REFERAT
PERSALINAN DENGAN DISTOSIA BAHU
Pembimbing : dr.Yedi Fourdina Sukardi, SpOG.
Disusun Oleh : Shabira Aliyah, S.Ked
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kandungan dan Kebidanan RSUD Kabupaten Bekasi Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Periode 28 April 2014 – 05 Juli 2014
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ………………………………………………………. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi …………………………………………………………….. 4 2.2 Anatomi Panggul …………………………………………………… 5 2.3 Faktor risiko ………………………………………………………… 6 2.4 Tanda Klinis ….. …………………………………………………… 10 2.5 Komplikasi …….…………………………………………………… 11 2.6 Penatalaksanaan ……………………………………………………. 14 BAB III KESIMPULAN ………………………………………………... 24 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 25
2
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Angka kejadian distosia bahu menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) adalah 0,6-1,4%. Namun angka kejadian ini bervariasi mulai dari 1 dalam 750 kelahiran hingga 1 dalam 15 kelahiran (Sokol & Blackwell, 2003 dan Poggi dkk, 2004). Salah satu alasan utama variasi ini adalah kesulitan dalam diagnosis dan adanya kasus distosia bahu yang tidak dilaporkan karena kondisinya yang bersifat ringan dan dapat ditangani dengan outcome yang menguntungkan (Allen & Gurewitsch, 2010). Bahkan kejadian distosia bahu diperkirakan bisa lebih tinggi lagi karena tidak pernah dilaporkan oleh dokter atau bidan yang menolong persalinan karena pertimbangan litigasi (Cluver & Hofmeyr, 2009). Angka kejadian distosia bahu juga bervariasi berdasarkan berat bayi yang dilahirkan, dimana 0,6-1,4% terjadi pada bayi dengan berat 2500-4000 gram, dan meningkat hingga 5-9% pada bayi dengan berat 4000-4500 gram dari ibu tanpa diabetes. Distosia bahu tidak dipengaruhi oleh status wanita yang primigravida maupun dengan multigravida, meskipun lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes (Sokol & Blackwell, 2003), dimana sebesar 16/1000 kelahiran sering berhubungan dengan obesitas dan kontrol yang buruk terhadap diabetesnya (SOGC, 2005). Diperkirakan angka kejadian distosia bahu akan terus meningkat, yang kemungkinan bisa disebabkan oleh adanya wanita yang memiliki anak pada usia reproduksi lanjut dan juga tingkat obesitas yang semakin meningkat (Cluver & Hofmeyr, 2009). Distosia bahu mempunyai kemungkinan berulang sebesar 10-15%, dimana wanita dengan riwayat persalinan distosia bahu yang mengakibatkan cedera pada bayi yang dilahirkannya mempunyai resiko lebih besar berulang pada persalinan selanjutnya (Lerner, 2004). Sehingga informasi adanya persalinan dengan distosia bahu perlu disampaikan kepada wanita hamil untuk memudahkan perencanaan persalinan pada kehamilan selanjutnya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Distosia bahu adalah persalinan yang memerlukan tambahan manuver obstetri setelah kegagalan ―gentle downward traction‖ pada kepala bayi untuk melahirkan bahu (ACOG, 2002). Distosia bahu terjadi ketika setalah kepala lahir, bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu. Jika ini terjadi, maka bagian tubuh bayi yang lain tidak dapat mengikuti kepala keluar dari vagina dengan mudah. Beberapa definisi tentang distosia bahu antara lain: 1. Suatu persalinan yang membutuhkan waktu lebih dari 60 detik untuk melahirkan kepala dan bahu bayi 2. Bahu sulit lahir dengan traksi ke bawah pada kepala janin 3. Persalinan dengan menggunakan manuver special untuk melahirkan bahu.
Gambar 1. Distosia Bahu
2.2 Anatomi Panggul Pemahaman tentang anatomi pelvis ibu dan anatomi bayi diperlukan untuk memahami bagaimana distosia bahu dapat terjadi dan bagaimana kejadian tersebut dapat menyebabkan cedera.
