BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
SHIGELLOSIS
2.1.1
DEFINISI Disentri basiler, shigellosis adalah infeksi akut yang mengakibatkan radang pada kolon, yang disebabkan kuman genus Shigella, yang ditandai gejala diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, serta nyeri perut dan tenesmus (Tjokroprawiro, 2007).
2.1.2
EPIDEMIOLOGI Shigellosis terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyebab tersering ketiga diare bakterial di negara maju (Mandal, 2004). Disentri basiler terdapat, terutama di negara sedang berkembang dengan lingkungan yang kurang dan penghuni yang padat. Disentri mudah menyebar pada kondisi lingkungan yang jelek (Tjokroprawiro, 2007). Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centres for Disease Control and Prevention (CDC). Hasil penelitian yang dilakukan di berbagai rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848 orang penderita diare berat, ditemukan 5% bakteri shigella (Sudoyo, 2007). Setiap tahun, sekitar 14.000 kasus Shigellosis dilaporkan di Amerika Serikat. Karena banyak kasus ringan yang tidak didiagnosis atau dilaporkan, jumlah infeksi mungkin dua puluh kali lebih besar (CDC, 2009).
6
7 2.1.3
ETIOLOGI Disentri basiler atau shigellosis disebabkan kuman genus Shigella. Shigella adalah basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. ada 4 spesies shigella yaitu S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii, dan S. sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S. sonnei adalah satu-satunya spesies yang memiliki serotipe tunggal (Sudoyo, 2007). Dengan pengecualian S. sonnei, masing-masing spesies dapat dibagi lagi menjadi serotipe berdasarkan reaktivitas dengan serum hiperimun: S. dysenteriae (15 serotipe), S. flexneri (6 serotipe dan 2 varian), & S. boydii (20 serotipe) (serotyping shigella) (WHO, 2010). Jumlah bakteri yang diperlukan untuk menginfeksi rendah (10-100 organisme) (Mandal, 2004).
2.1.4
PATOGENESIS Shigella masuk ke dalam tubuh per oral. Karena mampu bertahan terhadap pH rendah, ia dengan mudah melewati asam lambung. Terjadi invasi sel epitel kolon, yang diawali dengan melekatnya bakteri, masuk sel dengan cara endositosis dan berada di sitoplasma. Multiplikasi intraseluler menyebabkan kerusakan dan kematian sel yang akan berakibat ulserasi mukosa. Sifat penting lain adalah kemampuan membuat enterotoksin. Toksin berperan atas patogenesis komplikasi
mikroangiopati,
hemolytic
uremic
syndrome,
thrombotic
thrombocytopenic purpura. Enterotoksin lain menyebabkan gangguan transportasi elektrolit dan menyebabkan sekresi cairan ke lumen usus. Pada shigellosis permukaan epitel mengalami ulserasi yang ekstensif. Dengan eksudat terdiri dari sel kolon yang terkelupas, leukosit PMN, eritrosit. Lamina propria mengalami edema dan hemoragik, serta mengalami infiltrasi
8 neutrofil
dan
sel
plasma.
Ulserasi
pada
tempat
tertentu
menyerupai
pseudomembran. Perubahan histologi diduga akibat endotoksin kuman. Imunitas dapat timbul dan bersifat serotipe spesifik (Tjokroprawiro, 2007). 2.1.5
MANIFESTASI KLINIS Masa tunas dari beberapi jam-3 hari. Mulai gejala awal sampai timbulnya gejala khas biasanya cepat. Gejala yang khas adalah defekasi sedikit-sedikit, terus menerus, sakit perut kolik, tenesmus, muntah-muntah. Suhu badan tinggi, sakit kepala, nadi cepat. Sakit perut dirasakan di sebelah kiri. Tinja biasanya encer, berlendir, warna kemerah-merahan atau lendir bening, dan berdarah. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja dijumpai sel darah putih, sel darah merah, sel makrofag. Pada bentuk yang berat fulminan dijumpai tanda dehidrasi dan bisa terjadi renjatan septik. Daerah anus terdapat luka, nyeri, kadang-kadang prolaps. Hemoroid yang ada sebelumnya mungkin muncul keluar. Kematian karena : 1. gangguan sirkulasi perifer, anuria, koma uremikum 2. sering pada malnutrisi, kelaparan (Tjokroprawiro, 2007). Pada lebih dari setengah kasus pada orang dewasa, demam dan diare menghilang spontan dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lanjut usia, kehilangan air dan elektrolit dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis dan bahkan kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S. dysenteriae kadang-kadang dapat sangat parah.
