SEJARAH NIAS SEJARAH AWAL Tidak diketahui persis ketika orang pertama kali datang ke Nias. Tetapi diketahui bahwa ada satu atau beberapa suku lain yang menghuni Nias sebelum kelompok etnis yang ada saat ini (Ono Niha) menetap di pulau sekitar 700 tahun yang lalu. l alu. Ini disebutkan dalam tradisi lisan dan didukung oleh bukti-bukti arkeologi.
Pada bulan Agustus 1999 ekskavasi pertama dimulai oleh Museum Pusaka Nias yang bekerjasama dengan Universitas Airlangga di Gua Tögi Ndrawa (Gua Orang Asing), sebuah gua besar yang berjarak 4 km dari Gunungsitoli dan 130 m di atas permukaan laut. Sisa-sisa dan alat-alat yang ditemukan, menunjukkan bahwa itu dihuni lebih dari 12.000 tahun yang lalu. Ekskavasi berikutnya oleh Balai Arkeologi Medan (Lihat: Ketut Wiradnyana dkk. 2002. Gua Tögi Ndrawa, Hunian Mesolitik di Pulau Nias) menyimpulkan bahwa gua itu berpenghuni oleh manusia manusia sampai 700 tahun yang lalu..
150 M ke 700 M Pulau Nias berada dekat salah satu jalan lintas utama Asia Tenggara dan memiliki sejarah panjang berinteraksi dan perdagangan dengan budaya lain. Dalam tulisan awal Cina, Yunani dan Arab, Sumatera dan daerah sekitarnya terkenal. Seawal tahun 150 M, Ptolemy penulis Yunani menyebutkan lima pulau di sebelah barat Sumatera. Mereka dinamakan sebagai "Pulau-pulau Barus" dan Nias adalah pulau yang terbesar. (Kapur barus adalah zat padat berupa lilin yang ditemukan dalam pohon laurel kamper di Sumatera). Dari abad ke-7 dan seterusnya pulau-pulau barat Sumatera dikenal baik oleh pedagang dan pelaut Cina dan Arab. Orang Nias menjual hasil mereka kepada kapal yang melewati sebagai pertukaran ke logam dan tekstil.
800 M ke 1100 M Penulisan pertama tentang Nias berasal dari Sulayman, seorang pedagang Persia, yang pada tahun 851 M mengunjungi Pulau Nias. Dia melihat bahwa para bangsawan lokal mengenakan banyak
1|Page
perhiasan emas yang indah dan memiliki kegemaran untuk pengayauan. Seorang pemuda p emuda yang ingin i ngin menikah, harus terlebih dahulu memenggal seorang musuh. Juga dicatat bahwa Pulau Nias memiliki struktur sosial yang kompleks. Pada tahun 1154, Edrisi menulis: "Pulau ini dihuni oleh sejumlah besar suku-suku." Tradisi lisan Nias menyebutkan enam suku yang berbeda dari masa ini, dan yang salah satunya adalah suku Bela, yang keturunannya tinggal di pohon-pohon.
1100 M - 1250 M Orang India dari Kerajaan Aru mendirikan tambang emas di Padanglawas di Sumatera. Tambang ini menghasilkan banyak emas, dan sejumlah emas itu masuk ke Nias
C. 1350 M Gelombang imigrasi membawa suku 'Ono Niha' ke Nias sekitar tahun 1350 M. Sebagian besar orang Nias saat ini adalah keturunan dari kelompok etnis ini. Diyakini bahwa mereka tiba melalui Singkuang, sebuah pelabuhan di Sumatera yang menghadapi Pulau Nias. Pemukiman pertama didirikan di Sifalagö Gomo di Nias Selatan. Orang-orang Ono Niha memiliki pengetahuan unggul untuk teknik bangunan dan penggunaan dan pembuatan alat besi. Secara cepat mereka menjadi kelompok yang berpengaruh di daerah ini. Dari Gomo mereka tersebar ke seluruh pulau sampai semua orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha. Seiring dengan permulaan dan masuknya imigran “Niha”, maka berakhir pula penghunian gua Tögi Ndrawa. Tidak diketahui kalau suku tua yang lain di Nias menjadi punah atau berasimilasi dengan Ono Niha.
Tidak jelas dari mana suku Ono Niha berasal. Tapi banyak dari kedatangan pertama di Nias memiliki nama seperti Hia atau Ho, yang juga merupakan nama umum di Cina. Penelitian DNA menemukan, bahwa keturunan mereka ini (”niha“ atau suku ”manusia“) yang sekarang disebut “Ono Niha” (orang Nias) paling dekat dengan Taiwan dan Filipina.
2|Page
Tahun 1403 – 1424 dipengaruhi oleh Orang Cina Pada tahun 1416, tentara Dinasti Ming Cina di bawah komando Laksamana Zheng Ho (Haji Sam Po Bo) merebut wilayah di Sumatera yang berhadapan dengan Pulau Nias. Disitu mereka mendirikan penggergajian kayu dan mendirikan pelabuhan Singkuang yang berarti "Tanah Baru". Pelabuhan Singkuang terletak di sebelah selatan dari lokasi Sibolga(saat sekarang). Koloni Cina di Singkuang menjadi sangat berpengaruh ke Pulau Nias, dan banyak pedagang dari Singkuang akhirnya menetap di Nias.
Tahun 1513 – 1642 dipengaruhi oleh Orang Aceh Pada tahun 1513, atas perintah dari Sultan Ali Mughayat Syah, Kesultanan Aceh merebut dan menduduki beberapa pelabuhan di pantai barat Sumatera. Kapal dari Aceh juga sering menggerebek Nias, khususnya di utara. Sampai hari ini masih ada beberapa pantai yang dikenal sebagai Pantai Aceh dan dikenang sebagai pantai-pantai di mana perampok mendarat dan menculik orang Nias untuk menggunakannya sebagai budak. Pada tahun 1642 tujuh buah biduk (perahu layar besar) dari Aceh mendarat di pantai timur Nias. Sejak itu keturunan Polem berada di Nias, antara lain di Desa Mudik, Gunungsitoli
1668 VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) Perusahaan Hindia Timur Belanda Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) sampai di Indonesia pada tahun 1603. Hanya dalam beberapa tahun mereka mendominasi
perdagangan
di
tempat
yang
sekarang
adalah
Indonesia. Pada tahun 1668 VOC membuat kontrak dengan bangsawan dan desa-desa di Nias dekat daerah yang sekarang adalah Gunungsitoli dan Kepulauan Hinako di sebelah barat. VOC mendirikan pusat pertamanya di Nias di Gunungsitoli, di mana mereka membangun sebuah pelabuhan dan gudang-gudang. Pada tahun 1740 VOC meninggalkan Nias untuk selama-lamanya karena pengaruh perusahaannya di Asia Tenggara mulai memudar.
