APLIKASI GEOLISTRIK DALAM MENENTUKAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN DAN ARAH PENYEBARAN NIKEL LATERIT MENGGUNAKAN METODE WENNER-SCHLUMBERGER DI DAERAH TOTALLANG, KECAMATAN LASUSUA, KABUPATEN KOLAKA UTARA, PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh : HENGKY PRATAMA F1H114048
JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN UNIVERSITAS HALU OLEO 2018
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah “laterite” atau laterit berasal dari bahasa Latin “later” yang berarti bata.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Buchanan Hamiltonpada tahun 1807 untuk bongkahan-bongkahan tanah (earthy iron crust) yang telah dipotong menjadi bata (bricks) untuk bangunan dari orang Malabar – South Central India. Masyarakat Malabar mengenali material ini dalam bahasa mereka sebagai “brickstone” atau batu bata (dikutip dari Waheed Ahmad, 2006).
Secara umum, nikel laterit diartikan sebagai suatu endapan bijih nikel yang terbentuk dari proses laterisasi pada batuan ultramafik (peridotit, dunit dan serpentinit) yang mengandung Ni dengan dengan kadar yang tinggi, yang pada umumnya terbentuk pada daerah tropis dan sub tropis. Kandungan Ni di batuan asal berkisar 0.28 % dapat mengalami kenaikan menjadi 1 % Ni sebagai
konsentrasi sisa (residual concentration) pada zona limonit ( Waheed Ahmad, 2006). Proses laterit ini selanjutnya dapat berkembang menjadi proses pengayaan
nickel (supergene enrichment) pada zona saprolit sehingga dapat meningkatkan kandungan nikel menjadi lebih besar dari 2 %.
Nikel merupakan salah satu barang tambang yang sangat berharga dan memiliki nilai jual tinggi di pasaran dunia karena memiliki manfaat yang begitu besar bagi kehidupan sehari-hari, seperti pembuatan logam anti karat, campuran dalam pembuatan stainless steel , baterai nickel-metal hybride dan berbagai jenis barang lainnya. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah penghasil nikel antara lain Pomalaa (Sulawesi Tenggara), Sorowako (Sulawesi Selatan), Gebe (Halmahera), Tanjung Buli (Halmahera), dan Tapunopaka (Sulawesi Tenggara). Pada kenyataannya keberadaan keberadaan nikel yang penyebarannya tidak merata dan suatu saat habis tergali. Oleh sebab itu, diperlukan eksplorasi sebelum melakukan penambangan nikel. Ekplorasi adalah proses penyelidikan untuk mengumpulkan data secara terperinci dan teliti tentang keberadaan sumberdaya alam pada suatu tempat. Sehingga dengan adanya tahap ini akan mengurangi jumlah modal, mengurangi resiko kegagalan, kerugian materi, kecelakaan kerja dan kerusakan
lingkungan. Salah satu contoh tahap eksplorasi untuk menentukan sebaran nikel laterit yaitu survei geofisika dengan metoda geolistrik konfigurasi wenner.
Cara kerja metoda geolistrik yaitu dengan menginjeksikan listrik ke dalam bumi dan melihat respon material bawah permukaan bumi yang berupa tahanan jenis batuan bawah permukaan bumi terhadap listrik karena setiap material di bumi ini memiliki reaksi terhadap listrik, sehingga material-material tersebut memiliki variasi nilai terhadap listrik atau tahanan jenis (resistivitas). Pada penelitian ini menggunakan konfigurasi gradient array. Konfigurasi ini digunakan karena memiliki resolusi vertikal yang sangat baik dan perhitungan akusisi yang ce pat. Hal ini menyebabkan banyaknya jumlah data yang diperoleh dengan waktu yang singkat. Konfigurasi ini hanya dapat digunakan pada investigasi kedalaman yang dangkal. Dalam eksplorasi mineral, diperlukan suatu teknik survei pendahuluan yang dapat menginterpretasikan keadaan material yang berada di bawah permukaan bumi. Melalui teknik ini dapat dilakukan penentuan daerah tambang yang memiliki potensial ekonomis mineral dan juga untuk mencapai efisiensi tinggi dalam proses penambangan bijih nikel. Salah satu survei yang biasa dilakukan adalah survei geofisika dengan menggunakan metode geolistrik konfigurasi Wenner – Schlumberger , dimana metode ini sendiri banyak dimanfaatkan untuk eksplorasi mineral, survey kedalaman, dan geoteknik. Metode geolistrik adalah salah satu dari metode geofisika yang digunakan untuk mempelajari keadaan bawah permukaan dengan cara mempelajari sifat aliran listrik di dalam batuan di bawah permukaan bumi. Prinsip dalam metode ini yaitu arus listrik diinjeksikan ke alam bumi melalui dua elektrode arus, sedangkan beda potensial yang terjadi diukur melalui dua elektrode potensial (Musbikhin, 2013).
