RESENSI BUKU IJTIHAD MEMBANGUN BASIS GERAKAN Diresensi oleh : Zilfiana Djasarudin
Buku ini ditulis oleh seorang kader KAMMI yang memiliki penguasaan tersendiri dalam menyampaikan hal-hal tentang pergerakan, sesuai dengan pengalaman beliau yang pernah menjabat sebagai ketua departemen kajian strategis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia masa transisi 2009-2010, dalam buku ini penulis secara jelas penulis mengemukakan bukan hanya dalam teori saja melainkan melalui pengalaman pribadi dari seorang Amin Sudarsono yang telah menyelami samudera dunia aktivis. Selain itu, penulis juga pernah bekerja sebagai wartawan di Banjarmasin Pos dan editor Majalah Rumah Lentera milik Rumah Zakat Indonesia Bandung, hal ini berdampak pada bahasa yang digunakan menjadi mudah m udah dimengerti. Dimulai dari cover buku, ketika indra menangkap secara visual cover buku ini maka akan kita dapatkan pesan tersirat tentang kesungguhan dari penulis yang menyajikan konsep membangun basis gerakan, corak warna yang ditampilkan begitu “menyeramkan” bagi pembaca pemula, terkhusus mereka yang baru saja masuk dalam gerakan kemahasiswaan. Namun, justru hal inilah yang membuat penasaran bagi calon pembaca yang ingin tau lebih rinci seperti apa basis gerakan menurut Amin Sudarsono, bahasa pergerakan di halaman depan buku membuat pembaca menjadi makin tertarik untuk menyelami basis gerakan sang penulis. Buku ini memberikan pengetahuan baru tentang kosakata dalam hal pengertian dari segi ke-KAMMI-annya, bahasa modernnya, dan bahasa-bahasa politik yang sehari-hari digunakan. digunakan. Hal itu membuat buku ini tidak terlalu sulit dipahami. Amin Sudarsono berhasil membuat sebuah buku panduan yang nonformal bagi seluruh kader KAMMI dan tidak menutup kemungkinan kemungkinan kawan-kawan kawan-kawan luar gerakan KAMMI KAMMI dapat membaca dan memahaminya dengan baik.
Dibuka dengan pengantar pengantar oleh Habib Nabiel bin Fuad Fuad al-Musawa membuat transfer pemahaman melahirkan harmonisasi antara ekspektasi dan realita, sejalan dengan tulisan seorang seorang anggota anggota DPR- RI ini yang mengaitkan peran pemuda untuk kemajuan ummat dengan mengindahkan apa yang telah diajarkan oleh Revolusioner sejati umat islam yaitu Nabi Muhammad SAW. Kemudian dilanjut dengan 4 bab yang semuanya berisi tentang gerakan pengkaderan bernama KAMMI, sejarah terbentuknya, visi, misi, dan segala yang dimiliki KAMMI pada periode awal hingga yang tersisa sekarang. Dalam membangun gerakannya, mahasiswa muslim harus memahami dengan jelas arah pergerakannya, mau kemanakah gerakannya? apa yang harus dilakukan dan bagaimana pula membangun basis pergerakan? apakah yang dimaksud dengan basis gerakan tersebut? Pada bab awal buku ini, ada permasalahan yang diangkat oleh penulis yang mana permasalahan tersebut adalah kondisi negara serta keadaan politik Indonesia sebeum terbentuknya wadah yang beliau masuki (KAMMI), gejolak pergerakan mahasiswa yang sangat solid untuk menuntut reformasi dan terbebas dari
pemimpin tiran Indonesia kala itu. Bukan hanya dalam sisi negatif yang dihadirkan namun solusi nyata yang berasal dari pergerakan mahasiswa-mahasiswa muslim yang peduli kepada tanah airnya dan tidak ingin bangsa ini hancur, kemudian lahirlah KAMMI di Malang, 28 Maret 1998. Dalam bab-bab selanjutnya penulis memparkan tentang pengklasifikasian basis gerakan tersebut melalui dua pembagian : software dan hardware. Untuk pembahasan mengenai “software” gerakan dimulai pada aspek yang p aling mendasar yaitu ideologi. Menurut penulis, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Ideologi seakan-akan menjadi kacamata hidup. Suatu ideologi untuk dapat terus bertahan di tengah tuntutan aspirasi masyarakat dan perkembangan modernitas dunia, setidaknya harus memiliki tiga dimensi : realita, idealisme, dan fleksibilitas. Ditinjau dari dimensi realitas, ideologi itu mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai riil hidup di dalam masyarakat, sedangkan apabila kita lihat dari dimensi idealisme, suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan apabila kita lihat dari segi fleksibilitas, artinya perlu ada pemikiran b aru tanpa kehilangan nilai dasar atau hakikat dari ideologi itu untuk mengikuti perkembangan pemikiran baru tanpa kehilangan nilai dasar atau hakikat dari ideologi tersebut. Selanjutnya penulis menguraikan