RESONANSI
AZYUMARDI AZRA
2015
Sumber: Harian Republika dan www.republika.co.id
DAFTAR ISI
DUNIA ISLAM Satu Pagi di Depan Ka’bah Asia-Arabia Ketika Sakralitas Diganti Teror KL Sentral Proxy War (1) Proxy War (2) Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Makkah al-Mukarramah (1) Makkah al-Mukarramah (2) Makkah al-Mukarramah (3) Kebebasan Berekspresi dan Respek pada Agama Milan Kerukunan, Kekerasan, dan Terorisme
5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 41
KAJIAN KEISLAMAN DAN KEAGAMAAN PISAI, Islam, dan Paus Francis (1) PISAI, Islam, dan Paus Francis (2) Islam, Biblioteca Ambrosiana, dan Co.Re.Is Transnasionalisasi Islam Indonesia (1) Transnasionalisasi Islam Indonesia (2) Islam Nusantara (1) Islam Nusantara (2) Ramadhan, Lebaran, dan Ekonomi Indonesia Konvergensi Mazhab Pasca-Dua Muktamar Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1) Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2) Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3) Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (1) Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (2) Moderasi Islam
45 48 51 54 57 60 63 66 69 72 75 78 81 84 88 91
PENDIDIKAN DAN SOSIAL-BUDAYA Dua Pesantren, Dua Budaya (1) Dua Pesantren, Dua Budaya (2) Dua Pesantren, Dua Budaya (3) Suatu Pagi di Tukang Pijat Kontroversi Buku Teks (1) Kontroversi Buku Teks (2) Pedagogik untuk Indonesia (1) Resonansi Azyumardi Azra
95 98 101 104 107 110 113 2
Pedagogik untuk Indonesia (2) Komunitas Keadaban Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu Indonesia Setelah 70 Tahun Ujaran Kebencian dan Kebebasan Quo Vadis Guru Besar? (1) Quo Vadis Guru Besar? (2)
Resonansi Azyumardi Azra
116 119 122 125 128 131 134
3
DUNIA ISLAM
Resonansi Azyumardi Azra
4
Satu Pagi di Depan Ka'bah 15 January 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Setiap kali kembali ke Masjid al-Haram dan lingkungannya selang hanya beberapa tahun, ketika itu pula jamaah haji atau umrah bisa menyaksikan dan sekaligus merasakan banyak perubahan. Renovasi atau pembangunan kembali Masjid alHaram seolah tidak pernah berhenti bertahun-tahun sepanjang ingatan. Penulis “Resonansi” ini juga merasakan hal yang sama ketika satu pagi Jumat, Sayyid al-Ayyam (2 Januari 2015) melakukan ibadah umrah. Jama’ah pagi itu tidak terlalu ramai di jalanan dan pelataran luar masjid. Tetapi seperti biasanya, jama’ah yang sedang tawaf tetap berjubel. Begitu juga jama’ah yang mengerjakan sa’i— memadati koridor antara Shafa dan Marwa.
Semua ritual ibadah umrah berlangsung di tengah konstruksi besar-besaran. Begitu jamaah memasuki Masjid dari arah Pintu Raja Fahd atau pintu mana saja, terlihat dua tingkatan jalan layang beton, semacamflyover untuk bertawaf, tidak jauh di atas lingkaran luar Ka’bah. Kelihatan sangat mengganggu keindahan dan kesyahduan bertawaf. Belakangan saya mendapat informasi, ‘jalan layang’ di atas Ka’bah itu hanya sementara, yang bakal dibongkar ketika pembangunan selesai—sesuai rencana—pada 2020.
Soal fly over itu hanya bagian kecil dari perubahan jauh lebih besar baik terkait Masjid al-Haram maupun lingkungan di luar masjid. Dapat dikatakan, Masjid alHaram mengalami pembangunan kembali agar lebih besar dan konon lebih indah (make over). Penulis “Resonansi” ini hampir tidak lagi mengenali lanskap masjid seperti 2009 ketika menjalankan umrah Ramadhan.
Lebih jauh, di mana-mana terdapat dinding tinggi menutupi bagian masjid yang Resonansi Azyumardi Azra
5
sedang dikerjakan. Tak kurang, suara bising datang dari pekerjaan konstruksi yang tengah dikerjakan juga muncul dari mana-mana.
Di bagian luar masjid, secara mencolok terdapat sejumlah gedung baru yang menyatu menjadi semacam konglomerasi bangunan di tempat yang dulu adalah benteng ‘Ajyad’, kini diberi nama ‘Abraj al-Bayt’. Konglomerasi gedung jangkung ini terdiri dari mall sampai tingkat 5; seterusnya hotel mewah semacam Fairmont Hotel and Resort berbintang lima; apartemen (tepatnya kondominium) dan istana—terlihat sangat glamour.
Di puncak konglomerasi gedung ini bertengger Menara Jam Makkah (Mecca Clock Tower), yang sering disebut bahkan oleh banyak warga Hijaz sebagai ‘Mecca Big Ben’, seperti ‘London Big Ben’ yang jauh lebih tua (selesai 1858). Asosiasi ini sulit terelakkan. Menara Jam Makkah setinggi 601 meter merupakan tower tertinggi kedua di dunia pada 2012, mengalahkan ketinggian Gedung 101 Taipei. Kini Menara Jam Makkah menduduki tempat ketiga tertinggi di dunia setelah Burj al-Arab Dubai dan Shanghai Tower. Sebagai menara jam, Menara Jam Makkah adalah yang tertinggi di dunia.
Dana yang dihabiskan untuk membangun kompleks Menara Jam Makkah ini tidak sedikit. Menurut Kementerian Wakaf Saudi dan berbagai sumber lain, dana yang dihabiskan sekitar 15 milyar dolar AS. Sedangkan biaya pembangunan kembali Masjid al-Haram sampai selesai lima tahun ke depan diproyeksikan mencapai 60 miliar dolar.
Dari satu segi, pengembangan atau bahkan pembangunan kembali Masjid al-Haram bisa dipahami karena meningkatnya jumlah jamaah haji mencapai sekitar lebih tiga juta jamaah. Menurut Kementerian Haji Arab Saudi mencapai 3,65 juta pada musim haji 2012, kemudian merosot sekitar satu juta orang pada 2013 dan 2014 karena pengurangan kuota akibat pembangunan tersebut.
Pengurangan kuota jamaah haji mengakibatkan peningkatan jumlah jamaah umrah. Sejak 2013 jumlah jamaah umrah mencapai lebih dari enam juta orang. Jumlah ini terus meningkat tajam pada 2014 khususnya pada bulan Ramadhan yang diyakini Resonansi Azyumardi Azra
6
banyak jamaah umrah sebagai sama pahalanya dengan ibadah haji.
Tetapi pembangunan kembali Masjid al-Haram dan lingkungannya dengan alasan masuk akal itu juga mengundang banyak kontroversi dan oposisi. Salah satu alasan pokok, proyek ini mengakibatkan kian lenyapnya situs-situs historis, semacam ‘benteng Ajyad’ yang dibangun Dinasti Usmani, atau tiang-tiang Masjid al-Haram yang telah berusia berabad-abad.
Menurut The Islamic Heritage Research Foundation, lembaga asal Teluk Persia [atau Teluk Arab] yang berpusat di Washington DC, dalam 20 tahun terakhir, perluasan atau pembangunan kembali Masjid al-Haram melenyapkan sekitar 95 persen bangunan dan lingkungan aslinya. Seorang perempuan Saudi asal Hijaz dalam percakapan dengan penulis “Resonansi” ini menyatakan kejengkelan karena alasan sama. Bagi dia, proyek tersebut tidak lain merupakan penghancuran. Selain itu, kritik juga tertuju pada ‘Abraj al-Bayt’ yang menjanjikan fasilitas serbamewah yang bukan tidak hedonistik semacam kamar suite hotel bertarif sekitar 7.000 dolar semalam atau fasilitas spa. Bentuk kemewahan yang ada di tempat lain, kini juga dapat dinikmati di ‘Abraj al-Bayt’, yang bukan tidak bisa mengingatkan orang dengan dunia gemerlap Las Vegas.
Di tengah kemewahan itu, terdapat masih banyak jamaah haji atau umrah yang menggelandang di pinggir jalan. Mereka pergi haji atau umrah lebih didorong keimanan-keislaman tanpa mempertimbangkan kesengsaraan yang mereka alami karena keterbatasan dana. Satu pagi yang kontras di depan Ka’bah yang terus berlanjut di hari-hari esok.
Resonansi Azyumardi Azra
7
Asia-Arabia 22 Januari 2015
REPUBLIKA.CO.ID
Azyumardi Azra
Kebangkitan dramatis Asia, khususnya China, India dan kemudian juga Indonesia, dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir menimbulkan kesan mendalam dan sekaligus pertanyaan di Arabia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi semacam reorientasi dalam perdagangan Arabia. Perdagangan di antara negara-negara Asia, termasuk Arabia, kini melebihi perdagangan antara Asia dan Barat.
Reorientasi perdagangan itu boleh jadi mempengaruhi tidak hanya bidang ekonomi, tapi juga politik. Arabia yang dalam waktu lama berada di bawah hegemoni kekuatan ekonomi dan politik kolonial Eropa patut menoleh ke Asia. Setelah Perang Dunia II, hegemoni hampir sepenuhnya dipegang Amerika Serikat.
Meski sejak 1970-an sejumlah negara Arabia sejak dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait dan Uni Emirat Barat memperoleh bonanza keuangan berkat eksploitasi minyak dan gas secara besar-besaran, mereka tidak tumbuh menjadi economic powerhouse. Sebaliknya, negara-negara ini menghabiskan banyak dana untuk pertahanan dan proyek mercusuar semacam ‘burj al-‘arab’ (menara Arab) yang kini merupakan gedung tertinggi di dunia atau menara jam Makkah yang juga tertinggi di dunia dalam kelasnya.
Bonanza minyak dan gas Arabia dengan demikian hampir tidak banyak berguna untuk menciptakan konstelasi ekonomi dan politik baru di kawasan ini. Arabia tetap merupakan wilayah penuh konflik yang tidak terselesaikan selama berpuluh tahun. Bahkan konflik dan kekerasan baru muncul dan terus bergejolak di tengah hegemoni AS yang tidak efektif menjadi kekuatan pemelihara sekuriti di wilayah Arabia.
Memandang berbagai realitas dan tren yang terus berkembang, wilayah yang sering Resonansi Azyumardi Azra
8
juga disebut sebagai Dunia Arab atau sedikit luas Timur Tengah kini mempertimbangkan lebih serius lagi mengakselerasikan hubungan yang sudah sangat lama—bahkan sejak masa sebelum datangnya Islam—dengan Asia.
Dalam konteks itu, Arabia mencoba menemukan kembali hubungan satu sama lain dengan Asia melalui jaringan lama terkait agama, perdagangan, politik dan diplomasi dan hubungan baru dalam hal ekspor-impor, pariwisata, pendidikan. Semua hubungan ini, baik lama maupun baru sangat potensial dalam membangun reorientasi Arabia dengan ‘look to the East’.
Hubungan dan jaringan Arabia dengan Asia, khususnya, China, India dan Indonesia, menjadi pokok pembicaraan dalam The Rahmania Annual Seminar yang diselenggarakan di al-Ghat, sebuah kawasan wadi sekitar 250 kilometer dari Riyadh (3-5/1). Pembahasan berlanjut dalam Dialog Ammariyya tentang hubungan ArabiaAsia di Wadi Ammariya, sekitar 50 kilometer di luar Kota Riyadh (6/1). Tidak ragu Arab Saudi merupakan pemain utama dalam reorientasi ‘look to East’ bukan hanya karena ukuran ekonominya yang termasuk salah satu terbesar di dunia sehingga merupakan anggota G-20, tapi juga posisi sentralnya dalam ibadah haji. Peningkatan jumlah jamaah haji secara signifikan tahun demi tahun juga menjadi pendapatan (revenue) utama Arab Saudi.
Tetapi reorientasi ke Timur ini juga memerlukan perimbangan ulang (rebalancing) secara material menyangkut sumber-sumber ekonomi dan sekaligus sikap mental dan intelektual. Hanya dengan perimbangan baru baik secara material maupun mental, orientasi baru ke Timur dapat berhasil.
Seperti terungkap dalam pembicaraan pada kedua konferensi, secara mental dan intelektual, masyarakat Arabia tidak mengetahui banyak tentang Dunia Timur. Bahkan juga mereka tidak memiliki pengetahuan memadai tentang kehidupan agama, sosial dan budaya yang ada di China, India dan Indonesia.
Para audiens Arab mafhum belaka bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Mereka juga tahu tentang jamaah haji Indonesia yang paling tertib dan Resonansi Azyumardi Azra
9
kalem ketika melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka, jamaah haji Indonesia paling terorganisasi baik.
Tetapi mereka tidak tahu banyak tentang Islam Indonesia. Seperti bisa diduga mereka memandang Islam Indonesia dari kacamata Wahabi. Mereka merasa sedikit aneh ketika penulis “Resonansi” ini menjelaskan tentang kepaduan syariah dan tasawuf dalam keilmuan dan praktik keislaman banyak ulama dan kaum muslimin Indonesia.
Sepanjang sejarah keilmuan dan keulamaan Nusantara, khususnya sejak abad 17, hampir seluruh ulama sejak dari Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, Muhammad Yusuf al-Maqassari, Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdussamad al-Palimbani, sampai Nawawi al-Bantani sangat menekankan pentingnya kepatuhan pada syari’ah. Pada saat yang sama, mereka juga memandang pentingnya peningkatan kualitas amal melalui pengamalan tasawuf. Tetapi bagi banyak audiens Arab, tasawuf tidak lain merupakan bid’ah yang merusak kemurnian Islam. Karena itu menurut mereka perlu ‘kompartementalisasi’ (pemisahan) antara syari’ah dengan tasawuf, sehingga tidak terjadi ‘sinkretisme’ dalam keimanan dan praktik Islam. Persepsi semacam ini pastilah tidak ‘nyambung’ dengan realitas Islam Indonesia. Jika Arabia benar-benar ingin memandang ke Timur ke Indonesia, sepatutnya pemahaman dan apresiasi mereka pada tradisi Islam Indonesia perlu ditingkatkan.
Resonansi Azyumardi Azra
10
Ketika Sakralitas Diganti Teror 26 March 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Sakralitas kelihatan kian lenyap di kawasan Timur Tengah. Teror demi teror menghancurkan manusia, masjid, bangunan, pasar, jalan raya, dan seterusnya. Sakralitas seolah tidak lagi tersisa berganti dengan teror yang menjadi order of the day --acara wajib hari demi hari. Inilah wilayah tempat di mana banyak para nabi dan rasul diutus, dan juga di mana banyak kitab suci diturunkan.
Lihatlah apa yang terjadi, misalnya, Jumat pekan lalu (20/3). Dua masjid, tempat menyembah Allah SWT yang sakral menjadi sasaran teror di Yaman. Pembawa bom pasti tahu, Jumat adalah sayyid al-ayyam. Bom bunuh diri bukan hanya meluluhlantakkan bangunan masjid, tetapi lebih fatal lagi menewaskan sedikitnya 142 jamaah. Bangunan masjid bisa dibangun kembali, tetapi nyawa yang melayang tidak pernah bisa direhab, direnovasi atau dibangun kembali.
Inilah salah satu bentuk kebiadaban sempurna --kebiadaban bukan hanya terhadap kemanusiaan, tetapi juga kepada ketuhanan. Apakah yang ada di dalam benak pembawa bom bunuh diri; apakah yang ada di kalbunya. Tak perlu akal canggih atau diskusi panjang; tindakan semacam ini hanya bisa dilakukan orang tidak beriman, meski ketika membawa dan memicu bom di dalam masjid sembari meneriakkan nama Tuhan.
Kekerasan dan teror terus merajalela dengan kecenderungan meningkat dari hari ke hari di Timur Tengah atau khususnya di berbagai wilayah dunia Arab. Puncak kekerasan dan teror biasanya pada akhir pekan, yang bermula dengan Kamis sore, Jumat, dan Sabtu yang merupakan hari libur di dunia Arab. Meminjam ungkapan di Amerika atau Eropa, thanks God it’s Friday [TGIF], di dunia Resonansi Azyumardi Azra
11
Arab orang-orang lazim berucap al-yaum, yaum al-Khamis, alhamdulillah --ujung pekan yang disusul dengan libur Jumat-Sabtu.
Tapi akhir pekan di banyak tempat di dunia Arab tampaknya tidak lagi merupakan hari kedamaian --pada Jumat sekalipun, yang merupakan waktu menjalankan ibadah Jumat. Sebaliknya, akhir pekan yang mencakup hari sakral --sakralitas diganti teror. Jumat justru digunakan sebagai waktu memobilisasi orang dan kelompok melakukan kekerasan dan teror, khususnya dengan bom bunuh diri.
Bom ditujukan bukan kepada siapa-siapa. Lazimnya tidak lain ditujukan kepada sesama muslim baik yang berasal dari aliran dan mazhab berbeda atau yang sama, baik dari kalangan aparat negara maupun rakyat biasa.
Bom bunuh diri secara sengaja guna menghancurkan musuh --dan pembawa bom itu sendiri-- sejak dasawarsa 1980-an menjadi cara paling populer di berbagai tempat di dunia. Dari tahun terus cara ini terus meningkat.
Di antara 1981-2006 terjadi sekitar 1.200 bom bunuh diri di seluruh dunia. Sekitar 90 persen serangan bom bunuh diri terjadi di Irak, Israel, dan wilayah-wilayah Palestina. Sampai 2008, di Irak, misalnya, pelaku bom bunuh diri mencapai 1.121 orang dengan jumlah korban tewas yang masif.
Meski angka pasti jumlah bom bunuh diri beserta korbannya yang tewas setiap tahun sulit dikompilasikan, yang pasti pengeboman bunuh diri kian meningkat sejak 2008 tersebut. Pada 2014 di seluruh dunia terjadi 592 serangan bunuh diri -meningkat 94 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2014 korban tewas karena serangan bunuh diri mencapai sekitar 4.400 orang, meningkat dibandingkan 2013 yang mencapai 3.200-an.
Peningkatan terutama terjadi di negara-negara Arab. Pada 2014 terjadi sekitar 370 serangan bunuh diri di dunia Arab dengan jumlah korban tewas sekitar 2.750 orang. Jumlah ini meningkat dibanding 2013 dengan 163 serangan bunuh diri dan jumlah korban tewas sekitar 1.950. Peningkatan terjadi di Irak (271 pada 2014 berbanding 98 pada 2013); Yaman (29 berbanding 10); Lebanon (13 berbanding 3); Libya (11 Resonansi Azyumardi Azra
12
berbanding 1); Mesir (4 berbanding 6, menurun).
Eskalasi kekerasan bunuh diri juga terjadi di Suriah karena faktor ISIS. Sepanjang 2014 terjadi serangan bom bunuh diri dilakukan 382 pelaku dengan jumlah korban tewas sekitar 420 jiwa.
Peningkatan bom bunuh diri terjadi pula di Afghanistan (124 pada 2014 berbanding 65 pada 2013); Pakistan (2014 dan 2013 angkanya nyaris sama 36 berbanding 35); Nigeria (32 berbanding 3); Somalia (19 berbanding 14).
Melihat kecenderungan perkembangan yang masih tidak kondusif di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim tersebut, kekerasan dan teror bom bunuh diri bakal berlanjut secara signifikan pada 2015. Sangat sulit memprediksi kapan kekerasan dengan bom bunuh berkurang jika tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Yang pasti, sakralitas jiwa manusia, masjid, dan rumah ibadah lain atau pandam pekuburan kian digantikan kekerasan dan teror. Masjid di negara-negara tersebut tadi bukan lagi tempat berlindung yang aman. Tetapi kian menjadi target empuk khususnya pada Jumatan ketika jamaah berkumpul dalam jumlah besar.
Indonesia, alhamdulillah, tidak mengalami nasib tragis seperti itu. Semua kita berdoa, janganlah kejadian serupa --sakralitas digantikan kekerasan dan teror juga menyebar ke tanah air ini. Menjadi kewajiban setiap dan seluruh bagian umat untuk tidak tergoda melakukan kekerasan; dan sebaliknya tetap menghormati sakralitas dalam kehidupan keislaman dan keindonesiaan.
Karena itu, adanya orang-orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS perlu diwaspadai dan diberikan sanksi hukum yang tegas. Sebab, ketika mereka kembali ke tanah air kelak, bisa diduga mereka dengan segera bakal mengganti sakralitas dan kedamaian dengan kekerasan dan teror.
Resonansi Azyumardi Azra
13
KL Sentral 11 Juni 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
KL Sentral—kawasan populer di pusat kota Kuala Lumpur, ibukota negara federal Malaysia. Terletak tak jauh dari kawasan KLCC—salah satu simbol kemajuan ekonomi Malaysia—tak banyak gedung jangkung di kawasan KL Sentral. Inilah kawasan yang belum banyak tersentuh pembangunan infrastruktur dan kemajuan ekonomi. KL Sentral masih didominasi bangunan tua, kusam, cenderung kotor dan bau yang penuh dengan pasar emperan, kedai kelontong dan warung makanan.
Kawasan KL Sentral sebagian besar masih menampilkan wajah KL lama. Kawasan ini masih merupakan ‘kampung’ yang tidak banyak lagi tersisa. Di sini terletak ‘kampung India’ yang terlihat khas; juga kampung Melayu. Inilah kawasan di mana kalangan masyarakat bawah dari tiga puak (etnis) Malaysia; Melayu, Cina, dan India bertemu dalam lalu lalang—yang tak selalu mesti berbaur dan berpadu.
Mendapat akomodasi selama empat hari empat malam di kawasan KL Sentral ketika menghadiri The Fifth Assembly of Asian Muslim Action Network (AMAN) pada 4-7 Juni 2015, penulis “Resonansi” ini belakangan mengetahui, kawasan ini bukan tempat yang pas bagi orang lurus. Ada tempat tertentu di lingkungan KL Sentral yang merupakan lokasi ‘red light’. Karena itu, bagi mereka yang senang mesum, mungkin pojok KL Sentral ini yang mereka cari.
Mengamati KL Sentral dari jalanan dan pasar saya menemukan sejumlah hal untuk refleksi. Pemandangan selama berada di KL Sentral sepanjang perayaan Milad 25 tahun AMAN mendorong penulis—sejak 2013 didaulat menjadi Chairman AMAN menggantikan Asghar Ali Engineer yang wafat—tidak hanya berefleksi tentang AMAN yang aktif dalam program perdamaian, dialog antaragama, pemberdayaan masyarakat dan penguatan Islam wasatiyah, tetapi juga pada dinamika masyarakat Malaysia, khususnya di kawasan KL Sentral. Resonansi Azyumardi Azra
14
Meski banyak kawasan KL cenderung kian macet, jelas kemacetannya jauh di bawah Jakarta. Mengamati kendaraan yang lalu lalang di jalanan KL Sentral, saya meminta beberapa kawan menyatakan apa yang mereka lihat. Sehari belum ada komentar. Hari berikutnya baru ada komentar: “Lihat mobil dan motor begitu banyak melintas. Bedanya, di jalanan Jakarta jauh lebih banyak mobil mengkilap dan fancy yang harganya paling tidak antara setengah sampai dua miliar. Jarang terlihat mobil sekelas Fortuner atau Alphard atau Lamborghini di jalanan KL”.
Memang, kebanyakan mobil di jalanan KL adalah Proton dengan berbagai jenisnya, yang umumnya model lama atau beranjak tua. Lalu juga ada mobil Perodua kecil yang menurut seorang kawan Malaysia sudah mengalahkan Proton. Selebihnya adalah mobil buatan Jepang; yang juga terlihat cukup banyak adalah Kijang Innova atau Avanza.
Apakah pemandangan kontras antara KL dan Jakarta mengindikasikan warga Malaysia cenderung menjalani hidup lebih sederhana dan sebaliknya warga Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia lebih hedonistik dan show off? Ataukah pemandangan di jalan raya KL menunjukkan gejala sosial-ekonomi lain yang berakar jauh lebih dalam.
Gejala kendaraan di jalanan KL memperlihatkan, ekonomi Malaysia pada level masyarakat ‘awam’ (umum) tidak bertumbuh seperti terlihat dalam angka statistik. Menurut berbagai data, estimasi, dan statistik, ekonomi Malaysia bertumbuh antara 6,0 sampai 5,4 persen dalam 10 tahun terakhir. Tetapi juga jelas, dalam beberapa belakangan, pertumbuhan ekonomi Malaysia terus melambat.
Karena itu tidak heran jika Dato Saifuddin Abdullah, CEO Global Movement of Moderates (GMM), Malaysia, mengimbau para pelancong (turis) berbelanja lebih banyak. Dengan begitu, kata dia, ekonomi Malaysia dapat terdorong bangkit kembali.
Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang pernah fenomenal kelihatan merupakan faktor penting yang dapat menjaga keutuhan ‘perpaduan’ antar-puak di Malaysia. Semakin cepat dan besar pertumbuhan ekonomi, kian berkurang pula tensi dan ketegangan Resonansi Azyumardi Azra
15
antar-puak Malaysia.
Tetapi pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup tanpa pemerataan. Ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan masih lebar di antara tiga kelompok ‘puak’ dominan: Melayu (sekitar 60 persen), Cina (kurang dari 30 persen), dan India (sekitar 8 persen). Meski puak Melayu dan India juga mengalami peningkatan kesejahteraan, ekonomi Malaysia masih tetap didominasi etnis Cina.
Bertahannya kesenjangan ekonomi di antara ketiga kelompok etnis menyuburkan kembali kecemburuan sosial, ekonomi dan politik. Jika puak Melayu dan India, khususnya pada tingkat akar rumput, menyimpan kejengkelan karena kondisi ekonomi dan kesejahteraan mereka yang tidak banyak berubah, sebaliknya puak Cina mengendapkan ketidakpuasan terhadap apa yang mereka sebut sebagai diskriminasi politik dan sosial berkelanjutan.
Kesenjangan ekonomi, politik, sosial dan agama terus berlanjut di Malaysia di tengah berbagai dinamika negara ini. Karena itu pula hubungan antar-puak di Malaysia masih menjadi agenda utama jika negara ini dapat tumbuh dengan perpaduan dan kesatuan di antara para warganya.
Indonesia beruntung pada dasarnya tidak memiliki tensi dan konflik perpuakan, perkauman dan etnisitas yang akut dan laten. Beragam puak dan kaum berbaur di negeri ini—legacy dan aset sangat berharga bagi negara-bangsa Indonesia, yang mesti diberdayakan untuk Indonesia yang lebih padu dan bersatu.
Resonansi Azyumardi Azra
16
Proxy War (1) 13 Agustus 2015, REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Proxy war atau secara lebih spesifik ‘proxy sectarian war’—perang proxy karena sektarianisme keagamaan. Secara singkat, ‘proxy war’ adalah perang boneka di antara dua negara atau lebih tanpa melibatkan secara langsung negara-negara atau warga negara itu sendiri dalam perang terbuka di antara mereka. Perang justru terjadi dan berkobar di negara atau wilayah lain di antara kelompok pro dan anti masing-masing negara yang menjadi semacam ‘boneka’ karena mendapat bantuan dana, pelatihan dan persenjataan dari negara-negara yang bertarung.
Oleh karena itu, lazimnya proxy war terjadi dan sering berlangsung lama bukan di negara yang berkontestasi. Biasanya proxy war terjadi di wilayah lain di luar kedua negara yang saling bermusuhan dan ingin menghancurkan lawannya. Isu proxy war menyelinap ke dalam pikiran penulis “Resonansi” ini ketika dalam beberapa konferensi dan seminar di tanah air yang diselenggarakan perguruan tinggi dan ormas Islam mendapat pernyataan dan pertanyaan berbau sektarianisme bernada perang tentang ‘bahaya’ Syi’ah di Indonesia. Dengan nada seperti itu, komunitas-komunitas agama berbeda, khususnya Islam Indonesia—sudah dekat pada proxy war.
Kecenderungan meningkatnya pernyataan dan pertanyaan tentang subyek ini terlihat di tanahair sedikitnya dalam masa sepuluh tahun terakhir. Peningkatan itu juga lebih jelas bisa disimak di dunia maya. Banyak sekali situs memprovokasi umat beragama melakukan tindakan yang tidak lain adalah proxy war.
Nada proxy war bahkan sempat menyelinap dalam percakapan di sela-sela Muktamar Nahdlatul Ulama dan Muktamar Muhammadiyah awal Agustus 2015. Resonansi Azyumardi Azra
17
Meski pimpinan utama kedua ormas Islam telah dan terus menekankan pentingnya dialog dan rekonsiliasi Sunni-Syiah, tetap saja ada segelintir orang yang berbicara dengan nada proxy war.
Peningkatan sektarianisme bersemangat proxy war dewasa ini terkait banyak dengan terus meningkat kontestasi politik, ekonomi dan agama di antara Arab Saudi dengan Iran. Kontestasi ini bukan hal baru karena kedua negara telah terlibat dalam perebutan pengaruh selama lebih dari 30 tahun tidak hanya di dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya, tetapi juga di banyak bagian lain dunia Islam, dan bahkan juga di antara komunitas muslim yang berbeda etnis, tradisi sosial-budaya dan paham keislaman di Eropa dan Amerika Utara.
Pertarungan di antara kedua negara yang menghasilkan proxy wars di Timur Tengah dan Asia Selatan-Barat dalam masa kontemporer bermula sejak masa sukses revolusi Ayatullah Khomeini di Iran pada 1979. Keberhasilan ini mendorong pemerintah dan lembaga Iran mengekspor paham dan gerakan Syiah revolusioner guna menumbangkan rejim otokratik dan despotik di wilayah dunia muslim lain. Pada saat berbarengan Arab Saudi bangkit menjadi negara kaya ‘petro-riyal’ berkat eksploitasi minyak besar-besaran sejak akhir 1970an. Dengan dana melimpah, Saudi tidak hanya menjadi salah satu negara terkuat di Timur Tengah, tetapi juga meningkatkan usaha penyebaran paham dan praksis Wahabisme di wilayah dunia muslim lain dan di kalangan komunitas muslim di Barat.
Upaya kedua negara ini dalam penyebaran paham dan praksis Islam masing-masing ke lingkungan kaum muslimin lain dapat dilihat dengan peningkatan bantuan dana untuk pembangunan masjid, Islamic Center, sekolah dan perguruan tinggi dan pusat bahasa dan kebudayaan; penyediaan beasiswa untuk belajar di Saudi atau Iran; pengadaan literatur untuk perpustakaan; penyelenggaraan konferensi atau seminar dan seterusnya. Melalui berbagai program dan kegiatan semacam itu, kelompokkelompok muslim yang pro dan anti masing-masing negara juga menguat— meningkatkan pertarungan Syiah versus Wahabisme.
Upaya akselarasi penyebaran kedua aliran ini mengalami kemunduran (setback) Resonansi Azyumardi Azra
18
dengan terjadinya peristiwa besar seperti 9/11 pada 2001 di Amerika Serikat yang diikuti penyerbuan Afghanistan oleh AS dan sekutunya untuk menghabisi Taliban yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ‘Nine-Eleven’. Afghanistan yang sejak masa pendudukan Uni Soviet paroan kedua dasawarsa 1980-an menjadi ajang proxy wars di antara komunitas agama berbeda yang mewakili kepentingan sektarianisme keagamaan di negara-negara lain. Akibatnya sampai sekarang Afghanistan masih terjerumus dalam lubang kelam tanpa dasar (abyss).
Ambruknya negara-negara kuat di dunia Arab dan sejak jatuhnya Presiden Saddam membukakan ‘kotak pandora’ sektarianisme keagamaan sangat kompleks dan rumit. Ada konflik antara Sunni dan Syiah dan antara berbagai aliran Sunni atau Syiah. Sektarianisme keagamaan yang bersumber terutama dari kontestasi politik kian bernyala-nyala terkait pengalaman historis panjang konflik dan perang yang diberi justifikasi pemahaman dan praksis keagamaan tertentu. Situasi kacau seperti itu memudahkan masuknya ‘tangan-tangan’ negara lain yang menggunakan berbagai pihak terlibat konflik untuk kepentingan politiknya. Hasilnya adalah proxy wars yang terus berlanjut, yang melibatkan kelompok radikal semacam Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, al-Qaedah dan terakhir sekali ISIS.
