II. KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG ASASI ( Al-Qawa’id Al-Asasiyah) Al-Asasiyah) A. Meraih Kemaslahatan Kemaslahatan dan Menolak Kemafsadatan Kemafsadatan
ْجَ ِسد ِ فَا مَ ل ءُرََْح وِِصال ُ َ مَ ل ب
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih Mushalih al-Anam al-Anam mengatak mengatakan an bahwa bahwa seluruh seluruh syariah syariah adalah adalah maslahat maslahat,, baik dengan cara menolak mafsadah atau dengan dengan meraih maslahat. Setiap kemaslaha kemaslahatan tan memiliki tingkat-tingk tingkat-tingkat at tertentu tentang tentang kebaikan kebaikan dan manfaat manfaat serta pahalany pahalanya, a, dan setiap setiap kemafsad kemafsadatan atan juga memiliki memiliki tingkat-tin tingkat-tingkat gkatannya annya dalam keburukan dan kemudaratannya. [27] Imam Imam al-Gha al-Ghazal zalii dalam dalam al-mustashfa , Imam Imam al-Sy al-Syat atib ibii dala dalam m alMuwafaqat dan
ulama sekarang seperti Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf
menjelask menjelaskan an lebih konkret konkret tentang tentang ukuran ukuran dari kemaslahatan kemaslahatan ini, yang apabila apabila disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya. 2. Kemasl Kemaslah ahata atann itu harus harus meyaki meyakinka nkan, n, artiny artinyaa kemas kemaslah lahata atann itu berdasa berdasarka rkann penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan mendatangkan manfaat dan menghindarkan menghindarkan mudarat. 3. Kemasl Kemaslah ahata atann itu membawa membawa kemuda kemudahan han dan bukan bukan menda mendatan tangka gkann kesuli kesulitan tan yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan kemaslahatan itu bisa dilaksanakan. 4. Kemaslah Kemaslahatan atan itu itu memberi memberi manfaa manfaatt kepada kepada sebagi sebagian an besar besar masyara masyarakat kat bukan bukan kepada sebagian kecil masyarakat. [29-30] Dari segi syariah, kemaslahatan dibedakan menjadi tiga, ada yang wajib melak melaksan sanak akann annya, ya, ada yang yang sunnah sunnah melak melaksan sanaka akanny nnya, a, dan ada ada yang yang mubah mubah melaksanakannya. ya.
Demikian
pula
kemafsa fsadatan,
ada
yang
haram
melaksanakannya melaksanakannya dan ada yang makruh melaksanakannya. melaksanakannya. [28] Sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut, maka wasilah atau cara dalam menuju kemaslahatan/ kemafsadatan itu pun disesuaikan dengan tujuannya. Dari hubungan antara maqashid/tujuan ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:
ِْل ِد ِ قَا مَ ل ُ اَك ْ َ أ َ ِ ِسائ َ
“ Bagi setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan ”.[31] B. Al-Qawa’id
Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
1. Kaidah Kaidah Asasi Asasi Pertama Pertama
ُ اَهِد ْ ُ ِ قَا مِ ِ رُ
“Segala perkara tergantung niatnya”
Dikalangan ulama-ulama Syafi’iyyah, niat diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Dikalangan mazhab Hanbali menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam hatinya itupun sudah cukup; dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. [34] Adapun fungsi niat adalah sebagai berikut:
Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan
Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan
Untuk menetukan sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan membedakan yang wajib dari yang sunnah. [35-36] Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah
adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja. Kekecualian kaidah tersebut diantaranya:
Sesuatu yang jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, adzan, adzan, iqamah iqamah,, membac membacaa al-Qur al-Qur’an ’an kecual kecualii apabil apabilaa membac membacany anyaa dalam dalam rangka nadzar, dan sebagainya. sebagainya.
Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan buruk, karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut sudah tercapai maksudnya.
