1
SUMBER-SUMBER KEUANGAN NEGARA DI ZAMAN KLASIK (ZAMAN NABI)
MAKALAH INDIVIDUAL Disusun untuk memenuhi tugas INDIVIDUAL matakuliah ‘SEJARAH PERADABAN ISLAM’ pada Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam “45” Kota Bekasi Dosen : Dr. H. ABDUL WAHID HASYIM, M.Ag
Oleh : Muhammad Eko Purwanto, NPM : 41189901180004
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM “45” (UNISMA) BEKASI 2018
2
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah Swt, berkat karunia dan hidayah-Nya, makalah saya yang berjudul Sumber Keuangan Negara Di Zaman Klasik (Zaman Nabi), bisa saya selesaikan, meskipun masih banyak kekurangan disana-sini. Semoga makalah ini dapat memenuhi tugas Individual pada matakuliah Sejarah Peradaban Islam pada Program (S2) Magister Manajemen Pendidikan Islam, Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam “45” (UNISMA) Bekasi. Dalam makalah ini, saya mencoba menjawab dua pokok permasalahan, yaitu : 1). Apa saja pos-pos anggaran pendapatan dan belanja negara di Zaman Rasulullah SAW ?; 2). Bagaimana pengelolaan keuangan negara Zaman Rasulullah SAW ? Guna menjawab pokok permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Terkait dengan data-data dalam makalah ini, penulis peroleh dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari : Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang dibahas. Dan, Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum lainnya. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi sumber inspirasi dan rujukan guna melakukan penelitian lebih dalam, tentang Sumber Keuangan Negara Di Zaman Klasik (Zaman Nabi) Billaahit Taufiq wal Hidaayah, Jakarta, 25 Oktober 2018. Penyusun,
Muhammad Eko Purwanto.
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..............................................................................................
1
Daftar Isi .........................................................................................................
2
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...............................................................
4
B. Pokok Permasalahan ....................................................
5
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................
6
D.
6
Metode Penelitian .........................................................
: PEMBAHASAN A.
Pos-Pos Pendapatan dan Belanja Negara Zaman Rasulullah SAW ..........................................................
B.
7
Pengelolaan Keuangan Negara Zaman Rasulullah SAW ...............................................................
BAB III : KESIMPULAN ......................................................................
DAFTAR PUSTAKA
13 14
4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Topik keuangan negara dalam Islam sampai sekarang masih menjadi pembahasan yang langka. Sejauh ini, kajian tentang ekonomi Islam yang banyak dilakukan dikupas oleh para pemikir dan praktisi ekonomi Islam adalah masalah perbankan syariah -lebih diperkecil lagi masalah riba, bagi hasil dan akad-akad mualamat yang diterapkan di lembaga keuangan. Padahal jika ditelusuri sejarah Islam, khususnya era Rasulullah Saw sampai Khalifaurrasyidin menjadi bagian penting dan perhatian serius Nabi Saw dan Khalifah guna menjamin berjalannya roda pemerintahan dengan baik dan peningkatan kesejahteraan umat. Menurut MA Manan1, prinsip Islam tentang keuangan negara, atau anggaran dan belanja negara, untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spritual pada tingkat yang sama. Sedangkan M Chapra menyatakan bahwa kebijakan keuangan negara membantu merealisasikan tujuan Islam. Lebih rinci lagi, Metwally, menyebutkan tiga tujuan yang hendak dicapai kebijakan keuangan negara dalam Islam :2 1.
2.
3.
Mendirikan tingkat kesetaraan ekonomi dan demokrasi yang lebih tinggi melalui prinsip dan hukum lain, dianataranya prinsip,”kekayaan seharusnya tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja.” Melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman. Hal ini berarti bahwa ekonomi Islam tidak dapat memanipulasi tingkat suku bunga untuk mencapai kesimbangan (equilibrium) dalam pasar uang. Komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang berkembang dan untuk menyebarluaskan pesan dan ajaran Islam seluas mungkin. Dalam alokasi anggaran negara Islam dipakai beberapa kaidah :3
1.
1 2
3
Asas manfaat, segala kegiatan dalam bentuk alokasi anggaran negara mesti mendatangan manfaat, seperti pengalian mata air, pembuatan jalan dan lainya. M. A Manan, Ekonomi Islam Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Intermasa, 2002, hlm. 230 Nurruddin Muhammad Ali, Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal, Jakarta : Rajawali Pers, 2007, hlm. 130-131. Said Sa‟ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Global, Jakarta : Zikrul Hakim, hlm 104, 2004
5
2. 3.
Asas keseimbangan, bahwa tidak boleh ada sifat royal dalam alokasi anggaran. Asas otorisasi, pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan dan ekonomi harus mendapat otorisasi dari wakil rakyat yang tergabung dalam lembaga ahlul hilli wa aqdi.
Selanjutnya, negara Islam (al-Daulah al-Islamiyah) terbentuk ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah. Pada masa awal, Muhammad Saw memberikan penekanan pada kebijakan politiknya pada beberapa hal :4 1. Membangun masjid 2. Merehabilitasi Muhijirin Makkah di Madinah 3. Menciptakan kedamaian dalam negara 4. Mengeluarkan hak-hak dan kewajiban warga negara 5. Membuat konstitusi negara 6. Menyusun Pemerintah Madinah 7. Meletakan dasar-dasar keuangan negara. Tujuh poin kebijakan Muhammad Saw di atas adalah untuk membangun pondasi yang kokoh bagi kehidupan bernegara di Madinah. Kebijakan dasar-dasar keuangan negara menjadi bagian dalam bangunan kehidupan bernegara yang dirintis di Madinah. Muhammad Saw meletakan kebijakan keuangan negara setelah infrastruktur sosial dan politik terbangun dengan baik dan kokoh. Setelah terciptanya stabilitas sosial ekonomi dan politik umat, baru kemudian Muhammad Saw menetapkan kebijakan keuangan negara melalui sumber pemasukan dan pengeluaran negara Madinah saat itu. Dari uraian singkat ini, saya merasa tertarik untuk menyusun makalah individual ini tentang, Sumber-suber Keuangan Negara Di Zaman Klasik (Zaman Nabi). B. Pokok Permasalahan Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan, sebagai berikut : 1. 2.
Apa saja pos-pos anggaran pendapatan dan belanja negara di Zaman Rasulullah SAW ? Bagaimana pengelolaan keuangan negara Zaman Rasulullah SAW ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, yaitu : 4
Adiwarman A Karim (ed), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : IIIT, 2002, hlm. 20
6
1. 2.
Untuk mengetahui pos-pos anggaran pendapatan dan belanja negara di Zaman Rasulullah SAW. Untuk mengetahui pengelolaan keuangan negara Zaman Rasulullah SAW.
D. Metode Penelitian 1.
Metode Pengumpulan Data.
Data-data dalam makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari : a. Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang dibahas. b. Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum lainnya. 2. Prosedur Pengumpulan Data. Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan pada makalah ini, maka pengumpulan bahan-bahan referensi dilakukan dalam rangka memperoleh data sekunder. Langkah awalnya adalah dengan melakukan inventarisasi terhadap sumber-sumber sebagai referensi, kemudian menuliskannya secara sistematis. 3. Analisis Data. Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. 5 Pada makalah ini, analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif, sedangkan pengolahan data, yang dilakukan dengan cara mensistematika bahan-bahan atau buku-buku. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan yang ada, tersebut untuk memudahkan analisis dan merumuskan konstruk atau konsep.6
5 6
Suharsimi Arikunto. 2012. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm.206. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta : Rajawali Pers, 2001, hlm. 251-252.
7
BAB II PEMBAHASAN
A. Pos-Pos Pendapatan dan Belanja Negara Zaman Rasulullah SAW. Pos pendapatan dan Pengeluaran negara di masa Muhammad Saw meliputi :7 1.