Apakah Indonesia bisa terjerumus ke dalam proxy war seperti terjadi di negaranegara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan-Barat?
Resonansi Azyumardi Azra
19
Proxy War (2) 20 Agustus 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Apakah Indonesia bisa terkena imbas proxy war yang terus berkecamuk di negaranegara di dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya? Seberapa besar potensi munculnya proxy war di Indonesia umumnya dan intra-umat Islam Indonesia atau antar-agama di Indonesia?
KSAD Gatot Nurmantyo (kini Panglima TNI) berulang kali menyatakan tentang bahaya terjadinya proxy war di Tanah Air. Menurut Jenderal Gatot, cadangan energi dunia kini tersisa untuk 45 tahun saja. Karena itu, berbagai negara berlomba menguasai sumber energi yang kian langka. Ia melihat sekitar 70 persen konflik di dunia—yang sebagian menjadi perang terbuka—berlatarbelakang perebutan energi. Indonesia yang masih kaya dengan sumber alam juga menjadi sasaran perebutan. Karena kini tidak mungkin lagi dilakukan kolonialisasi, cara yang mereka tempuh adalah melalui proxy war.
Dalam konteks itu, menurut Panglima TNI Gatot Nurmantyo, beragam cara dilakukan dalam proxy war untuk menguasai Indonesia. “Mulai dari pembentukan opini untuk rekayasa sosial, perubahan budaya, adu domba TNI-Polri, pecah-belah partai, dan penyelundupan narkoba”, tegasnya.
Terlepas dari pernyataan yang khas bernada sekuriti, substansi pesannya sudah jelas. Indonesia yang demikian besar—yang di luar dugaan dan mispersepsi banyak kalangan asing—telah mampu bertahan mencapai 70 tahun kemerdekaan pada 2015. Meski masih ada potensi disintegrasi, misalnya terkait Papua, belum terlihat tanda dan indikasi meyakinkan tentang bahaya proxy war yang dapat menghancurkan Indonesia bersatu.
Resonansi Azyumardi Azra
20
Walaupun demikian, bahaya proxy war tetap harus diwaspadai. Bahaya itu terkait tidak hanya dengan perebutan sumber energi, peningkatan jumlah penduduk dunia, kerawanan cadangan pangan misalnya, tetapi juga dengan kehidupan keagamaan. Indonesia yang demokratis dan terbuka telah menjadi ruang terbuka lebar untuk kontestasi berbagai aliran agama—baik intra maupun antar-agama—yang jika tidak diwaspadai dapat menimbulkan proxy war.
Proxy war terkait sektarianisme aliran atau mazhab atau denominasi intra agama bukan tidak mungkin terjadi. Tidak ada agama mana pun di Indonesia atau tempat lain di muka bumi yang bersifat monolitik. Sebaliknya terdapat bermacam aliran dan denominasi seperti misalnya bisa terlihat dalam Islam Indonesia dan Kristen (Protestan) yang bisa terlibat dan kontestasi yang disponsori negara asing.
Agama yang disebut terakhir mengandung banyak denominasi atau gereja berorientasi transnasional. Ada gereja yang karena sejarah dan doktrin berorientasi ke negara-negara Eropa tertentu; juga ada yang berorientasi ke Protestanisme Amerika yang agresif. Kasus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara yang juga menutup Gereja Advent—selain menyerang jamaah muslim yang sedang shalat Idulfitri 1436--misalnya mengindikasikan kontestasi intra dan sekaligus antar-agama, yang memiliki warna transnasional yang mengandung warna proxy war.
Islam Indonesia juga jelas tidak monolitik, tetapi mengandung berbagai aliran paham dan praksis keislaman yang dalam batas tertentu berbeda satu sama lain. Meski ada perbedaan dan keragaman, umat Islam Indonesia hampir sepenuhnya mengikut Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah). Belakangan sejumlah kecil muslim Indonesia juga menganut pemahaman dan praksis keislaman Syiah.
Perbedaan dalam pemahaman dan praksis di kalangan Sunni terwujud dalam ormas-ormas Islam cukup banyak di negeri ini sejak dari Muhammadiyah, NU, Jami’at Khair, al-Irsyad, DDII, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, al-Khairat, Hidayatullah dan sebagainya. Masing-masing ormas memiliki sektarianisme tertentu dalam pemahaman dan praksis keagamaan, meski lebih terkait hal bersifat furu’iyyah (‘ranting’), bukan hal pokok (ushul).
Resonansi Azyumardi Azra
21
Meski ada perbedaan dalam soal furu’iyah, para pendukung ormas-ormas Islam arus utama (mainstream) beserta jutaan muslim Indonesia lain memegangi Islam wasathiyah—Islam jalan tengah yang inklusif, toleran dan damai. Tidak pernah terjadi konflik fisik yang lama dan luas di antara para anggota dan pendukung ormas-ormas jalan tengah satu sama lain. Islam Indonesia tidak memiliki sejarah perang sektarianisme keagamaan signifikan.
Walaupun demikian, ada pula kalangan Sunni Indonesia berorientasi transnasional yang berusaha mengubah tradisi Islam wasathiyah Indonesia. Mereka tergabung dalam berbagai kelompok salafi dan wahabi, jamaah tablig dan semacamnya. Walau mereka belum berhasil secara signifikan, tetapi pendekatan dan cara dakwah mereka bukan tak menimbulkan ketegangan dan konflik yang jika tidak diwaspadai dapat bermuara pada proxy war.
Kelompok-kelompok terakhir ini bahkan memiliki potensi besar terlibat proxy war dengan kaum Syiah Indonesia. Beberapa kasus kekerasan terhadap pengikut Syiah di Bangil dan Sampang Madura memperlihatkan adanya nuansa proxy war di antara Iran (Syiah) dan Arab Saudi (Wahabisme).
Kaum muslimin Indonesia sepatutnya mewaspadai bahaya proxy war bernuansa agama. Semestinya pula, kalangan kaum muslimin Indonesia tidak menjadi kaki tangan paham dan praksis keagamaan negara-negara lain; dan tidak menjadikan Indonesia sebagai kancah konflik dan kekerasan. Ini juga berlaku bagi kelompok aliran dan denominasi agama-agama lain di Tanah Air.
Resonansi Azyumardi Azra
22
Deklarasi Islam Tentang Perubahan Iklim 27 Agustus 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Bumi makin panas, sehingga makin banyak jumlah orang yang tewas karena kepanasan. Sebaliknya di belahan bumi lain, cuaca kadang-kadang sangat dingin sehingga juga menewaskan banyak manusia.
Musim kemarau dan musim hujan di kawasan seperti Indonesia juga terasa semakin tidak menentu. Begitu juga musim panas dan musim dingin di bumi belahan utara dan belahan selatan yang iklimnya terus berubah.Perubahan iklim bukan lagi wacana akademik ilmiah teoretis, tetapi juga sudah secara kasat mata melanda umat manusia di hampir seluruh penjuru dunia.
Karena itu, sangat tepat waktu belaka para pemimpin muslim dari sekitar 20 negara—termasuk Ketua MUI Din Syamsuddin dan Direktur Pusat Kajian Islam Universitas Nasional, Fachruddin Mangunjaya—mengeluarkan ‘Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim’. Bersama sejumlah pemimpin agama lain yang berkumpul di Istanbul, Turki, pekan lalu (17-18/8/2015) mereka sepakat tentang perlunya perhatian dan kepedulian bersama menghadapi masalah perubahan iklim.
Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim memaparkan ringkas berbagai gejala perubahan iklim secara cepat, seperti pemanasan global (global warming) dalam beberapa dasawarsa terakhir yang mengancam kelangsungan hidup manusia, dan lingkungan hidup secara keseluruhan. Deklarasi Islam mengutip banyak ayat alQur’an dan Hadits yang mengajarkan kepada kaum muslimin [dan umat manusia secara keseluruhan] untuk menjaga lingkungan hidup; tidak melakukan ‘kerusakan baik di langit maupun di muka bumi’, misalnya. Deklarasi juga mengemukakan bermacam Sunnah Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup. Resonansi Azyumardi Azra
23
Sumber kerusakan lingkungan yang menimbulkan perubahan iklim juga dikemukakan—hal yang sudah diketahui banyak kalangan masyarakat. Kerusakan alam bersumber terutama bersumber dari tingkat konsumsi tidak terkendali di negara-negara maju dan kaya (termasuk negara-negara muslim penghasil BBM fosil). Gaya hidup tidak peduli ini misalnya meningkatkan emisi gas, salah satu penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim.
Deklarasi Istanbul menyatakan, 1,6 miliar kaum Muslim turut memikul tanggung jawab menghadapi perubahan iklim. Karena itu, selain menghimbau negara-negara lain, Deklarasi juga menyeru negara-negara muslim kaya penghasil BBM fosil agar berusaha serius menghasilkan energi terbarukan menjelang pertengahan abad 21.
Selain itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim menyerukan agar negara-negara kaya meningkatkan bantuan keuangan pada masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim. “Negara-negara kaya memiliki kewajiban moral mengurangi konsumsi, sehingga kaum miskin dapat mengambil manfaat dari apa yang masih tersisa dari sumber alam yang tidak bisa terbarukan”.
Dalam konteks itu, Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim benar belaka. Terdapat dampak akumulatif perubahan iklim berlipat ganda di banyak negara muslim. Berbagai dampak akumulatif itu misalnya terlihat dengan kian seringnya terjadi banjir, longsor, kegagalan pertanian-peternakan, dan kian memburuknya kualitas lingkungan hidup.
Dampak akumulatif itu terkait dengan masih banyaknya kaum muslim miskin di berbagai negara di Asia dan Afrika. Konflik politik berkepanjangan yang terjadi di negara-negara tersebut membuat pembangunan dan perbaikan ekonomi tidak bisa terlaksana untuk memperbaiki keadaan.
Hasilnya, kaum miskin tidak berpendidikan dan keterampilan memadai berbondong pergi ke wilayah urban—melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Menduduki lahan di mana saja, di bantaran sungai, di bawah kolong jembatan dan tempat lain yang tidak layak dan kumuh; mereka melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan sesuap nasi. Resonansi Azyumardi Azra
24
Keadaan ini menimbulkan banyak dampak negatif lebih lanjut. Selain berlanjutnya kemiskinan, yang terjadi juga adalah perusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup di banyak negara muslim termasuk paling kotor di dunia, sejak dari lingkungan pemukiman sampai sungai. Meski Eropa dan Amerika Utara juga mengalami dampak perubahan iklim, tetapi lingkungan hidup, seperti pemukiman, taman, dan hutan tetap terpelihara baik; masyarakatnya rata-rata cukup disiplin, misalnya dengan tidak membuang sampah seenaknya.
Gejala ini juga terlihat jelas di Indonesia. Lingkungan hidup di negara ini termasuk salah satu yang paling rusak di antara negara-negara lain. Bahkan, Indonesia adalah salah satu di antara negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, terutama karena penebangan hutan—apakah resmi atau liar.
Jauh sebelum Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim dikeluarkan, MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa terkait penyelamatan lingkungan hidup. Misalnya ada Fatwa MUI No. 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan; Fatwa MUI No. 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Pencegahan Kerusakan Lingkungan; Fatwa No. 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem. MUI Pusat bahkan sejak 2010 memiliki Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.
Kenapa fatwa-fatwa itu nampaknya tidak efektif? Hal ini mengisyaratkan rendahnya kesadaran kaum muslimin Indonesia tentang perlunya penyelamatan lingkungan ekosistem guna mengurangi akumulasi dampak perubahan iklim. Inilah salah satu ‘pekerjaan rumah’ bagi setiap muslim yang peduli.
Resonansi Azyumardi Azra
25
Makkah al-Mukarramah (1) 08 Oktober 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Musim haji yang baru saja usai (1436 H/2015 M) menyisakan rasa duka pada para jamaah, khususnya keluarga-keluarga dari berbagai negara yang wafat dalam dua malapetaka yang terjadi di kota suci Makkah. Pertama, tumbangnya crane yang menewaskan lebih 107 jamaah termasuk 11dari Indonesia; dan kedua musibah tabrakan antarjamaah di Jalan 204 Mina yang mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa, termasuk sekitar 100 jiwa dari Indonesia.
Musibah demi musibah hampir selalu terulang dari tahun ke tahun. Meski Pemerintah Arab Saudi telah berusaha meningkatkan sarana dan fasilitas untuk penyelenggaraan prosesi ibadah haji, tetapi musibah yang mengorbankan banyak jiwa tetap saja terjadi.
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya kejadian mengenaskan itu. Pertama, SDM petugas Arab Saudi di lapangan yang tidak memadai secara kuantitas maupun kualitas. Mereka tidak berdaya atau tidak punya kreativitas, misalnya, untuk mengalihkan di antara arus jamaah haji yang pergi ke Jamarat dengan yang pulang sehingga tidak terjadi tabrakan.
Musibah juga terjadi karena ada jamaah haji yang lebih mengutamakan fadha'il (keutamaan) melontar Jamarat di pagi hari--waktu yang sebenarnya rawan dari sudut keamanan. Jamaah haji umumnya dalam kondisi fisik tidak sepenuhnya segar setelah berangkat dan wukuf di Arafah, dan selanjutnya pergi mabit di Mudzdalifahyang waktunya lebih afdal sampai selesai salat subuh untuk kemudian segera dilanjutkan dengan melontar Jamarat di Mina dalam waktu yang dipandang lebih utama. Resonansi Azyumardi Azra
26
Dalam kondisi fisik jamaah yang tidak kondusif--tapi didorong niat dan semangat melontar Jamarat pada waktu lebih afdal--tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri dan jamaah lain, mereka berdesak-desak dan kemudian bertabrakan di Jalan 204; saling dorong, jatuh dan terinjak-injak jamaah yang terus bergerak. Akibatnya, korban terus berjatuhan, termasuk di antara mereka adalah jamaah haji Indonesia yang tidak mematuhi jadwal melontar Jamarat sejak pukul 11.00 siang ke atas seperti telah ditetapkan Kementerian Agama dan sebaliknya ikut arus jamaah haji dari negara-negara lain yang mengejar waktu lebih utama.
Dalam konteks itu sangat menarik menyimak argumen Ziauddin Sardar tentang penyebab musibah demi musibah yang terjadi di Makkah, khususnya seputar prosesi melontar Jamarat. Simak insiden-insiden berikut: pada 1990 terjadi musibah tabrakan antarjamaah di Terowongan al-Mu'assim yang menewaskan 1.426 jiwa.
Selanjutnya, musibah terus berulang di kawasan Jamarat: pada 1994 dengan korban 270 jiwa; pada 1998 tewas 118; tahun 2001 tewas 35 orang; pada 2003 korban jiwa 14; tahun 2004 tewas 251; pada 2006 tewas 346; dan pada 2015 tewas lebih 1.000 jiwa.
Di samping itu, ada insiden-insiden lain yang mengorbankan banyak jamaah. Misalnya, kebakaran kemah pada 1975 yang menewaskan sekitar 200 jamaah dan pada 1997 yang menewaskan 343 jiwa. Lalu ada kejadian robohnya Hotel al-Ghaza yang menewaskan sekitar 76 jiwa.
Dalam buku Mecca: The Sacred City (2014), Sardar ber-hujah, penyebab malapetaka di sekitar kawasan Jamarat dan Mina yang mengorbankan banyak jamaah adalah buruknya perencanaan pembangunan besar-besaran (ill-conceived grandiose developments) di Makkah dan sekitarnya sehingga secara alamiah menyimpan potensi bahaya. Menurut Sardar, di antara musibah demi musibah, Pemerintah Arab Saudi membangun kembali wilayah Jamarat. “Tetapi kerangka dasarnya tetap sama, dan karena itu risiko dan bahayanya tetap sama,” tulis Sardar.
Sardar melihat penyebab musibah dan malapetaka yang terjadi di wilayah Jamarat dan Makkah secara keseluruhan ke akar-akar masalah yang jauh lebih dalam dan Resonansi Azyumardi Azra
27
lebih rumit, yang tidak pernah dibayangkan banyak orang. “Dengan pembangunan yang mengubah Makkah menjadi Disney Land berdasarkan visi buruk Saudi tentang modernitas, Tanah Suci jelas bakal menjadi situs permanen bencana, satu bencana besar yang saya prediksikan terjadi setiap tiga tahun."
Jika Sardar mengkritik keras pembangunan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi selama bertahun-tahun, khususnya sejak awal dasawarsa 1970-an, ia memiliki latar belakang riset yang cukup kuat. Ia pernah bekerja selama lima tahun (1974-1975) di Pusat Riset Haji yang didirikan Sami Angawi, arsitek asal Makkah (orang Hijazi) bersama seorang intelektual Hijazi lain, Abdullah Nassef, penyandang gelar PhD dalam geologi dari universitas di Inggris. Pusat Riset Haji bertujuan menyelamatkan Makkah dari “pembantaian” modernitas telanjang (onslaught naked modernity). Angawi yakin, penggunaan teknologi semena-mena secara radikal telah mengubah Makkah, Madinah, dan Jeddah. Dana dalam jumlah astronomis digelontorkan untuk mengubah Makkah menjadi semacam Houston, Amerika Serikat, di mana banyak menteri dan pejabat tinggi Pemerintah Saudi menghabiskan banyak waktu untuk studi lanjutan.
Sardar yang berkolaborasi erat dengan Angawi dan Nasseef sejak masa mahasiswa dan bekerja sama dalam Pusat Riset Haji, tidak heran bersikap kritis. Dia adalah salah satu dari sedikit intelektual muslim internasional yang berani bersikap kritis.
Maka, Sardar menyesali mengapa begitu sedikit orang yang mau berdiri tegak dan mengkritik secara terbuka kebijakan resmi Pemerintah Arab Saudi tentang pembangunan Tanah Suci. Kebanyakan negara-negara muslim terlalu terlalu takut pada Saudi--khawatir kalau jumlah kuota haji mereka dikurangi jika kritis.
Resonansi Azyumardi Azra
28
Makkah Al-Mukarramah (2) 15 Oktober 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Mecca: The Sacred City (2014) karya Ziauddin Sardar adalah buku mutakhir tentang Makkah. Buku yang cukup massif (xxxviii+408 halaman) dan komprehensif mengungkapkan sejarah Makkah sejak masa paling awal sampai tahun-tahun awal dasawarsa 2010-an. Karena itu, pembaca dapat melihat berbagai peristiwa penting-apakah menggembirakan maupun mengenaskan-- yang terjadi sepanjang sejarah Makkah, khususnya Masjidil Haram dan lingkungannya.
Sardar, penulis produktif yang telah menghasilkan lebih 50 buku termasuk Desperately Seeking Paradise, kini adalah direktur Pusat untuk Kajian Post-Normal dan Masa Depan dan juga direktur Muslim Institute di London. Bukunya Mecca: The Sacred City dapat dikatakan menampilkan semacam ‘sejarah sosial keagamaan dan politik’ Makkah; karya ini bukanlah tentang sejarah keulamaan dan pemikiran Islam yang berkembang di Makkah.
Kota suci Makkah dalam perjalanan historisnya tidak hanya menjadi pusat ibadah -sejak masa Islam menjadi pusat ibadah haji-- tetapi juga menjadi lokus kontestasi dan pertarungan politik di antara kuasa-kuasa politik berbeda, dan juga kelompok aliran keagamaan yang berlainan paham. Sebab itu pula, riwayat Makkah sebagai Kota Suci Islam tidak selalu menggembirakan. Meski demikian, kecintaan kaum muslimin tidak pernah berkurang --apalagi pudar-- pada Kota Suci ini bersama dengan Madinah dengan Masjid Nabawi-nya. Menurut riwayat, Ka’bah yang menjadi episentrum (titik pusat) Makkah didirikan Nabi Ibrahim pada tahun 1812-1637 SM (Sebelum Masehi). Kemudian pada tahun 168-90 SM, adanya Ka’bah di Makkah sudah dicatat sejarawan Yunani Diodorus Siculus Resonansi Azyumardi Azra
29
dalam karyanya Bibliotheca Historica, dan disebut warga Roma-Mesir Claudius Ptolemy dalam karyanya Geography.
Singkat riwayat, pada tahun 100-250 M, Makkah dikuasai kabilah Jurham Yaman, dan pada tahun 250-380 M, Kota Suci ini dikuasai Kabilah Khuza. Baru pada tahun 400 M kaum Quraysh berhasil menguasai Makkah yang kemudian pada 552 M gagal ditaklukkan Abrahah. Lahir pada 570 M, Muhammad SAW muda turut membantu kaum Quraysh membangun ulang Ka’bah pada 605 M.
Sepanjang masa pasca-Nabi Muhammad, Dinasti Umayyah sejak 661 M dan Dinasti Abbasiyah pada tahun 747-750 dan 779-785 memperluas Masjidil Haram. Di selasela masa pengembangan itu, pada 681-692 Ibn Zubayr yang memberontak Dinasti Umayyah berhasil menguasai Makkah.
Salah satu malapetaka terburuk dalam sejarah Makkah adalah ketika kaum Qarmatiyah yang ultrapuritan menyerbu Makkah pada 930. Kaum Qarmati yang berasal dari Afrika Utara membunuh banyak jamaah haji, menjarah Ka’bah, dan melarikan Hajar Aswad --yang berhasil dikembalikan setelah 30 tahun pada 950951.
Sejak tahun 590, penguasa Makkah adalah Syarif yang berada di bawah kuasa sultan-sultan Dinasti Mamluk di Mesir atau Suriah. Kemudian, sejak 1495, Makkah berada di bawah kuasa Dinasti Usmani; dan pada 1520-1566, Sultan Sulayman alQanuni memperbaiki dan memperluas Masjidil Haram. Musibah terjadi pada 1629 ketika Ka’bah hanyut dibawa banjir bandang dan dibangun ulang oleh Sultan Murad IV. Malapetaka kembali terulang (1630-1631) ketika pasukan Usmani yang memberontak kekuasaan Istanbul berhasil menduduki Makkah dan pada saat yang sama, lagi-lagi Ka’bah dihancurkan banjir bandang yang kemudian segera dibangun kembali oleh penguasa Dinasti Usmani.
Kuasa Arab Saudi sekarang ini --bermula sejak 1790 ketika pertikaian merebak antara penguasa Makkah, Syarif Ghalib ibn Masaad dengan kaum Wahabi di bawah pimpinan Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan Muhammad ibn Saud. Pada Resonansi Azyumardi Azra
30
1803, Syarif Ghalib menyerahkan Kota Suci secara resmi kepada penguasa Wahhabi, tetapi pihak terakhir ini mampu menguasai Makkah. Barulah setelah mengepung kembali Makkah dengan pasukan besar sejak 1805, Makkah akhirnya pada 1806 berhasil dikuasai kaum Wahhabi sepenuhnya.
Namun, penguasa Wahhabi tidak bisa bertahan lama. Pada 1813, Toulun, putra Muhammad Ali, Pasha Mesir yang diangkat Sultan Dinasti Usmani, berhasil mengalahkan kekuatan Wahhabi. Penaklukan ini dituntaskan Muhammad Ali Pasha dengan memimpin sendiri pasukan yang memasuki Makkah pada 1815.
Tahap sejarah paling menentukan sejarah Makkah adalah ketika pemimpin Wahhabi, ‘Abd Aziz ibn Saud pada 1926 mendeklarasikan diri sebagai Raja Hijaz. Ia kemudian memperluas kekuasaannya dengan mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1932.
Pada tahun 1955-1964, Pemerintah Arab Saudi pertama kali memperluas Masjidil Haram yang dilanjutkan tahap II pada 1982-1988; dan tahap III pada 1988-2005, dan terakhir sejak 2011 tahap IV yang bakal menambah kapasitas Masjidil Haram untuk bisa menampung sedikitnya dua juta jamaah sekaligus.
Di tengah berbagai perubahan sepanjang sejarah, gejolak agama dan politik, dan kian membanjirnya jumlah jamaah dari tahun ke tahun, Sardar menyatakan bahwa Makkah berubah secara sangat cepat. Tetapi, Makkah juga membeku ketika keragaman budaya; pluralitas keagamaan; pembangkangan politik; pencapaian intelektual dan seni tidak eksis --karena tidak selaras dengan ideologi politik-keagamaan resmi Arab Saudi.
Resonansi Azyumardi Azra
31
Makkah Al-Mukarramah (3) 22 Oktober 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Makkah, kota suci yang dimuliakan. Meski diyakini sakral, kota ini tidak luput dari berbagai ironi dan kontradiksi sepanjang sejarahnya. Ziauddin Sardar dalam karyanya, Mecca: The Sacred City (2014), menyatakan, kontradiksi itu kian meningkat di masa modern-kontemporer.
Ironi dan kontradiksi itu bisa dipastikan tidak dirasakan atau luput dari pengamatan para jamaah umumnya. Mereka ini datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji atau umrah atas dorongan semangat keagamaan; mereka datang dengan kesyahduan tanpa sempat berpikir panjang tentang apa yang sesungguhnya telah dan tengah berlangsung di lingkungan Masjid al-Haram.
Tetapi bagi pengamat atau peneliti seperti Sardar, kontradiksi itu bisa terlihat di mana-mana. Ini, misalnya, bermula dari nama “Mecca” yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris sebagai 'istilah generik yang berarti destinasi terakhir'; atau 'sebuah magnet yang menarik orang-orang dalam jumlah besar'; atau 'pusat kegiatan untuk orang-orang dengan minat yang sama'; atau 'tempat tertentu yang menarik kumpulan orang-orang tertentu atau dengan minat tertentu'.
Dalam pengertian seperti itu, dalam bahasa Inggris bisa ditemukan, misalnya, 'Los Angeles is the Mecca of show business' atau 'Paris is the Mecca of chic fashion'. Penggunaan nama dan istilah “Mecca” ini dengan demikian kian menjauh dari makna dan konotasi aslinya.
Karena itulah sejak akhir 1980 Pemerintah Arab Saudi mengganti penulisan nama kota suci ini menjadi Makkah atau lengkapnya Makkah al-Mukarramah. Meski penulisannya telah diubah, tetap saja “Mecca” dalam wacana internasional Resonansi Azyumardi Azra
32
digunakan dalam konotasi yang tidak selalu positif.
Sementara itu, kontradiksi lain terus berlanjut. Salah satu yang paling substantif berkenaan dengan makna ibadah haji dan lingkungan yang mengitarinya di Makkah. Ibadah haji sangat menekankan kesetaraan di antara jamaah haji yang datang dari berbagai negara dengan latar belakang sosial-ekonomi dan budaya yang beragam.
Jamaah haji yang pejabat dan konglomerat setara dengan mereka yang melarat yang menabung bertahun-tahun agar dapat menunaikan ibadah haji. Kesetaraan itu tecermin dalam dua potong pakaian ihram sederhana berwarna putih yang dikenakan para jamaah.
Tetapi kesetaraan dan kesederhanaan dalam ibadah haji itu kontradiktif dengan lingkungan pelaksanaan ibadah haji. Sejak 1980-an, khususnya lingkungan Makkah terus berubah secara cepat dengan kian banyak gedung-gedung pencakar langit yang seolah berlomba satu sama lain memenuhi kaki langit Makkah dan sekaligus melingkari atau bahkan seolah mengangkangi Masjid al-Haram dengan Ka'bahnya.
Gedung-gedung jangkung yang ini tidak bisa lain mengingatkan orang dengan gaya hidup konsumeristik dan hedonistik di banyak bagian dunia lain. Dalam 10 tahun ini sekitar 130 gedung pencakar langit sudah dan sedang diselesaikan pembangunannya.
Hasilnya, begitu keluar dari Masjid al-Haram, jamaah bisa segera menemukan kompleks hutan beton pencakar langit. Konglomerasi sejumlah bangunan dalam satu kompleks yang menyatukan hotel, mal, dan fasilitas lain terbesar di dunia kini bisa ditemukan bukan di Manhattan, New York City, tetapi malah di Makkah, seperti misalnya di kawasan Abraj al-Bayt. Dalam kawasan ini juga terdapat Menara Jam Makkah (setinggi 601 meter) yang berdiri lebih belakangan dengan merobohkan Benteng Ajyad yang didirikan penguasa Dinasti Usmani pada abad 18.
Di lingkungan Menara Jam Makkah Abraj al-Bayt juga ada hotel mewah semacam Fairmont Hotel dan Resort. Sebelumnya, tidak kurang dari 12 hotel mewah baru dibangun di kawasan terdekat Masjid al-Haram. Mereka umumnya hotel jaringan Resonansi Azyumardi Azra
33
kapitalisme dan liberalisme ekonomi-pasar internasional semacam Hyatt, Marriott, atau Hilton.
Karena itu, jamaah haji Indonesia yang umumnya jamaah ONH (bukan ONH khusus atau dulu disebut “ONH plus”) hanya bisa menempati hotel-hotel yang kian jauh dari Masjid al-Haram--terlalu jauh untuk bisa ditempuh berjalan kaki. Dana ONH yang jumlahnya pas-pasan untuk biaya perjalanan dan penyelenggaraan yang mereka setor ke Kementerian Agama, sangat jauh daripada mencukupi untuk bisa tinggal di hotel-hotel mewah (atau bahkan supermewah) yang ada di sekeliling Masjid alHaram.
Selain itu, Pemerintah Arab Saudi pada dasarnya membangun kembali Masjid alHaram dengan membuldozer seluruh bangunan masjid lama. Dengan begitu, melenyapkan bagian tertua tersisa dari masjid ini, yang dibangun secara berkelanjutan oleh para penguasa Dinasti Usmani sejak 1553 di masa Sultan Sulayman dan sultan-sultan berikutnya.
Penghancuran sejarah. Sejak 1980-an sekitar 95 persen atau sekitar 400 situs sejarah dan budaya sejak masa Nabi Muhammad dan para sahabat telah dihancurkan Pemerintah Arab Saudi atas nama peningkatan fasilitas ibadah haji. Penghancuran tersebut disertai dengan pengalihan fungsi yang tidak masuk akal; misalnya, di atas rumah Siti Khadijah, istri Nabi, kini berdiri sejumlah blok toilet; di atas bekas rumah sahabat Abu Bakar menjulang Hotel Hilton, dan banyak lagi.
Di sini kembali terdapat kontradiksi pahit. Pada satu pihak, Pemerintah Saudi terus menghancurkan monumen sejarah dan budaya teramat penting bagi Islam, dunia muslim, dan peradaban dunia. Tetapi pada pihak lain, rezim Saudi dalam waktu yang sama terus membangun sejarahnya sendiri yang hasilnya kontradiktif dengan makna dan pesan ibadah haji itu sendiri.
Resonansi Azyumardi Azra
34
Kebebasan Berekspresi dan Respek pada Agama 29 Oktober 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama termasuk di antara sejumlah kebebasan lain yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat bagi adanya kebebasan beragama, yakni mengimani, mempraktikkan, dan menyiarkan agama.
Tetapi bagi sebagian kalangan di Eropa dan di Amerika Utara, kebebasan berekspresi dan sejumlah kebebasan lain terlihat mengkhawatirkan. Kasus terakhir yang sering dikutip adalah serangan beberapa muslim terhadap kantor majalah satiris Prancis Charlie Hebdo beberapa waktu lalu.
Menghadapi kejadian tidak menyenangkan ini, pertanyaannya adalah apakah mungkin menjamin kebebasan berpendapat dan pada saat yang sama tetap memberikan penghargaan kepada agama? Bagaimana demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang terkait satu sama lain dapat berjalan lebih harmonis?
Masalah dan isu tentang peristiwa terkait dengan kejadian, wacana, dan persepsi yang berkembang menjadi salah satu tema pokok dalam "Warsaw Dialogue for Democracy (WDD)", Warsawa, Polandia (22-24/10/2015). Penulis “Resonansi” ini mendapat kesempatan baik turut berbicara pada Panel III WDD tentang "Freedom of Expression and Respect for Freedom of Religion or Belief".
