1. Pertanian Sawah (Lahan Basah) Air pertanaman pada pertanian sawah khusunya padi adalah curah hujan, aliran permukaan, dan sungai. Lahan pertanaman padi fluksial berada pada bagian terendah dalam toposequen, seperti lembah dan cekungan. Umumnya, perlokasi lambat dan drainase kurang baik sehingga lahan selalu tergenang pada musim hujan. Lahan persawahan yang datar atau berteras, dapat menyimpan air dalam bentuk air genangan dalam volume yang cukup besar. Kelebihan air irigasi dan air hujan sebagian besar akan melimpas masuk ke dalam tanah mengisi cadangan air tanah dan sisanya mengalir ke sungai dan waduk. Daya tampung lahan sawah berteras sangat bervariasi tergantung sifat dan karakteristik tanahnya. Air ini dapat kembali dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Profil tanah sawah yang mempunyai lapisan oksidasi dan lapisan reduksi. Dimana pada lapisan oksidasi ion NH4+ tidak stabil karena ion ini mudah dioksidasi menjadi NO3+. Oleh karena ion nitrat ini sangat stabil, maka akan mudah tercuci ke lapisan reduksi. Di lapisan reduksi inilah nitrat mengalami denitrifikasi sehingga berubah menjadi gas N2, seperti reaksi berikut ini: 2NO3+ + 12H+ + 10e
N2 + 6H2O
Ion NH4 + stabil pada lapisan reduksi dan dapat dimanfaatkan oleh akar tanaman padi. Tanah sawah memiliki ciri khas yang membedakannya dengan tanah tergenang lainnya, yaitu adanya lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8-1,0 cm dan selanjutnya lapisan reduksi setebal 2530 cm dan diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Lapisan tapak bajak ini merupakan lapisan yang terbentuk sebagai akibat dari adanya praktek pengolahan
tanah
sawah
dalam
keadaan
tergenang.
Sedangkan
penggenanangan tanah selama masa pertanaman padi dapat mereduksi Fe dan Mn, sehingga mudah larut dan terjadi proses eluviasi Fe dan Mn. Dalam keadaan tergenang, reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ menyebabkan warna tanah menjadi abu-abu. Namun, dalam keadaan tergenang, dijumpai adanya lapisan tipis yang teroksidasi
Pada lahan sawah, terdapat tanaman padi. Tanaman padi merupakan tanaman yang banyak membutuhkan air, khususnya pada saat tumbuh mereka harus selalu tergenangi air. Agar produktivitas padi dapat efektif dalam satu satuan luas lahan, maka dibutuhkan suplay air yang cukup melalui irigasi. Padi sawah dibudidayakan pada kondisi tanah tergenang. Penggenangan tanah akan mengakibatkan perubahan-perubahan sifat kimia tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan padi. Perubahan-perubahan sifat kimia tanah sawah yang terjadi setelah penggenangan antara lain : penurunan kadar oksigen dalam tanah, penurunan potensial redoks, perubahan pH tanah, reduksi besi dan mangan, peningkatan suplai dan ketersediaan nitrogen serta peningkatan ketersediaan fosfor. Hewan yang sering dijumpai dalam ekosistem sawah yaitu katak, belut, bebek, capung, belalang, tikus, ular, burung, dan keong. Katak mencari makan di sawah pada saat awal musim tanam padi, sehingga banyak katak yang menetas di sawah yang tergenang air. Burung pemakan padi akan memakan malai padi, dan ada juga burung yang tidak memakan padi melainkan memakan hewan lainnya yang ada di sawah seperti memakan belalang. Di ekosistem sawah yang berair, akan mudah mencari belut yang suka bersembunyi di lumpur. Tikus merupakan hama bagi tanaman adi. Tikus akan memakan batang tanaman padi. Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilhan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia. Meskipun demikian, jika tidak dikelola dengan baik, lahan sawah juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, seperti pencemaran air, tanah, dan udara akibat penggunaan bahan kimia dan mekanisasi pertanian. Pelepasan gas rumah kaca dari berbagai pabrik/industri dan kendaraan bermotor menimbulkan udara panas dan tidak nyaman. Penguapan air baik dari genangan air sawah maupun dari tajuk tanaman menurunkan suhu udara. Fotosintesis tanaman selain menyerap panas juga menghasilkan oksigen yang memberikan efek segar bagi lingkungan di sekitarnya. Pada saat yang
bersamaan, tanaman mampu membersihkan bahan-bahan pencemar di udara seperti SO2 dan NO2.
2. Pertanian Tegalan (Lahan Kering) Pada lahan kering, air yag terdapat dalam tanah dapat ditahan oleh masa tanah, tertahan oleh lapisan kedap air atau keadaan drainase yang kurang baik. Rendahnya curah hujan pada tegalan, berakibat pada keterbatasan atau ketersediaan air. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan soil amendment untuk meningkatkan kapasitas tanah dalam menahan air (water holding capacity), mulsa untuk mengurangi evapotranspirasi dan penggunaan sistem irigasi yang tepat guna seperti irigasi tetes ataupun sprinkler tergantung dengan topografi lahan. Bila lahan datar, maka dapat digunakan irigasi tetes, dan apabila lahan bergelombang, maka penggunaan sistem irigasi sprinkler lebih tepat. Sifat fisik tanah pada lahan kering kurang baik yaitu berstruktur padat kelembapan lapisan tanah atas (top soil) maupun lapisan tanah bawah (sub soil) rendah sirkulasi udara agak terhambat dan kemampuan tanah untuk menyimpan air relative rendah. Lahan kering sebagian besar terdiri dari tanahtanah ultisol inceptisol atau alufial alfisol dan oksisol namun tetap berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan yang produktif dengan pemilihan teknologi dan jenis komoditi yang sesuai. Tanaman yang dapat tumbuh di lahan kering yaitu padi gogo, kacangkacangan, jagung, sorghum, kelapa, dan lontar. Lahan kering bisa juga menjadi tempat berlangsungnya keanekaragaman hayati dimana terdapat beberapa hewan yang hidup di lahan kering. Manusia merupakan factor komponen biotik yang paling kuat, karena manusia yang bisa mengatur atau mengolah semua yang ada di bumi. Dalam hal ini, yang mengolah tegalan adalah manusia. Bukan hanya agroekosistem tegalan saja yang harus diolah, tapi semua agroekosistem. Terdapat tiga jenis iklim di daerah lahan kering, yakni : a. Iklim Mediterania : hujan terjadi di musim gugur dan dingin
b. Iklim Tropisme : hujan terjadi di musim panas c. Iklim Kontinental : hujan tersebar merata sepanjang tahun Kondisi lahan kering tersebut mengakibatkan sulitnya membudidayakan berbagai produk pertanian.
3. Pertanian Kebun Campuran/Kebun/Pesisir Rendahnya kadar air kebun campuran juga disebabkan oleh kadar bahan organik yang lebih rendah. Poerwowidodo (1987) mengemukakan bahwa bahan organik yang telah terurai akan mempunyai kemampuan memegang air yang tinggi. Kebun campuran merupakan lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Kebun campuran umumnya terdiri dari beberapa tegakan tanaman bertajuk tinggi dengan jenis tanaman yang bervariasi. Menurut Saidi (2000) bahwa apabila lahan hutan dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan akan memberi pengaruh erosi dan aliran permukaan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan tanaman semusim. Hal ini dikarenakan kebun campuran masih mempunyai karakteristik yang menyerupai hutan sehingga besar perbedaan sifat-sifat tidak terlalu berbeda dengan lahan hutan. Berbeda dengan tegalan umumnya terdiri dari tanaman semusim bertajuk pendek yang pada saat tertentu diberakan.
4. Lahan Gambut/Rawa/Pesisir Gambut tersusun oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-topografi berupa genangan, ayunan pasang surut,
atau
keadaan
yang
selalu
basah
telah
mencegah
mikroorganisme yang diperlukan dalam perombakan.
aktivitas
Sehingga laju
penimbunan bahan organik lebih besar dari pada mineralisasinya. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh paduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar daripada kehilangan air.
