Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
PERUBAHAN WUJUD DAN FUNGSI RUANG PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DESA BALI AGA, STUDI KASUS: DESA PEDAWA, BULELENG- BALI Tri Anggraini Prajnawrdhi Staff Pengajar Program Studi Magister Arsitektur Universitas Udayana Email:
[email protected] Abstract Traditional house is a form of built environment which based on the attitude and way of life of the local resident include norms, religion and believe and their daily life pattern. In the past, the traditional housing in Desa Pedawa was formed by the local resident’s way of life which had strong believe to their ancestors, the environments and their tradition in making palm sugar. Therefore, the shape and space pattern of the traditional house presented the uniqueness as the identity of this settlement. However, over the time period, several changes happened in this traditional housing, and it is undeniable. Case study method is used to analyze the changes which happened to the shape, function and space pattern of this traditional housing. The result indicated that the changes in life style; status and profession plays important part in developing a demand of new and different space and shape of the housing. Further, the changes of space and shape is also occurred due to lack of awareness and knowledge of the local resident about traditional settlement conservation. Keywords: change, space, traditional house
Abstrak Rumah tradisional adalah merupakan sebuah wujud lingkungan buatan yang berlandaskan sikap serta pandangan hidup dari masyarakat setempat meliputi adat istiadat, agama dan kepercayaan, serta pola kehidupan masyarakat setempat. Rumah tinggal tradisional masyarakat di Desa Pedawa dahulunya dibentuk berdasarkan pandangan hidup masyarakat Pedawa yang memiliki kerpercayaan kuat terhadap lehuhurnya, kondisi lingkungan sekitar, serta tradisi dalam masyarakat sebagai pembuat gula aren. Oleh sebab itu bentuk serta pola ruang yang ada di dalamnya memiliki suatu keunikan tersendiri yang menjadi sebuah ciri khas atau identitas rumah tradisional ini. Namun seiring berjalannya waktu, beberapa perubahan pada rumah tradisional di Desa Pedawa tidak bisa dihindari. Metode studi kasus dipergunakan untuk menelaah perubahan yang terjadi pada wujud, fungsi dan pola ruang yang terjadi pada rumah tradisional ini. Hasil menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi disebabkan karena berubahnya gaya hidup masyarakat, status dan mata pencaharian yang menuntut kebutuhan ruang yang baru dan berbeda dan wujud rumah yang berbeda. Perubahan ini juga didukung oleh minimnya kesadaran masyarakat akan arti dan pentingnya sebuah konservasi bangunan traditional. Kata kunci: perubahan, ruang, rumah tradisional
PENDAHULUAN Rumah tinggal tradisional merupakan suatu bagian dari sebuah permukiman tradisonal, dimana permukiman tradisional adalah merupakan salah satu bagian dari kawasan cagar budaya. Hal ini diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya terkait dengan permukiman tradisional ini adalah meliputi rencana perlindungan, rencana pengembangan, dan optimalisasi pemanfaatan permukiman tradisional. Oleh sebab itu perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan permukiman tradisional sudah selayaknya mengacu pada perundangan yang telah disepakati. Desa adat adalah salah satu bentuk dari permukiman tradisional sudah selayaknya dilindungi karena merupakan bagian dari sebuah permukiman tradisional. Sehingga pelestarian permukiman tradisional beserta desa adat serta rumah tradisional yang berada di dalamnya sudah memiliki acuan dalam pelestariannya. 1
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