4
Gambar 2. Anatomi Pelvis
Tulang pelvis terdiri dari serangkaian tulang yang
membentuk
lingkaran untuk melindungi organ –organ panggul. Tulang yang paling depan adalah
tulang
pubis.
Pada
struktur
tersebut
bahu
depan
bayi
dapat
terperangkap karena persalinan yang sulit karena distosia bahu. Tulang yang berada dibelakang disebut tulang sacrum, karena kelengkungan bentuknya dapat menyebabkan bahu belakang lahir dengan mudah selama persalinan dan kelahiran. Dinding lateral pelvis dapat menentukan kemudahan proses persalinan, namun tidak terlalu memberikan kontribusi dalam terjadinya distosia bahu. Pada persalinan normal, vertex muncul pertama. Selama persalinan, jaringan lunak dan tulang kepala yang mobile dapat mengalami molauge. Hal ini menyebabkan kepala janin dapat masuk dan melewati pintu panggul ibu. Bahu bayi juga fleksibel mengikuti kelahiran kepala bayi dengan cepat dan mudah. Namun, agar hal tersebut terjadi, aksis dari bahu bayi harus turun ke panggul ibu dengan sudut oblik terhadap diameter anterior dan posterior panggul ibu. Posisi ini memberikan ruangan
yang lebih besar untuk bahu belakang turun melewati
panggul ibu. Jika garis sudut oblik tersebut tidak terbentuk maka kemungkinan ruang panggul akan lebih kecil untuk dilewati bahu. Bagian belakang dari tulang pubis akan membentuk tonjolan yang dapat memperangkap bahu depan. Distosia bahu juga dapat terjadi pada bahu posterior yang terperangkap pada tulang sacrum ibu. Hal ini merupakan penyebab yang jarang dari distosia
5
bahu. Tulang sacrum tidak memiliki tonjolan seperti tulang pubis sehingga kecil kemungkinannya untuk menghalangi turunnya bahu posterior bayi. Ukuran relative dari kepala, bahu dan bahu bayi dibandingkan bentuk dan ukuran pelis ibu dapat menentukan kemudahan dalam persalinan. Pada umumnya diameter kepala merupakan diameter terbesar dibandingkan dengan diameter lainnya. Sehingga jika kepala lahir secara mudah makabagian tubuh yang lain dapat melewati panggul dengan mudah pula. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan distosia bahu yaitu ukuran axis bahu yang lebih besar dibandingkan diameter terbesar dari kepala. Risiko tersebut lebih sering terjadi pada bayi makrosimia atau bayi dengan ibu penderita diabetes. Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk melipat kedalam panggul (mis. Pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan kepala yang terlalu tepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul
saat setelah
mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu berhasil melipat masuk ke dalam panggul.
2.3 Faktor Risiko 1. Preconceptual a. Riwayat Distosia Bahu Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu terbukti sebagai prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak akan berubah selama hamil, sedangkan kecenderungan bayi kedua akan lebih besar dibandingkan bayi sebelumnya. Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu akan kembali terjadi
pada
wanita
dengan
riwayat distosia
bahu
sebesar 11,9%
(Gherman, 2002). Risiko akan meningkat sampai 20 kali lipat, sehingga beberapa dokter kandungan mengusulkan, jika sekali terjadi distosia bahu, maka berikutnya harus menggunakan sesar. b. Obesitas Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu. Emerson (1962)
6
menunjukkan bahwa kejadian distosia bahu pada wanita obesitas dua kali lebih sering dibandingkan dengan wanita berat badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%. Sandmire (1988) memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan berat bedan 82 kg adalah 2,3. Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek primer dari wanita obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas cenderung memiliki bayi yang besar pula. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian mengenai kejadian distosia bahu dikaitkan dengan berat badan ibu dan bayi. c. Usia Ibu Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan salah satu risiko terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis mengatakan bahwa usia ibu berhubungan dengan faktor risiko lain dalam distosia bahu meliputi ibu obesitas dan diabetes. Bahar (1996) tidak menemukan perbedaan kejadian distosia bahu berdasarkan umur ibu. d. Multiparitas Acker (1988) menyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan Erb Palsy dilahirkan dari seorang multipara. Data diambil dari RS Beth Israel selama tahun
1975-1985.
