15
SARI KEPUSTAKAAN DAN LAPORAN KASUS
DEMAM TIFOID
Oleh : dr. Zulfadli
Pembimbing : Prof. DR.dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK(KH)
DIVISI IMUNOLOGI KLINIK
DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK
FK-USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2013
Pendahuluan
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut disebabkan oleh Salmonella typhi ( S. typhi), 1-3 yang merupakan bakteri gram negatif.4 Penyakit demam tifoid ini merupakan penyakit yang sering terjadi di negara berkembang dan menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada semua usia.5,6 Insiden tertinggi didapati pada kelompok umur 5 sampai 15 tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia angkanya mencapai 900 000 kasus per tahun dengan jumlah kematian sebanyak 20 000 orang.1
Transmisi penyakit ini adalah melalui fekal dan oral yang biasanya terdapat dalam makanan dan air yang terkontaminasi dengan feses.1,6 Biasanya penyakit ini dijumpai didaerah yang padat penduduk dengan sanitasi yang jelek dan sumber air yang tidak bersih.6 Karakteristik dari demam tifoid ini adalah demam dan nyeri perut. Rasa tidak nyaman di perut dan konstipasi juga sering terjadi, diare terkadang bisa muncul sebagai salah satu gejala klinis.7
Standar emas untuk diagnosis demam tifoid adalah kultur darah atau aspirasi sumsum tulang.1,4 Selain kultur darah dan cairan aspirasi sum-sum tulang, kultur juga bisa berasal dari cairan tubuh lainnya seperti cairan duodenum, urin atau feses.4,5 Tes serologi telah digunakan untuk diagnosis selama lebih dari 100 tahun. Tes Widal dikembangkan pada tahun 1896 untuk mendeteksi anti S serotipe Typhi antibodi.4,5,8 Saat ini telah tersedia 3 jenis tes serologi untuk mendiagnosis infeksi akut S. typhi yang lebih praktis dan cepat diantaranya Multi test Dip-S-Ticks , Tubex, dan Typhidot.9 Tubex merupakan alat diagnostik yang paling cepat untuk mendiagnosis demam tifoid,9 dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.9-12
Salah satu obat pilihan untuk demam tifoid adalah kloramfenikol,3,13 yang telah digunakan selama lebih dari 40 tahun.4 Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Kombinasi trimetoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) juga memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan kloramfenikol.3 Saat ini dilaporkan telah banyak kasus demam tifoid yang resisten terhadap ampisillin, kloramfenikol, sulfonamide, trimetoprim, streptomisin, dan tetrasiklin.1
Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.14
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.14
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, yang mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.15
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.15
Gambar 1. Gambaran mikroskopis Salmonella typhi16
Tabel 1. . Klasifikasi Salmonella typhi16
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150 kasus/100.000 orang setiap tahun di Amerika Selatan dan 900 kasus/100.000 orang setiap tahun di Asia. Umur penderita yang terkena demam tifoid di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara usia 3 sampai 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika selatan.3
Salmonella typhi dapat hidup dalam tubuh manusia ( manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengeksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonela typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperatur 63oC).17
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman atau makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal=jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi melalui transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada kondisi bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan juga terjadinya transmisi orofekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.3
Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.16
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.16
Gambar 2. Patogenesis Demam Tifoid18
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal itu terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.3
Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan.3
Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 5 sampai 40 hari dengan rata-rata antara 10 sampai 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.3,16 Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 16