Rumah tinggal tradisional juga merupakan salah satu symbol dari budaya setempat, hal ini ditunjukkan melalui proses penciptaan karya arsitektur pada rumah tradisional yang sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi budaya. Dan sebuah karya arsitektur dalam hal ini rumah tinggal tradisional mampu mengekspresikan karakteristik dari sebuah budaya setempat yang meliputi norma, nilai-nilai, pola tingkah laku, artefak serta aktifitas (Broadbent, 1973). Ekspresi dari sistem social budaya masyarakat dan nilai-nilai yang telah disepakati bersama dalam sebuah lingkungan masyarakat diwujudkan dalam sebuah karya arsitektur, sehingga hal ini semua karya arsitektur dihasilkan berdasarkan dari kaidah, nilai dan norma budaya masyarakat setempat (Schulz, 1973). Disini dapat dilihat bahwa sebuah rumah tradisional yang merupakan suatu karya arsitektur adalah murni sebuah perwujudan budaya dari masyarakat setempat yang memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Menurut Sulistyawati (1985) rumah tradisional Bali memiliki fungsi menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur, makan, istirahat dan juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. Disini jelas terlihat bahwasanya rumah tradisional di Bali memiliki fungsi yang mampu mewadahi segala macam kegiatan baik fisik maupun psikologis dari penghuninya. Maslow (1943) menyebutkan bahwa kebutuhan manusia memiliki beragam tingkatan mulai dari kebutuhan yang paling dasar untuk kelangsungan hidupnya hingga kebutuhan yang sifatnya lebih tinggi yaitu aktualisasi diri. Seiring dengan kebutuhan manusia tersebut rumah merupakan suatu produk yang mampu mewadahi berbagi macam dari kebutuhan manusia dari yang paling dasar hingga yang lebih tinggi sehingga dengan bergesernya kebutuhan manusia perubahan dalam sebuah rumah tinggal akan terjadi. Parimin (1986) mengklasifikasikan empat buah atribut dalam perumahan tradisional Bali diantaranya: (1) Atribut Sosiologi menyangkut sistem kekerabatan masyarakat Bali yang dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem banjar, sistem subak, sekeha, dadia, dan perbekelan; (2) Atribut Simbolik berkaitan dengan orientasi perumahan, orientasi sumbu utama desa, orientasi rumah dan halamannya; (3) Atribut Morpologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan inti (core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing mempunyai fungsi dan arti pada perumahan tradisional Bali; dan (4) Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumahan tradisional Bali pada dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya 3 pura desa. Rumah tinggal tradisional di sebuah desa Bali Aga memiliki suatu keunikan dan karakter tersendiri yang berbeda dengan permukiman maupun rumah tinggal pada Desa Bali Aga maupun permukiman tradisional di daerah lainnya. Keunikan maupun karakter sebuah rumah tinggal tradisional di desa Pedawa sebagai salah satu desa Bali Aga di Bali didasarkan oleh sebuah nilai dan norma budaya, kepercayaan, pola hidup masyarakat setempat. Metode case study yang melibatkan observasi lapangan, wawancara, studi dokumen dan laporan historis dipergunakan untuk mengkaji perubahan yang terjadi pada wujud dan fungsi ruang pada rumah tinggal tradisional di Desa Pedawa ini.
2
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
LOKASI DESA PEDAWA
Gambar 1. Lokasi Desa Pedawa Sumber: Penulis, 2016 Desa Pedawa berada pada posisi ketinggian berkisar diantara 450-800 meter dari atas permukaan laut. Berada pada jarak 12 km dari Kecamatan Banjar dan 30 km dari Kota Singaraja. Desa ini berbatasan dengan desa-desa lainnya yaitu: di sebelah utara Desa Cempaga, Desa Tigawasa, Desa Kayu Putih Melaka; di sebelah Timur adalah Desa Selat; di sebelah selatan yaitu Desa Gobleg dan Desa Tirtasari; dan di sebelah Barat yaitu Desa Banyuseri dan Desa Banjar. ASPEK HISTORIS DAN KONDISI FISIK DESA PEDAWA Desa Pedawa merupakan salah satu desa tua yang berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Dengan terdapatnya bukti peninggalan bersejarah di jaman Megalithikum yang berbentuk dua buah sarkopagus, satu buah ditemukan pada wilayah Banjar Dinas Ingsakan dan satunya lagi di wilayah Jinjit maka membuktikan bahwa desa ini sudah dihuni sejak jaman tersebut. Sebelum desa ini bernama Desa Pedawa, nama yang diberikan untuk desa ini adalah Gunung Tambleg yang artinya orang-orang lugu. Kemudian nama tersebut berganti menjadi Gunung Sari yang berarti daerah yang subur. Setelah mengalami pergantian nama sebanyak dua kali, akhirnya nama Pedawa yang berarti Panjak Dewa dipergunakan sebagai nama desa ini sejak abad ke 15 seperti yang tersurat pada babad Pasek Kayu Selem. Selain kata Pedawa yang di artikan sebagai Panjak Dewa, kata Pedawa juga dianggap berasal dara kata Pada Wang yang berarti orang yang sama/ kesamen, oleh sebab itu di desa ini tidak ada yang memiliki kasta, semua dianggap jaba, walaupun menurut perhitungan silsilah keluarga ada yang termasuk warga Dalem, Pararya Pasek dan yang lainnya. Desa Pekraman Pedawa memiliki lima buah banjar adat yang disebut dengan nama Sambangan. Jumlah banjar adat selau tetap tidak mengalami penambahan atau pengurangan karena
