Two-Level Game:
Antara Politik Domestik dan Kebijakan Luar Negeri1 Oleh: Arief Bakhtiar D.
2
"[P]erhaps every science must start with metaphor and end with algebra; and perhaps without the metaphor there would never have been any algebra." ─Max Black, Models and Metaphors, Metaphors, 1962
ALAM studi politik kerja sama internasional, bagaimana suatu negara menjalankan kebijakan politik luar negeri mendapat perhatian yang cukup istimewa, dan bahkan sempat menjadi perdebatan yang serius. Secara sederhana kebijakan luar negeri adalah “refleksi dari keadaan dan perkembangan dalam negerinya, juga keadaan dan perkembangan sistem politik internasional dapat menjadi faktor yang turut menentukan perilaku kebijaksanaan luar negeri. Jadi, kebijakan luar negeri pada pokoknya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal.” 3 Cukup banyak ahli politik dunia yang mencoba menjelaskan hal itu. Sebut saja tulisan Kennet Waltz (1959) dengan Man, The State, and War: Theoritical Analysis, Analysis, Peter Gourevitch (1978) dalam The Second Image Reversed: Reversed: The International Sources of Domestic Politics, Peter Katzenstein (1978) dalam Between Between Power and Plenty: Plenty: Foreign Economic Policies Policies of Advanced Advanced Industrial States atau pun studi Stephen Krasner (1978) dalam United States Commercial and Monetary Policy: Unravelling the Paradox of External Strength and Internal Weakness. Weakness . Namun, menurut menurut Robert Robert Putnam, Putnam, usaha mengungkap mengungkap dan menyatakan menyatakan apakah politik domestik mempengaruhi kebijakan luar negeri dan sebaliknya adalah suatu hal yang sia-sia. 4 Kadang-kadang penjelasan mengenai hal itu menjadi benang kusut. Tulisan ini akan menjelaskan sedikit tentang ide Putnam mengatasi keruwetan itu.
1
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Kerjasama Internasional untuk tugas ujian akhir semester tahun ajaran 2011/2012. Dosen: Dr. Nanang Pamuji/ Rochdi Mohan N. 2 Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM. NIM: 2008/272952/SP/ 23138. 3 Mappa Nasrun, Indonesian Relations with The South Pacific Countries: Problem and Prospect , Desertasi, (Unahs: 1990), hal. 98. 4 Robert Putnam, Diplomacy Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Two-Level Game, dalam International Organization, Organization, Vol. 42, No. 3. (Summer, 1988), hal. 427.
Kritik Putnam
Kita mulai dari ketidakpuasan Putnam. Putnam mengkritik interpretasi kasus di mana sebab-sebab domestik dan pengaruh internasional yang diperkenalkan oleh Kennet Waltz sebagai “second image”, ataupun sebab sebab internasional dan pengaruh domestik yang diperkenalkan Peter Gourevitch sebagai “second image reversed”, malah akan menyebabkan analisis yang hanya setengah-setengah dan tidak menawarkan analisis yang bisa mencakup mencakup semua faktor dan aktor yang terlibat secara simultan simultan atau bersamaan. bersamaan. Pada masa Putnam menelurkan idenya, ia menganggap bahkan dalam studi yang terbaru pun, di mana ia menyebut “the most sophisticated work” pada studi yang menyebutkan menyebutkan bahwa faktor domestik mempengaruhi mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, studi tersebut masih kurang lengkap. Ia mencontohkan studi Peter Katzenstein dan Stephen Krasner yang menunjukkan betapa pentingnya melihat faktor-faktor domestik dalam kebijakan ekonomi luar negeri. Menurut Katzenstein, seperti yang dikutip dalam Diplomacy dalam Diplomacy and Domestic Politics: Politics: The Logic of Two-Level Two-Level Game, Game, “The main purpose of all strategies of foreign economy policy is to make domestic policies policies compatible compatible with the international international political economy.” economy.” Keduanya memiliki kesamaan poin penting di mana “central decision -makers” (negara) harus memperhatikan secara simultan antara domestik dan tekanan internasional. Yang menjadi perdebatan adalah identifikasi “state strenght” yang menjadi variabel kunci. Menurut Putnam, cukup sulit untuk mengukur “state stength” secara pasti. Dalam variabel itu kesatuan dalam sebuah negara menjadi ambigu dan sangat problematis. Meminjam Gourevitch, Putnam menyebut istilah “state strenght” dengan sedikit komplain: argumen kuat-lemahnya negara menunjukkan bahwa identifikasi koalisi yang memerintah tidak begitu penting. Dengan demikian, pandangan pandangan itu, tambahnya, “a very apolitical argument”. Apalagi, faktor domestik dalam hubungan internasional mesti melibatkan “politics”, yang terdiri dari partai-partai, partai -partai, kelas sosial, kelompok kepentingan, legislator, dan opini publik serta pemilu, tidak sekedar pegawai eksekutif dan institusi eksekutif. 5 Jika hanya menitikberatkan negara, dalam faktanya, ada banyak perbedaan mengenai mengenai apa itu kepentingan kepentingan nasional dan konteks internasional yang mencakupnya. Lebih jauh, jika misalnya legislatif dikeluarkan sejenak dari unsur negara (“the state”), sulit untuk mempercayai bahwa diantara para eksekutif selalu ada persatuan pandangan pandangan atau pendapat. pendapat. Eksekutif di pusat pemerintahan menjadi penting dalam mediasi karena mereka lah yang terlibat langsung, bukan karena mereka telah bersatu-padu pendapat dalam dalam semua isu. isu.
