RRI Surakarta: dari Radio Komunitas menjadi Radio Publik
Darmanto dan Istiyono
Surakarta - Yogyakarta Tahun 2013
Judul Buku Penulis
: RRI Surakarta: dari Radio Komunitas Menjadi Radio Publik : Darmanto dan Istiyono
Edisi Pertama Cetakan Pertama, Nopember 2013 ISBN Editor Rancang Sampul Setting/Lay out Proof Reader
: Masduki, M.Si, MA : alvin :
[email protected] : Anugrah Pambudi
Diterbitkan oleh: Lembaga Penyiaran Publik RRI Surakarta Jl. Abdul Rachman Saleh No. 51 Surakarta 57133 Telepon : 0271-639230, 642208 Fax : 0271 – 668200 Bekerjasama dengan: Penerbit Diandra Creativa CV. Diandra Primamitra Media Alamat : Jl. Kenanga No. 64, Sambilegi Baru Kidul, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282 Telp. 0274-4332233 Fax. 0274-485222 Email :
[email protected] Website : diandracreative.com
Sambutan Kepala RRI Surakarta
S
ebagai insan RRI saya merasa bahagia dan bangga diberikan kesempatan oleh Direksi untuk menjadi Kepala Satuan Kerja RRI Surakarta selama periode Agustus 2011 sampai dengan Nopember 2013. Betapa tidak bahagia dan bangga. RRI Surakarta memiliki sejarah panjang yang terdokumentasikan dengan baik. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa dibandingkan dengan RRI lain, sejarah RRI Surakarta tergolong paling lengkap dan terang benderang. Bahkan sejak lahirnya embrio RRI Surakarta, yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1 April 1933 sejarahnya terdokumentasi dengan baik dalam bentuk memoar yang berjudul SRV Gedenboek terbit pada tahun 1936 . Duplikat dari buku tersebut sampai sekarang dengan mudah ditemukan di Perpustakaan Mangkunegaran Surakarta. Setelah SRV bubar akibat kedatangan bala tentara Jepang pada tahun 1942 yang kemudian diganti menjadi Hoso Kyoku, dan selanjutnya menjadi Radio Republik Indonesia (RRI), sejarahnya juga terdokumentasi dengan baik berkat sentuhan tangan R. Maladi yang dikenal sebagai sosok multi talenta. R. Maladi adalah orang yang ketika SRV eksis sempat menjadi penyiar, pada awal berdirinya Hoso Kyoku dipercaya menjadi Kepala Bagian Siaran di Solo Hoso Kyoku. Ketika Solo Hoso Kyoku akhirnya juga bubar karena Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, R. Maladi kemudian terlibat iii
dalam proses lahirnya Radio Republik Indonesia (RRI). Berkat jasajasanya yang besar dalam proses lahirnya RRI, maka akhirnya beliau menduduki jabatan puncak sebagai Kepala Jawatan RRI dan bahkan menjadi Menteri Penerangan RI. Meskipun sejarah lalu RRI Surakarta sangat terang benderang, tetapi kondisi aktualnya belum terdokumentasikan dengan baik. Akibatnya, ketika ada pihak yang bertanya tentang kondisi sekarang justru tidak mudah menunjukkan referensi yang dapat diakses. Padahal setiap tahun selalu ada kegiatan magang dari anak-anak SMK atau mahasiswa Praktik Kerja Lapangan (PKL) di RRI Surakarta. Setiap kali mereka menyusun laporan akhir kegiatan magang/PKL selalu membutuhkan referensi tentang RRI Surakarta. Apa boleh buat, karena barang yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap maka yang diberikan oleh petugas RRI kepada mereka akhirnya berupa data mentah. Bahkan sering para peserta magang/PKL direkomendasikan untuk menggali data dari narasumber RRI yang aktif bertugas. Belajar dari pengalaman lapangan seperti itu, maka setahun setelah saya bertugas di sana, mulai terpikir perlunya sebuah buku yang dapat bercerita lengkap tentang RRI Surakarta. Benar bahwa duplikat SRV Gedenboek dengan mudah didapatkan di Perpustakaan Mangkunegaran, tetapi generasi sekarang tentu tidak banyak yang tahu atas keberadaan dokumen tersebut. Begitu juga buku Sejarah Radio di Indonesia yang terbit rahun 1953 dan memuat sejarah RRI Surakarta sampai dengan periode itu relatif lengkap sudah amat sulit ditemukan. Sejumlah artikel dan manuskrip tentang RRI (RRI Surakarta) yang dibuat oleh R. Maladi hanya dapat diakses oleh orangorang tertentu yang mengetahui adanya karya beliau. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain kecuali memang harus disusun buku baru yang bisa merangkum isi dari sumber-sumber yang ada sebelumnya, sekaligus merangkai fakta perkembangan yang aktual guna menjaga kesinambungan ingatan publik mengenai keberadaan RRI Surakarta. Ide untuk menyusun buku itu kemudian mulai mendapat gambaran yang jelas ketika salah seorang pejabat struktural di Seksi Layanan dan Pengembangan Usaha RRI Surakarta, Saudara Istiyono (Kepala Sub Seksi Layanan Publik), menunjukkan manuskrip yang iv
telah dibuatnya beberapa waktu sebelumnya. Isi manuskrip itu lebih banyak memuat masa lalu RRI Surakarta, sejak era SRV. Kebetulan pada waktu itu Saudara Istiyono sedang terlibat menyusun buku Museum Penyiaran RRI Surakarta bersama Saudara Darmanto, Peneliti dari Balitbang SDM Kemen Kominfo yang bertugas di Yogyakarta. Dengan melihat manuskrip itu saya sangat yakin bahwa keinginan membuat buku tentang RRI Surakarta dapat terwujud. Akan tetapi dalam perkembangannya, sesuai etika penulisan ilmiah secara bersama, berdasarkan bobot kontribusi materi yang diberikan bagi buku ini, maka yang menjadi penulis utama adalah Saudara Darmanto dan Saudara Istiyono sebagai penulis kedua. Dalam rangka penerbitan buku ini, saya sempat berdiskusi dengan Saudara Darmanto dan Saudara Istiyono beberapa kali. Sesuai dengan kesepakatan kami bertiga, ada pembagian peran. Aspek isi sepenuhnya akan ditangani Saudara Darmanto dan Istiyono, sedangkan saya dalam kapasitas sebagai Kepala Satuan Kerja RRI Surakarta memberikan fasilitasi proses penyusunan dan penerbitan buku ini. Dengan kesepakatan tersebut maka aspek isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari penulis, dan saya sama sekali tidak ikut campur. Saya memberikan otonomi penuh kepada penulis mengenai aspek. Pilihan sikap seperti itu saya ambil untuk menghindari beban sejarah yang kemungkinan timbul di masa datang, misalnya ada yang menganggap isi buku ini bias kepentingan saya. Meskipun gagasan menerbitkan buku muncul dari benak saya, tetapi buku ini sepenuhnya didedikasikan bagi kepentingan RRI, terutama RRI Surakarta. Oleh karena itu saya menekankan kepada kedua penulis agar benar-benar menjaga obyektivitas, akurasi, dan independensi. Sebab, kalau ketiga aspek tersebut tidak dijunjung tinggi pasti akan muncul keraguan atas isi buku ini dan pada akhirnya merugikan banyak pihak, termasuk penulisnya sendiri. Bagi saya kepentingan utamanya adalah menyajikan referensi yang dapat bercerita banyak tentang RRI Surakarta sehingga dapat menjadi sarana transformasi nilai. Dengan berhasil diterbitkannya buku ini saya sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan bimbingan dan hidayahv
Nya kepada saya dan keluarga besar RRI Surakarta. Saya menyadari bahwa buku ini dapat terwujud semata-mata karena pertolongan Allah sehingga puja dan puji tiada henti saya panjatkan kepada-Nya. Saya berharap buku ini memberikan kemanfaatan bagi kemajuan RRI Surakarta khususnya, serta bangsa dan negara pada umumnya. Sebelum menutup sambutan ini saya perlu menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dewan Pengawas dan Direksi LPP RRI yang berkenan merestui terbitnya buku ini. Demikian pula kepada seluruh karyawan RRI Surakarta baik yang terlibat langsung dan tidak lang sung dalam proses penerbitan, semoga buku ini dapat memberikan rasa bangga bagi kita sebagai bagian dari RRI Surakarta yang memiliki sejarah panjang.
Surakarta, 17 Nopember 2013. Kepala RRI Surakarta Periode 2011-2013 Drs. H. Santoso, M.M NIP. 19571117 198703 1 004
vi
Pengantar Penulis
P
ada tahun anggaran 1998/1999 Balai Bahasa Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan penelitian tentang Sastra Jawa Radio di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Herry Mardianto. Saya terlibat di dalamnya, dan mendapat tugas mengumpulkan data antara lain di RRI Surakarta, Semarang, dan Purwokerto. Ketika hendak membuat deskripsi lokasi penelitian, ternyata tidak mudah untuk mendapatkan data yang komprehensif mengenai ketiga RRI tersebut. Sejak itu saya merasakan perlunya ada buku profil untuk setiap stasiun RRI agar dapat menjadi referensi yang memadai bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Akan tetapi, harapan itu seperti tinggal harapan. Waktu terus berlalu, dan hampir dua windu tidak ada tanda-tanda akan lahirnya sebuah buku yang saya bayangkan akan memerkaya khasanah tentang RRI. Barulah pada pertengahan 2013 ketika sedang menyiap kan naskah untuk buku Selayang Pandang Museum Penyiaran-RRI Surakarta, Mas Istiyono memperlihatkan manuskrip yang telah di susun beberapa waktu sebelumnya. Dari situ kemudian muncul per bincangan untuk menindaklanjuti menjadi sebuah buku. Ketika ide tersebut disampaikan kepada Kepala Stasiun, Pak Santoso, ternyata mendapat respon positif. Pak Santoso berjanji akan memfasilitasi terbitnya buku tentang RRI Surakarta yang dapat menjadi sumber sejarah bagi generasi mendatang. Berbekal janji yang disampaikan Pak Santoso, saya dan Mas Istiyono kemudian mendiskusikan secara intensif mengenai rencana penulisan buku ini. Dengan memertimbangkan banyak hal, terutama kemanfaatannya bagi banyak pihak, maka materi yang disajikan dalam buku ini mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan vii
manuskrip awal yang disusun Mas Istiyono. Kami berdua kemudian mengembangkan gagasan agar buku ini tidak sekadar memuaskan kebutuhan psikologis mengenang kejayaan masa lalu RRI Surakarta, tetapi harus bermanfaat pula untuk kepentingan studi di bidang keradioan khususnya, pun ilmu komunikasi pada umumnya. Sehubungan dengan maksud tersebut, maka lingkup materi yang disajikan dalam buku ini tidak hanya terkait dengan aspek kesejarahan masa lalu, tetapi juga kondisi kekinian. Tujuannya adalah memberikan gambaran yang relatif utuh tentang RRI Surakarta sehingga dapat menjadi media transformasi dari generasi ke generasi. Tidak tertutup kemungkinan kalau generasi muda kurang memahami sejarah masa lalu RRI Surakarta yang sangat dinamis dan heroik. Padahal banyak episode yang membuktikan bahwa RRI Surakarta senantiasa mengambil peran yang menentukan bagi perkembangan sejarah sosial budaya di Indonesia, sejarah lahirnya RRI itu sendiri, maupun pada masa revolusi untuk memertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai pengalaman masa lalu yang memiliki nilai strategis dan idealistik tersebut sangat perlu untuk dikomunikasikan secara terus menerus agar terinternalisasi dalam diri para penyelenggara kegiatan siaran RRI di masa sekarang maupun yang akan datang. Berdasarkan fakta empirik, pemahaman yang utuh atas suatu sejarah dapat menjadi sumber inspirasi yang dapat menggerakkan timbulnya perubahan besar dalam kehidupan sosial. Dalam rangka merealisasikan niatan menulis secara kompre hensif, kami berbagi tugas. Untuk jenis materi yang lebih banyak ber sumber pada dokumentasi menjadi tugas saya yang menggalinya. Sedangkan untuk jenis data primer yang digali dari lingkungan internal RRI Surakarta lebih banyak dikerjakan oleh Mas Istiyono. Selanjutnya untuk kepentingan analisis dilakukan melalui diskusi secara tatap muka, email, maupun percakapan dengan menggunakan Hand Phone (HP). Meskipun didorong hasrat besar untuk menyajikan tulisan yang komprehensif, pada kenyataannya harus diakui bahwa niatan itu masih jauh dari kenyataan. Di lapangan kami menghadapi banyak kendala. Dari sekian banyak kendala, ada dua masalah yang menurut viii
saya sangat memengaruhi kinerja penulisan buku ini. Pertama, bagaimana pun harus diakui bahwa penulisan ini tidak lebih dari “proyek sambilan”. Artinya, kami masing-masing memiliki tugas pokok sebagai Pegawai Negeri Sipil sehingga kesempatan mengumpul data, diskusi, dan menuliskannya dalam bentuk artikel harus dilakukan di luar alokasi waktu mengerjakan tugas utama di kantor masingmasing. Celakanya, karena tempat tinggal kami berbeda kota maka waktu untuk diskusi tatap muka sering kali berlawanan satu dengan lainnya. Kondisi demikian sangat mengganggu kelancaran kerja. Kedua, terbatasnya waktu yang tersedia untuk keseluruhan proses. Kami memulai menggarap buku ini secara intens setelah tanggal 11 September 2013 karena sebelum itu kami fokus untuk menggarap buku Selayang Pandang Museum Penyiaran RRI Surakarta. Dengan adanya keterbatasan tersebut, beberapa episode yang seharusnya ditulis sebagai bab tersendiri akhirnya lepas. Misalnya, episode untuk periode 1950-1965-an awal adalah masa yang dapat dikatakan “hilang” karena belum dapat disajikan artikelnya. Alasan utamanya karena belum mendapatkan referensi yang memadai untuk itu. Kami merasa masih perlu adanya waktu yang lebih longgar untuk dapat menelusuri data terkait dengan kondisi RRI Surakarta periode 1950-1965-an awal. Begitu juga era transisi dari UPT Deppen menjadi Perjan (Perusahaan Jawatan) belum ditulis tersendiri dalam buku ini. Jadi, hasrat menulis secara komprehensif akhirnya masih jauh dari harapan. Sehubungan dengan itu kami berharap, mudah-mudahan episode yang belum sempat disajikan dalam buku ini dapat ditulis oleh pihak lain atau semoga kelak ada edisi revisi buku ini sehingga kekurangan tersebut dapat ditambahkan di dalamnya. Dengan banyaknya kekurangan dalam buku ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak terkait. Kekurangan tersebut tidak dapat kami hindari semata-mata karena berbagai keterbatasan yang menghimpit. Dengan demikian, segala kekurangan dalam penerbitan buku ini merupakan tanggung jawab kami sepenuh nya, dan sekali lagi, mohon dimaafkan. Buku ini lahir berkat adanya komitmen dari Pak Santoso yang menjabat Kepala RRI Surakarta periode Agustus 2011 – November ix
2013. Oleh karena itu, kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Santoso yang telah mengupayakan tersusun dan terbitnya buku ini. Kami memahami, meskipun penerbitan buku merupakan bentuk pewarisan peradaban bagi generasi mendatang, tetapi dalam konteks birokrasi dan politik anggaran sekarang, dibutuhkan keberanian dari Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk memfasilitasi kegiatan yang tidak masuk DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran), tetapi memiliki nilai inovasi. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Bapak Masduki, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta yang juga pernah menjabat Direktur Program dan Produksi LPP RRI periode 2010-2012 karena berkenan menjadi editor buku ini. Sebagai akademisi dan pernah berada di dalam institusi RRI, Pak Masduki tentu lebih jeli dalam mengedit tulisan dalam buku ini. Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada kolega di RRI Surakarta maupun Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta yang memberikan dukungan penuh atas terbitnya buku ini. Terima kasih pula kepada Mas Alvin yang telah mendesain tampilan buku ini, dan pihak Penerbit atas kerjasamanya yang baik. Akhirnya, semoga Sang Adikodrati yang disapa oleh umat-Nya dengan berbagai sebutan, berkenan memberkati karya ini sehingga sekecil apa pun, buku ini memberi manfaat bagi kemajuan RRI Surakarta sebagai radio publik, maupun bagi pengembangan ilmu komunikasi pada umumnya. Yogyakarta – Surakarta Darmanto - Istiyono
x
Daftar Isi
Sambutan Kepala RRI Surakarta......................................................... iii Pengantar Penulis..................................................................................... vii Daftar Isi...................................................................................................... xi BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................... 1 BAB 2 SOLOSCHE RADIO VEREENIGING (SRV): TIPOLOGI RADIO KOMUNITAS YANG IDEAL.................................... 9 BAB 3 HOSO KYOKU: ERA PENGUATAN KONTEN LOKAL.......................... 20 BAB 4 MEMBIDANI LAHIRNYA RADIO REPUBLIK INDONESIA .............. 28 BAB 5 PERIODE TRANSISI DARI HOSO KYOKU MENJADI RRI................. 38 BAB 6 RRI SURAKARTA DI ERA REVOLUSI.................................................... 47 BAB 7 POTRET PROGRAMA DI ERA RADIO PUBLIK.................................... 57 BAB 8 DUKUNGAN PRASARANA DAN SARANA SIARAN .......................... 69 xi
BAB 9 PROBLEMATIKA SDM DI ERA RADIO PUBLIK.................................. 85 BAB 10 MALADI: SOSOK MULTI TALENTA ...................................................... 96 BAB 11 PENUTUP..................................................................................................... 102 Catatan Editor: RRI Surakarta: dari Radio Komunitas ke Radio Publik................. 107 Daftar Pustaka............................................................................................ 113 Tentang Penulis ........................................................................................ 115 lampiran 1 DAS Programa 1................................................................. 118 lampiran 2 DAS Re-design Programa 1............................................ 120 lampiran 3 DAS Programa 2................................................................. 127 lampiran 4 DAS Re-design Programa 2............................................ 129 lampiran 5 DAS dan LOGBOOK Programa Khusus Budaya........ 133 lampiran 6 DAS dan LOGBOOK Programa Khusus Budaya........ 134
xii
Daftar Gambar
Gambar 1:
Gambar 2:
Gambar 3:
KGPAA Mangkunegoro VII dalam kostum kebesaran militer dan Permaisuri Gusti Ratoe Timoer (Foto:Repro Koleksi Mangkunegaran) Gedung Soos (Societet Sasono Suko) kini terletak di sudut persimpangan antara Jalan Yosodipuro dan jalan Gajahmada. Gedung Soos sekarang menjadi Museum Pers Nasional karena pada tanggal 9 Februari 1949 menjadi tempat berlangsungnya Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama (Foto: Anten, 1920) Pendapa Kepatihan Mangkunegaran pernah menjadi lokasi Pemancar SRV (Foto: Repro dari SRV Gedenkboek, 1936: 6)
Gedung Studio Siaran SRV dalam proses penyelesaian. Tiang yang menjulang sampai sekarang masih menjadi bagian dari Gedung Utama RRI Surakarta (Foto: Repro dari SRV Gedenkboek, 1936: 23) Gambar 5: Studio Pro 1 RRI Surakarta Gambar 6: Studio Pro 2 RRI Surakarta Gambar 7: Studio Programa Khusus Siaran Budaya RRI Surakarta Gambar 8: Studio Multipurpose RRI Surakarta Gambar 9: Studio Musik RRI Surakarta Gambar 10: Studio Auditorium RRI Surakarta
11
12
13
Gambar 4:
16 71 71 73 73 75 76 xiii
Gambar 11: Gambar 12: Gambar 13: Gambar 14: Gambar 19:
xiv
Studio Editing RRI Surakarta Studio Dialog Interaktif RRI Surakarta OB Van jenis minibus Peugeot OB Van jenis jeep Mercedes R. MALADI (Kepala RRI Surakarta pertama)
79 79 82 82 97
Daftar Tabel
Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20
Peralatan Teknik Studio Pro 1 70 Peralatan Teknik Studio Pro 2 72 Peralatan Teknik Studio Programa Khusus Siaran Budaya 72 Peralatan Teknik di Studio Multipurpose 74 Peralatan Teknik Studio Musik 75 Peralatan Teknik di Ruang Kontrol /Ruang Operator 77 Peralatan Teknik di Ruang Penonton/Dalam Gedung Auditorium 77 Peralatan Teknik Studio Editing 78 Peralatan Teknik Studio Produksi Berita 78 Peralatan Teknik Master Control Room 80 OB Van 1 : Jenis Mobil Minibus Peugeot Nomor Polisi AD 9501 AX 81 OB Van 2 : Jenis Mobil Jeep Mercedes Nomor Polisi AD 9585 A 81 Pemancar RRI 84 Jumlah Pegawai RRI Surakarta menurut Unit Kerja Per 31 Desember 2012 86 Jumlah PNS RRI Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Per 31 Oktober 2013 88 Jumlah PNS RRI Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan Profesi Per 31 Oktober 2013 89 Jumlah Pegawai RRI Surakarta menurut Golongan/ Ruang dan Unit Kerja Per 31 Oktober 2013 90 Jumlah Pegawai RRI Surakarta menurut Jabatan Fungsional Per 31 Oktober 2013 92 xv
Tabel: 21
xvi
Jumlah Pegawai RRI Surakarta Menurut Kelompok Usia Per 31 Oktobe 2013
94
BAB 1 PENDAHULUAN
R
adio Republik Indonesia (RRI) Surakarta mempunyai sejarah panjang dan paling utuh dibandingkan dengan RRI mana pun. Bahkan RRI Jakarta yang kedudukannya sangat sentral pun ternyata sulit menemukan dokumentasi sejarahnya secara utuh. Hal itu sangat berbeda dengan RRI Surakarta atau yang juga populer dengan sebutan “RRI Solo”. Rangkaian sejarah RRI Solo sejak masih Solosche Radio Vereenigiing yang berdiri tahun 1934 sampai dengan runtuhnya Orde Baru dengan mudah dapat dilacak sumbersumber referensinya. Sedangkan untuk era Orde Baru meskipun belum tersedia dalam bentuk buku, tetapi para pelakunya masih banyak yang hidup sehingga mudah untuk melacaknya. Akan tetapi, buku-buku, artikel, manuskrip tentang RRI Surakarta yang tersedia selama ini lebih banyak berbicara pada aspek ke sejarahan. Artinya, permasalahan yang dibicarakan dalam sejumlah referensi tersebut lebih banyak mengenai apa, kapan, di mana, siapa, mengapa, dan bagaimana RRI Surakarta itu sendiri mengada atau menjadi (being). Masih sangat minim tulisan yang berbicara dari aspek kontekstualisasi atau makna kehadiran RRI Surakarta pada setiap episode waktu (zaman). Padahal studi mengenai aspek makna kehadiran suatu lembaga memiliki arti penting untuk membangun kesadaran akan nilai yang perlu diperjuangkan oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Dalam manajemen organisasi modern, nilainilai yang dimandatkan tersebut selanjunya menjadi dasar untuk penyusunan rencana strategis (renstra) lembaga. Belajar dari fakta empirik tersebut, maka penyusunan buku ini dilakukan dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda dari 1
sebelumnya. Meskipun buku ini tetap menaruh porsi besar pada aspek kesejarahan, tetapi semua itu dimaksudkan sebagai cara untuk menggali makna sesuai dengan kontekstualisasi zaman. Ketika wacana tentang penyiaran radio tidak lagi terbatas pada peran sosialnya, tetapi sudah menyangkut aspek status kelembagaan, kompetisi dengan media lain, dan sebagainya, maka pemaknaan atas eksistensi RRI juga mengalami perkembangan. Kalau pada masa-masa lalu, pemaknaan lebih banyak dikaitkan dengan peran RRI dalam bidang tertentu dalam kehidupan sosial, kini pemaknaan lebih lebih diperluas tanpa bermaksud menegasikan pemaknaan sebelumnya. Upaya yang dilakukan adalah memberikan makna eksistensi RRI Surakarta sebagai lembaga penyiaran publik. Bagaimana pergulatan RRI Surakarta me lakukan transformasi dari status sebelumnya sebagai radio pemerintah berubah menjadi lembaga penyiaran publik merupakan acuan utama pemikiran dalam penulisan buku ini. Namun, mengingat sejarah panjang RRI Surakarta, maka pem bahasan mengenai transformasi menjadi radio publik tersebut tidak cukup hanya dimulai dari era Orde Baru yang secara tegas mengklaim bahwa RRI merupakan Unit Pelaksana Teknik (UPT) Departemen Penerangan (Deppen). Ibarat orang memanah, agar tepat sasaran maka konsentrasi harus diarahkan pada titik yang hendak dituju, tetapi tarikan busur ke belakang harus dilakukan semaksimal mungkin. Demikian pula upaya memaknai RRI Surakarta sebagai radio publik merupakan tujuan utama yang hendak dipaparkan dalam buku ini, tetapi agar tepat sasaran maka tidak boleh dilepaskan dari konteks masa lalunya baik ketika masih sebagai SRV, Hoso Kyoku, masa awal kelahiran RRI, masa perang kemerdekaan, era Orde Baru, hingga akhirnya menjadi radio publik. Setiap episode waktu, tentu membawa pengaruh sendiri dan mem bentuk karakter yang berbeda-beda. Pada era SRV, semangat komunitas masih sangat besar sehingga berlaku kredo dari, oleh, dan untuk warga komunitas. Artinya, keberadaan radio siaran (SRV) pada waktu itu sepenuhnya berasal dari warga komunitas, dikelola juga oleh warga yang sama, dan diperuntukkan bagi kepentingan warga. Dengan menerapkan prinsip tersebut maka demokratisasi penyiaran 2
dapat terwujud dan partisipasi penuh warga juga terfasilitasi dengan baik. Pada masa itu, warga tidak hanya menjadi konsumen siaran, tetapi juga sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) yang turut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup SRV dengan berbagai cara seperti membayar iuran rutin. Dalam perspektif UU Penyiaran No. 32/2005 semangat pengelolaan lembaga penyiaran seperti itu disebut sebagai lembaga penyiaran komunitas. Suasananya menjadi sangat berbeda ketika statusnya sebagai Hoso Kyoku yang berfungsi sebagai alat propaganda bala tentara Jepang. Hubungan antara pihak penyelenggara siaran dengan warga masyarakat tidak lagi erat seperti zaman SRV. Pada era ini, masyarakat hanya menjadi obyek, berdiri sebagai pihak yang semata-mata dilayani. Memang pada masa Hoso Kyoku, terbuka ruang yang leluasa untuk berkreasi, terutama dalam hal bersastra dan berkesenian. Kebijakan pemerintahan bala tentara Jepang yang melarang penyiaran musikmusik barat dan penggunaan bahasa Belanda maupun bahasa asing lain kecuali Jepang, pada sisi lain memang memberikan ruang kreasi yang luas bagi masyarakat Indonesia. Meskipun masyarakat diberi ruang kreasi yang luas, tetapi relasi antara masyarakat Surakarta dan sekitarnya dengan pihak Hoso Kyoku tetap berjarak. Begitu pula ketika Hoso Kyoku bubar dan kemudian melahirkan RRI, karakter lembaga penyiaran itu berbeda sekali dengan era sebelumnya. Sebagai radio yang lahir di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia tentu saja membutuhkan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. Dalam suasana negara yang sedang merdeka, mau tidak mau isi siarannya harus sesuai dengan semangat kemer dekaan: menyosialisasikan kemerdekaan RI, menggelorakan semangat mempertahankan kemerdekaan, memasyarakatkan ideologi negara, membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan, dan membangun identitas bangsa. Pelaksanaan siaran dengan misi yang berat seperti itu tidak mungkin terlaksana jika dilakukan dengan gaya slengekan (tidak serius) dan mengedepankan aspek hiburan. Oleh karena itu broadcaster RRI di masa awal berdirinya adalah orang-orang yang idealis, pemikir, pejuang, dan aktivis. Jejak itu dapat diketahui dari karya mereka seperti dalam Sejarah Radio Indonesia (1953), majalah 3
Angkasawan yang sempat terbit di paruh pertama dekade 1950-an, maupun dokumen lain tentang dinamika RRI pada masa itu. Selanjutnya pada era demokrasi terpimpin, kebijakan siaran lebih diarahkan untuk mendukung program-program pemerintah dalam menyatukan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membangun identitas bangsa. Maka pada masa itu RRI banyak menyiarkan pidato kenegaraan, terutama dari pemimpin besar revolusi Ir. Sukarno. Memang status kelembagaan RRI pada waktu itu berada di bawah Jawatan Penerangan sehingga kalau banyak menyiarkan pidato kenegaraan masih sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai bagian dari Jawatan Penerangan. Meskipun demikian, karena para petinggi RRI masih dipegang oleh generasi pertama dan terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, semangat juang, dan profesionalitas tinggi, maka integritas RRI masih dapat diandalkan. Keadaan menjadi berubah drastis selama era Orde Baru. Pada waktu itu status RRI berada di bawah Deppen dan posisiya hanya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT). Struktur organisasi RRI mengikuti pola birokrasi pemerintah yang berlaku selama era Orde Baru, yakni adanya eselonisasi jabatan. Posisi tertinggi adalah Eselon II/a untuk jabatan Direktur RRI, kemudian Eselon II/b untuk beberapa Kepala Stasiun, yaitu RRI Pusat Jakarta, Kepala RRI Nusantara I Medan, Kepala RRI Nusantara II Yogyakarta, Kepala RRI Nusantara III Banjarmasin, Kepala RRI Nusantara IV Ujung Pandang, dan Kepala RRI Nusantara V Jayapura. Struktur organisasi RRI di seluruh Indonesia adalah sama, tetapi berbeda eselonisasinya. Ketatnya rentang kendali RRI terlihat dari struktur organisasi yang hingga mencapai eselon V. Hal itu jelas sangat berpengaruh terhadap karakter penyelenggaraan siaran RRI yang kemudian cenderung kering, dan monolitik. Karakter siaran yang demikian itu akibat adanya kontrol yang sangat ketat, juga karena pemegang kendali utama RRI adalah generasi kedua dan ketiga sehingga kualitasnya memang jauh berbeda dengan generasi pertama. Di samping itu, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap karakter kepemimpinan RRI pada waktu tersebut adalah trauma politik 1965. Ketika terjadi tragedi G 30 S/PKI, stasiun-stasiun RRI menjadi 4
salah satu tempat vital yang diperebutkan oleh pihak pemberontak dengan militer untuk saling menguasai, Kejadian masa lalu tersebut membentuk kesadaran perlunya RRI secara jekas memosisikan diri sebagai bagian dari pemerintah. Episode berikutnya adalah era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada Mei 1998. Pasca Suharto tumbang, pemerintahan dilanjutkan oleh wakilnya yang kemudian dilantik menjadi Presiden RI ke-3, yaitu BJ Habibie. Hanya sekitar 1,5 tahun Habibie memegang tampuk pemerintahan dan setelah itu digantikan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih melalui voting di Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) pasca pemilihan multi partai. Pada era Gus Dur itulah Deppen dibubarkan dan berimplikasi pada nasib RRI. Dengan dibubarkannya induk organisasi, otomatis RRI menjadi organisasi yang bebas, tidak lagi terikat pada ketentuan sebelumnya. Sempat muncul keinginan dari Departemen Perhubungan untuk menjadikan RRI sebagai bagian darinya, tetapi ditolak oleh angkatan muda RRI. Dalam posisinya yang bebas, RRI kemudian secara tegas memilih untuk menjadi radio publik. Pada tahap awal, posisi sebagai radio publik tersebut menggunakan status hukum sebagai Perusahaan Jawatan (Perjan) seperti diatur dalam Peratura Pemerintah No. 37 Tahun 2000. . Namun, sejak lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, kedudukan RRI sebagai radio publik semakin kokoh, karena dasar hukumnya tidak lagi sebatas Peraturan Pemerintah, melainkan undang-undang. Seperti diatur dalam bagian keempat UU Penyiaran, yang dimaksud dengan lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam dalam UU tersebut terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia. Selain RRI/TVRI, di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran Publik lokal. Akan tetapi, perubahan secara kelembagaan dari statusnya sebagai 5
radio pemerintah menjadi radio publik baru berlangsung setelah lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No.11 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Publik dan PP No. 12 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. Perubahan secara signifikan ditandai dengan terbentuknya Dewan Pengawas dan Dewan Direksi sebagai perwujudan dari amanat Pasal 14 UU No. 32/2002 dan kedua PP tersebut. Dewan Pengawas adalah organ lembaga penyiaran publik yang berfungsi mewakili masyarakat, pemerintah, dan unsur lembaga penyiaran publik yang menjalankan tugas pengawasan untuk mencapai tujuan lembaga penyiaran publik. Sedangkan Dewan Direksi adalah unsur pimpinan lembaga penyiaran publik yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan lembaga penyiaran publik (Pasal 1 ayat 5 dan 6 PP. No.11/2005). Dengan bentuk kelembagaan baru tersebut tampak jelas perbedaan dengan masa sebelumnya. Kini, ada wakil publik yang duduk di Dewan Pengawas sehingga memperteguh keberadaan RRI sebagai radio publik. Perubahan dari radio pemerintah menjadi radio publik tentu tidak hanya terjadi pada ranah struktur kelembagaan, tetapi yang lebih penting semestinya berlangsung di aspek isi siaran. Sebagaimana diamanatkan oleh UU Penyiaran No. 32/2002 (Pasal 14), Lembaga Penyiaran Publik bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Kemudian pada Pasal 3-4 PP No.11/2005 disebutkan bahwa Lembaga Penyiaran Publik berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta pelestari budaya bangsa, dengan senantiasa berorientasi kepada kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi pelayanannya untuk kepentingan masyarakat, Lembaga Penyiaran Publik melibatkan partisipasi publik berupa keikutsertaan di dalam siaran, evaluasi, iuran penyiaran, dan sumbangan masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya kemudian, sejauhmana semangat dan prinsipprinsip radio publik tersebut diimplementasikan oleh jajaran RRI, termasuk RRI Surakarta. Bagaimana proses transformasi RRI dari statusnya sebagai radio pemerintah berubah menjadi radio publik. 6
Kendala-kendala apa yang dihadapi untuk mewujudkan radio publik seperti diamanatkan oleh peraturan perundangan yang berlaku. Makna pembelajaran apa yang dapat dipetik oleh generasi penerus dari proses transformasi RRI dari status sebelumnya sebagai lembaga penyiaran pemerintah berubah menjadi radio publik. Melalui pemaparan secara deskriptif analitik penulis bermaksud menyajikan gambaran global mengenai proses berlangsungnya transformasi RRI Surakarta menuju terbentuknya radio publik menurut UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, PP No. 11 dan No. 12 tahun 2005. Dengan mempertimbangkan kepentingan alih informasi dari generasi ke generasi, maka sistematika penyajian dalam buku ini menggunakan pendekatan pembabagan waktu.