3
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
namanya ditentukan berdasarkan Pancawara, yaitu: (1) Sambangan Nawan meliputi Banjar Desa berada di tengah-tengah, nawan berarti Klion; (2) Sambangan Manis meliputi Banjar Ingsakan di Timur; (3) Sambangan Paing meliputi Banjar Lambo di Selatan; (4) Sambangan Pon meliputi Banjar Asah di daerah Barat dan; (5) Sambangan Wage meliputi Banjar Munduk Waban di daerah Barat. BANGUNAN RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI DESA PEDAWA 1. Posisi rumah dalam tatanan ruang permukiman di Desa Pedawa Rumah tradisional di Desa Pedawa memiliki posisi yang menyesuaikan dengan jalan lingkungan setempat. Pola permukiman yang mengelompok merupakan salah satu ciri dari permukiman pada desa ini, dan kelompok permukiman tersebut memiliki sebuah ruang luar komunal/ natah umum, dan kelompok permukiman ini dihubungkan oleh sebuah jalan lingkungan menuju ke jalan utama. Namun saat ini sudah terdapat beberapa jalan lingkungan yang baru yang menghubungkan jalan utama menuju ke rumah penduduk pada beberapa kelompok permukiman. Jalan tersebut akhirnya merubah pola jalan asli yang sebelumnya menghubungkan rumah satu dengan lainnya yang berada dalam satu natah milik umum. Dengan adanya jalan baru, terjadi perubahan pola natah umum menjadi natah privat, dan masih-masing rumah membuat pagar pembatas dan memiliki natah sendiri, sehungga terpisah antara rumah satu dengan yang lainnya. Pola perubahan ini dapat umumnya terjadi pada permukiman yang berada di pusat desa Pedawa. Untuk masyarakat dengan profesi petani, rumah mereka langsung berhadapan dengan tempat penyimpanan padi yang disebut Jineng/lumbung.
Kahyangan Desa yang ada di Desa Pedawa ini meliputi beberapa tempat suci yaitu: Pura Desa, Pura Puseh Bingin, Pura Dalem/Taman, Pura Munduk Madeg, Pura Telaga Waja, Pura Pecetian, dan Pelinggih Ratu Ngurah Melayu. Struktur pura di Desa Pedawa tidak berdasarkan atas Tri Mandala, tetapi berdasarkan atas Rwa Bhineda dan Ekabhuana yaitu pembagian wilayah hanya Gambar 2 Pembatas antara rumah yang Gambar 3 Pola rumah yang berhadapan dibagi dua dan satu, seperti misalnya pada Pura Desa, natah pura hanya terbagi dua yaitu jeroan baru dibuat pada natah umum langsung dengan lumbung dan jabaan, dan Pura Puseh Bingin hanya memiliki satu natah/ halaman pura saja saja. Oleh
4
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
sebab itu pelingggih yang ada pada umumnya adalah gedong, sakepat yang memiliki tiang agak panjang, sanggar agung, bebaturan dan bentuk-bentuk khusus. Sedangkan permukiman masyarakat Desa Pedawa letaknya berpencar di semua wilayah Desa Pedawa, namum tetap mengikuti jalan utama yang ada. Dari jalan utama menuju ke permukiman penduduk terdapat jalan kecil yang menghubungkan permukiman dengan jalan utama dan pusat desa, dan jga menghubungkan kelompok permukiman satu dengan yang lainnya. Untuk kelompok permukiman yang berada di tengah-tengah perkebunan juga di hubungkan dengan oleh jalan kecil dari jalan utama desa.
Gambar 4 Pola rumah yang bersebelahan satu dengan yang lainnya dalalam suatu kelompok permukiman di Desa Pedawa
2. Fungsi-fungsi yang ada pada rumah tradisional di Desa Pedawa Rumah tinggal tradisional Pedawa bernama Bandung Rangki. Rumah ini memiliki keunikan tersendiri dan pada umumnya memiliki tiang/ saka sebanyak 18 buah, terdapat juga rumah tradisional yang memiliki tiang/ saka yang berjumlah 16 buah yang disebut dengan Sri Dandan. Bandung Rangki adalah rumah tradisional asli Desa Pedawa, sedangkan Sri Dandan adalah merupakan pengaruh yang didapat dari Desa tetangga yaitu Desa Cempaga. Dimana Sri Dandan adalah merupakan rumah asli Desa Cempaga yang berkembang juga di Desa Pedawa. Bandung Rangki memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang sangat unik dan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat setempat dan juga pola kehidupan mereka. Fungsi-fungsi yang ada pada rumah meliputi fungsi-fungsi dasar pada rumah tinggal namun semuanya menyatu dalam bangunan rumah tradisional Pedawa. Adapun fungsi-fungsi yang diwadahi yaitu sebagai berikut: a.
