jika memperoleh cukup waktu untuk mengumpulkan energi cahaya datang yang diperlukan untuk pemancaran.
95 Contoh-contoh soal : 1. Berapa panjang gelombang cahaya datang yang seharusnya untuk permukaan Tungsten (Wolfram) yang mempunyai fungsi kerja 4,0 eV. Jawab : W = 4,0 eV = 6,4.10 –19 joule W = hf 0 =
hc
;
λ0
λ0 =
hc W
o ( 6,626.10−34 )(3.108 ) −7 = 9,64.10 m = 9640A λ0 = 4,5 (1,6.10−19 )
2. Permukaan sebuah fotolistrik mempunyai fungsi kerja 4 eV. Jika cahaya yang menumbuk permukaan mempunyai frekuensi 1015 Hertz, berapakah kecepatan maksimum fotoelektron yang dilontarkan ? Jawab : W = 4 eV = 4 (1,6.10–19) joule 1 2 mvm = hf − W = ( 6,626.10 −34 ) (1015 ) − ( 6,4.10−19 ) = 0,2.10−19 joule 2 2 ( 0,2.10−19 ) vm = = 2,11.105 m s −31 9.10 3. Hitung energi fotoelektron dari permukaan Tungsten (dalam eV), jika diradiasi dengan cahaya λ = 1800 Å, misal panjang gelombang ambang ( λ0) pancaran fotolistrik yaitu 2300 Å. Jawab : 1 1 λ −λ E = h ( f − f 0 ) = hc − = hc 0 λ λ λλ
E = ( 6,626.10
−34
0
0
23.10−8 − 18.10−8 )( 3.10 ) −8 −8 18.10 )( 23.10 ) ( 8
E = 2,4.10–19 joule
2,4.10−19 E= eV = 1,5 eV 1,6.10 −19 E = merupakan energi masing-masing elektron.
96 4. Hitung λ terpanjang dari radiasi sinar datang di mana akan melontarkan elektron dari sebuah logam yang fungsi kerjanya W = 6 eV. Jawab : W = hf 0 = hc λ0 = W
hc
λ0 dan
o ( 6,626.10−34 )(3.108 ) −7 = 2,07.10 m = 2070 A λ0 = 6 (1,6.10−19 )
5. Suatu logam disinari cahaya panjang gelombang 3000 Ǻ. Jika fungsi kerja logam tersebut 2 eV. Tentukan energi kinetik elektron yang terlontar dari permukaan logam (dalam eV)?. Jawab : E=
(6,626.10−34 )( 3.108 ) = = 6,626.10−19 J.s −10 λ (3000.10 )
hc
6,626.10−19 E= eV = 4,14125 eV = 4,14 eV 1,6.10 −19 E k = E − W = 4,14 eV − 2 eV = 2,14 eV 6. Suatu logam tidak akan melontarkan elektron jika disinari cahaya dengan panjang gelombang di atas 600 nm. Jika ternyata dibutuhkan voltase 2,07 volt untuk menghentikan elektron yang terpental dari permukaan logam akibat cahaya datang tertentu. Tentukan panjang gelombang cahaya datang tersebut (dalam nm)?. Jawab : hc
λ
=
hc
λ0
+ eV
atau
λ=
hc hc
λ0
+ eV
=
λ0 hcλ 0 = hc + eVλ 0 1 + eVλ 0 hc
( 600.10 −9 ) ( 600 nm ) λ= = = eVλ 0 1,6.10−19 ) ( 2,07 ) ( 600.10 −9 ) 1 + ( 3, 2)( 2,07 ) ( 1+ hc 1 + ( 6,626 ) ( 6,626.10−34 )(3.108 ) λ0
λ=
( 600 nm ) = 300 nm 1 + 0,999
97 2.3. Efek Compton
Tahun 1923 A.H.Compton dapat menunjukkan bahwa ketika sinar-X monokromatik diarahkan ke unsur ringan Carbon, radiasi hamburan terdiri dari dua komponen, yang pertama λ lebih panjang dari sinar datang dan yang kedua λ sama dengan radiasi sinar datang. Compton juga mengamati bahwa selisih antara panjang gelombang sinar-X datang dengan panjang gelombang sinar-X terhambur, meningkat terhadap sudut hamburan, peristiwa ini disebut efek Compton. Selisih panjang gelombang ini tidak bergantung λ sinar datang dan juga merupakan sifat alami dari bahan penghambur. Susunan alat eksperimen untuk mempelajari hamburan Compton adalah sebagai berikut : A = Anoda C = kristal Carbon S = kristal dalam spektrometer I = ruang ionisasi B = kolimator/celah
A
C
B I
θ
S
Gambar 2.16 Susunan alat eksperimen Compton
Radiasi sinar-X monokromatik Kα dari Anoda (A) menuju kristal Carbon (C), setelah dihamburkan melalui sudut yang diketahui lalu sinar-X tersebut dilewatkan melalui sejumlah celah (B) menuju kristal S dalam spektrometer Bragg, di mana sinar-X didifraksikan oleh kristal S lalu masuk ke ruang ionisasi (I) yang mengukur intensitas sinar-X terdifraksi. Dengan mengukur sudut difraksi di mana intensitas maksimum diamati, maka memungkinkan untuk menentukan panjang gelombang ( λ) sinar-X yang dihamburkan oleh C pada sudut tertentu (θ) dari persamaan Bragg. Compton mengamati dua puncak yang mempunyai panjang gelombang berbeda dalam radiasi terhambur. Pada sudut hamburan 90 0 , panjang gelombang pertama (λ0) sesuai dengan panjang gelombang sinar-X monokromatik K α molydenum yaitu 0,0709 nm, sedangkan panjang gelombang kedua yaitu λ2 mempunyai panjang gelombang 0,0732 nm.
98 Selisih kedua panjang gelombang
I
λ0 = 0,0709 nm λ1 = 0,0715 nm λ2 = 0,0732 nm λ3 = 0,0749 nm
tersebut (∆λ) yaitu 0,0023 nm yang sesuai dengan nilai perhitungan dari persamaan Compton. Puncak intensitas pada panjang
00
gelombang 0,0732 nm disebabkan hamburan Compton dari elektron yang dianggap bebas, karena energi ikatnya dalam atom kecil jika dibandingkan energi hf foton sinar-X datang. Puncak intensitas λ0 = 0,0709 nm (sama dengan panjang gelombang sinar-X datang) disebabkan hamburan dari elektron terikat dalam atom. Dalam hal ini momentun recoil (elektron
yang
terpental)
diambil
oleh
λ
λ0 r u b m a h r e t X r a n i s s a t i s n e t n I
450 λ0
900
λ0
keseluruhan atom yang lebih berat dibanding elektron, maka menghasilkan pergeseran panjang gelombang yang sangat kecil (diabaikan) sehingga foton terhambur
λ
λ1
λ
λ2
1350 λ0
λ
λ3
mempunyai energi dan panjang gelombang Gambar 2.17 Grafik intensitas vs λ yang sama dengan foton sinar datang. Perumusan teori efek Compton dapat diuraikan sebagai berikut, misal foton berenergi hf menumbuk sebuah elektron bebas dalam keadaan diam. Foton terhambur akibat tumbukan mempunyai energi hf ’ dan mempunyai sudut θ dengan arah foton datang (Gambar 2.18). Sedangkan elektron terpental (recoil) akibat tumbukan tersebut dan mempunyai sudut ϕ dengan arah foton datang. Dari hukum kekekalan energi
y
hf = hf ' + E k = hf ' + mc 2 − m 0 c2
’
hf elektron
dimana γ =
1 v2 1− 2 c
hf
θ ϕ
x Ek
Gambar 2.18 Skema efek Compton
hf = hf '+ m0c2 ( γ − 1) ……………………………………...……….. (2.22)
99 Dari hukum kekekalan momentum hf hf ' = cos θ + γm0 v cos φ c c
Pada sumbu x,
……………..…...…… (2.23)
hf ' sin θ − γm 0 v sin φ ………………….…… (2.24) c Momentum sebelum tumbukan sama dengan momentum sesudah tumbukan dan 0=
Pada sumbu y,
momentun elektron diam = nol. Dari persamaan (2.22) hc hc −
λ
λ'
+ m 0c 2 = γm 0 c 2
lalu kedua sisi dikuadratkan 2
h h 2 − + = m c m c γ ( ) 0 0 λ λ' 2
h h h h 2 2 − − = γ 2 m 02c 2 + m c + 2m c 0 0 λ λ' λ λ'
h2
h 2 2h 2 h h + − + 2m c − = γ 2 m 02c 2 − m 02c 2 ……….…...…. (2.25) 0 2 2 λ ( λ') λλ' λ λ'
Dari persamaan (2.23) h
λ h
h
= −
λ' h
λ λ'
cos θ + γm 0 v cos φ
cos θ = γm 0 v cos φ
…………………….…………...……. (2.26)
Dari persamaan (2.24) 0= h
λ'
h
λ'
sin θ − γm 0 v sin φ
sin θ = γm0 v sin φ
…………………….…...……………. (2.27)
Kuadratkan persamaan (2.26) dan (2.27) lalu jumlahkan 2
2
2
2h 2 h h 2 λ + λ' cos θ − λλ' cos θ = ( γm 0 v cos φ ) 2
2 h 2 λ' sin θ = ( γm 0 v sin φ )
100 h2
h2 2h 2 h2 2 + 2 cos θ − cos θ + 2 sin 2θ = γ 2m 02 v 2cos 2φ + γ 2m02v 2sin 2φ 2 λ ( λ' ) λλ' ( λ')
h2
h 2 2h 2 + 2− cos θ = γ 2 m02 v 2 2 λ ( λ') λλ'
…………….……...…………. (2.28)
Persamaan (2.25) dikurangi (2.28) 2 h 2 2h 2 h 2 2h 2 h h h cos θ = γ 2 m02c2 − m 02c 2 − ( γ 2m 02 v 2 ) + 2m 0 c − − 2 + 2 − 2 − 2 + λ ( λ') λλ' λλ' λ λ' λ ( λ')
h2
(
di mana γ 2 1 − v
2
c )
2 =1
atau γ 2 ( c2 − v 2 ) = c2
atau γ 2c 2 − γ2 v 2 = c2
2h 2
h h ( cos θ − 1) + 2m 0c − = γ 2 m02c2 − m20 c2 − γ 2 m02 v2 λλ' λ λ'
2h 2
h h ( cos θ − 1) + 2m 0c − = 0 λλ' λ λ'
h ( cos θ − 1) = − m0c ( λ' − λ ) sehingga selisih panjang gelombang foton terhambur dengan foton datang h (1 − cos θ ) m0 c
∆λ =
…………….…………………...……. (2.29)
h h disebut panjang gelombang Compton; = 0,0242 Å m0c m0c Dari persamaan (2.29)
λ' − λ =
h (1 − cos θ ) m 0c
1 1 h 2 θ = + 2sin 2 f ' f m 0c 2 1 1 hf 2 θ = 1 + 2sin f ' f m 0c2 2 f
f'=
2θ
………………………………...…….. (2.30)
1 + 2α sin 2 di mana α = recoil
hf h = dan E k = hf − hf ' , sehingga energi kinetik elektron m 0c2 λm0 c
101 2θ 2 sin α 2 E k = hf 1 + 2αsin 2 θ 2
……………………..………….…….. (2.31)
Dari persamaan (2.23) dan (2.24)
mvc cos φ = hf − hf ' cos θ
……………………..………….…….. (2.32)
mvc sin φ = hf ' sin θ
……………………..……….……….. (2.33)
Persamaan (2.33) dibagi (2.32) dan melalui persamaan (2.30) f sin θ tan φ =
tan φ =
tan φ =
hf ' sin θ = hf − hf 'cos θ
θ 1 + 2α sin 2 2 f cos θ f − θ 2 1 + 2α sin 2
sin θ
θ 1+2α sin 2 − cos θ 2 θ θ 2 sin cos 2 2 θ θ 2 sin 2 +2α sin 2 2
=
2
cot ( θ 2 ) (1+α )
sehingga hubungan antara sudut φ (arah elektron recoil) dengan sudut θ (arah hamburan foton) yaitu tan φ =
cot ( θ 2 ) h 1+ λm 0 c
…………………………………….……..….. (2.34)
Kegagalan teori fisika klasik atau teori gelombang elektromagnet menjelaskan peristiwa efek Compton sebagai berikut : 1. Menurut teori gelombang elektromagnet, sinar-X terhambur seharusnya mempunyai panjang gelombang (λ) yang sama seperti sinar-X datang, padahal menurut teori Compton panjang gelombang (λ) sinar-X terhambur beda dengan sinar-X datang.
102 2. Intensitas radiasi sinar datang berfrekuensi f akan menyebabkan elektronelektron unsur ringan (Carbon) berosilasi dengan frekuensi sama, padahal menurut teori Compton elektron unsur ringan berosilasi dengan frekuensi beda. 3. Osilasi elektron-elektron ini kemudian akan meradiasikan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi yang sama dan arah berbeda, padahal menurut teori Compton, osilasi elektron-elektron meradiasikan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi yang berbeda. Dengan menggunakan teori kuantum Planck-Einstein, Compton membuat rumusan teori yang didasarkan pada postulat-postulat berikut : 1. Radiasi sinar monokromatik dengan frekuensi f terdiri dari aliran foton-foton yang masing-masing energinya hf dan momentumnya hf c 2. Hamburan sinar-X datang oleh atom sebuah unsur adalah hasil tumbukan elastik antara foton dan elektron, sehingga terdapat kekekalan energi dan momentum. Kesimpulan dari hasil eksperimen hamburan Compton yaitu : 1. Panjang gelombang (λ) radiasi yang dihamburkan pada setiap sudut θ selalu lebih besar dari λ radiasi sinar datang. 2. Selisih panjang gelombang ( ∆λ) tidak bergantung λ sinar-X datang dan pada sudut tetap hamburan adalah sama untuk semua unsur yang mengandung elektron tidak terikat (bebas) pada keadaan lain. 3. Selisih panjang gelombang (∆λ) meningkat terhadap sudut hamburan θ dan mempunyai nilai maksimal pada θ = 1800. Keterbatasan-keterbatasan teori Compton 1. Teori Compton tidak dapat menjelaskan keberadaan sinar-X dalam radiasi terhambur yang mempunyai panjang gelombang sama dengan radiasi sinar-X datang. 2. Teori Compton tidak dapat menjelaskan bahwa intensitas sinar-X terhambur lebih besar dari pada sinar-X yang datang untuk unsur atom-atom ringan, tetapi untuk unsur-unsur atom berat justru intensitas sinar-X terhambur lebih kecil dari pada sinar-X yang datang.
103 Contoh-contoh soal :
1. Hitunglah selisih panjang gelombang ( ∆λ) foton sinar-X yang dihamburkan melalui sudut θ = 900 oleh elektron bebas yang diam. Jawab : 0 h 6,626.10−34 ∆λ = − θ = = 1 cos 0,0242A ( ) m0c (9,1.10−31 )(3.108 )
2. Foton sinar-X menumbuk elektron diam yang bebas, foton tersebut dihamburkan melalui sudut θ = 900. Berapa frekuensinya setelah tumbukan, jika frekuensi awal (sinar datang) f = 3.1019 Hz ? Jawab : h c = 3.108 m/s = 2,42.10−12 m , m0c h 1 1 ∆λ = (1 − cosθ ) = 2,42.10−12 m dan λ' − λ = c + = 2,42.10−12 m m 0c f ' f 1 2,42.10−12 1 −12 = + 0,33.10−19 = 0,41.10−19 + −19 = 0,08.10 8 f' 3.10 3.10 19 f ' = 2,43.10 Hz 3. Sinar gamma 60 KeV dihamburkan oleh elektron bebas, anggap elektron mulamula diam, tentukan energi maksimum elektron terhambur ? Jawab : Energi sinar datang E = hf = 60 KeV = 9,6.10–15 Joule 8 −34 c ch (3.10 ) ( 6, 626.10 ) λ= = = = 0, 2184.10 −10 m −15 f E 9,6.10
∆λ =
h (1 − cosθ ) m 0c
maksimum jika cos θ = 0 , maka ∆λ = 0,0242.10–10.
Jika cos θ = – 1 , θ = 1800 maka foton akan dipantulkan bukan terhambur.
λ' = λ + ∆λ = 0, 2184.10−10 + 0, 0242.10−10 = 0, 2426.10−10 m energi maksimum elektron terhambur 8
−34
−10
λ' − λ hc∆λ ( 3.10 )( 6,626.10 )(0,0242.10 = E hc = λ'λ = ' λ λ ( 0, 2426.10−10 )(0, 2184.10 −10 )
9,1.10−16 E= = 5,69.103 eV = 5,69 KeV −19 1,6.10
)
= 9,1.10 −16 Joule
104 2.4.Dualitas Gelombang dan Partikel dari suatu Materi
Konsep alami materi muncul dari karakter ganda radiasi yang kadangkadang berkelakuan sebagai sebuah gelombang dan pada saat lain berkelakuan sebagai sebuah partikel. Perbedaan eksperimen-eksperimen antara radiasi yang berkelakuan sebagai gelombang dan radiasi yang berkelakuan sebagai partikel dapat diuraikan sebagai berikut. a. Radiasi-radiasi yang termasuk cahaya tampak, inframerah, ultraviolet dan sinar-X berkelakuan sebagai gelombang dalam eksperimen-eksperimen penjalaran yang didasarkan pada interferensi dan difraksi.
Eksperimen-
eksperimen ini dapat membuktikan sifat alami gelombang dari radiasi-radiasi ini, sebab eksperimen gelombang tersebut
menghendaki keberadaan dua
gelombang di posisi yang sama pada waktu yang bersamaan.
b. Radiasi berkelakuan sebagai partikel dalam eksperimen-eksperimen interaksi yang termasuk/meliputi radiasi benda hitam, efek fotolistrik, dan efek Compton. Di mana radiasi berinteraksi dengan materi dalam bentuk foton atau quanta yang merupakan partikel dan mustahil dua partikel menempati posisi yang sama pada waktu yang bersamaan.
Dari hal di atas, maka radiasi tidak dapat menampakkan sifat-sifat partikel dan gelombang secara bersamaan. Sifat alami ganda dari radiasi ini masih belum diterima secara mudah karena terdapat beberapa hal yang kontradiktif, yaitu : a. Sebuah gelombang dicirikan oleh (i) frakuensi, (ii) panjang gelombang, (iii) fase atau kecepatan gelombang, (iv) amplitudo, dan (v) intensitas. Sebuah gelombang juga menyebar ke luar dan menempati daerah yang relatif luas dalam ruang. b. Sebuah partikel dicirikan oleh (i) massa, (ii) kecepatan partikel, (iii) momentum, dan (iv) energi. Sebuah partikel juga menempati posisi tertentu dalam ruang yang berupa daerah sangat kecil atau terlokalisasi pada suatu titik dalam ruang. maka sangat jelas sekali bahwa antara gelombang dan partikel mempunyai ciriciri yang beda, sehingga sulit digabungkan. Sebuah foton akan bertingkah laku seperti partikel jika sifat partikelnya yang diamati/diukur. Sebuah foton akan bertingkah laku seperti gelombang jika sifat gelombangnya yang diamati/diukur.
105 Fenomena interferensi dan difraksi cahaya adalah akibat interaksi cahaya dengan cahaya, fenomena ini secara lengkap dijelaskan dalam teori radiasi elektromagnetik dan teori gelombang. Eksperimen yang menampilkan tingkah laku seperti gelombang dari partikel yaitu eksperimen G.P Thomson, eksperimen Davisson & Germer, dan eksperimen Stern-Gerlach. Fenomena radiasi benda hitam, efek fotolistrik, dan efek Compton adalah akibat interaksi radiasi dengan materi. Untuk menjelaskannya, energi radiasi dianggap sebagai aliran paket-paket kecil energi yang disebut quanta cahaya atau foton, di mana energi masing-masing foton adalah E = hf. Frekuensi adalah konsep dari gelombang dan quanta cahaya yang mempunyai paket energi (energi terisolasi) hf adalah konsep dari partikel. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa radiasi memiliki karakter ganda dan tidak pernah menampilkan kedua karakteristik dalam setiap satu eksperimen.
106 2.5.Gelombang Materi de Broglie
Peristiwa interferensi dan difraksi disebabkan interaksi radiasi dengan radiasi, di mana radiasi berkelakuan seperti gelombang. Peristiwa efekfotolistrik, radiasi benda hitam dan efek Compton disebabkan interaksi radiasi dengan materi, di mana radiasi berkelakuan sebagai partikel yang diskrit. Oleh karena itu, sama dengan analogi radiasi, materi juga mempunyai sifat-sifat gelombang di bawah kondisi yang sama. Tahun 1924 Louis de Broglie mengajukan hipotesis bahwa seperti halnya radiasi yang berkelakuan seperti partikel, materi juga dapat berkelakuan seperti gelombang dan hal ini telah dibuktikan secara eksperimen oleh C.J. Davison dan L.H.Gremer dan juga oleh G.P.Thomson tahun 1927. Hipotesis de Broglie ini didasarkan pada sifat simetris alam dan didasarkan asumsi-asumsi berikut : 1. Frekuensi (f) gelombang yang berkenaan dengan sebuah partikel dalam gerak dan energi relativistik total (E) dihubungkan oleh persamaan E = hf. 2. Partikel dalam gerak dipertimbangkan sebagai sebuah paket gelombang perluasan kecil yang dibentuk oleh superposisi sejumlah besar gelombanggelombang yang panjang gelombangnya ( λ) sedikit berbeda. 3. Kecepatan partikel sama dengan kecepatan grup gelombang hasil superposisi tersebut, yaitu vg =
dω =v dk
Sifat gelombang materi dapat digabung dengan sifat partikel oleh penggabungan gelombang-gelombang dengan λ berbeda membentuk grup gelombang (paket gelombang). Karena efek dari sebuah partikel dalam gerak pada saat tersebut dibatasi luas area yang kecil dalam ruang, maka sebuah grup gelombang dapat digunakan untuk menyatakan sebuah partikel dalam gerak. Sebuah gelombang harmonik sederhana yang menjalar dalam arah sumbu x positif dinyatakan oleh persamaan y = a sin ω t
− x ……………………………………………… (2.35) v
kecepatan gelombang juga disebut kecepatan fase, dalam persamaan (2.35) fase gelombang (Φ) pada posisi x dan waktu t yaitu
Φ (x,t) = t
− x v
dan
∂Φ = ∂t
ω t −
1 ∂x v ∂t
107 Untuk sebuah titik fase tetap, maka ∂x dan = v = v p di mana ∂t
∂Φ = 0 sehingga ∂t
t
− 1 ∂x = 0 v ∂t
∂x ∂t adalah kecepatan di mana perpindahan suatu
fase yang bergerak ke depan, oleh karena itu kuantitas ini disebut kecepatan fase
( vp ) .
Jadi kecepatan penjalaran atau kecepatan sebuah gelombang adalah
kecepatan di mana perpindahan suatu fase bergerak ke depan.
y = a sin ω t
= a sin ( ωt v p
− x
− kx ) ; di mana vp = ω
k misal 2 gelombang bidang harmonik sederhana dengan amplitudo sama tetapi
sedikit beda panjang gelombang (λ), menjalar secara serentak dalam arah sumbu x positif dalam sebuah medium dispersif, yaitu y1
y2
y
Gambar 2.19. Superposisi 2 gelombang bidang harmonik sederhana
y1 = a sin ( ω1t
− k1x )
y2 = a sin ( ω2 t
− k2x )
superposisi kedua gelombang tersebut yaitu
y(x,t) = y1 + y2 = a sin ( ω1t
− k1x ) + a sin ( ω2t − k 2x )
k1 − k 2 ω1 − ω 2 k1 + k 2 ω1 + ω 2 x t sin x − − 2 2 2 t 2
y(x,t) = 2a cos
108 k1 + k 2 ω1 + ω 2 x − 2 t ……………………..... (2.36) 2
y(x,t) = A sin
Faktor sinus menyatakan sebuah gelombang pembawa yang menjalar dengan
ω
kecepatan fase v p =
k
dengan amplitudo superposisi gelombang yaitu
k1 − k 2 ω − ω2 x − 1 t 2 2
A = 2a cos
kecepatan fase yaitu kecepatan penjalaran atau kecepatan sebuah gelombang di mana perpindahan suatu fase bergerak ke depan. ω1 + ω2 ω1 ω = ……………...……………….. (2.37) = k1 k 1 k1 + k 2
v p = lim ω →ω 2
kecepatan grup yaitu kecepatan di mana amplitudo maksimum (pusat grup gelombang) bergerak, ω1 − ω2 dω = dk 1 k1 − k 2
………………………………. (2.38)
vg = lim ω →ω 2
jika kecepatan fase didiferensialkan terhadap k
dv p 1 dω ω 1 dω ω 1 − = − = ( v − vp ) = dk k dk k 2 k dk k k g dv dv vg = v p + k p = vp − λ p …………………………………….. (2.39) dk dλ 2 2π λ di mana k = dan dk = − dλ 2π λ Untuk gelombang cahaya dalam ruang hampa udara tidak terdapat dispersi cahaya, oleh karena itu
dv p = 0 sehingga vg = v p = c yang sesuai untuk dk
gelombang elektromagnetik. Hal ini juga dapat terjadi pada gelombang elastik dalam medium homogen (medium non dispersif) di mana dari persamaan (2.36) didapatkan vg < v p . Louis de Broglie mengusulkan bahwa kecepatan grup vg sama dengan kecepatan partikel (v), maka berdasarkan persamaan Einstein E = mc2 dan E = hf = ħω dengan β =
ω =
m0c 2 ℏ (1 − β
2
)
1
2
dan vp =
ω k
=
v c m0 c2
ℏk (1 − β 2 )
1
2
109 misal
1 2 −2 p = 1− β
(
)
, p' =
dp dp dβ = dan q = k −1 maka, ( pq ) ' = pq '+ p ' q dk dβ dk
dv p m0c2 m0 c2β dβ =− 1 + 3 dk 2 2 2 2 2 dk ℏk (1 − β ) ℏk (1 − β ) dv p vp m0c2β =− + dk k ℏk 1 − β 2
(
3
)2
dβ dk
dv p m 0 c2β dβ v = βc = vg = vp + k = dk ℏ 1 − β 2 3 2 dk ( ) m0c dk = 3 dβ ∫ ∫ 2 2 ℏ (1 − β ) mc β k= 0 + C , dianggap k = 0 ketika v = 0, maka C = 0, sehingga ℏ 1 − β2 m0 v mv p h 2π h k= = = dan p = ℏk = = 2 ℏ ℏ 2 π λ λ ℏ 1 − β λ = h = h sebagai persamaan gelombang materi de Broglie p mv Hubungan antara kecepatan fase dengan kecepatan grup vp =
ω k
;
m β c m0 c2 E = ℏω = ; p = ℏk = 0 1 − β2 1 − β2
E c2 ω = = , menurut de Broglie v = vg p v k c2 vp = ; v p v g = c2 karena v < c , maka v p > c vg dari energi total relativistik elektron (E) yaitu E 2 = p2c2 + m02c4 ℏ2ω2 = ℏ2 k 2c 2 + m02c 4 karena ω = v p k , maka ℏ2 v p 2 k 2 = ℏ 2 k 2 c2 + m02 c4 = c2 ( ℏ2 k 2 + m20 c2 )
m02c2 m02c2λ 2 vp = c 1 + 2 2 = c 1 + 2 2 ℏ k 4π ℏ
………………………….…… (2.40)
Hal ini menunjukkan bahwa v p > c , dan v p de Broglie bergantung pada λ, bahkan di ruang hampa. Perilaku gelombang de Broglie ini berbeda dengan gelombang cahaya, di mana v p tidak bergantung λ dalam ruang hampa.
110 Sifat-sifat gelombang materi de Broglie. 1. Makin besar massa partikel, makin pendek panjang gelombangnya. 2. Gelombang materi tidak sama dengan gelombang elektromagnetik. 3. Gelombang materi dapat menjalar lebih cepat dari kecepatan cahaya. 4. Kecepatan gelombang materi bergantung kecepatan partikel materi (berarti tidak tetap). 5. Kecepatan grup ( vg ) dari gelombang materi berbanding terbalik λ (sedangkan gelombang elektromagnetik tidak bergantung λ). 6. Gelombang materi disebut juga gelombang pemandu yang berfungsi memandu partikel materi. 7. Gelombang materi bukan peristiwa fisika, tetapi merupakan representasi simbol dari apa yang kita ketahui tentang partikel. 8. Gelombang materi adalah sebuah gelombang probabilitas. Kecepatan fase sebuah gelombang tidak bergantung amplitudonya, tetapi bergantung pada sifat-sifat dan keadaan medium. Sebuah gelombang cahaya yang melewati medium gelas, kecepatan fase gelombang bergantung indeks refraksi medium gelas. Sifat-sifat atau keadaan suatu medium dapat mempengaruhi frekuensi gelombang, sebuah gelombang yang melewati suatu medium, kecepatan fasenya dalam medium tidak akan tetap, tetapi bergantung frekuensi, peristiwa ini disebut dispersif , di mana dalam medium dispersif gelombang-gelombang yang λ -nya berbeda menempuh perjalanan dengan kecepatan fase berbeda. Gelombang dispersif dalam suatu medium adalah gelombang yang kecepatan fasenya berubah terhadap λ. Medium di mana kecepatan fase berubah terhadap λ atau frekuensi disebut medium dispersif . Contoh gelombang dispersif adalah gelombang cahaya dalam medium gelas dan gelombang pada permukaan air. Sebuah medium di mana kecepatan fase sebuah gelombang tidak bergantung λ atau f disebut medium non dispersif ,
contoh gelombang elektromagnetik dalam vakum,
gelombang bunyi dalam gas, gelombang transversal pada tali tegang yang kontinyu. Ketika gelombang-gelombang bidang dengan λ berbeda secara serentak menjalar dalam arah yang sama sepanjang garis lurus melalui medium dispersif, maka grup gelombang akan terbentuk. Grup gelombang ini disebut juga paket gelombang dan menjalar dengan kecepatan grup (v g).
