17
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Politik acapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih supermatif. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah secara nasional. Politik mempengaruhi terbentuknya suatu hukum. Konvigurasi politik mempengaruhi dalam produk hukum. Begitu pula dalam proses hukum Islam menjadi hukum nasional. Legislasi hukum Islam di Indonesia merupakan upaya menjadikan hukum Islam sebagai hukum negara. Artinya, hukum Islam diangkat dan dikuatkan menjadi hukum negara.
Islam merupakan salah satu agama yang dianut oleh masyarakat dunia saat ini dan termasuk di antara agama-agama besar di dunia. Banyak fase yang harus di lewati oleh hukum Islam di Indonesia, baik dari masa masa penerimaan, masa suram akibat politik kolonial Belanda, dan masa pencerahan dengan menjadikan hukum Islam sebagai salah satu alternatif utama yang dipercaya oleh pemerintah RI dalam upaya menciptakan hukum nasional.
Potensi umat Islam merupakan salah satu dasar utama dalam pemberlakuan hukum Islam. Proses nyata yang dilakukan seperti pemberlakuan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan salah satu bukti nyata eksistensi hukum Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam. Kebutuhan masyarakat Islam akan payung hukum yang melindungi hak mereka, mendorong terbentuknya hukum yang dibutuhkan tersebut.
Perubahan-perubahan politik di Indonesia mempengaruhi terbentukanya suatu peraturan. Seperti pemberdayaan zakat di era pemerintahan Belanda pada pengaruh Snouck Hurgronge dan pada pemerintahan orde baru. Keduanya sangat berbeda meski kesamaan mereka ialah adanya tujuan di balik pemberlakuan hukum zakat pada masa itu.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka makalah ini akan membahas tentang eksistensi hukum Islam di Indonesia dan proses transformasi hukum Islam menjadi hukum nasional.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana eksistensi hukum Islam di Indonesia ?
Bagaimana transformasi hukum Islam menjadi hukum nasional ?
Tujuan
Untuk mengetahui eksistensi hukum Islam di Indonesia
Untuk mengetahui proses transformasi hukum Islam menjadi hukum nasional
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Islam di Indonesia
Kestagnasian hukum Islam Indonesia telah dialami sejak penjajahan Belanda. Seperti adanya teori reception in complexu, teori receptie yang mana teori politik hukum Belanda yang menjauhi hukum Islam berdampak buruk, sangat merugikan bagi umat Islam. Hukum Islam di Indonesia merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Seorang ahli hukum Belanda bernama L.W.C. Van den Berg menyatakan bahwa rakyat pribumi yang beragama Islam di Indonesia telah menerima hukum Islam secara keseluruhan yang disebut dengan teori reception in complexu. Artinya, penerimaan hukum Islam bukan hanya sebagian-sebagian, melainkan dalam bentuk kesatuan hukum. Namun, teori tersebut dibantah oleh Snouck Hurgronge dengan pandangannya yang dikenal dengan teori receptie. Teori tersebut ditanggapi secara serius oleh Hazairin bahwa teori receptie tersebut bersifat tendensius dengan tujuan untuk meminggirkan hukum Islam yang telah berlaku di masyarakat pribumi.
Sebagai seorang Islamolog, Snouck Hurgronge sangat memahami posisi hukum adat dalam konteks hukum Islam. Namun, ia sengaja menggunakan pengertian baru untuk mengalihkan perhatian dari hukum Islam yang diyakini oleh payoritas penduduk agar hukum Islam menghilang. Selain itu, hal tersebut untuk mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang juga dijiwai oleh hukum Islam. Sayuti Thalib salah seorang murid Hazairin mengemukakan teorinya dengan istilah teori reception a contrario yang menyatakan bahwa hukum adat dapat berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Berkaitan dengan hal tersebut, Frederick Carl Von Savigny berpandangan bahwa manusia terdapat beraneka ragam bangsa dan tiap-tiap bangsa mempunyai semangat bangsanya sendiri atau jiwa rakyatnya. Ia menegaskan bahwa hukum tidak dapat berlaku secara universal pada semua waktu dan tempat. Hal tersebut tergantung dengan jiwa rakyat suatu bangsa. Artinya, hukum sangat dipengaruhi oleh adat kebiasaan dan pergaulan hidup manusia sepanjang sejarah.
