TUGAS PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN
PENINGKATAN KUALITAS UNSUR HARA PADA TANAH T ANAH GAMBUT DENGAN MEMANFAATKAN ABU BOILER INDUSTRI PULP & KERTAS
OLEH :
REYZANDI H1E108043
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2010
1.
JUDUL PENINGKATAN
KUALITAS
UNSUR
HARA
PADA
TANAH
GAMBUT DENGAN MEMANFAATKAN ABU BOILER INDUSTRI PULP DAN KERTAS .
2. PENDAHULUAN
-
Latar Belakang
Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi yang disebut ekosistem. Manusia, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan merupakan bagian ekosistem. Pembangunan
bertujuan
untuk
menaikkan
tingkat
hidup
dan
kesejahteraan rakyat. Dapat pula dikatakan pembangunan bertujuan untuk menaikkan mutu hidup rakyat. Karena mutu hdup dapat diartikan sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar, pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik. Dalam usaha memperbaiki mutu hidup, harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang ,ebih tinggi tidak menjadi rusak. Apabila kerusakan terjadi, bukannya perbaikan mutut hidup yang akan dicapai melainkan justru kemerosotan. Bahkan bila kerusakan terlalu parah, dapatlah terjadi kepunahan kehidupan kita sendiri. Atau paling sedikit ekosistem tempat kita hidup dapat megalami keambrukan yang akan mengakibatkan banyak kesulitan. Pembangunan demikian bersifat tidak berkelanjutan (Soemarwoto, 2001). Perkembangan pembangunan, berkaitan erat dengan perkembangan di sektor industri. Salah satu industri yang terus berkembang adalah industry pulp dan kertas. Meningkatnya pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia telah membawa dampak terhadap meningkatnya permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah. Oleh karenanya dalam upaya terpeliharanya
kualitas lingkungan industri harus meningkatkan pengelolaan limbahnya melalui pengolahan yang lebih efektif dan kemungkinan pemanfaatannya. Industri pulp dan kertas pada saat ini dihadapkan pada masalah penanganan limbah padat yang jumlahnya cukup besar. Konstribusi yang besar salah satunya berasal dari abu sisa kulit kayu pada unit power boiler. Di lokasi pabrik, limbah padat tersebut hanya ditumpuk dan belum dimanfaatkan sehingga selain menimbulkan gangguan terhadap estetika juga menyebabkan pencemaran tanah, air tanah, dan menimbulkan bau bagi masyarakat sekitar. Pada industri pulp dan kertas, pemanfaatan abu boilernya dapat digunakan sebagai regenerator dan aktivator untuk menciptakan ekosistem tanah yang lebih sehat. Kandungan unsur-unsur mineralnya dapat dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman, sehingga dengan ini dapat mengurangi bahkan meniadakan pemakaian pupuk kimia.
-
Tujuan Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penggunaan abu boiler industri pulp dan kertas terhadap kualitas tanah gambut serta pada tanaman yang dilakukan di media tanam tanah gambut.
-
Batasan Masalah
Batasan masalah pada penulisan makah ini adalah : 1. Pemanfaatan abu sisa pembakaran kulit kayu pada industri pulp dan kertas. 2. Pengaruh abu sisa pembakaran kulit kayu terhadap tanaman Acacia crasicarpa di areal tanah gambut Hutan Tanaman Industri (HTI).
-
Metode Penulisan
Makalah ini bersifat diskriptif yang akan mengkaji mengenai potensi penggunaan abu boiler industri pulp dan kertas sebagai bahan pengkondisi tanah gambut pada areal hutan tanaman industri. Penyusunan makalah dilakukan dengan studi pustaka, melalui tahapan pengumpulan pustaka dan data-data pendukung dalam pembuatan makalah.