Fungsi istirahat
5
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
Tempat tidur yang mewadahi kegiatan beristirahat pada bangunan rumah tinggal tradisional ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Bale Gede atau Pedeman Gede yang berfungsi untuk tempat tidur orang tua dan juga sebagai Bale Banten pada saat ada upacara keagamaan maupun untuk tempat menidurkan mayat jika ada kematian; dan Bale Cenik atau Pedeman Alit yang berfungsi sebagai tempat tidur anak. Kedua jenis tempat tidur ini memiliki perbedaan ukuran, Pedeman Gede memiliki ukurang yang lebih besar dari Pedeman Alit. Pedeman Gede memiliki pelangkiran dia tas bale, pelangkiran ini adalah pelangkiran untuk memuja leluhur masing, masing Jadi di setiap rumah tradisional, diatas Pedeman Gede pasti terdapat pelangkiran untuk memuja leluhur.
Gambar 5 Pedeman Gede untuk orang tua (kiri) dan Pedeman Alit untuk anak (kanan)
b.
Fungsi memasak dan membuat gula aren
Kegiatan memasak dan membuat gula aren merupakn suatu kegiatan sehari-hari yang dilakukan masyarakat desa ini. Gula aren dari Pedawa menjadi salah satu hasil industry rumah tangga masyarakat yang sanagat terkenal di Buleleng. Gula aren Pedawa sangat diminati oleh kalangan masyarakat kan rasanya belum ada yang menandingi hingga saat ini di Buleleng. Dapur yang dikenal dengan Paon terdiri tiga bagian penting yaitu: Paon Tuak (berukuran paling besar), Paon Jakan (berukuran sedang) dan Irun (berukuran sedikit lebih kecil dari Paon Jakan). Diatas Paon terdapat rak-rak yang terbuat dari kayu bernama Lancat dan Penapi. Kelengkapan dapur lainnya adalah Penukub (loteng) yang berada ada plafond dekat dengan dapur yang berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan yang sudah dimasak.
Kelengkapan fasilitas memasak lainnya yaitu suatu area yang berada di dekat dapur disebut dengan selepitan. Selepitan ini berfungsi sebagai area untuk meletakkan alat-alat keperluan dapur seperti lainnya yangLancat diperlukan padaberada saat memasak. Gambar 6 Paonperabotan Tuak, Paondapur Jakan dan Irun (kiri), dan penapi di atas paonSelepitan (kanan) ini berupa balai-balai yang memiliki lebar sekitar kurang lebih 40 cm dan menerus hingga dibelakang Pedeman Gede. Selepitan merupakan area yang multi fungsi yang bisa dipergunakan untuk berbagai keperluan masing-masing penghuni. Area yang berhubungan dengan Paon
6
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
adalah Gentong, area ini berfungsi sebagai tempat menyimpan air dan juga sebagai tempat mencuci alat-alat dapur serta sebagai area untuk meletakkan peralatan dapur dan rumah tangga lainnya. Di dekat Gentong, terdapat juga Selepitan yang berupa rak kayu untuk tempat menyimpan peralatan.
c. Fungsi sosial Kegiatan social yang diwadahi pada rumah traditional Pedawa ini seperti ruang untuk bercengkrama dengan sanak keluarga dan untuk menerima tamu maupun saudara yang datang. Ruang dalam yang merupakan ruang kosong yang berada ditengah-tengan rumah tradisional disamping sebagai area sirkulasi dalam rumah, area ini juga merupakan area bersama yang dapat dipergunakan untuk bercengkrama dengan sesame penghuni rumah atau menerima sanak saudara yang dating. Sedangkan ruang tambahan yang befungsi sebagai area penerima tamu ataupun ruang bersantai sambil mengerjakan pekerjaan ruang disebut dengan Terempang atau teras depan. d. Fungsi keagamaaan Kegiatan keagamaan yang diwadahi pada rumah tradisional Desa Pedawa ini meliputi kegiatan keagamaan di dalam rumah dan di luar rumah. Seperti yang dijelaskan diatas, di dalam ruamh tepatnya di atas Pedeman Gede terdapat Pelagkiran yang berfungsi untuk menuja leluhur masing-masing keluarga. Pelangkiran ini merupakan warisan dari turun temurun yang selalu dilestarian oleh setiap anggota keluarga yang mewarisi rumah tradisional Desa Pedawa Sedangkan kegiatan keagamaaan yang diwadahi di luar rumah yang masih satu natah/ halaman pada rumah tradisional ini adalah adanya sebuah merajan kecil yang terbuat dari bambu yang disebut dengan Kenulan Nganten. Setiap warga yang sudah berumah tangga wajib membuat Kemulan Nganten. Jika dalam satu rumah terdapat dua keluarga, maka akan terdapat dua buah Kemulan Nganten, namun biasanya jika dalam keluarga tersebut sang ayah atau suami sudah meninggal maka sanggah tersebut bisa ditiadakan, walapun masih terdapat keluarga yang sudah tidak lagi memiliki suami namun masih mempertahankan sanggah Kemulan Nganten mereka.
