ISLAMIC PHILOSOPHY
1. Filsafat Islam
Bahasan utama Filsafat Islam adalah Wujud
Filsafat merupakan ilmu yang membahas dasar dari segala sesuatu.
Filsafat mengungkap realitas yang sesungguhnya.
Filsafat Islam mengungkap kebenaran keyakinan Islam.
Tujuan Filsafat Islam
1. Membuktikan wujud hakiki dan memisahkan dengan selainnya.
2. Membuktikan sebab utama bagi wujud.
3. Membuktikan beragam keyakinan Islam.
2. ISYTIRAK AL-LAFZI WA AL-MA'NAWI
Pembahasan Isytirak al-Lafzi wa Al-Ma'nawi berkaitan dengan konsep wujud
(mafhum), bukan wujud pada realitas eksternal.
Konsep Musytarok Maknawi (univokal) adalah suatu konsep yang dipredikatkan
kepada berbagai maudhu' dengan makna yang sama.
Konsep Musytarok Lafzi (equivokal) adalah suatu konsep yang dipredikatkan
pada maudhu' dengan makna berbeda.
Al-Musytarak al-Lafzi : Kesamaan dalam sebutan akan tetapi objek yang
dimaksud belum tentu sama.
Al-Musytarak al-Ma'nawi : Kesamaan dalam sebutan dan objek yang dimaksud
adalah tunggal.
Dalil Musytarak Maknawi
Dalil 1:kita dapat melakukan pembagian pada wujud. Pembagian wujud itu
menunjukkan bahwa makna wujud harus sama.
Dalil 2: kita bisa yakin akan keberadaan sesuatu, tapi meragukan jenis
keberadaannya.
Dalil 3: Untuk menemukan termasuk jenis kata manakah wujud itu, apakah
wujud itu univokal atau equivokal, hal itu dapat dilakukan dengan memahami
konsep lawannya.
Dalil Musytarak Lafzi
Dalil 1: Jika kita meyakini bahwa konsep wujud itu univokal, bukankah sama
artinya menyamakan setiap wujud.
Dalil 2: Wujud itu musytarok lafdzi karena kita menyaksikan perbedaan pada
realitas eksternal. Kita menyaksikan bahwa pada realitas eksternal
memberikan efek yang beragam sesuai dengan realitas wujudnya.
KESIMPULAN
Pembahasan univokal dan equivokal adalah pembahasan yang berkenaan dengan
konsep wujud, bukan realitas eksternal wujud. Oleh karena itu, konsep wujud
adalah univokal.
Jadi, pada pernyataan 'ada sesuatu' itu menggunakan ada sebagai musytarok
maknawi secara konsep, dan di situ, ada dipredikatkan pada realitas
ekternal dengan makna yang sama; sesuatu (spidol, kertas, meja, apapun
itu).
Argumentasi---Wujud itu Musytarak Maknawi:
1. Wujud dapat dibagi menjadi wujud niscaya, wujud mumkin; wujud jawhar,
wujud Aradh, dst. Jelas bahwa pembagian hanya dapat dilakukan pada
satunya pembagi.
2. Kalau kita tetapkan keberadaan (wujudnya) sesuatu kemudian kita ragu
apakah dia sebab atau akibat, materi atau non-materi, substansi atau
aksiden, dengan kepastian tentang keberadaannya, jika wujud Musytarak
Lafzi maka pastilah kita tidak dapat menetapkan satunya makna
keberadaan pada objek tersebut.
3. 'Adam (ketiadaan) merupakan oposisi dari wujud, jika pada 'Adam tidak
terjadi perbedaan, maka pastilah pada wujud terjadi hal yang sama.
3. Pembahasan Wujud pada Realitas Eksternal---"Asholatul Wujud wa
I'tibariyatul Mahiyyah"
Asholah adalah sebagai lawan dari i'tibari. Asholah adalah suatu hal yang
mendasar(fundamental) atau yang menjadi dasar bagi realitas eksternal.
Sedangkan i'tibari hanyalah abstraksi alam mental kita, ia tidak hakiki
atau tidak menjadi dasar pada realitas eksternal.
Pembahasan awal tentang isholatul wujud ini berangkat dari abstraksi yang
kita tangkap dari realitas eksternal.
Apapun yang kita persepsi melalui benak atau mental akan terpilah menjadi
dua konsep, yaitu konsep eksistensinya dan essensinya (ke-apa-annya).
Contoh:
Ketika saya mempersepsi spidol, muncul dalam benak saya ada dua konsep,
yakni adanya (wujud) dan spidolnya (mahiyah), sehingga dalam proposisi saya
bisa mengatakan 'ada spidol'. Sekarang saya punya dua konsep dalam benak
saya. Namun ketika saya kembalikan ke realitas eksternal, hanya satu.
Karena itu saya bertanya yang mana yang fundamental dari keduanya, apakah
'adanya' (wujudnya) atau 'spidolnya'(mahiyahnya)?
Wujud dan Mahiyyah, menyatu secara misdaq pada realitas eksternal.
Perbedaanya hanya dalam menentukan mana yang fundamental.
Kelompok yang mengatakan dan meyakini bahwa eksistensi yang menjadi dasar
pada realitas eksternal disebut dengan eksistensialisme (Asholat al-Wujud),
sedangkan yang mengatakan dan meyakini 'esensi' disebut esensialisme
(Asholat al-Mahiyyah).
4. Antara Wujud dan Mahiyyah
Mahiyyah merupakan Aksiden bagi Wujud
1. Kita dapat memisahkan makna wujud dan makna Mahiyyah.
2. al-Mahiyyah dapat dipahami sebagai bagian tersendiri dari wujud.
3. Penyandaran Mahiyyah pada wujud merupakan makna aksidensi Mahiyyah
atas wujud.
Argumentasi:
1. Wujud dapat dilepaskan dari mahiyyah. Jika wujud merupakan bagian atau
zat bagi Mahiyyah maka hal tersebut mustahil.
2. Penisbahan wujud atas mahiyyah membutuhkan argumentasi/dasar.
Sekiranya wujud adalah zat atau bagian bagi mahiyyah maka tidak lagi
membutuhkan argumentasi utk keberadaannya.
3. Mahiyyah secara zatnya memiliki relasi yang setara antara wujud dan
'adam. Jika Wujud adl zat bagi mahiyyah maka hal tsb mustahil.
5. (Ashalat al-Wujud wa I'tibariyat al-Mahiyyat)---Keutamaan Wujud dan
Kerelatifan Mahiyyah
Pembagian antara Wujud dan Mahiyyah pada objek di luar hanya terjadi pada
alam pikiran. Sedangkan realitas objek hanyalah satu, sehingga menimbulkan
pertanyaan manakah di antara Wujud dengan Mahiyyah yang real?
Ibn Sinā dengan filsafat Peripatetiknya meyakini bahwa yang utama
dan real adalah Wujud sedangkan Syaykh Isyrāq dengan filsafat
Iluminasinya menganggap Kuiditaslah yang real dan hakiki.