Keluar Keluar dari dari shalat shalat tid tidak ak diperl diperluka ukann niat, niat, karen karenaa niat niat diperl diperluka ukann dalam dalam melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan meninggalkan suatu perbuatan. [36] Dasar kaidah “al-umur bimaqashidiha” diantaranya adalah firman Allah
SWT dan Hadits Nabi berikut ini:
اءَنفَحُ َ ّديل هُل َ َ ص ِ ِخْ مُ َ وُعدبُ ْ َِل ِ إو روُ مِأُ ماَوَ
Artiny Artinya: a: “ Padah Padahal al mereka mereka tidak tidak disuru disuruh h kecual kecualii supaya supaya menyem menyembah bah Allah Allah dengan dengan memurnika memurn ikan n keta`a keta`atan tan kepada kepada-Ny -Nya a dalam dalam (menja (menjalan lankan kan)) agama agama dengan dengan lurus”. (QS al-Bayyinah: 5)
ّ ُك ِا ل مَ نِوإَ ت ىََ ان َ ٍ ْل ماَ نِإ ِ ايِان ُ ماَ ْع ل ِ ْ لْ سُ رَُ وِ ل ل ل َلِ إ ْ ْ ِ ه ُ ُ ُ ُ ْ َانَ َ َ ْ مَ َ ِ َ ِ ِ اَيْنُد ل ل لْ س سُ رَُ وِ ل ل ل َلِإ ِ ِ ْ ِ ه ُ ُ ْ َان َ َ ْ َ َ و ِ َ َا َ ُ ِك ِْيَلِ إ ُُ ْ َ ٍةَرأَْوَ َا َ َاهَ َلِ إ َ ْ ُ ْصي َ ُ
Artinya: “Setiap perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai
dengan niatnyan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya”. (HR Bukhari Muslim dari Umar bin
Khattab) [37-38]
Adapun yang termasuk dalam lingkungan kaidah tentang niat ini, diantarnya kaidah-kaidah berikut ini:
ِانَم َ لَظ و ْ ِ ل ِل ِ ِ فَا ل َ ِلَ ِانَم َ لَ وِصد ِ َق مَ ُْق ُ ل ْ ِ ُة َ
“Penge “Pengerti rtian an yang yang diamb diambil il dari dari suatu suatu tujuan tujuannya nya bukan bukan semata semata-ma -mata ta kata-ka kata-kata ta dan ungkapannya”
َِيِان ِ إ َ ََثَ
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat”
[38-39]
َْقل َْق لوَ ُ ا َ ب َ ْ مَ ُالَ ب َ خ ل َل ِ ل َ َ ُ َ ِ ْ ِ اَ ُ
“Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati”
ّ ُ ْ َ ا مَ نِ إٍزءْ جُ ْ ََ ُ َي ِ نُ زَ ٍ َمْ جُ ِ ُ زُ ْ ِ ِةَا َِل ُ َ ْف َاَ ُ
“Tid “Tidak ak waji wajib b niat niat ibad ibadah ah dala dalam m seti setiap ap bagi bagian an,, teta tetapi pi niat niat waji wajib b dala dalam m keseluruhan yang dikerjakan”
ُ ةَ م ْ ٌيِما نَ ُ لَ و ّ َ ل ِ إٌد ِ َ و ْ ََ َ َ َّف َ ِ ْزِ ِ ْضي
“Setiap “Setiap dua kewajiba kewajiban n tidak tidak boleh boleh denga denga satu niat, kecuali kecuali ibadah ibadah haji haji dan umrah” [40]
َ َ َ َ ُ ٌ ُ يّ ل ِ أ ع ق َ ِ َِ ِ َ ْ َ مُ ِ ِ َ ُ َ لَ اَاَ ْ ْ ْ أ
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena sematamata niat”
ََ ع ِ َف َل ِ َيِ ن ِ ْف لَ ُد ِ قَا َ
“Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan”
َ فَا لَ ََ ع يِ ْ َ ُ ماَ ْ َ ٌ ِد ِ قاَمَ لَظ و
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”
[41]
2. Kaidah Kaidah Asas Asasii Kedua Kedua
ِال ُ زَ َُ ش ُ ْقيَِليَ
“Keyakinan tidak bisa hilang karena adanya keraguan”
[42]
Dasar kaidah ini diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini:
َ َ ِ َُاَ َلِ إ ُ ْ ُ ْ ِ ُ اَ َْ
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”.