Akan
tetapi
sebagaian
ahli berpendapat bahwa
bukan merupakan faktor primer dalam terjadinya distosia bahu.
2. Ante Partum a. Makrosomia Makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram. Hal penting yang perlu diperhatikan pada bayi makrosomia adalah laju pertumbuhan dari kepala, dada dan tubuh janin. Sampai usia kehamilan 36-38 minggum kepala bayi secara umum tetap lebih besar dibandingkan tubuhnya. Akan tetapi pada usia kehamilan 36-40 minggu, pertumbuhhan bahu, dada dan perut akan lebih besar dibandingkan kepala bayi. Acker (1985) menyatakan bahwa bayi dengan berat lebih dari 4500 gram, 22,6% akan mengalami distosia bahu. Lebih dari 70% bayi yang mengalami distosia bahu memiliki berat badan lebih dari 4000 gram.
7
b. Diabetes Sandmire (1988) menemukan risiko relatif untuk distosia bahu dari bayi dengan ibu diabetes sebesar 6,5 dibandingkan dengan ibu nondiabetes. Ada dua alasan utama untuk korelasi ini antara diabetes dan distosia bahu. Di tempat pertama, diabetes dalam kehamilan menunjukkan korelasi sangat kuat dengan makrosomia. Pertumbuhan bayi diabetes tidak hanya mewakili potensi genetik mereka dalam pertumbuhan
tetapi
juga
mencerminkan
penurunan dari substrat glukosa ekstra pada tubuh ibu dan bayi. Kedua,
seperti
yang disebutkan sebelumnya, sifat pertumbuhan janin
berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak merata antara kepala dan batang seperti pada bayi nondiabetes. Sebaliknya, bayi dari ibu diabetes menunjukkan pola pertumbuhan yang lebih besar pada bahu, dada, dan pertumbuhan perut. Seperti yang diringkas Ellis dalam 1982: "Bayi dari ibu diabetes memiliki konfigurasi tubuh yang berbeda dengan bayi dari seorang ibu nondiabetes. Peningkatan deposisi lemak pada berbagai organ mungkin karena untuk meningkatkan sekresi insulin dalam menanggapi hiperglikemia." c. Berat Badan Ibu Data yang menghubungkan berat badan ibu dengan berat lahir janin masih kontroversial. Abrams (1995) dan Langhoff-Roos (1987) keduanya menunjukkan bahwa total berat badan ibu secara signifikan berkorelasi dengan kelahiran bayi berat badan.
Dawes (1991) tidak bisa
mengkonfirmasi hal tersebut. Tidak ada perbedaan jelas dalam korelasi antara kenaikan berat badan ibu dan berat badan lahir. Selain itu, beberapa peneliti telah melaporkan informasi yang saling bertentangan untuk efek pola kenaikan berat badan ibu terhadap janin terutama berat badan. Beberapa penelitian telah menemukan kenaikan berat badan pada trimester kedua sebagai faktor utama sedangkan yang lain telah
menemukan
bahwa
kenaikan
berat
badan pada trimester
terakhir adalah faktor yang paling penting. d. Jenis Kelamin Bayi Terdapat sedikit data yang menghubungkan jenis kelamin dengan janin makrosomia dan distosia bahu. Meskipun pada bayi laki-laki rata-rata sedikit lebih berat daripada perempuan, tidak ada data yang menunjukkan jumlah 8
signifikan kejadian makrosomia lebih tinggi pada bayi laki-laki dibandingkan bayi perempuan. Resnick 1980 menyebutkan jenis kelamin janin sebagai faktor potensi tetapi tidak menyediakan data untuk mendukung klaimnya. El Madany (1990) menunjukkan bahwa 59,2% bayi mengalami distosia bahu adalah laki-laki, data tersebut signifikan secara statistik tetapi tidak bernilai sebagai prediktor klinis. e. Bayi Serotinus Meskipun pertumbuhan janin melambat dalam beberapa minggu terakhir kehamilan, masih terdapat beberapa pertumbuhan terus selama kehamilan. Jadi ketika bayi tetap dalam rahim, akan semakin besar bayi dan akan semakin besar risiko distosia bahu.