Tanah gambut selalu terbentuk di tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang, misalnya cekungan-cekungan di daerah perlembahan, rawa bekas danau, atau di daerah depresi/basin di dataran pantai diantara dua sungai besar. Pada cekungan-cekungan tersebut terdapat bahan organik dalam jumlah banyak yang dihasilkan oleh tumbuhan alami yang telah beradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol yang umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali di drainase. Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka. Hutan gambut dicirikan oleh keberadaan jenisjenis pohon yang khas diantaranya Ramin (Gonystylus bancanus), Jelutung (Dyera costulata), Punak (Tetramerista glabra), Perepat (Combretocarpus rotundatus),
Mentibu
(Dactylocladus
stenostachys)
dan
Bintangur
(Calophyllum sclerophyllum). Terdapat fauna/satwa penting dan beberapa diantaranya
dilindungi
seperti
harimau
Sumatera
(Panthera
tigris
sumatrensis), harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), dan napu (Tragulus napu). Terdapat beberapa jenis primata dan dilindungi seperti seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), dan Kokah (Presbytis melalophos). Terdapat berbagai jenis ikan seperti ikan toman, gabus, lele, toman, silais, tapa, buju, patin, baung dan ada jenis ikan yang dilindungi seperti ikan arwana (Schleropages formosus). Selain itu, terdapat Reptil yang dilindungi seperti buaya sinyulong (Tomistoma Schlegelii) dan buaya muara (Crocodylus porosus). Fungsi gambut secara hidrologis menyimpan air. Gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500-1000% bobot. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tatai air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquafer) selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Gambut pantai diperlukan sebagai penyangga antara wilayah marin dan wilayah air tawar.
Pemendaman karbon berkaitan dalam pengukuhan iklim global dan kemantapan ekosistem alami. Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut cukup besar yang dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti CO2 ke atmosfer. Selain emisi gas CO2, lahan gambut juga menghasilkan emisi gas CH4 (metan) sebagau hasil dari perombakan atas bahan organik secara anaerob. Peningkatan emisis gas seperti CO2 dan CH4 dalam jumlah besar akan mempengaruhi iklim global yang menimbulkan pemanasan secara global, yaitu naiknya suhu permukaan planet bumi.
5. Lahan Dataran Tinggi Dataran tinggi biasanya dijadikan sebagai daerah tangkapan air hujan. Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh dataran tinggi adalah area pertaniannya dibuat terasering. Terasering merupakan tanah yang dibuat menyerupai tangga untuk mencegah terjadinya erosi. Tanaman yang cocok untuk ditanam pada dataran tinggi merupakan tanaman hortikultura seperti kubis, wortel, strawberry, brokoli, kentang. Dengan masih asrinya alam pegunungan dan belum banyaknya kebudayaan yang masuk, masyarakat dataran tinggi masih kental akan adat istiadatnya. Dengan keasrian alam tersebut, masyarakat lebih cenderung bekerja sebagai petani ataupun peternak. Diantara mata pencaharian tersebut adalah sebagai berikut: a. Peternak Daerah dataran tinggi mempunyai iklim yang cukup dingin. Kondisi demikian cocok untuk memelihara ternak. misalnya sapi perah, kambing, kelinci, ayam pedaging dan ayam petelur. b. Petani Banyak juga penduduk dataran tinggi yang menjadi petani, namun jenis tanamannya berbeda dengan dataran rendah. Petani di dataran tinggi biasanya menanam palawija, sayur-mayur dan bunga. selain itu, ada juga petani yang bertanana berupa perkebunan, misalnya teh, kopi, cengkeh, pala dan buah-buahan.
