0
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: At-Tahiriyyah, 1976), h. 381
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201
Sakti Rangkuti, "Pengertian Talak Atau Perceraian Dalam Islam", di akses di http://saktirangkuti.blogspot.com/2013/01/pengertian-talak-atau-perceraian-dalam.html pada tanggal 4-12-2013
Kopral Anjay, "Macam-macam Talak", di akses di http://super-anjay.blogspot.com/2013/12/macam-macam-talak.html/ pada tanggal 4-12-2013
Kopral Anjay, "Bentuk-bentuk Talak", di akses di http://super-anjay.blogspot.com/2013/12/bentuk-bentuk-talak.html/ pada tanggal 4-12-2013
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII press, 2010) hal. 85.
Ibid.,
Kopral Anjay, loc.cit.,
Abdullah, "Penjelasan Sederhana Tentang Talak (perceraian), Rujuk dan Iddah (setelah diperbaiki/dilengkapi)", di akses di http://tauhiddansyirik.wordpress.com/2013/01/29/1299/ pada tanggal 4-12-2013.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia , (Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing, 2002), hal. 46.
PUTUSNYA PERNIKAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Itu yang membedakan dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Untuk mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan saling menjaga satu sama lainnya.
Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum.
Manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena dengan adanya perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan akhirnya menjadi masyarakat.
Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain atau pihak ke-3.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian talak serta penjelasannya?
2. Apa pengertian khulu', fasakh, zhihar, ila', li'an, iddah dan rujuk serta penjelasannya?
3. Bagaimana akibat hokum putusnya perkawinan?
BAB II
PEMBAHASAN
Putusnya Perkawinan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 199, menerangkan bahwa putusnya perkawinan disebabkan:
Karena meninggal dunia
Karena perceraian
Perceraian dalam istilah ahli Fiqih disebut "talak" atau"furqah". Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan "furqah" berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Fiqih sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.
Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.
Pengertian Talak
Secara etimologi kata talak (الطلاق) yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan ikatan suami istri.
Jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dari satu menjadi hilang.
Rukun Dan Syarat Talak
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan kelengkapannya unsur-unsur tersebut. Adapun rukun talak ada tiga yaitu:
Suami.
Suami adalah yang memilki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya. Selain suami tidak berhak menjatuhkannya, oleh karena itu talak bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah
Untuk sahnya talak, saat menjatuhkan talak suami harus memiliki empat syarat yaitu:
Berakal.
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini adalah hilang ingatan atau rusak akal karena sakit, pingsan, sakit ingatan karena rusak akal sarafnya.
Baligh.
Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh. Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari'at).
Merupakan suami yang sah.
Atas kemauan sendiri.
Yang dimaksud adalah adanya keinginan pada diri sendiri untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan paksaan dari orang lain. Kehendak dan kerelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan pertanggung jawaban. Oleh karena itu orang yang dipaksa melakukan sesuatu (dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
Isteri.
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istrinya sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang diucapkan terhadap istri orang lain.
Untuk sahnya talak, istri memiliki syarat sebagai berikut:
Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan suami.
Seorang istri masih dalam berada dalam perlindungan suami kecuali jika sudah di jatuhkan talak bain
Posisi istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.
Sighat talak.
Adalah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukan talak, baik itu langsung maupun kinayah, baik berupa ucapan maupun tulisan, isyarat bagi suami yang tuna wicara atau pun dengan suruhan dia.
Untuk syarat sahnya sighat talak yaitu:
Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepda isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Macam-macam Talak
Talak dapat dibagi menjadi beberapa macam dengan melihat ke waktu menjatuhkannya, kemungkinan suami kembali istrinya, cara menjatuhkannya, kondisi suami pada waktu mentalak, dan lain-lain. Di antara macam-macam talak tersebut adalah sebagai berikut:
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak atau kondisi isteri waktu talak itu diucapkan, talak dibedakan menjadi:
Talak Sunni
Adalah talak yang pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan sunnah. Pengkategorian talak sunni diperlukan empat kriteria:
Istri sudah pernah dikumpuli. Ketika istri pada waktu ditalak belum pernah dikumpuli tidak termasuk ke dalam talak sunni.
Istri segera melakukan iddah setelah ditalak. Di antara tuntunan menjatuhkan talak, adalah dalam masa istri yang ditalak langsung memasuki masa iddah.
Istri yang ditalak dalam keadaan suci, baik di awal suci atau di akhir suci. Oleh karen a itu ketika isteri ditalak dalam keadaan haid atau nifas atau belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi, tidak termasuk talak sunni.
Pada waktu suami menjatuhkan talak istri tidak sedang dalam keadaan di campuri. Ketika istri dalam masa suci sebelum ditalak dicampuri lebih dahulu oleh suami, tidak termasuk talak sunni.
Talak Bid'iy , yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut tuntunan agama. Talak yang termasuk ke dalam talak bid'iy adalah:
Talak yang dijatuhkan pada waktu istri sedang menjalani menstruasi atau sedang nifas.
Talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci tetapi telah dikumpuli lebih dahulu.
