BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Membicarakan hak asasi manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi totalitas kehidupan manusia. HAM ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut memperoleh apresiasi secara positif. Hanya saja, regulasi dibutuhkan agar kepentingan dan kehendak yang sesekali “meledak” sebagai konsekuensi kehidupan manusia patut dikedepankan. 1 Namun, persoalan HAM dapat dipahami bukanlah semata berada dalam wilayah hukum. HAM adalah dimensi dari totalitas kehidupan manusia. Menelaah keadaan HAM sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan, sejauhmana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan.2 Banyak pertanyaan yang muncul berkaitan dengan eksistensi dan hakikat HAM. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan HAM? Darimana HAM berasal? Apakah HAM dapat dihapuskan? Apakah semua HAM sederajat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dibutuhkan pemahaman mengenai HAM berdasarkan suatu kerangka teori. Sebuah teori bisa berfungsi sebagai suatu alat analisis yang memungkinkan pertanyaan seputar HAM yang kerap kali diajukan dan jawaban tentatif bisa saja terjadi. Teori memungkinkan dibangunnya suatu paradigma yang memberikan koherensi dan konsistensi bagi segala perdebatan mengenai hak. Teori juga menyumbangkan suatu model yang bisa dipakai untuk mengukur hak-hak yang diandaikan tersebut. Teori
1
Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 274, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, (Malang: Setara Press, 2015), h. 35. 2 Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 14.
1
menyediakan mekanisme yang bisa dipakai untuk menetapkan dengan benar batas hak-hak yang eksistensinya telah disepakati.3 Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan dalam agama-agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi daripada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.
4
Untuk semakin
memahami konsep dasar tentang HAM, menarik mengkaji empat teori yang dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, yaitu teori hak-hak alami, teori positivisme, teori relativisme kultural, dan doktrin Marxis, yang akan penulis sajikan dalam bab pembahasan. Berbicara mengenai prinsip-prinsip HAM dalam konteks hukum HAM internasional, maka akan terkait dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional (general principles of law) yang juga merupakan salah satu sumber hukum internasional yang utama (primer), di samping perjanjian internasional
(treaty),
hukum
kebiasaan
internasional
(customary
international law), yurisprudensi dan doktrin.5 Agar suatu prinsip dapat dikategorikan sebagai prinsip-prinsip umum hukum internasional diperlukan dua hal, yaitu adanya penerimaan (acceptance) dan pengakuan (recognition) dari masyarakat internasional. Dengan demikian, prinsip-prinsip HAM yang telah memenuhi kedua syarat tersebut memiliki kategori sebagai prinsip-prinsip umum hukum. Pada kenyataannya, hal itu kemudian dielaborasi ke dalam berbagai instrumen 3
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Grafiti, 1994), h. 2. 4 Lihat Jerome J. Shestack, “Jurisprudence of Human Rights”, dalam Theodor Meron, (Ed.), “Human Rights in International Law Legal and Policy Issues”, (New York: Oxford University Press, 1992), h. 76, dalam Andrey Sujatmoko, “Sejarah, Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, dipresentasikan pada “Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM bagi Dosen-dosen Hukum HAM” yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII Yogyakarta bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) Universitas Oslo-Norwegia, pada tanggal 12-13 Maret 2009 diHoteSantikaPremiere, Yogyakarta. 5 Andrey Sujatmoko, Sejarah, “Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, h. 9.