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan sebaran lapisan nikel laterit menggunakan konfigurasi Wenner serta menginterpretasikan kondisi bawah permukaan daerah penelitian dalam bentuk 2D. D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat menarik perhatian peneliti selanjutnya untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai sumberdaya nikel, dan dapat menjadi referensi tambahan penelitian selanjutnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangsi pengetahuan baik kepada masyarakat maupun pemerintah mengenai sumberdaya nikel.
Bab II Tinjauan pustaka
II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1.
Geologi Regional Daerah Penelitian
Desa Totallang merupakan salah satu desa yang terletak di kabupatan Kolaka Utara terltetak pada formasi Tampakura (Rusmana dan Sukarana, 1985). Akan tetapi, untuk pada peta geologi Lembar Lasusua Kendari (Rusmana dkk., 1993) dalam surono (2010) namun nama tersebut diganti menjadi Formasi Salodik. Namun, ada perbedaan yang signifikan antara Formasi Salodik dan Formasi Tampakura. secara litologis, Formasi Tampakura terdiri atas oolit, mudstone, waclstone, packstone dan sisipan batupasir, serpih, lanau, dan napal di bagian bawah. Sementara Formasi Salodik, yang tersingkap luas di Lengan Timur Sulawesi, tersusun oleh batu gamping d engan sisispan batu napal dan batu pasir (Surono, 1989). Di samping itu, penyebaran keduanya saling berjauhan, sehingga dikhawtirkan masing – masing formasi diendapkan pada cekungan yang berbeda. Bagian bawah Formasi Tampakura Menindih takselaras Formasi Meluhu, dan bagian atasnya ditindih takselaras Molasa Sulawesi. Formasi Tampakura juga menindih tak selaras dengan Formasi Meluhu, Formasi Meluhu diberikan oleh Rusmana dan Sukarna (1985) kepada satuan batuan yang terdiri atas batupasir kuarsa, serpih merah, batulanau dan batulumpur di bagian bawah; dan persilangan serpih hitam, batupasir dan batugamping di atas. Formasi Meluhu menindih tak selaras batuan malihan dan ditindih tak selaras oleh satuan batu gamping Formasi Tampakura.
Gambar 2.1 Penyebaran Formasi meluhu di Lengan Tenggara Sulawesi disederhanakan dari Pete geologi terbitan Pusat Penelitian dan Pengembnagan Geologi (Surono, 2010) 2.2.
Geomorfologi Kolaka Utara
Van Bemmelen (1949) dalam surono membagi Lengan Tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian : ujung utara, bagian tengah, dan ujung selatan. Ujung utara mulai dari Palopo sampai Teluk Tolo; dibentuk oleh batuan malihan dan batuan sedimen Mesozoikum. Ujung selatan Lengan Tenggara merupakan bagian yang relatif lebih landai; batuan penyusunannya didominasi oleh batuan sedimen Tersier. Uraian di bawah ini merupakan Perian morfologi dan morfogenesis Lengan Tenggara Sulawesi. Daerah Totallang termasuk morfologi bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi oleh pegunungan yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah barat laut – tenggara. Pengunungan tersebut di antaranya adalah pegunungan mengkoka, pegunungan tangkelamboke, dan pegunungan Matarombeo. Morfologi
bagian tengah ini sangat kasar dengan kemiringan lereng yang tajam. Puncak tertinggi pada rangkaian pegunungan mengkoka adalah gunung yang mempunyai ketinggian 2790 mdpl. Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung dengan tinggi 1500 mdpl. Sedangkan pegunungan Matarombeo berpuncak di barat laut Desa Wawonlondae dengan ketinggian 1551 mdpl (Surono, 2010).
