Teori Framing1 Oleh Gilang Desti Parahita, SIP
TEORI framing merupakan teori yang masih ‘diperdebatkan’ oleh para sarjana dan pemerhati komunikasi. Beberapa buku pengantar (Baran & Davis, 2006; McQuail, 2010) menyebut Erving Goffman sebagai peletak dasar teori framing yang kemudian dikembangkan untuk kajian media oleh sarjana-sarjana lainnya. Meski begitu, banyak artikel menyebut “framing” digunakan untuk sesuatu yang mirip tetapi dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda (Scheufele 1999; Scheufele & Iyengar, akan datang). Selain itu, banyak riset yang mengabaikan kesesuaian konsep framing dengan operasionalisasi (Matthes, 2009). Robert M. Entman (1993, 2007) misalnya, memaparkan teori framing dan fungsi framing (pendefinisian masalah, pendiagnosisan penyebab, penilaian moral, solusi) namun sistematis memaparkan elemen-elemen simbolis yang membangun suatu frame (Matthes, 2009; Carragee & Roefs, 2004). Bertolak dari permasalahan tersebut, artikel ini bermaksud untuk memaparkan perdebatan aspek sejarah teori framing tersebut, posisi framing dalam penelitian, dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan teori framing dalam penelitian. Oleh karena itu, artikel ini terdiri dari tiga subbab. Subbab pertama terkait langsung dengan perdebatan ‘akar teori’ framing, yaitu apakah teori framing berbeda atau terkait dengan teori agenda-setting dan priming. Pada subbab pertama itu penulis tidak serta-merta dan ekslplisit memilih dan menjelaskan makna frame dan framing, melainkan mengambil tahap sebelum mendefinisikan framing: bagaimana framing berbeda dari teori-teori agenda-setting dan priming, dua teori yang dianggap ‘bersaudara dekat’ dengan framing. Subbab pertama itu secara umum telah menyinggung topik pada subbab kedua yang mendiskusikan bagaimana posisi teori framing itu dalam sebuah penelitian: agenda riset, atau paradigma. Terakhir, penulis mencoba untuk merangkum dan menegaskan kembali substansi dari subbab-subbab sebelumnya tentang hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan teori framing media pada berbagai penelitian.
A. Perbedaan Framing dari Agenda-Setting?
1
Untuk diterbitkan dalam buku Prajarto, N. (ed.), (2014), “Bianglala Teori Komunikasi,” Yogyakarta: FISIPOL UGM.
1
Salah satu hal menonjol dari para pemikir komunikasi ketika membahas teori framing adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk membuat teori framing merupakan kelajutan dari teori agendasetting atau malah sebaliknya, menyatakan teori framing merujuk pada ontologi yang berbeda dari agenda-setting dan priming. McCombs dan Shaw (1972, 1993) merupakan pengusung utama jalur pertama tersebut. Sementara itu, banyak sarjana lain yang mengambil jalur kedua (Scheufele, 1999, 2000; Scheufele & Tewksbury, 2007; Pan & Kosicki, 1993; Van Gorp, 2007). Dietram A. Scheufele & David Tewksbury (2007: 9) setidaknya mengidentifikasi beberapa penulis yang menginspirasi teori framing media yaitu Erving Goffman di sosiologi, Daniel Kahneman dan Amos Tversky di ekonomi dan psikologi, George Lakoff di linguistik kognitif serta Robert Entman dan Shanto Iyengar di komunikasi2. Scheufele dan Tewksbury (2007) menolak menyebut McCombs & Shaw sebagai pencetus teori framing meski penulis buku teks seperti Em Griffin (2012: 381) menyinggung McCombs yang pada 1990-an menggunakan istilah framing untuk kemampuan media mempengaruhi cara audiens berpikir. ‘Akar teori’ framing media itu tampaknya juga tidak sering dibahas oleh para peneliti framing media (Matthes: 2009) sehingga ketidakjelasan sejarah teori itu hanya sedikit mencapai titik terang. Meski masih simpang-siur, pada ranah komunikasi, sulit dipungkiri bahwa Robert M. Entman berpengaruh pada konseptualisasi framing (Matthes, 2009; Scheufele, 1999)3. Menurut Entman (1993: 52), framing secara esensial mengandung dua unsur utama yaitu “seleksi” dan “penonjolan.” “Penonjolan” (salience), kata Entman (1993: 53) adalah membuat suatu bagian informasi nampak lebih terlihat, bermakna, dan dapat diingat oleh audiens dan hal itulah yang meningkatkan kemungkinan para penerima pesan akan memahami informasi, menangkap maknanya, memprosesnya, dan menyimpannya dalam memori. Untuk membuat suatu bagian informasi dalam teks nampak menonjol, strategi framing (istilah penulis) yang digunakan adalah dengan pengulangan, penempatan atau pengasosiasian informasi tersebut dengan simbol-simbol kultural yang familiar. Yang perlu dicatat adalah penonjolan tersebut merupakan produk interaksi antara teks dengan audiens atau peneliti (Entman, 1993: 53). Definisi framing Entman (1993) adalah: 2
, Dietram A Scheufele (University of Wisconsin-Madison) dan David Tewksbury (University of Illinois UrbanaChampaign) menulis artikel “Framing as a Theory of Media Effects” yang kemudian meraih predikat sebagai artikel akademik paling sering terkutip menurut Microsoft Academic Search. (http://dietramscheufele.com, dikunjungi pada 1 September, 2014). 3 Robert M. Entman adalah penerima penghargaan riset Humboldt 2012. Karya-karyanya berpengaruh pada disiplin komunikasi terutama jurnalisme dalam perspektif kritis (http://www.robertentman.com, dikunjungi pada 1 September, 2014).
2
“to frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item described.” Berdasarkan definisi frame, framing merupakan sebuah proses komunikasi yang tidak semata-mata melibatkan teks dan satu tahap peserta komunikasi (komunikator saja, atau komunikan saja) sebab pengertian framing Entman (1993: 52-53) tersebut melibatkan beberapa aspek yaitu: 1) Adanya budaya yaitu stok yang merangsang munculnya frame. Budaya menurutnya adalah seperangkat frame-frame yang dapat ditunjukkan secara empiris, nampak dalam wacana, dan mengasumsikan sekelompok orang dalam satu kelompok sosial yang sama; 2) Dalam menyusun framing secara sadar maupun tidak sadar komunikator menentukan apa yang akan dikatakan, dipandu oleh frame (sering disebut skemata); 3) Proses kognitif pada audiens media berisikan interpretasi, evaluasi, dan solusi tertentu itu sesuai dengan sebagaimana yang dirancang dan diharapkan penjaga gawang melalui seleksiseleksi aspek tersebut; 4) Frame-frame yang memandu pemikiran dan kesimpulan penerima pesan tersebut mungkin tidak merefleksikan frame-frame dalam teks maupun intensi pembuat teks.
Apabila kita berhenti pada upaya-upaya “penonjolan” dan “pemilihan” itu saja, teori framing media Entman (1993) tersebut seolah bersaudara dekat dengan teori agenda-setting. Berbeda dari tahun 1990-an yang mana kecenderungan Entman menghubungkan framing dengan agenda-setting itu masih belum kentara, pada artikel 2007 Entman menegaskan agenda-setting dapat menunjukkan fungsi pertama framing: mendefinisikan masalah-masalah yang penting untuk diperhatikan publik dan pemerintah. Bahkan, Entman (2007: 165) memandang priming merupakan penamaan untuk pencapaian, efek yang diinginkan dari aktivitas-aktivitas framing para aktor strategis. Oleh Entman (2007), teori framing diletakkan pad level teks, sementara agenda-setting dan priming diposisikan pada level media dan audiens. Teori framing digunakan oleh Entman (2007) bersama teori agendasetting dan priming dalam menganalisis bias media. Meski justru Entman (2007) melakukan sesuatu yang ia kritik (1993) bahwa framing merupakan paradigma terpecah, ia tetap disebut-sebut sebagai pemikir framing yang lebih dekat ke paradigma kritis daripada konstruksionis sebab ia sangat mempertimbangkan kemungkinan adanya dominasi elit-elit politik dan ekonomi dalam pembentukan frame (Entman, 1993, 2003, 2007, 2010; D’Angelo, 2002). Pemikir yang berpengaruh pada karya Entman (1993, 2007) adalah Maxwell E. McCombs & Donald L. Shaw. McCombs dan Shaw (1972) bersikeras bahwa framing secara natural menjadi 3
konsekuensi atas teori agenda-setting4. Pada konteks kampanye politik di Chapel Hill, McCombs dan Shaw (1972: 177) mengajukan hipotesis bahwa “media massa merancang agenda untuk masingmasing kampanye politik, mempengaruhi pengutamaan sikap-sikap tertentu warga terhadap isu-isu politk.” Dengan melihat penekanan-penekanan isu kampanye politik pada beberapa media di Chapel Hill dan survei terhadap 100 orang yang belum menentukan pilihannya, McCombs dan Shaw (1972: 181) menemukan bahwa terdapat korelasi yang erat antara penekanan-penekanan oleh media atas berbagai isu kampanye dengan penilaian-penilaian calon pemilih atas topik-topik kampanye yang menojol dan penting. Memang hal tersebut diakui oleh McCombs dan Shaw (1972: 184) tidak menggambarkan fungsi agenda-setting media terbukti namun temuan-temuan tersebut sejalan dengan kondisi-kondisi yang perlu hadir agar agenda-setting media mungkinkan terjadi. Bertolak dari penelitian tersebut, agenda-setting media merujuk pada ide bahwa: terdapat korelasi kuat antara penekanan oleh media massa atas suatu isu baik melalui penempatan atau jumlah liputan dan kesadaran audiens media massa atas isu-isu apa yang dianggap penting (McCombs dan Shaw, 1972). Berdasarkan pengertian McCombs dan Shaw (1972) di atas, teori agenda-setting juga membahas adanya ‘penekanan-penekanan’ dari sisi konten media dan adanya hubungan antara penekananpenekanan tersebut pada kognisi audiens. Beberapa waktu berikutnya, McCombs (1993) dan McCombs (2004) menyatakan bahwa framing sejatinya merupakan versi yang lebih baik dari teori agenda-setting media yang pada tahun 1990-an lebih berkembang daripada saat pertama dicetuskan. Menurut McCombs (1993: 62), teori agenda-setting adalah teori mengenai transfer penonjolan, baik penonjolan objek maupun atributatributnya. McCombs (1993) bermaksud untuk mengatakan bahwa teori agenda-setting media tidak hanya berbicara mengenai isu apa yang dimunculkan media melainkan juga bagaimana isu tersebut dipikirkan. McCombs (1993: 63) menyatakan “agenda-setting merupakan proses yang dapat mempengaruhi apa yang perlu dipikirkan (what to think) dan bagaimana memikirkannya (how to think about).” Pernyataan itu sedikit berbeda dari McCombs (1997: 177) bahwa fungsi agendasetting media tidaklah mengenai media mampu menyampaikan apa yang perlu dipikirkan (what to think) melainkan “apa yang perlu dipikirkan tentang (what to think about)”. Pernyataan McCombs (1997) tersebut masih belum mencapai gagasan bahwa yang perlu dipikirkan tentang suatu isu tersebut mencakup atribut-atributnya (atau mengarah ke framing).