َ َ َذِإ ا ثًثَ َ ث َ ِ َِ ْ َ ِرْد َ ْ ْ ُ ُد َ َ أ َ َ ْ ِ ََ ع َْطَ ش ل ْ روو) ق َ س يْ َ اً َ رَْأ َ َي ْ ِ َْيْلَ و ْ اَ َ ْ ( ر د ل د ي س ُ ِ ٍ ْ ْ َ ِ ّ ِ ْ أع Artinya: “Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa raka’at dia telah melakukan shalatnya, apakah telah tiga raka’at atau empat empat raka’at. raka’at. Maka hilangka hilangkanlah nlah keraguan keraguannya nya (empat (empat raa’at) dan tetaplah dengan apa yang dia yakini” (HR Muslim
dari Abu Sa’id Al-Khudri) [44] Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
َ ْيِللد وَْ أ َِال اً ِ اَ ثَ اَ اَ َ هُ
“Sesua “Sesuatu tu yang yang pasti pasti,, dengan dengan dasar dasar pemeri pemeriksa ksaan an atau atau dengan dengan dasar dasar dalil dalil (bukti)”. [44] Dari kaidah asasi al-ya al-yaqi qin n la yuzal yuzal bi al-sy al-syak ak ini kemudian muncul
kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang r uang lingkupnya. Misalnya:
ْ ِ ِ ِ ُ ْقيَِليَ ِ ْقيَِِالي ُ زَ ُ
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
[47]
َُْ ٍ ْقيَِ يِ ِ إُ َف ْ ٍ ْقيَِ يِ َ َْاثَ ْ َأ
“Apa yang ditetapk ditetapkan an atas dasar keyakinan keyakinan tida bisa hilang hilang kecuali kecuali dengan dengan keyakinan lagi”
َ َ ُ َ َ ِ ِ ل ُةَء ْ
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
[48]
َ ََ عَ اَاَ ُقَاء َ ُ ُ ْ َالَ َ اَاَ ْ ُّيَغ ُاَ ْ ُك َ “Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”
َ ُ ُ َد ِ ض ِ فاَصِ ل ِ َ ل َ رِ اَل ت ْ ْ َ “Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada” [49] َ َ َ ْ ُ ُ َ ضا ِ ِاَوَ أ ِ ِاَ ل َ ِ إ ِ َ أَلِ إ ْ
“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya” [50]
َ َ ُ ْيِلد ل ُ ََ ع ل ُد َ َ ْ ُ َ َاِ ِياءَ ِ ْ َ ْ َل ْ ِ ِ
“Hukum “Hukum asal asal segala segala sesua sesuatu tu itu itu adalah adalah kebole kebolehan han sampai sampai ada dalil dalil yang yang menunjukan keharamannya” [51]
َ َ ُ َُق ي ْ قِ َ ل َِ َلك ْ ْ ِ “Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya” ْ َ ِْ ل َ ِال َة َ ْ عَِ ُُطاءَ خَ ُ ّ َ “Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya”
[53]
ِ لَة ْ عِ َ َ َ ِ ه
“Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”
ََ ع ُ ْيِللد ِ َِ خِ ََاثَ ْ ُ ْ َالَ ِ ِقَاء َ َ ُ َك َ ْ قَُ ٍ َ زَ ِ
“Apa “Apa yang yang dite diteta tapk pkan an berd berdas asar arka kan n wakt waktu, u, maka maka huku hukumn mnya ya dite diteta tapk pkan an berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya” [54] 3. Kaidah Kaidah Asas Asasii Ketig Ketiga a
ي يَ ل ب ِ ُقشَ مَ ل ِ ْ ُ ْ َ ُْ “Kesulitan mendatangkan kemudahan” Al-Masyaqqah
menurut bahasa adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kesulitan,
dan kesukaran. Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan. Dalam ilmu fiqh, kesulitan yang membawa kemudahan setidaknya ada ada tujuh macam, yaitu: a. Sedang Sedang dalam dalam perjalan perjalanan. an. b. Keadaa Keadaann sakit. sakit.
c. Keadaan Keadaan terpaksa terpaksa yang membah membahayak ayakan an hidupnya. hidupnya.
d. Lupa (al-nisyan). e. Ketidaktahuan (al-jahl). f. f. umum umum al-B al-Bal alwa wa..
Kekurangmampuan bertindak hukum ( al-naqash ). [55-57] g. Kekurangmampuan Yang Yang dikeh dikehend endaki aki kaidah kaidah ini adalah adalah bahwa bahwa kit kitaa dalam dalam melaks melaksana anakan kan ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan tidak tafrith (kurang dari batas). Oleh Karena itu, para ulama membagi Masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat).