Resonansi Azyumardi Azra
35
Menurut penulis, terkait peristiwa Charlie Hebdo dan sejumlah kasus lain seperti kartun koran Denmark Jyllen Posten, Islam dan kaum muslim secara ngebyah uyah sering dipersepsikan di Barat sebagai dogmatis, tidak toleran, dan tidak cocok dengan kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan lain yang dinyatakan dalam DUHAM.
Persepsi ini tidak sepenuhnya salah. Banyak negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika memiliki catatan buruk tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Tidak kurang memprihatinkan, banyak negara muslim, khususnya di dunia Arab, terus menunjukkan defisit demokrasi. Gelombang demokrasi yang lazim disebut sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab) kini malah berganti dengan Arab Winter (Musim Dingin Arab) ketika transisi dan konsolidasi demokrasi terlihat kian menjauh.
Negara-negara ini sejak dari Libya, Mesir, Yaman atau Suriah terus mengalami gejolak kekerasan dan perang --instabilitas politik yang mengakibatkan eksodus pengungsi dari Suriah, Libya, Irak, dan Afghanistan ke Eropa. Hanya Tunisia yang berhasil melakukan transisi damai dan konsolidasi demokrasi.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan ajaran Alquran yang menjamin kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Begitu juga dengan praktik Nabi Muhammad SAW yang ketika menjadi pemimpin negara Madinah menerapkan Piagam Madinah yang memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama kepada kaum muslim maupun Yahudi --dengan demikian mencakup golongan non-muslim lain. Lebih jauh, menurut penulis “Resonansi” ini di depan audiens WDD, ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak teraktualisasinya kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan lain sesuai DUHAM, dan juga merajalelanya defisit demokrasi di negara-negara tersebut.
Pertama adalah sistem politik. Sejak masa pasca-Perang Dunia II banyak negara berpenduduk mayoritas muslim berada di bawah kekuasaan otoritarianisme rezimrezim militerisme, tribalisme, teokrasi, dan oligarki keluarga. Sampai muncul gelombang demokrasi sejak akhir 2010, rezim-rezim penguasa melakukan represi Resonansi Azyumardi Azra
36
terhadap warganya. Kekerasan atas nama negara mendapat tantangan dari aktor non-negara, yakni kelompok islamis radikal yang melakukan aksi kekerasan dan terorisme. Hasilnya adalah lingkaran kekerasan dan teror yang tidak bisa dihentikan.
Faktor kedua adalah kuatnya sektarianisme agama, kabilah, dan politik. Sektarianisme ini terjadi di antara sesama kaum Sunni atau sesama kaum Syi’i atau di antara kaum Sunni umumnya dengan kaum Syi’i. Lingkaran sektarianisme ini juga seolah tidak bisa diakhiri, bahkan sebaliknya meningkat di Suriah dan Yaman. Masing-masing pihak didukung negara; golongan Sunni didukung Arab Saudi dan Qatar khususnya, sedangkan kaum Syi’i didukung Iran.
Dalam keadaan seperti itu, faktor ketiga adalah absennya civil society (masyarakat madani atau masyarakat sipil) yang mutlak untuk menjadi kekuatan pengimbang dan sekaligus sebagai mediasi antara negara dan masyarakat luas. Civil society telah sepenuh dikooptasi negara dan tercerai berai.
Tidak ada cara instan untuk memperbaiki keadaan. Tetapi jika kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama dan demokrasi bisa berjaya, konsolidasi demokrasi menjadi keharusan --meski memerlukan waktu lama. Begitu juga revitalisasi masyarakat madani mutlak dilakukan.
Tak kurang pentingnya adalah mengurangi sektarianisme agama dengan mengembangkan Islam wasathiyah --Islam jalan tengah yang inklusif, akomodatif, dan toleran baik intra-Islam maupun antaragama.
Dalam sesi penutup, Mr Wojciech Ponikiewski, direktur untuk Urusan PBB dan HAM Kemenlu Polandia menyimpulkan, kebebasan berekspresi seyogianya terus dijaga bersamaan dengan penguatan rasa hormat kepada agama. Karena itu, penggunaan kebebasan berekspresi untuk melecehkan agama merupakan tindakan kontraproduktif.
, 06:00 WIB
Resonansi Azyumardi Azra
37
Milan 26 November 2015
Azyumardi Azra REPUBLIKA.CO.ID
“Do you know Mister Thohir?”. Massimo, pelayan Ristoranti Pizzeria Marruzella Milan bertanya kepada penulis “Resonansi” ini ketika 8 November 2015 sedang menikmati pizza asli Italia—bukan pizza Amerika semacam Pizza Hut atau Domino Pizza yang lazim ditemukan di beberapa kota besar Indonesia. Belum sempat saya menjawab pertanyaan, dia langsung menambahkan: “You know, Mr Thohir is now the owner of Internazionale Milan. We are very happy that Inter play better now and at the top of the table”.
Massimo, sang waiter cukup fasih berbahasa Inggris—di atas rata-rata orang Italia yang kalau ditanya dalam bahasa Inggris dijawab dengan bahasa Inggris patahpatah atau bahasa Italia atau bahkan bahasa isyarat. Saya sering mengalami keadaan ini ketika kesasar di jalanan Milan dan bertanya pada seorang perempuan yang sedang mengajak anjingnya jalan-jalan. Perempuan ramah dan bersahabat ini menjawab dengan bahasa Italia tambah ‘bahasa Tarzan’. Tapi saya cukup mengerti dan bisa menemukan jalan.
Kembali kepada pertanyaan Massimo, saya tentu saja tahu yang dia maksudkan dengan ‘Mister Thohir’ adalah Erick Thohir, pengusaha muda yang sangat aktif dalam dunia olahraga—khususnya sepakbola—dan juga media massa. Saya jawab pertanyaan itu dengan menyatakan; tentu saja saya mengenal baik Mister Thohir dalam waktu yang cukup lama.
Saya bercerita lebih lanjut, saya ketemu Mister Thohir di Milan pada 30 Januari 2015, persisnya di atas pesawat Singapore Airlines yang terbang dari Bandara Milan menuju Singapura dan terus ke Jakarta. Dalam pertemuan yang tidak terduga itu Resonansi Azyumardi Azra
38
kami sempat mengobrol tentang Inter, dunia sepak bola dan juga media massa.
Saya sering mendapat pertanyaan serupa dalam beberapa kali kesempatan ke Italia—Milan dan Roma—sepanjang 2014 dan 2015. Di lingkungan ibukota Roma dan kawasan Vatikan yang merupakan pusat hierarki Katolik, selalu saja ada orang yang mengaku pendukung fanatik Inter yang mengajukan pertanyaan sama. Sebagai warga Indonesia yang juga hobi nonton sepakbola—termasuk Lega Calcio—saya merasa senang dan bangga Indonesia juga kian dikenal di Italia dan Vatikan melalui tim sepakbola Inter Milan yang selama di tangan Erick Thohir meningkat kembali prestasinya.
Inter Milan sedang berubah ke arah lebih baik. Tapi berbeda dengan perkembangan Inter, Kota Milan justru tengah berubah ke arah yang tidak menyenangkan. Meninggalkan Milan kembali ke Jakarta pada hari yang kemudian ternyata menjadi tragedi pemboman Paris (13/11/15), penulis “Resonansi” ini belakangan mengetahui kota fesyen ini juga menjadi salah satu target teroris.
Sejauh ini ancaman terorisme terhadap Milan belum terbukti. Setiap manusia berperikemanusiaan wajib berharap atau berdoa agar terorisme—yang sudah mengorbankan begitu banyak orang tidak tahu apa tentang agenda kelompok teroris—tidak lagi terjadi; apakah di Milan, di tempat lain di Eropa atau juga di Indonesia yang juga mendapat ancaman ISIS pekan lalu.
Milan tengah berubah. Ketika menjelang akhir Januari 2015 datang ke Milan, saya tidak melihat sesuatu agak ganjil di kota ini. Tetapi dalam kedatangan kedua tahun ini, November lalu, saya menyaksikan banyak pengemis—laki-laki dan perempuan— mengemis di pinggir jalan, di depan supermarket, di gerbang pintu masuk Metro (kereta bawah tanah) dan di lingkungan kampus. Banyak juga pengasong yang menjajakan dagangan seadanya.
Para pengemis dan penjual asongan ini umumnya berwajah Afrika dan Timur Tengah. Mereka pengungsi atau migran yang meningkat jumlahnya di berbagai negara Eropa sejak musim panas 2015. Mereka datang dari Libya, Tunisia, Syria, dan Iraq untuk menyelamatkan diri dari kecamuk kekerasan dan terorisme akibat Resonansi Azyumardi Azra
39
konflik dan perang saudara di tanah air mereka. Menyeberangi Laut Tengah mereka menuju pulau atau pantai Italia dan Yunani. Tidak sedikit di antara mereka tak pernah sampai ke tempat tujuan—tenggelam di tengah laut.
Membanjirnya pengungsi atau migran kian tidak selalu welcoming—alias disenangi masyarakat lokal. Meski orang Italia umumnya bersikap bersahabat—seperti dikatakan Mr Thohir kepada saya—tapi kian banyak kalangan masyarakat menggerutu. Ada kalangan mahasiswa dan dosen di lingkungan Universitas Katolik Hati Suci Milan yang menyesalkan banjir migran—membuat kekumuhan baru di kota mereka. Selain itu mereka juga menambah beban ekonomi bagi Italia yang mengalami kesulitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.
Banjir migran juga menyebabkan memburuknya citra Islam dan muslim. Dalam percakapan dengan sejumlah kalangan, banjir migran adalah akibat kegagalan kaum muslim di kawasan Afrika Utara dan Dunia Arab menyelesaikan masalah secara damai. Konflik, kekerasan, dan terorisme yang terus terjadi di berbagai tempat kawasan ini menjadi faktor pendorong bagi warga untuk meninggalkan tanah air mereka.
Karena itu, sudah saatnya para penguasa, politisi dan aktivis di kawasan-kawasan tersebut melakukan muhasabah untuk kemudian mengoreksi kekeliruan yang menyebabkan terjadinya berbagai bencana kemanusiaan. Jika tidak, bukan hanya Milan, tetapi juga kota-kota lain di Eropa menjadi lokus peningkatan sikap anti-Islam dan anti-muslim.
Resonansi Azyumardi Azra
40
Kerukunan, Kekerasan, dan Terorisme 31 Desember 2015
Oleh : Azyumardi Azra REPUBLIKA.CO.ID
Kerukunan intra dan antar-umat beragama merupakan agenda yang tak kunjung selesai. Meski Indonesia secara umum adalah negara di mana kerukunan umat beriman yang berbeda aliran, mazhab, denominasi dan agama cukup baik, perkembangan di dalam dan luar negeri bukan tidak sering memunculkan tensi, konflik, kekerasan dan bahkan terorisme atas nama agama.
Dalam waktu empat tahun terakhir dapat dikatakan tidak terjadi peristiwa kekerasan atau terorisme berskala besar. Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten terjadi empat tahun lalu (6/2/2011). Begitu juga bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon (Jumat 15/4/2011). Lalu ada kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang Madura (26/8/2012).
Selain itu ada kasus Gereja Yasmin Bogor yang penyelesaiannya belum diterima semua pihak; lalu ada insiden Tolikara ketika massa Gereja Injili di Indonesia (GIDI) membubarkan jamaah muslim yang sedang salat Idul Fitri (17/7/2015) dan pembakaran gereja di Singkil (13/10/2015).
Semua kasus yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama berbeda itu dapat disebut sebagai isolated cases—kasus-kasus terpencil; bukan merupakan gejala umum yang berlaku di seluruh tanah air. Kasus-kasus itu lebih merupakan letupan terkait situasi lokalitas tertentu sehingga tidak menyebar ke wilayah lain di tanah air. Karena itu pula, secara umum dapat dikatakan kekerasan atas nama atau bermotif agama menurun cukup signifikan.
Resonansi Azyumardi Azra
41
Keadaan ini juga terlihat dari kesimpulan temuan Pusdiklat Kehidupan Agama, Balitbang-Diklat yang diumumkan dan diekspos pada 22/12/15 lalu. Penelitian menemukan secara umum terjadi peningkatan tingkat kerukunan di berbagai provinsi Indonesia. Walaupun demikian, jelas masih terdapat sejumlah ‘titik panas’ (hot spots) di beberapa kota atau kabupaten seperti tercermin dalam laporan Indeks Toleransi (16/11/2015). Di kawasan kota atau kabupaten ini masih terdapat masalah tertentu yang mengganggu kerukunan baik intra maupun antar-agama.
Dalam skala lebih serius, ancaman terhadap kerukunan atau bahkan stabilitas sosial-politik Indonesia datang dari warga Indonesia yang tergabung dalam kelompok, sel atau simpatisan IS (ISIS). Dalam silaturahim dengan para pimpinan ormas dan tokoh Islam yang diprakarsai Wakil Presiden Jusuf Kalla (16/12/15), terungkap ada sembilan kelompok atau sel di berbagai tempat di Tanah Air yang aktif mendukung IS.
Menurut Kapolri Jenderal Polisi Badroddin Haiti, warga terindikasi terkait dengan IS di seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang; kelompok inti 543, pendukung 246 dan simpatisan 296 orang. Lalu ada 408 warga Indonesia yang sudah atau terindikasi bakal bergabung dengan IS. Dari jumlah itu, tewas di IS 54 orang; kembali ke Indonesia 47, dan rencana berangkat 70 orang.
Mereka ini, khususnya yang sudah kembali sebagai veteran atau bakal kembali nanti potensial melakukan kekerasan atau aksi teror sebagai bukti loyalitas mereka kepada IS. Mereka dapat memanfaatkan momentum tertentu seperti suasana liburan keagamaan akhir dan penggantian tahun untuk melakukan aksi. Indonesia patut mewaspadai kemungkinan ini, karena Indonesia sejauh ini terhindar dari aksi kekerasan atau terorisme terkait IS.
Menghadapi gejala cukup mencemaskan terkait IS, Wakil Presiden menyatakan pemerintah dan aparat kepolisian dan keamanan memilih ‘pendekatan lunak’ (soft approach) dari ‘pendekatan keras” (hard approach). Para pimpinan ormas Islam sepakat dengan pendekatan lunak; pemerintah dan aparat keamanan perlu bertindak tegas tapi harus tetap terukur. Pendekatan keras bisa memunculkan
Resonansi Azyumardi Azra
42
lingkaran kekerasan dan dendam yang sulit diakhiri. “Menghadapi kekerasan dan terorisme tidak bisa dengan aliansi militer,” tegas Wapres Jusuf Kalla.
Karena itu, penguatan kerukunan dan pencegahan kekerasan dan terorisme memerlukan pendekatan komprehensif. Dari sudut negara, Indonesia harus tetap mampu memelihara stabilitas politik, ekonomi dan sosial. Alasannya jelas, kekerasan dan terorisme seperti membiak di Timur Tengah bersumber dari negara gagal (failed states) yang tidak mampu menciptakan ketidakstabilan politik. Di sini ini pemerintah Indonesia berkewajiban menciptakan keadilan ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Kegagalan menciptakan keadilan menjadi sumber utama keresahan dan pergolakan sosial dan politik.
Instabililitas politik karena berbagai faktor domestik maupun luar—seperti penyerbuan AS dan sekutu ke Iraq—mendorong radikalisasi terutama di kalangan mereka yang disebut Jusuf Kalla sebagai ‘anak-anak muda pemarah’ (angry young people). Banyak di antara mereka semula tidak akrab dengan agama, tetapi kemudian melalui cuci otak dan indoktrinasi tertentu mengalami radikalisasi—siap melakukan kekerasan dan terorisme.
Dalam konteks terakhir ini, ormas Islam yang memiliki jangkauan anggota, lembaga dan jaringan sampai ke tingkat akar rumput berkewajiban senantiasa meneguhkan pemahaman dan praksis Islam wasathiyah yang inklusif, toleran dan damai. Tak kurang pentingnya, seperti ditegaskan Ketua Umum PB NU, KH Agil Siroj, perlu penguatan kepaduan keislaman dan keindonesiaan. Kepaduan Islam dengan nasionalisme Indonesia merupakan faktor penting untuk memelihara Indonesia yang rukun, damai, dan berkeadaban.
Resonansi Azyumardi Azra
43
KAJIAN KEISLAMAN DAN KEAGAMAAN
Resonansi Azyumardi Azra
44
PISAI, Islam, dan Paus Francis (1) 29 Januari 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Pasca-penyerangan Charlie Hebdo, bisa dipastikan Islam dan kaum muslim di Eropa menghadapi terjadinya peningkatan kecurigaan dan sikap bermusuhan di kalangan masyarakat lokal. Hal ini terutama bersumber dari pandangan dan sikap hegemonik masyarakat Eropa bahwa pemuatan karikatur, penerbitan dan pernyataan yang melecehkan orang, kelompok orang, figur agama, pemimpin politik dan agama tertentu merupakan ekspresi kebebasan berpendapat yang tidak dapat dikompromikan.
Dengan sikap dasar seperti itu, pandangan di kalangan masyarakat Eropa lain yang menganggap pelecehan agama dan pribadi tertentu sebagai sikap semena-mena dan tidak bertanggungjawab nyaris seperti ‘batu jatuh ke lubuk’. Kalangan masyarakat Eropa dan bagian dunia lain yang berpendapat seperti ini juga mengecam keras aksi teror dalam bentuk apapun—termasuk ke kantor Charlie Hebdo dan pasar swalayan di Paris. Namun pada saat yang sama bagi mereka kebebasan berekspresi semestinya disertai dengan sensivitas dan tanggung jawab.
Pembicaraan tentang isu ini sedikit banyak turut mewarnai Konferensi Tahun Emas 50 Tahun (Golden Jubilee) Pontificio Instituto di Studi Arabi e d’Islamistica (atau dalam bahasa Inggris, Pontifical Institute for the Study of Arab and Islam—Institut Kepausan untuk Kajian Arab dan Islam) di Roma pada 22-24/1/2015. Menjadi pembicara dalam Konferensi PISAI 50 Tahun, penulis “Resonansi” ini untuk ketiga kalinya kembali ke PISAI sejak pertama kali datang pada Juli 2006 ketika menyampaikan kuliah umum bertajuk ‘Indonesian Muslims: Movements and Organizations’.
Menyimak kiprah PISAI sejak pertengahan dasawarsa awal 2000-an, PISAI Resonansi Azyumardi Azra
45
merupakan lembaga pendidikan tinggi terpenting untuk kajian Islam dan masyarakat muslim di lingkungan umat kristiani Eropa—tidak hanya Katolik tapi juga Kristen (Protestan). Hampir tidak ragu lagi, PISAI memainkan peran penting dalam menghasilkan sejumlah pastur, fungsionaris berbagai lembaga Katolik maupun sarjana independen—termasuk muslim—yang memiliki pemahaman lebih baik dan lebih akurat terhadap Islam dan kaum muslim.
Sejarah PISAI lebih tua daripada sekedar Jubilee 50 tahun. Kini berpusat di lingkungan kota Vatikan sejak 1964, cikal bakal institusi PISAI didirikan Masyarakat Misionaris [Katolik] yang sering juga disebut ‘White Fathers’ di Afrika di Manouba, Tunisia pada 1926. Dipersiapkan sebagai pusat pelatihan misionaris yang bakal bertugas di sejumlah wilayah muslim, sejak 1931 lembaga ini semula bernama Institut de Belles Lettres de Arabes (IBLA). Seperti terlihat dari namanya ini, pengajaran lebih ditekankan pada kemampuan bahasa Arab untuk membaca teks Islam dan berkomunikasi dengan kalangan muslim Arab guna kepentingan misionaris Katolik.
Pergeseran institut ini menjadi lebih akademis terjadi pada 1949 ketika pengajaran dipisahkan dari kegiatan misionaris; dan sejak 1960 status kelembangaan ditingkatkan menjadi Pontifical Institute for Oriental Studies. Selanjutnya 1964 ketika dipindahkan ke Roma, nama PISAI diadopsi. Menjadi lembaga pendidikan tinggi, PISAI memberi gelar license (S2) sejak 1966 dan gelar doktor (S3) sejak 1980.
Dalam pengalaman dan interaksi langsung dengan para pimpinan, dosen dan mahasiswa PISAI, saya melihat lembaga ini memainkan peran penting dalam menghasilkan sarjana dengan empati yang kuat pada agama dan umat beragama, tegasnya dalam hal ini Islam dan kaum muslimin. PISAI sendiri dalam penerbitan resminya menekankan, berbagai matakuliah tentang Islam berusaha menghadirkan Islam dan para penganutnya baik di masa lalu maupun sekarang secara saintifik yang tidak bias.
Dengan demikian, dalam perkembangannya, PISAI dirancang Vatikan untuk memberikan pengetahuan tentang berbagai aspek Islam dan masyarakat muslim. Vatikan memandang penting hal ini sebagai prasyarat bagi dialog kemanusiaan dan Resonansi Azyumardi Azra
46
teologis baik dalam konteks dialog antar-agama (inter-religious) maupun dialog antar-budaya (inter-cultural).
Di tengah meningkatnya gejolak politik dan sekuriti yang terkait dengan segelintir pemeluk Islam sejak Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Madrid 11 Maret 2004 dan di London 7 September 2005, berbagai pihak dan lembaga Eropa—termasuk PISAI—meningkatkan dialog dengan para pemimpin, ‘ulama’ dan sarjana muslim tidak hanya yang tinggal di Eropa, tetapi juga dari wilayah muslim lain seperti Indonesia.
Kehadiran para sarjana muslim dalam berbagai kegiatan PISAI jelas merupakan kesempatan sangat berharga untuk memberikan perpektif lebih akurat tentang Islam dan kaum muslim. Bagi PISAI dan audiens Italia non-muslim, kehadiran para pembicara muslim juga sangat penting untuk mendapatkan informasi dan pandangan dari tangan pertama, seperti ditegaskan Paus Francis dalam sambutannya menerima audiensi para peserta konferensi 50 Tahun PISAI.
Konferensi Jubileum Emas PISAI merupakan bagian penting dari dialog tersebut. Kenyataan ini misalnya terlihat dari tema yang diangkat: ‘Studying and Understanding the Religion of the Other: Towards Mutual Recognition between Religions and Cultures in Today’s World’. Dengan tema ini, konferensi menjadi tempat berbagi pandangan dan pengalaman tentang bagaimana memahami Islam dan minoritas muslim yang hidup di lingkungan masyarakat mayoritas Kristen. Sebaliknya juga bagaimana memahami pengalaman umat minoritas kristiani di lingkungan mayoritas muslim.
Resonansi Azyumardi Azra
47
PISAI, Islam dan Paus Francis (2) 05 February 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Konferensi Jubileum Tahun Emas PISAI Vatikan (22-24/1/2015) berusaha memberikan perspektif tentang umat beragama apakah sebagai mayoritas atau sebaliknya minoritas dalam suatu negara atau wilayah tertentu. Dalam masyarakat di manapun apakah sebagai mayoritas atau minoritas juga hampir selalu terdapat kecenderungan memiliki pandangan stereotipikal, bias dan mispersepsi satu sama lain. Persepsi tidak menguntungkan ini bisa menguat pada masing-masing pihak karena faktor tertentu seperti krisis politik dan ekonomi atau konflik budaya.
Dengan demikian, pola hubungan antara umat mayoritas dengan minoritas sangat dipengaruhi perkembangan internal dan eksternal masyarakat di satu negara atau wilayah tertentu. Karena itu, perbaikan citra dan hubungan antara kedua belah pihak memerlukan introspeksi yang dapat mendorong perubahan cara pandang dan sikap secara internal umat beragama dan eksternal dalam interaksi dengan masyarakat atau umat beragama lain. Dalam konteks itu, penulis “Resonansi” ini ketika berbicara tentang ‘‘Studying and Understanding Islam in the Christian Milieu; An European Context’’menyarankan perlunya bagi kaum muslim Eropa melakukan introspeksi agar dapat memperbaiki citra Islam dan sekaligus hubungan dengan masyarakat mayoritas Kristen. Secara internal, jelas kaum muslim Eropa—apakah keturunan imigan atau pribumi lokal— adalah orang-orang yang hanya ingin hidup damai; dapat mencari nafkah, meningkatkan kualitas hidup, dan menjalankan agama dengan baik.
Tetapi pada saat yang sama, terdapat gejala yang terus bertahan—jika tidak meningkat--selama hampir satu setengah dasawarsa terakhir, yaitu radikalisasi segelintir muslim yang siap melakukan aksi teror di bumi Eropa sendiri, seperti Resonansi Azyumardi Azra
48
pemboman Madrid 2004, London 2005 dan Charlie Hebdo 2014. Mereka juga siap pergi dalam jumlah besar bergabung dengan aksi kekerasan dan teror ISIS di wilayah Syria, Irak, dan Kurdistan.
Menghadapi gejala ini, perlu pengarusutamaan dan pemberdayaan Islam wasatiyah—jalan tengah yang jauh dari berbagai bentuk ekstremisme, literalisme dan radikalisme. Pengarusutamaan itu pertama-tama adalah dengan membawa kaum muslim—khususnya anak muda—keluar dari kehidupan nestapa karena menganggur di ghetto seperti yang mudah dapat ditemukan di pinggiran kota Paris atau Berlin atau kota-kota besar Eropa lain.
Mereka yang hidup dalam kenestapaan terhinggapi perasaan teralienasi dan sekaligus frustrasi. Karenanya mereka kian sulit terintegrasi ke dalam masyarakat lokal. Dalam keadaan semacam itu mereka lebih rawan terekrut ke dalam sel kekerasan yang ada di Eropa sendiri yang memiliki jaringan dengan kelompok radikal dan teroris di Timur Tengah atau Asia Selatan.
Selain itu juga penting pengarusutamaan lembaga Islam sejak dari Islamic Center, masjid, musala, sekolah, dan madrasah. Pengarusutamaan ini bukan hanya bakal memperkuat mereka dari infiltrasi sel radikal, tetapi juga membuatnya lebih fungsional bagi pembinaan masyarakat muslim.
Hal lain yang tak kurang pentingnya dalam konteks pembinaan umat muslim minoritas adalah kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam di Eropa. Dengan adanya lembaga pendidikan arus utama untuk menghasilkan imam, muballigh dan fungsionaris Islam lain, maka Islam dan umat muslim dapat menjadi bagian integral dari masyarakat Eropa secara keseluruhan.
Percepatan pengarusutamaan itu nampaknya lebih mungkin jika kaum muslim sendiri lebih mengembangkan sensitivitas sosio-kultural lokal. Sepatutnya kaum muslim yang beragam tidak berkutat menerapkan di tengah masyarakat Eropa tradisi sosial-budaya yang sebenarnya bukan bersumber dari ajaran Islam semacam burdah atau niqab yang mengundang kecurigaan dan masalah sekuriti. Kaum muslim Eropa sepantasnya menerapkan kearifan lokal semacam yang ada di Resonansi Azyumardi Azra
49
Indonesia: “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, yang dalam bahasa Inggris diekspresikan dengan kalimat: “When you are in Rome, do what the Romans do”— tentu saja tanpa mengorbankan prinsip dan ajaran pokok Islam.
Upaya pengarusutamaan di atas, sebagian besarnya memerlukan kerjasama para pemimpin muslim dengan pemerintah dan masyarakat lokal. Untuk itu penting pula bagi para pemimpin muslim membangun hubungan kerja yang fungsional dan workable dengan kepemimpinan dan masyarakat lingkungannya, termasuk dengan kepemimpinan keagamaan mayoritas (kristiani).
Hal semacam ini juga ditegaskan Paus Francis ketika menerima peserta Konferensi (24/11) lalu di kantornya di Vatikan. Menurut Paus, adalah tugas pedagogis [bagi setiap dan seluruh orang] untuk mengakui nilai-nilai orang lain; [dan pada saat yang sama mencoba] mengerti concerns mereka yang tidak terungkapkan… Dengan begitu kita semua dapat bertumbuh dalam pengetahuan timbal balik.
Paus Francis mengakui, meski masih ada salah paham dan kesulitan, banyak kemajuan dalam dialog antar-agama Vatikan, khususnya dengan umat Islam. “Untuk itu, sangat esensial [bagi semua orang] melatih diri mendengar orang lain. …Dialog Islam-Kristen khususnya memerlukan kesabaran dan kerendahan hati”.
Resonansi Azyumardi Azra
50
Islam, Biblioteca Ambrosiana, dan Co.Re.Is 12 Februari 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Seperti lazimnya kebanyakan lembaga dan warga Eropa, pengetahuan mereka tentang Islam dan kaum muslimin umumnya dangkal dan telah terdistorsi. Aksi kekerasan yang dilakukan beberapa ‘oknum’ muslim terhadap tabloid Charlie Hebdo belum lama ini mengakibatkan kian terdistorsinya citra Islam di kalangan masyarakat Eropa umumnya.
Pengetahuan mereka tentang Islam Indonesia, juga dapat dikatakan samar-samar. Islam Indonesia dianggap identik dengan Islam Arab, Islam Maghrib, atau Islam Anak Benua India. Tetapi, berbagai kejadian tidak menyenangkan terkait ‘oknumoknum’ muslim seperti dalam kasusCharlie Hebdo membuat sebagian mereka, khususnya yang bergerak di lembaga-lembaga resmi mulai berusaha mengetahui lebih banyak tentang Islam Indonesia.
Salah satu lembaga penting di Italia dalam konteks itu adalah Biblioteca Ambrosiana, Milan, yang melalui kerja sama dengan Co.Re.Is(Communita Religiosa Islamica) Italiana dan Dubes RI untuk Vatikan, Budiarman Bahar, mengundang penulis “Resonansi” ini memberikan ceramah umum bertajuk ‘’L’Islam e la Liberta Religiosa in Indonesia’’. Masalah ini belakangan menjadi kian relevan dibicarakan terkait tensi dan konflik yang berujung kekerasan di antara kebebasan berpendapat termasuk melecehkan pemimpin agama pada satu pihak dengan pihak yang memandang kebebasan tersebut mesti mempertimbangkan sensitivitas agama.
Lebih jauh pemilihan tajuk ini secara tersirat mengisyaratkan, dalam persepsi kalangan Eropa masih ada masalah sejauh menyangkut Islam dan kebebasan beragama. Indonesia yang mereka ketahui merupakan negara dengan penduduk Resonansi Azyumardi Azra
51
muslim terbesar di dunia bagi mereka dapat memberikan perspektif tentang subyek ini.
Biblioteca Ambrosiana sendiri merupakan salah satu perpustakaan tertua di dunia. Didirikan Kardinal Milan, Federigo Borromeo antara 1603-1609, perpustakaan ini lebih daripada sekadar tempat menyimpan koleksi buku dan manuskrip kuno yang lebih satu juta kopi untuk dibaca dan diteliti para pembaca. Biblioteca ini juga tempat koleksi lukisan terbaik semacam karya Leonardo da Vinci dan sekolah tinggi untuk seni lukis, dan seminari untuk penuntut ilmu.
Sedangkan Co.Re.Is adalah organisasi muslim dengan mayoritas anggota warga pribumi Italia yang memeluk Islam setelah satu atau dua generasi. Didirikan Imam Abd al-Wahid Felice al-Pallavicini yang masuk Islam pada 1951, Co.Re.Is yang berpusat di Masjid al-Wahid Milan, kini sehari-hari dipimpin puteranya Imam Sergio Yahya Pallavicini. Masjid ini sekaligus menjadi pusat Tarekat Ahmadiyah, Syadziliyah dan Idrisiyah pimpinan kedua imam dan pusat pelatihan imam dan da’i yang datang dari berbagai negara Eropa. Co.Re.Is juga aktif dalam dialog intra dan antaragama, dan Imam Yahya merupakan tokoh Muslim terpenting yang sering dikonsultasi pemerintah Italia dalam hal ikhwal terkait Islam dan kaum Muslimin.
Baik Imam Abd al-Wahid dan Imam Yahya memiliki kedekatan dengan Nusantara. Imam Abd al-Wahid dalam pencarian spiritualnya sepanjang dasawarsa 1940-an dan 1950-an mengembara sejak dari Maroko, Jepang, dan berakhir di Singapura di mana dia diinisiasi Syaikh Abd al-Rasyid al-Linki masuk tarekat Syadziliyah. Kembali ke Italia, sejak 1980 dia mendapat ijazah dan otoritas sebagai mursyid tarekat Ahmadiyah-Syadziliyah-Idrisiyah dan menjadi figur sufi terkemuka di Benua Eropa.
Sedangkan Imam Yahya yang punya ibu asal Jepang, beberapa kali mengunjungi Indonesia dan terkait jaringan intelektual dan spiritual dengan sejumlah pemimpin dan intelektual muslim Indonesia. Interaksi dan pengamatan langsung atas Islam dan kaum muslimin Indonesia memperkaya perspektif Imam Yahya tentang Islam Wasathiyah.
Sedangkan dari pihak Biblioteca Ambrosiana adalah Pastur DR Paolo Nicelli yang Resonansi Azyumardi Azra
52
melihat Islam Nusantara sebagai sebuah model yang perlu pengenalan lebih jauh di Eropa. Melakukan riset untuk disertasi doktor di wilayah Moro Filipina selatan, Nicelli melihat Islam Indonesia dapat memainkan peran kian penting dalam sosialisasi dan pengembangan Islam Jalan Tengah (Wasathiyah). Ia mengetahui tentang keterlibatan ormas Islam semacam Muhammadiyah dalam upaya resolusi konflik dan penciptaan perdamaian di antara Bangsa Moro Muslim dengan pemerintah Manila. Dia berharap ormas-ormas Islam Wasatiyah Indonesia dapat lebih proaktif lagi dalam pengembangan Islam Wasathiyah Eropa.
Dalam kaitan itu, Nicelli tengah berusaha mengembangkan kajian Islam Wasathiyah Nusantara di Biblioteca Nusantara. Di antara cara yang sedang dia kembangkan adalah dengan mengembangkan semacam Pusat Kajian Islam Nusantara yang menyelenggarakan diskusi, seminar dan konferensi tentang Islam Nusantara. Selain itu adalah dengan memperbanyak koleksi buku dan manuskrip Islam Nusantara yang dapat menjadi bahan bacaan dan riset bagi para pembaca dan peneliti yang tertarik pada subyek ini.
Kerja sama antara Biblioteca Ambrosiana dan Co.Re.Is menyangkut sosialisasi dan pengembangan Islam Wasathiyah Indonesia merupakan contoh sangat baik dalam pengarusutamaan Islam rahmatan lil ‘alamin di Eropa. Kedua institusi ini bersama sejumlah lembaga lain di Eropa dengan visi dan misi yang sama memberi kesempatan baik bagi lembaga, ormas dan pemerintah Indonesia lebih aktif memperkenalkan Islam Wasathiyah Nusantara. Dengan begitu Islam Indonesia kian kontributif dalam membangun peradaban religius, maju dan damai.
Resonansi Azyumardi Azra
53
Transnasionalisasi Islam Indonesia (1) 16 April 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Islam merupakan agama kosmopolitan dan transnasional; bersifat internasional, baik dari segi doktrin teologi maupun legal fiqhiyyah yang melintasi batas kabilah, suku, bangsa, ras, dan seterusnya. Islam adalah agama bagi umat manusia yang beragam dari berbagai segi.
Jika ada distingsi yang ditekankan doktrin Islam di tengah berbagai realitas kosmopolitan dan transnasional maka itu adalah ketakwaan. Tidak ada beda satu individu dan kelompok Muslim dengan individu dan kelompok lain, kecuali ketakwaannya--ketundukan dan kepasrahan penuh kepada Allah SWT.
Pada saat yang sama, sebagai realitas sejarah yang melintasi waktu dan tempat, Islam juga menjadi realitas lokal. Islam hidup di tengah masyarakat atau lokalitas tertentu dan tidak imun dan bebas dari berbagai pengaruh faktor dan kekuatan sejarah. Doktrin Islam yang semula bersifat transnasional kemudian mengalami proses kontekstualisasi, vernakularisasi, dan indigenisasi. Melalui proses seperti ini, Islam dalam perjalanan sejarah bukan hanya merupakan agama transnasional, tetapi sekaligus menjadi realitas lokal.
Dalam konteks itu, menarik dan tepat waktu memperbincangkan gagasan transnasionalisasi atau internasionalisasi Islam Indonesia. Perbincangan tentang subjek ini menjadi tema seminar pra-Muktamar Muhammadiyah pada 14 April 2015 di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Sedangkan, Muktamar Muhammadiyah ke-47 bakal diselenggarakan pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar. Sejumlah pakar terlibat dalam percakapan yang intens mengingat tema ini jarang diperbincangkan.
Tema tentang transnasionalisasi dan internasionalisasi Islam Indonesia bukan hanya Resonansi Azyumardi Azra
54
relevan dengan Muhammadiyah, melainkan juga dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas-ormas Islam Indonesia lain yang mewakili Islam wasatiyah. Dengan karakter dan aktualisasi religius, sosio-budaya, dan politiknya yang khas, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama karena sejumlah alasan para ahli dari keahlian dan sudut pandang masing-masing melihat sudah waktunya bagi ormas-ormas itu mengakselerasikan transnasionalisasi dan internasionalisasi.
Banyak ormas Islam Indonesia sudah berusia panjang. Muhammadiyah sudah berada dalam perjalanan abad kedua. NU dalam waktu 10 tahun ke depan menurut kalender Masehi juga melintasi usia satu abad. Usia yang panjang juga telah ditempuh kebanyakan ormas Islam lain--lebih tua dari usia Republik.
Ormas-ormas ini, khususnya Muhammadiyah dan NU--sebagai dua ormas terbesar Islam Indonesia--mengandung banyak potensi akselerasi diri menjadi transnasional, baik dari segi pemahaman maupun praksis keagamaan. Hal ini bisa diwujudkan melalui proses internasionalisasi dalam berbagai bidang sejak dari teologi, visi, dan misi keislaman, kelembagaan pendidikan, dakwah, kepenyantunan sosial, kesehatan, ekonomi, dan seterusnya.
NU dan Muhammadiyah pada awalnya juga berangkat dari kerangka Islam transnasional tersebut. NU berlambangkan bola dunia dengan bintang sembilan. Sedangkan, Muhammadiyah memiliki lambang bola matahari yang memancarkan sinar ke seluruh penjuru. Terlihat jelas pretensi transnasional masing-masing.
Sedangkan, pada tingkat doktrin dan ritual sesungguhnya tidak banyak perbedaan dalam hal usuliyyah (pokok-pokok agama) antara Muhammadiyah dan NU dengan kaum muslimin lain di mana pun. Perbedaan paling banter ada pada level 'ranting' (furu'iyah). Meski demikian, ormas-ormas Islam Indonesia juga mengakomodasi doktrin dan praktik keagamaan yang semula mungkin tidak sepenuhnya kompatibel dengan raison d'etre ideologisnya.
Pada segi lain, kemunculan ormas-ormas Islam sedikit banyak terkait dengan Islam transnasional dari para pemikir dan aktivis semacam Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Berangkat dari keprihatinan Resonansi Azyumardi Azra
55
terhadap kenestapaan kaum muslim di berbagai banyak bagian dunia di bawah ancaman dan cengkeraman kolonialisme Eropa, tokoh-tokoh ini menyeru kaum muslim untuk bangkit memajukan diri dalam berbagai bidang sejak dari keagamaan, pendidikan, sampai kepada politik.
Meski terkait dengan pemikiran dan gerakan transnasionalisme, ormas-ormas Islam Indonesia sejak awal kelahirannya pada masa penjajahan Belanda juga merupakan respons kontekstual terhadap realitas lokal. Tanpa kontekstualisasi dan akomodasi terhadap realitas lokal, sangat boleh jadi ormas-ormas Islam menjadi tidak atau kurang relevan dengan tantangan masyarakat muslim lokal di berbagai wilayah Indonesia.
Sebaliknya, sebab ormas-ormas itu kontekstual dengan lingkungan masing-masing, ia menjadi relevan bagi masyarakat muslim Indonesia sehingga ormas-ormas tersebut tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang secara fenomenal dari waktu ke waktu.
Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas Islam Indonesia lain dalam perkembangannya lebih merupakan realitas translokal Indonesia daripada transnasional--meski juga ada Muhammadiyah Singapura (berdiri 1957) atau NU Afghanistan (berdiri Mei 2014). Kedua Muhammadiyah dan NU di mancanegara ini beranggotakan masyarakat muslim lokal, bukan muslim Indonesia.
Di luar itu, Muhammadiyah dan NU tidak berusaha keras menjadi sebuah gerakan transnasional. Kedua ormas ini tampaknya tidak memiliki agenda dan program khusus untuk penyebaran paham dan praksis Islam Indonesia transnasional di dunia internasional.
Resonansi Azyumardi Azra
56
Transnasionalisasi Islam Indonesia (3) 30 April 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Jelas sulit mencegah masuknya arus paham dan gerakan Islam transnasional ke Indonesia, khususnya pada masa kini yang ditandai transmisi informasi secara instan melalui dunia maya. Berkat kemajuan teknologi, penyebaran paham dan gerakan transnasional yang tidak selalu kompatibel dengan Islam wasatiyah Indonesia dan Islam rahmatan lil ‘alamin seolah tidak bisa dibendung.
Apalagi secara historis, sejak masa awal kedatangan dan penyebaran Islam, seperti terlihat dalam kajian penulis sendiri tentang ‘jaringan ulama’, benua maritim Indonesia selalu terkait dan terlibat dalam kosmopolitanisasi dan globalisasi Islam, mencakup pemahaman dan praksis keislaman transnasional.
Mengamati sejarah dan dinamika Islam Indonesia dalam konteks itu, muncul kritik dari sejumlah pengkaji Islam Indonesia, seperti AH Johns (1976, 1981) dan Mona Abaza (1994). Mereka berargumen, Islam Indonesia cenderung menjadi penerima (recipients) saja dari paham dan gerakan Islam transnasional. Bahkan, almarhum Nurcholish Madjid pernah menyatakan, Islam Indonesia masih merupakan ‘konsumen’ pemikiran dan gerakan Islam transnasional luar daripada menjadi ‘produsen’ yang mampu ‘mengekspor’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesia ke mancanegara.
Pernyataan itu dalam segi tertentu bisa diperdebatkan. Tetapi, poin penting yang perlu dikemukakan di sini adalah Islam Indonesia dengan warisan Islam (Islamic legacy) yang begitu kaya --termasuk khususnya ormas-ormas wasatiyah-- sudah waktunya mengakselarasikan ‘arus balik’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesia ke mancanegara. Arus balik ini bukan hanya untuk sekadar ekspansi Islam Indonesia, tetapi juga guna memberikan kontribusi penting pada peradaban dan kemanusiaan Resonansi Azyumardi Azra
57
universal lebih aman, harmonis, dan toleran.
Perlunya akselarasi internasionalisasi dan transnasionalisasi muncul sejak awal milenium baru yang ditandai peristiwa di tingkat internasional semacam 11 September 2001 di Amerika Serikat, pengeboman di Madrid (11 Maret 2004), London (7 Juli 2005). Peristiwa-peristiwa yang melibatkan individu dan kelompok muslim itu selain meningkatkan ketegangan antara apa yang biasa disebut sebagai ‘Islam versus the West’, juga memperkuat citra Islam dan Muslim sebagai ‘radikal’.
Meski generalisasi ini telah banyak dikoreksi, tetapi citra radikal terus bertahan dengan konflik dan kekerasan seputar Arab Spring sejak akhir 2011 sampai sekarang, kemunculan ISIS sejak 2014, dan konflik Yaman sekarang yang bisa terjerumus menjadi perang regional ketika Arab Saudi membentuk Koalisi Arab menyerang pemberontak Houthi yang menguasai berbagai wilayah Yaman.
Dalam konteks itu, masyarakat internasional --baik muslim maupun non-muslim-merindukan Islam damai, ramah, akomodatif, inklusif, dan dapat hidup berdampingan intra-muslim yang mengandung berbagai aliran dan non-muslim antaragama. Itulah Islam wasatiyah Indonesia, yang dikembangkan, dipelihara, dan diperkuat mayoritas mutlak muslim Indonesia, yang dalam jumlah besar juga terwakili ormas-ormas Islam. Itulah Islam yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi para pengikutnya; juga bagi umat manusia lain yang menganut agama berbeda; bagi lingkungan alam dengan makhluk Allah lain; dan bagi peradaban dan kemanusiaan universal.
Sekali lagi, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama memiliki potensi besar dan pengalaman panjang untuk mengakselerasikan transnasionalisasinya. Dari sudut ortodoksi Islam Indonesia (kalam Asy’ariyah, fikih Syafi'i, dan tasawuf al-Ghazali), kaum muslimin negeri ini membuktikan kebertahanan dan keberlanjutan paham keislaman yang menekankan moderasi dan toleransi sesama muslim dan juga dengan non-muslim. Dengan begitu, ormas-ormas Islam Indonesia dapat meningkatkan eksistensi dan kiprahnya di tengah gelombang perubahan, baik di tingkat negara Indonesia maupun di tengah kehidupan masyarakat internasional. Resonansi Azyumardi Azra
58
Selain itu, ormas-ormas Islam Indonesia sangat kaya dengan kelembagaan dalam berbagai bidang kehidupan sejak dari dakwah, pendidikan, kesehatan, kepenyantunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Pada saat yang sama, ormas-ormas Islam kian kaya dengan SDM terdidik yang mengisi berbagai sektor kehidupan bangsa. Mereka ini sekaligus menjadi tulang punggung (backbone) kelas menengah muslim.
Dengan semua potensi dan kekayaan warisan, ormas-ormas Islam Indonesia berada pada posisi kuat untuk mengakselarasikan transnasionalisasinya. Untuk itu, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama mesti lebih asertif dan memperluas jaringan di mancanegara, baik dengan kelompok dan komunitas Islam, dan juga dengan lingkungan masyarakat dan pemerintahan lebih luas.
Transnasionalisasi ormas Islam tidak cukup hanya dengan memperbanyak cabang khusus, seperti Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) atau Pengurus Cabang Istimewa-NU (PCI-NU). Cabang Istimewa kedua ormas Islam ini ada, misalnya, di Kairo atau Jeddah atau Den Haag. Tetapi, para anggotanya terbatas pada WNI atau ‘orang sumando’ dari pasangan suami-istri yang kawin campur. Mestinya PCIM atau PCI-NU mengalami ‘pribumisasi’ atau ‘indigenisasi’, menjadi ormas lokal.
Jika strategi dan langkah seperti ini dapat dilakukan, insya Allah ormas-ormas Islam Indonesia dapat menjadi paham dan gerakan transnasional Islam --mewakili Islam wasatiyah Indonesia, yang selalu menekankan pentingnya mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dalam semesta alam.
Resonansi Azyumardi Azra
59
Islam Nusantara (1) 18 Juni 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
'Islam Nusantara', istilah yang belakangan ini menemukan momentum popularitasnya, terutama setelah PBNU mengangkatnya menjadi tema Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”. Istilah dan tema ini--terlepas beberapa hal problematik terkait--sangat relevan dan tepat waktu waktu dalam konteks nasional maupun internasional.
Istilah 'Islam Nusantara' juga menjadi wacana Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan. Terakhir sekali, Presiden Jokowi juga menggunakan istilah 'Islam Nusantara' dalam kesempatan 'istighatsah kubra' yang diselenggarakan NU di Jakarta (14/6/15) dalam rangka Munas Alim Ulama NU dan menyambut Ramadhan 1436 H/2015 M. Penulis “Resonansi” kemudian diminta tanggapan oleh BBC London tentang 'Islam Nusantara' yang juga disinggung Presiden Jokowi tersebut (Haedar Affan, “Polemik di Balik Istilah 'Islam Nusantara'”, BBC London, 15/6/15). Apakah maksud istilah 'Islam Nusantara'? Apakah istilah ini sesuatu yang baru?
Dalam seminar internasional pra-Muktamar NU yang diselenggarakan Harian Kompas (27/5/2015) dan Panitia Muktamar ke-33 NU, penulis “Resonansi” ini berusaha menjelaskan makna istilah 'Islam Nusantara'. Istilah mengandung konsep dan konotasi berbeda ketika diterapkan pada wilayah berbeda di Nusantara.
Istilah 'Islam Nusantara' pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah muslim Resonansi Azyumardi Azra
60
Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea).
Dengan cakupan seperti itu, 'Islam Nusantara' sama sebangun dengan 'Islam Asia Tenggara' (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering digunakan secara bergantian dengan 'Islam Melayu-Indonesia' (Malay-Indonesian Islam). Masalahnya kemudian, apakah absah berbicara tentang 'Islam Nusantara' atau 'Islam Asia Tenggara' atau 'Islam Melayu-Indonesia'? Apakah 'Islam Nusantara' memiliki distingsi, baik pada tingkat doktrin normatif maupun kehidupan sosial, budaya, dan politik? Dalam pandangan penulis “Resonansi”, secara normatif doktrinal, 'Islam Nusantara' menganut Rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan kaum Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (Sunnah atau Sunni) lain di bagian dunia Islam mana pun seperti disepakati jumhur (mayoritas) ulama otoritatif. Meski demikian, dalam batas tertentu 'Islam Nusantara' memiliki distingsi sendiri. Kenyataan ini bisa terlihat dari, misalnya ortodoksi Islam Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-17 ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, 'Abdurrauf al-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar selama hampir dua dasawarsa dan terlibat dalam 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah dan Madinah.
Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam (teologi) Asy'ariyah; kedua, fikih Syafi'i--meski juga menerima tiga mazhab fikih Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau komunal maupun melalui tarekat sufi yang lebih terorganisasi lengkap dengan mursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir terentu. Sebagai perbandingan, ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi. Dalam dua konferensi dengan kalangan ulama dan intelektual Arab Saudi di Riyadh dan wadi sekitar 300 kilometer dari Riyadh (3-7/1), penulis “Resonansi” ini menyatakan, ortodoksi Islam Arab Saudi mengandung hanya dua unsur, yaitu pertama, kalam (teologi) Salafi-Wahabi dengan pemahaman Islam literal dan penekanan pada Islam yang 'murni'.
Resonansi Azyumardi Azra
61
Dengan pandangan kalam seperti itu, dalam perspektif doktrin ortodoksi Islam Arab Saudi, tidak heran jika banyak muslimin lain dianggap sebagai pelaku bid'ah dhalalah (ritual tambahan sesat) yang bakal membawa mereka masuk neraka. Termasuk ke dalam bid'ah dhalalah itu adalah merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW yang ramai dirayakan kaum muslimin Indonesia. Unsur ortodoksi Islam Arab Saudi kedua adalah fikih Hanbali yang merupakan mazhab paling ketat dalam yurisprudensi Islam. Ortodoksi Islam Arab Saudi tidak mencakup tasawuf, justru tasawuf ditolak karena dianggap mengandung banyak bid'ah dhalalah.
Dalam kedua konferensi ini selalu muncul pertanyaan dari peserta Arab Saudi yang ditujukan kepada penulis “Resonansi” ini. “Kenapa muslim Indonesia gemar mempraktikkan tasawuf yang menurut mereka mengandung banyak bid'ah dhalalah?" Pertanyaan ini bisa dipahami berangkat dari bias dan prasangka terhadap tasawuf yang sebenarnya secara historis memainkan peran penting dalam peningkatan maqamat spiritualitas muslim dan sekaligus pemeliharan integritas kaum muslimin menghadapi berbagai tantangan dan realitas historis.
Ortodoksi Islam Salafi-Wahabi Arab Saudi terlalu kering dan sederhana bagi kaum muslimin Nusantara. Umat muslimin Nusantara telah dan terus menjalani warisan tradisi untuk mengamalkan Islam yang kaya dan penuh nuansa. Penulis “Resonansi” ini menyebutnya sebagai 'Islam berbunga-bunga' (flowery Islam) dengan 'ritual' sejak tahlilan, nyekar atau ziarah kubur, walimatus-safar (walimatul haj/umrah), walimatul khitan, tasyakuran, sampai empat bulanan atau tujuh bulanan kehamilan.
Resonansi Azyumardi Azra
62
Islam Nusantara: Islam Indonesia (2) 25 Juni 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Islam Nusantara memiliki distingsi tidak hanya dalam tradisi dan praktik keislaman yang kaya dan penuh nuansa, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya dan politik. Karena itu, penyebutan Islam Nusantara dengan memandang praktik keagamaan adalah valid belaka.
Memang terdapat kalangan ulama dan intelektual muslim yang menganggap Islam hanyalah satu entitas; sama bagi setiap wilayah dan bangsa. Profesor AbdelMoneem Fouad, Dekan Dirasah Islamiyah untuk Mahasiswa Internasional Universitas al-Azhar, Kairo, dalam seminar pra-Muktamar NU-Kompas menyatakan ‘Islam hanya satu. Tidak ada Islam Nusantara, Islam Arab atau Islam Mesir’. Pandangan Fouad menurut penulis “Resonansi” ini berdasarkan kerangka idealistik. Pandangan ini tidak mempertimbangkan realitas historis-empiris perjalanan Islam sepanjang sejarah di berbagai wilayah beragam yang memiliki realitas sosial, budaya, politik yang berbeda. Dalam pandangan penulis “Resonansi” ini, Islam satu hanya ada pada level Alquran. Tetapi al-Qur’an (beserta hadits) perlu rumusan rinci agar amar (perintah) al-Qur’an dapat dilaksanakan setiap dan seluruh umat muslim. Pada tahap inilah ayat-ayat Alquran tertentu perlu ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya. Hasilnya adalah kemunculan penafsiran dan penjelasan yang dalam batas tertentu berbeda satu sama lain, yang kemudian menjadi mazhab dan aliran.
Kaum muslimin Nusantara mengikuti mazhab dan aliran tertentu yang kemudian menjadi ortodoksinya yang bisa berbeda dengan umat Islam di bagian lain dunia
Resonansi Azyumardi Azra
63
Islam. Sekali lagi, ortodoksi Islam Nusantara adalah; kalam (teologi) Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.
Pembentukan ortodoksi Islam Nusantara terkait dengan perbedaan-perbedaan (khilafiyah atau furu’iyah) di kalangan ulama otoritatif sesuai mazhab dan alirannya. Selanjutnya juga terkait dengan dinamika dan perkembangan historis kaum muslim Nusantara sendiri. Sejak abad ke-17 misalnya, para ulama Jawi (Nusantara) yang kembali dari Makkah dan Madinah—pusat jaringan ulama kosmopolitan di mana mereka termasuk di dalamnya; mereka mengkonsolidasi doktrin dan praksis ortodoksi Islam Nusantara. Ortodoksi Islam seperti itu diwarisi dan dipegangi setia kaum muslimin Nusantara sampai hari ini.
Kaum muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam yang bersumber dari para ulama otoritatif, tetapi wilayah Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah budaya Islam (Islamic cultural spheres) distingtif. Wilayah muslim Nusantara adalah salah satu dari delapan ranah budaya Islam yang memiliki distingsi masing-masing.
Kedelapan ranah budaya Islam tersebut adalah; Arab; Persia atau Iran; Turki; Anak Benua India; Nusantara; Sino-Islamic atau Asia Timur; Sudanic Afrika atau Afrika Hitam atau Afrika sub-Sahara; dan Belahan Dunia Barat (Western hemisphere). Masing-masing ranah budaya Islam memiliki faktor pemersatu seperti bahasa, budaya dan tradisi sosial khas, sehingga ekspresi sosial-budaya dan politiknya pun berbeda-beda.
Ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu, yang membuat kaum muslimin Indonesia dari bermacam suku, tradisi, dan adat istiadat berada dalam kesatuan. Faktor-faktor pemersatu itu antara lain; tradisi keulamaan dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu sebagai lingua franca dan tradisi sosial-budaya dan adat istiadat yang memiliki lebih banyak komunalitas daripada perbedaan. Berkat fluiditas (kecairan) dunia maritim, dunia maritim Nusantara menjadi terintegrasi dalam ranah budaya Islam khas.
Tetapi ranah budaya Islam Nusantara juga tidak monolit. Sejak masa yang lama terdapat keragaman dalam pemahaman dan praksis doktrin atau ekspresi sosialResonansi Azyumardi Azra
64
budaya kaum muslimin. Perbedaan ini terkait banyak dengan watak budaya suku bangsa yang juga sangat beragam. Karena itu, ekspresi keislaman suku Aceh misalnya mengandung perbedaan tertentu dengan ekspresi keislaman suku Jawa atau suku Sunda dan seterusnya.
Perbedaan ini juga terlihat jelas di masa pasca-Perang Dunia II ketika wilayah Asia Tenggara mencapai kemerdekaan. Perbedaan di antara negara-negara itu terutama terkait modus relasi antara Islam-negara. Di Malaysia dan Brunei Darussalam, misalnya, Islam merupakan agama resmi negara. Sedangkan di Indonesia, meski kaum muslimin mayoritas mutlak, Islam tidak menjadi dasar negara atau agama resmi negara. Kaum muslim merupakan umat minoritas di Singapura, Thailand dan Filipina; di dua negara terakhir kaum muslimin terlibat konfrontasi dengan pemerintahan pusat di Bangkok dan Manila.
Dalam relasi itu, Islam Malaysia dan Brunei sepenuhnya terkooptasi negara— menjadi bagian integral struktur dan birokrasi negara. Sebaliknya di Indonesia, kaum muslimin hampir sepenuhnya independen vis-à-vis negara. Karena itu Islam Indonesia seperti diwakili ormas mainstream bergerak bebas sebagai organisasi dakwah, pendidikan, kepenyantunan sosial dan masyarakat madani/masyarakat sipil (civil society) hampir tanpa intervensi negara.
Karena itu, jika berbicara tentang Islam Wasatiyah Nusantara, representasinya paling ‘sempurna’ adalah Islam Indonesia. Inilah Islam inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum muslimin maupun dengan umat-umat lain.
Resonansi Azyumardi Azra
65
Ramadhan, Lebaran, dan Ekonomi Indonesia 09 Juli 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Ramadhan dan Lebaran sering dipandang sementara kalangan sebagai kian konsumtif. Bahkan, terlihat gejala konsumerisme yang juga kian meningkat di kalangan kelas menengah (middle class) dan kelas atas (upper class) muslim. Kecenderungan ini disebut melanda negara-negara muslim kaya di Timur Tengah dan juga emerging economies, seperti Indonesia dan Malaysia.
Jika persepsi ini benar, gejala tersebut tidak selaras dengan ibadah puasa yang mengajarkan kesederhanaan, menahan diri khususnya dari sikap konsumtif dan konsumerisme. Sikap dan paham ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam yang melarang perbuatan isyraf, berlebih-lebihan.
Akan tetapi, perlu dijelaskan tiga istilah terkait. Pertama, 'konsumsi' yang memang meningkat sepanjang Ramadhan dan Lebaran karena banyak keluarga dan pejabat, pengusaha, atau tokoh masyarakat menyediakan takjil, makanan iftar, dan sahur untuk karib-kerabat, fakir, miskin, dhuafa, dan yatim piatu. Ini sesuai hadis Nabi SAW bahwa orang yang menyediakan makanan untuk mereka yang puasa mendapat pahala yang sama nilainya dengan sha'imin dan sha'imat.
Kedua, sikap konsumtif adalah mengeluarkan perbelanjaan--termasuk untuk konsumsi--lebih daripada kebutuhan atau berlebih-lebihan sehingga terjadi pemborosan (isyraf). Sedangkan, 'konsumerisme' adalah gaya hidup yang berorientasi pada selera hedonis--hidup serbakebendaan dengan mengutamakan brand name, barang-barang bermerek terkenal. Sikap konsumtif dan konsumerisme jelas kian menggejala di kalangan kelas atas dan kelas menengah muslim. Gejala ini terlihat dengan peningkatan pembelian barang mewah dan bermerek (brand name) Resonansi Azyumardi Azra
66
sehingga menjadi gaya hidup. Namun, kalangan seperti ini jumlahnya relatif terbatas--jauh daripada 'mewabah' pada lapisan kelas menengah bawah (lower middle class) dan kelas bawah (lower class).
Dengan pengertian dan pemahaman ini, Ramadhan dan Lebaran jelas meningkatkan konsumsi. Salah satu indikator peningkatan itu adalah dana yang disiapkan Bank Indonesia (BI) dalam waktu antara sepekan sebelum dan sepekan sesudah Lebaran (H-7 sampai H+7). Pada Lebaran 1435/2014 lalu, BI menyiapkan dana Rp 118 triliun dan untuk 1436/2015 meningkat menjadi Rp 125,2 triliun. Peningkatan dana ini terkait banyak dengan meningkatnya kebutuhan uang kontan denominasi kecil bagi kaum muslim sepanjang Ramadhan dan Lebaran.
Peningkatan kebutuhan dana terkait erat dengan upaya menjalankan ajaran Islam tentang giving and sharing, memberi dan berbagi, melalui ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf).
Menurut survei televisi berita CNN belum lama ini, kaum muslim Indonesia paling pemurah dibanding muslimin di negara-negara muslim lain dalam giving and sharing. Menurut survei CNN tersebut, 98 persen muslim Indonesia selalu atau pernah memberikan ziswaf. Karena itulah, Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi masa puncak filantropi Islam. Amil zakat yang secara tradisional berpusat di masjid atau lingkungan pertetanggaan maupun dalam bentuk lembaga modern semacam DD (Dompet Dhuafa) atau Aksi Cepat Tanggap (ACT) atau Bazis atau Lazis yang terkait pemerintah daerah atau ormas Islam selalu mencatat periode ini sebagai masa penerimaan terbanyak dana ziswaf dibanding bulan-bulan lain.
Dengan peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana sepanjang Ramadhan dan seputar waktu sebelum dan sesudah Lebaran, cukup beralasan masa ini disebut sebagai musim ekonomi spesial bagi Indonesia. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan penurunan konsumsi yang sangat terasa sepanjang 2014-2015, peningkatan konsumsi dan pengeluaran dana selama Ramadhan dan Lebaran sangat baik bagi ekonomi negeri ini.
Resonansi Azyumardi Azra
67
Dalam konteks itu bisa dipahami mengapa the Conversation.com mengulas khusus hal ini dalam laporan “Why Ramadan is a Special Economic Season in Indonesia” (1/7/2015). The Conversation.com mencatat mengapa Ramadhan merupakan musim ekonomi spesial bagi Indonesia.
Pertama, masyarakat berbelanja lebih banyak selama Ramadhan, khususnya makanan dan pakaian. Menurut statistik, indeks penjualan eceran dalam kategori ini rata-rata meningkat sekitar 30 persen.
Kedua, di Indonesia pemerintah dan swasta memberikan gaji ke-13 atau THR kepada para pegawai dan buruh. Pendapatan ekstra ini memperbesar daya belanja (spending power) selama Ramadhan dan Lebaran.
Ketiga, selama Ramadhan kaum Muslimin lazimnya mengeluarkan alms--yang di atas sudah disebut sebagai ziswaf. Penyaluran alms kepada orang-orang miskin turut memperkuat daya belanja (purchasing power) mereka.
Pemerintah sering mengeluh tentang kenaikan inflasi sepanjang Ramadhan dan Lebaran yang berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Namun, menurut the Conversation.com, penyebaran dana dan bonus liburan panjang Lebaran memainkan peran penting sebagai jejaring pengaman sosial bagi daya beli masyarakat dan sekaligus kohesi sosial.
Kesimpulannya, Ramadhan dan Lebaran memiliki kontribusi signifikan dalam memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Dengan peningkatan konsumsi, perdagangan dan perjalanan, aktivitas ekonomi bisa bergerak. Masalahnya kemudian bagi pemerintah adalah mempertahankan atau meningkatkan kembali ekonomi Indonesia pada masa pasca-Ramadhan dan Lebaran.
Resonansi Azyumardi Azra
68
Konvergensi Mazhab 23 Juli 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Sepanjang sejarah pasca-Nabi Muhammad, Islam diwarnai keragaman mazhab dan aliran pemikiran dan praktik keagamaan. Keragaman tidak terelakkan karena para fuqaha, mutakallimun, dan pemikir muslim memiliki perbedaan dalam kemampuan intelektual, kecenderungan keagamaan, dan lingkungan sosialisasi dan kehidupan. Semua ini mempengaruhi penafsiran mereka masing-masing ketika berusaha memperjelas dan merinci ayat Alquran dan hadits tertentu.