1750 perdagangan budak Budak selalu telah diambil dan ditahan oleh suku-suku Nias. Ketika desa berperang satu sama lain, musuh tawanan disimpan sebagai budak oleh para pemenang. Perampok Aceh juga datang ke Nias untuk menangkap orang yang mereka menjual sebagai budak di tempat lain. Tapi hanya mulai
3|Page
pada tahun 1750, orang-orang Nias sendiri terlibat aktif dalam perdagangan budak. Orang bangsawan Nias mulai menjual musuh-musuh yang telah ditangkap dalam pertukaran untuk emas. Pada waktu itu banyak orang muda Nias dijual ke seberang laut, ke Aceh, Padang, Batavia (Jakarta), Malaysia, Seychelles, Reunion dll. Yang berperan disitu ialah para bangsawan di Nias. Melalui perdagangan budak mereka mengumpulkan kekayaan besar. Kekayaan ini yang digunakan untuk membangun beberapa arsitektur terbaik, patung-patung dan persenjataan di wilayah. Seratus tahun kemudian tercatat bahwa budaya Nias adalah salah satu masyarakat suku yang paling maju di Asia. Pada saat ini, budaya di Nias berputar di sekitar perang-perang, dan sebagian besar upaya dan sumber daya diarahkan ke pertempuran lain atau pembelaan terhadap serangan.
1821 ke 1832 pengaruh dari Eropa Selama waktu yang singkat setelah VOC meninggalkan Nias pada tahun 1776, orang Inggris mengambil alih pos perdagangan di Gunungsitoli. Tetapi segera ditinggalkan karena tidak cukup menguntungkan. Selama beberapa dekade tidak ada orang Eropa di Nias sampai 1821 ketika orang Inggris kembali mencoba untuk membangun diri di Nias. Namun Inggris hanya tinggal sampai 1825 ketika Belanda kembali untuk secara resmi mengambil kendali Nias. Pada saat ini Indonesia dijajah oleh Belanda dan dikenal sebagai Hindia Timur Belanda.
Pastor Vallon dan Pastor Bérard adalah misionaris Gereja Katolik pertama yang datang ke Nias. Vallon meninggal setelah 3 bulan tiba di Nias (1832). Kemudian menyusul Bérard, dan sesudah beberapa hari dia meninggal juga.
1840-1864 Penjajahan Belanda di Nias Selama puluhan tahun Belanda hanya menguasai ”Rapatgebied,“ wilayah kecil di s ekitar kota Gunungsitoli. Meninggalkan daerah ini untuk orang Eropa sangat berbahaya karena sering peperangan antar suku dan pihak pengayau. Pada tahun 1840 Belanda memutuskan untuk mencoba mengambil kendali seluruh pulau. Sejumlah pangkalan didirikan di sekitar pulau untuk peningkatan perdagangan serta kontrol militer di seluruh Nias. Namun kontrol itu terbatas pada benteng pertahanan dan daerah sekitar mereka. Pertempuran sporadis dan perang terus selama beberapa dekade, terutama di selatan. Di selatan juga adalah tempat tinggal beberapa kepala suku yang paling ganas dan paling kuat. Pertempuran besar dengan ribuan prajurit yang bertempur di bukit di belakang Lagundri. Desa Orahili terutama ganas, dan mereka melawan Belanda selama beberapa dekade. Kadang-kadang, benteng
4|Page
pertahanan dan pos perdagangan ditinggalkan saat mereka menjadi terlalu berbahaya dan mahal untuk dijaga. Orang Belanda sering membakar desa-desa sebagai pembalasan at as serangan yang dilakukan.
1843: Gempa Bumi & Tsunami di pantai Timur Nias Sebuah tsunami menghantam pantai timur Nias terutama mempengaruhi Gunungsitoli dan garis pantai di sebelah selatan kota. Banyak bangunan hancur oleh gempa dan tsunami yang berikutnya. Banyak bangunan Belanda termasuk benteng pertahanannya rusak.
1861: Gempa Bumi & Tsunami di pantai Selatan Nias Desa Lagundri dan pelabuhannya hancur, termasuk benteng Belanda di mana 16 tentara tewas. Sesudah bencana ini, prajurit dari desa Orahili menyerang benteng Belanda. Karena sebagian besar serbuk mesiu terusak oleh air laut, tentara Belanda tidak bisa melawan dan harus mengungsi, meninggalkan senjata dan perlengkapan di belakang.
1865: Kekristenan Misionaris Protestan pertama dari Jerman yang bernama E.L. Denninger tiba di Nias pada tahun 1865. Dia secara luas dikreditkan untuk membawa agama Kristen ke Nias. Di tahun-tahun pertama, kemajuannya sangat perlahan karena hampir mustahil untuk bepergian dengan aman dari Gunungsitoli. Butuh sembilan tahun sebelum Ono Niha yang pertama dibaptiskan. Setelah 25 tahun hanya ada 706 mualaf, tetapi agama Kristen telah mendapat kedudukan di pulau. Karena Nias utara adalah daerah pertama yang di bawah perintah jajahan, misionaris mendapat lebih sukses di sana daripada di selatan yang bergolak.
1900 -1914 Penjajahan Belanda secara lengkap Pada tahun 1900 Belanda mengirim kontingen pasukan besar ke Nias untuk mengamankan wilayah luar dari Gunungsitoli. Kontrol penuh untuk seluruh pulau hanya ditetapkan pada tahun 1914. Salah satu daerah terakhir yang 'ditenangkan' oleh Belanda di seluruh Indonesia.
5|Page
Salah satu dampak abadi kolonialisme Belanda adalah pembubaran struktur tradisional desa. Secara tradisional, desa-desa Nias dibangun di puncak-puncak bukit untuk tujuan pertahanan. Penjajah Belanda lalu membangun jaringan jalan di pulau dan memutuskan bahwa masyarakat setempat harus hidup di samping jalan tersebut. Ini memiliki dua tujuan: barang dari daerah-daerah terpencil bisa secara efektif diangkut kembali ke ibukota Gunungsitoli dan tentara Belanda bisa mudah menjangkau desa-desa kalau ada pemberontakan.
1907: Tsunami di Barat Laut Nias Pulau Wunga di pantai barat laut Nias dilanda oleh tsunami yang sangat kuat. Semua bangunan di situ hancur dan sekitar 100 orang meninggal di pulau itu.
1916 : Pertobatan Massal [Fangesa Sebua] Setelah Belanda menenangkan situasi seluruh Pulau Nias dan akses jalan ditingkatkan, misionaris bisa mencapai semua wilayah pulau. Jumlah orang yang mualaf ke kekristenan mulai perlahan-lahan meningkat. 1916 melihat lompatan besar dalam mualaf karena suatu peristiwa yang tidak biasa dikenal sebagai “Pertobatan Besar” (Fangesa sebua). Pertobatan Besar itu adalah gerakan konversi massal yang dimulai di desa Helefanikha, Idanoi, dekat Gunungsitoli dan kemudian tersebar secara cepat ke seluruh pulau. Penggerak utama di balik gerakan ini bukan orang misionaris tetapi mualaf lokal. Selama awalnya semangat keagamaan banyak praktek-praktek tradisional dilarang. Cukup dimengerti, pengayauan dan perbudakan dilarang. Tetapi aspek lain dari budaya Nias seperti pengibaran megalith dan ukiran patung kayu juga dilarang.