4
Maxwell McCombs & Donald Shaw memang paling dikenal melalui artikel tentang Chapel Hill tersebut. Hal itu karena teori agenda-setting yang mereka usung tergolong ke dalam tradisi efek kuat media pada kognisi audiens saat para sarjana mulai membahas teori-teori media dengan efek terbatas.
4
Argumen McCombs (1993) bahwa teori agenda-setting lahir menginspirasi teori framing atau framing berakar di teori agenda-setting itu kurang meyakinkan. Stephen D. Reese (2007) membantah hal tersebut. Menurut Reese (2007: 151), hal itu merupakan hal yang ironis sebab teori framing sejatinya adalah reaksi atas kelemahan teoritis agenda-setting. Kecenderungan tersebut menurut Reese (ibid.) dipengaruhi oleh pengertian framing yang terlalu ketat pada konten manifes, terrekam dalam kemenonjolan, dan agenda-setting berkerja dalam pengiriman kemenonjolan (transfer of salience) itu seperti pengertian framing oleh Entman dan penggunaan istlilah framing oleh McCombs. Senada dengan Reese (2007), perkembangan teori agenda-setting tersebut bagaimana pun menurut Scheufele dan Tewksbury (2007) tidak menunjukkan bahwa teori framing media berakar di teori agenda-setting media. Asumsi-asumsi dasar agenda-setting berbeda dari teori framing meski sekilas kedua teori tersebut membahas hal yang serupa yaitu produksi pesan, pemrosesan pesan, dan efek media (Scheufele, 2000; Scheufele & Tewksbury, 2007; Reese, 2007). Istilah “salience” yang digunakan Entman (1993) itu, menurut Scheufele (2000) memang dekat dengan premis-premis pada teori agenda-setting dan priming. Pada artikel tahun 2000 itu, Scheufele telah menyebut perbedaan agenda-setting dan priming serta framing dengan menggunakan istilah aksesbilitas dan aplikabilitas. Agenda-setting dan priming merujuk pada upaya penyusunan activation tags atau aksesbilitas (level agenda-setting) agar suatu isu atau peristiwa lebih dapat diingat dalam kognisi individu (level priming) (Scheufele, 2000: 299). Sementara itu, framing lebih terkait pada pengatribusian atau pemberian label oleh individu-individu maupun media berdasarkan skema interpretasi (atau framework) atas perilaku yang diamati (observed behavior) yang natural dan tanpa disengaja dengan begitu perilaku atau peristiwa yang diamati itu lebih dapat dipahami oleh individual maupun sosietal (2000: 300-301). Beberapa tahun kemudian, Scheufele dan Tewksbury
(2007: 11) menegaskan definisi
agenda-setting dan framing sebagai berikut: Agenda-setting merujuk pada gagasan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara aspekaspek yang diitekankan media atas sebuah isu, dan pentingnya pelabelan isu-isu tersebut oleh massa audiens... . ... . Framing bertolak dari asumsi bahwa bagaimana suatu isu ditandai oleh laporan berita akan bepengaruh pada bagaimana isu tersebut dipahami oleh audiens. Lebih jauh, Scheufele (2007: 11-15) memaparkan kemiripan sekaligus perbedaan teori framing dan teori agenda setting pada tiga aspek. Aspek-aspek itu adalah: 1) Produksi pesan berita 5
Baik teori agenda-setting media dan teori framing media sama-sama mencermati proses produksi pesan berita dalam area yang disebut agenda-building dan frame-building. Banyak riset dilakukan pada tradisi agenda-building maupun frame-building. Kedua tradisi itu merujuk pada mekanisme-mekanisme makroskopis yang melihat proses kontruksi pesan. Akan tetapi, perbedaan mendasar antara kedua teori tersebut terletak pada upaya pendekatan framing untuk menjelaskan proses produksi pesan. Mengutip Gamson dan Modigliani, Scheufele & Tewksbury (2007: 12-13) menekankan perspektif framing lebih menyadari adanya tekanan-tekanan sosial dalam upayanya membentuk wacana publik mengenai suatu isu dengan label-label tertentu ketimbang teori agenda-setting. Framing merupakan sebuah proses yang terkait erat dengan kultur di masyarakat setempat dan proses framing mencakup produksi pesan itu. Dengan kata lain, agenda-setting berupaya untuk membuat suatu isu lebih menonjol dan menarik perhatian, framing berupa untuk membuat suatu isu lebih bisa dipahami dan dicerna oleh audiens. 2) Pemrosesan pesan Audiens nampaknya bisa mengalami dua proses resepsi agenda dan frame secara identik atas pesan-pesan berita yang mengandung agenda dan frame. Efek framing muncul manakala audiens memberikan perhatian yang substansial pada pesan-pesan berita. Begitu pula dengan audiens pada proses agenda-setting yang mana orang-orang yang menyimak pesan pada level tertentu akan mengingat informasi tersebut kemudian. Artinya, aksesbilitas audiens atas isu-isu dalam berita dibutuhkan untuk mengetahui pemrosesan frame dan agenda media. Akan tetapi, menurut Scheufele & Tewksbury (2007: 14), perhatian terhadap pesan-pesan lebih krusial bagi efek framing untuk terjadi daripada efek agenda-setting yang hanya butuh pajanan sepintas pada audiens. Pada efek agenda-setting, audiens dapat mengidentifikasi isu-isu politik yang diagendakan oleh media. Kemampuan audiens untuk mengidentifikasi tersebut cukup memuaskan teori agenda-setting media. Pada efek framing media, audiens tidak hanya mengidentifikasi isu-isu politik tersebut melainkan juga mengenali dan membandingkan berbagai frame media yang bertarung. Untuk audiens dapat mengenali frame-frame media, audiens framing harus betul-betul mencermati dan mencerna pesan-pesan media. 3) Lokus efek kognitif Scheufele dan Tewksbury (2007: 15) mengutip Price dan Tewksbury: Agenda-setting [sic] melihat pemilihan kisah sebagai determinan dalam pembuatan persepsi publik mengenai pentingnya suatu isu, secara tidak langsung melalui priming, evaluasi-evaluasi para politisi. Framing befokus pada bukan pada topik atau 6
isu yang dipilih untuk liputan oleh media massa, melainkan pada bagaimana isu-isu tersebut dipresentasikan. Kedua teori tersebut sama-sama mengasumsikan bahwa efek framing dan agenda-setting terletak pada kognisi audiens terutama memori. Akan tetapi, Price dan Tewksbury menamai perbedaan mendasar pada kognisi tersebut sebagai efek aksesbilitas pada teori agendasetting media dan aplikabilitas pada teori framing media (Scheufele dan Tewksbury, 2007). Teori agenda-setting mengasumsikan bahwa lokus efek agenda-setting terletak pada meningkatnya aksesbilitas atas sebuah isu berkat perlakuan-perlakuan oleh berita. Media dapat membuat isu-isu tertentu atau aspek-aspek pada isu lebih dapat diakses atau dingat dengan mudah oleh orang-orang dan karenanya berpengaruh pada standar yang digunakan orang-orang dalam menyusun sikap atas kandidat-kandidat atau isu-isu politik (Scheufele dan Tewksbury, ibid.). Efek-efek yang timbul tidaklah berasal dari informasi pada isu tersebut melainkan perlakuan-perlakuan atas isu tersebut (misalnya waktu, frekuensi, letak penayangan atau penerbitan) yang menimbulkan efek. Contoh agenda-setting media dalam konteks Indonesia adalah penayangan berulang-ulang gambar liputan penggerebekan terorisme di Kebumen oleh beberapa stasiun televisi berita swasta Jakarta yang bersiaran nasional itu pada banyak program acara mereka