2
hukum HAM internasional, misalnya perjanjian internasional.6 Rhona K.M. Smith menyebutkan bahwa prinsip hak asasi manusia ada tiga, yaitu, kesetaraan, non-diskriminasi, dan kewajiban positif setiap negara, yang akan dikaji lebih lanjut dalam bab pembahasan beserta dengan teori-teori HAM. Prinsip-prinsip tersebut telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat dihampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Berkaca dari berbagai prinsip yang dimiliki oleh HAM secara konvensional, Islam dengan prinsip HAM pun mengatur beberapa hak yang relevan dengan dunia Barat, namun dengan berbasis pada ketauhidan, ketaqwaan, dan penyerahan diri kepada Allah untuk menghormati harkat dan martabat manusia.7 Kerangka berpikir mengenai suatu hal tidak akan tercipta jika tidak mengetahui dasar dan landasannya. Begitu juga dengan kerangka berpikir untuk memahami masalah HAM. Oleh sebab itu, teori-teori dan prinsipprinsip HAM adalah suatu landasan untuk menciptakan suatu kerangka teori yang akan bertransformasi menjadi kerangka berpikir untuk menjawab seluruh permasalahan mengenai HAM. B. Rumusan Masalah Berdasarkan dasar belakang di atas, maka rumusan masalah yang sesuai adalah sebagai berikut? 1. Apa teori-teori HAM yang disebutkan oleh Todung Mulya Lubis? 2. Apa prinsip-prinsip HAM yang dikemukakan oleh Rhona K.M. Smith? 3. Apa prinsip-prinsip HAM dalam Islam? C. Tujuan Pembahasan Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan ini adalah: 6 7
Andrey Sujatmoko, “Sejarah, Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, h. 9. Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 53.
3
1. Memaparkan teori-teori HAM yang disebutkan oleh Todung Mulya Lubis. 2. Memaparkan prinsip-prinsip HAM yang dikemukakan oleh Rhona K.M. Smith. 3. Memaparkan prinsip-prinsip HAM yang ada dalam Islam.
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori-Teori HAM Menurut Todung Mulya Lubis 8 , ada empat teori HAM yang sering dibahas dalam berbagai kesempatan yang berkaitan dengan disiplin keilmuan yang didalamnya ada unsur-unsur mengenai HAM, yaitu: 1. Teori Hak-hak Alami (Natural Rights Theory) HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human beings at all times and all places by virtue of being born as human beings).9 Teori kodrati mengenai hak (natural rights theory) yang menjadi asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.10 Selanjutnya, ada Hugo de Groot (nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaissans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam
8
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights; Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 14-25, dalam Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 273-274. Lihat juga dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 31-35. 9 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32. 10 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32.
5
revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.11 Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad ke-19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu diantara penentang teori hak-hak kodrati.12 Tetapi, penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang fisuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya.13 2. Teori Positivisme (Positivist Theory) Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang rill, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat
serangan
dan
penolakan
kalangan
utilitarian,
dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari “alam” ataupun “moral”14 3. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory) Teori ini merupakan salah satu bentuk anti-tesis dari teori hakhak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural 11
Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32. 12 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32. 13 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32-33. 14 John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, W. Rumble (ed.), (Cambridge: Cambridge University, 1995), first published, 1832, dalam Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 33.
6
terhadap
dimensi
kultural
yang
lain,
atau
disebut
dengan
imperialisme kultural (cultural imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights belonging to all human beings at all times in all placeswould be the rights of desocialized and deculturized beings.15 4. Doktrin Marxis (Marxist Doctrine and Human Rights) Doktrin marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber seluruh hak (repositiory of all rights). 16 Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional.
17
Pengalaman buruk dunia
internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. Hal ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu.18
15
Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34. Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34. 17 David Weissbrodt, “Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Sejarah, dalam Peter Davies (Ed.), Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 1-30, dalam Rhona K. M. Smith, dkk., h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34. 18 Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”. Dikutip dari Preamble Piagam PBB, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34. 16
7
Kemunculan teori hak-hak kodrati sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hakhak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang telah diajukan John Locke). Kandungan hak dalam hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan, belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”,
yang disebut
“hak-hak
solidaritas”.