3. Intra Partum a. Instrumen Persalinan Beberapa studi telah dengan jelas menunjukkan bahwa persalinan yang berakhir pada instrumen yaitu vakum atau forsep
menunjukkan
tingkat lebih tinggi distosia bahu pada setiap kelompok berat badan janin. Dengan demikian jelas bahwa persalinan dengan instrumen memiliki risiko tinggi terjadi distosia bahu dan cedera pleksus brakialis. Ini juga mungkin bahwa ketidakmampuan ibu untuk mendorong bayi keluar tanpa bantuan adalah karena janin makrosomia atau distribusi lemak antara kepala, dada, bahu, dan perut bayi yang merupakan faktor risiko utama untuk distosia bahu. b. Pengalaman Penolong Persalinan Sejak cara mengatasi yang aman dari distosia bahu melibatkan manuver spesifik kandungan dan karena distosia bahu relatif jarang terjadi, akan terlihat praktisi yang lebih berpengalaman memiliki hasil lebih baik dalam situasi ini. Namun data tidak mendukung keyakinan ini. Acker (1988) melakukan penelitian tentang hubungan antara pengalaman dokter dan kejadian distosia bahu. Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa jumlah Erb palsy yang dikarenakan distosia bahu tidak bervariasi antara dokter ataupun dokter yang sedang menjalani pendidikan. Sebagian besar dokter tidak mendapatkan keahlian dan kepercayaan diri untuk mengatasi distosia bahu 9
karena insidensi nya yang jarang. c. Oksitosin dan Anestesi Tidak terdapat korelasi independen antara penggunaan oksitosin ataupun anestesi dengan kejadian distosia bahu. Oksitosin umumnya digunakan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi rahim. Sejauh bahwa oksitosin digunakan lebih sering pada ibu dengan bayi makrosomia, mungkin memiliki korelasi sekunder dengan persalinan distosia bahu. Tetapi tidak ada data yang menghubungkan oksitosin digunakan secara
dengan
kejadian
distosia
bahu
independen. Demikian juga dengan anestesi, tidak ada laporan
tentang peningkatan distosia bahu dengan adanya tindakan anestesi pada persalinan.
2.4 Tanda Klinis Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi: 1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi yang cukup untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir 2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum ibu setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor
kura-kura
yang
menarik
kepala
kembali
ke
cangkangnya.
Peenarikan kepala bayi ini dikarenakan bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga mencegang lahirnya tubuh bayi.
Gambar 3. Turtle Sign
2.5 Komplikasi Distosia Bahu 1. Janin Setelah persalinan dengan distosia bahu, 20% bayi akan mengalami beberapa cedera sementara ataupun permanen. Cedera yang paling sering terjadi antara lain cedera pleksus brakhialis, fraktur tulang klavikula dan 10
humerus, kontusio, laserasi dan kelahiran dengan asfiksia. a. Cedera Pleksus Brakhialis Pleksus brakhialis berasal dari nervis C5-C8 sampai dengan T1. Cedera pada pleksus brakhialis dapat terletak di bagian atas atau bawah dari pleksus tersebut. Hal ini biasanya terjadi akibat traksi pleksus brakhialis ke bawah pada pelahiran bahu depan. Erb palsy, terjadi akibat cedera pada saraf spinalis C5-6 dan terkadang juga C7. Kelainan ini terdiri atas paralisis otot-otot bahu
dan
lengan
atas
yang mengakibatkan
lengan
menggantung yang dapat mencapai siku. Keterlibatan
atas saraf-
saraf spinal bawah (C7-T1) selalu melibatkan cedera pada saraf di atasnya dan menyebabkan kecacatan
termasuk pada
tangan, yang dapat mengakibatkan deformitas clawhand. Hardy (1981) mempelajari prognosis pada
36 bayi dengan cedera
pleksus brakhialis. Yang menarik, distosia hanya
bahu
ditemukan
pada 10 kasus dan dua di antaranya dilahirkan per
abdominam. Hampir 80% dari anak-anak ini sembuh sempurna dalam waktu 13 bulan dan di antara yang mengalami defek residual tidak ada yang menderita defisit sensorik maupun motorik berat pada tangan. Jennett dan rekan (1992) serta Gherman dan rekan (1999) mengajukan bukti bahwa cedera pleksus brakhialis dapat mendahului pelahiran itu sendiri dan dapat terjadi bahkan sebelum persalinan.