selama dua minggu. Penayangan penyergapan teroris itu akibatnya membuat penonton merasa bahwa kasus terorisme itu penting. Sementara itu, lokus efek teori framing terletak pada deskripsi isu atau label yang digunakan pada liputan berita atas suatu isu. Adanya skema interpretif membuat suatu frame aplikabel dalam membahas suatu isu. Mengutip Price dan Tewksbury, “efek aplikabilitas adalah luaran (outcome) dari pesan yang merupakan hubungan antara dua konsep, setelah terpajan pesan tersebut, (dengan adanya frame, pen) audiens dapat menerima bahwa kedua konsep tersebut terhubung” (Scheufele dan Tewksbury, ibid.). Misalnya, media massa Indonesia umumnya menghubungkan kasus penyergapan sekawanan terduga pengacau keamanan oleh Detasemen 88 di Kebumen dengan teroris alih-alih pejuang jihad. Audiens dapat menerima frame media menyebut bahwa menjelaskan penyergapan tersebut sebagai “aksi kepolisian menggulung kelompokkelompok teroris di Indonesia.” Audiens tidak perlu paham dengan makna terorisme secara akademik dan media massa tak selalu menjelaskan terma itu. Adanya frame media memungkinkan bagi audiens untuk memahami suatu peristiwa atau isu tanpa perlu adanya pengetahuan atau memori sebelumnya. 7
Keberatan Scheufele (2000) dan Scheufele & Tewksbury (2007) bahwa framing merupakan kelanjutan teori agenda setting oleh McCombs & Shaw (1972, 1993) dapat mengingatkan kita pada berbagai teori framing lainnya yang mana asumsi filosofisnya tidak serupa dengan teori agendasetting. Zhongdang Pan & Gerald M. Kosicki (1993: 56), misalnya, melihat adanya konvergensi pendekatan sosiologis dan psikologis atas wacana pada pengertian framing.5 Lebih dekat ke konstruksionisme, Pan & Kosicki (1993: 57) menuturkan bahwa framing merupakan strategi mengkonstruksi dan memproses wacana berita atau sebagai karakteristik dari wacana itu sendiri. Sepakat dengan Goffman (1974) bahwa frame merupakan ide-ide pengorganisir pengalaman hidup menjadi sesuatu yang dapat dipahami, Pan & Kosicki (1993) menempatkan framing sebagai suatu analisis atas wacana yang memungkinkan terhubungnya teks berita, produksinya dan audiensnya pada satu proses komunikasi. Berada pada jalur yang serupa dengan Pan & Kosicki (1993), Baldwin Van Gorp (2007) menegaskan bahwa framing dalam paradigma konstruksionisme memiliki asumsi-asumsi mendasar yang berbeda dari agenda-setting dan priming. Berbeda dari Scheufele (1999; 2000), Scheufele & Tewksbury (2007) yang masih menganggap bahwa framing, agenda-setting dan priming dapat direlasikan, Van Gorp (2007) melihat tiadanya hubungan antara kedua konsep itu. Pertama, realitas sosial dalam konstruksionisme terbentuk dalam proses yang interaktif, karenanya framing terkait erat dengan proses produksi jurnalistik maupun audiens yang menginterpretasi, dan kedua pihak itu terhubungkan oleh fakor makrososietal yaitu budaya (Van Gorp, 2007: 70). Sementara, agendasetting dan priming merupakan konsep-konsep kognitivis yang mana agenda-setting berfokus pada sejauh mana audiens menganggap suatu hal itu penting sebagai akibat penonjolan oleh audiens, dan priming mendemontrasikan pengaruh isu prominen itu pada kriteria seleksi untuk mengevaluasi aktor-aktor politik (ibid.). Kedua, framing membedakan dengan tegas antara isu-isu dan frame, tidak seperti agenda-setting dan priming yang hanya tertarik dengan isu-isu belaka di level media dan audiens. Van Gorp (ibid.) menyatakan “One issue can be covered from multiple angles or frames, and the same frame is applicable to cover diverse issues.” Hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh teori agenda-setting namun menjadi perhatian teori framing (Van Gorp, ibid.) adalah framing dapat membaca bahwa media dapat mengangkat suatu isu yang berasal dari agenda politik, tetapi menggunakan frame yang berlawanan (dari agenda politik) untuk membahasnya. 5
Zhongdang Pan (Universitas Wisconsin-Madison) memiliki minat akademik pada media dan jurnalisme sementara Gerald M. Kosicki (Ohio State University) memiliki latar belakang behavioris dalam karir akademiknya. Namun dalam artikel ini, mereka cenderung melihat framing secara konstruksionis dan menganggapnya sebagai unsur dari wacana.
8
Dalam menuntut pentingnya unsur kultural dimasukkan kembali dalam teori framing, Van Gorp (2007) banyak dipengaruhi oleh karya-karya William Gamson yang memang memandang framing secara konstruksionis. William Gamson bahkan tak pernah merisaukan ‘kemiripan’ teori framing dengan agenda-setting dan priming.6 Sejak semula William Gamson meyakini adanya hubungan antara kognisi dan budaya pada semua level pemrosesan pesan, baik pada diri jurnalis maupun pembaca, yaitu bahwa dunia politis itu dibingkai dan dilaporkan pada kita, dan kita juga prosesor aktif yang memframe laporan itu (Gamson,et.al., 1992: 384). Pada 1980, bersama Kathryn E. Lasch, Gamson menulis “the idea elements in a culture do not exist in isolation but are grouped into more or less harmonious clusters or interpetive package (frame, pen.)” (Gamson & Lasch, 1980: 2). Meskipun sebagian sarjana berupaya membedakan akar teori framing dari teori agendasetting, dan sebagian sarjana lain memandang teori framing merupakan kelanjutan dari teori agenda-setting sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, D’Angelo (2002) dan Carragee & Roefs (2004) lebih memahaminya sebagai adanya kecenderungan paradigmatis yang berbeda. Oleh karena itu, subbab ini tidak bermaksud untuk menekankan pemikiran salah satu pihak saja. Sebab, masingmasing pemikiran tersebut dapat diterapkan pada konteks penelitian selama pemikiran yang dipilih digunakan secara sadar dan argumentatif. Setidaknya, sebelum memilih, peneliti dapat memahami garis besar pengertian frame. Tanpa meniadakan adanya perdebatan atas akar teori framing tersebut, paparan Michael J. Carter (2013: 4) mengenai karakter frame dapat membantu memahami konsep frame. Menurut Carter (2013:4), suatu frame memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Melakukan perorganisasian (organizing). Framing bervariasi dalam bagaimana framing memframing informasi dengan sukses, komprehensif, dan lengkap. Bagaimana frame diorganisasikan tidaklah sekedar rangkuman bagian-bagian pada kisah tertentu melainkan frame-frame merupakan sesuatu yang lebih besar daripada satu kisah saja sebab berita-berita peristiwa biasanya memiliki referensi ke sesuatu yang serupa atau telah terjadi sebelumnya (Carter, ibid.). 2) Mengandung prinsip-prinsip (principles). Frame didasarkan pada prinsip-prinsip abstrak dan tidak sama dengan teks-teks yang mana framing muncul memanifestasikan dirinya. Frame memiliki kualitas-kualitas abstrak, alat atau ‘skemata’ interpretasi yang 6
William A. Gamson yang merupakan profesor sosiologi di Boston College sekaligus wakil direktur di Movementmedia Research and Action Project itu kerap menulis topik-topik terkait gerakan sosial bersama penulis-penulis lainnya dalam paradigma konstruksionis meski ia sempat menekuni riset-riset behavioral pada awal karirnya.
9
mengarahkan pembacaan atas suatu isu atau peristiwa spesifik ke dalam pemahaman tertentu (Carter, ibid.). Oleh karena frame mengorganisasi informasi, mau tidak mau frame merupakan bagian dari seprangkat struktur atau ideologi sosial yang dapat terbaca pada teks (Carter, ibid.) ; 3) Dihayati bersama (socially shared). Suatu frame pada derajat tertentu dapat dipahami oleh banyak orang karena adanya penghayatan budaya yang sama. Suatu peristwa diinterpretasi seeorang lalu hal itu dikisahkan ke orang lain dalam frame tertentu. Adanya penghayatan bersama memungkinkan frame tersebut dapat dipahami dan dianggap penting pula oleh –tak hanya penutur- pendengar kisah tersebut (Carter, 2013: 5);7 4) Berlaku ajeg (persistent). Signifikansi frame terletak pada durabilitas yaitu keajegan dan penggunaan rutin dari waktu ke waktu. Frame-frame yang berpengaruh adalah frame yang ajeg dari waktu ke waktu dan bukan tidak mungkin frame yang sering muncul itu dianggap sebagai realitas itu sendiri (Carter, ibid.). Keajegan, pengulangan terus menerus suatu frame menciptakan makna-makna yang kebal akan perubahan. Informasi di masa depan yang terdiri dari peristwa yang serupa akand iproses dand ibandingkan dengan kejadian masa lalu, yang kemudian diinterpretasi oleh frame. Menurut Carter (ibid.), semakin ajeg suatu frame, semakin frame serig digunakan sebagai komparator untuk informasi baru; 5) Terrepresentasi secara simbolis (symbolic). Frame dapat dikenali pada bentuk-bentuk ekspresi simbolis. Teknik-teknik frame bekerja dengan menggunakan simbol-simbol yang diharapkan jurnalis dapat mempengaruhi audiens. Representasi-representas simbolis itu dkomunikasikan pada berbagai level yang jauh di bawah ‘permukaan’ atau konten yang manifes (Carter, ibid.); 6) Mengandung struktur (structure). Frame-frame terorganisir dengan pola-pola atau struktur-struktur, yang bervariasi pada kompleksitasnya. Ketika sebuah isu dibingkai pertama kali, pola-pola mungkin belum terlihat. Namun ketika media meliput isu-isu 7
Contoh nyata perbedaan penghayatan bersama pada kelompok sosial yang sama tercermin pada framing media Indonesia dan Malaysia yang berbeda atas konferensi pers Jenderal Moeldoko mengenai penggunaan nama tentara Indonesia untuk kapal militer Indonesia. Media-media di Indonesia memframing pernyataan jenderal Moeldoko tersebut sebagai permintaan maaf –yang kemudian ditarik kembali- sementara media Indonesia memframing hal itu sebagai ketegasan Moeldoko menolak permintaan Singapura (bandingkan http://mothership.sg/2014/04/indonesia-general-moeldoko-offered-apology-to-spore-took-it-back-what-afine-watch-you-got-there/ dan http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/04/17/n463gomoeldoko-tak-ada-permintaan-maaf-atas-penamaan-kri-usmanharun, dikunjungi pada 2 Septmebr 2014) .
10
terkait peristiwa itu kemudian, pola frame muncul dan menjadi struktur dominan yang mempengaruhi interpretasi (Carter, ibid.). Pemaparan Carter (2013) itu menjadi gambaran pengertian frame di luar pengaruh agendasetting (D’Angelo, 2002; Carragee & Roefs, 2004). Ciri-ciri frame Carter (2013) tersebut menurut tipologi paradigmatis framing D’Angelo (2002) terkategori ke dalam framing kritis dan konstruksionis yang masih mengasumsikan hadirnya budaya yang turut membentuk frame pada level pembuat pesan maupun membantu dalam pemahaman frame oleh audiens. Framing dalam persepektifperspektif tersebut merefleksikan sumber-sumber yang dipulih dan konteks nasional di mana berita itu berada (McQuail, 2010:381). Subbab berikut akan membahas framing dalam perspektif kognitivis, konstruksionis, dan kritis lebih lanjut.
B.
Framing: Agenda Riset atau Paradigma? Argumen-argumen tentang karakter framing dan bedanya dengan teori agenda-setting dan
priming itu dipahami oleh D’Angelo (2002) sebagai adanya school of thought yang berbeda atas teori framing. D’Angelo (2002) memang tidak secara langsung berupaya mengklarifikasi perdebatan tersebut. Ia menolak gagasan Entman (1993) mengenai retaknya framing sebagai sebuah paradigma. Melalui bantahan D’Angelo (2002) tersebut, kita justru dapat belajar perbedaan-perbedaan teori framing dengan melihat kecenderungan paradigmatis masing-masing terori. Pada bagian ini, penulis bermaksud memaparkan bagaimana D’Angelo (2002)
membantah Entman (1993) dan
mengelaborasi pembagian teori framing dalam beberapa –disebut oleh D’Angelo sebagai- imaji paradigmatis. Menurut Entman (1993: 56), teori framing bermanfaat untuk mengarahkan perhatian para sarjana mengenai bagaimana suatu teks mengandung kuasa. Ia menyarankan untuk menjadikan framing sebagai pradigma riset, yaitu teori umum yang menjadi prinsip keilmuan pada suatu pengoperasian dan hasil-hasil dari sistem pemikiran dan aksi tertentu (Entman, ibid.). Teori framing juga dapat menambal celah atau kekurangan teori pada berbagai konteks di komunikasi massa seperti pada konteks otonomi audiens, objektivitas jurnalistik, analisis konten, dan opini publik (Entman, 1993: 56-57). Kemampuan teori framing untuk diterima dalam penelitian komunikasi massa di berbagai level itu menjanjikan masa depan framing sebagai sebuah ‘paradigma.’ Sayangnya, menurut Entman (1993: 52), framing belum menjadi paradigma yang utuh karena penggunaannya yang beranekaragam, kurang tepat, dan parsial. Gagasan Entman (1993) bahwa framing merupakan konsep yang tersebar (a scattered conceptualization) dan keluwesan penggunaannya pada berbagai konteks penelitian komunikasi 11
massa dapat diterima oleh banyak sarjana (Scheufele, 1999; D’Angelo, 2002), tak semua sarjana bersepakat dengan Entman (1993) sepenuhnya pada beberapa aspek yang lain. Misalnya, Paul D’Angelo menolak gagasan Entman (1993) bahwa framing merupakan paradigma riset.8 Menurut D’Angelo (2002: 871) seharusnya tidak ada dan tidak perlu adanya paradigma tunggal untuk framing sebab framing merupakan agenda riset dikemukakan, bukan paradigma penelitian. Suatu framing yang ditemukan oleh peneliti bisa dihasilkan melalui riset-riset framing yang menggunakan berbagai teori dengan berpegang pada paradigma-paradigma yang memayungi teori-teori tersebut. Alih-alih menjadi paradigma yang terfragmentasi, kekayaan paradigmatis dan teoritis akan mendorong timbulnya pemahaman komprehensif proses framing dalam agenda-agenda riset yang berbeda namun saling melengkapi satu sama lain. Entman (1993), menurut D’Angelo (2002) melakukan kesalahan dalam memahami teori sebagaimana yang dilakukan oleh Thomas Kuhn. Thomas Kuhn, menurut D’Angelo (2002: 871-872), menyatakan bahwa paradigma merupakan teori dominan yang memungkinkan para sarjana untuk berbagi definisi konsep-konsep inti, bersepakat pada hipotesis-hipotesis dan pertanyaan-pertanyaan riset relevan, dan bersepakat pada metode-metode riset maupun instrumentasi pengumpulan dan penganalisisan data. D’Angelo (ibid.)
mengikuti jejak Lakatos yang mengkritik Kuhn, yaitu
mencampuradukkan antara paradigma dan teori dominan. Apabila teori framing dianggap sebagai suatu paradigma, hal itu tentu akan mengakibatkan hal yang gagal dicermati oleh Entman (1993), yaitu temuan-temuan riset tidak dapat sepenuhnya menjawab model-model teoritis yang dimaksudkan mencakup seluruh basis inti penghubung (hard-core conjectural basis). Program riset framing berita utama (hard core of news framing research) terrefleksi pada empat tujuan empiris yang dikejar oleh tiap-tiap penelitian dalam berbagai derajat (D’Angelo, 2002: 873). Pertama, untuk mengidentifikasi unit-unit tematis yang disebut “frame”. Kedua, untuk menginvestigas kondisi-kondisi anteseden yang memproduksi frame. Ketiga, untuk mencermati bagaimana frame-frame berita mengaktivasi dan berinteraksi dengan pengetahuan-pengetahuan pre-eksisting individual dan menimbulkan interpretasi memicu informasi, pembuatan keputusan, dan evaluasi. Terakhir, untuk memeriksa bagaimana frame-frame berita membentuk proses-proses pada level sosial seperti debat opini publik dan isu kebijakan. Pertanyaan riset pada setiap konjektur tersebut tidak perlu dijawab pada satu penelitian yang sama sekaligus oleh karenanya framing tidak perlu menjadi sebuah paradigma yang memayungi semua konjektur tersebut.
8
Ketika menulis artikel ini Paul D’Angelo adalah Asisten Profesor Tamu di Departemen Komunikasi di State University of New York. Ia mendapatkan Ph.D. di Temple University.