111 Contoh-contoh soal :
1. Jika panjang gelombang de Broglie sebuah elektron 9.10−10 m, hitung energi kinetik elektron tersebut ? Jawab: Ek =
1 2 mv ; 2
p=
h
λ
= mv
( 6,626.10 −34 ) h2 Ek = = 2,955.10−19 joule 2 = 2 2mλ 2 ( 9,1.10−31 )( 9.10−10 ) E k = 1,8467 eV 2. Sebuah partikel massanya 0,51 MeV/c2 mempunyai energi kinetik 100eV. Hitunglah panjang gelombang de Broglie nya? Jawab:
E k = 100 eV = 1,6.10−17 joule 0,51 MeV 0,51.106 .1,6.10−19 m= = = 9.10 −31 kg 2 2 c (3.108 ) 2E k ; m
Ek =
1 2 mv ; 2
λ =
h 6,626.10−34 = 2mE k 2 ( 9.10−31 )(1,6.10−17 )
v=
λ =
h = mv
h 2E k m m
λ = 1,234.10−10 m = 1,234 Å 3. Cahaya ultraviolet λ = 3000 Å membebaskan elektron-elektron dari sebuah permukaan logam yang mempunyai panjang gelombang ambang λ0 = 4000 Å. Hitung panjang gelombang de Broglie elektron-elektron yang dipancarkan permukaan logam dengan energi kinetik elektron maksimum ? Jawab :
λ = 3000 Å = 3.10–7 m ; λ0 = 4000 Å = 4.10–7 m
112 hc hc − = Ek
hf - hf 0 = E k ;
λ
λ0
−7 −7 1 1 8 4.10 − 3.10 −34 E k = hc − = ( 6,626.10 )(3.10 ) 7 7 − − ( 3.10 )( 4.10 ) λ λ0
E k = 1, 656.10−19 joule panjang gelombang de Broglie 1 2
h2 h = λ = mv 2mE k
λ
1 2 −34 2 6,626.10 ( ) = − − 31 19 2 9,1.10 )(1,656.10 ) (
0
= 1,2.10 −9m = 12A
4. Buktikan bahwa panjang gelombang de Broglie elektron yang dipercepat melalui voltase V volt diberikan oleh 1 150 2 λ = Å V
Jawab : 1 eV = mv 2 2
h λ = = mv
;
1 2eV 2 v= m
1 h2 2 1 = 2meV 2eV 2 m m
h
1 2 −34 2 1 6,629.10 ( ) 150 2 −10 λ= = (10 ) m −34 −19 V 2 9,1.10 1,6.10 V )( ) ( 1 150 2 λ = Å V
113 5. Buktikan bahwa panjang gelombang de Broglie sama dengan panjang gelombang Compton, jika kecepatannya 0,707 kali kecepatan cahaya dalam vakum. Jawab : panjang gelombang de Broglie v2 h 1− 2 h c λd = = mv m0 v panjang gelombang Compton
λd =
h m 0c
bandingkan kedua persamaan di atas v2 h 1− 2 h c = m 0c m0 v
v2 v = c 1− 2 c
;
2
v v2 = 1 − 2 c c v c =
v 2 = 1 ; c
1 1 = 2 = 0,707 2 2
v = 0,707c
6. Hitung panjang gelombang de Broglie neutron yang paling mungkin, berkenaan dengan neutron termal T = 270 C, k = 1,38.10 –21 J/K, massa neutron = 1,67.10–27 kg. Jawab : 1 2 3 mv = kT 2 2
; 1 2
h h2 λ = = mv 3mkT
1 3kT 2 v= m
1 2 −34 2 6,626.10 ( ) = − − 27 21 2 1,67.10 )(1,38.10 ) (300 ) (
λ = 1,45.10−11 m = 0,145 Å
114 2.6. Ketidakpastian Heisenberg
x
Gambar 2.20. Bentuk gelombang Gaussian ∞
Ψ(x) = ∫ g ( k ) cos kx dk
………………………………….…… (2.41)
0
g(k) disebut transfomasi Fourier, yang menggambarkan bagaimana amplitudo gabungan gelombang berubah terhadap bilangan gelombang k. Hubungan antara
∆x (panjang grup gelombang) dengan ∆k (penyebaran bilangan gelombang) bergantung pada bentuk grup gelombang dan juga cara di mana ∆x dan ∆k didefinisikan. Nilai minimum perkalian ∆x ∆k terjadi ketika grup gelombang berbentuk gaussian, di mana dalam kasus yang demikian transformasi Fourier juga sebuah fungsi gaussian. Bentuk grup gelombang sebagai sebuah fungsi gaussian yang mempunyai nilai minimum ∆x ∆k = ½, karena di alam umumnya bentuk grup gelombang tidak gaussian, maka hubungan ∆x dan ∆k dapat dituliskan dalam bentuk
∆x∆k ≥
1 2
panjang gelombang de Broglie berkenaan dengan sebuah partikel yang mempunyai momentum p yaitu
λ =
h p
berdasarkan panjang gelombang ini, bilangan gelombang adalah k=
2π
λ
oleh karena itu
=
2πp h
115 ∆k =
2π∆p h
sehingga ketidakpastian posisi dan momentum
∆x∆p ≥
ℏ
2
………………………………………………………. (2.42)
p2 2p∆p p∆p di mana E = dan ∆E = = 2m 2m m p mv ∆E∆t = ∆p ∆t = ∆p ∆t = ∆p∆x m m sehingga ketidakpastian energi dan waktu
∆E∆t ≥
ℏ
2
………………………………………………………. (2.43)
116 Contoh-contoh soal :
1.
Sebuah elektron mempunyai laju 600 m/s dengan ketelitian 0,005%. Hitung kepastian di mana kita dapat menemukan posisi elektron. Jawab : 0,005 p = mv = (9,1.10 −31 ) ( 600 ) kg m/s dan ∆p = 9,1.10−31 ) ( 600 ) ( 100 0,005 −31 ( 9,1.10 ) ( 600 ) 100
∆p =
ℏ
∆x∆p ≥ dan 2
h 6,626.10 −34 ≥ ≥ 0,001923 m ∆x ≥ 4π∆p 4π ( 5.10−5 ) ( 9,1.10−34 ) ( 600 )
∆x ≥ 1,923.10−3m jika momentum elektron dapat ditentukan dengan ketepatan tertentu, maka posisi elektron tidak dapat diukur secara tepat kurang dari 2 mm 2.
Ketidakpastian lokasi sebuah partikel sama dengan panjang gelombang de Broglienya. Hitung ketidakpastian kecepatannya ? Jawab :
∆x∆p ≥
h 4π
;
∆x =
h p
p = mv ; ∆p = ∆ ( mv) ;
3.
;
h p
∆ ( mv ) ≥
∆p ≥
h 4π
mv ; 4π
∆p ≥
p 4π
maka ∆v ≥
v 4π
;
Posisi sebuah elektron 1 KeV yang terletak dalam 10–10 m. Hitung ketidakpastian momentumnya ? Jawab :
h 6,626.10 −34 23 = = 5,276.10 kg m/s ∆p = −10 4π∆x 4π (10 ) 4.
Rasio ketidakpastian kecepatan sebuah elektron dan sebuah proton yang dibatasi sebuah kotak 10–18 m. Jawab : m proton = 1,67.10–27 kg ketidakpastian kecepatan elektron 9,1.10−31 = = 5,48.10−4 −27 ketidakpastian kecepatan proton 1,67.10
117 2.7. Mekanika Gelombang Schrodinger A. Kerapatan Arus Probabilitas (S)
Sebuah partikel massa m yang bergerak pada arah x positif dalam daerah antara x1 sampai x2, misal dA adalah penampang lintang daerah antara x 1 ke x2 maka probabilitas (peluang) menemukan partikel dalam daerah tersebut yaitu : x2
x2
∫x PdxdA = x∫ ψ ( x,t )ψ* ( x,t ) dxdA ……………………………..... 1
(2.44)
1
dan kerapatan probabilitas menemukan partikel dalam daerah tersebut yaitu
P = ψ ( x,t ) ψ*( x,t ) ………………………………………………. (2.45) Jika probabilitas menemukan partikel dalam daerah tersebut menurun bersamaan waktu, kecepatan penurunan probabilitas di mana partikel berada dalam daerah tersebut dari x1 ke x2 per satuan luas disebut Kerapatan Arus Probabilitas (S) yang arahnya keluar dari daerah tersebut. Oleh karena itu, Kerapatan Arus Probabilitas S2 – S1 keluar daerah dalam arah x positif diberikan oleh : ∂ 2 1 d 2 S2 − S1 = − − ∫ PdxdA = − ∫ Pdx dA dt x1 ∂t x1 x
∂ S2 − S1 = − ∂t
x
x2
∫x ψψ*dx …………………………………………... 1
S1
S2 x1
x2
Gambar 2.21. Kerapatan Arus Probabilitas suatu partikel
dan Kerapatan Arus Probabilitas (S) pada suatu posisi x adalah S=−
∂ ψψ*dx ∂t ∫ ∂ψ ∂ψ * ψ*+ ψ dx ∂t ∂t
S = − ∫
Dengan persamaan Schrodinger yang bergantung waktu yaitu 2
−
ℏ ∂
2
ψ+
2m ∂x 2
Vψ = iℏ
∂ψ ∂t
(2.46)
118 atau
2 ∂ψ ℏ ∂ ψ Vψ =− + ∂t 2im ∂x 2 iℏ
dan
2 ∂ψ* ℏ ∂ ψ* Vψ* = − ∂t 2im ∂x 2 iℏ
sehingga persamaan Kerapatan Arus Probabilitas (S) yaitu ℏ ∂ 2 ψ Vψ ℏ ∂ 2 ψ* Vψ* S = − ∫ − ψ* + ψ dx 2 + 2 − ∂ ∂ ℏ ℏ 2im x i 2im x i iℏ ψ*∂ 2 ψ ψ*Vψ iℏ ψ∂ 2 ψ* ψVψ* − S = − ∫ dx 2 + 2 − ∂ ∂ ℏ ℏ 2m x i 2m x i iℏ ψ*∂ 2 ψ ψ∂ 2 ψ* S = −∫ 2 − 2 dx ∂ ∂ 2m x x
S = −∫
∂ iℏ ∂ψ ∂ψ* − ψ * ψ dx ∂x 2m ∂x ∂x
∂ψ* ∂ iℏ ∂ψ ψ* − ψ ∫ ∂x dx 2m ∂ x ∂ x
S=− maka S=−
∂ψ* iℏ ∂ψ − ψ ψ * ………………..………………..…….. (2.47) ∂x 2m ∂x
Untuk sebuah partikel yang bergerak dalam arah x positif, momentum px pada suatu posisi diberikan oleh ℏ ∂Ψ
= pxΨ
dan
−
ℏ ∂Ψ *
= pxΨ*
i ∂x i ∂x kedua persamaan di atas disubstitusikan ke persamaan (2.47) ip x Ψ * iℏ * ip x Ψ iℏ 2ip x ΨΨ * +Ψ S=− Ψ = − ℏ ℏ 2m ℏ 2m
S=
ℏk px ( ΨΨ * ) = (ΨΨ * ) dengan m m
maka S = ( ΨΨ * )
hk 2 πm
px =
h
λ
=
h 2π = ℏk 2π λ
………………………………………. (2.48)
Kerapatan Arus Probabilitas (S) Untuk gelombang partikel datang (Si) Untuk gelombang partikel pantul (Sr) Untuk gelombang partikel transmisi (St)
119 B. Mekanika Gelombang Schroedinger
Persamaan penjalaran gelombang mekanik yaitu: ∂ 2ψ 1 ∂ 2ψ = ………………………………………………….…. (2.49) ∂ x 2 v 2 ∂ t 2
2π ω ω = k 2π k
di mana v = λf =
Solusi dugaan persamaan tersebut yaitu:
ψ(x,t) = A ei(kx −ωt) ……………….…………………………....…. (2.50) ∂ 2 ψ 2 2 i(kx −ωt) 2 2 = i k ψ(x,t) ………….…..… (2.51) ; 2 = i k Ae ∂x
∂ψ −ω = ikAei(kx t) ∂x
2 ∂ψ i(kx −ωt) ∂ ψ = 2 2 i(kx −ωt) = 2 2 = − iωA e ; 2 i ω Ae i ω ψ(x,t) ……………...…. (2.52) ∂t ∂t
Persamaan (2.51) dan (2.52) digabung akan menjadi ∂ 2ψ 1 ∂ 2ψ = ; yang sama dengan persamaan (2.49) , sehingga persamaan (2.50) ∂x 2 v 2 ∂t 2
merupakan solusi persamaan (2.49) Dari gelombang materi de Broglie dan persamaan Planck Px =
h
λ
=
h 2π = ℏ k dan 2π λ
E = hf = Sehingga
k =
Px ℏ
h E 2πf = ℏ ω dan ω = ℏ 2π
ψ(x,t) = A e
i (P x −E t) x
ℏ
……………….………………..……...…..…. (2.53)
Dari hukum kekekalan energi Ek + Ep = E
atau
p2 + V = E 2m
p2ψ + Vψ = Eψ ……………….………………..………….…....…. (2.54) 2m Dari persamaan (2.53) ∂ 2ψ 1 2 = − 2 p x ψ dan ∂ x 2 ℏ 2
−
ℏ ∂
2
ψ
2m ∂x
2
+ Vψ = iℏ
∂ψ Eψ = maka persamaan (2.54) menjadi ∂t iℏ
∂ψ ……….………………..…………....……. (2.55) ∂t
120 persamaan (2.55) adalah
persamaan gelombang Schrodinger non relativistik
satu dimensi yang bergantung waktu dan dipengaruhi energi potensial luar (V). 2
2 2 ∂ 2ψ ℏ ∂ − + Vψ = Eψ atau Hψ = Eψ di mana H = − +V 2m ∂x 2 2m ∂x 2
ℏ
∂ 2 ψ 2m 2m − = − V ψ ( ) 2 ( Eψ ) ∂x 2 ℏ 2 ℏ ∂ 2 ψ 2m + ( E − V ) ψ = 0 ……….………………..…………….....…. (2.56) ∂x 2 ℏ 2
Persamaan (2.56) adalah
persamaan gelombang Schrodinger non relativistik
satu dimensi yang tidak bergantung waktu dan dipengaruhi energi potensial luar (V).
Persamaan Schrodinger dalam bentuk tiga dimensi yaitu: ∂ 2 ψ ∂ 2 ψ ∂ 2ψ 2m + + + (E − V) ψ = 0 ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 ℏ 2 ∇2ψ +
2m ℏ2
( E − V ) ψ = 0 ………………………….…………..…… (2.57)
Solusi persamaan (2.56) dapat menggunakan solusi persamaan linier orde satu secara bertahap. ( D − iβ )( D + iβ ) ψ = 0
di mana D = misal
d dan dx
β2 =
…………...………………………….. (2.58) 2m ℏ2
(E − V)
dψ + Pψ = Q (persamaan differensial linier orde satu) dx
maka solusinya ψ = e− b ( ∫ Q ebdx + c ) ………...………………………….. (2.59) di mana b = ∫ Pdx dan c adalah konstata, misal
( D + iβ ) ψ = R sehingga persamaan (2.58) menjadi ( D − iβ ) R = 0 atau
dR − iβR = 0 di mana P = iβ dan Q = 0 sehingga solusinya dx R = eiβx ( ∫ ( 0 ) e −iβx dx + c1 ) atau R = eiβx ( c1 ) = c1eiβx dan ( D + iβ ) ψ = R menjadi ( D + iβ ) ψ = c1eiβx
121 atau
dψ + iβψ = c1eiβx dx
dengan P = iβ dan Q = c1eiβx sehingga solusinya yaitu
ψ = e−iβx ( ∫ ( c1eiβx ) eiβx dx + c2 ) = e−iβx ( ∫ c1e2iβx dx + c2 ) atau ψ=e
−iβx
c1 2iβx c1eiβx + c 2 e − iβ x e + c2 = 2iβ 2iβ
Sehingga solusinya ψ = Ce−iβx + Deiβx dengan Ce−iβx sebagai gelombang yang menjalar ke arah sumbu x positif (gelombang datang) dan Deiβx sebagai gelombang yang menjalar ke arah sumbu x negatif (gelombang pantul). dengan C = c 2 dan D = Jika
c1 2iβ
tidak terdapat energi potensial luar (V=0) yang mempengaruhi gerak
partikel, maka persamaan (2.56) menjadi d 2 ψ 2mE + ψ = 0 ……….………………..……..…………....…….. (2.60) dx 2 ℏ 2 solusinya ψ = Ae−iαx + Beiαx
………………...…………………..…...…. (2.61)
8π 2 m 2mE dimana α = 2 E = 2 serta A dan B adalah konstanta ℏ h 2
Jika terdapat energi potensial luar (V≠0) yang mempengaruhi
gerak partikel,
Untuk E > V
∂ 2 ψ 2m + (E − V) ψ = 0 ∂x 2 ℏ 2
Solusinya ψ(x) = Ce−iβx + Deiβx dimana β 2 =
2m ℏ2
……………….…….………………..…. (2.62)
(E − V)
Untuk E < V
∂ 2 ψ 2m − (V − E) ψ = 0 ∂x 2 ℏ 2
Solusinya ψ(x) = Fe− γx + Geγx dimana γ 2 =
2m ℏ
2
(V − E)
……………….…..….……..……………. (2.63) dan
γ 2 = −β 2
122 Penerapan Persamaan Schrodinger 1. Partikel dalam sumur satu dimensi tanpa pengaruh energi potensial luar
Dari persamaan (2.56)
V= ∞
∂ 2 ψ 2m + ( E − V) ψ = 0 ∂x 2 ℏ 2
partikel
V=0
V=0 untuk 0
2mE
ℓ
x
Gambar 2.22. Partikel dalam sumur potensial
2
ℏ
Energi partikel yaitu E = Solusinya :
0
2 2
ℏ
α
2m
……………..……………………………. (2.64)
ψ ( x ) = Ae−iαx + Beiαx
[ ψ ( x ) = fungsi gelombang partikel] atau
ψ ( x ) = a sin ( αx ) + b cos (αx )
Penerapan syarat batas :
Karena energi potensial pada dinding tak berhingga (V = ∞), maka pada dinding fungsi gelombang partikel bernilai nol [ψ(x) = 0], sehingga
ψ(x) = 0 untuk x = 0 dan x = ℓ dan
ψ ( x ) = a sin ( αx ) + bcos (αx )
untuk x = 0 maka ψ(x) = 0
0 = a.0 + b.1 agar sisi kanan persamaan = 0, maka harus b = 0 sehingga ψ ( x ) = a sin ( αx ) untuk x = ℓ maka ψ(x) = 0 maka 0 = a sin ( αℓ ) , agar sisi kanan persamaan = 0, maka sin ( αℓ ) = 0 agar sin ( αℓ ) = 0 , maka harus αℓ = nπ atau α = nπ ℓ sehingga ψ n ( x ) = a sin
nπx ℓ
123 2 2
n 2 π 2ℏ 2 dan persamaan E = menjadi E n = …………………………. (2.65) 2m 2mℓ 2 ℏ
α
n2h 2 atau E n = 8mℓ 2 p 2n karena E n = 2m
n 2h 2 = 4ℓ 2
p 2n
maka
sehingga kuantisasi momentum yaitu p n =
nh 2ℓ
……………….……… (2.66)
Energi partikel E bergantung n yang artinya energi partikel terkuantitasi dalam kotak karena n = 1,2,3,… dan En disebut Energi Eigen dan ψn disebut Eigen.
Fungsi
Karena di dalam kotak hanya ada satu partikel, maka probabilitas
mendapatkan partikel dalam kotak antara 0
ψ adalah amplitudo probabilitas. Jika ψ dikuadratkan dan diambil harga mutlaknya, hasilnya adalah probabilitas fisik dari partikel yang dimaksud. Sehingga probabilitas menemukan partikel dalam kotak satu dimensi antara 0
ℓ
2 ∫ ψn ( x ) dx = a ∫ sin 2
2
0
nπx dx = 1
ℓ
0
nπx 1 1 2nπx = 2 − 2 cos ℓ ℓ
karena sin 2
1 1 2nπx maka a ∫ − cos dx = 1 2 2 ℓ 0 2
ℓ
ℓ
dan
x ℓ 2nπx a − sin = 1 2 4nπ ℓ 0 2
ℓ 0 ℓ ℓ atau a 2 − sin ( 2nπ ) − − sin ( 0 ) = 1 2 4nπ 2 4nπ
2 ℓ maka a 2 = 1 atau a = ℓ 2 sehingga ψ n ( x ) =
2 ℓ
sin
nπx ℓ
………………………………………….. (2.67)
Dari persamaan (2.67) terlihat bahwa fungsi gelombang partikel dalam sumur satu dimensi merupakan fungsi gelombang terkuantisasi.
124 Fungsi gelombang partikel dalam sumur potensial untuk n = 1, 2, 3 yaitu : untuk n = 1
maka ψ1 ( x ) =
2
untuk n = 2
maka ψ 2 ( x ) =
2
untuk n = 3
maka ψ3 ( x ) =
2
ℓ
ℓ
ℓ
sin
πx
sin
2πx
sin
3πx
ℓ
ℓ
ℓ
Ketiga persamaan untuk n = 1, 2, 3 di atas jika digambarkan akan seperti di bawah Ψn 2
Ψ1
ℓ
Ψ3 x
ℓ
ℓ
ℓ
ℓ Ψ2
-
−
2
ℓ
Gambar 2.23. Fungsi gelombang partikel dalam sumur potensial untuk n = 1, 2, 3 Probabilitas menemukan partikel dalam sumur dapat dirumuskan sebagai berikut
ψn ( x )
2
=
2 ℓ
sin 2
nπx
……………………………………..……. (2.68)
ℓ
untuk n = 1
maka
ψ1 ( x )
2
untuk n = 2
maka
ψ2 ( x )
2
untuk n = 3
maka
ψ3 ( x )
2
= = =
2 ℓ
2 ℓ
2 ℓ
sin 2
πx
sin 2
2πx
sin 2
3πx
ℓ
ℓ
ℓ
125 Ketiga persamaan probabilitas menemukan partikel di dalam sumur untuk n = 1, 2, 3 jika digambarkan akan seperti di bawah Ψn 2
ψ1 ( x )
2
ψ2 ( x )
2
ψ3 ( x)
2
ℓ
ℓ
ℓ
x
ℓ
ℓ
Gambar 2.24. Probabilitas menemukan partikel dalam sumur potensial
Nilai expectation adalah rata–rata dari pengukuran berulang pada sekumpulan sistem identik yang telah dipersiapkan, dan bukan merupakan rata–rata pengukuran berulang pada satu sistem. Kecepatan dari nilai
expectation x,
sama dengan kecepatan partikel. Rumus nilai
x dari suatu partikel
expectation
tidak
dalam fungsi keadaan ψ yaitu : ∞
∞
−∞
−∞
2
x = ∫ xψ*ψdx = ∫ x ψ dx Nilai expectation x suatu partikel dalam sumur potensial tak berhingga dengan lebar ℓ yaitu ℓ
ℓ
0
0
ℓ
2 nπx x = ∫ xψ*ψdx = ∫ x ψ dx = ∫ x sin 2 dx ℓ ℓ 2
0
2 ℓ 1 1 2nπx 1ℓ 2nπx x = ∫ x − cos dx = ∫ x − x cos dx ℓ 0 2 2 ℓ 0 ℓ ℓ ℓ 1 x 2 xℓ ℓ 2nπx 2nπx x = − sin − ∫ 2nπ sin ℓ dx π ℓ 2 2n ℓ 0
1 x 2 x = ℓ 2
2 xℓ ℓ 2nπx 2nπx − sin + cos ℓ 2 2n π ℓ ( 2nπ )
2 1 x 2 xℓ ℓ 2nπx 2nπx x = − sin − 2 cos ℓ π 2n ℓ 2 ℓ ( 2nπ )
ℓ
0
126 2 2 1 ℓ 2 ℓ ℓ 1 ℓ2 x = − 0 − 2 − 0 − 0 − 2 = ℓ 2 ℓ 2 ( 2nπ ) ( 2nπ )
x =
ℓ
2
Dengan cara yang sama nilai expectation x2 suatu partikel dalam sumur potensial tak berhingga (lebar ℓ) yaitu
x
2
ℓ
= ∫x
2
0
x
2
x
2
x
2
x
2
1ℓ
2 2 x x cos − ∫
ℓ 0
0
nπx ℓ
dx
2nπx
ℓ
dx
1 x 3 x 2 ℓ 2nπx ℓ xℓ 2nπx = − sin − ∫ nπ sin ℓ dx 2n π ℓ 3 ℓ 0
ℓ 2 1 x 3 x 2ℓ 2nπx xℓ 2 2nπx ℓ 2nπx = − − − sin cos cos +∫ dx 2nπ ℓ 2 ( nπ )2 ℓ 3 ℓ 0 2 ( nπ ) 2 ℓ
2
=
ℓ
ψ dx = ∫ x 2 sin 2 ℓ 2
3 1 x 3 x 2 ℓ 2nπx xℓ 2 2nπx 2nπx ℓ = − sin + 2 cos ℓ − 3 sin ℓ ℓ 3 ℓ 2n π 2 ( nπ ) 4 ( nπ )
ℓ
3 1 x 3 x 2 ℓ 2nπx xℓ 2 ℓ 2nπx 2nπx 2 x = − sin cos sin − + 2n π ℓ 3 ℓ 2 ( nπ ) 2 ℓ 4 ( nπ )3 ℓ 0
x
2
3 3 1 ℓ 3 1 ℓ3 ℓ ℓ = − 0 − 2 + 0 − [ 0 − 0 − 0 + 0] = ℓ 3 − 2 ℓ 3 2 ( nπ ) 2(π)
1 1 x 2 = ℓ 2 − 2 3 2π
127 2. Potensial Step (undakan) bentuk persegi empat a. Kasus E < V
(energi partikel lebih kecil dari potensial undakan)
untuk daerah 1 (– ∞ ≤ x <0) di mana V = 0 persamaan Schrodinger bebas waktu
V
d ψ1 8π mE + ψ1 = 0 dx 2 h2 2
solusinya
2
E
ψ1 ( x ) = Ae−iαx + Beiαx
2
1 x
0
Gambar 2.25. Potensial Undakan E < V
dimana Ae−iαx adalah gerak gelombang ke arah x negatif dan Beiαx adalah gerak gelombang ke arah x positif untuk daerah 2 (0 ≤ x ≤ ∞) di mana V ≠ 0 dan E < V d 2 ψ 2 8π 2 m − 2 ( V − E ) ψ2 = 0 dx 2 h solusinya ψ 2 ( x ) = Fe − γx + Ge γx = Fe− γx di mana Fe− γ x adalah gerak gelombang ke arah bawah dan Geγx adalah gerak gelombang pantul ke arah atas (yang diambil adalah gerak gelombang ke arah bawah atau yang mengalami redaman karena yang ke arah atas tidak realistis). Penerapan syarat batas
Pada saat x = 0
ψ1 ( 0 ) = ψ 2 ( 0 ) A+B=F dan
………………………………………………………. (2.69)
dψ1 dψ 2 = dx x=0 dx x=0 − iα A + i α B = − γ F −A + B = −
γ i γF ………………………………………….…… (2.70) F= iα α
persamaan (2.69) dan (2.70) dijumlahkan atau dikurangkan 2A = 1 −
iγ
F α
dan
2B = 1 +
2α A α − iγ
dan
F=
F=
iγ
α
F
2α B α + iγ
serta
128 α + iγ A − i α γ
B=
Kerapatan Arus Probabilitas (S) Daerah 1
Gelombang partikel terpantul (Sr) dari persamaan (2.47) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Sr = − ∂x 4πm ∂x ih iαx −iαAe−iαx ) − ( Ae −iαx )( iαA*eiαx ) Sr = − A*e ( )( 4πm hα A ih ih Sr = − ( −iαAA*) − ( iαAA*) = ( 2iαAA*) = − 4πm 4πm 2πm
2
Gelombang partikel datang (Si) Si = −
ih B*e−iαx )( iαBeiαx ) − ( Beiαx )( −iαB*e−iαx ) ( 4πm 2
hα B ih ih Si = − ( iαBB* ) + ( iαBB* ) = − ( 2iαBB*) = 4πm 4πm 2πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (1) yaitu S = Si + Sr =
hα 2 2 B −A ) ( 2πm
α + iγ dimana B = A α − iγ
maka BB* =
dan
α − iγ A* α + iγ
B* =
( α + iγ ) ( α − iγ ) A A* = AA* atau α − iγ α + iγ
2
B =A
2
Sehingga S = Si + Sr = 0 , dimana Kerapatan Arus Probabilitas (KAP) gelombang partikel datang dan KAP gelombang partikel terpantul saling meniadakan. Daerah 2
Gelombang partikel transmisi (St) ∂Ψ * ih * ∂Ψ St = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
St = −
ih − γx − γFe −γx ) − ( Fe− γx )( − γF*e−γx ) F*e ( )( 4πm
St = −
ih −γFF*e−2γx + γFF*e−2γx = 0 4πm
129 Koefisien Refleksi (R) dan Transmisi (T) hα A ih ih Sr = − ( −iαAA*) − ( iαAA*) = ( 2iαAA*) = − 4πm 4πm 2πm
2
2
hα B ih ih Si = − ( iαBB* ) + ( iαBB* ) = − ( 2iαBB*) = 4πm 4πm 2πm 2
hα A 2 Sr A 2 m π = = =1 R= Si hα B 2 B 2 2πm St 0 = =0 Si hα B 2 2 πm R+T=1 T=
b. Kasus E > V
(energi partikel lebih besar dari potensial undakan)
untuk daerah 1 (– ∞ ≤ x <0) di mana V = 0 persamaan Schrodinger bebas waktu
1
d 2 ψ1 8π 2 mE + ψ1 = 0 dx 2 h2 solusinya
ψ1 ( x ) = Ae−iαx + Beiαx
V
E
2 0
x
Gambar 2.26. Potensial Undakan E > V
untuk daerah 2 (0 ≤ x ≤ ∞) di mana V ≠ 0 dan E > V d 2 ψ 2 8π 2 m + 2 ( E − V ) ψ2 = 0 dx 2 h solusinya
ψ 2 ( x ) = Ce−iβx + Deiβx = Deiβx
di mana Ce−iβx adalah gerak gelombang ke arah x negatif dan Deiβx adalah gerak gelombang ke arah x positif (karena tidak ada penghalang lagi maka yang diambil adalah gerak gelombang yang ke arah x positif). Penerapan syarat batas
Pada saat x = 0
ψ1 ( 0 ) = ψ 2 ( 0 ) A+B=D
………………………………………………………. (2.71)
130 dan
dψ1 dψ 2 dx = dx x=0 x=0 − iα A + i α B = i β D −A + B =
β D ………………………………………………….…… (2.72) α
persamaan (2.71) dan (2.72) dijumlahkan atau dikurangkan
β 2A = 1 − D
dan
β 2B = 1 + D
2α A − α β
dan
D=
α
D=
α
2α B + α β
serta
α+β A α−β
B=
Kerapatan Arus Probabilitas (S) Daerah 1
Gelombang partikel terpantul (Sr) ∂Ψ * ih * ∂Ψ Sr = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
hα A Sr = − 2πm
dan
ψ ( x ) = Ae−iαx
dan
ψ ( x ) = Beiαx
2
Gelombang partikel datang (Si) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Si = − ∂x 4πm ∂x 2
hα B Si = 2πm
α+β
dimana B = A − α β
dan
α +β A* − α β
B* =
2
α+β α+β α+β maka BB* = A A* = AA* α − β α − β α − β
atau
2
B ≠A
2
131 Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (1) yaitu S = Si + Sr =
hα 2 2 B −A ) ( 2πm 2
α−β hα hα S= BB* − AA* = BB* − BB* ( ) 2πm 2πm α + β
hα α − β 1 − S= 2πm α + β
2
BB*
2
hα ( α + β ) − ( α − β ) S= 2 2πm (α + β) S=
2
BB*
hα 4αβ BB* 2πm ( α + β )2
Daerah 2
Gelombang partikel transmisi (St) ∂Ψ * ih * ∂Ψ St = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
di mana
ψ ( x ) = Deiβx dan
ψ* ( x ) = D*e −iβx
St = −
ih −iβx iβx iβx −iβx D*e i β De − De − i β D*e ( )( ) ( )( ) 4πm
St = −
ih 2βh ( iβDD*) − ( −iβDD*) = DD* 4πm 4πm 2
di mana
2α DD* = BB* + α β
βh 4α 2 St = BB* 2πm ( α + β )2 Koefisien Refleksi (R) dan Transmisi (T) hα A Sr = − 2πm
2
2
dan
hα B Si = 2πm
132 2
α +β BB* = AA* α −β
serta
2
2
α −β 2 hα A B 2 S A α+β R = r = 2πm2 = 2 = 2
Si
hα B 2πm
B
S α −β R = r = Si α + β
T=
St = Si
B
2
β h 4α 2 2 B 2πm ( α + β )2 2
hα B 2πm
=
4αβ (α + β)
2
2
α −β 4αβ R +T = + 2 α + β (α + β) 2
( α − β ) + 4αβ R +T = 2 (α + β) 2 − 2αβ + β 2 + 4αβ α R +T = 2 (α + β) 2 2 + 2αβ + β 2 ( α + β ) α = R +T = 2 2 =1 + + α β α β ( ) ( )
terbukti bahwa penjumlahan antara koefisien Refleksi dengan koefisien Transmisi haruslah bernilai satu, partikel datang (100%) akan terurai menjadi partikel yang terpantul dan partikel yang ditransmisikan, sehingga R + T = 1 atau 100%..