Dalam
konteks
keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.19 B. Prinsip-Prinsip HAM Sesuai dengan dikemukakan oleh Rhona K. M. Smith, bahwa ada tiga prinsip dalam HAM, yaitu: 1. Prinsip Kesetaraan (Equality) Kesetaraaan dianggap sebagai prinsip hak asasi manusia yang sangat fundamental. Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama , dan dimana pasa situasi berbeda dengan sedikit perdebatan diperlakukan secara berbeda. Kesetaraan juga dianggap sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi. Kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan akses dalam pendidikan, kesetaraan dalam mengakses peradilan yang fair dan lain-lain merupakan hal penting dalam hak asasi manusia.20 Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda dan diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus 19
Rhona K. M. Smith, dkk., h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34. Eva Brems, Human Rights: Universality and Diversity, (London: Martinus Nijhoff Publishers, 2001), h. 14, dalam Eko Riyadi, dkk.,Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 36. 20
8
menerus walaupun standar hak asasi manusia telah meningkat. Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan. Perkembangan gagasan hak asasi manusia memunculkan terminologi baru, yaitu diskriminasi positif (affirmative action). Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memerlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili, seperti adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Contoh lain, dapat berupa mengizinkan perempuan untuk diterima dibanding lakilaki dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar, hanya dengan alasan lebih banyak laki-laki yang melamar dilowongan pekerjaan tersebut. Beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan kebijakankebijakan yang membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable)
dibandingkan
dengan
orang-orang
non-adat
lainnyadalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Pasal 4 CEDAW dan 2 CERD adalah contohnya. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa tindakan afirmatif hanya dapat digunakan dalam suatu ukuran tertentu hingga kesetaraan itu dicapai. Namun, ketika kesetaraan telah tercapai. Maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan lagi.21 2. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination) Pelarangan terhadap diskriminasi atau non-diskriminasi adalah salah satu bagian dari prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Pada efeknya, diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama atau setara. Prinsip ini kemudian menjadi sangat penting dalam hak asasi manusia. Dalam hal ini, diskriminasi memiliki dua bentuk, yaitu: 21
Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 37.
9
a. Diskriminasi langsung, yaitu ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda dari pada lainnya (less favourable). b. Diskriminasi tidak langsung, yaitu ketika dampak praktis dari hukum
dan atau kebijakan merupakan bentuk
diskriminasi walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas mempengaruhi lebih kepada perempuan daripada kepada laki-laki. Pemahaman
diskriminasi
kemudian
meluas
dengan
dimunculkannya indikator diskriminasi yaitu berbasis pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agana, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan, kepemilikan atas suatu benda (property), status kelahiran atau status lainnya. Semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur, dan cacat tubuh.22 3. Prinsip Kewajiban Positif Setiap Negara Prinsip kewajiban positif negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Menurut hukum hak asasi internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Untuk kebebasan berekspresi, sebuah negara boleh memberikan kebebasan dan sedikit memberikan pembatasan. Untuk hak hidup, negara tidak boleh menerima pendekatan yang pasif. Negara wajib membuat suatu aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi secara positif hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dapat diterima oleh negara. Karena alasan inilah, negara membuat aturan hukum 22
Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 37-38. Lihat Pasal 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CRC).
10
melawan pembunuhan untuk mencegah aktor non negara (non state actor) melanggar hak untuk hidup. Sebagai persyaratan utama, negara harus bersifat proaktif dalam menghormati hak untuk hidup, bukan bersikap pasif.23 Menurut Manfred Nowak, ada empat prinsip HAM, yaitu universal (universality), tak terbagi (indivisibility), saling bergantung (interdependent), dan saling terkait (interrelated).24 Prinsip tak terbagi dimaknai dengan semua hak asasi manusia adalah sama-sama penting dan oleh karenanya tidak diperbolehkan mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya. Prinsip universal dan prinsip tak terbagi dianggap sebagai dua prinsip kudus atau suci paling penting (the most important sacred principle). Dua-duanya menjadi slogan utama dalam ulang tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang kelima puluh, yaitu semua hak asasi manusia untuk semua manusia (all human rights for all). Juga ditegaskan i dalam Pasal 5 Deklarasi Wina tentang program aksi yang berbunyi bahwa semua hak asasi manusia adalah universal, tak terbagi, saling bergantung, dan saling terkait (all
human
rights
are
universal,
indivisible,
interdependent
and
interrelated).25
23
Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 37-38. Lihat Pasal 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CRC). 24 Manfred Nowak, Introduction, dalam Eko Riyadi, dkk., Mengurai Kompleksitas,h. 27, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 35. 25 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 36. Lihat Pasal 5 Deklarasi Wina.