Pada term hukum Islam, terdapat dua istilah yang sering digunakan, yakni as-syari'ah al-Islamiyah dan al-fiqh al-Islamy. Padaliteratur Barat, istilah tersebut dikenal dengan Islamic law dan Islamic jurispundence. Perjalanan hukum Islam pada sejarah Indonesia memiliki lika-liku. Masing-masing masa memiliki nuansa dan perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Hal tersebut akan membantu dalam memahami hukum Islam serta konteks budaya hukum Islam.
Islam di Indonesia banyak tergantung pada kemampuan intelektual muslim, para ulama', dan pemimpin Islam yang lain untuk memahami realitas masyarakat mereka, baik bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan berkaaitan dengan ajaran-ajaran Islam. Keberadaan hukum Islam di Indonesia memiliki sejarah yang panjang.
Masa Kerajaan Islam
Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan sultan (raja) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu teori kredo atau syahadat di kalangan pemerhati hukum Islam. Teori yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam tersebut mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagaimana teori otoritas yang digagas oleh H.A.R. Gibb yang menyatakan bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya. Sebagai sebuah sistem hukum, hukum tersebut dijalankan penuh dengan kesadaran oleh pemeluknya sebagai refleksi atas penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini.
Masa Penjajahan Belanda
Realitas tersebut juga mendorong pihak kolonial Belanda ketika pertamakali datang pada abad ke-17 M untuk mengakui eksistensi hukum Islam. Bahkan setelah cukup lama diam, Belanda memulai mengeluarkan kebijakan terhadap keberadaan hukum Islam melalui kantor dagang Belanda VOC (1602-1880 M). Namun, seiring adanya perubahan orientasi politik yang cukup signifikan, Belanda mulai melakukan penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam, salah satunya dengan ide yang dikemas melalui konsep het indiche adatrecht.
Perjuangan atas hukum Islam tidak hanya berhenti pada pengakuan hukum Islam sebagai subsistem yang hidup di masyarakat, tetapi pada tingkat legalisasi dan legislasi. Perjuangan mempertahankan hukum Islam pada masa pasca kemerdekaan dengan banyaknya teori yang bermunculan, seperti teori receptive exit, teori reception a contrario, teori eksistensi, dan sebagainya.
Masa Orde Lama
Pada masa orde lama, hukum Islam memiliki posisi yang relatif lemah dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Walaupun umat Islam tetap berusaha memperjuangkannya, namun masa tersebut hukum Islam mengalami nasib yang sangat suram dan menyedihkan. Hukum-hukum agama, termasuk hukum Islam selalu dikendalikan oleh manifesto politik. Selama pemerintahan orde baru, dapat dilihat sejumlah legislasi hukum nasional yang berjuang kepada penerapan syariat Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan KHI.
Masa Orde Baru
Keruntuhan orde lama dan kelahiran orde baru merupakan angin segar yang memberikan semangat dan harapan baru bagi perkembangan hukum Islam. Namun, hal tersebut menimbulkan kekecewaan. Hal tersebut karena ternyata setelah pemerintahan orde baru menampakkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama pada kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan politik pemerintah.
Masa Reformasi
Pada awal reformasi, susunan kehidupan dan kegiatan sosial keagamaan tetap maju dan berkembang, bahkan lebih akomodatif terhadap tatanan dan kebudayaan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Hal tersebut tercermin dengan ditetapkannya beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang bermuara kepada penerapan syariat Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia seperti lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Hukum Islam pada masa reformasi hingga sekarang tidak diragukan lagi telah mengalami perkembangan yang signifikan. Berikut periode yang terdapat pada era reformasi:
Masa Pemerintahan B.J. Habibie (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999)
Pada era pemerintahannya yang singkat, B.J. Habibie berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia, banyak Undang-Undang yang telah disahkan dan yang paling penting adalah undang-undang tentang otonomi daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pemberlakuannya merupakan upaya terus-menerus untuk menata sistem pemerintahan daerah yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demokratisasi di daerah. Terdapat peluang yang besar bagi masing-masing daerah untuk membuat peraturan daerah (perda) yang menyangkut pemberlakuan hukum Islam, asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Masing-masing daerah tersebut dapat membuat perda atas usulan pemerintah daerah dan disetujui oleh DPRD mengenai hukum perdata Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan perundangan yang lain.