9 Pada pemulihan, kebanyakan orang mengeluarkan basil disentri dalam waktu singkat, tetapi beberapa orang tetap menjadi carrier usus kronik dan dapat mengalami serangan penyakit secara berulang. Setelah sembuh dari infeksi, kebanyakan orang membentuk antibodi sirkulasi terhadap shigella, tetapi antibodi ini tidak mencegah terjadinya infeksi ulang (Jawtez, 2008). 2.1.6
KOMPLIKASI Dapat timbul komplikasi shigellosis: 1. Ekstraintestinal terutama oleh S. dysenteriae tipe 1, S. flexneri 2. Bakteremia pada AIDS 3. Artritis: masa penyembuhan, sendi besar (lutut) 4. Neuritis perifer, iritis, iridosiklitis, peritonitis jarang. Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) dapat timbul akibat infeksi oleh S. dysenteriae tipe 1, dengan gejala: 1. Oligouria, anuria yang progresif, gagal ginjal 2. Penurunan hematokrit, anemia progresif 3. Reaksi leukomoid, trombositopenia 4. Hiponatremia, hipoglikemia 5. Gejala susunan saraf pusat, ensefalopatia, perubahan kesadaran. (Tjokroprawiro, 2007).
2.1.7
PENGOBATAN Pasien perlu istirahat, mencegah-memperbaiki dehidrasi. Penyebab kematian terutama akibat dehidrasi. Untuk rehidrasi dapat dipakai cairan
10 intravena/oral, sesuai derajat dehidrasi. Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi. Untuk pengobatan antibakterial: 1. Pilihan trimethoprim sulfamethoxazole 2x2 tablet selama 5 hari 2. Siprofloksasin 2x500-750 mg 3. Ampisilin 4x500 mg 4. Asam nalidiksik (Tjokroprawiro, 2007). Trimethoprim sulfamethoxazole Trimethoprim yang diberikan bersama dengan sulfonamid menghasilkan hambatan yang beruntun dalam jalur metabolik, menyebabkan peningkatan (sinergisme) aktivitas kedua obat. Secara farmakokinetik, trimethoprim biasanya diberikan per oral, tunggal atau dalam kombinasi dengan sulfametoksazol. Sulfonamid ini dipilih karena memiliki waktu paruh yang sama. Kombinasi terakhir ini dapat juga diberikan secara intravena. Karena trimethoprim lebih bersifat larut dalam lipid daripada sulfametoksazol, maka trimetoprim memiliki volume distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan sulfametoksazol. Karena itu bila 1 bagian dari trimetoprim diberikan dengan 5 bagian sulfametoksazol (rasio dalam formulasi), konsentrasi puncak dalam plasma berada dalam rasio 1:20, yang opimal untuk efek kombinasi dari obat ini in vitro (Katzung, 1998) Sulfonamid tidak lagi merupakan obat terpilih untuk disentri basiler karena banyak strain yang telah resisten. Dampak dari trimethoprim menghasilkan efek samping dari obat-obatan antifolat yang dapat diramalkan, terutama anemia megaloblastik, leukopenia, dan
11 granulositopenia. Kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol dapat menyebabkan semua reaksi tidak menguntungkan yang berkaitan dengan sulfonamid. Kadangkadang, terdapat juga mual dan muntah, demam obat, vaskulitis, kerusakan ginjal, atau gangguan susunan saraf puat. Pasien AIDS dan pneumonia Pneumosistis terutama mempunyai frekuensi tidak menguntungkan yang tinggi terhadap trimethoprim-sulfametoksazol, terutama demam, rashes, leukopenia, dan diare (Katzung, 1998). Siprofloksasin Siprofloksasin merupakan golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan untuk infeksi sistemik. Golongan fluorokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal. Mekanisme resistensi melalui plasmid seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon (golongan kuinolon baru yang beratom fluor pada cincin kuinolon adalah fluorokuinolon), namun dapat terjadi dengan mekanisme mutasi pada DNA atau membran sel kuman. Golongan fluorokuinolon aktif sekali terhadap enterobacteriaceae termasuk Shigella. Berbagai kuman yang telah resisten terhadap aminoglikosida dan betalaktam ternyata masih peka terhadap fluorokuinolon. Secara farmakokinetik, fluorokuinolon diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Semua fluorokuinolon mencapai kadar puncaknya dalam 12 jam setelah pemberian obat. Penyerapan siprofloksasin terhambat bila diberikan bersama antasida. Siprofloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila ada meningitis. Efek samping golongn obat ini yang trepenting adalah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran
12 cerna, terutama berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan efek samping yang paling sering dijumpai. Fluorokuinolon jarang menimbulkan ganguan keseimbangan flora usus bila dibandingkan dengan antimikroba lain yang berspektrum luas. Efek samping pada susunan saraf pusat umumnya bersifat ringan berupa sakit kepala, vertigo, dan insomnia (Ganiswara, 1995). Ampisilin Ampisilin merupakan salah satu golongan penisilin yang serupa dengan penisilin G (dihancurkan dengan β-laktamase) tetapi stabil terhadap asam dan lebih aktif terhadap bakteri gram negatif. Penisilin dinamakan obat beta laktam karena mempunyai cincin laktam. Obat beta-laktam mempunyai mekanisme kerja antibakteri yang secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Secara singkat, langkah-langkah tersebut yaitu (1) perlekatan pada protein mengikat penisilin yang spesifik (PBPs) yang berlakun sebagai obat reseptor pada bakteri, (2) penghambatan sintesis dinding sel dengan menghambat transpeptidase dari peptidoglikan, dan (3) pengaktifan enzim autolitik di dalam dinding sel, yang menghasilkan kerusakan sehingga akibatnya bakteri mati (Katzung, 1998). Ampisilin dapat diberikan oral untuk mengobati infeksi saluran kemih oleh baktri koli (Jawetz, 1996). Secara farmakokinetik, jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar. Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi obat.
13 Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang terserig dijumpai pada golongan penisilin. Reaksi alergi yang paling sering terjadi adalah kemerahan kulit. Ampisilin dapat menimbulkan nefropati yang ada hubungannya dengan kadar obat yang tinggi dalam serum (Ganiswara, 1995). Asam Nalidiksat Asam nalidiksat aadalah prototip golongan kuinolon lama yang mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman gram negative, tetapi eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu cepat sehingga sulit dicapai kadar terapeutik dalam darah. Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Secara farmakokinetik, pada pemberian per oral, 96% obat akan diserap. Konsentrasinya dalam plasma kira-kira 20-50 µg/ml, tetapi 95% terikat dengan protein plasma. Dalam tubuh, sebagian dari obat ini akan diubah menjadi asam hidroksinalidiksat yang juga mempunyai daya antimikroba. Pemberian asam nalidiksat secara per oral kadang-kadang menimbulkan mual, muntah, ruam kulit dan urtikaria. Diare, demam, eosinofilia dan fotosensitivitas kadang-kadang timbul. Asam nalidiksat tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 3 bulan dan juga pada trimester pertama kehamilan. Daya antibakterinya akan berkurang bila diberikan bersama nitrofurantoin (Ganiswara, 1995). Pengobatan
simtomatis:
untuk
demam
(antipiretik),
nyeri
perut
(antispasmodik). Pemakaian obat antimotilitas (misalnya loperamide) bersifat kontroversi, dapat mengurangi diare, namun dapat menyebabkan penyakit lebih berat karena mengurangi pengeluaran bakteri, mempermudah invasi mukosa serta
14 timbulnya toksik megakolon. Pada bentuk berat apabila tidak diobati dini angka kematian shigellosis tinggi. Infeksi oleh S. dysenteriae biasanya berat, penyembuhan lama. Infeksi S. flexneri angka kematian rendah Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigellosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Jika dengan pengobatan dengan antibiotika yang kedua pasien tidak menunjukkan perbaikan
diagnosis harus
ditinjau
ulang dan
dilakukan
pemeriksaan mikroskop tinja, kultur, dan resistensi mikroorganisme. Resistensi
terhadap
sulfonamid,
streptomisin,
kloramfenikol
dan
tetrasiklin, hampir universal terjadi dan banyak shigella saat ini resisten terhadap ampisilin dan sulfametoksazol. Situasi pada setiap wabah penyakit ini menimbulkan resistensi yang berbeda-beda, karena itu pada wabah sebaiknya disiapkan obat khusus yang hanya diberikan pada pasien-pasien yang gawat. Sangat ideal bila pada setiap kasus dilakukan uji resistensi terhadap kuman penyebabnya, tetapi tindakan ini mengakibatkan pengobatan dengan antibiotika jadi tertunda (Sudoyo, 2007). 2.2
Shigella dysenteriae
2.2.1
KLASIFIKASI Divisio
: Monomychota
Subdivisio : Schizomycetea Clasiss
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacteriales
15 Familia
: Enterobacteriaceae
Tribe
: Eschericeae
Genus
: Shigella
Species
: Shigella dysenteriae
(Fajariah, 2009) 2.2.2
MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI
2.2.2.1 CIRI KHAS SHIGELLA Shigella adalah batang gram-negatif yang ramping; bentuk kokobasil ditemukan pada biakan yang muda. 2.2.2.2 BIAKAN Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi tumbuh paling baik secara aerob. Koloni bebrbentuk konveks, bulat, transparan dengan tepi yang utuh dan mencapai diameter sekitar 2 mm dalam 24 jam. 2.2.2.3 SIFAT PERTUMBUHAN Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kecuali Shigella sonnei, shigella
tidak
memfermentasikan
laktosa.