Perbedaan dan keragaman sering lebih banyak terkait dengan hal ranting (furu’iyyah), bukan pada soal-soal pokok fundamental (ushul) yang hampir tidak ada perbedaan. Salah satu contoh, sesuai amar ayat Alquran, semua ulama sepakat salat lima waktu wajib dikerjakan setiap muslim; tetapi mereka berbeda pendapat apakah qunut perlu atau tidak perlu dilakukan pada waktu salat subuh.
Sejarah perbedaan dan keragaman di antara mazhab-mazhab fikih melampaui masa yang panjang—lebih 14 abad. Meski para imam mazhab, khususnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sejak dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Hanbali menekankan toleransi bermazhab, tidak jarang kalangan umat Islam sangat fanatik dengan mazhabnya masing-masing. Akibatnya, perbedaan-perbedaan furu’iyah (trivial) sering menjadi sumber pertikaian dan konflik. Walhasil, perbedaan furu’iyyah berkembang menjadi sektarianisme agama yang dalam skala tertentu bisa sangat bernyala-nyala, apalagi ketika sektarianisme tersebut berkelindan dengan kabilahisme dan etnisitas serta kekuatan politik. Sekali sektarianisme agama berbaur dengan pengelompokan sosiologis masyarakat keagamaan dan sekaligus didukung kekuasaan politik, ketika itu keadaan menjadi memburuk, membuat sangat sulit mengatasinya. Resonansi Azyumardi Azra
69
Sejauh ini perbedaan mazhab dan sektarianisme muslim Indonesia jauh lebih beruntung dibanding umat muslim kawasan lain. Hal ini terkait banyak dengan kenyataan, bahwa sejak masa awal penyebaran Islam secara massif pada abad 12, mazhab fikih dominan adalah mazhab Syafi’i. Hegemoni mazhab Syafi’i kian sempurna sejak abad 17 ketika ulama Indonesia yang belajar di Haramayn—karena itu menjadi bagian integral jaringan ulama kosmopolitan—kembali ke tanahair untuk mengajarkan dan menuliskan karya fikih Syafi’i. Mazhab-mazhab fikih Sunni lain praktis sulit ditemukan sejak dulu sampai sekarang di antara muslim Indonesia. Meski mazhab Syafi’i dominan, hal ini bukan karena dukungan politik. Sejak masa kesultanan, proses hegemoni mazhab Syafi’i umumnya berlangsung secara alamiah. Apalagi sejak masa kekuasaan Belanda, kebanyakan umat muslim Indonesia menjauhkan diri dari kooptasi kolonialisme. Karena itu sejak masa kolonial Belanda sampai sekarang umat Islam Indonesia independen vis-a-vis kekuasaan politik seperti terlihat dalam posisi ormas-ormas Islam negeri ini.
Lebih jauh, mazhab fikih tidak terkait dengan suku bangsa atau kelompok etnis; apalagi dengan ‘kabilah’ yang tidak eksis di Indonesia. Jauh daripada berbaur dan terkait khusus dengan suku bangsa yang begitu beragam, sebaliknya mazhab fikih yang sama justru mempersatukan mereka. Karena itu misalnya suku Aceh atau Minang bisa merasa dekat dengan suku Jawa atau Bugis karena ibadah yang mereka kerjakan hampir sepenuhnya berlandaskan mazhab fikih yang sama.
Karena itu sektarisme mazhab tidak pernah bernyala-nyala dalam masa pra-modern (abad 20) Islam Indonesia. Pertikaian mulai muncul ketika wacana dan praksis modernisme atau reformisme Islam muncul dan berkembang di Indonesia terutama sejak dasawarsa kedua abad 20. Pertikaian mazhabi itu misalnya terjadi antara ‘Kaum Muda’ dengan ‘Kaum Tua’ di Sumatera Barat, atau belakangan antara Muhammadiyah dengan NU. Pihak pertama dengan semangat reformisme dan pemurnian berhadapan dengan pihak kedua yang membela paham dan praktik keagamaan yang telah mentradisi selama Resonansi Azyumardi Azra
70
berabad-abad.
Meski kedua pihak terlibat dalam suasana yang kadang-kadang kurang harmonis, mereka tidak pernah terlibat dalam konflik dan kekerasan secara signifikan yang berlangsung lama. Perbedaan dan pertikaian lebih banyak tersalur dalam wacana, polemik dan perbedaan.
Dalam keadaan seperti itu, berbagai perubahan politik, sosial dan keagamaan juga berlangsung cepat, khususnya sejak masa pasca-proklamasi kemerdekaan. Perubahan-perubahan politik dan ekonomi yang cepat dan berdampak panjang sejak pembangunan ekonomi Indonesia juga menimbulkan perubahan sosiologiskeagamaan umat muslimin Indonesia yang menciptakan iklim kondusif bagi konvergensi mazhab Islam Indonesia.
Peningkatan pendidikan dan ekonomi serta interaksi lebih intens antar-orang dan masyarakat membuat kaum muslim Indonesia kian lebih bersikap terbuka, inklusif, akomodatif dan toleran—termasuk dalam furu’iyah. Karena itu pertikaian furu’iyah hampir tidak lagi menjadi isu.
Salah satu (jika tidak satu-satunya) masalah tersisa adalah terkait penentuan awal dan akhir Ramadhan; perbedaan antara mazhab hisab dan mazhab ru’yat. Perbedaan di antara kedua belah pihak ini sangat mungkin dapat terjembatani sehingga menciptakan konvergensi. Di sinilah pemerintah perlu terus berupaya membangun parameter dan kesepakatan di antara ormas-ormas Islam agar di masa depan yang panjang tidak ada lagi perbedaan dalam mengawali puasa dan merayakan Lebaran.
Resonansi Azyumardi Azra
71
Pasca-Dua Muktamar 06 Agustus 2015, REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Hal-hal penting apa saja yang bisa dicatat pasca-dua muktamar; Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur dan Muktamar Muhammadiyah ke47 di Makassar pada pekan pertama Agustus 2015? Satu hal sudah pasti, kedua muktamar mendapat perhatian besar, bukan hanya dari puluhan juta anggota organisasi, tetapi juga para pengamat dalam dan luar negeri serta media massa yang mengindikasikan signifikansi besar kedua ormas Islam Indonesia ini.
Mengamati kedua muktamar, satu hal penting lain juga juga perlu dicatat, yaitu penegasan kembali komitmen dan kesetiaan kebangsaan-keindonesiaan Muhammadiyah dan NU. Penegasan ini mencakup tentang telah finalnya integrasi keislaman-keindonesiaan seperti terpatri dalam empat ‘perjanjian’ pokok yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Meski telah sering diulang dalam berbagai muktamar dan pernyataan pimpinan kedua ormas Islam terbesar di dunia muslim ini, penegasan tetap diperlukan; penegasan itu kini dan ke depan bahkan tetap tepat waktu (timely). Hal ini tidak lain karena pada saat yang sama tantangan gagasan dan praksis transnasionalisme Islam juga meningkat, yang paling menonjol sekarang adalah ISIS dengan ‘khilafah’ atau ‘dawlah Islamiyyah’ yang menggunakan kekerasan dan brutalitas.
Lebih jauh, dengan penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan, kedua ormas Islam wasathiyyah ini memastikan Indonesia tetap menjadi negeri yang secara politik tetap aman dan damai. Peran NU dan Muhammadiyah dalam hal ini sangat krusial mengingat posisi, pengaruh dan leverage-nya masing-masing yang sangat besar sepanjang sejarah eksistensinya sejak masa pergerakan kebangsaan di masa penjajahan Belanda mulai dasawarsa awal abad 20. Resonansi Azyumardi Azra
72
Penegasan komitmen kebangsaan-keindonesiaan sama pentingnya dengan kesetiaan pada Islam wasathiyah—Islam Nusantara, atau lebih tepatnya Islam Indonesia, yang berkemajuan untuk mewujudkan peradaban Indonesia sendiri dan peradaban dunia yang rahmatan lil ‘alamin. Hanya Islam yang jauh dari berbagai bentuk ekstremisme dan radikalisme yang memberikan iklim dan suasana kondusif bagi kedua ormas Islam beserta para warganya dan umat Islam Indonesia lainnya untuk dapat mengakselerasikan amal ibadah dalam berbagai aspek kehidupan.
Untuk fungsionalisasi dan aktualisasi Islam berkemajuan guna mewujudkan peradaban rahmatan lil ‘alamin, Muhammadiyah dan NU tetap pula perlu senantiasa setia pada khitah masing-masing sebagai ormas Islam untuk memajukan dakwah, pendidikan, kepenyantunan sosial dan ekonomi-sosial umat muslim Indonesia. Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam ketiga bidang yang disebutkan pertama, tetapi masih banyak hal yang mesti dilakukan untuk bidang terakhir; belum banyak muncul usaha ekonomi signifikan dari kalangan umat muslim, dan juga masih banyak umat Islam yang belum terangkat dari lembah kemiskinan.
Dalam konteks itu, baik Muhammadiyah dan NU beserta ormas-ormas Islam wasathiyah lain di seluruh penjuru tanah air perlu tetap berteguh diri sebagai gerakan Islam kultural daripada sebagai gerakan Islam politik. Sejarah dinamika kedua ormas Islam ini khususnya sepanjang masa Orde Baru dan seterusnya membuktikan, berbagai usaha memajukan umat-bangsa lebih berhasil melalui pendekatan Islam kultural dengan mengembangkan dakwah, pendidikan dan kepenyantunan sosial.
Sebab itu, NU dan Muhammadiyah seharusnya tetap tidak tergoda pada godaan dan tarikan politik yang bisa memabukkan. Seperti terlihat dalam kedua muktamar, godaan politik itu juga muncul, meski tidak secara jelas menguat. Jika para pimpinan ormas tergoda politik kekuasaan, dampaknya adalah politik yang divisif dengan segera dapat berimbas secara internal organisasi.
Oleh sebab itu, Muhammadiyah dan NU semestinya tetap mampu melakukan penjarakan politik (political disengagement); tidak terlibat langsung dalam politik kekuasaan (power politics). Hanya dengan begitu, keduanya beserta banyak Resonansi Azyumardi Azra
73
Jam’iyyah Islamiyyah lain dapat terpelihara dari kegaduhan politik yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Dengan tetap melakukan political disengagement bukan berarti NU dan Muhammadiyah beserta ormas-ormas Islam lain bersikap apatis dan tidak peduli pada politik. Sebaliknya, dengan political leverage yang mereka miliki, mereka justru perlu meningkatkan peran politik untuk kemaslahatan negara-bangsa.
Peran politik itu selama ini telah dimainkan Muhammadiyah dan NU; yang kini dan ke depan tetap diperlukan adalah peran politik sebagai civil society, masyarakat sipil atau masyarakat madani, atau masyarakat kewargaan. Sebagai masyarakat madani, keduanya beserta ormas lain sepatutnya meningkatkan peran membangun tamaddun, peradaban; sebagai masyarakat sipil membangun kembali civic culture dan public civility, keadaban publik yang terlihat merosot secara signifikan sepanjang masa pasca-Soeharto.
Tak kurang pentingnya, sebagai civil society, NU dan Muhammadiyah seyogyanya memperkuat kembali perannya sebagai kekuatan moral dan pengimbang terhadap partai politik dan pemerintah yang sering terlibat kegaduhan politik sehingga menelantarkan peningkatan kemaslahatan bangsa. Pada saat yang sama juga menjadi mitra kritis (critical partners) bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lain guna mewujudkan Indonesia berkemajuan dan berperadaban.
Resonansi Azyumardi Azra
74
Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (1) 10 September 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Meski bertetangga dekat, hubungan Australia dengan Indonesia tidak selalu mulus. Secara umum hubungan kedua negara berlangsung baik, tetapi bukan tidak jarang ada ketegangan, termasuk khususnya di masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott yang sudah berusia dua tahun sampai sekarang. Misalnya, kedua negara sempat menarik duta besar masing-masing berikutan eksekusi hukuman mati pada 29 April 2015 di Nusakambangan terhadap dua warga Australia penyelundup narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Dalam psike banyak pejabat publik dan warga Australia, Indonesia yang begitu besar wilayah dan penduduknya merupakan ancaman keamanan utama yang senantiasa perlu diwaspadai. Dengan psike seperti itu, masalah politik, ekonomi dan manusia perahu yang melintasi perairan Indonesia menuju Australia sering menjadi sumber pertikaian.
Psike tidak sehat juga terkait agama, Indonesia dengan mayoritas absolut dari penduduk sekitar 245 juta adalah negara muslim terbesar di dunia. Sementara Australia berpenduduk sekitar 22,5 juta yang mayoritas (61 persen) adalah kristianitas dengan berbagai denominasi atau gereja—muslim hanya 2,2 persen.
Sejumlah kejadian besar kekerasan dan teror terkait orang atau kelompok muslim sejak dari peristiwa 11 September 2001 di AS, pemboman di Madrid (11 Maret 2004), pemboman di London (2/7/2005) dan bom Bali I (12 Oktober 2002) yang menewaskan banyak warga Australia dan bom Bali II (1 Oktober 2005), membuat citra Islam dan kaum muslim kian memburuk.
Resonansi Azyumardi Azra
75
Kemunculan Boko Haram dan IS yang menyebabkan eksodus migran dari Timur Tengah ke Eropa dalam beberapa bulan terakhir menambah buruknya citra Islam dan kaum muslim di mata banyak kalangan masyarakat non-muslim, termasuk di Australia. Kekacauan politik dan kekerasan yang terus berlanjut di Siria, Irak, Libya dan banyak wilayah di Timur Tengah turut menjadi faktor meningkatnya gelombang migrasi ke Eropa.
Mencermati berbagai perkembangan tidak menguntungkan itu bagi citra Islam dan kaum muslim itu, mudah dipahami kenapa sangat perlu peningkatan dialog IslamKristen atau dunia muslim dan dunia Barat. Meski dialog antar-agama, antarperadaban dan antar-negara cukup meningkat sejak masa pasca-9/11, tetap masih sangat perlu peningkatan dialog-dialog semacam itu.
Pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama pernah sangat aktif melakukan dialog-dialog antar agama dan antar peradaban di berbagai negara dan benua pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Belum terlihat tanda peningkatan kembali kegiatan sangat penting ini pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Selain Indonesia, ada juga negara lain seperti Australia yang cukup aktif melakukan dialog antar-agama dengan melibatkan perguruan tinggi, institusi keagamaan dan organisasi masyarakat sipil. Meski dialog antar-agama kelihatan cenderung lebih terjadi pada level nasional—tidak banyak pada level tengah dan bawah—tetap saja banyak manfaat yang bisa diambil, khususnya bagi para pemimpin kristianitas dan Islam di negara ini.
Dialog publik antar-agama paling akhir di Australia diselenggarakan Australian Centre for Christian and Culture, Charles Sturt University (CSU). Bertajuk ‘Can Christianity and Islam Co-Exist?’, dialog publik diselenggarakan di enam kota sejak dari Adelaide, Brisbane, Port Macquairie, Melbourne, Canberra dan Sydney (111/9/2015). Narasumber tetap untuk keenam dialog publik tersebut adalah Reverend Profesor Ian James Haire, guru besar teologi CSU yang pernah menjabat Ketua Konsil Nasional Gereja-gereja di Australia dan Presiden Uniting Church Australia; dan penulis “Resonansi” ini. Resonansi Azyumardi Azra
76
Dapatkah Kristianitas dan Islam Eksis Bersama? Tema dialog publik ini kelihatan provokatif karena dalam kenyataannya Kristen dan Islam telah hidup berdampingan di banyak wilayah dunia selama berabad-abad. Meski demikian, tema ini mengisyaratkan adanya masalah dalam hubungan Kristianitas dan Islam—atau lebih tegas antara umat kristiani dan Muslim—yang mengakibatkan seolah-olah kedua agama besar dunia ini tidak bisa hidup berdampingan secara damai.
Dalam dialog publik di Adelaide dan Brisbane, Reverend (Pendeta Utama) Haire melihat, hubungan Kristen-Islam pada tingkat internasional umumnya baik, meski ada kasus-kasus kekerasan di antara umat kristiani dan muslim semacam Perang Salib di Eropa dan Palestina. Profesor Haire yang pernah bertugas di Sekolah Tinggi Teologi di Halmahera juga menyebut hubungan antara Kristianitas dan Islam di Indonesia umumnya baik. Meski demikian, kekerasan komunal pernah terjadi seperti di kristiani dan muslim di Ambon pada 1999. Bagi penulis “Resonansi” ini, Kristianitas dan Islam dapat dan harus hidup bersama sedikitnya pada dua level; doktrin dan historis. Pada level doktrin, Kristianitas bersama agama Yahudi yang datang lebih awal mendapat tempat di dalam alQur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam unik karena tidak ada kitab suci agama mana pun yang menyebut agama lain dalam ayat-ayatnya.
Bersama Islam yang datang paling belakangan, ketiga agama ini disebut sebagai millah Ibrahim (Abrahamic religions). Karena itu, pada dasarnya ketiga agama ini adalah siblings (kakak-adik), yang selain umumnya hidup bersama secara damai, juga kadang kala bertengkar atau bahkan berkelahi karena berebut mainan misalnya.
Resonansi Azyumardi Azra
77
Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2) 17 September 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Can Christianity and Islam Co-Exist? Pertanyaan ini kembali muncul dalam masa satu setengah dasawarsa terakhir, dan lebih khusus lagi sejak IS (Islamic State) dengan kekerasan dan brutalitas menyentakkan dunia, baik di dunia Islam maupun Barat. Gelombang migrasi dari Siria dan wilayah Timur Tengah lain meningkatkan tensi dan antipati tersembunyi di kalangan umat Kristianitas dunia.
Misalnya saja dalam dialog publik di Port Macquarie (5/9/15), dua penganut Kristianitas tanpa sungkan menyatakan, para teroris semacam IS tak lain hanya menjalankan perintah Islam dan contoh yang diberikan Nabi. Keduanya meminta penulis “Resonansi” yang tampil dalam dialog publik bersama Reverend Profesor Ian James Haire untuk mengutuk IS—hal yang memang patut dan sudah dilakukan penulis “Resonansi” ini sejak IS melakukan berbagai bentuk kebrutalan.
Kedua orang yang mengklaim banyak membaca tentang Alquran dan Nabi Muhammad di dunia maya, menggeneralisasi Islam dan para pengikutnya sebagai senang dengan kekerasan. Karena itu, bagi keduanya Kristianitas ini, sulit bagi Kristianitas untuk hidup berdampingan secara damai dengan Islam.
Pernyataan ekstrem dan ngebyah uyah ini jelas bukan representasi penganut Kristianitas di Australia—apalagi di seluruh dunia. Bahwa ada suara seperti itu di kalangan penganut Kristianitas tidak mengagetkan. Selalu ada di dalam agama mana pun orang atau kelompok yang memegang pendapat dan melakukan tindakan ekstrem.
Seperti dikemukakan Profesor Ross Chambers, presenter dialog publik, jika ada penganut Kristianitas semacam Hitler misalnya yang melakukan genosida terhadap Resonansi Azyumardi Azra
78
orang Yahudi, jelas ini tidak mewakili Kristianitas dan para penganutnya.Jelas mayoritas terbesar umat Kristiani mengutuk tindakan genosida.
Tetapi pertanyaaan yang selalu mengganggu adalah; kenapa selalu ada orang atau kelompok agama yang ekstrem? Pandangan dan aksi ekstrem-radikal bisa muncul karena mereka mengambil ayat atau potongan ayat tertentu dalam kitab suci dan kemudian menafsirkannya secara literal dan ad hoc tanpa melihat latar belakang historis maupun konteksnya baik di masa lalu maupun sekarang.
Profesor James Haire mempunyai penjelasan lain yang tak terbayangkan bagi banyak orang, khususnya para penganut Kristianitas. Menurut tokoh dan teolog terkemuka gereja Australia ini, banyak penganut Kristianitas mengidap semacam angst (bahasa Jerman), yaitu kegelisahan dan kemarahan yang bercampur aduk dengan frustrasi dan kejengkelan karena absennya Kristianitas dalam ruang publik (public space) selama berabad-abad sejak pemisahan gereja dengan negara pascareformasi Protestan abad 17.
Dalam perkembangannya, agama mengalami marjinalisasi menjadi hal privat, tidak ada kaitannya dengan publik.Ketika kalangan penganut Kristianitas berusaha menampilkan agama di ranah publik, mereka mendapat tantangan dan hambatan dari pemerintahan yang menganut ideologi sekularisme. “Selanjutnya, negara-negara mayoritas Kristianitas menerima kian banyak pemeluk Islam yang menampilkan berbagai simbol Islam dalam ranah publik sejak dari penampilan fisik, cara berpakaian, ketentuan makanan halal dan ketaatan kepada syariah. Keadaan kontras ini menimbulkan masalah tak terpecahkan di kalangan umat Kristianitas, yang menjadi akar pandangan dan sikap ekstrem-radikal”, tegas James Haire. Menjelaskan posisi Islam dalam hal tersebut, penulis “Resonansi” ini menegaskan tentang tidak adanya pemisahan dalam Islam di antara hal privat dengan publik.Mementingkan individual-personal, pada saat yang sama Islam meninggikan jama’ah atau umat yang bersifat komunal. Karena itu Islam selalu ditampilkan para penganutnya dalam ranah publik, yang dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat Resonansi Azyumardi Azra
79
keagamaan mayoritas di mana mereka menetap.
Di antara isu yang sering terutama dipersoalkan kalangan penganut Kristianitas Australia misalnya tentang syariah dan makanan halal. Bagi mereka syariah hanya mengancam ekuilibrium dan keutuhan negara-bangsa Australia.
Menjawab kecemasan itu Reverend James Haire menjelaskan, syariah memiliki cakupan sangat luas dibandingkan dengan ‘hukum’ dalam masyarakat Barat. Syariah selain menyangkut ketentuan tentang keimanan dan ibadah, juga mencakup ajaran yang di Barat disebut moral dan etik. Menyambung penjelasan tersebut, penulis “Resonansi” ini menjelaskan, bagian paling kontroversial dari syariah terkait hukum hudud, potong tangan bagi pencuri dan rajam sampai mati bagi pezina. Dalam kenyataannya, hampir seluruh negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim—kecuali hanya Arab Saudi—tidak memberlakukan hudud. Sebaliknya mereka menerapkan penafsiran ulama modern yang mengganti hudud dengan hukuman penjara.
Sedangkan dalam hal makanan halal, sesuai ketentuan syariah kaum muslim selalu wajib mengusahakannya meski juga ada kelonggaran pada batas tertentu, misalnya memakan kosher, makanan halal penganut agama Yahudi. Semestinya masalah makanan halal tidak dibesar-besarkan masyarakat Australia. Menurut penulis “Resonansi” ini, Australia bakal rugi secara ekonomi; tidak hanya terkait dengan hewan atau daging yang diekspor ke negara muslim seperti Indonesia, tetapi juga dengan meningkatkan produk halal lain seperti ‘shari’a tourism’ yang kini sedang dipopulerkan di Jepang untuk menarik kian banyak pelancong dari Indonesia misalnya. Karena itu, kehidupan halal-friendly justru penting dan bermanfaat bagi Australia dan negara-negara lain.
Resonansi Azyumardi Azra
80
Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (3) 01 Oktober 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Christianity and Islam Clearly Can and Should Co-Exist. Inilah salah satu kesimpulan pokok dialog publik Kristianitas-Islam di enam kota utama Australia (1-1/9/2015). Banyak tantangan yang dihadapi umat manusia di muka bumi, bakal dapat terselesaikan --atau setidaknya terkurangi-- jika umat kedua agama ini bahumembahu dalam hidup berdampingan secara damai.
Bayangkan penganut Kristianitas dengan beragam denominasi dan gereja berjumlah sekitar 2,2 miliar jiwa. Sedangkan, umat muslimin mencapai lebih dari 1,6 miliar orang --juga dengan beragam aliran dan mazhabnya.
Penganut kedua agama seyogianya meningkatkan pemahaman dan praksis untuk penguatan kebajikan dan kemaslahatan bersama (common good). Nabi Muhammad SAW, misalnya, mencontohkan pengembangan common good dengan menerapkan Konstitusi Madinah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah ketika menjadi pemimpin negara Kota Madinah.
Melalui Piagam Madinah (al-Mitsaq al-Madinah), Nabi Muhammad memberi kebebasan beragama dan perlindungan atas nyawa dan harta benda kaum Yahudi -by extension juga penganut Kristianitas.
Sangat disayangkan dalam sejarah Islam masa pasca-Nabi Muhammad pengembangan kemaslahatan bersama itu baik intra maupun antaragama sering terganggu sektarianisme aliran dan mazhab. Keadaannya kian parah dengan kebangkitan kembali ‘kabilahisme’. Sektarianisme keagamaan dan kabilahisme adalah penyebab utama konflik dan perang yang terus berlanjut sampai sekarang dalam masyarakat dan negara muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan, misalnya. Resonansi Azyumardi Azra
81
Konflik baik intra maupun antaragama dapat dicegah dengan dialog di antara berbagai pemangku kepentingan, khususnya kepemimpinan agama. Melalui upaya ini, pemahaman dan respek timbal balik lebih baik dapat dikembangkan dan pada saat yang sama persahabatan dapat tercipta di antara mereka.
Berhadapan dengan berbagai masalah global yang sekarang dihadapi umat manusia, Pendeta Haire dan penulis “Resonansi” ini maupun audiens lintas agama dalam ‘Scholars’ Forum’ di Sydney (11/9/15) bersepakat bahwa Islam dan Kristianitas tetap relevan untuk menjawab tantangan modernitas dewasa ini dan ke depan. Masalah serius seperti perubahan iklim, perusakan lingkungan hidup, konsumerisme dan hedonisme, dan dekadensi moral memerlukan respons dan aksi umat beragama.
Karena itu, umat kedua agama mesti membangun atau merekat kembali solidaritas (ukhuwah) internal umat yang beragam. Penulis “Resonansi” ini dalam dialog publik di Melbourne dan Canberra yang diikuti audiens antusias yang bukan hanya kristiani dan muslim, tapi juga penganut agama Yahudi, menekankan pentingnya membangun atau memperkuat tasamuh atau toleransi di antara aliran, mazhab atau denominasi berbeda dalam satu agama.
Hanya dengan tasamuh bisa tercipta persaudaraan yang sangat penting dalam menyelesaikan pertikaian, konflik, dan kekerasan internal. “We must first put our house in order in order to be able to create internal peace that can in turn be spread out to the others”. Selama konflik dan bahkan perang masih terjadi seperti di SuriahIrak dengan ISIS atau di Yaman dengan Hauthi dan Arab Saudi, selama itu pula tragedi kemanusiaan terus terjadi.
Profesor Haire juga melihat perlunya peningkatan dialog internal berbagai denominasi dan gereja yang bukan tidak sering terlibat dalam kontestasi dan pertarungan menyangkut umat dan pemerintahan. Sejarah Australia, misalnya, sangat diwarnai kontestasi dan perebutan pengaruh di antara Gereja Anglikan dengan Gereja Katolik. Keadaan ini sedikit-banyak mempengaruhi hubungan antargereja atau antardenominasi di benua kanguru.
Resonansi Azyumardi Azra
82
Karena itu, Pendeta James menyarankan pentingnya penguatan hal-hal yang sama atau komonalitas (commonality) di antara kedua agama dan para penganutnya. Komonalitas sangat penting untuk mengembangkan persaudaraan sebangsa yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ukhuwah wathaniyah.
Reverend James memandang, di antara hal-hal penting yang membuatnya tergerak (moved) ketika melihat Islam adalah penekanan kuat pada egalitarianisme dan moral individual-komunal (akhlak). Kedua hal ini sangat penting dalam meresponi ketidaksetaraan umat dan kelonggaran moral individual-komunal dalam masyarakat mayoritas kristiani seperti Australia.
Pada pihak lain, kaum muslimin di Australia atau negara lain di mana mereka minoritas (serta di negara-negara di mana mereka mayoritas, seperti Indonesia) mesti kembali kepada akhlak mulia yang sangat penting untuk membangun kehidupan antarmanusia lebih baik. Hanya dengan keseimbangan yang diajarkan dalam akhlaqul karimah kaum muslim dapat hidup lebih serasi dalam masyarakat majemuk.
Selain itu, kaum muslim perlu meningkatkan sensitivitas pada realitas sosial-budaya dan politik lokal di mana mereka menetap. Mereka sepatutnya menjalankan kearifan lokal yang terkenal di Indonesia, misalnya, ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ yang tidak berarti mengorbankan akidah, ibadah, dan ajaran Islam lainnya. Jika tidak, tensi dan konflik dapat selalu muncul dari waktu ke waktu.
Resonansi Azyumardi Azra
83
Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (1) 12 November 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Setiap perubahan dalam suatu masa dapat memunculkan tantangan serius tertentu pada agama. Karena itu, tidak heran jika kalangan ilmuwan dan akademisi— terutama yang bergerak dalam bidang agama dan perubahan sosial—memprediksi dan membangun berbagai teori tentang kian merosot dan bahkan menghilangnya agama dalam meningkatnya modernitas dalam berbagai lapangan kehidupan.
Bukan tidak jarang prediksi dan teori itu meleset jauh. Agama terus bertahan di tengah gelombang perubahan demi perubahan yang terkait dengan modernitas— termasuk globalisasi yang sering disebut para ahli sebagai salah satu puncak modernitas. Kebertahanan agama—khususnya agama wahyu; agama Yahudi, Kristianitas, dan Islam—terkait banyak dengan tradisi yang telah mapan selama berabad-abad. Tradisi ini tidak mudah berubah karena bersumber dari wahyu yang diyakini para penganut agama masing-masing sebagai permanen atau tidak berubah.
Tradisi agama mendapat tambahan kekuatan dengan ingatan bersama (collective memory) para penganutnya tentang doktrin dan praksis agama yang mendatangkan banyak kebaikan, manfaat dan keselamatan bagi umat manusia. Memori yang diabadikan dari waktu ke waktu dari satu generasi ke generasi berikutnya membuat tradisi keagamaan kian tidak mudah lenyap begitu saja.
Resonansi Azyumardi Azra
84
Subyek tentang agama dengan tradisinya dan memori para penganutnya dalam tantangan modernitas masih menguasai imajinasi dunia akademis dan para ahli. Hal ini misalnya terlihat dari konferensi selama tiga hari (9-11/11/2015) yang diselenggarakan Accademia Ambrosiana, Milan, Italia. Mengangkat tema ‘Tradizione, Memoria e Modernita’, Konferensi membahas tradisi ketiga agama Abramik (agama Yahudi, Kristianitas, dan Islam) dalam kaitan dengan memori penganutnya dalam menghadapi tantangan modernitas. Penulis “Resonansi” ini mendapat kesempatan baik bukan hanya sebagai salah satu narasumber dalam Konferensi Akademi Ambrosiana ini, tetapi juga sekaligus sebagai pembelajar. Pembicaraan tentang tradisi, memori dan modernitas terkait agama Yahudi dan Kristianitas memberikan perspektif perbandingan yang kaya dengan tradisi Islam dan memori kaum muslimin dalam menghadapi tantangan modernitas.
Dalam pembicaraan tentang tradisi versus modernitas dalam agama Yahudi misalnya, wahyu yang terkandung dalam kitab Torah (Taurat) memerlukan interpretasi baru untuk dapat memberikan jawaban terhadap tantangan modernitas. Tetapi interpretasi baru itu tidak bisa terlalu jauh dari teks, karena bisa dianggap otoritas ortodoksi sebagai ‘menyimpang’. Jadi, teks tetap penting bersamaan dengan perlunya pemahaman baru tentang konteks.
Salah satu kasus dalam konteks ini adalah tentang kedudukan perempuan. Secara tradisional kitab suci semacam Torah dan Injil mengajarkan pandangan bias terhadap perempuan. Dalam perspektif Torah misalnya, rahmat (blessing) Tuhan hanya diberikan kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Blessing ini dianggap sudah baku, yang kemudian diperkuat teks-teks yang dihasilkan ortodoksi keagamaan, pemimpin dan fungsionaris agama.