3. Tanggul potensial bentuk kotak
133 a. Kasus E < V
(energi partikel lebih kecil dari potensial undakan)
untuk daerah 1 (– ∞ ≤ x <0) di mana V = 0 persamaan Schrodinger bebas waktu
V
d ψ1 8π mE + ψ1 = 0 dx 2 h2 2
solusinya
2
E
0
ψ1 ( x ) = Beiαx + Ae−iαx
3
2
1
ℓ
x
Gambar 2.27. Tanggul Potensial E
untuk daerah 2 (0 ≤ x ≤ ℓ) di mana V ≠ 0 dan E < V d 2 ψ 2 8π 2 m − 2 ( V − E ) ψ2 = 0 dx 2 h solusinya ψ 2 ( x ) = Ge γx + Fe−γx (di dalam tanggul ada gelombang pantul) untuk daerah 3 (ℓ < x ≤ ∞) di mana V = 0 persamaan Schrodinger bebas waktu d 2 ψ3 8π 2 mE + ψ3 = 0 dx 2 h2 solusinya
ψ3 ( x ) = Ieiαx + He −iαx = Ieiαx
Hanya diambil yang positif karena tidak ada penghalang lagi di daerah 3 sehingga tidak ada gelombang terpantul Penerapan syarat batas
Pada saat x = 0
ψ1 ( 0 ) = ψ 2 ( 0 ) B+A=G+F dan
………………………………………………. (2.73)
dψ1 dψ 2 dx = dx x=0 x=0
B−A =
γ (G − F) iα
maka
iα B − i α A = γ G − γ F
………………………………………….…… (2.74)
persamaan (2.73) dan (2.74) dijumlahkan atau dikurangkan 2B = 1 +
γ + − γ G 1 F ………………………………….…… (2.75) iα iα
2A = 1 −
γ γ G + 1 + F ……………………… ……….…… (2.76) iα iα
Pada saat x = ℓ
134
ψ 2 ( ℓ ) = ψ3 ( ℓ ) Geγℓ + Fe− γℓ = Ieiαℓ ………………………………………. (2.77) dan
dψ3 dψ2 = dx x=ℓ dx x=ℓ γGeγℓ − γFe−γℓ = iαIeiαℓ
Geγℓ − Fe− γℓ =
iα iαℓ Ie
γ
………………………………….…… (2.78)
persamaan (2.77) dan (2.78) dijumlahkan atau dikurangkan 1 iα G = 1 + e− γℓ Ieiαℓ 2 γ
dan
1 iα F = 1 − eγℓ Ieiαℓ 2 γ
Kedua persamaan di atas lalu disubstitusikan ke persamaan (2.75) dan (2.76)
2B = 1 +
γ 1 iα − γℓ γ 1 iα γℓ iαℓ 1+ e + 1 − 1 − e Ie iα 2 γ γ iα 2
iα iα 1 γ γ 2B = e− γℓ + e− γℓ 1 + + e γℓ − eγℓ 1 − Ieiαℓ 2 iα iα γ γ 1 iα iα γ γ 2B = e− γℓ + e− γℓ + e−γℓ + e −γℓ + eγℓ − eγℓ − eγℓ + eγℓ Ieiαℓ 2 iα iα γ γ γ iα γ iα 1 2B = ( 2e γℓ + 2e− γℓ ) − + eγℓ + + e − γℓ Ieiαℓ 2 iα γ iα γ iα γ iα γ 1 2B = 2 ( e γℓ + e− γℓ ) + + e −γℓ − + eγℓ Ieiαℓ 2 γ iα γ iα γℓ − e− γℓ e ( ) iα γ iαℓ ℓ γ − γℓ 2B = ( e + e ) − + Ie 2 γ iα
e γℓ + e− γℓ e γℓ − e − γ ℓ ) ( ) ( 1 i α γ Ieiαℓ − + B = 2 2 γ iα 2
di mana
cosh ( γℓ )
e γℓ + e− γℓ ) ( = 2
dan
sinh ( γℓ )
e γℓ − e −γℓ ) ( = 2
135 i γ α B = cosh γℓ + − sinh γℓ Ieiαℓ 2α γ
di mana cosh 2 γℓ = 1 + sinh 2 γℓ
i γ α B* = cosh γℓ − − sinh γℓ I*e−iαℓ 2α γ 2 γ α 1 2 2 BB* = cosh γℓ + − sinh γℓ II* 4α γ
1 γ 2 2 1 α 2 2 BB* = 1 + sinh γℓ + 2 − + 2 sinh 2 γℓ II* 4 4γ 4α 1 γ 2 2 1 α 2 2 BB* = 1 + 2 + + 2 sinh γℓ II* 4 4γ 4 α 1 γ α 2 2 BB* = 1 + + sinh γℓ II* 4α γ
dari persamaan (2.76)
2A = 1 −
γ 1 iα −γℓ γ 1 iα γℓ iαℓ 1+ e + 1 + 1 − e Ie iα 2 γ iα 2 γ
iα iα 1 γ γ 2A = e− γℓ − e− γℓ 1 + + e γℓ + eγℓ 1 − Ieiαℓ 2 iα iα γ γ iα γ 1 iα γ 2A = − e −γℓ + − + eγℓ Ieiαℓ 2 γ iα γ iα
1 iα γ 2A = − − −e− γℓ + e γℓ Ieiαℓ 2 γ iα A=
1 γ α iαℓ + Ie sinh γℓ 2i α γ
dan
A* = −
1 γ α −iαℓ + I*e sinh γℓ 2i α γ
2
1 γ α AA* = + II*sinh 2 γℓ 4α γ 1 γ α 2 1 γ α 2 2 2 BB* − AA* = 1 + + sinh γℓ − + sinh γℓ II* 4 α γ 4 α γ
BB* − AA* = II*
………………………………...…………….. (2.79)
136 2
1 γ α + II*sinh 2 γℓ 4α γ
2
1 γ α + sinh 2 γℓ 4α γ
AA* = = 2 BB* 1 γ α 2 1 γ α 2 1 + + sinh γℓ II* 1 + + sinh 2 γℓ 4α γ 4α γ
Kerapatan Arus Probabilitas (S) Daerah 1
mempunyai fungsi ψ1 ( x ) = Beiαx + Ae −iαx
Gelombang partikel datang (Si) dari persamaan (2.47) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Si = − ∂x 4πm ∂x
Si = −
ih B*e−iαx )( iαBeiαx ) − ( Beiαx )( −iαB*e−iαx ) ( 4πm 2
hα B ih hα Si = − ( 2iαBB*) = ( BB*) = 4πm 2πm 2πm
Gelombang partikel terpantul (Sr) Sr = −
ih A*eiαx )( −iαAe−iαx ) − ( Ae−iαx )( iαA*eiαx ) ( 4πm
Sr = −
hα ( AA*) 2πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (1) [persamaan (2.79)] yaitu Si + Sr = Daerah 2
hα hα ( BB* − AA*) = ( II*) 2πm 2πm
mempunyai fungsi ψ 2 ( x ) = Ge γx + Fe−γx
Gelombang partikel datang (Si) ∂Ψ * ih * ∂Ψ Si = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
Si = −
ih G*e γx )( γGe γx ) − ( Ge γx )( γG*eγx ) ( 4πm
Si = −
ih γGG*e2γx ) − ( γGG*e2γx ) = 0 ( 4πm
Gelombang partikel pantul (Sr) ∂Ψ * ih * ∂Ψ Sr = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
137 Sr = −
ih − γx − γFe− γx ) − ( Fe− γx )( − γF*e− γx ) F*e ( )( 4πm
Sr = −
ih − γFF*e−2γx ) − (− γFF*e−2γx ) = 0 ( 4πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (2) yaitu Si + Sr = 0 maka Kerapatan Arus Probabilitas gelombang partikel datang dan Kerapatan Arus Probabilitas gelombang partikel terpantul saling meniadakan. Daerah 3
mempunyai fungsi gelombang ψ3 ( x ) = Ieiαx
Gelombang partikel transmisi (St) dari persamaan (2.47) ∂Ψ * ih * ∂Ψ St = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
St = −
ih −iαx I*e iαIeiαx ) − ( Ieiαx )( −iαI*e−iαx ) ( )( 4πm
St = −
ih hα ( iαII*) − ( −iαII*) = ( II*) 4πm 2πm
Koefisien Refleksi (R)
2
2 1 γ α hα A + sinh 2 γℓ 2 S A 4α γ AA* = R = r = 2πm2 = 2 = 2 Si hα B BB* B 1 γ α 1 + + sinh 2 γℓ 2πm 4α γ
h 2α 2 Di mana E = 2 dan 8π m
8π 2mE 2 α = 2 serta h
8π 2 m 2 γ = 2 (V − E) h
2 1 γ2 α 2 2 + 2 + 2 sinh γℓ 4α γ
1 (V − E) E 2 + + 2 sinh γℓ 4 E (V − E) = R= 2 1 (V − E) E α 1 γ2 + + 2 sinh 2 γℓ 1 + 2 + 2 + 2 sinh 2 γℓ 1 + 4 E 4 α (V − E) γ 2
R=
1 ( V − E ) + E 2 + 2E ( V − E ) sinh 2 γℓ 4 E (V − E) 2 1 ( V − E ) + E 2 + 2E ( V − E) 1+ sinh 2 γℓ 4 E (V − E)
=
1 V2 2 sinh γℓ 4 E ( V − E ) 1 V2 2 1+ sinh γℓ 4 E ( V − E )
138 V2 sinh 2 γℓ 4E (V − E ) R= V2 1+ sinh 2 γℓ 4E (V − E )
……………………………………..... (2.80)
Koefisien Transmisi (T)
hα ( II*) St II* π 2 m = = T= hα Si BB* ( BB*) 2πm
2
dan
BB* 1γ α = 1 + + sinh 2 γℓ II* 4α γ
1 1 γ2 α2 V2 2 2 γℓ = 1 + 2 + 2 + 2 sinh γℓ = 1 + sinh T 4 α γ 4E ( V − E )
1
T= 1+
V2 4E ( V − E )
………………………………. (2.81)
sinh 2 γℓ
V2 sinh 2 γℓ 4E (V − E ) 1 R +T = + =1 2 V2 V 1+ sinh 2 γℓ 1 + sinh 2 γℓ 4E ( V − E ) 4E ( V − E ) Kesimpulan: 1.
Koefisien transmisi nol jika E = 0
2.
8π 2 m Jika E meningkat, maka (V – E) menurun dan γ = ( V − E ) menurun, h2 tetapi sinh 2 γℓ untuk nilai tetap lebar tanggul potensial akan menurun daripada (V0 – E).
3.
Ketika E mendekati V, maka
γℓ = ℓ
8π 2 mℓ 2 8π 2 m 2 (V − E) ( V − E ) akan << 1, sehingga sinh γℓ ≈ h2 h2
1 maka ≈ 1 + T
8π 2mℓ 2 2 V (V − E) h2 4E ( V − E )
2π 2 mV2ℓ 2 ≈ 1+ Eh 2
ketika E ≈ V
1 2π 2mVℓ 2 ≈ 1+ T h2
atau
h2 T≈ 2 h + 2π2 mVℓ 2
139 b. Kasus E > V
(energi partikel lebih besar dari potensial undakan)
untuk daerah 1 (– ∞ ≤ x <0) di mana V = 0 persamaan Schrodinger bebas waktu E
d 2 ψ1 8π 2 mE + ψ1 = 0 dx 2 h2 solusinya
V
0
ψ1 ( x ) = Beiαx + Ae−iαx
3
2
1
ℓ
x
Gambar 2.28. Tanggul Potensial E>V
untuk daerah 2 (0 ≤ x ≤ ℓ) di mana V ≠ 0 dan E > V d 2 ψ 2 8π 2 m + 2 ( E − V ) ψ2 = 0 dx 2 h solusinya
ψ 2 ( x ) = Deiβx + Ce−iβx (di atas tanggul ada gelombang pantul)
untuk daerah 3 (ℓ < x ≤ ∞) di mana V = 0 persamaan Schrodinger bebas waktu d 2 ψ3 8π 2 mE + ψ3 = 0 dx 2 h2 solusinya
ψ3 ( x ) = Ieiαx + He −iαx = Ieiαx
Karena tidak ada penghalang lagi di daerah 3, maka tidak ada gelombang pantul Penerapan syarat batas
Pada saat x = 0
ψ1 ( 0 ) = ψ 2 ( 0 ) B+A=D+C dan
………………………………………………. (2.82)
dψ1 dψ 2 dx = dx x=0 x=0
β α
B − A = (D − C)
maka iαB − iαA = iβD − iβC
………………………………………….…… (2.83)
persamaan (2.82) dan (2.83) dijumlahkan atau dikurangkan
β β 2B = 1 + D + 1 − C α α
………………………………….…… (2.84)
β β 2B = 1 − C + 1 + D α α
……………………… ……….…… (2.85)
Pada saat x = ℓ
ψ 2 ( ℓ ) = ψ3 ( ℓ )
140
dan
Deiβℓ + Ce−iβℓ = Ieiαℓ
………………………………………. (2.86)
dψ3 dψ2 = dx x=ℓ dx x=ℓ
maka iβDeiβℓ − iβCe−iβℓ = iαIeiαℓ
α β
Deiβℓ − Ce−iβℓ = Ieiαℓ
………………………………….…… (2.87)
persamaan (2.86) dan (2.87) dijumlahkan atau dikurangkan 1 α D = 1 + e−iβℓ Ieiαℓ 2 β
dan
1 α C = 1 − eiβℓ Ieiαℓ 2 β
1 α D* = 1 + eiβℓ I*e−iαℓ 2 β
dan
1 α C* = 1 − e−iβℓ I*e −iαℓ 2 β
2
1 α DD* = 1 + II* dan 4 β
2
1 α CC* = 1 − II* 4 β
2 2 α 1 α α DD* − CC* = 1 + − 1 − II* = II* ……...……. (2.88) 4 β β β
Kedua persamaan C dan D lalu disubstitusikan ke persamaan (2.84) dan (2.85) β 1 α β 1 α 2B = 1 + 1 + e−iβℓ + 1 − 1 − eiβℓ Ieiαℓ α2 β α 2 β α β 1 α β 2B = 2 + + e−iβℓ + 2 − − eiβℓ Ieiαℓ 2 β α β α
1 (e B= 2 2
iβℓ
+e
2
−iβℓ
) − α (eiβℓ − e−iβℓ ) − β ( eiβℓ − e−iβℓ ) Ieiαℓ β
2
α
2
dengan 2isin βℓ = eiβℓ − e−iβℓ , 2cos βℓ = eiβℓ + e−iβℓ ,dan cos 2 (βℓ ) = 1 − sin 2 ( βℓ ) i α β B = cos (βℓ ) − + sin (βℓ ) Ieiαℓ 2β α i α β B* = cos (βℓ ) + + sin (βℓ ) I*e−iαℓ 2β α 2 α β 1 2 2 BB* = cos (βℓ ) + + sin ( βℓ ) II* 4β α
141 2 α β 1 2 2 BB* = 1 − sin ( αℓ ) + + sin ( αℓ ) II* 4β α
1 α β 2 2 BB* = 1 + + − 1 sin ( αℓ ) II* 4 β α 2 1 α 2 1 β 2 2 BB* = 1 + + 2 + 2 − 1 sin ( αℓ ) II* 4 α 4 4 β 2 β2 1 α BB* = 1 + −2 + 2 + 2 sin 2 ( αℓ ) II* β α 4
1 α β 2 2 BB* = 1 + − sin ( αℓ ) II* ……………….……… (2.89) 4β α
dan
β 1 α β 1 α 2A = 1− 1 + e −iβℓ + 1 + 1 − eiβℓ Ieiαℓ α2 β α 2 β 1 α β 1α β 2A = − e−iβℓ − − eiβℓ Ieiαℓ 2β α 2 β α
1 α β eiβℓ − e −iβℓ iαℓ A = − − Ie 2 β α 2 i α β A = − − Ieiαℓ sin (βℓ) dan 2β α
i α β A* = − I*e−iαℓ sin (βℓ ) 2β α
2
1α β AA* = − II* sin 2 (βℓ ) 4β α 2 1 α β 2 α β 1 2 BB* − AA* = 1 + − sin ( αℓ ) II* − − II* sin 2 (βℓ ) 4β α 4β α
BB* − AA* = II*
………………………………………. (2.90)
1 α β 2 2 − sin ( βℓ ) AA* 4 β α = BB* 1 α β 2 2 1 + − sin ( βℓ ) 4β α
…………………...………….. (2.91)
142 Kerapatan Arus Probabilitas (S) Daerah 1
mempunyai fungsi gelombang ψ1 ( x ) = Beiαx + Ae−iαx
Gelombang partikel datang (Si) dari persamaan (2.47) ∂Ψ * ih * ∂Ψ Si = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
hα ( BB*) 2πm Gelombang partikel terpantul (Sr) Si =
ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Sr = − ∂x 4πm ∂x
Sr = −
hα ( AA*) 2πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (2) [persamaan (2.90)] yaitu Si + Sr = Daerah 2
hα hα ( BB* − AA*) = ( II*) 2πm 2πm
mempunyai fungsi gelombang ψ 2 ( x ) = Deiβx + Ce−iβx
Gelombang partikel datang (Si) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Si = − ∂x 4πm ∂x
Si = −
ih β −iβx −β iβx − ( Dei x )( −iβD*e i x ) D*e i β De ( )( ) 4πm
Si = −
ih hβ ( iβDD*) − ( −iβDD*) = ( DD*) 4πm 2πm
Gelombang partikel pantul (Sr) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Sr = − ∂x 4πm ∂x
Sr = −
ih hβ iβx −iβCe−iβx ) − ( Ce−iβx )( iβC*eiβx ) = − C*e ( CC*) ( )( 4πm 2πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (2) [persamaan (2.88)] yaitu Si + Sr =
hβ hβ α hα II* = ( DD* − CC *) = ( II*) 2 πm 2 πm β 2πm
143 mempunyai fungsi gelombang ψ3 ( x ) = Ieiαx
Daerah 3
Gelombang partikel transmisi (St) dari persamaan (2.47) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ St = − ∂x 4πm ∂x
St = −
ih −iαx I*e iαIeiαx ) − ( Ieiαx )( −iαI*e−iαx ) ( )( 4πm
St = −
ih hα ( iαII*) − ( − iαII*) = ( II*) 4πm 2πm
Koefisien Refleksi (R)
dari persamaan (2.91) 1 α β 2 2 hα A − sin ( βℓ ) 2 Sr A AA* 4 β α 2 m π = = R= 2 = 2 = Si hα B BB* 1 α β 2 B 1 + − sin 2 ( βℓ ) 2πm 4β α 2
1 α2 β2 2 2 − 2 + 2 sin ( βℓ ) α 4 β R= 1 α2 β2 2 ℓ 1 + − 2 + sin β ( ) 2 α2 4 β
h 2α 2 Di mana E = 2 dan 8π m
8π 2mE 2 α = 2 serta h
8π 2 m 2 β = 2 (E − V) h
1 E E−V 2 4 E − V − 2 + E sin ( βℓ ) R= 1 E E−V 2 ℓ + − + β 1 2 sin ( ) 4E−V E
R=
E 2 − 2E ( E − V ) + ( E − V )2 1 ( ) 2 sin ( βℓ ) E (E − V) 4 E 2 − 2E ( E − V ) + ( E − V )2 ( ) 1 1 + sin 2 ( βℓ ) 4 E (E − V)
144 V2 sin 2 ( βℓ ) 4E (E − V ) R= ………………………………………. (2.92) V2 2 1+ sin ( βℓ ) 4E (E − V ) Koefisien Transmisi (T)
hα ( II*) St II* 2 m π = = T= hα Si ( BB*) BB* 2πm dari persamaan (2.89) dan persamaan (2.91), dan persamaan (2.92) 1 α β 2 V2 2 BB* = 1 + − sin ( αℓ ) II* = 1 + sin 2 ( βℓ ) II* 4β α 4E ( E − V )
T=
II* = BB*
1 1+
V2 4E (E − V )
………………………. (2.93)
sin 2 ( βℓ )
2 V2 sin ( βℓ ) − 4E E V ( ) 1 R +T = + 2 2 V2 V2 ℓ 1 + sin β 1 + ( ) sin ( βℓ ) 4E E − V 4E E − V ( ) ( )
R +T =1 Cara lain yang mudah yaitu
dengan mengganti γ = iβ
e γℓ − e− γℓ eiβ ℓ − e−iβℓ sinh ( γℓ ) = = = isin (βℓ ) 2 2 sinh 2 ( γℓ ) = − sin 2 (βℓ )
Dari persamaan (2.80) dan (2.81) V2 V2 2 sinh γℓ sin 2 βℓ 4E ( V − E ) 4E ( E − V ) = R= V2 V2 2 1+ sinh γℓ 1 + sin 2 βℓ 4E ( V − E ) 4E ( E − V )
T=
1
=
1
V2 V2 2 1+ sinh γℓ 1 + sin 2 βℓ 4E ( V − E ) 4E ( E − V )
145 V2 sin 2 βℓ 4E ( E − V ) 1 + =1 R +T = 2 2 V V 2 2 1+ sin βℓ 1 + sin βℓ 4E ( E − V ) 4E ( E − V )
dan
R + T =1 Kesimpulan:
1.
Ketika nilai E mendekati nilai V, maka
βℓ = ℓ
8πm ( E − V ) akan << 1 h2 8πm ( E − V ) h2
8πm ( E − V ) ℓ2 ( βℓ ) ≈ h2
maka
sin ( βℓ ) ≈ ℓ
sehingga
8πm ( E − V ) ℓ 2 V 2 1 V2 2πmℓ2 V 2 2 = 1− sin βℓ = 1 − = 1− T 4E ( E − V) 4E ( E − V ) h 2 Eh 2
dan
1 2πmℓ2 V jika E ≈ V, maka = 1 − T h2 2.
sin 2
Jika energi E meningkat, maka β =
yang sama dengan kasus E < V
8πm ( E − V ) juga meningkat, (E – V) h2
meningkat lebih cepat daripada sin 2 βℓ untuk nilai lebar tanggul tetap 3.
Koefisien transmisi T = 1 jika βℓ = nπ, n = 1, 2, 3, . . . atau jika ℓ=
nπ
β
tetapi
=
nπ nπh = 8πm ( E − V ) 8πm ( E − V ) h2
h adalah λ de Broglie untuk partikel dalam daerah energi 2m (E − V )
λ
kinetik (E – V0) oleh karena itu T = 1 ketika ℓ = n 2
146 4. Sumur potensial (partikel dalam keadaan bebas) a. Kasus E < V
(energi partikel lebih kecil dari energi potensial)
untuk daerah 1 (– ∞ ≤ x ≤0) di mana V ≠ 0 persamaan Schrodinger bebas waktu d 2 ψ1 8π 2 m − 2 ( V − E ) ψ1 = 0 dx 2 h Solusinya
E 1
ψ1 ( x ) = Fe− γx
2 0
ψ1 ( x ) = Geγx + Fe− γx
V 3 ℓ
x
Gambar 2.29. Sumur Potensial E
(yang diambil hanya gelombang teredam)
untuk daerah 2 (0 < x < ℓ) di mana V = 0 d 2 ψ2 8π 2 mE + ψ2 = 0 dx 2 h2 solusinya ψ 2 ( x ) = Beiαx + Ae −iαx (di dalam sumur ada gelombang pantul) untuk daerah 3 (ℓ ≤ x ≤ ∞) di mana V ≠ 0 persamaan Schrodinger bebas waktu d 2 ψ 3 8π 2 m − 2 ( V − E ) ψ3 = 0 dx 2 h solusinya
ψ3 ( x ) = Geγx + Fe− γx = Fe− γx
Penerapan syarat batas :
Pada saat x = 0
ψ1 ( 0 ) = ψ 2 ( 0 ) F=B+A
………………………………………………………. (2.94)
dan
dψ1 dψ 2 = dx x=0 dx x=0
maka
− γF = iαB − iαA
iγ
α
F = (B − A)
………………………………………….…… (2.95)
persamaan (2.94) dan (2.95) dijumlahkan atau dikurangkan α α + iγ
………….…… (2.96)
α α − iγ
………….…… (2.97)
1 iγ B = 1 + F 2 α
atau
F = 2B
1 iγ A = 1 − F 2 α
atau
F = 2A
147 Pada saat x = ℓ
ψ 2 ( ℓ ) = ψ3 ( ℓ ) Beiαℓ + Ae−iαℓ = Fe− γℓ dan
………………………………………. (2.98)
dψ dψ2 = 3 dx x=ℓ dx x=ℓ
iαBeiαℓ − iαAe−iαℓ = − γFe− γℓ Beiαℓ − Ae −iαℓ =
iγ
α
Fe− γℓ
………………………………….…… (2.99)
persamaan (2.98) dan (2.99) dijumlahkan atau dikurangkan 1 iγ B = 1 + Fe− γℓ e−iαℓ 2 α α γℓ iαℓ Be e + i α γ
F = 2
α + iγ −2iαℓ Ae − i α γ
B=
dan
1 iγ A = 1 − Fe− γℓ eiαℓ 2 α
dan
F = 2
dan
B* =
dan
1 γ2 BB* = 1 + 2 FF* 4 α
α γℓ −iαℓ Ae e − i α γ
α − iγ A*e 2iαℓ α + iγ
B B * = A A*
1 iγ B* = 1 − F*eγℓ eiαℓ 2 α
Kerapatan Arus Probabilitas (S) Daerah 1
mempunyai fungsi gelombang
ψ1 ( x ) = Deiβx + Ce−iβx Gelombang partikel datang (Si) dari persamaan (2.47) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Si = − ∂x 4πm ∂x
Si = −
ih − γx − γx − γx − γx F * e − γFe ) − ( Fe ) ( − γF*e ) = 0 ( ) ( 4πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (1) [persamaan (2.101)] yaitu Si + Sr =
hβ hβ ( DD* − CC*) = ( II*) 2πm 2πm
148 mempunyai fungsi gelombang ψ 2 ( x ) = Beiαx + Ae −iαx
Daerah 2
Gelombang partikel datang (Si) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Si = − ∂x 4πm ∂x
Si = − Si =
ih B*e−iαx ) ( iαBeiαx ) − ( Beiαx ) ( −iαB*e−iαx ) ( 4πm
hα ( AA*) 2πm
Gelombang partikel pantul (Sr) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Sr = − ∂x 4πm ∂x
Sr = −
ih A*eiαx ) ( −iαAe−iαx ) − ( Ae−iαx ) ( iαA*e A*eiαx ) ( 4πm
Sr = −
hα ( AA*) 2πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (2) [persamaan (2.100)] yaitu Si + Sr =
hα hα β II* ( BB* − AA*) = 2πm 2πm α
Si + Sr =
hβ ( II*) 2πm
Daerah 3
mempunyai fungsi gelombang
ψ3 ( x ) = Heiαx Gelombang partikel transmisi (St) dari persamaan (2.47) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ St = − ∂x 4πm ∂x
St = −
ih −iαx I*e iαIeiαx ) − ( Ieiαx ) ( −iαI*e−iαx ) ( ) ( 4πm
St = −
ih hα ( iαII*) − ( − iαII*) = ( II*) 4πm 2πm 2
1 β β BB* − AA* = 1 + − 1 − 4 α α
2
β II* = II* …..…. (2.100) α
149 b. Kasus E > V
(energi partikel lebih besar dari energi potensial)
untuk daerah 1 (– ∞ ≤ x ≤0) di mana V ≠ 0 persamaan Schrodinger bebas waktu
1
d 2 ψ1 8π 2 m + 2 ( E − V ) ψ1 = 0 dx 2 h Solusinya
3
2 E 0
ψ1 ( x ) = Deiβx + Ce−iβx
V ℓ
x
Gambar 2.29. Sumur Potensial E>V
untuk daerah 2 (0 < x < ℓ) di mana V = 0 d 2 ψ2 8π 2 mE + ψ2 = 0 dx 2 h2 solusinya ψ 2 ( x ) = Beiαx + Ae −iαx (di atas sumur ada gelombang pantul) untuk daerah 3 (ℓ ≤ x ≤ ∞) di mana V ≠ 0 persamaan Schrodinger bebas waktu d 2 ψ3 8π 2 m + 2 ( E − V ) ψ3 = 0 dx 2 h solusinya
ψ3 ( x ) = Ieiβx + He −iβx = Ieiβx
Karena tidak ada penghalang lagi di daerah 3, maka tidak ada gelombang pantul Penerapan syarat batas
Pada saat x = 0
ψ1 ( 0 ) = ψ 2 ( 0 ) C+D=A+B
………………………………………………. (2.94)
dan
dψ1 dψ 2 = dx x=0 dx x=0
maka
iβD − iβC = iαB − iαC
α β
D − C = (B − A)
………………………………………….…… (2.95)
persamaan (2.94) dan (2.95) dijumlahkan atau dikurangkan
α
α
α
α
2D = 1 + B + 1 − A β β 2C = 1 − B + 1 + A β β
………………………………….…… (2.96) ……………………… ……….…… (2.97)
150 Pada saat x = ℓ
ψ 2 ( ℓ ) = ψ3 ( ℓ ) Beiαℓ + Ae−iαℓ = Ieiβℓ dan
………………………………………. (2.98)
dψ dψ2 = 3 dx x=ℓ dx x=ℓ
iαBeiαℓ − iαAe−iαℓ = iβIeiβℓ
β α
Beiαℓ − Ae −iαℓ = Ieiβℓ
………………………………….…… (2.99)
persamaan (2.98) dan (2.99) dijumlahkan atau dikurangkan
β 1 B = 1 + Ieiβℓ e−iαℓ 2 α
dan
β 1 A = 1 − Ieiβℓ eiαℓ 2 α
1 β B* = 1 + I*e−iβℓ eiαℓ 2 α
dan
1 β A* = 1 − I*e−iβℓ e−iαℓ 2 α
2
1 β BB* = 1 + II* dan 4 α
2
1 β AA* = 1 − II* 4 α
2
1 β β BB* − AA* = 1 + − 1 − 4 α α
2
β II* = II* …..…. (2.100) α
Kedua persamaan di atas lalu disubstitusikan ke persamaan (2.96) dan (2.97) α1 α1 β β D = 1 + 1 + Ieiβℓ e−iαℓ + 1− 1− Ieiβℓ eiαℓ β4 α β 4 α
1 α β 1 α β D = 2 + + Ieiβℓ e−iαℓ + 2 − − Ieiβℓ eiαℓ 4 β α 4 β α iαℓ − e−iαℓ
eiαℓ + e−iαℓ iβℓ 1 ( e D = Ie − 2 2
) α + β Ieiβℓ β
2
α
e−iαℓ + eiαℓ ) −iβℓ 1 ( e−iαℓ − eiαℓ ) α β −iβℓ ( − + D* = I*e I*e 2
2
2
β
i α β D = Ieiβℓ cos ( αℓ ) − + Ieiβℓ sin ( αℓ ) 2β α i α β D* = I*e−iβℓ cos ( αℓ ) + + I*e−iβℓ sin ( αℓ ) 2β α
α
151 2 α β 1 2 2 DD* = cos ( αℓ ) + + sin ( αℓ ) II* 4β α 2 α β 1 2 2 DD* = 1 − sin ( αℓ ) + + sin ( αℓ ) II* 4β α
1 α β 2 2 DD* = 1 + + − 1 sin ( αℓ ) II* 4 β α 1 1 α 2 1 β 2 2 DD* = 1 + + 2 + 2 − 1 sin ( αℓ ) II* 2 4 β 4 α 1 α2 β2 2 DD* = 1 + −2 + 2 + 2 sin ( αℓ ) II* β α 4 1 α β 2 2 DD* = 1 + − sin ( αℓ ) II* 4 β α α1 α1 β β C = 1 − 1 + Ieiβℓ e−iαℓ + 1 + 1 − Ieiβℓ eiαℓ β4 α β4 α
1 α β 1α β C = − + Ieiβℓe−iαℓ + − Ieiβℓ eiαℓ 4 β α 4β α iαℓ − e−iαℓ
1 (e C= 2
) α − β Ieiβℓ = i α − β Ieiβℓ sin β
2
α
2 β α
( αℓ )
−iαℓ iαℓ − e e ( ) α − β I*e−iβℓ 1 C* =
2
β
2
α
i α β C* = − − I*e−iβℓ sin ( αℓ ) 2β α 2
1α β CC* = − II*sin 2 ( αℓ ) 4β α 2 1 α β 2 1α β 2 2 DD* − CC* = 1 + − sin ( αℓ ) − − sin ( αℓ ) II* 4β α 4 β α
DD* − CC* = II*
…………………………………………...… (2.101)
152 Kerapatan Arus Probabilitas (S)
mempunyai fungsi gelombang ψ1 ( x ) = Deiβx + Ce−iβx
Daerah 1
Gelombang partikel datang (Si) dari persamaan (2.47) ∂Ψ * ih * ∂Ψ Si = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
Si = − Si =
ih −iβx − iβ x iβx − iβx − D * e i β D e D e i β D*e ( ) ( ) ( ) ( ) 4πm
hβ ( DD*) 2πm
Gelombang partikel terpantul (Sr) Sr = −
ih β −β −β iβx −iβCe i x ) − ( Ce i x ) ( iβC*ei x ) C * e ( ) ( 4πm
Sr = −
hβ ( CC*) 2πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (1) [persamaan (2.101] yaitu Si + Sr = Daerah 2
hβ hβ ( DD* − CC*) = ( II*) 2πm 2πm
mempunyai fungsi gelombang ψ 2 ( x ) = Beiαx + Ae −iαx
Gelombang partikel datang (Si) ∂Ψ * ih * ∂Ψ Si = − Ψ −Ψ 4πm ∂x ∂x
ih hα B*e−iαx ) ( iαBeiαx ) − ( Beiαx ) ( −iαB*e−iαx ) = ( BB*) ( 2πm 4πm Gelombang partikel pantul (Sr) Si = −
ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ Sr = − ∂x 4πm ∂x
Sr = −
ih hα A*eiαx ) ( −iαAe−iαx ) − ( Ae−iαx ) ( iαA*eiαx ) = − ( AA*) ( 4πm 2πm
Kerapatan Arus Probabilitas (S) total untuk daerah (2) [persamaan (2.100)] yaitu Si + Sr =
hα hα β II* ( BB* − AA*) = 2πm 2πm α
Si + Sr =
hβ ( II*) 2πm
153 Daerah 3
mempunyai fungsi gelombang ψ3 ( x ) = Ieiαx
Gelombang partikel transmisi (St) dari persamaan (2.47) ih * ∂Ψ ∂Ψ * Ψ −Ψ St = − ∂x 4πm ∂x
St = −
ih −iαx I*e iαIeiαx ) − ( Ieiαx ) ( −iαI*e−iαx ) ( ) ( 4πm
St = −
ih hα ( iαII*) − ( − iαII*) = ( II*) 4πm 2πm
Koefisien Refleksi (R)
2
2
1α β − sin 2 ( αℓ ) 4β α
hα C 2 Sr C CC* 2 m π = = = = R= Si hα D 2 D 2 DD* 1 α β 2 2 1 + − sin ( αℓ ) 2πm 4β α
1 α2 β2 2 2 − 2 + 2 sin ( βℓ ) α 4 β R= 1 α2 β2 2 ℓ 1 + − 2 + s i n β ( ) 2 α2 4 β
h 2α 2 Di mana E = 2 dan 8π m
8π 2mE 2 α = 2 serta h
8π 2 m 2 β = 2 (E − V) h
h 2β 2 E = 2 +V 8π m 1 E E−V 2 ℓ − 2 + s i n β ( ) 4 E − V E R= 1 E E−V 2 1 + 4 E − V − 2 + E sin ( βℓ ) E 2 − 2 E ( E − V ) + ( E − V )2 1 ( ) sin 2 ( βℓ ) 4 E E − V ( ) = R E 2 − 2 E ( E − V ) + ( E − V )2 ( ) 1 1 + s i n 2 ( βℓ ) 4 E (E − V)
154 V2 sin 2 ( βℓ ) 4E ( E − V ) R= ………………………………..……. (2.102) V2 2 1+ si n ( β ℓ ) 4E (E − V ) Koefisien Transmisi (T)
hα ( II*) St II* π 2 m = = T= hα Si ( DD*) DD* 2πm dan
1 α β 2 V 2 si n 2 ( β ℓ ) 2 DD* = 1 + − sin ( αℓ ) II* = 1 + II* 4 E E − V ( ) 4β α
T=
II* = DD*
1 V 2 sin 2 ( βℓ ) 1+ 4E ( E − V )
…………………………..…. (2.103)
V 2 sin 2 ( βℓ ) V 2 si n 2 ( β ℓ ) 1+ 4E ( E − V ) 4E ( E − V ) 1 R +T = + = V 2 sin 2 ( βℓ ) V 2 sin 2 ( βℓ ) V 2 si n 2 ( β ℓ ) 1+ 1+ 1+ 4E ( E − V ) 4E ( E − V ) 4E ( E − V ) R +T =1
ketika βℓ = ℓ T=
8π 2 m ( E − V ) = nπ h2
untuk n = 1, 2, 3, …
1 =1 2 2 V sin ( βℓ ) 1+ 4E ( E − V )
E meningkat, dan T berosilasi antara nilai maksimum 1 dan nilai kurang dari 1. Nilai energi partikel untuk T = 1 dengan βℓ = ℓ
n 2h 2 E= +V 2 8mℓ
8π 2 m ( E − V ) = nπ , yaitu h2
155 Contoh soal 1. Sinar/arus elektron, masing-masing energi E = 3 eV menumbuk tanggul o
potensial yang tingginya V = 4 eV, lebar tanggul 20 A . Hitung prosenta prosentase se transmisi sinar elektron yang melewati tanggul t anggul (menembus) jawab: E = 3 eV = 3x1,6.10 –19 J V = 4 eV = 4x1,6.10 –19 J o
ℓ = 20 A = 20.10 −10 m
T=
16E E −2k 2ℓ 1− e V V
2k 2 ℓ = 2ℓ
2m(V − E ) ℏ2
=
2ℓ ℏ
2m(V − E )
2 x 2.10 −9 2k 2 ℓ = 2 x 9,1.10 -31 (1,6.10 -19 ) = 20,49 -34 1,504.10 T =
1,6 E E −2 k 2ℓ 16 x 3 3 1 = 1 − e 1 − V V 4 4 e − 20, 49
T= 3,797 . 10-9, prosentasenya= 3,797. 10-7 %
156 5. Partikel dalam kotak energi 3 dimensi tanpa pengaruh medan gaya luar.
