BAB I PENDAHULUAN 1.Latar Belakang
Malnutrisi merupakan masalah yang menjadi perhatian internasional serta memiliki berbagai sebab yang saling berkaitan. Penyebab malnutrisi menurut kerangka konseptual UNICEF dapat dibedakan menjadi penyebab langsung (immediate (immediate cause), cause), penyebab tidak langsung (underlying (underlying cause) cause) dan penyebab dasar (basic (basic cause). cause). Di Indonesia, penderita Malnutrisi terdapat di kalangan ibu dan masyarakat yang kurang mampu ekonominya. Kondisi anak dengan gejala Malnutrisi dianggap kondisi “biasa” dan dianggap sepele oleh orang tuanya. Masyarakat di Indonesia, para ibunya berpendapat bahwa anak yang buncit perutnya bukan kekurngan nutrisi, melainkan karena penyakit cacingan. Kematian akibat Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya kurangnya asupan makanan yang mengakibatkan kurangnya jumlah makanan yang diberikan, kurangnya kualitas makanan yang diberikan dan cara pemberian makanan yang salah. Selain itu juga karena adanya penyakit, terutama penyakit infeksi, mempengaruhi jumlah asupan makanan dan penggunaan nutrien oleh tubuh. Malnutrisi Rumah Sakit (MRS) atau hospital acquired malnutrition adalah terjadinya malnutrisi pada pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Berbagai faktor dapat menyebabkan MRS diantaranya kondisi penyakit, kurangnya asupan makanan yang disebabkan anoreksia, kesulitan pemberian makan (feeding difficulties), efek samping pengobatan, juga faktor eksternal seperti tindakan invasif dan prosedur diagnostik maupun terapetik di rumah sakit yang menyebabkan asupan makanan terganggu .2,3 Prevalensi MRS bervari asi tergantung kriteria dan parameter yang digunakan untuk mendefinisikan malnutrisi. Di Jerman, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) selama periode 10 tahun prevalensi 6.1% sampai 14% malnutrisi akut pada p ada anak di rumah sakit.4 Di Indonesia, telah dilakukan beberapa studi selama tahun 2008 sampai 2009 dengan prevalensi MRS pada anak
berkisar 24.3% sampai 24.8% .5,6 Malnutrisi rumah sakit telah diketahui sebagai penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas, lama dan biaya rawatan pasien. Status nutrisi yang buruk berhubungan dengan luaran yang buruk antara lain masa penyembuhan yang lama, kebutuhan akan perawatan intensif yang tinggi, meningkatnya komplikasi, infeksi nosokomial, dan yang terburuk adalah kematian.8 Universitas Sumatera Utara 2 Untuk mencegah terjadinya MRS, diperlukan deteksi dini risiko terjadinya malnutrisi pada anak selama masa perawatan di rumah sakit, sehingga dukungan nutrisi dapat dilakukan lebih dini untuk memperbaiki prognosis pasien. Deteksi sebaiknya dilakukan pada saat awal masuk rumah sakit dengan menggunakan suatu uji tapis sederhana.Untuk itu diperlukan suatu alat uji tapis yang dapat mendeteksi risiko MRS pada anak. Beberapa uji tapis telah dikembangkan, dan di beberapa negara hal ini telah dilakukan sebagai prosedur rutin pada saat masuk rumah sakit. Pengkajian status gizi pada anak dapat menggunakan penilaian status gizi langsung dan tidak langsung (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2012). Penilaian status gizi secara langsung salah satunya menggunakan antropometri yaitu berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi yang meliputi umur, TB, BB, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar panggul, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2012). Antropometri telah digunakan secara luas untuk mengukur status gizi individu dan populasi, yang pada akhirnya dapat memprediksi individu atau kelompok yang memerlukan intervensi gizi (Sjarif, Lestari, Mexitalia, dan Nasar, 2011). Dari berbagai indeks antropometri, untuk menginterprestasikannya dibutuhkan berbagai ambang batas. Ambang batas ini dinyatakan dengan berbagai cara antara lain dengan persen terhadap median, persentil, dan dengan Z skor. Penggunaan Z skor ini direkomendasikan oleh WHO untuk meneliti dan memantau pertumbuhan (Proverawati, dan Kusumawati, 2011). Selain dengan antropometri, penilaian status gizi pada anak juga dapat dilakukan dengan metode lain. Metode yang digunakan untuk menilai malnutrisi pada anak antara lain Nutrition Risk Score (NRS), Pediatric Nutrition Risk Score (PNRS), STAMP (The Screening Tool for the Assesmen of Malnutrition in Pediatric), Subjective Global Nutrition Assesment (SGNA), Pediattric Yorkhill Malnutrition Score (PYMS), dan STRONG Kids.