11
C. Prinsip-Prinsip HAM dalam Islam Menurut Harun Nasution, dasar-dasar dan prinsip-prinsip sangat diperlukan sebagai pegangan umat Islam dalam “menghadapi perkembangan zaman dalam mengatur masyarakat Islam sesuai dengan tuntutan zaman”.26 Menurut Masdar F. Mas’udi, 27 lima prinsip hak-hak asasi manusia dapat ditilik dari konsep dharuyaiyah al-khams yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Hak perlindungan terhaap jiwa atau hak hidup Perlindungan terhadap jiwa merupakan hak yang tidak bisa ditawar. Penerjemahan yang paling elementer dari hak hidup ini dituangkan dalam sistem hukum, yang salah satunya adalah Qisas. Karena kehidupan merupakan suatu hal yang sangat niscaya dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun, maka barang siapa yang secara sengaja melanggar kehidupan orang, dia harus dihukum setimpal supaya orang itu tidak melakukan hal yang sama di tempat yang lain. 2. Perlindungan keyakinan Perlindungan keyakinan ini dituangkan dalam ajaran La Iqrah fi-dhiin (tidak ada pemaksaan dalam agama) atau Lakum diinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Oleh karena itu, tidak diperbolehkan ada pemaksaan dalam memeluk agama. Tapi, dalam sejarah kemudian, hak perlindungan atas agama ini diterjemahkan di dalam suatu aturan hukum yang memberi ketentuan keras terhadap orang yang pindah agama. Padahal, dalam konteks yang paling dasar (Al-Quran), tidak ada paksaan dalam memeluk agama. 3. Hak perlindungan terhadap akal pikiran Hak perlindungan terhadap akal pikiran ini diterjemahkan dalam perangkat hukum yang sangat elementer, yakni tentang haramnya
26
Harun Nasution, “Islam dan Sistem Pemerintahan dalam Perkembangan Sejarah”, dalam Majalah Nuansa (Jakarta, Desember, 1984), h. 6, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 48. 27 Masdar F. Masudi, “Hak Asasi Manusia dalam Islam”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiiah (Ed.), Desiminasi HAM Perspektif dan Aksi, (Jakarta: CESDA LP3ES, 2000), h. 66, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 48.
12
makan dan minum dan hal-hal yang bisa merusak kesadaran pikiran. Barang siapa yang melanggar hal itu (merusak kesadaran), maka hukumnnya cukup keras. Hukuman yang keras ini dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap akal pikiran. Sebenarnya, dari penjabaran yang elementer ini, bisa ditarik lebih jauh, yakni perlindungan terhadap kebebasan berpendapat. Bisa ditarik pula pada hak-hak pendidikan, dan sebagainya. Tapi, elaborasi pasca prinsipprinsip hak yang elementer ini masih jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan hak-hak yang dipahami dalam fiqh merupakan hak-hak yang bersifat subsistem. 4. Perlindungan terhadap hak milik Perlindunngan ini diterjemahkan dalam hukum tentang keharaman mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencurian hak milik yang dilindungi secara sah. Kalau diterjemahkan lebih jauh, hak ini dapat dipahami sebagai hak bekerja atau memperoleh pendapatan yang layak dan seterusnya. 5. Hak
berkeluarga
atau
hak
memperoleh
keturunan
dan
mempertahankan nama baik Hak mempertahankan nama baik ini diterjemahkan dalam hukum fiqh yang begitu keras terhadap orang yang melakukan tindakan perbuatan zina. Orang yang menuduh seseorang berbuat zina harus bisa membuktikan tuduhan tersebut dengan bukti empat saksi. Kalau ternyata tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan, maka menurut fiqh orang tersebut tidak dapat dipersalahkan. Kalaupun zina ini memang benar-benar terjadi, itu menjadi urusan pelaku zina dengan Allah.28 Disamping lima hak dasar seperti dijabarkan di atas, dalam fiqh juga ada tiga lapisan hak. Pertama, hak dzararat (hak dasar). Sesuatu disebut hak dasar apabila pelanggaran atas hak tersebut bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga menghilangkan eksistensinya, bahkan menghilangkan 28
Masdar F. Masudi, “Hak Asasi Manusia dalam Islam”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiiah (Ed.), Desiminasi HAM Perspektif dan Aksi, (Jakarta: CESDA LP3ES, 2000), h. 66, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 49.