Persamaan Schrodinger bebas waktu ∇2 ψ + ∇2 ψ +
2m ℏ2
ℓ
(E − V) ψ = 0
2mE ℏ2
y
ψ=0
dengan V = 0
x
ℓ ℓ
∂ 2 ψ ∂ 2 ψ ∂ 2ψ 2mEψ + + + =0 ℏ2 ∂2x ∂2 y ∂2z
z
ψ ( x,y,z ) =X ( x ) Y ( y ) Z ( z ) d2 X d2 Y d 2 Z 2mE YZ 2 + ZX 2 + XY 2 + 2 XYZ = 0 dx dy dz ℏ 1 d 2 X 1 d 2 Y 1 d 2 Z 2mE + + + =0 X dx 2 Y dy 2 Z dz 2 ℏ 2
x
Energi kinetik E dapat dipisah menjadi E = E x + E y + E z 1 d 2 X 2mE x 1 d 2 Y 2mE y 1 d 2 Z 2mE z 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 =0 X dx Y dy Z dz ℏ ℏ ℏ
d 2 X 2mE x + X = 0 dx 2 ℏ 2 d 2 Y 2mE y + Y = 0 dy 2 ℏ 2
dengan syarat batas
d 2 Z 2mE z + Z = 0 dz 2 ℏ 2
Z(z) = 0 pada z = 0 dan z = ℓ
2mE 12 X = X0 sin 2 x x + φ x ℏ 2mE 12 y Y = Y0 sin 2 x + φ y ℏ 2mE 1 2 z Z = Z0 sin 2 x + φ z ℏ
X(x) = 0 pada x = 0 dan x = ℓ Y(y) = 0 pada y = 0 dan y = ℓ
syarat batas di atas dapat dipenuhi jika φ x = φ y = φ z = 0
Fungsi gelombang partikel dalam kotak 1
n πy 8 8 2 n πx n πz ψ(x,y,z) = 3 sin x sin y sin z ; dengan 3 ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ
1
2
2 = ℓ
3
2
157 Nilai eigen partikel dalam kotak
π 2 ℏ2n 2y
π 2 ℏ 2n 2x
π 2 ℏ 2n z2
; E y = ; E z = 2mℓ2 2mℓ 2 2mℓ2 total energi partikel dalam kotak, yaitu : Ex =
π2ℏ2
n 2x + n 2y + n 2z ) ( 2mℓ dengan ( nx = 1, 2, 3, . . . ; ny = 1, 2, 3, . . . dan nz = 1, 2, 3, . . . ) E=
2
Energi terendah yang mungkin yaitu jika n x= ny= nz=1 atau dalam keadaan dasar (ground state)
π2ℏ2
3π 2 ℏ 2 E111 = (1 + 1 + 1) = 2mℓ 2 2mℓ 2 Persamaan di atas disebut tingkat energi non degenerate karena keadaan ini hanya mempunyai satu fungsi gelombang, yaitu : 3
2 2 πx πy πz ψ111 = sin sin sin ℓ ℓ ℓ ℓ
Partikel yang mempunyai energi sama dalam keadaan hanya mempunyai satu fungsi gelombang dan hanya mempunyai satu tingkat energi disebut tingkat energi non-degenerate .
Partikel yang mempunyai energi sama dalam keadaan tereksitasi dapat mempunyai tingkat energi berbeda dan mempunyai fungsi gelombang berbeda, keadaan ini disebut tingkat energi degenerate. Contoh :
Untuk keadaan tereksitasi pertama, nilai-nilai bilangan kuantum yang mungkin adalah nx 2 1 1
ny 1 2 1
nz 1 1 2
(nx, ny, nz) = (2,1,1), (1,2,1), dan (1,1,2) terdapat 3 keadaan energi berbeda yang mempunyai nilai energi sama, yaitu : 6π 2 ℏ 2 E 211 = E121 = E112 = 2mℓ 2
158 terdapat 3 fungsi gelombang berbeda, maka derajat degenerasi tingkat energi dikatakan lipat 3. 3
2 2 2πx πy πz ψ211 = sin sin ℓ sin ℓ ℓ ℓ 2
3
ψ121 = sin ℓ 2
πx
2πy πz sin ℓ ℓ
sin
ℓ
3
ψ112
2 2 πx πy 2πz = sin sin sin ℓ ℓ ℓ ℓ
Contoh :
Untuk keadaan tereksitasi kedua, nilai-nilai bilangan kuantum yang mungkin adalah nx 2 2 1
ny 2 1 2
nz 1 2 2
adalah degenerasi lipat 3
Terdapat 3 keadaan energi berbeda yang mempunyai energi sama, yaitu : 9π 2 ℏ 2 E 221 = E122 = E 212 = 2mℓ 2 3
2 2 2πx 2πy πz ψ221 = sin sin sin ℓ ℓ ℓ ℓ 3
ψ122
2 2 πx 2πy 2πz = sin sin sin ℓ ℓ ℓ ℓ
ψ212
2 2 2πx πy 2πz = sin sin sin ℓ ℓ ℓ ℓ
3
Contoh :
nilai-nilai bilangan kuantum yang mungkin adalah nx 2
ny 2
nz 2
12π 2 ℏ2 E 222 = 2mℓ 2 3
ψ222
disebut tingkat energi non degenerate
2 2 2πx 2πy 2πz = sin sin sin ℓ ℓ ℓ ℓ
159 Contoh-contoh soal
1. Seberkas sinar elektron, masing-masing energi elektron E = 4 eV, menumbuk tanggul potensial setinggi, V = 6 eV. Jika lebar tanggul 10 Å, hitung persentasi sinar elektron yang ditransmisikan melewati tanggul potensial. Jawab : o
; ℏ = 1,054.10−34 J.s ; m = 9,1.10−31 kg
ℓ = 10 A = 10−9 m
E = 4 eV = 4 (1,6.10 −19 ) = 6,4.10 −19 joule V = 6 eV = 6 (1,6.10 −19 ) = 9,6.10 −19 joule 16E E −2kℓ T = 1− e V V 2kℓ =
2ℓ
2m ( V − E ) ℏ
1
;
1 2m ( V − E ) 2 ; k= 2 ℏ
2
1 2.10−9 −31 −19 2 2kl = 2 ( 9,1.10 ) ( 9,6 − 6, 4) (10 ) 1,054.10 −34
2kℓ = 14,48 16 ( 6,4.10−19 ) 6,4.10−19 −14,48 32 1 1 − = 5,145.10−7 T= e −19 −19 9,6.10 9,6.10 3 3
T = 1,829.10−6
atau
T = 1,829.10−4 %
2. Hitung lebar tanggul potensial atom di mana sebuah partikel α dipancarkan dengan energi kinetik 4 MeV dari sebuah atom radioaktif dengan berat atom A = 222 dan bilangan atom Z = 86. Jawab : 1
1
r0 = (1,5.10−15 ) A 3 = (1,5.10−15 ) ( 222) 3 = 9.10−15 m misal r1 jarak dari pusat inti di mana energi potensial partikel α adalah sama dengan energi kinetiknya. 2 ( Z − 2 ) e2 E= 4π ∈0 r1
160
r1 =
2
2 ( Z − 2) e = 4π ∈0 E
2
2 (86 − 2 ) (1,6.10−19 ) ( 9.109 )
( 4.106 )(1, 6.10−19 )
r1 = 60, 48.10−15 m maka lebar tanggul potensial yaitu ℓ = r1 − r0 = ( 60, 48 − 9 ) .10 −15 m ℓ = 51,48.10−15 m
3. Seberkas sinar elektron menumbuk tanggul potensial V = 5 eV dan lebar tanggul (l) = 0,5 nm. Berapakah energi yang seharusnya dimiliki elektronelektron agar 50% berkas elektron dapat melewati/menembus tanggul? Jawab : ℏ = 1,054.10−34 J.s
;
m = 9,1.10−31 kg
V = 5 eV = 5 (1,6.10 −19 ) = 8.10 −19 joule ℓ = 0,5 nm = 5.10 −10 m
1 T= mv2ℓ 2 1+ 2Eℏ 2
;
1 2
;
T = 50% =
atau
mv2ℓ 2 1 2 = T −1 2Eℏ
mv2ℓ 2 1 = −1 = 1 2Eℏ2 1 2 E=
2 2
mv ℓ = 2ℏ2
E = 65,53.10
2
( 9,1.10−31 )( 8.10−19 ) ( 5.10−10 ) 2 (1,054.10−34 )
−19
2
joule
65,53.10 −19 joule = eV = 40,95 eV 1,6.10−19
4. Melalui persamaan Schrodinger, hitunglah energi keadaan dasar (ground state) suatu osilator harmonik ? Jawab : F = − kx
V=
; sebagai gaya pemulih
1 2 kx ; sebagai energi potensial 2
161 d 2Ψ 2m + ( E − V ) Ψ = 0 ; dx 2 ℏ 2 d 2Ψ 2m 1 2 + E − 2 kx Ψ = 0 ……………………………………………..... (a) dx 2 ℏ 2 2
misal solusi dugaan awal yaitu Ψ ( x ) = Ae−ax …………………………… (b) maka
2 dΨ = − 2ax ( Ae−ax ) dx
d 2Ψ − ax 2 − ax 2 = 2a Ae 2ax 2ax Ae − − − ………………………. (c) ( ) dx 2
)
(
(
)
substitusikan persamaan (b) & (c) ke persamaan (a)
(
−2a Ae− ax
2
)
2
(
)
+ 4a 2 x 2 Ae− ax + 2m
1
2m
1 2 − ax2 − E kx Ae =0 2 ℏ2
−2a + 4a 2 x2 + 2 E − kx 2 = 0 2 ℏ
ah 2 a 2 h 2 x 2 1 2 E = 2 − 2 + kx 4π m 2π m 2 solusi harus valid untuk semua nilai x, maka koefisien x2 harus dihilangkan,
a 2h 2 = k π2m
sehingga atau a =
;
π km h
ah 2 1 2 1 2 ah 2 E = 2 − kx + kx = 2 2 4π m 2 4π m π km h 2 h k E = 2 = h 4π m 4π m
dengan f = E=
1 k 2π m
1 hf sebagai energi keadaan dasar osilator harmonik 2
5. Sebuah elektron dibatasi kotak satu dimensi, lebar sisi 0,1 nm. Hitunglah 2 nilai eigen pertama dalam elektron volt (eV). Jawab :
162 En =
2 2 2
2 2
n 2 ( 6,626.10−34 )
2
n πℏ n h = = joule 2mℓ2 8mℓ2 8 9,1.10 −31 0,1.10 −9 2 ( )( )
E n = ( 5,5.10−18 ) n 2 joule E n = 34,4 n 2 eV
6. Hitunglah energi ground state sebuah osilator harmonik frekuensi 50 Hz. Jawab : E=
1 1 hf = ( 6, 626.10−34 ) ( 50 ) = 1, 66.10−32 joule 2 2
7. Energi sebuah osilator harmonik dalam keadaan eksitasi ke 3 adalah 0,1 eV. Hitung frekuensi getarannya. Jawab : 1 E n = n + hf ; n = 3 ; 2
E3 = 0,1 eV = 1,6.10−20 joule En 1,6.10−20 f= = = 6,895.1012 Hz 1 1 n + hf 3 + 6,626.10−34 ) ( 2 2 f = 6,895.1012 Hz
8. Hitunglah energi terendah neutron (ground state) yang dibatasi oleh ukuran inti -
-
10 14 m, massa neutron = 1,67.10 27 kg. Jawab :
n 2h 2 En = 8mℓ2 E1 =
( 6,626.10−34 )
2 2
2
1h = joule 8mℓ2 8 1,67.10−27 10−14 2 ( )( )
E1 = 3, 28.10
−13
E1 = 2,05 MeV
3,28.10−13 joule = eV 1,6.10−19
163 Soal-soal latihan Bab 2
1. Permukaan suatu logam mempunyai fungsi kerja W = 4 eV. Berapa kecepatan maksimum elektron yang dipancarkan permukaan logam ketika disinari cahaya frekuensi 1015 Hz. 2. Hitung energi (dalam eV) elektron dari permukaan Tungsten (panjang gelombang ambang λ0 = 2300 Å) jika diradiasi dengan cahaya λ = 1800 Å. 3. Cahaya λ = 4300 Å mengenai permukaan logam a) Nickel yang mempunyai fungsi kerja W = 5 eV dan b) Kalium yang mempunyai fungsi kerja W = 2,3 eV Apakah elektron akan dipancarkan oleh kedua permukaan logam tersebut ? Hitung kecepatan maksimum elektron yang dipancarkan. 4. Tunjukkan bahwa energi elektron recoil maksimum dari sebuah elektron bebas bermassa diam m0 , ketika ditumbuk oleh foton panjang gelombang λ diberikan oleh
2m0c 2λ e2 E k max = 2 λ + 2λλe
di mana λe = panjang gelombang Compton
5. Sebuah permukaan logam, ketika disinari dengan cahaya λ1 memancarkan elektron dengan energi maksimum E 1 dan jika disinari dengan cahaya λ2 (di mana λ1 > λ2 ) akan memancarkan elektron dengan energi maksimum E 2. Buktikan bahwa tetapan Planck (h) dan fungsi kerja (W) dari logam diberikan
h=
oleh
( E 2 − E1 ) λ1λ 2 dan c ( λ1 − λ 2 )
W=
E 2 λ 2 − E1 λ1
λ1 − λ2
6. Buktikan bahwa energi kinetik elektron recoil/terpental (Gambar 2.17) adalah 2hf α cos 2φ Ek = 2 (1 + α ) − α2 cos2 φ 7. Cahaya dengan panjang gelombang λ membebaskan elektron-elektron dari sebuah permukaan logam yang mempunyai panjang gelombang ambang λ0. Buktikan panjang gelombang de Broglie (λd) elektron-elektron yang dipancarkan permukaan logam dengan Ek maksimum adalah
λ d2 =
hλ 0 λ 2mc ( λ 0 − λ )
164 8. Jika E adalah energi foton datang dan E0 adalah energi elektron diam, buktikan bahwa energi kinetik elektron recoil adalah 1 8
E k = E jika
φ = 600 dan
E = 2E 0
9. Jika E adalah energi foton datang dan E0 adalah energi elektron diam, buktikan bahwa energi kinetik elektron recoil adalah
Ek =
2E 0 E 2 cos2φ
( E0 + E )
2
− E 2 cos2 φ
10. Seberkas elektron menumbuk tanggul potensial V = 5 eV dan lebar tanggul tersebut l = 10Å. Berapakah energi yang seharusnya dimiliki elektronelektron agar 20% berkas elektron dapat menebus tanggul potensial?
165 BAB 3
MODEL-MODEL ATOM
Garis-garis terang pada spektrum cahaya dari suatu gas yang memijar merupakan salah satu eksperimen yang tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik. Spektrum cahaya dari pijaran gas yang terurai melalui prisma (terlihat berupa garis-garis terang) berbeda sekali dengan spektrum cahaya dari pijaran padatan yang mirip pelangi. Pola spektrum setiap unsur suatu gas memiliki garis-garis yang berbeda, di mana tidak ada dua unsur yang memiliki pola garis yang sama, sehingga pola spektrum suatu gas memiliki kharakteristik tersendiri yang berbeda dengan gas lain. Jika radiasi dari padatan panas dilewatkan melalui gas dingin, maka akan tampak spektrum garis-garis gelap yang polanya tepat bersesuaian dengan spektrum garis-garis terang ketika gas tersebut memijar. Jadi frekuensi serapan gas dingin tepat sama dengan frekuensi pancaran pijaran gas dari unsur yang sama, maka tingkat energi dalam gas dapat berubah-ubah di mana gas dapat menerima maupun melepas energi. Eksperimen emisi cahaya dari pijaran gas yang menampilkan spektrum garis-garis terang telah dipercaya dapat mengandung informasi fundamental mengenai struktur atom, sehingga emisi cahaya dari suatu gas akan dapat menyingkap rahasia struktur atom. Penemuan Thomson tentang partikel bermuatan negatif yang kemudian disebut elektron, telah meningkatkan kemajuan pesat ilmu pengetahuan fisika khususnya yang menyangkut partikel elementer penyusun atom. Atom bukan lagi sebagai bagian terkecil dari suatu unsur karena atom masih dapat dibagi-bagi lagi ke dalam bagian muatan negatif (elektron) dan muatan positif (inti atom), padahal pada era sebelumnya, Jhon Dalton berpendapat bahwa atom merupakan bagian terkecil penyusun suatu unsur atau materi. Penemuan elektron oleh Thomson telah mendorong ilmuwan untuk mencoba menggambarkan bagaimana hubungan elektron (muatan negatif) dengan inti atom (muatan positif), bagaimana posisi elektron dalam atom, bagaimana hubungan posisi elektron dengan inti atom terhadap kestabilan atom, dan bagaimana hubungan elektron dengan inti atom terhadap garis-garis terang spektrum suatu gas. Ilmuwan kemudian mencoba membuat model-model atom untuk mencoba menggambarkan dan memahami struktur atom setelah ditemukan elektron sebagai unsur penyusun atom.
166 3.1. Model Atom Thomson
Pada tahun 1897 J.J.Thomson berhasil menemukan partikel bermuatan negatif yang kemudian dinamakan elektron. Thomson juga menemukan bahwa elektron mempunyai rasio antara muatan elektron terhadap massa elektron, Thomson menganggap elektron adalah sebuah partikel dan bukan sinar katoda (gelombang). Pada waktu itu telah diketahui bahwa atom secara total bermuatan netral, sehingga atom haruslah mengandung partikel-partikel bermuatan positif untuk mengimbangi elektron yang bermuatan negatif. Berdasarkan hal tersebut Thomson merumuskan model atom yang juga disebut model atom roti kismis pada tahun 1907, yang diuraikan sebagai berikut : - Atom tersusun atas muatan-muatan positif yang tersebar merata dalam seluruh volume bola. - Muatan-muatan negatif (elektron) melekat pada permukaan bola positif di titik-titik/posisi tertentu. - Massa keseluruhan atom terdistribusi secara merata dalam seluruh volume bola. - Elektron tidak bergerak mengelilingi inti dan tetapi bergetar pada frekuensi tertentu di posisinya. Thomson membangun model atom tersebut berdasarkan asumsi-asumsi fisika klasik yaitu : 1. Dinamika suatu atom mengikuti hukum mekanika Newton. 2. Radiasi dari suatu atom mengikuti teori gelombang elektromagnet Maxwell. Menurut model atom ini gaya tarik dari muatan-muatan positif terhadap elektron dinetralkan oleh gaya tolak-menolak antar elektron-elektron, sehingga elektron-elektron tetap berada dalam keadaan setimbang. Gaya tolak-menolak antar elektron-elektron menyebabkan elektron-elektron tersebut mengatur posisinya masing-masing dipermukaan bola bermuatan positif, di mana elektron tidak bergerak mengelilingi bola bermuatan positif tersebut tetapi bergetar dengan frekuensi tertentu pada posisinya masing-masing. Walaupun Thomson telah beranggapan bahwa elektron adalah sebuah partikel, namun Thomson tidak dapat menjelaskan secara rinci bagaimana interaksi partikel elektron dengan muatan positif.
167 Pada eksperimen hamburan partikel α (inti He yang bermuatan positif) yang kemudian dilakukan Rutherford, dimana partikel α ditembakkan ke lapisan tipis logam emas, diperoleh data bahwa kebanyakan partikel α diteruskan atau dihamburkan dengan sudut yang kecil dan jarang sekali partikel α dipantulkan balik atau dihamburkan dengan sudut besar, sehingga disimpulkan bahwa massa atom yang bermuatan positif terletak di tengah atom dan atom hampir kosong sama sekali. Muatan positif tidak terdistribusi merata secara merata tetapi terkonsentrasi di tengah-tengah atom. Hal ini bertentangan dengan model atom Thomson yang menyatakan massa keseluruhan atom terdistribusi secara merata dalam seluruh volume bola atom sehingga seharusnya partikel α (pada waktu itu sudah diketahui bermuatan positif) banyak yang dipantulkan, tetapi dari eksperimen justru didapatkan banyak partikel α yang menembus selaput tipis emas dengan sudut hambur kecil, ini menunjukkan bahwa atom banyak terdapat ruang kosong. Menurut model atom Thomson ini, atom Hidrogen hanya mempunyai satu elektron yang bergetar pada suatu frekuensi tertentu sehingga spektrum emisi gas Hidrogen diharapkan akan berupa satu garis frekuensi, padahal kenyataannya dari eksperimen didapatkan bahwa spektrum emisi/pancaran gas Hidrogen memiliki banyak garis-garis terang berfrekuensi berbeda, seperti terlihat pada gambar 3.1 di bawah ini.
Hα
Hβ
Hγ
Hδ
K
L
M
N
Gambar 3.1. Spektrum emisi gas Hidrogen
Kelemahan-kelemahan model atom Thomson diantaranya yaitu : 1.
Tidak dapat menjelaskan mengapa partikel α yang ditembakkan pada lapisan tipis emas (eksperimen Rutherford), banyak yang menembus lapisan tipis emas.
2.
Tidak dapat menjelaskan garis-garis terang spektrum emisi/pancaran gas Hidrogen yang jumlahnya banyak, padahal Hidrogen hanya memiliki satu elektron.
168 3.2. Model Atom Rutherford
Tahun 1908 Rutherford bersama Hans Geiger (mahasiswanya dari Jerman) mempelajari hamburan partikel α (inti atom He) yang ditembakkan pada selaput emas tipis. Dengan mikroskop Rutherford mengamati sinar kecil ketika partikel α menumbuk layar yang dapat berpendar. Rutherford merumuskan model hamburan partikel α oleh selaput tipis logam, berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut : a. Partikel α dan inti atom logam adalah sangat kecil sehingga dianggap sebagai massa titik dan muatan titik. b. Gaya yang bekerja antara partikel α dengan inti atom logam adalah gaya tolak elektrostatik. c. Inti atom logam dianggap sangat berat/besar dibanding partikel α, sehingga dianggap diam di tempat. d. Gaya tolak elektrostatik antara partikel α dan inti atom berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya. Karena itu sebuah partikel α menggambarkan satu cabang dari sebuah hiperbola dengan inti terletak pada fokus luar. Perumusan matematik dari peristiwa hamburan partikel α (partikel α umumnya diperoleh dari zat radioaktif alam) oleh Rutherford adalah sebagai berikut : Parameter tumbukan (b) adalah jarak terdekat di mana partikel α dapat
melewati dekat inti tanpa mendapat gaya tolak inti. Misal momentum awal p1 dan
momentum akhir p 2 , maka perubahan momentum ∆p = p 2 − p1 di mana ∆p
adalah impuls yang diberikan inti pada partikel α.
∆p lintasan partikel α
b
β β
partikel α
ϕ b
garis asymtot
θ inti atom
Gambar 3.2. Hamburan partikel α
169
∆p = ∫ F dt
di mana F adalah gaya yang dikenakan oleh inti pada partikel α, θ adalah sudut antara ∆p – inti – partikel α , dan φ adalah sudut hamburan. Menurut asumsi-asumsi di atas, inti berada dalam keadaan diam, oleh karena itu momentum dan energi kinetiknya tetap. Misal massa partikel α adalah m dan besarnya kecepatan partikel α yaitu v , maka p2 = p1 = mv ,
π−φ
jika ∠DBA = ∠DBC =
2
=β C
D
∆p
β
ϕ
A
P1
P2
β B
Gambar 3.3. Resultan vektor momentum
Menurut dalil sinus ∆p
sin φ
=
mv
=
π−φ sin 2
mv
φ cos 2
…………………………………...…. (3.1)
φ φ φ di mana sin φ = 2sin cos maka ∆p = 2mv sin 2 2 2 Perubahan momentum (∆p) adalah sama arah dengan impuls yang diberikan oleh inti pada partikel α , oleh karena itu besarnya impuls yaitu
di mana ∆p = ∫ Fdt
∫ Fdt = ∫ F cos θ dt ∞
φ maka 2mv sin = ∫ F cos θ dt 2 0 maka θ = −
pada saat t = 0,
2
π−φ
maka θ = 2
t = ∞,
φ 2mv sin = 2
π−φ
π −φ 2
∫ π φ
dt F cos θ dθ …………………...……...…… (3.2) dθ
− 2
−
170 Gaya tolak elektrostatik yang diberikan inti pada partikel α, bekerja di sepanjang garis antara partikel α dengan inti. Oleh karena itu momentum sudut partikel α di sekitar inti harus tetap konstan. Momentum sudut partikel α saat awal adalah m dan
dθ 2 r = mvb = konstan dt
dt r2 = dθ vb
lalu disubstitusikan ke persamaan (3.2) π −φ 2
φ 2mv sin = ∫ F cos θ 2 − π − φ 2
r2 dθ vb
di mana partikel α bermuatan +2e. Jika nomor atom inti Z maka muatan inti +Ze, maka gaya elektrostatik yang dikerjakan inti pada partikel α yaitu : 2Ze2 2kZe2 1 ; di mana k = F= = Nm 2 / C 2 2 2 4π ∈o r 4π ∈o r 1
maka
φ 2kZe 2mv sin = vb 2
2
π −φ 2
π − φ 2kZe2 π − φ cos θ d θ = sin − sin − 2 ∫ vb 2 π −φ
−
2
2 2 φ φ 2kZe π − φ 4kZe 2mv sin = cos 2sin = vb vb 2 2 2
lihat persamaan (3.1)
kZe2 φ maka b = cot …………………………………………………... (3.3) T 2 1 2
di mana T = mv2 dan untuk φ = 1800 → b = 0
σ = πb2 σ = luas penampang lintang interaksi φ b
inti atom
σ Gambar 3.4. Parameter tumbukan terhadap sudut hamburan.
171 Misal selaput tipis suatu unsur logam berat mengandung n atom per satuan volume dan ketebalan ketebalan tipis t. Jika luas selaput tipis, tipis, di mana partikel α menumbuk adalah A, maka jumlah inti atom target yang ditumbuk oleh partikel α yaitu ntA. Dianggap bahwa selaput sangat tipis sehingga penampang lintang inti tetangganya atau sebelahnya tidak overlap (tumpang tindih) dan bahwa defleksi (pembelokkan) sebuah partikel α terhambur secara keseluruhan disebabkan oleh sebuah tumbukan tunggal dengan inti. Fraksi f partikel–partikel α yang dihamburkan pada sudut φ atau lebih terhadap jumlah total partikel α yang menumbuk/datang diberikan oleh : f =
penampang lintang total luas target
f=
ntAσ = ntσ = ntπb 2 A
dφ
φ partikel α
Rdφ Rsin φ
R
dari persamaan (3.3)
selaput tipis logam
ntπk 2 Z2 e4 2 φ f= cot 2 T 2
layar
Gambar 3.5. Hamburan Rutherford.
fraksi partikel α yang dihamburkan antara sudut φ dan φ + dφ yaitu ntπk 2 Z2e4 φ 2φ df = − c o t c o s e c 2 2 dφ ………………………….... (3.4) T2 tanda (–) menunjukkan bahwa selama φ meningkat, f menurun. R = jarak antara selaput tipis dengan layar. Di mana luas cincin di layar yaitu 2πR 2sinφ dφ , maka jumlah partikel α yang dihamburkan antara sudut φ dan φ + dφ yaitu dan menumbuk layar, yaitu : Nφ = Ni
df 2πR 2sin φ dφ
φ 2φ c o t c o s e c 2 dφ Ni nπtk Z e 2 Nφ = 2 2 2 2 4
T
2πR sin φ dφ
di mana Ni adalah jumlah partikel α yang datang/menumbuk selaput tipis N in t k 2 Z2e 4 4φ Nφ = c o s e c 2 ………………………..…………… (3.5) 4R 2T 2 persamaan (3.5) merupakan rumus hamburan Rutherford.