C. Nikel Laterit
Laterit berasal dari bahasa latin yaitu later , yang artinya bata (membentuk bongkah – bongkah yang tersusun seperti bata yang berwarna merah bata). Hal ini dikarenakan tanah laterit tersusun oleh fragmen –fragmen batuan yang mengambang diantara matriks, seperti bata diantara semen, namun ada juga yang mengartikan nikel laterit sebagai endapan lapukan yang mengandung nikel dan secara ekonomis dapat di tambang. Batuan induk dari endapan nikel laterit adalah batuan ultrabasa dengan kandungan mineral ferromagnesian (olivine, piroksin, dan amphibole) dalam jumlah besar yang berasosiasi dengan struktur geologi yang terbentuk pada masa Prekambrian hingga Tersier (Ahmad, 2006). Batuan ultrabasa itu sendiri tersusun dari batuan peridotite yang dapat dibagi menjadi empat satuan batuan, yang 12
merupakan batuan induk pembawa nikel dengan kadar sekitar 2%. Batuan-batuan sejenis peridotite antara lain : - Dunite, yang mengandung olivine lebih dari 90% dan piroksen sekitar 5%. - High Serpentinized , yang mengandung olivine 85% dan piroksen 15%. - Low Serpentinized , yang mengandung olivine 65% dan piroksen 35%. - Serpentinite, merupakan hasil perubahan dari batuan peridotite oleh proses serpentinisasi akibat hidrothermal. Bijih nikel yang terdapat di beberapa daerah Sulawesi termasuk ke dalam jenis laterit nikel dan bijih nikel silikat (garnerit). Bijih nikel tersebut terbentuk akibat pelapukan dan pelindihan (leaching) batuan ultrabasa seperti peridotit dan serpentinit dari rombakan batuan ultrabasa. 1. Proses Pembentukan Nikel Laterit
Pembentukan nikel laterit secara kimia terkait dengan proses serpentinisasi yang terjadi pada batuan peridotite akibat pengaruh larutan hydrothermal yang akan merubah batuan peridotite menjadi batuan serpentinite atau batuan serpentinite peridotite. Proses kimia dan fisika dari udara, air serta pergantian panas dingin yang bekerja kontinu (berkelanjutan), menyebabkan disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk. Pada pelapukan kimia, khususnya air tanah kaya akan CO2 yang berasal dari udara dan pembusukan tumbuh-tumbuhan akan menguraikan mineral-mineral yang tidak stabil (olivine dan piroksin) pada batuan ultrabasa, kemudian menghasilkan Mg, Fe, Ni yang larut dan Si yang cenderung membentuk koloid dari partikel-partikel silika sangat halus. Di dalam larutan, Fe teroksidasi dan 13
mengendap sebagai ferri-hidroksida, akhirnya membentuk mineral-mineral seperti goethite, limonite, dan hematite dekat permukaan, bersama mineral-mineral ini selalu ikut serta unsur Cobalt dalam jumlah kecil. Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si terus menerus mengalir ke bawah tanah selama larutannya bersifat asam, hingga pada suatu kondisi dimana suasana cukup netral akibat adanya kontak dengan tanah dan batuan, maka ada kecenderungan untuk membentuk endapan hidrosilikat. Nikel yang terkandung dalam rantai silikat atau hidrosilikat dengan komposisi bervariasi tersebut akan mengendap pada celahcelah atau rekahan-rekahan yang dikenal dengan urat-urat garnierite dan krisopras, sedangkan larutan residunya akan membentuk suatu senyawa yang disebut saprolite yang berwarna coklat kuning kemerahan. Unsur-unsur lainnya seperti Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat akan terbawa ke bawah sampai batas pelapukan dan akan diendapkan sebagai dolomite, magnesite yang biasa mengisi celah-celah atau rekahan-rekahan pada batuan induk. Di lapangan urat-urat ini dikenal sebagai batas petunjuk antara zona pelapukan dengan zona batuan segar yang disebut dengan akar pelapukan (root of weathering). 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nikel Laterit
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan bijih nikel laterit adalah : a. Batuan Asal
Merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan nikel laterit, macam batuan asalnya adalah batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada batuan ultrabasa 14
tersebut : terdapat elemen Ni yang paling banyak diantara batuan lainnya, mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan piroksin, mempunyai komponen-komponen yang mudah larut dan memberikan lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel. b. Suhu atau Temperatur Yang Tinggi