Syaykh Isyrāq mengemukakan argumentasi atas keyakinannya tersebut
sebagai berikut ; Jika yang utama dan real tersebut adalah Wujud maka
yang mewujud di luar adalah wujud. Wujud tersebut pastilah memiliki
atribut kewujudan dan sesuatu yang mewujud pastilah terdapat pada
dirinya wujud, sehingga terjadi regresi (Tasalsul) dan hal tersebut
pastilah tidak mungkin. Selain alas an yang dikemukakan Syaykh Isyrāq,
penolakan terhadap wujud sebagai realitas yang utama didasrkan bahwa
wujud karena merupakan konsep yang paling umum dibandingkan segala
sesuatu maka wujud sebenarnya tidak lebih sebagai konsep sekunder
(Ma'qul al-Tsani).
Mulla Sadrā beranggapan bahwa yang benar adalah pandangan Ibn Sinā
yang menganggap bahwa wujudlah yang utama dan real, sedangkan kuiditas
hanyalah aksiden atau hanya abstraksi mental.
Argumentasi:
Kuiditas sebagai kuiditas bukanlah sesuatu selain dirinya –berada
dalam kesetaraan antara wujud dan ketiadaan. Ketika kuiditas keluar
pada tingkat wujud bukan dengan perantaraan Wujud pastilah terjadi
perubahan substansial pada hakikat kuiditas (Inqilab) dan hal tersebut
tidak mungkin. Karenanya satu-satunya hakikat yang mengeluarkan
kuiditas.
Kuiditas sumber perbedaan, setiap kuiditas berbeda dari kuiditas yang
lain . Dalam hal ini masing masing tidak memiliki kesatuan yang sama.
Jika tidak ada realitas yang menyatukan yang berbeda tersebut dan
menggabungkannya, maka tidak ada proposisi yang dipredikatkan satu
kuiditas kepada kuiditas yang lain. Karena itu diperlukan satu
realitas dasar untuk menggabungkan berbagai kuiditas tersebut.
Realitas tersebut adalah wujud.
Kuiditas mewujud dengan Wujud eksternal sehingga memiliki implikasi
efek (api membakar, air membasahi) dan pada saat yang sama mewujud
juga pada wujud mental (zihnī) dan tidak memiliki implikasi efek
sebagaimana kuiditas eksternal. Jika yang real dan hakiki adalah
kuiditas, pastilah efek yang ditimbulkan sama pada dua keadaan
tersebut dan tidak terjadi perbedaan. Fakta menunjukkan sebaliknya
sehingga hal tersebut jelas keliru dan karenanya wujudlah yang utama
dan real.
Kuiditas netral dalam keadaannya. Baik antara intensitas dan
kelemahan, kepadatan dan ketidakpadatan. Tetapi pada realitas
eksternal kita melihat ada yang intens (seperti sebab) dan ada yang
lemah (seperti akibat). Jika bukan Wujud yang real dan hakiki maka
perbedaan atribut tersebut kembali kepada kuiditas padahal kuiditas
bersifat netral Jelas wujudlah yang real dan hakiki.
Sebagai jawaban bagi Syaykh Isyrāq yang menolak keutamaan wujud, Mulla
Sadrā mengemukakan argumen bahwa Wujud mewujud (secara eksternal) akan
tetapi wujudnya Wujud dengan zatnya sendiri sehingga tidak menyebabkan
regresi .
Dengan argumentasi-argumentasi ini Mulla Sadrā menampilkan pandangan
dasarnya tentang Asālat al-Wujūd wa I'tibāriyyāt al-Māhiyyāt.
Pandangan ini menjadi prnsip dasar bagi seluruh jalinan filsafatnya
dan hal ini juga jika kita lihat lebih dalam menunjukkan upaya Mulla
Sadrā dalam upayanya membersihkan diri Tuhan dari kuiditas, karena
baginya Tuhan sebagai Wajib al-Wujud haruslah merupakan zat murni yang
terlepas dari beragam batasan.
6. Ihtiyaj al-Imkan ila 'Illah Hudutsan wa Baqa'an
Kebutuhan Mumkin pada sebab merupakan keharusan fundamental (Dharurat
al-Awlawiyyat).
Dasar konsepsi subjek-objek terhadap Quiditas mencukupi untuk
menunjukkan keharusan tersebut.
Kebutuhan Mumkin pada sebab bukanlah al-Huduts (didahului ketiadaan)
akan tetapi al-Imkan.
1. Hal ini disebabkan Quiditas dalam wujudnya atau ketiadaan adalah
keharusan (Dharuri). Karenanya tidak mungkin Quiditas mewujud setelah
ketiadaannya.
2. Quiditas tidak akan wujud kecuali diwujudkan oleh sebab, pewujudan
sebab bagi quiditas hanya terjadi pada saat quiditas mencapai tingkat wajib
dan Quiditas tidak akan sampai pada tingkat tersebut kecuali dengan ijabnya
sebab sedangkan Ijabnya sebab bergantung pada kebutuhan quiditas pada sebab
dan kebutuhan tersebut adalah al-Imkan. Sehingga jelas bahwa al-huduts
adalah tidak mungkin.
Karenanya; Kebutuhan terhadap sebab merupakan hakikat al-Imkan bukan al-
Huduts
" al-Mumkin muhtajun ila 'illatihi baqa'an kama annahu muhtajjun
ilaiha hudutsan" ( al-Mumkin membutuhkan sebab secara abadi
sebagaimana kebutuhan terhadap sebab pada permulaan.)
Argumentasi I : Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
kebutuhan mumkin terhadap sebab merupakan kebutuhan zati dari al-
Imkan, karenanya dia bersifat permanen bukan hanya dalam kondisi al-
huduts akan tetapi juga pada kondisi al-baqa'.
Argumentasi II : Akibat merupakan Wujud Rabith (penghubung),
bergantung secara Zat kepada sebab dan Sebablah yang menghadirkannya
(Muqawwim laha) dan akibat tidak pernah independen dari sebab karena
itu keadaan akibat selalu dalam kondisi butuh terhadap sebab baik
dalam keadaan al-Huduts Maupun dalam keadaan al-baqa'
Sanggahan al-Asy'ari terhadap kebutuhan al-mumkin kepada sebab
bersifat permanen (Baqa'an) sebagai berikut:
"Jika kita memperhatikan sebuah rumah, maka orang yang membangun
rumah tersebut merupakan sebab bagi kemunculan rumah, rumah sebagai
akibat membutuhkan pembuatnya sebagai sebab baginya dalam kepermulaan
keberadaan dirinya, akan tetapi setelah terwujud maka rumah tidak lagi
bergantung pada pembuat rumah sebagai sebab kehadiran dirinya".
Jawaban terhadap al-Asy'ari: Sebuah kekeliruan yang terjadi pada al-
Asy'ari bahwa pembangun rumah bukan sebab keberadaan bagi sebuah
bangunan akan tetapi dirinya hanyalah sebab yang menyiapkan (Mu'iddah)
sedangkan pembicaraan kita tentang sebab yang dimaksud adalah sebab
hakiki. Sementara yang dilakukan oleh pembangun rumah tidak lebih
menggumpulkan dan menggabungkan beragam unsur yang beragam gabungan
unsur-unsur tersebut menghasilkan bentuk bangunan.
