a. Tahap Pra Rumah Sakit Di Indonesia pelayanan pra- rumah sakit ini merupakan bagian yang sangat terbelakang dari pelayanan penderita gawat darurat secara menyeluruh. Prinsip utama adalah bahwa tidak boleh membuat keadaan lebih parah. Prinsip : Do Not Further Harm Keadaan yang ideal adalah dimana “ Unit Gawat Darurat ( UGD ) yang datang kependerita “ ,dan bukan sebaliknya, karena itu ambulans yang datang sebaiknya memiliki peralatan yang lengkap. Petugas atau paramedic yang datang membantu penderita juga sebaiknya mendapatkan latihan khusus. Sebaiknya rumah sakit sudah diberi tahu sebelum penderita diangkat dari tempat kejadian, dan koordinasi yang baik antara dokter dirumah sakit dengan petugas lapangan akan menguntungkan penderita. Yang harus dilakukan oleh paramedic adalah :
Menjaga airway dan breathing
Control perdarahan dan syok
Immobilisasi penderita
Pengiriman kerumah sakit terdekat yang cocok
d. Disability : (defisit neurologis) Perdarahan intracranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat (the patient who talk and dies) sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis secra cepat. Yang dinilai ddisini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. 1. GCS (Glasgow Coma Scale) GCS adalah system scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan penurunan perfusi keotak, atau ddisebabkan perlukaan pada otak sendiri. Perubahan kesadaran akan dapat mengganggu airway serta breathing yang seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alcohol dan obatobatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Penurunan tingkat GCS yang lebih dari 1 (2 atau lebih) harus sangat diwaspadai. 2. Pupil Nilai adakah perubahan pupil. Pupil yang tidak sama besar (anisokor) kemungkinan menandakan adanya suatu lesi masa intracranial (perdarahan). Perlu diingat bahwwa lesi biasanya akan terjadi pada sisi pupil yang melebar. 3. Resusitasi Terhadap kelainan primernya di otak tidak banyak yang dapat dilakukan namun tugas sangat penting dari dokter yang menerima penderita trauma kapitis di UGD adalah dengan menghindari cedera otak sekunder (secondary brain injury). Yang
harus dilakukan terapi dengan agresif adalah adanya hipovolemia. Hipoksia dan hiperkardia untuk menghindari cedera otak sekunder tersebut. f. Folley catheter / kateter urin Pemakaian kateter urin dan lambung harus dipertimbangkan. Jangan lupa mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin. Produksi urin merupakan indicator yang peka untuk menilai keadaan hemodinamik penderita. Catatan : urin penderita dewasa ½ cc/kgBB/jam, anak 1cc/kgBB/jam, bayi 2cc/kgBB/jam. Kateter urin jangan dipakai bila ada dugaan rupture uretra yang ditandai oleh :
Adanya darah dilubang uretra bagian luar
Hematom di skrotum
Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba. Dengan demikian maka pemasangan kateter urin tidak boleh dilakukan sebelum colok dubur (khusus pada penderita trauma) g. Gastric Tube/kateter lambung Kateter lambung dapat dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mencegah muntah. Isi lambung yang pekat akan meengakibatkan NGT tidak berfungsi, peemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat diseebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatic atau perlukaan lambung. Bila lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak. h. Heart Monitoring/monitor EKG Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.
Airway: seharusnya sudah diatasi
Breathing: pemantauan laju nafas
Circulation: nadi, tekanan nadi,, tekanan ddarah, suhu tubuh dan jumlah urin setiap jam. Bila ada sebaiknya terpasang monitor EKG
Disability: nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil. i. Foto Rontgen Pemakaian foto ronsen harus selektif, dan jangan mengganggu proses resusitasi. Pada penderita dengan trauma tumpul harus dilakukan 3 foto rutin:
Sevikal
Torak (AP)
Pelvis (AP) Foto servikal AP harus terlihat ke-7 ruas tulang servikal, apabila tidak terlihat harus dengan meenarik kedua bahu kearah kaudal, ataupun dengan swimmer’s view.
b. Pemeriksaan fisik
Meliputi inspeksi. Auskultasi, palpasi dan perkusi. 1. Kulit kepala Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjaddi bahwa penderita yang tampaknya cedera ringan tiba-tiba ada darah dilantai yang berasal dari tetesan luka dibelakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal. 2. Wajah Ingat prinsip : “look -listen-feel”. Apabila cedera sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokori serta reflek cahaya, acies visus, acies campus. Hidung : apabila ada pembengkakan, lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur. Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan adanya fraktur zygoma. Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum. Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
Rahang bawah : periksaakan adanya fraktur 3. Vertebra servikalis dan leher Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk seorang pembantu tetap melakukan fiksasi pada kepala. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam,, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri,, deformitas, pembengkakan,emfisema subkutan,, deviasi trakea,, dan simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.Kontrol perdarahan,, cegah kerusakan otak sekunder, dan lepasskan lensa kontak. 4. Toraks Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel Inspeksi dinding dada pada bagian depan, samping, dan belakang untuk adanya trauma tumpul atau tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi torak bilateral. Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas ( bilateral) dan bising jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam atau tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi untuk adanya hipesonar dan keredupan. Ingat bahwa setiap cedera dibawah putting susu, ada kemungkinan cedera abdominal pula.
5. Abdomen Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (pendderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan atau lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian ddepan dan belakang untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarah internal. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil. Bila ragu-ragu akan adanya perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage), ataupun USG (ultra-sonography). Ingat bahwa pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan Nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaan : transfer penderita keruang oprasi jika diperkukan 6. Pelvis Cedera pada pelvis yang berat, akan Nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PSAG / gurita untuk control perdarahan dari fraktur pelvis. 7. Ekstremitas Pemeriksaan dilakukan dengan “look -feel-move”. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuka), pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur, pada saat menggerakkan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma compartment (tekanan intra-kompartment dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan. 8. Bagian punggung Memeriksa punggung dilakukan dengan “ log roll” (memiringkan peenderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung. c. Tambahan terhadap survey sekunder Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan : sepeti foto tambahan, CT Scan, USG, endoskopi, dsb. 4. Re-Evaluasi penderita Penilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring dari tanda vital dan jumlah urin mutlak dilakukan.