Gambar 4. Pleksus Brakialis
11
Gambar 5. Cedera Pleksus Brakhialis
b. Fraktur Klavikula Cedera
kedua
yang
sering
terjadi
adalah
fraktur
klavikula.
Insidensinya mecapai 10% dari semua kelahiran dengan distosia bahu. Jika bahu dan dada bayi lebih besar dibandingkan panggul ibu, tekanan yang signifikan terjadi untuk mengeluarkan kepala bayi. Pada beberapa bayi, tekanan tersebut dapat menyebabkan fraktur klavikula, hal ini dapat mengurangi diameter dada dan bahu agar dapat dilahirkan. Secara tidak langsung, kejadin tersebut dapat mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pleksus brakhialis. Fraktur klavikula terjadi pada 0,3% kelahiran. Fraktur klavikula relatif sering terjadi dan telah didiagnosis
pada 0,4%
bayi
yang
dilahirkan per vaginam di Parkland Hospital (Roberts et al, 1995). Fraktur jenis ini, meski terkadang dihubungkan dengan distosia bahu,
sering
terjadi
tanpa
kejadian
klinis
apapun
yang
mencurigakan. Distosia bahu meningkatkan risiko sampai dengan 30 kali lipat terjadinya fraktur klavikula. Akan tetapi, sekitar 75% kasus fraktur klavikula tidak berhubungan dengan distosia bahu. Para peneliti menyimpulkan bahwa fraktur klavikula tersendiri tidak dapat dihindari dan diramalkan serta tidak memiliki konsekuensi klinis apapun (Chez et al, 1994; Roberts et al, 1995). c. Fraktur Humerus Fraktur humerus terjadi kira-kira 4% dari bayi yang lahir dengan distosia bahu. Fraktur humerus dapat sembuh dengan cepat sehingga
12
d. Kontusio Kontusio selama persalinan dengan distosia bahu dapat terjadi, bahkan pada persalinan normal. Tekanan yang digunakan untuk melahirkan tangan dan tekanan oleh tulang pubis dapat menyebabkannya. e. Asfiksia Bayi Komplikasi distosia bahu yang paling ditakuti adalah asfiksia bayi. Dalam beberapa percobaan pada binatang dan penelitian retrospektif, dinyatakan bahwa berhentinya suplai aliran darah dari tali pusat ke bayi (tali pusat putus atau rupture uteri), jika bayi tidak dilahirkan dalam waktu lima sampai sepuluh menit maka akan terjadi kerusakan saraf ireversibel atau kematian. Wood, yang dikutip dalam artikelnya pada tahun 1993, menyatakan bahwa ketika melahirkan kepala dan tubuh bayu, pH arteri umbilikus turun sebesar 0,04 unit per menit. Ini berarti bahwadalam lima menit setelah melahirkan kepala, pH bayi dapat turun dari 7,2 sampai ke level 7,0 yang didefinisikan sebagai asfiksia. Setelah 10 menit, pH akan turun kembali menjadi 6,8. Ouzounian (1998) melaporkan bahwa dari 39 bayi yang dilahirkan dengan distosia bahu, 15 diantaranya mengalami kerusakan otak dengan waktu rata-rata melahirkan kepala ke bahu dalam waktu 10,6 menit. Sedangkan 24 bayi yang lahir dengan distosia bahu tanpa kerusakan otak dapat melahirkan kepala ke bahu bayu dalam rata-rata waktu 4,3 menit. Alasan terjadinya asidosis dan asfiksia selama persalinan dengan distosia bahu adalah
ketika kepala lahir, tali pusat akan sangat
terkomptesi antara tubuh bayi dengan jalan lahir ibu. Hal ini akan membuat suplai darah ke bayi menurun atau terhenti. Jika tekanan tersebut tidak segera dibebaskan secara cepat, konsekuensinya adalah aliran oksigen ke bayi akan menurun.