Masyaqqah
semacam ini membawa keringanan.
b. Al-Masyaqqah Masyaqqah
al-M al-Mut utaw awas asit itha hahh
(kes (kesul ulit itan an
yang yang
pert perten enga gaha han) n)..
semaca semacam m ini harus harus dipert dipertimb imbang angka kan, n, apabil apabilaa lebih lebih dekat dekat
kepada Masyaqqah yang yang sanga sangatt berat, berat, maka maka ada kemuda kemudaha hann disitu disitu.. Apabil Apabilaa lebih lebih dekat dekat kepad kepad Masyaqqah yang yang ringan ringan,, maka maka tid tidak ak ada ada kemudahan disitu.
c. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan.
Masyaqqah
semacam
ini tidak ada kemudahan. [57-58] Adap Adapun un keri kering ngan anan an atau atau kemu kemuda daha hann kare karena na adan adanya ya Masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
a. b. c. d. e. f. g.
Takhfif isqath,
yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan. penghapusan. yaitu keringanan berupa pengurangan. pengurangan.
Takhfif tanqish, Takhfif ibdal,
yaitu keringanan berupa penggantian.
Takhfif taqdim,
yaitu keringanan dengan cara didahulukan. didahulukan.
Takhfif ta’khir,
yaitu keringanan dengan cara diakhirkan.
Takhfif tarkish,
yaitu keringanan karena rukhsah.
Takhfif taghyir,
yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang
dilakukan. [58-59] Apabi Apabila la kaida kaidahh ini dikemb dikembali alikan kan kepad kepadaa Al-Qur Al-Qur’an ’an dan Al-Had Al-Hadits its,, ternyata banyak ayat dan hadits nabi yang menunjukkan akurasi kaidah “ almasyaqqah tajlib taysir ”, diantaranya:
… جَحرَ ْ مِ ِ ّديل ِ ْكُ ْ َ َ َ عَ َ ماَوَ …
Artinya: “Dia sekali-kali sekali-kali tidak menjadik menjadikan an untuk untuk kamu dalam agama agama suatu suatu kesempitan”. (QS al-Hajj: 78)
…َسرْ عُلْ ُكُ ِ دُريِ يُ َ وَ رَ سْ لُْ ُكُ ِ ُريدِ يُ … Artinya: “Alla “Allah h menghe menghenda ndaki ki kemud kemudaha ahan n bagimu bagimu dan tidak tidak menghe menghenda ndaki ki kesulitan bagimu”. (QS al-Baqarah: 185)
ّ ََو وْ أُّف َ َُوَ ْو َ ُ ََ وْو ّ ّ َ ُ ش ُ ُ
Artinya: “Mud “Mudah ahkkanl anlah me mere rekka dan dan jan jangan gan kamu me men nyuli ulitkan dan (HR alal gembi gembirak rakanl anlah ah dan janga jangan n menyeb menyebabk abkan an merek mereka a lari” lari”.. (HR Bukhari) [59-60] Dari kaidah “al-masyaqqah tajlib taysir ” kemudian dimunculkan kaidahkaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, diantarnya:
َ إ َ َ َذِإ َ ِ ُ ْ َضا
“Apabil “Apabila a suatu suatu perkara perkara menjadi menjadi sempit sempit maka hukumnya hukumnya hukumnya hukumnya meluas” meluas”
[61]
َ رََ ُ ِ َد َلِ إ ص َل ل َ َ َذِإ ُ َ ُ ْ
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
[62]
ْ َ َْع ل َ ُ ُ ِْ ْ ْ فُ ُ ْ ِمكْ ُ َاَ
“Apa “Apa yang yang tidak tidak mungki mungkin n menja menjagan ganya ya (m (meng enghin hindar darka kanny nnya) a),, maka maka hal itu itu dimaafkan ”
ُ َا ُ َ ص ِ َ مَ ِال َ خْ ل
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
[63]
ِ اَ م َ ل ُ قَيْقِ َ ل ت َ َ َذِإ ْ رََ َ ُ َ لِر إُصا
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
ُ مَ َ َ َذِإ ْ ُ َِ َلك ُ ماَ ْعِر إَ
“Apa “Apabi bila la suli sulitt me meng ngam amal alka kan n suat suatu u perk perkat ataa aan, n, maka maka perk perkat ataa aan n ters terseb ebut ut ditinggalkan”
ِءدَ ِْ ْ ِ ُ فَ َ ْغ َُاَ َِولد ْ ِ َُف َْغ ُ
“Bisa “Bisa dimaafka dimaafkan n pada kelanju kelanjutan tan perbuata perbuatan n dan tidak tidak bisa dimaafkan dimaafkan pada permulaannya” [64]
ْ ِ َُف َْغ ُ اَ ِءدَ ِْ ْ ِ َُف َْغ ُ َِولد
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
اَه يَ ل َِل ْ ِ َُف َْغ ُ َاَ ْ ِ َُف َْغ ُ ِ ْ ِ “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya ” [65] 4. Kaidah Kaidah Asasi Asasi Kee Keempat mpat
ُ زَ ُ رُ َ ل َ “Kemudaratan (harus) dihilangkan”.
