Perkembangan Kurikulum 1947 sampai Kurikulum 2013. (Perjalanan Kurikulum Indonesia)
Sejarah mencatat bahwa Kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia yakni kurikulum 1947 sampai kurikulum 2013, kurikulum tersebut mengalami pembaruan-pembaruan mengikuti perkembangan dunia pendidikan yang semakin modern dan tentunya karena faktor perkembangan zaman. Berikut kurikulum dari dulu sampai sekarang.
1) Kurikulum 1947 Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya rencana pelajaran, istilah ini lebih popular dibanding istilah curriculum (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan Rentjana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: a. Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, b. Garis-garis besar pengajaran. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian seharihari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2) Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952 Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang kemudian diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali, seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Pada masa itu juga dibentuk kelas Masyarakat. Yaitu sekolah khusus bagi lulusan Sekolah Rendah 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
3) Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964 Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilann, dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
4) Kurikulum 1968 Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan kurikulum 1964, yakni dilakukan perubahan struktur kulrikulum pendidikan dari pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum ini merupakan perwujudan perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis yaitu mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
5) Kurikulum Periode 1975 Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi dalam bentuk Tujuan Instruksional Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi. Guru harus trampil menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
6) Kurikulum 1984, Kurikulum 1975 yang Disempurnakan Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum
1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhiran penolakan CBSA bermunculan.
7) Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Pada kurikulum 1994 perpaduan tujuan dan proses belum berhasil karena beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kehadiran Suplemen Kurikulum 1999 lebih pada menambal sejumlah materi. Baca Mengenal Komponen
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pendekatan
Saintifik
Pada
Kurikulum
Juga: 2013 Kurikulum
8) Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Kurikulum 2004, disebut juga Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu: pemilihan kompetensi yang sesuai; spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi; dan pengembangan pembelajaran. Ciri-ciri KBK sebagai berikut: Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut. Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, 1. Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini? 2. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
9.
Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?. Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan kompetensi tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002:55). Kurikulum 2004 lebih keren dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap mata pelajaran dirinci berdasarkan kompetensi apa yang mesti di capai siswa. Kerancuan muncul pada alat ukur pencapaian kompetensi siswa yang berupa Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional yang masih berupa soal pilihan ganda. Bila tujuannya pada pencapaian kompetensi yang diinginkan pada siswa, tentu alat ukurnya lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur sejauh mana pemahaman dan kompetensi siswa. Walhasil, hasil KBK tidak memuaskan dan guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
9) Kurikulum Periode KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran) 2006 Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006. Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2006 pasal 1 ayat 15, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Jadi, penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Disamping itu, pengembangan KTSP harus disesuaikan dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta peserta didik. Penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP dimana panduan tersebut berisi sekurangkurangnya model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tersebut dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/ karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. Tujuan KTSP ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan. Dengan terbitnya permen nomor 24 tahun 2006 yang mengatur pelaksanaan permen nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi kurikulum dan permen nomor 23 tahun 2006 tentang standar kelulusan, lahirlah kurikulum 2006 yang pada dasarnya sama dengan kurikulum 2004. Perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada jiwa dari desentralisasi sistem pendidikan. Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari
semua mata pelajaran, dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah binaan dan pemantauan dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat. Pada akhir tahun 2012 KTSP dianggap kurang berhasil, karena pihak sekolah dan para guru belum memahami seutuhnya mengenai KTSP dan munculnya beragam kurikulum yang sulit mencapai tujuan pendidikan nasional. Maka mulai awal tahun 2013 KTSP dihentikan pada beberapa sekolah dan digantikan dengan kurikulum yang baru.
10) Kurikulum Periode 2013 Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan, modivikasi dan pemutakhiran dari kurikulum sebelumnya. Sampai saat ini pun saya belum menerima wujud aslinya seperti apa. Namun berdasarkan informasi beberapa hal yang baru pada kurikulum 2013. Kurikulum 2013 sudah diimplementasikan pada tahun pelajaran 2013/2014 pada sekolah-sekolah tertentu (terbatas). Kurikulum 2013 diluncurkan secara resmi pada tanggal 15 Juli 2013. Sesuatu yang baru tentu mempunyai perbedaan dengan yang lama. Semoga bermanfaat. Salam Guru Ngapak!