Sistematika Penyajian Mengacu pada maksud penulisan buku ini seperti disebutkan di muka, maka sistematika penyajiannya adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan. Bagian ini menjelaskan latar belakang, maksud, tujuan dan sistematika dalam penulisan buku ini. Bab II : Mengenal sosok Solosche Radio Vereeniging (SRV) sebagai tipologi radio komunitas yang paling ideal. Bagian ini menjelaskan proses lahirnya SRV sampai dengan masa berakhirnya siaran karena kedatangan bala tentara Jepang Bab III : Membahas keberadaan Solo Hoso Kyoku sebagai masa yang menjanjikan untuk penguatan konten lokal. Tanpa disadari pada masa ini merupakan periode penyemaian yang sangat subur bagi tumbuhnya seni budaya Indonesia. Bab IV : Menguraikan tentang peran R. Maladi dari Surakarta dalam membidani lahirnya Radio Republik Indonesia. Dari paparan ini jelas bahwa peran seorang Maladi dalam membidani lahirnya RRI jauh lebih besar dibandingkan Abdulrachman Saleh dan Yusuf Ronodipuro. Bab V : Mendeskripsikan dinamika yang terjadi di Surakarta dalam mengimplementasikan hasil-hasil keputusan konperensi radio di Jakarta, tanggal 11 September 1945. Oleh karenanya, periode ini disebut sebagai masa transisi 7
dari Hoso Kyoku menjadi RRI. Bab VI : Menceritakan kembali peran RRI Surakarta dalam masa revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Periode 1945-1950 merupakan masa yang penuh dinamika dan sangat me nentukan bagi kelangsungan masa depan bangsa Indonesia, Selama masa itu, RRI Surakarta mampu menunjukkan peran besarnya, bahkan sempat menjadi Kantor Pusat RRI, Bab VII : Membahas masa-masa konsolidasi RRI sebagai organisasi penyiaran di tingkat nasional menuju era kemapanan. Bab VIII : Mendeskripsikan secara singkat profil programa siaran RRI Surakarta di era radio publik sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran mengenai karakteristik masingmasing programa siaran RRI Surakarta tahun 2013. Bab IX : Memaparkan berbagai jenis prasarana dan sarana yang tersedia di RRI Surakarta untuk melaksanakan kegiatan produksi program dan penyiaran. Bab X : Mendiskusikan kondisi sumber daya manusia RRI Surakarta di era radio publik Bab XI : Melacak biografi sosok R. Maladi Hendro Hadisewoyo sebagai inisiator pembentukan RRI, menjadi Kepala RRI Surakarta pertama, dan men jabat Kepala Jawatan RRI yang pertama Bab XI : Penutup, berisi abstraksi dari keseluruhan materi yang menjadi fokus dari penulisan buku ini. Dengan demikian bab ini dapat membantu pembaca yang tidak memiliki cukup waktu tetap dapat menangkap garis besar dari isi buku ini. Catatan Kritis Editor: Bagian ini ditulis oleh editor untuk menjelaskan konteks makna kehadiran buku ini bagi kepentingan internal RRI, publik, maupun akademik. Selain itu ditunjukkan pula aspek kekurangan dari buku ini sehingga memberi inspirasi bagi pihak lain yang ingin melakukan studi lanjut terkait dengan keberadaan RRI Surakarta sebagai radio publik. 8
BAB 2 SOLOSCHE RADIO VEREENIGING (SRV): TIPOLOGI RADIO KOMUNITAS YANG IDEAL
S
udah menjadi pengetahuan umum bahwa eksistensi Radio Republik Indonsia (RRI) Surakarta atau lebih populer dengan sebutan RRI Solo tidak terlepas dari Solose Radio Vereniging (SRV) yang dibidani oleh Pengageng Praja Mangkunegaran. Sosok Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro VII merupakan aktor sentral dari lahirnya SRV. Mangkunegoro VII dikenal sebagai tokoh yang mempunyai banyak talenta (multi talent) dengan predikat sebagai pujangga, seniman, budayawan, intelektual, memiliki pengetahuan luas dan visi jauh ke depan. Sebagai perwujudan kecintaannya pada seni budaya ketimuran dalam hal ini seni budaya Jawa, pada tahun 1925 Mangkunegoro VII membina sebuah perkumpulan kesenian Jawa yang diberi nama Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran. Kegiatan utama per kumpulan ini adalah di bidang seni karawitan, yakni memainkan alat musik (gamelan) disertai melantunkan gending-gendhing (nyanyian) Jawa, atau lebih populer dengan sebutan Klenengan. Semua itu dilakukan di lingkungan istana Mangkunegaran. Sebagaimana dikisahkan oleh Pengurus SRV dalam SRV Gedenkboek (1936), sebelum munculnya radio-radio di Nusantara, di Surakarta telah ada radio siaran yang menggunakan call sign PK2MN (Pemancar Kring Ketimuran Mangkunegaran) milik perkumpulan Javansche Kuntskring Mardiraras. Namun, fungsi radio itu masih ter batas untuk menyiarkan klenengan (gending-gendhing Jawa) dari Javansche Kuntskring Mardiraras dan menyiarkan wayang wong (wayang orang) dari Kagungan Dalem Balekambang. Peralatan teknik yang 9
dipakai untuk menyelenggarakan siaran radio sepenuhnya milik Mangkunegoro VII. Beliau membeli peralatan itu dari sebuah stasiun radio milik swasta Belanda di Yogyakarta yang bernama Djocjchasche Radio Vereeniging (Wiryawan, 2011: 80). Meskipun pemancar PK2MN ini beroperasi hanya secara berkala dan melulu menyiarkan seni budaya Jawa, kegiatan ini secara eksplisit dapat diartikan sebagai embrio (cikal bakal) sebagai sebuah stasiun radio siaran. Dalam perkembanganya, Mangkunegoro VII merasa tidak puas dengan keberadaan PK2MN karena kualitas audionya mengalami ke merosotan akibat dimakan usia. Maka beliau kemudian meminta orang kepercayaannya yang juga menjadi pengurus Javansche Kuntskring Mardiraras, RM Ir. Sarsito Mangunkusumo, untuk membenahi PK2MN. Setelah melakukan analisis, RM Sarsito berpendapat bahwa meskipun dilakukan perbaikan, peralatan itu tetap tidak akan me muas kan karena memang sudah tua. Biaya yang dikeluarkan tidak akan seban ding dengan hasil yang diperoleh. Oleh karena itu diputuskan untuk mem beli peralatan yang baru. Akan tetapi, untuk dapat membeli peralatan yang baru tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Javansche Kuntskring Mardiraras. Maka RM Sarsito kemudian mengusulkan diben tuknya suatu organisasi mandiri untuk mengurus masalah tersebut. Dengan melibatkan pihak di luar Javansche Kuntskring Mardiraras. (SRV Gedenkboek, 1936: 1-2) Usulan RM Sarsito diterima oleh kalangan perkumpulan, dan tidak lama kemudian diadakan rapat yang melibatkan pihak di luar Pengurus Perkumpulan Mardiraras. Rapat diadakan pada hari Jumat, 1 April 1933 mulai pukul 19.00 WIB bertempat di gedung Soos Mangkunegaran. Di awal pertemuan itu RM Sarsito mengutarakan cita-citanya mendirikan radio penyiaran yang baru, yaitu untuk menjunjung tinggi derajat kebangsaan Nusantara dengan mengangkat dan menyempurnakan kesenian. Sarsito berpendapat bahwa matinya kesenian akan me nyebabkan merosotnya derajat kebangsaan. (Ibid. h.3)
10
Gambar 1: KGPAA Mangkunegoro VII dalam kostum kebesaran militer dan Permaisuri Gusti Ratoe Timoer (Foto:Repro Koleksi Mangkunegaran)
Rapat yang dihadiri oleh 9 orang tersebut berhasil menyepakati berdirinya Perhimpunan Radio Omroep yang diberi nama Solosche Radio Vereeniging (SRV). Pada malam itu juga berhasil menyusun personalia Badan Pengurus SRV yang selengkapnya sebagai berikut: Ketua : RM Ir. Sarsito Mangunkusumo Sekretaris : Sutarto Hardjowahono Bendahara : Liem Tik Liang Pembantu : R.T. Dr. Murmohusodo Louwson Wongsohartono Tjiong Joe Hok Prijosumarto 11
Komisi Teknik : Ir. Sarsito Mangunkusumo : Louwson : Tjiong Joe Hok Komisi Penyiaran : RM Sutarto Hardjowahono : Liem Tik Liang : Tjan Ing Tjwan Komisi Propaganda : RT Dr. Murmohusodo : Wongsohartono Prijosumarto Selain berhasil menyusun kepengurusan, mereka yang hadir sepakat untuk memberikan iuran uang masing-masing sebesar Rp 1,(satu rupiah) sehingga pada malam itu sudah terkumpul modal awal bagi SRV sebesar Rp 9,-. (Ibid. hal. 4). Selang beberapa waktu setelah SRV berdiri anggotanya bertambah menjadi 100 orang. Hal itu berarti jumlah iuran yang masuk bertambah besar.
Gambar 2: Gedung Soos (Societet Sasono Suko) kini terletak di sudut per simpangan antara Jalan Yosodipuro dan jalan Gajahmada. Gedung Soos sekarang menjadi Museum Pers Nasional karena pada tanggal 9 Februari 1949 menjadi tempat berlangsungnya Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama (Foto: Anten, 1920)
12
Guna menyempurnakan siaran SRV, Sarsito menyewa pemancar PTT (Perusahaan Telepon dan Telegrap) Belanda di Bandung dengan biaya sebesar Rp 90 dan pembelian peralatan baru sebesar Rp 1.500. Namun, biaya tsb tidak dapat dicukupi oleh SRV karena kas SRV yang berasal dari sumbangan para dermawan maupun anggota perhimpunan saat itu baru terkumpul Rp 600. Menghadapi persoalan itu, akhirnya Ir. Sarsito meminta bantuan Mangkunegoro VII dan di kabulkan. Mangkunegoro VII berkenan menanggung seluruh biaya pengadaan alat pemancar tersebut. Pemancar sewaan itu akhirnya tiba di Solo pada hari Sabtu Kliwon tanggal 9 Januari 1934. Atas izin Patih Mangkunegaran, KRMT Sarwoko Mangkukusumo, untuk sementara waktu peralatan pemancar SRV ditempatkan di Pendapa Kepatihan Mangkunegaran. (Ibid. h. 5-6). Selain memperoleh pinjaman tempat, SRV juga mendapat dukungan berupa pasokan tenaga listrik untuk menghidupkan pemancar SW (Short Wave).
Gambar 3: Pendapa Kepatihan Mangkunegaran pernah menjadi lokasi Pemancar SRV (Foto: Repro dari SRV Gedenkboek, 1936: 6)
13
Siaran perdana SRV pada saat itu berupa klenengan yang disajikan oleh Javansche Kuntskring Mardiraras dan ditujukan langsung ke negeri Belanda. Siaran itu ternyata dapat diterima dengan baik, terbukti dengan datangnya telegram dari Belanda yang menyatakan bahwa siaran SRV dapat didengar di Eropa. Sejak saat itu SRV mengalami perkembangan yang cukup pesat dan anggotanya pun bertambah hingga pernah mencapai 4.000 orang. Isi siarannya pun tidak lagi terbatas pada sajian seni karawitan (klenengan), tetapi diperluas dengan sajian musik lain seperti keroncong. Tanggal 1 Februari 1934 untuk pertama kalinya SRV menyiarkan orkes keroncong yang merupakan sumbangan dari Perhimpunan Musik Keroncong Montecarlo. Kemudian pada 18 Juli tahun yang sama, SRV menyelenggarakan siaran langsung Garebeg Sekaten dengan mengumandangkan kagungan dalem gamelan “Kyai dan Nyai Sekati” dari alun-alun utara Keraton Suakarta (Ibid. h. 24-27). Setelah berhasil “menguasai angkasa” Solo dan sekitarnya dengan siaran seni budaya Jawa, SRV lalu memperluas jangkauan siaran dengan mendirikan cabang di kota lain, yang kelak berubah menjadi stasiun radio siaran mandiri. Cabang pertama yang dibuka berada di kota Jakarta pada tanggal 8 April 1934, yakni SRV Kring (cabang) Betawi yang dipimpin oleh Gunari Wiriodinoto. Di kemudian hari setelah mampu operasional mandiri, SRV Kring Betawi ini menjelma menjadi VORO (Vereeniging voor Oosterche Radio Omroep). Disusul kemudian dengan pembentukan SRV Kring Bandung pada tanggal 30 April 1934 dengan sebutan VORL (Vereeniging Oosterche Radio Luisteraars) dipimpin oleh R. Soedirjo. Setelah itu didirikan pula cabang Surabaya, VORS (Vereeniging Oosterche Radio Surabaya) dipimpin oleh Sujadi. VORS ini kemudian berubah menjadi CIRVO (Chineese en Inheemse Radioluisteraars Oost Java) pada tahun 1934. Pada tahun 1936 SRV Kring Madiun dibentuk dengan sebutan EMRO (Eerste Madiunsche Radio Omreop). Panalagawa dipercaya memimpin cabang SRV ini. Di kota Semarang SRV juga mendirikan SRV Kring yang berfungsi sebagai stasiun relay untuk wilayah Semarang. Beberapa waktu kemudian SRV Kring Semarang mendapatkan bantuan tenaga, yaitu Sutarto Hardjowahono (sekretaris perhimpunan SRV) dan menjadikannya SRV sebagai Radio Semarang, pada tahun 1936 dipimpin oleh Sujadi. Adapun 14
SRV Kring Purwokerto dipimpin oleh Wiriosastro dan cabang terakhir yang didirikan SRV berada di Bogor, dipimpin oleh Kaprawi. Setelah SRV berdiri, beberapa waktu kemudian, tepatnya bulan Oktober 1934 di Solo berdiri SRI (Siaran Radio Indonesia). Radio SRI dikelola oleh bangsawan dari Kasunanan Surakarta dan dikenal sebagai radio yang pertama kali menggunakan kata “Indonesia”. Akan tetapi, SRI tidak tergabung di dalam PPRK yang diketuai oleh Sutarjo (Wiryawan, 2011: 125). SRI berdiri berkat kedermawanan P. Suryohamijoyo dan dibantu oleh Raden Mulyadi Joyomartono yang kemudian menjadi penyiar terkemuka di SRI. Sejak awal berdirinya, SRI menerima subsidi dari NIROM dan membuka cabangnya di Kudus, Jawa Tengah berkat bantuan raja kretek setempat, Nitisemito (Sejarah Radio di Indonesia, 1953: 118-119) Pada tanggal 15 Januari 1935 SRV mengadakan kongres di Solo. Salah satu keputusan penting dari kongres ini adalah SRV harus memiliki gedung studio sendiri yang memadai untuk keperluan penye lenggaraan siaran. Karena anggaran untuk pembangunan gedung studio ini tidak mencukupi, SRV kemudian meminta bantuan kepada Mangkunegoro VII. Untuk keperluan pembangunan gedung studio ini Mangkunegoro VII menghibahkan tanah seluas 5.000 meter persegi senilai f 15.000 (lima belas ribu rupiah), terletak di kampung Kestalan atau sebelah selatan stasiun kereta api Balapan, Solo. Tanggal 15 September 1935 pembangunan gedung studio SRV mulai dilaksanakan. Peletakan batu pertama dilakukan oleh putri Mangkunegoro VII, BRAj. Siti Koesoemowardhani. Sedangkan untuk teknik pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh arsitek Ir. FCL Van Olden. Tanggal 23 September 1936 gedung studio SRV diresmikan pemakaiannya oleh BRAj. Siti Koesoemowardhani (setelah me nikah berganti nama Gusti BRA Siti Noeroel Kamaril Ngarasati Koesoemowardhani). Gedung studio SRV tersebut hingga kini masih berdiri kokoh dan digunakan untuk operasional siaran RRI Surakarta. Setelah menempati gedung studio yang baru dan megah, para pengurus SRV pun kian bersemangat dalam mengelola siaran. Hal ini berdampak positif terhadap perkembangan seni budaya yang hidup di tengah masyarakat. Perkumpulan seni tumbuh dengan cepat. Hal 15
ini sejalan dengan salah satu tujuan SRV yang hendak memajukan kesenian dan kebudayaan ketimuran melalui program siarannya. Sementara itu, pada tahun 1934 Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi izin pendirian stasiun radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep). Di setiap kota besar di pulau Jawa, seperti Bandung, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surakarta, Jogyakarta, Magelang, Malang, dan Surabaya NIROM mendirikan semacam Stasiun Relay. Keberadaan NIROM ini dibantu oleh PTT Belanda dengan menyediakan line telepon yang menghubungkan pemancar NIROM pusat dengan stasiun relay. Berkat dukungan pemerintah Belanda NIROM memiliki peralatan dan jaringan siaran yang jauh lebih baik dibanding radio siaran milik pribumi. Pada tahun-tahun awal operasinya, siaran NIROM cenderung membidik audience warga keturunan Eropa. Namun, setelah melihat perkembangan siaran ketimuran yang di sajikan oleh perkumpulan radio siaran pribumi mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, NIROM pun menjadi tergoda untuk menggarap siaran ketimuran. Maka pada tahun 1936 Nirom membuka saluran II khusus untuk programa ketimuran yang diproduksi sendiri maupun mengambil dari radio ketimuran (Wiryawan, 2011: 203).
Gambar 4: Gedung Studio Siaran SRV dalam proses penyelesaian. Tiang yang menjulang sampai sekarang masih menjadi bagian dari Gedung Utama RRI Surakarta (Foto: Repro dari SRV Gedenkboek, 1936: 23)
16
Langkah pertama yang dilakukan oleh NIROM adalah melakukan relay siaran dari perkumpulan radio ketimuran seperti dari SRV, VORO, VORL, dan MAVRO dengan memberi imbalan dana atau istilah sekarang adalah membeli hak siar. Oleh karena itu semakin banyak jam relay, semakin tinggi pula hak siar yang harus dibayarkan oleh pihak NIROM kepada radio-radio yang di-relay siarannya. Hal itu akhirnya membuat NIROM tergoda untuk memonopoli siaran. Maka langkah berikutnya yang dilakukan oleh NIROM adalah hendak menguasai seluruh siaran ketimuran mulai 1937. Jika rencana itu direalisasi maka resiko yang timbul adalah subsidi yang diberikan oleh NIROM kepada perkumpulan radio ketimuran akan dikurangi. Tentu saja rencana NIROM itu membuat gelisah di kalangan pengelola radio ketimuran karena berarti akan mengurangi pemasukan mereka yang sebelumnya tergantung pada iuran anggota. Di sisi lain, langkah NIROM itu dianggap mengingkari perjanjian yang dibuat sebelumnya bahwa pembayaran hak siar akan ditingkatkan jika jumlah pendengar meningkat, karena selama ini pajak radio (luisbijdrage) hanya dinikmati oleh NIROM sementara peningkatan jumlah pendengar itu sendiri justru lebih banyak didorong oleh siaran dari radio-radio ketimuran. (Kementerian Penerangan, 1953: 15), Kegelisahan para pengelola radio ketimuran terkait dengan dengan rencana NIROM tersebut menarik perhatian pers nasional, dan kemudian oleh Sutardjo Kartohadikusumo sebagai anggota Gedelegeerde Volksraad (Dewan Rakyat) masalah itu pada 19 Nopember 1936 dibawa ke sidang Dewan Rakyat (sekarang setingkat DPR). Usulan Sutarjo tersebut juga ditandatangani oleh Sosrohadikusumo, Prawoto Sumodilogo, Suangkupon, H.H. Kan, dan Moh. Noor. Inti usulannya agar Wali Negeri mau menetapkan suatu ordonansi untuk mengubah dan menambah ordonansi 10 September 1930 (Stbl. No. 344) agar pajak radio yang dikenakan kepada pendengar anggota radio ketimuran tidak lebih dari Rp 3 per kwartal, sedangkan untuk mereka yang tidak menjadi anggota perkumpulan sebesar Rp 4.50 per kwartal. Pada awalnya pihak Pemerintah Kolonial Belanda keberatan atas usulan tersebut, tetapi memberikan harapan bahwa penyelenggaraan siaran ketimuran akan diserahkan kepada suatu organisasi radio ketimuran. 17
(Ibid. hal. 16) Sebagai langkah strategis untuk menghadapi rencana tersebut maka pada tanggal 28 Maret 1937 bertempat di kota Bandung, para wakil dari radio siaran VORO (Jakarta), VORL (Bandung), MAVRO (Jogyakarta), SRV (Surakarta), dan CIVRO (Surabaya) mengadakan pertemuan yang diprakarsai oleh M. Sutarjo Kartohadikusumo dan Ir. Sarsito Mengunkusumo. Salah satu keputusan penting dari pertemuan itu adalah membentuk organisasi radio yang dinamakan Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran disingkat PPRK dengan ketua Sutarjo Kartohadikusumo. (Loc.Cit.). PPRK selanjutnya menjadi wadah per juang an bagi radio-radio ketimuran dalam menghadapi tekanan NIROM yang dibantu oleh Pemerintah kolonial Belanda. Setelah berjuang lebih dari tiga tahun, pada 1 November 1940 PPRK akhirnya mendapatkan mandat penuh untuk mengelola siaransiaran ketimuran (Ibid, hal. 19). Namun, dengan kehadiran balatentara Nippon di Indonesia, pada Maret 1942 riwayat PPRK beserta anggota nya berakhir dengan sendirinya tanpa ada acara penutupan terlebih dahulu. Mengacu pada uraian di muka, dapat diidentifikasi beberapa ciri khas yang melekat pada SRV. Pertama, SRV lahir karena dorongan kebutuhan dari lingkungan komunitas budaya Jawa di Mangkunegaran yang menghendaki agar keadiluhungan seni budaya mereka bisa didengarkan oleh kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat di luar Pura Mangkunegaran. Kedua, pendirian SRV bukanlah tujuan utama, melainkan sebagai media untuk lebih menyuarakan ekspresi budaya komunitas Jawa, terutama di lingkungan Mangkunegaran. Oleh karena itu langkah pertama yang dilakukan adalah membangun dan meningkatkan kapasitas komunitas, baru kemudian berpikir tentang media untuk menyuarakannya. Ketiga, organisasi SRV beserta kepengurusannya dibentuk oleh warga komunitas sendiri, tanpa adanya campur tangan dari pihak luar. Keempat, untuk keperluan pembiayaan operasional SRV yang pertama-tama dilakukan adalah menggalang iuran dari para pengurus dan anggota perkumpulan. Hal itu menunjukkan bahwa prinsip kemandirian dalam hal pendanaan sangat diutamakan sehingga tidak tergantung pada pihak mana pun. 18
Ketika terbentur keadaan dan harus mencari bantuan, yang dilakukan oleh para pengurus adalah mengajukan permohonan kepada Mangkunegoro VII yang memang sudah mereka ketahui memiliki komitmen yang tinggi terhadap SRV. Kelima, dalam rangka untuk memperluas jangkauan siarannya, SRV membuka cabang di berbagai daerah, tetapi kemudian cabang-cabang itu dibiarkan bertumbuh menjadi stasiun yang mandiri tanpa adanya tendensi dari pihak SRV untuk menguasainya. Ketujuh, untuk memerkuat eksistensinya dalam menghadapi tantangan dari luar, SRV beserta radio-radio siaran sejenis membentuk organisasi yang bernama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK). Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik tersebut, tidak dapat disangsikan lagi bahwa dalam perspektif UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sejatinya SRV tergolong sebagai lembaga penyiaran komunitas. Bahkan dapat dikatakan, SRV adalah tipologi penyiaran komunitas yang paling ideal dalam sepanjang sejarah penyiaran Indonesia. Dengan demikian, SRV layak menjadi benchmarking dalam pembangunan lembaga penyiaran komunitas di Indonesia. Sayang, siaran SRV akhirnya berhenti akibat kedatangan bala tentara Jepang yang memasuki kota Surakarta. Meski demikian, semangat perjuangan untuk memertahankan eksistensi budaya lokal, jiwa mandiri, dan semangat pemberdayaan serta penguatan kapasitas warga yang dilakukan oleh para pengurus SRV menjadi warisan yang tidak ternilai dan perlu ditransformasikan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri SRV mestinya dapat menjadi acuan bagi generasi penerus yang kini mengemban tugas di RRI Surakarta.
19
BAB 3 HOSO KYOKU: ERA PENGUATAN KONTEN LOKAL
S
ebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya, PPRK pada akhirnya mendapat mandat untuk menye lenggarakan siaran ketimuran berdasarkan Surat Keputusan Gubernements Secretaris No. 1458/A tertanggal 30 Juni 1940. Isi surat keputusan itu menegas kankan bahwa Pemerintah menyetujui penyerahan pekerjaan dari NIROM kepada PPRK untuk menyelenggarakan siaran ketimuran. Surat keputusan itu dapat dicabut kembali apabila pihak PPRK tidak dapat memenuhi janjinya. Berdasarkan surat keputusan tersebut dan setelah melewati perjuangkan keras, akhirnya PPRK berhasil menyelenggarakan siaran ketimuran yang pertama kali. Akan tetapi, siaran yang dikelola oleh PPRK itu hanya mampu bertahan kurang dari satu setengah tahun karena Balatentara Jepang keburu masuk di Indonesia. (Kementerian Penerangan, 1953: 19). Sebagaimana diketahui bahwa dengan dikeluarkannya maklumat resmi Tenno Heika pada 8 Desember 1941, perang Pasifik mulai ber kobar. Jepang yang bergabung dengan Jerman menghadapi lawan nya dari pihak Sekutu yang terdiri dari Amerika, Inggris, dan Australia. Untuk mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dan negaraneagara Asia pada umumnya, Jepang mengobarkan semboyan, ”me merdekakan bangsa-bangsa Asia yang masih terjajah dan bersamasama membangun Asia Timur Raya yang makmur...” Semboyan itu didengungkannya melalui siaran langsung dari Tokyo setiap hari pukul 22.00 yang dapat dimonitor oleh pendengar radio di nusantara. Kemampuan penyiarnya dalam memberikan komentar-komentar 20
secara tepat mampu menciptakan suasana “Indonesia merdeka” se hing ga mengondisikan bahwa kehadiran balatentara Jepang ke Indonesia seolah memang diharapkan. (Abidin, 1985: 30-31) Dengan prakondisi yang demikian maka ketika awal Maret 1942 Jepang berhasil mendaratkan pasukannya di sejumlah tempat di Indonesia, muncul harapan akan segera datangnya era baru, yaitu kemerdekaan seperti yang dijanjikan oleh pihak Jepang. Di sisi lain, kedatangan tentara Jepang menimbulkan kecemasan tersendiri di pihak tentara Belanda. Hal itu terlihat dari sikap mereka yang memerintahkan bumi hangus terhadap semua fasilitas yang strategis, termasuk SRV. Begitu diketahui bahwa balatentara Jepang yang mendarat di Rembang tanggal 1 Maret 1942 telah merangsek ke selatan menuju Solo, pemerintah kolonial Belanda memerintahkan agar pemancar siaran radio SRV segera dibumihanguskan. Namun, para pegawai SRV yang mendapatkan banyak informasi mengenai perkembangan dunia melalui pantauan siaran luar negeri telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena itu mereka bersiasat ketika tanggal 2 Maret 1942 mendapat perintah dari pihak Belanda untuk membumihanguskan pemancar dan peralatan teknik lainnya. Untuk mengelabuhi pihak Belanda maka oleh pimpinan Teknik SRV, Utoyo dan Sugoto, hanya bagian-bagian yang tidak vital yang mereka hanguskan, sedangkan rangkaian pokoknya, termasuk Pemancar YDL II tetap mereka selamatkan. (Kementerian Penerangan, 1953: 119-120). Dengan dirusaknya pemancar dan peralatan teknik lain, dengan sendirinya siaran SRV berhenti. Tanggal 5 Maret 1942, tanpa mengalami kesulitan yang berarti tentara Jepang berhasil memasuki kota Solo. Rute yang ditempuh dari Rembang adalah melalui Gundih (Kabupaten Grobogan) dan Kalioso (Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar) baru kemudian sampai di Solo.
Berdirinya Solo Hoso Kyoku Tiga hari setelah sampai di Solo, tepatnya pada tanggal 8 Maret 1945 komandan pasukan Jepang, H. Funabiki mendatangi studio SRV. Di studio itu Funabiki bertemu dengan R.Maladi (anggota pengurus 21
Komisi Programa SRV), Utojo, dan Sugoto yang keduanya adalah petugas teknik SRV. Ia memerintahkan ke tiga orang SRV ini untuk segera menghidupkan kembali pemancar dan melakukan siaran. Maladi dan kawan-kawan langsung menyanggupi permintaan Funabiki karena mereka yakin dalam waktu singkat dapat memperbaiki pemancar dan peralatan teknik lain yang dibutuhkan. Hanya dalam tempo tiga hari, pemancar radio siaran eks SRV ini sudah kembali mengudara (Ibid. hal. 120). Dalam hal melakukan tugasnya itu, Maladi tidak lagi bernaung di bawah bendera perkumpulan radio siaran ketimuran SRV. Karena seluruh perkumpulan radio siaran atau organisasi penyiaran baik milik swasta Belanda maupun pribumi telah dibubarkan oleh Jepang. Selanjutnya aset dan peralatan radio siaran hasil sitaan tersebut digunakan untuk kepentingan pemerintahan militer Jepang, yakni untuk propaganda dan “perang urat syaraf”. Untuk mempermudah pengorganisasian dan pengendalian radio siaran, Jepang membentuk Hoso Kanri Kyoku di tingkat pusat (Jakarta) dengan cabang-cabangnya di kota Bandung, Semarang, Jogyakarta, Surakarta (Solo), Surabaya, Purwokerto, dan Malang. Cabang-cabang ini disebut Hoso Kyoku. Selanjutnya setiap Hoso Kyoku tadi membuka kantor-kantor cabang di setiap kota kabupaten yang disebut Shidanso dan bertugas mempersatukan seluruh bengkel reparasi radio setempat. Semua perbaikan dan pemeriksaan pesawat radio penerima milik masyarakat dilakukan di satu tempat dan langsung diawasi secara ketat oleh seksi propaganda .pemerintahan militer Jepang. Selain itu Shidanso juga melakukan penyegelan terhadap gelombang/frekuensi siaran radio luar negeri dan membangun radio untuk umum di tempat-tempat pusat keramaian orang. Dengan peraturan itu praktis seluruh pemilik pesawat radio penerima hanya dapat mendengarkan siaran yang dipancarkan oleh Hoso Kyoku dari delapan kota di pulau Jawa.
Hoso Kyoku di Medan Perlu diketahui bahwa Hoso Kyoku sebenarnya tidak hanya ada di Pulau Jawa, tetapi juga ada di luar Jawa. Sebagaimana dikisahkan oleh Sani, di Sumatera Utara pun ada Medan Hoso Kyoku yang pada 22
awalnya menyelenggarakan siarannya dari bekas gedung Perkebunan Deli Maatschappij di Sungai Sekambing yang terletak sekitar 6 km arah barat kota Medan. Radio mengudara melalui gelombang 214 meter dengan kekuatan pemancar 50 watt, dan station call,” JSAK JSAK KOCIRA WA Medan Hoso Kyoku DE ARIMACU”. Pada Nopember 1943, Medan Hoso Kyoku mendapatkan kantor baru di Jalan Serdang dan memperoleh pemancar baru dengan kekuatan 1 KW, tetapi gelombang tetap di 214 meter.(Sani, 1985: 134-135). Kebijakan siaran di Medan Hoso Kyoku sama halnya dengan di daerah lain, yakni diarahkan untuk menanamkan ke dalam jiwa bangsa Indonesia semangat Nippon Seinsi dan mendorong masyarakat agar mau menyumbangkan tenaga, pikiran dan lainnya untuk mendukung kemenangan Jepang dalam Peperangan Asia Timur Raya. Siaran lebih dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan balatentara Jepang meng ingat masyarakat setempat sudah tidak memiliki pesawat radio karena sudah diserahkan kepada pemerintahan militer Jepang. Bagi masyarakat Medan disediakan 25 buah pesawat radio yang diletakkan di tempat-tempat umum guna melayani penduduk Medan yang jum lahnya sekitar seratus ribu orang (Ibid. hal 135). Pegawai yang mengelola siaran Medan Hoso Kyoku ada 7 orang Indonesia yang dipilih dari 400 pelamar. Di Medan, pihak balatentara Jepang tidak mau memanfaatkan tenaga-tenaga eks radio NIROM sehingga harus melakukan rekrutmen baru. Kontrol siaran juga di lakukan secara ketat. Semua materi siaran kata, terkecuali yang berasal dari Kantor Berita Domei harus terlebih dahulu lolos sensor yang dinyatakan oleh Kantor Propaganda Jepang (Bunkaka). (loc.cit.).