BAB II PEMBAHASAN
The pediatric Yorkhill malnutrition score (PYMS) Ada empat langkah dalam PYMS yang dinilai sebagai prediktor atau gejala malnutrisi, yaitu: IMT, riwayat penurunan BB, perubahan dalam asupan nutrisi, dan efek kondisi penyakit saat dilakukan penilaian terhadap status nutrisi pasien. Setiap langkah memiliki nilai hingga dua, dan total jumlah nilai mencerminkan derajat risiko nutrisi pasien. Sebuah studi yang membandin gkan penilaian dengan menggunakan SGNA, STAMP, dan PYMS mendapatkan hasil bahwa PYMS memiliki sensitifitas yang hampir sama dengan STAMP, dan PYMS memiliki positive predictive value yang lebih tinggi. SGNA memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari PYMS, tetapi sensitifitasnya jauh lebih rendah. PYMS (Paediatric Yorkhill Malnutitrion Score) Sasarannya untuk anak anak 1-16 tahun Parameter: BMI, weight loss tidak terencana, perubahan intak e, efek yang diprediksi dari kondisi anak Kelemhan : tidak ada pertanyaan spesifik tentang penyakit penyerta atau kondisi kronis sebelumnya, belum di evaluasi di UK Kelebihan : sudah diterapkan di rumah sakit UK Metode : Form terdiri dari 5 langkah yaitu Apakah BMI dibawah cut off? Apakah kehilangan BB saat ini ? Apakah intake makanan menurun? Apakah giizi anak berpengaruh pada selanjutnya ? Serta menjumlahkan total skor dari 4 pertanyaan (PYMS, 2009) Alat skrining PYMS adalah mengevaluasi empat komponen yang meliputi riwayat penurunan asupan makanan dalam satu minggu sebelumnya, BMI, riwayat penurunan BB, dan kaitan penyakit dengan kebutuhan gizi pasien. Analisis validitas dinilai dengan menggunakan baku emas penilaian status gizi yaitu riwayat makan, pengukuran antropometri, penilaian fisik (Susetyowati, 2014) 1.
Metode Skrining gizi
Selain dengan menggunakan antropometri ambang batas Z Skor, penilaian kecukupan gizi pasien thalasemia dapat diukur menggunakan skrining gizi di Rumah sakit. Skrining gizi merupakan proses identifikasi pasien yang mempunyai masalah gizi dan perlu dilakukan penilaian status gizi lanjut serta intervensi gizi oleh dietisien (Susetyowati, 2014). Metode skrining gizi yang dapat diterapkan pada anak bermacam-macam, antara lain:
a. Nutrition Risk Score (NRS) b. Pediatric Nutrition Risk Score (PNRS) c. The Screning Tool for the Assesment of Malnutrition in Pediatric (STAMP) d. Subjective Global Nutrition Assesment (SGNA) e. Pediatric Yorkhill Malnutition Score (PYMS)
A. Metode skrining gizi Pediatric Yorkhill Malnutition Score (PYMS) Menurut Susetyowati (2014), metode skrining gizi Pediatric Yorkhill Malnutition Score (PYMS) adalah alat skrining gizi yang dapat digunakan bagi anak-anak. PYMS dikembangkan berdasarkan acuan dari ESPEN (European Society Parenteral Enteral Nutrition) dengan mengevaluasi empat komponen. Komponen yang dimaksud adalah riwayat penurunan asupan makan selama satu minggu sebelumnya, BMI, riwayat penurunan berat badan, dan kaitan penyakit dengan kebutuhan gizi pasien. Analisis validitas dinilai dengan menggunakan baku emas penilaian status gizi (riwayat makan, pengukuran antropometri, penilaian fisik). Alat ukur skrining gizi ini memiliki 4 kategori yang harus diamati dan diukur. Masingmasing kategori memiliki skor maksimal 2. Total skor dari keseluruhan gejala menandakan status risiko malnutrisi pasien. Skor 0 menunjukkan pasien tidak berisiko atau risiko rendah malnutrisi. skor 1 menandakan risiko sedang malnutrisi, dan skor ≥ 2 menandakan risiko tinggi malnutrisi (Gerasimidis et al 2011)
ME TOD E :
Skor gizi buruk malnutrisi anak-anak (PYMS) menilai BMI, penurunan berat badan, asupan makanan dan prediksi efek kondisi gizi saat ini, dengan skor 0-2 untuk setiap elemen. Pasien dengan skor total 2 atau lebih dirujuk untuk meninjau diet. Fase percontohan empat bulan dilakukan di tiga bangsal medis dan satu bedah di rumah sakit tersier dan bangsal pediatri umum sebuah rumah sakit umum distrik.Kinerja alat dinilai dengan men gaudit tingkat penyelesaian, hasil, dampak pada beban kerja diet, dan dengan mengevalua si umpan balik para ahli diet. HASIL:
1571 pasien (72% penerimaan) diskrining yang 1 58 (10%) dinilai berisiko tinggi. Anak-anak yang tidak diskrining lebih muda dan tinggal di rumah sakit yang lebih pendek. Dari 125 pasien yang mendapat risiko tinggi, antara bulan ke 2 dan ke 4 pilot, 66 (53%) dinilai oleh ahli gizi yang 86% dinilai berisiko mengalami gizi buruk dan 50% dari jumlah tersebut baru. untuk layanan diet. Beban kerja diet tidak meningkat secara signifikan selama fase pilot meskipun proporsi rujukan dari bangsal penerima akut meningk at. Umpan balik para ahli diet positif, dengan pengakuan bahwa PYMS mengidentifikasi pasien berisiko malnutrisi yang mungkin tidak dirujuk sebaliknya.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Metode skrining gizi Pediatric Yorkhill Malnutition Score (PYMS) Menurut Susetyowati (2014), metode skrining gizi Pediatric Yorkhill Malnutition Score (PYMS) adalah alat skrining gizi yang dapat digunakan bagi anak-anak. PYMS dikembangkan berdasarkan acuan dari ESPEN (European Society Parenteral Enteral Nutrition) dengan mengevaluasi empat komponen. Komponen yang dimaksud adalah riwayat penurunan asupan makan selama satu minggu sebelumnya, BMI, riwayat penurunan berat badan, dan kaitan penyakit dengan kebutuhan gizi pasien. Analisis validitas dinilai dengan menggunakan baku emas penilaian status gizi (riwayat makan, pengukuran antropometri, penilaian fisik Skrining gizi oleh perawat dengan menggunakan skor PYMS baru layak dilakukan pada pasien rawat inap anak-anak, mengidentifikasi anak-anak berisiko malnutrisi dan menggunakan sumber daya yang tersedia secara efisien.