Diantara undang-undang yang bernuansa Islam yang disahkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
Masa Pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999- 23 Juli 2001)
Pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid, kehidupan dan kegiatan sosial keagamaan termasuk hukum Islam berjalan sebagaimana pada pemerintahan sebelumnya. Namun, dari segi produk hukum atau legalisasi hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan tidak banyak ditemukan. Selain hal tersebut dikarenakan masa jabatan yang tidak berumur panjang, juga dikarenakan corak pemikiran Gus Dur yang sering bertentangan dengan gerakan yang mengutamakan formalisasi ajaran agama Islam.
Pada masa pemerintahan tersebut, tepat pada tahun 2000, Pelaksanaan Syari'at Islam di Aceh diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Perda/Qanun) Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam. Berdasarkan Qanun tersebut, agama selain Islam diakui keberadaannya di Aceh, begitu juga para pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk beribadat melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya. Berarti setiap umat beragama lain (non muslim) tetap diberikan kebebasan dalam beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Sehingga non muslim tidak merasa resah terhadap perlindungan beragama di Aceh. Qanun tersebut mengisyratkan bahwa Pemerintah Aceh tetap melindungi semua umat non Muslim yang ada di Aceh dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001- 20 Oktober 2004)
Megawati sebelumnya merupakan wakil Presiden Republik Indonesia yang kemudian menjadi presiden menggantikan KH. Abdurrahman Wahid. Pada masa pemerintahannya, kehidupan dan kegiatan sosial sama saja seperti sebelumnya, namun perjuangan masyarakat Aceh dapat tersalurkan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono (20 Oktober 2004- 20 Oktober 2014)
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla merupakan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil oleh rakyat berdasarkan hasil amandemen ke-4 UUD 1945. Setelah itu, SBY-JK dikenal sebagai presiden dan wakil presiden keempat di era reformasi. Kemudian SBY melanjutkan pemerintahannya bersama Budiono sebagai wakil presiden pada pemilu 2009-2015. Pada masa pemerintahannya, perkembangan kehidupan dan kegiatan sosial keagamaan berjalan sebagaimana sebelumnya, namun mengalami kemajuan dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan mengenai legalisasi hukum nasional dalam konteks penerapan hukum Islam..
Pada masa pemerintahan SBY ini, cukup banyak peraturan perundang-undangan yang berbasis syariat yang disahkan, diantaranya: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan pada tanggal 27 Oktober 2004, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tetang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berkaitan dengan perluasan kewenangan Peradilan Agama dibidang ekonomi syari'ah, Undang-Undang 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Masa Pemerintahan Jokowi Dodo ( 20 Oktober 2014-Sekarang)
Pemerintahan Jokowi Dodo-Jusuf Kalla akan melarang munculnya peraturan daerah baru yang berlandaskan syariat Islam. Namun, khusus daerah Aceh, akan memberikan keistimewaan. Perda syariat Islam dinilai akan menciptakan dikotomi tatanan sosial di masyarakat dan menganggu kemajemukan NKRI yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika. Beberapa peraturan daerah yang telah diterbitkan disinyalir bertolak belakang dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila. Hal tersebut dikuatkan dengan beredarnya Perda-Perda yang bernuansa agama.
Meski demikian, Aceh dengan pengkhususan tersebut mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Hal tersebut dilaksanakan dalam rangka rangka pelaksanaan Nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding between the Goverment of Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement, Helsinki 15 Agustus 2005), Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua, dan para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan Rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adanya penjelasan di atas, maka dapat dibagi beberapa priode dalam eksisteni hukum Islam di Indonesia, sebagai berikut:
Masa
Abad/Tahun
Pemerintahan
Pemimpin
Hukum Islam
Masa kejayaan
Abad ke 7 (1267M) M-16 M
Kerajaan Samudra Pasai-Kerajaan
Sultan Malik as-Saleh-
Hukum Islam sebagai rujukan
Masa Kemunduran
Abad ke 16-19M
Hukum Islam diminimalisir
Masa Kebangkitan
1945-
Orde Lama
Soekarno
Pengumpulan dana zakat ditangani oleh presiden
Orde Baru
Soeharto
KHI
Masa Keterbukaan
1998-1999
Reformasi
B.J. Habibie
UU Peradilan Agma, UU Zakat, UU Ibadah Haji, dsb.