2. Ibu Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu pada persalinan dengan distosia bahu adalah kehilangan darah yang cukup banyak karena laserasi pada vagina dan vulva. Perdarahan dapat terlihat selama persalinan ataupun pada masa post partum. Hal itu dapat dikarenakan laserasi ataupun atonia yang terjadi. Ruptur uteri pernah dilaporkan terjadi pada persalinan dengan 13
distosia bahu. Tekanan langsung pada vesika urinaria oleh bahu depan ketika distosia bahu dapat menyebabkan atonia vesika urinaria yang biasanya bersifat sementara. Simfisis pubis dapat terpisah ataupun dapat terjadi kerusakan pada nervus cutaneus femoralis dikarenakan hiperrefleksi yang berlebihan dalam usaha mengeluarkan bahu.
2.6 Penatalaksanaan Distosia bahu tidak dapat diramalkan, sehingga penolong persalinan harus mengetahui benar prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini. Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi. Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut dan hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik untuk membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu. Tabel 1. Manuver dalam Mengatasi Distosia Bahu
No 1 2 3 4 5
Manuver Bayi Manuver Rubin Manuver Jacquemier Manuver Woodscrew Manuver Zavanelli Kleidotomi
Manuver Ibu Manuver McRobert Manuver Mazzanti Manuver Gaskin Ramp Manuver Simfisiotomi
1. Manuver Mazzanti Penekanan suprapubik dilakukan oleh seorang asisten dan penolong tetap melakukan traksi curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan. Komplikasi yang dapat terjadi adalah simfisiolisis.
14
Gambar 6. Penekanan Suprapubik
2. Manuver McRobert Manuver ini ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di UniversitasTexas di Houston. Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000) menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra lumbal disertai dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di laboratorium
dan
menemukan
bahwa
manuver
ini
mampu
mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin. Jika digabungkan dengan manuver penekanan bahu diperkirakan dapat mengatasi distosia bahu sampai dengan 50-60%.
15
Gambar 7. Manuver Mc Robert
3. Manuver Wood Screw Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara progresif sebesar 1800 dengan gerakan seperti membuka tutup botol, bahu depan
yang
terjepit
dapat
dibebaskan.
Tindakan ini sering disebut
sebagai manuver corkscrew Woods.
16
Gambar 8. Manuver Wood Screw
4. Manuver Jacquemier Penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah salah satu diameter oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan.
Gambar 9. Manuver Jacquemier
5. Manuver Zavanelli Manuver Zavanelli dilakukan dengan mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin telah berputar dari posisi tersebut.
17
Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran secara sesar. Terbutaline dapat diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus terjepitnya kepala
pada
presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada keadaankeadaan sulit yang menerapkan manuver
Zavanelli, terdapat delapan
kasus kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.
Gambar 10. Manuver Zavanelli
6. Manuver Rubin Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen. Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian akan menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis. Manuver ini dilakukan dengan memasukkan satu tangan dari bagian depan ataupun belakang, kemudian memutar bahu 30o sehingga terletak pada
18
diameter miring dari panggul. Keuntungan dari metode ini adalah penolong dapat mengetahui orientasi bahu yang sebernarnya. Jika rotasi dapat tercapai, bahu depan akan muncul dari bawah simfisis dengan atau tanpa traksi tambahan.