Kaidah Kaidah terseb tersebut ut kembal kembalii kepada kepada tuj tujuan uan mereal merealisa isasik sikan an maqasi maqasid d alSyari’ah
deng dengan an meno menola lakk yang yang mufsadat, denga dengann cara cara mengh menghila ilangk ngkan an
kemudharatan kemudharatan atau setidaknya meringankannya. meringankannya. Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas: -
Lara Larang ngan an meni menimb mbun un bara barang ng-b -bar aran angg kebu kebutu tuha hann poko pokokk masy masyar arak akat at karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat.
-
Adan Adanya ya berba berbaga gaii maca macam m sank sanksi si dalam dalam fiqh fiqh jina jinaya yahh (huk (hukum um pidan pidanaa Islam) adalah juga untuk menghilangkan kemudhratan.
-
Adan Adanya ya atur aturan an alhajr (kep (kepai ailit litan an)) juga juga dima dimaks ksud udka kann untu untuk k menghilangkan kemudharatan. kemudharatan. Demikian pula aturan hak syuf’ah. syuf’ah. Kaidah tersebut diatas sering diungkapkan dengan apa yang tersebut
dalam hadits:
رَ ِ ََر وَ َ َ َ ض َ ض (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas) [67-68] Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mendukung kaidah tersebut antara lain:
Artinya: “Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh di mudharatkan”.
... و وُد ْ َ َِ لرً ِ ِ مْ ُ ََ و.... َ ض ُ هْ ُك
Artinya: ”Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudharatan kemudharatan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”. (QS. Al-Baqarah: 231)
... يَ َ عُق ي ّ ُِ ل َ َ ُ ََو... ُروها ِْ
Art Artin inya ya:” :”da dan n jang jangan anla lah h kamu kamu me memu mudh dhar arat atka kan n me mere reka ka menyempitkan hati mereka”. (QS. Ath-Thalaaq: 6)
(ist (istri ri))
untu untuk k
...ِ ِدَ لَ ِ ُ لْ َ َوَ اَهِدَ لَ ِ ٌةَدِلَر وآ َ ُ َ ... ُ لٌ ل
Artinya: “Janganlah dimudharatkan seorang ibu karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
ٌ ل َأَ و َ ْ ُضك ْ ُكَ ْ ُ َاءَ ِ ِإ َ َ َْعِإَ و َ أ Artinya: “Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram diantara kamu semua” (HR. Muslim)
[69-70] Kekecualian dari kaidah diatas pada prinsipnya adalah: Apab Apabil ilaa
meng menghi hila lang ngka kann
kemu kemudh dhar arat atan an
meng mengak akib ibat atka kann
data datang ngny nyaa
kemudharatan yang lain yang sama tingkatannya, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Apabila dalam menghilangkan menghilangkan kemudharatan menimbulkan kemudharatan
lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Dalam menghilangkan kemudharatan, dilarang melampaui batas dan betul-
betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan. [70-71] Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah ”al-dharar yuzal”,
diantaranya adalah sebagai berikut :
ُ ت ْ يِ ُ ت ل ْ مَ ل حُ ْ ِ رَ ُ رَوُ
“Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
[72]
اَرهَِقدَِ رُقَد ُ ت ل ُ رَوُ
“Keadaan darurat ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”
ِ اَك ِْ رِْقَد ِ ُ زَ ُ رُ َ ل َ
“Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”
رِ َ لِا ُ زَ َُ رُ َ ل َ َ “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi ” [73] َ ِر َ رُ ّ خَ ِال ُ زَ ُ د َ َ ل َ َ “Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan” [74]
ماً ِْد َ ُ َ ل ُْك ََ رُ َ
“Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi”
[75]
َ َ زِ ً ٌ َ اَ عِرةَْو ََزلِ ُ ْ ْ َ ل َ َ ل َ خاَ ْوَ أَ اَ ُ
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum amupun khusus” [76]