1942 – 1945: Pendudukan Jepang di Indonesia Selama Perang Dunia II, Jepang menduduki Indonesia yang pada saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda. Pada bulan April 1942 Belanda menyerah dan tidak lama setelah itu, Jepang tiba di Nias. Sebelum pendudukan itu, terjadi kejadian tragis di Nias. Pada perjan gkitan perang, Belanda telah menginternir semua orang Jerman yang ada di Indonesia. Ketika Jepang mendekati, Belanda mencoba
6|Page
untuk mengirim tawanan ke India di atas kapal kapal dagang "Van Imhoff". Dekat ke Nias Selatan, kapal itu diserang oleh pesawat Jepang. 412 warga sipil Jerman tewas dalam tragedi ini.
Awalnya, sebagian orang-orang Nias menyambut Jepang sebagai pembebas dari penguasa penjajah Belanda mereka. Perasaan ini berubah ketika orang-orang di Nias dipaksa bertahan banyak kesulitan untuk mendukung upaya perang Jepang. Dalam persiapan untuk invasi sekutu, Bunker dan benteng dibangun di sekitar pulau. Hari ini beberapa bunker ini masih dapat dilihat; di sekitar Gunungsitoli dan juga di Nias Utara dan Selatan. Pada bulan Agustus 1945 Jepang menyerah, tetapi butuh beberapa minggu sebelum berita, bahwa perang telah berakhir, mencapai pulau..
1975: Kepariwisataan Sejak tahun 1930-an kapal-kapal pesiar kecil telah secara teratur mengunjungi Nias. Mereka biasanya berhenti di selatan dan mengunjungi desa-desa tradisional. Desa-desa setempat kadang-kadang juga melakukan pertunjukan untuk pengunjung yang datang. Ini adalah pariwisata pertama di Nias, tetapi itu terbatas pada beberapa kunjungan per tahun. Di tahun 1970-an, Kapal Prinsendam dari "Holland America Line" dari bulan Oktober sampai bulan Maret setiap tahun datang ke Telukdalam, setiap sabtu kedua, membawa banyak wisatawan. Tetapi kunjungan datang hanya beberapa jam saja. Pariwisata nyata dimulai pada tahun 1975 ketika tiga peselancar Australia datang ke Pantai Lagundri di Nias selatan mencari gelombang. Di Sorake mereka menemukan salah satu gelombang selancar yang terbaik, dan paling konsisten di dunia. Sejak tahun 1980-an Pantai Sorake telah menjadi tujuan selancar terkenal. Namun karena keterpencilan pulau dan kurangnya infrastruktur, pariwisata tidak pernah benar-benar dikembangkan selain dari menjadi tujuan bagi peselancar yang paling ekstrim.
7|Page
10 November 1995 Diletakkan Batu Pertama Pembangunan Museum Pusaka Nias di Gunungsitoli.
2004: Tsunami di Aceh dan Nias Tsunami melanda Pulau Nias pada 26 Desember 2004. Pantai barat menanggung beban kehancuran dengan 118 korban jiwa, dan semua masyarakat pesisir terkena dampak. Banyak perahu di sepanjang pantai dihanyutkan ke laut dan rumah dibanjiri oleh air laut.
2005: 2005: Gempa Bumi di Nias Pada tanggal 28 Maret 2005, sebuah gempa bumi dengan kekuatan 8,5 melanda di Pulau Nias. Banyak bangunan runtuh yang mengakibatkan lebih dari 900 orang tewas dan ribuan terluka. Infrastruktur di pulau rusak parah dan banyak masyarakat menghadapi keterpencilan.
Terlepas dari hilangnya nyawa dan kehancuran, gempa juga mengubah lanskap pulau. Karena tanahnya terangkat akibat gempa, seluruh pulau miring pada sisinya. Ada catatan bahwa tanah terangkat hingga 2,9 meter di sudut barat laut pulau. Hal ini menyebabkan perubahan dramatis ke garis pantai; pulau-pulau meningkat hingga sepuluh kali dalam ukuran dan pulau-pulau baru muncul di mana sebelumnya tidak ada.
2005 – 2010: Membangun kembali Nias Pada akhir tahun 2005 setelah selesai operasi penyelamatan, tahap rekonstruksi mulai. Diantara tahun 2005 dan tahun 2010 banyak organisasi internasional dan organisasi Indonesia masuk ke dalam upaya besar untuk membangun kembali Nias. Periode ini kadang-kadang disebut 'era LSM' di Nias. Organisasi seperti Palang Merah, UNICEF, OXFAM, ILO, AUSAID dan Caritas (dan banyak lagi) mengirim staf untuk membantu membangun kembali Nias. Selain dari beberapa misionaris, ini adalah pertama kalinya orang asing telah bekerja di Pulau Nias sejak kepergian orang Belanda. Dana dan bantuan teknis mengalir ke Nias dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Museum bekerja
8|Page
sama dengan komunitas pembangunan selama waktu ini, terutama dalam rehabilitasi ratusan rumah tradisional dan situs budaya.
Selama gerakkan nasional otonomi daerah yang lebih besar di Indonesia, diputuskan untuk membagi administrasi Pulau Nias menjadi empat kabupaten dan satu kota. Kabupaten-kabupaten baru diresmikan antara tahun 2008 dan 2009. Ini berarti bahwa banyak keputusan akan dibuat oleh pemerintah daerah dan tidak lagi dari pemerintah pusat di Jakarta.
Nias hari ini Sebagai hasil dari upaya besar untuk membangun kembali Nias, infrastruktur pada hari ini lebih baik daripada yang pernah ada sebelum gempa. Salah satu sudut yang paling terpencil di Indonesia sekarang sudah terhubung dengan seluruh negara. Sementara masih dianggap terpencil, sekarang mudah untuk melakukan perjalanan ke Nias. Dan sebagian besar pulau dapat ditempuh secara relatif mudah. Banyak aspek kehidupan seperti kesehatan dan pendidikan secara perlahan bertambah baik. Kegiatan ekonomi seperti pariwisata sedang mengalami peningkatan. Di antara masyarakat ada peningkatan minat dalam warisan budaya Pulau Nias dan pentingnya melindungi itu untuk generasi ke masa depan.
9|Page
ORANG NIAS BERBAGAI SUKU DI NIAS
Pulau (Nias) ini diduduki oleh sejumlah besar sukusuku.“ Beginilah ditulis oleh Edrisi pada tahun 1154. Edrisi lahir pada tahun 1099 di Ceuta, studi di Cordua, kemudian mengadakan perjalanan panjang dan akhirnya menetap di Sisilia. Untuk raja itu dia menulis suatu buku geografis yang cukup tebal. Antara lain Edrisi menulis tentang pulau Niyan (Nias), bahwa “padat penduduknya”, bahwa disitu ada “satu kota besar” dan bahwa “pulau ini diduduki oleh sejumlah besar suku-suku.”