Talak bid'iy dilarang karena membahayakan istri yaitu memperpanjang masa iddah.
Ditinjau dari kemungkinan suami merujuk kembali istrinya atau tidak, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
Talak raj'i y, yaitu talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istri yang diatalaknya tanpa harus melalui akad nikah yang baru, selama istri masih dalam masa iddah. Talak raj'iy tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali. Yang termasuk ke dalam talak raj'iy adalah talak satu atau talak dua.
Talak ba'in , yaitu talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk ruju 'kepada istrinya. Bila suami ingin kembali ke mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak ba'in ini menghilangkan tali ikatan suami istri. Talak bai'in terbagi kepada:
Ba'in sughra , yaitu talak yang tidak memberikan hak ruju 'kepada suami tapi suami bisa menikah kembali kepada istrinya dengan tidak disyaratkan istri harus menikah dahulu dengan laki-laki lain. Yang termasuk talak ba'in sughra adalah talak satu dan talak dua.
Ba'in kubra , yaitu talak ketika suami ingin kembali ke mantan istrinya, selain harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, disyaratkan istri terlebih dahulu harus sudah menikah dengan orang lain dan telah diceraikan. Yang termasuk talak ba'in kubra adalah talak yang ketiga kalinya.
Bentuk-bentuk Talak
Khuluk
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata "iwald".
Syarat sahnya khuluk ialah:
Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri.
Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri.
Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu. Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri sendiri.
Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan, atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut Syekh Abdul 'Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
Berlaku adil di antara pihak yang berperkara.
Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri.
Adapun alasan-alasan diperbolehkannya seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:
Suami sakit gila.
Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.
Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan intim.
Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.
Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dalam kurun waktu tertentu.
Dhihar
Kata dhihar diambil dari kata "dhahrun" ( ظهر ) yang artinya punggung.Dalam budaya Arab jahiliyah, bila suami tidak senang kepada istrinya, dia mengatakan "anti 'alayya ka dhahri umi "(انت على كظهر امى), "Engkau bagiku seperti punggung ibuku". Dengan ucapannya ini suami berarti melarang mensetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri bagi suami untuk selamanya. Dalam kata-kata "anti 'alaya ka dhahri umi" disamakanlah antara istri dengan ibunya dalam hal keharaman disetubuhi. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.
Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.
Bila suami tidak mencabut kembali dhiharnya dan tidak juga menceraikan istrinya, maka setelah berlalu waktu empat bulan atau 120 hari sejak diucapkan dhihar, maka hakim harus menceraikan antara keduanya
Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:
Memerdekakan seorang budak, atau
Puasa dua bulan berturut-turut, atau
Memberi makan 60 orang miskin.
Ila'
Arti daripada ila' ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila' mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
Suami yang meng-ila' isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau harus mentalaknya.
Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalak isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada isterinya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila' sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka
Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
Li'an
Arti li'an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mengemukakan: "Bahwa li'an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami/istri ketika menuduh istrinya/suaminya berbuat zina dengan empat kali ucapan (persaksian sumpah) bahwa dia termasuk orang yang benar (dalam tuduhannya) dan ucapan (sumpah ) yang kelima menyatakan bahwa laknat Allah baginya jika ia termasuk orang yang bohong. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
Proses pelaksanaan perceraian karena li'an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:
Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).
Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dan ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.
'Iddah
'Iddah ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana si suami boleh merujuk kembali isterinya. Sehingga pada masa iddah ini si isteri belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
Tujuan dan Kegunaan Masa Iddah
Kegunaan dan tujuan iddah dalah sebagai berikut:
Untuk memberi kesempatan berpikir kembali denagn pikiran yang jernih, setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawina mereka putus. Kalau pikiran telah jernih dan dingin diharapkan suami akan merujuk isterinya kembali dan begitu pula si isteri diharapkan jangan menolak rujuk suaminya itu. Sehingga hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat bulan itu, isteri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang seandainya telah ada dalam kandungan wanita yang bersangkutan.
Macam-macam Iddah
Di lihat dari sebab terjadinya perceraian, maka iddah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
Iddah kematian
Isteri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa iddahnya sebagai berikut:
Bagi isteri yang di tinggal mati suaminya dan tidak sedang mengandung, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ketentuan ini tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 234, yang berbunyi:
"Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah isteri-isteri itu menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari".
Bagi isteri yang sedang mengandung iddahnya adalah sampai melahirkan. Dasarnya adalah Al-Quran syrat At-Talaaq ayat 4, yang bunyinya:
"Isteri yang sedang hamil iddahnya dalah sampai melahirkan kandungan"
Iddah talak
Isteri yang bercerai dengan suaminya dengan jalan talak, iddahnya dalah sebagai berikut:
Untuk isteri yang dicerai dalam keadaan mengandung maka iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya.
Istri yang di cerai ketika masih mengalami haid, iddahnya adalah tiga kali suci, termasuk suci pada saat terjadi talak, asal sebelumnya tidak dilakukan hubungan suami-isteri, sesuai dengan ketentuan surat Al-Baqarah 228.
