STUDI MANDIRI MO ALLERGY IMMUNOLOGY SPIROCHAETA KELOMPOK 3 03007077
Efbri Ch Chauresia Da Dalitan
03007198
Olga Ay Ayu Pratami
03009014
Andika Widyatama
03009036
Ayu Pr Prima De Dewi
03009054
Citra In Indah Pu Puspita Sa Sari
03009074
Ditra Putri Sandia
03009096
Fitya Sy Syarifa
03009118
Ida Ud Udhiah
03009138
M. Evan Ewaldo
03009160
Muham hammad Ta Taufiq Hi Hidayat
03009182
Pradita Ad Adiningsih
03009208
Riska Ra Rachmania
03009240
Sonia Laras Putri
03009264
Vanny Mahesa Putri
Jakarta, 5 April 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
Terd Terdapa apatt cukup cukup banyak banyak jenis jenis-j -jeni eniss bakte bakteri ri yang yang terse tersebar bar luas luas di berba berbaga gaii temp tempat at.. Penyebaran bakteri lebih luas dibandingkan dengan organisme hidup yang lain. Bakteri tersebar di udara tanah, dan air. Mereka hidup pada dan dalam tubuh organisme yang lain serta pada bahan organic yang mati, seperti bangkai, kotoran, sampah, dan humus. Salah satu contoh bakteri adalah spirochaeta. Spirochetes (atau Spirochaeta) adalah bakteri adalah bakteri gram-negatif , motil, motil, berbentuk ramping dan berlekuk-lekuk. Bakteri dengan morfologi unik ini banyak ditemukan ditemukan di di dalam lingkungan akuatik dan akuatik dan hewan. Berdasarkan Berdasarkan habitat, habitat, patogenisitas , filogenik , serta serta sifat sifat morfolo morfologis gis dan fisiol fisiologis ogisnya, nya, spirochetes dapat dibedakan menjadi 8 genus. Spirochaeta Spirochaeta dan Christispira dengan contoh spesies S. plicatilis, S. stenostrepa stenostrepa, dan S. aurantia. Treponema dengan contoh spesies adalah
T. pallidu pallidum, m, T. denticol denticola, a, T. primit primita, a, T. azotonut azotonutric ricium ium,, T. saccharo saccharophil philum, um, dan lainnya lainnya.. T. Leptospi ospira ra dan Lept Leptone onema ma dengan pallidum pallidum merupakan merupakan penyebab penyebab penyakit penyakit sifilis. sifilis. Lept dengan contoh contoh
spesies
dan L. inte interr rrog ogan ans. s. Pada Pada manu manusi sia, a, Lept Leptos ospi pira ra dapa dapatt meny menyeb ebab abka kan n L. bifl biflex exa a dan
leptospirosis, yaitu suatu kelainan yang disebabkan akumulasi bakteri ini di ginjal dan dapat
menyebabkan gagal ginjal hingga kematian. Borrelia dengan contoh spesies B. recurrentis yang menyebabkan menyebabkan demam kambuh (relapsing (relapsing fever) pada manusia dan B. burgdorferi juga diketahui dapat menyebabkan menyebabkan penyakit Lyme yang menginfeksi manusia dan hewan melalui perantaraan kutu. Dalam industri peternakan, Borrelia menjadi salah satu ancaman karena dapat menyerang hewan ternak seperti burung, kuda, dan domba.
BAB II PEMBAHASAN
Spirochaeta adalah bakteri yang dapat hidup di luar sel, disebut free-living bacteria. Spirochaeta berbentuk spiral yang sangat halus dengan dinding tipis dan fleksibel. Dindingnya yang tipis membuat Spirochaeta tidak dapat dilihat melalui pewarnaan Giemsa dan hanya dapat dilihat pada mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope), pewarnaan perak, atau immunofuorescence. Hal ini terutama pada Treponema dan Leptospira, sedangkan pada Borrelia yang memiliki bentuk lebih besar daripada dua genus sebelumnya, dapat dilihat dengan pewarnaan Giemsa dan dapat dilihat dengan mikroskop biasa. Tiga genus Spirochaeta yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia adalah Treponema, dapat menyebabkan sifilis; Borrelia, dapat menyebabkan Lyme disease dan demam kambuhan; dan Leptospira, dapat menyebabkan leptospirosis. KLASIFIKASI A.