e. Fungsi penyimpanan Gambar 7 Pelangkiran diatas Pedeman Gede (kiri) dan Sanggah Kemulan Nganten (kanan)
Rumah tradisional Pedawa memiliki area tambahan yang letaknya di sebelah teras depan atau Terempang, ruangan ini disebut dengan Sepen. Ruangan ini biasanya menyimpan alat-alat persembahyangan dan juga beberapa barang yang sekiranya perlu untuk disimpan.
7
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
Gambar 7 Sepen yang berada pada posisi kanan di sebelah Terempang (kiri), Jineng (kanan)
Disamping menyimpan alat-alat persembahyangan dan alat rumah tangga, rumah tradisional ini juga memiliki sebuah bangunan khusus yang berfungsi sebagai tempat untuk penyimpanan padi atau lumbung yang dikenal dengan nama Jineng. Namun tidak semua masyarakat memiliki Jineng, hanya masyarakat yang memiliki profesi sebagai petani saja. KARAKTER ASLI DARI RUMAH TINGGAL DI DESA PEDAWA Rumah tradisional Bandung Rangki desa Pedawa ini memiliki suatu karakter atau ciri yang khas jika dilihat dari denah bangunannya. Memiliki pola ruang yang sederhana dan menyatu satu dengan lainnya yang disatukan oleh ruang kosong di tengah tengah sebagai ruang antara, ruang sirkulasi dan juga ruang umum. Karakter lainnya dapat juga dilihat pada setiap elemen ruang bangunan dan juga pola permukimannya.
Gambar 8 Denah asli rumah tradisional Desa Pedawa (Rumah Pan Sel)
1. Bahan Atap Alang-Alang dan Sirap dari Bambu. Bahan asli penutup atap rumah tradisional adalah Sirap bambu dan alang-alang. Akan tetapi bangunan rumah tradisional yang beratap sirap bambu sudah tidak bias ditemukan lagi di Desa Pedawa. Satu-satunya
8
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
2. 3. 4. 5.
6.
7. 8. 9. 10.
bangunan masih menggunakan atap sirap bambu adalah pura umum yang berada di Ingsakan. Sedangkan hanya satu rumah tradisional yang masih beratap alang-alang. Berdinding anyaman bambu dan bataran dari tanah polpolan Berlantai dari tanah polpolan Sistem kunci pintu tradisional. Sistim kunci tradisional pada pintu depan bangunan menggunakan sistim lait, yang sekarang sudah sangat jarang ditemukan di desa ini. Memiliki pelinggih dari tanah polpolan. Pelinggih dari tanah polpolan yang merupakan pelinggih Tugu Karang ini hanya tinggal satu-satunya di Desa Pedawa, dan pelinggih tugu Karang lainnya sudah terbuat dari bahan yang lebih modern yaitu dari batu bata dan beton cetak. Bagi masyarakat yang bertani, memiliki Lumbung/ Jineng yang letaknya berhadapan rumah dan memiliki natah antara rumah dengan Lumbung. Jineng memiliki saka 4 atau saka 6. Pola rumah tinggal pada kelompok permukiman yang menyatu antara rumah satu dengan lainnya secara linier tanpa pemisah/ pembatas fisik dan memiliki pekarangan bersama. Memiliki Sanggah Kemulan Nganten yang terbuat dari bambu, yang terletak di luanan (hulu) Pedeman Gede dan tidak mengacu pada arah mata angin. Terkenal sebagai pembuat gula aren, sehingga memiliki dapur yang khusus dan unik yang memiliki 3 buah tempat untuk memasak. Memiliki rumah traditional dengan saka/tiang 18 yang bernama Bandung Rangki dan saka/tiang 16 yang bernama Sri Dandan.