Isteri yang tidak pernah atau tidak dapat lagi mengalami haid iddahnya adalah tiga bulan. Ketentuan ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Talaaq ayat 4.
Bagi isteri yang belum pernah dikumpuli dan kemudian ditalak, maka menurut ketentuan Al-Quran surat Al-Akrab ayat 49, isteri tersebut tidak perlu menjalani masa iddah. Dan apabila pada waktu akad-nikah belum ditentukan berapa jumlah maskawin yang akan diberikan kepadanya, maka suami yang mentalak itu wajib memberikan sejumlah harta kepada isteri yang di talak sebelum dicampuri itu.
Perceraian dengan jalan fasakh berlaku juga ketentuan iddah karena talak.
Kewajiban dan Hak Isteri dalam Masa Iddah
Kewajiban isteri dalam masa iddah ialah harus bertempat tinggal di rumah yang ditentukan oleh suami untuk didiami, sampai masa iddahnya habis. Selama waktu iddah isteri dilarang diusir atau dikeluarkan dari rumah tersebut. Selama masa iddah isteri berhak mendapat nafkah dari suaminya seperti nafkah sebelum terjadi perceraian, yaitu berupa perumahan, makanan dan pakaian.
Bagi isteri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan-alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan, ia dianggap nusyuz (durhaka). Isteri yang sudah nusyuz tidak berhak lagi menerima nafkah iddah atau hak nafkah iddahnya menjadi gugur.
Nafkah Setelah Habis Iddah
Wanita yang ditalak suaminya dan masa iddahnya telah habis, ia boleh melakukan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Dengan terjadinya perkawinan baru ini, hubungan bekas suami dengan isteri tersebut telah betul-betul putus, sehingga dengan sendirinya isteri tidak berhak lagi menerima nafkah dari bekas suaminya, demikian sebaliknya suami tidak berkewajiban lagi memberi nafkah pada isterinya.
Tapi dalam Undang-Undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c) memberi ketentuan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. Hal ini sesuai juga dengan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 241.
Rujuk
Rujuk adalah berarti kembali, artinya adalah kembali hidup sebagai suami-isteri antara laki-laki dan wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj'i selama masih dalam masa iddah tanpa melalui akad pernikahan yang baru. Yang mempunyai hak rujuk adalah suami, sebagai imbangan dari hak talak yang dimilikinya.
Syarat-syarat Rujuk
Apabila bekas suami hendak merujuk bekas istrinya, hendaklah memenuhi syarat-syarat sebagia berikut:
Bekas isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri. Sehingga perceraian yang terjadi di mana isteri belum pernah dicampuri oleh suami, tak memberikan hak rujuk kepada suami.
Harus dilakukan dalam masa iddah.
Harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai 'iwald dari pihak isteri.
Persetujuan isteri yang akan dirujuk.
Cara Pelaksanaan Rujuk
Niat untuk merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki kembali hubungan yang retak. Sehingga rujuk diharamkan dengan niat memudharatkan
Prosesnya adalah:
Dengan ucapan, yaitu setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niat.
Contohnya: aku telah merujuk (mengembalikan) isteriku, atau aku telah mengembalikan isteriku kesisiku. Aku telah menginginkan isteriku lagi.
Dengan cara mengaulinya disertai niat rujuk menurut pendapat yang benar. Oleh karena itu seorang suami yang menalak istrinya tidak boleh menggaulinya tanpa niat rujuk. Berkata asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafidhahullah: "Rujuk terjadi juga dengan menggauli istrinya apabila meniatkan dengannya untuk rujuk menurut pendapat yang benar." (Al-Mulakhos al-Fiqhy hlm 418).
Akibat Hukum Putusnya Pernikahan
Perceraian memiliki akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian.
Seperti yang ada di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut:
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan tentang penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Biaya hidup istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi tanggungan suaminya lagi namun pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
BAB III
KESIMPULAN
Jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Talak adalah perbuatan halal namun sangat di benci oleh Allah SWT. Talak di bagi menjadi berbagai macam tergantung dari situasi dan kondisinya yaitu: Khulu', Fasakh, Zhihar, Ila', dan Li'an.
Rujuk adalah kembali sebagai suami-isteri antara laki-laki dan wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj'i selama masih dalam masa iddah tanpa melalui akad pernikahan yang baru.
Masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana si suami boleh merujuk kembali isterinya di sebut masa iddah.
Akibat hukum putusnya pernikahan di atur dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqh Islam. Jakarta: At-Tahiriyyah.
Ghazaly, Abdurrahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Sakti Rangkuti, "Pengertian Talak Atau Perceraian Dalam Islam", di akses di http://saktirangkuti.blogspot.com/2013/01/pengertian-talak-atau-perceraian-dalam.html
Kopral Anjay, "Macam-macam Talak", di akses di http://super-anjay.blogspot.com/
Bashir, Ahmad Azhar. 2010. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII press.
Abdullah, "Penjelasan Sederhana Tentang Talak (perceraian), Rujuk dan Iddah (setelah diperbaiki/dilengkapi)", di akses di http://tauhiddansyirik.wordpress.com/2013/01/29/1299/
Prodjohamidjo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing.