STATUS BAHASA INDONESIA
(PIDGIN ATAU KREOL )
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dialektologi
Dosen Pengampu Dr. Inyo Yos Fernandez
Riris Sumarna
15/389048/PSA/07902
Linguistik Kelas B
PROGRAM PASCASARJANA LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2016
STATUS BAHASA INDONESIA
(PIDGIN ATAU KREOL )
Sampai saat ini terdapat perbedaan pendapat mengenai status bahasa Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia lahir dari proses pidginisasi bahkan kreolisasi. Pendapat lain mengemukakan bahawa bahasa Indonesia bukanlah lahir dari proses keduanya. Terlepas dari status-status tersebut, keberadaan bahasa Indonesia tetap memiliki kaitan dengan bahasa Melayu.
Terkait perbedaan pendapat mengenai status bahasa Indonesia tersebut, penulis akan mencoba menguraikan status bahasa Indonesia dari sudut pandang penulis berdasarkan pemahaman penulis dengan disertai sumber-sumber. Dalam pembahasan ini penulis akan mengawali penjelasan mengenai perkembangan bahasa Melayu kemudian status bahasa Indonesia itu sendiri yakni termasuk pidgin atau kreol.
Sejarah perkembangan bahasa Melayu
Menurut Hamidy dalam"Teks dan Pengarang di Riau" kerajaan di Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu yakni Melayu Kuna adalah kerajaan Sriwijaya yang letaknya di Sumatra Selatan atau Palembang. Kerajaan tersebut pernah berdiri pada abad ke-7 Masehi. Bukti-bukti sejarah yang mendukung tentang penggunaan bahasa Melayu Kuna pada masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya adalah dengan adanya penemuan-penemuan prasasti yang menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasati tersebut antara lain prasasti Kota Kapur, Kedukan Bukit, Karang Berahi (1998:8). Pada masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kerajaan, agama serta dagang (Wojowasito, 1961 via Junus 1969:25). Pada saat itu bahasa Melayu Kuna telah menyerap unsur-unsur bahasa Sangsekerta yang ada karena ajaran agama Hindu-Budha yang menggunakan bahasa Sangsekerta.
Jika ditilik dari sejarah perkembangan bahasa Melayu, sebetulnya bahasa Melayu dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni Melayu Kuna, Melayu Pertengahan dan Melayu Modern. Pengelompokan perkembangan bahasa Melayu tersebut didasarkan karena adanya perbedaan antara masing-masing bahasa Melayu tersebut. Dikatakan Melayu kuna karena bahasa Melayu tersebut digunakan pada zaman yang lebih tua yakni pada abad ke- 7 Masehi (Junus, 1969:24,25). Pada masa itu kerajaan Sriwijaya berdiri samapai abad ke- 11, dan mengalami puncak kejayaannya pada abad ke-10 dan 11 Masehi. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu kuna adalah bahasa Melayu yang digunakan pada masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya.
Kebesaran pemerintahan Kerajaan Sriwijaya disusul oleh kerajaan Melaka yang memerintah pada abad ke- 14 sampai 16 masehi. Keduanya adalah kerajaan Maritim yang memiliki pengaruh besar pada zamannya. Keduanya sama-sama menggunakan bahasa Melayu untuk sektor pemerintahan, perdagangan dan agama. Jika Sriwijaya memiliki pengaruh sampai ke Campa, Siam dan Kamboja, lain halnya dengan Melaka meluas sampai ke Timor-timor, Tidore dan Ternate (Hamidy, 1998:8). Karena rentangan wilayah kekuasan Sriwijaya dan Melaka yang begitu luas, maka bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca, yakni bahasa yang dipakai sebagai sarana komunikasi antara penutur yang mempunyai bahasa asli yang berbeda-beda (Parera, 1993:86-87). Sehingga, bahasa Melayu tersebut menjadi bahasa yang digunakan di Asia Tenggara.
Pada masa kerajaan Melaka, bahasa Melayu telah mengalami banyak perubahan yang berbeda dengan bahasa melayu Kuna yang disebut dengan bahasa Melayu pertengahan atau Melayu klasik. Bahasa Melayu petengahan atau klasik dicirikan dengan penggunaan aksara Arab dan Jawi (atau aksara hanacaraka). Pada saat itu bahasa Melayu banyak melakukan peminjaman dari bahasa-bahasa lain dan lebih disederhanakan. Baik dari Arab maupun Cina. Sehingga terjadi improvisasi antara bahasa Melayu kuna sebelumnya dengan bahasa-bahasa lain demi kepentingan perdagangan. Keadaan tersebut berlanjut sampai kedatangan bangsa Barat dan akhirnya kerajaan Melaka tumbang. Pada akhirnya timbullah istilah bahasa Melayu pasar. Versi Hindia Belanda, proses pembentukan bahasa Melayu pasar dapat dikatakan sebagai pidginisasi karena terbentuk dari kontak bahasa diantara pendatang Eropa dengan penduduk setempat( Hall(1966) via Collins, 1980:5).