tentang keharusan seorang pemuda dalam membangun software basis pergerakannya menjadi seorang yang mempunyai intelektual atau dalam kata lain menjadi pemuda yang intelek, intelek berarti istilah psikologi tentang daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berfikir. Kata intelek juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan. Konsep intelektual menurut I slam menunjuk pada kajian tentang konsep ulul albab, yang berarti ada kesinambungan antara kemampuan berfikir, merenung, dan membangun teori ilmi ah dari realitas alam yang empiris dengan metode induktif dan deduktifnya namun sekaligus mampu mempertajam analisisnya dengan mengasah hati dan rasa melalui berzikir. Manifestasi software gerakan pemuda selanjutnya adalah bagaimana seorang pemuda mengerti akan perannya sebagai seorang negarawan dalam berpandangan secara politik. Terlebih sebagai muslim, pemuda harus mengetahui karakter-karakter apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang Muslim negarawan yang akan melakukan perubahan sosial dalam umat, dan bagaimana menghadapi tantangan Ghozwul Fikr dan kesetaraan Gender yang benar-benar menjadi salah satu faktor kemunduran umat saat ini. Software tersebut harus dijalankan dalam bentuk-bentuk aksi nyata inilah yang disebut oleh Amin Sudarsono sebagai “hardware” gerakan. Tak bisa dipungkiri bahwa kampus adalah tempat lahirnya cadangan pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah digembleng di kampus. Soekarno-Hatta, misalnya. Kedua tokoh ini menjadi founding father bangsa ini, kampus adalah miniatur suatu negara, menjadi
tempat yang layak, karena didalamnya terdapat proses kaderisasi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang mampu menjawab tantangan bangsa. Kampus adalah miniatur negara maka mahasiswa harus dapat memanfaatkan potensi kampus ini untuk menjadikannya sebuah basis gerakan, tentunya dengan mengoptimalkan perannya di ranah politik kampus. Penulis memaparkan beberapa keuntungan memasuki arena politik kampus, seperti kesempatan untuk menyuarakan kepentingan kita dan mayoritas mahasiswa konstituen dalam partai kampus, selanjutnya adalah kebijakan kampus dapat kita awasi, control, dan rekomendasikan karena kita punya wakil mahasiswa yang duduk di senat mahasiswa, dan yang terpenting adalah terciptanya kultur jujur dan amanah sehingga pengelolaan lembaga mahasiswa menghasilkan kultur positif, proses demokratisasi lahir dalam dunia kampus. Mahasiswa dapat bergerak melalui metode perjuangannya yaitu mengandalkan basis massa (aksi).Selain dengan aksi, hardware gerakan ini juga bias didapat dengan cara pengambilan keputusan melalui forum dan persidangan, dan disinilah seorang mahasiswa harus dapat menyuarakan aspirasinya dengan diskusi dan debat. Seperti apa yang dicontohkan Rasululloh SAW dalam tata cara bermusyawarah. Dalam mengelola sebuah organisasi, mahasiswa dituntut untuk dapat berkomunikasi atau kurang lebih bagaimana caranya mahasiswa menyampaikan propagandanya beserta pesan-pesannya kempada publik. Penulis menyebut berbagai cara berkomunikasi seperti dengan komunikasi persuasif, cara pembuatan propaganda, memilih pesan yang disampaikan, strategi pencitraan, dan bagaimana memanfaatkan media massa. Dan di bagian akhir buku ini penulis mengelaborasi tentang pembacaan global atas realitas sosial religius masyarakat. Gagasan-gagasan yang diungkapkan penulis secara komperehensif pada inti buku ini yaitu pembahasan tentang software gerakan dan teknis hardware gerakan itu sendiri. Ada wacana yang melahirkan kekurangan dari buku ini, yaitu kurangnya sistematisasi penulisan buku terutama di bagian akhir. Gagasan penulis seakan-akan ada yang kurang dari satu gagasan ke gagasan lainnya, walaupun masih dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan ide. Akan tetapi, dengan wacana dan gagasan kontekstual yang ditawarkan oleh penulisnya, kita masih bisa membaca buku ini secara utuh. Walaupun buku ini ditulis oleh seorang pemikir sekaligus aktivis KAMMI dan isinya lebih kurang ditunjukan bagi para mahasiswa agar mereka kembali terjun sebagai penggiat dan penggerak yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik Hanya ini yang dapat saya sampaikan tentang buku ini, kedepannya saya harapkan buku-buku seperti inilah yang menjadi konsumsi primer mahasiswa dalam membangun pergerakan yang berkemajuan.