Perkembangan Kurikulum di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dari masa ke masa kurikulum yang terdapat di setiap negera berubah yang ini menurut sebagian pakar disebabkan karena kebutuhan masyarakat yang berkembang dan disamping itu kondisi dan tuntutan zaman pun berubah. Untuk menyesuaikan dengan zaman, kurikulumpun mengalami perkembangan. Perkembangan itupun terjadi pada kurikulum di Negara Indonesia. Sebagai sebuah Negara yang memiliki tujuan berdiri, kurikulum ini dirasa sangt penting untuk kemudian mengiringi kemajuan Negara. Karenanya, perkembangan kurikulum ini dianggap menjadi penentu masa depan anak bangsa. Sebaga bangsa yang pernah di jajah, sedikit tidak Negara ini akn terengaruh oleh kurikulum pendidikan dari Negara yang dulu pernah menjajah Indnesia. Penting untuk kemudian dikaji untuk mengetahui bahwa Negara kita saat ini kurikulumnya masih berkaitan dengankepentingan penjajah dulu. Setidaknya, ketika fisik penjajah itu pergi, mereka sejatinya teta ada melalui kurkulum yang yang diturunkan pada Negara bekas jajahan 2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari Makalah ini adalah : Bagaimana Perkembangan Kurikulum di Indonesia? 3. Tujuan Adapun tujuan dari disusunnya Makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan kurikulum di Indonesia. BAB II PEMAHASAN Adapun perlembangan kurikulum di Indoesia dapat dibagi daam beberapa fase, sebagai berikut: 1. Periode sebelum tahun 1945 Kurikulum pada masa VOC Kurikulum sekolah-sekolah selama VOC bertalian erat dengan gereja. Menurut Hereen XVII, badan tertinggi VOC di negeri Belanda yang tertidi atas 17 orang anggota, tahun 1617, gubernur di Indonesia harus menyebarluaskan agama Kristen dan mendirikan sekolah untuk tujuan itu. Menurut peraturan sekolah 1643 tugas guru dalah
memupuk rasa tajkut kepada Tuhan , mengajarkan dasar agama Kristen , mengajak anak berdoa, bernyanyi , pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa, dan guru-guru. Walaupun tak ada kurikulum yang ditentukan biasanya sekolah menyajikan pelajaran tentang ketekismus, agama, juga membaca , menulis dan menyanyi.Demikian pula tidak ditentukan lama belajar. Peraturan hanya menentukan bahwa anak pria lebih dari usia 16 tahun dan anak wanita lebih dari 12 tahun hendaknya jangan dikeluarkan dari sekolah. Pembagian dalam 3 kelas untuk pertama kali dimulai pada tahun 1778. Di kelas 3, kelas terendah, anak-anak belajar abjad, di kelas 2 memaca, menulis, dan bernyanyi dan di kelas 1, kelas tertinggi: membaca, menulis, katekismus, bernyanyi dan berhitung. 2. Kurikulum Sebelum 1892 (Sebelum Reorganisasi) Sebelum 1892, Sekolah rendah tidak mempunyai kurikulum yang uniform, walaupun dalam peraturan 1871 ada petunjuk yang menentukan kegiatan sekolah. Ada 4 mata pelajaran yang diharuskan , yakni membaca, menulis, bahasa (bahasa daerah dan bahasa Melayu), dan berhitung. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu. Adapun mengenai pelajaran Agama, tidak di ajarkan. Seperti halnya di belanda pada masa liberal. Statuta 1874 menyatakan pengajaran agama dilarang di sekolah pemerintah, akan tetapi ruang kelas dapat digunakan untuk itu di luar jam pelajaran. 3. Kurikulum Setelah 1892 ( Setelah Reorganisasi) Kurikulum sekolah ini, seperti ditentukan dalam peraturan 1893 terdiri atas pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa daerah dalam huruf daerah dan latin, membaca dan menulis dalam bahasa Melayu, berhitung, ilmu bumi Indonesia, ilmu alam, sejarah pulau tempat tinggal, menggambar dan mengukur tanah. Lama pelajaran diperpanjang dari 3 menjadi 5 kelas. Sekolah dibagi dalam 5 kelas yang terpisah sehingga sekolah beruangan satu lambat laun lenyap. Sekolah Kelas Satu tidak menjadi popular di kalangan Priayi, karena tidk memberikan pelajaran bahasa Belanda. Akhirnya, pada tahu 1907 bahasa Belanda dimasukkan ke dalam program Sekolah kelas Satu dan lama studi diperpanjang menjadi 6 tahun. Akan tetapi, perubahan itu tetap tidak menjadikan Sekolah Kelas Satu popular, ia tetap menjadi terminal tanpa kesempatan melanjutkan pelajaran. Kelemahannya jelas Nampak bila dibandingkan dengan ELS (Europese Lagere School) dan HCS (Holland Chinese School) . Dirasakan adanya diskriminasi terhadap anak Indonesia karena anak-anak cina di HCS diberi pelajaran dalam bahasa Belanda selama 7 tahun. Barulah ketika tahun 1912 bahasa Belanda diajarkan mulai kelas 1 dan lama studi diperpanjang selama 7 tahun. Lamat laun Sekolah Kelas Satu menyamai sekolah-sekolah yang tersedia bagi golongan bangsa lain, akan tetapi masih mempunyai kelemahan karena tidak membuka kesempatan untuk melanjutkan pelajaran. 4. Kurikulum Sekolah Kelas Dua Disebut Sekolah Kelas Dua karena orang-orang yang sekolah disana khusus sebagian kecil rakyat. Sekolah ini akan mempersiapkan berbagai ragam pegawai rendah untuk kantor pemerintah dan perusahaan swasta. Disamping itu juga untuk mempersiapkan guru bagi Sekolah Desa.Sekolah ini mempunyai kurikulum yang sangat sederhana dikarenakan sekolah ini pada mulanya untuk seluruh rakyat Indonesia walupun dalam perkembangannya kemudian lebih spesifik lagi. Program Sekolah Kelas Dua ini sama dengan program Sekolah kelas Satu kelas 1-3. Perlu diketahui, Reorganisasilah yan menyebabkan dua jenis sekolah ini, Sekolah Kelas Satu terutama bagi anak golongan atas dan Sekolah Kelas Dua untuk orang biasa 5. Kurikulum VolkSchool Kurikulum ini sangat sederhana. Kurikulum ini muncul seiring dengan kebutuhan rakyat yang pada saat itu banyak buta huruf dan tidak bisa berhitung. Akan tetapi, sekolah ini tetap saja dirasa tidak memenuhi keinginan murid untuk melanjutkan pelajarannya. Banyak anak-anak dari sekolah ini yang ingin dipindahkan ke Sekolah Kelas Dua. Pada akhirnya, sekolah desa ini menjadi substruktur dari Sekolah Kelas Dua dengan mangadakan perbaikan kurikulum Sekolah Desa. 6. Kurikulum ELS (Europese Lagere School)