Tradisi lisan di Gomo menyebut 6 leluhur atau suku yang diturunkan dari Ibu Sirici. Mereka ini tergolong sebagai penghuni pertama di pulau Nias. Mereka ini secara singkat diuraikan dalam silsilah orang-orang Nias oleh dua Misionaris, Sundermann dan Thomas, sesuai dengan tradisi lisan pada waktu itu, sekitar pada tahun 1885 . Kedua misionaris itu menyebut 2 pohon silsilah (tambo). Pohon pertama menyebut penghuni asli Nias yang dinilai kurang manusiawi atau seperti hantu dan roh jahat. Dan baru kemudian diuraikan keturunan yang sungguh manusia (niha) dalam pohon kedua. Orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha (anak-anak dari manusia) dan pulau tanah air mereka disebut Tanö Niha (tanah manusia).
10 | P a g e
Penghuni Nias Yang Pertama Grup Etnis dari bawah (niha moroi tou) Inilah manusia dari dunia bawah [moroi ba mbanua tou], penghuni gua yang tergolong periode awal Mesolitikum. Mereka menganut budaya epi-paleolitik (Hoa Binh) yang terkenal dari Vietnam. Terbukti melalui ekskavasi di Gua Tögi Ndrawa di dekat Gunungsitoli pada bulan Agustus 1999 oleh Museum Pusaka Nias bekerjasama dengan Universitas Airlangga.
Ekskavasi berikut oleh Balai Arkeologi Medan. Tögi Ndrawa, artinya: Gua Orang Asing. Gua ini sudah dihuni lebih 12.000 tahun yang lalu. Leluhur mereka disebut Latura Danö atau Nazuwa Danö atau Ba’uwa Danö. Ada beberapa variasi namanya. Masalahnya, dalam penelitian DNA patriliniar (Y-Chromosom) keturunan mereka tidak ditemukan. Gen mereka belum ditemukan pada masyarakat Nias yang hidup saat ini.
Grup Etnis yang berkulit putih (niha safusi) Leluhur mereka Bela, dan mereka disebut Ono Mbela (anak dari Bela). Ekskavasi di Gua Tögi Ndrawa dilakukan, karena tradisi lisan bicara tentang manusia gua. Ternyata benar. Tradisi lisan tidak boleh diremehkan. Lebih banyak lagi tradisi lisan bicara tentang suku Ono Mbela, yaitu manusia yang hidup di atas pohon. Mereka pemilik hutan dan marga satwa di rimba (sokhö utu ndru’u). Manusia dari etnis atau suku lain yang hendak memburu di hutan, harus minta izin dari mereka dengan memberi persembahan (sesajen). Pada tahun 1985 masih dapat dilihat persembahan yang diletakkan di bawah pohon.
Grup Etnis di Sungai (cuhanaröfa) Leluhur mereka oleh tradisi lisan di Nias disebut Cuhanaröfa.
Grup Etnis dengan kepala besar (sebua gazuzu) Leluhur mereka Nadaoya, yang dipandang juga sebagai roh jahat atau iblis yang memangsa.
11 | P a g e
Grup Etnis di Sebelah bawah air terjun (sihambula) Disebut juga Sihambula yang tinggal di sebelah bawah air terjun dan Awuwukha, yang tinggal di jurang terjal.
Grup Etnis di sebelah bawah air (barö nidanö) Tiada kemungkinan, orang hidup di bawah air. Besar kemungkinan, orang yang dimaksudkan disini adalah orang atau satu suku yang tenggelam dalam Tsunami. Bagi mereka ini dipakai juga istilah Bekhu Nasi (hantu laut). Ternyata, bahwa suku Niha (manusia) yang menuturkan tradisi lisan, mengutamakan sukunya sendiri dan tidak mau membuang untuk menceriterakan kepada kita berita tentang penghuni pertama di pulau Nias. Siapakah orang-orang ini dan apakah mereka benar-benar ada? Sudah pasti ada orang-orang di pulau, sebelum kelompok etnis saat ini tiba. Hal ini dikonfirmasi oleh catatan sejarah dan penelitian arkeologi. Beberapa kelompok yang dijelaskan ini mungkin hanya cerita mitologi, tetapi yang lain, terutama orang yang tinggal di gua dan di pohon, memang ada. Mereka kemungkinan adalah kelompok suku Austronesia yang telah diisolasi di Nias. Beberapa orang Nias sekarang memiliki rambut keriting, yang mungkin merupakan hasil gen dari penghuni-penghuni pertama di Nias.
Penghuni Nias yang disebut Niha (manusia) Menurut mitologi mereka, orang-orang Nias awalnya, hidup di dunia atas (surga), dan nenek moyang asli menurunkan mereka ke bumi (Pulau Nias).
Grup Etnis dari atas (moroi yaŵa): Niha (manusia) Ibu Nazaria menurunkan satu orang leluhur dari grup manusia itu. Belum jelas siapa dia itu, entah Ho atau Hia atau Hia-Ho. Dalam Hoho disebut: Ho pada awal mula (Ho ba mböröta). Penelitian DNA menemuka kesamaan suku Nias dengan suku-suku di Filipina dan Taiwan. Sedangkan suku-suku asli di Taiwan berasal dari Yunan, Cina Selatan.
12 | P a g e
Dalam ke-2 silsilah tertua yang ditulis oleh Sundermann dan Thomas diakui, bahwa sudah ada suku-suku lain di Nias, sebelum suku Niha datang. Grup Manusia ditaksir masuk ke Nias sekitar tahun 1350 M. Mereka ini membawa kemajuan di sektor: pertanian, peternakan, teknik menenun, pertukangan kayu, pandai besi, tukang emas yang datang dari Padang Lawas Sumatra, arsitektur rumah, adat-istiadat/budaya, penghormatan terhadap orangtua dan para leluhur, patung leluhur, budaya megalitik, silsilah, dll.
Mengingat bahwa pada waktu itu dinasti Ming menguasai laut di Asia Tenggara sampai ke Afrika, mengingat juga bahwa pada waktu itu di Singkuang, kota di muara sungai Batang Gadis yang berhadapan dengan Nias, terdapat suatu koloni orang Cina serta satu galangan kapal (lih. buku Tuanku Rao), maka sangat mungkin suku Niha di Nias berasal dari situ. Terdapat cukup banyak indikasi untuk teori itu. Sebagai suatu perbandingan kita dapat melihat suku Mandailing, yang merupakan suatu suku campuran antara Jawa, Cina dan Bugis. Para leluhur suku Niha yang terkenal adalah Ibunda Siraso, Hia dan Ho. Mereka berdomisili di Sifalagö Gomo. Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Sifalagö Gomo menemukan bukti kehadiran Niha di Sifalagö Gomo pada tahun sekitar 1350 atau sekitar 600-700 tahun yang lalu.