Zakat
Sumber keuangan negara yang bersumber dari zakat ini terdiri dari zakat emas dan perak (an-nuqud), perdagangan (al-tijarah), peternakan (alan’am) dan zakat pertanian (al-ziraah) dan barang temuan (luqatah). Masingmasing zakat ditetapkan dengan jumlahnya dan syarat-syarat yang telah ditentukan secara umum. Kebijakan umum tentang zakat ini didadasrkan pada beberapa ayat Al-Quran, Surat al-Baqarah ayat : 34, 110, 177, 288; Surat an-Nisa’ ayat : 77, 126; Surat al-Maidah ayat : 55; Surat at-Taubah ayat: 60. Dan juga berdasarkan dua hadist. Pertama, ”Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra dia berkata, Rasulullah telah bersabda, Islam didirikan lima dasar, syahadah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan berpuasa di bulan ramadhan.”. Kedua, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Saw mengutus Muaz ke Yaman dan Beliau berkata, dakwahi mereka dengan syahadah, shalat lima waktu, zakat yang diambil dari kaum kaya dan kemudian diberikan kepada kaum fakir”. Selain sebagai dasar pemungutan zakat sebagai pendapatan negara, ayat dan hadist juga menerangkan ini pos penyaluran dan cara distribusinya. Zakat mesti didistribusikan ke kelompok yang secara tegas dan pasti disebutkan (almansus) dalam al-Quran yang berjumlah delapan; fakir, miskin, amil, gharim, muallaf, ibnu sabil, fii sabililah, hamba sahaya budak. Menurut M.A. Manan8 perintah al-Quran ini menetapkan suatu kebijakan pengeluaran yang luas untuk distribusi kekayaan berimbang diantara berbagai lapisan masyarakat. Cara distrisbusi zakat adalah dimana lebih diutamakan pada daerah mana zakat itu dipungut. Zakat tidak ditarik ke pusat pemerintah, Madinah, 7
8
Katib Ibrahim Muhammad , Syiyasah Maaliyah li al-Rasuli , al-Haiyah Misriyah Ammah, Mesir, 1988, hlm.48-138. M.A Manan., op.cit., hlm. 232
8
namun langsung dibagikan kepada kelompok yang berhak menerimanya. Dengan demikian, zakat sebagai pemasukan negara tidak dikelola secara sentralistik. Muhammad Saw memberikan wewenang kepada petugas pemungut untuk mengelola dan mendistribuskannya kepada masyarakat setempat. 2.
Harta Hasil Penaklukan Wilayah Baru oleh Islam
Jenis harta ini ada dua; ghanimah dan fai. Fai adalah harta yang diperoleh kaum muslimin waktu penaklukan wilayah baru tanpa diikuti oleh perlawanan atau adanya perperangan. Contoh dari fai ini di masa Rasulullah adalah penaklukan Bani Nadhir, Quraizah dan Fandak serta tanah Khaibar. Khaibar merupakan wilayah yang sangat subur di Hijaz. Mayoritas penduduknya adalah Kaum Yahudi. Masyarakat Khaibar mempunyai profesi sebagai petani, pengrajin tangan dan pedagang. Ketiga profesi tersebut, petani merupakan yang paling banyak. Mereka sangat piawai dalam bercocok tangan. Di samping bertani, mereka juga mempunyai ternak kembalaan yang ditempatkan di dekat lahan pertanian. Rasulullah mempunyai perhatian yang khusus pada Khaibar ini, selain karena kesuburan, juga masyarakatnya yang mayoritas Kaum Yahudi sangat mengancam keberadaan negara Islam, berupa dendam dan permusuhan. Untuk menaklukan Khaibar, Rasulullah Saw mengirimkan 1.600 tentara. Kaum Yahudi Khaibar memohon Rasulullah untuk menerima setengah yang berada di bawah kepemilikan mereka. Setelah Rasul Saw menerima permohonan tersebut. Pertimbangan penting yang melatarbelakangi diterimanya permohonan Yahudi Khaibar adalah kebun-kebun kurma di Khaibar masih memerlukan tenaga profesional untuk mengolahnya. Kaum muslimin meskipun mempunyai keahlian dalam hal mengolah perkebunan tersebut, tapi Kaum Yahudi masih diperlukan karena pengalaman mereka tentang pengolahan kebun di sana telah lama dan mereka adalah penghuni asli Khaibar. Hasil bumi yang diperoleh dari perkebunan tersebut dibagi dua, setengahnya untuk Yahudi Khaibar dan lainnya dimasukan ke kas negara. Kemudian didistribusikan untuk pembiayaan sosial kepentingan fisabilillah dan pembiayaan angkatan perang. Harta „fai’ sebagai sumber keuangan telah diatur dinyatakan dalam Al-Quran Surat al-Hasyr ayat : 1-7. 1). Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha bijaksana.