Setelah Hindia Belanda diterima kembali dari tangan Inggris pada tahun 1816 oleh para Komisariat Jendral , maka pendidikan ditanggapi secara lebih sungguh-sungguh. Akan tetapi kegiatan mereka hanya terfokus pada anak-anak berdarah Belanda. Sekolah Belanda ini sejak mulanya dimaksudkan agar sama dengan netherland, walaupun terdapat perbedaan tentang muridnya, khususnya pada permulaannnya. Kurikulum terdiri atas pelajaran membaca, menulis , berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran agama ditiadakan. Pada tahun 1868 bahasa prancis diajarkan dan merupakan syarat untuk masuk ke sekolah Belanda. 7. Kurikulum HCS (Holland Chinese School) HCS mempunyai dasar yang sama dengan ELS. Bahasa Perancis biasanya diajarkan pada sore hari seperti halnya dengan bahasa Inggris, yang sebenarnya tidak diberikan kepada ELS, nemun diajarkan berhubung dengan kepentinan bagi perdagangan. Kurikulum dan buku pelajarannyapun sama dengan ELS. 8. Kurikulum HIS (Holland Inlandse School) Pendirian HIS pada prinsipnya dikarenakan keinginan yang kian menguat di kalangan orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan Barat. Kurikulum HIS seperti yang tercantum dalam Statuta 1914 No. 764 meliputi semua mata pelajaran. Lulusannyapun akhirnya bisa melanjutkan ke STOVIA(School tot Opleiding van Indisce Artsen, Sekolah “Dokter Djawa”) dan MULO. Selain itu mereka memasuki Sekolah Guru, Sekolah Normal, Sekolah Teknik, Sekolah Tukag, Sekolah Pertanian, Sekolah Menteri Ukur, dan lain-lain. 9. Kurikulum MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Dengan program yang diperluas. MULO merupakan sekolah pertama yang tidak mengikuti pola pendidikan Belanda, namun tetap berorientasi ada Barat dan tidak mencari penyesuaian dengan keadaan Indonesia. Programnya terdiri atas empat bahasa yakni, belanda, Perancis, Inggris dan Jerman. Kursus MULO ini dibuka pada tahun 1903. Kursus ini dimaksud sebagai sekolah rendah 10. Kurikulum HBS (Hogere Burger School) Kurikulum HBS di Indonesia tak sedikitpun berbeda dengan yang ada di negeri Belanda. Kurikulum ini dirasa mantap tanpa mengalami banyak perubahan. Apa yang diajarkan tampaknya universal. Bahannyapun apat berubah disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, namun mata pelajarannya tetap sama. Siswa HBS harus mempunyai bakat yang tinggi dalam IPA , matematika ataupun bahasa. Dan untuk gurunyapun, hanya mereka yang memperoleh gelar Ph.D (Doktor) atau diploma yang boleh mengajar. Dengan demikian ini dapat mencapai taraf yang sama dengan sekolah yang terdapat di Netherland. 1. 1. Periode Tahun 1945 Sampai Tahun 1968 (Masa Kemerdekaan dan Pemerintahan OrdeLama) . 1. Kurikulum 1947, Rentjana Pelajaran 1947 Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasaBelanda leer plan artinya rencana pelajaran, istilah ini lebih popular disbanding istilah curriculum (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan asas pendidikanditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutanRentjana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950.Bentuknya memuat dua hal pokok: * Daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, * Garis-garis besar pengajaran. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikankolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakansebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai
development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakanadalah : pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajarandihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. 2. Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952 Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yangkemudian diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligusciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Silabus mata pelajarannyamenunjukkan secara jelas bahwa seorang guru mengajar satu mata pelajaran, (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode1991-1995). 3. Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964 Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana(Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan,dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada pengembangan dayacipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatanfungsional praktis. 4. Periode Tahun 1968 Sampai Tahun 1999 (Masa Pemerintahan Orde Baru) Perkembangan Kurikulum 1. Kurikulum 1968 Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yangdicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasilasejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Dalam kurikulum ini tampak dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dankonsekuen. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran:kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9 pokok. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagaikurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok saja,” . Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan danketerampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.2. Kurikulum 1975Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Menurut Drs Mudjito; Ak; Msi (Direktur Pemb. TK dan SD Depdiknas). yang melatar belakangi lahirnya kurikulum ini adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaituMBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yangdikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuaninstruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar,dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibuat sibuk menulis rincian apayang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. 