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.16 Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun secara perlahan, kecuali bila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.3
Gambar 3. Perjalanan penyakit demam typhoid18
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor di bagian tengahnya (coated tongue) dengan ujung dan tepi lidahnya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. Pada beberapa kasus dijumpai gejala nausea, anoreksia, malaise, nyeri perut dan radang tenggorokan.3,16
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.16 Pada kasus yang berat penderita dapat datang dengan kondisi yang toksik/sakit berat bahkan datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masuknya cairan dan makanan.3
d. Gejala lain
Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2 sampai 4 um seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi pada anak Indonesia. Bronchitis dan bradikardia relatif juga dapat dijumpai pada penderita demam tifoid tapi dalam persentase yang sangat sedikit.3
Gambar 4. Persentase gambaran klinis pada demam tifoid18
Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya. Sehingga penderita seperti ini masih dapat menjadi sumber penularan bagi orang lain yang sehat.16
2. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 sampai 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.16
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis:
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.15
Gambaran darah tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang dengan jumlah leukosit rendah, namun jarang dibawah 3.000 /uL3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000 sampai 25.000/uL3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang kadang berlangsung beberapa minggu.3
Diagnosis
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada beberapa metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.16
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.17
Gambar 5. Skema pemeriksaan laboratorium pada demam typhoid15
Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik, tetapi bisa didapatkan leukopenia, trombositopenia, dan anemia ringan.6 Standar emas untuk diagnosis demam tifoid adalah kultur darah atau aspirasi sumsum tulang.1,4 Kultur darah memiliki sensitivitas yang rendah yaitu hanya 40% sampai 60% saja bila dibandingkan dengan kultur aspirasi sumsum tulang yaitu lebih dari 80%. Selain kultur cairan aspirasi sumsum tulang dan darah, kultur juga bisa berasal dari cairan tubuh lainnya seperti cairan duodenum, atau bisa juga kultur feses.4,5 Kultur darah dapat dilakukan pada dua minggu pertama sakit, bila dilakukan pada minggu berikutnya hasil yang didapat kemungkinan lebih kecil.3 Kultur feses bisa dilakukan pada fase akut demam tifoid,1 tetapi kemungkinan keberhasilannya kecil.3
c.Diagnosis serologik
1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.16,19
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.20,21
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b.Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita
infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.17
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.17
B. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen dari strain lain.17
Pemeriksaan serologi telah digunakan untuk diagnosis demam tifoid selama lebih dari 100 tahun.4 Pemeriksaan Widal dikembangkan pada 1896 oleh Felix Widal. Pemeriksaan Widal ini adalah berdasarkan penglihatan makroskopik dari serum, yaitu reaksi aglutinasi antara lipopolisakarida somatik antigen O S. typhi (TO) dan flagella antigen H (TH).1,5,6,8 Biasanya antibodi O muncul pada hari ke-6 sampai 8 dan antibodi H muncul pada hari 10 sampai 12 setelah onset penyakit.1,6,9 Pemeriksaan Widal merupakan metode diagnostik yang mudah, murah dan sederhana terutama untuk daerah berkembang. Pemeriksaan Widal yang dilakukan didaerah dengan prevalensi rendah, hasilnya dikatakan positif bila titer H dan titer O 1:80,8 sedangkan didaerah yang endemis hasil tes Widal dikatakan positif bila titer O 1:320 dan titer H 1:640.5 Penelitian di Tanzania Afrika, mendapatkan bahwa pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 75% dan spesifisitas 98%.8 Sementara sebuah review menyatakan bahwa diagnosis yang berdasarkan pemeriksaan Widal seringkali tidak akurat, hasil yang positif palsu atau negatif palsu sering terjadi. Hal ini disebabkan karena tingginya variabilitas dan standarisasi pembacaan hasil.21 Idealnya pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan fase konvalesen untuk mendeteksi peningkatan titer aglutinasi.9
2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.16
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan ini dapat menentukan adanya antibody IgM maupun IgG spesifik pada pasien demam tifoid, dan antigen deteksi yang digunakan adalah ekstrak sel S.typhi hasil pemurnian. Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organism, antara lain adalah: Lipopolisakarida (LPS), Outer Membran Protein (OMP), Flagella (d-H) dan kapsul (virulence [Vi] antigen).19
Keterbatasan teknik ELISA selain memerlukan multi tahapan prosedur sehingga tidak praktis, ELISA juga butuh berbagai peralatan, instrument reader dan sumber listrik, dimana instrument dan enzim konjugat sebagai reagen masih sangat mahal disamping itu hasilnya juga tidak dapat diharapkan segera (rapid) karena membutuhkan waktu rata rata > 1 jam.19
3. Hibridisasi dengan pelacakan DNA
Dasar reaksi hibridisasi adalah kemampuan molekul asam nukleat rantai tunggal untuk mendeteksi dan membentuk ikatan hidrogen (hibridisasi) dengan asam nukleat rantai tunggal yang mengandung urutan asam nukleat komplementernya. Reaksi hibridisasi merupakan reaksi kinetik yang efisien dan dapat mendeteksi asam nukleat dalam jumlah yang sangat kecil dan dalam waktu yang pendek.19
Teknik hibridisasi mempunyai sensitifitas yang tinggi, tapi masalah sensitifitas masih belum terpecahkan. Karena ternyata DNA probe tidak cukup sensitif untuk mendeteksi kuman S.typhi dalam darah yang berjumlah sangat rendah. Cut-off DNA probe adalah 500 bakteri/mL sedangkan spesimen pasien umumnya hanya 10 sampai 15 kuman. Disamping itu cara tersebut masih dianggap terlalu lama, karena memerlukan biakan selama semalam untuk menunbuhkan koloni sebelum diidentifikasi.19
4. Polimerase Chain Reaction (PCR)
Metode PCR merupakan pengenbangan dari metode DNA probe guna menggantikan prosedur biakan semalam tersebut. Prinsipnya adalah melakukan perbanyakan DNA target secara in vitro dengan menggunakan enzim DNA polymerase didalam alat thermocycler melalui siklus yang berulang-ulang, sehingga dihasilkan berjuta juta rantai DNA baru yang serupa dengan DNA yang dilacak. Diperkirakan bahwa uji PCR dapat melacak sampai sedikitnya 10 sel S.typhi dan waktunya lebih baik dibandingkan dengan kultur, begitu pula hasilnya.19
Kelemahan metode PCR ini adalah mudah terkontaminasi, baik dari peralatan maupun ruangan di sekitarnya yang dapat mengakibatkan positif palsu. Untuk saat ini baik DNA probe maupun PCR bahan dan materialnya masih cukup mahal dan belum dapat dipakai untuk pelayanan kesehatan secara luas (terbatas untuk penelitian).19
5. TUBEX
Sebagai respon terhadap kebutuhan alat diagnostik yang cepat dan dapat dipercaya, saat ini telah dikembangkan beberapa pemeriksaan sebagai pengganti pemeriksaan Widal, pemeriksaan tersebut diantaranya adalah Multi test Dip-S-Ticks, Tubex dan Typhidot. Multi test Dip-S-Ticks merupakan alat pemeriksaan untuk lima bakteri patogen, termasuk S.typhi. Alat pemeriksaannya berbentuk stik yang dapat mendeteksi anti-O, anti-H, anti-Vi, antibody IgM, atau IgG yang berada pada serum, plasma, atau whole blood yang mengandung heparin.9 Tubex merupakan alat pemeriksaan pewarnaan semikuantitatif yang menggunakan partikel aglutinasi, alat ini banyak digunakan di daerah endemis,9,22 cara pemeriksaannya sederhana dan cepat. 6,9,23
Tubex dapat mendeteksi adanya antibodi IgM O9 (khusus untuk S.typhi).19,23 Hasil Tubex dikatakan positif bila nilainya 4, sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh perusahan yang memproduksi alat tersebut.24 Kelemahan dari Tubex yang menggunakan reaksi pewarnaan adalah sulitnya melakukan interpretasi hasil dari hemolisa sampel, Tubex juga bisa menimbulkan hasil yang positif palsu pada pasien yang baru terinfeki S.enterica serotipe Enteridis.9 Selain Tubex alat pemeriksaan serologi cepat lainnya adalah Typhidot, yang telah dikembangkan di Malaysia, pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi spesifik IgM dan IgG yang menyerang antigen S.typhi.6 Deteksi adanya IgM menunjukkan terjadi fase akut dari tifoid, hal ini terjadi pada fase awal infeksi.23 IgG terdeteksi setelah beberapa hari timbul penyakit,9 tetapi bila terdeteksi keduanya yaitu IgG dan IgM, maka hal ini menunjukkan bahwa tifoid terjadi pada fase pertengahan infeksi.23 Sebuah studi di Vietnam mendapatkan bahwa kedua alat pemeriksaan yang cepat dan sederhana ini yaitu Tubex dan Typhidot memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan Widal. Tubex memiliki sensitivitas 79% dan spesifisitas 89%, Typhidot sensitivitas 78% dan spesifisitas 98%, sedangkan pemeriksaan Widal sensitivitas 64% spesifisitasnya 76%. Studi ini juga mendapatkan sensitivitas Typhidot lebih tinggi pada masa onset awal penyakit, hal ini disebabkan karena IgM lebih mudah terdeteksi oleh Typhidot pada awal sakit.9 Studi yang dilakukan di Afrika untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas Tubex dibandingkan dengan pemeriksaan standar emas yaitu kultur darah, mendaptkan hasil sensitivitas 79% dan spesifisitas 89% .12
Gambar 6. Respon antibodi Salmonella typhi dengan Tubex
Pengobatan
Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan untuk demam tifoid. Obat ini bersifat bakteriostatik. Dia dapat mengikat 50S subunit dari ribosom dan menghambat sintesa protein bakteri. Obat ini memiliki spektrum yang luas, dapat menyerang bakteri gram positif dan gram negatif termasuk bakteri anaerob dan ricketsia. Kloramfenikol baik diabsorbsi secara oral dan juga tersedia dalam bentuk intravena. Kloramfenikol dimetabolisme didalam hati.13,25
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam empat kali pemberian.3 Studi yang dilakukan di Malaysia terhadap anak-anak yang menderita demam tifoid mendapatkan 97% anak tersebut sembuh, setelah diobati dengan kloramfenikol dosis 40.5 mg/kg BB/hari untuk neonatus, dan 75.5 mg/kg BB/hari untuk anak-anak, dosis dibagi dalam empat kali pemberian selama 14 hari.25 Saat ini diketahui ada beberapa negara yang telah mengalami resisten terhadap kloramfenikol untuk pengobatan demam tifoid,1 diantaranya adalah Kairo dan India.26,27 Alternatif lain untuk pengobatan demam tifoid adalah pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis, atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hr dalam 3-4 dosis. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak. Sefiksim oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai terapi untuk demam tifoid.3
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.17
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda tanda peritonitis lain, nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.3,17
2. Komplikasi Ekstraintestinal
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah thrombosis serebral, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun cranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain Barre.3
Dari berbagai penyulit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele). Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan gelombang ST dan gelombang T pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman.3,17
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat menjadi penyulit pada demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindroma nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravaskular diseminata, Hemolitic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi dibeberapa lokasi lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.3
Relaps yang didapat pada 5 sampai 10% kasus demam tifoid saat era preantibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam proses pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.17
Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.3,17
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.14
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans tifoid. b. Perawatan umum dan nutrisi.21
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.3
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.3
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.3
Prognosis
Prognosis pada penderita demam tifoid cukup baik apabila pasien datang pada tahap awal dan belum disertai dengan munculnya komplikasi komplikasi yang dapat menyulitkan pengobatan demam tifoid.
Kesimpulan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pendukung lainnya, pemeriksaan TUBEX direkomendasikan untuk menunjang penegakan diagnosis pada penderita demam tifoid dengan sensitifitas dan spesifisitas yang cukup baik. Terapi yang diberikan adalah pemberian makan dan cairan yang cukup, antibiotik, dan edukasi untuk menjaga higienitas. Untuk menghindari terjangkit penyakit demam tifoid diperlukan pencegahan terhadap infeksi demam tifoid dengan memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang baik dan dengan pemberian vaksinasi terhadap penyakit tifoid.