9
2). Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung halamannya pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bentengbenteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan (siksaan) kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka; sehingga mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangannya sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orangorang yang mempunyai pandangan. 3). Dan sekiranya tidak karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, pasti Allah mengazab mereka di dunia. Dan di akhirat mereka akan mendapat azab neraka. 4). Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. 5). Apa yang kamu tebang di antara pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (itu) terjadi dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik. 6). Dan harta rampasan (fai’i) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau unta untuk mendapatkannya, tetapi Allah memberikan kekuasaan kepada rasulrasul-Nya terhadap siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. 7). Harta rampasan fai’i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, rasul, kerabat (rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orangorang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumannya.9 Jenis kedua adalah „ghanimah’ yang merupakan harta perolehan kaum muslim lewat jalan perperangan. Awalnya distribusi ghanimah ini dilakukan oleh Rasulullah dengan cara membagi sama banyak kepada para tentara yang ikut ke medan perang. Namun setelah turun Surat al-Anfal ayat : 41, maka Rasullah SAW mengikuti petunjukan ayat ini dalam pembagian harta ghanimah. Menurut Al Qur’an Surat al-Anfal ayat 41, distribusi harta ghanimah terdiri dari : untuk Allah, Rasul, Karib kerabat anak yatim dan fakir miskin. Sisanya untuk tentara berkuda dan berjalan kaki. 9
http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-al-hasyr-ayat-1-10.html, diakses pada tanggak 24 Oktober 2018.
10
Jika dikalkulasikan keseluruhan jumlah harta rampasan perang yang didapat selama masa Rasul Saw berjumlah tidak lebih dari 6 juta dirham. Jumlah tersebut dibandingkan dengan jumlah serta biaya hidup di Madinah untuk ratarata jumlah keluarga enam orang adalah 3.000 dirham pertahun. Kontribusi harta rampasan perang terhadap pendapatan kaum muslimin selama 10 tahun kepemimpinan Rasulullah Saw adalah 2 persen.10 3.
Jizyah
Jizyah merupakan pajak kepala (al-ruusu) yang dibebankan kepada penduduk non-muslim yang hidup di wilayah Islam. Pembayaran jizyah ini merupakan bentuk kompensasi dari rasa aman yang dijamin pemerintah Islam dan dibebaskannya mereka dari wajib meliter. Diantara orang non muslim yang pernah membayar jizyah adalah orang Najran, orang Ailah, Adhruh dan Adhriat yang membayar pada perang Tabuk. Pembayarannya tidak mesti dalam bentuk uang tunai tapi dapat juga dalam bentuk barang atau jasa. Di masa Rasulullah, jizyah ini dipungut sebesar satu dinar ertahun. Bagi perempuan, anak pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit dibebaskan dari kewajiban ini. Penarikan jizyah ini berdasarkan surplus (kelebihan) dari pendapatan setelah sebelumnya dikeluarkan biaya untuk kebutuhan pokok.11 4.
Harta Umum
Maksud dari harta umum adalah harta-harta yang diserahkan kepada baitul mal, seperti sisa hasil rampasan perang yang telah dibagi, harta-harta yang diberikan Rasululah (pembagian ghanimah untuk Rasul) untuk diproduktifkan, dan lahan-lahan yang tak bertuan dan belum dikelola secara produktif sangat dianjurkan Islam untuk digarap. Hasil dari pengarapan tersebut dibagi dan dijadikan pemasukan bagi baitul mal (kas negara). Selain sumber pemasukan keuangan negara seperti di atas, dikenal lagi pemasukan dari hadiah yang terima Rasulullah. Hadiah tersebut tidak digunakan untuk dirinya sendiri tapi untuk masyarakat dengan diserahkan ke baitul mal. Semua sumber pemasukan keuangan negara di atas disimpan di baitul mal (kas negara). Baitul Mal merupakan intitusi yang memiliki wewenang untuk menyimpan pemasukan sebelum dibelanjakan untuk kepentingan negara Islam sesuai kebijakan Muhammad SAW.12 10 11 12
Heri Sudarsono, Ekonomi Islam Suatu Pengantar , Yogyakarta, 2002, hlm. 112 Muhammad Iqbal, Fiqih Syiyasah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 280 Adiwarman A. Karim, op.cit , hlm. 37-38
11
Namun tidak semuanya dapat menutupi pembiayaan negara. Untuk itu ada beberapa langkah yang diambil Rasulullah SAW untuk menutupi pembiayaan negara : a.