2. Kurikulum 1984 Kurikulum 1975 yang Disempurnakan Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). CBSA merupakan suatu upaya dalam pembaharuan pendidikan dan pembelajaran pada saat itu. Pendekatannya menitikberatkan pada keaktifan siswa yang merupakan inti dari kegiatan belajar. Dalam CBSA kegiatan belajarnya diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu, menulis laporan, memecahkan masalah, membentuk gagasan, menyusun rencana dan sebagainya. Adapun kegiatan yang dilakukan guru adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan lembar Kerja 2. Menyususn tugas bersama siswa 3. Memberikan informasi tentang kegiatan yang akan di susun. 4. Memberikan bantuan dan pelayanan apabila siswa mendapat kesulitan 5. Menyampaikan pertanyaan yang bersifat asuhan 6. Membantu mengarahkan rumusan
kesimpulan umum. 7. Memberikan bantuan dan pelayanan khusus kepada siswa yang lamban 8. Menyalurkan bakat dan minat siswa 9. Mengamati setiap aktivitas siswa. Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986.Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yangdiujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalahsuasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelangambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhirnya penolakan CBSA bermunculan. 3. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 Perkembangan Kurikulum Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulumsebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materimuatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasadaerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezimSoeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannyalebih pada menambal sejumlah materi. BAB III PENUTUP Perkembangan Kurikulum di Indonesia Kesimpulan: 1. Perkembangan Kurikulum di Indonesia dapat dibedakan menjadi kurikulum sebelum tahun 1945 dan setelah tahun 1945. 2. Kurikulum sebelum tahun 1945 meliputi Kurikulum pada masa VOC, Kurikulum Sebelum 1892 (Sebelum Reorganisasi). Kurikulum Setelah 1892 ( Setelah Reorganisasi), Kurikulum Sekolah Kelas Dua, Kurikulum VolkSchool, Kurikulum ELS (Europese Lagere School,), Kurikulum HCS (Holland Chinese School), Kurikulum HIS (Holland Inlandse School), Kurikulum MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan Kurikulum HBS (Hogere Burger School). 3. Kurikulum setelah tahun 1945 meliputi : Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
DASAR-DASAR KEBIJAKAN KURIKULUM DASAR-DASAR KEBIJAKAN KURIKULUM [1] BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang System pendidikan Nasional yang telah dibangun selama ini, ternyata belum mampu sepenuhnya memjawab kebutuhan dan tantangan Nasional dan dunia Global. Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan merupakan fokus utama yang harus segera dibenahi, bangunan pendidikan hanya berpedomen pada konsepsi input-output analysis atau educational prodaction function, sehingga tatkala input diperbaiki maka secara otomatis output akan meyakinkan menjadi baik pula. Namun dunia pendidikan tidaklah sama dengan pabrik dalam dunia industri, ada faktor proses dan kontesk pendidikan yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Adapun permasalahan yang menonjol dari kedua foktor tersebut adalah masalah kurikulum. Kurikulum pendidikan dikembangkan berdasrkan kompetensi dasar (competency –based curriculum), dalam konsep ini Sidi (Sidi, 2001;15) mengatakan bahwa kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal ynag harus dikuasai seorang peserta didik setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan.[2] Dengan demikian, seorang peserta didik belum dapat melanjutkan pelajaran ke unit
atau satuan pendidikan berikutnya sebelum yang bersangkutan menguasai unit pelajaran yang dipersyaratkan. Jelas kiranya bahwa salah satu komponen yang sering dijadikan foktor penyebab menurunnya mutu pendidikan adalah kurikulum. Kritik tajam terhadap kurikulum terkait dengan kurikulum terlalu padat, tidak sesuai dengan kebutuhan anak, terlalu memberatkan anak, meropotkan guru, dsb. Seharusnya segala inovasi harus merujuk pada kompetensi dasar. Maka pengembangan kurikulum (curiiculum development) merupakan komponen yang sangat esensial dalam keseluruhan kegiatan pendidikan. Para ahli sepakat bahwa pengembangan kurikulum merupakan siklus dari adanya keterjalinan, hubungan antara komponen pendidikan, yaitu tujuan,, bahan, kegiaatan dan evaluasi. Kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan yang mempunyai kedudukan strategis dalam seluruh kegiatan pendidikan. Hal senada dikatakan oleh Sukmadinata (Sukmadinata, 2006: 25) bahwa banyak pihak menganggap kurikulum sebagai “ real “ yang menentukan akan kemana pendidikan diarahkan. Maka konsep dasar kebijakan kurikulum perlu untuk dikaji dan dipahami lebih dalam.[3] 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Apa Definisi dan konsep dasar kebijakan kurikulum. 2. Bagaimana Model pengembangan kurikulum. 3. Bagaimana Prinsip pelaksanaan kebijakan kurikulum. 1.3 Tujuan Penulisan Sesuai dengan permasalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini diarahkan untuk : 1. Mengetahui apa pengertian dan konsep dasar kebijakan kurikulum. 2. Mengetahui bagaimana model pengembangan kurikulum. 3. Mengetahui bagaimana prinsip pelaksanaan kebijakan kurikulum. 1.4 Manfaat dan Kontribusi Makalah Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi khalayak umum, khususnya : 1) Bagi dunia pendidikan, sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya dalam penentuan kurikulum sebagai langkah dasar menghasilkan sumberdaya manusia unggul. 2) Bagi sekolah, Lembaga dan Instansi, sebagai masukan bagi sekolah, Lembaga dan Instansi untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru dalam menentukan arah dan tujuan kegiatan belajar mengajar. 3) Bagi Praktisi Pendidikan, memberikan cakrawala pemikiran tentang model dan konsep dasar dalam menentukan kebijakan aktualisasi kurikulum. 4) Bagi seorang penulis, yaitu untuk memperluas wawasan pemikiran serta menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sehingga dapat meningkatkan profesionalisme dalam menghasilkan sebuah karya. 5) Sebagai bahan referensi dan literature bagi penulis atau peneliti.
BAB II DEFINISI DAN KONSEP DASAR KEBIJAKAN KURIKULUM 2.1 Pengertian Kurikulum Kurikulum berasal dari kata curriculum yang berarti lintasan untuk balap kereta kuda yang biasa dilakukan oleh bangsa Romawi pada zaman kaisar Gaius Julius Caesar di abad pertama tahun masehi. Namun, istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan suatu konsep yang abstrak.[4] Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum.[5] George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school.[6] Sehingga kemudian melahirkan banyak pengertian tentang kurikulum, diantaranya: 1. Schubert berpendapat sederhana bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran, muatan hasil belajar, adanya unsur reproduksi kebudayaan dan pembangunan sosial, serta pentingnya kecakapan hidup. 2. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan dan ketrampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan. 3. Kurikulum sebagai sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. 4. Kurikulum merupakan suatu cara untu mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya. Beragam pengertian tersebut selalu akan menampilkan hal-hal yang berbeda, bahkan sering pula bertentangan. Namun, pada dasarnya sama sebagai bentuk upaya untuk memberikan atau menggali pengetahuan, pengalaman yang ada dalam diri masing-masing peserta didik agar mampu menghadapi masa depan dengan lebih gemilang dengan materi, metode, fasilitas yang telah ada. Sementara itu, Mochtar Buchori ( 1993) mengatakan bahwa kurikulum sebagai blue print (cetak biru), sebagai suatu penggambaran terhadap sosok manusia yang diharapkan akan tumbuh setelah menjalani semua proses pendidikan, pengajaran dan pelatihan yang digariskan dalam kurikulum.[7] Ibarat suatu proses pendirian bangunan kurikulum merupakan sketsa awal yang menggambarkan bangunan tersebut akan didirikan dalam bentuk model yang telah dibayangkan dan diinginkan oleh pemiliknya. Adapun kuatnya suatu bangunan, bagusnya suatu model yang telah digambarkan sebelumnya sangat bergantung kepada kecanggihan para
tukang yang menggarap bangunan tersebut, termasuk juga mutu meteri yang digunakan untuk mendirikan bangunan itu. Para tukang ini sebagai pendidik, sedangkan materi bangunan ialah seluruh bahan yang digunakan untuk melaksanakan proses pendidikan terhadap siswa yang sedang menjalani proses pertumbuhan menjadi sosok manusia ideal yang dicita-citakan. Dengan demikian, kurikulum bukanlah satu-satunya faktor penentu yang mendukung lahirnya jati diri seseorang di masyarakat di kemudian hari. Meskipun begitu, kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu masyarakat. Kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi yaitu, sebagai ilmu (curriculum as a body of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a system) dan sebagai rencana (curriculum as a plan).[8] Kurikulum sebagai ilmu dikaji konsep, landasan, asumsi, teori, model, praksis, prinsipprinsip dasar tentang kurikulum. Kurikulum sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannya dengan sistem dan bidang-bidang lain, komponen-komponen kurikulum, kurikulum berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dan sebagainya. Kurikulum sebagai rencana tercakup macam-macam rencana dan rancangan atau desain kurikulum. Kurikulum sebagai rencana ada yang bersifat menyeluruh untuk semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dan ada pula yang khusus untuk jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang sangat strategis karena merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatanpembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[9]Kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran memberikan makna bahwa di dalam kurikulum terdapat panduan interaksi antara guru dan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum berfungsi sebagai “nafas atau inti” dari proses pendidikan di sekolah untuk memberdayakan potensi peserta didik. 2.2 Dasar-dasar Kebijakan Kurikulum Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum mempunyai kedudukan yang strategis dalam seluruh kegiatan pendidikan. Seperti yang ditulis oleh Sukmadinata (Sukmadinata, 2006: 43); Banyak pihak menganggap kurikulum sebagai ”rel” yang menentukan akan kemana pendidikan diarahkan.[10] Nasution (Nasution, 2003:18), menyatakan bahwa Pendidikan sebagai saran mencetak manusia ungggul, maka membutuhkan kurikulum yang sesuai dan tepat, yang berazaskan filosofis, dasar psikologis, dasar sosiologis, dan dasar organisatoris, dan perkembangan IPTEK sebagai cara untuk menjawab tantangan saat ini dan masa yang akan datang.[11] 2.2.1 Dasar Filosofis Filsafat yang digunakan sebagai landasan kurikulum adalah filsafat pendidikan. Filsafat dari Dewey dan teori pendidikan merupakan pertimbangan penting dalam pembuatan kurikulum. Dewey menyatakan bahwa pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengalaman. Belajar dari pengalaman adalah bagaimana menghubungkan pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang.