12
Alih-alih paradigma merujuk pada teori, paradigma merupakan rasionalitas yang mendasari penemuan ilmiah dan membantu sebuah disiplin untuk mendiferensiasi schools of thought (D’Angelo, 2002). D’Angelo (2002) menggunakan pembedaan tiga paradigma Benigner dan melakukan pengajian metateori atas teori-teori framing. Lantas, D’Angelo (2002) menyusun perbedaan interaksi-interaksi antara frame-frame tekstual dan efek-efek framing ke dalam tiga paradigma yaitu kognitivis, konstruksionis, dan kritis. Pemaparan berikut ini menyajikan pembedaan D’Angelo (2002) tersebut baik melalui tabel dan narasi ke dalam beberapa apek, yaitu imaji paradigmatis, pengertian frame, efek framing, metode riset, dan contoh sarjana pengguna teori frame pada masing-masing imaji paradigmatis (kognitivis, konstruksionis, dan kritis).
Karakter Framing dan Pengertian Frame. Paradigma kognitivis memandang frame sebagai sebuah cara tekstual media untuk mengantisipasi interpretasi dan terpicunya ingatan, pengetahuan dan pengalaman audiens ke araharah tertentu sebagaimana yang diinginkan oleh media (D’Angelo, 2002: 875). Negosiasi terjadi manakala frame terjadinya kontak antara frame dan pengetahuan pre-eksisting indivdual, yang dalam literatur framing kognitivis dipahami sebagai struktur-struktur nodal semantis yang tersusun secara skematis dalam ingatan (D’Angelo, ibid.). Dalam paradigma kognitivis, hubungan frame dan skemata berlangsung siklis (D’Angelo, 2002: 875-876). Pertama, skemata diaktifkan oleh frame, terutama frame-frame yang sering digunakan berulangkali pada masa lalu. Teraktifkannya skemata itu terlihat melalui asosiasi-asosiasi semantik dalam skemata individual. Kedua, bagaimana informasi yang ter-frame itu dikenali dan digunakan itu diatur oleh skemata. Sementara itu, D’Angelo (ibid.), karakter framing kooptasi mendukung riset framing konstruksionis yaitu suatu frame dapat bertahan lama mendominasi liputan untuk suatu periode yang panjang. Tetapi, berbeda dari dominasi dalam pengertian paradigma kritis, frame-frame media dapat menjadi “kotak peralatan” (a tool kit) yang dapat (atau tidak dapat) dipakai oleh warga dalam membentuk opini-opini mereka mengenai suatu isu sebab adanya media menjadikan suatu frame lebih menonjol dan terakses sehingga akan lebih sering digunakan oleh warga (D’Angelo, ibid.). Framing yang kooptatif menurut D’Angelo (2002) itu merefleksikan gagasan Gamson, et.al. (1992: 385) bahwa ada ranah-ranah wacana media yang tidak dipertarungkan namun kondisi tersebut dapat berubah apabila pihak-pihak yang memiliki pandangan alternatif dapat menarik perhatian media 9.
9
Gamson bersama David Croteau, William Hoynes, & Theodore Sasson (1992: 382-383) menunda menggunakan istilah “hegemoni” untuk mengingatkan kembali dua ranah (realms) wacana media melalui perspektif konstruktivsme sosial. Pertama, ranah wacana yang tidak dipertarungkan (uncontested realms)
13
Terakhir, imaji paradigmatis kritis adalah dominasi. Framing konstruksionis menolak menggunakan istilah “hegemoni” sebab hegemoni tiada mungkin terjadi dengan adanya audiens yang bebas mengkonstruksi makna pada wacana media terdominasi (Gamson, et.al.,, 1992). Sementara itu, berdasarkan refleksi Martin dan Oshagen yang dikutip D’Angelo (2002: 877), framing kritis mengasumsikan frame-frame elit politik dan ekonomi mendominasi liputan berita lantas turut mendominasi audiens. Model Aktivasi Jaringan Bertahap (Cascading Network Activation) Entman (2003) kurang lebih menggambarkan asumsi framing kritis tersebut. Kevin M. Carragee & Wim Roefs (2004: 218) turut menegaskan bahwa teks media tidak dapat diterima apa adanya tanpa melihat kuasa sosial dan politik yang tercermin melalui hubungan media dengan para frame sponsor.
Pembentukan Frame. Masing-masing paradigma meyakini asumsi-asumsi yang berbeda pada pembentukan frame media. Pada paradigma kritis dan kognitivis, D’Angelo (2002) menyebut tiga perbedaan. Pertama, sarjana-sarjana kritis berargumen bahwa organisasi-organisasi berita memilih informasi dan secara intensional menghilangkan informasi dengan maksud untuk mengesankan frame-frame berbeda tidak hadir atau frame-frame yang muncul mendukung dominasi frame-frame elit (D’Angelo, 2002: 876). Sebaliknya, paradigma kognitivis meyakini para jurnalis menciptakan frame-frame yang berbeda atau isu atau peristiwa pada satu berita yang sama atau berbagai macam berita (D’Angelo, ibid.). Kedua, para sarjana kritis tidak melihat kekuasaan politik didistribusikan secara pluralis, meski mereka mengakui bahwa berbagai pandangan-pandangan politik semestinya terbuka bagi publik. Framing kognitivis memandang jurnalis-jurnalis sebagai sosok yang lebih responsif dalam tuntutan presentasi informasi yang pluralis (D’Angelo, 2002: 876-877). Selain itu, sarjana-sarjana kritis sering memandang opini publik dalam agregrat untuk memperlihatkan bagaimana opini publik didominasi oleh frame-frame media (D’Angelo, ibid.). Sebaliknya, para peneliti pada paradigma
adalah ranah di mana konstruksi-konstruksi sosial bagi para pembaca maupun produser tampil apa adanya, realitas yang tergambar bersifat transparan bukan sebagai interpretasi, jarang berisi konten politik (Gamson,et.al.,¸ 1992: 382). Jurnalis pada wacana jenis ini jarang mencari penyeimbang ketika menghadapi citra-citra pada wacana ranah ini. Kedua, makna-makna dalam wacana media memang menjadi ranah pertarungan (contested realms). Pada ranah semacam ini, media semata-mata menyediakan ruang bagi pertarungan tersebut atau menjadi variabel dependen. Dalam kontestasi itu, aktor-aktor yang memiliki kuasa lebih dalam bentuk sumberdaya dan akses cenderung menjadi pemanang namun hal itu tidak berarti makna satu pihak yang dominan dalam wacana bersifat hegemonik. Gamson, et.al., (ibid.) menekankan pentingnya peran pembaca dalam konstruksi makna sebab pemaknaan pembaca belum tentu terkooptasi oleh makna yang terkandung dalam wacana media. Dengan begitu, masih ada peluang untuk melawan dominasi frame dan melakukan perubahan sosial.
14
kognitif kerap memeriksa efek-efek framing melalui eksperimen untuk mengetahui reaksi subjek setelah diekspos frame-frame berbeda makna untuk satu topik yang sama (D’Angelo, ibid.). Ketiga, para sarjana kritis masih dapat menerima bahwa kognisi individual bereaksi berbeda atas kuasa frame-frame berita, namun mereka juga meyakini bahwa frame berita membatasi kesadaran politik (D’Angelo, ibid.). Hal itu terjadi karena kelompok-kelompok dominan memelihara hegemoninya, mencegah resistensi dengan memproduksi makna-makna dan nilai-nilai melalui institusi-institusi kultural termasuk media (Carragee & Roefs, 2004: 221). Media mengkonstruksi makna-makna ideologis berdasarkan kepentingan kelompok-kelompok elit. Berbeda dari klaim Gamson, et.al. (1992), ranah tak terkontestasi justru merupakan ranah di mana dominasi ideologi tengah berlangsung (Carragee & Roefs, 2004: 223). Meski begitu, ideologi bukan berarti berlangsung ajeg sebab adakalanya tantangan-tantangan dan konsensus elit terjadi (Carragee & Roefs, ibid.). Perbedaan paradigma konstuksionis dan kritis pada level pembentukan frame terletak pada pandangan konstruksionis meyakini bahwa terbatasnya informasi atas suatu isu atau peristiwa bukanlah sesuatu yang disengaja jurnalis melainkan karena sumber-sumber informasi lainnya tidak tersedia (D’Angelo, 2002). Selain itu,
jurnalis dianggap masih berintensi untuk menyediakan
berbagai sudut pandang yang bermanfaat bagi publik dalam memahami isu-isu kebijakan publik sehingga hal itu dapat menghubungkan fenomena suksesnya gerakan-gerkan sosial dan komunitas dan frame-frame media (D’Angelo, ibid.). Sebaliknya, para sarjana kritis memandang pemilihan sumber berita merupakan proses dari hegemoni media dan semua informasi serta pandangan yang kontras dari posisi hegemonik yang ada dianggap sebagai ebuah keanehan dan media tidak mau menyebarluaskan pandangan-pandangan alternatif tersebut ke hadapan audien (D’Angelo, ibid.). Sementara itu, paradigma kritis mengklaim bahwa frame-frame merupakan hasil rutinitas liputan berita (newsgathering) yang mana jurnalis-jurnalis menyebarluaskan informasi mengenai isu dan peristiwa-peristiwa melalui perspektif yang dimiliki para elit ekonomi dan politik (D’Angelo, 2002: 876). Berbeda dari paradigma kritis yang mengasumsikan jurnalis memilih dan menghilangkan informasi dengan sengaja dan beralasan ideologis, paradigma konstruksionis meyakini bahwa jurnalis merupakan pemroses informasi yang menciptakan “paket interpretif” (interpretive packages) atas posisi-posisi politis para “sponsor” (sumber berita) dengan maksud untuk merefleksikan dan membentuk “budaya isu” (issue culture) suatu topik (D’Angelo, ibid.). Meski begitu, paradigma konsruksionis masih mencoba mengamati frame media dari sudut pandang sipil, yaitu kerja jurnalis tersebut dianggap mengacaukan kesempatan-kesempatan sipil misalnya frame berita: (a) menghalangi komunitas-komunitas yang dirugikan secara ekonomi dalam mengetahui seutuhnya aset-aset mereka, (b) menghalangi terciptanya kesadaran politik, (c) mengacaukan
15
tujuan-tujuan kelompok gerakan-gerakan sosial, dan (d) membentuk parameter-parameter untuk debat-debat kebijakan yang tidak selalu sejalan dengan norma-norma demokratis (D’Angelo, ibid.).