Meminta bantuan dari kaum muslimin sehingga berbagai kebutuhan dapat terpenuhi. b. Meminjam peralatan non muslim dengan jaminan pengembalian dengan memberi ganti rugi atas peralatan yang rusak tanpa membayar sewa atas penggunaannya c. Meminjam uang dari orang-orang tertentu. d. Menerapkan kebijakan insentif guna menjaga pengeluaran serta untuk mengantisipasi kerja dan produktifitas masyarakat muslim. Melalui kebijakan terakhirnya, Rasulullah SAW memberikan apresiasi kepada orang yang bekerja, beraktivitas, serta menafkahi keluarga dan mencela pengangguran.13 Keseluruhan pos pemasukan dan pengeluaran negara di masa Rasulullah tidak dapat dikalkusikan secara pasti. Selain disebabkan oleh tidak tercatatnya jumlah penerimaan dan pengeluaran negara dengan rapi dan baik, juga disebabkan oleh :14 a.
Jumlah orang Islam yang bisa membaca menulis sedikit dan jumlah orang yang kenal dengan aritmatika sederhana sangat sedikiti sekali. b. Sebagian besar bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana baik yang didistribusikan maupun yang diterima. c. Sebagian zakat hanya didistribusikan secara lokal d. Bukit-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan. e. Pada kebanyakan kasus, ghanimah digunakan dan didistribusikan setelah terjadi perperangan tertentu. Selanjutnya, tidak banyak literatur yang bisa dijadikan rujukan untuk melacak pengeluaran Negara (expenditure) di zaman Rasulullah. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar. Di antara pengeluaran di zaman Rasulullah adalah : a.
13 14
Gaji Pegawai, seperti wali, qadi, guru, imam, muadzdzin, dan pejabat pemerintah lainnya. Rasulullah SAW senantiasa memilih pegawai dari sahabat-sahabat yang kaya, kebanyakan dari mereka berasal dari Bani Nurruddin Muhammad Ali, op.cit., hlm. 145-146 Heri Sudarsono., op. cit., hlm. 113
12
Umayyah, dengan tujuan untuk mengirit pengeluaran di masa itu karena pejabat kaya tidak mengharapkan gaji dari jabatan mereka. Pada saat itu para pegawai digaji 1 dirham setiap hari dan banyak di antara sahabat tersebut yang dengan kerelaan tidak menerima gaji itu.15 b. Pembayaran upah sukarelawan c. Biaya pertahanan dan keamana (militer) d. Pembayaran utang Negara e. Bantuan untuk para Musafir f. Penerimaan dari zakat disalurkan sesuai dengan aturan al-Qur'an, yaitu diserahkan kepada asnaf yang telah ditetapkan. Rasulullah SAW senantiasa memberikan perintah yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih mengumpulkan zakat. Dalam kebanyakan kasus, ia menyerahkan pencatatan penerimaan harta zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perhitungan yang ada di simpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Sulaim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini; Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta. Hasil pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya. Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya, orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum menikah.16 Di samping pengeluaran di atas, ada juga pengeluaran negara yang bersifat sekunder, seperti : a. Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah (Bea Siswa) b. Hiburan untuk para delegasi keamanan c. Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta untuk biaya transfortasi mereka d. Hadiah untuk pemerintah negara lain e. Penebusan kaum muslimin yang menjadi budak f. Pembayaran diyat bagi orang yang terbunuh oleh pasukan muslim g. Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin h. Tunjangan orang miskin. i. Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
15 16
Adiwarman A Karim, op. cit., hlm. 36. Ibid., hlm. 48.