Sekolah sebagai lingkungan yang khusus hendaknya memberikan pengalaman sosial, dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat instrinsik, dalam suatu arah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melalui imitasi, persaingan sehat, kerjasama dan memperkuat kontrol. 2.2.2 Dasar Psikologis Bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. a. Psikologi Perkembangan Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Banyak teori perkembangan, diharapkan tidak membingungkan para guru, tetapi justru akan memperluas dan memperkaya pengetahuan para pemakai teori-teori perkembangan anak. Dikenal ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu yaitu pendekatan pentahapan, pendekatan diferensial dan pendekatan ipsatif. Pendekatan yang banyak dianut adalah pendekatan pentahapan,pendekatan ini lebih jelas menggambarkan proses taupun urutan perkembangan individu. Menurut JJ Roussean perkembangan anak ada empat tahap yaitu masa bayi, masa kanakkanak, masa remaja, dan masa dewasa. Pendekatan pentahapan yang bersifat khusus, kita mengenal tokoh-tokohnya Piaget, Kohlberg, Erikson, dan sebagainya. b. Psikologi Belajar Studi tentang bagaimana individu belajar adalah psikologi belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku dan pola pikir yang terjadi melalui pengalaman. Perubahan itu dapat berarah kognitif, akfektif maupun psikomotor baik terjadi karena instrinsif ataupun ekstrinsif. Teori belajar banyak kita kenal antara lain teori psikologi humanisme, psikologi naturalisme, teori apersepsi (herbartisme), teori S-R, Teori belajar Goal Insight dan teori belajar Cognitive. Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar, maka hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi belajar dan psikologi anak terjalin diharapkan menghasilkan pribadi anak yang kokoh. 2.2.3 Dasar Sosiologis Masyarakat termasuk faktor yang penting dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum, mengingat manusia sebagai makhluk sosial tak dapat hidup tanpa manusia lain ataupun masyarakat. Setiap lingkungan masyarakat memiliki sistem sosial budaya yang berbeda. Sistem sosial budaya itu mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dengan lembaga masyarakat serta antar lembaga masyarakat. Salah satu aspek yang cukup penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nialinilai. Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, aturan, hukum, mortal yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, budaya, politik, maupun dari segi-segi kehidupan lainnya. Menurut Taylor, dalam Nana Syaodih Sukmadinata menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat istiadat, serta kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh
manusia sebagai anggota masayarakat. Selanjutnya Sukmadinata (2006:54) menuliskan bahwa; kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari tempat masyarakat itu sendiri berada. Masalah tempat menyangkut lingkungan alam dan keadaan geografis. Lingkungan alam dan keadaan geografis mempengaruhi perilaku dan pola hidup para anggota masyarakat, oleh karena itu konsep pedidikan bersifat nasional dan universal, tetapi pelaksanaan pendidikan bersifat lokal, disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.[12] 2.2.4 Dasar Organisatoris Dasar organisatoris ini menyangkut tentang bentuk dan bahan yang akan disajikan dalam pembelajaran. Bentuk itu dapat berupa mata pelajaran yang terpisah-pisah, atau adanya kaitan antar mata pelajaran, misalnya bentuk broad field atau bidang studi seperti IPA, IPS , Bahasa , dan lain-lain. Dapat pula dengan cara menghubungkan dengan menghapus segala batas-batas mata pelajaran, dalam bentuk kurikulum terpadu. Ilmu jiwa gestalt mengutamakan keseluruhan, karena keseluruhan itu lebih bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat, cenderung memilih kurikulum terpadu atau integrated kurikulum. Ilmu jiwa asosiasi berpendirian lain bahwa keseluruhan sama dengan jumlah bagian-bagian dan cenderung memilih kurikulum subject centered, yang berpusat pada mata pelajaran. Selanjutnya S. Nasution (2003:42) menyatakan bahwa tidak ada kurikulum yang terbaik dan tidak baik. Setiap organisasi kurikulum mempunyai kebaikan, akan tetapi tidak lepas dari kekurangan ditinjau dari segi-segi tertentu. Bermacam-macam organisasi kurikulum dapat dijalankan secara bersama pada suatu sekolah, bahkan yang satu dapat membantu atau melengkapi yang lain.[13] 2.2.5 Dasar Perkembangan IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terus berkembang dari masa ke masa, dari abad ke abad, dari tahun ke tahun, bahkan dalam hitungan detik terus berubah. Dari para ahli kita sering mendengar pernyataan bahwa ilmu bukan hanya untuk ilmu. Hal itu dapat diartikan pengembangan suatu ilmu pengetahuan tidak hanya ditujukan kepada perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan juga diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada bidang-bidang kehidupan ataupun kepada ilmu lainnya. Sumbangan yang berupa penggunaan dan penerapan suatu bidang ilmu pengetahuan terhadap bidang-bidang lain disebut teknologi. Seperti yang ditulis Alisyahbana, dalam Sukmadinata (2006: 37), bahwa Teknologi ialah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal (hardware and software) sehingga memperkuat, membuat lebih ampuh, seakan-akan memperpanjang panca indera, anggota tubuh, dan otak manusia.[14] Temuan-temuan di bidang fisika, kimia, dan matematika mengembangkan teknologi ruang angkasa dan kemiliteran. Perkembangan teknologi di bidang kemiliteran bukan hanya menghasilkan teknologi senjata-senjata biasa, juga teknologi senjata mutakhir, peluru kendali antarbenua, misil, bom hidrogen, bom nuklir, dan lain-lain, merupakan perkembangan teknologi yang banyak menimbulkan ancaman dan kekhawatiran manusia. Perkembangan ilmu dan teknologi tidak berarti harus mencari dan menemukan sendiri serta harus mulai dari awal. Apabila cara itu ditempuh, akan banyak waktu terbuang dan