13
harkat kemanusiaannya. Kedua, hak ta’ziat (sekunder), yakni hak-hak yang bila dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak elementer. Ketiga, hak tersier (komplementer) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder. Pembagian tiga lapis ini menurut Masdar F. Mas’udi menjadi penting dalam pandangan fiqh yang selalu bicara mana hak yang perlu didahulukan mana yang tidak. Bila ada dua hak primer dan sekunder bertabrakan, maka yang didahulukan adalah hak primer. Jika ada hak yang berkategori taqmiyat, bila terpaksa bisa saja didahulukan karena bila hak tersebut dilanggar tidak akan menimbulkan kesulitan, hanya saja menimbulkan ketidaklancaran hak sekunder. Jika ada tabrakan antara hak sekunder dan hak elementer, maka yang harus didahulukan adalah hak dzararat (elementer). Bila hak sekunder bertabrakan dengan hak tersier, maka yang harus didahulukan adalah hak sekunder. Hak-hak ini dihirarkikan agar orang memperoleh perlindungan yang proporsional, orang-orang yang melanggar hak dzararat (elementer), maka dosanya besar. Sementara pelanggaran terhadap hak ta’ziat (sekunder) dosanya sebesar hak-hak elementer, itulah logika fiqh. Sedangkan dari segi nilai normatif, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa HAM dalam Islam didasari oleh:29 1. Prinsip persamaan antara manusia, yaitu semua manusia sama dihadapan tuhan, tidak ada satu ras yang lebih unggul atas yang lain, karena semua manusia berasal dari leluhur yang sama. 2. Prinsip kebebasan personal, karena itu perbudakan dilarang dan pembebasan budak diwajibkan. (QS. 2: 177). 3. Prinsip keselamatan jiwa, yang berarti bahwa siapa saja yang menyelamatkan jiwa umat manusia (QS. 5: 32. Diriwayatkan, khalifah keempat Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa darah orang-orang non muslim (dzimmi) adalah suci sebagaimana darah orang muslim,
29
Riffat Hassan, “Religious Human Rights and Qur’an”, Emory International Law Review, vol. 10, no. 1, (Spring, 1999), h. 85, dalam Ahmad Nur Fuad, dkk., Hak Asasi Manusia, h. 47, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 50.
14
dan bahwa harta mereka harus dilindungi sebagaimana harta kaum muslim). 4. Prinsip keadilan, suatu hak manusia yang ditekankan dalam Al-Qur’an (QS. 7: 29; QS. 57: 25). Diantara ajaran-ajaran Islam yang prinsipil adalah “Al-Musaawwaah” (Persamaan Hak). Islam menganggap bahwa diskriminasi manusia adalah suatu penyakit dalam tubuh umat manusia yang harus disembuhkan. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, persamaan adalah termasuk syi’ar Islam yang paling esensial.30 Ia mencontohkan, banyak hukum Islam yang merealisasikan asas persamaan itu, dalam haji, para jamaah memakai satu bentuk pakaian yang tidak berjahit. Ketika shalat, umat berbaris lurus sama. Dalam nasihat, mencakup orang yang berkedudukan rendah atas orang yang lebih tinggi. Dalam perkara pidana, jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, dan melukai ada qishash-nya. Begitu pula, prinsip persamaan dalam nomokrasi Islam mengandung aspek yang luas. Mencakup persamaan dalam segala bidang kehidupan, meliputi bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Senada yang ditelaah Ahmad Sukardja, bahwa masyarakat politik yang dibina oleh Muhammad Saw. di Madinah sebagai negara hukum yang memiliki konstitusi (Piagam Madinah) yang melindungi HAM merupakan suatu bentuk kemasyarakatan yang di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip umum, antara lain: monoteisme 31 , persatuan dan kesatuan 32 , persamaan dan keadilan 33 , kebebasan beragama34, bela negara35, pelestarian adat yang baik36, supremasi syari’at37, serta politik damai dan proteksi.38 30
Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 45, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 51. 31 Antara lain Mukaddimah, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 42, dan akhir Pasal 47. Dalam UUD 1945 terkandung dalam sila pertama Pancasila, Pasal 9, dan Pasal 29. 32 Antara lain Pasal 1, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 37. Pada UUD 1945 disebutkan dalam sila ketiga Pancasila, Pasal 1 ayat (1), Pasal 35, dan Pasal 36. 33 Antara lain dalam Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 37, Pasal 40. Hal ini relevan dengan konsep persamaan dan keadilan dalam UUD 1945 terkandung dalam sila kelima Pancasila, Pasal 27, Pasal 33, dan Pasal 34. 34 Antara lain Pasal 25. Dalam UUD 1945 pada Pasal 29 ayat (2). 35 Antara lain Pasal 24, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 44. Pasal 30 dalam UUD 1945.