ُ َ َ ْ ُ َ حْ َ ل ج ا ل و ة ر و ل ي ِ ُ ِ ِ َ َ َ َ ْ ْ ْ ْ ِ أٍ ص َ خْ رُ َ َْ ُ اَهِْو ج جُو
“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah” [77]
ُ َ اًَ َْ ع ْ ٍ َ َ ُ َ َ َْ ْوَ ً ا َ َ ْ جَ ص ِ
“Set “Setia iap p tind tindak akan an huku hukum m yang yang me memb mbaw awa a kemaslahatan adalah dilarang” [78]
5. Kaidah Kaidah Asas Asasii Kelim Kelima a
kema kemafs fsad adat atan an
atau atau
meno me nola lak k
ٌ مَ ك َ ُ ُةََال
“Adat (dipertimbangkan didalam) menetapkan hukum”
Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menguatkannya. menguatkannya. Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para ulama sepanjang sejarah hukum islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan. Diantara ayat Al-Qur’an dan Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
ُ ِْال ُْأَ وَ ْف َْل ِ خُ ِ َ ع ِ ْ َ يِِه اَ ْل ْ ْ ِ ْعَأَ و
Artinya :” Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS : Al-‘Araaf : 199) [81]
ل َد َ َ َ ِ ْعِ َ َ َ ِ ل ْ مُ ل ُرَاَ ُ َ اً ٌ ْ مُ
Artinya : “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang islam, maka baik pula disisi Allah”. (HR Imam Ahmad) [82] Al-’Aadah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al-’Aadah al-Shahihah
bukan al-’Aadah al-Fasidah. Oleh karena itu, kaidah
tersebut tidak digunakan apabila : - Al-’Aadah bertentangan dengan nash baik Al-Quran maupun Al-hadits, seperti
: shaum terus-terusan terus-terusan atau shaum 40 40 hari atau 7 hari hari siang malam.
- Al-’Aadah tersebut tidak menyebabkan ke mafsadatan atau menghilangkan
kemas kemaslah lahata atann termas termasuk uk didala didalamny mnyaa tid tidak ak mengak mengakiba ibatka tkann kesuli kesulitan tan atau atau kesukaran, seperti memboroskan harta. - Al-’Aadah berlaku pada umumnya berlaku dikaum muslimin, dalam arti bukan
hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang maka tidak dianggap ada. [83-84] Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah “ al-‘adah muhkamah ” adalah sebagai berikut:
ُ مَ َا ِ ٌ ِ س َ ل ب ُ ُ ْ ْ ِإ ِ َ ِ ال ُ ماَ “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan” [84]
َ َ ْوَ أ َذِ إُةَاَل َ َ ْ ُ ماَ نِإ ْ َ ْ ذ ْ ض ََضط ُ “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
ل ب رِ ِا ل ِلَ ْ ِ ل ِ لُة ِ ِالَغ َ ِِشائ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi” [85]
اً َ ْ مَ الَ اً ع ُ ع ْ مَ لَ ُ ْو ِ وُ ش ُ
“Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
ْ مَ الَ ِار ْ مَ ل ُ ْو ََي ِ وُ ش ل ْ ُ َ ْ يَ ُ
“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka” [86]
يِ ُ ِال يِ ِال الَ ل ِ ُ ُ ْ ِ ْ
“Ketentuan berdasarkan ‘Urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
َ مْ مُ لَ ًةَاَ عُ َ مْ مُ ل ًَق ي ْ قِ َ َ َ ِ
“Sesuat “Sesuatu u yang tidak berlaku berlaku berdasar berdasarkan kan adat kebiasaan kebiasaan seperti seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
ُ ْ ُ َُق ي ْقِ ِةَاَل ِ َلََد ِ َ ل َ
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat” [87]
ُ ل ُ ْذِ ِ ْف َل ِ ْذِاَ ِ ْ “Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan” [88] VI. PENERAPAN KAIDAH FIQH
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan kaidah fiqh agar tepat penggunaannya, penggunaannya, ketiga hal tersebut adalah: A. Kehati-hatian Kehati-hatian Dalam Menerapkan Menerapkan Kaidah
Kehati-ha Kehati-hatian tian dalam dalam mengguna menggunakan kan kaidah kaidah ini diperluka diperlukann agar antara masalah yang akan dipecahkan dengan kaidah yang digunakan bersesuaian ssatu sama lain. Oleh Oleh karen karenaa itu itu,, masala masalahh yang yang dihada dihadapi pi harus harus dit diteli eliti ti lebih lebih dahul dahulu, u, setidaknya dalam lima aspek, yaitu: 1) Ruang lingkup lingkup masalah yang dihadapi. Apakah Apakah masalah tersebut tersebut dalam bidang ibadah, munakahat, muamalah, jinayah, siyasah, atau peradilan, atau menyangkut keseluruhan bidang tersebut; 2) Apak Apakah ah masa masala lahh yang yang diha dihada dapi pi ters terseb ebut ut,, subs substa tans nsin inya ya peru peruba baha hann hukum atau bukan; 3) Apakah masalah masalah tersebut tersebut berhubungan dengan masalah masalah prioritas karena karena adanya benturan atau pertentangan kepentingan sehingga diperlukan pilihan-pilihan mana yang akan diambil;
4) Apakah masalah tersebut ruang lingkupnya sangat kecil yang hanya berhubungan dengan bab-bab tertentu dari bidang-bidang hukum Islam sehingga cukup digunakan al-qawa’id al-tafshiliyah atau dhabit atau mulhaq-nya;
dan
5) Hubungan antara antara masalah yang yang akan dipecahkan dipecahkan tersebut dengan dengan teoriteori fiqh dalam arti teori materi fiqh. Secara sederhana, proses pemecahan masalah dengan menerapkan kaidah fiqh dapat diilustrasikan sebagai berikut: [183-186]
Masala
Alatalat Analisis
Hasilny a
Penilaia n
Hasil Akhir
Kasus Fikih atau Identifika si Masalah
Kaida hkaidah Fikih
Hukum: wajib, sunat, mubah, makruh, atau haram
Dalildalil Kulli
dan Prinsip Syariah
Fatwa tentang masala h yang dihada pi
B. Meneliti Masalah-masal Masalah-masalah ah Fiqh yang Merupakan Kekecualian Kekecualian Yang Ada di Luar Kaidah Fiqh
Dalam menerapkan kaidah fiqh harus memerhatikan nasalah-masalah furu’
atau materi-materi fiqh yang ada di luar kaidah fiqh yang digunakan. Hal ini
penting karena setiap kaidah fiqh memiliki kekecualian-kekecualian ( istitsnaiyat ) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. Dengan demikian, kita akan terhindarkan dari kesalahan memasukkan masalah yang akan dijawab atau yang akan dipecahkan ke dalam kaidah, yang sesungguhnya masalah tersebut merupakan kekecualian dari kaidah yang digunakan. Disini Disinilah lah penti pentingn ngnya ya memba membagi gi kaida kaidahh fiqh fiqh kedala kedalam m berbag berbagai ai ruang ruang lingku lin gkupp secara secara berje berjenja njang ng dari dari yang yang paling paling luas luas sampai sampai kepada kepada yang yang paling paling sempit. Dengan adanya adanya kaidah-kaidah fiqh dalam dalam bidang-bidang bidang-bidang hukum tertentu akan mempermudah dalam proses memecahkan masalah yang dihadapi. Misalnya, apabila masalahnya dalam bidang muamalah, maka cara dahulu kaidah-kaidah fiqh dibidang tersebut. Apabila tidak ditemukan, maka ditelusuri kepada kaidahkaida kaidahh yang yang lebih lebih umum. umum. Apabil Apabilaa tid tidak ak dit ditemu emuka kann jug juga, a, baran barangka gkali li masih masih diperlukan memunculkan kaidah-kaidah baru karena belum ter- cover oleh kaidahkaidah yang ada. Walaupun demikian, apabila masalah tersebut dikembalikan kepada kaidah asasi yang lima atau menurut mazhab Hanafi kaidah fiqh yang enam enam,, maka maka past pastii terter-cover, apalag apalagii bil bilaa dikemb dikembali alikan kan kepada kepada kaidah kaidah dari dari Izzu Izzudd ddin in bin bin Abd Abd al-S al-Sal alam am,, yait yaitu: u: “Mer “Merai aih h kems kemsla laha hata tan n dan dan me meno nola lak k kemafsadatan”.