Dalam masa sekarang bukan hanya teks ayat kitab suci yang perlu dipertimbangkan kembali penafsirannya, tetapi juga mesti ditinjau ulang konteksnya—termasuk sejarah munculnya perumusan doktrin tertentu oleh otoritas ortodoksi. Pemahaman
Resonansi Azyumardi Azra
85
tentang blessing Tuhan hanya kepada laki-laki, tidak kepada perempuan adalah interpretasi subyektif para penafsirnya.
Jelas, sebelum kemunculan masa modern dengan gagasan dan konsep tentang modernitas, perempuan menduduki posisi marjinal dalam masyarakat Yahudi, Kristiani dan bahkan juga muslim. Tetapi dengan penyebaran modernitas, secara bertahap pandangan lebih positif terhadap perempuan mulai bertumbuh.
Dalam perspektif baru misalnya, perempuan dipandang memiliki kecenderungan spiritualistik lebih kuat dan lebih dalam daripada laki-laki. Karena itu, doktrin yang dihasilkan otoritas agama yang mendiskriminasikan perempuan dalam hal ibadah perlu dipertimbangkan kembali.
Dalam Islam misalnya ada fiqh yang menganjurkan perempuan untuk beribadah di rumah daripada ke masjid. Dalam perspektif baru, beribadah bersama antara jamaah laki-laki dan perempuan dapat memperkaya pengalaman spiritualitas. Hal ini tidak harus bertentangan dengan ortodoksi keagamaan.
Perspektif baru semacam ini memang bukan tanpa hambatan, khususnya dari otoritas ortodoksi keagamaan. Terdapat kecenderungan kuat otoritas keagamaan mana pun mempertahankan penguasaan menyeluruh (totalitarianisme) terhadap pemahaman dan praksis doktrin yang telah menjadi tradisi dan melekat dalam memori penganutnya.
Karena itu setiap upaya memberikan pemaknaan baru terhadap tradisi dan memori selaras modernitas mengenai pengalaman historis keagamaan hampir selalu mendapat resistansi dan penolakan otoritas ortodoksi. Penekanan kuat pada teks dan konteks yang melibatkan hermeneutika dalam menemukan perspektif baru mereka pandang berujung pada penyimpangan yang akhirnya menggoyahkan kitab suci dan bahkan agama itu sendiri.
Hasilnya, pergulatan antara tradisi dan memori pada satu pihak dengan modernitas bakal terus berlanjut. Namun dalam perjalanannya, kedua kubu ini juga dapat saling Resonansi Azyumardi Azra
86
mengakomodasi dalam batas tertentu, sehingga tradisi dan modernitas dapat eksis berdampingan, walaupun bukan tanpa kecanggungan.
Resonansi Azyumardi Azra
87
Agama: Tradisi, Memori, dan Modernitas (2) 19 November 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Ikhwal agama—dalam hal ini Islam—dalam kaitannya dengan modernitas pernah menjadi wacana akademis dan intelektual pada awal 1970-an ketika banyak negara, khususnya di Dunia Muslim—mulai melancarkan pembangunan ekonomi. Tetapi setelah hampir setengah abad sejak masa itu, kebanyakan negara di wilayah Dunia Muslim tetap berada pada pinggiran sejarah dan percaturan dunia. Banyak negara di ranah ini gagal dalam pembangunan dan modernisasi; modernitas tidak dapat berkembang baik guna memajukan kaum muslim.
Dalam konteks itu orang boleh jadi ingat pada Bernard Lewis dengan karyanya What Went Wrong? The Clash between Islam and Modernity in the Middle East (2003). Menurut Lewis, wilayah muslim Timur Tengah tidak bisa maju karena adanya benturan di antara Islam dan modernitas. Argumen pokok Lewis, bahwa yang salah dalam benturan itu adalah Islam yang tidak dapat berubah telah ditolak banyak ahli lain dan tidak perlu diulangi di sini.
Meski demikian, ikhwal modernitas dalam kaitan dengan Islam dan masyarakat muslim kembali menjadi perbincangan para ahli dan akademisi. Pada hari terakhir konferensi tiga hari (9-11/11/2015) Accademia Ambrosiana, Milan, Italia bertema ‘Tradizione, Memoria e Modernita’ pembahasan secara khusus diabdikan untuk mengkaji Islam dan modernitas.
Menurut Profesor Massimo Campanini, guru besar Universitas Trento Italia, yang menyatakan tidak setuju dengan pandangan Lewis, kegagalan menjawab modenitas itu lebih terkait dengan sejumlah faktor. Di antaranya adalah friksi dan konflik politik, Resonansi Azyumardi Azra
88
stagnasi ekonomi, dominasi fiqh terhadap ilmu alam dan filsafat, taklid buta terhadap pemikiran kuno daripada hasil penelitian, dan penolakan atau ketidakmampuan memperbarui sistem kebebasan dan HAM.
Karena itu, menurut Campanini, dengan adanya faktor tadi kegagalan dalam modernitas tidak dapat dikaitkan dengan agama. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan, masa klasik Islam kekuasaan politik muslim berjaya, ekonomi bertumbuh makmur, ilmu alam dan filsafat mencapai kejayaannya dan masyarakat muslim sendiri berkembang lebih kompleks dan terdiferensiasi.
Sejak abad pertengahan Dunia Muslim terhinggapi berbagai faktor tidak kondusif yang menghalangi upaya membangkitkan kemajuan masyarakat muslim. Sementara itu, khususnya sejak abad 17, Eropa mengalami renaisans dan revolusi industri sehingga menjelang pertengahan abad 19 sebagian besar kawasan Dunia Muslim jatuh ke tangan imperialisme dan kolonialisme Eropa.
Dalam pandangan Campanini, berhadapan dengan realitas pahit itu, ada dua macam reaksi kaum intelektual muslim; pertama, memodernitaskan Islam atau mengislamkan modernitas. Memodernitaskan Islam berarti percaya tradisi Islam tidak lagi mampu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat modern. Sedangkan mengislamkan modernitas percaya Islam sepenuhnya modern dan rasional; karena itu mampu mengarahkan masyarakat atas dasar Alquran dan tradisi.
Menurut Campanini, masing-masing reaksi kalangan intelektual muslim terhadap modernitas juga mengandung ekses. Ada kalangan pendukung memodernitaskan Islam yang menganggap Islam tidak lagi relevan. Ada pula pendukung pengislaman modernitas yang berusaha melawan sumber modernitas, yaitu Barat, dengan kekerasan dan bahkan terorisme.
Meski demikian, reaksi kedua pihak tersebut mengandung gagasan tentang perlunya kebangkitan (nahdah), pembaruan (tajdid) dan reformasi (islah) dalam menghadapi modernitas. Sedangkan arus utama muslim menekankan perlunya kaum muslim dan pemikiran Islam untuk mengkaji modernitas secara mendalam dan Resonansi Azyumardi Azra
89
mengelaborasinya menjadi ‘modernitas Islam’. Penulis “Resonansi” ini dalam kesempatan yang sama (11/11/2015) turut membahas modernitas dan Islam dalam konteks masyarakat demokratis dan kebebasan beragama, khususnya di Indonesia. Sebelumnya, penulis (10/11/2015) juga membahas subyek ‘Tradisi dan Modernitas di Dunia Muslim’ di Universita Cattolica, Milan.
Menurut penulis, modernitas harus dilihat dalam dua perspektif; modernitas sebagai nilai dan modernitas sebagai tahapan sejarah. Dalam hal modernitas sebagai nilai, Islam mengandung banyak komonalitas dengan nilai-nilai modernitas termasuk orientasi ke masa depan (progressive) daripada ke masa silam; etos kerja yang tinggi; penggunaan akal pikiran;dan inovasi pengetahuan sains dan teknologi.
Tetapi modernitas sebagai tahapan sejarah terkait dengan Eropa dimulai dengan percerahan (aufklaruung), renaisans, reformasi gereja, dan revolusi industri. Dalam konteks Eropa, modernitas mengandung karakter pertumbuhan toleransi sebagai prinsip politik dan sosial; penggunaan akal dengan orientasi anthroposentrik; peningkatan sains dan teknologi, industrialisasi dan mekanisasi; kebangkitan merkantilisme dan kapitalisme; dan ‘penemuan’ dan kolonisasi dunia non-Eropa.
Kaum muslim Indonesia menerima modernitas secara diam. Nilai dan proses modernitas berjalan tanpa perdebatan substantif. Hasilnya, Indonesia dapat melangkah lebih mulus dalam proses adopsi modernitas untuk kemajuan.
Tetapi banyak muslim di Timur Tengah, melihat modernitas tak lebih dari eropanisasi atau westernisasi, liberalisasi dan sekularisasi. Karena itu, mereka berusaha melawan modernitas dengan cara apa pun, termasuk dengan kekerasan dan terorisme.
Resonansi Azyumardi Azra
90
Moderasi Islam 17 Desember 2015 Oleh : Azyumardi Azra REPUBLIKA.CO.ID
Pembicaraan tentang konsep, wacana, dan praksis Islam wasathiyyah menemukan momentum terkuat sejak Muktamar Muhammadiyah dan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang sedikit berimpitan waktunya pada Agustus 2015. Tumpang-tindih dengan wacana dan diskusi tentang Islam Nusantara, perlu elaborasi lebih jauh tentang wacana dan praksis tentang Islam wasathiyyah beserta pranata dan lembaga yang mutlak bagi aktualisasi Islam wasathiyyah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Elaborasi dan pengayaan wacana beserta praksis Islam wasathiyyah mendapat sumbangan penting Mohammad Hashim Kamali dalam karyanya, The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur'anic Principle of Wasatiyyah (Oxford & New York: Oxford University Press, 2015, xi+310 hlm). Seperti terlihat dalam judul ini, Kamali tidak menggunakan istilah 'Islam wasathiyyah', yang lazim digunakan di Indonesia. Ia menggunakan istilah 'jalan tengah moderasi Islam' berdasarkan prinsip Alquran tentang wasathiyyah.
Di Indonesia istilah 'moderasi Islam' atau 'moderasi dalam Islam' yang terkait dengan istilah 'Islam moderat' sering dipersoalkan segelintir kalangan umat Islam sendiri. Bagi mereka, Islam hanyalah Islam; tidak ada moderasi Islam atau Islam moderat. Karena itulah, istilah 'Islam wasathiyyah' yang 'qur'ani'--bersumber dari ayat Alquran (QS al-Baqarah [2]: 143) lebih diterima dan karena itu lebih lazim digunakan.
Terlepas dari soal peristilahan, buku Kamali, asal Afghanistan, yang sejak 1985 menjadi guru besar pada Universitas Islam Antar-Bangsa Kuala Lumpur dan Kepala Institut Kajian Lanjutan Islam Malaysia, merupakan karya original komprehensif yang membahas 'jalan tengah moderasi dalam Islam'. Dalam kerangka itu, ia Resonansi Azyumardi Azra
91
mendasarkan pembahasan pada prinsip qur'ani tentang wasathiyyah dari sudut analisis konseptual, perspektif tematik yang kemudian disertai sejumlah rekomendasi.
Dalam kajian tentang 'jalan tengah moderasi dalam Islam', Kamali menggunakan banyak rujukan ayat Alquran dan hadis serta penafsiran ulama arus utama (mainstream). Ia tidak hanya memaparkan pembahasan subjek ini di kalangan ulama dan pemikir Sunni, tapi juga ulama Syi'i. Bagi Kamali, pengikut Sunni, pembahasan dengan mengikutkan kedua sayap besar kaum muslimin ini penting dilakukan untuk mengeksplorasi pandangan masing-masing sehingga dapat menumbuhkan saling pengertian dan bahkan kesatuan umat.
Menurut Hashim Kamali, wasathiyyah merupakan aspek penting Islam, yang sayang agak terlupakan oleh banyak umatnya. Padahal, ajaran Islam tentang wasathiyyah mengandung banyak ramifikasi dalam berbagai bidang yang menjadi perhatian Islam. Moderasi diajarkan tidak hanya oleh Islam, tapi juga agama lain.
Misalnya, dalam keimanan dan tradisi Yunani-Yahudi dan Kristianitas, moderasi disebut sebagai 'golden mean', pertengahan yang diinginkan di antara dua sudut ekstrem yang memunculkan berbagai macam ekses. Hal yang sama juga ditekankan religio-filsafat Budhisme, yang menekankan kepada para penganutnya menghindari asketisme keagamaan sangat ketat atau sebaliknya menikmati kesenangan duniawi secara berlebihan. Sedangkan, dalam Konfusianisme ada ajaran Zhongyong yang menekankan moderasi kehidupan.
Karena itu, panggilan untuk moderasi perlu diingatkan kembali kepada para pemeluk semua agama, filsafat, tradisi budaya, dan masyarakat. Lebih jauh, perlu advokasi moderasi di muka bumi; di antara umat Islam, Kristianitas, Yahudi, Hindu, Buddha, dan penganut agama lain. Menggunakan istilah ‘wasathiyyah’ dan ‘moderasi’ secara bergantian, Kamali memandang moderasi terutama menyangkut kebajikan moral,yang relevan tidak hanya dengan kehidupan individual, tetapi juga integritas dan citra diri komunitas dan bangsa. Moderasi dalam proyeksi Qur'ani menyangkut identitas diri dan Resonansi Azyumardi Azra
92
pandangan dunia komunitas atau umat Islam. Lebih jauh, moderasi adalah kebajikan yang membantu terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan dan masalah personal, dalam keluarga dan masyarakat serta spektrum hubungan antarmanusia lebih luas.
Kamali benar dengan menyatakan, kebutuhan pada pemahaman wasathiyyah menemukan signifikansi dalam masyarakat yang kian plural atau majemuk dewasa ini. Tetapi pada saat yang sama, ketegangan antarkelompok manusia juga kian meningkat, khususnya setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat, pengeboman di Madrid, London, Bali, dan seterusnya sampai peristiwa terakhir di Paris belum lama ini.
Penyebaran dan meningkatnya ekstremisme dan kekerasan menimbulkan korban bukan hanya di berbagai tempat tadi, tetapi juga di berbagai kawasan Dunia Muslim. Bahkan, jumlah korban nyawa dan kerusakan harta benda di banyak negara muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan jauh lebih besar.
Karena itu, menurut Hashim Kamali, peningkatan moderasi jalan tengah Islam merupakan kebutuhan sangat mendesak bagi muslimin. Di sini Kamali mengutip Buya Syafii Maarif yang menyatakan, orang-orang radikal muslim, sesungguhnya sangat minoritas di tengah lautan umat moderat. “Karena itu, mayoritas moderat memiliki kekuatan untuk mengutuk kelompok radikal. Sayang, mayoritas kaum moderat lebih senang berdiam diri daripada mengonter orang radikal."
Resonansi Azyumardi Azra
93
PENDIDIKAN DAN SOSIAL-BUDAYA
Resonansi Azyumardi Azra
94
Dua Pesantren, Dua Budaya (1) 26 February 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya, dan dua realitas. Meski keduanya sama-sama pesantren, masing-masing mencerminkan sejarah panjang relatif berbeda. Perjalanan masing-masing pesantren hari ini dan ke depan meski memiliki banyak kesamaan, tetapi tantangan yang dihadapi juga sangat berbeda.
Pesantren bisa dipastikan adalah salah satu warisan (legacy) Islam Indonesia yang sulit ditemukan tolok bandingnya di wilayah Dunia Muslim lain. Pesantren bukan hanya menjadi lembaga pendidikan tertua di Pulau Jawa khususnya, tetapi juga merupakan salah satu simbol eksistensial pendidikan Islam Indonesia.
Meski zaman berganti, penguasa juga datang dan pergi, pesantren tetap bertahan. Kenapa bisa? Tidak lain karena kemampuan adaptif pesantren yang sangat tinggi. Karenanya, zaman boleh berlanjut dan musim pun berganti; tetapi kebanyakan pesantren bukan surut, tapi menemukan momentum baru di tengah perubahan sangat cepat dan berdampak luas di lingkungan yang mengitarinya.
Tetapi kondisi masing-masing berbeda. Yang satunya berkembang pesat dengan fasilitas relatif amat lengkap, sedangkan yang satunya lagi menampilkan perkembangan tidak fenomenal.
Perbedaan kondisi, fasilitas dan kelengkapan yang berbeda banyak terkait dengan posisi masing-masing pesantren di lingkungannya. Watak, realitas dan kecenderungan sosial-budaya keagamaan dalam kaitan dengan lembaga pendidikan Islam semacam pesantren menjadi faktor pembeda sangat penting. Begitu juga perspektif pemahaman dan praksis keagamaan yang berlaku menjadi faktor penting dalam dinamika pesantren di ranah kaum muslimin Indonesia yang Resonansi Azyumardi Azra
95
berbeda.
Jadi, meski pengamatan langsung tentang perkembangan dan dinamika pesantren terbatas hanya pada dua pesantren, tetapi keduanya cukup representatif untuk relevan dengan konteks lebih luas di wilayah-wilayah lain. Keduanya dapat menjadi tipologi pesantren yang berbeda kondisinya karena pola hubungan dan posisi yang berbeda dalam lingkungan masyarakat dengan realitas sosial-budaya dan distingsinya masing-masing. Dengan hujjah seperti itu, penulis “Resonansi” ini merasa beruntung belum lama ini dapat mengunjungi dua pesantren; melihat dan merasakan langsung denyut pesantren. Pengamatan itu memperkuat argumen yang selama ini dipegangi penulis terkait dinamika pesantren terkini secara keseluruhan.
Yang pertama terkunjungi adalah Pesantren an-Nuqayah, Guluk-guluk Sumenep, kabupaten paling timur Pulau Madura, pada akhir Desember 2014 lalu. Sedangkan satunya lagi adalah ‘Pesantren’ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung, di pinggiran timur Kota Bukittinggi, Sumatera Barat menjelang akhir Februari 2015. Dengan lokasi ini, Pesantren an-Nuqayah merupakan pesantren tipikal di perdesaan (rural pesantren), sementara Pesantren MTI sudah berada di wilayah perkotaan dan, karena itu, dapat disebut sebagai ‘pesantren urban’.
Meski usia masing-masing berjarak hampir setengah abad, keduanya termasuk pesantren tua. Pesantren an-Nuqayah didirikan pada 1887 oleh KH Muhammad Syarqawi, ulama yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah.
Masa perempatan terakhir abad 19 ini penting dicatat, seperti pernah dikemukakan sejarawan terkemuka Indonesia, Sartono Kartodirdjo dalam satu bab bukunya The Peasant’s Revolt of Banten 1888 (1966) adalah periode ‘religious revival in Java’. Kebangkitan agama—dalam hal ini Islam—ditandai terus meningkatnya jumlah pesantren yang didirikan kiyai-kiyai dan/atau haji yang baru kembali dari Tanah Suci Haramayn. Sedangkan ‘pesantren’ MTI Candung didirikan pada Mei 1928 oleh Syekh Sulaiman Resonansi Azyumardi Azra
96
ar-Rasuli yang belakangan juga dikenal sebagai ‘Inyiak Canduang’. Periode ini dikenal sebagai masa kebangkitan nasional yang antara lain ditandai dengan Sumpah Pemuda. Masa ini juga dikenal sebagai periode gejolak dan kontestasi sosial, budaya dan agama di antara ‘Kaum Muda’ pada satu pihak berhadapan dengan ‘Kaum Tua’ di pihak lain. Ar-Rasuli umumnya dipandang sebagai salah satu representasi Kaum Tua.
MTI adalah contoh tipikal tepatnya transformasi surau, lembaga pendidikan Islam tradisional khas Minangkabau. Semula berasal dari pengajian kitab turats (warisan atau kitab kuning) sejak 1908 di Surau Baru Pakankamis, Candung, ar-Rasuli berada dalam posisi defensif ketika Kaum Muda memperkenalkan tidak hanya gagasan modernisme Islam, tetapi lembaga pendidikan modern baik dengan model persekolahan Belanda maupun lembaga pendidikan Islam modernis dalam bentuk madrasah klasikal semacam Adabiyah (1909) di Padang atau Sumatera Thawalib (1918) atau Diniyah Putri (1923) di Padangpanjang.
Ekspansi sekolah dan madrasah modernis, sebagian besar dimungkinkan melalui transformasi surau. Inilah gelombang transformasi kedua surau setelah pertama kali terjadi pasca-Perang Padri (1821-37). Berhadapan dengan tantangan tersebut, Sulaiman ar-Rasuli tidak melihat alternatif lain kecuali mengubah suraunya menjadi madrasah klasikal dengan mempertahankan tradisionalismenya.
Pada pihak lain, an-Nuqayah seperti pesantren umumnya di Madura dan tempattempat lain di Pulau Jawa muncul tidak sebagai hasil transformasi dari lembaga pendidikan sebelumnya. Pesantren tidak tergoyahkan modernisme Islam yang belakangan sampai ke Pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara.
Resonansi Azyumardi Azra
97
Dua Pesantren, Dua Budaya (2) 05 March 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya. Masa dua puluh tahun terakhir, setidaknya sejak 1990an sampai sekarang, pesantren mengalami transformasi baik secara fisik, kelembagaan maupun substansi pendidikan. Perubahan-perubahan itu agaknya mungkin tidak pernah dibayangkan kalangan pesantren sendiri dan pemerhati lembaga pendidikan ini—yang sejak masa awal pembangunan Orde Baru pada awal 1970-an telah berbicara tentang ‘krisis pesantren’. Apa yang disebut sebagai ‘krisis’ terutama terkait identitas tradisional pesantren seperti otoritas kiyai yang mutlak, santri yang mandiri, bersahaja, dan bekerja keras untuk menuntut ilmu. Modernisasi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru juga masuk ke pesantren menyangkut pembaruan kurikulum dan fasilitas seperti ‘listrik masuk pesantren’ yang membuat tersingkirnya sumur dan ember untuk digantikan mesin pompa air, sehingga para santri tidak perlu lagi menimba air—yang diasumsikan mengurangi kemandirian mereka.
Kedua pesantren, an-Nuqayah dan MTI Candung—seperti juga kebanyakan pesantren lain, khususnya di Pulau Jawa dan Madura—mengalami banyak perubahan baik fisik maupun substansi. Perubahan dalam berbagai aspek pesantren itu tidak bisa lain juga menimbulkan perubahan citra pesantren dalam masyarakat Indonesia.
Dari sudut populasi, Pesantren al-Nuqayah yang terdiri dari berbagai lembaga pendidikan memiliki lebih dari 8.000 santri dengan pesantren cabang daerah sekitar 14. Sedangkan Pesantren MTI Candung memiliki sepersepuluhnya, sekitar 800 santri. Cabang pesantren MTI juga memiliki sejumlah cabang yang tersebar di berbagai tempat di Sumatera Barat. Resonansi Azyumardi Azra
98
Dalam hal perubahan citra, para santri pada kedua pesantren itu sudah lama tidak lagi merupakan ‘santri budug’ (kudisan) karena asrama dan kamar tidur yang tidak bersih, sehingga tempat tidur mereka dipenuhi budug alias kepinding. Kini mereka hidup di lingkungan lebih higienis, bersih dan sehat. Perubahan ini dimungkinkan karena perubahan lingkungan fisik pesantren secara keseluruhan.
Perubahan fisik itu sangat jelas terlihat. Pesantren an-Nuqayah misalnya kini berdiri di atas lahan seluas 14 hektar. Di atas lahan itu ada dua masjid jami’; satunya warisan lama, dan satunya lagi masih baru dan megah. Lalu masih ada sembilan mushalla, 525 asrama santri 19 fasilitas perkantoran, 100 ruang kelas, satu kantor pos, dua gedung sekolah tinggi, 102 kamar mandi dan kakus, satu perpustakaan pesantren dan 14 perpustakaan daerah dan sekolah. Sebagian besar gedung di lingkungan pesantren ini permanen berlantai tiga.
Data fisik an-Nuqayah jelas mengagumkan. Tak banyak lembaga pendidikan baik umum maupun Islam yang memiliki fasilitas selengkap itu. Bahkan bisa dengan mudah ditemukan masih cukup banyak lembaga pendidikan di negeri ini yang memiliki fasilitas pas-pasan.
Pesantren MTI Candung agaknya termasuk ke dalam kelompok yang disebut terakhir. Pesantren ini berada di lokasi tanah tidak begitu luas. Menjawab pertanyaan penulis “Resonansi”, seorang Tuanku Mudo (‘kiyai muda’) menyatakan lahan MTI Candung sekitar 1,2 hektar yang sudah penuh sesak dengan bangunan— yang beberapa di antaranya bertingkat dua. Ia menuturkan, MTI Candung sedang mengusahakan pembelian lahan seluas 8.000 meter, tidak jauh dari lokasi pesantren sekarang; tetapi harga sudah relatif mahal, hampir tidak terjangkau kemampuan keuangan pesantren. Itulah kendala utama Pesantren MTI, sehingga tidak bisa ekspansi, misalnya saja asrama santri putra yang sudah lama direncanakan hingga kini belum bisa dibangun karena ketiadaan lahan.
Dua pesantren, dua budaya. Di sinilah terletak kontras kedua pesantren dalam konteks budaya masyarakatnya. Masyarakat Madura sering disebut sebagai ‘miskin’ karena tanahnya yang berkapur dan tandus. Berbeda dengan lingkungan Candung yang subur. Tetapi kedua masyarakat ini, baik Madura maupun Minang sama-sama Resonansi Azyumardi Azra
99
punya tradisi merantau; kelompok pertama karena susah penghidupan di negeri sendiri, sedangkan kelompok kedua lebih karena tradisi sosial budaya yang mengidealisasikan dan meromantisasi merantau.
Meski banyak orang Madura pergi merantau, mereka adalah muslim sangat bersemangat. Sepanjang jalan sejak dari ujung Jembatan Suramadu menuju Sumenep orang bisa menyaksikan deretan masjid demi masjid megah di sepanjang jalan. Hal ini kontras dengan Sumatera Barat. Jika orang berkendara dari Bandara Internasional Minang (BIM) di Kataping, Padang Pariaman, menuju Bukittinggi, jelas tidak terlihat deretan masjid yang sambung-menyambung seperti yang bisa ditemukan sepanjang perjalanan menuju Sumenep.
Karena semangat itu pula, kelihatan Pesantren an-Nuqayah tidak menemui kesulitan berarti dalam hal lahan. Bahkan pesantren ini memiliki lahan wakaf yang dikelola menjadi perkebunan tanaman palawija seluas sedikitnya 26 hektare. Pesantren anNuqayah juga memiliki lahan wakaf lain seluas 19 hektare lebih.
Sementara itu, ketersediaan lahan merupakan masalah sangat pelik di Sumatera Barat. Terkait kerumitan soal hak ‘ulayat’ atau ‘pusaka tinggi’, amat sulit memperoleh lahan untuk kepentingan bisnis atau kepentingan keagamaan dan pendidikan. Seperti terlihat dalam kasus Pesantren MTI dan lembaga pendidikan lain, sulit sekali menemukan adanya pemberian wakaf lahan dalam jumlah hektaran di Sumatera Barat.
Resonansi Azyumardi Azra
100
Dua Pesantren, Dua Budaya (3) 12 Maret 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya. Kedua pesantren: an-Nuqayah Guluk-guluk, Sumenep, Madura, dan MTI Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, jelas menampilkan gambaran berbeda. Sistem sosial, adat, dan corak Islam yang tumbuh dan berkembang dalam masing-masing suku sangat memengaruhi dinamika pasang dan surutnya pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam lain semacam madrasah.
Dalam masyarakat Madura, keterkaitan kuat antara pesantren dan masyarakat masih bertahan. Meminjam kategori klasik Deliar Noer, Islam tradisionalis yang menekankan ketundukan pada ulama yang berpusat di pesantren sebagian besar juga masih berlanjut. Karena itu, pesantren tetap bertahan.
Sementara dalam masyarakat Minang terlihat ada kerenggangan--jika tidak keterputusan--di antara masyarakat dan adat yang konon 'tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas' dengan pesantren. Islam modernis yang hegemonik di Sumatera Barat, justru menggugat otoritas ulama yang berpusat pada surau, lembaga pendidikan Islam tradisional Minang. Melekatnya citra yang tidak positif terhadap surau memaksa para pengasuhnya mengadopsi istilah ‘pesantren’. Adopsi istilah ‘pesantren’ khususnya sejak 1970-an oleh lembaga pendidikan Islam tradisional di luar Pulau Jawa menjadi momentum yang tidak pernah bisa lagi dimundurkan. Perubahan ini sekaligus merupakan konsolidasi lembaga pendidikan Islam tradisional yang sangat krusial bagi perjalanan pesantren dalam masa selanjutnya sampai sekarang.
Penting dicatat, sejak masa awal sejarahnya berbarengan dengan peningkatan penyebaran Islam sejak akhir abad ke-13, pesantren memainkan peran lebih Resonansi Azyumardi Azra
101
daripada sekadar lembaga pendidikan. Sejak awal, pesantren menjadi salah satu lembaga sentral dalam proses islamisasi. Adalah dari pesantren bermula transmisi keilmuan dan kecakapan keislaman.
Mengalami ekspansi dan konsolidasi secara fenomenal sejak abad ke-19, pesantren menjadi pusat keilmuan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Hal terakhir ini terjadi tidak lain karena pesantren sekali menjadi pusat tasawuf dan tarekat yang sejak akhir abad ke-18 mengalami 'eksklusifisasi' dan 'radikalisasi'. Seperti dicatat sejawaran Sartono Kartodirdjo, semua perkembangan terkait pesantren dan tarekat ini memunculkan 'kebangkitan agama' (religious revivalism) dengan semangat antikolonial yang terus meningkat.
Masa Orde Lama menyaksikan pesantren yang tetap bertahan dalam kesendiriannya --tanpa kemajuan berarti. Dalam perspektif perbandingan, lembaga pendidikan Islam tradisionalis berupa madrasah konvensional di wilayah dunia Arab, misalnya sejak 1960-an, mengalami integrasi ke dalam sistem pendidikan umum. Hasilnya, sekarang hampir tidak ada lagi lembaga pendidikan sebanding (comparable) dengan pesantren. Karena itulah, Indonesia merupakan negara muslim terkaya dengan warisan lembaga pendidikan Islam tradisionalnya.
Pesantren menemukan momentum sejak masa Orde Baru ketika pemerintah menginginkan pesantren tidak hanya sebagai 'objek', tetapi lebih lagi sebagai 'subjek', pelaku pembangunan masyarakat muslim, khususnya di perdesaan. Di sini pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam pembinaan koperasi; ekonomi mikro, kecil, dan menengah; kesehatan masyarakat; pemeliharaan lingkungan hidup, keluarga berencana, dan seterusnya.
Harapan pada pesantren datang tidak hanya dari pemerintah, tetapi lebih-lebih lagi dari masyarakat muslim sendiri. Secara konvensional, harapan umat itu mencakup pesantren sebagai lokus transmisi ilmu Islam, pemeliharaan ortodoksi dan tradisi Islam Indonesia, dan kaderisasi calon ulama.
Mobilitas pendidikan, sosial, dan ekonomi umat sejak 1980-an sampai sekarang meningkatkan ekspektasi pada pesantren. Pesantren diharapkan tidak hanya Resonansi Azyumardi Azra
102
membekali para santri dengan ilmu keislaman, tetapi juga dengan ilmu umum yang memperbesar ruang gerak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Atas alasan itu, pesantren juga mengembangkan pendidikan umum yang umumnya terbentuk melalui madrasah umum sejak dari tingkat dasar (ibtida'iyah), menengah pertama (tsanawiyah), dan menengah atas (aliyah). Dalam bidang pendidikan ini saja, banyak pesantren kini menjadi holding instution, lembaga induk yang mengikat berbagai institusi pendidikan sejak dari tingkat TK/RA, dasar, menengah, dan tinggi, baik yang berbasiskan pendidikan ilmu umum maupun agama.
Pesantren juga menjadi holding institution dalam bidang non-kependidikan, tegasnya dalam lapangan pengembangan masyarakat, baik terkait ekonomi, teknologi, kesehatan, dan seterusnya. Dengan demikian, pesantren menjadi lembaga yang sangat esensial dalam lingkungan masyarakatnya.
Dua pesantren, dua budaya. Banyak pesantren tidak memiliki kapasitas menjadi holding institution. Namun, harapan masyarakat tidak berkurang. Menyangkut pesantren besar semacam an-Nuqayah, misalnya, Usep Fathuddin, peneliti senior yang terlibat aktif dalam program LP3ES sejak pertengahan 1970-an untuk pengembangan pesantren, menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut tentang berapa besar hasil pesantren terhadap lingkungannya; apakah masyarakat sekitarnya menjadi lebih terdidik, lebih makmur, lebih damai --tidak lagi berlaku seperti zaman jahiliyah dengan balas membalas secara kekerasan? Pertanyaanpertanyaan dapat menjadi langkah awal meneliti pesantren masa kini.
Resonansi Azyumardi Azra
103
Suatu Pagi di Tukang Pijat 19 March 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Usai Subuh, menjelang matahari terbit, akhir pekan lalu di kawasan Tanah Kusir Jakarta Selatan penulis “Resonansi” ini sudah antri menunggu giliran dipijat. Pijat dengan segala bentuk turunannya agaknya paling lengkap di Indonesia. Pernah menetap dan keliling berbagai negara di lima benua, penulis “Resonansi” ini tidak menemukan jenis-jenis pijat selengkap di Tanah Air. Karena itu, tidak heran kalau banyak pejabat sampai ke tingkat presiden memelihara tukang pijat, yang juga ikut dibawa dalam perjalanan luarnegeri.
Menggemari selama puluhan tahun, pijat bukan hanya dapat menghilangkan rasa capek dan pegal, tetapi juga bisa menyembuhkan atau sedikitnya lebih meringankan penyakit semacam stroke, kejepit syaraf (yang pernah diderita penulis “Resonansi”) atau imsomnia dan stres. Pijat bukan tidak sering bisa menyembuhkan penyakit yang tak kunjung sembuh dengan dokter atau terapis. Kata orang, penyembuhan penyakit ‘cocok-cocok-an’; ada yang cocoknya dengan dokter, tapi juga ada yang cocoknya dengan tukang pijat.
Tapi hati-hati, jangan sampai terjebak tukang pijat yang juga melakukan praktek perdukunan, yang tentu saja musyrik. Atau tukang pijat yang menjanjikan penyembuhan ‘sempurna’ dengan bayaran yang sangat komersial—melibatkan dana puluhan juta, tukang pijat seperti ini tidak lain con-man alias penipu yang menjanjikan hal too good to be true, terlalu bagus untuk benar-benar bisa terwujud. Bagi penulis “Resonansi” ini, pergi ke tukang pijit adalah kesempatan emas untuk merasakan ‘denyut jantung’ orang-orang yang datang dari berbagai lapisan sosial sejak dari pejabat, pengusaha sampai kepada guru, buruh atau pensiunan. Mereka adalah kumpulan orang-orang yang bebas dari kungkungan berbagai struktur dan Resonansi Azyumardi Azra
104
batas; mereka adalah orang-orang yang dengan bebas dan polos mengungkapkan hal-hal yang mereka rasakan. Inilah suara yang mungkin tidak terekam survei dan juga tidak terungkap dalam media massa.
Adalah Pak Aceng misalnya yang sudah hampir setahun mengalami stroke, dan kini sudah bisa berbicara dengan lancar dan runut. Pensiunan pekerja rendahan rekanan Pemda DKI dalam penanganan hewan sembelihan ini mulai dengan menyatakan kekecewaannya pada pemerintah Jokowi-JK. “Saya sekeluarga dulu mencoblos banteng moncong putih dan juga pasangan JKW-JK. Tapi setelah sudah hampir setengah tahun, tidak terlihat tanda-tanda perbaikan hidup rakyat. Malah harga bahan pokok, terutama beras terus melonjak”.Akibatnya, semakin sedikit yang bisa dibeli dengan rupiah.
Pak Aceng yang sejak pensiun hidup pas-pasan juga tahu dollar kian melejit, nyaris tanpa kontrol memerosotkan nilai rupiah. Pak Aceng mencemaskan jika krisis moneter yang terjadi beriringan dengan kenaikan harga barang menimbulkan krisis ekonomi dan politik seperti 1997-1998 yang membuat jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto.
Mpok Inah, pewarung kecil juga merasa dagangannya yang serbasedikit (masingmasing satu panci; nasi, sayur tahu tempe, dan gorengan) makin tidak menyisakan keuntungan. “Dulu ada sedikit keuntungan selain bisa makan dari dagangan. Kini tidak bisa lagi bisa makan sekenyangnya dari dagangan”, kata Mpok Inah yang asli Betawi ini.
Kembali ke Pak Aceng; ia melihat pemerintah tidak bisa bekerja dengan baik karena tidak bisa menyelesaikan kegaduhan kekuasaan dan politik yang terus berlanjut. Ia melihat polisi yang sewenang-wenang dan terus menunjukkan arogansi kekuasaan. “Presiden Jokowi ternyata tidak tegas menindak petinggi Polri yang tidak menjalankan perintahnya”.
Bicara soal Polri, Pak Hasan mempertanyakan fenomena agak aneh terkait isu begal yang hampir secara serentak muncul di Indonesia sejak dari Aceh, Sumatera Utama, Jabodetabek sampai Sulawesi Selatan dan Maluku. “Aneh ya, di tengah Resonansi Azyumardi Azra
105
kegaduhan kepolisian dengan KPK yang kelihatan terus berlanjut, para begal di berbagai daerah dan kota muncul seolah ada pihak yang menggerakkan. Selama ini selalu ada begal, tetapi tidak melakukan aksi dan menjadi pemberitaan meluas di seluruh Indonesia”, ujar Pak Hasan yang pengusaha properti apartemen untuk kelas menengah di selatan Jakarta.
Mendengar berbagai suara rakyat, yang terdengar umumnya adalah keluhan dan kritik terhadap tidak berjalan baiknya pemerintahan. Mereka tidak berharap banyak kecuali beban hidup lebih ringan, yang lebih bisa dipikul dengan pendapatan mereka yang tidak banyak. Mereka tidak memimpikan hidup yang penuh kemelimpahan (affluent).
Dalam percakapan, terasakan juga kian merosotnya kepercayaan dan harapan kepada pemerintah. Memang dalam Pilpres 2014 lalu, terdapat semacam eksplosi harapan kepada pasangan JKW-JK. Tetapi, sejauh ini harapan itu kian menjauh daripada terwujud.
Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla masih memiliki waktu cukup banyak—sekitar 4,5 tahun—untuk bekerja, kembali menggenjot pembangunan. Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah melakukan evaluasi tentang berbagai hambatan dan kendala yang membuat pemerintah tak efektif sejak dari kondisi politik yang tidak kondusif sampai pada kebanyakan menteri kabinet yang tidak menunjukkan gejala kinerja yang baik.
Resonansi Azyumardi Azra
106
Kontroversi Buku Teks (1) 02 April 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Indonesia agaknya adalah salah satu negara yang paling sering mengalami kehebohan dan kontroversi sekitar isi atau bagian tertentu buku teks sekolah—sejak dari dasar sampai menengah hingga perguruan tinggi. Karena relatif sering terjadinya kejadian seperti itu, sulit mencari kata lain, instansi dan pihak bertanggungjawab dalam hal ihwal buku teks sangat ceroboh dan tidak bekerja seperti diharapkan publik, orangtua, dan peserta didik.
Kehebohan dan kontroversi terakhir misalnya terkait adanya muatan ajaran radikal dalam buku paket Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk SMA kelas XI yang dapat diunduh dari Buku Sekolah Elektronik. Dalam Bab 10 yang bertajuk ‘Bangun dan Bangkitlah Pejuang Islam’ termuat pada halaman 170 ada ulasan tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab [pendiri paham dan gerakan Wahabiyah di Arab Saudi]. Paham radikal Syaikh ‘Abdul Wahab yang dipegangi para pengikut Wahabiyah disampaikan dalam buku teks itu, yakni: “Siapa yang menyembah selain Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh”.
Tidak ragu lagi kalimat itu menunjukkan sikap ekstrem dan radikal paham Wahabiyah. Jelas pula, pernyataan seperti bukan tidak mungkin mempengaruhi pemahaman dan perilaku peserta didik, yang dapat mendorong radikalisasi di kalangan siswa dan remaja muslim Indonesia. Jadi, kalimat semacam itu dapat sangat berbahaya bagi kehidupan keislaman-keindonesian di hari ini dan ke depan.
Ada lagi buku PAI untuk SMA/MA kelas X yang dapat dipandang sebagai melecehkan sahabat Nabi, Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab. Sahabat Nabi yang merupakan khalifah kedua dari al-Khulafa’ al-Rasyidun memuat gambar [maaf, mirip celeng] yang disebut sebagai ‘Umar bin al-Khattab. Imajinasi liar yang sangat Resonansi Azyumardi Azra
107
melecehkan. Gambar ini juga ada dalam Latihan Kerja Siswa (LKS).
Tetapi kehebohan terjadi bukan hanya terkait pelajaran agama. Tak kurang seringnya juga adalah unsur ‘pornografi’ atau penggambaran hal terkait. Jelas hal seperti itu juga tak pantas termuat dalam buku teks sekolah. Pada Juli 2013 misalnya, masyarakat dihebohkan dengan adanya unsur ‘pornografi’ dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas VI SD. Dalam buku teks yang ditulis Ade Khusnul dan M Nur Arifin terdapat sejumlah kalimat asosiatif dengan pornografi—di luar kepatutan untuk ada dalam buku teks.
Menurut komitesdnpolisi4.blogspot.com (10 Juli 2013 yang juga diturunkan Republika 10 Juli 2013), terdapat kalimat dan kosakata jorok yang tidak patut dikutip kembali di sini. Teks itu terkait dengan lelaki sangat bernafsu dengan jakun turunnaik melihat perempuan molek PSK sehingga memperkosanya sampai hamil dan akhirnya melahirkan bayi dari [maaf] ‘selangkangannya’.
Bagian tidak patut juga terdapat dalam buku teks bahasa Indonesia untuk kelas VII/SMP Kurikulum 2013. Pada bagian lampiran buku teks tersebut ada kutipan dari Cerpen ‘Gerhana’ karya Muhammad Ali yang dari segi substansi dan bahasa tidak pantas disampaikan kepada peserta didik.
Kasus-kasus ini menunjukkan latennya unsur-unsur tidak patut masuk ke dalam buku teks sekolah. Pertanyaannya, kenapa kejadian seperti ini selalu berulang? Apakah naskah buku-buku teks itu diperiksa secara cermat oleh pihak-pihak bertanggungjawab? Apakah penulis buku pernah diteliti rekam jejaknya sebelum diizinkan menulis buku teks sekolah?
Bahwa kejadian seperti itu selalu berulang mengindikasikan, naskah buku teks beserta penulisnya tidak pernah diteliti serius, cermat dan hati-hati. Dari waktu ke waktu Mendiknas atau Mendikbud mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) penetapan sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai mata pelajaran lengkap dengan para penulis dan penerbitnya. Tetapi kasus demi kasus yang menghebohkan memperlihatkan, Mendikbud tinggal tanda tangan setelah ada paraf Resonansi Azyumardi Azra
108
Dirjen dan Dirjen memaraf setelah ada paraf Direktur atau pejabat lain terkait.
Sesuai Permendikbud, pihak yang bertanggungjawab memeriksa naskah buku teks adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemendikbud. Mereka berkewajiban memeriksa kelayakan naskah buku teks untuk diterbitkan baik dari segi isi, penyajian, bahasa dan kegrafikaan.
Tetapi, sekali lagi melihat kasus demi kasus yang terus menyeruak terlihat BSNP dan Puskurbuk tidak memeriksa secara cermat dan hati-hati naskah buku teks sekolah. Kelihatan mereka ceroboh bukan hanya dalam menilai substansi dan bahasa naskah, tetapi juga tidak mengetahui persis latar belakang keilmuan, kompetensi keilmuan dan kecenderungan pribadi-pribadi penulis dalam berbahasa (jorok atau genit) atau dalam pemahaman keagamaan (keras atau radikal).
Buku teks sekolah jelas memiliki posisi strategis dalam pembentukan keilmuan, pandangan hidup dan perilaku peserta didik pembacanya. Karena itu kecerobohan dan ketidakseriusan membaca dan menilai naskah buku teks sekolah sehingga meloloskan substansi dan bahasa tidak patut jelas tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.
Perlu segera pembenahan dalam sistem persetujuan penulisan buku teks dan penulis serta penerbitnya. Sangat penting pula melibatkan para pemangku kepentingan lain, khususnya orangtua murid. Dengan begitu, kerugian sangat besar bagi dunia pendidikan kita dan masyarakat umumnya dapat dihindari.
Resonansi Azyumardi Azra
109
Kontroversi Buku Teks (2) 09 April 2015,
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Jika di Indonesia hampir selalu terjadi kecerobohan menyangkut buku teks sekolah dengan isinya yang tidak pantas dari sudut moral atau agama, bagaimana di negaranegara lain? Bagaimana kebijakan negara lain menangani buku teks sekolah untuk memastikan tidak ada isi yang bermasalah bagi peserta didik, orang tua murid, dan publik umumnya?
Satu hal sudah pasti. Jika orang mencoba mem-browsing di internet kebijakan, panduan (guidance), ketentuan atau persyaratan buku teks sekolah Indonesia, orang pasti menemui banyak kesulitan. Hampir tidak ada panduan yang tersedia online, yang ada kebanyakannya adalah Permendikbud tentang penetapan sejumlah buku teks sekolah dalam berbagai mata pelajaran. Tidak ada penjelasan sedikit pun tentang buku teks yang diloloskan dan ditetapkan sah dipakai murid.
Hal ini berbeda dengan banyak negara lain, sejak dari Amerika Serikat, Jepang, Kanada sampai Singapura. Negara-negara ini dengan secara terbuka lewat online, misalnya, memaparkan berbagai ketentuan, panduan, dan persyaratan bagi buku teks sekolah.
Sesuai dengan desentralisasi pendidikan di AS, penetapan buku teks di Negara Bagian Virginia, misalnya, dilakukan Badan Pendidikan. Badan ini memberikan tanggung jawab pada penerbit untuk menjamin akurasi buku dari segi isi, bahasa, dan tipografi. Dewan sekolah lokal juga berfungsi sama dengan melibatkan orang tua murid untuk me-review dummy buku teks yang diusulkan.
Hal hampir sama juga diterapkan di Negara Bagian Ontario, Kanada. Menteri Pendidikan Ontario menetapkan buku teks sekolah setelah memenuhi berbagai Resonansi Azyumardi Azra
110
persyaratan dan proses rumit. Selain harus sesuai dengan kurikulum, buku teks yang diusulkan penerbit harus berdasarkan kesarjanaan dan keilmuan yang solid serta memiliki relevansi kontemporer.
Isinya juga harus bebas dari berbagai bias dan prasangka serta mesti memiliki orientasi ke Kanada —bukan ke negara lain. Pembahasan harus tidak hanya menampilkan satu sudut pandang, bebas dari bahasa diskriminatif, eksklusif, dan penuh muatan ideologis.
Seleksi dan penetapan buku teks sekolah jauh lebih ketat lagi di Jepang. Di Negara Matahari Terbit ini penetapan buku dilakukan Kementerian Pendidikan setelah melalui sejumlah proses. Pertama, penerbit membentuk tim akademik dan guru-guru yang setelah melalui perencanaan matang menulis buku teks.
Kedua, naskah buku dalam bentuk dummy diserahkan kepada Kemendik untuk diuji Dewan Riset Persetujuan Buku Teks yang memiliki otoritas meminta revisi substansi yang tidak sesuai. Ketiga, buku yang telah disetujui Dewan dan Kemendik kemudian diletakkan pada displai sekolah dan komunitas untuk diuji publik lokal —apakah diterima pihak sekolah atau tidak sebagai keputusan final.
Selain harus sesuai dengan kurikulum, kandungan buku teks sekolah di Jepang harus selaras dengan perkembangan mental dan psikologis peserta didik. Dalam hal terkait politik dan agama, pembahasan harus imparsial, tidak ada bagian buku yang mengkritik parpol atau agama dan aliran/mazhab serta ideologi atau kepercayaan tertentu. Pada saat yang sama, juga tidak menampilkan pendapat satu sisi saja atau bias terhadap subjek yang dibahas.
Tanpa berprasangka, penetapan buku teks sekolah di Indonesia tampaknya tidak pernah seketat yang terjadi di negara-negara tersebut. Karena itu, sejak zaman Orde Baru sampai sekarang, penetapan buku teks hampir selalu mengandung kekacauan dan kehebohan.
Pada zaman Orde Baru, penetapan buku teks sekolah terlihat lebih sebagai ‘kesepakatan’ di antara para pejabat Kemendikbud dengan pihak penerbit. Resonansi Azyumardi Azra
111
Penerbitan buku teks sekolah lebih merupakan ‘proyek’ kedua belah pihak ini. Hanya otoritarianisme rezim Orde Baru yang membuat kekisruhan menyangkut buku teks tidak muncul ke depan publik.
Pada zaman Reformasi pasca-Soeharto sampai sekarang yang penuh euforia kebebasan, penetapan buku teks sekolah dalam hal tertentu agaknya mengalami perubahan. Semangat pemberantasan korupsi cukup gencar membuat ‘proyek’ buku teks agaknya tidak lagi mudah dilakukan —walaupun bukan tidak ada sama sekali.
Meski ada kemauan menyediakan buku teks lebih baik dengan memberikan mandat kepada BSNP dan Puskurbuk, jelas seleksi ketat dan cermat tidak berjalan. Akibatnya, tetap ada bagian isi atau substansi buku teks yang tidak patut disajikan kepada murid, baik dari segi moral, akhlak, maupun agama.
Selain itu, standar keilmuan dan orientasi nilai para penulis tidak pernah dipersoalkan. Keadaan ini kian mempersulit sekolah dan peserta didik. Telah banyak penelitian yang, misalnya, mengindikasikan orientasi paham keagamaan transnasional radikal dalam mata pelajaran PAI. Juga hampir tidak ada penjelasan tentang keislaman-keindonesiaan; orientasi keindonesiaan yang kontekstual nyaris absen.
Sudah waktunya memperbaiki buku teks sekolah secara lebih komprehensif. Memperbaiki keadaan tidak cukup hanya dengan penarikan buku terkait. Ini hanya menimbulkan kerugian besar pada peserta didik, orang tua murid, masyarakat, dan penerbit. Tak kurang pentingnya, buku teks yang baik dan berkualitas merupakan bagian sangat penting dalam upaya memajukan pendidikan.
Resonansi Azyumardi Azra
112
Pedagogik untuk Indonesia (1) 07 May 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Setiap tahun bangsa ini merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei. Setiap kali pula yang terdengar dari para pemikiran dan praktisi pendidikan khususnya lebih banyak keluhan dan bahkan kejengkelan terhadap para pengambil kebijakan pendidikan yang bukan membuat pendidikan Indonesia kian maju, tetapi justru makin terbelenggu karena proses birokratisasi yang terus ditetapkan Kemendikbud (kini pendidikan dasar dan menengah) dan sekarang juga Kemendikti-Riset.
Lihatlah indikator berikut. Meski pendidikan lebih universal sudah dikembangkan sejak masa pemerintahan Orde Baru melalui sekolah inpres dan pendirian perguruan tinggi negeri di luar Pulau Jawa, sampai sekarang angka partisipasi kasar (APK) murid dan mahasiswa masih saja rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, APK PAUD 55 persen, APK SD/MI (sekitar 115 persen), APK tingkat SMP hanya sekitar 80 persen, APK tingkat SMA/MA sekitar 70 persen, dan APK pendidikan tinggi sekitar 27 persen. APK siswa-mahasiswa berumur 7-23 tahun hanya 81 persen (2011/12).
Meski anggaran pendidikan Indonesia sudah 20 persen dari APBN+APBD, tetapi hanya sekitar 3,40 persen dari PDB; bandingkan dengan Thailand (5 persen), Malaysia (7,9 persen). Lagi pula, kelihatan dana lebih kecil versus PDB tersebut tidak dibelanjakan secara bijak dan bertanggungjawab, sehingga belum berhasil meningkatkan pendidikan Indonesia baik dari segi fasilitas fisik maupun mutu. Masih terlalu banyak bangunan sekolah yang rusak dan tak layak pakai—jauh daripada kondusif untuk proses pembelajaran, apalagi pendidikan.
Sebagian orang—khususnya pengambil kebijakan pendidikan—boleh jadi berapologi dengan menyatakan, pendidikan Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Dengan jumlah peserta didik lebih dari 50 juta peserta didik dan hampir 3 juta Resonansi Azyumardi Azra
113
guru dan dosen dengan hampir 300 ribu sekolah dan perguruan tinggi, Indonesia berada di tempat keempat terbesar setelah Tiongkok,India, dan Amerika Serikat. Melihat kenyataan ini, orang bisa berapologi, bahwa tidak mudah mengurus pendidikan Indonesia.
Apologi semacam itu hanya kontra-produktif. Lebih baik berpikir melakukan langkah terobosan untuk mengatasi berbagai hambatan yang membuat pendidikan Indonesia tidak juga maju secara signifikan. Dengan begitu, warga Indonesia dapat lebih memiliki harapan pada pendidikan Indonesia.
Jelas, pencapaian pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Sampai sekarang, pendidikan Indonesia masih berada di rangking terbawah dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Menurut Laporan Learning Curve, Indeks Kemampuan Kognitif dan Pencapaian Pendidikan (Pearson, 2014), pendidikan Indonesia berada pada tingkat 40, di bawah Turki (34), Thailand (35), Kolombia (36), Argentina (37), Brazil (38), dan Meksiko (39). Bandingkan dengan Korea Selatan (1), Jepang (2), Singapura (3), Hongkong (4), Inggris (6), AS (14).
Melihat kenyataan yang tidak menyenangkan ini, berbagai upaya mesti dilakukan. Karena itu pemikiran dan pembicaraan tentang masalah pendidikan Indonesia tetap penting dan perlu dilakukan setiap dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).
Salah satu rangkaian pemikiran penting yang kontributif bagi usaha memajukan pendidikan Indonesia dituangkan H.A.R. Tilaar dalam buku terakhirnya, Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (Jakarta: Kompas, 2015). Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan Dies Natalis ke 51 Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bekerjasama dengan Komisi Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), karya ini diluncurkan lewat diskusi publik dengan pembicara Sri-Edi Swasono, guru besar ekonomi UI; Dja’ali, Rektor UNJ; dan penulis “Resonansi” ini.
Pedagogik Teoritis untuk Indonesia membahas sejumlah masalah mendasar dalam pendidikan Indonesia khususnya, yaitu: pertama, apakah pedagogik teoritis atau ilmu pendidikan teoritis itu; kedua, ilmu adalah universal, namun apakah ada ilmu Resonansi Azyumardi Azra
114
pendidikan yang khas Indonesia. Dengan ‘panduan’ pertanyaan itu, bagi Tilaar, masalah mendasar mengenai pendidikan mencakup: Hakikat Pedagogik (Ilmu Pendidikan) sebagai Ilmu Praksis; Pedagogik Teoritis dan Filsafat Indonesia; Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia; Proses Pendidikan yang Menghamba kepada Kepentingan Perkembangan Peserta Didik yang Merdeka; Tujuan Pendidikan Nasional; Guru Indonesia sebagai Pamong; Proses Belajar yang Mengembangkan Kemerdekaan Peserta Didik; Mengembangkan Kreativitas Manusia Indonesia; dan Arah Pendidikan Nasional Menyongsong Indonesia Emas 2045.
Kenapa pedagogik? Menurut Tilaar, guru besar emeritus UNJ, pengalaman dia setelah mendapatkan pendidikan profesional sebagai guru lebih dari 20 tahun dengan pengalaman kerja lebih dari 60 tahun menimbulkan keresahan. Kenapa? Karena “ilmu pendidikan Indonesia sebenarnya belum lahir. Kebanyakan referensi ilmu pendidikan Indonesia [masih] berasal dari asing khususnya dari Barat”.
Lebih jauh, Tilaar memandang pedagogik teoretis sebagai bentuk filsafat terapan memiliki sifat spesifik sebagai ilmu praksis. Dengan praksis pendidikan sesorang dapat dibangkitkan kesadarannya tentang kemerdekaan yang dia miliki, yang kemudian wajib dia kembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Resonansi Azyumardi Azra
115
Pedagogik untuk Indonesia (2) 21 May 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Pedagogik Indonesia. HAR Tilaar, guru besar emeritus berusia 83 tahun (lahir 1932), adalah salah satu di antara sedikit pengkaji dan praktisi pendidikan yang masih sangat aktif dan prolifik menulis. Selain Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (2015) yang merupakan karya mutakhirnya, dia telah menulis 28 buku dan 21 buklet tentang pendidikan. Belum lagi makalah dan artikel.
Tilaar adalah salah satu dari sedikit pemikir dan penggerak pedagogik kritis di Indonesia bersama figur semacam Mansour Faqih dan Mochtar Buchori--yang keduanya telah almarhum. Pemikiran pendidikan dan pedagogik kritis tokoh-tokoh ini secara tipikal melihat pendidikan dalam kaitan dengan politik, sosial, budaya, filsafat, atau agama.
Pendidikan lebih daripada sekadar teknologi pendidikan atau persiapan pengajaran dan pembelajaran di kelas. Sayangnya, banyak kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan --termasuk LPTK, perguruan/fakultas yang menghasilkan gurucenderung terbelenggu masalah teknis administratif yang bukan tidak menyita waktu. Akibatnya, para guru dan belakangan juga dosen semakin tidak punya kesempatan meningkatkan penguasaan substansi untuk mereka sampaikan kepada peserta didik.
Keadaan ini kian parah dalam dasawarsa terakhir ketika dunia pendidikan Indonesia sejak dari TK sampai perguruan tinggi mengalami proses birokratisasi terusmenerus. Para guru dan dosen sibuk dalam berbagai usaha mendapatkan sertifikasi atau mempertahankannya. Mereka menghabiskan waktu berhari-hari mengisi borang semacam penilaian kinerja guru (PKG) atau beban kerja dosen (BKD) dengan ketentuan dan poin yang sering tidak logis. Resonansi Azyumardi Azra
116
Jika mereka tidak mampu atau salah mengisi poin tertentu dalam borang semacam PKG atau BKD, bukan tidak sering mereka mendapat intimidasi dari atasan atau inspektorat kementerian. Mereka dengan mudah diancam sebagai 'melakukan perbuatan melawan hukum' atau 'harus mengembalikan tunjangan sertifikasi yang telah mereka terima'.
Karena itu, Tilaar mencatat, dunia pendidikan Indonesia terlalu dikuasai struktur kekuasaan. Akibatnya, pemikiran dan ilmu pendidikan serta ilmu pedagogik tidak dapat berkembang--atau bahkan disebut telah mati. Meminjam kerangka Raymond Williams, pemikir asal Inggris yang sangat berpengaruh pada paruh kedua abad ke20, pedagogik di Indonesia berada dalam kondisi budaya dominan--di bawah kekuasaan yang membelenggu.
Otonomi, kebebasan, dan kemerdekaan nyaris tidak ada lagi dalam dunia pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya menjadi sekadar unit pelaksana teknis (UPT) kementerian yang terkait dengan pendidikan. Mereka menjadi sekadar melaksanakan kebijakan para birokrat dan administrator pendidikan, yang sering mengeluarkan ketentuan dan kebijakan salah kaprah, menyesatkan, dan menjerumuskan pendidikan ke lubuk tanpa dasar.
Singkatnya, dalam pandangan Tilaar, lenyapnya kebebasan dan kemerdekaan peserta didik karena disebabkan dua hal pokok, pertama, sekali lagi pendidikan terlalu banyak dicampuri politik praktis. Berbagai kekuatan politik ingin melihat hasil secara cepat dari sistem pendidikannya karena terkait anggaran.
Kedua, pendidikan terlalu dipengaruhi pandangan ekonomi yang melihat tujuan dan hasil pendidikan untuk jangka pendek. Pendidikan dipandang sebagai investasi untuk memperoleh profit dengan cepat; pendidikan bukan dilihat sebagai investasi untuk pengembangan kapital budaya dan kapital sosial.
Jika pendidikan Indonesia dapat mencapai kemajuan--tidak hanya transfer ilmu, tapi juga melahirkan warga Indonesia yang merdeka mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan harkat dirinya--perlu perubahan mendasar dan fundamental. Meminjam kerangka AP Hargreaves & DL Shirley dalam The Global Fourth Resonansi Azyumardi Azra
117
Way (2012), perubahan radikal perlu dilakukan dalam empat hal.
Pertama, pembatasan tugas mengajar bagi guru (dan juga dosen). Mereka sebaiknya belajar lebih banyak dan lebih mendalam, termasuk dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, guru dan dosen tidak hanya kian berilmu, tapi juga dapat semakin efektif dalam proses pembelajaran.
Kedua, transformasi organisasi guru (dan juga dosen) untuk dapat lebih efektif memperjuangkan peningkatan penghargaan pada profesi guru dan dosen. Asosiasi guru dan dosen juga mesti meningkatkan perannya dalam peningkatan kondisi ekonomi dan kesejahteraan, sekaligus juga sebagai lokus peningkatan keilmuan dan profesionalitas para anggotanya.
Ketiga, peningkatan penguasaan teknologi oleh para guru dan dosen dalam rangka meningkatkan efektivitas pembelajaran. Dengan memanfaatkan dunia maya melalui e-learning, misalnya, para peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan sekaligus memecahkan berbagai hal yang mereka hadapi.
Keempat, pemberdayaan peran guru dan dosen sebagai dinamo perubahan. Mereka tidak hanya merupakan guru dan dosen profesional, tetapi juga intelektual yang menunjukkan jalan ke arah kemajuan peserta didik dan masyarakat.
Keempat rekomendasi ini tidak mudah diwujudkan, apalagi di tengah birokratisasi pendidikan yang terus berlangsung. Namun, sesulit apa pun keadaan, mereka yang cinta pada pendidikan Indonesia tidak boleh pernah menyerah.
Resonansi Azyumardi Azra
118
Komunitas Keadaban 28 May 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Kemerosotan keadaban publik (public civility) dalam masyarakat Indonesia masa pasca-Orde Baru merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Di mana-mana orang bisa menyaksikan pelanggaran keadaban publik, mulai dari pengendara yang tidak peduli dengan ketentuan lalu lintas, membuang sampah di jalan tol, buang air kecil di pinggir jalan, tidak mau tertib antrean sampai kepada pencurian aset publik yang lebih dikenal sebagai korupsi.
Tindakan-tindakan semacam itu membuat para pelakunya seperti orang uncivilized --tidak beradab atau tidak memiliki keadaban. Padahal, katanya, orang Indonesia dari berbagai suku selalu mengklaim sebagai religius, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, dan seterusnya. Memandang fenomena kemerosotan keadaban publik, penulis “Resonansi” ini merasa beruntung ketika memahami bahwa keadaban menjadi salah satu tema pokok yang digagas dan dipraktikkan seorang tokoh pembaharu Islam Indonesia asal Minangkabau, Abdullah Ahmad (1878-1933). Pembahasan tentang subjek ini menjadi wacana penting dalam Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun Perguruan Adabiah (1915-2015) --lembaga pendidikan yang didirikan Abdullah Ahmad.
Tokoh ini adalah salah satu dari generasi pembaharu Islam yang dikenal sebagai ‘Kaum Muda’ --lokomotif modernisme dan reformisme Islam di Asia Tenggara yang berawal dari Sumatera Barat. Mereka mencakup, antara lain, Haji Abdul Karim Amrullah (1979-1945 atau Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka), Muhammad Tahir Jalaluddin al-Minangkabawi al-Azhari (1869-1956), dan Muhammad Jamil Jambek (1862-1947).
Resonansi Azyumardi Azra
119
Meski Abdullah Ahmad merupakan tokoh terkemuka karena atribut yang melekat pada dirinya sendiri (on his own right) --tidak mesti harus selalu dalam konteks Kaum Muda-- tidak atau belum banyak kajian lengkap dan mendalam tentang sosok ini. Selama ini ia hanya mendapat pembahasan selintas dalam kajian tentang reformisme atau modernisme Islam Kaum Muda oleh sejarawan seperti Deliar Noer atau Taufik Abdullah.