kita akan semakin tertinggal. Cara yang lebih tepat dan memungkinkan untuk mengejar ketinggalan adalah dengan transformasi teknologi. Transformasi teknologi merupakan suatu proses pengalihan, penerapan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara teratur. Proses pengalihan tidak berarti mengambil dan menerapkan teknologi, seperti keadaan aslinya di negara yang mengembangkannya, tetapi mencakup juga penyesuaian, modifikasi, dan pengembangannya lebih lanjut. Menurut B.J. Habibie (1983), dalam Sukmadinata menyatakan bahwa ada lima prinsip yang menjadi pegangan dalam transformasi teknologi (industri): 1) perlu diselenggarakan pendidikan dan pelatihan di dalam dan luar negeri untuk menyiapkan para pelaku transformasi; 2) perlu dikembangkan konsep yang jelas dan realistis tentang masyarakat yang akan dibangun serta teknologi-teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya; 3) teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan, dan dikembangkan lebih lanjut jika benarbenar diterapkan; 4) bangsa yang ingin mengembangkan diri secara teknologis harus berusaha sendiri memecahkan setiap masalahnya; 5) pada tahap-tahap awal transformasi, setiap negara harus melindungi perkembangan kemampuan nasionalnya, hingga saat tercapainya kemampuan bersaing secara internasional. 2.3 Model Pengembangan Kurikulum Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu;[15] 2.3.1 The administrative model Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsepkonsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top – Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi. 2.3.2 The grass root model Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem
pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusiamanusia yang lebih mandiri dan kreatif. Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah. 2.3 Prinsip Pelaksanaan Kebijakan Kurikulum Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan prinsip- prinsip sebagai berikut, [16]yaitu : 1) Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. 2) Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral. 3) Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan). 4) Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi,
tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan). 5) Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal. 6) Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan. Melongok kondisi Indonesia jika membicarakan pendidikan apalagi persoalan kurikulum untuk saat ini sangat kompleks. Beragam kurikulum yang pernah ada di Indonesia ternyata masih belum mampu memberikan solusi yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kondisi seperti itu seiring dengan di tandai oleh rendahnya mutu kelulusan, fasilitas dan sarana yang kurang memadai, serta banyak hal lain yang melingkupi problematika pendidikan kita. Begitu kompleksnya problem pendidikan di Indonesia berujung kepada keprihatinan terhadap kualitas sumber daya manusianya. Sebagai catatan Human Development Report tahun 2003 versi UNDP menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 112, jauh di bawah Filipina (25), Malaysia (58), Brunai Darussalam (31) dan Singapura (28). Kenyataan seperti ini mengharuskan bangsa Indonesia untuk melakukan pembenahan-pembenahan, khususnya sektor pendidikan. Karena dengan pendidikan itu akan mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, mandiri serta mampu menghadapi beragam tantangan zaman.[17] Kurikulum sebagai rancangan, disaign dengan segala bentuk materi, pelaksana, fasilitas dan sebagainya yang mampu membentuk dan mencetak generasi atau SDM yang sesuai dengan cita-cita atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini menunjukkan peran penting kurikulum demi kemajuan bangsa. Akan tetapi, konsep atau sketsa kurikulum yang ideal tanpa didukung oleh pelaksana yang handal dan segala fasilitas yang memadai tentu nonsen akan menghasilkan mutu yang bagus sesuai harapan. Dalam kaitanya dengan kurikulum ini perlu kita ketahui bahwa berdasarkan perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia telah terdapat beberapa kurikulum yang pernah dilalui dan itu telah mengalami banyak perubahan sesuai dengan kondisi saat itu, di antaranya: tahun 1947, 1952, 1968, 1984, 1994 dan tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.[18] BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Sebagai akhir tulisan makalah ini penulis mencoba menyimpulkan hal-hal penting berikut ini : 1. Kurikulum adalah merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. sehingga Kurikulum sebagai main concept, sketsa, blue print kemanakah pendidikan dan generasi akan dibawa,