Perlakuan Berbeda Perlakuan balatentara Jepang terhadap Solo Hoso Kyoku tampak nya jauh berbeda dibanding terhadap Medan Hosokyoku. Kalau Medan Hoso Kyoku baru dapat menguadara pada tahun 1943, Solo Hoso Kyoku melakukan siaran pertama kali pada hari Rabu, 11 Maret 1942 pukul 10,00 WIB atau hanya berselang 9 hari dari waktu penutupan SRV. dan hanya kalah cepat dibanding Jakarta Hoso Kyoku yang mulai mengudara tanggal 7 Maret 1942. Cepatnya Solo Hoso Kyoku mengudara tampaknya 23
dipengaruhi oleh pola komunikasi yang dialogis antara Komandan Pasukan Jepang di Solo dengan para mantan pengelola SRV. Ketika tanggal 8 Maret Komandan Pasukan Tentara Jepang H. Funabiki yang ada di Solo mengunjungi kantor SRV, ia bertemu dengan R.Maladi selaku Pengurus SRV beserta dua orang tenaga teknik, Utoyo dan Sugoto. Pada kesempatan itu, Funabiki minta agar perangkat pemancar diperbaiki dan segera dapat dioperasionalkan, langsung disanggupi oleh mantan awak SRV. Ternyata hanya dalam waktu tiga hari pemancar yang bersangkutan sudah dapat dipakai untuk melakukan siaran. Pada waktu siaran perdana Solo Hoso Kyoku juga mendapat perlakukan istimewa karena dirayakan oleh kepanduan yang hadir dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta lagu-lagu kebangsaan lainnya sehingga menggugah semangat nasionalisme. Berbeda dengan di Medan yang seluruh SDMnya merupakan hasil rekrutmen baru, Solo Hoso Kyoku menggunakan tenaga-tenaga berpengalaman dari SRV. Bahkan jabatan Kepala studio pun selama tahun pertama (11 Maret 1942 s.d 23 Januari 1943) dipercayakan kepada R.Maladi sebelum akhirnya diserahkan kepada T. Kato. Selain di Solo, untuk Hoso Kyoku lainnya, jabatan Kepala, Kepala Bagian Siaran dan Kepala Bidang Teknik selalu dipegang oleh orang Jepang. Berkat kepemimpinan dipegang oleh anak bangsa sendiri, R. Maladi, maka kebijakan siarannya pun berbeda pula dibandingkan Hoso Kyoku lainnya. Dalam pembukaan siarannya Solo Hoso Kyoku menggunakan tune (tanda pengenal siaran) berupa gendhing Jawa Puspawarna, sedangkan tune penutupnya menggunakan Ayakayakan Kaloran. Penggunaan gendhing-gendhing Jawa sebabagi tune pembuka dan penutup dimaksudkan sebagai salah satu upaya dan sarana melestarikan rasa cinta kepada budaya bangsa sendiri. Padahal di Hoso Kyoku lainnya, pada pembukaan dan penutupan siaran diwajibkan memperdengarkan lagu-lagu Jepang. Namun, untuk mempertahankan kebijakan itu R. Maladi harus merundingkannya dengan pihak Hoso Kahri kyoku di Jakarta (Kementerian Penerangan, 1953: 120). Setelah mendapatkan penjelasan mengenai alasan penggunaan gendhing-gendhing Jawa sebagai musik pembuka dan penutup siaran, akhirnya pihak pimpinan radio Jepang Hosokanriyoku 24
di Jakarta dapat menyetujui langkah Solo Hoso Kyoku. Penggunaan gendhing-gendhing Jawa sebagai tanda pembuka dan penutup siaran Solo Hoso Kyoku bertahan hingga tanggal 19 Agustus 1945.
Kebijakan Siaran Pemerintahan Militer Jepang Selama menjajah Indonesia, kebijakan pemerintahan militer Jepang di bidang media massa cenderung represif. Jepang membentuk badan propaganda yang disebut Bunkaka dengan tugas melakukan pengawasan dan sensor terhadap media massa baik cetak, radio, dan film. Untuk melakukan kontrol terhadap siaran radio dibentuk suatu badan tersendiri yang disebut Hoso Kanri Kyoku dengan kantor pusatnya di Jakarta, sedang cabang-cabangnya bernama Hoso Kyoku yang ada di Pulau Jawa meliputi Bandung, Purwokerto, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Di beberapa tempat di luar Jawa juga didirikan Hoso Kyoku seperti di Medan. Di samping itu, pada tingkat kabupaten dibentuk suatu badan bernama Shodanso yang bertugas melakukan koordinasi dengan bengkel-bengkel reparasi radio untuk melakukan penyegelan gelombang. Di Jawa, radio-radio yang dimiliki oleh warga masyarakat diminta untuk diserahkan ke bengkelbengkel reparasi dan selanjutnya disegerl gelombang penerimaannya agar tidak dapat menerima siaran dari luar negeri, kecuali siaran relay dari Tokyo. Namun, di Medan kebijakannya cenderung lebih ekstrim. Radio penerima milik masyarakat tidak sekadar didaftar dan disegel, tetapi harus diserahkan kepada pihak polisi sehingga masyarakat hanya dapat mengikuti siaran melalui radio yang dipasang di tempattempat umum dan jumlahnya hanya 25 buah (Sani. op.cit. hal32-33). Kebijakan lain yang sangat mendasar selama masa pemerintah an militer Jepang adalah dalam hal konten siaran. Pemerintahan militer Jepang sangat sadar bahwa radio pada waktu itu merupakan satu-satunya media massa yang paling ampuh untuk mempengaruhi masyarakat luas mengingat media massa cetak masih sangat terbatas, sedangkan media televisi belum ada. Untuk meminimalisasi resiko yang mungkin timbul maka diberlakukan banyak aturan yang harus ditaati oleh para penyelenggara siaran radio. Adapun beberapa aturan yang terkait dengan aspek konten (isi) siaran radio adalah sebagai 25
berikut. Pertama, Jepang melarang semua Hoso Kyoku menyiarkan lagulagu Belanda dan musik barat pada umumnya. Pelarangan itu pada awalnya jelas menimbulkan masalah mengingat industri rekaman dalam negeri pada waktu itu belum berkembang sehingga masih sangat tergantung pada industri rekaman dari Eropa dan barat pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan siaran, maka segera muncul pencipta-pecinpta lagu, biduanita-biduanita baru, seniman baru, penulis naskah drama, dan lainnya yang semua itu berkarya untuk mengisi slot waktu siaran yang demikian panjang. Tuntutan keadaan seperti itulah yang kemudian menyebabkan musik keroncong, lagulagu Indonesia, seni drama dan lainnya mencapai kemajuan pesat, Kedua, larangan penggunaan bahasa Belanda dan Bahasa asing lain dalam siaran radio, kecuali bahasa Jepang. Semua siaran wajib menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini memberikan hikmah tersendiri karena dengan kebijakan tersebut justru mempercepat proses pemasyarakatan bahasa Indonesia menjadi bahasa percakapan sehari-hari. Masyarakat menjadi semakin familier dengan bahasa Indonesia karena setiap hari mendengarkan siaran dari radio. Ketiga, radio dijadikan alat untuk menanamkan semangat busyido Seisyin atau semangat kesatria Jepang yang memiliki ketaatan dan rasa hormat kepada orang tua, pemimpin, dan raja. Penanaman semangat busyido itu dilakukan melalui pelatihan kemiliteran dan pendidikan jasmani. Terkait dengan itu maka setiap pagi Hoso Kyoku Jakarta yang direlai oleh daerah mengomando pelaksanaan senam kesehatan jasmani bagi murid-murid sekolah dasar, sekolah lanjutan, pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan masyarakat umum. Acara siaran tentang senam pagi itu disebut “Radio Taiso”. (Abidin, op.cit. hal 33) Keempat, sensor ketat. Bagi semua Hoso Kyoku berlaku peraturan bahwa semua materi siaran kata, terkecuali yang bersumber dari Kantor Berita Jepang Domei, semua harus disensor oleh Bunkaka (Kantor Propaganda Jepang). Dengan demikian, semua siaran kata harus disiapkan dalam bentuk tertulis, tidak boleh improvisasi, Kelima, Hoso Kyoku secara rutin menyelenggarakan pelajaran Bahasa Jepang untuk mendukung kebijakan diterapkannya pelajaran 26
Bahasa Jepang di sekolah-sekolah. Pengalaman penyelenggaraan siaran Bahasa Jepang itu di kemudian hari menjadi modal penting bagi para pegawai Hoso Kyoku yang kelak kemudian bermetamorfose menjadi RRI. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada era pemerintahan militer Jepang, radio dijadikan alat propaganda sekaligus pengendalian massa. Kesadaran publik dikendalikan dan dikontrol oleh Bunkaka yang memanfaatkan jaringan siaran radio untuk membentuk opini tunggal. Kebijakan siaran yang melarang penggunaan Bahasa asing kecuali bahasa Jepang, dan pelarangan menyiarkan lagu-lagu barat pada sisi lain justru mendorong kemajuan pesat di bidang seni musik, lagu-lagu Indonesia, seni drama, dan lainnya. Pada era ini muncul banyak pencipta lagu, biduanita-biduanita baru, seniman-seniman baru, penulis naskah dan sebagainya. Kondisi demikian ternyata menjadi modal penting bagi perkembangan dunia penyiaran radio di Indonesia di kemudian hari. Era Hoso Kyoku secara nyata berhasil mengembangkan program acara siaran yang sifatnya lokal (local content).
27
BAB 4 MEMBIDANI LAHIRNYA RADIO REPUBLIK INDONESIA
J
atuhnya bom atom di Hirosima pada tanggal 6 Agustus 1945 yang menewaskan 78.000 orang dan di Nagasaki tanggal 9 Agustus menandai kekalahan Balatentara Jepang dalam Perang Dunia II melawan Sekutu (Ricklefs, 1981: 314-315). Berita mengenai hal itu tentu tidak pernah disiarkan oleh Hoso Kyoku di Indonesia. Akan tetapi orang-orang Indonesia yang bekerja di bagian pekabaran (media massa), terutama di stasiun penyiaran radio dapat mengakses berita-berita tersebut melalui siaran luar negeri, BBC London dan Radio Amerika (Jawatan RRI, 1953: 122). Meskipun secara formal radio-radio penerima milik masyarakat telah disegel agar tidak dapat menerima siaran asing, kecuali dari NHK (Jepang), tetapi bagi mereka yang bekerja di Hoso Kyoku mana pun mengikuti siaran radio asing sangat dimungkinkan karena mereka dapat menyiasati penyegelan tersebut. Lagi pula pengawasan pihak balatentara Jepang terhadap orang-orang Hoso Kyoku yang mengakses siaran luar negeri tentu tidak seketat yang dilakukan kepada masyarakat pada umumnya karena mereka yang bekerja di Hoso Kyoku dianggap bagian dari mereka sendiri. Dengan diperolehnya informasi tentang kekalahan Jepang dalam menghadapi Sekutu, maka orang-orang Indonesia yang bekerja di Hoso Kyoku secara diam-diam melakukan konsolidasi untuk mengantisipasi kalau Jepang segera meninggalkan Indonesia. Oleh karena itu ketika Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945, penyiar Hoso Kyoku di Jakarta Yusuf Ronodipuro 28
segera dapat menyebarluaskan peristiwa monumental tersebut karena memang sudah ada antisipasi sebelumnya. Para penyiar radio sudah mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan berita yang dapat mereka akses melalui siaran radio. Berkat penyiaran radio maka proklamasi kemerdekaan RI dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat dunia. Itulah sebabnya muncul olok-olok dari Menteri Luar Negeri Belanda Van Kleffens baik di dalam negeri maupun di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa Republik Indonesia hanya suatu gerombolan ekstremis dengan satu mikrophone (Abidin, dkk, 1985: 143). Sebaran informasi tentang kemerdekaan RI juga segera sampai ke daerah-daerah berkat mikrophone radio Hoso Kyoku di berbagai tempat, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Apa yang diperhitungkan oleh para broadcaster Indonesia yang tergabung dalam Hoso Kyoku akhirnya terbukti. Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu (Ricklefs, loc.cit). Tindakan lebih lanjut yang kemudian diambil oleh pemerintah Jepang terkait dengan penyelenggaraan siaran radio adalah memerintahkan kepada semua pimpinan Hoso Kyoku melalui kantor pusat di Jakarta (Hoso Kanri Kyoku) untuk menutup siaran per 19 Agustus 1945 sambil menunggu perintah dari tentara pendudukan Inggris yang akan datang ke Indonesia menggantikan Jepang (Jawatan RRI, 1953: 123). Penutupan itu menimbulkan kevakuman komunikasi massa mengingat pada waktu itu belum ada stasiun penyiaran radio lain yang muncul. Padahal, sebagai negara yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya, Indonesia sangat membutuhkan media komunikasi massa yang efektif untuk kepentingan perhubungan antara para pemimpin pemerintahan dengan masyarakat. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, mantan broadcaster Hoso Kyoku di Solo Maladi berinisiatif untuk mengirim surat kepada temantemannya di Yogyakarta (Sumarmadi), Semarang (Suhardi), di Malang, Pimpinan Studio Surabaya, dan Adang Kadarusman di Jakarta. Isi surat yang dimaksud adalah mengajak mereka untuk mengadakan pertemuan di Jakarta guna membahas tindak lanjut dari penutupan siaran Hoso Kyoku. Mereka sepakat bahwa pertemuan akan diadakan 29
tanggal 11 September 1945 di Jakarta. Oleh karena itu dari Solo berangkat dua orang, yaitu Maladi dan Sutardi Hardjolukito yang dalam perjalanannya menuju Jakarta singgah ke Semarang menjemput Suhardi dan Harto. Sedangkan wakil dari Yogyakarta yang berangkat adalah Sumarmadi dan Sudomomarto. Di Jakarta mereka bertemu dengan utusan dari Purwokerto (Suharjo), wakil dari Bandung (Syakti Alamsyah, Darya, dan Agus Marah Sutan). Adapun Jakarta diwakili oleh Adang Kadarusman, Suryodipuro, Yusuf Ronodipuro, Sukasmo, Syawal Mochtarudin, dan Caca (Ibid. hal. 127). Sebelum melangsungkan rapat, mereka berusaha untuk meng hadap Presiden Sukarno di Pegangsaan Timur, tetapi tidak mendapat izin dan pada sore hari pukul 17.00 WIB mereka ditemui oleh Sekretaris Negara Mr. AG Pringgodigdo bersama Menteri Luar Negeri Mr Subarjo, Manteri Dalam Negeri Mr. Iwa Kusumasumantri, dan Menteri Keamanan Mr. Gatot. Pada waktu menghadap Sekretaris Negara, rombongan radio sudah didampingi oleh Dr. Abdulrachman Saleh yang lebih di kenal dengan panggilan Pak Karbol, seorang yang dikenal sebagai ahli bidang telekomunikasi pada masa itu. Dalam pertemuan itu ada be berapa poin penting yang disampaikan rombongan radio melalui Dr. Abdulrachman Salem, antara lain (Ibid. hal. 126-127): 1. Mereka bertekad akan membentuk Persatuan Radio Republik Indonesia yang meneruskan penyiaran dari 8 studio di Jawa. 2. Radio Republik Indonesia yang mereka bentuk akan dipersem bah kan kepada Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kepentingan komunikasi dengan rakyat dalam menghadapi perjungan yang akan datang. 3. Pada saatnya nanti mereka akan menyatakan menjadi pegawai Republik Indonesia 4. Mengingat status penyiaran radio dalam pemerintahan belum ditetapkan secara tegas, maka untuk sementara mereka akan bekerja sebagai organisasi tersendiri, tetapi hendaknya pemerin tah dapat memberikan bantuan seperlunya. 5. Berhubung kedatangan tentara Inggris dan kemungkinan disusul tentara Belanda, maka segala pekerjaan mereka akan diatur dengan faktor pertempuran antara Indonesia melawan Inggris 30
6.
7.
dan Belanda. Penyerahan peralatan siaran dari pemerintah Jepang akan mereka tangani sendiri, tetapi bilamana perlu Pemerintah hendaknya memberikan bantuan. Untuk keperluan komunikasi antara Pemerintah dengan orang radio hendaknya melalui satu orang, yaitu Dr. Abdulrachman Saleh mewakili orang radio dan pihak Pemerintah pun hendaknya menunjuk salah seorang wakil.
Sekembalinya dari Pejambon menghadap Menteri Sekretaris Negara, rombongan radio singgah ke rumah kediaman Kepala Bagian Umum Hoso Kyoku di Jakarta Okonogi sebagaimana kesanggupan yang disampaikan Maladi dengan Okonogi pada siang harinya. Pertemuan dengan Okonogi tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pihak Jepang tidak bersedia menyerahkan pemancar dan alat-alat siaran Hoso Kyoku kepada pihak Indonesia dengan alasan bahwa peralatan tersebut sudah masuk dalam daftar yang berada di tangan Komando SEAC di Singapore. Okonogi khawatir, Kalau Jepang menyerahkan alatalat siaran kepada rombongan radio tanpa izin pihak Sekutu akan terkena sanksi. Gagal melakukan negosiasi dengan Okonogi mereka memutuskan untuk menuju ke rumah Adang Kadarusman di Menteng Dalam guna melakukan rapat seperti tujuan semula mereka berkumpul di Jakarta. Rapat dengan agenda tunggal yang mereka sebut “Perjuangan Kita” dipimpin oleh Pak Karbol (Abdulrachman Saleh) dan berlangsung dari pukul 24.00 s.d 06.00 (tanggal 12 September). Ada tiga kategori permasalahan yang mereka bahas (Abidin, dkk, Ibid.hal. 42-43), yaitu: 1. Aspek Idiil RRI • Landasan/Dasar : RRI didirikan di atas landasan/dasar Proklamasi 17 Agustus 1945 • Tujuan : RRI didirikan dengan tujuan: a. Perjuangan bangsa dan negara Republik Indonesia untuk membela dan menegakkan kedaulatan dan kemerde 31
2.
32
kaan negara pada khususnya, menggalang persatuan nasional dan membangun cita-cita kemerdekaan pada umumnya. b. Komunikasi antara Pemerintah dengan rakyat dan rakyat dengan rakyat c. Pembinaan jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 • Norma dan Moral Siaran Setiap pegawai Radio Republik Indonesia harus yakin dan setia kepada perjuangan RRI, dan mengutamakan kepenting an bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, golongan dan aliran dalam membina penyiaran radio • Disiplin Perjuangan Seluruh korps RRI harus membela dan menjaga keselamatan alat-alat radio dengan segala akibatnya demi keselamatan Republik Indonesia • Semboyan Dalam keadaan apa pun, siaran RRI tidak boleh lenyap dari udara Aspek Struktural a. Organisasi RRI adalah Badan Nasional Penyiaran Radio bersifat per satuan, dengan Jakarta sebagai kantor pusat sementara, dan studio di daerah sebagai cabang-cabangnya yang ber tanggung jawab sepenuhnya atas segala penyiaran di daerah masing-masing. b. Pimpinan RRI dipimpin oleh seorang Pemimpin Umum dengan kepalakepala bagian di Pusat sebagai pembantunya, dan kepalakepala studio di daerah sebagai wakilnya. c. Status RRI Sementara belum ditetapkan oleh Pemerintah, RRI merupa kan satu unit yang tidak bisa dipisahkan. d. Kesatuan Unit Bagian siaran dan bagian pemancar/teknik merupakan satu
e. f.
3.
unit yang tidak bisa dipisahkan Komunikasi Pusat dan Daerah Melalui hubungan telegrafi yang diselenggarakan oleh RRI sendiri Hubungan dengan Pemerintah Hubungan RRI dengan pemerintah hanya melalui Pemimpin Umum RRI
Aspek Program Perjuangan a. Penguasaan pemancar-pemancar dan alat-alat radio dari tangan Jepang dengan jalan apa pun. b. Mempersiapkan pemancar-pemancar gerilya mobil untuk menjamin kelangsungan siaran RRI dalam keadaan apa pun c. Ke dalam mengobarkan semangat kemerdekaan dan jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 kepada seluruh rakyat. d. Ke luar, menyebarluaskan ke seluruh dunia tentang cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia yang sudah merdeka.
Selain tiga kategori permasalahan di atas, rapat juga berhasil merumuskan keputusan penting. Di dalam buku Sejarah Radio di Indonesia tercantum 15 butir keputusan yangberhasil dicapai dalam rapat yang berlangsung hingga tanggal 12 September 1945 pukul 06.00 WIB dan diikuti oleh utusan dari 6 Hoso Kyoku di Jawa karena sampai berakhirnya rapat, utusan dari Malang dan Surabaya tidak dapat hadir karena kesulitan transportasi. Adapun beberapa keputusan penting yang ada di antara 15 butir tersebut, antara lain: 1. Tanggal 11 September ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Radio Republik Indonesia 2. Mulai hari itu semua yang hadir menyatakan diri sebagai pegawai RRI. Selanjutnya kepada semua pegawai Hoso Kyoku di masingmasing daerah diminta pendiriannya secara sukarela, mau men jadi pegawai RRI atau tidak. 3. Untuk sementara waktu Jakarta ditetapkan sebagai kantor pusat, sedangkan pimpinan umumnya adalah dr. Abdulrachman Saleh yang diberi kekuasaan untuk menetapkan kepala-kepala bagian 33
4.
5.
6.
7.
8.
dan formasinya. Sebagai cabang-cabang RRI yang pertama dicatat adalah Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Surabaya. Setiap studio mengusahakan penyerahan segala pemancar dan alat-alat siaran Hoso Kyoku dari Jepang untuk dipakai oleh RRI. Usaha itu pertama-tama harus dengan cara berunding, tetapi kalau cara itu gagal dapat ditempuh cara lain. Sebelum ada ketetapan tentang status RRI dalam ketatanegaraan, masing-masing studio diberi kelonggaran untuk mencari anggaran, asal tidak bertentangan dengan dasar-dasar RRI. Apabila terjadi pertempuran dengan Inggris dan Belanda dan hubungan dengan Pusat atau studio-studio lain terputus, masingmasing studio diperbolehkan menggabungkan diri dengan KNI dan Pemerintah Daerah. Hubungan dengan kedua instansi itu harus bersifat darurat. Masing-masing studio mencari tempat-tempat di luar kota untuk dijadikan tempat-tempat perjuangan selanjutnya. Tempattempat itu harus dipilih yang strategis yang dapat memberikan jaminan agar pemancar-pemancar dapat terhindar dari serangan musuh. Pemancar-pemancar besar yang ada di kota perlu segera dipindahkan ke daerah yang dianggap aman dan strategis tersebut. (Jawatan Radio.1953: 125-128).
Selain sejumlah keputusan tersebut, hasil yang dapat dicapai dalam rapat di Jakarta, adalah Piagam 11 September 1945 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tri Prasetya RRI. Piagam tersebut hingga kini setiap peringatan hari jadi RRI selalu dibacakan. Tri Prasetya itu pula yang menjadi sumber semangat bagi angkasawan RRI pada masa transisi. Ketika Departemen Penerangan RI dibubarkan oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), RRI seolah kehilangan arah. Berkat adanya Tri Prasetya para angkasawan muda segera menemukan kembali jati diri RRI, yaitu mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara, berdiri di atas semua golongan, dan untuk itu memilih menjadi 34
radio publik. Secara utuh, bunyi Piagam Tri Prasetya RRI adalah sebagai berikut: 1. Kita harus menyelamatkan segala alat siaran radio dari siapa pun yang hendak menggunakan alat tersebut untuk menghancurkan negara kita dan membela alat itu dengan segala jiwa raga dalam keadaan bagaimana pun dan dengan akibat apa pun juga. 2. Kita harus mengemudikan siaran RRI sebagai alat perjuangan dan alat revolusi seluruh bangsa Indonesia, dengan jiwa kebangsaan yang murni, hati yang bersih dan jujur serta budi penuh kecintaan dan kesetiaan kepada tanah air dan bangsa. 3. Kita harus berdiri di atas segala aliran dan keyakinan partai atau golongan, dengan mengutamakan persatuan bangsa dan keselamatan negara, serta berpegang teguh pada jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Kilas balik proses lahirnya RRI secara jelas menggambarkan peran besar dari seorang Maladi yang dapat dikatakan sebagai representasi dari warga Surakarta dalam membidani lahirnya RRI. Sebagaimana dicatat dalam lembaran sejarah radio di Indonesia, lahirnya RRI bermula dari surat yang dikirimkan oleh Maladi kepada para koleganya di Hoso Kyoku di Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya dan Malang. Surat tersebut rupanya mendapatkan respon positif dari teman-temannya, terutama yang ada di Yogyakarta dan Semarang. Pematangan gagasan untuk melakukan rapat di Jakarta dilakukan oleh poros Joglosemar (Jogjakarta, Solo, Semarang) karena aspek geografis yang relatif berdekatan membuat mereka dapat bertemu secara intens. Kelompok Joglosemar itu pulalah yang kemudian menjadi inisiator dan penggerak dari perhelatan pertemuan di Jakarta tanggal 11 September 1945 dan berhasil membentuk organisasi bernama RRI (Darmanto, 2013: 24-30). Pada waktu di Jakarta tanggal 11 September 1945, tampak jelas pula kapabilitas dari R. Maladi. Ketika Pemimpin Umum Hoso Kyoku di kantor Pusat Jakarta, Okonogi ingin menyampaikan pesannya kepada rombongan radio yang sedang berkumpul untuk melakukan konperensi, Okonogi tidak memanggil semua anggota rombongan dan bukan pula memilih wakil dari Hoso Kyoku Jakarta, melainkan menunjuk R. Maladi. Kapabilitas R. Maladi tampak semakin nyata ketika tanggal 26 Februari 35
1946 melalui surat kawatnya, Menteri Penerangan mengangkatnya sebagai Kepala Jawatan RRI, walau pun status jawatan RRI sendiri baru ditetapkan secara resmi pada 1 April 1946. Dalam perjalanan kariernya, R. Maladi sempat menjadi Direktur Jenderal Jawatan Radio, dan pada tahun 1959 diangkat menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia (Abidin, dkk, Ibid. hal. 110-111). Dengan diangkatnya R. Maladi sebagai Kepala Jawatan RRI sejak 26 Februari 1946, berarti kepemimpinan Abdurachman Saleh hanya berlangsung kurang dari 6 bulan. Hal itu menunjukkan besarnya pengaruh R.Maladi di antara koleganya di RRI mengingat pengangkatan sebagai Kepala Jawatan melalui proses pengusulan oleh peserta konperensi RRI di Purwokerto pada 23-24 Januari 1946. Dalam konperensi itu diputuskan pula bahwa RRI ingin berada di bawah naungan Kementerian Penerangan, bukan Kementerian Perhubungan (PTT) mengingat masalah penyiaran lebih banyak terkait dengan domain politik. Isu tersebut sempat dibahas dalam konperensi terkait dengan keinginan Kementerian Perhubungan untuk ikut mengurus masalah RRI. Namun, dalam konperensi di Purwokerto pembahasan mengenai hal tersebut tidak mencapai kata sepakat sehingga penetapan status jawatan bagi RRI ditangguhkan. (Abidin, loc.cit.). Pada 1 Maret 1946 diadakan perundingan antara Menteri Penerangan dan Menteri Perhubungan yang berlangsung di Kantor Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Tengah yang berada di Solo. Ikut hadir pula dalam kesempatan itu Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan Ali Budiharjo, Kepala Jawatan Penerangan Jawa Tengah Mr. Sujarwo Condronegoro, Kepala PTT Suharto, dan pimpinan RRI dari berbagai daerah yaitu Maladi (Solo), dr. Abdulrachman Saleh (Jakarta), Suhardi (Semarang), dan Sutardi Harjolukito. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan bahwa RRI akhirnya masuk dalam Kementerian Penerangan, sedangkan menyangkut masalah teknik alat-alat siaran akan diadakan kerjasama antara RRI dengan pihak PTT (Abidin, loc.cit.). Dengan diangkatnya Maladi sebagai Kepala Jawatan RRI, maka kantor pusat RRI yang semula berada di Jakarta berpindah ke Solo. 36
Hal ini dengan sendirinya menempatkan RRI Surakarta dalam posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses manajemen siaran RRI. Oleh karena menjadi kantor pusat maka RRI Surakarta kemudian menyelenggarakan programa siaran luar negeri. Kedudukan sebagai kantor pusat berlangsung sampai berakhirnya Clash II (Agresi Militer Belanda II). Uraian yang telah disampaikan pada bab ini menegaskan bahwa Surakarta mempunyai sumbangan yang besar bagi perkembangan RRI, sejak menjelang, pada saat kelahiran, dan perkembangannya di kemudian hari. Oleh karena jasa-jasanya yang besar itu maka dalam era Orde Baru, kedudukan RRI Surakarta disetarakan dengan RRI yang berada di Ibukota Provinsi, yakni RRI Regional I walaupun berada di wilayah administratif kota madya. Akan tetapi, entah apa alasannya pada era reformasi posisi RRI Surakarta diturunkan statusnya menjadi cabang muda. Mungkin saja hal itu terjadi karena dalam penetapan status semata-mata berdasarkan pendekatan lingkup administratif pemerintahan, tidak memperhatikan aspek kesejarahan. Padahal Presiden RI I Bung Karno senantiasa mengingatkan,” JASMERAH”Jangan melupakan sejarah. Mudah-mudahan pemimpin RRI ke depan, selalu mengingat jasa besar yang telah disumbangkan Surakarta bagi kemajuan RRI di Indonesia.
37
BAB 5 PERIODE TRANSISI DARI HOSO KYOKU MENJADI RRI1
S
ekembali dari mengikuti rapat di Jakarta, pada tanggal 13 September 1945, Maladi mengadakan pertemuan dengan pimpinan Hoso Kyoku Solo dengan maksud untuk menyampaikan keputusan rapat di Jakarta. Pertemuan dengan Kepala Hoso Kyoku setempat, Yasaki dan Kepala Siaran, Yamamoto berlangsung di kantor Hoso Kyoku Solo. Dalam laporannya Maladi mennyampaikan bahwa dirinya akan mengadakan pertemuan dengan para pegawai Hoso Kyoku sebagai tindak lanjut dari keputusan rapat tanggal 11 September 1945 di Jakarta. Kedua pimpinan Hoso Kyoku Solo itu ternyata tidak keberatan jika Maladi akan mengadakan pertemuan dengan semua pegawai untuk menyampaikan keterangan tentang berdirinya Radio Republik Indonesia. Dengan telah diizinkan oleh pimpinan Hoso Kyoku, maka dua hari kemudian (15 September) Maladi mengadakan pertemuan dengan para pegawai tanpa kehadiran dua orang Jepang tersebut. Setelah disampaikan penjelasan mengenai hasil-hasil pertemuan di Jakarta, semua pegawai Hoso Kyoku kemudian diminta membuat pernyataan akan ikut bergabung ke RRI atau tidak. Ternyata, semua
1 Bab ini merupakan saduran yang dilakukan Istiyono berdasarkan manuskrip R.Maladi dalam bentuk tulisan tangan yang tidak diterbitkan. Foto kopi manuskrip diperoleh dari Pegawai RRI Surakarta, Bapak Tukijo yang pernah tinggal cukup lama di rumah R.Maladi dan menjadi penghubung kepercayaan banyak pihak yang ingin bertemu dengan R.Maladi. Materi yang sama pernah dimuat dalam buku peringatan 40 Tahun RRI, Sekali di Udara Tetap di Udara (September 1945). Namun, mengingat buku itu sudah sulit didapatkan dan demi kesinambungan informasi bagi generasi mendatang, bab ini relevan untuk dimuat.
38
pegawai yang hadir pada waktu itu termasuk tenaga karawitan dan musik menyatakan sumpah setia sebagai pegawai RRI Surakarta. Pernyataan tersebut bahkan dibuat secara tertulis dalam satu daftar kolektif disertai tanda tangan masing-masing. Penyampaian pernyataan disertai sumpah di bawah bendera merah putih. Sekitar tanggal 19 September, kota Solo diramaikan dengan berita-berita bahwa tentara Belanda telah masuk Indonesia. Di manamana diadakan rapat oleh KNI (Komite Nasional Indonesia) Daerah, BKR, Organisasi kelaskaran dan Angkatan Muda Indonesia (AMI) untuk membicarakan persiapan menghadapi perang dengan Belanda. Waktu itu Maladi terpilih sebagai ketua AMI dan harus memimpin rapat-rapat AMI. Kesempatan itu dipergunakan untuk membicarakan penguasaan pemancar-pemancar Jepang secepat mungkin, agar siaran radio dapat dibuka kembali. Dengan menunjukkan kepada Yasaki dan Yamamoto suasana perang di Kota Solo, Maladi berhasil mendesak mereka untuk memulai siaran lagi pada 26 September 1945, tetapi belum secara rutin. Mengenai penyerahan pemancar kepada RRI, orang-orang Jepang minta waktu, karena mereka harus minta izin dulu ke Jakarta. Sehari kemudian Kepala Siaran Solo Hoso Kyoku, Yamamoto memberitahukan bahwa dari Jakarta ada perintah untuk merelai siaran dari Jakarta pada jam 19.00. Siaran apa, mereka sendiri tidak tahu. Maladi kemudian menghubungi RRI Semarang untuk menanyakan apakah juga menerima instruksi tersebut dari Jakarta. Berdasarkan informasi dari Suhardi (RRI Semarang) yang akan berpidato adalah Van der Plas, bukan Presiden RI. Untuk itu diputuskan RRI Solo, Yogyakarta dan Semarang tidak akan merelai Jakarta pada pukul 19.00, dan akan menyiarkan acara-acara RRI sendiri sampai pukul 20.00. Meskipun sudah memiliki sikap tegas tidak akan merelai siaran dari Jakarta, pada pukul 18.00 semua pimpinan pegawai RRI Surakarta, teremasuk Yamamoto, hadir di Studio untuk mengambil langkahlangkah seperlunya. Pada pukul 18.30. Maladi menerima telepon dari Suharto Semarang yang mem beri ta hukan agar tidak merelai dari Jakarta karena yang pidato adalah Van Der Plas. Maladi kemudian segera menghubungi Yogyakarta untuk menyampaikan pesan dari 39
Semarang tersebut. Berkat komunikasi yang baik, maka pada pukul 19.00 Studio Tri Tunggal: Solo, Yogyakarta dan Semarang menyiarkan acara-acara RRI sendiri sampai pukul 20.00. Yamamoto yang juga hadir di Studio diberitahu mengapa Solo tidak me-relai siaran dari Jakarta. Malam itu juga diadakan pembicaraan dengan Kepala Solo Hoso Kyoku Yasaki. Maladi mendesak supaya segera diadakan penyerahan atas semua pemancar dan alat-alat radio, karena bangsa Indonesia sudah harus berperang melawan Inggris, yang ternyata sudah menyelundupkan orang-orang Belanda. Mungkin Yasaki sudah menerima instruksi dari Okonagi dari Jakarta, ataukah karena me lihat suasana perang di Solo yang semakin meningkat, maka ia menyatakan bersedia menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Maladi. Ia meminta supaya penyerahan kekuasaan itu dilakukan dalam suatu upacara pada tanggal 1 Oktober 1945. Pada tanggal yang sudah ditetapkan, pukul 10.00, bertempat di Kantor Solo Hoso Kyoku di Balapan nomor 199 (kini menjadi rumah dinas Kepala RRI Surakarta), Yasaki menandatangani naskah penyerahan kekuasaan atas Solo Hoso Kyoku dalam bahasa Jepang dan Indonesia. Dengan telah diserahkannya pemancar dan alat-alat radio, maka RRI Surakarta dapat mengudara secara rutin sejak 4 Oktober 1945. Penyerahan kekuasaan dari Yasaki kepada Maladi atas Hoso Kyoku Solo pada tanggal 1 Oktober 1945, menandai bahwa bagian pertama dari program RRI Surakarta sesuai hasil keputusan rapat di Jakarta telah terlaksana. Sebagai balas budi kepada Yasaki, Yamamoto, dan Kono (Kepala Teknik) diberitahukan bahwa keselamatan mereka di Solo dan kemudian di tempat konsentrasi orang-orang Jepang di Baros Tampir akan dijamin Maladi. Maladi berani memberikan jaminan itu, karena menurut keputusan KNI Surakarta, pengangkutan orang-orang Jepang dari Solo ke Baros Tampir diserahkan kepada AMI (Angkatan Muda Indonesia) dengan pengawalan BKR. Perlu pula dicatat, bahwa pada hari-hari sekitar tanggal 1 Oktober Komandan tentara Jepang di Surakarta menyerah kan senjata dan alat-alat perang Jepang kepada KNI yang diwakili oleh Djatikusumo. Beberapa waktu kemudian menyusul penyerahan seluruh 40
gudang-gudang makanan, pakaian, kertas dan segala macam barang lain nya yang dikuasai Jepang kepada KNI, termasuk pula gedung untuk kantor dan hotel-hotel dan rumah-rumah yang dipakai oleh orang-orang Jepang. Urusan gedung-gedung dan lain-lain tersebut juga diserahkan kepada AMI. Kedudukan AMI waktu itu sangat penting. Dalam kepemimpi nan KNI Surakarta posisi ketua AMI menjadi anggota, sehingga selalu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan pemerintahan di Surakarta, dan urusan dengan orangorang Jepang. Dalam kedudukannya sebagai ketua AMI, Maladi tidak sulit untuk mengusahakan biaya-biaya untuk RRI Surakarta dari KNI. Dalam kaitan dengan masalah anggaran dari pemerintah daerah perlu disebut nama Dr. Kartono anggota pimpinan KNI, yang memberi bantuan besar terhadap RRI, sehingga seluruh kebutuhan biaya siaran sejak Oktober 1945 sampai ada keputusan Pemerintah Pusat tentang status RRI, dibayar oleh KNI/Pemerintah Surakarta sebagai pinjaman. Namun, hal itu tidak berarti RRI Surakarta berada di bawah pengawasan Pemerintah Surakarta, dan dalam segala hal tetap bertanggung jawab kepada RRI Pusat. Tugas berat RRI Surakarta setelah berhasil menyelenggarakan siaran rutin adalah mencari tempat strategis untuk menempatkan pemancar yang aman, tetapi mampu menjangkau wilayah yang luas. Langkah ini harus dilakukan pula karena merupakan mandat dari rapat di Jakarta sebagai bentuk antisipasi untuk menghadapi perang dengan tentaraSekutu yang akan datang kembali ke Indonesia. Setelah melakukan observasi, pilihannya jatuh ke daerah Tawangmangu yang ada di wilayah Kabupaten Karanganyar. Untuk mencapai daerah itu melewati jalan yang berliku dan menanjak sehingga tidak mudah dijangkau oleh musuh. Oleh pihak pemerintah daerah setempat RRI diberi sembilan rumah di Tawangmangu yang dapat digunakan untuk operasional siaran, termasuk menaruh pemancar. Dengan adanya prasarana tersebut maka pemancar RCA segera dipindahkan ke sana, dan oleh pihak PTT (jawatan perhubungan) RRI diberi saluran modulasi tersendiri dari Tawangmangu ke Solo.
41
Persiapan menghadapi kemungkinan perang RRI Solo memilih kompleks Gunung Lawu sebagai basis radio gerilya, dan kota Tawangmangu sebagai pusatnya. Tawangmangu di zaman Belanda maupun zaman Jepang menjadi tempat peristirahatan orang-orang kaya dari Solo, sehingga banyak rumah-rumah/bungalow dan villa yang baik. Dari Tamangmangu ada jalan menuju Sarangan di daerah Madiun yang dapat dilalui jeep. Ke selatan banyak jalan menuju ke Wonogiri, sedang ke Utara menuju daerah Sragen. Dengan jaringan jalan-jalan tersebut Tawangmangu merupakan satu titik persilangan yang strategis dalam perang gerilya. Mulai dari Karangpandan sampai Tawangmangu, yang berjarak kurang lebih 15 km, jalannya terus menanjak dengan bukit-bukit dan jurang-jurang di sebelah kiri dan kanan sehingga dengan pertahanan yang baik, musuh tidak mudah dapat mencapai Tawangmangu. Setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat di Surakarta, yaitu Divisi X Panembahan Senopati, maka Tawang mangu berada dalam daerah komando militer Batalyon Lawu. Komandannya seorang Letnan Kolonel bernama Satro yang kemudian dikenal sebagai Sastro Lawu. Pimpinan RRI Surakarta Maladi juga diangkat sebagai Komandan Batalyon Perhubungan (PHB) Divisi X dengan pangkat Mayor, sehingga kenal baik dengan Letkol. Sastro Lawu. Atas bantuan Letkol. Sastro Lawu, RRI diberi 9 buah rumah villa bekas milik Belanda, semua terletak di desa Ombang-Ombang di atas Tawangmangu. Selain 9 buah rumah tersebut, untuk keperluan RRI masih disediakan beberapa rumah lain di Tawangmangu, di sekitar lapangan olah raga (sport park). Rumah yang terbesar segera disiapkan untuk studio darurat dan sebuah rumah lagi untuk gedung pemancar dan peralatan teknik radio. Rumah lainnya disediakan untuk pegawai siaran dan teknik. Dari PTT, RRI mendapat bantuan saluran telepon khusus untuk modulasi pemancar yang dihubungkan dengan studio Solo. Setelah persiapan-persiapan tersebut dikerjakan, sebuah dari 3 pemancar di studio Solo diangkut ke Tawangmangu, yaitu pemancar lama SRV, RCA. Satu buah lainnya pemancar bekas SRV berasal dari PTT, tetapi ditempatkan di luar studio. Dengan demikian yang tinggal 42
di studio hanya pemancar kecil untuk siaran lokal. Persiapan-persiapan di Tawangmangu dapat diselesaikan dalam bulan Oktober, berkat bantuan Komandan Batalyon Letkol Sastro Lawu. Kompleks pemancar tersebut juga diberi pengawasan antara, sehingga pegawai-pegawai teknik RRI, yang bertugas di Tawangmangu dapat bekerja dengan tenteram dan aman. Seperti telah diramalkan, tentera Inggris tidak hanya mendaratkan pasukannya di Jakarta, tetapi juga di Semarang dan Surabaya, kemudian di Medan, Padang dan Palembang. Bentrokan semakin meluas dan akhirnya timbul pertempuran di Bandung, Semarang dan Surabaya. Di Surabaya pertempuran terjadi dalam dua gelombang, yaitu antara tanggal 28-30 Oktober dan yang kedua mencapai puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945. Menjelang pertempuran pertama tanggal 28 Oktober 1945 Pemimpin Umum RRI Abdulrachman Saleh membawa surat dari Presiden RI, datang di Surabaya dari Solo didampingi oleh Soemarmadi dan Soedomomarto dari Yogyakarta serta Utoyo dan Sugito dari Solo. Maksudnya untuk mengeluarkan pemancar-pemancar radio yang besar milik angkatan laut Jepang dari Surabaya. Misi tersebut berhasil dengan diangkutnya beberapa pemancar ke luar kota tepat pada waktunya. Namun, rombongan Abdulrachman Saleh terpaksa menempuh rute lain untuk kembali ke Solo berhubung adanya pertempuran yang meluas di seluruh kota. Pemancar yang berhasil dikeluarkan dari Surabaya diangkut ke Kediri. Salah satu diantaranya kemudian dipakai untuk siaran ke luar negeri dari Kediri atas biaya dari Perdana Menteri Sutan Syahrir dengan menggunakan Station Call “Radio International Indonesia”.. Di Semarang pertempuran berkobar mulai tanggal 20 November 1945, hingga akhirnya tentara Inggris melakukan pemboman atas kota Semarang. Pemancar dan alat-alat RRI dapat diangkut keluar. Sebagian ke Pati, sebagian ke Pekalongan dan salatiga. Pasukan Inggris dari Semarang juga bergerak sampai Magelang, tetapi terpaksa kembali ke Semarang karena adanya gempuran dari TKR dan laskar-laskar rakyat di sepanjang jalan Magelang - Ambarawa. Studio RRI Surakarta dan Yogyakarta juga tidak luput dari 43
pemboman angkatan udara Inggris. Studio RRI Surakarta dibombardir pada tanggal 25 November, sedangkan RRI Yogyakarta pada tanggal 25 dan 27 November 1945. Studio RRI Surakarta dihujani dengan bom dan roket, tetapi hanya menyebabkan kerusakan ringan. Andaikata studio berhasil dibom pun, siaran dari Solo tidak akan terhenti karena di studio sudah tidak ada pemancar. Dua buah pemancar besar sudah diamankan, sebuah di Tawangmangu dan sebuah lagi di Jebres, Solo. Sedangkan pemancar kecil untuk siaran lokal berada di luar studio. Sore harinya RRI Surakarta sudah berkumandang lagi di udara dari studio darurat di rumah Darmosoegondo, Pasar Legi No. 7. Gedung siaran RRI Yogyakarta, bekas gedung NILMYj mengalami kerusakan yang agak berat akibat pemboman yang kedua kalinya tanggal 27 November 1945. Pada pemboman pertama, 25 November sebagian besar bom roket Inggris jatuh di alun-alun utara sebelah selatan gedung siaran RRI. Pemancar RRI semua selamat dan kemudian dipindahkan ke Terban Taman. Menurut perhitungan kaum politisi di Jakarta, RRI Surakarta, Yogayakarta, Semarang dan lainnya pasti mengalami malapetaka dan Radio Republik Indonesia menjadi badan penyiaran Radio tanpa radio. Pengalaman kita dengan tentara Inggris yang baru sebulan berada di Indonesia lebih menebalkan keyakinan akan kebenaran perhitungan kita, bahwa peperangan yang lebih besar akan berkobar di Indonesia.
Siaran Luar Negeri RRI Nama RRI sejak pertempuran-pertempuran di Surabaya semakin meluas dikenal di seluruh Indonesia. RRI semakin dicintai oleh rakyat, karena siaran-siarannya mereka rasakan menyuarakan isi hati nurani rakyat, menjabarkan keinginan rakyat. RRI mereka anggap menjadi juru bicara rakyat yang sedang berjuang membela kemerdekaan menegakkan kedaulatan, bertekad mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 sehidup semati dengan Republik Indonesia. Karena misi RRI ke dalam negeri sudah semakin memadai, maka perlu diusahakan secepat mungkin agar suara RRI dapat didengar oleh dunia internasional. Pemancar yang dipakai, berada dalam daerah kekuasaan tentara Inggris. Orang-orang RRI di Bandung juga menggunakan 44
pemancar-pemancar besar dari PTT untuk siaran ke luar negeri. Akan tetap, tentara Inggris juga berada di Bandung dan pasti akan menguasai pemancar tersebut. Sebagian dari pemancar PTT dikeluarkan oleh pemuda-pemuda PTT dan kawan-kawan RRI Bandung. Abdulrachman Saleh sudah membawa sebuah pemancar sendiri yang besar dari Bandung ke Yogyakarta, yang akan dipakai untuk siaran ke luar negeri. Tenaga-tenaga siaran luar negeri dari Jakarta sudah berangkat ke Yogyakarta, antara lain Suryodipuro. Akan tetapi, sampai akhir November 1945 pemancar di Yogyakarta dari Bandung ternyata masih belum siap. Perdana Menteri Sutan Syahrir bersama menteri Penerangan telah menugaskan penyelenggaraan siaran ke luar negeri dengan meng gunakan pemancar-pemancar yang sudah dikeluarkan dari Surabaya ke Kediri, antara lain yang diusahakan Abdulrachman Saleh sewaktu akhir Oktober datang di Surabaya. Namun, sampai akhir November pemancar-pemancar di Kediri itu belum siap mengudara. Oleh karenanya opini dunia terpengaruh oleh propaganda Belanda yang dengan leluasa dapat mengatakan seolah-olah Republik Indonesia adalah bikinan Jepang atau Sukarno dan Hatta yang dianggap sebagai kolabolator Jepang, Menurut pihak Belanda, di Indonesia tidak ada apaapa. Kerusuhan-kerusuhan hanya ditimbulkan oleh kaum ekstrimis, dan lain sebagainya. Belanda sangat takut kalau suara RRI sampai didengar di luar negeri. Mereka berhasil memperdayakan Sekutu untuk membom studio Surakarta dan Yogyakarta dengan dalih bahwa RRI membantu radio pemberontak, yaitu radio BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia), radionya Bung Tomo, yang katanya menghasut rakyat untuk merintangi pelaksanaan tugas tentara Sekutu di Indonesia. Pemboman Inggris tersebut lebih mendorong RRI Solo untuk menggunakan pemancar RCA di Tawangmangu untuk siaran ke luar negeri. Dengan gelombang pendek 30 meter pemancar yang ber kekuatan 250 watt itu dapat didengar di Australia dan Asia. Di zaman SRV pemancar tersebut dengan gelombang 60 meter dapat didengar dengan baik di seluruh Indonesia. Masalahnya tinggal mencari tenaga, terutama yang menguasai bahasa Inggris. 45
Pada bulan Desember 1945, Suryodipuro datang dari Jakarta menuju Solo untuk menyelanggarakan siaran luar negeri dari Yogyakarta dengan pemancar PTT dari Bandung. Ternyata pemancar tersebut belum siap. Pada waktu diberitahu tentang rencana siaran luar negeri dengan pemancar di Tawangmangu ia sangat bersemangat. Tentu masih diperlukan beberapa tenaga lagi untuk menyelenggarakan siaran luar negeri secara kontinyu. Sambil mendidik tenaga-tenaga siaran, Suryodipuro mulai siaran dalam bahasa Inggris dari Solo dengan pemancar bergelombang 60 meter. Setelah siaran dalam bahasa Inggris dari RRI Solo diketahui masyarakat, datang ke studi orang-orang muda yang menawarkan bantuan tenaganya, tetapi masih memerlukan pengalaman. Mereka adalah Rochmulyati, Winarsih, Winarti dan Mieke Saleh (adik Popie Saleh yang kemudian menjadi Isteri Perdana Menteri Sutan Syahrir). Setelah latihan siaran luar negeri di Solo berjalan dua bulan, dan persiapan di Tawangmangu selesai, staf siaran luar negeri Suryodipuro pindah ke Tawangmangu untuk menyelenggarakan siaran langsung dari Tawangmangu yang tentu lebih sempurna dari pada dari Solo dengan menggunakan saluran telepon untuk modulasi yang sering terganggu. Dari Yogyakarta juga dapat ditarik 2 orang tenaga berpengalaman, yaitu Budiman dan Hajii, yang sebelumnya adalah penyiar siaran luar negeri Hoso Kyoku Jakarta. Pada bulan Maret 1946, siaran luar negeri RRI dari Tawangmangu dapat dimulai dengan staf seluruhnya berjumlah 25 orang, termasuk keluarga Suryodipuro dan lain-lain serta tenaga-tenaga teknik dan operator. Siaran luar negeri dari Tawangmangu ini dapat berlangsung dengan baik, berkat bantuan yang besar dari Komandan Batalyon Letkol. Sastro Lawu.
46
BAB 6 RRI SURAKARTA DI ERA REVOLUSI
T
ahun 1945-1950 merupakan periode yang sangat menen tukan bagi kelangsungan masa depan Indonesia. Selama periode itu banyak muncul peristiwa dramatik dan serba tidak menentu, Masa itu sering pula disebut sebagai zaman revolusi. Setelah proklamasi kemerdekaan RI berlangsung pada 17 Agustus 1945, disusul lahirnya RRI pada 11 September, tidak lama kemudian terjadi pertempuran di mana-mana, tetapi yang dirasakan paling besar eksalasinya sebelum masuk clash II adalah yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945 yang menyebabkan tewasnya Komandan Pasukan Perang dari Inggris Brigadir Jenderal AWS Malaby. Peristiwa heroik itulah yang kini lebih dikenal sebagai Hari Pahlawan. (Ricklefs, op.cit. hal. 326). Pada masa pertempuran di Surabaya, muncul tokoh besar ber nama Bung Tomo yang orasinya mampu membakar semangat arekarek Surabaya. Pidato Bung Tomo disiarkan melalui Radio Pem berontakan Rakyat yang ia dirikan. Namun, sebelum proses perakitan pemancarnya selesai, pidato Bung Tomo dipancarluaskan melalui RRI Surabaya. Setelah Radio Pemberontakan memiliki pemancar sendiri, giliran pihak RRI hanya merelai. Meskipun demikian, pihak Sekutu mempunyai anggapan bahwa pidato-pidato Bung Tomo dilangsungkan dari studio RRI sehingga RRI Surabaya dianggapnya juga sebagai radio pemberontak. Akibatnya, pada 25 Oktober 1945 RRI Surabaya diduduki oleh sekitar 35 orang tentara Sekutu yang berasal dari orangorang India (Gurkha). Setelah melewati masa pertempuran dan tentara Gurkha tetap bertahan, maka rakyat memutuskan untuk membakar 47
gedung RRI dari pada jatuh ke tangan tentara Sekutu (Timur dalam Sukidi dan Santoso, 1999: 125-127). Menghadapi dinamika sosial politik yang sangat tinggi, serta perlawanan dari pihak musuh menempatkan radio siaran, terutama RRI, pada posisi yang sangat strategis. Tidak terbayangkan betapa sulitnya menggerakan seluruh elemen masyarakat serta melakukan komunikasi dan koordinasi antarelemen kekuatan pejuang seandainya pada masa-masa awal diproklamasikannya Kemerdekaan RI organisasi RRI belum terbentuk. Badan-badan perjuangan seperti BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia) dan kelaskaran rakyat lainnya mengakui pentingnya fungsi radio siaran sebagai alat pengobar semangat perjuangan yang sangat ampuh. Oleh sebab itu, setelah Inggris melancarkan agresi militer di Surabaya, Semarang, Magelang dan Bandung, berdirilah Badan-Badan Siaran Radio di Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Magelang, Cilacap, Tegal, Madun, Kediri, dan Jember. Badan-badan siaran tersebut berdiri.atas usaha masyarakat dengan bantuan KNI, Pemerintah Daerah, Komandan-Komandan Tentara maupun laskar setempat, tetapi sifatnya masih kedaerahan dan belum terorganisasi dengan baik sehingga terasa kurang efektif. Sedangkan RRI sendiri pada waktu itu (1946-1947) sudah memiliki organisasi di tingkat nasional dengan satu komando. Akan tetapi posisi dari masing-masing cabang yang ada pada waktu itu telah menyiapkan diri untuk melakukan perang gerilya. RRI Bandung telah menyiapkan diri untuk menyingkir ke Tasikmalaya, stasiun Purwokerto menyingkir ke Kebumen dan Wonosobo, stasiun Semarang menyingkir ke ke Pati, Pekalongan dan Salatiga, RRI Yogyakarta menyingkir ke Playen Gunungkidul, RRI Surakarta ke Tawangmangu, stasiun Surabaya ke Mojokerto dan selanjutnya ke Kediri, sedangkan RRI Malang menyingkir ke Blitar. Guna meningkatkan efektivitas keberadaan radio-radio siaran yang telah tumbuh, pihak RRI melakukan pendekatan agar radio-radio yang baru tumbuh tersebut mau bersatu dalam barisan RRI. Ternyata ajakan RRI mendapat sambutan baik, bahkan sebagian besar meng inginkan bergabung dengan RRI. Maka bertambahlah cabang-cabang RRI antara lain di Cerebon, Tasikmalaya, Garut, Magelang, Cilacap, 48
Madiun, Kediri. Di Tasikmalaya justru terdapat dua stasiun RRI, yaitu RRI Priangan Timur dan RRI Bandung. Secara politik nasional, terjadi perbedaan dalam menyikapi perkembangan situasi negara. Kalangan militer kelihatan tidak sabar untuk segera menunjukkan aksinya dalam menghadapi musuh, Indi kasinya, beredar kabar bahwa pihak APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) akan mengadakan latihan besar-besaran setelah rombongan kembali dari Jawa Timur sekitar tangal 19 Desember. Sedangkan para politisi cenderung memilih cara-cara perundingan untuk mengatasi masalah walaupun hasil perundingan dengan delegasi Belanda me nunjukkan gelagat yang tidak baik. Membaca gelagat tidak baik dari hasil perundingan tersebut, Maladi mengambil kesimpulan bahwa tentara Belanda tak lama lagi akan melakukan agresi yang kedua. Sehubungan dengan itu maka orang-orang radio harus menyiapkan diri untuk menghadapi perang gerilnya. Maka, pada tanggal 14 Desember dikirim kawat oleh pimpinan RRI Pusat kepada semua studio RRI yang berisi instruksi agar semua pemancar besar dikeluarkan dari kota dan studio-studio darurat yang disiapkan di pegunungan agar sudah siap bekerja. Selanjutnya pada 15 Desember 1948 Maladi menghadap Menteri Penerangan di Yogyakarta untuk melaporkan segala persiapan menghadapi ”doorstoot” Belanda ke Yogyakarta. Sebelum penyerbuan Belanda, pemancar Yogyakarta supaya diangkut ke Playen, Gunungkidul dan daerah pegunungan untuk siaran gerilya. Terkait dengan rencana Maladi minta bantuan keuangan dari Kementrian Penerangan. Menteri menjawab, ”Kita tidak perlu tergesa-gesa. Perundingan dengan Belanda di Kaliurang sedang berjalan dan wakil-wakil PBB ada di sini”. Sekalipun demikian Menteri tidak keberatan RRI mengadakan persiapan. Instruksi tetap diberikan kepada RRI Yogyakarta supaya mempersiapkan pengangkutan pe mancar dan alat-alat radio dari kota. Tanggal 19 desember 1948, masyarakat dikejutkan oleh ledakanledakan di sebelah barat kota Solo. Beberapa pesawat terbang, tampak berputar-putar cukup rendah. Meskipun demikian masyarakat tidak mengira kalau suara-suara ledakan tersebut adalah serangan dari pihak Belanda mengingat sebelumnya tersiar kabar akan adanya 49
latihan perang secara besar-besaran oleh APRI. RRI mulai mengetahui bahwa suara ledakan tersebut adalah serangan Belanda, setelah mendapatkan informasi dari BBC London dan PCJ Hilversum yang menyiarkan perintah Kerajaan Belanda kepada tentaranya di Indonesia untuk melakukan aksi polisionilnya terhadap RI. Setelah meneruskan informasi tersebut kepada Kolonel Gatot Subroto, Kepala Jawatan Radio Maladi memanggil para pimpinan bagian RRI untuk segera berkumpul di kantor Pusat RRI Balapan 199 Solo. Dari RRI Jakarta yang hadir adalah Adang Kadarusman, Sutardi Harjolukito, M. Caca, Projo Witono dan Sujiteng. Sedangkan dari RRI Surakarta yang hadir adalah Saparno, Utojo, dan Sidharto. Kepada mereka secara singkat dijelaskan bahwa : 1. Belanda telah memulai agresi militernya yang ke-2 dengan segenap kekuatannya untuk menghancurkan Republik Indonesia. 2. Perang kali ini akan menentukan hidup matinya Republik Indoneisa. 3. Setiap saat Belanda bisa masuk kota Solo dan menduduki seluruh daerah Surakarta. 4. Bagaimanapun keadaannya, RRI berpegang teguh pada Sumpah 11 September dan bertekad melaksanakan semboyan,”Sekali di Udara Tetap di Udara”. Berhubungan dengan itu Kepala Jawatan menginstruksikan halhal sebagai berikut: 1. Semua pemancar harus diangkat ke Tawangmangu, kecuali pemancar kecil untuk meneruskan siaran di kota, sampai saat Belanda akan masuk kota. 2. Semua arsip Jawatan di Pusat dan Studio supaya diangkut ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Mengenai tugas dan nasib pegawai RRI ditegaskan sebagai berikut : 1. Sebagai pemimpin umum Maladi akan terus memimpin di luar. Markas RRI adalah kompleks Lawu dengan pusatnya Tawangmangu. Siapa yang ingin berjuang di luar supaya meng 50
ikutinya atau menyusul di kompleks Lawu. 2. Bagaimana kehidupan di luar, jawatan tidak dapat menjamin. Namun, ia akan menjamin, jika yang satu makan, semua akan makan. 3. Siapa yang ingin tinggal di kota, diminta supaya tetap setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 dan jangan sampai bekerja pada Belanda. 4. Untuk bekal perjuangan di kota akan diserahkan sekadar modal, berupa 1 kg candu. 5. Apabila terdesak oleh keadaan, barang-barang milik Jawatan yang tidak vital diizinkan untuk dijual guna meringankan beban hdup para pegawai. 6. Jika ada kesempatan supaya diusahakan hubungan dengan yang di luar, agar tetap berjuang dalam satu barisan. Sebagai penutup pertemuan Maladi menyatakan: RRI Yogyakarta sudah tidak terdengar lagi siarannya. Hubungan telepon sudah putus. Siaran radio Australia telah memberitahukan bahwa Belanda telah menduduki kota Yogyakarta. Dengan adanya informasi itu, maka pemancar-pemancar dari Solo mulai diangkut ke Tawangmangu yang akan menjadi pusat siaran RRI dalam gerilya. Kepada stasiun RRI lainya sudah diintruksikan untuk terus berjuang di pegungungan. Pengangkutan pemancar dan alat-alat studio yang pertama sudah terlaksana pada pukul 12.00 dengan truk hijau RRI Solo AD-211. Pukul 21.00 truk itu sudah tiba kembali ke Solo untuk berangkat lagi pada pukul 24.00 membawa pemancar kedua beserta alat-alat lainya. Kedua pemancar tersebut di drop di Tawangmangu. Pertama, pemancar RCA berkekuatan 250 watt, segera dirakit kembali supaya tanggal 20 Desember sudah dapat diudarakan lagi. Kedua, sebuah pemancar NSF, diangkat dari Tawangmangu ke tempat lain yang tidak jauh dari itu untuk cadangan. Adapun yang masih ditingalkan di Solo hanya pemancar kecil untuk siaran lokal. Pemancar ini baru akan diangkut ke luar kota apabila tentara Belanda mendekati Solo. Pada tangal 20 desember pagi, truk AD-211 sudah tiba kembali di Solo. Dari Tawangmangu datang berita telepon bahwa tempat itu 51
dibom dari udara,sehingga tiang-tiang antene RRI harus dirobohkan atas perintah komandan pertahanan Letkol. Hollan Iskandar. Akibatnya pemancar RCA belum dapat mengudara. Maladi diminta segera datang untuk membicarakan masalah penyiaran RRI dari Tawangmangu dengan komandan pertahanan. Pada jam 11.00. Maladi berangkat ke Tawangmangu dengan truk AD-211 yang mengangkut alat-alat terakhir ke jurusan Tawangmangu, antara lain arsip-arsip kantor, mesin tulis, dan mesin roneo. Alat-alat tersebut diturunkan di sebuah desa yang tidak jauh dari Karanganyar untuk disimpan di rumah orang tua salah seorang pegawai RRI pusat yang bernama Sutoyo. Utoyo, yang mengawal pemancar di halaman kantor Kawedanan Karangpandan sengaja menunggu kedatangan Maladi untuk meminta Instruksi ke mana pemancar itu harus dibawa. Secara kebetulan ada seorang “kebayan” (pegawai desa) dari desa Punthukrejo bernama Soekarno yang kenal dengan Maladi dan menawarkan jasanya. Katanya, bila dianggap cocok, rumahnya disediakan untuk menyimpan pemancar NSF. Keesokan harinya tanggal 21 Desember Maladi meninjau pemancar NSF di rumah Kebayan Soekarno di desa Punthukredjo. Kebayan diberitahu, bahwa pemancar itu maha penting bagi RRI dan perjuangan, dan dipesan jangan sampai diketahui Belanda. Mengingat bahwa letak rumah Soekarno di pinggir jalan menuju pabrik teh Kemuning yang bisa dilalui Jeep, ada kemungkinan besar patroli Belanda yang lewat akan memasuki rumah itu. Bagaimana menyelamatkan Pemancar itu dari penggeledahan rumah-rumah oleh Belanda, diserahkan kepada Soekarno. Selain itu juga dipesan, supaya jangan menyerahkan pemancar itu kepada siapa saja tanpa surat dari Maladi. Sewaktu menuju kembali ke Karangpandan hujan turun dan terpaksa ia mencari tempat berteduh disalah satu rumah di pinggir jalan. Di rumah tersebut ia berjumpa dengan Kolonel Gatot Subroto dengan seluruh staf Gubernur Militer II, Kepala Staf Mayor Suprapto, Mayor Rusli bagian I, Letnan Sugiri dan lain-lain. Maladi diberitahu, bahwa beberapa Menteri dan anggota BP KNIP juga ada di Karangpandan, yang sore itu akan mengadakan rapat penting di kantor Wedana. Ia 52
diminta hadir untuk melaporkan soal RRI Rapat sore pukul 17.00 itu ternyata rapat Kabinet RI yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Dr. Sukirman, dan dihadiri oleh Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprojo, Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno, Menteri Urusan Makanan Rakyat I.J. Kasimo didampingi R.P. Suroso. Sedangkan dari BP KNIP hadir Zaenal Arifin, Prawoto Mangkusamito, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Sumardi (sekjen BP KNIP) dan Susilowati, Inspektur Jendral APRI Mayor Jenderal Suhardjo Hardjowardojo dan kolonel Bambang Supeno juga hadir dalam rapat tersebut. Dalam rapat tersebut dibicarakan pembagian tugas dari menterimenteri yang ditawan, antar lain bidang penerangan dirangkap oleh Menteri Supeno. Keputusan itu perlu segera disiarkan oleh RRI dan Meteri Supeno akan mengucapkan pidato selaku juru bicara pemerintah. Maladi ditugaskan untuk mengusahakan agar siaran RRI sudah dapat dimulai esok harinya tanggal 22 Desember 1948. Berhubung masih ada keberatan dari komadan pertahanan Letkol. Hollan Iskandar terhadap didirikannya antena di Tawangmangu, maka oleh Mayor Suparapto ia diberi surat perintah untuk Letkol. Hollan Iskandar, agar membantu RRI dapat segera bersiaran. Tawangmangu akan menjadi Yogyakarta ke II Markas Pemerintah RI Darurat. Malam itu juga Maladi berangkat ke Tawangmangu untuk mempersiapkan siaran pemerintah. Letkol Hollan Iskandar tidak lagi dapat menyatakan keberatannya atas didirikannya antena sehingga tanggal 22 Desember 1948 segalanya telah siap untuk mengadakan siaran pertama dari Tawangmangu dengan menggunakan gelombang RRI Yogyakarta 53 meter dan dengan Stasion call RRI Yogyakarta II. Maladi menginap di rumah teman lamanya Rusdiatmo, yang bagian depannya dipakai sebagai kantor telepon. Keesokan harinya pukul 09.00 Menteri Supeno sudah datang di penginapan Maladi untuk memberikan pokok-pokok keputusan sidang Kabinet di Karangpandan dan isi pidatonya. Ia diminta menyusun naskah dan setelah diketik, akan beliau tandatangani untuk selanjutnya disiarkan langsung berulang kali. Mayor Jendral Suhardjo Hardjowardjojo pada siang hari membawa berita ke tempat penginaan Maladi tentang pendudukan 53
seluruh kota Solo oleh tentara Belanda, yang berasal dari radio Belanda di Semarang. Dalam siaran tersebut dinyatakan bahwa Kolonel Gatot Subroto dan seluruh staf serta pembesar-pembesar militer dan sipil telah tertangkap. Siaran radio Belanda itu jelas berisi kebohongan, itu adalah cara yang digunakan Belanda untuk melemahkan moral rakyat dan TNI. Itulah sebabnya dalam perang ini RRI harus tetap di udara untuk membuka kebohongan-kebohongan Belanda, agar rakyat dan tentara bersemangat melanjutkan perjuangan. Untuk menetramkan hati rakyat dan pembesar militer Maladi mengatakan, bahwa mulai hari itu RRI Yogyakarta II sudah berada di udara. Satu pemancar lagi dari Tawangmangu hari itu sudah akan disiapkan di tempat lain dan satu pemancar di Karangpandan masih ada untuk melanjutkan siaran RRI, apabila kita harus meninggalkan Tawangmangu. Diperoleh kabar bahwa Markas Komando Gubernur Militer akan didirikan di daerah Ngrambe Karesidenan Madiun. Ditempat itu sedang dipersiapkan pemancarpemancar PHB oleh Kapten Muin. Menurut laporan monitoring RRI di Ombang-ombang yang diterima pagi itu, sampai tanggal 21 malam RRI Kediri, RRI Madiun, RRI Jawa Tengah (Magelang) masih ada di udara dan juga dapat ditangkap RRI Bukittinggi dan RRI Aceh. Dari RRI Bukitinggi disiarkan pengumuman bahwa atas perintah Wakil presiden Moh. Hatta pemerintah RI dipindahkan ke Bukitinggi sejak tanggal 20 Desember 1948. Saat itu seolah-olah ada dua pemerintahan RI, satu di Bukitinggi atas keputusan Wakil Presiden/Perdana Menteri, dan satu lagi di Tawangmangu atas keputusan Sidang Kabinet tanggal 16 Dese mber 1948. Sebelum pidato menteri disiarkan, ternyata situasi di Tawang mangu berubah karena panser Belanda sudah masuk sampai di pasar Tawangmangu, tetapi balik lagi ke Karangpandan tanpa mendapat perlawanan dari tentara Indonesia. Di studio Tawangmangu semua sedang sibuk mempersiapkan pemindahan pemancar. Dengan tidak adanya tenaga rakyat atau tentara karena semua sudah mengungsi ke Pancot sebelah utara Tawangmangu akan sulit untuk melaksanakan pengangkutan dua pemancar pada hari itu juga. Maka segera diadakan rapat di rumah penginapan Maladi untuk membicarakan apa yang 54
akan dilakukan terkait dengan kondisi terbaru. Maladi tahu, bahwa esok harinya tentara Belanda akan menduduki Tawangmangu. Dua pemancar sudah tidak mungkin lagi dapat diselamatkan. Satu-satunya pemancar yang masih dapat diharapkan akan meneruskan siaran RRI di kompleks Lawu hanya yang ada di Karangpandan. Oleh karena itu diputuskan untuk menyingkir ke daerah sebelah utara Tawangmangu, mencari tempat yang ada pabrik teh atau kopi yang mempunyi aliran listrik. Kemudian pemancar di Karangpandan diangkut ke tempat tersebut. Pada akhirnya diputuskan bahwa rombongan RRI akan meneruskan perjalanan ke daerah Ngrambe untuk mencari markas Gubernur Militer dan Pusat PHB GM II. Keesokan harinya (tanggal 26 Desember 1948) Maladi mendengar bahwa Kolonel Gatot Subroto tidak bermarkas di Ngrambe, tetapi di desa Babar. Pada siang itu juga Maladi menghadap Kolonel Gatot Subroto di Babar. Seperti direncanakan, hari itu anggota-anggota Tentara Pelajar (TP) datang di Babar membawa laporan dari komandannya. Mayor Soehardi dan Letnan Damanik Staf PHB juga datang dari Tawangmangu yang membawa surat dari Panglima Komando Jawa. Dalam pertemuan itu dibahas mengenai strategis yang akan dilakukan untuk menghadapi serangan Belanda. Pertama, dispekatinya rencana untuk mengadakan hubungan kurir antara GM II dengan Solo dan seterusnya ke MBKD (Markas Besar Komando Jawa) di daerah Yogyakarta. Untuk hu bungan dengan Solo diserahkan kepada RRI yang dibantu oleh KMK. Dinas kurir sudah harus berangkat tanggal 28 Desember. Supahang dari RRI ditugaskan untuk merintis hu hungan pertama. Sepanjang jalan yang dilalui kurir akan diadakan pos-pos oleh pihak tentara. Dengan daerah Tawangmangu hubungan kurir ditugaskan kepada Letnan Damanik, dengan bantuan tenaga PMI dari Tawangmangu yang berada di Ngringin. Kedua, mengadakan dinas monitoring radio, agar setiap hari Staf GM dapat menerima berita-berita radio dari dalam maupun luar negeri. RRI diserahi tugas monitoring tersebut dan tempatnya di desa Balong kira-kira ½ jam perjalanan dari Babar. Di Balong pabrik kopi dan karet masih jalan dengan menggunakan tenaga 55
listrik dengan dinamo gelijkstroom (arus searah). Ketiga, untuk mengadakan hubungan telegrafi dengan pemancar PHB di Wonosari, yang menjadi pusat hubungan antara Komando APRI dengan semua Gubernur Militer/Panglima Divisi di seluruh teritorial termasuk Sumatera. Tugas tersebut diserahkan kepada Letnan Damanik dengan bantuan tenaga-tenaga PTT yang berada di sekitar Balong. Mereka membawa alat-alat radio yang dapat membuat pemancar telegrafi. Langkah keempat adalah membangun siaran radio. Untuk itu perlu diusahakan dinamo Wisselstroom (arus bolak-balik), karena pemancar RRI menggunakan Wisselstroom. Dinamo-dinamo wissel stroom dapat dicari di pabrik-pabrik gula di daerah Sragen. Pemancar RRI di Punthukrejo, Karangpandan perlu segera diangkut. Pertemuan Babar tanggal 27 Desember 1948 itu ternyata menjadi satu tonggak sejarah dalam upaya mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. RRI Balong pada akhirnya menjadi sentral dari penyelenggaraan siaran RRI selama masa clash II. Itulah sebabnya pada tahun 1984 didirikan monumen RRI Balong yang diresmikan oleh Menteri Penerangan Harmoko. Sedangkan pemancar yang telah berjasa menyebarluaskan siaran RRI dari Balong kini disimpan di Museum Monumen Pers Surakarta. Berdasarkan pemaparan tersebut, tampak dengan jelas peran besar yang dilakukan oleh RRI Surakarta. Di bawah kepemimpinan Maladi, sosok yang multi talenta dan memiliki jaringan luas, RRI Surakarta menjadi simpul dalam penyelenggaraan siaran RRI di masamasa revolusi fisik. Dari desa Balong, siaran RRI dapat didengar di luar negeri dan menjadi duta yang mampu meneguhkan bahwa Negara Republik Indonesia masih eksis, dan berita-berita yang disebarluaskan oleh pihak Belanda merupakan kebohongan belaka. Berkat beritaberita yang disiarkan oleh RRI Balong, pada akhirnya PBB mengakui eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
56
BAB 7 POTRET PROGRAMA DI ERA RADIO PUBLIK
S
ecara administratif, RRI Surakarta masuk dalam kategori Stasiun Tipe C dengan kedudukan setingkat eselon III. Meskipun demikian, wilayah layanannya meliputi daerah eks Karesidenan Surakarta, yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Kabupaten Klaten. Cakupan wilayah itu sering diakronimkan menjadi SUBOSUKA WONOSRATEN atau disebut juga sebagai Solo Raya. Secara geografis dan sosio kultural, RRI Surakarta beroperasi di wilayah pusat atau jantung budaya Jawa karena di kota ini berdiri kokoh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran yang telah diakui dunia sebagai locus bersemayamnya “ruh” budaya Jawa. Berangkat dari lingkungan yang masih kental dengan budaya, filosofi, dan local wisdom Jawa itulah RRI Surakarta menetapkan tag line sebagai: “Radio yang terdepan dalam melestarikan dan mengem bangkan budaya Jawa”. Lebih jauh hal ini terefleksikan secara nyata melalui content acara siaran ataupun kegiatan baik yang bersifat off air maupun on air. Bab ini dimaksudkan untuk merekam data aktual yang dapat menggam-barkan dinamika programa siaran RRI Surakarta di era radio publik. Menurut UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Sesuai dengan inti (core business) RRI sebagai lembaga penyiaran, maka penyajian pada bab ini sudah tentu lebih menekankan pada halhal yang berkaitan erat dengan kegiatan siaran.
57
Penyelenggaraan Siaran Pada tahun 2013 RRI Surakarta menyelenggarakan siaran melalui tiga programa (Channel), yaitu Programa Satu (Pro 1), Programa Dua (Pro 2), dan Programa Khusus Siaran Budaya. Setiap programa memiliki spesifikasi sendiri sebagaimana diatur dalam Pedoman Penyelenggaraan Siaran LPP RRI tahun 2007 yang kemudian telah diubah berdasarkan Instruksi Direktur Utama RRI Nomor: 258/Instr/ DU/2011 tentang Pemberlakukan Pedoman Siaran Programa 1 dan 2 Tahun 2011 LPP RRI yang lebih populer dengan program redesign Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Siaran Pro 1 dan 2 tahun 2011, Stasiun RRI Tipe C memiliki tiga programa, yaitu: 1. Pro 1 adalah Programa Regional dengan kewajiban relai berita dari Pro 3 pada jam-jam tertentu 2. Pro 2 adalah Programa Kota dengan kewajiban relai berita dari Pro 3 pada jam-jam tertentu 3. Pro 3 adalah Jaringan Berita Nasional. Dalam konteks ini, posisi stasiun Tipe C adalah sebagai kontributor dan merelai siaran selama 24 jam per hari.
1. Programa 1 (Pro 1) Seperti halnya di RRI lain, Pro 1 RRI Surakarta merupakan saluran yang paling awal diselenggarakan. Embel-embel nama “Pro 1” muncul setelah siaran RRI tidak lagi hanya melalui satu programa, melainkan menggunakan dua saluran atau lebih, tepatnya sejak ada Pro 2 pada dekade 1990-an. Sebelum menggunakan istilah Pro 1, dulu disebut sebagai Programa Daerah karena segmen pendengarnya lebih diarahkan untuk masyarakat umum termasuk yang ada di pelosok-pelosok desa. Oleh karena itu karakteristik programanya juga disesuaikan dengan profil khalayaknya. Sedangkan Pro 2 pada awalnya sempat disebut sebagai Programa Musik dan kemudian menjadi Programa Kota karena segmen pendengarnya memang lebih diarahkan kepada masyarakat kota, khususnya dari kalangan anak muda yang diidentikkan dengan sajian musik dan informasi. Sebagai warisan awal sejak berdirinya RRI, acara-acara program yang disiarkan di Pro 1 cenderung menyerupai konsep pasar tradi 58
sional, yaitu menyediakan segala macam produk, tetapi dengan pena ta an ala kadarnya dan kemasan yang secara umum kurang menarik. Namun, dengan adanya redesain maka terjadi perubahan konsep penyelenggaraan siaran untuk Pro 1. Dalam buku Pedoman Penyelenggaraan Siaran 2011, Pro 1 adalah Programa Regional dan ditetapkan sebagai pusat pemberdayaan masyarakat lokal. Dalam pedoman itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan adalah upaya yang disengaja untuk memfasilitasi publik lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, sosial, politik, dan hukum (2011: 25). Adapun yang dimaksudkan dengan “pusat “ di sini adalah suatu ruang bersama, center point, pilihan berkumpul dan berinteraksi antara broadcaster RRI, publik, dan pendengar secara setara dan merupakan perwujudan dari pelayanan paripurna bagi RRI baik on air maupun off air”. (loc.cit.). Sebagai wujud implementasi dari pedoman tersebut, RRI Surakarta kemudian melakukan perubahan programa baik untuk Pro 1 maupun Pro 2. Berikut profil Pro 1 RRI Surakarta pasca redesain atau implementasi Pedoman Penyelenggaraan Siaran Tahun 2011. Tabel 1 Profil Pro 1 RRI Surakarta Per 30 November 2013 No.
Aspek
Uraian
1. Frekuensi
: FM 101 MHz dan AM 972 KHz
2. Waktu siar
: 19 jam (minimal)
3. Wilayah Layanan
: Eks Karesidenan Surakarta
4. Visi Programa
: Pusat Siaran Pemberdayaan Masyarakat
5. Format Programa
Informasi, Pendidikan, dan Hiburan
6. Sebutan Programa : Pro I RRI Surakarta (Programa call/ Station call) 7
Semboyan Institusi
8. Pernyataan Programa (Posisioning Statement)
: Sekali di Udara Tetap di Udara : Pro Satu Channel Inspirasi
59
No.
Aspek
:
Uraian
9. Aspek Usia Khalayak
: • Pendengar utama : 25 – 49 tahun • Pendengar ke satu : > 50 tahun • Pendengarke dua : 4 – 12 tahun
10. Aspek Pendidikan
: • Pendengar utama • Pendengar ke satu • Pendengar ke dua
11. Jenis Kelamin
: • Laki-laki : 55 % • Perempuan : 45 %
12. SES (Status Ekonomi Sosial)
: • Pendengar utama • Pendengar ke satu • Pendengar ke dua
13. Gaya Hidup
: Modern, Dinamis, Agamis
14. Sapaan Pendengar
: Pendengar
: SLTA ke atas : SLTP ke atas : TK- SD
: B, C : C, D, E :A
15. Pronomina Persona Orang : Saudara Kedua 16. Klasifikasi dan Persentasi : Informasi dan berita Pendidikan kebudayaan Siaran Iklan/Yanmas Hiburan dan Musik Jumlah 17. Jenis Musik
18. Acara Unggulan
60
: : : :
35 % 20 % 15 % 30 %
: 100 %
: Pop Dangdut Lagu Daerah Keroncong Pop Religi Mancanegara
: 40 % : 15 % : 20 % : 10 % : 10 % :5%
Jumlah
: 100 %
: • Panggung Wayang Orang setiap hari Selasa II pukul 20.00. – 23.00. WIB • Panggung Kethoprak setiap hari Selasa IV pukul 20.00. – 23.00. WIB • Panggung Wayang Kulit setiap Jumat III pukul 21.15. – 04.00. WIB • Info di Info setiap hari pukul 08.30. – 09.30 WIB
Beberapa Capaian Pro 1 periode 2011 s.d. 2013 Dalam rangka memperkuat brand RRI sebagai pusat pembedayaan masyarakat, Pro 1 telah melakukan berbagai program dan kegiatan yang sifatnya on air maupun off air. Sebenarnya banyak capaian kegiatan yang tergolong menonjol dan berhasil diwujudkan oleh Pro 1 selama menjadi radio publik. Akan tetapi karena keterbatasan waktu dalam proses pengumpulan data, maka hanya dua hal yang dikemukakan di sini sebagai contoh capaian kinerja Pro 1 yang tergolong menonjol sampai dengan akhir 2013, yaitu: a. Menyelenggarakan pergelaran pentas Wayang Orang Seribu Bintang (WOSBi) pada tanggal 23 hingga 25 September 2011 bertempat di Auditorium Sarsito Mangunkusumo RRI Surakarta. Pesta akbar seni budaya ini diikuti oleh 12 grup/perkumpulan Seni Budaya Wayang Orang yang berasal dari kota Jakarta, Surabaya, Jogyakarta, Semarang, dan Surakarta. Acara ini melibatkan lebih dari seribu orang penari/pemain wayang orang, mulai dari kelom pok usia anak-anak hingga dewasa. Untuk penyelenggaraan hajatan budaya kolosal ini RRI Surakarta memperoleh penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia), berupa Seritifikat Rekor Dunia MURI sebagai : “Pemrakarsa dan Penyelenggara Pentas Wayang Orang dengan Jumlah Peserta Terbanyak” b. Pentas musik legendaris Koes Plus digelar sebulan sekali pada hari Minggu pekan ke-4 bertempat di Auditorium Sarsito Mangunkusumo. Kegiatan ini telah dilaksanakan sejak bulan Januari 2013. Penyiar Pro 1 Identitas sebuah radio penyiaran sering diidentikkan dengan para penyiar nya karena merekalah yang berhadapan langsung dengan khalayak. Sampai akhir November 2013, Pro 1 diperkuat oleh 11 (sebelas) orang penyiar, yang terdiri dari: Trikoraini Indriati, Utaminingdyah, Diah Oetami Basuki. M, Sri Lestari, Dwi Ary Martani, Harto Subekti, Didung Suyatno, Danang Joko Santosa, Daru Santosa, Dedi Setiadi, dan Taufik Muahid Widodo. 61
2. Programa 2 (Pro 2) Pada awalnya, Pro 2 lahir sebagai upaya untuk mengimbangi pesatnya perkembangan radio swasta yang berpindah dari AM ke FM dengan sajian musik-musik terbaru sebagai andalannya. Hal itu ternyata sangat menarik minat anak muda, terutama di daerah perkotaan. Lalu muncul kesadaran di kalangan internal RRI. Mereka menyadari, jika tidak ada terobosan untuk menarik minat anak-anak muda melalui sajian acara yang sesuai dengan selera mereka, dalam jangka panjang RRI bisa kehilangan pendengar. Dari situlah kemudian lahir Pro 2 yang pada awalnya disebut sebagai programa kota, kemudian menjadi saluran musik dan informasi. Pada akhirnya Pro 2 kembali ditetapkan sebagai Programa Kota (Ibid. hal. 7). Menurut Pedoman Penyelenggaraan Siaran 2011, sebagai programa kota Pro 2 dikembangkan sebagai pusat kreativitas anak muda. Oleh karena itu strategi siarannya adalah mengombinasikan antara pelayanan on air dan off air berbasis remaja. Siaran-siaran Pro 2 harus dapat menjadi referensi bagi pembentukan karakter anak muda Indonesia melalui sajian hiburan dan informasi yang meningkatkan kecerdasan dan kreativitas (Ibid. hal. 40-42). Mengacu pada Pedoman Penyelenggaraan Siaran Tahun 2011, maka profil Pro 2 RRI Surakarta dapat digambarkan dalam tabel 2 Tabel 2 Profil Pro 2 RRI Surakarta Per 30 November 2013 No.
Aspek
Uraian
1. Frekuensi
: 105.5 MHz
2. Waktu siar
: 19 jam (minimal)
3. Wilayah Layanan
: Eks Karisidenan Surakarta
4. Visi Programa
: Pusat Kreatifitas Anak Muda
5. Format Programa
: Musik dan Informasi
6. Sebutan Programa (Programa : Pro 2 RRI Surakarta call/ Station call) 7.
62
Semboyan Institusi
: Sekali di Udara Tetap di Udara
No.
Aspek
Uraian
8. Pernyataan Programa (Posisioning Statement)
: Suara Kreatifitas
9. Aspek Usia
: 12 sampai dengan 25 tahun
10. Aspek Pendidikan
: SLTP hingga Sarjana (S1)
11. Jenis Kelamin
:
Laki-laki : 45 % Perempuan : 55 %
12. SES (Status Ekonomi Sosial) : B dan C 13. Gaya Hidup
: Modern, Dinamis, Smart
14. Sapaan Pendengar
: Sahabat Kreatif
15. Pronomina Persona Orang Kedua
: Sahabat
16. Klasifikasi dan Persentasi Siaran
• • • : • •
Berita dan Informasi Hiburan Kebudayaan Pendidikan Iklan dan Penunjang
: : : : :
30 % 40 % 10 % 10 % 10 %
Jumlah
: 100 %
17. Jenis Musik
Indonesia ( 70 % ) terdiri dari {label : 90 % atau 144 lagu per hari dan Indie : 10 % atau 16 lagu perhari} : Barat / Mancanegara ( 30 % ) atau 68 lagu per hari Genre musik : Jazz, Rock, Country, R & B, Reggae, Blues, Beat Box, dll.
18. Acara Unggulan
Pro IT Kantong Musik Indie Obsesi(Obrolan Sehat dan : Konsultasi) Smaradhahana Muda Berprestasi
Beberapa Capaian Pro 2: Selama tahun 2013 Pro 2 telah melakukan banyak kegiatan sebagai wujud pengembangan pusat kreativitas anak muda. Beberapa aktivitas yang tergolong menonjol dan dilakukan selama tahun 2013, antara lain: a. Smaradahana Goes to Campus berupa perpaduan acara siaran 63
b.
c.
on air dan off air yang dilaksanakan di kampus perguruan tinggi, antara lain: Kampus Akper Mamba’ul Ulum Surakarta (13 Oktober 2013) dan Kampus Poltekes Bhakti Mulia Sukoharjo (28 Nopember 2013) Kantong Musik Indie Pro 2 On Stage, yakni pentas musik Indie yang digelar out door dan disiarkan melalui Programa 2. Pelaksanaan kegiatan ini berlangsung antara lain di Red Café–Makam Haji, Kartasura (14 Pebruari 2013), Palur Plaza, Palur – Karanganyar (21 April 2013), Hartono Mall, Solo Baru – Sukoharjo (27 Oktber 2013). Car Free Day Bareng Pro 2, merupakan siaran Programa 2 secara out door yang berlangsung dari area Car Free Day di Jalan Slamet Riyadi kota Surakarta. Pelaksanaan kegiatan ini menggunakan mobil unit siaran luar (OB Van). Adapun waktu pelaksanaannya selama tahun 2013, yaitu 24 Maret, 28 April, 19 Mei, 23 Juni, 12 September, 20 Oktober, dan 17 Nopember.
Penyiar Pro 2 Berbeda halnya dengan Pro 1 yang mayoritas penyiarnya adalah pegawai RRI dengan status sebagai PNS, mereka yang kini bertugas di Pro 2 sebagian besar adalah anak-anak muda dengan tingkat pendidikan sarjana dengan status sebagai tenaga kontrak atau kalau di lingkungan RRI disebut sebagai PBPNS (Pegawai Bukan PNS). Per 30 November 2013, jumlah penyiar Pro 2 RRI Surakarta ada 7 orang, yaitu: Sari Nugraha Jati, Dinar Rusydiana, Ernawati Wardaningsih, Aditya Nurcahya Setiaji, Rido Wicaksono, Muhammad Arifin, dan Tri Priyanto Agung Nugroho.
3. Programa Khusus Siaran Budaya Sesuai Pedoman Penyelenggaraan Siaran tahun 2011, stasiun RRI Tipe C memang tidak mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan programa khusus kebudayaan yang diwadahi dalam Pro 4. Namun, mengingat Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa, tentu terasa aneh kalau RRI Surakarta justru tidak memiliki programa khusus budaya. Oleh karena itu, betapa pun menurut Pedoman Penyelenggaraan Siaran 2011, stasiun Tipe C tidak menyelenggarakan Pro 4, tetapi RRI 64
Surakarta tetap menyelenggarakan programa khusus budaya. Dalam perspektif administrasi publik, langkah ini disebut sebagai diskresi sehingga dapat dibenarkan sejauh memang untuk kepentingan publik yang lebih luas. Operasionalisasi Programa Khusus Siaran Budaya di RRI Surakarta hampir mirip dengan penyelenggaraan Programa IV untuk RRI tipe B. Saluran khusus budaya ini mulai mengudara tahun 2011 sebagai ”kanal penyangga” Programa I, yang telah mengalami “kelebihan beban” (overload) untuk penanyangan mata acara seni dan budaya. Kelebihan beban tersebut merupakan konsekuensi logis RRI Surakarta sebagai media penyiaran publik yang berdomisili di pusat kebudayaan yang dinamis, serta akibat tingginya animo dan tuntutan publik pendengar di Solo Raya yang menghendaki perbanyakan mata acara siaran budaya, khususnya seni dan budaya Jawa. Programa khusus siaran budaya mengudara setiap hari mulai pukul 19.30 hingga 24.00 WIB, kecuali jika ada pergelaran / siaran Wayang Kulit maka siaran berlangsung sampai dengan pukul 04.00 WIB). Pemancarluasannya menggunakan teknik splitzing pemancar AM 972 KHz yang sejak pagi telah mengudara digunakan untuk Programa I. Programa khusus siaran budaya juga dipancarluaskan melalui saluran FM 101 MHz. Penyiar Programa Khusus Siaran Budaya Sebagai programa khusus budaya (Jawa), mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan siaran sebagian besar adalah penyiar senior yang memiliki kemampuan berbahasa Jawa fasih. Kini ada 4 orang penyiar yang menggawangi programa khusus siaran budaya, yaitu: Taufik M. Widodo, Daru Santoso, Danang Joko Santosa, dan Dedi Setiadi.
4. Siaran Berita Dalam hal penyelenggaraan siaran berita, RRI menerapkan konsep PEMBERITAAN BERSATU. Dengan konsep ini pola kerja di Seksi Pemberitaan tidak membeda-bedakan antara Subsi satu dengan lainnya. Semua karyawan Pemberitaan harus mempunyai jiwa kewartawanan yang kuat, Hal itu terbukti staf di Liputan Olah 65
Raga selain bertanggung jawab sepenuhnya pada berita olah raga, juga bertanggung jawab terhadap berita umum. Selain itu staf di Subsi Pengembangan Berita juga bertanggung jawab terhadap berita umum sehingga baik staf liputan olah raga dan Pengembangan Berita dalam tugasnya sehari-hari juga melakukan liputan berita umum. Rasa persaudaraan dan kekompakan antarpegawai di seksi Pemberitaan sangat terasa, terbukti rapat agenda setting yang dilaksanakan seminggu 2 kali tiap Senin dan Kamis bisa dilaksanakan dengan baik. Jurnalis RRI Surakarta bekerja untuk dua kepentingan sekaligus, yaitu memenuhi kebutuhan program acara berita di Pro 1 dan Pro 2 setempat dan menyuplai berita untuk Pro 3 berjaringan. Selama 2013 dapat dilaporkan capaian kerja bagian pemberitaan RRI Surakarta, antara lain : a. Subsi Liputan Olahraga telah memaksimalkan kinerja reporter selama peliputan peristiwa internasional ASEAN Para Games yang merupakan Pekan Olahraga Kaum Difabel se kawasan ASEAN, dan mengirimkan reporter yang tergabung dalam Tim Liputan Nasional pada SEA Games di Myanmar tahun 2013. Pengiriman Reporter ke SEA Games atas penunjukkan pimpinan Pusat Pemberitaan RRI sebagai bentuk apresiasi kepada reporter yang bersangkutan ( Sdr. Edwi Puryono, S.Pt. ) karena tingkat produktivitas pengiriman berita ke Pusat Pemberitaan cukup tinggi. b. Subsi Pengembangan Berita mampu melaksanaan siaran berjaringan Aspirasi Merah Putih dari semula rekaman menjadi siaran Live dengan menghadirkan narasumber di studio dan secara berkala seminggu sekali menyiarkan dialog interaktif Suara Pers dengan menghadirkan pemimpin redaksi Surat Kabar Harian (Suara Merdeka, Solopos, Joglosemar, dan Kedaulatan Rakyat) dan pemimpin redaksi TATV secara bergiliran. c. Subsi Berita Ulasan dan Dokumentasi telah mampu memberitakan peristiwa-peristiwa aktual baik secara langsung maupun lewat bulletin , seperti pelemparan bom pada Pos Pengamanan Lebaran, Penembakan Polisi, Teroris, dan bencana alam erupsi gunung Merapi. RRI Surakarta selalu menyiarkannya pada 66
kesempatan pertama sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi secara cepat baik ke PRO 3 maupun lokal.
5. Layanan dan Pengembangan Usaha a. Menyelenggarakan event “Sepekan Gebyar Budaya dan Ekspo” berlangsung mulai tanggal 3 hingga 9 September 2012 di halaman depan RRI Surakarta. Event ini merupakan perpaduan dua kegiatan, yang pertama adalah “Pentas Seni Budaya” berupa seni budaya non-tradisi dalam bentuk pentas Band Indie dan Wayang Kulit Kontemporer, dan seni budaya tradisional berupa sajian tari-tarian Jawa, seni Kethoprak, serta Wayang Kulit. Adapun yang kedua, berupa eksposisi atau bazaar (pameran) produk-produk barang dan jasa UKM dan pengusaha swasta kelas menengah. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, juga digelar dialog interaktif yang disiarkan secara nasional dengan narasumber Direktur Utama LPP RRI, Bupati Karanganyar, dan Pemerhati RRI, dengan topik bahasan : “Penguatan Peran RRI sebagai Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Pusat Pemberdayaan Generasi Muda” b. Terlibat secara aktif dalam perencanaan, pendirian, dan pengelolaan Museum Penyiaran – RRI Surakarta sebagai satu-satunya Live Museum RRI di Indonesia. Museum Penyiaran – RRI Surakarta ini diresmikan secara simbolis oleh Direktur Utama LPP RRI Rosarita Niken Widiatuti, pada 11 September 2013 berbarengan dengan peringatan Hari Radio ke-68. Respon Pendengar Keberadaan RRI Surakarta sebagai media penyiaran publik, di mata dan di hati masyarakat pendengar masih sangat eksist. Sense of belonging tersebut dibuktikan dengan terbentuknya fans club dengan nama PAMOR (Paguyuban Monitor RRI) pada pada 9 September 1998. Saat ini diketua oleh Jangkung Sumanto. Jumlah anggota aktif PAMOR sekitar 300-an orang dengan berbagai latar belakang pendidikan, 67
sosial ekonomi serta usia. Dalam rangka menyalurkan aspirasi anggota PAMOR maka dibuatlah acara siaran bertajuk “Pojok PAMOR”, sebuah acara khusus dari, oleh, dan untuk warga PAMOR yang disiarkan melalui Pro 1 setiap hari Minggu I dan Minggu III mulai pukul 21.20. hingga 23.00. WIB. Selain PAMOR, RRI Surakarta juga memiliki fans club khusus untuk acara Siaran Pedesaan Desaku Maju, yakni Paguyuban PSP (Pandemen Siaran Pedesaan), berdiri pada tahun 2010 dengan jumlah anggota aktif lebih kurang 200 orang. Ketua Paguyuban PSP saat ini dipegang oleh Danto Pramonosidi yang sekaligus menjabat Ketua Kelompok Pemerhati RRI Surakarta yang terbentuk pada tahun 2011. Keberadaan ketiga kelompok fans club tersebut sangat mem bantu dan mendukung semua program ataupun kegiatan yang di selenggarakan oleh RRI Surakarta, baik kegiatan on air maupun off air. Program dan kegiatan yang melibatkan atau mendapatkan dukungan dan bantuan fans club, antara lain: Indonesia Berdonor, Indonesia Bersepeda, Gerak Jalan Sehat, dan seluruh kegiatan yang digelar RRI Surakarta dalam rangka memperingati Hari Radio setiap tahun.
68
BAB 8 DUKUNGAN PRASARANA DAN SARANA SIARAN
S
ebagai lembaga penyiaran publik, RRI Surakarta tidak hanya ber tugas melakukan siaran (pemancarluasan), te tapi juga menjalankan fungsi “rumah produksi”. Bahkan dapat dikatakan bahwa sebagian besar acara program yang disiarkan oleh RRI Surakarta merupakan hasil produksi sendiri. Apalagi untuk jenis acara program non hiburan yang sifatnya lokal, mau tidak mau memproduksi sendiri mengingat tidak adanya pihak pemasok. Produksi program sendiri selain untuk memenuhi kebutuhan siaran rutin, juga dimaksudkan untuk keperluan siaran berjaringan. Sehubungan dengan itu maka dibutuhkan dukungan prasarana dan sarana yang memadai bagi terselenggaranya kegiatan produksi dan penyiaran secara optimal. Prasarana yang dimaksudkan di sini antara lain berupa pergedungan, maupun jaringan telekomunikasi dan pemancar. Sedangkan yang dimaksud dengan sarana antara lain peralatan siaran yang berupa produk-produk teknik teknologi. Prasarana dan sarana apa saja yang tersedia untuk mendukung ter selenggaranya kegiatan produksi dan penyiaran RRI Surakarta, berikut ini akan dideskripsikan secara ringkas. Untuk masa sekarang, paparan data seperti ini mungkin dianggap kurang penting, tetapi ke depan data ini sangat berguna untuk studi perkembangan teknologi penyiaran.
Studio Pro 1 Untuk keperluan siaran berkesinambungan (Continuity) Pro 1 me nempati ruang studio yang terletak di bagian belakang dari bangunan 69
studio lama peninggalan SRV, Di ruang studio ini peralatan teknik utama yang tersedia, antara lain : Tabel 3 Peralatan Teknik Studio Pro 1 JENIS PERALATAN Audio Mixing Console Cassette Recorder DVD Player Computer Distribusi / Main Power Tape Reel Loud Speaker Microphone Headphone Slave Clock Stand Table Line Telepon incoming
MERK / TYPE
JUMLAH
Neve 5322 1 buah Tascam 112 MK II 1 buah Tascam CD - A 500 1 buah Hyundai DV - 7908 1 buah Hewlet Packard 2+H291 set Siemens 1 rack OTARI MX - 55 1 buah Siemens PLA - II 3 buah AKG D - 202 3 buah Senheizer 1 buah AKG 240 1 buah Behringer 2 buah Siemens 1 buah Siemens 4 buah 0271-638145 1 line
Studio Pro 2 Siaran berkesinambungan (Continuity) Pro 2 berlangsung dari studio tersendiri yang terpisah dari Pro 1. Studio Continuity Pro 2 me nempati ruang yang berseberangan dengan Studio Pro 1, berhadapan dengan Studio Editing. Peralatan teknik utama yang tersedia di ruang studio Pro 2, antara lain :
70
Gambar 5 : Studio Pro 1 RRI Surakarta
Gambar 6: Studio Pro 2 RRI Surakarta
71
Tabel 4 Peralatan Teknik Studio Pro 2 JENIS PERALATAN Audio Mixing Console Cassette Recorder Tuner FM Digital DVD Player Computer Speaker Monitor Microphone Headphone Stand Table Active Speaker Slave Clock Telepon incoming SMS
MERK / TYPE Solidyne Tascam CD - A 500 Technics K 55 Hyundai DV 7908 Hewlet Packard Siemens PLA II AKG D 202 Senheizer Behringer Yoga CD 90 Siemens Peavy Audition 110 Siemens 0271-654299 0856 4148 9700
JUMLAH 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 set 4 buah 3 buah 1 buah 2 buah 2 buah 3 buah 1 buah 1 buah 1 line 1 line
Studio Programa Khusus Siaran Budaya Meskipun pelaksanaan programa khusus siaran budaya berlang sung secara splitzing, tetapi diperlukan studio tersendiri untuk men jamin kesinambungannya. Studio continuity Programa Khusus Siaran Budaya ini berhadapan dengan Studio Pro 1. Adapun Peralatan teknik utama yang tersedia di ruang studio ini, antara lain: Tabel 5 Peralatan Teknik Studio Programa Khusus Siaran Budaya JENIS PERALATAN Audio Mixer Speaker Monitor Telepon Hybride Microphone Computer Headphone CD player Slave Clook
72
MERK / TYPE Studer 16 Ch Siemens 201 V Spectra AKG D 321 Shure SM 58 Instal / Rakitan Behringer Hyunday Siemens
JUMLAH 1 buah 2 buah 2 buah 3 buah 1 buah 2 buah 4 buah 1 buah 1 buah
Gambar 7: Studio Programa Khusus Siaran Budaya RRI Surakarta
Studio Produksi 1 (Studio Multipurpose)
Gambar 8: Studio Multipurpose RRI Surakarta
73
Selain studio continuity, RRI Surakarta juga memiliki 2 studio produksi dan satu buah studio pascaproduksi (studio editing). Ruang produksi yang dimaksud difungsikan untuk memproduksi acara-acara yang sifatnya tunda atau rekaman (recording). Studio Multipurpose menempati bangunan lama yang dulu digunakan sebagai kantor dan sekaligus studio SRV. Mengingat ruangan studio ini relatif luas, maka digunakan pula untuk produksi acara siaran yang melibatkan banyak orang sepertil; Talkshow, Taman Indria/Siaran Anak-Anak, Siaran Cepat Tepat, dan lain-lain. Di dalam studio ini tersedia peralatan teknik, terdiri dari : Tabel 6 Peralatan Teknik di Studio Multipurpose JENIS PERALATAN Audio Mixing Console Cassette Recorder Hybride Main Power / Distribusi Computer Microphone Slave Clock Headphone Stand Table Speaker Monitor
MERK / TYPE Yamaha MG32/14FK Tascam 112MK II Tascam CD - A 500 Siemens Siemens Hewlet Packard AKG D 321 Shure SM 58 Siemens AKG 240 Siemens Siemens PLA II
JUMLAH 1 buah 1 buah 1 buah 1 set 1 rack 1 set 1 buah 1 buah 2 buah 2 buah 1 buah 2 buah
Studio Produksi 2 (Studio Musik) Fungsi studio produksi 2 tidak berbeda dengan studio produksi 1, tetapi lebih banyak dipakai untuk melakukan produksi siaran musik, khususnya musik tradisional Jawa (Karawitan/Klenengan). Namun, tidak jarang acara siaran Sandiwara baik yang berbahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, serta acara-acara yang termasuk kategori Siaran Kata (Pengajian, Penyuluhan, Siaran Pedesaan, Siaran Keagamaan, dan lain-lain) diproduksi di studio ini. Studio produksi 2 terletak ber dampingan atau di sebelah barat Studio Multipurpose. Studio ini di 74
lengkapi dengan peralatan teknik yang terdiri dari: Tabel 7 Peralatan Teknik Studio Musik JENIS PERALATAN Audio Mixing Console Cassette Recorder Computer Main Power Slave Clock Speaker Monitor Microphone Headphone Stand Table Erase Bulk
MERK / TYPE Yamaha MG32/14FK Tascam 112 MK II Tascam CD – A 500 Hewlet Packard Siemens Siemens Siemens PLA II AKG D 321 Shure SM 58 Behringer Siemens Siemens
JUMLAH 1 buah 1 buah 1 buah 1 set 1 rack 2 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah
Gambar 9: Studio Musik RRI Surakarta
75
Studio Auditorium / Gedung Kesenian “ Sarsito Mangoenkoesoemo”
Gambar 10: Studio Auditorium RRI Surakarta
RRI Surakarta merupakan salah satu stasiun RRI yang memiliki gedung pertunjukan/gedung kesenian atau lazim disebut dengan istilah Auditorium. Meskipun tergolong bangunan tua, karena dibangun pada sekitar tahun 1953, tetapi Auditorium ini masih tampak kokoh, megah, dan representatif. Auditorium RRI Surakarta secara resmi disemati nama “Sarsito Mangoenkoesomo”. Pemberian nama itu bertepatan dengan Deklarasi Pencanangan Hari Penyiaran Nasional 1 April 2009. Peresmian pemberian nama tersebut dilakukan oleh Direktur Utama LPP RRI Parni Hadi. Perlu diketahui bahwa Ir. Sarsito Mangoenkoesomo adalah seorang tokoh dan sekaligus pimpinan Komisi Teknik SRV. Namanya diabadikan sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa dan karya serta pengabdiannya pada masa perintisan penyiaran yang berwawasan kebangsaan. Adapun peralatan teknik yang terpasang di Auditorium Sarsito Mangoenkoesoemo ini, terdiri dari: 76
Tabel 8 Peralatan Teknik di Ruang Kontrol /Ruang Operator : JENIS PERALATAN Audio Mixing Computer Cassette Recorder Amplifier Equalizer Distribusi Amplifier Time Delay Unit Amplifier Speaker Monitor
MERK / TYPE Mackie 32,8 Hewlet Packard Tascam CD - A 500 RHOOD SRA 400 NAD DOD SR 231 DOD SR 606 TDU 800 PEAVY PV 1200 SIEMENS PLA II
JUMLAH 1 buah 1 set 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah
Tabel 9 Peralatan Teknik di Ruang Penonton/Dalam Gedung Auditorium JENIS PERALATAN Amplifier
Speaker
Speaker Colom Audio Mixer Equalizer Time Delay Multigate Drum Module Snack Cable Power Amplifier VCD Slave Clook
MERK / TYPE CA 18 Behringer EP 2500 EUROLIVE B 1520 EUROLIVE B 1800 YAMAHA R 118 W YAMAHA R 215 PEAVY SP 5 G MACKIE 32,8 Behringer Buatan sendiri SONY Siemens
JUMLAH 1 buah 2 buah 4 buah 2 buah 2 buah 2 buah 4 buah 5 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 rol 1 buah 1 buah 2 buah
Studio Pascaproduksi (Studio Editing) Letak Studi Pascaproduksi/Studio Editing ini berada di antara Studio Musik dan Studio Continuity Pro 2. Studio ini digunakan untuk 77
melakukan editing ataupun mixing bahan siaran, baik yang diperoleh di lapangan ataupun yang diproduksi di studio lain. Peralatan teknik yang terpasang di Studio Editing meliputi: Tabel 10 Peralatan Teknik Studio Editing JENIS PERALATAN Audio Mixing Console Cassette Recorder Tape Reel Computer Slave Clock Speaker Monitor Microphone Headphone Main Power Stand Table
MERK / TYPE Yamaha OIV 96 Tascam CD - A 500 Studer A 721 OTARI MK - 55 Hewlet Packard Siemens Siemens PLA II Shure SM 58 Clarion Siemens Siemens
JUMLAH 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 set 1 buah 2 buah 2 buah 1 buah 1 rack 2 buah
Studio Produksi Berita (Khusus untuk Dialog Interaktif) Studio yang digunakan untuk Siaran Dialog Interaktif ini terletak antara Studio Multipurpose dan Studio Continuity Pro 1 dilengkapi dengan peralatan teknik, yakni : Tabel 11 Peralatan Teknik Studio Produksi Berita JENIS PERALATAN Audio Mixing Console Cassette Recorder Computer Distribusi / Main Power Speaker Monitor Microphone Headphone Slave Clock Hybride Stand Table
78
MERK / TYPE Neve 5322 Tascam CD - A 500 Hewlet Packard Siemens Siemens PLA - II AKG D - 202 Behringer Siemens ITB Siemens
JUMLAH 1 buah 1 buah 1 set 1 rack 2 buah 4 buah 4 buah 1 buah 1 set 4 buah
Gambar 11: Studio Editing RRI Surakarta
Gambar 12: Studio Dialog Interaktif RRI Surakarta
79
Master Control Room ( MCR ) Master Control Room merupakan suatu ruangan yang menjadi pusat kendali dari semua input ataupun output audio dari dan ke studio-studio atau pun pemancar yang ada di RRI Surakarta. Ruang MCR ini dilengkapi dengan peralatan teknik, yaitu : Tabel 12 Peralatan Teknik Master Control Room JENIS PERALATAN Reciever AM Comlink Cassette Recorder Tuner FM Reciever Digital 300,125 Mhz Rotator Main Power Master Control Desk Patch Block Matrix Audio Level Meter Reciever Control Reciver Down Link Reciver Down Link Reciver Down Link Osiloscope
MERK / TYPE KENWOOD R 2000 Motorola ASC / ASN 200 D A 764 Studer TFT Siemens Siemens A - 1002 Siemens YS - 130 PS 120 / 240 Siemens Siemens Senheizer UPM 550 Siemens RK - 651 LG LG Tiernan Siemens D - 104
JUMLAH 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 set 1 set 1 buah 1 set 1 rack 1 buah 3 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah
Untuk melakukan produksi acara/siaran di luar studio (outdoor), baik siaran langsung maupun siaran tunda (recording) RRI Surakarta saat ini memiliki 2 (dua) unit mobil OB Van (Outside Broadcasting Van). Data teknik mobil OB Van dimaksud adalah sebagai berikut:
80
Tabel 13 OB Van 1 : Jenis Mobil Minibus Peugeot Nomor Polisi AD 9501 AX JENIS PERALATAN Audio Mixer Speaker Monitor Cassette Recorder STL 300, 125 Mhz Handy Talky Antena Yagi Coaxial Cable Antena Computer Radio Control Mobil Generator Generator
MERK / TYPE NEVE 44 Siemens 201 / TV Tascam 112 Mk II TFT Siemens Motorola GP 300 Siemens Siemens Boch G - 800 L HONDA
JUMLAH 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
Tabel 14 OB Van 2 : Jenis Mobil Jeep Mercedes Nomor Polisi AD 9585 A JENIS PERALATAN Audio Mixer Speaker Monitor Cassette Recorder Antena Yagi Coaxial Cable Antena Radio Control Mobil Generator Reciever Control Standard Microphone Standard Microphone Headphone
Microphone
Microphone Condensor Speaker Monitor
MERK / TYPE NEVE 44 Siemens 201 / TV Tascam CD - A 500 Siemens Siemens KAWASAKI SONY Siemens YOGA SHURE SM 58 FOSTEX AKG D 321 AKG D 222 AKG 626 AKG UFO Siemens PLA II
JUMLAH 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 1 rol 1 buah 1 buah 1 buah 9 buah 3 buah 3 buah 10 buah 2 buah 1 buah 4 buah 1 buah 5 buah 2 buah
81
Gambar 13: OB Van jenis minibus Peugeot
Gambar 14: OB Van jenis jeep Mercedes
82
Pemancarluasan Siaran Selain dukungan prasarana dan sarana produksi, sukses atau tidak nya siaran radio juga dipengaruhi oleh dukungan infrastruktur penyiaran berupa frekuensi dan jaringan telekomunikasi. Secara defakto, RRI Surakarta menyelenggarakan siaran dalam empat programa, yaitu: Pro 1, Pro 2, Pro 3 (merelai), dan Programa Khusus Siaran Budaya. Dengan demikian, RRI Surakarta sedikitnya membutuhkan empat kanal frekuensi dan empat pemancar. DATA TEKNIS PEMANCAR RRI SURAKARTA Lokasi Studio
: RRI Surakarta - Jln. Abdul Rachman Saleh No. 51 Koordinat : 07º 33 ´33,4¨ U/S - 110º 49´ 18¨ BT Attitude : 93 meter Line of Sight Studio to Tx : 2 Km 1 Site Lokasi Tx 1 : Tawangmangu Koordinat : 07º39´ 46,3¨ U/S - 111 º 07´ 50,8¨BT Attitude : 1.012 meter Line of Sight Studio to Tx : 30 Km 2 Site Lokasi Tx 2 : Cawas, Kabupaten Klaten Koordinat : 07º 53´ 22¨ U/S - 110º 50´ 34¨ BT Attitude : 90 meter Jarak Studio to Tx 1 Site : 40 Km Jarak Studio to Tx 2 Site : 36 Km
83
84
RVR
RVR
RVR
RVR
R&S
NEC
HARRIS
HARRIS
LYS
LYS
R &S
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
MERK/ TYPE
1
No
5
1
1
50
10
5
1
15
5
3
3
2013
2005
2006
2006
2005
2000
1999
POWER THN0PERASI (KW)
PE MAN CAR
972
972
972
MW KHz
105,5
102
-
101
101
105,5
101
105,9
FM MHz
FREKUENSI
OMB
JAMRO
JAMRO
-
-
-
PANEL
ACP 2
ACP 1
OMB
OMB
MERK/ TYPE
70
-
-
-
-
-
47
65
70
70
70
TINGGI (Meter)
ANTENNA
Tabel 15 Pemancar RRI
04.50-24.00
-
-
-
-
04.50-24.00
00.00-24.00
04.50-24.00
04.50-24.00
04.55-24.00
00.00-24.00
WAKTUOPERASI
Studio
Studio
Tawangmangu
Cawas
Cawas
Cawas
Tawangmangu
Tawangmangu
Studio
Studio
Studio
LO KAS I
PRO2
-
-
PRO 1
-
Pro 1
Backup Pro 1
PRO 1
Backup PRO 2
PRO 1
PRO 3
PROGRAMASIARAN
BAB 9 PROBLEMATIKA SDM DI ERA RADIO PUBLIK
Sebagai lembaga penyiaran publik yang sedang dalam proses pembentukan jati diri, keberadaan sumber daya manusia (SDM) tentu sangat penting. Seperti yang terjadi di lembaga penyiaran publik milik Inggris, BBC, kualitas SDM sangat menentukan reputasi lembaga itu di mata dunia. Orang-orang yang masuk ke BBC adalah lulusan-lulusan terbaik dari perguruan tinggi terkemuka yang sebelumnya berorientasi masuk ke Kementerian Luar Negeri dan Urusan Tanah Jajahan. Mereka itu kemudian digembleng dengan nilai-nilai kepublikan se hingga memiliki semangat pelayanan yang tinggi. Banyak jebolan BBC kemudian menjadi pemimpin di berbagai lembaga penyiaran komersial di Inggris. Berkat kuatnya penanaman ideologi pelayanan publik semasa bekerja di BBC, maka meskipun mereka bekerja di penyiaran komersial, semangat kepublikan tetap terbawa dan hal itu memberikan ciri tersendiri bagi dunia penyiaran di Inggris. Orangorang yang bekerja di BBC dianggap sebagai priyayi yang disetarakan dengan jabatan senior dalam pamong praja dan hanya layak diduduki bagi lulusan perguruan tinggi terkemuka seperti Oxford dan Cambrige University (Shanklemen, 2003: 100-119). Belajar dari pengalaman BBC, untuk menjadikan sebagsi radio publik yang kuat dan berwibawa seharusnya RRI Surakarta juga memiliki SDM yang berkualitas tinggi. Sehubungan dengan itu maka bab ini berusaha memaparkan kondisi riil SDM RRI Surakarta dengan maksud sebagai bahan analisis untuk memrediksi perkembangan institusi ke depan berdasarkan potensi SDM yang dimiliki. Dengan mengkaji secara seksama data SDM yang ada, dapat diperhitungkan 85
kemugkinan yang akan terjadi di kemudian hari pada institusi tersebut. SDM memang bukan satu-satunya faktor penentu pencapaian kinerja dari suatu institusi, tetapi pengaruhnya sangat signifikan. Atas dasar pemikiran itulah maka buku ini sengaja menyajikan data yang dapat menggambarkan kondisi aktual SDM di RRI Surakarta. Sesuai dengan data yang berhasil dihimpun, jumlah pegawai RRI Surakarta sampai dengan akhir Desember 2012 seluruhnya ada 286 orang terdiri dari 257 orang (89,86%) berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan 21 orang (7,34%) merupakan Pegawai kontrak yang di lingkungan RRI lebih dikenal dengan sebutan Pegawai Bukan PNS (PBPNS). Di samping itu terdapat 8 orang (2,80%) yang berstatus sebagai pegawai honorer. Dari pegawai sebanyak itu terdistribusi ke dalam lima unit kerja, dan yang paling banyak ada di Seksi Siaran, sedangkan yang paling sedikit di Seksi Layanan dan Usaha (lihat Tabel 16). Tabel: 16 Jumlah Pegawai RRI Surakarta menurut Unit Kerja Per 31 Desember 2012 Unit Kerja Sub Bagian Tata Usaha Seksi Siaran Seksi Pemberitaan
Jumlah 62 orang 113 orang 26 orang
Seksi Teknologi dan Media Baru
57 orang
Seksi Layanan dan Usaha
10 orang
JUMLAH
286 orang
Perlu diketahui bahwa sejak menjadi radio publik yang secara definitif mulai tahun 2005, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dimungkinkan mengangkat pegawai LPP. Pengangkatan didasarkan pada Surat Keputusan Direktur Utama (SK Dirut) LPP RRI. Mereka yang sudah mendapatkan SK pengangkatsn dari Direksi itulah yang disebut PBPNS dengan gaji dan hak-hak lainnya ditetapkan oleh Direksi. Besaran gaji per bulan minimal sama dengan UMP daerah setempat. Untuk diangkat menjadi PBPNS seseorang harus lolos tes yang didakan oleh kantor pusat RRI. Dengan demikian keputusan diterima 86
atau tidak untuk menjadi PBPNS ditentukan oleh kantor pusat, bukan pejabat RRI setempat. PBPNS adalah pegawai kontrak yang setiap tahun dievaluasi sehingga kalau hasilnya dianggap tidak memenuhi kriteria lagi yang bersangkutan tidak akan diperpanjang kontraknya. Namun, kalau kinerjanya dianggap baik, kontrak yang bersangkutan diperpanjangan dengan menandatangani Surat Perjanjian Kerja (SPK). Personal PBPNS sebagian besar adalah anak-anak muda, memiliki latar belakang pendidikan tinggi, familier dengan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), dan cenderung memiliki etos kerja yang baik. Namun, harus diakui bahwa keberadaan PBPNS di RRI seluruh Indonesia saat ini serba problematis karena pada satu sisi kualitas mereka relatif bagus dan karenanya sering “dimanfaatkan” oleh senior mereka yang PNS, tetapi fasilitas dan tingkat kesejahteraan yang diterima jauh sekali perbedaannya dengan PNS (Darmanto, 2013: 134). Adapun pegawai honorer adalah mereka yang diangkat ber dasar kan Surat Keputusan pimpinan satuan kerja (kepala stasiun) RRI setempat. Pada umumnya mereka magang untuk menjadi PBPNS sehingga kalau ada kesempatan test yang diselenggarakan oleh kantor pusat LPP mereka akan mengikutinya. Jika lolos test mereka akan diangkat menjadi PBPNS, tetapi kalau tidak lolos pada umumnya mereka tetap bertahan sebagai tenaga kontrak sambil menunggu di bukanya test lagi untuk masuk PBPNS. Mengingat sebagian besar pegawai RRI Surakarta sekarang adalah PNS, maka bahasan selanjutnya dalam bab ini difokuskan pada SDM PNS. Dasar pertimbangannya, aspek SDM PNS di RRI merupakan persoalan krusial yang rumit untuk diuraikan karena di samping secara kuantitas dianggap melebihi kebutuhan, dari segi kualitas juga banyak bermasalah. Padahal di sisi lain kedudukan dan fungsi SDM sangat menentukan bagi masa depan RRI, terutama di masa pembentukan jati diri sebagai radio publik. Sedangkan terkait dengan keberadaan PBPNS dan honorer, meskipun di sana ada masalah, tetapi solusinya relatif mudah karena mereka terikat kontrak dan setiap tahun kontrak tersebut diperbaharui sehingga kalau kinerjanya dipandang rendah, solusinya kontrak mereka tidak diperpanjang. Berbeda dengan mereka yang PNS, mau tidak mau harus menunggu sampai jatuh tempo masuk 87
usia pensiun, yakni 56 tahun. Bahkan jika Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) kelak disahkan, usia pensiun untuk pejabat administrasi adalah 58 tahun.
Komposisi PNS Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dilihat dari latar belakang pendidikan PNS RRI Surakarta, mayo ritas adalah lulusan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA), yakni 59,40%. Sedangkan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi seluruhnya ada 33.33% dengan rincian lulusan Diploma (I-III) sebanyak 7,69%, D IV/S1 ada 21.79%, dan lulusan S2 ada 9 orang atau 3,85%. Akan tetapi, mereka yang memiliki ijazah S2 sebagian besar adalah pejabat struktural sehingga lebih banyak menangani aspek manajerial dibanding menggarap permasalahan konten siaran (lihat Tabel 17). Tabel 17 Jumlah PNS RRI Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Per 31 Oktober 2013
Seksi / Sub Bagian/ Unit Kerja 1 Struktural 2 Tata Usaha 3 Siaran 4 Pemberitaan 5 Teknik & Media Baru 6 Layanan & Usaha JUMLAH No
Tingkat Pendidikan S2 8 1 9
S1 6 4 25 9 4 3 51
D1-3 1 3 8 4 2 18
SLTA 4 30 51 9 41 4 139
SLTP 5 3 2 10
SD 6 1 7
Sub Jumlah 19 48 89 22 49 7 234
Selain dari latar belakang pendidikan formal, PNS RRI Surakarta dapat pula dilihat dari sisi pendidikan profesi yang telah diikutinya. Tabel 18 menunjukkan jumlah PNS yang telah mengikuti pendidikan profesi baik di bidang siaran, keuangan, maupun administrasi umum seperti kepegawaian dan lainnya. Dalam paparan di bab ini, keikutsertaan pendidikan program diploma di Sekolah Tinggi Multi Media “MMTC” (STMM “MMTC”) yang semula bernama Diklat Ahli Multi Media Yogyakarta terpaksa dihitung dua kali. Pada satu sisi dimasukan dalam penghitungan kategori latar belakang pendidikan 88
formal pegawai, tetapi di sisi lain masuk juga dalam penghitungan dari segi pendidikan profesi. Selain pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diadakan oleh STMM “MMTC” Yogyakarta, diklat profesi yang diikuti oleh PNS RRI Surakarta antara lain yang diselenggarakan oleh Balai Diklat Radio yang sekarang menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan LPP RRI (Tabel 18) Tabel 18 Jumlah PNS RRI Surakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan Profesi Per 31 Oktober 2013 Golongan /Ruang IV/b /a III/d /c /b /a II/d Jumlah
Diklat Program Diklat Non Diploma Diploma D1 D.2 D.3 D.4 KEPEG. KEU PLKP SIARAN PEMB. TEKNIK PMSR 1 1 1 1 1 2 2 2 1 5 5 1 5 1 1 4 1 1 3 4 7 3 5 2 3 2 1 2 5 5 9 4 1 1 2 2 12 2 3 3 3 11 2 3 11 4 5 6 30 17 20 9
Jumlah PNS yang telah mengikuti diklat profesi ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Idealnya, semua pegawai yang berada di lini pelaksana siaran mestinya sudah mengikuti diklat profesi, tetapi kenyataannya separuh saja belum ada seperti kita lihat pada tabel 18 dan 19. Data ini memperlihatkan bahwa aspek profesionalisme broadcaster tampak kurang menjadi perhatian pihak manajemen, terbukti bahwa jumlah pegawai yang ada di lini operasional siaran belum seluruhnya mengikuti diklat. Namun, karena kebijakan SDM selama ini masih sentralistik maka yang dapat dilakukan oleh manajemen di RRI Surakarta adalah menyampaikan usulan atau mengirimkan pegawainya untuk mengikuti diklat sesuai dengan kesempatan yang ditawarkan baik oleh pihak STMM “MMTC”, Puslitbang, maupun pihak lain yang menyelenggarakan diklat. Ke depan, upaya peningkatan profesionalisme broadcaster sebenarnya dapat dilakukan tanpa 89
harus tergantung pada kesempatan yang ditawarkan pihak luar, tetapi bisa juga melalui program in house training.
Jumlah PNS Berdasar Golongan/Ruang Status RRI Surakarta sebagai Tipe C atau setingkat Eselon III, dipimpin oleh seorang kepala stasiun yang seccara normatif pangkat tertinggi adalah Pembina dengan golongan ruang IV/a. Dilihat dari segi kepangkatan dan golongan/ruang ada 13 PNS yang menduduki jabatan Pembina dengan Golongan/ruang IV/a. Jika dilihat dari segi eselonisasinya, jumlah PNS yang menduduki jabatan Pembina mencapai 13 orang sebenarnya tergolong banyak. Namun, dengan melihat data PNS yang memiliki pendidikan S2 ada 9 orang, banyaknya pencapaian pangkat/golongan/ruang seperti tersebut pada tabel 03 dapat dimengerti. Sebab sesuai aturan yang berlaku, jika PNS memiliki ijazah S2, walau pun yang bersangkutan tidak menduduki jabatan struktural dapat mencapai golongan/ruang IV/a. Adapun jumlah yang paling banyak adalah mereka yang ada pada jabatan Penata dengan berbagai tingkatan dan golongan/ruang III/a s.d III/d. Mereka tersebar di berbagai unit kerja RRI Surakarta yang terdiri dari Seksi Siaran, Pemberitaan, Teknik, Layanan Umum, dan Sub Bagian Tata Usaha. Tabel: 19 Jumlah Pegawai RRI Surakarta menurut Golongan/Ruang dan Unit Kerja Per 31 Oktober 2013 GOLONGAN /
III/d
TEKNIK 3 7
PEMB. 5 4
LU 1 5
T.U 2 2
JUMLAH 13 37
III/c III/b III/a II/d II/c II/b II/a I Jumlah
14 41 7 6 3 0 1 0 93
10 30 1 0 2 0 0 053
7 8 1 0 0 0 0 0 25
0 5 0 0 0 0 0 0 11
5 32 0 1 4 0 6 0 52
116 9 7 9 0 7 0 234
RUANG IV/a
90
SUB
UNIT KERJA SIARAN 2 19
36
PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Sejak paruh pertama dekade 1990-an, selain jabatan struktural di RRI dikembangkan jabatan fungsional yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu Adikara Siaran, Andalan Siaran, dan Teknisi Siaran. Jabatan fungsional Adikara Siaran adalah bagi mereka yang tugas pokok, dan fungsinya sehari-hari melakukan kegiatan manajerial produksi seperti menyutradarai atau pun menjadi produser. Kemudian jabatan fungsional Andalan Siaran adalah untuk mereka yang tugas sehariharinya melakukan kegiatan siaran yang bersifat mandiri seperti menulis naskah, menyiar, dan penyelia musik. Adapun Teknisi Siaran adalah jabatan fungsional untuk mereka yang bekerja di bidang hardware pendukung siaran seperti operator studio, operator pemancar, dan pemelihara alat-alat teknik. Tujuan diterapkannya jabatan fungsional ini adalah untuk men dorong peningkatan profesionalisme PNS RRI sekaligus memberikan ruang peningkatan karier seluas-luasnya. Rasionalisasinya, dengan jabatan fungsional yang memungkinkan pegawai bisa naik pangkat setiap 2 tahun sekali sepanjang perolehan angka kreditnya memenuhi, dan terbuka kemungkinan mencapai golongan tertinggi, maka pegawai tidak tergoda untuk masuk di jajaran struktural sehingga mereka bisa fokus ke peningkatan profesionalisme sebagai broadcaster. Namun, kenyataannya tawaran itu rupanya tidak cukup menarik bagi PNS di lingkungan RRI pada umumnya dan di RRI Surakarta khususnya. Tabel 18 memperlihatkan bahwa jumlah PNS yang menduduki jabatan fungsional di tiga kategori ternyata hanya 47 orang (20,08%), dan itu pun dengan komposisi yang tidak tepat. Misalnya jumlah fungsional Teknisi Siaran jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang berada di kelompok fungsional Adikara Siaran. Mestinya, jumlah fungsional Adikara minimal separuh dari akumulasi jumlah acara yang disiarkan oleh RRI Surakarta. Mengapa hanya sedikit PNS di lingkungan RRI yang tertarik masuk di jabatan fungsional? Berdasarkan pengalaman penulis ada beberapa kendala yang menjadikan tidak berkembangnya sistem jabatan fungsional di RRI secara keseluruhan, termasuk di RRI Surakarta. Pertama, kebijakan itu kurang adanya sosialisasi yang 91
mendalam sehingga pegawai tidak memahami secara komprehensif keuntungan dan kerugian jika mengambil jabatan fungsional. Kedua, penilaian yang berbasis laporan kerja sering dianggap merepotkan bagi pekereja kreatif sehingga mereka enggan melakukan pencatatan kegiatan. Sebaliknya, bagi fungsional yang tidak banyak beban tugas produksinya mempunyai banyak waktu untuk membuat laporan kerja atau isian kegiatan fungsional. Pada akhirnya, ketika diajukan ke Tim Penilai mereka yang secara faktual produktivitasnya rendah, tetapi laporannya baik mendapatkan angka kredit yang baik. Sebaliknya, pekerja kreatif yang secara faktual jauh lebih produktif, tetapi karena tidak rajin membuat laporan tugas maka dalam perolehan angka kredit mereka cenderung rendah. Dari situ kemudian terjadi pelemahan semangat bagi para pekerja kreatif dan karena dibiarkan maka akhirnya menjadi vitus yang mempengaruhi orang lain enggan menjadi pejabat fungsional. Ketiga, jajaran struktural di setiap stasiun RRI sendiri banyak yang tidak memahami sistem jabatan fungsional sehingga kebijakannya kontraproduktif. Misalnya, kenaikan pangkat pejabat fungsional hanya bisa dilakukan setiap empat tahun sekali meskipun dalam dua tahun kerja yang bersangkutan sudah memperoleh angka kredit yang memungkinkan untuk naik pangkat. Karena kebijakan SDM RRI sampai sekarang masih sentralistik, dengan sendirinya permasalahan jabatan fungsional di RRI Surakarta tidak lepas dari kebijakan pusat. Tabel: 20 Jumlah Pegawai RRI Surakarta menurut Jabatan Fungsional Per 31 Oktober 2013 Golongan/ Ruang IV/a III/d /c /b /a JUMLAH
92
Adikara Siaran 3 3 6
Jabatan Fungsional Andalan Teknisi Siaran Siaran 5 2 6 6 8 6 2 2 2 2 23 18
Pegawai Berdasarkan Kelompok Usia Dari segi usia, sebagian besar PNS RRI Surakarta sesungguhnya berada pada posisi rawan karena sudah mendekati usia pensiun. Seandainya RUU ASN segera disahkan dan masa pensiun untuk pejabat administrasi diundur menjadi 58 tahun, maka mereka yang kini berada pada rentang usia 55 tahun ke atas akan mengalami perpanjangan usia pensiun. Jika kemungkinan itu benar terjadi, jumlah pegawai RRI Surakarta yang akan mengalami perpanjangan masa pensiun ada sebanyak 44 orang (18.89%). Saat ini jumlah pegawai yang berada di kelompok usia 51-54 tahun ada 87 orang (37,18%) sehingga total PNS RRI Surakarta yang berusia di atas 50 tahun sebanyak 131 (56,07%). Sebagai lembaga penyiaran yang produknya berupa karya seni pertunjukan dengar, rentang usia 50 tahun ke atas sebenarnya memiliki banyak kendala untuk bisa kerja secara produktif. Apalagi jika batas terbawah rentang usia penurunan produktivitas dimulai dari 46 tahun, maka kelompok usia tidak produktif PNS di RRI Surakarta akan mencapai 90%. Tabel 21 memperlihatkan secara jelas jumlah pegawai RRI Surakarta menurut usia memberikan peringatan kepada pihak mana jemen untuk menyusun strategi mengatasi problematika SDM di masa datang. Kini sudah tidak ada PNS RRI Surakarta yang berusia di bawah 35 tahun. Hal itu berarti proses regenerasi mengalami kemandegan total. Kondisi demikian menghadapkan RRI Surakarta akan adanya generasi yang hilang (lost generation). Memang saat ini ada juga tenaga muda di RRI Surakarta dengan status sebagai PBPNS. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian tentang masa depan mereka sehingga tidak bisa menjamin apakah PBPNS akan bertahan di RRI atau tidak. Jika kelak banyak yang tidak bertahan, tentu akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks bagi masa depan RRI. Di sisi lain, kalau RRI mau rekrutmen sendiri pegawai dengan status PNS atau status lain yang dapat menjamin kesinambungan generasi, tentu ada banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak mengingat Rancangan Undang-Undang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) saat ini sedang dibahas oleh DPR sehingga RRI belum memiliki payung hukum yang pasti untuk masalah rekrutmen SDM. 93
Tabel: 21 Jumlah Pegawai RRI Surakarta Menurut Kelompok Usia Per 31 Oktobe 2013 Kelompok Usia 36-40 tahun 41-45 tahun 46-50 tahun 51-54 tahun 55 tahun ke atas Jumlah
Jumlah 5 18 80 87 44 233
Persentase 2,14 7,69 34,19 37.18 18,80 100
Perlu Kebijakan Afirmatif Dari uraian yang telah disampaikan di atas, tampak jelas bahwa kondisi riil SDM RRI Surakarta saat ini sungguh problematik. Di satu sisi, perjalanan menjadi radio publik yang belum genap satu dasa warsa membutuhkan SDM yang betul-betul responsif, inovatif, dan memiliki komitmen tinggi berdasarkan pemahaman yang matang akan prinsipprinsip radio publik dan mampu menerapkannya. Namun, pada sisi lain SDM yang ada saat ini mayoritas berada pada rentang usia yang secara alamiah sudah berorientasi pada kemapanan dan kenyamanan. Psikologi yang demikian membuat mereka bersikap pragmatik dan cenderung kompromistik terhadap situasi yang memungkinkan untuk mendapatkan kenyamanan. Semboyannya, “mengapa repot-repot, begini saja setiap bulan gajian...” Pada sisi lain, pihak manajemen tidak dapat berbuat banyak karena aturan kepegawain (PNS) yang ada memang tidak memungkinkan bersikap tegas seperti di perusahaan swasta. Melihat problematika SDM yang ada di RRI Surakarta khususnya, dan RRI pada umumnya, rasanya tidak akan ada yang bisa menyelesaikan secara tuntas selama tidak ada perubahan kebijakan dari negara terhadap status hukum RRI. Status PNSyang ada saat ini harus diakui menjadi blunder bagi upaya RRI mewujudkan diri menjadi radio publik yang independen, netral, dan mandiri. Oleh karena itu solusi yang efektif adalah dengan mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung bagi terwujudnya RRI sebagai radio publik. Untuk mewujudkan hal itu maka 94
kebijakan yang harus dibuat tidak cukup hanya setingkat Peraturan Pemerintah apalagi Peraturan Menteri, tetapi harus dalam bentuk Undang-undang. Dengan demikian, Dewan Pengawas dan Direksi LPP RRI seharusnya lebih berkonsentrasi mengelola segala sumber daya untuk melakukan perjuangan mendorong percepatan pembahasan RUU RTRI yang dapat memperkuat eksistensi radio publik di Indonesia.
95
BAB 10 MALADI: SOSOK MULTI TALENTA
Di bagian awal dari buku ini, nama R.Maladi sering disebut-sebut karena besarnya kontribusi yang diberikan bagi terbentuknya RRI, maupun dalam sejarah perjuangan kemerdekaan RI melalui media penyiaran. Namun, dalam beberapa episode, nama Maladi seolah tenggelam dan kalah pamor dibanding Yusuf Ronodipuro yang dikenal sebagai pembaca teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia untuk yang pertama kali melalui corong radio. Pamor Maladi dalam beberapa episode juga kalah dibanding dengan nama Pak Karbol yang mempunyai nama asli Abdulrachman Saleh. Agar generasi mendatang memperoleh informasi yang memadai tentang sosok fenomenal dan multi talenta yang menjadi Kepala RRI Surakarta pertama, berikut disampaikan riwayat hidup R. Maladi berdasarkan deskripsi yang disusun oleh istri beliau, Ibu Hj. Siti Chatidjah Maladi serta sumber lain seperti Sejarah Radio di Indonesia (1953). Raden Maladi Hendro Hadisewoyo lahir pada 31 Agustus 1912 di. Matesih, suatu kecamatan yang terletak di sebelah barat kaki gunung Lawu, Secara administratif daerah itu sekarang masuk kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Maladi adalah anak dari pasangan R. Hendro Hadisewoyo dan Raden Rara Sadermi. Maladi menyelesaikan pendidikan formal tertinggi di AMS-B di kota Yogyakarta tahun 1932. Sekolah tersebut sekarang menjadi SMA Negeri 3 Yogyakarta yang masuk kategori papan atas di kota pendidikan.