7. Ahkam Al-Mahiyyah (Hukum-hukum Quiditas)
Quiditas merupakan jawaban dari pertanyaan apa itu dan dapat menerima
beragam pensifatan, baik Wujud atau ketiadaan, Satu atau banyak,
parsial atau general
Quiditas dalam tingkat quiditasnya bukanlah sesuatu (La maujudah wa la
la maujudah) sehingga pada tingkat ini tertolak segala kontradiksi
tertolak sekalipun pada realitasnya diluar menjadi keharusan
Karenanya Quiditas dapat dipropoisiskan pada proposisi primer (al-Haml
al-Awwali)
Quiditas dapat dikenali dalam tiga bentuk: 1)Dengan syarat sesuatu, 2)
Dengan syarat Tidak , 3)Tidak bersyarat sesuatu
Quiditas dengan syarat Sesuatu ---Quiditas dalam bentuk ini disebut
Makhluttoh
Yang dimaksud; Quiditas yang didapat dari spesifikasi yang
menyertainya sehingga dapat dikonfirmasikan pada generalitas objeknya
. Seperti : Manusia yang diambil dari spesifikasi Zaid dan dapat
dikonfirmasikan pada Zaid.
Quiditas dengan syarat Tidak--- Quiditas dalam bentuk ini disebut al-
Mujaraddah
Yang dimaksud; Quiditas yang tidak ada sesuatu bersamanya, quiditas
dalam kontek ini dapat dibagi ke dalam dua kategori :
1. Quiditas dalam tingkat zatnya bukanlah sesuatu selain dirinya yang
setara antara Wujud dan 'Adam
2. Quiditas sebagai quiditas yang sekiranya di tambahkan spesifikasi
baginya maka hal tersebut sebagai tambahan baginya.
Quiditas yang Tidak bersyarat sesuatu--- Quiditas dalam bentuk ini
disebut al-Muthlaqqah
Yang dimaksud: Quiditas dalam kontek kemutlakannya baik ada qarinah
bersamanya ataupun tidak
Sedangkan Quiditas yang membagi (al-Maqsam) terhadap ketiga bagian
quiditas disebut sebagai Quiditas Generalitas alamiah (al-Kulli al-
Thabi'i)
Makna Esensi (Zati) dan Aksiden (Ardhi)
- Zati : Merupakan subjek yang membentuk makna (Maudhu') bagi quiditas,
tidak berada di luar dari makna tersebut bahkan tidak akan terealisir
makna tanpa dirinya
Seperti; Manusia sebagai subjek bagi Zaid, Amr dsb. atau Hewan bagi
manusia.
- Ardhi: Merupakan subjek yang berada diluar dari esensi makna dan
datang kemudian setelah seluruh esensinya sempurna. Seperti; Tertawa
bagi manusia.
al-Jins, al-Fasl, dan al-Nau'
- Genus (Nau') : Merupakan keseluruhan hakikat yang sama diantara bagian-
bagian yang majemuk berdasarkan jumlah dalam menjawab pertanyaan apa
itu . Seperti; Manusia bagi Zaid, amr dsb.
- Species (al-Jins) : Merupakan keseluruhan hakikat yang sama diantara
bagian-bagian yang majemuk berdasarkan hakikat dalam menjawab
pertanyaan apa itu. Seperti : Hewan bagi manusia dan Kuda
- Diferensial (al-Fasl) : Merupakan bagian spesifik dari quiditas yang
membedakan dari bagian quiditas yang lain. Seperti: Rasio bagi
Manusia,
General (al-Kulli) dan Parsial (al-juz'i)
- Ada pandangan yang beranggapan bahwa generalitas dan Parsialitas
terjadi sebagai hasil pencerapan (Idrak). Pencerapan indrawi karenma
sangat jelas menyaksikan sesuatu maka sesuatu tertsebut menjadi
parsial sedangkan jika yang melakukan pencerapan tersebut adalah akal
maka karena lemahnya pencerapan terjadilah generalitas. Filosof
menolak hal tersebut karena General merupakan mafhum yang dapat
dikonfirmasi pada banyak objek sedangkan parsial adalah mafhum yang
hanya dapat dikonfirmasi untuk satu objek. Karenanya: Generalitas dan
Parsialitas keduanya merupakan bagian dari keberadaan quiditas .
8. Maqulat (Ketegori)
Secara Etimologi: Maqulat berasal dari kata Qola, ketika disebut Maqul
berarti telah dikatakan.
Dalam Logika (al-Manthiq) berarti Apa yang dikandung (Mahmul).
Dalam pengertian Quiditas (al-Mahiyyah) adalah apa yang disebut (Ma
Yuqol) sebagai jawaban dari pertanyaan apa itu. Maksud dari 'Yang
disebut' (Ma Yuqol) adalah 'Apa yang dikandung' (Ma Yuhmal).
Dalam pengertian Genus ( al-Jins) adalah apa yang disebut (Maqul)
terhadap pluralitas realitas dalam jawaban pertanyaan apa itu. Yang
dimaksud 'Apa yang disebut' (Maqul) adalah 'Apa yang dikandung'
(Mahmul).
Maqulat dalam istilah Logika dan Filsafat bermakna : "Genus yang tidak
ada Genus lebih tinggi lagi darinya"
Ma'qulat: al-Awwaliyyah (Konsepsi yang terjadi pada tingkat mental
akan tetapi sumber dan objeknya bersifat eksternal) dan al-Tsaniyyah
(Konsepsi yang terjadi pada mental dan bersumber dari mental itu
sendiri)
Pembahasan Maqulat pertamakali dikemukakan oleh Aristoteles dalam
kitabnya "Categories" dan juga dalam kitabnya "Thopika". Di dalam
karya-karyanya tersebut Aristoteles mengkategorikan Maqulat pada 10
jenis. Pembahasan Maqulat ini menjadi pembahasan dalam filsafat
terutama setelah para filosof Masyaiyyah menjadikannya sebagai bagian
dalam pembahasan filsafat.
Maqulat pada intinya merupakan kesimpulan dari segala bentuk
keberadaan quiditas. Quiditas pada umumnya terkomposisi atas Genus (al-
Jins) dan Diferensial (al-Fasl) dan keseluruhan dari bentuk keberadaan
quiditas yang terkomposisi dari Genus dan diferensial berada di bawah
salah satu Maqulat.
Karakter Maqulat :
1. Tidak terkomposisi/ Sederhana (Basith)
2. Antara Maqulat yang satu dengan yang lainnya berbeda (Mubayin) dalam
kesederhanaannya.
3. Satu dari quiditas hanya berada dibawah salah satu maqulat dan tidak
mungkin berada di bawah maqulat lainnya.
4. Atas dasar karakter ke-3 maka segala yang dapat berada pada beberapa
maqulat bukanlah mafhum quiditas dan tidak akan pernah berada dalam
salah satu di antara maqulat yang ada. Seperti 'Gerakan'. Gerakan
dapat dilihat dalamkonteks ruang (Harakah al-Makani), kualitas
(Harakah al-Kaifi) maupun substansi (Harakah al-Jawhari)
5. Mafhum yang dapat dikonfirmasikan baik pada Wujud Niscaya atau wujud
Mumkin maka mafhum tersebut bukanlah mafhum quiditas dan tidak akan
pernah berada pada salah satu maqulat. Karena wujud niscaya tidak
memiliki quiditas.