Termasuk ke dalam core jaringan ulama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang berpusat di Makkah dalam figur guru utama, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), Abdullah Ahmad memilih untuk mengadopsi gagasan dan praksis modernisme atau reformisme Islam. Memang di antara murid-murid Ahmad Khatib ada yang menempuh jalan reformisme Islam, seperti Abdullah Ahmad dan Ahmad Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah 1912). Pada lain pihak ada pula yang menganut tradisionalisme Islam, seperti Hasyim Asy’ari (1871-1947, pendiri NU 1926), dan Sulaiman al-Rasuli (1871-1970, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti 1928).
Terkait dengan jaringan ulama yang berpusat di Makkah, Abdullah Ahmad memiliki pengetahuan agama mendalam. Berada di Makkah (1895-1899) dasawarsa terakhir abad 19, gagasan modernisme atau reformisme Islam yang diperkenalkan Jamaluddin al-Afghani (1838-1896), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), sangat menarik bagi Abdullah Ahmad.
Karena itu, pandangan dunia dan praksis keislaman Abdullah Ahmad jelas tipikal modernisme-reformisme. Ia berorientasi kuat pada Islam puritan, tidak menerima kompromi Islam dengan budaya lokal dan sekaligus menolak bid’ah dan taklid. Paham keagamaan ini termasuk ke dalam aliran Salafi. Tetapi berbeda dengan aliran dan kelompok Salafi tertentu yang agresif dan mudah melakukan kekerasan demi ‘puritanisme Islam’, Abdullah Ahmad menempuh pendekatan dan cara damai. Dalam berbagai tulisannya, ia menekankan pentingnya perdamaian dan persaudaraan antarbangsa dan umat manusia secara keseluruhan.
Dalam konteks itu, Abdullah Ahmad memandang pembangunan keadaban sebagai cara terbaik dan paling strategis. Untuk itu, ia pada 1906 mendirikan ‘Jami’ah Resonansi Azyumardi Azra
120
Adabiyah’. Dalam pemahaman penulis “Resonansi” ini, ‘Jami’ah Adabiyah’ bisa disebut sebagai ‘Komunitas Keadaban'. Istilah ‘Adabiah’ mengacu tidak hanya kepada ‘Community of Civility’, tetapi juga peradaban (civilization) dan ‘adab’ (virtuous moral conduct). Ketiga hal ini -keadaban, peradaban, dan adab-- menghasilkan genre literatur tersendiri dalam khazanah pemikiran Islam. Berdasarkan pemahaman itu, adopsi istilah “Adabiah” oleh Abdullah Ahmad melampaui zamannya. Ketiga istilah yang mengandung konsep dan praksis sangat penting tetap relevan di masa kini dan mendatang.
Tidak ragu lagi pendidikan merupakan wahana dan lokus paling strategis untuk membangun keadaban, peradaban, dan adab. Bisa mudah dipahami kalau kemudian pada 1909, Abdullah Ahmad mendirikan [Yayasan] Perguruan Adabiah. Selanjutnya pada 1915 ia mendirikan ‘Madrasah Adabiyah’ yang meski memakai istilah ‘madrasah’ yang berbasiskan sistem persekolahan Belanda.
Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan ini berkembang menjadi sekolah dengan kurikulum Belanda. Tetapi Abdullah Ahmad memperkenalkan inovasi ‘met de Qur’an’ --sekolah ala Belanda, tetapi dilengkapi ‘pelajaran agama’. Inilah preseden bagi sekolah Islam yang terus menemukan momentum sampai sekarang. Abdullah Ahmad dengan gagasan dan praksis ‘komunitas keadaban’, peradaban’, dan adab yang tetap relevan hari ini dan ke depan perlu revitalisasi. Tantangan kemerosotan keadaban publik mengharuskan kita menggali pemikiran dan praksis yang lahir dari pemikir --cum-- aktivis Abdullah Ahmad dan pemikir Indonesia lain.
Resonansi Azyumardi Azra
121
Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu 04 Juni 2015,
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Gelar akademik dengan ijazah palsu kembali menjadi berita besar di tanah air. Sejumlah ‘perguruan tinggi’ di negeri ini dicurigai sebagai pihak yang bertanggungjawab mengeluarkan ijazah dan gelar akademik palsu (fake degrees). Pihak ini tentu saja membantah. Tapi ada di antara mereka yang segera membuang kartu namanya dengan gelar akademik yang diperoleh secara tidak benar.
Pada akhir 1990an kehebohan yang sama juga terjadi di tanah air. Pada waktu tersebut ada sejumlah pejabat tinggi, birokrat pemerintahan dan anggota legislatif yang juga menggunakan gelar akademik yang mereka peroleh secara tidak wajar. Misalnya saja, seluruh apa yang mereka kerjakan diberi nilai SKS sehingga mereka tidak perlu kuliah beberapa semester seperti lazimnya. Kemudian mereka diwisuda di Singapura atau Taiwan misalnya.
Dari pihak pemberi gelar akademik dengan ijazah palsu, motif pokoknya tidak lain hanya bisnis dan keuntungan. ‘Usaha’ ini termasuk lukratif—mendatangkan banyak uang karena mereka yang tergoda mendapatkan gelar akademik dan ijazah palsu mau membayar biaya yang boleh jadi mencapai ratusan juta rupiah. Tawaran ini ‘too good to be true’, ‘terlalu bagus untuk benar’; tapi tetap saja ada orang-orang yang ‘termakan’, bahkan dengan biaya besar.
Tidak ada data berapa jumlah dana yang berhasil dikeruk pihak pemberi gelar dan ijazah palsu di Indonesia atau negara-negara lain. Yang jelas pasti melibatkan dana dalam jumlah besar—ratusan juta dolar setiap tahun.
Sebagai perbandingan, Harian The New York Times 17 Mei 2015 dan juga BBC 28 Mei 2015 melaporkan terbongkarnya sindikat pemberi gelar palsu di Pakistan. Gelar Resonansi Azyumardi Azra
122
akademik dan ijazah palsu itu diberikan perusahaan Axact dalam berbagai bidang dengan bayaran antara USD 2,000 sampai USD 30 ribu. Bahkan ada kelompok orang yang memperoleh gelar akademik dengan ijazah palsu secara patungan mengumpulkan dana 600 ribu dolar.
Sulit diperkirakan jumlah mereka yang telah menjadi korban Axact yang didirikan pada 1997 oleh seorang bernama Sheikh Shoaib. Kini ia memperkerjakan sekitar 25 ribu pegawai yang bekerja di 120 negara yang gentayangan menawarkan berbagai gelar akademik palsu—termasuk melalui sekitar 370 situs di dunia maya. Jadi, penjualan gelar akademik dan ijazah palsu ini bukan usaha bisnis main-main. Koran The New York Times 14 Mei 2015 menyebutnya sebagai ‘kerajaan pendidikan yang besar’ (vast education empire). Nama ‘universitas’ yang lazim digunakan aneh dan tidak biasa semacam ‘Grant Town University’, ‘Nixon University’, ‘Barkley University’—yang terakhir ini juga beroperasi di Indonesia. Lazimnya mereka menggunakan nama yang mirip nama universitas resmi, terkenal dan terakreditasi. Tetapi bisa dipastikan, ‘universitas’ semacam ini tidak ada dalam daftar nama universitas yang diakui dan terakreditasi di Amerika Serikat atau negara lain di mana mereka beroperasi.Tetapi sebagian lagi, pemberi gelar dan ijazah palsu itu terdaftar; cuma mereka senang memberi ijazah dan ijazah tanpa memenuhi persyaratan. Singkatnya, mereka ini ‘mengobral’ gelar dan ijazah.
Terlepas dari perbedaan kategorisasi semacam di atas, yang jelas mereka memberikan gelar akademik dan ijazah dengan tidak memenuhi standar dan parameter akademik yang lazim. Karena itu, di AS mereka lazim disebut sebagai ‘diploma mills’ alias ‘pabrik ijazah’. Kenapa ‘pabrik ijazah’ merajalela di seluruh dunia? Pertama karena tidak ada hukum yang tegas-tegas melarangnya, seperti di AS. Karena itu, mereka menggunakan ‘celah hukum’ untuk terus mempertahankan bisnis gelar dan ijazah palsu tersebut ke seluruh dunia.
Resonansi Azyumardi Azra
123
Jika pun ada hukumnya—seperti ada di Indonesia—hampir tidak ada kontrol dan pengawasan keras dan konsisten dari penanggungjawab pendidikan tinggi. Pihak ini baru bertindak setelah ada kehebohan. Setelah itu kembali diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lalu perbuatan nista ini kembali lagi berulang.
Penyebab kedua adalah gengsi terhadap kredensial akademik. Ada orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintah (atau pejabat publik) dan swasta yang sebenarnya tidak memerlukan gelar akademik dalam pekerjaan masing-masing justru memiliki pretensi untuk berbobot akademik. Dengan gelar (palsu) mungkin mereka merasa lebih berwibawa dan, karena itu, bakal lebih dihormati publik.
Di pojok dunia mana pun, termasuk di AS, Indonesia dan banyak negara lain ada orang-orang gila gelar seperti itu. Pada 2004, Laura Callahan, pejabat Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS, mengundurkan diri setelah dia diketahui menerima gelar ‘PhD’ dari Hamilton University yang tidak terakreditasi. ‘Hamilton University’ ini berbeda dengan Hamilton College yang terakreditasi sepenuhnya di Clinton, New York.
Apakah ada pejabat publik Indonesia yang juga menggunakan gelar dan ijazah palsu yang mau mengundurkan diri? Nampaknya bakalan tidak ada karena gejalanya seolah tak ada lagi rasa malu melakukan perbuatan tercela itu.
Karena itu sudah waktunya pretensi akademik mereka yang tidak mengajar di kampus dihilangkan. Pada saat yang sama rasa malu kembali diperkuat dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa rasa malu dan rasa bersalah—seperti dalam kasus gelar akademik dengan ijazah palsu—bakal tetap merajalela.
Resonansi Azyumardi Azra
124
Indonesia Setelah 70 Tahun 03 September 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Memasuki dasawarsa kedelapan setelah 70 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2015, negeri ini tidak hanya mampu bertahan di tengah berbagai tantangan dan kesulitan, tetapi juga mencapai banyak kemajuan signifikan dalam berbagai lapangan kehidupan.
Tetapi kecemasan dan kerisauan masih melanda banyak kalangan masyarakat— termasuk kalangan ahli dan spesialis—ketika Indonesia mulai melangkah memasuki dasawarsa kedelapan kemerdekaan. Hal ini terlihat misalnya dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) XXVI dalam rangka Kongres IX pada pekan lalu (27/8/2015). Dalam ‘introspeksi’ dan ‘retrospeksi’ AIPI, segenap warga bangsa patut bersyukur karena Indonesia tidak tercabik-cabik konflik komunal yang pernah melanda daerah tertentu dari waktu ke waktu. Selain itu, AIPI juga mengapresiasi prestasi Indonesia berdemokrasi selama lebih dari 15 tahun era Reformasi setelah sebelumnya mengalami periode sistem otoriter yang panjang di bawah rejim Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin (1959-65) dan rejim Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila (1966-98).
Di balik prestasi itu, AIPI juga mencatat tidak sedikit daftar kegagalan dan potret buram negara-bangsa Indonesia dalam rentang usia 70 tahun itu. “Di antara kegagalan itu dapat disebut misalnya kegagalan negara menegakkan pemerintahan bersih dengan memberantas atau sedikitnya mengurangi korupsi secara signifikan; kegagalan mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial; kegagalan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan kegagalan negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk hak hidup bagi minoritas agama dan kepercayaan”. Resonansi Azyumardi Azra
125
Karena itu, AIPI merasa perlu mengajukan pertanyaan; ‘Apa yang salah? Mengapa salah urus negara dan pemerintahan masih berlanjut terus dan hampir selalu berulang meskipun Indonesia sudah 70 tahun merdeka? Tantangan apa saja yang menghadang Indonesia menyongsong masa depannya? Apakah NKRI bisa bertahan untuk 100 tahun berikutnya?’
Pembicaraan dalam Sesi Panel Tokoh yang mencakup Menkumham Luhut B. Panjaitan; ekonom dan pakar lingkungan hidup Emil Salim; Ketua Umum AIPI dan Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang; dan penulis “Resonansi” ini tak bisa lain kecuali terfokus pada masa depan Indonesia berdasarkan tantangan dan masalah hari ini dan ke depan.
Secara umum, keempat panelis menyatakan optimis dengan masa depan Indonesia—meski disertai sejumlah catatan kritis dan reflektif. Luhut merasa optimis dengan masa depan Indonesia yang dengan demokrasi bisa membawa negeri ini ke arah lebih baik. Tetapi ia wanti-wanti mengenai Indonesia yang penuh keragaman, yang menghendaki pemimpin yang mampu berdiri di atas semua golongan. “Indonesia membutuhkan pemimpin yang dapat menjadi teladan. Indonesia tidak memerlukan pemimpin tanpa hati yang membuat rusak, pemimpin yang hanya mementingkan dirinya, golongannya dan kantongnya”.
Bagi Emil Salim, kerusakan masa depan Indonesia dapat disebabkan bangsa Indonesia sendiri, khususnya kalangan politisi yang tidak memiliki logika dan sensitivitas. Ia mengakui pentingnya para politisi dan parpol sebagai pilar demokrasi. “Sayangnya politikus justru membuat demokrasi bukan menjadi jalan untuk menciptakan keadilan sosial. Di tengah krisis ekonomi sekarang, ketika nilai dolar menuju lima belas ribu rupiah, DPR malah mau membangun tujuh proyek prestisius. Ke mana pikiran mereka?”, tegas Emil Salim. Berbicara setelah kedua panelis tadi, penulis “Resonansi” ini mengingatkan tentang pentingnya memelihara optimisme bangsa dalam menyongsong masa depan. Indonesia sepanjang 70 tahun kemerdekaan membuktikan kemampuan tidak hanya bertahan, tetapi juga mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Jika kita lebih banyak pesimis, masa depan negara bangsa ini juga menjadi gelap gulita. Resonansi Azyumardi Azra
126
“Dalam perjalanan selama tujuh puluh tahun, Indonesia tetap menjadi negarabangsa yang utuh di tengah berbagai ancaman dan potensi disintegrasi. Perjalanan sejarah selama tujuh puluh tahun mengajarkan bahwa di tengah segala skeptisisme, ketidakpercayaan dan ketidakmungkinan, Indonesia yang sangat plural tetap utuh dan bisa berdiri sampai sekarang”.
Banyak kalangan pengamat asing sejak masa pergerakan nasional, pascakemerdekaan sampai sekarang ini masih bersikap skeptis terhadap masa depan Indonesia. Bagi mereka, Indonesia adalah negara-bangsa yang tidak mungkin (improbable nation) yang merupakan ‘keajaiban’ (miracle) karena keragaman dan kebhinnekaan dalam berbagai aspek kehidupan. Meski merupakan ‘mukjizat’, menghadapi tantangan hari ini dan masa depan lebih jauh—seperti 100 tahun kemerdekaan pada 2045—pemerintah memiliki peran tanggung jawab khusus menciptakan kondisi lebih kondusif bagi pemeliharaan dan penguatan keindonesiaan.
Untuk itu, pemerintah semestinya mempercepat usaha mengatasi berbagai kesulitan ekonomi yang kini kian meningkat. Jika keadaan ekonomi terus memburuk, kesulitan hidup kian meningkat, dan jurang pendapatan kian lebar, maka potensi keresahan sosial bakal juga meningkat. Pada tahap ini, jika tidak terkendali, potensi dan ancaman disintegrasi dapat mewujudkan dirinya. Na’udzu billah min Dzalik.
Resonansi Azyumardi Azra
127
Ujaran Kebencian dan Kebebasan 05 November 2015
REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Pro-kontra mencuat di kalangan masyarakat terkait Surat Edaran (SE) Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang penanganan ‘ujaran kebencian’ (hate speech) di ranah publik. Ada tujuh bentuk ujaran kebencian disebut dalam SE: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Semua tindakan ini memiliki tujuan atau berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Dalam SE dinyatakan, ujaran kebencian bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat/komunitas berbeda dalam aspek: suku, agama, ajaran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antar-golongan, warna kulit, etnis, gender, difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian bisa tersampaikan melalui berbagai media, antara lain: orasi kegiatan kampanye [politik], spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
Menurut SE yang ditandatangani Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015, persoalan ujaran kebencian kian mendapat perhatian masyarakat nasional dan internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan HAM. Karena itu “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, akan berpotensi menimbulkan tindakan Resonansi Azyumardi Azra
128
diskriminasi, kekerasan atau penghilangan nyawa”.
Menghadapi ujaran kebencian, Polri menetapkan prosedur penanganan. Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun masalah tetap belum terselesaikan, penyelesaian dilakukan melalui penegakan hukum sesuai KUHP, UU No. 1/2008 tentang ITE, UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No. 8/2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial. Penulis “Resonansi” ini menyambut baik SE Kapolri tersebut. Meski penerbitan SE itu boleh dibilang terlambat; beberapa tahun lalu dalam seminar tentang ‘Hate Speech’ di Mabes Polri Jakarta untuk menyambut Hari Bhayangkara, penulis menyarankan perlunya UU tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Tetapi, nampaknya berbagai pihak terkait kurang peduli terhadap masalah ini sampai kemudian Polri mengambil inisiatif dengan menerbitkan SE Kapolri tersebut.
Sejak masa pasca-Soeharto khususnya—masa euforia kebebasan, ujaran kebencian terlihat merajalela dan mewabah di tanah air. Wabah itu paling jelas terlihat di dunia maya dan media sosial. Orang dengan mudah menemukan berbagai bentuk ujaran kebencian khususnya terkait SARA.
Ujaran kebencian juga sering terdengar dari mimbar agama, baik khutbah maupun pengajian. Tidak jarang khatib atau penceramah menyampaikan ujaran kebencian dengan menista kelompok lain baik intra maupun antar-agama, menuduh orang, kelompok atau aliran lain sebagai thaghut dan sesat.
Mereka yang memberikan ujaran kebencian dalam ceramah dan khutbahnya telah menyalahgunakan kebebasan berceramah agama di Indonesia. Negeri ini adalah ‘surga’ karena untuk berceramah tidak diperlukan izin; padahal di hampir seluruh negara berpenduduk mayoritas muslim lain orang tidak boleh memberi ceramah dan khutbah kecuali punya surat izin atau sertifikat dari lembaga resmi.
Hampir semua negara di dunia—termasuk yang paling bebas seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat—memiliki UU atau peraturan lain tentang Resonansi Azyumardi Azra
129
penanganan ujaran kebencian. Uni Eropa misalnya menerbitkan manual tentang ujaran kebencian; Anne Weber, Manual of Hate Speech (2011). Manual ini bertujuan memberikan panduan kepada para pejabat pemerintah, ahli, aktivis LSM dan masyarakat tentang kasus ujaran kebencian dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Dalam “Resonansi” pekan lalu (29/10) penulis menjelaskan, kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama (hurriyat al-ta`bir atau hurriyat al-ra’y) termasuk yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat kebebasan beragama. Tetapi masalahnya apakah kebebasan berekspresi harus berarti kebebasan liar tidak bertanggungjawab yang justru digunakan untuk penyiaran ujaran kebencian? Karena itu masalahnya adalah bagaimana kebebasan berekspresi dapat dapat diwujudkan secara bertanggung jawab.
Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama bukan tanpa batas. Dalam kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama terdapat hak orang lain untuk tidak dinista dengan berbagai bentuk ujaran kebencian.
Banyak ayat Alquran juga melarang penyebaran kebencian. Islam memberi hak kepada individu untuk menyatakan segala sesuatu asalkan ujaran itu tidak berupa penistaan (blasphemy), fitnah, penghinaan atau pernyataan yang menimbulkan kerusakan, permusuhan dan penghilangan nyawa. Islam mendorong kebebasan berekspresi lewat pernyataan arif dan bijak, nasihat dan tausiyah yang baik dengan kesabaran, bukan kemarahan.
Kebebasan berekspresi dalam kebebasan beragama mesti dijaga bersamaan dengan penguatan rasa tanggung jawab. Karena itu, penggunaan kebebasan berekspresi untuk menista penganut agama lain justru merupakan tindak pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama.
Resonansi Azyumardi Azra
130
Quo Vadis Guru Besar? (1) 03 Desember 2015 REPUBLIKA.CO.ID Azyumardi Azra
Quo vadis guru besar atau mau ke mana para profesor Indonesia? Inilah pertanyaan yang menjadi subjek yang diminta kepada penulis “Resonansi” ini untuk disampaikan pada Konferensi Guru Besar Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Konferensi tiga hari (29/11-1/12/2015) yang digelar Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama menghadirkan sekitar 400 guru besar dari seluruh Tanah Air; agaknya ini merupakan pertemuan terbesar profesor di Indonesia.
Konferensi guru besar PTKI (baik PTN maupun PTS) bukan hanya mempertanyakan mau ke mana para profesor (dan calon profesor). Pembicaraan juga menyangkut tentang membincang ulang peran akademik guru besar; pengarusutamaan integrasi keilmuan sebagai distingsi PTKI; merumuskan kembali konsorsium keilmuan PTKI; kategorisasi rumpun ilmu dan Prodi Kajian Islam di PTKI; dan internasionalisasi dan jaringan karya akademik guru besar-dosen PTKI. Bagi penulis “Resonansi” ini, pertanyaan tentang quo vadis tadi mengisyaratkan ketidakmenentuan keadaan para guru besar Indonesia dan juga para dosen yang secara gelar akademik dan kepangkatan sudah qualified, tetapi pesimistis bisa menjadi guru besar. Dalam pertanyaan dan pesimisme itu tersirat pula sejumlah masalah rumit yang mereka hadapi. Berhadapan dengan berbagai masalah tersebut, tersirat pula belum ada titik terang penyelesaiannya.
Masalah guru besar tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai masalah pendidikan tinggi Indonesia secara keseluruhan; dan juga dengan kebijakan Resonansi Azyumardi Azra
131
pendidikan dan politik pendidikan negeri ini. Karena itu, pertanyaan tentang quo vadis guru besar tidak bisa diselesaikan hanya di lingkungan guru besar itu sendiri, tetapi juga mengharuskan penyelesaian benang kusut di dunia pendidikan tinggi dan politik pendidikan Indonesia secara keseluruhan.
Pada satu segi, jelas jumlah guru besar Indonesia masih jauh daripada memadai. Menurut Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Ali Ghufron, jumlah guru besar di Indonesia baru mencapai 5.097 orang untuk sekitar 3.151 PTN dan PTS sampai akhir 2014. Jumlah ini, menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi, mengakibatkan rasio perbandingan guru besar dengan mahasiswa adalah 1:1.000 (Kompas, 29/9/2015).
Selain rasio yang sangat timpang itu, penyebarannya juga sangat tidak merata. Kebanyakan guru besar berada di PTN (PTUN+PTKIN) yang mapan. Bahkan, sebagian besar PTN dan PTS tidak memiliki guru besar atau hanya ada satu atau dua orang.
Idealnya, jumlah guru besar sebanding dengan prodi yang sampai akhir Oktober 2015 berjumlah sekitar 23.074 per bidang ilmu yang ada di sekitar 4.327 PTN dan PTS. Setiap prodi idealnya dipimpin seorang guru besar karena prodi merupakan tulang punggung PT.
Sedikitnya jumlah guru besar terkait banyak dengan berbagai ketentuan dan persyaratan relatif sangat rigid untuk kenaikan pangkat akademis ke lektor kepala dan--apalagi--ke guru besar. Berbagai ketentuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas guru besar. Para dosen maklum dan mendukung belaka keinginan pemerintah--dalam hal ini kementerian terkait--untuk meningkatkan kualitas dosen dan sekaligus PT.
Tetapi, berbagai ketentuan itu sering tidak masuk akal--menjadi stumbling block bagi mereka yang ingin menjadi guru besar. Akibatnya adalah hampir terhentinya mobilitas dosen lektor kepala menjadi guru besar. Sementara, guru besar yang ada kian banyak pensiun. Konsekuensinya, jumlah guru besar yang perlu untuk peningkatan nilai akreditasi dan ranking PT justru kian menyusut. Resonansi Azyumardi Azra
132
Sekali lagi, dalam waktu sekitar 10 tahun terakhir, persyaratan untuk menjadi guru besar semakin sulit. Berbagai persyaratan menyangkut linearitas keilmuan, penelitian, dan penulisan artikel ilmiah dalam jurnal terakreditasi, baik pada tingkat nasional maupun internasional, tidak mudah dipenuhi dosen yang secara kepangkatan fungsional sudah qualified untuk mengajukan professorship.
Persyaratan yang kian ketat tidak lagi memungkinkan bagi mereka yang telah mencapai kum karena kerajinan dan ketekunan mengajar dan melakukan pengabdian masyarakat untuk mengajukan diri menjadi guru besar. Mereka juga tidak bisa sekadar melakukan penelitian seadanya. Mereka harus menghasilkan buku sesuai standar tertentu atau artikel ilmiah dipublikasikan di jurnal ilmiah terakreditasi--tidak cukup di tingkat nasional, tetapi juga pada level internasional.
Sebagian kalangan berargumen, persyaratan untuk menjadi guru besar di Indonesia masih “jauh lebih ringan” dibandingkan negara-negara lain, seperti Malaysia dan Singapura--untuk tidak menyebut Belanda, Jerman, Inggris, atau Amerika Serikat dan Kanada. Di negara-negara Eropa lazimnya seorang PhD bisa menjadi profesor hanya ketika terangkat menjadi chair pada departemen atau lembaga tertentu. Sedangkan di AS, professorship dicapai melalui tenure track dengan persyaratan sangat ketat.
Namun, tidak fair membandingkan persyaratan menjadi guru besar di Indonesia dengan negara-negara tersebut karena realitas dan kondisinya sangat berbeda dari sudut kebebasan akademi, gaji dan insentif, fasilitas, dan sebagainya. Apalagi, guru besar dan dosen Indonesia juga dituntut memainkan peran sosial di luar lingkungan kampus.
Resonansi Azyumardi Azra
133
Quo Vadis Guru Besar? (2) 10 Desember 2015 Azyumardi Azra REPUBLIKA.CO.ID
Jauh tidak memadainya jumlah guru besar di Indonesia bersumber dari banyak masalah yang membuat mereka sulit mencapat derajat profesor. Jumlah guru besar relatif tidak banyak bertambah dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah guru besar yang pensiun atau mangkat tidak tergantikan jumlah mereka yang berhasil mendapat jabatan akademik guru besar dalam beberapa tahun terakhir.
Karena itu, para guru besar perlu dipertanyakan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Quo vadis guru besar atau mau ke mana para profesor Indonesia? Penulis “Resonansi” ini mendapat tugas dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) untuk menjawab pertanyaan yang rumit jawabannya dalam Konferensi Guru Besar PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) tiga hari (29/11-1/12/2015) yang menghadirkan sekitar 400-an guru besar dari seluruh Tanah Air.
Berbicara tentang kesulitan mencapai jabatan akademik fungsional professorship terkait banyak dengan kian ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal lingkungan akademik dan sosial di mana para dosen calon guru besar tidak kondusif dari banyak segi.
Lihatlah misalnya para guru besar dan dosen lain harus berhadapan dengan birokratisasi PT yang kian membunuh imajinasi dan kreativitas. Mereka diperlakukan tidak ubahnya seperti buruh pabrik. Semua dosen diwajibkan hadir di kampus setiap hari dengan absensi sidik jari (fingerprint) di waktu mulai jam kerja dan di akhir jam kerja. Padahal kewajiban mengajar mereka bisa dilaksanakan sepenuhnya dalam dua hari.
Resonansi Azyumardi Azra
134
Berhadapan dengan ‘ancaman’ dicabut tunjangannya, para dosen tidak punya pilihan kecuali ‘mematuhi’ kebijakan birokratisasi dosen dan PT secara keseluruhan. Mereka tak ubahnya seperti karyawan administrasi yang memang harus melayani berbagai urusan mahasiswa setiap hari.
Birokratisasi melalui finger print boleh jadi bisa dilakukan jika para dosen tinggal di lingkungan dekat kampus. Tetapi jika banyak di antara mereka tinggal di tempat jauh dari kampus—seperti di Bekasi atau di Bogor dalam kasus UIN Jakarta—sehingga harus berhadapan dengan kemacetan luar biasa berjam-jam, jelas kebijakan tersebut sangat menyiksa. Keadaan ini agaknya juga berlaku bagi para dosen di kota-kota lain.
Selain itu, para dosen umumnya tidak punya kantor atau ruang privasi di mana mereka bisa bekerja atau mangkal di kampus. Jadi,di mana mereka harus menunggu sampai finger print di akhir jam kerja? Haruskah mereka luntang lantung; atau kembali ke rumah dan bertarung lagi menghadapi kemacetan?
Birokratisasi paling akhir adalah kewajiban registrasi ulang PNS termasuk dosen/guru besar (e-PUPNS). Menurut estimasi, mempertimbangkan tenggat waktu 15 September 2015, sekitar 120 ribu dosen terancam bakal kehilangan status PNS karena ’malas’ atau ‘enggan’ melakukan her-registrasi PNS. Bayangkan kerepotan dosen/GB yang harus menyiapkan ijazah sejak dari SD sampai S2, S3, segala macam SK (CPNS dan PNS), surat izin belajar, Buku Nikah sampai Berita Acara Sumpah PNS, dan banyak lagi.
Selain itu, para dosen PNS sebagai aparatur sipil negara juga wajib melaporkan harta kekayaan sesuai Surat Edaran MenPAN-RB No. 1/2015. Kini bukan hanya dosen yang mendapat tugas tambahan sebagai pimpinan akademik dan manajerial di lingkungan PT yang harus melaporkan harta kekayaan, tetapi juga mereka yang sejak pengangkatan menjadi PNS hanya dosen biasa—tidak pernah menjadi pejabat dan/atau PPK (pejabat pembuat komitmen) yang tidak pernah mendapat tunjangan jabatan, remunerasi, dan honorarium ini dan itu.
Birokratisasi di atas merupakan rentetan dari sejumlah birokratisasi lain. Misalnya Resonansi Azyumardi Azra
135
lagi, para dosen—termasuk guru besar harus mempersiapkan [laporan] Beban Kerja Dosen (BKD) yang memerlukan waktu cukup lama untuk mengisi borang dan mempersiapkan bukti penunjangnya.
Berbagai kebijakan birokratisasi tersebut tidak selalu bersumber dari keinginan meningkatkan kualitas guru besar/dosen. Beberapa tahun lalu pernah ada pernyataan dari pejabat Dikti-Dikbud, banyak dosen yang baru memperoleh gelar DR atau PhD buru-buru ingin jadi profesor karena tunjangan guru besar yang telah cukup besar. Jadi, motifnya dicurigai hanya untuk mengejar duit.
Dalam waktu lebih akhir, terlihat juga kecurigaan pejabat tinggi di lingkungan Kemenristek-Dikti dan KemenPAN-RB terkait PUPNS bahwa para dosen harus menyerahkan kembali seluruh ijazahnya sejak dari SD sampai PT karena dicurigai ada yang menggunakan ijazah palsu.
Begitu juga dengan laporan harta kekayaan yang juga terlihat muncul dari persepsi ala model KPK yang diadopsi Inspektorat Jenderal Kementerian, bahwa setiap orang, khususnya PNS, harus dicurigai potensial korupsi. Jelas ada PNS—di PT baik dosen atau tenaga administratif—yang korupsi, tetapi mencurigai setiap dan seluruh orang melakukan korupsi jelas bukan sikap yang benar dan baik dalam konteks perundang-undangan negara maupun ajaran agama.
Quo vadis guru besar? Jika para guru besar dapat ditingkatkan kuantitas dan kualitas, tidak ada alternatif lain kecuali penataan menyeluruh kebijakan PT. Selama PT masih dikolonisasi Kementerian, hampir tidak ada otonomi, fasilitas tidak memadai, gaji juga relatif tidak kompetitif, jelas sulit bagi PTKI dan PT lain di Tanah Air untuk dapat memiliki guru besar yang memadai dari sudut jumlah dan sekaligus berkualitas tinggi untuk bisa kompetitif di kancah akademik global.
Resonansi Azyumardi Azra
136