172 Jarak terdekat (D) partikel α dapat mendekati inti suatu atom yaitu pada titik di mana energi kinetik (Ek) partikel α sama dengan energi potensial partikel α yang disebabkan oleh inti atom. 2Ze2 2kZe2 Ek = = 4π ∈0 D D
2kZe2 D= Ek contoh : Dalam eksperimen Geiger-Marsden pada hamburan partikel α dari foil (selaput tipis) emas, digunakan partikel α dengan Ek =8 MeV. Hitung jarak terdekat partikel α mendekati inti atom emas. (nomor atom emas Z = 79) jawab : D=
2
2kZe = Ek
2 ( 9.109 ) ( 79 ) (1, 6.10−19 )
2
(8.106 ) (1, 6.6.10−19 )
D = 2, 844.10−14 m
Penggunaan partikel α yang bermuatan positif dengan cara ditembakkan ke suatu materi, menurut Rutherford merupakan bahan ideal untuk mempelajari struktur atom. Geiger mengamati bahwa sebagian besar hamburan partikel α bersudut kecil (sekitar 10 ) dan sangat sedikit partikel α yang dihamburkan dengan sudut di atas 100. Pengamatan berikutnya Geiger bersama Marsden mengamati ada partikel α yang dipantulkan balik. Dari percobaan tersebut Rutherford berpendapat : - Massa atom terpusat di tengah atom karena massa elektron sangat kecil. - Inti atom padat dan memiliki muatan positif yang sangat besar. - Atom hampir kosong sama sekali, inti atom hanya menempati sepermilyar ruang atom dan terletak di pusat atom. Meskipun model atom Rutherford dapat menerangkan fenomena hamburan, namun belum dapat menjelaskan susunan elektron di sekitar inti, terdiri dari apakah inti atom itu dan apa yang mempertahankannya dari tolakan muatan-muatan positif, serta mengapa elektron yang bermuatan negatif tidak jatuh
173 ke inti yang bermuatan positif oleh gaya tarik elektrostatik. Untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Rutherford kemudian mengajukan
model atom
planet, di mana elektron mengelilingi inti
yang kecil dan gaya sentrifugal elektron yang mengelilingi inti akan mengimbangi gaya tarik elektrostatik, sehingga elektron tetap pada orbitnya. Model planet Rutherford ini ternyata masih memunculkan persoalan lain yaitu :
- elektron yang bergerak mengelilingi inti akan mengalami percepatan sentripetal dan karena elektron partikel bermuatan, maka percepatan elektron akan memancarkan radiasi kontinyu gelombang elektromagnetik. - Elektron akan kehilangan energinya terus-menerus dan akhirnya secara spiral elektron akan jatuh ke inti. Persoalan-persoalan tersebut di atas menunjukkan elektron mempunyai jumlah orbit lintasan yang tak terbatas karena bergerak spiral menuju inti atom, padahal menurut eksperimen lintasan elektron stabil dan tidak jatuh ke inti, sehingga model planet Rutherford masih mengandung kelemahan yaitu tidak dapat menjelaskan - masalah stabilitas atom secara keseluruhan - masalah distribusi elektron-elektron di luar inti atom. Atom dengan dua elektron menurut model atom planet Rutherford adalah sebagai berikut : Gaya sentrifugal akibat gerak elektron mengelilingi inti atom dapat mengimbangi gaya tarik elektrostatik antara elektron dengan inti. gaya sentrifugal
mv2 : F= r
gaya elektrostatik
: F=
2
maka
( 2e ) e mv = r 4πε0 r 2
( 2e ) e 4πε 0 r 2
2e –
+
–
mv2 ( Ze ) e = r 4πε0 r 2 Karena mengalami percepatan sentrifugal, maka elektron akan meradiasikan gelombang elektromagnetik, sehingga elektron akan kehabisan energi dan akan segera jatuh ke inti atom.
174 Contoh Soal :
1. Sebuah elektron dengan kecepatan v = 4.105 m/s mendekati inti dari jarak jauh, di mana parameter tumbukan inti b = 0, 5.10−10 m . Hitung momentum sudut elektron di sekitar inti. Jawab : m = 9,1.10−31 kg ; v = 4.105 m/s ; r = 0, 5.10−10 m di mana r = b
momentum sudut L = mvr L = ( 9,1.10−31 ) ( 4.105 ) ( 0, 5.10 −10 ) = 1, 82.10 −35 kg m 2/s 2. Sebuah partikel α mempunyai energi kinetik 2.10 –13 J dihamburkan oleh sebuah atom Aluminium melalui sudut 90°. Hitung jarak terdekat ke inti (b) dari arah mula-mula. Jawab : kZe2 φ b= cot di mana k = 9.109 N m2 / C2 ; e = 1, 6.10−19 C T 2
T = 2.10−13 J ;
Z = 13 ;
9.109 ) (13) (1, 6.10−19 ) ( b= ( 2.10−13 )
2
φ 1 cot = 0 =1 2 tan 45
(1)
b = 1, 4976.10−14 m
3. Sebuah partikel α mempunyai energi kinetik 4 MeV dihamburkan oleh foil (selaput tipis) emas (Z = 79). Hitung volume maksimum di mana muatan positif atom dikonsentrasikan. Jawab : T = 4 MeV = ( 4.106 ) (1, 6.10−19 ) = 6, 4.10−13 J 2
( Ze ) ( 2e ) 2kZe V= = = 4π ∈0 r r
T=V 6, 4.10
( 2 ) ( 9.109 ) ( 79 ) (1, 6.10 −19 )
r
2
3, 64032.10 −26 J = r
di mana T = energi kinetik, V = energi potensial −13
3,64032.10−26 J= J r
175 r = 5, 688.10−14 m 3 4 4 22 V = πr3 = ( 5, 688.10−14 ) = 7, 7.10−40 m3
3
3 7
4. Hitung parameter tumbukan dari sebuah partikel α berenergi 5 MeV yang dihamburkan dengan sudut 10° oleh inti emas (Z = 79). Jawab : −19 9 kZe φ ( 9.10 ) ( 79 ) (1, 6.10 ) b= cot = T 2 ( 5.106 ) (1, 6.6.10−19 )
2
b=
( 9 ) ( 79 ) (1, 6.10−16 ) ( 5 ) tan ( 50 )
2
1 100 tan 2
227, 52.10−16 227, 52 52.10−16 = = 0,0875 tan ( 50 )
b = 2, 6.10−13 m
5. Pada eksperimen hamburan partikel α Geiger-Marsden ke foil (selaput tipis) emas, digunakan partikel α dengan Ek = 10 MeV. Hitung jarak terdekat partikel
α dapat mendekati inti atom emas. (nomor atom emas Z = 79). Jawab : D=
2
2kZe = Ek
2 ( 9.109 ) ( 79 ) (1, 6.10−19 )
2
(10.106 )()(1, 6.6.10−19 )
D = 2, 2464.10−14 m
6. Pada eksperimen hamburan partikel α Geiger-Marsden ke foil (selaput tipis) emas, diketahui jarak terdekat partikel α dengan inti emas yaitu 0,01 pm. Hitung energi partikel α yang diperlukan untuk dapat mendekati inti atom emas. (nomor atom emas Z = 79). Jawab : Ek =
2
2kZe = D
2 ( 9.109 ) ( 79 ) (1, 6.10−19 )
(1.10−14 )
E k = 3, 64.10−12 J = 22, 75 MeV
2
176 3.3. Model Atom Bohr
Selama 150 tahun, percobaan emisi cahaya dari berbagai gas, telah dilakukan dilakukan di laboratorium-laboratorium fisika di Eropa. Beberapa fisikawan percaya percobaan ini akan menyingkap rahasia struktur atom. Pada tahun 1752 Thomas Melvill (Fisikawan Scotlandia) meneliti emisi cahaya dari berbagai pijaran gas. Melvill menemukan bahwa spektrum cahaya dari gas panas yang terlihat melalui prisma berbeda sekali dengan spektrum cahaya padatan panas (berpijar). Pijaran gas memberikan spektrum cahaya dengan garis-garis terang yang berbeda-beda, masing-masing memiliki warna dalam bagian spektrum dan setiap gas memiliki pola spektrum yang khas. Sedangkan padatan yang berpijar menghasilkan spektrum mirip pelangi (kontinyu). Pola spektrum setiap gas memiliki ukuran yang sangat pasti. Tidak ada dua unsur yang memiliki pola garis yang sama. Jadi spektrum dapat dipakai untuk mengenali gas yang tidak diketahui, seperti penemuan gas Helium dari spektrum matahari. Gas panas (berpijar) menampakkan pola spektrum garis-garis terang yang disebut spektrum emisi. Sedangkan radiasi dari padatan berpijar yang dilewatkan pada gas dingin akan menampakkan spektrum garis-garis gelap pada layar yang disebut spektrum absorpsi dan polanya tepat bersesuaian dengan spektrum garis terang ketika gas tersebut memijar. Jadi frekuensi serapan gas dingin (tak tereksitasi) tepat sama dengan frekuensi pancaran pijaran gas tersebut, artinya gas dapat menerima dan melepas energi. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa spektrum garis pasti mengandung informasi penting mengenai struktur atom. Unsur paling sederhana yang dapat digunakan untuk menyelidiki keterkaitan antara spektrum garis dengan teori struktur atom yaitu unsur Hidrogen. Pada tahun 1862 A.J.Angstrom (astronom Swedia) mengukur frekuensi 4 garis terang dalam spektrum emisi gas Hidrogen melalui metode difraksi kisi dengan alat spektrometer. Eksperimen dilakukan dengan cara mengukur sudut garis terang dan dari data lebar celah kisi maka frekuensi tiap-tiap garis terang spektrum dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini.
nλ = d sin θ dengan λ f = c di mana n adalah orde difraksi dan d adalah lebar celah kisi
177 Tabel 3.1 Frekuensi 4 garis terang hasil eksperimen Angstrom dan perhitungan Balmer. frekuensi (106 MHz) hasil eksperimen Angstrom 457,170
frekuensi (106 MHz) hasil perhitungan Balmer 457,171
2 Biru-kehijauan
617,190
617,181
3 Ungu-kebiruan
691,228
691,242
4
731,493
731,473
no
warna garis
1 Merah
Ungu
Pada tahun 1885 Johann Jacob Balmer (guru matematika sekolah menengah di Swiss) menerbitkan hasil perhitungannya, setelah berbulan-bulan melakukan manipulasi numerik terhadap harga-harga frekuensi garis terang spektrum emisi gas Hidrogen dari data hasil eksperimen.
Balmer menemukan
rumus yang dapat menghitung dengan hampir pasti harga frekuensi 4 garis terang t erang
pada spektrum emisi gas Hidrogen dan juga untuk garis-garis lainnya, yaitu : 1 1 f = R a 2 − 2 nf ni
R 29163.1015 hertz dan R = a di mana R a = 3, 29 c
di mana R adalah tetapan Rydberg Persamaan Balmer memprakirakan harga frekuensi 4 garis terang spektrum emisi Hidrogen dengan memilih nf = 2 dan n i = 3, 4, 5, … . Hasil perhitungan Balmer dan hasil eksperimen Angstorm ternyata mendekati kesamaan, ini merupakan bukti kebenaran rumus Balmer. Dari rumus Balmer dapat nenunjukkan bahwa berbagai diagram energi pancaran/serapan cahaya harus berkaitan dengan penurunan/kenaikan energi atom. Oleh karena itu, teori struktur atom yang berhasil harus mempertimbangkan rumus Balmer. Perkembangan berikutnya, tahun 1897 J.J.Thomson menemukan elektron, kemudian tahun 1907 merumuskan model atom roti kismis. Rutherford bersama mahasiswanya yaitu Hans Geiger pada tahun 1908 menyelidiki hamburan partikel α untuk meneliti struktur atom dan kemudian Rutherford merumuskan model atom planet. Pada tahun 1912 J.W.Nicholson membatasi harga momentum sudut elektron atom Hidrogen hanya dalam kelipatan bulat dari ћ yaitu L = mvr = nћ. Berdasarkan rumus spektrum Balmer, rumus kuantum Planck–Einstein, model atom planet Rutherford, dan batasan harga momentum sudut elektron dari
178 Nicholson, pada tahun 1913 Niels Bohr memperkenalkan 2 postulat untuk model struktur atom Hidrogen, yaitu : 1. Elektron dapat berada di suatu orbit stasioner tanpa memancarkan radiasi dan mempunyai harga momentum sudut orbital L = mvr = nћ. 2. Elektron dapat memancarkan dan menyerap energi, jika melompat dari suatu keadaan stasioner ke keadaan stasioner lainnya. Peristiwa transisi elektron dari suatu orbit stasioner ke orbit stasioner lainnya akan dapat menghasilkan proses serapan atau pancaran radiasi dengan energi hf = Ei – E f . Di mana Ei dan Ef adalah energi atom awal dan akhir dalam keadaan stasioner. n=3
n=2 n=1 hf hf
Gambar 3.6 Transisi elektron dari suatu orbit ke orbit lain
Kelemahan model atom Bohr antara lain : 1. Tidak dapat menjelaskan struktur halus pada garis-garis spektrum yang memerlukan bilangan kuantum tambahan, karena model atom Bohr hanya memperkenalkan satu bilangan kuantum yaitu n. 2. Tidak dapat menjelaskan secara kualitatif ikatan-ikatan kimia, karena memberikan hasil negatif pada perhitungan kekuatan ikatan. 3. Tidak dapat digunakan untuk atom yang mempunyai banyak elektron, tetapi hanya berlaku untuk satu elektron. 4. Tidak dapat digunakan untuk perhitungan transisi dari satu level ke level lain pada struktur halus. Dari batasan harga momentum sudut orbital dan keadaan orbit stasioner elektron jika tidak ada transisi dari orbit stasioner ke orbit stasioner lain, dari postulat tersebut, Bohr dapat menurunkan rumus-rumus diskrit yang bergantung bilangan kuantum n
179 a) Jejari orbit elektron (rn) gaya sentripetal = gaya elektrostatik 1 mv 2 kZe2 = 9.109 Nm 2 /C2 = 2 di mana k = 4π ∈0 r r
mv r = kZe ;
mkZe 2 r= 2 2 m v
mvr = nℏ ;
m 2 v 2 r 2 = n 2 ℏ2
2
2
n 2ℏ2 maka rn = mkZe2 Untuk orbit stasioner elektron pertama pada atom Hidrogen, maka n = 1, Z = 1
r1 =
h
2
( 7 ) ( 6,626.10−34 )
2
2
4π mke2
=
2
−31
4 ( 22 ) ( 9,11.10 2
r1 =
−19 2
9
)( 9.10 )(1,6.10 )
2
( 7 ) ( 6,626 ) (10−34 ) 2
2
2
2
4 ( 22 ) ( 9,11)( 9 )(1,6 ) (10−31 )(109 )(10−19 )
2
( 2151,289924) (10−8 ) = ( 406355,5584 )
r1 = 0,529411.10 −10 m Secara umum dapat dituliskan
2
o
rn = 0, 53 n A
b) Kecepatan revolusi elektron (vn)
nℏ nℏ mkZe2 = ; v= mr m n 2 ℏ2
mvr = nℏ kZe2 vn = nℏ
Untuk orbit stasioner elektron pertama pada atom Hidrogen, maka n = 1, Z = 1
v1 = 2πke h
2
=
2 ( 22 ) ( 9.109 )(1,6.10−19 ) ( 7 ) ( 6,626.10
−34
2
)
(1013,76 ) (105 ) = ( 2,185676 ) (106 ) v1 = ( 46,382 )
v1 = 2,185676.106 m/s
2
=
( 44)( 9)(1,6) (109 ) ( 10−19 ) ( 7 )( 6,626) (10−34 )
2
180 Kecepatan elektron pada orbit stasioner pertama (n = 1) pada atom Hidrogen, bandingkan dengan kecepatan cahaya c = 299, 79.106 m/s 2,2.10 6 m/s vn = n
Secara umum dapat dituliskan
c) Frekuensi orbit (f n) ω v 1 kZe 2 mkZe 2 f = = = 2π 2πr 2π nℏ n 2ℏ 2
mk 2 Z2e4 f n = 2π n 3ℏ3 Untuk orbit stasioner elektron pertama pada atom Hidrogen, maka n = 1, Z = 1 2
f 1 = 4π mk3 e
=
h
f 1 =
2
2
2 4
4 ( 22 ) ( 9,11.10−31 )( 9.109 ) (1,6.10−19 )
4
3
2
( 7 ) ( 6,626.10−31 )
4 ( 484 )( 9,11)(81)( 6,5536 ) (10−31 )(1018 )(10−76 ) −93
( 49 )( 290,907082376) (10
)
= ( 6,568078) (106 )
f 1 = 6.568.078 putaran per detik 6,568.106 f n = Hertz (putaran per detik) n3
Secara umum dapat dituliskan d) Energi elektron (En) Energi kinetik elektron (Ek) 2
1 2 1 kZe2 mk 2 Z2 e4 E k = mv = m = 2 2 nℏ 2 n 2ℏ2 Energi potensial elektron (Ep) kQ kZe = di mana V = potensial pada suatu titik jarak r dari inti. r r 2 kZe 2 mk 2 Z 2e 4 2 mkZe E p = V(−e) = − = − kZe 2 2 = − r n 2ℏ2 n ℏ V=
Energi orbital elektron (En) yaitu E n = E p + E k mk 2Z2 e4 mk 2 Z2 e4 En = − 2 2 + n ℏ 2n 2 ℏ 2
mk 2 Z2e4 maka E n = − 2n 2 ℏ2
181 Dari perumusan energi orbital elektron dapat dijelaskan keadaan atom Hidrogen 1. Jika elektron berada pada orbit n = 1, maka atom Hidrogen dikatakan dalam keadaan normal. Elektron dalam keadaan energi terendah (n = 1 atau kulit K) yang disebut ground state (keadaan dasar). 2. Jika elektron berada pada orbit selain n = 1 dan masih berada dalam orbit, maka atom Hidrogen dikatakan dalam keadaan tereksitasi. 3. Jika elektron secara penuh keluar dari orbit (tidak berada dalam orbit), maka atom Hidrogen dikatakan dalam keadaan terionisasi. Pada keadaan ground state, elektron stabil dan mengelilingi inti tanpa menyerap atau memancarkan energi. Pada postulat ke dua Bohr, peristiwa transisi elektron dinyatakan dengan rumus hf = Ei − E f mk 2 Z2e4 mk 2 Z2 e4 hf = − −− 2n i2 ℏ2 2n f 2ℏ 2 mk 2 Z2 e4 1 1 = − λ 2ℏ 2 n f2 ni2
hc 1
λ
1
1
= RZ 2 2 − 2 n n
f
i
1
1
2 − 2 n f ni
di mana h = 2πℏ
di mana R adalah tetapan Rydberg
mk 2e 4 di mana R = atau 4πℏ3c
υ = RZ 2
;
me4 R = 2 3 dan 8 ∈0 h c
R = 1, 097374.107 m −1
di mana υ adalah bilangan gelombang dan υ =
1
λ
Bohr berhasil menurunkan rumus Balmer secara tepat melalui perumusan teori. Perkembangan berikutnya selain garis-garis Balmer pada spektrum Hidrogen juga ditemukan garis-garis spektrum lainnya, yaitu garis-garis Lyman, Paschen, Brackett, dan Pfund. Di bawah ini adalah deret garis-garis spektrum untuk atom Hidrogen. Deret Lyman (terletak di daerah ultraviolet) 1
λ
1
1
= R 2 − 2 1 n
i
; di mana n f = 1 ; ni = 2,3,4,...∞
182 Deret Balmer (terletak di daerah cahaya tampak) 1 1 = R 2 − 2 2 n λ i
1
; di mana n f = 2 ; ni = 3,4,5...∞
Deret Paschen (terletak di daerah infra merah) 1
λ
1
1
; di mana n f = 3 ; ni = 4,5,6...∞
=R 2 − 2 3 n
i
Deret Brackett (terletak di daerah infra merah) 1
λ
1
1
= R 2 − 2 4 n
i
; di mana n f = 4 ; ni = 5,6,7...∞
Deret Pfund (terletak di daerah infra merah jauh) 1
λ
1
1
; di mana n f = 5 ; ni = 6,7,8...∞
=R 2 − 2 5 n
i
Lompatan kuantum yang memberikan/menimbulkan deret spektrum berbeda yang terjadi pada atom Hidorgen didasarkan pada perubahan energi elektron pada orbit tertentu yaitu hcRZ2 di mana n = 1, 2, 3, ... En = − 2 n untuk n = 1 maka E1 = − 13,6 eV sehingga energi elektron pada orbit ke n adalah En = − maka
13,6 eV n2
E 2 = − 3,4 eV
;
E3 = − 1,5 eV dan
E∞ = 0 eV
radius elektron dari inti pada orbit ke n yaitu
n 2ℏ2 2 rn = 2 = n r1 mkZe untuk n = 1 maka r1 = 0,53.10−10 m di mana k = 9.109 Nm2 /C2 ; m = 9,1.10−31 kg dan sehingga radius elektron pada orbit ke n adalah 0
rn = 0,53A n 2 n merupakan bilangan kuantum utama.
ℏ = 1,05459.10−34 J.s
183 Beberapa istilah yang berkenaan dengan energi elektron pada suatu orbit yaitu : Potensial
resonansi
adalah potensial minimum yang diperlukan untuk
menyediakan energi bagi elektron untuk melompat dari ground state (keadaan dasar) ke keadaan tereksitasi pertama, misal dari n = 1 ke n = 2. Misal : energi elektron dalam keadaan dasar atom Hidrogen yaitu –13,6 eV dan energi elektron dalam keadaan tereksitasi pertama yaitu –3,4 eV, oleh karena itu energi untuk menggerakkan elektron dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi pertama adalah –3,4 – (–13,6) = 10,2 eV, jadi potensial resonansi untuk atom Hidrogen adalah 10,2 eV. Potensial Eksitasi adalah
potensial yang dikehendaki untuk menyediakan energi
dan menaikkan elektron dari keadaan dasar ke keadaan n > 1 yaitu n=2,3,4,. Potensial ionisasi
adalah potensial minimum yang diperlukan menyediakan
energi untuk membawa elektron dari keadaan dasar ke luar atom. 1. Jika energi yang diberikan ke atom hanya cukup/sama dengan energi yang diperlukan untuk menggerakkan elektron dari keadaan dasar ke keadaan eksitasi pertama, elektron akan bergerak di orbit tereksitasi pertama. 2. Jika energi yang diberikan ke atom sama atau lebih dari energi yang diperlukan untuk menggerakkan elektron dari keadaan dasar ke luar atom, elektron dalam atom akan menyerap energi dan lepas dari atom. Efek Screening
Energi untuk atom satu elektron dalam berbagai orbit seperti Hidrogen atau He (ion) diberikan oleh E n +
13,6 Z2 ) eV ( =−
n2 Untuk atom-atom banyak elektron, muatan inti Ze secara keseluruhan ditutupi/diselimuti oleh muatan negatif elektron-elektron bagian dalam, oleh karena itu elektron bagian luar berinteraksi dengan sekumpulan/total muatan elektronik, sehingga rumus di atas perlu diganti dengan En
2 13,6 Zeff ( ) eV =− 2
di mana Zeff = Z – 1
n Untuk kulit K dari atom-atom besar, Zeff adalah Z – 1 untuk keadaan energi lebih tinggi dan Zeff menururn secara perlahan-lahan dari Z – 1 ke 1.
184 Koreksi Massa Berhingga Inti
Dalam teori Bohr dianggap bahwa elektron mengelilingi sebuah inti yang diam di tempat (di pusat orbit lingkaran elektron). Anggapan Bohr ini akan benar jika massa inti tak berhingga besarnya jika dibanding massa elektron. Kenyataannya massa inti berhingga besarnya, misal massa inti atom Hidrogen hanya sekitar 2000 kali massa elektron, jadi inti tidak akan diam di tempat tetapi inti juga akan bergerak mengelilingi pusat massa. Elektron (e) dan inti Hidrogen (H) mengelilingi pusat massa (P) dalam posisi e, P, dan H berada dalam garis lurus. Misal : massa inti Hidrogen = m H ; massa elektron = m e jarak inti Hidrogen ke pusat massa P = rH jarak elektron ke pusat massa P = re maka rH m H = re me dan
r = rH + re Atom Hidrogen
H
P
rH
e
re
Gambar 3.7 Gerak revolusi inti terhadap pusat massa
rH =
m rm re m e dan rH + re = e e + re = re e + 1 mH mH mH
me
rH rH + re
rH =
=
mH
me + 1 m H
me r ( m e + mH )
mH
=
me re me mH dan = = rH + re m H ( me + m H ) ( me + m H ) + 1 m e dan
re =
mH r ( me + mH )
185 Momentum sudut total atom yaitu mH ωrH2 + me ω re2 = nℏ 2
2
me r mH r mH ω + meω = nℏ + + m m m m e e H H m H m2e + m em 2H
ωr 2 ( me + m H )
2 = nℏ
( me + m H ) ωr 2 [ me m H ] 2 = nℏ m m ( e + H) me mH 2 ωr = nℏ atau m m + H e
µ eωr 2 = nℏ
me mH adalah massa reduksi elektron m m + H e
di mana µ e =
me m H 4 e m + m µ ee4 me e 4 e H = RH = 2 3 = 2 3 m + mH 8 ∈0 h c 8 ∈0 h c 8 ∈02 h 3c e mH
di mana tetapan Rydberg R untuk massa inti tak berhingga menjadi R = R∞
m e e4 R∞ = 2 3 8 ∈0 h c
Bohr : R∞ =1,097374.107m–1
Tetapan Rydberg untuk atom Hidrogen menjadi RH =
R∞ me 1 + mH
dan
R H = 1, 096778.107 m −1
Sehingga tetapan Rydberg untuk atom Helium yaitu R He =
R∞ me 1 + m He
dan
R He = 1,097225.107 m−1
Jadi konstanta Rydberg bergantung pada massa inti suatu atom dan perumusan frekuensi garis-garis spektrum suatu atom menjadi 1
λ
1
1
= R ∞ Z2 2 − 2 n n
f
i
186 1
λ
1 1 − 2 2 + m m n n I f e i
mI
= R ∞ Z2
di mana mI = massa inti suatu atom
Rumus koreksi massa berhingga di atas telah dikonfirmasikan dengan beberapa eksperimen yaitu : 1. Spektrum Helium terionisasi tunggal (diselidiki oleh Fowler & Pickering)
1
λ
R ∞ mI 1 2 m m + e I nf
= Z2
1 2 R ∞ − 2 =2 n i 1 + me 4m H
1 1 2 − 2 n f n i
1 R∞ = 4 λ 1 + me 4m H
1 1 1 1 2 − 2 ≈ 4R H 2 − 2 n n f n i f ni
1
1
λ
1
1
1
= 4R H 2 − 2 = R H 2 − 2 4 6 2 3
dari rumus di atas maka garis spektrum Helium transisi dari orbit 6 ke orbit 4 berhimpit dengan deret Balmer spektrum Hidrogen transisi dari orbit 3 ke 2 (warna merah). R He =
R∞ R ∞ m He dan = me ( m He + m e ) 1 + m He
RH =
R ∞mH ( m H + me )
R He m He ( m H + m e ) 4m H ( m H + m e ) = = R H m H ( m He + m e ) m H ( 4m H + m e ) R He ( 4mH + 4me ) = R H ( 4m H + me )
maka R He > R H
sehingga garis pada spektrum Helium akan agak mempunyai frekuensi yang lebih besar dan panjang gelombang lebih pendek dari spektrum Hidrogen. 2. Penentuan rasio massa elektron dan proton R He 4 ( mH + m e ) = R H ( 4m H + me ) R He − R H 4m H + 4me − 4m H − me 3me = = 1 + − − 4m m m m 3m H H H e e R H − R He 4
187 me R He − R H 1,097225.10 7 − 1,096778.10 7 1 = = = 1 mH R − 1 R 1,096778.10 7 − (1,097225.10 7 ) 1840 H He 4 4 3. Penemuan Deuterium atau Hidrogen berat ( Urey, Murphy & Brikwedde 1931) Deuterium (Z = 1) merupakan isotop Hidrogen (Z = 1) dan mempunyai massa dua kali Hidrogen. Di alam ini terdapat Hidrogen 99,985% dan Deuterium 0,015%. Selisih panjang gelombang ( ∆λ) antara Hidrogen dan Deuterium yaitu R 1 ∞ = Z2 λ 1 + me m I
1 1 2 − 2 n f n i
me 1 + m H λH = dan 1 1 R ∞ 2 − 2 n f ni
me 1 + m D λD = 1 1 R ∞ 2 − 2 n f ni
me me me − 1 − 12 ) ( mH mD mH ∆λ = λ H − λ D = = 1 1 1 1 R ∞ 2 − 2 R ∞ 2 − 2 nf ni n f ni me me m λ 2m H H H 2mH λ H me ∆λ = = = 2 ( mH + me ) me ( m H + me ) + 1 m H
λH
karena me < m H maka ∆λ =
λ H me 2m H
=
λH 3682
Misal garis Hβ deret Balmer (nf = 2, ni = 4) mempunyai λH = 4681Å, sehingga 0
0 4681A = 1,2714A yaitu selisih panjang gelombang garis Hβ didapat ∆λ = 3682
Hidrogen dengan Deuterium. Perhitungan selisih panjang gelombang antara Hidrogen dan Deuterium berturut-turut untuk Hα, Hβ, Hγ, Hδ yaitu 1,793Å ; 1,326Å ; 1,185Å dan 1,119Å.
188 Contoh-contoh soal : 1. Panjang gelombang Balmer garis H α yaitu 6563 Å. Hitunglah panjang gelombang garis Hβ ? Jawab : Garis Hα : Garis Hβ :
1
λ1 1
λ2
1
1
1
1
5
= R 2 − 2 = R 36 2 3
3
= R 2 − 2 = R 16 2 4
λ 2 ( 5 )(16 ) 20 = = λ1 ( 3)( 36 ) 27 0 0 20 λ 2 = 6563A = 4861A 27
2. Hitung energi yang dikehendaki untuk mengeksitasi atom Hidrogen dari keadaan dasar (n = 1) ke keadaan eksitasi pertama (n = 2). Jawab : hcZ2 R hcZ 2R 1 1 E 2 − E1 = − 2 − − 2 = hcZ2R 2 − 2 2 1 1 2
E 2 − E1 = ( 6,626.10−34 )( 3.108 ) (1,097374.107 ) ( 0,75) 3. Panjang gelombang Sodium garis D1 yaitu 590 nm. Hitung selisih tingkattingkat energi yang meliputi dalam emisi atau absorpsi garis ini. Jawab : E 2 − E1 = hf =
( 6,626.10−34 )( 3.108 ) = = 3,37.10−19 joule 9 − λ ( 590.10 )
hc
4. Berkas elektron digunakan untuk menembak gas Hidrogen. Berapa energi minimum dalam elektron-volt yang harus dimiliki elektron-elektron agar terjadi transisi keadaan n = 2 ke keadaan n = 3. Jawab :
( 6,626.10 1 1 E3 − E 2 = hcZ2 R 2 − 2 = 2 3 E3 − E 2 = 1,88 eV
−34
)( 3.108 ) (1,097374.107 ) ( 5) (1,6.10−19 ) ( 36)
189 5. Potensial ionisasi atom Hidrogen yaitu 13,6 eV. Hitung panjang gelombang yang dipancarkan dalam sebuah transisi yang dimulai dari keadaan tereksitasi pertama atom Hidrogen. Jawab : E1 = −13,6 eV ;
E2 = −
13,6 eV = − 3,4 eV 22
E 2 − E1 = (13,6 − 3, 4) eV = 10, 2 eV hc
∆E =
λ
= 10, 2 eV = (10, 2 ) (1,6.10−19 ) joule
0 ( 6,626.10−34 )( 3.108 ) λ = = 1217A (10,2 ) (1,6.10−19 )
6. Hitunglah jejari dan laju elektron pada orbit Bohr pertama atom Hidrogen dan tunjukkan bahwa laju meningkat sebanding dengan bilangan atom Z. Jawab : 2 2
rH =
r= v=
∈0 h n
2
(8,85.10−12 )( 6,626.10−34 ) (12 )
0
2 = 2 = 0,53A 31 19 − − πmZe ( 3,142857 ) ( 9,11.10 ) (1) (1,6.10 )
rH Z
(jejari berbanding terbalik dengan bilangan atom)
( 9.109 ) (1) (1,6.10−19 ) vH = (1) (1,0546.10−34 )
2
kZe nℏ
v = ZvH
2
= 2, 2.106 m/s
(laju berbanding lurus dengan bilangan atom)
7. Hitung selisih panjang gelombang spektrum Hidrogen dan Deuterium yang berhubungan ke garis pertama pada deret Balmer. Jawab :
R H = 1,096778.107 m−1 RH =
R m 1+ mH
m m = 2,7174.10−4 = 2mH mD
;
m = me = 5, 4348.10−4 mH
;
RD =
R m 1+ mD
190 m RD mH 1 + 5, 4348.10−4 1, 00054348 = = = = 1,000272 R H 1 + m 1 + 2,7174.10 −4 1,00027174 mD 1+
R D = (1, 000272 ) (1, 096778.10 7 ) = 1,097076.10 7 m −1 deret Balmer untuk kelompok pertama (n f = 2 dan ni = 3) 1
λH
1
λH = 1
λD
1
5
= R H 2 − 2 = RH 36 2 3
36 = 6,564683.10 −7 m −1 5R H 1
1
5
= R D 2 − 2 = R 36 D 2 3
λD =
36 36 = = 6,5629.10 −7 m −1 7 5R D 5 (1,097076.10 ) −7
∆λ = λ H − λ D = ( 6,564683.10
−7
− 6,5629.10
−7
) m = 0,001783.10
0
= 1,783A
8. Dalam atom Hidrogen, elektron diganti oleh muon bermassa 200 kali massa elektron dan muatannya sama seperti elektron, hitung potensial ionisasi pada teori Bohr. Jawab : Potensial ionisasi (Φ) me4 Φ= 8 ∈02 h 2 200me 4 muon Φ1 = 2 2 8 ∈0 h Φ1 = 200 Φ
; Φ1 = 200 (13,6 eV)
Φ1 = 2,72.103 eV
191
3.4. Teori Kuantisasi Momentum Sudut Wilson-Sommerfeld
Hukum Kuantisasi Wilson-Sommerfeld yaitu : “Orbit-orbit atau keadaan-keadaan stasioner yang diizinkan adalah yang mempunyai nilai integral fase sama dengan kelipatan bulat konstanta Planck”
∫ pidqi = n i h
; n = 1, 2, 3, . . .