3. TINJAUAN PUSTAKA
-
Perkembangan Industri Pulp dan Kertas di Indonesia
Proses produksi industri pulp dan kertas menghasilkan limbah padat yang jumlahnya melimpah, salah satunya adalah limbah abu boiler yang berasal dari power boiler yang menggunakan bahan bakar batubara atau kulit kayu. Abu boiler tersebut diketahui mengandung kalsium serta unsur hara yang berfungsi untuk kontinuitas pengadaan bahan baku proses pembuatan pulp sehingga dibuang secara landfill di area Hutan
Tanaman
Industri. Namun di sisi lain,
kandungan kadmium sebagai logam berat non-esensial yang dominan, dikhawatirkan dapat merembes ke dalam air tanah yang berfungsi sebagai air baku untuk konsumsi minum bagi masyarakat sekitar dan mengganggu kehidupan makhluk hidup lainnya Pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia sungguh menakjubkan. Kapasitas produksi industri kertas pada tahun 1987 sebesar 980.000 ton, kemudian
tahun
1997
meningkat
tajam
menjadi
7.232.800
ton.
Bila
memperhitungkan rencana perluasan dan investasi baru pada tahun 1998-2005 maka kapasitas produksi industri kertas sampai dengan akhir tahun 2005 dapat bertambah menjadi 13.696.170 ton (APKI Direktori, 1997). Demikian juga halnya dengan industri pulp. Pada tahun 1987 kapasitas produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, kemudian tahun 1997 meningkat menjadi 3.905.600 ton. Sementara itu, pada tahun 1998-1999 telah direncanakan penambahan kapasitas produksi sebesar 1.390.000 ton. Dengan
demikian, pada akhir tahun 1999 total kapasitas produksi industri pulp dapat mencapai 5.295.600 ton. Penambahan kapasitas produksi oleh industri pulp yang sudah ada dan adanya rencana investasi baru pada tahun 2000 - 2005 akan menambah kapasitas produksi industri pulp pada akhir tahun 2005 menjadi total 12.745.600 ton. Seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi, ekspor pulp dan kertas Indonesia terus meningkat. Bila sebelumnya Indonesia selalu menjadi net importir pulp maka sejak tahun 1995 berbalik menjadi net eksportir pulp. Angka pertumbuhan ekspor pulp tidak kurang dari 96 % antara tahun 1994-1996. Sebagai net eksportir kertas Indonesia sudah tidak asing lagi. Data APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia) menunjukkan bahwa antara tahun 19871996 jumlah ekspor kertas Indonesia selalu lebih besar dari jumlah impornya, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 26,11 %. Meningkatnya kapasitas produksi industri pulp dan kertas juga diikuti oleh kenaikan jumlah konsumsi kertas per kapita. Konsumsi kertas per kapita di Indonesia pada tahun 1992 baru mencapai 10 kg, kemudian meningkat menjadi 15,5 kg pada tahun 1996. Kenaikan konsumsi kertas per kapita di Indonesia utamanya dipicu oleh bertambahnya industri pers dan percetakan, meningkatnya kebutuhan kertas industri, kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan media keluaran berupa kertas dan diversifikasi penggunaan kertas yang semakin melebar. Konsumsi kertas per kapita di Indonesia dipastikan akan terus meningkat. Kendati konsumsi kertas sebesar 15,5 kg per kapita pada tahun 1996 lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ternyata masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pada tahun 1996, Konsumsi kertas per kapita di Malaysia telah mencapai 87,4 kg per tahun, Singapura 161,2 kg dan Amerika Serikat sebesar 334,6 kg. Harga pulp yang tinggi di pasar internasional (saat ini harganya US$ 680 - 700 per ton) dan konsumsi kertas yang terus meningkat merupakan dua faktor utama yang merangsang pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia.