Imigrasi sebelum Hia? Leluhur Daeli, terhitung 42 generasi dalam silsilah. Leluhur Ho, terhitung 56 atau 59 generasi dalam silsilah. Leluhur Sihai, Sirao, Luomewöna terhitung l/k 60 generasi dalam silsilah untuk marga Zebua . Leluhur Gözö/Baeha, terhitung ca. 40 generasi oleh marga Baeha di Lahewa.
Leluhur Daeli berdiam di Tölamaera, Idanoi, dan Gözö di dekat muara sungai Muzöi. Ama Waigi Hondrö di desa Onohondrö menyebut juga suatu rumusan kuno: ”Siwa götö niha me löna so Hia.“ Artinya: 9 generasi sebelum ada Hia. Maka kita harus mengurangi sekitar 225 tahun dari tahun kelahiran Hia. Dengan melihat banyaknya generasi dari para leluhur di sebelah atas, maka kita harus memperkirakan kedatangan para leluhur itu jauh sebelum Hia. Dengan menghitung 25 tahun untuk satu generasi, imigrasi mereka boleh jadi sbb.: Daeli pada tahun ± 950 M , Ho pada tahun ± 600 M, Sihai/Zebua pada tahun ± 500 M, Gözö pada tahun ± 1000 M.
13 | P a g e
Perhitungan ini tidak bermaksud untuk membenarkan angka-angka generasi dalam silsilahsilsilah tersebut di atas. Hanya menggambarkan suatu skenario untuk penelitian lebih lanjut atas sejarah para leluhur di Nias. Rumusan kuno berbunyi: Ladada raya Hia, lafailo yöu Gözö, ladada Ho ba ndroi Gaidö, ya'ia börö zanatulö. Hia diturunkan di Selatan, Gözö diturunkan di Utara, Ho diturunkan di lembah Gidö, dia itu sumber perdamaian.
Kelompok etnis lain di Nias Suku Polem dari Aceh Pada tahun 1639, Iskandar Muda meninggal di Aceh. Tiga tahun sesudah itu, tahun 1642, suku Polem dari Aceh masuk ke Nias dengan memakai 7 biduk. Mereka berlabuh di beberapa tempat di pantai Timur pulau Nias, antara lain di muara sungai Idanoi yang sejak itu disebut Luaha Laraga. Keturunan mereka ditemukan di desa Mudik dan juga di To’ene. Peninggalan dari zaman itu adalah 2 meriam besar yang dapat dilihat di Pendopo di Gunungsitoli dan di depan mesjid tert ua di Mudik.
Suku orang Bugis Suku Bugis terkenal sebagai perantau. Dalam tradisi lisan Nias terdapat beberapa petunjuk tentang kehadiran mereka di pulau Nias: Laowö Maru di sebelah selatan Gunungsitoli, Masa di hulu sungai Oyo (Ulu Noyo), Bahoya di Mazinö dan Bekhua di Telukdalam. Tetapi kini, mereka tidak ada lagi di situ. Keturunan mereka sampai sekarang ditemukan di Pulau Hinako, dan Sirombu dan di Pulau Tello. Di Nias, Bahasa Bugis disebut li mbekhua. Mereka sudah lama meninggalkan bahasa mereka sendiri. Namun bahasa itu masih tersisa dalam nama-nama pulau, u.p. nama Pulau Tello. Dulu di Makassar terdapat satu kerajaan dengan nama Tello. Suku Bugis di Hinako pernah diserang oleh orang Aceh dan hampir seluruh warganya dibunuh oleh orang Aceh. Keturunan orang Bugis masih ada di kepulauan Hinako, nama marga adalah Marunduri dan Maru'ao.
14 | P a g e
Orang Cina (Tionghoa) Orang-orang Cina telah datang ke Nias sebagai pedagang selama ratusan tahun dan banyak dari mereka telah menetap di pulau. Keluarga-keluarga Cina telah tinggal di kota-kota dan desa-desa yang lebih besar di sepanjang pantai selama beberapa generasi. Di Gunungsitoli ada banyak orang keturunan Cina. Contoh marga orang Cina yang ada di Nias adalah; Lim (Halim), Thio, Wong, Tan dan Gho.
Bahasa Nias Bahasa ini sangat tua dan unik, belum diketahui dari mana asal usulnya dan belum dapat digabungkan dengan bahasa-bahasa lain dalam satu rumpun atau keluarga bahasa. Diandaikan bahwa setiap suku baru yang berimigrasi ke Nias, lama-kelamaan meninggalkan bahasa mereka sendiri dan kemudian memakai bahasa Nias (bahasa penduduk yang sudah kian hadir di situ). Contoh terbaru ialah orang Bugis di Hinako. Sekitar tahun 1800 mereka meninggalkan bahasa Bugis. Begitu juga keturunan Polem yang beradaptasi di Nias dan berbicara bahasa Nias. Contohnya di desa Mudik. Namun seringkali masih terdapat relik-relik dari bahasa ibu sendiri yang dipertahankan.
Saat ini ada sekitar satu juta penutur bahasa Li Niha. Ini termasuk 700.000 orang Nias etnis yang tinggal di pulau serta beberapa ratus ribu orang Nias yang tinggal di tempat lain di Indonesia.
Adat-istiadat dan hukum (hada, böwö, huku, agama) Secara umum diakui, bahwa adat-istiadat (hada, böwö) kita di Nias berasal dari Gomo. Tetapi ini tidak berarti, bahwa masyarakat Nias seluruhnya berasal dari Gomo. Pokok dari adat-istiadat seluruhnya adalah adat perkawinan (böwö ba wangowalu). Bagian lain yang sangat penting adalah hukum yang dirumuskan pada pesta Fondrakö. Bagian lain lagi ialah agama para leluhur, yakni penghormatan terhadap orang tua (pemujaan leluhur). Segala-galanya disampaikan dengan doa dan persembahan kepada orang tua yang telah meninggal atau kepada para leluhur. Segala-galanya dimohon dengan doa dari mereka.
15 | P a g e
Struktur masyarakat Nias adalah patrilineal. Yang termasuk dalam suatu clan atau marga adalah semua orang yang berasal dari seorang leluhur laki-laki (si sambua mo’ama). Perkawinan adalah exogamy. Putri-putri dikawinkan dengan suku lain. Atau pengantin perempuan diambil dari suku lain dengan melunasi mas kawin yang cukup tinggi. Dalam hal ini sangat penting untuk memperhatikan pihak Iwa (saudara ayah calong mempelai perempuan) dan uwu atau sibaya (saudara dari ibu mempelai perempuan) dihitung 8 generasi kembali. Orang Nias mengubah nama mereka ketika mereka memiliki anak. Mereka mengambil nama anak pertama yang lahir, terlepas jika itu adalah anak laki-laki atau perempuan. Orang tua laki-laki menambahkan "Ama" (Ayah) dan perempuan menambahkan "Ina" ( Ibu). Sebagai contoh jika pasangan memiliki anak disebut Sökhifao, orang tua akan dikenal sebagai Ama Zökhi dan Ina Zökhi. Teman dan keluarga akan menggunakan nama ini, sementara nama sebenarnya hanya digunakan untuk tujuan resmi. Tradisi ini masih digunakan di Nias saat ini.