c. Pekerja/buruh perkebunan Didaerah dataran tinggi biasanya terdapat perkebunan besar. Banyak penduduk dataran tinggi yang bekerja sebagai buruh perkebunan. Misalnya buruh di perkebunan teh, kopi dan cengkeh. d. Pedagang Pedagang dataran tinggi membeli hasil daerah dataran tinggi seperti sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, cengkeh dan pala. Selain itu mereka menyediakan beras dan barang-barang kebutuhan yang tidak dihasilkan daerah dataran tinggi. Pada wilayah dataran tinggi, suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan dataran rendah dan
pantai, sehingga penduduk daerah
pegunungan banyak yang memanfaatkan suhu udara yang dingin untuk menanam sayuran dan tanaman perkebunan. Pada dataran tinggi, udara dan suhu juga akan mempengaruhi kelembaban udara di daerah tersebut. Tingkat udara yang terbilang kering dan suhu yang dapat mencapai 00 C maka konsentrasi kelembapan udara pada dataran tinggi juga rendah. 6. Lingkungan /Lahan Pasca Tambang Penimbunan dan pemadatan tanah dalam kegiatan rekonstruksi lahan, menyebabkan rusaknya struktur, porositas, dan bulk density sebagai karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan aerasi (peredaran udara) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Akar tidak dapat berkembang dengan sempurna dan fungsinya sebagai alat absorpsi unsur hara akan terganggu. Rusaknya struktur juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk menyimpan dan meresapkan air pada musim hujan, sehingga aliran permukaan (surface run off) menjadi tinggi dan sebaliknya, tanah menjadi padat dan keras pada musim kering, sehingga sangat berat untuk diolah yang secara tidak langsung berdampak pada peningkatan kebutuhan tenaga kerja.
Pencampuradukan antara bahan batuan overburden dan juga dengan bahan tanah menghasilkan hamparan tanah yang mempunyai daya dukung rendah terhadap kehidupan oleh karena mengandung bahan organik sangat rendah, retensi air dan unsur hara sangat rendah, mengandung unsur-unsur yang bersifat toksik, rendahnya volume perakaran dan sebagainya. Tanaman yang pertama ditanam di lahan reklamasi adalah jenis tanaman penutup tanah (cover crop) yang bertujuan untuk mengurangi laju erosi tanah, menstabilkan permukaan tanah dari energi kinetis air hujan, membantu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dari serasahnya yang jatuh dan terdekomposisi, serta merangsang kehidupan organisme tanah yang berperan penting dalam siklus hara. Tanaman lain yang juga ditanam pada lahan yang telah siap direklamasi adalah tanaman pionir, yang terdiri dari beberapa jenis/polikultur (bukan sejenis/monokultur). Hal ini sangat penting untuk meningkatkan ketahanan tegakan terhadap serangan hama dan penyakit, menyediakan habitat bagi binatang-binatang, menghindari kompetisi hara dan eksploitasi unsur hara tertentu secara berlebihan, serta menyediakan keanekaragaman penutupan lahan. Jenis-jenis pionir ini ditujukan untuk memperbaiki iklim makro dan kesuburan tanah yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan jenis-jenis pohon hutan primer pada tahapan selanjutnya (Bangun, 2007).