Meskipun harga pulp dan kertas di pasar internasional berfluktuasi dari waktu ke waktu, produsen pulp dan kertas di Indonesia sulit untuk rugi. Biaya produksi pulp di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi hanya US$ 217 per ton (saat ini US$ 250-300), jauh lebih rendah dibandingkan biaya pembuatan pulp di kawasan Asia/Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yaitu masing-masing US$ 250, 260, 300, 420, dan 590. Brazil dan Chile merupakan saingan kuat Indonesia, dengan biaya produksi pulp per ton masing-masing US$ 231 dan 241. Mega sukses industri pulp dan kertas dapat dianggap sebagai dewa penyelamat terutama bila dikaitkan dengan denga n krisis harga kertas yang sering terjadi. Industri pulp dan kertas juga dapat diandalkan untuk meraup Dollar. Karena itulah pemerintah telah mencanangkannya sebagai salah satu dari 10 komoditi andalan ekspor. Namun bila mengetahui dari mana asal-usul bahan baku pembuat kertas, maka "wajah angker" industri pulp dan kertas akan terlihat jelas. Sampai sekarang tercacat beberapa bahan baku pembuat kertas, antara lain merang, bagas, bambu, kertas bekas dan kayu bulat. Industri pulp skala besar, yang kebanyakan didirikan di luar pulau Jawa, bahan baku utamanya adalah kayu bulat yang berasal dari hutan alam (aktivis LSM lingkungan hidup menyebutnya µpulping the rain forest"). Industri pulp yang telah lama didirikan di Pulau Jawa belakangan ini juga menggunakan kayu sebagai bahan baku utamanya. Sampai saat ini, masih lebih dari 90% bahan baku kayu untuk "memberi makan" industri pulp di Indonesia berasal dari hutan alam, utamanya adalah kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu), yaitu kayu berbagai jenis yang dihasilkan dari kegiatan land clearing pada areal hutan alam yang akan dikonversi untuk berbagai keperluan, misalnya untuk areal pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Dengan diambilnya bahan baku kayu untuk industri pulp dari hutan alam maka tekanan terhadap hutan alam semakin besar. Sebelumnnya, sejak adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1980, di Indonesia telah terjadi
booming pembangunan industri kayu lapis, industri kayu gergajian dan kemudian industri pengolahan kayu hilir. Perkembangan industri perkayuan yang sangat pesat menyebabkan kapasitas total industri perkayuan Indonesia melampaui kemampuan hutan produksi untuk menyediakan bahan baku secara lestari. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (1997), total kapasitas produksi industri perkayuan Indonesia setara dengan 68 juta m3 kayu bulat. Kapasitas produksi tersebut lebih 3 kali lipat dibandingkan dengan kemampuan hutan produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu bulat secara lestari. Menurut Mantan Menteri Kehutanan Djamaludin Surjohadikusumo, pada awal tahun 1998 hutan alam produksi Indonesia hanya mampu menghasilkan 18 juta m3 kayu bulat. Jika ditambah dengan kayu dari hutan rakyat, HTI dan hutan konversi (kayu IPK) sebesar 12 juta m3 maka jumlahnya baru mencapai 30 juta m3. Ketimpangan antara kapasitas industri perkayuan dengan kemampuan hutan untuk menyediakan bahan baku secara lestari telah menyebabkan pengurasan (pengrusakan) sumberdaya hutan. Hal ini bertambah buruk dengan aktifitas penjarahan hutan (pencurian kayu, illegal logging) yang semakin marak. Akibatnya, kualitas dan kuantitas hutan Indonesia dari tahun ke tahun semakin menurun. Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998 tidak kurang dari 1,6 juta hektar per tahun (Dephutbun, 2000). Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 4,5 m3 kayu bulat, maka industri pulp di Indonesia pada tahun 1999 memerlukan 24 juta m3 kayu bulat. Dengan asumsi potensi kayu bulat pada areal hutan konversi rata-rata 80 m3 per hektar, maka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp harus ditebang sekitar 300.000 ha hutan alam. Areal hutan alam yang dirusak dengan tebang habis akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya kapasistas industri pulp dan kertas, sementara realisasi tanaman HTI-pulp masih sekitar 20%.
-
Lahan Gambut di Indonesia
Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat ( sequester sequester ) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun (Parish et al ., ., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha-1 tahun-1 (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan
kehati-hatian
dan
perencanaan
yang
matang
apabila
akan
mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi.
Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008). Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum.
T imbunan
terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang
menyebabkan
rendahnya
tingkat
perkembangan
biota
pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986). Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organic yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih,1996).
Tanah
gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya
ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah (Subiksa et al, 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999). Tidak
seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai
pH 5 saja karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Sabiham et al, 1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak, 1999; Suastika,2004; Subiksa et al., 1997).
4.
PEMBAHASAN
-
BAHAN DAN METODA a.
Karakterisasi Bahan
Sebagai bahan penelitian adalah abu sisa pembakaran ( f f ly ash) kulit kayu dari unit boiler industry pulp dan kertas. Kulit kayu sebagai bahan bakar boiler tersebut berasal dari proses pengulitan kayu ntuk bahan baku pembatan pulp. Karakterisasi abu boiler meliputi tahapan sebaga berikut : -
Identifikasi limbah, yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat terindikasinya sebagai limbah B3 menurut PP No.18 Jo No. 85 Tahun 1999.
-
Pengambilan contoh limbah dilakukan secara komposit mewakili seluruh alur produksi dan kondisi ko ndisi operasi.
-
Pengujian terhadap limbah meliputi parameter logam berat total (OnWaste) dan TCLP.
Analisa potensi limbah yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat manfaat sebagai bahan pengkondisi tanah. Pengujian meliputi parameter pH, kadar air, unsure hara makro (C, N, P, K, S, Ca, Mg) dan unsure hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B).
b.
Uji Coba Aplikasi Abu Boiler
Uji coba aplikasi abu boiler sebagai pengkondisi tanah gambut dilakukan pada skala rumah kaca ( g g lass lass house) dan skala lapangan di areal HTI. Percobaan pemberian abu boiler pada media tanam dengan cara dicampurkan ke dalam media tanah di sekeliling lubang tanam. Perlakuan percobaan adalah variasi dosis pemberian abu boiler, yaitu : -
T1
= Kontrol (tanpa pemberian abu bo iler).
-
T2
= abu boiler 5 kg pohon.
-
T3
= abu boiler 10 kg pohon.
Percobaan di rumah kaca dilakukan pada pot berukuran diameter 80 cm dengan tinggi pot 80 cm, dengan rancangan acak lengkap (RAL) 3 perlakuan dan 3 replikasi. Rancangan percobaan di lapangan menggunakan rancangan acak blok sub sampling (RAB) dengan 3 perlakuan, 3 blok, 5 sub sampling. Luas lahan yang digunakan seluruhnya 90 Ha terbagi atas 3 blok dengan masingmasing blok terdiri atas 3 perlakuan. Dari luas lahan 10 Ha per plot percobaan terdiri atas 5 sub sampling yang masing-masing terdapat 6 x 6 pohon dengan jarak tanam 3 meter. c.
Pengamatan Uji Coba
Untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang diperoleh dan risiko yang ditimbulkan terhadap lingkungan, dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dan pengaruhnya terhadap kualitas tanah yang berlangsung sampai tanaman mencapai umur tanam 12 bulan. Parameter pengamanan yang dilakukan adalah sebagai berikut : a.
Tanaman
= - tinggi tanaman - Diameter tanaman
b.
Tanah
= -kualitas -kualitas kimia tanah (unsure hara makro dan mikro) - Mikroba tanah - Logam berat
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
-
Karakterisasi Bahan
Hasil pengujian kandungan logam berat total dalam abu boiler yang ditampilkan pada
Tabel
1 menunjukkan bahwa seluruh parameter logam berat
mempunyai konsentrasi rendah berada di bawah nilai baku mutu meurut Kep.04/Bapeda/IX/1995, baik terhadap kolom A maupun kolom B. Kondisi ini menunjukkan bahwa abu boiler ini bukan termasuk yang teridentifikasi sebagai limbah B3 dan di dalam pengelolaannya dapat ditimbun dalam land f ill kategori ringan.
Hasil pengujian
TCLP
logam berat yang dilakukan terhadap abu boiler
memberikan data-data seperti yang ditampilkan pada table 2. Dari nilai pengujian TCLP
menunjukkan bahwa seluruh parameter logam berat emiliki konsentrasi
jauh di bawah nilai baku mutu menurut PP No. 18 jo No. 85 Tahun 1999. Kondisi ini menunjukkan bahwa limbah padat abu boiler ini di dalam penimbunannya tidak menimbulkan pencemaran terhadap air tanah, berarti pula aman bila dikelola melalui pemanfaatan sebagai pengkondisi tanah. Hasil pengujian kandungan unsure-unsur hara di dalam abu boiler yang berkaitan dengan tingkat konsentrasinya sebagai pengkondisi tanah dapat dilihat pada table 3. Dari data analisis memperlihatkan bahwa abu boiler sangat basa dengan pH berkisar antara 10 ± 12, dan mengandung mineral-mineral hara yang dibutuhkan tanaman yaitu sebagai nutrisi makro dan juga nutrisi mikro yang cukup tinggi. Karakteristik abu boiler tersebut sangat potensial untuk mengkondisikan tanah gambut yang tingkat kesuburannya rendah seperti dilihat dari data-data analisis yang mnunjukkan sifat kimia tanah gambut pada table 4. Data analisis tanah gambut memperlihatkan kondisi tanah yang sangat asam (pH < 4) dan miskin unsure mineral, meskipun kandungan organic C sangat tinggi, dan juga kandungan N dan P tergolong tinggi, serta nilai K TK tanh gambut sangat tinggi, namun susunan kation tukar Na, K, Ca, dan Mg serta kejenuhan basa (KB) tergolong rendah. Karakteristik tanah tersebut di atas menyebabkan ketersediaan unsure hara yang dapat diserap oleh tanaman rendah sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil karakteristik terhadap abu boiler dari tanah gambut di areal HTI, maka pemanfaatan abu boiler sebagai pengkondisi tanah cukup potensial untuk diaplikasikan pada dosis yang sesuai kebutuhan tanaman. Sejauh mana potensi dan seberapa besar dosis abu boiler yang dapat digunakan, dapat diamati dari uji coba yang dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman Acacia crassicarpa.
-
Uji Coba Aplikasi Abu Boiler Tanaman
Acacia crassicarpa merupakan jenis tanaman keras yang
dibudidayakan di areal HTI tanah gambut untuk memenuhi kebutuhan kayu sebagai bahan baku pembuatan pulp. Jenis tanaman ini memiliki daur pertanaman relative pendek dengan umur panen 8 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan vegetative tanaman sangat dipengaruhi oleh tersedianya unsureunsur hara di dalam tanah yang ya ng bisa diabsorpsi oleh tanaman. Pada uji coba penggunaan abu boiler ke dalam media tanam tanah gambut dilakukan dengan mencampurkan abu boiler dengan tanah di waktu awal penanaman bibit Acacia crassicarpa. Pengaruh aplikasi abu boiler terhadap tanaman diamati melalui pengamatan tinggi tanaman dan diameter batang, sedangkan pengaruhnya terhadap kualitas tanah dilakukan pengamatan sifat kimia dan biologi serta kemungkinan terjadinya akumulasi logam berat dalam tanah.
-
Pengaruh Terhadap Tanaman a. Pengamatan Tinggi Tanaman
Pengaruh pemberian abu boiler pada media tanam dapat dilihat dari pengukuran tinggi rata-rata tanaman saat umur tanaman 6 bulan dan 12 bulan. Data pengukuran uji coba skala rumah kaca dengan perlakuan dosis abu boiler 5 kg/pohon (T2) dan 10 kg/pohon (T3) yang dibandingkan terhadap perlakuan control (T1) dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan skala lapangan ditampilkan pada Gambar 2.
Berdasarkan analisis statistic menunjukkan bahwa perlakuan pemberian abu boiler memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Pada tanaman Acacia crassicarpa yang mendapatkan aplikasi abu boiler dengan dosis pemberian 5-10 kg / pohon meningkat lebih tinggi dibandingkan tanaman control yang tanpa pemberian abu boiler. Kondisi ini terjadi di rumah kaca maupun yang
di lapangan dan berlangsung saat umur 6 bulan maupun setelah 12 bulan. Nilai kejenuhan basa (KB) dari tanah gambut yang rendah menyebabkan unsure hara tidak tersedia bagi tanaman.