Hirarki Desa Orang-orang Nias mempunyai struktur hirarki dan dibagi dalam tiga kelas; bangsawan, orang biasa dan budak. Setiap kelas memiliki tingkat yang berbeda. Para ketua adalah yang tertinggi dari para bangsawan, hampir lebih dekat dengan para dewa dari manusia. Berikutnya adalah bangsawan yang terlibat dalam pimpinan. Pangkat rakyat biasa itu lebih fleksibel dan tergantung pada kekayaannya (emas, babi dan budak) dan kemampuan untuk memberikan pengorbanan yang diperlukan untuk pesta adat (owasa). Budak dibagi dalam tiga tingkat; tahanan dari perang, orang yang tidak bisa membayar hutang mereka, dan penjahat dengan hukuman mati yang telah diampuni. Tawanan perang adalah kategori terendah dan kadang-kadang dikorbankan ketika sebuah kepala diperlukan untuk kegunaan upacara.
Sebuah Masyarakat prajurit Sekitar abad ke-11 ketika budak-budak menjadi komoditas, Pulau Nias sering diserbu oleh orang luar. Akhirnya kepala suku Nias juga terlibat dalam perdagangan, dengan menjual musuh yang ditangkap dalam pertukaran untuk emasUntuk waktu yang lama, masyarakat Nias hidup dalam keadaan konflik yang terus-menerus. Sering di keadaan membela diri terhadap perampok budak atau terlibat dalam peperangan antar suku. Masyarakat Nias mengembangkan sebuah budaya perang, berfokus pada membangun pertahanan dan membuat
16 | P a g e
senjata. Pemuda-pemuda dibesarkan untuk menjadi prajurit yang ganas dan pelatihan dimulai pada usia dini. Sebagai hasilnya Nias memiliki pejuang-pejuang kuat, tukang ahli pembangun dan tukang besi, tetapi petani atau nelayan yang kurang terampil.
Menjadi prajurit tidak berarti bahwa orang itu selalu harus berjuang. Perencanaan strategis dan licik adalah keterampilan penting dalam masyarakat Nias. Strategi politik olah gerak antara desa dan öri adalah bagian dari perebutan kekuasaan yang konstan. Misalnya sebuah desa bisa berpihak dengan pasukan Belanda untuk menyerang mengalahkan musuh, hanya untuk beralih sisi kemudiannya. Siapa pun yang bisa membujuk orang lain untuk melakukan penawaran mereka dengan kata -kata saja adalah orang yang sangat dihormati. Seni pidato itu sangat dihargai, dan sampai hari ini orang Nias adalah sangat terampil pembicara publik dan memiliki keterampilan politik alami.
MARGA-MARGA NIAS Di Nias ada sekitar seratus marga. Ini adalah sebagian dari marga yang terkenal:
HIA Berasal dari Börönadu, Gomo, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Nias Barat.
TELAUMBANUA Berasal dari Idanoi, Gunungsitoli. Sekarang tinggal di Gunungsitoli, Sawo dan Gomo.
GULÖ Berasal dari Sungai Gidö, Nias. Sekarang tinggal di Gidö, Mau dan Mandrehe.
ZEBUA Berasal dari Laraga-Ononamölö-Tumöri, Gunungsitoli. Sekarang tinggal di Tumöri, Gunungsitoli dan Mandrehe.
HAREFA 17 | P a g e
Berasal dari Onozitoli, Gunungsitoli. Sekarang tinggal di Namöhalu, Lotu dan Gunungsitoli.
DAELI Berasal dari Onolimbu, Lahömi, Nias Barat. Sekarang tinggal di Nias Barat.
DUHA Berasal dari Negeri To'ene, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Teluk Dalam.
HULU Berasal dari Gomo, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Alasa.
LAIA Berasal dari Gomo, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Lölöwau, Gidö dan Lölömatua.
WARUWU Berasal dari Sungai Gidö, Nias. Sekarang tinggal di Mau dan Mandrehe.
Marga-marga yang lain: Dachi, Halawa, Mendröfa, Ndruru, Gea, Zalukhu, Zega, Zendrato, Lase, Laoli.
18 | P a g e
ISTIADAT NIAS Dibandingkan dengan pulau-pulau tetangga lain di Sumatera, budaya Pulau Nias telah mengembangkan dengan jelas tradisi dan adat istiadat unik. Beberapa tradisi ini berhubungan dengan pemujaan leluhur sebelum kekristenan dan sebagian besar ini telah lenyap. Adat-adat lainnya seperti perbudakan dan pengayauan juga telah dihapuskan ketika Pulau Nias bergabung dengan dunia modern. Tetapi banyak adat istiadat Nias masih dipraktekkan, seperti lompat batu, upacara pernikahan dan terutama sekali, tarian tradisional dan musik.
Lompat batu Lompat batu (Hombo Batu) adalah praktek budaya Nias yang unik. Ini juga terkenal oleh orang Indonesia karena, upacara lompat batu Nias digambarkan pada uang lama seribu rupiah. Awalnya upacara lompat batu adalah sebagian dari ritual inisiasi
pria muda untuk
diterima sebagai orang dewasa dan prajurit. Ketinggian piramida batu lompat itu adalah di antara 1,8 meter sampai 2,2 meter. Lompat ini dilakukan tanpa alas kaki dan latihan berulang-ulang diperlukan sebelum mencoba lompat ini. Keterampilan untuk melompat benda yang tinggi dikembangkan sebagai teknik pertempuran. Dalam serangan mendadak, prajurit bisa melompati tembok pertahanan di desa musuh. Banyak desa di selatan masih memiliki susunan batu untuk upacara ini.
Penghormatan para leluhur Dibuat patung dari kayu untuk orangtua yang baru meninggal. Patung itu diresmikan pada hari keempat sesudah kematian. Kemudian roh orang tua hadir dalam patung itu (pemujaan leluhur). Segala peristiwa
yang
terjadi
di
dalam
satu
keluarga
disampaikan dengan doa kepada mereka.
Mengayau Seorang laki-laki baru boleh nikah, kalau sudah memenggal kepala orang. Pada tahun 851 Sulayman sudah mencatat tradisi ini. Kebutuhan Binu (kepala manusia), menurut kepercayaan orang Nias dibutuhkan Binu pada berbagai kesempatan. Kalau ayah sudah meninggal harus ada beberapa Binu sebagai pelayan baginya.
19 | P a g e
Kalau mendirikan rumah adat besar tengkorak seorang laki-laki ditanam di sebelah bawah tiang rumah di ujung kanan, dan tengkorak seorang perempuan ditanam di sebelah bawah tiang rumah di ujung kiri. Kalau hendak mendirikan satu megalit di depan rumah, harus ditanam satu Binu di sebelah bawah. Untuk mengesahkan hukum adat (fondrakö) harus ada Binu, s eorang budak dibunuh.