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Switzerland: WHO; 2003
Shetty N. Infection in the returning traveler. Dalam: Shetty N, Tang JW, Andrews J, penyunting. Infectious disease: pathogenesis, prevention, and case studies. Malaysia: Blackwell Publishing, 2009. h.531-2
Soedarmo SPS, Garna H, Hadinegoro, Satari HI. Demam tifoid. Dalam: Soedarmo SPS, Garna H, Hadinegoro, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2012.h.338-45
Sanchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gómez-Duarte OG. Salmonella infection: an update on epidemiology, management, and prevention. Travel Med Infect Dis. 2011; 9:263-77
Thielman NM, Crump JA, Guerrant RL. Enteric fever and other causes of abdominal symptoms with fever. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases. Edisi tujuh. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010. h.1399-1409
Schwartz E. Typhoid and paratyphoid fever. Dalam: Schwartz E, penyunting. Tropical diseases in travelers. Edisi pertama. Singapore: Blackwell Publishing, 2009. h.144-51
Freedman DO. Infections in returning travelers. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases. Edisi tujuh. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010. h.4019-28
Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, Von Seidlein L, Hendriksen I, dkk. Evaluation of the Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever among children admitted to a rural hospital in Tanzania and a comparison with previous studies. BMC Infect Dis. 2010; 10:1-9
Olsen SJ, Pruckler J, Bibb W, My Thanh NT, My Trinh T, Minh NT, dkk. Evaluation of rapid diagnostic tests for typhoid fever. J Clin Microbiol. 2004; 42:1885-89
Kawano RL. Leano SA, Agdamag DMA. Comparison of serological test kits for diagnosis of typhoid fever in the Philippines. J Clin Microbiol. 2007; 45:246-7
House D, Wain J, Ho VA, Diep TS, Chinh NT, Bay PV, dkk. Serology of typhoid fever in an area of endemicity and its relevance to diagnosis. J Clin Microbiol. 2001; 39:1002-7
Ley B, Thriemer K, Ame SM, Mtove G, Von Seidlein L , Amos B, dkk. Assessment and comparative analysis of a rapid diagnostic test (Tubex®) for the diagnosis of typhoid fever among hospitalized children in rural Tanzania. BMC Infect Dis. 2011; 11:1-6
Shetty N, Aorons E, Andrews J. General principles of antimicrobial chemotherapy. Dalam: Shetty N, Tang JW, Andrews J, penyunting. Infectious disease: pathogenesis, prevention, and case studies. Malaysia: Blackwell Publishing, 2009. h.124-56
Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC. Typhoid fever. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-14, Philadelphia: WB Saunders Co, 1992.h.731-4
Butler T. Typhoid fever. Dalam: Warren KS, Mahmoud AF, penyunting. Tropical and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Mc Graw-Hill Information Services Co, 1990. H.753-7
Hayani CH, Pickering LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo: WB Saunders Co, 1992.h.620-33
Hoffman SL. Typhoid fever. Dalam: Strickland GT, penyunting. Hunter's tropical medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991.h.344-58
James S. Mechanism of pathogenesis of salmonellae: Linking in vitro, Animal and Human studies. Diunduh dari www.jifsan.com diakses tanggal 10 April 2013
Inforamsi produk TUBEX ®TF Rapid typhoid detection. Diagnose tifoid definitive semi kuantitatif dengan metode IMBI. Jakarta: PT Pacific Biotekindo Intralab, 2011
Khan MI, Ochiai RL, Soofi SB, Von Seidlein L, Khan MJ, Sahito SM, dkk. Risk factors associated with typhoid fever in children aged 2-16 years in Karachi, Pakistan. Epidemiol Infect. 2012; 140:665-72
Olopenia LA, King AL. Widal agglutination test 100 years later: still plaqued by controversy. Postgrad Med J. 2000; 76:80-4
Tam FCH, Ling TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The Tubex test detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. J Med Microbiol. 2008; 57:316-23
Ismail TF. Rapid diagnosis of typhoid fever. Indian J Med Res, 2006; 123:489-91
Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Chaignat CL, Morrissey AB, dkk. Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid antibody tests for laboratory diagnosis at two sub-Saharan African sites. Bull World Health Organ. 2011; 89:640-7
Ismail R, The LK, Choo EK. Chloramphenicol in children: dose, plasma levels and clinical effects. Ann Trop Paediatr, 1998; 18:123-8
Hammad OM, Hifnawy T, Omran D, El Tantawi MA, Girgis NI. Ceftriaxone versus chloramphenicol for treatment of acute typhoid fever. Life Sci. 2011; 8:100-4
Achla P, Grover SS, Bhatia R, Khare S. Sensitivity index of antimicrobial agents as a simple solution for multidrug resistance in Salmonella typhi. Indian J Med Res. 2005; 121:185-9
LAPORAN KASUS
Nama : AP
Umur : 3 tahun 9 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tgl masuk : 29 Desember 2012
Alamat : Medan
KASUS
AP, perempuan, usia 3 tahun 9 bulan, dibawa ke poliklinik anak R.S. H.Adam Malik Medan pada tanggal 29 Desember 2012, dengan keluhan demam sejak 1 minggu ini. Demam tinggi, dimana suhu tubuh mulai meningkat tinggi pada malam hari dan demam turun bila diberi obat penurun panas. Saat ini Os tidak demam. Kejang dan menggigil tidak dijumpai. Sakit kepala juga tidak dijumpai. Batuk dijumpai 4 hari ini, batuk berdahak. Sesak nafas tidak ada. Nyeri perut (+) sejak 3 hari ini, nyeri disertai rasa mules, sifatnya hilang timbul, Muntah dan mual tidak ada, nyeri sendi tidak ada. Riwayat perdarahan spontan: mimisan (-), gusi berdarah (-), BAB hitam (-). Buang air besar (BAB) tidak ada selama 3 hari dan selama 1 minggu ini os mengeluhkan susah BAB (Os BAB 3 hari sekali, sebelum sakit Os BAB setiap hari). Buang air kecil terakhir 1 jam sebelum ke rumah sakit, kesan cukup, riwayat nyeri saat BAK (-), BAK berpasir (-), BAK berdarah (-).
Pemeriksaan Fisik
Berat badan (BB): 15 kg, tinggi badan (TB): 111 cm, temperatur : 36,9ºC, BB/TB: 94%
Keadaan umum baik, keadaan penyakit sedang dan keadaan gizi baik.
Pucat (-), ikterus (-), sianosis (-), dispnu (-), edema (-)
Kepala : Mata : Reflek cahaya +/+ , pupil isokor,
konjungtifa palpebra inferior pucat (-/-)
Telinga/hidung/mulut:normal
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Dada : Simetris fusiformis, retraksi (-)
FJ: 100 x/min, regular, desah (-)
FP: 24x/min, regular, ronki (-)
Perut : Supel, peristaltik (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
Genitalia : Perempuan, kelainan(-)
Extremitas : FN : 100 x/min, regular, t/v: cukup, TD : 90/60 mmHg
DD: 1. Demam tifoid
2. Demam dengue
3. Infeksi saluran kemih
Diagnosis kerja: Demam tifoid
Anjuran : - Pemeriksaan darah rutin
- Urinalisa
Tubex Test
Ig G dan Ig M anti dengue
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Desember 2012:
Hemoglobin: 13,0g/dl, Hematokrit: 39,1%, Leukosit:14.860/mm3, Trombosit: 429.000/mm3
Anti DHF IgM : Negatif
Anti DHF IgG : Negatif
Tubex TF : 6 (Positif)
Hasil urinalisa:
Warna kuning jernih, glukosa (-), bilirubin (-), keton (-), BJ: 1,020, pH: 7, protein (±), urobilinogen (-), nitrit (-), darah (-)
Diagnosis kerja : Demam tifoid
Terapi : Parasetamol syrup 3 x cth II
Kloramfenikol tablet 4x250 mg (diberikan selama 7 hari)
Pemantauan tanggal 5 Januari 2013
S: demam (-), nyeri perut (-), BAB normal
O: Sens: CM T: 36,7oC BB: 15 kg
Kepala : Mata : Reflek cahaya +/+ , pupil isokor,
konjungtifa palpebra inferior pucat (-/-)
Telinga/hidung/mulut:normal
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Dada : Simetris fusiformis, retraksi (-)
FJ: 90 x/min, regular, desah (-)
FP: 20x/min, regular, ronki (-)
Perut : Supel, peristaltik (+) normal, hepar dan lien tidak teraba
Genitalia : Perempuan, kelainan(-)
Extremitas : FN : 94 x/min, regular, t/v: cukup, TD : 90/60 mmHg
Diagnosis kerja : Demam tifoid
Terapi : - Kloramfenikol tablet 4x250 mg (lanjutkan 1 minggu lagi)
- Parasetamol syrup 3 x cth II (k/p)
- Edukasi penderita dan orang tua untuk menjaga higienitas dan mengkonsumsi
makanan dan minuman yang bergizi dan bersih, serta tidak membiasakan anak untuk
jajan dan mengkonsumsi makanan yang dijual dipinggir jalan