13
j.
Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya sedikit, yaitu 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).17
B. Pengelolaan Keuangan Negara Zaman Rasulullah SAW. Sumber-sumber keuangan negara di zaman Rasulullah Saw. tidak hanya terbatas pada zakat semata, namun ada beberapa pos lain yang tidak kalah pentingnya dalam menyokong keuangan negara. Zakat sendiri baru disyariatkan pada tahun kedelapan Hijriyah. Sementara itu, pengelolaan pos-pos keuangan negara di zaman Rasulullah, antara lain : 1.
Pertama, zakat. Pada masa awal-awal Islam, penerimaan pendapatan negara yang bersumber dari zakat berupa uang tunai, hasil pertanian dan hasil peternakan. Zakat merupakan unsur penting karena sistemnya penunaiannya yang bersifat wajib (obligatory zakat system), sedangkan tugas negara adalah sebagai „âmil dalam mekanismenya. Zakat merupakan kewajiban bagi golongan kaya untuk memberikan perimbangan harta di antara sesama masyarakat. Dalam negara yang memiliki sistem pemerintahan Islam, maka negara berkewajiban untuk mengawasi pemberlakuan zakat. Negara memiliki hak untuk memaksa bagi mereka yang enggan berzakat jika mereka berada pada taraf wajib untuk mengeluarkan zakat. Apalagi jika mempertimbangkan keadaan masyarakat yang secara umum lemah perekonomiannya.18 Sedangkan unsur lain, seperti kharraj dan usyûr baru diberlakukan pada era pemerintahan Amîr al-Mu'minîn, „Umar ibn al-Khaththâb. Negara Islam tidak berada pada posisi yang terbebani, karena secara mendasar, sistem zakat telah secara langsung dan signifikan telah mengurangi beban negara dari spesifikasi syariat yang ada dalam aturan aplikasinya, yaitu menanggulangi kecenderungan negatif dan pengangguran, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Di lain sisi, zakat merupakan ujung tombak pertama dari negara yang berfungsi untuk menjamin kebutuhan minimal rakyat.
2. Kedua, ghanîmah. Ghanîmah merupakan pendatan negara yang didapatkan dari hasil kemenangan dalam peperangan. Distribusi hasil ghanîmah secara khusus diatur langsung dalam Alquran surah al-Anfâl ayat 41. Empat perlima dibagi kepada para prajurit yang ikut dalam perang, sedangkan seperlimanya sendiri diberikan kepada Allah, RasulNya, karib kerabat Nabi, anak-anak yatim, kaum miskin dan ibnu sabil. Dalam konteks perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja 17 18
Ibid., hlm. 49. „Alî „Abd al-Rasûl, Mabâdi' al-Iqtishâdî fi al-Islâm, Dâr Fikr al-Arabî, al-Qâhirah, 1980, Cet. II, hlm 323.
14
menggolongkan barang sitaan akibat pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanîmah. 3.
Ketiga, khumus. Khumus atau seperlima bagian dari pendapat ghanîmah akibat ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian oleh negara dapat digunakan sebagai biaya pembangunan. Meskipun demikian, perlu hati-hati dalam penggunaannya karena aturan pembagiannya telah jelas, seperti pada ayat di atas. Khumus, juga bisa diperoleh dari barang temua (harta karun) sebagaimana terjadi pada periode Rasul. Ulama Syiah mengatakan bahwa sumber pendapatan apa pun harus dikenakan khumus sebesar 20%. Sedangkan ulama sunni, beranggapan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk harta rampasan perang saja. „Uman Abû 'Ubayd menyatakan bahwa yang dimaksud khumus itu bukan hasil perang saja, tapi juga barang temuan dan barang tambang. Dengan demkian, di kalangan ulama sunni ada sedikit perkembangan dan memaknai khumus.
4.
Keempat, fai’. Fai‟ adalah sama dengan ghanîmah. Namun bedanya, ghanîmah diperoleh setelah menang dalam peperangan. Sedangkan, fay‟ tidak dengan pertumpahan darah. Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay‟ adalah pendapatan negara selain dari zakat. Jadi termasuk di dalamnya: kharâj, jizyah, ghanîmah, „usyur, dan pendapatan-pendapatan dari usaha komersil pemerintah. Definisi ini lebih mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan pada masa Rasulullah.