6. Wajib atau Ketiadaan keduanya tidak berada di bawah maqulat.
7. Mafhum-mafhum Maqulat Kedua (Tsaniyah) seperti; al-Imkan, al-Huduts,
al-Iliyyat, al-wahdah, al-Katsrah semua jenmis tersebut tidak termasuk
dalam Maqulat Pertama (al-Awwaliyyah).
Quiditas: Substansi/ Jawhar (Jika didapati diluar tidak menempel pada
hal tertentu (al-Maudhu') dan Aksiden/ Aradh (Jika didapati diluar
menempel pada hal tertentu (al-Maudhu')
9. Al-'Illiyyah (Kausalitas)
Persoalan: Secara eksternal ada beragam bentuk-bentuk wujud
(Mawjudat), apakah ada hubungan satu sama lain di antara bentuk-bentuk
wujud tersebut dan apakah keberadaan dirinya bergantung pada
keberadaan yang lain.
Pembicaraan sebelumnya tentang Quiditas telah mengantarkan kita pada
kesimpulan adanya kebutuhan Quiditas pada sesuatu selain dirinya untuk
dapat keluar dari kondisi realitas dirinya. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang kemudian disebut sebagai kausalitas (al-Illiyyah).
Argumentasi al-illiyah : Quiditas dalam tingkat zatnya tidaklah Ada
maupun Tidak ada akan tetapi berada dalam relasi yang setara antara
Wujud dan 'Adam. Untuk keluar pada salah satu bagian di antara
keduanya quiditas membutuhkan salah satu bagian dari keduanya. Dalam
hal ini akal menunjukkan bahwa mustahil bagi 'Adam atau quiditas itu
sendiri untuk mengeluarkan dirinya dari relasi tersebut. (Tarjih bila
Murajih Muhallun) Karena itu sebuah bentuk wujud (quiditas)
bergantung pada Wujud untuk mewujud.
Melihat dari argumentasi tersebut nyata bahwa Kausalitas (al-Illiyah)
merupakan ikatan yang terjadi pada wujud (Irtibath al-Wujudi). Karena
quiditas membutuhkan wujud untuk dapat mewujud dan kebutuhan tersebut
merupakan gambaran dari zatnya yang butuh (faqr) pada wujud. Oleh
sebab itu segala sesuatu tidak akan pernah menjadi sesuatu selama
kebutuhan tersebut tidak ada, klarena itu pula bisa disebutkan Tidak
ada kausalitas pada ketiadaan (La Illiyah fi al-'Adam).
Wujud yang menjadi tempat bergantung tersebut disebut sebagai sebab
(al-'Illah) sedangkan yang bergantung disebut sebagai akibat (al-
Ma'lul).
Pembagian Sebab (al-'Illah) :
1. Sebab Sempurna dan tidak sempurna (al-'Illah al-Tamah wa al-Naqisah).
2. Sebab Tunggal dan Plural (al-'Illah Wahid wa al-Katsir).
3. Sebab Sederhana dan Terkomposisi (al-'Illah al-Basith wa al-Murakab).
4. Sebab Dekat dan Jauh (al-'Illah al-Qarib wa al-Ba'id).
5. Sebab Internal dan Eksternal (al-'Illah al-Dakhili wa al-Khariji).
6. Sebab Hakiki dan Pembentuk (al-'Illah al-Haqiqi wa al-Mu'id).
Sebab Sempurna dan tidak sempurna (al-'Illah al-Tamah wa al-Naqisah)
Sebab Sempurna adalah sebab yang kehadirannya mencukupi untuk memunculkan
akibat dan akibat tidak membutuhkan sesuatu yang lain kecuali dirinya.
Sebab Tidak Sempurna adalah sebab yang dibutuhkan akibat akan tetapi tidak
mencukupi untuk menghadirkan akibat tersebut.
Sebab Tunggal dan Plural (al-'Illah Wahid wa al-Katsir)
Sebab Tunggal adalah sebab yang hanya karena dirinya akibat tersebut
muncul dan tidak oleh sebab-sebab lainnya. Kadang kala disebut juga (al-
'Illah al-Munhasir).
Sebab Plural adalah sebab yang banyak bagi akibat yang satu dalam
pengertian bahwa akibat tersebut bisa muncul dari beberapa bentuk sebab.
Sebab Sederhana dan Terkomposisi (al-'Illah al-Basith wa al-
Murakab)
Sebab Sederhana dan Terkomposisi bersumber dari bentuk wujud yang sederhana
dan terkomposisi. Bentuk wujud yang terkomposisi adalah bentuk wujud yang
terbentuk dari beberapa bentuk wujud sedangkan bentuk wujud sederhana
adalah bentuk wujud yang tidak terkomposisi oleh bentuk-bentuk wujud yang
lain.
1. Sebab Materi : Species yang terdiri atas Materi dan Forma, karena itu
Materi dalam kontek ini merupakan sebab bagi species dan juga
merupakan sandaran bagi beragam potensi dan segala sesuatu melalui
perantaraan dirinya menjadi potensial.
2. Sebab Forma : Species yang terdiri atas Materi dan Forma, karena itu
Forma dalam kontek ini merupakan sebab bagi species dan merupakan
penyebab aktualnya sesuatu.
Sebab Eksternal adalah sebab yang keberadaannya berada di luar akibat dan
terbagi menjadi dua bagian :
1. Sebab Pengaktual (al-Illah al-Fa'ili); Merupakan sebab yang
memunculkan akibat dan keberadaan akibat berasal darinya.
2. Sebab Tujuan (al-Illah al-Gha'i);
Merupakan tujuan yang karena dirinya muncul akibat. Kedua sebab ini disebut
juga sebagai Sebab-sebab Wujud.
Sebab Hakiki dan Pembentuk (al-'Illah al-Haqiqi wa al-Mu'id)
Sebab Hakiki adalah yang tidak mungkin terpisahkan dari akibat atau akibat
tidak mungkin memisahkan dirinya darinya. Karennya akibat ada karena
keberadaan sebabnya dan menjadi tidak ada karena ketiadaan sebabnya.
Sebab Pembentuk adalah sebab yang mungkin terpisahkan dari akibatnya
setelah kemunculan akibat, sehingga kemunculan akibat disebabkan oleh sebab
akan tetapi ketiadaan sebab tersebut kemudian tidak akan menyebabkan akibat
menjadi tiada.
10. Diktum Al-Wahid (al-Asl al-Asīl , Asas al-Tawhīd, Qā'idah al-Wāhid ,
al-Fayd al-Ilahi )
Secara mendasar diktum ini berasal dari kaidah: Tidak keluar dari
yang satu kecuali satu al-Wāhid la Yasdurū minhu illa al-Wāhid .
Sebagian besar filosof sebelum Mulla Sadrā telah mencurahkan kajian
yang serius dan mendalam dalam persoalan ini, terutama para filosof
Muslim, karena prinsip penciptaan ini sangat berkaitan dengan
doktrin Tawhid.