Penyelidikan lebih lanjut spektrum Hidrogen dengan spektrometer resolusi tinggi menunjukkan bahwa garis-garis tunggal pada spektrum Hidrogen ternyata masih dapat diuraikan menjadi garis-garis tipis yang sangat berdekatan, misal garis H α pada deret Balmer ternyata mengandung 5 garis-garis tipis spektrum yang sangat berdekatan (ini biasanya disebut fine structure atau struktur halus). Untuk menjelaskan struktur halus tersebut, Wilson-Sommerfeld menerapkan kondisi kuantum umum untuk orbit elliptik, yaitu : y
∫ pdq = nh
elektron
q = koordinat posisi elektron
r
v
p = momentum elektron
b
θ
inti
n = bilangan kuantum utama
θ = sudut azimuth r = jarak radial antara inti – elektron
x
a
Gambar 3.8 Lintasan ellips elektron
Gerak elektron pada model atom Bohr merupakan satu dimensi, sehingga hanya perlu satu bilangan kuantum (n) untuk menentukan keadaan atom, sedangkan orbit elliptik merupakan dua dimensi, sehingga gerak elektron memerlukan dua bilangan kuantum untuk menentukan suatu keadaan atom. Menurut teori Wilson-Sommerfeld, masing–masing dua derajat kebebasan gerak elektron dalam orbit elliptik secara individual dapat terkuantisasi. 2π
∫ pθ dθ = kh
; k adalah bilangan kuantum azimuth
0 2π
∫ pr dr = n r h
; nr adalah bilangan kuantum radial
0
n = k + nr , karena k dan n r bilangan bulat. dθ dt
pθ = mr 2
; pθ = momentum sudut, m = massa elektron
192 dr ; pr = momentum radial dt Gaya yang dialami oleh elektron disebabkan tarikan elektrostatik antara inti p r = m
muatan positif dan elektron muatan negatif. Gaya ini bekerja sepanjang radius vektor pada setiap saat, konsekuensinya tidak terdapat gaya (akibat percepatan) pada sudut 900 terhadap radius vektor, oleh karena itu komponen transversal (tegak lurus) percepatan selalu nol. d dθ = 0 atau dt dt yang artinya
r2
1 d 2 dθ =0 r r 2 dt dt
dθ = konstan dt
dθ oleh karena itu pθ = mr 2 = p yang juga konstan dt
2π
2π
∫ pθ dθ = ∫ pdθ = 2πp = kh 0
kh p = = kℏ 2π dan
y
0
p = mvr
}
mvr = kℏ
A
D
C
ℓ
r
0
θ B
F
dari gambar di samping (inti di F, elektron di A)
Gambar 3.9 Lintasan elektron
FA =∈ ( AC ) r =∈ ( AC ) =∈ ( OB) =∈ ( OF + FB) r =∈ + r cos θ = ℓ+ ∈ rcos θ ℓ
∈
ℓ
= (1− ∈ cos θ )
r r didifferensialkan terhadap θ
dr −ℓ ∈ sin θ = dθ (1− ∈ cos θ )2 di mana
ℓ
r
= (1− ∈ cos θ ) sehingga
−1
r = ℓ (1− ∈ cos θ )
1 dr ℓ − ∈ sin θ = r dθ r (1− ∈ cos θ )2
− ∈ sin θ 1 dr = r dθ (1− ∈ cos θ )
dr dr dθ dθ p r = m = m di mana pθ = mr 2 = p dt dθ dt dt
x
193 p dr p r = 2 r dθ
dr dθ dθ
dr =
dan 2
2
2
∈ sin θ p dr 1 dr θ = θ = p r dr = 2 d p d p dθ θ r dθ rd (1− ∈ cos θ ) 2π
2
2π
∈ sin θ p dr = p ∫ r ∫ (1− ∈ cos θ ) dθ = n r h 0 0
1 2π 2π ∫0
di mana
p = kℏ
2 ∈ sin θ nr dθ = (1− ∈ cos θ ) k 2
2π
∈ sin θ misal I = ∫ dθ 1 − ∈ cos θ ) 0 (
misal : U =∈ sin θ
dU =∈ cos θ dθ
I = ∫ UdV = UV − ∫ VdU 2π
2π − ∈ sin θ ∈ cos θ dθ I= +∫ 0 (1− ∈ cos θ ) (1− ∈ cos θ ) 0 2π
2π
∈ cos θ dθ I= ∫ = ∫ − ∈ 1 cos θ ) 0 0 (
I=
2π
(1− ∈2 )
1
2
dV =
1 1− ∈ cos θ − 1 dθ
V=
− 2π
1 2π nr − π 2 Maka 1 = k 2π 1− ∈2 2 ( )
1 1
(1− ∈2 ) 2
n −1 = r k
k2 (1− ∈ ) = 2 (nr + k ) 2
Sehingga
1 1
(1− ∈2 ) 2
n +k = r
di mana n = k + n r
k2 (1− ∈ ) = n 2 di mana untuk ellips
b2 k 2 maka 2 = 2 a n
2
k
b2 (1− ∈ ) = a 2 2
∈ sin θ
(1− ∈ cos θ ) −1 1− ∈ cos θ
2
dθ
194 Energi total elektron pada orbit ellips yaitu : E = Ek + Ep
1 m ds E k = mv2 = 2 2 dt
2
2
m dr dθ E k = + r 2 dt dt
ds2 = dr 2 + ( rdθ )
di mana 2
dθ dt
dr di mana p r = m ; dt
1 2 p2 Ek = p + 2m r r 2
di mana
pr =
2
2
pθ = p = mr 2
p dr r 2 dθ
2
1 p2 dr p2 p2 1 dr Ek = + = + 1 2m r 4 dθ r 2 2mr 2 r dθ
Ze2
kZe2 Ep = − =− 4π ∈0 r r Energi total elektron 2
kZe2 p 2 1 dr E= + 1 − r 2mr 2 r dθ 2
2Emr 2 2mrkZe2 − ∈ sin θ 1 dr 1 dr 1 + − dengan = r dθ = r dθ (1− ∈ cos θ ) p2 p2 2
2
2
2
∈ sin θ r 2 2 1 dr = = r dθ 2 2 ∈ sin θ dengan ℓ 1 − ∈ cos θ ( )
ℓ
ℓ r −ℓ ∈ cos θ = 1 − = r r
2
dan
r
r−ℓ cos θ = ∈r 2
= (1− ∈ cos θ )
2
r−ℓ sin θ = 1 − cos θ = 1 − ∈r 2 2 2 r 2 ∈2 r − ℓ r 2 ∈2 ( r − ℓ ) 1 dr r dθ = 2 1 − ∈ r = 2 1 − 2 2 ℓ ℓ r ∈ 2
2
2
2
2
r ∈ 1 dr r dθ = 2 ℓ
2 r 2 + ℓ 2 − 2rℓ r2 ∈2 ℓ 1 2ℓ 1 − = 1 − − + 2 2 ℓ ∈ r 2 ∈2 r 2 ∈2 r ∈2
2 2 2 2 2 2 r (∈ −1) 2r ∈ 1 dr r r 2r + −1 r dθ = 2 − 2 − 1 + ℓ = ℓ ℓ ℓ ℓ2
195 2 2 2Emr 2 2mrkZe2 r (∈ −1) 2r + = + 2 ℓ p2 p2 ℓ
samakan koefisien r2 dan r 2
2mE (∈ −1) = p2 ℓ2
p2 mkZe 2 1 = maka ℓ = ℓ mkZe2 p2
dan
kedua persamaan tersebut dibagikan 2
2mE (∈ −1) ℓ = sehingga ℓ2 mkZe 2 2mE
jika ℓ dieliminasi :
E=−
1
p2 (∈2 −1)
= 2 ℓ
kZe2 (1− ∈2 )
dan
2ℓ m 2 k 2 Z2 e4 1 = 2 ℓ p4
mk 2 Z2 e4 (∈2 −1) m 2 k 2 Z2 e4 p2 (∈2 −1) maka E = = 2m 2p 2 p4 E= atau
p2 (∈2 −1) 2mℓ 2
=−
k 2 ℏ 2 (1− ∈2 ) 2mℓ 2
k 4 ℏ2 =− 2mn 2ℓ 2
mk 4 Z2e4 mk 2 Z2 e4 =− E=− 2p 2 n 2 2n 2 ℏ2
dan
b k = a n
mZ2e4 mZ2e4 b2 E=− 2 2 2 =− 8 ∈0 n h 2ℏ 2 a 2
dan
k=
1 4π ∈0
Jadi energi total sebuah elektron dalam lintasan ellips bergantung pada sumbu mayor (a) dan minor (b).
b k k = = a n k + nr
untuk n = 1
maka k = 0 , nr = 1 atau
n = k + nr jika k = 0 ;
k = 1 , nr = 0
b 0 = = 0 ; b = 0 dan a = 1; maka orbit akan berupa garis a 1
lurus dan ini tidak mungkin. jika k = 1 ; a
n=1 k=0
b 1 = = 1 ; b = 1 dan a = 1; maka orbit akan berupa lingkaran a 1 n=1 k=1
196 untuk n = 2
maka k = 0, nr = 2 ; k = 1 , n r = 1; atau k = 2 , nr = 0
n = k + nr
b 0 = = 0 ; b = 0 dan a = 2; maka orbit akan berupa garis a 2
jika k = 0 ;
lurus dan ini tidak mungkin. jika k = 1 ;
b 1 = = 0,5 ; b = 1 dan a = 2; maka orbit akan berupa ellips a 2
jika k = 2 ;
a
b 1 = = 1 ; b = 1 dan a = 1; maka orbit akan berupa lingkaran a 1
n=2 k=0
n=2 k=2
n=2 k=1
Elektron mempunyai 2 orbit yang mungkin i.
Orbit ellips dengan eccentrisitas (∈) :
ii.
Orbit lingkar dengan radius a
∈2 a 2 = ( a 2 − b 2 )
Efek Perubahan Massa Elektron
Fine struktur dapat juga dijelaskan secara teori melalui perubahan massa relatif elektron. Sommerfeld melalui rumusan orbit ellips telah menunjukkan bahwa lintasan elektron berupa lintasan ellips yang mengalami presessi, yaitu sumbu mayor ellips secara perlahan–lahan berputar di sekitar inti dalam bidang ellips yang disebut lintasan Rosette. Orbit Rosette mempunyai persamaan : l = 1− ∈ cos ( θφ ) ; r
dan
1 − Z2 e4 φ = c2 p 2
Nilai r terulang lagi saat φ θ mencapai sudut 2π , jadi nilai θ meningkat 2π φ 2π selama waktu sumbu mayor ellips mengalami presessi sebesar − 2π . Karena φ
itu energi elektron yang dikoreksi teori relativistik yaitu : mZ2 e4 Z2 α2 n 3 E = − 2 2 2 1 + 2 − n k 4 8 ∈0 n h
α≈
1 (α disebut konstanta fine structure) 137
dan
α=
2πe2
( 4π ∈0 ) hc
197 Penjelasan efek Zeeman secara klasik
Sebuah garis spektrum dari atom–atom yang tereksitasi dapat terpisah menjadi dua atau tiga garis, ketika atom–atom yang tereksitasi tersebut diletakkan dalam medan magnet luar. Efek pemisahan sebuah garis spektral di bawah pengaruh medan magnet luar dikenal sebagai efek Zeeman Normal. Untuk menghasilkan efek Zeeman, sumber cahaya dari lampu Sodium atau dari lecutan gas ditempatkan di antara kutub magnet. Cahaya yang keluar dari sumber diamati melalui spektroskop resolusi tinggi, secara tegak lurus atau sejajar medan magnet. dibor
S U
sebelum diberi medan magnet efek Zeeman transversal efek Zeeman longitudinal
Gambar 3.10. Skema efek Zeeman Ketika diberi medan magnet 1. Cahaya sumber yang diamati secara tegak lurus medan magnet luar akan terpisah menjadi 3 komponen garis. Garis yang di tengah sama dengan garis awal sebelum diberi medan magnet luar. Ini dikenal sebagai Transversal.
efek Zeeman
2. Cahaya sumber yang diamati secara sejajar medan magnet (magnet dibor untuk keluarnya sumber cahaya) akan terpisah menjadi 2 komponen garis (garis yang di tengah tidak tampak). Ini dikenal sebagai efek Zeeman Longitudinal. Efek Zeeman normal dapat dijelaskan oleh teori elektron Lorentz sebagai berikut : Tinjau gerak elektron pada orbit lingkar dengan kecepatan v dan pada radius r, sehingga gaya sentripetalnya mv2 F= r jika medan magnet luar diberikan, maka sebuah gaya tambahan bekerja pada arah tegak lurus arah gerak elektron. (searah gaya sentripetal). Gaya ini juga tegak lurus arah medan magnet. Ketika gaya ini bekerja ke dalam (sepanjang jari-jari), kecepatan elektron bertambah dan ketika gaya bekerja ke arah luar, kecepatan elektron berkurang.
198 misal : F1 adalah gaya tambahan pada elektron karena pengaruh medan magnet. v1 adalah kecepatan elektron yang meningkat setalah diberi medan magnet maka F1 = Bev1
sehingga total gaya yaitu :
mv12 mv2 + Bev1 = F + F1 = r r
v1 = ω1r
dan
;
v = ω r
mr 2 ω12 mr 2 ω2 = + Berω1 r r
ω12 − ω2 =
Beω1 m
dan
( ω1 − ω ) =
Beω1 m ( ω1 + ω )
karena ω ≈ ω1 maka ( ω1 + ω ) mendekati / diperkirakan sama dengan 2ω1 Be Be Be atau ω1 = ω + atau f1 = f + 2m 2m 4πm Ketika elektron bergerak berlawanan arah, medan magnet menghasilkan gaya
( ω1 − ω ) =
dalam arah berlawanan dan kecepatan elektron berkurang menjadi v 2 , sehingga mv22 mv2 − Bev 2 = F − F2 = r r
total gaya yaitu :
dan
v 2 = ω2 r
mr 2 ω22 mr 2 ω2 − = − Berω2 r r
ω22 − ω2 = −
Beω2 m
( ω2 − ω ) = −
Beω2 m ( ω2 + ω )
maka ( ω2 + ω) ≈ 2ω2
karena ω ≈ ω2
( ω2 − ω ) = −
dan
Be 2m
atau
ω2 = ω −
Be atau 2m
f 2 = f −
Be 4πm
Garis spektrum yang mula-mula tunggal lalu terpisah secara sama di kedua sisi f1 = f + ∆f
dengan ∆f =
f2 = f − ∆f
dan
Be dan 4πm
µB =
eh 4 πm
µ B adalah magneton Bohr
dari percobaan efek Zeeman dapat diperoleh rasio e/m ∆f
f 2
f1 − f 2 =
∆f
f
f 1
Be Be dan dikenal sebagai 2πm 2πm
jarak pisah Zeeman Normal
199 Contoh Soal :
1. Hitung nilai magneton Bohr (diketahui massa elektron m = 9,1.10 – 31 kg) Jawab : −19 −34 eh (1,6.10 )( 6,626.10 ) µB = = = 9,27.10−24 31 − 4πm 4 ( 3,14 ) ( 9,1.10 )
2. Hitung pergeseran Zeeman yang teramati pada efek Zeeman Normal ketika sebuah garis spektral λ = 500 nm dikenai medan magnet luar 0,4 T.
( e m = 1,76.1011c kg−1 ) Jawab : Pergeseran Zeeman yaitu ∆f = dλ =
eB 4πm
; f =
c
λ
; df = −
cdλ
λ2
λ 2df
λ 2 ∆f λ 2eB = ; dλ = ; c c 4πmc 2
dλ =
( 500.10−9 ) (1,76.1011 ) ( 0, 4) 8
4 ( 3,14 ) ( 3.10
)
= 4,67.10−12 m = 4,67 pm
3. Berapa besar B yang dikehendaki untuk mengamati efek Zeeman Normal jika sebuah spektrometer dapat memisahkan garis – garis spektral terpisah 0,05 nm pada 500 nm ? Jawab : 2 9 4πmc∆λ 4π ( 3.10 )( 0, 05.10 ) B= = = 4, 28 T 2 2 9 7 λe (500.10 ) (1, 76.10 )
4. Komponen Zeeman garis spektrum 546,1 nm terpisah 0,0417 nm ketika diberi medan magnet B = 1,5 T. Hitung nilai e/m elektrom ? Jawab : Beλ 2 ∆λ = λ1 − λ 2 = 2πmc 8 −10 e 2πc∆λ 2π ( 3.10 )( 0, 417.10 ) = = = 1,756.1011 C/kg 2 2 m Bλ (1,5) 5461.10−10
(
)
200 5. Berapa kali elektron mengelilingi inti dalam orbit pertama Bohr atom Hidrogen per detik ? Jawab : Jumlah revolusi per detik yaitu v 1 kZe2 mkZe2 mk 2 Z2 e4 f = = = 2πr 2π nℏ n 2 ℏ2 2πn 3ℏ3 dan k =
f =
1 4π ∈0
2
= 9.109 Nm 2 /C2
2 2 4
4π mk Z e = n 3h 3
2
2
2
( 4 )(3,14 ) ( 9,1.10−31 )( 9.109 ) (1) (1,6.10−19 )
4
3
3
(1) ( 6,626.10−34 )
f = 2,72.1017 revolusi per detik 6. Tentukan tetapan Rydberg untuk positronium (sebuah sistem terikat yang mengandung positron dan elektron). Jawab : massa positron = massa elektron
Rp =
R∞ 1+ ( m
M)
=
R∞ 1+ ( m
m)
=
R∞ = 0,5485.10 −3 Å–1 2
7. Tentukan potensial ionisasi positronium ? Jawab : 1
λ
1
= Rp 2 n − n 2 i f
Eion =
hc
λ
1
dengan 1
n f = 1 dan 1
ni = ∞
1
= hcR p 2 − 2 = hcR p 2 − 2 = hcR p n 1 ∞ f ni
Eion = hcR p = ( 6,626.10−34 )( 3.108 )( 0,5485.10−3 ) = 6,8 eV
201 3.5. Model Atom Vektor A. Kuantisasi Ruang
Menurut teori Bohr–Sommerfeld, diperlukan 2 bilangan kuantum untuk menjelaskan gerak elektron dalam atom, yaitu bilangan kuantum n dan bilangan kuantum azimuth k [dalam teori model atom mekanika kuantum (k–1) kemudian diganti dengan variabel ℓ]. Penggambaran gerak elektron dalam 2 bilangan kuantum menyebabkan gerak elektron dibatasi pada bidang orbital yang mempunyai 2 derajat kebebasan yaitu r dan θ. Gambar di samping adalah orbit elektron yang mempunyai vektor momentum sudut pk ,
S –e
inti
tegak lurus bidang orbital (dalam
U
model atom mekanika kuatum pk dan µ k
diganti p ℓ = L dan µ ℓ sedangkan bilangan kuantum azimuth ditulis sebagai ℓ = k − 1 ) Rotasi elektron mengelilingi inti akan menghasilkan arus listrik dengan
Bint
Gambar 3.11 Elektron mengelilingi inti B
B p
B
ℓ
–e
=L
B
θ
arah berlawanan gerak elektron. Loop arus
inti
listrik tersebut berkelakuan seperti kulit magnetik (Gambar 3.11) yang mempunyai
momen magnetik µ ℓ = A i , A adalah luas loop arus dan i adalah besar arus listrik.
µℓ
Gambar 3.12 Diberi medan magnet luar
Jika orbit elektron dianggap berbentuk lingkaran dengan radius a maka luasnya A = πa 2 . Karena setiap keliling inti, elektron melintasi penampang orbit, maka muatan total yang melintasi setiap penampang orbit dalam satuan waktu sama dengan arus yaitu i =
e eω = , T 2π
maka momen magnetik yang berkenaan dengan rotasi orbital elektron, menjadi
B
B
B
L
–e θ
eω eωa 2 µ ℓ = ( πa ) = 2 2π 2
besarnya momentum sudut orbital yaitu Gambar 3.13 Kuantisasi ruang
202 B
pℓ = me ω a 2 sehingga rasio antara momen magnetik dengan momentum sudut orbital yaitu
µℓ pℓ
2
=
eωa e = 2meωa 2 2me
B
B
mℓ
L
L = L =ℏ
2
ℓ ( ℓ + 1)
1 θ 0 −1
rasio antara µ ℓ dengan p ℓ = L dikenal
untuk ℓ = 2 m ℓ = 0, ±1, ±2,..., ± ℓ
−2
sebagai rasio gyromagnetik.
Momentum sudut orbital p = kℏ diganti Gambar 3.14 Kuantisasi L menjadi L = ℏ
ℓ ( ℓ + 1) dengan
nilai ℓ = 0,1,2,...(n–1)
pℓ cos θ = m ℓℏ
dengan
dan
cos θ =
mℓ ℓ ( ℓ + 1)
sehingga
µℓ =
epℓ eℏ ℓ ( ℓ + 1) = 2me 2me
eℏ 2me
=
ℓ ( ℓ + 1)
= µ B ℓ ( ℓ + 1)
µ B adalah magneton Bohr yang adalah satuan dasar momen magnetik atom. Loop arus listrik disebabkan gerak elektron pada orbitnya, lalu bertindak sebagai sebuah magnet kecil berukuran atom. Telah diketahui bahwa jika sebuah magnet diletakkan dalam sebuah medan magnet luar (Gambar 3.12), maka magnet tersebut cenderung mensejajarkan diri dalam arah medan magnet luar. Vektor
momen magnet µ ℓ berpresessi di sekitar arah medan magnet, terletak pada sudut tertentu terhadap arah medan magnet luar. Energi potensial elektron disebabkan interaksi magnetik antara momen magnetik orbital dengan medan magnet luar, yaitu εB = −µ ℓ iB = µ ℓ B cos θ
B = densitas flux magnetik dan θ = sudut antara p ℓ dengan B (Gambar 3.12). Momentum sudut orbital elektron (L ) dalam atom dapat terorientasi hanya dalam arah tertentu (aturan kuantisasi ruang) (Gambar 3.13), jadi hanya dalam arah tertentu vektor L dapat memiliki nilai L cos θ = m ℓℏ
dan
L=ℏ
ℓ ( ℓ + 1)
203
dengan θ adalah sudut antara L dengan arah medan magnet luar B, dan mℓ adalah bilangan kuantum magnetik untuk gerak orbital yang mempunyai nilai–nilai m ℓ = 0, ± 1, ± 2,
i i i,
± ℓ , maka untuk nilai ℓ tertentu (Gambar 3.14), mℓ
dapat mempunyai ℓ ( ℓ + 1) nilai. Energi interaksi magnetik elektron adalah ε B = µ ℓ B cos θ = µ B ℓ ( ℓ + 1) B
(
)
= m ℓµ BB ℓ ( ℓ + 1)
mℓ
Energi total elektron setelah diberi medan magnet luar, yaitu : E nℓ m = E n ℓ + m ℓ µ B B eℏ B = E nℓ + mℓ ℏωL 2m e
E nℓm = E nℓ + mℓ dengan ωL =
eB = 8,782.1010 B/s dan 2me
f L =
ωL 2π
f L dikenal sebagai frekuensi presessi Larmor dan E nℓ adalah tingkat energi elektron tanpa medan magnet luar. Keadaan energi terendah memiliki momentum sudut anti paralel medan magnet luar B. Transisi dari keadaan sub tingkat atas dengan nilai
ℓ=2
( mℓ = −2, −1, 0, 1, 2) ke keadaan sub tingkat bawah dengan
0, 1)
ℓ = 1 ( mℓ = −1,
harus mengikuti aturan seleksi yaitu ∆m ℓ = 0, ± 1 . Selisih energi (∆E) antara transisi sub tingkat atas dengan sub tingkat bawah dalam pengaruh medan magnet luar yaitu ∆E = Eℓ=2 − Eℓ=1 = ( Enℓ 2 + mℓ 2µ BB) − ( E nℓ1 + mℓ1µ BB)
dan frekuensi cahaya spektral transisi tersebut yaitu
f =
∆E
h
=
( E nℓ2 + mℓ2µ BB) − ( E nℓ1 + m ℓ1µ BB) h
dan bilangan gelombang ( υ ) cahaya spektral transisi tersebut yaitu
1
∆E
υ = = =− λ hc
( E nℓ1 − E nℓ 2 ) µ BB hc
−
hc
( mℓ1 − mℓ 2 )
204
υ = υ0 −
µ BB
f = c υ = c υ0 − f = f0 −
eB
∆mℓ = υ0 − ∆m hc 4πmec ℓ
µ BB h
∆mℓ = c υ0 −
eB ∆m ℓ 4πme
eB ∆ mℓ 4πme
∆E = hc υ =
hc
λ
= hf dan
∆E = hf = hf0 −
heB ∆ mℓ 4πme
Karena aturan seleksi ∆ mℓ = 0, ± 1, maka 1 garis spektral awal akan terpisah menjadi 3 garis spektral setelah dikenai medan magnet luar (Gambar 3.15), yaitu : eB ω ∆mℓ = 1 , υ1 = υ0 − = υ0 − L 4πme c 2πc ∆m ℓ = 0 ,
mℓ ℓ=
2 1
2
0
−1 −2
υ2 = υ0 eB
ω
∆m ℓ = − 1 , υ3 = υ0 + = υ0 + L 4πmec 2πc
Jadi
walaupun
nampak
1 = ℓ m
terpisah
menjadi 9 garis karena dikenai medan
∆
∆
1 – = ℓ m ∆
1
ℓ =1
0
magnet luar B, tetapi yang teramati cuma 3 garis spektral menurut aturan
0 = ℓ m
υ 1
υ 2
υ 3
−1
Gambar 3.15 Efek Zeeman normal
seleksi dan karena kesamaan frekuensi. Peristiwa pemisahan energi garis spektral menjadi beberapa garis spektral karena pengaruh medan magnet luar dikenal sebagai efek
Zeeman Normal.
Untuk
medan magnet luar yang lebih kecil densitas flux magnetnya, maka akan muncul garis–garis spektral yang lebih banyak, peristiwa ini dikenal sebagai efek Zeeman Anomali. B. Spin Elektron
Untuk menjelaskan efek Zeeman Anomali dan garis spektral dobel pada spektrum unsur alkali, tahun 1925 G.E. Uhlenbeck dan S.A. Goudsmit mengusulkan hipotesis spin elektron. Elektron selain bergerak mengelilingi inti, elektron juga berputar terhadap sumbunya sendiri, sehingga momentum sudut spin intrinsik elektron yaitu
205
dan
ps = ℏ
s ( s + 1)
dengan nilai s = ½ , – ½
µs
e 2m e
dengan nilai gs = 2
ps
= gs
µs = gs
e e ps = ( 2 ) (ℏ 2me 2me
)
s ( s + 1) = 2µ B s ( s + 1)
s adalah bilangan kuantum spin dan µs adalah momen magnetik intrinsik
Dalam medan magnet luar, vektor p ℓ terorientasi terhadap arah medan magnet luar yang dapat dianggap nilainya ditentukan oleh hukum/aturan kuantisasi ruang Sommerfeld. p ℓ cos θ = m ℓℏ dengan m ℓ = 0, ±1, ±2,..., ±ℓ mℓ cos θ = ℓ ( ℓ + 1) Komponen terbesar p ℓ sepanjang arah medan adalah ℓℏ ketika mℓ = ℓ . Nilai ini
lebih sedikit lebih kecil dari besarnya pℓ yang artinya bahwa dalam hal ini vektor
p ℓ tidak dapat searah dengan arah medan magnet luar B.