5.
Kelima, jizyah. Jizyah merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi warga negara non-Muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang sudah uzur, cacat, dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu, negara harus memenuhi kebuhhuhan pendiudik bukan Muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari negara. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya kepada penduduk Muslim saja. Jizyah ini bisa disebut pula dengan istilah pajak perlindungan. Ketika non-Muslim hidup dengan tenang dan mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah Islam, maka dengan jizyah tersebut bisa menjadi imbalannya. Perlindungan yang dimaksud baik dalam maupun gangguan-gangguan dari pihak luar. Dan ini sejalan secara adil dengan
15
penduduk Muslim sendiri, yang telah dibebani beberapa instrumen biaya yang harus dikeluarkan ke negara, seperti zakat. 6.
Keenam, kharâj. Kharâj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah yang produktif yang dimiliki rakyat. Pada era awal Islam, kharâj sebagai pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaybar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah dari kharâj bersifat tetap, yaitu setengah dari hasil produksi. 19 Kharâj adalah pajak terhadap tanah, yang bila dikonversi ke Indonesia, ia dikenal sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara sistem kharâj dan sistem PBB adalah kharâj ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan produktivitas dari tanah (land productivity), dan bukan berdasarkan zona sebagaimana dalam aturan sistem PBB (zona strategi).
Hal ini bisa jadi dalam sistem kharâj, tanah yang bersebelahan, yang satu ditanami buah kurma dan tanah lainnya ditanami buah anggur, mereka harus membayar kharâj yang berbeda. Yang menentukan jumlah besar pembayaran kharâj adalah pemerintah. Secara spesifik, besarnya kharâj ditentukan berdasarkan tiga hal,20 yaitu : karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman (termasuk marketability dan quantity), dan jenis irigasi. Kharâj ini dibayarkan oleh seluruh anggota masyarakat baik orangorang Muslim maupun orang-orang non-Muslim. 1.
‘Usyur. „usyur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke dalam negara Islam (barang impor). Pada masa Rasul, „usyur hanya dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku pada barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Rasulullah Saw. berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapusksan semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan pelbagai suku menjelaskan hal tersebut. Barang-barang milik utusan dibebaskan dari
19
20
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Bank Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, Edisi I, hlm. 488. Adiwarman Karim, Ekonomi, hlm. 257.
16
bea impor di wilayah Muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukarmenukar barang.21 Menurut „Umar ibn al-Khaththâb, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor negara Islam kepada negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan besarnya juga harus sama dengan tarif yang diberlakukan negara lain atas barang Islam yang diekspor. 2.
Infak, Sedekah, dan Wakaf. Infak, sedekah, dan wakaf merupakan pemberian sukarela dasri rakyat demi kepentingan umat untuk mengharapkan ridha Allah Swt. semata. Namun, oleh negara dapat dimanfaatkan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan Negara. Penerimaan ini sangat tergantung pada kondisi spiritual masyarakat secara umum. Diyakini ketika keimanan masyarakat begitu baik, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan besar. Sebaliknya jika keimanan masyarakat buruk, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan relatif kecil.
3.
lain-lain. Masa Rasul, selain diperoleh dari pendapatan primer, ada pula yang didapatkan dari peroleh sekunder. Fiskal pemerintahan masa Rasul, di antaranya : Pertama, uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada perang Hunain, enam ribu tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan. Kedua, pinjamanpinjaman (setelah penaklukan kota Mekah) untuk pembayaran uang pembebasan kaum Muslimin dari Judhaimah atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewanhewan tunggangan dari Sofwan bin Umaiyyah (sampai waktu tidak ada perubahan).22 Ketiga, nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum Muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat. Dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
4.