Ketidakmampuannya
memfermentasikan laktosa membedakan shigella pada medium diferensial. Shigella membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang menghasilkan gas. Organisme ini dapat dibagi menjadi organisme yang memfermentasikan manitol dan tidak memfermentasikan manitol.
16 2.2.3
STRUKTUR ANTIGEN Shigella memiliki struktur antigen yang kompleks. Terdapat banyak tumpang tindih pada sifat serologik berbagai spesies, dan sebagian besar organisme memiliki antigen O yang sama dengan basil enterik yang lain. Antigen
O
somatic
shigella
adalah
lipopolisakarida.
Spesifitas
serologiknya bergantung pada polisakarida. ada lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi shigella berdasarkan pada karakteristik biokimiawi dan antigennya. 2.2.4
TOKSIN
2.2.4.1 ENDOTOKSIN Pada autolysis, semua shigella melepaskan lipopolisakarida yang toksik. Endotoksin ini kemungkinan yang menimbulkan iritasi pada dinding usus. 2.2.4.2 EKSOTOKSIN Shigella dysenteriae S. dysenteriae tipe I (basil Shiga) menghasilkan eksotoksin yang tidak tahan panas yang dapat mengenai usus dan sistem saraf pusat. Eksotoksin ini adalah protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan bersifat mematikan untuk hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini menimbulkan diare seperti verotoksin E. coli, mungkin melalui mekanisme yang sama. Pada manusia, enterotoksin juga menghambat absorbsi gula dan asam amino di usus halus. Sebagai “neurotoksin”, materi ini menyebabkan infeksi S. dysenteriae yang sangat berat dan fatal serta menimbulkan reaksi susunan saraf pusat yang berat (misalnya meningismus, koma). Pasien yang menderita infeksi Shigella flexneri atau Shigella sonnei membentuk antitoksin yang menetralisir eksotoksin S. dysenteriae secara in vitro. Aktivitas yang bersifat toksik ini
17 berbeda dengan sifat invasiv shigella pada disentri. keduanya dapat bekerja berurutan, toksin menyebabkan diare awal yang tidak berdarah, encer, dan banyak kemudian invasi usus besar mengakibatkan disentri lanjut dengan feses yang disertai dengan darah dan nanah (Jawetz, 2008). 2.2.5
MEKANISME RESISTENSI Sebagian besar resistensi obat pada bakteri usus disebabkan oleh perluasan penularan plasmid resistensi pada berbagai genus. Pada saat ini banyak tempat di dunia kira-kira separuh strain Shigella sp. resisten terhadap obat. Shigella dysenteriae type 1, resistan terhadap asam nalidiksat seperti pada co-trimoxazole (trimethoprim-sulfametoksazol) dan ampisilin (Munshi, 1987). Trimetoprimsulfametoksazol agaknya masih efektif pada pemberian per oral, meskipun di beberapa tempat telah terjadi resistensi (Ganiswara, 1995). Trimethoprim, suatu trimetoksibenzilpirimidin, menghambat asam dihidrofolat reduktase bakteri kirakira 50.000 kali lebih efisien daripada enzim yang sama dari sel mamalia. Asam dihidrofolat reduktase adalah enzim yang mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahirofolat, suatu langkah yang mengarah ke sintesis purin dan akhirnya menjadi DNA. Mikroorganisme yang kekurangan langkah yang dihambat oleh trimethoprim (dihidrofolat reduktase) dapat muncul dengan mutasi atau dengan transmisi secara konjugasi dari plasmid. Plasmid seperti ini yang menginduksi resistensi trimetropim terhadap bakteri koliform. (Katzung, 1998). Sejak penisilin mulai digunakan jenis mikroba yang tadinya sensitif makin banyak yang menjadi resisten. Mekanisme resisten terhadap penisilin ialah:
18 1. Pembentukan enzim beta-laktamase misalnya pada kuman S. aureus, H. influenza, gonokokus dan berbagai batang gram negatif. Kebanyakan jenis betalaktamase dihasilkan oleh kuman melalui kendali genetik oleh plasmid. 2. Enzim autolisin kuman tidak bekerja sehingga timbul sifat toleran kuman terhadap obat. 3. Kuman tidak mempunyai dinding sel (misalnya mikoplasma). 4. Perubahan Penicillin Binding Protein (PBP) atau obat tidak dapat mencapai PBP. Asam nalidiksat bekerja dengan menghambat enzim DNA girase bakteri dan biasanya bersifat bakterisid terhadap kebanyakan kuman patogen penyebab infeksi saluran kemih. Resistensi terhadap asam nalidiksat tidak dipindahkan melalui plasmid (faktor R), tetapi dengan mekanisme lain. Resistensi terhadap asam nalidiksat telah menimbulkan masalah klinik (Ganiswara, 2007). 2.2.6
UJI DIAGNOSTIK LABORATORIUM
2.2.6.1 SPESIMEN Feses segar, lendir, dan usapan rectum dapat digunakan untuk biakan. Ditemukan banyak leukosit pada feses dan kadang-kadang juga ditemukan beberapa sel darah merah pada pemeriksaan mikroskopik. Spesimen serum, apabila dibutuhkan, harus diambil dengan jarak 10 hari untuk melihat kenaikan titer antibodi aglutinasi. 2.2.6.2 BIAKAN Bahan digoreskan pada medium diferensial (misalnya, agar MacConkey atau EMB) dan pada medium selektif (agar enteric Hektoen atau agar
19 salmonella-shigella) yang menekan Enterobacteriaceae lain dan organisme gram positif. Koloni yang tidak berwarna (laktosa-negatif) diinokulasi pada agar triplet gula besi. Organisme yang tidak menghasilkan H2S, yang menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas pada pangkal dan bagian miring pada yang basa di medium agar triplet gula besi, dan tidak motil sebaiknya dilakukan pemeriksaan aglutinasi slide dengan antiserum spesifik shigella. 2.2.6.3 SEROLOGI Orang normal sering memiliki aglutinin terhadap beberapa spesies shigella. Namun, serangkaian
penentuan
peningkatan
spesifik.
antibodi
yang
titer antibodi dapat menunjukkan Serologi
tidak
digunakan
untuk
mendiagnosis infeksi shigella (Jawetz, 2008). 2.2.7
IMUNITAS Infeksi diikuti oleh respons antibodi tipe spesifik. Injeksi shigella yang telah mati merangsang produksi antibodi di serum tetapi tidak dapat melindungi manusia dari infeksi. Antibodi IgA di usus mungkin penting dalam membatasi infeksi ulang; antibodi ini dapat distimulasi dengan pemberian strain shigella hidup yang telah dilemahkan melalui oral seperti vaksin percobaan. Antibodi serum terhadap antigen somatik shigella adalah IgM (Jawetz, 2008).
20 2.3
KAMBOJA (Plumeria acuminata)
2.3.1
KLASIFIKASI Plumeria acuminata
Gambar 2.1 Plumeria acuminata (Gupta, 2008). Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Gentianales
Famili
: Apocynaceae
Genus
: Plumeria
Spesies
: Plumeria acuminata Ait
(Anonim, 2008). 2.3.2
DESKRIPSI Daerah asal tumbuhan ini dari Amerika tropis dan Afrika, termasuk tanaman hias, varietas tumbuhan kamboja terdiri dari beberapa jenis antara lain:
21 kamboja putih dan kamboja merah/kamboja jepang. Batangnya berkayu keras, mencapai 6 meter, percabangannya banyak, batang utama besar, cabang muda lunak, batangnya cenderung bengkok dan bergetah. Daunnya hijau, berbentuk lonjong dengan kedua ujungnya meruncing dan agak keras dengan urat-urat daun yang menonjol, sering rontok terutama saat berbunga lebat. bunganya berbentuk terompet, muncul pada ujung-ujung tangkai, daun bunga berjumlah 5 buah, berbunga sepanjang tahun (Yuniarti, 2008). 2.3.3
HABITAT Bunga dari Plumeria terlihat banyak pada awal musim semi dan musim panas di iklim yang hangat ini. Sementara mereka adalah spesies di daerah tropis, menarik untuk mengetahui Plumeria liar ditemukan pada tempat yang panas, sering pada tanah yang tandus dan tebing berbatu kapur—khas seperti yang dialami di lingkungan kebun di San Antonio. Pohon plumeria berkembang dalam sinar matahari penuh, mereka mengatur tunas sangat sedikit saat dinaungi pohon-pohon tinggi atau bangunan. Sangat sedikit pertumbuhan atau pembungaan terjadi setelah suhu turun di bawah 60 ºF (Santos, 2006).
2.3.4
KANDUNGAN Getah pohon kamboja mengandung senyawa sejenis karet, tripenoid amyrin, lupeol, kautscuk dan damar (Yuniarti, 2008). Batang dan daunnya mengandung fulvoplumierin serta minyak menguap yang terdiri dari geranio, sitronellol, linallol, famrnesa, dan fenil alkohol (Hariana, 2008). Pohon kamboja (Plumeria acuminata) mengandung, plumierida, plumericin, isoplumiericin, β-
22 dihidroplumiericin, β-dihidromiericin acid, dan pigmen kuning fluroplumiericin (Abe et.al dalam Suzana et.al, 1996). Salah satu kandungan tanaman ini adalah plumierida yang merupakan glikosida iridoid (Kitagawa et.al. dalam Suzana et.al.; 1996) 2.3.5
KEGUNAAN Senyawa plumierida yang terkandung dalam tanaman kamboja (Plumeria acuminata) memiliki struktur mirip dengan glikosida iridoid lain (pulosariosida) yang telah diketahui memiliki aktivitas anti mikroba (Kitagawa et.al. dalam Suzana et.al., 1996). Efek farmakologi yang dimiliki oleh kamboja diantaranya penurun panas (antipiretik), peluruh kencing (antidiuretik), dan obat batuk (antitusif). Kulit kayunya digunakan sebagai laxant (pelancar buang air besar). Getah, daun, kulit batang, akar, serta seluruh bagian tumbuhan untuk mencegah pingsan akibat udara panas (heat stroke), disentri basiler, gangguan pencernaan, (dispepsia), gangguan penyerapan makanan pada anak, kurang gizi (malnutrisi), radang hati (hepatitis infeksiosa), radang saluran napas (bronchitis), jantung berdebar keras (palpitasi), TBC (tuberkulosa), cacingan, sembelit (konstipasi), kencing nanah (gonorrhoea), beri-beri, busung air, kapalan (klavus), telapak kaki bengkak dan pecah-pecah, sakit gigi berlubang, tertusuk duri atau terkena pecahan kaca, bisul (furunculus), patek (frambusia), serta benjolan keras (tumor) (Hariana, 2008).
2.4
PLUMIERIDA Plumierida mempunyai nama alternatif agoniadin dan (1S, 2’R, 4aS, 7aS)1-(β-D-Glucophyranosyloxy)-4a,
71-dyhidro-4’-[(1S)-1-hydroxyethyl]-5’-
23 oxospiro[cyclopental[c]piran-7(1H), 2’(5’H)-furan]-4 carboxylic acid methyl ester. Rumus molekulnya C21H26O12, berat molekul 470.42, komposisi C 53,62%, H 5,57%, O 40,81%, ditemukan pada kulit batang Plumeria (Apocynaceae. Merupakan Kristal pahit yang mempunyai struktur kimi di bawah ini (O’Neil et al, 2006)
Gambar 2.2. Struktur kimia Plumierida (Dobhal, et.al, 2004).