TREPONEMA
Treponema pallidum Kingdom : Eubacteria Phylum Class Ordo Familia
: Spirochaetes : Spirochaetes : Spirochaetales : Treponemataceae
Genus
: Treponema
Spesies
: Treponema pallidum
MORFOLOGI
Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspecies yang sudah ditemukan, yaitu Treponema pallidum pallidum, Treponema pallidum pertenue, Treponema pallidum carateum, dan Treponema pallidum endemicum. Tulisan ini akan membahas Treponema pallidum pallidum yang merupakan penyebab sifilis.
Treponema pallidum merupakan spirochaeta yang bersifat motile yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk ke dalam tubuh inang melalui celah di antara sel epitel. Organisme ini juga dapat ditularkan kepada janin melalui jalur transplasental selama masa-masa akhir kehamilan. Struktur tubuhnya yang berupa heliks memungkinkan Treponema pallidum pallidum bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk bergerak di dalam medium kental seperti lender (mucus). Dengan demikian organisme ini dapat mengakses sampai ke sistem peredaran darah dan getah bening inang melalui jaringan dan membran mucosa. Pada tanggal 17 Juli 1998, suatu jurnal melaporkan sekuensi genom dari Treponema pallidum. Treponema pallidum pallidum adalah bakteri yang memiliki genom bacterial terkecil pada 1.14 million base pairs (Mb) dan memiliki kemampuan metabolisme yang terbatas, serta mampu untuk beradaptasi dengan berbagai macam jaringan tubuh mamalia.
PENYAKIT YANG DITIMBULKAN : SIFILIS
DEFINISI Dikenal di Eropa. Ada yang berpendapat bahwa penyakit ini berasal dari penduduk indian yang Sifilis atau penyakit Raja Singa adalah salah satu penyakit menular seksual (PMS) yang kompleks, disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum. Perjalanan penyakit ini cenderung kronis dan bersifat sistemik. Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem kardiovaskuler dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat menyababkan kelainan bawaan atau bahkan kematian. Jika cepat terdeteksi dan diobati, sifilis dapat disembuhkan dengan antibiotika. Tetapi jika tidak diobati, sifilis dapat berkembang ke fase selanjutnya dan meluas ke bagian tubuh lain di luar alat kelamin. Asal penyakit ini tidak jelas. Sebelum tahun 1492, penyakit ini belum dibawa oleh anak buah Christopher Colombus sewaktu mereka kembali ke Spanyol dari benua Amerika pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli, Italia. Pada abad ke 18 baru diketahui bahwa penyebaran sifilis dan gonore terutama disebabkan oleh senggama dan keduanya dianggap sebagai infeksi yang sama. Dengan berjalannya waktu, akhirnya diketahui bahwa kedua penyakit itu disebabkan oleh jenis kuman yang berbeda dan gejala klinisnyapun berlainan. Penyakit sifilis memiliki empat stadium yaitu primer, sekunder, laten dan tersier. Tiap stadium perkembangan memiliki gejala penyakit yang berbeda-beda dan menyerang organ tubuh yang berbeda-beda pula.
EPIDEMIOLOGI Asal penyakit ini tidak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk indian yang dibawa oleh anak buah columbus waktu mereka kembali ke spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis disebabkan oleh senggama yang disebabkan oleh infeksi. Pada abad ke-15 terjadi wabah di Eropa, sesudah tahun 1860 morbilitas sifilis di Eropa menurun cepat, karena perbaikan sosioekonomi.
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,040,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. Penderita yang terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.
ETIOLOGI Pada tahun 1800 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema Paliidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri ats delapan sampai 20 puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk tranfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.