Amwâl fadhlâ, yaitu bersumber dari harta kaum Muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris. Atau bisa pula bersumber dari kaum muslilmin yang meninggalkan tanah kelahirannya tanpa ada kabar berita maupun wasiat. Kelima, bentuk lain bisa diperoleh dari kurban dan kaffârah.23
21
22
23
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Univ. Islam Indonesia Yogyakarta-Bank Indonesia, op. cit., hlm. 489. Shibli Nomani, Seeratun-Nabi (urdu) Matbee Maarif Azamgarh, 6th print, 1962, Vol. I, hlm. 573. Kaffârat merupakan pembayaran sebagai bentuk hukuman atau sanksi yang berlakukan kepada kaum musilmin yang melanggar aturan syariah. Misalnya, kaffarat yang
17
Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variabel seperti warisan yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah, atau hadiah dari negara sesama Islam serta bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat, baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia. Dalam konteks ekonomi modern saat ini, tentu saja negara akan memiliki pos penerimaan yang cukup variatif. Misalnya berupa penerimaan devisa dan berupa keuntungan dari badan usaha milik negara (BUMN). BUMN tersebut tentu saja harus dikelola secara profesional dan efesien sehingga dapat mendatangkan hasil yang optimal. Dalam khasanah ideal pemerintah Islam, pengelolaan usaha-usaha milik negara tidak melibatkan penguasa secara langsung dalam kegiatan perekonomian pasar. Hal tersebut akan cenderung membuat pasar tidak berjalan secara wajar dan efesien. Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme relatif akan terjadi, jika para pemimpun atau pejabat negara juga berperan sebagai pelaku pasar. Abû Bakr al-Shiddiq, sebagai khalifah pertama, pernah mengingatkan sahabatnya „Umar ibn al-Khaththâb untuk tidak berniaga (bertani), karena cukup baginya upah sebagai pejabat negara yang diberikan oleh bayt al-mâl kepadanya. Abû Bakr al-Shiddiq menyadari betul bahwa sukar bagi siapapun untuk dapat berlaku adil dan maksimal pada masing-masing perannya, jika pada saat yang sama seseorang berperan ganda, sebagai pemegang otoritas politik dan sebagai saudagar.
bersenggama suami istri pada bulan Ramadan siang hari, atau denda terhadap mereka yang melanggar aturan syar‟î pada saat melaksanaakan prosesi ibadah haji.
18
BAB III KESIMPULAN
Dari kajian sejarah di era Rasulullah Saw diperoleh informasi bahwa sumber-sumber pendapatan dan pos pengeluaran keuangan negara terdiri dari zakat, fai, ghanimah, jizyah, kharaj, usyur, infaq, shadakah, harta si mayit yang tidak memiliki ahli waris dan harta umum. Berbagai kebijakan diambil oleh Rasulullah untuk mengelola keuangan negara dengan menganut berbagi prinsip baik dalam pemasukan keuangan negara; tidak diskriminatif, proporsional terhadap manfaat yang diterima pembayar, dan pungutan tidak dipungut berdasarkan sumber daya / input yang digunakan, melainkan atas hasil usaha, maupun dalam pengeluaran; zakat dioalaksikan berdasarkan kewenangan Allah, dan belanja negara untuk mewujudkan maslahah.
19
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A Karim (ed), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : IIIT, 2002. Alî Abd al-Rasl, Mabâdi' al-Iqtishâdî fi al-Islâm, Dâr Fikr al-Arabî, alQâhirah, 1980, Cet. II. M. A Manan, Ekonomi Islam Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Intermasa, 2002. Katib Ibrahim Muhammad, Syiyasah Maaliyah li al-Rasuli, Mesir : alHaiyah Misriyah Ammah, 1988. Heri Sudarsono, Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta, 2002. Muhammad Iqbal, Fiqih Syiyasah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001. Pusat Nurruddin Muhammad Ali, Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal, Jakarta : Rajawali Pers, 2007. Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Bank Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008, Edisi I. Shibli Nomani, Seeratun-Nabi (urdu) Matbee Maarif Azamgarh, 6th print, 1962, Vol. I. Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. 2012 Said Sa‟ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Global, Jakarta : Zikrul Hakim. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001. INTERNET : http://www.tafsir.web.id/2013/04/tafsir-al-hasyr-ayat-1-10.html, diakses pada tanggak 24 Oktober 2018.