maka kurikulum berfungsi sebagai “nafas atau inti” dari proses pendidikan. Sedangkan kualitas kurikulum tersebut dapat diihat dari tiga dimensi yaitu, sebagai ilmu (curriculum as a body of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a system) dan sebagai rencana (curriculum as a plan). 2. Dasar pengembangan kurikulum dilakukan dengan dua model pendekatan, yaitu; a) The administrative model, merupakan model paling lama, namun banyak digunakan. Adapun gagasan berasal dari kalangan atas, sehingga model ini disebut juga model Top – Down dan bersifat sentralisasi. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi. b) The grass root model, Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah, sehingga model grass roots bersifat desentralisasi dan membutuhkan tersedainya sumberdaya manusia unggul. 3. Kebijakan kurikulum dilaksanakan dengan prinsip; menegakkan kelima pilar belajar, pelayananan peserta didik, prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada, menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya dan kurikulum mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan. 3.2 SARAN Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut : 1) Bagi penentu kebijakan dalam hal kurikulum hendaknnya memperhatikan konsep dasar kurikulum sehingga akan menghasilkan kurikulum yang sesuai dan tepat guna, sebagai langkah awal mencerdaskan kehidupan bangsa. 2) Perubahan kurikulum jangan hanya lebih terfokus pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum, jauh lebih penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum. 3) Pemerintah dalam mengembangan kurikulum hendaknya tidak mempunyi motif kepentingan individualitas, egoisitas dan golongan namum harus berprinsip domokrasi, sehingga akan lahir konsep kurikulum yang ideal bagi bangsa dan Negara sekarang dan masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Danim, Sudarwan, 2003. Agenda pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Mulyasa, E, 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik,, Implementasi dan Inovasi, Bandung: Remaja Rosdakaraya. Nasution, S, 2003. Azas-Azas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara. Rahmadhi, Slamet, 1989. Masalah Pendidikan di Indonesia, Jakarta: CV Miswar. Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana. Djati, Sidi. 2001. Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Padadigma baru Pendidikan”, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sukmadinata, Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. Suparman, M. Atwi, 2001. Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka. Suryadi, Ace dan H.ZA.R Tilaar, 1994, Analisis Kebijakan Pendidikan , Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Tilaar, H.A.R, 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi: Visi, Misi dan Program Aksi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo persada. Tim
Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Yulaelawati, Ella, 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya. Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Referensi Lain http://education-indonesia.blogspot.com/2007/05/kurikulum-beridentitas-kerakyatan.htm http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-padapendidikan-dasar-dan-menengah/
[1]
Makalah ini disusun oleh M. Amiruddin Atimurrahman, untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum yang diampu oleh Dr. Arif Budi W, M.Si dan Dra. Ribut Wahyu E, M.Pd. Sidi, “ Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Padadigma baru Pendidikan”, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. 15. [2]
Sukmadinata, “Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek” , ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offet, 2006), hal. 25. [4] Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik,, Implementasi dan Inovasi, (Bandung: Remaja Rosdakaraya, 2004), hal. 15 [3]
[5]
Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi, ( Bandung: Pakar Raya, 2004),
hal. 38 [6]
Lihat Suparman, Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka, 2001), hal. 23-35. [7]
Lihat dalam Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi, ( Bandung: Pakar Raya, 2004), hal. 25 [8] Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik,, Implementasi dan Inovasi, (Bandung: Remaja Rosdakaraya, 2004), hal. 17 [9]
Dalam perspektif kebijakan pendidikab nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Sukmadinata, “Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek”, ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offet, 2006), hal. 43. [11] Nasution, “Azas-Azas Kurikulum”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal.18 [12] Opcit, hal. 54 [10]
[13]
Nasution, “Azas-Azas Kurikulum”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 42
[14] Sukmadinata, “Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek”, ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offet, 2006), hal. 37
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. “Kurikulumdan Pembelajaran.” ( Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, 2002), hal. 16-24 [15]
Lihat Rosyada, ”Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan”, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 25-30. [16]
[17] [18]
http://education-indonesia.blogspot.com/2007/05/kurikulum-beridentitas-kerakyatan.htm
http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-padapendidikan-dasar-dan-menengah/