1999-2001
Abdurrahman Wahid
Tidak banyak perundang-undnagan yang disahkan
2001-2004
Megawati Soekarnoputri
UU No 1 Tahun 2004 tentang DI. NAD
2004-2014
Susilo Bambang Yudhoyono
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Dll
2014-sekarang
Jokowi Dodo
melarang munculnya Perda baru yang berlandaskan syariat Islam
Transformasi Hukum Islam menjadi Hukum Nasional
Transformasi merupakan suatu usaha untuk mengadakan perubahan terhadap sesuatu yang telah ada menjadi sesuatu yang baru, antara lain dengan penyesuaian dan perubahan. Pada bidang hukum, transformasi sering dipakai dalam arti penyesuaian hukum dengan kebutuhan masyarakat. Proses atau upaya transformasi hukum Islam ke dalam tata hukum nasional dimaksudkan sebagai usaha menerapkan hukum Islam yang normatif menjadi hukum Islam yang positif atau yang sering disebut usaha positifisme hukum Islam ke dalam tata hukum Indonesia.
Legislasi hukum Islam di Indonesia dapat dibaca melalui masuknya Islam di Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Posisi setiap golongan atau kelompok adalah sama terhadap kekosongan hukum nasional. Semua pihak mempunyai dan kesempatan yang sama untuk memasukkan konsep-konsep tentang sistem dan materi hukum nasional yang akan diperjuangkan. Untuk mewujudkan hukum nasional bagi bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan agama dan kebudayaan yang berbeda merupakan hal yang tidak mudah. Political will juga merupakan hal yang mempengaruhi terbentuknya suatu hukum nasional.
Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional sesungguhnya menimbulkan masalah baru. Hal tersebut berarti harus ada unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan umat Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan unifikasi yang mana tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan membutuhkan kekuatan politik. Terdapat tiga alasan yang memberi posisi yuridis terhadap hukum Islam di Indonesia, yakni
Dasar filosofis, yang memberi injeksi luar biasa atas kelahiran sikap epistimologi Islam yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup, cita moral, dan hukum dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat
Dasar sosiologis, yang menyiratkan bahwa tingkat religiusitas yang telah menyebar ke berbagai tempat dan wilayah sehingga hal tersebut terpatri secara kuat dan berlangsung terus–menerus
Dasar yuridis, dapat dilihat dari akar sejarah bangsa Indonesia di setiap masanya. Hukum Islam sejak pra kemerdekaan hingga reformasi senantiasa memiliki tempat, meskipun presentasi setiap masanya berbeda-beda.
Upaya transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional dilakukan dengan penelaahan/pengkajian kitab-kitab, wawancara dengan para ulama, lokakarya terhadap hasil penelaahan kitab dan hasil wawancara serta terakhir dengan studi perbandingan ke negara-negara Islam atau negara-negara yang menggunakan hukum Islam sebagai hukum nasionalnya. Transformasi hukum Islam sebagai salah satu tatanan hukum ke dalam hukum nasional, secara umum terakomodasi dalam sasaran pembangunan nasional di bidang hukum khususnya tentang materi hukum nasional. Namun penerapan dan penegakan hukum dalam masyarakat tergantung kepada empat unsur,yakni:
Perangkat hukum yang menjamin kepastian, perlindungan, dan ketertiban hukum yang intinya keadilan dan kebenaran.
Aparatur penegak hukum yang mampu/mempunyai kesanggupan menerapkan hukum dan menyelami rasa keadilan.
Kesadaran hukum masyarakat yang intinya menghargai dan mematuhi hukum yang berlaku.
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan baik berupa kelembagaan maupun fisik.