Gambar 9 Denah Bandung Rangki (kiri) dan Sri Dandan (kanan)
PERUBAHAN TERHADAP FUNGSI DAN WUJUD RUANG PADA RUMAH TINGGAL DESA PEDAWA
9
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
Rumah tinggal di Desa Pedawa yang ada saat ini sebagaian besar sudah mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan juga fungsi ruangnya dan elemen bangunan. Perubahan yang terjadi baik pada bentuk, ruang maupun elemen bangunan adalah suatu bentuk adaptasi terhadap cuaca, perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup. Perubahan yang terjadi meliputi kepala/atap bangunan, badan bangunan dan juga kaki bangunan. Jika dilihat dari karakter asli dari bangunan rumah tinggal Desa Pedawa, maka dapat dilihat perubahan yang telah terjadi adalah sebagai berikut: 1. Perubahan pada bahan dan struktur atap Perubahan terhadap gaya hidup dan mata pencaharian mendorong masyarakat untuk merubah tampilan rumah mereka untuk menjadi lebih modern dan menyesuaikan dengan tampilan bangunan masa kini. Hal ini semata-mata dilakukan demi factor estetika semata, tanpa menyadari bahwa mereka sudah melakukan suatu upaya melupakan arsitektur warisan mereka. Perubahan-perubahan pada struktur atap dan bahan penutup atap bangunan ini diakibatkan karena struktur maupun penutup atap yang terdahulu sudah rusak. Bangunan rumah tradisional Pedawa yang dulu menggunakan struktur bambu atau kayu dan menggunakan atap sirap bambu atau alang-alang. Namun karena keterbatasan ekonomi, banyak yang akhirnya mengganti bahan tersebut dengan bahan lain yang bersifat lebih tahan lama dan berharga lebih ekonomis, seperti genteng dan atap seng. Juga beberapa mengalami penambahan lubang di atap sebagai jalur pencahayaan alami ke dalam bangunan. Disamping faktor ekonomis, perubahan bahan dan struktur atap juga dipengaruhi oleh faktor gaya hidup mengingat bahan genteng berciri lebih modern daripada bahan bambu dan alang-alang bagi masyarakat setempat.
Gambar 10 Perubahan pada bahan dan struktur atap, dari bambu dan alang-alang menjadi kayu dan genteng
2. Perubahan pada bahan, stuktur dinding bangunan, dan bukaan Perubahan yang terjadi pada elemen ini adalah penggantian dinding anyaman bambu dengan bahan lainnya seperti kayu, batu bata, batako, jendela kaca, maupun anyaman bambu dengan model yang lebih baru/ modern. Demikian juga dengan bataran bangunan yang dulunya dari tanah polpolan berganti dengan batu, batako dan semen/ beton, begitu juga penggantian kolom kayu menjadi kolom beton. Senada dengan perubahan pada dinding bangunan, faktor ketahan bahan bangunan dan faktor ekonomis juga menjadi suatu sebab dari perubahan yang terjadi. Namun, disamping kedua faktor tersebut, perubahan gaya hidup yang menuntut suatu tampilan 10
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
bangunan agar lebih modern menjadi suatu faktor penting yang menjadi pemicu perubahan yang terjadi seperti penggunaan bahan bangunan dan bahan serta bentuk-bentuk jendela yang memberi tambilan baru dan modern.
Gambar 11 Perubahan bahan dan struktur dinding dari tanah polpolan dan bambu menjadi kayu, batako dan dinding batu bata
3.
Perubahan yang terjadi pada lantai dan sendi.
Penggantian tanah polpolan dengan bahan lainnya pada lantai bangunan seperti keramik, batu bata dan semen. Demikian juga dengan sendi yang dulunya dibuat dari batu menjadi sendi ysng terbuat dari bahan beton.
Gambar 12 Perubahan bahan lantai dari tanah menjadi keramik dan batu bata, demikian pula pada sendi kolom
Perubahan pada bahan lantai dengan bahan lainnya seperti keramik adalah suatu wujud dari tuntutan perubahan status ekonomi dari masyarakat disamping faktor ekonomis yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Hanya saja dengan penggunaan bahan keramik, ruangan menjadi lebih dingin dan tidak lagi sehangat sebelumnya, dimana bangunan tradisional ini menuntut ruangan yang hangat karena berada di daerah yang dingin. dengan penggunaan keramik pada bangunan tradisional ini, maka aktifitas yang ada pada bangunan tumah tinggal tradisional ini menjadi berubah. Rumah dengan lantai keramik tidak mampu menyerap sisa/ kelebihan air pada saat memasak dan apabila ada upacara adat yang terjadi di dalam rumah seperti nyiramang mayat. Sehingga perubahan fungsi ruang pun terjadi dengan meletakkan dapur di luar bangunan dengan menambahkan ruangan khusus untuk dapur maupun untuk kegiatan adat lainnya yang tidak bisa dilakukan di dalam bangunan rumah ini. 11
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
4. Pemotongan bangunan rumah tradisional sesuai dengan kebutuhan pemilik Beberapa bagian rumah tradisional dihilangkan dengan sesuai dengan keinginan pemilik, sehingga bagain-bagian bangunan terlebih ruang yang terbentuk sudah berbeda dengan pola aslinya.
Gambar 13 Penghilangan Bale cenik/ Pedeman Alit pada rumah Men Kancrung
Gambar 14 Perubahan posisi Bale/ Pedeman
Perubahan ini terjadi akibat tutntutan ruang yang berbeda oleh pemilik. Pemotongan bangunan rumah tradisional dilakukan dengan usaha untuk menyambung rumah ini dengan bangunan lainnya yang dibangun berdekatan atau berdempetan dengan bangunan tradisional ini. Dengan demikian wujud dan fungsi ruang yang ada di dalamnya sudah berubah dari aslinya. Beberapa bagian ruang yang dipertahankan adalah biasanya Pedeman Gede atau Bale Gede dan Paon, namun ditemukan juga penghilangan Paon yang difungsikan sebagai ruang TV, dan tempat meletakkan lemari pakaian maupun barang rumah tangga lainnya. Perubahan fungsi ruang tidak hanya terjadi akibat pemotongan bagunan atau ruang saja, namun beberapa fungsi ruang seperti Terempang menjadi ruang TV dan ruang belajar. Perubahan dalam sebuah karya arsitektur terkait dengan perkembangan arsitektur itu sendri yang tidak bisa terlepas dari proses evolusi sosok arsitektur, sehingan dalam proses tersebut akan ada yang berubah dan akan ada yang tetap (Prijotomo, 1988) . Dan hal ini perkembangan dan termasuk perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan akan terjadi seiring dengan perkembangan peradaban umat manusia. Dan pada dasarnya ruang adalah merupsuatu pemahaman akan organisasi ruang yang sesuai dengan tujuan dari manusia sebagai penggunanya (Aspinall, 1993). FUNGSI KEGIATAN DAN RUANG YANG MASIH DIPERTAHANKAN PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DESA PEDAWA
12
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
Disamping perubahan yang terjadi sehingga mengganti fungsi maupun wujud ruang pada bangunan rumah tradsional di Desa Pedawa ini, beberapa hal yang sangat penting yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat adalah Pedeman Gede/ Bale Gede beserta pelangkiran yang merupakan wujud sembah mereka terhadap leluhur dan Sanggah Kemulan Nganten yang berada di luar bangunan yang letaknya di luanan/ hulu dari Pedeman Gede. Sanggah Kemulan Ngaten ini selalu dipertahankan walaupun wujud bangunan ataupun fungsi ruang mengalami banyak perubahan. Pelangkiran, Sanggah Kemulan Nganten dan Pedeman Gede erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat kepercayaan dan ritual dari masyarakat setempat. Ritual yang merupakan sebuat atribut budaya adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu tatanan masyarakat tertentu yang menghasilkan suatu setting baik yang bersifat publik maupun privat dan menghasilkan sebuah struktur ruang tertentu (Knowles, 1996) Ruangan yang bersifat suci yang biasanya dipergunakan untuk kegiatan ritual bisanya menjadi suatu pusat orientasi dan identifikasi bagi manusia dan merupakan sebuah struktur ruang (Norberg-Schulz, 1979). Oleh sebab itu fungsi-fungsi ruang yang bersifat ritual yang didasarkan oleh kepercayaan masyarakat setempat memiliki sebuah kekuatan dan merupakan fungsi-fungsi yang harus dipertahankan. KESIMPULAN Perubahan yang terjadi pada wujud bangunan serta ruang dalam yang terjadi pada rumah tinggal tradisional di Desa Pedawa disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya: 1. Kebutuhan ruang Akibat munculnya kebutuhan ruang yang berbeda, baik itu bertambah maupun berkurang dibandingkan dengan sebelumnya, kebutuhan akan ruang-ruang yang mewadahi aktifitas mulai mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada beberapa rumah tradisional yang ada di Desa Pedawa. Sebagai salah satu contoh adalah Gentong yang sudah difungsikan sebagai dapur modern dengan menfgunakan kompor gas, dan dapur asli yaitu Paon sudan tidak dipergunaka lagi mengingat pemilik sudah menginginkan efesiensi waktu di dalam memasak. Demikian juga perubahan yang terjadi baik dengan Pedeman Gede