Pemakaman Pada tahun 1908 pemerintah Belanda perintahkan, bahwa mayat-mayat harus dikubur. Sebelumnya diletakkan di atas satu bagan atau para-para yang tinggi. Sesudah dua atau tiga minggu kepala dari mayat itu diambil, dibersihkan dan diletakkan di dalam satu peti tengkorak dekat rumah. Mayat-mayat orang biasa kadang juga digantung pada pohon dengan memakai kursi bambu sederhana.
Pesta dan upacara Di masa lalu ada banyak pesta dan upacara untuk merayakan berbagai aspek keluarga dan kehidupan beragama. Beberapa perayaan-perayaan ini lenyap ketika mayoritas orang Nias menjadi Kristen. Tetapi masih ada lain yang dirayakan dalam berbagai bentuk:
Pesta hukum adat (Fondrakö) Hukum adat dirumuskan dan disyahkan dalam upacara yang disebut Fondrakö. Pesta hukum itu secara periodis dibaharui. Hukum adat (fondrakö) tersebut disahkan dan ditetapkan dengan sumpah kutuk. Orang yang melanggar hukum itu dikutuki (larakö). Kerasnya hukuman tergantung dari apa pelanggaran yang dilakukan. Untuk setiap pelanggaran ada hukuman khusus. Hukuman bisa
20 | P a g e
berkisar dari membayar denda ke penghukuman mati. Denda bisa dibayar dengan beras, daging babi atau emas. Hukuman mati bisa dilakukan oleh penembakan, tenggelam atau dengan pedang. Hukuman mati bisa diubah untuk kehidupan dalam perbudakan jika denda yang besar dibayar, atau jika terpidana diampuni oleh bangsawan.
Pesta-pesta Adat Adat dalam bahasa Nias disebut Hada atau Böwö, yaitu adat istiadat. Hidup manusia seluruhnya diatur menurut böwö orang Nias. Dan salah satu böwö yang sudah diatur yaitu Böwö Wangowalu (adat perkawinan).
Pesta Perkawinan Perkawinan di Nias adalah eksogami. Mempelai pria harus melunasi emas kawin kepada semua pihak yang punya hubungan famili dengan mempelai wanita itu, terutama kepada pihak ibunya (uwu). Kemudian di dalam desa sendiri masih diharapkan supaya mempelai pria mengadakan satu pesta untuk seluruh warga. Pesta itu merupakan syarat kalau di kemudian hari hendak diadakan pesta jasa (owasa). Kalau mempelai pria tidak memberi pesta dalam desanya, dia tetap dianggap sebagai anak-anak [iraono], sekalipun ia sudah tua secara umur, dan tidak punya hak suara dalam desa. Biaya utama dari pesta pernikahan waktu itu dan masih sampai hari ini adalah pembayaran sebanyak babi yang dibutuhkan untuk pesta. Sampai hari ini, biaya pesta pernikahan merupakan beban besar pada pasangan muda yang berencana untuk menikah.
Pesta Jasa (Owasa & Fa’ulu) Alasan-alasan untuk mengadakan pesta adat atau pesta jasa (owasa) adalah: perkawinan, mendirikan rumah baru, mendirikan salah satu megalit, mengadakan perhiasan emas, sudah berumur atau sebelum menghadap ajal. Seluruh warga desa dijamu pada pesta owasa. Siapa pun di desa yang mampu biayai untuk membeli babi yang diperlukan untuk upacara itu, bisa menyelenggarakan owasa. Orang yang menyelenggarakan owasa diusung dalam desa dan kepadanya diberi nama yang mulia. Kemudian osa-osa batu atau tugu batu lainnya didirikan di depan rumahnya.
21 | P a g e
Perarakan Harimau. Pada zaman dulu di wilayah Maenamölö, Nias Selatan ada sebuah upacara di mana patung harimau diusung dan diarak keliling. Karena tidak ada harimau di Nias, patung itu (Adu Harimao) tampak lebih seperti anjing berkepala kucing. Upacara sakral ini digelar sekali setiap tujuh atau empat belas tahun. Usungan patung harimau itu kemudian dipatahkan dan patung harimau dibuang di sungai. Upacara tersebut dinamakan ‘Famatö Harimao’. Masyarakat lokal percaya bahwa semua dosa yang mereka lakukan selama tahun-tahun sebelumnya akan hanyut bersama dengan patung. Karena sebagian besar dari Orang Nias menjadi Kristen, upacara Famatö Harimao tidak lagi dirayakan. Dalam upaya untuk melestarikan dan merevitalisasi budaya lokal, upacara perarakan ini kadang-kadang dilakukan di Nias Selatan di acara-acara tertentu. Hari ini, upacara telah berubah nama menjadi 'Famadaya Harimao' (perarakan patung harimau).
Babi Orang Nias tidak punya kerbau atau lembu. Mereka juga tak punya sapi. Binatang peliharaan yang paling penting ialah babi. Pada segala peristiwa dibutuhkan babi, segala pesta adat, setiap perkara dan perdamaian, pesta hukum [fondrakö], setiap tahap dalam pembangunan satu rumah adat, setiap peristiwa pribadi dalam suatu keluarga, kelahiran anak dan pemberian nama, berbagai jenis persembahan, u.p. sebelum pergi memburu, pada penyakit dan kalau imam berdoa, lagi pada kematian seseorang, juga dalam peristiwa mengayau. Tak ada sesuatu pun yang dapat diselesaikan dan disyahkan tanpa menyembelih babi. Tiada peristiwa dan pesta tanpa babi.
22 | P a g e
Warna, lambang dan pola Nias Warna Nias adalah merah, kuning dan hitam. Arti dari warna adalah: 1.
Kuning (emas): mewakili kekayaan, kemuliaan dan kesuksesan.
2.
Merah (darah): mewakili keberanian dan keganasan pendekar Nias, serta marga mereka dan keluarga.
3.
Hitam (tanah): mewakili tanah air mereka dan tanah yang subur di Nias, serta ketabahan dari orang-orang biasa.
Pakaian tradisional selalu menggunakan kombinasi dari tiga warna tersebut. Perempuan dari selatan memakai pakaian yang didominasi warna kuning, sementara perempuan di utara memakai pakaian yang didominasi warna merah. Pakaian tradisional juga menggabungkan pola dan lambang desain tertentu. Yang paling biasa digunakan adalah deretan corak segitiga, yang disebut 'Ni'ohulayo'. Bentuk segitiga menyerupai kiat tombak dan pola ini melambangkan semangat kepahlawanan dari Orang Nias. Pola ini tidak hanya digunakan dalam pakaian tradisional, namun saat ini sering dikaitkan dengan budaya atau apapun yang mewakili Nias. Ada sejumlah lambang dan pola ikonik dalam budaya Nias yang dapat dilihat pada pakaian tradisional, karya batu dan ukiran kayu di rumah-rumah tradisional.