Tujuan pembentukan hukum Islam menjadi hukum nasional adalah salah satu langkah untuk menemukan kesesuaian antara hukum Islam dengan hukum nasional. Daniel S. Lev mengemukakan bahwa hukum dalam Islam dipisahkan dari kepentingn segenap umat dan hukum Islam ialah hukum ketuhanan yang berlaku bagi setiap muslim dimanapun berada. Sedangkan hukum nasional merupakan hukum produk lembaga kenegaraan yang berlaku dalam batas-batas negara yang bersangkutan.
Gagasan tentang pemberlakuan syariat Islam telah ada di Indonesia. Syariat Islam sebagai bagian dari tuntutan masyarakat Islam secara resmi dibicarakan dan diputuskan melalui piagam Jakarta (Jakarta Charter). Hal tersebut merupakan fakta sejarah tentang kesepakatan para founding father untuk mencantumkan kalimat "dengan kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" setelah sila Ketuhanan dalam pembukaan UUD 1945 demi memelihara persatuan bangsa dan kerukunan hidup beragama. Pengakuan adanya Piagam Jakarta berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jiwa dari Piagam Jakarta tersebut yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam.
Melihat keterangan tersebut, maka hukum Islam tidak diragukan lagi telah memiliki peluang besar dan menjadi bagian hukum nasional. Pada hal tersebut, hukum Islam dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah, baik dalam bentuk legalisasi hukum nasional atau peraturan daerah maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan lain sangat diperlukan. Maka, diperlukan sumber daya manusia yang handal dan mampu berijtihad dalam mengakomodasi substnsi-substansi hukum Islam dalam setiap legalisasi hukum yang akan dibuat. Ijtihad yang dewasa ini dibutuhkan oleh kepentingan Indonesia ialah ijtihad terhadap lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dan otoritas di bidang hukum. Adapun contoh dalam produk legalisasi nasional dalam Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagai sebuah lembaga peradilan yang diperluntukkan khusus bagi umat Islam, maka hal terseut mempunyai nilai strategis untuk memicu lahirnya suatu peraturan-peraturan baru berikutnya sebagai pelengkap dalam konteks Peradilan Agama kedepan. Satu tahun lima bulan setelah disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, nilai strategis tersebut menjadi kenyataan, yakni dengan lahirnya KHI berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991. KHI disusun dengan tujuan untuk memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam memutus perkara-perkara dalam lingkup Peradilan Agama.
Rancangan Undang-Undang tersebut telah selesai dirumuskan setelah lebih dahulu dilakukan studi banding ke beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura, Pakistan, Saudi Arabia, dan Mesir. Kenyataan dalam masyarakat bahwa KHI tidak luput dari kritik yang mengandung kontroversi. Pembentukan KHI berkaitan erat dengan kondisi hukum Islam di Indonesia. Para tokoh yang banyak terlibat dalam penyusunan KHI diantaranya Hasan Basry, Bustanul Arifin, Masrani Basran, dan M. Yahya Harahap. Menurut Hasan Basry, KHI sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada pemerintahan orde baru. Sebab, umat Islam nantinya akan mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan hukum positif yang yang wajib dipatuhi oleh seluruh umat Islam Indonesia.
Sebelum adanya KHI, untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Pengadilan Agama dianturjan menggunakan kitab-kitab sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura. Namun, hal tersebut membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan dan setidaknya keluhan ketika pihak yang kalah mempertanyakan kitab yang tidak menguntungkan baginya. Bahkan, sering terjadi pula para hakim berselisih tentang pemilihan kitab rujukan.
Ide untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam baru muncul sekitar tahun 1985. Kemunculannya merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah tersebut mendapat dukungan banyak pihak. Pada bulan Maret 1985, Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKB Ketua Mahkamah Aging dan Menteri Agama yang membentuk proyek KHI. Tugas pokok proyek tersebut ialah untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya dengan mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional.