96
Gambar 19: R. MALADI (Kepala RRI Surakarta pertama)
Satu tahun kemudian (1933) Maladi mengabdikan dirinya sebagai guru di Perguruan Rakyat “Mardi Rahayu” di kota Solo (Surakarta). Selain sebagai guru, sejak 1934, Maladi juga menjadi penyiar radio dan anggota Komisi Programa SRV (Solosche Radio Vereniging). Meskipun bekerja di dua lembaga, tetapi karier Maladi sebagai pendidik dapat berkembang terbukti pada tahun 1938 Maladi diangkat menjadi Kepala Sekolah Perguruan Rakyat “Mardi Rahayu”. Pada tahun Tahun 1942 ketika bala tentara Jepang masuk Surakarta Maladi menyerahkan pimpinan Yayasan dan sekolah Perguruan Rakyat “Mardi Rahayu” kepada pihak “Indonesia Muda” (IM) Surakarta. Selanjutnya, ia memenuhi permintaan Komandan Tentara Pendudukan Jepang di Surakarta tuan Funabiki, untuk memimpin Radio Surakarta (bekas SRV) yang kemudian oleh Jepang diubah namanya menjadi Solo Hoso Kyoku. Ketika menjadi penyiar Hoso Kyoku itulah Maladi pada 4 April 1944 menikahi seorang gadis bernama Siti Chatiidjah yang kemudian memberinya 9 orang anak (6 laki-laki, 3 perempuan) dan 20 orang cucu. 97
Pada tahun 1945, beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan negara RI, Maladi memprakarsai diadakannya konferensi radio se Jawa di Jakarta pada 11 September 1945. Konferensi yang diikuti oleh sejumlah utusan dari 6 stasiun radio eks Hoso Kyoku di Jawa, yaitu Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta sepakat untuk mendirikan organisasi penyiaran radio di tingkat nasional yang kemudian diberi nama RRI (Radio Republik Indonesia). Pada periode 1945–1950 Maladi aktif di Militer. Karena penga lamannya di bidang radio dan pemancar. Komandan Divisi Solo meminta Maladi untuk memimpin satu batalyon perhubungan selama 4 tahun. Oleh Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto yang bermarkas di sektiar desa Balong, di lereng Gunung Lawu, Maladi diangkat sebagai Perwira Penerangan dengan pangkat Mayor. Kemudian oleh Panglima Komando Jawa, Kolonel A.H. Nasution, Maladi diangkat sebagai Perwira Penerangan MBKD (Markas Besar Komando Jawa) juga dengan pangkat Mayor. Atas jasa-jasanya, Maladi menerima penghargaan “Bintang Gerilya” dari Presiden Soekarno pada tahun 1959 bersama dengan ibu almarhum Jenderal Sudirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada masa Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, Maladi memimpin Komando Penerangan Mobil. Tugasnya mengambil gambar selama pemberontakan PKI untuk memberi penerangan kepada rakyat Indonesia. Selain itu, ia juga harus siaran radio setiap pukul 07.30 pagi s/d pukul 20.00 malam untuk melaporkan keadaan front kepada seluruh rakyat Indonesia. Selama Revolusi Fisik (Perang Kemerdekaan) yang berlangsung antara 1945-1950, Perjuangan yang paling berkesan bagi Maladi adalah fase perjuangan 19 Desember 1948 sampai dengan gencatan senjata II Agustus 1949 (Masa Perang Kemerdekaan II tahun 19481949). Selama 9 bulan Maladi memimpin siaran RRI di desa Balong, di Lereng Gunung Lawu, bersama 26 orang staf sebagai “Radio Gerilya” dengan 3 perangkat: 1 perangkat untuk siaran ke dalam dan keluar negeri, 1 perangkat untuk hubungan radiogram dengan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Tengah dan 1 perangkat lagi untuk penyiaran berita seperti yang diselenggarakan kantor berita “ANTARA” tetapi dengan nama “RIPRESS” (Republik of 98
Indonesia Press). KLB ANTARA untuk sementara waktu dipindahkan ke desa Balong, karena Yogyakarta diduduki Belanda. Informasi disiarkan dalam 4 bahasa “Inggris, Perancis, Belanda dan Indonesia”. Sebagai tokoh yang diakui kapasitasnya dalam pengelolaan radio dan berorganisasi, pada 1 April 1946 Maladi diangkat menjadi Kepala Jawatan Radio, yang kala itu sudah masuk dalam Kementerian Penerangan. Jabatan ini dipegang hingga tahun 1959 dengan posisi terakhir sebagai Direktur Jenderal RRI Pusat di Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1959-1962 R. Maladi diangkat oleh Presiden Soekarno masuk dalam jajaran Kabinet Kerja II sebagai Menteri Penerangan. Kemudian antara 1962-1966 oleh Presiden Soekarno, R. Maladi dipercaya sebagai Menteri Olahraga dengan tugas utama untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pesta olahraga Asian Games IV tahun 1962 dan GANEFO (Games of New Emerging Forces) pada tahun 1963. Bulan Juli 1966, GANEFO adalah ajang arena olahraga untuk negara-negara “Dunia Ketiga” yang tidak mau dijajah atau didominasi oleh blok barat (AS dan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya). GANEFO ini atas prakarsa Indonesia. Saat itu Maladi mengusulkan mengundang antara 60 negara – 80 negara dan terrealisasi dengan hadirnya 52 negara peserta yang berpartisipasi dalam GANEFO. Selama memegang jabatan sebagai Menteri Penerangan, timbul pemberontakan DI/TII dan Permesta. Tahun 1960 adalah masa paling berat bagi Maladi. Beliau harus bermusyawarah dengan para pimpinan pemberontakan, tanpa harus menggunakan senjata. Beliau harus datang sendiri ke Bukit Tinggi dan Danau Singkarak di Sumatera Barat untuk mengadakan rapat umum dan mengajak para pemimpin pemberontakan PRRI untuk kembali kepangkuan ibu Pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Saya tidak pernah takut meng hadapi mereka, karena mereka tahu saya tidak memusuhi siapa-siapa”, tegas Maladi. Ia tidak pernah menjanjikan apa-apa kepada para pe mimpin pemberontak. Ia berprinsip bahwa seorang Menteri tak perlu banyak bicara dan harus banyak berjuang untuk bangsa dan negaranya. Maladi pensiun dari Jabatan Menteri Olahraga tahun 1966. Setelah memasuki masa pensiun hingga wafat tahun 2001, Maladi masih aktif mengikuti perkembangan bidang penerangan dan olahraga di tanah air. Ia masih sering diundang oleh Departemen Penerangan, 99
RRI, TVRI, KONI, dan PSSI di dalam berbagai rapat, diskusi, seminar dan simposium untuk dimintai pendapat atau nasehatnya di bidang penerangan dan olahraga. Selain sebagai salah seorang Pejuang Kemerdekaan RI, Maladi juga dikenal sebagai “Seniman Komponis Pejuang”. Selama periode 1943 s/d tahun 1946 Maladi telah menciptakan tidak kurang 30 lagu perjuangan. Diantara lagu ciptaannya yang terkenal adalah “Di bawah Sinar Bulan Purnama (1943), dengan nama samaran ARIMAH dan “Rangkaian Melati” (1944), dengan nama samaran I.M. Lagu “Di bawah SInar Bulan Purnama” tercipta, karena keraguan Maladi akan kebenaran janji-janji Jepang untuk membela dan membantu rakyat Indonesia yang saat itu dijajah Belanda. Syair-syair lagu ciptaan Maladi berisi pesanpesan dan sandi-sandi perjuangan untuk para pejuang kemerdekaan RI. Nama samaran “ARIMAH” merupakan singkatan “Ayo Rebut Indonesia Merdeka yang Hakiki” dan “I.M” singkatan dari “Indonesia Merdeka”. Maladi dikenal pula sebagai penjaga gawang dan organisatoris olahraga yang handal. Ia pernah bermain sebagai Penjaga Gawang andal untuk PSIM Yogyakarta (puncaknya membawa PSIM juara klub PSSI tahun 1932), Persis Solo (menjadi juara PSSI 5 kali), dan PSSI (menahan seri/draw klub kuat Nan Hwa dari Cina). Ia berhenti sebagai pemain sepakbola pada tahun 1948 dalam usia 36 tahun, karena tenaganya dibutuhkan di tempat lain. Maladi menjadi Ketua Umum PSSI pada periode tahun 1950-1959 dan Pejabat Komite Olimpiade Indonesia (KOI). PSSI didirikan pada tanggal 19 April 1930.
Tanda Penghargaan Atas jasa-jasanya yang telah diberikan kepada bangsa dan negara, Maladi kemudian mendapatkan sejumlah penghargaan, di antaranya: 1. Penghargaan dari Presiden Republik Indonesia / Panglima Ter tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia : 2. Piagam Tanda Kehormatan Bintang Gerilya, Jakarta, 12 Agustus 1959 3. Piagam Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Tingkat III, Jakarta, 17 Agustus 1960. 4. Piagam Tanda Kehormatan Satya Lantjana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, Jakarta, 20 Mei 1961. 100
5.
Piagam Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia, Tingkat III, Jakarta 25 November 1964. 6. Tanda Penghargaan dari Negara-Negara Sahabat Republik Indonesia 7. Pada tahun 1997 menerima penghargaan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa (Dr. Hc) di bidang sport dari University of Alabama, Amerika Serikat. Maladi wafat di rumah sakit Medistra, Jakarta pada tanggal 30 April 2001. Jenasahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Kalibata, Jakarta, pada tanggal 1 Mei 2001. Alamat tinggal terakhir Maladi di Jakarta adalah di Jl. Gereja Theresia No. 9, Menteng Jakarta Pusat Dalam masa hidupnya, Maladi mengagumi filosofi dari Dr. Cipto Mangunkusumo yang mengatakan,” Berikanlah jiwa ragamu sepenuhpenuhnya kepada perjuangan. Tuhan sangat benci pada orang berjuang yang setengah-setengah”.
101
BAB 11 PENUTUP
P
aparan yang tersaji dalam bab-bab sebelumnya dari buku ini menegaskan bahwa RRI Surakarta memang memiliki sejarah panjang dan berakar di hati masyarakat Solo. Ikatan emosi itu terbentuk karena selama sebelas tahun, tepatnya sejak awal berdirinya 1 April 1933 sampai dengan berakhirnya siaran pada 1942, SRV dikelola sepenuhnya dengan menggunakan prinsip-prinsip radio komunitas, yakni dari, oleh, dan untuk warga komunitas sendiri. Dengan prinsip itu, menempatkan warga masyarakat tidak hanya sebagai pendengar (obyek), tetapi berperan sebagai subyek. Warga masyarakat terlibat secara aktif dalam mendukung keberlangsungan siaran dengan cara membayar iuran, membantu pengadaan sarana dan prasarana siaran secara kolaboratif, dan bentuk partisipasi lainnya, Semangat pengelolaan model radio komunitas itulah yang se sungguhnya mampu membangun karakter siaran SRV sehingga me miliki orientasi nilai kepublikan yang kuat dan hal itu menjadi modal bagi perjalanan RRI Surakarta selanjutnya. Dengan dasar tersebut, maka pelaksanaan siaran tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi keinginan khalayak, tetapi dalam rangka membangun jati diri dan identitas bangsa melalui penguatan program-program yang bersifat lokal. Di tengah pesimisme warga masyarakat akan eksistensi seni budaya daerah, para pengelola SRV berketetapan untuk fokus me nyiarkan kekayaan budayanya sendiri. Kebijakan siaran yang demikian itu sebenarnya tergolong melawan arus, mengingat kecenderungan pada waktu itu anak-anak muda lebih menyukai musik-musik modern dari pada seni tradisional. Namun, kenyataannya kebijakan itu berdampak positif terhadap keberadaan seni tradisional maupun 102
terhadap SRV sendiri. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Berkat programa siaran yang fokus pada kandungan lokal, SRV menjadi radio siaran yang amat digemari masyarakat melebihi kesukaannya terhadap siaran dari radio NIROM yang programanya banyak diisi dengan musik-musik barat untuk memenuhi selera dari orang-orang Eropa yang ada di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, radio-radio yang dikelola oleh pribumi mengikuti jejak SRV, yaitu fokus pada muatan seni dan budaya lokal. Mereka kemudian bergabung dalam organisasi yang disebut sebagai Radio Ketimuran. Tanpa diduga, radio ketimuran ternyata jauh lebih populer dibandingkan siaran radio lainnya sehingga NIROM sampai berkehendak akan memonopoli programa ketimuran, tetapi ditolak oleh para pengelola radio pribumi. Semangat kepublikan itulah yang kemudian diwariskan oleh para mantan broadcaster SRV yang menjadi staf dari Hoso Kyoku. Memang kebijakan siaran pada masa pendudukan Jepang sangat berbeda dibanding masa SRV. Jepang membentuk jawatan khusus propaganda yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan siaran radio. Pada masa itu mulai diberlakukan model siaran sentral dari Hoso Kyoku Jakarta dan bahkan relai dari NHK. Pemerintahan bala tentara Jepang juga melakukan kontrol ketat terhadap masyarakat agar tidak leluasa mengikuti siaran dari radio lain di luar Hoso Kyoku dan NHK. Kontrol dilakukan dengan cara menyegel gelombang/frekuensi pada pesawat radio penerima yang dimiliki oleh masyarakat sehingga tidak dapat mengikuti siaran dari radio lain, kecuali hanya Hoso Kyoku dan NHK. Radio-radio Hoso Kyoku dilarang menyiarkan lagu-lagu barat, dan tidak boleh menggunakan bahasa Belanda, Inggris atau bahasa lain dari Eropa, serta diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan siaran. Sebaliknya, bahasa Jepang mulai diajarkan melalui siaran radio. Untuk kepentingan buka dan tutup siaran Hoso Kyoku selalu dikumandangkan lagu-lagu Jepang. Namun, Hoso Kyoku Surakarta berhasil melakukan negosiasi sehingga buka dan tutup siaran tetap menggunakan musik tradisional Jawa. Kebijakan siaran yang diterapkan oleh bala tentara Jepang penuh dengan larangan tersebut pada sisi lain ternyata memberikan rahmat 103
tersembunyi (blessing indeguis). Larangan penggunaan bahasa Belanda dan bahasa Eropa lainnya, pada sisi lain justru mendorong tingginya intensitas penggunaan bahasa Indonesia yang telah diproklamasikan sebagai bahasa persatuan sejak 28 Oktober 1928, Begitu pula larangan untuk menyiarkan musik-musik barat telah mendorong lahirnya seniman-seniman baru Indonesia karena dituntut untuk mencukupi kebutuhan siaran. Dampak positifnya, selama masa Hoso Kyoku banyak lahir lagu-lagu baru dengan berbagai macam jenis musik khas Indonesia. Intensitas yang tinggi dalam produksi musik dan bahan siaran tanpa disadari ternyata mampu meningkatkan profesionalitas orang-orang Indonesia yang bekerja di Hoso Kyoku. Pengalaman dalam pengelolaan Hoso Kyoku itu ternyata di kemudian hari menjadi modal yang sangat berarti ketika mendirikan RRI. Pasca ditutupnya siaran Hoso Kyoku pada tanggal 19 Agustus 1945, muncul inisiatif dari R. Maladi yang merupakan mantan penyiar Hoso Kyoku di Solo untuk menyele ngga ra kan konferensi radio se Jawa di Jakarta. Ajakan Maladi mendapat sambutan baik dari temantemannya di Semarang dan Yogyakarta sehingga terbentuk poros Joglosemar (Jogja, Solo, dan Semarang) yang kemudian menjadi penggerak terselenggaranya konferensi radio se Jawa di Jakarta. Meskipun melalui perjuangan yang keras, dan bahkan pada awalnya tidak cukup memperoleh perhatian dari Pemerintah, konferensi berhasil dilaksanakan pada 11 September 1945 mulai pukul 24.00 sampai dengan pukul 06.00 WIB (tanggal 12 September). Keputusan penting dari konferensi itu adalah terbentuknya organisasi penyiaran secara nasional yang bernama Radio Republik Indonesia (RRI). Rapat itu juga menghasilkan rumusan janji setia kepada RRI yang kemudian lebih populer dengan sebutan Tri Prasetya RRI atau Piagam 11 September. Sampai sekarang, setiap peringatan hari jadi RRI, piagam 11 September atau Tri Prasetya RRI tersebut senantiasa dibacakan. Lahirnya RRI menandai babak baru bagi perkembangan organisasi penyiaran di Indonesia. Jika sebelum itu siaran radio beroperasi dalam suasana penjajahan, RRI memulai siarannya di era kemerdekaan. Pada satu sisi RRI memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan siaran, tetapi pada sisi lain memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal 104
negara yang baru saja diproklamasikan. Posisi dilematis itu menuntut kesanggupan para pendiri RRI untuk dapat menentukan sikap dan tindakan yang tepat sehingga mampu memanfaatkan kebebasan yang dimiliki untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa dan negara. Ternyata apa yang dilakukan oleh para pendiri RRI memang sesuai dengan tuntutan zaman. Lima tahun pertama sejak berdirinya, yakni periode 1945-1950, RRI berperan penting dalam mendinamisasi revolusi Indonesia. RRI menjadi media komunikasi yang dapat di andalkan untuk menjembatani antara para pemimpin dengan rakyat. Pada periode waktu yang sangat menentukan bagi masa depan Indonesia, RRI Surakarta kembali menunjukkan peran sentralnya karena pada periode 1946-1950 itu Kantor Pusat RRI berada di Surakarta. Meskipun RRI Surakarta memiliki sumbangan besar, tetapi sejarahnya cenderung antiklimaks. Setelah revolusi usai, kondisi negara semakin tertata, ibukota RI yang semula sempat berada di Yogyakarta kembali ke Jakarta, dinamika RRI juga mengikutinya. Kantor pusat RRI yang semula ada di Surakarta akhirnya diboyong ke Jakarta. Dengan sendirinya Maladi sebagai Kepala Jawatan Radio ikut pindah ke Jakarta sehingga lambat laun kekuatan magnet RRI Solo makin berkurang. Apalagi ketika Maladi akhirnya lebih banyak berada di Jakarta karena menjabat sebagai Menteri Penerangan dan kemudian menjadi Menteri Olah Raga, RRI Surakarta seolah semakin dilupakan. Beruntung ketika keputusan politik menempatkan RRI sebagai UPT Deppen pada era Orde Baru RRI Surakarta diberi status sebagai RRI Regional I, yakni setingkat dengan RRI yang berada di ibukota provinsi. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan diikuti lahirnya Peraturan Pemerintah di bidang siaran pada tahun 2005, status RRI Surakarta masuk dalam status Tipe C, yaitu setingkat dengan RRI yang berada di ibukota kabupaten/kota. Pemberian status Tipe C bagi RRI Surakarta mencerminkan tidak adanya faktor substansial yang menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan klasifikasi tipe stasiun RRI di Indonesia kecuali atas dasar pendekatan wilayah administrasi belaka. Padahal dari paparan materi yang dimuat dalam buku ini dengan jelas menunjukkan kepada 105
kita bahwa RRI Surakarta sesungguhnya memiliki akar sejarah yang panjang, mengakar, dan mempunyai kontrinusi besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu semestinya RRI Surakarta sebagaimana diusulkan oleh Hari Wiryawan (2013) mestinya menjadi “RRI Istimewa” yang bisa saja levelnya sama dengan Tipe B atau bahkan Tipe A. Harapan tersebut tentu bukan tujuan dari penulisan buku ini. Akan tetapi, dengan membaca sejarah secara komprehensif kita kemudian menjadi tahu hal yang sebenarnya sehingga dapat memberikan apreasiasi secara tepat. Ketidakpahaman atas sejarahlah yang membuat para penentu kebijakan menghapus jejak RRI Surakarta sebagai pioner radio siaran pertama yang dikelola oleh pribumi, dan inisiator atas terbentuknya organisasi penyiaran di tingkat nasional yang bernama RRI dengan memberikan status yang tidak proporsional. Akibat ketidakpahaman pula generasi RRI lebih mengapresiasi Yusuf Ronodipuro dan Abdulrachman Saleh dibanding terhadap R.Maladi (Wiryawan, 2013). Kiranya buku ini dapat membantu semua pihak yang ber ke pentingan untuk lebih memahami eksistensi RRI Surakarta dengan berbagai dinamikanya. Semoga.
106
Catatan Editor: RRI Surakarta: dari Radio Komunitas ke Radio Publik
D
iskursus tentang lembaga penyiaran publik di seluruh dunia dalam tiga puluh tahun terakhir diwarnai dua perdebatan serius. Pertama, ancaman krisis eksistensi akibat tekanan paham liberal dalam sistem media di Eropa dan Amerika. Kedua, ancaman krisis manajemen SDM dan pendanaan publik sebagai konsekuensi dari digitalisasi teknologi produksi dan akses. Buku berjudul RRI Surakarta dari Radio Komunitas ke Radio Publik ini terbit di tengah situasi tersebut di atas ditambah ketidakpastian hukum di Indonesia menyusul rencana revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di DPR. Di Indonesia, fenomena khas terjadi: publik belum sepenuhnya melek terhadap radio publik. Di Negara demokratis, posisi lembaga penyiaran publik dan komunitas (terminologi yang dipakai dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran) seharusnya menempati ruang lebih strategis dibandingkan lembaga penyiaran lain. Lembaga penyiaran publik (LPP) dan komunitas (LPK) adalah ikon media yang terbuka, partisipatif dan humanis. Arus liberalisasi yang sangat kuat dan globalisasi ekonomi menyebabkan LPP dan LPK tersingkir oleh rezim lembaga penyiaran komersial. Dalam konteks Indonesia, kooptasi politik Orde Baru terhadap RRI dan TVRI sebagai embrio LPP menambah alergi dan stigma buruk publik hingga apatisme terhadap LPP sebagai media kolektif. Sementara itu, kehadiran LPK sepanjang dua puluh tahun terakhir menghadapi tekanan regulasi yang masih diskriminatif. Ketika radio siaran menjadi entitas bisnis, maka logika pasar berlaku, menempatkan pendengar sebagai obyek yang diperdaya produk konsumsi, bukan lagi pendengar sebagai subyek aktif edukatif. Di sisi ini, eksistensi dan peran LPP mengalami krisis sekaligus membuka ruang alternatif, apabila para profesional didalamnya memahami 107
penuh amanat sejarah dan konstitusional RRI dan TVRI, yang dulunya dikenal dengan nama-nama Belanda, seperti SRV, MAVRO, VORO, dll. Arus liberalisasi dan globalisasi tidak dapat dihindari, ia memerlukan respon kreatif berlandaskan kesadaran kultural. Momentum Pemilu tahun 2014 atau tahun sebelumnya menjadi ujian eksistensi LPP dan LPK, saat berhadapan fakta empirik meruyaknya siaran-siaran Pemilu media komersial yang diboncengi kepentingan pragmatis pemiliknya. Dalam studi akademik, radio komunitas (community radio) yang berpola horizontal: warga ke warga dan radio publik (public radio) yang berpola vertikal: Negara ke warga memiliki kemiripan pada tiga aspek. Pertama, media penyiaran yang berorientasi pada pemberdayaan dan pencerahan pendengar, tidak mengeksploitasi atau menghibur semata sebagaimana diperankan institusi radio komersial. Kedua, pengelolaannya bersifat non profit, tidak mengeruk keuntungan melebihi kebutuhan operasionalnya. Ketiga, kepemilikannya terikat pada dinamika komunitas atau publik, bukan kontribusi apalagi intervensi individu. Oleh karenanya, dalam lintas sejarah radio komunitas dan radio publik di mana pun di seluruh dunia, aspek independensi menjadi pertaruhan dan ukuran eksistensi. Ia menjadi magnet yang terus menghidupkan semangat profesional angkasawan dalam bekerja. Wacana radio komunitas dan radio publik telah mengemuka sejak tahun 1940-an di Indonesia, meski terminologinya belum dikenal. Di kalangan para tokoh pendiri, nyaris tidak ada perdebatan sengit terkait perlunya institusi radio kebangsaan yang berdiri sejajar dengan radio serupa di Negara lain, yang bersifat independen, menyuarakan nasionalisme dan memiliki standar profesional dalam pengelolaan SDM. RRI stasiun nasional yang berpusat di Jakarta hari ini, awalnya adalah kumpulan radio lokal dan berbasis komunitas dari berbagai daerah. Dan, RRI Surakarta menjadi salah satu benchmark penting transformasi RRI, dari komunitas kecil ke publik. Bahkan, Surakarta atau populer disebut Solo menjadi kota bersejarah yang memiliki kekayaan sejarah terlengkap dalam konteks radio siaran di Indonesia. Buku yang ditulis sejarawan RRI Darmanto dan Istiyono ini telah mengurainya dengan cukup lengkap. 108
Pilihan menjadi LPP sudah tepat. Pakar hukum media dari Articel 19, Toby Mendel mencatat, pemikiran lembaga penyiaran publik berakar kuat pada prinsip negara demokratis, mengakomodasi kondisi empirik dan ideal diversitas publik dari beragam sisi: kebutuhan dasar, etnisitas, aspirasi politik, geografis dan sosial budaya. Siaran LPP bertujuan memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui berita dan informasi (transmit programming that aims to improve society by informing viewers), sebuah misi yang kontras dibanding lembaga penyiaran komersial yang hanya memberikan suguhan siaran atraktif, menghibur, mengundang budaya konsumtif agar relevan bagi bisnis periklanan. Karena tujuan itu, maka status hukum, bentuk lembaga, sumber pendanaan dan standar sumber daya manusia yang dimiliki LPP harus pula mencerminkan sifat demokratis, terbuka, kesukarelaan dan kesetaraan. Mengikuti pemikiran peneliti media dari Murdoch Univerisity David T Hill, terdapat dua model penulisan sejarah media di Indonesia. Pertama, sejarah tentang institusi media dan organisasi jurnalis,. Seperti sejarah Koran Indonesia Raya, PWI dan AJI., Kedua, sejarah tentang konseptualisasi gagasan, pemikiran dan ide-ide radikal dari media otoriter hingga media liberal dan demokratis. Semuanya penting menjadi rujukan referensi akademik dan profesional. Penulisan sejarah RRI dan TVRI masih banyak berkutat pada sejarah institusi, dari masa penjajahan, otoriter hingga liberal. Dalam skala tertentu, buku ini mewakili kelompok pertama. Namun, ada beberapa benang merah pergerakan konseptual dan gagasan genial para tokoh yang terlibat sebagai temuan awal penting untuk studi lanjut. Penulisan buku ini menjadi penting karena tiga hal. Pertama, ia memberikan deskripsi tentang basis historis keberadaan RRI Surakarta sebagai institusi yang berperan signifikan dalam perjalanan revolusi republik Indonesia. Kedua, buku ini mengutamakan makna kultural dan politik dari keberadaan radio siaran bagi masyarakat modern dan demokratis yang bergerak dari masa lalu. Secara historis, RRI Surakarta telah berperan penting dan menjadi living monument perjuangan anti kolonial, secara faktual empirik, buku ini ingin menyampaikan gagasan dan makna bahwa RRI Surakarta akan selalu penting di masa kini dan 109
masa mendatang. Ketiga, menjadi referensi akademik dan pembanding dari penulisan profil dan sejarah media penyiaran yang telah beredar sebelumnya. Buku ini terobosan di tengah langkanya buku tentang radio publik. Jika buku yang ditulis Hari Wiryawan: Mangkunegoro VII dan awal Penyiaran Indonesia (2011) menggambarkan sejarah radio siaran dari perspektif pengamat, maka buku ini ditulis oleh angkasawan RRI yang terlibat langsung dinamika internal. Buku ini dan buku Hari Wiryawan melengkapi predikat Solo sebagi kota penyiaran: hari penyiaran tanggal 1 April telah dirayakan sebagai seremoni tahunan dan bermula dari Solo, museum Penyiaran di kantor RRI Surakarta telah diresmikan tanggal 11 September 2013 sebagai saksi bisu sejarah, dan buku ini melengkapi keduanya sebagai referensi akademik. Meskipun ada nilai-nilai positif yang dihadirkan berkat terbitnya buku ini, tetapi ada sejumlah catatan yang perlu diberikan. Catatan ini akan menjadi sangat berguna jika suatu ketika penulis berniat untuk melakukan revisi. Catatan juga akan sangat berguna bagi mahasiswa, peneliti, dan akademisi yang akan melakukan studi lebih lanjut tentang RRI Surakarta pada khususnya, maupun tentang lembaga penyiaran publik pada umumnya. Sehubungan dengan itu maka catatan kritis yang disampaikan di sini ditekankan kepada hal-hal yang dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan studi lebih mendalam mengenai RRI Surakarta maupun isu penyiaran publik di Indonesia. Adapun catatan kritis yang perlu disampaikan sebagai berikut: Pertama, buku ini sebenarnya berambisi menampilkan profil RRI Surakarta secara utuh, tetapi eksekusinya kurang memuaskan. Ada banyak isu penting yang tidak dieksplorasi secara optimal, padahal sebenarnya sangat diperlukan oleh publik. Misalnya, bagaimana dinamika internal RRI Surakarta saat menghadapi masa-masa kritis pasca dibubarkannya Departemen Penerangan (Deppen) sebagai induk organisasinya? Apakah insan RRI Surakarta pada waktu itu juga mengambil inisiatif sebagaimana dilakukan oleh perintisnya, Maladi, untuk melakukan konsolidasi secara nasional? Bagaimana pula potret seutuhnya dari RRI Surakarta saat menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) 110
pada periode 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2005? Buku ini juga belum menggambarkan proses transisi dari Perjan menjadi radio publik. Kedua, buku ini tidak memberikan rumusan konseptual secara komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan radio komunitas dan radio publik. Bagi yang sudah familier dengan isu-isu penyiaran mutakhir, hal itu tidak masalah. Namun, bagi pembaca yang tidak memiliki basis pengetahuan memadai di bidang penyiaran, hal itu tentu akan menimbulkan kesulitan tersendiri untuk menangkap makna frase “ dari radio komunitas menjadi radio publik” yang ada dalam judul ini. Tentu akan lebih baik jika di bab pendahuluan ada pemaparan konseptual tentang radio komunitas dan radio publik. Ketiga, proporsionalitas pembahasan. Pada bab-bab awal, terutama bab 2-6 alur penyajian sudah tampak jelas, penulis hendak menggambarkan RRI Surakarta secara kronologis seperti kebanyakan tulisan yang bersifat historis. Akan tetapi, pola itu tidak dijaga secara konsisten sehingga pembabagan peristiwa tidak tergambar secara detail. Kalau mengikuti pola sebelumnya, bab 7 mestinya dipecah menjadi dua bab, yaitu RRI di era Sukarno (1950-1966 awal) dan RRI di era Orde Baru. Bagaimana pun suasana sosial, budaya, dan politik di era Sukarno dan Suharto sangat berbeda sehingga mestinya dilakukan pembahasan secara terpisah agar proporsional dengan bab-bab sebelumnya. Begitu juga pembahasan mengenai masa transisi dari status RRI Surakarta sebagai Unit Pelaksana Teknis Deppen ke Perjan, dan dari Perjan ke Lembaga Penyiaran Publik mestinya dilakukan secara sendiri-sendiri sehingga proporsional dengan bagian awal Keempat, detail data. Membaca keseluruhan isi buku ini akan terasa sekali bahwa detail data yang disajikan masih kurang. Ada bagian yang bisa detail, terutama yang menyangkut sejarah masa lalu, tetapi data kekinian justru menjadi sangat kurang. Paparan tentang capaian kinerja bagian program seperti pada 8 sungguh tidak proporsional. Di situ data yang disampaikan hanya mengutip dari capaian pada periode 2011-2013 yang tentu saja mengabaikan fakta yang ada pada periode sebelumnya. Mungkin saja ini akibat dari sistem pendokumentasian di RRI yang kurang baik sehingga ada kesulitan untuk mendapatkan data 111
yang akurat. Namun, adalah tugas peneliti untuk menggali data yang tersembunyi sehingga publik terbantu untuk mengaksesnya. Terlepas dari sejumlah kekurangan yang dikemukakan di atas, kehadiran buku kian meneguhkan predikat Surakarta sebagai kota penyiaran dan sekaligus mengisi kelangkaan referensi di bidang penyiaran publik. Buku ini diharapkan dapat menjadi media untuk melakukan transformasi nilai dari generasi satu kepada generasi berikutnya sehingga ruh keberadaan RRI Surakarta dapat menjadi spirit kerja bagi generasi penerus. Ke depan, kita perlu segera keluar dari romantisme masa lalu. Menatap tantangan modernitas lembaga penyiaran global adalah pilihan bagi profesional RRI untuk menapaki sejarah mereka sendiri, agar berbeda dengan masa kolonial dan Orde Baru, agar terus dikenang sebagai pembaharu, bukan pengekor. Dengan demikian, buku berikutnya yang mengulas perjalanan RRI sebagai LPP akan ditunggu. Pada akhirnya, sebuah buku adalah sumber inspirasi untuk perubahan, bukan ‘museum’ pengetahuan yang mati dan beku. Inilah harapan kita semua terhadap siapa pun setelah membaca buku ini. Yogyakarta, 15 Nopember 2013 Masduki, M.Si, MA
(Pengajar Tetap Jurusan Ilmu Komunikasi UII, Direktur Program dan Produksi RRI 2010-2012, Pendiri RUMAH PERUBAHAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK)
112
Daftar Pustaka
Abdulgani, Ruslan, 1953. Fungsi Penerangan di Indonesia, Jakarta: Kementerian Penerangan RI Abidin Ass, Djamalul, 1985. 40 Tahun Radio Republik Indonesia, Sekali di Udara Tetap di Udara, Jakarta: Panitia Peringatan Hari Radio Ke-40 Darmanto, 2013. “Urgensi Perubahan Kebijakan SDM RRI untuk Mendukung Transformasi Menjadi Radio Publik”, dalam Jurnal Komunikasi, volume 7, Nomor 2, April, hal. 129-140, ISSN 1907848X, Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Darmanto, 2013.” Inisiator Bukan Pemimpin”. Dalam Cahyono (Editor), Radio Melintas Zaman. Jakarta-Yogyakarta: RRI dan AJI Yogyakarta Darmanto, dkk (editor), 2001. Pemahaman dan Aplikasi Prinsip-prinsip Radio Publik Prosiding Semiloka di Yogyakarta, Yogyakarta: RRI dan Radio Austria Departemen Penerangan RI, 1983. Pedoman Penerangan 1983-1988 Departemen Penerangan RI Kementerian Penerangan-Jawatan Radio Republik Indonesia, 1953. Sejarah Radio di Indonesia, Jakarta: Kementerian Penerangan Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, 2007. Pedoman Penyelenggaraan Siaran edisi II Tahun 2007. Jakarta. Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, 2011. Pedoman Penyelenggaraan Siaran Programa Satu dan Dua. Jakarta. Direktorat Program dan Produksi LPP RRI Lembaga Penyiaran Publik RRI Surakarta, 2012. Kajian Inventigatif Komprehensif Peningkatan Status RRI Surakarta dari Tipe C Menjadi Tipe B, Surakarta: RRI (dokumen tidak dipublikasikan). Pengurus SRV, 1936. SRV Gedenboek, Surakarta: Koleksi Perpustakaan Puro Mangkunegaran Poesponegoro, Marwati Djoened dan Bugroho Notosusanto, 1990. Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Departemen Pendidikan 113
dan Kebudayaan dan Balai Pustaka Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Shankleman, Lucy Kung, 2003. Inside BBC and CNN Perbandingan Budaya Organisasi Media (terjemahan: Kresno Saroso), Jakarta: Kantor Berita 68H Suharto, 1974. Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Depan Sidang Dewan PerwakilanRakyat. 15 Agustus 1974 Pelaksanaan Repelita I
Timur, Sukanto, 1999. “Pengalaman sebagai Penyiar 10 November 1945 RRI Surabaya”. Dalam Sukidi dan Joko Santoso, Perjuangan RRI Surabaya dalam Mempertahankan proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Surabaya: RRI Regional I. Wiryawan, Hari. 2006. “Radio Ketimuran: Perintis Sistem Jaringan dan Siaran Budaya “ dalam Seminar Sehari tentang Perlunya Kemitraan Antar Radio Siaran Publik Menuju Optimalisasi Pelayanan Siaran Seni Wiryawan, Hari. 2006. Mengkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia, Surakarta: Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta Peraturan Perundangan: Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Peraturan Pemerintah Nomor 11 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Publik Peraturan Pemerintah Nomor 12 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia.