Untuk momentum sudut spin ps elektron dapat searah/paralel dan anti paralel terhadap medan magnet luar B (ini menurut perumusan Sommerfeld). Gerak elektron tanpa medan magnet luar dapat secara penuh digambarkan dalam bentuk 3
B
bilangan kuantum yaitu n, ℓ, s. Jika ada medan
B
B
ms = ½
magnet luar B, maka perlu ditambah bilangan kuantum magnetik ms . Karena elektron dalam sebuah atom
ms = – ½
mempunyai 2 momentum sudut berbeda p ℓ dan
ps , maka momentum sudut total p j -nya yaitu
p j = pℓ + ps dan
j = ℓ + s
Gambar 3.16 Kuantisasi S
yang bernilai j = ℓ + ½ dan j = ℓ – ½
Energi interaksi magnetik :
206 E = −µ jB cos θ = −g µ B j ( j+1) B
m j j ( j+1)
= − m j g µ B B
Selisih energi transisi : ∆E = ∆ ( m jg )
µ B B
Frekuensi transisi : f = ∆ ( m jg )
µ BB h
Bilangan gelombang ( υ ) transisi :
υ =
1
λ
µ BB = ∆ m jg L hc
= ∆ m jg
dengan nilai magneton Bohr yaitu −19 −34 eh 7 (1,6.10 )( 6,626.10 )
µB =
4πm
=
4 ( 22 ) ( 9,1.10−31 )
= 9,27.10−24 J.s.C/kg
Gambar 3.17 Transisi-transisi radiasi yang diijinkan dalam atom Hidrogen
207 3.6 Model Atom Mekanika Kuantum z
A. Persamaan gerak elektron dalam atom Hidrogen
Persamaan Schröedinger atom Hidrogen ∂ 2 Ψ ∂ 2 Ψ ∂ 2 Ψ 2m + + 2 + 2 (E − V) Ψ = 0 ℏ ∂x 2 ∂y 2 ∂z
di mana V = −
θ
• r
Φ
e2 4π ∈0 r
(V adalah energi potensial)
x = r sinθ cosφ
dx =
dx
dφ
dφ +
dx
dθ
y
x
dθ +
dx
dr
dr
y = r sinθ sin φ
z = r cosθ dx = − r sinθ sin φ dφ + r cosθ cosφ dθ + sinθ cosφ dr dy = r sinθ cosφ dφ + r cosθ sinφ dθ + sinθ sinφ dr
dz = −r sin θ dθ + cos θ dr 2
( dx ) = r 2 sin 2θ sin 2φ dφ 2 + r 2 cos2θ cos2φ dθ2 + sin 2θ cos2φ dr 2 −2r 2sinθ cosθ sinφ cosφ dφ dθ − 2r sin 2θ sinφ cosφ dφ dr + 2r sinθ cosθ cos2φ dθdr 2
( dy ) = r 2sin 2θ cos2φ dφ 2 + r 2 cos2θ sin 2φ dθ2 + sin 2θ sin 2φ dr 2 +2r 2sinθ cosθ sinφ cos φ dφ dθ + 2r sin 2θ sinφ cos φ dφ dr + 2r sinθ cosθ sin 2φ dθdr 2
( dz ) = r 2sin 2θ dθ2 + cos2θ dr 2 − 2r sinθ cosθ dθdr 2
2
2
2
2
2
2
( ds ) = ( dx ) + (dy ) + (dz ) = r 2sin 2θ (d φ ) + r 2 (dθ ) + (dr ) 2
2
2
( ds ) = h12 ( dr ) + h 22 ( dθ) + h 32 ( d φ )
2
maka h1 = 1 ; h 2 = r ; h 3 = r sinθ ∇2Ψ =
1 ∂ h 2 h 3 ∂Ψ ∂ h1h 3 ∂Ψ ∂ h1h 2 ∂Ψ + + h1h 2h 3 ∂r h1 ∂r ∂θ h 2 ∂θ ∂φ h 3 ∂φ
1 ∂ 2 ∂Ψ 1 ∂ 1 ∂ 2Ψ ∂Ψ ∇ Ψ = 2 r + sinθ ∂θ + 2 2 2 r ∂r ∂r r 2sinθ ∂θ r sin θ ∂φ 2
2
2m
e2
∇ Ψ + 2 E + Ψ = 0 4π ∈0 r ℏ
208 Melalui metode pemisahan variabel Ψ ( r, θ, φ ) = R ( r ) Q ( θ) F( φ )
QF d 2 dR RF d dQ RQ d 2F 2m e2 r + sin θ + 2 2 2 + 2 E + RQF = 0 dθ r sin θ dφ ℏ 4π ∈o r r 2 dr dr r 2 sin θ dθ
r 2sin 2θ dikali RQF sin 2 θ d 2 dR sin θ d dQ 1 d 2 F 2m e2 2 2 r sin E θ + + + + r sin θ = 0 R dr dr Q dθ dθ F dφ 2 ℏ 2 4 π ∈o r sin 2 θ d 2 dR sin θ d dQ 2m e2 2 2 1 ∂ 2 F .......... (3.6) r + sin θ + E + r sin θ = − 2 R dr dr Q dθ dθ ℏ 2 4 π ∈o r F ∂φ
1 d2F misal : − 2 = m ℓ2 F dφ d2F maka 2 + m ℓ2 F = 0 ……………………………………………..…….. (3.7) dφ
persamaan (3.7) disebut persamaan gelombang azimuth persamaan (3.6) dibagi sin2θ 1 d 2 dR 1 d dQ 2mr 2 e2 m 2ℓ r + sin θ + 2 E + = R dr dr Q sin θ dθ dθ ℏ 4π ∈o r sin 2 θ 1 d 2 dR 2mr 2 e2 m 2ℓ 1 d dQ r + 2 E+ sin θ …….…………... (3.8) = 2 − R dr dr ℏ 4π ∈o r sin θ Q sin θ dθ dθ
dari persamaan (3.8) m2ℓ 1 d dQ β= 2 − sin θ dθ sin θ Qsin θ dθ
kedua sisi dikali Q m 2ℓ 1 d dQ sin θ + β − 2 Q = 0 ………………………………………...… (3.9) sin θ dθ dθ sin θ
persamaan (3.9) disebut persamaan gelombang polar dari persamaan (3.8) 1 d 2 dR 2mr 2 e2 r + E + =β R dr dr ℏ 2 4π ∈o r
kedua sisi dikali
R r2
209 1 d 2 dR 2m e2 β r E + + − R = 0 ………………………….......…. (3.10) 4π ∈o r r 2 r 2 dr dr ℏ 2
persamaan (3.10) disebut persamaan gelombang radial B. Solusi persamaan gerak elektron dalam atom Hidrogen Solusi persamaan gelombang azimuth
d2F 2 2 + mℓ F = 0 dφ
di mana m2ℓ = bilangan kuantum magnetik
( D2 + mℓ2 ) F = 0
maka D1 = + im ℓ dan D2 = −im ℓ
F (φ ) = Aeimℓφ + Be
−imℓφ
; di mana φ = 0 s/d 2 π
F (φ ) = F (φ + 2π ) Aeimℓφ + Be−imℓφ = Ae
imℓ (φ + 2 π )
+ Be
−imℓ (φ +2 π )
Aeimℓφ (1 − e2imℓ π ) + Be−imℓφ (1 − e−2imℓ π ) = 0 π π karena Aeimℓφ dan Be−imℓφ tidak nol, maka (1 − e2imℓ ) = 0 dan (1 − e−2imℓ ) = 0
sehingga e2imℓ π = 1 dan
e−2imℓ π = 1
cos ( 2mℓ π ) + i sin ( 2mℓ π ) = 1 dan cos ( 2mℓ π ) − i sin ( 2mℓ π ) = 1 karena sin ( 2mℓ π ) = 0 maka cos ( 2mℓ π ) = 1 2m ℓ π = 0, ±2 π, ±4π, ±6π,iii m ℓ = 0, ±1, ±2, ±3,iii di mana m ℓ adalah bilangan kuantum magnetik orbital
Fungsi gelombang azimuth i mℓ φ
F (φ ) = Ae
i mℓ φ
F (φ ) = Be
F (φ ) = Ccos ( m ℓ φ ) F (φ ) = D cos ( m ℓ φ )
Normalisasi fungsi gelombang azimuth F (φ ) = Aeimℓφ kondisi normalisasi untuk total fungsi gelombang Ψ ( r,θ,φ ) adalah
210
∫∫∫ ΨΨ *d = 1 di mana d =elemen volum d = ( rsin θdφ )( rdθ )( dr ) = ( r 2dr ) ( sin θdθ )( dφ ) ∞
π
2
2π
2
∫0 RR* r dr ∫0 QQ* sinθdθ ∫0 FF* dφ = 1
untuk fungsi F (φ ) 2π
∫0 FF*dφ = 1
2π
maka
∫0 ( Ae
A=
sehingga eimℓφ maka Fm (φ ) = 2π
imℓφ
)( A*e
−imℓφ
)dφ = 1 dan
A
2
2π
∫0 dφ = 1
1 1 = 2π 2π ......................................................................... (3.11)
persamaan (3.11) adalah solusi persamaan gelombang azimuth
e −2iφ contoh : jika mℓ = − 2 , maka F−2 (φ ) = 2π Solusi persamaan gelombang Polar
m 2ℓ 1 d dQ sin θ + β − 2 Q = 0 sin θ dθ dθ sin θ
............................................................. (3.12)
dx d d 1 d d = − sin θ ; = − sin θ =− dan dθ dθ dx sin θ dθ dx
misal : x = cos θ ;
dQ dQ dx dQ = = − sin θ dθ dx dθ dx dQ dQ dQ = − sin 2 θ = − (1 − x 2 ) dθ dx dx maka sin θ
m 2ℓ d 2 dQ − −1(1 − x ) + β− Q= 0 2 dx dx − 1 x ) ( m ℓ2 d 2 dQ (1 − x ) dx + β − − 2 Q = 0 dx (1 x )
211 mℓ2 d 2Q dQ Q = 0 ................................................... (3.13) (1 − x ) dx 2 − 2x dx + β − 2 (1 − x ) 2
Persamaan (3.13) dikenal sebagai persamaan Legendre Solusi persamaan Legendre akan memenuhi syarat-syarat nilai tunggal dan kontinuitas fungsi gelombang Q jika tetapan β berbentuk
β = ( k + mℓ )( k + mℓ + 1) di mana k dan mℓ adalah masing-masing nol atau bilangan bulat. Oleh karena itu perlu disubstitusikan k + mℓ = ℓ , sehingga
β = ℓ ( ℓ + 1)
ℓ = 0, 1, 2, 3, …
di mana
jadi ℓ harus nol atau bilangan bulat positif. Untuk suatu nilai ℓ, parameter mℓ mempunyai nilai mℓ = 0, ± 1, ± 2, ± 3,
…±
ℓ. dan ℓ dikenal sebagai bilangan
kuantum momentum sudut orbital atau bilangan kuantum orbital. Solusi persamaan (3.13) yaitu (lihat lampiran 1)
Qℓmℓ (θ ) = Nℓmℓ Pℓmℓ ( cos θ ) ………………………………………. (3.14) dengan N ℓmℓ = tetapan normalisasi dan
Nℓmℓ =
( 2ℓ + 1) ( ℓ − mℓ )! ………………………………………. (3.15) 2 ( ℓ + m ℓ )!
Pℓmℓ ( cos θ ) adalah fungsi Legendre Gabungan jenis pertama
Pℓ ( cos θ ) adalah polinomial Legendre mℓ
mℓ
Pℓ ( cos θ ) = (1 − cos 2 θ )
2
d
mℓ
Pℓ ( cos θ )
d ( cos θ )
mℓ
……………….…...…. (3.16)
jika mℓ > ℓ , maka Pℓmℓ ( cos θ ) = 0 Pℓ ( cos θ) =
( 2ℓ −1)( 2ℓ − 3)iii(1) ℓ ℓ( ℓ −1) ℓ−2 ℓ ( ℓ −1) ( ℓ − 2)( ℓ − 3) ℓ−4 iii cos θ − cos θ + cos θ − ( ) ( ) ( ) ℓ! 2( ℓ −1) 2i4( 2ℓ −1)( 2ℓ − 3)
Polinimial Legendre dapat juga dinyatakan sebagai rumus Rodrigue ℓ
2
ℓ
1 d ( cosθ) −1 Pℓ ( cos θ) = ℓ ℓ
2 ℓ!
d( cosθ)
………………………...……. (3.17)
212 misal jika cos θ = x , maka ℓ
ℓ
2
1 d ( x) −1 Pℓ ( x) = ℓ 2 ℓ! d( x)ℓ
dan
mℓ
Pℓ ( x ) = (1 − x
2
)
mℓ
2
d
mℓ
Pℓ ( x )
dx
mℓ
Contoh 1: Jika ℓ = 1, mℓ = 0 tentukan Q10 ( θ ) ? Q10 ( θ ) = N10P10 ( cos θ )
N10 =
3 1 ( 2 + 1)(1 − 0 )! 6 = = 2 (1 + 0 )! 2 2
2 1 d x −1 1 = ( 2x) = x = cos θ P1 ( x) = 1 2 21! dx
P10 ( x ) =
2
(1 − x )
0
2
d 0cosθ 2 0 = − 1 x ( ) cosθ = cosθ dx 0
Q10 ( θ ) = N10P10 ( cos θ ) =
1 6 cos θ 2
Contoh 2: Jika ℓ = 2, mℓ = 2 tentukan Q22 ( θ ) ? Q22 ( θ ) = N 22P22 ( cos θ )
N 22 =
( 4 + 1)( 2 − 2 )! 5 5 1 15 = = = 2 ( 2 + 2 )! 2.24 48 12 2
2 2 2 4 2 3x2 1 1 d x −1 1 d x − 2x +1 1 2 = = (12x − 4) = − P2 ( x) = 2 2 2 8 8 2 2 2 2! dx dx 2 3x
P22 ( x ) =
2
2
(1 − x ) 2
d
2
1 2
−
2
dx 2
= (1 − x 2 )
d ( 3x ) = (1 − x 2 ) ( 3) = (1 − cos2 θ ) ( 3) dx
P22 ( x ) = 3sin 2 θ
Q22 ( θ ) = N 22 P22 ( cos θ ) =
1 1 15 ( 3sin 2 θ ) = 15 sin 2 θ 12 4
213 Solusi Persamaan Gelombang Radial
β = ℓ ( ℓ + 1) disubstitusikan ke persamaan (3.10) 1 d 2 dR 2m e2 ℓ ( ℓ +1) r + E+ − 2 R =0 r2 dr dr ℏ 2 4π ∈o r r ℓ ( ℓ +1) d2 R 2 dR 2mE 2me2 + + + − R = 0 dr2 r dr ℏ 2 4π ∈o ℏ 2r r2
misal : α =
−8mE ℏ2
;
n=
e2 4 π ∈0 ℏ
−
m 2E
......................................(3.18)
ρ = αr
;
dρ =α dr
;
dR dR dρ dR = =α dr dρ dr dρ d 2R d 2 R dρ 2 d 2 R =α 2 =α dr 2 dρ dr dρ 2
persamaan ini disubstitusikan ke persamaan (3.18)
ℓ ( ℓ + 1) R 2α dR 2mE 2me2 α 2+ + 2 + − R =0 r dρ ℏ dρ 4π ∈o ℏ 2 r r2
2d
2
−8mE e2 m 2me2 misal : αn = − = 2 2 ℏ 4 π ∈ 2E ℏ 0 4π ∈0 ℏ
maka
2 2 2 d R 2α α 2+ ρ
dρ
;
dR α2 α2n α2ℓ ( ℓ +1) + − + − R =0 dρ 4 ρ ρ2
d2R 2 dR 1 n ℓ ( ℓ +1) + + − + − R =0 dρ2 ρ dρ 4 ρ ρ2
−
α2 4
lalu
=
2mE ℏ
2
; r =
ρ α
dibagi α2
……………………… (3.19)
a. Jika ρ → ∞ ( ρ sangat besar )
n ℓ(ℓ + 1) 2 dR Karena ρ → ∞ maka nilai , , dan menjadi sangat kecil/diabaikan ρ ρ2 ρ dρ d 2R R sehingga persamaan (3.19) tersebut menjadi: 2 − = 0 yang mempunyai 4 dρ solusi persamaan:
R(ρ) = Ae
−ρ 2
ρ
+ Be 2
di mana A dan B adalah ketetapan. Untuk ρ → ∞ sehingga harus B = 0 maka solusi yang dapat diterima menjadi: R(ρ) = Ae
−ρ 2
………………………………………………..……... (3.20)
214 b. Jika ρ sangat kecil
Maka nilai
ℓ (ℓ + 1)
ρ2
≫
n
ρ
ℓ(ℓ + 1)
dan
≫
ρ2
1 4 ℓ
ℓ (ℓ + 1)
ρ
ρ2
Misal : nilai ρ = 0,01 dan n = 1 lalu ℓ = 1 maka nilai =100 tapi
= 20000
d 2 R 2 dR ℓ(ℓ +1) Persamaan (3.19) menjadi: 2 + − R = 0 …………….……. (3.21) dρ ρ dρ ρ2 yang mempunyai solusi persamaan awal
R = ρk
dR d 2R k −1 = kρ dan dengan = k ( k − 1) ρ k − 2 2 dρ dρ
di mana k adalah determinan. Jika
dimasukkan ke persamaan (3,21) di atas, akan didapat: ℓ ( ℓ + 1) 2 k ( k − 1) ρ k−2 + kρk−1 − 2 ρk = 0
ρ
ρ
k ( k − 1) + 2k − ℓ ( ℓ + 1) ρ k −2 = 0
k 2 + k = ℓ2 + ℓ
jika k = ℓ atau k = − ( ℓ + 1) , maka solusi dari persamaan (3.21) yang mungkin: R = ρℓ
atau
− ℓ +1 R =ρ ( )
− ℓ+1 Solusi R = ρ ( ) tidak dipakai karena jika ρ → 0 maka R akan bernilai tak
hingga secara cepat, sehingga yang diambil solusi: R = ρℓ
………………………………………………………. (3.22)
c. Jika ρ intermediate (nilai tengah)
Jika nilai ρ sangat besar maka solusinya adalah R(ρ) = Ae
−ρ 2
dan jika nilai ρ
sangat kecil maka solusinya adalah R = ρ ℓ . Sehingga solusi fungsi radial dari nilai tengah ρ yang mungkin adalah R(ρ) = ρ L(ρ) e ℓ
−ρ 2
di mana L(ρ) adalah berupa polynomial. Differensial R terhadap ρ secsra bertahap didapatkan:
215 dL ( ρ ) −ρ 2 1 ℓ −ρ −ρ dR = ℓρℓ−1L ( ρ ) e 2 + ρℓ e − ρ L (ρ) e 2 dρ dρ 2 −ρ 2 dR ℓ −1 1 ℓ ℓ dL ( ρ ) = ℓρ L ( ρ ) + ρ − ρ L (ρ ) e dρ dρ 2 ρ −ρ 2 −ρ 2 d2R 1 ℓ−1 ℓ− 2 ℓ−1 dL ( ρ ) − 2 ℓ ℓ ℓ ℓ = − + − 1 ρ L ρ e ρ e ρ L ρ e ( ) ( ) ( ) dρ 2 dρ2
+ ℓρ
ℓ −1
dL ( ρ ) −ρ 2 ℓ d 2 L ( ρ ) −ρ 2 1 ℓ dL ( ρ ) −ρ 2 e +ρ e − ρ e dρ 2 dρ dρ 2
− − 1 1 dL ( ρ ) − 2 1 ℓ − ℓρℓ−1L ( ρ ) e 2 − ρℓ e + ρ L (ρ) e 2
ρ
2
ρ
2
dρ
ρ
4
−ρ 2 d2 R 1 ℓ−1 1 ℓ−1 1 ℓ ℓ− 2 = ℓ ( ℓ − 1) ρ − ℓρ − ℓρ + ρ L ( ρ ) e 2 2 4 dρ2 ℓ−1 1 ℓ dL ( ρ ) ℓ d 2L (ρ ) −ρ 2 ℓ−1 1 ℓ + ℓρ + ℓρ − ρ − ρ +ρ 2 e 2 2 d ρ ρ d
d2R dρ2
ℓ d 2L ( ρ ) −ρ 2 dL ( ρ ) 1 − − − ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ 1 2 1 = ρ − ρ + ℓ ( ℓ − 1) ρ − ℓ ρ + ρ L ( ρ ) e 2 + 2ℓρ d ρ 4 d ρ
dR d2R Substitusikan R, dan 2 ke persamaan (3.19) sehingga diperoleh: dρ dρ d2R 2 dR 1 n ℓ ( ℓ + 1) + + − + − R = 0 ρ2 dρ2 ρ dρ 4 ρ ℓ d2L (ρ ) −ρ dL (ρ ) 1 ℓ ℓ −1 ℓ ℓ −2 ℓ−1 − ℓ ρ + ρ L (ρ ) e 2 ρ 2 + 2ℓ ρ − ρ dρ + ℓ ( ℓ − 1) ρ 4 dρ −ρ 2 1 n ℓ ( ℓ + 1) ℓ dL (ρ ) 1 ℓ −ρ 2 + ℓρ L (ρ ) + ρ − ρ L ( ρ ) e + − + − ρ L(ρ) e = 0 ρ dρ 2 ρ2 4 ρ
2
ℓ −1
ℓ
ℓ d2L (ρ ) −ρ ℓ−1 ℓ ℓ−1 dL (ρ ) ℓ−2 ℓ−1 1 ℓ ℓ−2 ℓ−1 ρ 2 ρ ρ 2 ρ 1 ρ ρ ρ 2 ρ ρ L ρ + − + + − − + + − ℓ ℓ ℓ ℓ ℓ ( ) ( ) e 2 2 dρ 4 dρ −ρ 1 ℓ ℓ −1 ℓ −2 + − ρ + nρ − ℓ ( ℓ + 1) ρ L(ρ) e 2 = 0 4 ℓ d2L (ρ ) −ρ 1 ℓ ℓ−1 ℓ dL(ρ ) ℓ−2 ℓ−1 ρ 2 2 ρ ρ 1 ρ 1 ρ ρ L ρ + + − + + − + + ℓ ℓ ℓ ℓ ( ) ( ) ( ) ( ) e 2 2 dρ 4 dρ −ρ 1 ℓ ρ + nρℓ−1 − ℓ ( ℓ + 1) ρ ℓ−2 L(ρ) e 2 = 0 4
+ −
216 ℓ d2L (ρ ) −ρ ℓ−1 ℓ−1 ℓ dL (ρ ) ℓ−1 ℓ−1 2 =0 ρ 2 + 2ℓ ρ + 2ρ − ρ dρ + nρ − ( ℓ + 1) ρ L (ρ ) e dρ
Persamaan di atas di bagi dengan e
−ρ 2
dan ρℓ −1
ρℓ d 2 L ( ρ ) ρℓ dL(ρ ) + 2ℓ + 2 − ℓ−1 + n − ( ℓ +1) L (ρ ) = 0 ρℓ−1 dρ2 ρ dρ d2L (ρ) dL(ρ ) ρ 2 + ( 2ℓ + 2 − ρ) + ( n − ℓ − 1) L (ρ ) = 0 ………………….…………… (3.23) dρ dρ
Persamaan (3.23) dikenal sebagai
Polinomial Laguerre.
d 2 L2nℓ++ℓ1 (ρ) dL2nℓ++ℓ1 (ρ) ρ + [2(ℓ + 1) − ρ] + (n − ℓ − 1)L2nℓ++ℓ1(ρ) = 0 ........................(3.24) 2 dρ dρ Persamaan (3.24) dikenal sebagai
Polinomial Laguerre Gabungan
Persamaan (3.23) dan (3.24) adalah identik dan jika variabel L diganti ℓ +1 L2n+1 (ρ) dengan polinomial berorde 2ℓ+1 dan berderajat n+ℓ–(2ℓ+1) = n–ℓ–1,
maka solusi dari persamaan radial total merupakan gabungan solusi untuk ρ bernilai sangat kecil, ρ bernilai sedang/menengah, dan ρ bernilai sangat besar yaitu (lihat lampiran 2) R(ρ) = ρ
ℓ
ρ
− ℓ +1 L2n+1 (ρ) e 2 ………………………………………(3.25)
Normalisasi.fungsi ini dengan cara mengintegralkan ∞
− ρ 2 2 ℓ 2ℓ +1 N ∫ ρ Ln+1 (ρ) e ρ dρ = 1 ………………….….………(3.26) 0
2
Batasan integral untuk nilai ρ yaitu dari 0 sampai ∞ dan faktor ρ2 masuk ke persamaan sebab elemen volume d adalah sama dengan ρ2 dρ, sehingga nilai normalisasinya adalah 3
ρ (n − ℓ − 1)! N nℓ = − 3 …………………….………..…(3.27) r 2n [ (n + ℓ)!] dengan ρ =
2Zr . Fungsi gelombang radial ternormalisasi dari suatu atom juga na o
disebut fungsi eigen radial dan solusi khusus persamaan gelombang radial gerak elektron dalam suatu atom dapat dinyatakan sebagai:
217 3
ℓ
− Zr na 2Z (n − ℓ − 1)! 2Zr 2ℓ +1 0 …....… (3.28) R nℓ (r) = − ⋅ ⋅ L n+ℓ ( ρ ) ⋅ e 3 na na ℓ 2n{(n + )!} 0 0
n dan ℓ ditambahkan pada fungsi R(r) karena fungsi tersebut bergantung pada 2 variabel n dan ℓ. Untuk atom Hidrogen maka Z = 1 dan solusi khusus persamaan gelombang radial gerak elektron dalam atom Hidrogen yaitu R nℓ ( r ) = N nℓ ρ
ℓ
L2nℓ++ℓ1 ( ρ )
e
−ρ 2
…………….………… (3.29)
dengan
1 2 3 ( n − ℓ − 1)! 2 N nℓ = − …………………….… (3.30) 3 na 0 2n ( n + ℓ )!
dan
L2nℓ++ℓ1 ( ρ ) =
dan
d n +ℓ n +ℓ −ρ L n +ℓ ( ρ ) = e (ρ e ) dρ n +ℓ
dengan nilai ρ =
d 2ℓ+1 L (ρ ) ……………………….……… (3.31) dρ2ℓ+1 n +ℓ ρ
2r na 0
……………….……… (3.32)
218 Soal-soal Latihan
1. Berapakah energi, momentum dan panjang gelombang foton yang dipancarkan oleh sebuah atom Hidrogen ketika sebuah elektron membuat transisi dari n=2 ke n=1. Di mana potensial ionisasi = 13,6 eV. 2. Hitung energi yang dikehendaki untuk membuat kekosongan pada a) kulit K atom tembaga b) kulit L atom tembaga Di mana potensial ionisasi atom Hidrogen yaitu 13,6 eV dan Z tembaga = 29 3. Radiasi-radiasi yang dipancarkan atom-atom Hg ketika kembali ke keadaan normal dipelajari oleh Frank-Hertz. Sebuah garis spektrum diamati mempunyai
λ = 2537Å. Hitung potensial eksitasi atom Hg ? 4. Sebuah garis spektrum sinar-X mempunyai λ = 0,53832Å diketahui dipancarkan dari tabung sinar-X dengan target Zinc (Z=30), di mana panjang gelombang karakteristik garis Kα Zinc yaitu 1,43603Å. Jika garis λ=0,53832Å disebabkan oleh impuritas/zat pengotor dalam target Zinc, hitunglah bilangan atom atau nomor atom zat pengotor/impuritas tersebut ? 5. Dalam sebuah atom µ-meson, sebuah muon dengan muatan – e dan massa 200me (me = massa elektron) bergerak dalam sebuah orbit bundar mengelilingi inti bermuatan + 3e. Anggap bahwa model atom Bohr dipakai pada sistem ini a) Turunkan rumus untuk jejari orbit Bohr ke-n b) Hitung nilai n di mana jejari orbit mendekati sama dengan orbit pertama Bohr pada atom Hidrogen (yaitu r1 = 0,53 Å). c) Hitung potensial eksitasi pertama atom tersebut. 6. Hitung λ garis Kα dalam atom tembaga (Cu). Gunakan hukum Moseley untuk perhitungan (yaitu Zeff = Z – 1 dan R = 1, 096776.107 m−1 ). 7. Hitung energi (dalam eV) dan panjang gelombang sinar-X Kα dari atom Co-27 8. Hitung λ garis Kα dari sebuah atom target tembaga dengan menggunakan hukum Moseley. Konstanta Rydberg Hidrogen R H = 1,096777.107 m−1 . 9. Nilai terukur dari energi kinetik total pecahan fision dari fision neutron termal 235 92 U adalah 196 MeV. Anggap bahwa nilai berturut-turut Z dan A pecahan fision yaitu (35,72) dan (57,162). Hitung jarak r antara pecahan saat pemisahan. Bandingkan nilai ini dengan jumlah dua pecahan. Jejari inti 1
R = r0A 3 di mana r0 = 1,2.10−15 m .
219 BAB 4 RADIOAKTIVITAS
Pada Tahun 1896 Henry Becquerel menemukan bahwa garam Uranium memancarkan radiasi yang dapat menembus kertas maupun selaput tipis perak. Ia menunjukkan bahwa pancaran radiasi dari garam Uranium tidak bergantung dari pengaruh luar tetapi dari material itu sendiri. Ia juga menunjukkan bahwa radiasi dari garam Uranium dapat menyebabkan garam terionisasi. Peristiwa yang ditemukan oleh Henry Becquerel tersebut dikenal sebagai radioaktivitas. Radiasi yang dipancarkan dari garam Uranium disebut sinar Becquerel. Tahun 1898 Pierri Curie dan Marie Curie menemukan dua unsur radioaktivitas yaitu Radium dan Polonium serta menunjukkan bahwa radioaktivitas tidak terpengaruh proses kimia. 4.1. Peluruhan Radioaktif
Beberapa inti suatu unsur menunjukkan ketidakstabilan, walaupun mempunyai gaya inti yang kuat. Sebuah inti yang tidak stabil akan menjadi pecah/terpisah untuk mencapai sebuah konfigurasi yang lebih stabil. Misal jumlah inti yang tidak meluruh dari unsur radioaktif pada suatu saat adalah N, maka kecepatan di mana N berubah terhadap waktu berbanding lurus N, jadi dN = − λN ………………………………………………… (4.1) dt dimana λ merupakan tetapan peluruhan dan tanda (-) menunjukkan selama t meningkat N akan berkurang. Jika diintegralkan terhadap N dan t maka akan menjadi ln N = – λt + C dimana C adalah tetapan integrasi Misal jumlah inti yang belum meluruh (N) pada t = 0 adalah N0 (jumlah inti suatu unsur radioaktif pada saat awal), maka ln N0 = C sehingga
ln N = -λt + ln N0 ln
dan
N = − λt ………...………………………………….…… (4.2) N0
N = N0e− λt ………………………………………………… (4.3)
220 4.2. Umur Paruh Waktu
Didapatkan bahwa dalam sebuah interval waktu T yang tetap, sebuah unsur radioaktif akan berkurang jumlah atom-atomnya menjadi setengah jumlah awal interval. Dalam interval waktu T berikutnya, jumlah atom akan berkurang menjadi setengah dari jumlah atom pada interval waktu T sebelumnya. Interval waktu T ini disebut Umur Paruh Waktu dari suatu unsur radioaktif (lihat gambar 4.1) N N0
N0 /2 N0 /4 N0 /8 0
T
2T
3T
t
Gambar 4.1. Peluruhan suatu unsur radioaktif Misal umur paruh waktu (T) unsur Radon adalah 3,82 hari, jika terdapat gas Radon mula-mula 1 mg maka setelah 3,82 hari gas Radon yang tersisa akan menjadi 0,5 mg dan 3,82 hari berikutnya gas Radon akan menjadi 0,25 mg dan 3,82 hari berikutnya gas Radon akan menjadi 0,125 dan seterusnya. Umur paruh suatu unsur radioaktif adalah
tetap dan tidak dipengaruhi
oleh keadaan
lingkungan seperti perubahan tekanan, suhu, kelembaban, medan listrik, dan medan magnet. Jika umur paruh waktu suatu unsur adalah T, ketika waktu peluruhan suatu unsur radioaktif (t) menjadi T, maka N = N 0 /2 ketika t = T dan persamaan (4.2) menjadi ln
N 0 /2 = -λT N0
sehingga umur paruh waktu (T) yaitu T=
ln2
λ
=
0,693
λ
………..……………………………… (4.4)
dan T disubstitusikan ke persamaan (4.3) N = N 0e
−0,693
t T
….……..……………………………… (4.5)
221 4.3. Umur Rata-Rata
Umur rata-rata suatu unsur radioaktif adalah perbandingan jumlah umur semua inti saat sekarang dalam suatu sampel dengan jumlah total inti. ∞
t=
∫0 N t dt
…….……..……………….……………… (4.6)
∞
∫0 N dt ∞
t=
∫0 t N0e ∞
-λt
-λt
∫0 N0 e
dt di mana
dt
∫ udv = uv - ∫ vdu
∞
t e-λt e-λt - ∫ dt λ λ 0 t = ∞ e-λt -λ 0 ∞
t e-λt e-λt - 2 λ λ 0 t = ∞ e-λt -λ 0
t=
1
λ
….……..…………………………….…… (4.7)
Terlihat bahwa umur rata-rata ( t ) suatu unsur berbanding terbalik dengan tetapan peluruhan λ. 4.4. Aktivitas Unsur Radioaktif
Aktivitas suatu unsur radioaktif adalah kecepatan di mana inti dari atomatom unsur radioaktif meluruh atau jumlah inti yang meluruh per satuan waktu. Satuan aktivitas suatu unsur radioaktif adalah curie (Ci) yaitu 3,7.1010 perpecahan (disintegrasi) per detik. Aktivitas 1 gm Radium mendekati sama dengan 1 curie ( 1 gm = 1 gram mol ), aktivitas suatu unsur radioaktif dalam satuan SI adalah becquerel (Bq). 1 becquerel = 1 Bq = 1 disintegrasi per detik 1 curie = 3,7.1010 Bq = 37 G Bq
222 4.5. Disintegrasi berturut-turut
Suatu unsur meluruh menjadi unsur lain dan unsur hasil peluruhan itu dapat meluruh menjadi unsur yang lain juga, misal unsur A (induk) meluruh menjadi unsur B (anak), lalu unsur B meluruh menjadi unsur C. Jika tetapan peluruhan unsur A menjadi unsur B adalah λ1 dan tetapan peluruhan unsur B menjadi unsur C adalah λ2, maka λ1 λ2 A → B →C
Misal suatu saat sampel mengandung hanya unsur A, jadi pada t = 0 jumlah inti A adalah N0. Pada waktu t misal jumlah inti A dalam bentuk campuran menjadi N 1, maka N = N e-λ1t ….……..…………………………….…… (4.8) 1
0
Setiap sebuah inti A disintegrasi, maka sebuah inti B terbentuk, sehingga kecepatan pembentukan B yaitu λ1N1 dan kecepatan B meluruh yaitu λ2N2 maka kecepatan pembentukan keseluruhan B = λ1N1 - λ2N2 , sehingga dN 2 = λ1N1 - λ 2 N 2 ….……..….…………………….…… (4.9) dt dari substitusi persamaan (4.8) didapatkan dN 2 + λ 2 N 2 = λ1N 0e-λ1t dt kedua sisi dikalikan eλ2t ( λ 2 −λ1 )t dN 2 λ2t + λ N e = λ N e 2 2 1 0 dt λ −λ t d …………………….…… (4.10) N 2eλ2t = λ1 N 0e( 2 1 ) dt λ -λ t λ di mana C = tetapan integrasi N 2 e λ 2 t = 1 N 0e ( 2 1 ) + C λ 2 -λ1
)
(
saat t = 0, maka N2 = 0 dan C=-
λ1 N 0 λ 2 -λ1
N2 =
λ1 -λ t λ N -λ t N 0e 1 - 1 0 e 2 λ 2 -λ1 λ 2 -λ1
223
λ1N 0e-λ1t -( λ 2 -λ1 )t N2 = 1-e λ 2 -λ1 N2 =
N 0 λ1 -λ1t -λ1t -λ2t λ1t e -e e e λ 2 -λ1
N2 =
N 0 λ1 -λ1t -λ 2t e -e λ 2 -λ1
…………..………..…… (4.11)
Jika umur paruh waktu induk (TA) lebih besar umur paruh waktu anak (TB), - λ -λ t sehingga λ1 << λ2 dan setelah beberapa interval waktu e ( 2 1 ) ≈ 0 , maka
λ1N 0e-λ1t λ1 N1 N2 = = …………………………..…… (4.12) λ 2 -λ1 λ 2 -λ1 Hasil ini menunjukkan bahwa perbandingan atom-atom anak dan induk adalah tetap. Ini juga menunjukkan bahwa keduanya baik atom induk maupun atom anak meluruh pada kecepatan yang ditentukan oleh tetapan peluruhan atom induk. Ketika keadaan ini telah dicapai, maka sampel dikatakan dalam kesetimbangan transient. Jika umur paruh waktu inti induk (TA) >> umur paruh waktu anak (TB) maka λ1 << λ2 dan persamaan (4.12 ) menjadi λ2N2 = λ1N1
……………………………………....…… (4.13)
Oleh karena itu pada kecepatan di mana atom-atom anak meluruh sama dengan kecepatan di mana atom anak terbentuk, sehingga jumlah atom-atom anak tetap. Jenis kesetimbangan ini disebut kesetimbangan secular. 4.6. Hukum Pergeseran Radioaktif
hukum I : Ketika sebuah inti radioaktif disintegrasi memancarkan sebuah partikel α, maka posisi atom tersebut dalam tabel periodik akan berpindah dua tempat ke kiri. Misal :
226 88
Bentuk Umum :
A ZL
Ra → →
222 86
A-4 Z-2 M
Rn + 42 He (partikel α) + 24 He
di mana A = massa atom dan Z = nomor atom hukum II : Ketika sebuah inti radioaktif disintegrasi memancarkan sebuah partikel β , maka posisi atom tersebut dalam tabel periodik akan berpindah satu tempat ke kanan.