maupun Pedeman Alit yang sudah berubah fungsi sebagai sebuah ruangan yang dipergunakan untuk kamar maupun tempat menyimpan barang dan lemari. Dan juga pada beberapa rumah sudah tidak ada dan area ini menyatu dengan Terempang sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu. 2. Perubahan gaya hidup dan mata pencaharian Perubahan gaya hidup dan mata pencaharian merupakan salah satu factor yang mempengaruhi perubahan ruang-ruang yang ada pada rumah tradisional Desa Pedawa ini. Paon yang berisi Paon Tuak sudah sedikit ditemukan oleh karena sekarang sudah sangat jarang masyarakat membuat gula aren. Dan banyak masyarakat yang sudah beralih profesi dari keturunan petani menjadi profesi lainnya, sehingga memuntut ruang yang berbeda yang diakibatkan oleh tuntutan aktifitas yang berbeda. 3. Ketahanan bahan bangunan terhadap cuaca
13
Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November 2016
Perubahan ruang dan elemen bangunan yang terjadi akibat ketahanan bahan yang kurang memadai dan juga biaya penggantian dengan bahan yang sama dianggap terlalu besar oleh masyarakat sehingga ada beberapa elemen bangunan yang hilang atau berubah dan diganti dengan bahan lain yang dianggap lebih ekonomis. 4. Minimnya pemahaman terhadap arti dan makna konservasi bangunan rumah tradisional Masyarakat memiliki pemahaman yang sangat minim tentang konservasi bangunan tradisional mereka, sehingga secara tidak langsung dengan minimnya pemahaman mereka, perubahan tidak dapat dihindari. Dan mereka tidak menyadari dengan perubahan yang telah dilakukan pada rumah tinggal mereka menghilangkan identitas dan karakter banguan rumah tinggal tradisional mereka. Disamping perubahan yang terjadi fungsi-fungsi yang terkait dengan ritual serta kepercayaan merupakan suatu hal yang mutlak unttuk tetap dilestarikan. REFERENSI Aspinal, P (1993),‘Aspect off Spatial Experience and Structure’, in Farmer, B & Louw, H, Companion to Contemporary Architectural Thought, Routledge, London. Broadbent G, Bunt R & C. Jencks (1980) ‘Signs, Symbols and Architecture’. John Wiley & Sons. Chichester. Budihardjo, E (1986), ‘Architectural Conservation in Bali’, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. …………………,….. (1991) ‘Jatidiri Arsitektur Indonesia’, Alumni, Bandung. Kaler, I, G ,K (1983),’ Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali’, Bali Agung,Denpasar. Knowles, R (1996), ‘Rhythm and Ritual, Maintaining the Identity of a Place,’ Journal Traditional Dwelling and Settlements, Vol. 94, p: 94-96, Berkeley, IASTE (1996), University of California. Levi-Strauss, C (1963), ‘Structural Anthropology’, Basic Book, New York. Mangunwijaya, Y.B (1988)’ Wastu Citra’, Gramedia. Jakarta. Mukarovsky, J (1981) ‘Structure, Sign and Function’, Yale University Press, New Haven. Norberg-Schulz, C (1977), ‘Intentions in Architecture’, The M.LT Press, Cambridge Massachusetts. ………………………,……….(1979), ‘Genius Loci’, Electa/Rizolly, New York. Parimin, A, P (1986), ‘Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of Sacred-Profane Concept In Bali’, Disertasi, Universitas Osaka, Japan. Prijotomo, J (1988), ‘Pasang Surut Arsitektur di Indonesia’, CV. Ardjun. Jakarta, Rapoport, A (1969), ‘House Form and Culture’, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. Sulistyawati (1985),’ Preservasi Lingkungan Perumahan Pedesaan dan Rumah Tradisional Bali di Desa Bantas, Kabupaten Tabanan’, P3M, Universitas Udayana, Denpasar. Sumintarja, D (1978) ‘Kompendium Sejarah Arsitektur’, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah. Bandung Summerson, J (1979), ‘The Classical Language of Architecture’, The MIT Press, Cambridge. Wondoamiseno, R (1991), ‘Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia, Sebuah Harapan’, Yayasan Arupadatu, Yogyakarta.
14