Efek Frame dan Desain Riset. Imaji-imaji paradimatis itu menimbulkan perbedaan pada prinsip-prinsip mekanisme efekefek framing. Pada paradigma kognitivis maupun konstruksionis, meski keduanya mendukung pentingnya aksesbilitas atas informasi yangtelah terframing, bagi para kognitiis efek framing munul manakala informasi yang ada itu berinteraksi dengan pengetahuan pre-eksisting audiens (D’Angelo, 2002: 878). Berbeda dari paradigma kognitivis yang menempakan efek framing pada lokus pemrosesan informasi level individual, para konstruksionis lebih tertarik efek framing pada konteks artikulasi opini publik dan sosialisasi politik (D’Angelo, ibid.). Sementara paradigma kognitivis menggunakan desain eksperimental dan baris-baris pernyataan yang perlu diisi untuk mencaritahu reaksi individual atas frame-frame media berupa interpretasi-interpretasi yang tersimpan dalam memori, paradigma konstruksionis ketika menginginkan efek frame secara individual sekalipun akan menggunakan metode diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) (D’Angelo, ibid.). Paradigma konstruksionis lebih tertarik untuk mengungkap bagaimana individu-individu mengartikulasikan pandangan-pandangan mereka dalam konteks yang telah terpajan frame-frame berita (D’Angelo, ibid.). Tabel 1 merupakan rangkuman implikasi dari perbedaan imaji paradigmatis terhadap teori framing media sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Tabel 1. Tiga Paradigma Teori Framing Media (diadaptasi dari D'Angelo, 2002: 871-878) Pembeda Proses
Paradigma Kognitivis
Konstruksionis
Kritis
Negosiasi
Kooptasi
Dominasi
Pengertian
Upaya yang ditempuh
Merupakan alat yang
Luaran dari rutinitas
Frame Media
media pada pemberitaan
diberikan oleh media
redaksional yang mana
agar informasi akesibel
untuk ‘dipinjamkan’
jurnalis memberikan
bagi audiens. Aksesibel
kepada audiens untuk
informasi tentang isu-isu
adalah individual dapat
memahami sebuah
dan peristiwa-peristiwa
mengaktifkan informasi-
peristiwa atau isu. Alat
melalui perspektif nilai
informasi terdahulu yang
tersebut dapat bertahan
para elit-elit politik dan
dapat membantu mereka
selama bertahun-tahun
ekonomi.
untuk decisionmaking dan
sebelum digantikan yang
interpretasi.
lain oleh media.
Framing
16
Pembentukan
Jurnalis secara rutin
Jurnalis merupakan
Organisasi berita sengaja
Frame
menyusun frame-frame
pemroses informasi yang
memilih dan memilah
berbeda atas suatu isu
menciptakan “paket
informasi sesuai dengan
atau peristiwa baik pada
interpretif” (interpretive
frame yang akan diambil
satu berita yang sama
packages) yang terdiri
dan menghilangkan
atau di banyak berita.
dari posisi-posisi para
informasi yang tidak
Frame-frame tersebut
sponsor (mis.
sesuai. Pemilihan
akan kontak dengan
narasumber) dalam
narasumber
pengetahuan individual di
rangka merefleksikan
dipertimbangkan untuk
audiens.
maupun membentuk
mendukung hegemoni
“budaya isu” dari topik
media. Pandangan-
tersebut. Dalam
pandangan alternatif dari
pandangan jurnalis, hanya
hegemoni dianggap
sedikit narasumber yang
anomali.
relevan untuk topiknya. Efek
Muncul manakala audiens
Terlihat pada artikulasi
Individu-individu memang
telah memiliki
opini publik dan sosialisasi
memiliki kuasa untuk
pengetahuan
politik.
menolak atau menerima
sebelumnya. Tertarik ada
Tertarik pada bagaimana
frame secara kognitif.
bagaimana audiens
individu memiliki
Akan tetapi frame-frame
menyimpan suatu frame
pandangan-pandangan
berita mendominasi
media dalam memorinya
atas peristiwa atau isu
kesadaran politis audiens.
dan memunculkan
pada berita baik sebelum
kembali frame tersebut
terpapar maupun sesudah
pada saat bertemu
tersosialisasi melalui
dengan frame media yang
percakapan-percakapan
serupa. Variasi respon
mengenai frame-frame
terhadap frame media
tersebut.
muncul pada diri audiens. Contoh
Eksperimental.
Focus Group Discussion
Agenda Riset
Audiens dipapar frame-
membuktikan audiens
frame berbeda atas suatu
telah terhegemoni nilai-
peristiwa atau isu yang
nilai elit politik ekonomi
sama untuk melihat
melalui frame berita.
kesamaan dan pebedan frame media dan skemata audiens.
17
Survei opini publik untuk
Contoh Teoris
Kahneman & Tversky;
Erving Goffman; William
Gaye Tuchman; Robert
Shanto Iyengar; Dennis
Gamson & Andre
Entman
Chang dan James
Modigliani; Zhongdang
Druckman
Pan dan Gerald M. Kosicki, Baldwin van Gorp
D’Angelo (2002: 878) tidak membatasi para peneliti untuk bekerja pada salah satu paradigma saja. Ia mencermati kecenderungan para peneliti untuk bekerja lintas paradigma, baik untuk penelitian dua konjektur misalnya pemeriksaan secara empiris untuk frame dan efek-efek frame maupun satu konjektur yaitu konten media saja. Meski begitu, selama ini menurutnya para peneliti belum menyatakan dengan tegas imaji paradigmatis apa saja yang dirujuk. D’Angelo (2002) menyarankan penelitian framing berita dilakukan secara multiparadigmatis (a multiparadigmatic view) sebab proses framing berita itu sendiri dapat diteorisasi dengan mengkombinasikan secara selektif teori-teori framing dari beragam paradigma. Stephen D. Reese (2007:148) menyetujui pendapat D’Angelo (2002) bahwa framing lebih merupakan agenda riset daripada paradigma terunifikasi dan keberagaman teori framing tersebut berkontribusi pada perkembangan pemahaman komprehensif atas proses framing. Reese (2007: 149) menekankan bahwa kerangka konseptual dalam memandu penelitian tidak dapat kontradiktif secara internal dan harus disesuaikan dengan metode-metode yang tepat. Pada sisi lain, penelitian framing tidak semestinya menjadi terlalu sempit. Laiknya sebuah paradigma, menurut Reese (ibid.), framing memiliki beberapa peran, yaitu: 1) Membuka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang sebelumnya tidak ada. Secara khusus, framing mendorong para empirisis untuk mempertimbangkan aspek-aspek interpretif dalam petanyaan-pertanyaan penelitian. Pada penelitian yang lebih interpretif kritis, framing membuka kesempatan untuk memeriksa konsep-konsep ideologis apakah yang “mendefinisikan situasi” dan “menaturalisasi” tidak dengan mengasumsikan tanpa problematis bahwa penguasa mampu membentuk dan menaturalisasi definisi-definisi situasi tersebut. 2) Sebagai sebuah perspektif teoritis, framing membantu menambah cita rasa kritis pada pendekatan efek media. Pada saat yang sama, framing juga dapat menjadi jalan keluar atas tuduhan yang disampaikan ke teori kritis bahwa teori kritis tidak ilmiah sebab tidak dapat menunjukkan hegemoni media yang berlangsung. 3) Framing menggabungkan teori-teori yang berbeda dalam asumsi-asumsi filosofisnya. Polapola pengalaman dan realitas yang nampak dan tidak tampak dalam suatu teks secara 18
reguler merupakan bentuk framing, terlapas dari realitas itu “dikonstruksi secara sosial” atau semata-mata “sudah hadir di luar sana.” Reese (2007: 150) masih merasa bahwa frame merupakan struktur-struktur yang menggaris batas, membangun kategori-kategori, mendefinisikan sebagian ide ke dalam dan ke luar, dan secara umum menggeneralisasikan ide-ide terkait dalam jejaringnya. “Frames are organizing principles that are socially shred and persistent over time, that work symbolically to meaningfully structure the social world.” (Reese, 2001:11) Dengan berpegang pada prinsip perngorganisasian, Reese (2007) bermaksud untuk menghindari mereduksi frame pada fitur-fitur statis baik di teks media maupun elemen-elemen psikologis indvidual. Selain D’Angelo (2002) yang merespon Entman (1993) serta Reese (2001) yang berupaya menengahi, Scheufele (1999: 103) -meski tidak membantah framing adalah sebuah paradigmamenyetujui bahwa pendekatan atas framing terfragmentasi. Artinya, Scheufele (1999) melihat bahwa framing bukanlah sebuah paradigma, melainkan suatu teorisasi atas fenomena komunikatif. Implisit disebutkan oleh Scheufele (1999), suatu fenomena komunikasi politik, misalnya, dapat disistematisasikan dengan teori framing. Tak hanya itu, menurut Scheufele (1999), framing sebagai konsep telah terkandung dalam konteks riset efek media. Alih-alih melihat framing sebagai proses linear antara frame media menjadi frame individual, Scheufele (1999: 118)) menegaskan bahwa framing perlu dikonseptualisasikan dalam model proses, bukan semata-mata input dan output sehingga penelitian perlu difokukan pada pembentukan frame (dari input berupa tekanan-tekanan organisasi, ideologi sikap, elit-elit, dsb.menuju ke frame media), pengesetan frame (dari frame media menuju ke frame-frame audiens), efek-efek framing pada level individual, dan feedback dari framing level individual menuju framing level media.