5
Robert Putnam, Diplomacy Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Two-Level Game, 432-433.
Metafora Baru: Two-Level Game
Robert Putnam memulai analisisnya dengan sebuah kalimat dari Robert Strauss dalam Putaran Tokyo. Ringkasnya, Strauss mengatakan bahwa selama menjabat sebagai perwakilan perdagangan, ia menghabiskan banyak negosiasi dengan konstituen domestik, para buruh, dan anggota kongres AS, sama banyaknya banyaknya dengan negosiasi negosiasi yang dia lakukan dengan rekanan dagang luar negeri. Hal ini menunjukkan pada kita satu hal yang menjadi kritik Putnam: asumsi bahwa ba hwa adanya satu aktor yang bersatu dalam “state” adalah salah dan, lebih dari itu, menyesatkan. 6 Untuk memperjelas cara memahami hubungan politik domestik dan hubungan internasional, Robert Putnam mengenalkan sebuah metafor: “two“twolevel game” yang dimainkan oleh pengambil keputusan. Pengambil keputusan ini bisa presiden, pemimpin partai koalisi, menteri keuangan, atau perdana menteri, yang penting merepresentasikan negaranya. Kesemuanya, dalam permainan permainan masing-masing, masing-masing, dianggap sebagai sebagai kepala negosiator negosiator ( chief negotiators) negotiators) dan tidak memiliki preferensi yang independen. Gambaran sederhana dari “two“two-level game” ini, ini , seorang pengambil keputusan kebijakan tersebut duduk di antara dua papan permainan, yaitu satu domestik dan satu internasional. Tujuannya sederhana, pengambil keputusan atau chief negotiators harus memenangkan dua permainan itu. Apa yang terjadi dalam kedua permainan tersebut? Dalam level nasional, terjadi proses yang mana kelompok-kelompok domestik memperjuangkan kepentingannya dengan menekan pemerintah untuk mengadopsi kebijakankebijakan yang menguntungkan. Politisi juga mencari kekuatan dengan cara koalisi antar kelompok. Dalam level internasional, terjadi proses yang mana pemerintah pemerintah memaksimalisasi memaksimalisasi kemampuannya kemampuannya untuk memuaskan memuaskan kelompokkelompok penekan tadi, dan meminimalisasi kerugian dari hubungan luar negerinya. Jadi, tugas pemerintah atau pengambil keputusan di sini adalah mengamankan negaranya di medan internasional, dan mengamankan masa depan politiknya di dalam negeri. Tapi metafor itu saja belum cukup. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa konsep yang bisa menghubungkan itu semua dengan jelas? Dalam bab selanjutnya Putnam menyebut dua hal penting yang saling berhubungan, yaitu acceptability set (paltform penerimaan) dan win-sets (platform kemenangan). Konsep yang pertama disebut Level I, yaitu tawar-menawar di antara para negosiator untuk menentukan perjanjian yang akan dicapai dan diperjuangkan. Di sini hasilnya baru bersifat persetujuan sementara. Konsep kedua disebut Level II, yang mana detil dari perjanjian yang sudah dirasa cukup oleh negosiator diikuti diskusi terpisah dalam tiap grup tentang apakah pihaknya harus meratifikasi persetujuan tersebut. Dengan kata lain, Level II
6
Putnam merujuk “behavioral theory” Richard E. Walton dan Robert B. McKersie dalam A Behavioral Theory of Labor Negotiations: An Analysis of a Social Interaction System (New York: McGraw-Hill, 1965).
mensyaratkan penerimaan publik dalam negeri. Pada tahap penerimaan publik itulah kemenangan berada. 7 Dalam konteks Indonesia, apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru bisa digunakan digunakan sebagai studi kasus. Krisis ekonomi yang parah membuat membuat orientasi politik luar negeri Indonesia tertuju pada pencarian hutang untuk keluar dari krisis. Upaya itu berhasil, dibuktikan dengan kesuksesan para negosiator dalam menembus IMF atau IGGI. Namun di dalam negeri, penolakan penolakan atas cara-cara yang ditempuh ditempuh rezim Orde Baru membuat membuat pemerintah pemerintah melakukan melakukan represi dengan menggunakan menggunakan militer militer untuk membuat stabil level domestik. Peristiwa Malari 1974 bisa menjadi contoh ketidakpuasan atas inflasi, korupsi, dan kebijakan ekonomi pemerintah uang sangat mengandalkan dana hutang dan modal asing, yang mana pada saat 8 yang sama di Indonesia terjadi krisis pangan dan inflasi. Dengan membuat kestabilan pada level domestik, meskipun dengan cara keras, pemerintah telah memenangkan dua permainan sekaligus. Metafora “two“two-level game” ini secara jelas menunjukkan bahwa dalam pembahasan pembahasan konflik domestik nantinya nantinya akan berujung pada jawaban dari apa yang yang dibutuhkan ketika membicarakan “kepentingan nasional”. Metafora Putnam ini juga memperkenalkan pentingnya peran pembuat keputusan untuk berjuang pada level domestik dan dan internasional internasional secara secara bersamaan. bersamaan.
7
Dari situ ia menjelaskan faktor penting yang mempengaruhi win-sets (platform kemenangan). Pertama, distribusi kekuatan, preferensi dan kemungkian koalisi pada konstituen di Level II. Kedua, institusi politik Level II. Pembicaraan sebelumnya mengenai “state strength” hanya relevan saat menyentuh faktor ini. Ketiga, strateg i negosiator pada Level I. 8 John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, (New York: Columbia University, 1993), hal. 137-139, dalam Garnewati Wulandari (ed), et.al., Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 149.