Gambar 11. Manuver Rubin
7. Manuver Gaskin Manuver Gaskin atau All Four Maneuver diperkenalkan oleh Ina May Gaskin pada tahun 1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi distosia bahu dengan menempatkat ibu dalam posisi merangkak. Brunner (1998) melaporkan bahwa 68 kasus (82%) dari 82 kasus persalinan dengan distosia bahu berhasil diatasi hanya dengan menggunakan manuver Gaskin. Waktu yang diperlukan untuk memposisikan ibu dalam manuver ini dan melahirkan secara lengkap dilaporkan mencapai dua sampai dengan tiga menit. Namun, tidak ada laporan secara mendetail tentang efek terhadap ibu dan bayi yang menjalani manuver ini. Secara teoritis, posisi merangkak dalam manuver ini akan membuat penambahan luas diameter sagital panggul sebesar satu sampai dua sentimetr karena pergerakan pada sendi sakroiliaka. Posisi litotomi dapat membatasi gerakan dari sakrum. Manfaat tambahan dapat diperoleh dari gerakan saat perubahan posisi dari litotomi ke posisi merangkak yang kemungkinan dapat membantu membebaskan bahu yang terperangkap.
19
Gambar 12. Manuver Gaskin
8. Penekanan Fundus Penekanan fundus ke arah jalan lahir dapat dilakukan namun dianjurkan dikombinasi dengan manuver lain. Penekanan kuat pada fundus pada saat yang salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dkk (1987) melaporkan penekanan fundus tanpa disertai manuver lain akan menyebabkan komplikasi sebesar 77% dan erat dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik pada bayi. 9. Kleidotomi Kleidotomi merupakan pemotongan tulang klavikula dengan gunting atau benda tajam lain untuk memperpendek diameter biacromial. Tindakan ini dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Biasanya dilakukan pada bayi yang sudah mati. 10. Simfisiotomi Simfisiotomi juga dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Akan tetapi, beberapa penelitian mengungkapkan peningkatan morbiditas ibu dan kemungkinan terjadinya cedera traktur urinarius.
Beberapa literatur meengungkapkan beberapa cara dalam mengatasi distosia bahu yaitu Manajemen ALARMER dan 4 P. 1. Manajemen ALARMER a. Ask for help (Minta bantuan) b. Lift/hyperflex Legs Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu pada umumnya akan teratasi dengan manuver ini pada 70% kasus.
20
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan) Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan pervaginam dengan adduksi bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek bahu belakang (yaitu dengan mendorong kea rah dada) sehingga akan menghasilkan diameter terkecil (Manuver Rubin) d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang) Manuver ini dilakukan dengan memutar 1800 bahu belakang sehingga menjadi bahu depan (Manuver Woodscrew) e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual/ Manuver Jacquemier) f. Episiotomi g. Roll over onto ‗all fours‘ (knee-chest position/ Manuver Gaskin) 2. Hindari mpat ―P‖ a. Panic (Panik) b. Pulling (Menarik) c. Pushing (Mendorong) d. Pivot Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi maka dapat dilakukan: 1. Manuver Zavanelli 2. Kleidotomi 3. Simfisiotomi The
American
College
of
Obstetricians
and
Gynecologists (1991)
merekomendasikan langkah-langkah berikut ini, urut-urutannya bergantung pada pengalaman dan pilihan pribadi masing-masing operator: 1. Panggil bantuan—mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak. Pada saat ini dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan kandung kemih bila penuh. 2. Lakukan episiotomi luas (mediolateral atau episioproktotomi) untuk memperluas ruangan di posterior. 3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter karena alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu
asisten
untuk
melakukan penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan pada kepala janin. 21
4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi satu tungkai dan memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen. Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus distosia bahu. Namun, bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut dapat dicoba: 5. Manuver corkscrew Woods 6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang dalam posisi ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan. 7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus ketika manuver lain telah gagal. Yang termasuk dalam teknik ini adalah frakturklavikula atau humerus depan dengan sengaja dan manuver Zavanelli.