Suhu dan temperatur yang tinggi sangat penting dalam mempercepat proses pelapukan kimia yang merupakan kondisi yang sangat ideal dalam pengembangan laterit. c. Iklim
Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dapat menimbulkan perbedaan temperatur yang cukup besar yang dapat membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahan-rekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada batuan. d. Struktur
Struktur yang sangat dominan adalah struktur kekar ( joint ) dibandingkan terhadap struktur patahannya. Dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif. e. Topografi
Untuk daerah yang mempunyai topografi landai, maka air akan bergerak perlahanlahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. 15
f. Waktu
Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi. 3. Profil Endapan Nikel Laterit
Profil nikel laterit berdasarkan Gambar 4, terbagi menjadi : a. Zona limonit, zona ini umumnya berwarna merah hingga merah kecoklatan, kaya akan besi kurang lebih 20-50, strukturnya sangat halus (clay). Pada zona ini terdapat zona transisi yang merupakan peralihan antara zona limonit dan zona saprolit umumnya berwarna merah, mengandung mineral smectite (nontronit). b. Zona saprolit, zona ini berwarna abu-abu hingga hijau kecoklatan. mengandung mineral serpentin dan olivin, unsur Ni diatas 2%. berukuran halus hingga boulder. Ukuran boulder ini biasanya merupakan bagian dari proses pelapukan batuan induk (protolith) yang belum sempurna. c. Bedrock zone, zona ini tidak dapat ditambang karena merupakan batuan dasar (sources rock) yang tidak ekonomis.
Gambar 4. Profil endapan nikel laterit. (Aye, 2013)
D. Metode Geolistrik Tahanan Jenis
Metode geolistrik merupakan salah satu geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi. Metode geolistrik mempunyai beberapa macam salah satunya yaitu metode geolistrik tahanan jenis. Metode geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metoda geofisika yang memanfaatkan sifat tahanan jenis untuk menyelidiki keadaan di bawah permukaan bumi (Suhendra, 2005 dalam 17
Hendrawati, 2013). Metode ini adalah metode yang paling sering digunakan dari sekian banyak metode geofisika yang diterapkan dalam eksplorasi sumber daya alam. Prinsip kerja metode ini adalah dengan menginjeksikan arus listrik kedalam bumi dengan perantara dua buah elektroda, lalu mengamati potensial yang ditimbulkan dari kedua buah elektroda yang berada pada berbagai tempat. Perbedaan potensial yang didapatkan dapat menggambarkan keadaan bawah permukaan bumi di tempat tersebut. Pada dasarnya metoda ini dapat didekati dengan menggunakan konsep perambatan arus listrik di dalam medium homogen isotropis dengan asumsi arus listrik bergerak kesegala arah dengan nilai yang sama besar (Hendrawati,2013). Di dalam metode geolistrik resistivitas ini terdapat 2 macam metode dalam pengambilan datanya, yaitu : metode geolistrik resistivitas mapping dan metode geolistrik resistivitas sounding. Metode resistivitas mapping merupakan metode resistivitas yang bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas lapisan tanah bawah permukaan secara horizontal. Sedangkan metode geolistrik resistivitas sounding bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas batuan di dalam permukaan bumi secara vertikal. Penggunaan metode geolistrik pertama kali digunakan oleh Conrad Schlumberger pada tahun 1912. Geolistrik merupakan salah satu metode geofisika untuk mengetahui perubahan resistivitas lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus listrik DC (Direct Current ) yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik ini menggunakan 2 buah 18
elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah dengan jarak tertentu. Semakin panjang jarak elektroda AB akan menyebabkan aliran arus listrik bisa menembus lapisan batuan lebih dalam (Damtoro, 2007 dalam Nur, 2012). Menurut Damtoro (2007) dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan yang bisa ditembus oleh arus listrik ini sama dengan separuh dari jarak AB yang biasa disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC murni), maka diperkirakan dari injeksi ini berbentuk setengah bola dengan jari-jari AB/2. Umumnya metode geolistrik yang sering digunakan adalah yang menggunakan 4 buah elektroda yang terletak dalam satu garis lurus serta simetris terhadap titik tengah, yaitu 2 buah elektroda arus (AB) di bagian luar dan 2 buah elektroda tegangan (MN) di bagian dalam. Gambar di bawah ini adalah ilustrasi garis equipotential yang terjadi akibat injeksi arus ditunjukkan pada dua titik arus yang berlawanan di permukaan bumi. Gambar 5. Pola Aliran arus Dan Bidang Equipotential Antara Dua Elektroda Arus
Dengan Polaritas Berlawanan Pada Gambar 5 yang menyerupai setengah lingkaran dapat dilihat sebaran arus pada permukaan akibat arus listrik yang dikirim ke bawah permukaan. Garis 19
tegas menunjukkan arus yang dikirim mengalami respon oleh suatu lapisan yang homogen. Sedangkan arus putus-putus menunjukkan arus normal dengan nilai yang sama. Garis-garis tersebut disebut dengan garis equipotential. Dimana medan listrik titik sumber di dalam bumi dianggap memiliki simetri bola (Rosyidah, 2005:6). 1. Sifat Kelistrikan Batuan
Aliran arus listrik di dalam batuan dan mineral dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara elektrolitik, dan konduksi secara dielektrik. a. Konduksi Secara Elektronik
Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-elektron bebas tersebut. b. Konduksi Secara Elektrolitik
Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki resistivitas yang sangat tinggi. Batuan biasanya bersifat porus dan memiliki pori-pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Batuan-batuan tersebut menjadi konduktor elektrolitik, di mana konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolitik dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya resistivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan berkurang. 20
c. Konduksi Secara Dielektrik
Konduksi pada batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap aliran listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi karena adanya pengaruh medan listrik dari luar maka elektron dalam bahan berpindah dan berkumpul terpisah dari inti, sehingga terjadi polarisasi (Telford, 1990). 2. Hukum Ohm Sebagai Hukum Dasar Resistivitas
Hubungan antara beda potensial, arus dan hambatan listrik diberikan oleh George Simon Ohm sebagai berikut : = (1)
dengan, R = Hambatan (Ohm) I = Arus (Ampere) V = Beda Potensial (Volt)
Apabila ditinjau sebuah selinder dengan luas penampang A, panjangnya L, hambatan R dan memiliki tahanan jenis maka hubungan yang diperoleh dinyatakan dengan
rumus : = (2)
dengan, = Resistivitas (Ωm) R = Hambatan (Ω)
A = Luas Penampang (m2) L = Panjang Penampang (m) 21
Gambar 6. Silinder dengan luas luas penampang A, panjangnya L, hambatan R dan
memiliki tahanan jenis (Dewi, 2015)
3. Resistivitas Batuan
Dari semua sifat fisika batuan dan mineral, resistivitas memperlihatkan variasi harga yang sangat banyak. Pada mineral-mineral logam, harganya berkisar pada 10- 8 mΩ hingga 107 mΩ. Begitu juga pada batuan -batuan lain, dengan komposisi yang
bermacam-macam akan menghasilkan range resistivitas yang bervariasi pula. Konduktor biasanya didefinisikan sebagai bahan yang memiliki resistivitas kurang dari 10-8 mΩ, sedangkan isolator memiliki resistivitas lebih dari 107 mΩ. Dan di antara keduanya adalah bahan semikonduktor. Di dalam konduktor berisi banyak elektron bebas dengan mobilitas yang sangat tinggi. Sedangkan pada semikonduktor, jumlah elektron bebasnya lebih sedikit. Isolator dicirikan oleh ikatan ionik sehingga elektronelektron valensi tidak bebas bergerak. 22
Tabel 1. Nilai resistivitas berbagai bahan material bumi
( Telford, 1990)
4. Konfigurasi Wenner - Schlumberger
Konfigurasi Wenner-Schlumberger adalah konfigurasi dengan sistem aturan spasi yang konstan dengan catatan faktor “n” untuk konfigurasi ini adalah perbandingan
jarak antara elektroda C1-P1 (atau C2-P2) dengan spasi antara P1-P2 seperti pada
Gambar 7. Jika jarak antar elektroda potensial (P1 dan P2) adalah a maka jarak antar elektroda arus (C1 dan C2) adalah 2na + a. Proses penentuan resistivitas menggunakan 4 buah elektroda yang diletakkan dalam sebuah garis lurus.