MANIFESTASI KLINIS
Stadium Dini (primer) Tiga minggu setelah infeksi, timbul lesi pada tempat masuknya
Treponema pallidum. Lesi pada umumnya hanya satu. Terjadi afek primer berupa penonjolan penonjolan kecil yang erosif, berkuran 1-2 cm, berbentuk bulat, dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya tampak meradang, dan bila diraba ada pengerasan. Kelainan ini tidak nyeri. Dalam beberapa hari, erosi dapat berubah menjadi ulkus berdinding tegak lurus, sedangkan sifat lainnya seperti pada afek primer. Keadaan ini dikenal sebagai ulkus durum. Sekitar tiga minggu kemudian terjadi penjalaran ke kelenjar getah bening di daerah lipat paha. Kelenjar tersebut membesar, padat, kenyal pada perabaan, tidak nyeri, tunggal dan dapat digerakkan bebas dari sekitarnya. Keadaan ini disebut sebagai sifilis stadium 1 kompleks primer. Lesi umumnya terdapat pada alat kelamin, dapat pula di bibir, lidah, tonsil, putting susu, jari dan
anus. Tanpa pengobatan, lesi dapat hilang spontan dalam 4-6 minggu, cepat atau lambatnya bergantung pada besar kecilnya lesi. Stadium II (sekunder) Pada umumnya bila gejala sifilis stadium II muncul, sifilis
stadium I sudah sembuh. Waktu antara sifilis I dan II umumnya antara 6-8 minggu. Kadangkadang terjadi masa transisi, yakni sifilis I masih ada saat timbul gejala stadium II. Sifat yang khas pada sifilis adalah jarang ada rasa gatal. Gejala konstitusi seperti nyeri kepala, demam, anoreksia, nyeri pada tulang, dan leher biasanya mendahului, kadang-kadang bersamaan dengan kelainan pada kulit. Kelainan kulit yang timbul berupa bercak-bercak atau tonjolan-tonjolan kecil. Tidak terdapat gelembung bernanah. Sifilis stadium II seringkali disebut sebagai The Greatest Immitator of All Skin Diseases karena bentuk klinisnya menyerupai banyak sekali kelainan kulit lain. Selain pada kulit, stadium ini juga dapat mengenai selaput lendir dan kelenjar getah bening di seluruh tubuh.
Sifilis Stadium III Lesi yang khas adalah guma yang dapat terjadi 3-7 tahun setelah
infeksi. Guma umumnya satu, dapat multipel, ukuran milier sampai berdiameter beberapa sentimeter. Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ, termasuk tulang rawan pada hidung dan dasar mulut. Guma juga dapat ditemukan pada organ dalam seperti lambung, hati, limpa, paru-paru, testis dll. Kelainan lain berupa nodus di bawah kulit, kemerahan dan nyeri. Sifilis Tersier Termasuk dalam kelompok penyakit ini adalah sifilis kardiovaskuler dan
neurosifilis (pada jaringan saraf). Umumnya timbul 10-20 tahun setelah infeksi primer. Sejumlah 10% penderita sifilis akan mengalami stadium ini. Pria dan orang kulit berwarna lebih banyak terkena. Kematian karena sifilis terutama disebabkan oleh stadium ini. Diagnosis pasti sifilis ditegakkan apabila dapat ditemukan Treponema pallidum. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop lapangan gelap sampai 3 kali (selama 3 hari berturut-turut). Tes serologik untuk sifilis yang klasik umumnya masih negatif pada lesi primer, dan menjadi positif setelah 1-4 minggu. TSS (tes serologik sifilis) dibagi dua, yaitu treponemal dan non treponemal. Sebagai antigen pada TSS non spesifik digunakan ekstrak jaringan, misalnya VDRL, RPR, dan ikatan komplemen Wasserman/Kolmer. TSS nonspesifik akan menjadi negatif dalam 3-8 bulan setelah pengobatan berhasil sehingga dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pengobatan. Pada TSS spesifik, sebagai antigen digunakan treponema atau ekstraknya, misalnya Treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA) dan TPI. Walaupun
pengobatan diberikan pada stadium dini, TSS spesifik akan tetap positif, bahkan dapat seumur hidup sehingga lebih bermakna dalam membantu diagnosis. Pengobatan dilakukan dengan memberikan Antibiotika seperti Penisilin atau turunannya. Pemantauan serologik dilakukan pada bulan I, II, VI, dan XII tahun pertama dan setiap 6 bulan pada tahun kedua. Selain itu, kepada penderita perlu diberikan penjelasan yang jelas dan menyeluruh tentang penyakitnya dan kemungkinan penularan sehingga turut mencegah transmisi penyakit lebih lanjut. Bagi penderita yang tidak tahan dengan penisilin dapat diganti dengan tetrasiklin atau eritromisin, yang harus dimakan 15 hari. Sifilis yang telah menyebabkan penderita lumpuh dan gila biasanya tidak dapat diobati lagi.
PATOGENESIS Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat,T.pallidum masuk kedalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut meembiak, jaringan berekasi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama diperivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh T.pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular disekitarnya. Enarteritis pembulu darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaanklinis tampak sebagai sifilis primer (S I).
Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogendan menyebar ke semua jaringan dibadan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan S II, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman ditempat tersebut jumlahnya berkurang. Kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat.sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir in sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman. ,eskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-sekonyong beruba, sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis.penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.
IMUNOLOGI
Pada manusia Treponema yang diinokulasi dalam masa tunas akan membiak dan menimbulkan lesi baru, tetapi setelah timbul S I, inokulasi tidak akan menimbulkan respon jaringan.superinfeksi kadang-kadang terjadi pada sifilis stadium lanjut atau pada sifilis kongenital,yaitu jika inokulasi banyak.Reinfeksi mungkin terjadi pada S I yang telah berhasil diobati secara dini. Setelah infeksi, timbul respons imun, baik selular maupun humoral. Imunitas humoral terbentuk lambat pada S I dan tidak dapat menghambat perkembangan penyakit atau timbulnya S II. Pada sifilis dini,1-2 minggu setelah infeksi, pada waktu timbul lesi primer,antibodi IgM anti treponemal yang pertama-tama terbentuk. Kemudiankira-kira setelah 2 minggu disusul oleh timbulnya antibodi IgG. Jadi stadium lanjut pada waktu tanda klinis timbul didapati, baik IgM maupun IgG. Terdapatnya sintesis antibodi IgM yang spesifik bagi T.palidum begantung pada keaktivan kuman, sedangkan antibodi IgG yang spesifik umumnya tetap terdapat meskipun telah diobati. Kompeks imun yang beredar didapati pada beberapa penderita S I dan sebagian besar penderita S II. Pada sifilis laten dan S III ternyata timbul hipersensitivitas lambat, tetapi tidak timbul pada S I dan S Iidini. Hal itu dibuktikan dengan tes kulit menggunakan ekstrak T. pallidum. Telah dibuktikan bahwa imunitas terhadap treponema terbentuk selama penyakit berlangsung, kira-kira tiga bulan sesudah infeksi. Setelah terapi, biasanya antibodi menghilang selama satu tahun, walau pun pada sebagian kecil penderita dapat menetap, terutama pada sifilis kongenital dan stadium lanjut. Ifilis pada wanita lebih ringan daripada pria karena imunitasnya lebih tinggi.Kehamilan juga mempertinggi resistensi terhadap sifilis, gejala klinisnya juga lebih ringan.Komplikasi yang terdapat pada beberapa kehamilan pertama, akan menurun pada kehamilan berikutnta, artinya anak berikutnya akan menjadi normal. Menurut Collec-Baumes (1937), anak yang baru lahir dengan sifilis kongenital tidak akan menularkan kembali penyakitnya kepada ibunya, sebab ibunya sudah imun oleh infeksi yang lalu.
PENGOBATAN
Penderita sifilis fase primer atau sekunder bisa menularkan penyakitnya, karena itu penderita sebaiknya menghindari hubungan seksual sampai penderita dan mitra seksualnya telah selesai menjalani pengobatan. Pada sifilis fase primer, semua mitra seksualnya dalam 3 bulan terakhir terancam tertular. Pada sifilis fase sekunder, semua mitra seksualnya dalam 1 tahun terakhir terancam tertular. Mereka harus menjalani tes penyaringan antibodi dan jika hasilnya positif, mereka perlu menjalani pengobatan. Antibiotik terbaik untuk semua fase sifilis biasanya adalah suntikan penisilin: - Untuk sifilis fase primer, suntikan diberikan melalui kedua bokong, masing-masing 1 kali. - Untuk sifilis fase sekunder, biasanya diberikan suntikan tambahan dengan selang waktu 1 minggu. Penisilin juga diberikan kepada penderita sifilis fase laten dan semua bentuk sifilis fase
tersier, meskipun mungkin
perlu
diberikan
lebih
sering
dan
lebih
lama.
Jika penderita alergi terhadap penisilin, bisa diberikan doksisiklin atau tetrasiklin per-oral selama 2-4 minggu.
B. LEPTOSPIRA
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain. Leptospirosis acapkali luput didiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious disesase. ETIOLOGI Spiroketa sangat berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 µm, dengan spiral sangat halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Salah satu ujung organisme sering bengkok, membentuk kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan flagela. Dengan mikrograf elektron dapat terlihat filamen aksial tipis dan selaput yang halus. Spiroketa ini demikian halus sehingga dalam lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil. Organisme ini tidak mudah diwarnai tetapi dapat diimpregnasi dengan perak.
Leptospira interrogan Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans yang patogen dan L.biflexa yang non patogen/saprofit. Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak reservoar menurut komposisi
antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. EPIDEMIOLOGI Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua Antartika, namun terbanyak terdapat di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing, babi, kucing, atau binatang-biantang pengerat lainnya. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insiden dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. PENULARAN Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi oleh leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika tedapat luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang deras pun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang sebelumya telah terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira.