Mir Damād menyatakan: "Induk dari prinsip pemikiran adalah bahwa
Yang satu sebagaimana dia satu dalam spesifikasinya tidak keluar
darinya kecuali satu. Prinsip demikian ini yang kami gambarkan
kepada anda, keluar dari kemurnian intelek yang tercerahkan"
(Qabsat (Qom : Chop Bidor, 1373), hal. 232
Mahdi Astiyani bahkan menulis buku khusus untuk menjelaskan prinsip
ini dengan judul Asas al-Tawhid (Tehran : Amir Kabir, 1377) dan
Alamah Thabathaba'i menulis buku Risalah al-Tawhid.
Menurut al-Fārābī prinsip ini berasal dari Aristoteles hal
tersebut diketahuinya dari Xenon murid dari Aristoteles. Hal yang
sama termaktub juga dalam kitab Utsulujiyya, sedangkan Ibn Rusyd
menisbahkan prinsip ini kepada Plato dan Tamistius.
Mulla Sadra : Ini merupakan prinsip yang terhamparkan dan keduanya
pernah dijelaskan sebelumnya bahwa intelek yang berfikir yang tidak
ada pada pandangannya tabir taklid dan tidak pula pada cerminnya
terdapat noda fanatisme dan kegelapan pertentangan untuk menetapkan
bahwa Satunya Tuhan adalah murni, demikian pula yang satu
sebagaimana dia satu tidaklah keluar dari yang satu dengan
spesifikasi tersebut kecuali satu dan tidak pula bentuk plural
sebagaimana dia plural keluar dari yang satu sehingga keluar
darinya dua sumber yang bertentangan dengan satu dan menjadi satu.
Selanjutnya sisi-sisi dan spesifikasi menjadi plural maka
terbukalah gerbang kebaikan. (Mulla Sadra, al-Asfār, j. 7 hal.
204.)
Argumentasi Diktum al-Wahid:
- Argumentasi pertama: Identitas A pasti berbeda dari identitas B, hal
ini menunjukkan bahwa masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Sebab
tersebut adalah dua identitas terpisah atau satu identitas yang
memiliki dua sifat yang berbeda. Padahal sumber utama wujud adalah Zat
sederhana yang satu secara mutlak sehingga mustahil keluar dua
identitas dari Zat tersebut.
- Argumentasi kedua: Identitas sebab A pasti berbeda dari identitas
sebab B, perbedaan tersebut baik pada kuiditas ataupun pada wujud dan
keduanya mengharuskan pluralitas sehingga tidak mungkin keduanya
disatukan dalam satu identitas mutlak yang tidak ada perbedaan
didalamnya. Jika tidak maka akan menyebabkan berlakunya hukum
kontradiksi.
- Argumentasi ketiga: Zat yang sederhana yang didalamnya tidak
terkomposisi oleh unsur apapun hanya akan mengeluarkan akibat yang
satu. Sekiranya akibat yang satu tersebut kita sebut A, maka keluarnya
A dari sebab tersebut merupakan keharusan logis dan sekiranya keluar
juga dari sebab sederhana tersebut B maka hal tersebut membatalkan
keharusan logis akibat A dan pengandaian ini jelas bertentangan dengan
logika.
Di antara pemikir muslim yang menolak prinsip ini antara lain al-Fakhr
al-Rāzī dan al-Ghazālī. Al-Ghazālī menyatakan bahwa percaya pada
prinsip ini adalah "Kegelapan di atas kegelapan". Al-Ghazālī menolak
prinsip ini karena menurutnya prinsip ini bertentangan dengan sifat
Kemahakuasaan Allah Ta'ala dan hal tersebut sama dengan tidak percaya
bahwa alam semesta yang plural ini merupakan ciptaan Allah. Alasan
yang sama juga dikemukakan al-Fakhr al-Rāzī.
Mulla Sadrā menolak argumentasi al-Ghazālī maupun al-Fakhr al-Rāzī
karena menurutnya bahwa proses penciptaan yang dilakukan Allah Ta'ala
melalui proses kausalitas sedangkan Kemahakuasaan Allah Ta'ala
merupakan gambaran dari kemampuan Allah untuk melakukan sesuatu yang
mungkin terjadi bukan pada sesuatu yang mustahil terjadi.
11. al-Quwwah wa al-Fi'il (Potensialitas dan Aktualitas)
Segala yang bersifat baharu dalam waktu (Zamani) diawali oleh potensi
wujud----Segala sesuatu yang berada dalam kebaharuan waktu maka
pastilah wujud baginya bersifat potensial, karena sebelum wujudnya
menjadi real maka menjadi kemestian baginya untuk berada pada level
bahwa dirinya mewujud atau tidak mewujud (mumkin al-wujud )
Argumentasi :
- Sekiranya potensialitasnya sebagai keniscayaan ketiadaan (Mumtani' al-
wujud) maka mustahil terealisasi wujud baginya, karena keniscayaan
ketiadaan memutlakkan ketiadaan baginya. Kita juga dapat menyebut
bahwa ketiadaan (al-'Adam) tidak memiliki potensi sama sekali.
- Sekiranya potensialitasnya sebagai wujud niscaya maka hal tersebut
juga tidak mungkin karena wujud niscaya adalah kemutlakan wujud
sehingga tidak mungkin di dalam dirinya tersimpat potensi.
Jika bentuk imkan ini mewujud secara eksternal maka bukanlah dia
sebagai substansi yang berdiri dengan zatnya sendiri akan tetapi
merupakan aksiden yang berdiri pada sesuatu selain dirinya. Dirinya
tersebut disebut sebagai potensi (al-Quwwah) sedangkan tempatnya
bergantung disebut sebagai materi (al-Madah). Materi tidak kosong dari
aktivitas imkaniyyahnya dan tidak mungkin juga adanya aktivitas diluar
imkaniyyah/potensinya mengngat jika hal tersebut terjadi akan terjadi
aktualitas yang tidak didahului potensialitas dan hal tersebut
mustahil.
Jika potensi teraktualisasi maka muncullah bentuk yang baru maka
hilanglah aktualitas pertama dan muncul aktualitas kedua yang
didalamnya terkandung potensi yang lain. Materi aktualitasnya adalah
baharu dan aktualitas sebelumnya menjadi hilang dengan sendirinya
karena jika tidak maka akan terjadi sesuatu yang antara aktualitas dan
imkaniyyah sesuatu yang berbeda.
Karenanya:
- Segala sesuatu yang bersifat baharu dalam waktu pastilah memiliki
materi yang terkandung potensi wujudnya.
- Materi pada bentuk yang baharu terpelihara dalam kesamaannya.
- Keberadaan sesuatu yang baharu tidak terlepas dari perubahan forma-
forma.
- Potensi selalu mengandung aktualitasnya sedangkan materi mengandung
forma baginya dan ketika terjadi perubahan forma-forma maka semuanya
terjadi pada materinya.
- Potensialitas pasti mendahului aktualitas dalam kontek zaman.
12. Diktum al-Kawn wa al-Fasad Labs ba'da Labs
Al-Kawn bermakna Terbentuk (Construction) sedangkan al-Fasad bermakna
kehancuran (Corruption).