C. Catatan untuk Pengaplikasian Teori Framing Teori framing media memperkaya perspektif keilmuan pada disiplin komunikasi dan media. Akan tetapi, teori framing bukan tanpa kelemahan. Menurut Gamson (et.al., 1992: 385.), letak kelemahan konsep framing justru inheren pada konsep itu sendiri yaitu pada dua ambiguitas konseptual. Ambiguitas pertama adalah abstraksi framing dapat merujuk pada peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah tertentu, atau merujuk pada banyak peristiwa dan kisah berbeda.10 Kedua, konsep framing itu sendiri bersifat statis padahal konsep tersebut dimaksudkan untuk mempelajari proses 10
Terkait pada ambiguitas tersebut, De Vrees (2005: 54-55) menilai kedua hal itu dapat terjadi, ia menyebutnya secara berurutan sebagai frame berita-isu spesifik dan frame-berita isu generik.
19
pengkonstruksian makna yang berlangsung dinamis. Kelemahan lainnya adalah adanya faktor kultural sebagai sumber frame tidak terlalu nampak pada penelitian efek framing pada kultur yang sama sehingga penelitian cross-cultural effect perlu dilakukan (Scheufele & Iyengar, akan datang). Sebagaimana yang menjadi ciri klasik displin komunikasi dan media yang memberikan perhatian pada pesan, komunikator, dan komunikan, teori tersebut dapat digunakan untuk tidak hanya studi atas teks media saja, melainkan studi pada produksi teks dan pemrosesan teks. Bertolak dari apa yang telah dipaparkan di atas, beberapa hal perlu diperhatikan dalam menggunakan teori framing untuk penelitian media dan komunikasi. 1) Sebagai agenda riset, framing media perlu menentukan paradigma penelitian, atau menjadi paradigma penelitian. Pemaparan perbedaan paradigma dan implikasinya menurut D’Angelo (2002) di atas bermanfaat untuk memandu pemilihan teori dan metode penelitian. Setiap paradigma tersebut membawa konsekuensi konsistensi teori dan metodologi penelitian yang digunakan. 2) Sebagai sebuah paradigma, penelitian framing perlu mencermati proses pembentukan frame hingga bagaimana frame media berinteraksi dengan frame audiens. Teori-teori framing Entman terutama model Cascading Activation-nya (1993; 2003; 2007; 2010), didukung oleh ejumlah sarjana kritis (Carragee & Roefs, 2007) mencerminkan framing merupakan proses menyeluruh dan berlangsung bertingkat mulai dari pembentukan hingga pemrosesan frame sehingga framing pada masing-masing tahapan tersebut perlu diteliti sebagai sesuatu yang berhubungan satu sama lain. 3) Metode riset yang dilakukan untuk teori framing dapat bersifat kuantitatif, maupun kualitatif. Dalam kerangka riset-riset kuantitatif framing, berdasarkan pengalaman Reese (2007: 151), siswa seringkali kesulitan menyusun unit analisis dan mencari elemen-elemen tekstual untuk dihitung dan dikelompokkan. Mereka yang menggunakan framing secara kuantitatif barangkali menduga telah menemukan pengbsahan atas analisis konten yang dilakukan. Claes D. Vrees, mengutip Cappiela & Jamieson (2005: 54) mengingatkan beberapa prinsip dalam penelitian framing kuantitatif, yaitu: Frame berita harus memiliki karakteristik konseptual yang dapat diidentifikasi; framing dapat dilihat pada praktek-praktek jurnalistik; metode analisis dapat membedakan suatu frame secara reliabel dibandingkan dengan frame-frame yang lain, dan memiliki validitas representasional dan bukan sekedar imajinasi peneliti. Pada sisi lain, frame bukanlah rangkuman berupa topik atas serial artikel yang diteliti. Para peneliti teori frame kualitatif seringkali hanya mengutip satu blok teks dan menjelaskan isi teks tersebut tanpa mampu mengelompokkannya dan menganalisisnya 20
dengan sejumlah argumen (Reese 2007: 151). Pemaparan Carter (2013) yang telah dipaparkan di atas mengenai ciri-ciri frame dapat menjadi konsep global framing dalam agenda riset kualitatif agar frame tidak semata-mata “sekumpulan paragraf” atau malah “topik” dan “tema” (Reese, 2007). Apabila para peneliti tidak dapat menunjukkan frame tersebut sebagai kerja “organizing” dan “structuring”, Reese (ibid.) tidak menyarankan penggunaan teori tersebut. 4) Sebagai sebuah agenda riset, penelitian framing dapat memeriksa framing pada berbagai elemen komunikasi. Masukan-masukan Entman (1993) dan Scheufele (2007 secara implisit juga menunjukkan elemen-elemen komunikasi yang relevan bagi hadirnya teori framing terutama pada konteks komunikasi massa. Elemen-elemen itu adalah: -
Komunikator pada Produksi pesan. Sarjana kritis meyakini meski jurnalis
kerapkali mengikuti aturan-aturan
“objektivitas” dalam peliputan namun nyatanya tetap saja framing dominan yang muncul dan menjauhkan kebanyakan audiens untuk memahami suatu situasi dengan lebih berimbang (Entman, 2007). Interaksi jurnalis dengan sponsor-sponsor frame maupun peristiwa-peristiwa kunci turut menentukan bagaimana suatu frame media terbentuk (Van Gorp, 2007; Carragee & Roefs, 2004; Pan & Kosicki, 1993). Elemen ini merupakan titik mula dari keseluruhan proses dari pemilihan dan konstruksi (selection and construction) framing. Sarjana-sarjana kritis dan konstruksionis biasanya menggabungkan elemen ini dengan analisis teks media, atau malah meneliti lebih lanjut hubungan jurnalis dengan masing-masing sponsor dalam pembentukan frame. Penelitian-penelitian framing dan gerakan sosial merupakan salah satu contoh bagaimana sponsor-sponsor di luar arus utama dapat atau tidak dapat mempengaruhi frame media (Benford & Snow, 2000). -
Konten atau Pesan. Pada level ini, para teoris framing dari berbagai paradigma bersepakat bahwa analisis atas konten dan pesan merupakan tahap krusial dalam penelitian framing . Banyak teoris telah mengeluarkan perangkat analisis framing pada teks media dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Sebagian penelitian teks media menggunakan teori framing tanpa meneliti elemen komunikasi lainnya (organisasi dan teks framing atau teks media dan audiens). Atau, frame level teks media ini dapat bertindak sebagai –meminjam istilah kognitivis— variabel dependen terhadap produksi pesan maupun variabel independen terhadap pemrosesan pesan, atau diyakini dapat menggambarkan kecenderungan ideologi media (Snow & Benford,2000). Dengan melibatkan elemen 21
konten media ini, penelitian framing kritis kerap mendiskusikan objektivitas dan bias dalam jurnalisme maupun ekonomi politik pemberitaan (McQuail, 2010: 380; Entman, 2010, 2007, 2003), sedangkan penelitian framing konstruksionis sering mendiskusikan mengenai proses jurnalistik dan pembentukan opini publik (Gamson & Modigliani, 1989; Terkildsen & Schnell, 1997). Penelitian framing kognitivis cenderung meneliti teks untuk melihat kongruensi frame media dengan efek-efek framing (McQuail, 2010: 512). -
Audiens/Komunikan pada Pemrosesan Pesan Pada elemen audiens, pendekatan kritis akan tertarik pada otonomi audiens, yaitu apakah audiens mencerna (decode) teks secara independen dan bebas dari maknamakna dominan dalam teks (Entman, 2007). Teori framing mampu membuat para peneliti untuk berhati-hati dalam mengidentifikasi ada tidaknya makna dominan dalam teks maupun pada audiens sekaligus tidak dengan gegabah menganggap bahwa ketika teks mengatakan “gelas adalah setengah penuh”, audiens pun akan mencernanya demikian bebab proses framing terjadi lagi pada ranah audiens (Entman, 2007). Sementara itu, pendekatan konstruksionis framing menggarisbawahi interaksi aktivitasaktivitas penginterpretasian para penerima pesan dan kuasa dalam frame yang nampak melalui berbagai elemen simbolik pada konten media. Pada tradisi efek media, analisis frame sulit menentukan hadir tidaknya efek-efek framing (Baran & Davis, 2006; Chong & Druckman, 2007). Shanto Iyengar (1996) melakukan eksperimen framing berita secara tematis dan episodik terhadap sekumpulan audiens untuk mempelajari efeknya. Studi tersebut dianggap mengabaikan elemen visual dan metafor dalam berita (Gamson, 1992) maupun aspek aktifnya audiens dan konteks sosial audiens (Ericson, 1993). Carragee & Roefs (2004: 220) menilai reduksi studi framing hanya pada studi efek media akan mengabaikan mengapa frame-frame tertentu (sponsor frame, kerja redaksional) mendominasi teks media sementara yang lain tidak. Tak setuju dengan pendapat tersebut, Scheufele & Iyengar (akan datang: 1516) meyakini studi efek framing masih dapat mengintegrasikan unsur skema budaya dalam analisisnya.