Gambar 7. Pengaturan elektroda konfigurasi Wenner-Schlumberger (Sakka, 2001)
Konfigurasi ini merupakan gabungan antara konfigurasi Wenner dan konfigurasi Schlumberger . Modifikasi dari bentuk konfigurasi Wenner dan konfigurasi
Schlumberger dapat digunakan pada sistem konfigurasi yang menggunakan aturan spasi yang konstan dengan catatan faktor untuk konfigurasi ini adalah perbandingan jarak antara elektroda C1-P1 dan C2-P2 dengan spasi antara elektroda P1-P2. Dimana, a adalah jarak antara elektroda P1-P2. Konfigurasi ini secara efektif menjadi konfigurasi Schlumberger ketika faktor n menjadi 2 dan seterusnya sehingga ini sebenarnya merupakan kombinasi antara konfigurasi 24
Wenner-Schlumberger yang menggunakan spasi elektroda yang konstan (seperti yang
biasanya digunakan dalam penggambaran penampang resistivitas 2D). Disamping itu cakupan horizontal lebih baik, penetrasi maksimum dari konfigurasi ini 15 % lebih baik dari konfigurasi Wenner, dan untuk meningkatkan penyelidikan kedalaman maka jarak antara elektroda P1-P2 ditingkatkan menjadi 2a dan pengukuran diulangi untuk n yang sama sampai pada elektroda terakhir, kemudian jarak antara elektroda P1-P2 ditingkatkan menjadi 3a.
Gambar 8. Susunan “n” elektroda konfigurasi Wenner-Schlumberger
Metode ini tidak terlalu sensitif terhadap perubahan horizontal oleh sebab itu baik digunakan untuk survey kedalaman. Metode ini dapat digunakan untuk survey bidang gelincir, sungai bawah tanah dan geoteknik (Loke, 1999). Faktor geometri dari konfigurasi elektroda Wenner-Schlumberger adalah : = (3) =
2
{11−12−13+14} (4)
dimana K adalah faktor geometri yang tergantung oleh penempatan elektroda di permukaan dan ρ adalah resistivitas (tahanan jenis).
Berdasarkan persamaan (4) maka diperoleh faktor geometri K:
=
=
=
2 {1−1+−1++1}
(5)
{1−1+}
(6)
(+1)
(7)
Nilai resistivitas semu : = (+1) Δ
I
(8)
(Nabeel, 2013).
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada awal bulan April 2018 di daerah Kode pos Desa Totallang, Kelurahan To’ tallang, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.
A. Letak Geografis dan Batas Wilayah Daerah Kabupaten Kolaka Utara berada di daratan tenggara Pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian Barat. Kabupaten Kolaka Utar a memanjang dari Utara ke
Selatan berada diantara 2o46'45" - 3o50'50" Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120o41'16" - 121o26'31" Bujur Timur. Batas-batas wilayah Kabupaten Kolaka Utara adalah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur (Provinsi Sulawesi Selatan) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe Utara (Provinsi Sulawesi Tenggara) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka (Provinsi Sulawesi Tenggara) Sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Timur Teluk Bone.
Gambar 13. Peta Lokasi Penelitian
ALAT
SPESIFIKASI
FUNGSI
NO 1
Geo Resistivity Multi Channel
Untuk
mengukur
(Geores) .
nilai beda potensial dan arus
2
3
Handy Gps (Global Positioning
Untuk menentukan
System)
posisi di lapangan
Alat Tulis
-
Untuk
mencatat
kenampakankenampakan
di
daerah penelitian 4
Palu
-
Sebagai alat bantu untuk menancapkan elektroda
5
Elektroda 1 set (16 buah)
-
Menginjeksikan arus
ke
bawah
permukaan bumi 6
Accu
-
Sumber
energi
ketika menginjeksikan arus 7
Rol meter
-
Mengukur panjang bentangan elektroda
8
Laptop
-
Menjalankan program (software) yang
digunakan
dalam pengolahan data
Mulai
Survey Pendahuluan
Data Geologi
Data Arus (I) dan bBedaPotensial (V)
Menghitung Resistivitas
v Inversi Data
Penampang Resitivitas
Analisis struktur dan arah en ebaran nikel laterit
Selesai