Diktum ini bermakna: "Gerakan yang terjadi pada mawjudat tertentu
menyebabkan mwajudat tersebut memiliki forma baru (al-Kawn) dan pada
saat yang bersamaan forma yang lama menjadi hancur/hilang (al-Fasad)"
Diktum ini berasal dari para filosof Peripatetik (al-Masya') mulai
dari al-Farabi, Ibn Sina hingga Ibn Rusyd, bahkan Ibn Rusyd menulis
buku dengan judul "Talkhis al-Kawn wa al-Fasad". Namun demikian Ibn
Sina membatasi bahwa al-Kawn wa al-Fasad hanya terjadi pada tingkat
aksiden sedangkan materi dasar bersama (Hayulla Musytarak)/ Substansi
(al-Jawhar) tidak mengalami hal tersebut. (al-Syifa : 1 : 186)
Argumentasi Kawn wa al-Fasad:
1. Sekiranya tidak terjadi kehancuran pada forma sebelumnya setelah
terjadi perubahan forma maka forma tersebut tetap ada pada forma
berikutnya itu berarti kita menyatakan satu hal untuk dua objek dan
ini berarti bersatunya dua kontradiksi. Seperti forma cair yang telah
berubah menjadi forma uap maka tidak mungkin forma uap pada saat yang
sama adalah forma cair.
2. Bagaimana mungkin substansi yang satu menampung dua atau lebih aksiden
pada saat yang bersamaan.
Penolakan terhadap al-Kawn wa al-Fasad:
Mulla Shadra menolak diktum al-Kawn wa al-Fasad dengan
argumentasi sebagai berikut :
1. Jika terjadi al-Kawn wa al-Fasad maka bagaimana mungkin forma yang
hancur tersebut dapat kembali muncul dengan asumsi bahwa dia sudah
hancur/hilang. Seperti : Cair berubah menjadi Uap kemudian kembali
Cair.
2. Substansi menampung beragam aksiden dalam bentuk potensi dan ketika
salah satu potensi tersebut mengaktual maka potensi yang lain tetap
sehingga ketiak zat Cair menjadi Uap, mak Cair tetap ada pada
substansi dalam bentuk potensi ( al-Quwwah) dan hal ini tidak
menyebabkan dua hal menjadi satu dalam waktu bersamaan.
Oleh karena itu bahwa perubahan forma sebenarnya hanya bersifat
memakai pakaian (Talabus) artinya karena faktor tertentu sebagi sebab,
pakaian sebagai forma mengaktual akan tetapi ini tidak berarti
menghilangkan forma sebelumnya akan tetapi Substansi menyimpannya
sebagai potensi (Labs).
Bahkan bagi Mulla Shadra gerakan tidak hanya terjadi pada tingkat
aksiden namun gerakan terjadi juga pada tingkat Substansi (al-
Jawhar) (kita akan bicarakan lebih spesifik berikutnya).Hal ini
menunjukkan bahwa gerakan baik pada tingkat aksiden maupun substansi
bersifat progresif/peningkatan kualitas dalam pandangan Mulla Shadra.
Pandangan Mulla Shadra ini selanjutnya dikenal dengan istilah al-Labs
ba'da Labs.
13. Al-Harakah al-Jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)
Al-Farabi menyatakan gerak merupakan proses perpindahan dari satu
titik menuju titik berikutnya dengan menghilangkan titik pertama dan
membentuk titik kedua demikian seterusnya.
Ibn Sīnā menggambarkan gerakan sebagai dua proses subjektif dan
objektif. Pada proses subjektif terjadinya proses bertahap (tadrij)
dari satu titik menuju titik berikutnya melintasi ruang sehingga
terjadi gerakan, kondisi ini menurut Ibn Sīnā hanya terjadi secara
subjektif pada diri pengamat karena penggabungan titik-titik tersebut
menjadi satu bagian yang satu hanyalah terjadi pada persepsi subjek
sedangkan objektif adalah wujudnya objek yang dianggap bergerak dan
objek tersebut bersifat permanen yang berada di antara permulaan dan
akhir
Mir Damad menolak anggapan Ibn Sīnā bahwa gerak berlaku subjektif
dengan mengemukakan pandangan bahwa pada gerak terjadi kontinyuitas
secara konstan dan objek mengingat ruang dan waktu merupakan realitas
objektif.
Mulla Sadrā seperti halnya gurunya tersebut menolak pandangan Ibn
Sīnā tersebut namun berbeda dengan gurunya, Mulla Sadrā menunjukkan
bahwa gerakan bukan hanya sesuatu yang objektif dan kontinum akan
tetapi meliputi substansi, pada prinsip ini Mulla Sadrā bertentangan
dengan seluruh filosof sebelumnya.
Pandangan umum yang terjadi pada para filosof pra-Mulla Shadra,
termasuk Ibn Sīnā bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori
kuiditas ; Kuantitas (Kam), Kualitas (Kayf), Posisi (Wad') dan Tempat
(Ayn). Substansi (Jawhar) dalam pandangan ini bersifat tetap karena
hanya terjadi perubahan dan gerakan pada empat kategori tersebut
Keberatan utama jika terjadi perubahan pada substansi adalah ketidak
mungkinan melakukan penetapan terhadap sesuatu. Dalam pandangan mereka
sesuatu yang dahulu adalah sesuatu yang saat ini dan sesuatu yang
saat ini adalah sesuatu yang akan datang. Seperti pertanyaan murid
utama Ibn Sina, Bahmaniyar kepada gurunya Ibn Sina; "Mengapa tidak
mungkin terjadi gerakan pada substansi ?" jawab Ibn Sīnā "Jika terjadi
gerak pada substansi, maka Ibn Sīnā yang lalu bukan lagi Ibn Sīnā yang
sekarang".
Argumentasi:
1. Menurut Mulla Sadrā tidak mungkin gerakan hanya terjadi pada aksiden
(al-'Arad) karena aksiden selalu bergantung pada substansi, sehingga
jika terjadi gerakan pada aksiden hal tersebut jelas menunjukkan
gerakan yang terjadi pada substansi. Jika dapat terjadi (gerakan)
pada kuantitas dan kualitas serta bagian-bagiannya yang tidak terbatas
diantara keduanya secara potensial dalam arti bahwa Wujud selalu
membaharu dalam identitasnya baik pada kuantitas ataupun kualitas.
Maka hal tersebut dapat juga terjadi pada substansi formatif ;
sehingga merupakan hal yang memungkinkan bagi substansi untuk menguat
dan menjadi lebih sempurna dalam zatnya sebagai Wujud dengan identitas
yang satu secara kontinum.
2. Jika pada aksiden terjadi perubahan (gerak) maka sedangkan dirinya
merupakan akibat al-Thabai' dari substansi dan sebab perubahan pasti
juga mengalami perubahan karena jika tidak maka terjadi pertentangan
antara akibat dengan sebabnya karena perubahan yang terjadi pada
akibat.
3. Aksiden merupakan bagian dari tingkatan wujud substansi, karenanya
apapun yang terjadi pada aksiden pasti juga terjadi pada substansi
termasuk perubahan/gerakan yang terjadi pada aksiden maka pasti
terjadi juga pada substansi.
Perubahan benda pada tingkat aksiden menunjukkan secara jelas
perubahan substansial tersebut ; Pada tingkat aksiden ; apel semula
berwarna hijau tua kemudian berubah menjadi hijau muda, merah, dan
kuning. Pada tingkat Substansial ; apel semula buah muda, sedang,
ranum, dan busuk.
Gerakan trans-substansial terjadi meliputi segala sesuatu, baik pada
jasmaniah maupun juga pada ruhaniah. Manusia menurut Mulla Sadrā
awalnya berasal dari materi pertama (Mādah al-Ūla) yang bergabung
dengan bentuk (Sūrah), melalui gerakan trans-substansial unsur-unsur
tersebut mengalami perkembangan dan perubahan, materinya berkembang
menjadi gumpalan darah, kemudian janin, bayi, anak-anak, remaja
dewasa, tua dan hancur. Sedangkan bentuknya berkembang menjadi Jiwa
Bergerak (Nafs al-Mutaharik), kemudian Jiwa Hewan (Nafs al-
Haywāniyyāh), dan Jiwa Manusia (Nafs al-Insāniyyāh). Gerakan trans-
substansial yang terjadi pada materi menuju kehancuran. Sedangkan
Gerakan Trans-Substansial yang terjadi pada jiwa menuju kesempurnaan.
Dengan teori al-Harākah al-Jawhariyyāh ini, Mulla Sadrā menunjukkan
bahwa alam semesta seluruhnya selalu berada dalam atribut aslinya
yaitu baharu (Hudūst) dan sesuatu yang baharu selalu berada dalam
perubahan. Karenanya dalam argumentasi tentang Gerakan, Mulla Sadrā
membuktikan bahwa Gerakan berasal dari Zat yang Konstan dan itu adalah
Wajib al-Wujūd (Wujud Niscaya).
14. Ilmu dan Jenis-jenisnya
Ada dua definisi Ilmu yang biasanya dikemukakan Mulla Shadra maupun
para filosof yang mendasarkan bangunan filsafatnya atas dasar filsafat
Al-Hikmat al-Muta'aliyat antara lain : Al-Ilmu ibarat an hudhuru
shuratu syai li al-Mudrik (Ilmu merupakan hadirnya gambaran sesuatu
pada pencerap) atau Hudhuru Surat al-Syai inda al-Aql (Hadirnya
gambaran sesuatu pada akal). Kedua definisi sebenarnya memiliki makna
yang sama bahwa ilmu pada intinya adalah gambaran objek pada mental
subjek.
1. Tashawur dan Tashdiq (Konsepsi dan Konfirmasi): Ilmu dari segi
penilaian dan penetapan hukum dapat di bagi menjadi dua bagian ;
Tashawur (Konsepsi) dan Tashdiq (Konfirmasi). Keduanya berbeda baik
dari segi substansi maupun efek yang muncul. Konsepsi merupakan ilmu
yang bebas dari segala bentuk penilaian salah dan benar, pada
substansinya kita tidak dapat mendegasikan salah atau benar dari
konsep-konsep yang hadir pada mental.
Konsepsi sendiri terbagi ke dalam beberapa bagian :
a. Konsepsi yang tidak memiliki relasi dan bersifat independent, seperti
konsepsi tentang : Manusia, Hewan dan sebagainya.
- Konsepsi yang memiliki diferensia (Fashl) seperti : Hewan Rasional.
-Konsep yang memiliki relasi perintah seperti : Pukullah, pergilah dan
sebagainya.
-Konsepsi yang memiliki relasi berita seperti : Zaid Berdiri, terjadi
konsepsi tentang "Zaid" "berdiri" dan relasi diantara keduanya.
-Sedangkan "Tashdiq" (Penilaian) adalah ilmu yang didasarkan penilaian
salah dan benar terhadap relasi yang terjadi atau mungkin aktualisasinya
atau ketidak mungkinan aktualisasinya.
2. Ilmu Dharuri (Keharusan) dan Iktisabi (Proses): Ilmu Dharuri
(Keharusan) yaitu ilmu yang terhasilkan bukan melalui proses berfikir dan
mengkonsepsi akan tetapi hadir secara langsung, seperti gambaran kita
tentang sesuatu, Tidak mungkinnya bergabung dua hal yang bertentangan,
Universal lebih luas dari parsial, satu merupakan setengah dari dua dan
sebagainya.
Al-Awaliat (Permulaan): Aksioma yang diperoleh akal tanpa bantuan
sesuatu yang eksternal darinya, seperti : Tidak mungkinnya bersatu dua
hal yang bertentangan.
Al-Musyahadat (Penyaksian): Aksioma yang didapat berdasarkan penilaian
akal dengan bantuan indra dan tidak cukup hanya engkonsepsian dua
bagian dengan relasi diantaranya.
Al-Tajribiat (Eksperimental): Aksioma yang didapat berdasarkan bantuan
eksperimen, seperti :Air menguap ketika dipanaskan, dan sebagainya.
Al-Hadsiat (Analisa): Aksioma yang didapat berdasarkan aanalisa
seperti : Cahaya rembulan berasal dari cahaya matahari.
Al-Fitriat (Fitrah): Aksioma yang didapat melalui bantuan perantara
yang jika perantara tersebut hadir dalam mental maka hadirlah aksioma
ini, seperti : Lima setengah dari sepuluh
Sedangkan "Iktisabi" (Proses) atau "Nazhari" (Pemikiran), merupakan ilmu
yang diperoleh berdasarkan hasil proses berfikir seperti : Rotasi bumi
mengelilingi matahari, tingkat getaran gelombang suara dan sebagainya.
Iktisabi sendiri terbagi kedalam dua bagian dasar :
Al-Tashawur al-Kasbi (Konsepsi Proses): Konsepsi yang didasarkan pada
dua unsur utama yaitu Had (Batasan Substansial) dan Rasm (Batasan
Aksidental)
Al-Tashdiq al-Kasbi (Penilaian Proses): Penilaian terhadap konsepsi
yang didasarkan pada Qiyas (Silogisme) Istiqra' (Sampling) dan Tamsil
(Permisalan)
3. Ilmu Fi'li (Aktif) dan Infi'ali (Pasif)
Ilmu Aktif yaitu ilmu yang pada dirinya terdapat sebab sempurna yang
eksisten di dalam mental dengan eksistensi akibat eksternal, seperti
: Ketika seseorang yang memiliki ilmu ini melihat secara eksternal
seseorang yang berdiri di atas atap dan dikonsepsikan bahwa dia
terjatuh, maka segera segera orang tersebut terjatuh atau membayangkan
sendok eksternal menjadi bengkok dan segera sendok tersebut menjadi
bengkok.
Ilmu Pasif merupakan kebalikan dari Ilmu aktif yaitu yang tidak
memiliki sebab sempurna di dalam dirinya seperti : seorang Arsitek
yang menggambarkan didalam mentalnya sebuah bangunan dan bangunan
tersebut hanya terbangun di dalam mentalnya saja tanpa pengaruh
eksternal langsung.
4. Ilmu Kulli (Universal) dan Juz'I (Parsial)
Ilmu Universal yaitu akal tidak membatasi terhadap kebenaran
generalisasisanya pada objek yang plural, seperti : Manusia, Hewan dan
sebagainya.
Ilmu Parsial yaitu akal membatasi generalisasinya pada objek yang
plural, seperti : Ilmu terhadap Muhammad, Zaid, Sapi, Gajah dan
sebagainya.
5. Ilmu Tafshili (Spesifik) dan Ijmali (Umum)
Ilmu Spesifik yaitu ilmu yang berkaitan dengan objek-objek tertentu
yang berbeda satu sama lain dalam spesifikasi perbedaannya. Sedangkan
Ilmu Ijmali yaitu ilmu yang berkaitan tentang objek-objek yang berbeda
dalam sebuah kesatuan.
6. Ilmu Ilmi (Ilmiah) dan Ilmu Amali (Tindakan)
Ilmu Ilmiah yaitu ilmu yang hanya merupakan konsepsi ilmiah semata dan
berkaitan dan memberikan kesempurnaan jiwa bagi manusia seperti : Ilmu
Ketuhanan dan yang berkaitan dengannya dan sebagainya.
Ilmu Tindakan yaitu ilmu yang menuntut aktualisasi dalam tindakan
seperti : Ilmu tentang keadilan yang wajib ditegakkan oleh seorang
pemimpin dan sebagainya.
7. Ilmu Haqiqi (Hakiki) dan I'tibari (Relatif)
Ilmu Hakiki yaitu ilmu yang berkaitan dengan eksistensi dan derajat-
derajatnya sedangkan Ilmu Relatif yaitu ilmu yang berkaitan dengan
sesuatu yang bersifat relatif dan bergantung pada konsensus.
15. Ittihad al-'Aqil wa al-Ma'qul
Sesungguhnya bentuk sesuatu terbagi kedalam dua bagian, yang pertama
bentuk material dan kedirian eksistensinya melalui materi, ruang,
tempat dan selainnya. Bentuk yang seperti ini yang eksistensinya
berdasarkan materi tidak mungkin menjadi objek pengetahuan secara
aktual termasuk penginderaan, kecuali secara aksidental. Bentuk
berikutnya adalah bentuk yang terlepas dari materi, ruang, dan tempat,
baik secara sempurna yaitu objek pengetahuan secara aktual atau tidak
sempurna yaitu imajinasi atau penginderaan secara aktual. Dan telah
dibenarkan oleh seluruh filosof bahwa objektif objek secara aktual
eksistensi dirinya dengan eksistensi bagi subjek merupakan sesuatu
yang satu dari dimensi yang satu tanpa perbedaan, demikian pula objek
inderawi sebagai hasil penginderaan eksistensi dirinya dan eksistensi
bagi substansi pengindera merupakan sesuatu yang satu tanpa perbedaan
dimensi"
"Objek aktual tidaklah memiliki eksistensi lain kecuali eksistensi
yang secara esensinya merupakan objek yang (eksistensialnya) bukan
bagi sesuatu yang lain sedangkan sesuatu objek tidaklah dapat
dibayangkan kecuali hanya menjadi objek bagi subjeknya"
Kesatuan yang terjadi diantara subjek, objek dan relasi diantara
keduanya adalah kesatuan eksistensial bukan kesatuan sebagaimana
kelirunya beberapa filosof Peripatetik dalam memandang bentuk kesatuan
tersebut.
Kesatuan yang dimaksud merupakan kesatuan pada eksistensi
sederhana (Basith al-Hakiki) yang tidak terkomposisi dari berbagai
unsur independent yang membentuk kesatuan. Dalam konteks seperti ini,
Ilmu pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang terpisah dari diri subjek.
Karena ilmu selain merupakan Kaif al-Nafsani (Kualitas Jiwa) juga
merupakan bagian dari Jawhar (Substansi). Kualitas pengetahuan yang
berkembang di dalam jiwa subjek pada saat yang sama akan mengembangkan
dan meningkatkan kualitas jiwa subjek itu sendiri. Jiwa, karena
merupakan substansi entitas bagi eksistensi mumkin dengan sendirinya
peningkatan kualitas yang terjadi pada jiwa akan mempengaruhi
kualitas eksistensi subjek bahkan membawa subjek pada alam malakut
sebagai bagian dari tingkat kesempurnaan manusia
Argumentasi yang paling utama yang dikemukakan Mulla Shadra dalam
upayanya menegakkan konsep Ittihad al-Âqil wa al-Ma'qul dikenal dengan
istilah Burhan al-Tadhayuf (Aksioma Nisbah) untuk menegakkan aksioma
ini Mulla Shadra bersandar pada tiga landasan utama yaitu : Bentuk-
bentuk aktual terbentuk bersamaan dengan teraktualisasinya sesuatu
dan terbagi kedalam dua bagian : Pertama, bentuk aktual yang
bersandar pada materi, ruang dan waktu. Kedua, bentuk aktual yang
tidak terikat terhadap materi, ruang dan waktu serta hal-hal yang
berkaitan dengannya. Bentuk aktual yang bersandar pada materi, ruang
dan waktu sama sekali tidak mungkin secara esensial menjadi objek yang
tercerap dan jika menjadi objek yang tercerap pastilah berdasarkan
aksidennya. Sedangkan bentuk aktual yang tidak terikat pada materi,
ruang dan waktu pastilah selalu menjadi objek yang tercerap secara
esensial. Karena itu objek cerapan terbagi menjadi dua bagian yang
tercerap berdasarkan esensinya yaitu bentuk-bentuk aktual yang non-
material bersandar pada alam mental dan yang tercerap berdasarkan
aksidennya yaitu bentuk-bentuk nyata ('Ayni) sesuatu yang berada
secara eksternal dan bersandar pada materi.
Para filosof dalam masalah ini bersepakat bahwa eksistensi objek
pastilah untuk subjeknya yaitu eksitensi diri bentuk-bentuk objek
adalah sesuatu yang eksistensinya hanyalah untuk subjeknya dalam
ibarat yang lain dapat kita sebutkan bahwa bentuk-bentuk objek secara
aktual eksistensinya baik sebagai dirinya maupun bagi subjeknya adalah
suatu hal yang satu dan tidak berbeda sama sekali.
Bentuk-bentuk yang tidak terikat pada materi dan bersandar pada
alam mental pastilah merupakan objek aktual. Baik diluar dirinya
terdapat subjek ataupun tidak. Hukum ketercerapan dengan objek aktual
yang tercerap tidak mungkin terpisah sama sekali karena identitas
dirinya adalah identitas ketercerapan dan hakikat dirinya bukanlah
sesuatu selain sebagai objek. Dengan dasar ini objek aktual adalah
juga objek esensial.
Dengan dasar ketiga landasan tersebut Mulla Shadra menerapkan
Aksioma Nisbah sebagai argumentasi utamanya. Dalam Aksioma Nisbah dua
bentuk yang berpasangan haruslah berada pada dimensi yang sama, jika
salah satu bagiannya secara aktual maka kesetaraannya haruslah secara
aktual dan jika satu bagiannya secara potensial maka kesetaraannyapun
haruslah secara potensial. Dalam aksioma ini tidak mungkin seseorang
dapat membayangkan satu sisi dan menghilangkan sisi yang lain. Aksioma
tersebut berbunyi: "Nisbah merupakan kesetaraan dalam eksistensi
aktual atau potensial" . Berdasarkan hal tersebut menurut Mulla
Shadra, karena objek hadir secara aktual maka pastilah subjeknya hadir
secara aktual dan terjadi kesatuan dimensional pada keduanya.