Selain bahasa Melayu pasar terdapat pula Melayu Tinggi. Melayu tinggi bermula karena sampai abad ke-19 bahasa Melayu berkembang dengan sangat luas akan tetapi tidak ada upaya untuk memelihara dan membina bahasa tersebut. Sehingga sekitar tahun 1840-1970-an Raja Ali Haji seorang sastrawan dari kesultanan Riau Lingga melakukan pembinaan dan pemeliharaan bahasa Melayu pasar menjadi bahasa Melayu yang terpelihara. Karena terpelihara itulah maka bahasa Melayu Riau tersebut dinamakan Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi tersebut digunakan di wilayah Riau sedangkan di luar wilayah Riau bahasa Melayu pasar serta dialek-dialek Melayu di Nusantara masih ada.
Dari posisinya yang awalnya sebagai lingua franca bahasa Melayu akhirnya mengalami pembinaan dan pemeliharaan oleh Raja Ali Haji dan para sastrawan penerusnya. Karena pembinaan dan pemeliharaan itu lah akhirnya Bahasa Melayu Tinggi Riau dengan mudah memberikan semangat persatuan, sehingga dipilih dan menjadi bahasa kebangsaan yakni Indonesia(Hamidy,1998:18). Sehingga bahasa Melayu Tinggi dan seterusnya yakni sejak abad ke -20 dinamakan bahasa Melayu Modern.
Status bahasa Indonesia kreol atau Pidgin
Pidgin adalah bahasa yang tidak memiliki penutur asli, bukan merupakan bahasa pertama tetapi hanya sebagai bahasa kontak(Wardhaugh,1986:57). Berdasarkan situasi bahasa Melayu, bahasa Melayu Kuna pribumi mengalami kontak dengan bahasa-bahasa para pedagang dari berbagai negara. Pada taraf inilah untuk menjalin komunikasi antar satu dan lainnya mereka menciptakan bahasa baru yang digunakan sementara. Mereka mencampur bahasa satu dan lainnya dengan cara menyederhanakan masing-masing bahasa tersebut. Berdasarkan situasi bahasa Melayu tersebut, bahasa Melayu dapat dikatakan mengalami proses pidginisasi. Menurut Wardhaugh pengurangan variasi bahasa normal dengan penyederhanaan grammar dan kosakata bahasa, variasi fonologi dan percampuran bahasa lokal untuk mencapai komunikasi yang diinginkan dinamakan pidgin (1986:57). Senada dengan Holmes, ia menyatakan bahwa pidgin ada karena adanya usaha seseorang untuk berkomunikasi(1992:91). Bahasa Melayu yang mengalami Pidginisasi tersebut dikenal dengan bahasa Melayu Pasar ( Hall (1966) via Collins, 1980:5). Disebut Melayu Pasar karena digunakan sementara ketika mereka melakukan perdagangan.
Berdasarkan situasi tersebut bahasa Melayu dapat dikatakan pidgin karena memiliki syarat-syarat yang dikemukakan oleh Holmes(1992:90) yakni digunakan untuk perdagangan, strukturnya mudah dan tidak ada penggunaan pidgin karena status sosial. Berkaitan dengan status soasial, bahasa Melayu pasar merupakan bahasa Melayu yang tidak memiliki aturan, digunakan untuk perdagangan sehingga tidak memiliki tingkatan tinggi. Pernyataan tersebut didukung oleh Holmes jika Pidgin itu tidak memiliki status tinggi dan bergengsi, dan sebenarnya tidak ada orang yang ingin menggunakan bahasa tersebut jika tidak ada kepentingan komunikasi, sehingga dianggap bahasa yang memiliki tingkatan yang rendah(1992:93).
Pidgin yang berkembang menjadi kreol akan lebih teratur dan terstruktur (Holmes,1991:96). Berdasarkan pernyataan Holmes tersebut perkembangan bahasa Melayu sebagai Pidgin menjadi kreol dapat dibuktikan dengan pembinaan dan pemeliharaan bahasa Melayu oleh Raja Ali Haji, sehingga bahasa melayu lebih teratur dan terstruktur. Pada saat itu status bahasa Melayu pasar yang pada awalnya tingkatnya dianggap rendah akhirnya memiliki status tinggi karena digunakan di Kesultanan Riau. Terlebih lagi ketika tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu tersebut diadopsi dan disahkan menjadi bahasa kesatuan Republik Indonesia dengan nama Bahasa indonesia. Pada tahap ini bahasa Indonesia yang pada mulanya bernama bahasa Melayu mengalami standarisasi atau pembakuan sehingga lebih terstruktur. Akhirnya bahasa Melayu Indonesia dari segi kosakata sangat berbeda dengan bahasa-bahasa Melayu lainnya seperti Melayu Malaysia, Melayu Brunai dan lain-lain bahkan Melayu Riau yang pada awalnya bahasa tersebut diadopsi. Sehingga bahasa Indonesia yang awalnya dari bahasa Melayu akhirnya digunakan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Indonesia terlahir dari proses kreolisasi.
Referensi
Collins, J.Y. 1980. Ambonese Malay and Creolization Theory. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Hamidy, UU.1998. Teks dan Pengarang di Riau. Pekanbaru: Unri Press.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London. Longman.
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Kearah Bahasa Indonesia. Djakarta: Bhratara.
Parera, J.D.1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Cambridge: Basil Blackwell.
5