PATOGENESIS Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologik baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubule, bertahan disana dan dilepaskan melalui urine. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dapat lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Bagaimana infeksi leptospira menimbulkan penyakit, belum diketahui dengan jelas. Berikut beberapa patogenesis yang mungkin terjadi dalam infeksi leptospirosis : •
Produksi toksin Beberapa serovar leptospira patogen mampu memproduksi toksin. Beberapa endotoksin yang diproduksi diantaranya hemolisin, sphingomyelinase, phospholipase C. Selain itu beberapa serovar juga memproduksi protein cytotoxin yang mampu menghambat Na-K ATPase.
•
Attachment (perlekatan) Leptospira mengadakan perlekatan pada sel epitelial, diantaranya melekat pada sel epital renalis dan perlekatan ini dibantu oleh konsentrasi subagglutinasi dari antibodi homolog. Selain itu lipopolisakarida (LPS) leptospira merangsang perlekatan netrofil ke sel endotel dan platelet, menimbulkan aggregasi platelet dan menyebabkan trombositopenia.
•
Mekanisme imun dan immunitas leptospirosis Aspek imunologis pada infeksi leptospirosis akan dijelaskan di sub bagian khusus.
•
Surface protein Membran terluar dari leptospira tersusun oleh LPS dan beberapa lipoprotein (Outer Membran Proteins / OMPs). LPS bersifat sangat immunogenik dan menentukan spesifisitas masing-masing serovar. Keduanya, baik LPS maupun OMPs, penting dalam patogenesis dari nefritis interstitiil. ASPEK IMMUNOLOGIS LEPTOSPIROSIS Imunitas terhadap leptospirosis dirangsang oleh beberapa antigen diantaranya yaitu antigen serovar spesifik yang diekstraksi dari LPS leptospira, antigen serupa yang mampu menghambat aglutinasi oleh antisera homolog, serta ekstrak sodium dodecyl sulphate yang terdapat pada seluruh dinding sel leptospira yang juga mampu merangsang pembentukan antibodi, yamg mana antibodi yang terbentuk juga berefek aglutinasi dan mengikat komplemen. Imunitas yang terbentuk berpengaruh kuat merestriksi serovar homolog atau yang mirip dengan itu. Immunitas terhadap leptospirosis terutama merupakan imunitas humoral, namun imunitas seluler juga turut berperan dalam immunopathogenesis leptospirosis. Mobilitas respon imun seluler terjadi terutama pada fase initial infeksi, yaitu 7 hari setelah inokulasi. Respon imun selluler yang terjadi berupa opsonisasi makrofag dan aktifasi netrofil. Secara simultan, bakteri akan mulai menghilang dari sirkulasi seiring dengan terbentuknya antibodi, dan respon imun seluler akan mulai digantikan dengan imunitas humoral, yang mengindikasikan bahwa dimungkinkan terdapat faktor inhibitor yang menyebabkan penekanan terhadap respon imun seluler. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penekanan respon imun selluler tersebut ditandai penurunan jumlah limfosit CD4+ dan responnya terhadap sejumlah mitogen.
Respon imun humoral ditandai dengan terbentuknya antibodi dan beberapa sitokin (IL-6, TNF-α dan transforming growth factor-β1 (TGF- β1)), nitrit oxide (NO) dan H 2O2. Berdasarkan antibodi yang diproduksi, dibagi menjadi dua strain, yaitu strain Low (L) dan High (H). Strain H menunjukkan tendensi yang lebih tinggi terhadap respon Th2, dengan produksi antibodi yang lebih besar, lesi jaringan yang lebih luas serta adanya sintesis IL-4. Strain L menunjukkan respon Th1, dengan produksi yang besar dari interferon (IFN), serta aktivasi makrofag. Reaksi imunologis terhadap leptospirosis merupakan salah satu faktor yang memperberat infeksi leptospirosis yang terjadi. Kompleks imun yang diproduksi menyebabkan inflamasi setempat termasuk di sistem saraf pusat. Jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sebanding dengan berat-ringannya klinis infeksi leptospirosis yang muncul, sedangkan pada pasien yang mampu bertahan, perbaikan klinis yang terjadi sebanding dengan penurunan jumlah kompleks imun di sirkulasi. Berdasarkan beberapa penelitian, antigen leptospira terlokalisasi di sel interstitium ginjal, sedangkan immunoglobulin G serta C3 terdeposit di glomerolus dan dinding pembuluh darah kecil. Selain itu, antibodi leptospira yang diproduksi dapat menimbulkan cross reaction dengan jaringan setempat, seperti pada mata, sehingga menimbulkan uveitis. Kerusakan retina dapat pula terjadi sehubungan dengan terdapatnya limfosit B di retina. Pada leptospirosis dapat juga terbentuk antibodi antiplatelet. Antibodi tersebut melawan cryptantigen yang dipaparkan oleh platelet yang rusak. Selain itu, outoantibodi yang lain juga dapat ditemukan, diantaranya anticardiolipin antibodi serta antineutrofil citoplasmic antibody. Leptospira yang virulen juga mampu merangsang munculnya apoptosis. Apoptosis yang terjadi muncul akibat induksi TNF-α oleh LPS leptospira. Peningkatan jumlah sitokin inflamasi seperti TNF-α ditemukan dalam infeksi leptospirosis.
Bagan Imunologis Leptospirosis
GAMBARAN KLINIS Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.
•
Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha,betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Milagia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil juga didapati
mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular atau utrikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
•
Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 400C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Conjunctiva injection dan conjunctival suffusion dengan tanda ikterus merupakan tanda patognomosis umtuk leptospirosis. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin. DIAGNOSIS Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok risiko tinggi. Seperti orang-orang yang bekerja di pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang. Gejala/keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai protein uria, leukosituria dan torak. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meningkat bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosis pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan
serologi. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction, silver stain atau fluroscent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap. PENGOBATAN Pengobatan suportif dengan obsevasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya akan spontan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun, pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penisilin G, amoksisilin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, dosisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin. Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah. PENGOBATAN DAN KEMOPROFILAKSIS LEPTOSPIROSIS INDIKASI REGIMEN DOSIS Leptospirosis Doksisiklin 2 x 100 mg
ringan Leptospirosis sedang/berat
Ampisilin
4 x 500-750 mg
Amoksisilin Penisilin G
4 x 500 mg 1,5 juta unit / 6
Ampisilin
jam (i.v)
Amoksisilin
1 gram / 6 jam (i.v) 1 gram / 6 jam (i.v)
Kemoprofilaksis
Doksisiklin
200 mg/minggu
Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis. C. BORRELIA
Borrelia adalah jenis bakteri dari filum spirochetae. Hal ini menyebabkan borreliosis, dan beberapa penyakit yang ditularkan vektor, terutama oleh beberapa kutu, tergantung pada spesiesnya. Borrelia merupakan organisme berbentuk spiral, dapat bergerak, dengan panjang 8-20 mikrometer dan tebal 0,2 – 0,45 mikrometer. Borrelia mempunyai membran sel dalam dan luar, rambut getar sehingga mempunyai bentuk yang unik. Organisme ini bersifat mikroaerofilik, kemudian cepat tumbuh dan berkembang biak dalam host. (Harrison) 1.
BORELIOSIS LYME
Boreliosis Lyme atau Penyakit Lyme adalah penyakit peradangan akut yang ditandai oleh perubahan kulit, peradangan sendi dan gejala yang menyerupai flu. Penyakit Lyme biasanya terjadi pada saat musim panas dan awal musim gugur, lebih sering menyerang anak-anak dan dewasa muda yang tinggal di daerah perhutanan. ETIOLOGI Penyebab Boreliosis Lyme adalah Borrelia burgdorferi yang biasanya ditularkan melalui kutu kecil pada rusa. Bakteri ini masuk ke kulit melalui gigitan kuku. Setelah 3-32 hari, bakteri keluar dari kulit dan menyebar melalui getah bening atau darah ke kulit lainnya atau ke organ lain.
Gambar : Borrelia Borgdorferi
PATOGENESIS
Setelah beberapa minggu pertama, umumnya infeksi sel mononuclear reaksinya meningkat terhadap antigen B. borgdorferi dan terhadap mitogen, dan terjadi hiperaktivitas sel B dimana terdapat peninggian kadar IgM total, kriopresipitat, dan kompleks imun sirkulasi. Respon antibodi spesifik terhadap spirochaeta muncul perlahan dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun dan ditujukan terhadap serangkaian polipeptida spirochaeta. Titer antibodi IgM spesifik terhadap B.borgdorferi memuncak pada minggu ketiga sampai keenam setelah awitan penyakit. Titer IgG spesifik meningkat perlahan dan umumnya memuncak beberapa bulan atau tahun kemudian ketika timbul artritits.
MANIFESTASI KLINIK Gejala utama dari penyakit ini adalah sakit kepala, sakit punggung, dingin, dan kelelahan. Pada 75% kasus penyakit Lyme, ditemukan adanya bintik merah yang lebar pada daerah sekitar tempat kutu mengigit manusia yang disebut erythema migrans. Penyakit Lyme kronis ditandai dengan artritis dan gangguan neurologis seperti kelumpuhan, kelemahan pada beberapa bagian anggota badan, serta dapat terjadi kerusakan jantung. Apabila tetap tidak ditangani, sel B. burgdorferi dapat dapat menginfeksi sistem saraf pusat dan dorman hingga terjadi gejala klinis lainnya yang meliputi gangguan penglihatan, kejang, dan kelumpuhan wajah.
DIAGNOSIS
Berbagai uji serologis seperti ELISA dan pewarnaan fluoresensi dapat dilakukan untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap B. burgdorferi yang muncul 4-6 minggu setelah infeksi terjadi. Namun, uji serologis yang paling efektif saat ini adalah Western blot, ini dikarenakan keberadaan antibodi B. burgdorferi dapat dideteksi mulai dari infeksi pertama kali diderita hingga beberapa tahun setelahnya. Setelah beberapa tahun, tubuh tidak lagi menghasilkan antibodi terhadap bakteri tersebut karena bakteri itu laten di dalam tubuh. Untuk mendeteksi B. burgdorferi dari cairan tubuh dan jaringan, dapat digunakan reaksi berantai polimerase (PCR ) yang relatif sensitif dan cepat. Namun, metode PCR tidak mampu membedakan antar sel B. burgdorferi yang masih hidup atau sudah mati di dalam tubuh. Sebagian tes mikrobiologi dengan mengkultur B. burgdorferi dari bagian erythema migrans juga dapat dilakukan namun jarang sekali karena B. burgdorferi memerlukan media yang kompleks dan spesifik untuk pertumbuhannya. PENCEGAHAN Untuk mencegah gigitan kutu pada kulit dan dari pakaian, dapat digunakan senyawa penangkal kutu berupa dietil-m-toluamida (DEET). Vaksin untuk penyakit Lyme juga telah dikembangkan dan terutama diperuntukkan untuk hewan. TERAPI Untuk mengobati infeksi penyakit ini, dapat digunakan doksisiklin (senyawa turunan tetrasiklin), atau amoksisilin (antibiotik beta-laktam) selama 20-30 hari. Apabila penyakit telah memasuki fase kronis maka dapat digunakan penisilin atau ceftriaxone dalam dosis tinggi yang disertai dengan probenicid, senyawa kimia yang dapat mempertahankan serum antibiotik di dalam tubuh hingga 30 hari. PROGNOSIS Pada umumnya kesembuhan dapat terjadi pada sebagian besar pasien. Pengobatan boreliosis lyme yang terlambat dalam perjalanan penyakit sering mengakibatkan kesembuhan dalam waktu yang berbulan-bulan.
2.
DEMAM BERULANG
Demam berulang merupakan penyakit infeksi spirocheta akut yang ditandai oleh kejadian demam berulang berselang-seling dengan interval tanpa demam. ETIOLOGI Penyakit ini disebabkan oleh spirochetae dari genus Borrelia yaitu B. reccurentis, B. dutoni, B. hermsii, B. parkeri, B. turicatae yang ditularkan melalui kutu dan melalui sengkenit. EPIDEMIOLOGI Kutu menghisap darah dari individu yang terinfeksi, dan spirochete memperbanyak diri dalam jaringan kutu ini. Kutu berpindah dari satu orang ke orang lain pada kondisi padat penduduk dan kebersihan yang buruk. Infeksi terjadi jika kutu dihancurkan secara sengaja maupun tidak dan cairan tubuh kutu masuk ke dalam aliran darah manusia melalui tempat gigitan, luka lecet pada kulit akibat garukan, dan melalui selaput lendir. Spirocheta hidup dan memperbanyak diri melalui kutu dan sengkenit yang tidak memiliki sistem imun. Spirocheta selalu mengubah antigen permukaan untuk menghindari kerusakan oleh sistem imun. Antibodi timbul untuk membersihkan parasit yang telah teropsonisasi dari dalam darah dengan fagositosis, dengan cepat memperbanyak diri, dan menyebabkan kekambuhan yang lain dalam 5 sampai 10 hari. ETIOLOGI Demam berulang mempunyai masa inkubasi 3-18 hari, setelah itu individu yang menderita akan mengalami awitan mendadak beruba kekauan tubuh dengan deman, biasanya remiten, sakit kepala, artralgia, dan mialgia. Sering juga terjadi nyeri perut, mual, muntah, dan kekacauan mental. Batuk kering, dan tanda gagal jantung dapat muncul. Biasanya serangan berlangsung selama 3-6 hari dengan kenaikkan suhu tubuh yang mendadak mecapai 44 derajat celcius, tekanan darah, denyut nadi, dan kecepetan pernapasan selama 10-20 menit.