7. Lahan Pasir Pantai Pengelolaan sumberdaya air di daerah pesisir mutlak diperlukan karena jumlah masayarakat yang tinggal di daerah pantai cukup besar yang pada umumnya memanfatkan airtanah dan air permukaan (sungai dan danau) untuk memenuhi kebutuhannya. Bahan induk lahan pasir pantai didominasi oleh fraksi pasir. Bahan induk berasal dari proses deflasi abu vulkanik dan materi pasir yang dibawa oleh aliran sugai-sungai yang membelah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bermuara di laut selatan. Setelah diendapkan di pinggir pantai, dengan bantuan gelombang laut Selatan yang terkenal besar, materi pasir ini disebarkan di
sepanjang pantai-pantainya. Lahan pasir pantai merupakan lahan marjinal dengan ciri-ciri antara lain : tekstur pasiran, struktur lepas-lepas, kandungan hara rendah, kemampuan menukar kation rendah, daya menyimpan air rendah, suhu tanah di siang hari sangat tinggi, kecepatan angin dan laju evaporasi sangat tinggi. Upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan lingkungan mikro sangat diperlukan, antara lain misalnya dengan penyiraman yang teratur, penggunaan mulsa penutup tanah, penggunaan pemecah angin (wind breaker), penggunaan bahan pembenah tanah (soil conditioner) dan pemberian pupuk (baik organik maupun anorganik). Kesuburan tanah yang dimiliki oleh tanah pasiran rendah karena temperatur dan infiltrasi yang tinggi memungkinkan tingkat retensi air tanah pasir pantai menjadi rendah. Selain itu, stabilitas agregat dan kandungan liat tanah pasiran rendah sehingga pada saat hujan, air dan hara akan mudah hilang melalui proses pergerakan air ke bawah. Tanaman yang sering dijumpai di lahan pasir yaitu ketapang, kelapa, cemara laut, dan jarak pagar. Kawasan pesisir pantai merupakan rumah bagi jutaan organisme. Kebanyakan hewan pesisir pantai menyebar di daerah yang terendam air dan tersinari oleh cahaya matahari. Hewan yang sering dijumpai diantaranya yaitu kepiting, penyu serta kura-kura. Mayoritas penduduk pantai memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Pola pemukimannya memanjang
mengikuti
garis
pantai.
Pemukiman
di
sekitar
pesisir
menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan, sesuai dengan keadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu. Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam, eksploitasi hutan rawa, pembuatan perahu, perdagangan dan industri, merupakan dasar bagi tata ekonomi masyarakat pedesaan wilayah pesisir. 8. Lahan Karst (Kapur) Lahan kapur memiliki karakteristik tanah kering dan tandus. Lahan ini memiliki daya serap air yang tinggi. Sehingga air yang berada pada permukaan tanah sangat sedikit persediaannya. Tanah yang berwarna kuning keputihan berasal dari warna batuan kapur. Oleh karena itu pada lahan ini
suhu lebih panas selain itu didukung oleh tak adanya air untuk proses penguapan. Tingginya permeabilitas batuan karst mengakibatkan air permukaan sangat jarang. Air permukaan hanya dijumpai pada telaga-telaga karst yang jumlahnya juga sangat jarang. Kekeringan merupakan fenomena yang paling sering dijumpai pada permukaan lahan karst di berbagai tempat di dunia (Eko Budiyanto: 2012). Tanah kapur ini merupakan tanah yang tidak subur karena tidak memiliki unsur hara atau humus. Namun, tanah ini masih dapat berkontribusi dalam bidang pertanian. Kontribusi tanah kapur ini tergolong penting karena digunakan untuk menurunkan tingkat keasaman pada tanah, sehingga akan diperoleh tanah yang netral. Meskipun tanah kapur merupakan tanah yang tidak subur dan tidak mendukung untuk perkembangan proses pertanian, namun ternyata ada satu jenis tanaman yang sangat cocok jika ditanam di jenis tanah ini. jenis tanaman tersebut adalah pohon jati. Sehingga tanah kapur ini lebih cocok digunakan sebagai lahan perkebunan pohon jati agar kelak diperoleh tanaman jati yang tumbuh subur, tinggi, dan menjulang.
9. Lahan Lereng Merapi (Lahan Pasir) Setelah erupsi Merapi, pengelolaan lahan harus berdasar pada jenis material yang dikeluarkan dan kondisi lahan. Kualitas abu hasil erupsi Merapi cukup baik, hanya perlu pembilasan untuk mengurangi garam terlarutkan yang berupa kation Al dengan anion sulfat dan khlorida. Prinsip pengelolaan lahan adalah penyediaan lingkungan yang sesuai kebutuhan hidup tanaman, ketersediaan lengas, nutrisi, koloid yang memegang nutrisi dan aerasi. Yang dibutuhkan adalah pupuk organik, nitrogen (dari pupuk N maupun tanaman legum), pencampuran dengan tanah asli di bawahnya. Tanah yang terdapat di sekitar Gunung Merapi merupakan tanah yang berasal dari abu vulkanik hasil erupsi berupa debu, kerikil, dan batun panas. Keadaan di lereng Merapi mengalami perubahan secara periodik mengikuti
periode letusan. Tanah lereng Merapi didominasi oleh tanah muda karena pembaharuan dari material-material akibat erupsi. Tanah muda tersebut mengalami
perkembangan
baik
sifat
fisik
maupun
sifat
kimianya.