114
Tentang Penulis
DARMANTO adalah Ahli Muda (A.Ma) alumnus Program Diploma 2 Jurusan Radio-TV Sekolah Tinggi Multi Media “MMTC” angkatan I. Gelar Sarjana Pendidikan Sejarah (S.Pd) diperoleh dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan Master of Public Administrasi (MPA) dari Prodi Ilmu Administrasi Publik FISIPOL UGM. Selama periode 1983-2004 menjadi Broadcaster di RRI Yogyakarta dengan berbagai talenta: menulis naskah, presenter acaraacara pendidikan dan kebudayaan, pemain sandiwara, host talkshow, sutradara, dan produser. Tahun 2004 pindah ke Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta, UPT Balitbang SDM, Kemen Kominfo dan kini menjadi fungsional Peneliti. Selain Peneliti, juga menjadi Dosen Tidak Tetap di UAJY sejak 2003 untuk Mata Kuliah (MK) Produksi Program Radio (PPR), mengampu Penulisan Naskah Media Pembelajaran di Jurusan Kurikulum dan Teknolohi Pendidikan FIP, UNY (1992-2012), mengampu mata kuliah Formatologi Program/Formatologi Berita, dan Riset Khalayak di Sekolah Tinggi Multi Media MMTC Yogyakarta (sejak 1998), mengampu Jurnalitik Radio di Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY) periode 2000-2010, dan Dasar-dasar Broadcasting di UMY (2009-2011). Aktivitas sebagai masyarakat sipil disalurkan melalui keterlibatan di Institut Pengembangan Demokrasi dan HAM (INPEDHAM) antara 2000-2006, Perkumpulan Masyarakat Peduli Media (MPM) sejak 2004, PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media), Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) yang pendiriannya diinisiatori koleganya, Masduki, dan terlibat di Koalisi Masyarakat Informasi Publik Yogyakarta (KMIPY). Menjadi Dewan Penasehat Paguyuban Media Komunitas Cetak Yogyakarta, dan 2013 menjadi 115
Penasehat untuk tabloid WARTA PASAR Yogyakarta, dan aktif di jaringan pendukung radio komunitas. Buku-buku mengenai radio/RRI yang telah sudah ditulis antara lain: Chanel Lima: Inovasi Menuju Radio Publik Sejat, 2013 (RRI dan Safiria Insani Press); Selayang Pandang Museum Penyiaran RRI Surakarta, 2013; “Inisiator Bukan Pemimpin” dalam M.Faried Cahyono, Radio Melintas Zaman, 2012 (RRI dan AJI); Pengembangan Program dan Programa Siaran RRI Perbatasan, Studi di Sabang, Batam, Entikong, dan Atambua (Penerbit Ilmu Komunikasi UII. 2012); Pengelolaan Radio Komunitas (bersama Masduki dan Andhy Panca Kurniawan), 2009 (CRI Yogyakarta); “Sejarah Perkembangan Radio Komunitas di Indonesia”. Dalam Ignatius Haryanto dan Juventius Judy Ramdojo, Dinamika Radio Komunitas,2009 (LSPP dan Yayasan Tifa); RRI sebagai Radio Publik antara Harapan dan Kenyataan, (Penerbit Bigraf, 2007); Sastra Jawa Radio, (Penerbit Kalika dan Ford Foundation, 2001); Pemahaman dan Aplikasi Prinsip-prinsip Radio Publik (Editor Proseeding Lokakarya RRI dan Radio Swedia, 2001); Teknik Penulisan Naskah Acara Siaran Radio (Penerbit UAJY, 1998). Selain itu lebih dari seratus artikel tentang komunikasi, terutama isu penyiaran telah dipublikasikan melalui surat kabar, majalah, dan jurnal ilmiah. Periode 2007-2012 menjadi Ketua Penyunting Jurnal Ilmiah IPTEKKOM BPPKI Yogyakarta (Terakreditasi LIPI); Anggota Redaksi Majalah semi ilmiah GAGASAN, dan Pemimpin Redaksi Buletin MATAMEDIA. Menjadi Anggota Tim Seleksi untuk Penjaringan Calon Anggota Komisi Informasi DIY periode 2010-2014, dan Tim Ad Hoc Pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Prov. DIY periode I (2003). Pengalaman manajerial diwujudkan dalam posisi sebagai Sekretaris Yayasan Bina Muda Panggang, Gunungkidul pada periode 1990 – 2012, dan Sekretatis KPRI Angkasa RRI Yogyakarta selama dua periode (1998-2001 dan 2001-2003). Alamat kontak, E-mail: dmt_mpm@ yahoo.co.id &
[email protected] ISTIYONO adalah alumnus Diploma I Program Studi Produksi Program Siaran (PROPODSI), serta Diploma 2 Program Studi Program Paket Siaran (PROPAKSI) Jurusan Radio-TV Sekolah Tinggi Multi Media 116
“MMTC”. Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di RRI Surakarta sejak tahun 1986. Sebagai kru dari Unit Penyelenggara Siaran Pedesaan RRI Surakarta, mengasuh acara Siaran Pedesaan “Desaku Maju” sejak tahun 1987 hingga 2000,sebagai penulis naskah, pewawancara, dan penyaji acara, Selepas dari dari pengasuh Siaran Pedesaan,menjadi Koordinator untuk program-program acara Siaran Pendidikan dan Kebudayaan hingga tahun 2005, Setelah itu digeser ke unit kerja baru untuk memperkuat operasionalisasi siaran Programa II RRI Surakarta hingga tahun 2010. Pada Mei 2010 ditarik untuk memperkuat jajaran strukural sebagai Kepala Sub Seksi Layanan Publik, Seksi Layanan dan Pengembangan Usaha LPP RRI Surakarta. Alamat kontak, E-mail:
[email protected]
117
lampiran 1 DAS Programa 1 SUSUNAN ACARA SIARAN PRO.I LPP RRI SURAKARTA HARI/TGL. : SABTU, 3 AGUSTUS 2013
00.00- TINJAUAN ACARA DINI HARI
FREK. AM 972 KHz., FM 105,5 MHz
00.02- JABAT UDARA
(Phone in program)
(H)
01.00- TADARUS AL-QURAN
(K)
02.30- LAGU QASIDAH
(K)
03.00- OBROLAN SAHUR
(K)
03.30- KONTAK SAHUR
(H)
(Phone in program)
04.10- TARQIM DAN NIAT BERPUASA
(K)
04.21- IMSAKIYAH
(K)
04.23- PEMBACAAN AYAT SUCI AL-QUR’AN & TERJEMAHANNYA
(K)
04.31- ADZAN SHUBUH
(K)
04.36- INDONESIA PUSAKA
(K)
04.40- TUNE PENUTUP (LOVE AMBON)
(K)
04.55-TUNE BUKA SIARAN
FREK. AM 972 KHz., FM 105,5 MHz.
04.57- TINJAUAN ACARA PAGI HARI
(H)
05.00- LAGU ROHANI BUDHA
(K)
05.15- SIRAMAN ROHANI AGAMA BUDHA
(K)
06.00- LINTAS PAGI/Informasi Arus Mudik Lebaran 1434.H.2013.
(H)
06.20- CINTA BANGSA, CINTA NEGERIKU
(K)
06.30- SEKITAR KITA
(H)
06.50- BONANGAN
(K)
07.00- WARTA BERITA/Informasi Arus Mudik Lebaran 1434.H.2013.
(R)
07.30- ANJANGSANA KELUARGA
(H)
08.00- MORNING ENGLISH NEWS
(K)
08.10- ANJANGSANA KELUARGA (SILATURAHMI KELUARGA)
(H)
08.30 -INFO DI INFO ( Dialog Interaktif )
(H)
09.25- JABAT UDARA
(H)
09.58 – TINJAUAN ACARA SIANG HARI.
FREK. AM 972 KHz., FM 105,5 MHz.
10.00- SOROT PRESTASI 11.00- BERITA OLAH RAGA/Informasi Arus Mudik Lebaran 1434.H2013. (R)
118
(H)
11.30- SABTU BIRU ( Temb kenangan)
(H)
12.30- SIARAN BERJARINGAN ”Sekar Purwo”
(H)
13.00- WARTA BERITA/Informasi Arus Mudik Lebaran 1434.H.2013. (R) 13.30- GEMA SUARA MASYARAKAT (G.S.M.) (PHONE IN PROGRAM) (H) 14.00- LINTAS EKBIS / Informasi Arus Mudik Lebaran 1434.H.2013. (H) 14.20- HIB. SIANG :
(H)
15.00- SIARAN WANITA
(K)
16.00- GENDING-GENDING DOLANAN
(K)
16.28- TINJAUAN ACARA PETANG & MALAM HARI
FREK. AM 972 KHz. FM 105,5 MHz
16.30- LINTAS SORE/Informasi Arus Mudik Lebaran 1434.H.2013.
(H)
16.45- NUANSA ROMADHON
(K)
17.41- ADZAN MAGRIB
(K)
- Bimbo
17.45- UCAPAN SELAMAT BERBUKA PUASA
(K)
18.00- KISAH-KISAH ISLAMI
(K)
18.15- JABAT UDARA
(R)
19.00- WARTA BERITA/Informasi Arus Mudik Lebaran 1434.H.2013.
(R)
19.30- MASDARKUM
(K)
20.00- SEBAIKNYA ANDA TAHU
(H)
21.00- PAWARTOS BASA JAWA
(H)
- Berita Keluarga
21.20- KETHOPRAK SAM PHOK KONG
(K)
00.00- ACARA DINI HARI
(H)
Programa I RRI Surakarta Surakarta, 2 Agustus 2013 Kasubsi Perencanaan & Evaluasi Programa
Purwanto,SPT. NIP. 19630606 198303 1 005
119
lampiran 2 DAS Re-design Programa 1 DAS – “ RE - DESIGN “ 2012 PROGRAMA 1 AM 972 Khz., FM 105,5 Mhz. LPP RRI Surakarta SENIN, 4 MARET 2013 JAM SIARAN
ACARA
KET
DUR
04.55-04.56
Tanda pengenal RRI Surakarta. FREK. AM 9782 KHz., 105,5 MHz. ( Instrumentalia Bengawan Solo)
(K)
04.56- 04.57
TUNE PEMBUKA ( MARS JAKARTA)
(K)
1’
04.57 - 04.58
INDONESIA RAYA
(K)
1’
04.58 - 05.00
TINJAUAN ACARA PAGI HARI.
(H)
2’
(K)
15’
PEMBACAAN AYAT SUCI AL QURAN & TERJEMAHANNYA 05.00 – 05.15 Oleh : Haryono Surah : Alakafi Ayat : 1 - 20
05.15-05.45
SIRAMAN ROHANI AGAMA ISLAM. Nara sumber : Munir Korem 074 Wrst Surakarta T o p i k : Ciri Ciri Wanita Yang Solikhah
(K)
1’
30’
LAGU ROHANI ISLAM 01.Tahank You Allah - Maherzan 02. Demi Matahari - Snada 05.45 – 05.55 03. SISIPAN ILM 01. SPOT “ Promo Sabtu Biru” 02. ILM “ WASPADA NARKOBA
(K)
15’
05.55–06.00
SARAN RAKYAT Edisi “ Kantong Parkir ”
(K)
5’
06.00–06.20
LINTAS PAGI Penyiar: Sari Berita
(H) Surakarta
06.20 – 06.25
CINTA BANGSA, CINTA NEGERIKU 01. Hallo Halo Bandung
(K)
120
20’
5’
06.25–06. 30
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM 01 . Spot “ Suara Merdeka Jingle “ 02. Spot “ Stop AIDS “ 03. Spot Ikllan “ Madu Barokah”
(K)
06.30-06.55
SEKITAR KITA Penyiar : Topik ;
(H)
25’
06.50-07.00
BONANGAN
(K)
2’
07.00-07.25
WARTA BERITA - Berita keluarga.
(R) Pro 3 Jkt
25’
07.25–07.30
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM. 01. Spot Iklan ( File : Spot PLN Versi Ind 1 02. Spot “Promo ANJANGSANA KELUARGA 03. ILM PROKASIH
(K)
5’
07.30-07.50
ANJANGSANA KELUARGA 1. Tunjuk Satu Bintang - Idola Cilik 2. Selamat Untukmu - Fariz RM 3. 1 Hari Yang Cerah - Budi Doremi Penyiar : Sisipan ILM 01. SPOT “ Promo Sabtu Biru” 02. ILM “ Peduli HIV”
(H)
20’
07.50–07.55
SARAN RAKYAT “Edisi KETERBUKAAN PUBLIK “ (K)
5’
07.55-08.00
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM 01. Spot “Promo ANJANGSANA KELUARGA 02. ILM WASPADA NARKOBA
(K)
5’
08.00-08.10
MORNING ENGLISH NEWS PENYIAR
(H)
10’
5’
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM 01. Spot “ Iklan Sin She “ 08.10 – 08.15 02. Spot “Pengobatan Mata Dari India P Raji” 03. Spot “Pengobatan Alternatif Bp. Khotib Baru”
121
08.15–08.30
ANJANGSANA KELUARGA ( SILATURAHMI KELUARGA ) Penyiar : 1. Usah Kau Lara Sendiri - Ruth S & Katon B 2. Tentang Kita - Jingga
(H)
15’
Sisipan ILM 01. SPOT “ Promo Sabtu Biru” 02. ILM “ Peduli HIV”
08.30–08.35
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM (K) 01. Spot “Pengobatan Alternatif Bp. Khotib Baru” 02. Spot “Pengobatan Mata Dari India P Raji” 03. Spot “ Promo ANJANGSANA KELUARGA
(H)
08.35-09.25.
INFO DI INFO Pemandu : Sisipan ILM 01. ILM “ Solo Rukun” 02. ILM PENEGAKAN HUKUM
(H)
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM . 09.25 - 09.30. 01. Spot Iklan Sin She 02. Spot LAGU STOP KORUPSI 03. Spot Iklan Spot Suara Merdeka Jingle)
(K)
5’
5’
60’
09.30-09.55
JABAT UDARA Penyiar : Penelphon (Tulis )
(H)/PIP
25’
09.58-10.00
FREK. AM 972. KHZ. FM 105,5 MHZ TINJAUAN ACARA SIANG DAN SORE HARI
(H)
5’
10.00-10.55
10.-55-11.00
122
BINCANG TEHNIK Pemandu : Nara Sumber : Sisipan ILM 01. ILM “ STOP KOROPSI “ 02. ILM “ Perusakan Alam” SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM. 01. Spot PLN ( Versi Jawa) 02. Spot “Promo ANJANGSANA KELUARGA
(H)
(K)
55’
5’
11.00-11.25
WARTA BERITA.
R/ Pro 3 JAKARTA
25’
11.25-11.30
SARAN RAKYAT “ City Walk”
(K)
5’
(K)
60’
(H) / Di.Int
30’
SUARA DEMOKRASI Pemandu : Nara Sumber : 11.30-12 30
Topik : Sisipan ( selingi)ILM 01. ILM “Peduli HIV” 02. Saran Rakyat “Keterbukaan Publik” SIARAN BERJARINGAN “SEKAR PURWO” Prod. RRI PURWOKERTO
12.30-13.00
Pemandu : Nara Sumber : Topik:
13.00-13.25
WARTA BERITA.
(R) Pro 3 JKT
13.25-14.00
GEMA SUARA MASYARAKAT Penyiar : Penelphone (Tulis)
(H) interaktif
35’
14.00-14.15
LINTAS EKSBIS. SURAKARTA Penyiar : Sr,Berita :
(H)
15’
14.15-14.20
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM. 1.Spot Suara Merdeka Jingle 2.Spot Iklan “Pengobatan Mata Dari India P Raji” 3. Spot “ Promo ANJANGSANA KELUARGA
(K)
5’
14.20-14.30
MUSIK PELEPAS LELAH 01.Musim Yang Bahagia - Salju Band 02.Andai Kau Datang - Ruth Sahaya 03.Kekasih Yang Tak Dianggap - Kaertas Band 04. Sisipan ILM 01. ILM “ Mawas Diri” 02. ILM “ PROKASIH”
(H/ Interkt)
10’
25’
123
KLENENGAN SIANG Krwt. ”PUTRI RETNO WILIS KEL. PENUMPING 14.30 – 15.55 01. 02. 03.
(H)
25’
15.55-16.00
SARAN RAKYAT EDISI NARKOBA.
(K)
5’
16.00-16.15
SIARAN PENDIDIKAN “FIS /SD / 1V “ Topik : KISAH SIPEMULUNG
(H)
15’
(H)
45’
16.15 -17.00
DUNIA ANAK-ANAK TK. KRISTEN IMANUEL Jl. GURITA No. 13 TEGALSARI, BEJEN, KRA. Bersama
16.58-17.00
FREK. AM.972 KHZ.FM 105,5 MHZ TINJAUAN ACARA SORE, PETANG & MLM HARI.
(H)
2’
17.00-17.15
LINTAS SORE SURAKARTA - Penyiar : Sr brt :
(H)
15’
17.15 – 17.20
CINTA BANGSA, CINTA NEGERIKU 01.MARS PANCASILA
(K)
5’
(K)
15’
(K)
5’
17.20 - 17.30
ALUNAN SENJA ( POP RELIGI ) 1. Takkan Berpaling Dirimu - Rossa 2. Sebelum Menutup Mata - Taxi 3. Tak Pernah Kubayangkan - Nindy 4. Dia Maha Sempurna - Ungu 5. Hidupku Kubayangkan - Republik Sisipan ILM 01. ILM “Asi Ekslusif” 02. SPOT “ Promo Sabtu Biru” 03.SARAN RAKYAT “ Edisi ANGKUTAN UMUM”
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM 01. Spot “Pengobatan Alternatif Bp. Khotib 17.55 – 18.00 Baru” 02. Spot “ Madu Barokah Baru “ 03. Spot Iklan” Suara Merdeka Jinggle” 18.00- 18.09
ADZAN MAGHRIB 1.- T u h a n - B I m b o
(K)
18.09-18.20
SEPUTAR OLAH RAGA TERKINI Penyiar :
(H) Surakarta
124
15’
18.20-18.25
SEJENAK BERSAMA “IWAN FALS “ 01.Antara Aku Kau & Bekas Pacarmu 02.Aku Sayang Kamu 03.Ku Menanti Seorang Kekasih
(K)
5’
18.30-19.00
NGURI URI KABUDAYAN
(K)
30’
19.00-19.30
WARTA BERITA WA WARTA BERITA
(R) Pro 3 JKT
19.30-20.00
SIARAN PEDESAAN
(K)
30’
20.00
FREK. FM 015,5 MHZ ( AM 972 KHZ.SPLITZ)
20.00-20.55
VARIA HUKUM Pemandu : K r i s n a Narasumber : TopIk:
(H) Di.Interk
55’
20.55-21.00
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM . 01. Spot ILM” Prokasih” 02. ILM “ Solo Rukun”
21.00-21.15
PAWARTOS BASA JAWA Berita Keluarga Penyiar : Sr brt
(K)
5’
(H) Surakarta
15’
(K)
5’
ENGLISH FOR YOU Bersama
(K)
35’
21.55-22.00
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA O1. ILM “ Keterbukaan Publik” 02. ILM “ Pancasila “ 03. ILM “ Stop Aids”
(K)
5’
22.00-23.00
SANDIWARA BAHASA JAWA Judul : Arwah Ngisep Getih Bersama : Teater Angkasa RRI Surakarta
(H)
60’
(H)
58’
SPOT IKLAN/ JINGLE/ SPOT PROMO ACARA/ ILM. 21.15-21.20
21.20-21.55
01. Spot Iklan “Suara Merdeka Jingle” 02. Spot “ PLN Versi Ind I” 03. ILM “ Indahnya Perbedaan”
23.00 – 23.58 JAZZ NIGHT
125
23.58-24.00
INDONESIA PUSAKA
(K)
24.00-00.01
TUNE PENUTUP (Love Ambon)
(K)
Programa I RRI Surakarta Surakarta, 25 FEBRUARI 2013 Kasubsi Perencanaan & Evaluasi Programa
Purwanto SPt NIP : 19630606 1983303 1 005
126
lampiran 3 DAS Programa 2 DAFTAR ACARA SIARAN PROGRAMA II FM 105,5 MHz RRI SURAKARTA HARI / TANGGAL : JUM’AT, 1 NOPEMBER 2013 04.50 – TUNE PEMBUKAAN (BENGAWAN SOLO - MARS JKT – INDONESIA RAYA – JINGGLE PRO 2) 04.55 – TINJAUAN ACARA
PENYIAR
05.00 – MORNING FRESH
(H) SURAKARTA
05.55 – VOX POP
COMPUTER
06.00 – LINTAS PAGI
(H) SURAKARTA
06.30 – MORNING FRESH 07.00 – WARTA BERITA
(R) JAKARTA
07.25 – VOX POP
COMPUTER
07.30 – MORNING FRESH 08.00 – MORNING ENGLISH NEWS
COMPUTER
08.10 – MORNING FRESH 10.00 – BURSA PRO DUA
(H) SURAKARTA
10.55 – VOX POP
COMPUTER
11.00 – WARTA BERITA OLAH RAGA
(R) JAKARTA
11.30 – IBADAH SHOLAT JUM’AT
(R) PRO 1
12.40 – LAGU LAGU ISLAMI – DISELINGI INFO LALU LINTAS ( H ) 13.00 – WARTA BERITA
(R) JAKARTA
13.25 – VOX POP
COMPUTER
13.30 – PRO DUA KREASI 14.00 – LINTAS EKONOMI BISNIS
(H) SURAKARTA
14.10 – PRO DUA REQUEST
(H)
15.00 – LINTAS KAMPUS
COMPUTER
15.55 – VOX POP
COMPUTER
16.00 – HAPPY HOUR – DISELINGI INFO LALU LINTAS
(H) PENYIAR
17.00 – LINTAS SORE
(H) SURAKARTA
17.15 – RILAX TIME PRO DUA
(H)
17.36 – ADZAN MAGHRIB
CASS
17.41 – CAHAYA HATI
CASS
127
18.00 – SPORT ( SEPUTAR PRESTASI OLAH RAGA TERKINI ) (H) SURAKARTA 18.15 – MUSIK INDO
(H) PE4NYIAR
19.00 – WARTA BERITA
(R) JAKARTA
19.30 – PRO DUA ETNIK 19.55 – VOX POP
COMPUTER
20.00 – OBSESI ( OBROLAN SEHAT )
(H) INTERAKTIF
21.00 – PRO DUA P. M
(H)
22.55 – VOX POP
COMPUTER
23.45 – PENEDUH HATI
(H) PENYIAR
24.00 – TUNE PENUTUP
(INDONESIA PUSAKA LOVE AMBON ) Kasubsi Perencanaan dan Evaluasi Programa
Purwanto, SPt Nip. 19630606 198303 1 005
128
lampiran 4 DAS Re-design Programa 2 DAS – “ RE - DESIGN “ 2012 PROGRAMA 2 FM 105,5 MHz LPP RRI SURAKARTA SENIN, 25 NOPEMBER 2013 JAM SIARAN
ACARA
04.50 - 04.52
Bengawan Solo
04.52 - 04.54
Mars Jakarta (Penyiar Membuka Acara)
04.54 –04.58
Indonesia Raya (Instrumentalia)
04.58 –04.59
Jingle Pro 2
04.59 - 05.00
Tinjauan Acara
05.00 - 05.55
MORNING FRESH Lagu - lagu : ---
05.55 - 05.57 05.57 - 05.59
VOX POP : UNGGAH - UNGGUH TUNG DE SEM : MAKNA KEKECEWAAN
05.59 - 06.00 06.00 - 06.15 06.15 - 06.16
Tune Penanti Warta Berita Surakarta LINTAS PAGI Tune Penutup Warta Berita Surakarta
06.16 - 06.59
MORNING FRESH Lagu - lagu : ---
06.59 - 07.00 07.00 - 07.25 07.25 - 07.26
Tune Penanti Warta Berita Jakarta WARTA BERITA RRI Pro 3 Jakarta Tune Penutup Warta Berita Jakarta
07.26 - 07.28 07.28 - 07.30
VOX POP : JAM BELAJAR TUNG DE SEM : MEMBANGUN KOLOM BISNIS
07.30 - 08.00 07... 07... 07...
MORNING FRESH - INFO LALU LINTAS Lagu - lagu : --Spot Promo Iklan : ... Spot Promo Iklan : (File : Spot Koran Jitu Baru) Spot ILM : (File : Penegakan Hukum)
08.00 - 08.15
MORNING ENGLISH NEWS O l e h : ....
129
08.15 - 09.00
MORNING FRESH T e m a : ....
09.00 - 10.00
TIPS TOP Lagu - lagu : ---
10.00 - 10.54 10.... 10… 10…
BURSA PRO DUA Lagu - lagu : --Spot Promo Iklan : (File : Spot Suara Merdeka Jingle) Spot Promo Iklan : (File : Spot Koran Jitu Baru) Spot ILM : (File : Solo Rukun)
10.54 - 10.56 10.56 - 10.58
VOX POP : WAJIB MILITER TUNG DE SEM : MENGATASI KEMALASAN
10.59 - 11.00 11.00 - 11.25 11.25 - 11.26
Tune Penanti Warta Berita Jakarta WARTA BERITA OLAH RAGA RRI Pro 3 Jakarta Tune Penutup Warta Berita Jakarta
11.26 - 11.30
CAKRAWALA MEDIA O l e h : ….
11.30 - 12.59 11.. 11.... 11...
PRO DUA KREASI - INFO LALU LINTAS Lagu - lagu : --Spot Promo Iklan : ... Spot Promo Iklan : (File : Spot Suara Merdeka Jingle) Spot ILM : (File : Jati Diri Bangsa)
12.59 - 13.00
Tune Penanti Warta Berita Jakarta
13.00 - 13.25 13.25 - 13.26
WARTA BERITA RRI Pro 3 Jakarta Tune Penutup Warta Berita Jakarta
13.26 - 13.28 13.28 - 13.30
VOX POP : WANITA KARIER TUNG DE SEM : TETAP KAYA TANPA KERJA
13.30 - 13.59 13....
LANJUTAN PRO DUA KREASI ............ Lagu - lagu : ... Spot ILM : (File : P r o k a s i h)
13.59 - 14.00 14.00 - 14.15 14.15 - 14.16
Tune Penanti Warta Berita Surakarta LINTAS EKBIS Tune Penutup Warta Berita Surakata
130
14.16 - 14.59 14... 15.. 15..
PRO DUA REQUEST Lagu - lagu : ... Spot Promo Iklan : Spot Promo Iklan : (File : Spot Suara Merdeka Jingle) Spot ILM : (File : Tenggang Rasa)
15.56 - 15.58 15.58 - 16.00
VOX POP : KASIH SAYANG TUNG DE SEM : TIGA PILAR BISNIS
16.00 - 16.55
STUDENT CORNER - INFO LALU LINTAS Pemandu : ….
16.55 - 16.57 16.57 - 16.59 16…
Spot Promo Iklan : (File : Spot Koran Jitu Baru) Spot Promo Iklan : … Spot Promo Iklan : ---
16.59 - 17.00 17.00 - 17.15 17.15 - 17.16
Tune Penanti Warta Berita Surakarta LINTAS SORE Tune Penutup Warta Berita Surakarta
17.16 - 17.59 17…
RELAX TIME PRO DUA Lagu - lagu : … Spot Promo Iklan : …
17.55 - 18.00
ADZAN MAGHRIB
18.00 - 18.01
CAHAYA HATI
18.04 - 18.05 18.05 - 18.20 18.20 - 18.21
Tune Penanti Warta Berita Surakarta SPORT (Seputar Prestasi Olah Raga Terkini) Tune Penutup Warta Berita Surakarta
18.21 - 18.59 18.. 18.... 18....
MUSIK INDO Lagu - lagu : ... Spot Promo Iklan : ... Spot Promo Iklan : (File : Spot Koran Jitu Baru) Spot ILM : (File : Peduli HIV)
18.59 - 19.00 19.00 - 19.25 19.25 - 19.26
Tune Penanti Warta Berita Jakarta WARTA BERITA RRI Pro 3 Jakarta Tune Penutup Warta Berita Jakarta
19.26 - 19.54
PRO DUA ETNIK
19.54 - 19.55
Spot Promo Iklan : (File : Spot Suara Merdeka Jingle)
131
19.55 - 19.57 19.57 - 19.59
VOX POP : HIDUP RUKUN TUNG DE SEM : UANG ADALAH IDE
20.00 - 21.00
YUSTISIA PRO 2 Topik : --Narasumber : --Pemandu : ---
21.00 - 23.46
PRO DUA P. M. Lagu - lagu : --
21.... 21.....
Spot Promo Iklan : (File : Spot Koran Jitu Baru) Spot Promo Iklan : (File : Spot Suara Merdeka Jingle)
23.46 - 23.48 23.48 - 23.50
VOX POP : UNGGAH - UNGGUH TUNG DE SEM : BEKERJA CERDAS DAN KERAS
23.50 - 23.59
Peneduh Hati : Hindu Judu :
24.00
Tune Tutup Siaran (Indonesia Pusaka - Love Ambon) Surakarta, 22 Nopember 2013 Kasubsi Perencanaan dan Evaluasi Programa
Purwanto,S,Pt Nip 19630606 198303 1 005
132
lampiran 5 DAS dan LOGBOOK Programa Khusus Budaya LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA SURAKARTA PROGRAMA I SIARAN BUDAYA AM 972 KHz SENIN KLIWON 28 OKTOBER 2013 19.57 – TUNE PEMBUKAAN (Ktw Puspowarno) Frek AM 972 Khz Splitzing Setelah Siaran Pedesaan) K 19.59 – TINJAUAN ACARA MALAM HARI H 20.00 – NGUDI WALUYO ( BU KOTIP ) DIALOG INTERAKTIF H 20.30 – MOCOPAT 21.00 – PAWARTOS BASA JAWI
H H
21.15 – BERITA KELUARGA 21.20 – KLENENGAN KERATON SURAKARTA 23.58 – TUNE PENUTUP INDONESIA PUSAKA LOVE AMBON
H H K
Surakarta, 25 Oktober 2013 Kasubsi Perencanaan dan Evaluasi Programa
Purwanto, S.Pt. NIP 19630606 198303 1 005
133
lampiran 6 DAS dan LOGBOOK Programa Khusus Budaya LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA SURAKARTA PROGRAMA I SIARAN BUDAYA DAS
PROGRAMA : I ( SATU ) AM 972 KHz STASIUN : RRI SURAKARTA HARI / TGL : SENIN KLIWON , 28 OKTOBER 2013
19.57 –19.59 TUNE PEMBUKAAN (Ktw Puspowarno) Frek AM 972 Khz (Splitzing selelah siaran Pedesaan) (K) 19.59 –20.00 TINJAUAN ACARA MALAM HARI (H) 20.00 – 20.30 NGUDI WALUYO DIALOG INTERAKTIP (H) Pemandu : Narasumber : Topik : 20.30 – 21.00 MOCOPAT (H) Oleh : Pag. Mocopat PMRS Ska. 21.00 - 21.15 PAWARTOS BASA JAWI (H) Penyiar : Sari Berita : 21.15 – 21.20 BERITA KELUARGA (H) 21.20 – 23.58 KLENENGAN KERATON SURAKARTA (H) Pimpinan : Nama gending : 23.58 – TUNE PENUTUP (K) - INDONESIA PUSAKA - LOVE AMBON Penyiar : ……………………... Operator : ……………………...
Surakarta, 25 Oktober 2013 Kasubsi Perencanaan dan Evaluasi Programa
PURWANTO, S.Pt. NIP. 19630606 198303 1 005
134