The American College of Obstetricians and Gynecologists (2000) meninjau penelitian-penelitian yang diklasifikasikan menurut metode evidence-based yang dikeluarkan oleh the United States Preventive Services Task Force. Hasilnya menyimpulkan bahwa sebagian besar bukti-bukti terbaru sejalan dengan pandangan bahwa: 1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah karena tidak ada metode yang akurat untuk mengidentifikasi janin mana yang akan mengalami komplikasi ini. 2. Pengukuran ultrasonik untuk memperkirakan makrosomia memiliki akurasi yang terbatas. 3. Seksio
sesarea
elektif
yang
didasarkan
atas
kecurigaan
adanya
makrosomia bukan merupakan strategi yang beralasan. 4. Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik dengan perkiraan berat lahir janin lebih dari 5000 g atau wanita diabetik yang berat lahir janinnya diperkirakan akan melebihi 4500 gram.
22
BAB III Kesimpulan
Persalinan dengan melahirkan bahu posterior seharusnya diikuti dengan manuver McRobert dan penekanan suprapubik dalam mengelola distosia bahu. Kebutuhan manuver tambahan berhubungan dengan tingginya angka cedera neonatus. Distosia bahu tetap merupakan penyebab penting dalam cedera neonatal dan maternal dengan insidensi 0,6% dan 1,4% dari kelahiran per vaginam. Cedera maternal dengan angka tinggi adalah peradarahan post partum dan laserasi derajat empat sedangkan Cedera neonatal utama yang diakibatkan distosia bahu adalah cedera pleksus brakhialis, fraktur klavikula, fraktur humerus, enselopati hipoksia iskemia dan kasus yang jarang adalah kematian neonatus. Hanya sebagian kecil dari kasus distosia bahu menyebabkan cedera neonatus yang dilaporkan yaitu sebesar 4% sampai dengan 40% kasus. Upaya untuk mengatasi distosia bahu telah difokuskan kepada pelatihan dalam pengelolaan akut distosia bahu dan mengembangkan strategi risiko untuk mengidentifikasi wanita dengan risiko terjadinya distosia. Operasi sesar sebagai profilaksis dalam kasus tunggal persalinan dengan distosia bahu yang dapat menghasilkan cedera permanen neonatus membutuhkan biaya mahal dan akan menghasilkan peningkatan morbiditas terhadap ibu.
23
Daftar Pustaka
Allen, Robert H & Edith D Gurewitsch 2010. Shoulder http://emedicine.medscape.com/article/1602970-overview
dystocia.
Cluver CA & GJ Hofmeyr 2009. Shoulder dystocia: An update and reviewof new techniques. SAJOG volume 15 No. 3. Gary Cuningham et al.2005. Distosia Bahu. Dalam: Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.Hal 505-10 Iwan Kurnia, 2006. Distosia Bahu. Jakarta: FKUI
Lerner, Henry 2004. Shoulder dystocia fact, evidence, and conclusions. http://www.shoulderdystociainfo.com/shoulder_dystocia.htm Leslee Geats. Management of Shoulder Dystocia: State of Science. Swedish Medical Center. Mir, Shylla & Abida Ahmad 2010. Review article : Shoulder dystocia. JK Science volume 12 No.4 Poggi SH, Allen RH, Patel CR, Ghidini A, Pezzullo JC, Spong CY 2004. Randomized trial of McRoberts versus lithotomy positioning to decrease the force that is applied to the fetus during delivery. Am J Obstet Gynecol. Sep 2004;191(3):874-8. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Rhamdan Gautama, 2011. Distosia Bahu. FK Universitas Mulawarman. Robert H Allen et al. 2010. Shoulder http://emedicine.medscape.com/article/1602970-overview#a15
Dystocia.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists 2005. Shoulder dystocia. Guideline no. 42 Smeltzer, JS 2000. Shoulder dystocia, dalam Clinical maternal-fetal medicine. New York : Parthenon Publishing 92-183
24