Dorongan pemerintah untuk segera mengesahkan Kompilasi Hukum Islam muncul dari berbagai pihak. Hanya saja, masih terdapat perbedaan pandangan tentang produk hukum yang akan mewadahi kompilasi tersebut. Akan tetapi, dikhawatirkan akan berlarut-larut jika harus dirancang kembali menjadi satu undang-undang. Pada tanggal 10 Juni 1991, presiden menandatangani Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1990. Sejak saat itu, secara formal berlakulah Kompilasi Hukum Islam di seluruh Indonesia sebagai hukum materiil yang dipergunakan di lingkungan Peradilan Agama. Maka, dapat dikatakan bahwa sejak dini kegiatan tersebut lancar dengan mendapat dukungan oleh kepala negara.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Hukum Islam di Indonesia merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan ketaatan pemeluknya.
Transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional membutuhkan kekuatan politik yang dapat membantu pencapaiannya.
Saran
Proses yang dimiliki oleh hukum Islam untuk menjadi hukum nasional telah melewati berbagai perjalanan yang didalamnya. Pembahasan mengenai hal tersebut diharapkan dapat berguna baik khususnya mahasiswa konsentrasi hukum keluarga, maupun masyarakat luas umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007).
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta: Pustaka LP3IS Indonesia, 2006).
Arskal Salim, The Influence Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formationof Zakat (Alsm) Law in Modern Indonesia, (Heinonline: 2006).
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Press, 2011).
Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, (Bandung: PT Alumni, 2002).
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2005).
Marzuki Abubakar, Syari'at Islam di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama, (IAIN Ar-Raniry, Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, 2001).
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009).
Rahmawati Pardjaman, Transformasi Nilai-Nilai Syariah ke dalam Sistem Hukum Nasional (Sebuah Pendekatan Hermeneutika), (Al-Adalah Vol XI, 2013).
Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum Islam, (Jakarta: Fokus Grahamedia, 2012).
Sirajuddin, Legalisasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset dan IAIN Bengkulu, 2008).
Sri Soemarti, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014).
Jaringan Dokumentasi dan Inforrmasi Hukum Aceh, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam , 2014, http://jdih.acehprov.go.id, diunduh tanggal 5 Januari 2016.
Republika, Kecuali di Aceh, Jokowi-JK Bakal Larang Perda Syariat Islam, 2014, http://www.republika.co.id, diunduh tanggal 5 Januari 2016.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 9.
Arskal Salim, The Influence Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formationof Zakat (Alsm) Law in Modern Indonesia, (Heinonline: 2006), h. 698.
Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum Islam, (Jakarta: Fokus Grahamedia, 2012), h. 17.
Ibid., h. 18.
Ibid., h. 19.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta: Pustaka LP3IS Indonesia, 2006), h. 9.
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2005), h. 49-50.
Ibid., h. 50-52.
Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, (Bandung: PT Alumni, 2002), h. 192.
Salman Maggalatung, Op.Cit., h. 124.
Marzuki Abubakar, Syari'at Islam di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama, (IAIN Ar-Raniry, Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, 2001), h. 7-8.
Salman Maggalatung, Ibid., h. 126.
Salman Maggalatung, Op.Cit., h. 127
Republika, Kecuali di Aceh, Jokowi-JK Bakal Larang Perda Syariat Islam, 2014, h. 1, http://www.republika.co.id, diunduh tanggal 5 Januari 2016.
Jaringan Dokumentasi dan Inforrmasi Hukum Aceh, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam , 2014, h1. http://jdih.acehprov.go.id, diunduh tanggal 5 Januari 2016.
Rahmawati Pardjaman, Transformasi Nilai-Nilai Syariah ke dalam Sistem Hukum Nasional (Sebuah Pendekatan Hermeneutika), (Al-Adalah Vol XI, 2013), h. 250.
Salman Maggalatung, Op.Cit., h. xviii.
Ibid., h. 140.
Sirajuddin, Legalisasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset dan IAIN Bengkulu, 2008), h. 143-144.
Rahmawati Pardjaman, Op.Cit., h. 255-256.
Sirajuddin, Loc.Cit., h. 140.
Sri Soemarti, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), h. 107.
Salman Maggalatung, Op.Cit., h. 190-191
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 20.
Ibid., h. 22-23.
Ibid., h. 33.
Ibid., h. 50.