Perkembangan tanah juga diikuti oleh tumbuhnya vegetasi diatasnya, karena tanah yang berkembang akan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Tanah lereng Merapi terdiri atas tanah Regosol (Entisol dan Inceptisol) serta Andisol. Tanah regosol merupakan tanah yang tergolong muda, sehingga belum mengalami perkembangan profil. Tanah ini dicirikan oleh warna kelabu sampai kehitaman dengan tekstur pasiran dan struktur granuler. Vegetasi yang tumbuh pada lereng Merapi bervariasi. Sebagian besar penggunaan lahan di lereng Merapi berupa tanaman hutan dan semak liar seperti rotan, paku-pakuan dan rumput-rumputan. Di lereng utara bagian bawah terdapat sayur-sayuran. Pada sisi sebelah selatan merupakan hutan yang masih alami dan tumbuh subur. Daerah ini merupakan daerah resapan air yang sangat baik. Tanaman yang tumbuh terdiri dari akasia, pinus, dan beberapa jenis lainnya. Penduduk sekitar memanfaatkan sebagai ladang rumput untuk makanan ternak mereka. Selain itu terdapat ribuan hektar perkebunan salak pondoh, dan kelapa. Masyarakat Gunung Merapi mayoritas kehidupan dari bertani (pertanian, perikanan, dan peternakan). Pengembangan ternak kambing, merupakan salah satu ternak yang sangat diminati oleh masyarakat untuk diternakkan, karena ukuran tidak terlalu besar, perawatan mudah, serta cepat berkembang biak. Selain ternak kambing, masyarakat juga berternak sapi potong dan perah. Merapi merupakan tulang punggung sistem geohidrologi kawasan datran jogja
dan
sekitarnya.
Di
sisi
tenggara
Kota
Yogyakarta
terdapat
penggunungan batu gamping yang potensi air tanahnya besar tapi tersembunyi di lorong-lorong sungai bawah tanah. Daerah lereng Merapi terdapat potensi air tanah yang dimanfaatkan warga untuk berbagai aktivitas pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, pariwisata maupun industri.
Daftar Pustaka Mas’ud, Fauziah. 2015. Kondisi Geografi. https://www.academia.edu. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 21.15 WIB. Minardi. 2016. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering Untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. https://library.uns.ac.id. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 21.20 WIB. Mukti, Rizal.A. 2013. Pemanfaatan Lahan Kapur Dalam Pengelolaan Limbah Budidaya Ayam Petelur Untuk Meningkatkan Perekonomian Kecamatan Demangan, Kabupaten Blitar. https://www.scribd.com. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 21.20 WIB. Murtianto, Hendro. 2009. Analisis Dampak Perubahan Landuse Pada Recharge Area Lereng Gunung Merapi Bagian Selatan Terhadap Ketersediaan Air Tanag Di Dataran Yogyakarta. http://file.upi.edu. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 21.00 WIB. Pratiwi, Eka Febriana. 2014. Karakteristik Fisik Tanah Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Tanah Latosol Darmaga dan Podsolik Jasinga. http://repository.ipb.ac.id. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 21.30 WIB. Setiobudi, Didiek & Achmad.M.F. 2009. Pengelolaan Air Padi Sawah Irigasi: Anitisipasi Kelangkaan Air. http://www.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 20.00 WIB. Setyorini, Diah dkk. 2010. Pertanian Pada Ekosistem Lahan Sawah. http://www.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 20.00 WIB. Utami, Sri Nuryani Hidayah dkk. 2012. Pengelolaan Lahan Kawasan Lereng Merapi Pasca Erupsi 2010. http://faperta.ugm.ac.id. Diakses pada tanggal 28 November 2017 pukul 21.10 WIB.