5) Teori framing tidak hanya dapat diterapkan untuk penelitian media & jurnalisme saja, melainkan juga sponsor-sponsor frame yang melakukan komunikasi publik. Terlepas dari pendekatan yang digunakan, teori framing dapat digunakan untuk meneliti fenomena komunikasi publik atau secara peyoratif dapat dikatakan sebagai spin doctoring yang dilakukan aktor-aktor politik dan sosial lainnya seperti praktek-praktek kehumasan organisasi bisnis, pemerintah, maupun politik. Secara konsep framing terkait dengan proses22
proses psikologis menganai bagaimana orang mencerna informasi, membangun pengalaman tentang dunia di sekitarnya, dan membuat penilaian. Oleh karena itu, framing dapat terjadi pada berbagai konteks dan level komunikasi. Hallahan (1999) menyebut bahwa teori framing menyediakan konsep utuh yang berguna dalam memeriksa hal-hal yang terjadi pada public relations sebab frame of reference yang sama yang dirujuk dalam proses framing atas suatu topik peristiwa atau isu dapat menciptakan kesepahaman bersama yang dibutuhkan praktisi kehumasan.
Di Indonesia, teori-teori framing merupakan teori yang cukup dan menarik pemerhati media dan jurnalisme (Hasfi, 2011).11 Secara empiris, fenomena framing media di Indonesia seringkali menarik perhatian publik bahkan menjadi polemik. Ketika artikel ini ditulis, makian salah satu pemilik akun di Path atas Yogyakarta terkait dengan pengalamannya mengantre bahan bakar di salah satu SPBU di Yogyakarta menjadi polemik media virtual, elektronik, dan massa. Pemberitaan media mengenai protes Florence Sihombing tersebut adalah contoh kecil bagaimana media melakukan framing atas suatu peristiwa. Banyak pilihan frame yang dapat digunakan oleh media atas insiden di SPBU tersebut, misalnya frame penghinaan terhadap masyarakat Yogyakarta, mempermalukan institusi pendidikan, kekecewaan terhadap Pertamina, gadis pemarah, warga pendatang pemarah, perundungan atas Florence, dan sebagainya. Namun, media memilih frame-frame tertentu dalam pemberitaannya. Terpilihnya frame-frame tertentu pada berita tersebut dapat dibaca sebagai dominasi sponsor frame yang bekerja atas media atau budaya yang berlaku pada masyarakat bersangkutan yang menjadi referensi kultural media, dan dinamika proses redaksional itu sendiri. Lantas, masyarakat menunjukkan reaksi setelah framing media itu muncul. Adalah tantangan bagi para sarjana Indonesia untuk mengamati fenomena-fenomena media dan komunikasi yang unik dan kompleks itu melalui perspektif framing.
Daftar Pustaka: Baran, S.J. & Davis, D.K. (2006). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment & Future, 6th Edition, International Edition, Benford, D. & Snow, D.A. (2000). “Framing Processes and Social Movements: An overview and assessment,” Annual Review of Sociology, 26: 611-639. Carragee, K.M. & Roefs, W. (2004). “The Neglect of Power in Recent Framing Research.” International Communication Association. Carter, M.J. (2013). “The Hermeneutics of Frames and Framing: An Examination of the Media’s Construction of Reality.” SAGE OPEN 1-2. Chong, D. & Druckman, J.N. “Framing Theory.” Annual Review of Political cience 10:103-26. 11
Kata kunci “penelitian framing” di mesin pencari Google menghasilkan 62.000 lebih database (2 September 2014).
23
D’Angelo, P. (2002). “News Framing as A Multiparadigmatic Research Program: A Response to Entman.” Journal of Communication, December. De Vrees, C.H. (2005). “News Framing: Theory and Typology,” Information Design Journal + Document Design 13 (1), 51-62. Entman, R.M. (1993). “Framing: Toward clarification of a fractured paradigm.” Journal of Communication 43 (4). Entman, R.M. (2003). “Cascading Activation: Contesting the White Huse’s Frame after 9/11.” Political Communication, 20: 415-432. Entman, R.M. (2007). “Framing Bias: Media in the distribution of power.” Journal of Communication 57 (163173). Entman, R.M. (2010). “Media Framing Biases and Political Power: Explaining slant in news of campaign 2008.” Journalism, 11: 389. Ericson, R.V. (1993). “Is Anyone Responsible? How Television Frames Political Issues by Shanto Iyengar, Review by Richard V. Ericson..” American Journal of Sociology 98:11459-1462. Gamson,W. & Lasch, K.E. (1980). “The Political Culture of Social Welfare Policy.” CRSO Working Paper No.221. Gamson, W. & Modigliani, A. (1989). “Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A constructionist approach,” AJS, 95 (1): 1-37. Gamson, W.,et.al. (1992). “Media Imagges and the Social Construction of Reality.” Annual Reviews Sociology, 18: 373-93. Gamson, W.A. (1992). “Is Anyone responsible? How Television Frames Political Issues by Shanto Iyengar, Review by William A. Gamson.” Contemporary Sociology, 21:467-568. Grifin, E. ( 2003). A First Look at Communication Theory 5th Edition, Boston: McGraw Hill. Hallahan, K. (1999). “Seven Models of Framing: Implications of Framing Theory for Public Relations.” Journal of Public Relations 11 (3), 205-242. Hasfi, N. (2011). Laporan Penelitian Analisis Framing Pemberitaan Malinda Dee di Detikcom, Majalah Tempo dan Metro TV. (Laporan Penelitian, FISIP Universitas Diponegoro). Iyengar, S. (1996). “Framing Responsibility for Political Issues.” Annals of the American Academy of Political and Social Science: 546: 59-70. Matthes, J. (2009). “What’s in a frame? A Content analysis of media framing studies in the world’s leading communication journals, 1990-2005.” Journalism & Mass Communication Quaterly 86: 349. McCombs, M.E. & Shaw, D.L. (1972). “The Agenda-Setting Function of Mass Media.” The Public Opinion Quarterly 36 (2). McCombs, M.E. & Shaw, D.L. (1993). “The Evolution of Agenda-Setting Research: Twenty-five years in the marketplace of ideas.” Jurnal of Communication 43 (2). McQuail, D. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory, 6th Edition, London: SAGE Publications. Pan, Z. & Kosicki, G.M. (1993). “Framing Analysis: An Approach to News Discourse.” Political Communication, 10: 55-75. Reese, S.D. (2007). “The Framing Project: A bridging Model for media research revisited.” Journal of Communication 57 (148-154). Scheufele, D.A. (1999). “Framing as a Theory of Media Effects.” International Communication Association. Scheufele, D.A. (2000). “Agenda Seting, Priming, and Framing Revisited: Another Lok at Cognitive Effects of Political Communication.” Mass Communication Society, 3:2-3, 297-316. Scheufele, D.A. & Tewksbury, D. (2007). “Framing, Agenda Setting, and Priming: the evolution of three media effects models.” Journal f Communication 57, 9-20. Scheufele, D.A. & Iyengar, S. (akan datang). “The State of Framing Research: A call for new directions.” The Oxford Handbook of Political Communication, New ork: Oxford University Press. Snow, D.A. & Benford, R.D. (2000). “Mobilization Forum: Comment on Oliver & Johnston clarifying the Relationship between framing and ideology.” Mobilization: An International Journal, 2000, 5 (1): 55-60. Terkildsen, N. & Schnell, F. (1997). “How Media Frames Move Public Opinion: An anaysis of the women’s Movement.” Political Research Quarterly, 50)4): 879-900. Van Gorp, B. (2007). “Bringing Culture Back In.” Journal of Communication, 57, 60-78.
24