Langkah-langkah ini penting untuk mengetahui kekecualian-kekecualian dari kaidah dan menghindari risiko kesalahan menggunakan kaidah yang terlalu besar besar untuk untuk masala masalahh yang yang yang yang ruang ruang lin lingku gkupny pnyaa kecil kecil.. Atau Atau sebali sebalikny knya, a, memaksakan untuk memasukan kepada kaidah yang kecil untuk masalah yang ruang lingkup dan cakupannya besar. [187-190] [ 187-190]
C. Kesinambungan Kesinambungan Antara Satu Kaidah dengan Kaidah Kaidah Lainnya
Dalam Dalam penerapa penerapann kaidah kaidah fiqh perlu juga diperhatik diperhatikan an keseimban keseimbangan gan antara satu kaidah yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan kaidah lain yang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya. Hal ini memang tidak terlalu mudah, perlu menguasai keseluruhan kaidah fiqh dari mata rantai kaidah yang paling kecil sampai kepada yang paling besar dalam suatu sistem kaidah. Sebagai salah satu contoh kecil misalnya, seseorang meminjam uang dengan dijanjikan pada waktu bayar harus ada tambahannya atau singkatnya meminjam dari rentenir. Pendekatan kaidah fiqh dalam kasus ini cukup dengan menggunakan kaidah tafshiliyah , yaitu:
ُ َاِ ر َ ًاْف َ جَ َ ُ َ ْ ٍ “Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan)
adalah riba”
Dengan menggunakan kaidah tersebut, jelas bahwa meminjam uang dari
rentenir hukumnya haram karena termasuk riba. Kaidah tersebut jelas pula ada dalam bidang fiqh muamalah. Dan kaidah diatas berhubungan dengan kaidah fiqh dalam muamalah. Tetapi bukan dari sisi kebolehannya muamalah, melainkan dari sisi ada bukti keharamannya yaitu riba, yaitu kaidah:
َ ََ ع َ ٌ ْيِلَ ُد َ ْ َ أِ إ ُ َ َا مُ ل ِ ُ َ َاِ ِ ْ مِ ْ َ َ ِ “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya” mengharamkannya”
Jadi, Jadi, haramnya haramnya meminjam dari rentenir rentenir merupaka merupakann kekecual kekecualian ian dari hukum asal karena ada bukti tentang riba. Kaidah di atas termasuk kaidah yang khus khusus us.. Apab Apabil ilaa kaid kaidah ah di atas atas dihu dihubu bung ngka kann deng dengan an kaid kaidah ah yang yang ruan ruangg lingkupnya lebih luas (kaidah fiqh yang umum), maka kaidah tersebut di atas berhubungan dengan kaidah:
ٌ ُ ل َ ِ ش َ ُ ِالَ ُ ِ َا ِ ٍ َ ْ ُ ُ أ ْ
“Setiap syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”
Dalam kasus di atas, rentenir mensyaratkan riba, maka syarat tersebut adalah batal. Bagi orang yang mengatakan bahwa riba itu ada untungnya atau manfaatnya, tetapi jelas riba diharamkan, yang berarti mafsadah bagi kehidupan, hal ini terkena oleh kaidah:
ْجَ ََ عٌ قَد ُ ِسد حِِصال ِ فَا مَ ل ءُرَْ َ مَ ل ب ِ “Menolak mafsadah harus didahulukan daripada meraih maslahat”
Kedu Keduaa kaid kaidah ah di atas atas apab apabil ilaa dihu dihubu bung ngka kann deng dengan an kaid kaidah ah asas asasii merupakan bagian dari kaidah:
ُ زَ ُ رُ َ ل َ “Segala kemudaratan (harus) dihilangkan”
Terakhir, kaidah asasi di atas berhubungan dengan kaidah inti:
ْجَ ِسد ِ فاَمَ ل ءُرَْوَ حِِصال ُ َ مَ ل ب
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Dala Dalam m kasu kasuss rent renten enir ir di atas atas,, perb perbua uata tann nnya ya adal adalah ah hara haram m kare karena na membawa mafsadah sedangkan mafsadah harus ditolak. Dari contoh di atas jelas terlihat kesinambungan satu kaidah dengan kaidah lainnya. hal ini berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah dalam contoh di atas yang mengharamkan rentenir cukup akurat digunakan dalam memecahkan masalah yang ada di masyarakat. [190-192]