15
Prinsip-prinsip HAM yang dipaparkan diatas relevan dengan prinsipprinsip HAM yang diagungkan dunia barat seperti universalitas (universality), tak terbagi (indivisibility), saling bergantung (equality), non diskriminasi, kewajiban positif negara, namun dengan berbasis pada ketauhidan dan ketaqwaan serta penyerahan diri kepada Allah untuk menghormati harkat dan martabat manusia.39
36
Antara lain Pasal 2 s.d. Pasal 10. Pasal 32 dalam UUD 1945. Antara lain Pasal 23 dan Pasal 42. Keberlakuan hukum agama adalah konsekuensi logis dari pengalaman sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945. 38 Antara lain Pasal 15, Pasal 17, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 47, dan sikap perdamaian secara eksternal ditegaskan pada Pasal 45 Piagam Madinah. Dalam UUD 1945, politik perdamaian disebutkan dalam Pembukaan, Pasal 11, dan Pasal 13. 39 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 53. 37
16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Ada empat teori HAM seperti yang disebutkan oleh Todung Mulya Lubis, yaitu teori hak-hak alami (natural rights theory), teori positivisme (positivist theory), teori relativitas budaya (cultural relativist theory), dan doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Teori hak-hak alami adalah teori yang memiliki pandangan bahwa HAM adalah hak yang murni didapat oleh seluruh manusia sebagai suatu penghormatan atau sebagai takdirnya menjadi manusia. Teori positivisme adalah teori yang berpendapat bahwa hak harus tertuang dalam wujud yang nyata, misalnya dalam bentuk peraturan atau jaminan konstitusi. Selanjutnya, teori relativitas budaya adalah teori dengan pandangan bahwa hak itu adalah bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain. Merupakan anti-tesis dari teori hak-hak alami. Doktrin Marxis adalah doktrin yang menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber seluruh hak. 2. Psinsip-psinsip HAM yang dikemukan oleh Rhona K. M. Smith ada tiga, yaitu prinsip kesetaraan (equlity), prinsip non-diskriminasi (nondiscrimination), dan prinsip kewajiban positif setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama, dan dimana pada situasi yang berbeda dengan sedikit perdebatan diperlakukan secara berbeda. Ini adalah prinsip HAM yang sangat fundamental. Sedangkan makna dari prinsip non-diskriminasi adalah bagian dari prinsip kesetaraan. Artinya, jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Terkahir, prinsip kewajiban positif setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu, maksudnya bahwa negara diasumsikan memiliki kewaajiban
17
positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hakhak dan kebebasan-kebebasan dengan membuat suatu aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi secara positif hak-hak dan kebebsan-kebebasan yang diterima oleh negara. 3. Prinsip-prinsip HAM dalam Islam terbagi menjadi lima, yaitu: hak perlindungan terhadap jiwa, perlindungan keyakinan, hak perlindungan terhadap akal pikiran, perlindungan terhadap hak milik, dan hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.
18