224 Misal : Bentuk Umum :
241 94 Pu A ZX
→
→
241 95 Am
A Z+1Y
+ -10 e (partikel β)
+ -10 e
Soal-soal latihan :
1. Umur paruh waktu Thorium X adalah 3,64 hari. Setelah berapa hari massanya tinggal 0,1 massa awal ? 2. Uranium 238 dan Uranium 235 terjadi/terdapat di alam dalam perbandingan 140 : 1. Anggap bahwa saat pembentukan bumi, dua isotop tersebut berada dalam jumlah yang sama. Hitunglah usia bumi ? (di mana umur waktu paruh U-238 = 4,5.109 tahun dan umur waktu paruh U-235 = 7,13.10 8 tahun). 3. Umur paruh waktu Radium = 1600 tahun dan umur paruh waktu Radon = 3,8 hari. Hitung volume Radon (Rn-222) yang akan setimbang dengan 1 gm Radium (Ra-226). 4. Aktivitas sebuah sampel radioaktif turun menjadi 1/16-nya dari nilai awal dalam waktu 1 jam 20 menit, hitung umur paruh waktunya? 5. Umur paruh waktu U-238 = 4,5.10 9 tahun. Hitung aktivitas 1 gm U-238. 6. Perbandingan massa Pb-208 dengan massa U-238 dalam suatu batu yaitu 0,5. Anggap bahwa batu tersebut tidak mengandung Pb. Perkirakan umur batu tersebut? (di mana umur paruh waktu U-238 = 4,5.10 9 tahun).
225 Lampiran Lampiran 1 Polinomial Legendre
Persamaan diferensial Legendre adalah
(1 − x ) 2
d 2 y
− 2 x
dx 2
dy dx
+ l (l + 1) = 0 .
..................................................... (1)
Persamaan di atas juga dapat ditulis sebagai berikut : d
2 dy (1 − x ) + l (l + 1) y = 0 dx dx
Persamaan diferensial Legendre dapat diselesaikan dengan menggunakan deret positif tak berhingga dari x, sehingga : ∞
y =
∑0 a x
= a0 x m + a1 x m +1 + a2 x m + 2 + a3 x m + 3 + ..... ............................ (2)
m + r
r
r =
dy
sehingga
dx
∞
= ∑ ar (m + r )x m + r −1 dan
d 2 y dx 2
r = 0
∞
= ∑ ar (m + r )(m + r − 1)x m + r − 2 r = 0
Dari persamaan (2), jika dimasukkan nilai m = 0, maka y = a0 + a1 x + a2 x 2 + a3 x 3 + .....
Jika persamaan (2) disubstitusikan ke dalam persamaan (1), akan diperoleh : ∞
(1 − x )∑ a (m + r )(m + r − 1) x 2
r
r =0
m + r − 2
∞
− 2 x ∑ ar (m + r ) x r =0
m + r −1
∞
+ l (l + 1)∑ ar x m + r = 0 r = 0
atau ∞
∑0 a (m + r )(m + r − 1) x
m + r − 2
r
+ {l (l + 1) − 2(m + r ) − (m + r )(m + r − 1)} x m + r ar = 0
r =
atau ∞
∑0 [(m + r )(m + r − 1) x
m + r − 2
+ {l (l + 1) − (m + r )(m + r + 1)} x m + r ]ar = 0
r =
a. Jika xm = 0 dengan r = 0, akan diperoleh :
..... (3)
226 a0 {l (l + 1) − m(m + 1)} =
0
{l (l + 1) − m(m + 1)} = 0 l 2 + l − m2 − m = 0 (l − m )(l + m + 1) = 0
sehingga l = m atau m = - l – 1 b. Jika x m-1 = 0 dengan r = 1, akan diperoleh a1{l (l + 1) − m(m − 1)} = 0
[
]
a1 l 2 + l − m 2 + m = 0 a1 [(l + m )(m − l − 1)] = 0 a1 = 0dengan (l + m )(m − l − 1) ≠
0
c. Jika xm+r-2 = 0 (m + r )(m + r − 1)ar + [l (l + 1) − (m + r − 2 )(m + r − 1)]ar − 2 = 0 l (l + 1) − (m + r − 2 )(m + r − 1) = l 2 + l − (m + r − 1 − 1)(m + r − 1) = −[(m + r − 1) − (m + r − 1) − l 2 − l ] 2
= −[(m + r − 1 + l )(m + r − 1 − l ) − (m + r − 1 + l )] = −[(m + r − 1 + l )(m + r − 1 − 1 − l )] = (m + r + l − 1)(m + r − l − 2 )atau
(m + r )(m + r − 1)ar + (m + r + l − 1)(m + r − l − 2 )ar − 2 = 0, sehingga (m + r )(m + r − 1) ar − 2 = − a (m + r + l − 1)(m + r − l − 2 ) r
jika m = 0 maka
ar = −
(l + r − 1)(l − r + 2 ) ar − 2 .................................................. (4) r (r − 1)
Apabila memasukkan beberapa nilai r dalam persamaan (4), akan diperoleh : a. untuk nilai r = 0 maka diperoleh a0 b. untuk nilai r = 1 maka diperoleh a 1 c. untuk nilai r = 2 maka diperoleh a2 = −
(l + 1)l a 2(1) 0
d. untuk nilai r = 3 maka diperoleh a3 = −
(l + 2)(l − 1) a1 3(2)
e. untuk nilai r = 4 maka diperoleh
227 (l + 3)(l − 2 ) (l + 3 )(l − 2 ) (l + 1 )l a2 = − − 2(1) a0 4(3) 4(3) (l − 2 )l (l + 1)(l + 3 ) a0 = 4! a4 = −
f. untuk nilai r = 5 maka diperoleh a5 = −
(l + 4 )(l − 3) (l − 3)(l − 1)(l + 2 )(l + 4 ) a1 = a1dst 5(4 ) 5!
Dengan demikian, dapat ditulis :
y = a0 1 −
a1 x −
l (l + 1) 2 l (l − 2 )(l + 1)(l + 3 ) 4 x + x − ..... +
2!
4!
(l − 1)(l + 2 ) 3 (l − 3)(l − 1)(l + 2 )(l + 4 ) 5 x + x − ...... 3! 5!
..................... (5)
Dari persamaan (5) dapat diperoleh suku- banyak-suku banyak Legendre dimana suku banyak tersebut manjadi sama dengan satu jika x sama dengan satu. Dalam hal ini besar a0 dan a1 adalah sembarang. Adapun suku banyak-suku banyak tersebut adalah sebagai berikut : Pl ( x ) = 1 P0 ( x ) = 1 P1 ( x ) = x
P2 ( x ) → a0 1 −
l (l + 1) 2 x = 1
2!
2(3) 2 1 2 x = 1 → (1 − 3 x )a0 = 1 → a0 = − 2.1 2 (l − 1)(l + 2 ) 3 P3 ( x ) → a1 x − x = 1 3! 2.5 3 1 a1 x − x = 1 → a1 (3 x − 5 x3 ) = 1 → a1 = − 2 3.2 4.5 2 4(2 )(5 )(7 ) 4 P4 ( x ) → a0 1 − x + x = 1 2! 4.3.2.1 1 2 4 a0 (3 − 10 x + 35 x ) = 1 → a0 = dst 8
a0 1 −
1 63x5 − 70 x 3 + 15x ) ( 8 1 P6 ( x ) = ( 231x 6 − 315 x 4 + 105x 2 − 5) 8 P5 ( x ) =
228
Pl ( x ) =
N
∑ (− 1)r r = 0
dimana
(2l − 2r )! l − r x 2 ............................................... (19) l 2 r !(l − r )!(l − 2r )!
: N = l /2 untuk l genap dan (l -1)/2 untuk l ganjil.
Pl(x) dapat dicari dengan menguraikan (x 2-1)l dengan theorema Binomial. r = l
( x − 1) = ∑ l
2
l
C r ( x
2
l − r
) (− 1)
r
r = l
=∑
r = 0
(− 1)r
l!
x 2 l − 2 r
r !(l − r )!
r = 0
l 1 d l 2 l 1 r = l l! d 2l − 2 r r ( x − 1) = l ∑ (− 1) ( x ) Pl ( x ) = l l 2 l! dxl 2 l! r = 0 r !(l − r )! dx N (− 1)r (2l − 2r )! l − 2 r Pl ( x ) = ∑ l x !(l − r )!(l − 2r )! r = 0 2 r
Jadi akan terlihat bahwa suku banyak Legendre
Pl (x) genap
atau ganjil
menurut derajat l apakah ganjil atau genap. Karena Pl(1) = 1
............................................................................ (20)
Maka dapat disimpulkan Pl (-1) = (-1)l ........................................................................... (21) Suatu rumus penting P l (x) dapat dijabarkan langsung dari persamaan diferensial Legendre. Misalkan ; v
= ( x2 – 1 )l
maka
dv dx
........................................................................... (22) l −1
= 2lx ( x 2 − 1)
Jadi , (1 − x 2 )
dv dx
............................................................... (23) ................................................................ (24)
+ 2lxv = 0
Jika persamaan (24) didiferensialkan terhadap x, maka diperoleh :
(1 − x ) 2
2
d v dx 2
+ 2(l − 1) x
dv dx
+ 2lv = 0
.................................................... (25)
Jika persamaan (25) didiferensialkan r kali berturut-turut, maka diperoleh :
(1 − x ) 2
dengan
2
d vr dx 2 vr =
+ 2(l − r − 1) x d r v dx r
dvr dx
+ (r + 1)(2l − r )vr = 0 ............................ (26)
................................................................ (27)
Jika r = l, persamaan (26) akan tereduksi menjadi
229
(1 − x ) 2
d 2 vl
− 2 x
dx 2
dvl
+ (l + 1)lvl = 0 .................................................... (28)
dx
Persamaan (28) adalah sama dengan persamaan (10). Jadi,
vl memenuhi
persamaan diferensial Legendre. Tetapi karena vl adalah l
d v
vl =
dx
l
l
=
d
dx
(x 2 − 1)
l
l
................................................................ (29)
maka vl merupakan suatu suku banyak derajat l, dan karena persamaan Legendre mempunyai satu dan hanya satu penyelesaian dari bentuk
Pl (x) ,
maka berarti
Pl (x) merupakan suatu kelipatan tetapan dari vl. Jadi akan diperoleh : l
d
Pl ( x ) = C l (x 2 − 1) dx
l
................................................................ (30)
Untuk menentukan tetapan C cukup ditinjau pangkat tertinggi untuk x disetiap ruas persamaan di atas, yakni l (2l )! l (2l )! l d 2l = = x C x C x l dx l! 2l (l!)2
Jadi,
C =
1 2l l!
.................................................... (31)
............................................................... (32)
Dengan Menyubstitusikan nilai C ke dalam persamaan (30) maka diperoleh persamaan : 1 d l 2 l (x − 1) Pl ( x ) = l ............................................................... (33) 2 l! dx l Persamaan (33) adalah Rumus Rodrigues untuk suku banyak Legendre. C. Solusi Persamaan Schroedinger Polar Atom Hidrogen Menggunakan Persamaan Legendre Gabungan
Jika persamaan (10) didiferensialkan m kali terhadap x dan dituliskan v =
d m y dx
........................................................................... (34)
m
maka diperoleh :
(1 − x ) 2
2
d v dx
2
− 2 x(m + 1)
dv dx
+ (l − m )(l + m + 1)v = 0
............................ (35)
Karena Pl adalah suatu penyelesaian persamaan Legendre maka persamaan (35) akan dipenuhi oleh
230 m
v=
d
dx m
Pl ( x)
........................................................................... (36)
Dari persamaan (35), misalkan : w = v (1 - x )
,
............................................................................ (37)
2 m/2
maka diperoleh m2 (1 − x ) 2 − 2 x + l (l + 1) − w = 0 ..................................... (38) dx dx 1 − x 2 d 2 w
2
dw
Persamaan (37) berbeda dari persamaan Legendre pada suku tambahan yang mengandung m. Persamaan (37) dinamakan persamaan Legendre Gabungan. Persamaan (37) dipenuhi oleh : w=
m / 2
(1 − x ) 2
m
d
dx
m
............................................................... (39)
Pl ( x )
Nilai untuk w adalah suku banyak Legendre gabungan dan dinyatakan dengan
Pl ( x ) . Jadi berlaku : Pl ( x ) = m
m
m / 2
(1 − x ) 2
m
d
dx m
Pl ( x )
............................ (40)
Perlu diperhatikan bahwa jika m > n berlaku Pl ( x ) m
=0
........................................................................................ (41)
Dengan menggunakan persamaan (40), maka persamaan (38) dapat diubah dalam bentuk :
(1 − x ) 2
d 2 Pl
m
dx
2
( x )
− 2 x
dPl
m
( x )
dx
+ l (l + 1) −
m2 2
1 − x
Pl
m
(x ) = 0 ...............(42)
dimana persamaan 42 diselesaikan dengan fungsi asosiasi Legendre. Fungsi Legendre Gabungan dapat digunakan untuk mengidentifikasi fungsi gelombang θ. Fungsi Legendre Gabungan
Pl
m
( z ).
adalah fungsi
gelombang θ dengan bilangan kuantum azimut l dan bilangan kuantum magnetik m.
= ( ) ( ) P z P z dz 2 (l + m ) l l ' ∫ −1 (2l +1) (l − m ),untukl ' = l +1
Jika :
m
m
.................................................... (43) Persamaan (43) akan digunakan untuk normalisasi fungsi gelombang yang tergantung pada θ. Bentuk akhir dari θ (ϑ ) adalah
231 θ lm (ϑ ) = N lm Pl (cosϑ ) .......................................................................... (44) m
dimana N adalah tetapan normalisasi. Tetapan normalisasi diperoleh dari ortogonal fungsi Adapun ortogonal fungsi
Pl
m
Pl
Pl
mengurangi persamaan diferensial tersebut dengan
m
Pl
m
( x ) dan Pl m' ( x ) .
( x ) dan Pl m' ( x ) diperoleh dengan cara sebagai
berikut: Mengalikan persamaan diferensial (42) dengan
dengan
m
m
( x ) dan Pl ' m (x) lalu
Pl ' ( x )
dan mengalikan
( x ) dan diperoleh hasil : m m d 2 dPl ' Pl ' (1 − x ) − Pl (1 − x ) dx dx dx dx m m d m dPl ' 2 m dPl = − Pl (1 − x )Pl ' dx dx dx m
d
dPl
2
m
= {l ' (l '+1) − l (l + 1)}Pl ' Pl m
....................... (45)
m
Jika persamaan (45) diintegralkan dengan batas antara –1 dan 1, maka akan diperoleh hasil : +1
m m m m m dPl ' 2 m dPl {l ' (l '+1) − l (l + 1)}∫ Pl ' ( x )Pl ( x )dx = (1 − x ) Pl ' − Pl = 0 dx dx −1 −1
+1
....................................................................................... (46) +1
Jika l ' ≠ l , maka ,
∫1
m
Pl ' ( x )Pl
m
( x )dx = 0 ..........................................(47)
−
Hasil pada persamaan (47) benar untuk beberapa harga dari m, sehingga hasil persamaan (47) juga benar untuk fungsi Legendre Pl (x) jika Pl (x) =
Pl 0 ( x ) .
Rumusan Normalisasi berasal Fungsi Legendre Pl (cos θ) = Pl (x) yang dapat didefinisikan sebagai fungsi umum T (t,x) seperti ∞
T (t,x) ≡ ∑ Pl ( x )t l ≡ l =0
1 .................................................. (48) 1 − 2tx + t 2
Kemudian apabila persamaan 48 didiferesialkan dalam t menjadi : ∂T ∞ 1 / 2(− 2 x + 2t ) ≡ ∑ lPl t l −1 ≡ − atau ∂t l = 0 (1 − 2 xt + 2t 2 )3 / 2
232
(1 − 2 zt + t 2 )∑ lPt −1 ≡ ( z − t )∑ Pt ............................... (49) l
l
l
l
l
l
Sebagai solusi untuk kedua ruas dengan menggunakan rumus Polinomial Legendre. (l+1) P l+1(x) - (2l+1) xPl (x) + lPl-1 (x) =0 ............................................. (50) Untuk memperoleh normalisasi integral polinomial Legendre dengan mengganti l dengan (l – 1 ) pada persamaan (50) dan menghasilkan persamaan: Pl ( x ) =
1 l
{(2l − 1) xPl −1 ( x ) − (l − 1)Pl − 2 ( x )} ................................................ (51)
Dari persamaan di atas diperoleh hubungan : +1
2
∫1{P ( x )} dx = l
−
2l − 1 +1
∫1 P 1 ( x ) xP ( x )dx ................................................... (52) l−
l
l
−
Persamaan (50) dapat ditulis : 1
{(l + 1)Pl +1 ( x ) + lPl −1 ( x )} .................................................. (53) 2l + 1 Dengan menggunakan ortogonalnya akan didapatkan :
xPl ( x ) =
+1
2l − 1 +1 2 ∫−1{Pl ( x )} dx = 2l + 1 −∫1{Pl −1 ( x )} dx ......................................................... (54) 2
+1
(2l − 1)(2l − 3)(2l − 5).....3.1 +1 2 { ( ) } { ( ) } P x dx P x dx = l 0 ∫−1 (2l + 1)(2l − 1)(2l − 3).....5.3 −∫1 2
=
+1
1
2
{P ( x )} dx ........................................................... (55) 2l + 1 ∫1 0 −
P0(x) menurut definisi persamaan (48) adalah koefisien t0 dalam luasan ( 1 – 2tz + t2 )-1/2 dalam keadaan t . Sehingga : +1
2
∫ {Pl ( x )} dx =
−1
+1
1
2l + 1 −∫1
dx =
2 2l + 1
......................................................... (56)
Cara memperoleh integral normalisasi fungsi asosiasi Legendre adalah dengan menurunkan persamaan (40) dan mengalikan dengan ( 1 –x2)1/2 , akan diperoleh : 2 1 / 2
(1 − x )
dPl
m
( x )
dx
= (1 − x
2
)
m +1
2
d dx
m +1 m +1
Pl ( x ) − m x (1 − x
2
)
m −1
2
d dx
m m
Pl ( x )
233 −1 / 2
m x(1 − x 2 )
= pl m +1 ( x) −
+1
∫1{P
m +1
l
−
Pl
m
( x) ....................................... (57)
2 m m 2 ( ) ( dP x x ) m 2 x 2 m dPl m 2 l + {Pl ( x )} dx ( x )} dx = ∫ (1 − x ) + 2 m xPl 2 − dx dx 1 x −1 +1
2
d
+1
= − ∫ Pl ( x ) m
−1
(1 − x ) 2
dPl
(1 − x ) 2
Dimana :
Batas dalam
dPl
dPl
∫ {P
m
l
2
+1
( x )} dx + ∫
2 2
m x
{P 2
m
2
( x )} dx
−1
−1
∫ udv = uv − ∫ vdu
m
dx
, jika, u = x, maka
m
dx uv
+1
dx − m
dx
Dalam persamaan umum
dv =
( z )
1 − x l .......................................................................... (58)
dx
u=
m
, dv = 2 Pl
m
dPl
m
dx
{ }2
dx = d Pl
m
ditiadakan pada keadaan pertama karena (1 – x2) limit
mendekati nol dan pada keadaan kedua karena
Pl
m
( x ) juga limit mendekati nol
jika m ≠0. Jika digunakan persamaan (42) dengan Pl m ( x ) untuk mengurangi batas pertama dari persamaan (58) maka akan dihasilkan, +1
∫ {P
m +1
l
2
( x )} dx = (1 −
+1
∫{
m )(l + m + 1) Pl
−1
m
2
( x )} dx
−1
+1
∫1{P l
m
2
( x )} dx = (l −
+1
∫1
2
m + 1)(l − m + 2 ).....l (l + m )(l + m − 1)...(l + 1) {Pl ( x )} dx
−
−
........................................................................................ (59) sehingga diperoleh hasil +1
∫ {P l
−1
m
2
( x )} dx =
2 (l + 2l + 1 (l −
m )! m )!
.............................................................. (60)
Mensubstitusikan hasil persamaan (40) dan persamaan (60) ke dalam persamaan 44, sehingga persamaannya menjadi : m (2l + 1) (l − m )! 2 m / 2 d (1 − x ) θ lm (ϑ ) = P ( x ) ..................................... (61) m l 2 (l + m )! dx
dimana x = cos θ
234 Lampiran 2 Polinomial Lagguerre
Polinomial Laguerre adalah turunan pada orde tertentu untuk sebuah fungsi yang mengandung eksponensial. Polinomial Laguerre merupakan sebuah fungsi diskret sebagai differensial orde ke-n. Tinjau sebuah fungsi jenis: y = x k e – x .....................................................(5) Turunan ke-k dari persamaan (5) akan menjadi: k
d y dx
k
d ( x e
k − x
k
=
dx
k
)
= e − x Lk ( x) .................................................(6)
Dimana Lk(x) adalah polinomial x, di mana pangkat tertinggi dari x adalah k. d k k − x Lk ( x) = e = e k ( x e ) k dx dx k
Atau Lk (x)
x
disebut
d y
x
” Polinomial Laguerre ”
dinyatakan sebagai
L pk ( x )
.........................................(7)
derajat k . Turunan ke- p dari Lk (x)
yang disebut polinomial Laguerre gabungan, yang
diberikan oleh persamaan: p d
d k k − x L ( x ) = p [ Lk ( x )] = p e k ( x e ) ……………..………….(8) dx dx dx p
p k
d
x
Polinomial ini adalah derajat k-p dan mempunyai orde p. misal: y = x3 e – x
Sebagai contoh:
3
d y dx
3
= (6 − 18 x + 9 x 2 − x 3 )e − x
Polynomial Laguerre nya adalah: L3(x ) =
e x (6 − 18 x + 9 x 2 − x 3 )e − x
= 6 − 18 x + 9 x 2 − x3 Polinomial Laguerre gabungan dari orde 1 akan mempunyai derajat 3 – 1 =2 L13 ( x) =
d dx
[(6 − 18 x + 9 x 2 − x 3 )]
= −18 − 18 x + 3x 2
Diikuti sampai dengan p
≤ k .
Jika p
= k
Polinomial Laguerre gabungan L pk ( x)
tidak mempunyai sebuah bentuk dalam x dan anggota berturut-turut yaitu untuk p > k dalam pangkat akan hilang.
235 Persamaan deferensial di mana solusinya akan menjadi sebuah polinomial Laguerre gabungan L pk ( x) adalah : d 2 [ Lk ( x)] l
x
dx
2
d [ Lk ( x)] p
+ ( p + 1 − x)
dx
Jika kita mengganti x dengan 2l+1persamaan (9) menjadi: ρ
+ (k − p) Lk p ( x) = 0 ……………………(9)
ρ
,
d 2
d
d ρ
ρ d
[ L2nl++11 ( ρ )] + (n − l − 1) L2nl++11 ( ρ ) = 0 ...........(10)
[ L2nl++11 ( ρ )] + [2(l + 1) − ρ ] 2
Polinomial
L2nl++11 ( ρ )
k
diganti dengan
n+l
dan
p
diganti
diperoleh dengan menghitung persamaan (8) setelah
meletakkan p = 2l+1 dan k = n + l . Juga diperoleh bahwa persamaan (11) adalah: l+ L2n +11
n − l −1 k {(n + 1)!}2 k +1 ( ρ ) = ∑ (−1) ρ …………………(11) − − − + + ⋅ ( 1 )! ( 2 1 )! ! n l k l k k = k 0
dengan l = 0, 1, 2, 3, …, n-1 dan n = bilangan bulat positif = 1, 2, 3, … Normalisasi Dari Persamaan Laguerre
Dalam rangka untuk memecahkan persamaan Laguerre yang mengandung factor Normalisasi kita menggunakan persamaan fungsi generator yang diberikan ∞
L ( ρ )
berikut: U s ( ρ , u ) ≡ ∑ r = s
secara mirip misal:
s r
r !
r s u ≡ ( −1)
V s ( ρ , v) ≡
∞
e
∑ t = s
t !
ρ u
1− u
(1 − u)
L ( ρ ) s t
−
s +1
u
s
t s v ≡ ( −1)
e
−
ρ v
1− v
(1 − v)
s +1
v
s
dengan mengalikan secara bersama dan memasukkan factor ini dan mengintegralkannys diperoleh: ∞
∫0
s +1
ρ = e ρ U s ( ρ , u )V s ( ρ , v) d − p
∞
r t
uv
∞
e ∑ r !t ! ∫0 ,
ρ s +1 Lsr ( ρ ) Lst ( ρ )d ρ
− ρ
r t = s
u
v
− ρ 1+ + ∞ (uv) s ( s + 1)!(u, v) s (1 − u )(1 − v) s +1 1− u 1− v = ρ e ρ = d (1 − u ) s + t (1 − v) s +1 ∫0 (1 − uv) s + 2 ∞ ( s + k + 1)! = ( s + 1)!(1 − u − v + uv)∑ (uv) s + k k = 0 k !( s + 1)!
dimana kita telah mengekspansikan (1 − uv) − s − 2 dengan deret binomial.
236 Integral yang kita cari adalah (r!)2 kali koefisien (uv)r dalam perluasan sebagai (r + 1)! (r !)3 (2r − s + 1) r ! + berikut: (r !) ( s + 1)! = ( r s )! ( s 1 )! ( r s 1 )! ( s 1 )! (r − s )! − + − − + 2
Kemudian untuk mengintegralkan persamaan
∞
∫0 e
ρ 2l + 2{ L2nl++l1 ( ρ )}2 d ρ = kita
− ρ
harus memakai r = n + l dan s = 2l + 1, yang menghasilkan hasil akhir: 2n[(n + l )!]3 (n − l − 1)! 1 d dP M 2 P sin θ + β P − 2 = 0 sin θ d θ d θ sin θ
Persamaan θ yakni:
2 cosθ dP M P = 0 ………………………………(1) + β − 2 + sin θ d θ sin 2 θ d θ 2
d P
atau,
dimana P = P (θ), β =
8 π 2 µ r 2 E h
2
, dan M = 0, 1, 2, …
ambil x = cos θ dan mengubah P( θ) dengan L (x); maka dP
=
d θ
dL dx dx d θ
2
= − sin θ
dL dx
dL dL d dL − sin θ = − cosθ − sin θ d θ d θ dx dx d θ dx dL d dL dx = − cosθ − sin θ . dx dx dx d θ d P 2
=
d
= − cosθ
dL dx
2
+ sin θ
d 2 L dx
2
Karena itu, persamaan (1) menjadi 2 M (1 − x ) L' '−2 xL'+ β − 2 L = 0 1 − x 2
dimana L = L (x), L’ =
dL dx
…………………..…………….(2) 2
dan L’’ =
d L dx
2
kasus 1: M = 0
persamaan (2) menjadi (1 − x 2 ) L' '−2 xL'+ β L = 0
…………….…..………(3)
Ini dalam persamaan Legendre sederhana. Tinjau deret pangkat
237 L = a0 + a1 x + a2 x 2 + a3 x 3 + ... 2
L = a0 + 2a2 x + 3a3 x + ...
…….……(4)
L = 2a2 + 3 × a3 x + 4 × a4 x 2 + ...
substitusikan ini kedalam persamaan (3) dan kelompokkan menurut pangkat x, (2a2 + βa0) + (3 x 2a3 – 2a1 + βa1)x + (4 x 3a4 – 6a2 + βa2)x2 + (5 x 4a5 – 12a3 + βa2)x3 + … = 0
……...….. (5)
persamaan (5) dapat terpenuhi jika koefisien masing-masing pangkat x adalah nol, yaitu jika :
βa 0
untuk x0,
(2a2 + βa0) = 0,
atau, a2 = −
untuk x1,
3 x 2a3 – 2a1 + βa1 = 0
atau, a3 =
2-β a 3x 2 1
untuk x2,
4 x 3a4 – 6a2 + βa2 = 0
atau a4 =
6-β a 4x3 2
untuk x3,
5 x 4a5 – 12a3 + βa3 = 0
atau a5 =
12 - β a 5x 4 3
2
atau secara umum, untuk xk,
(k + 2)(k + 1)ak+2 – (2k+k(k – 1))ak + βak = 0
atau,
ak+2 =
k(k + 1) - β a (k + 2)(k + 1) k
……………...….. (6)
Jadi, kita mempunyai rumus rekursi untuk menentukan koefisien ak+2 dari xk+2 dalam deret persamaan (4) dalam bentuk ak dari xk, dimana k = 0, 1, 2, … . β adalah bilangan. Kasus 2 :
M ≠ 0
Persamaan 2 menyebabkan dualisme pada 2 titik (dikenal sebagai titik singular), M2 yaitu x = ± 1. Ini disebabkan oleh bentuk yang mana akan menjadi tak 1− x2 terhingga. Untuk membuangnya kita mensubstitusi y = 1 – x dan z = 1 + x dan mengganti L(x) dengan fungsi lain R (y). Sehingga persamaan menjadi M 2 R = 0 (2y-y2) R"-2(1-y)R'+ β 2 2 − y y
…………………..(7)
sekarang persamaan deret pangkat akan menjadi R(y) = ys (a0 + a1y + a2y2 + …)
…………………..(8)
238 R' (y) = a0sys-1 + a1 (s+ 1) ys + …
sehingga
R" (y) = a0s(s-1)ys-2 + a1 (s+ 1) sys-1 + … substitusikan R", R', dan R kedalam persamaan (7) (2–y)2 [a0s(s-1)ys-1 + a1s(s+1)ys + …] + 2(2-y)(1-y)[a0sys-1+…] + β(2-y) [a0ys + a1ys+1 + …] - M2 [a0ys-1 + a1ys+…] = 0 Kumpulkan koefisien-koefisien pangkat terendah dari y (misal : ys-1) dan dibuat menjadi nol disebut “persamaan indicial” 4s (s – 1) + 4s - M 2 = 0 atau 4 s 2 = M 2 atau s = ±
M 2
Deret negatif dari y akan menyulitkan kita, sehingga kita hanya mengambil akar M . Substitusi z = 1 + x dan R (z) = L (x) akan menuju nilai yang 2
positif s = +
sama dari s. Lalu kita membuat : L( x) = y
M / 2
. z
M / 2
.G( x) = (1 − x 2 ) M / 2 .G( x)
dimana G(x) adalah fungsi lain dari L(x) oleh karena itu L ' ( x ) = (1 − x 2 ) L" ( x) = (1 − x
M
+ 2 M
2
2
M / 2
G '− M x(1 − x 2 )
M / 2 −1
.G
(G = G ( x))
) M / 2 G"−2 M x (1 − x 2 ) M / 2 −1 .G '
− 1 x 2 .(1 − x 2 )
M / 2 − 2
− M (1 − x 2 )
M / 2 −1
G
substitusikan ke persamaan (2), (setelah melalui manipulasi matematik) menjadi
(1 − x 2 )G"−2( M + 1) xG'+[β − M ( M + 1)]G = 0
……………………..(8)
persamaan (8) mirip dengan persamaan (3) dan kita memperoleh rumus rekursi di bawah ini a k + 2 =
(k + M )(k + M + 1) − β .a k (k + 2)(k + 1)
dimana koefisien akhirnya jika
a k + 2 dari
…………………………...…….(9)
xk+2 dapat ditentukan jika
a k dari
xk diketahui, atau
a 0 dan a1 diketahui.
(ii). Dengan bantuan rumus rekursi (6) atau (9) kita dapat memperoleh deret koefisien dengan indek genap ( indeks ganjil (
a 2 , a 4 , a 6 ,..... )
a 2 , a 4 , a 6 ,..... )
dalam bentuk
a 0 dan
dengan
dalam bentuk a1 . Masing – masing dua deret