Pakaian Pakaian tradisional Nias dinamakan "Baru Oholu" untuk pakaian pria dan "Baru Ladari" atau "Baru Isitö" untuk pakaian wanita. Pakaian tradisional biasanya merah atau kuning dan dikombinasikan dengan warna hitam dan emas. Pada zaman dulu orang-orang di Nias tidak memiliki akses ke tekstil seperti kapas. Mereka membuat pakaian dari kulit pohon atau dengan menenun serat-serat dari kulit pohon atau rumput. Pakaian laki-laki terdiri dari rompi yang pada dasarnya cokelat atau hitam dan dihiasi ornamen kuning, merah dan hitam. Pakaian wanita hanya terdiri
23 | P a g e
dari selembar kain yang melilit pinggang dan tanpa baju atas, tapi dihiasi dengan gulungan gelang kuningan dan anting besar. Kulit kayu dari pohon oholu untuk membuat cawat (saombö) dan rompi (baru oholu) untuk laki-laki. Rompi juga bisa dibuat dari serat kulit pohon disebut isitö. Itu dipercaya bahwa siapa pun mengenakan pakaian tenun dengan serat isitö menjadi sangat kuasa. Jaket dan rompi yang berkualitas lebih rendah terbuat dari serat rumput disebut ladari. Serat isitö juga digunakan untuk menenun rok (U'i) dan kain untuk wanita. Katun lembut (afasi niha) yang jarang digunakan bisa dipintal dan ditenun untuk menutupi bagian-bagian tertentu.
Pakaian kain kapas yang dibuat di Nias (afasi niha) sangat langka dan hanya bisa diperoleh oleh bangsawan. Akhirnya tekstil dari dunia luar sampai di Nias dan banyak orang mulai menggunakan bahan-bahan baru. Para wanita tidak lagi tanpa baju atas dan memiliki pakaian yang terbuat dari katun dan kain belacu atau bahkan sutra untuk wanita bangsawan. Lebih warna-warni mulai digunakan; terutama merah dan kuning dengan warna hitam dan emas sebagai rincian desain overlay.
Perhiasan dari Nias Secara tradisional laki-laki dan perempuan memakai banyak perhiasan terutamanya bangsawan. Akun sejarah tertulis pertama dari Nias menyebutkan bahwa masyarakat setempat memakai banyak perhiasan emas. Hiasan yang paling penting bagi pria adalah kalung yang terbuat dari tempurung kelapa atau tempurung kura-kura, yang disebut 'Kalabubu'. Ini hanya bisa dipakai oleh pendekar yang telah membuktikan diri dalam pertempuran. Bangsawan dan kepala suku memakai hiasan kepala yang besar. Pria memakai anting-anting hanya di telinga kanan. Di bagian utara, anting-anting ini besar sekali dan hampir sebesar kepala pria. Sebuah penghiasan yang sangat unik di Nias adalah kumis logam yang dipakai oleh pendekar.
24 | P a g e
Wanita memakai perhiasan emas, kuningan, tembaga, kerang dan manik-manik. Seringkali anting-anting dan gelang berukuran besar sekali. Terutama kalau dibandingkan dengan yang dipakai saat ini, seperti anting Saru Dalinga. Versi yang lebih kecil dari desain yang sama adalah yang dipakai hari ini, terutama di pesta pernikahan. Penghiasan wanita memiliki perbedaan dari daerah ke daerah. Karena itu, dari melihat foto-foto sejarah bisa dikatakan di mana foto tersebut diambil dari melihat perhiasan perempuan.
Mengunyah sirih pinang: Manafo dan Bola nafo Seperti di banyak tempat di Asia, mengunyah sirih adalah sesuatu yang biasa di Nias. Tradisi ini disebut sebagai "manafo". Lima bahan yang digunakan; daun sirih (tawuo), kapur (betua), gambir (gambe), tembakau (bago), dan pinang (fino). Ramuan dari lima bahan ini disebut "Afo". Karena tradisi ini sangat hidup, "manafo" dianggap sebagai satu simbol budaya Nias dan sering menjadi bagian di acara tradisional di Nias, seperti upacara menyambut pengunjung penting. Di upacara penyambutan ini tamu akan ditawarkan sirih, dari tas anyaman indah yang dikenal sebagai Bola nafo. Bola berarti tempat atau kantong, dan afo adalah ramuan dari lima bahan. Tas Bola nafo dibuat dengan menganyam rumput yang telah dikeringkan dan diwarnakan. Biasanya dihiasi dengan simbol dan motif dari Nias, masing-masing dengan makna tersendiri. Motif Ni'otarawa digunakan oleh bangsawan sementara motif Ni'ohulayo digunakan oleh masyarakat umum. Teknik yang digunakan untuk menganyam tas Bola nafo dan menenun pakaian tradisional juga digunakan untuk membuat barang-barang lain seperti tikar dan selimut.
25 | P a g e
Ni'okindrö (anyaman daun janur) Pada pesta-pesta dan upacara, tempat untuk acara ini sering dihiasi dengan anyaman daun-daun janur. Dengan menyambungkan anyaman daun janur ini, Orang Nias membuat bentuk dan pola yang indah . Ini disebut Ni'okindrö (anyaman daun janur). Gaya Ni'okindrö bervariasi antara daerah ke daerah. Bentuk yang dibuat oleh daun janur memiliki banyak arti yang berbeda. Hari ini ketika kunjungan tamu penting ke Nias, mereka sering disajikan dengan kalung yang dibuat menggunakan teknik ini. Kalung ini dikenal sebagai Nifatali Bulumio. Hanya beberapa orang yang mampu membuat kalung seperti ini. Di tahun 2016 pada waktu kunjungan Presiden Jokowi ke Nias, beliau dipersembahkan dengan Nifatali Bulumio yang dibuat oleh karyawan museum.
SIMBOLISME NIAS Ada beberapa simbol penting dalam budaya Nias yang dapat dilihat pada pakaian tradisional, ukiran batu dan kayu.
NI'OGOLILIMO Simbol ini adalah logo Musem. Ini adalah simbol biasa dalam budaya Nias. Ini melambangkan bagian dalam buah. Ada segmen yang berbeda, tapi kulit luar memegang itu bersama-sama, seperti budaya orang Nias.
NI’ONDRÖFI Bintang yang terlihat seperti bunga. Melambangkan kekayaan dan karakter yang baik.
26 | P a g e
NI’OSUKHU Sisir melambangkan bangsawan wanita yang terawat. Simbol sisir ini sering dikombinasikan dengan simbol-simbol lainnya.
HAGU LASO Ukiran kayo menggabungkan beberapa simbol dari budaya Nias. Ukiran ini di tempatkan di dinding ruang utama di rumah rajah desa (Omo Sebua)
NI’OHALUYO Bentuk segitiga menyerupai kiat tombak dan pola ini melambangkan semangat kepahlawanan dari Orang Nias.
27 | P a g e
NI’OKINDRÖ Pola berbentuk berlian yang melambangkan emas dan kekayaan.
BALONAFO DAN PENENUNAN
28 | P a g e