DIAGNOSIS Pada
pemeriksaan
laboratorium
sering
ditemukkan
anemia
ringan
dan
trombositopenia. Jumlah sel darah putih biasanya normal. Terlihat peningkatan sementara kadar urea dan kreatinin darah. Selain itu terjadi peningkatan alanin aminotransferase, bilirubin serum, waktu protombin, dan waktu trombopastin teraktivasi parsial. Dapat terjadi proteinuria dan hematuria. Pada rontgen torax menunjukkan pembesaran jantung dan edema paru. Pada EKG menunjukkan perpanjangan interval QT dan kontraksi ventikel prematur. Diagnosis pasti dapat ditemukan Borrelia dalam hapusan darah tepi, dengan pewarnaan Wright, Giemsa, Leishman. Borrelia yang dapat bergerak juga dapat ditunjukkan pada sediaan basah dengan mikroskop medan gelap atau fase kontras. TERAPI Pada demam berulang yang ditularkan melalui kutu, obat pilihannya adalah tetrasiklin 500 mg, intravena atau peroral, sebagai dosis tunggal yang dapat membersihkan spirochete dalam darah dalam waktu beberapa jam. Selain itu dapat digunakan kloramfenikol atau eritromisin dengan dosis yang sama. PROGNOSIS Angka kematian akibat demam berulang yang ditularkan melalui kutu pada sebelum konsumsi antibiotic adalah 30-70%, tetapi dengan pemberian antibiotik, berkisar antara 05%. Pada demam berulang yang ditularkan melalui sengkenit berkisar dari 0-8%. Kematian biasanya terjadi pada anak kecil dan neonatus yang terinfeksi secara congenital.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Treponema pallidum adalah termasuk bacteria spirochaeta yang berbentuk spiral. Treponema pallidum pallidum merupakan salah satu subspesies dari subspesies yang ada. Treponema ini dapat menyebabkan penyakit sifilis yang merupakan penyakit kelamin ditularkan melalui hubungan kelamin atau melalui sentuhan terhadap luka-luka kulit penderita. Jika yang mengidap penyakit ini adalah wanita hamil, janin akan dapat tertular, sifilis ada 3 tingkatan yaitu sifilis tingkat dini ditandai dengan timbul lesi pada tempat masuknya Treponema pallidum, sifilis tingkat kedua ditandai dengan nyeri kepala, demam, anoreksia, nyeri pada tulang, dan leher. Sifilis tingkat ketiga ditandai dengan Guma yang timbul pada semua jaringan dan organ, termasuk tulang rawan pada hidung dan dasar mulut. Sifilis tersier ditandai dengan kematian. Pengobatan dilakukan dengan antibiotik penisilin, untuk pemantauan serologik dilakukan pada bulan 1, 2, 4, dan 12 tahun pertama dan setiap 6 bulan pada tahun kedua. Jika penderita yang tidak tahan dapat diganti dengan tetrasiklin atau eritromisin.
BAB V DAFTAR PUSTAKA
1. Sexually Transmitted Diseases. Available at www.sexuallytransmitteddiseases.htm. Accessed on April 1st, 2011. 2. Oswari, E. Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 1995. p.236-37. 3. Calicut Medical. Available at www.calicutmedical.org. Accessed on April 2nd, 2011. 4.
Zein U. Leptospirosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Syam AF, Masjoer A, et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p. 2807-12
5.
Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Leptospira. Mikrobiologi Kedokteran. 20th ed. Jakarta: EGC; 1996. p. 322-5.
6.
Levett PN. Leptospirosis. Clin Microbiol Rev 2001; 14(2). p.296–326
7.
Medica Store. Penyakit Lyme. Available at www.medicastore.com. Accessed on April 2nd, 2011.
8.
Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, et al. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 2. In: Asdie, AhmadH, editor. Jakarta: EGC;1999. p.837-41