Tanah
gambut yang mendapat aplikasi abu boiler
akan mendapatkan suplai unsure Ca, Mg, Na, dan K, yang berarti dapat menaikan pH tanah dan juga nilai KB. Kondisi ini membuat tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan dan melepaskan kation sehingga unsure hara esensial lebih tersedia dan
mudah dimanfaatkan oleh tanaman yang akhirnya dapat
meningkatkan perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman. Perlakuan dosis pemberian abu boiler antara T2 (5 kg/pohon) dan T3 (10 kg/pohon) tidak menunjukkan perbedaan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, baik pada uji coba di rumah kaca maupun di lapangan. Berarti dosis pemberian abu boiler 10 kg/pohon merupakan dosis maksimal yang bisa diaplikasikan pada awal tanam sesuai kebutuhan tanaman sampai umur 12 bulan. Peningkatan dosis dari 5 kg/pohon ke dosis 10 kg/pohon tidak mempengaruhi besarnya ketersediaan unsure hara makro dan mikro yang dapat dambil oleh tanaman. Berdasarkan data pengukuran tinggi tanaman terlihat potensi penggunaan abu boiler sangat prospektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tinggi tanaman Acacia crassicarpa di lahan uji coba tanah gabut yang mendapat aplikasi abu boiler mencapai tinggi 665 cm atau meningkat 98% dibandingkan control yang hanya mencapai tingkat 335 cm. Sedangkan uji coba dip o mencapai 20 cm atau meningkat 25 % dari tanaman control yang tingginya 216 cm.
b. Pengamatan Diameter Batang
Pertumbuhan tanaman diukur dari pembesaran diameter batang diamati untuk umur tanaman 12 bulan, yang data-datanya ditampilkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Hasil pengkuran diameter batang tanaman menunjukkan pula bahwa perlakuan alikasi abu boiler 5-10 kg/pohon dapat meningkatkan perbesaran diameter batang tanaman. Sejalan dengan peningkatan tinggi tanaman, hasil pengukuran diameter batang tanaman yang mendapat aplikasi abu boiler mencapai
696-739 cm dibandngkan diameter batang tanaman control 474 cm atau mengalami peningkatan 47-56 % lebih besar. Namun, hasil pengukuran diameter batang batang tanaman dari uji coba di pot tidak menunjukkan pengaruh yang cukup besar seperti di lapangan. Semua tanaman di pot mengalami pertumbuhan kurang baik, aplikasi abu boiler dosis 5 kg/pohon hanya memperbesar diameter batang 6% dibanding tanaman control dan tidak ada pengaruh pada dosis 10 kg/pohon. Dengan demikian hasil uji coba aplikasi abu boiler menunjukkan pengaruh positif pada pertumbuhan vegetative pada tanaman Acacia crassicarpa di media tanam tanah gambut, yang berarti dapat meningkatkan produktivitas pengelolaan HTI.
-
Pengaruh Terhadap Kualitas Tanah Tanah
sebagai media pertumbuhan tanaman juga merupakan media yang
baik untuk mendaur ulang dan mengurangi sifat meracun dari bahan organic maupun anorganik. Atas kemampuan tersebut, tanah dapat berperan sebagai media penerima pembuangan limbah. Namun, jika pembuangan limbah tersebut melampaui daya dukung tanah maka akan menyebabkan penurunan kualitas bahkan kerusakan tanah. Hasil analisis tanah gambut setelah tanaman Acacia crassicarpa umur tanam 12 bulan dapat dilihat pada table 5. Berdasarkan data-data tersbeut pada table 5, menunjukkan bahwa aplikasi abu boiler tidak memberi pengaruh berarti terhadap sifat-sifat kimia tanah gambut sebagai media tanam Acacia crassicarpa. Namun demikian, debiandingkan terhadap perlakuan control tanah yang mendapat aplikasi abu boiler 5-10 kg/pohon mengalami peningkatan kandungan hara P, Ca, Mg, K, dan nilai K TK. Kondisi ini diduga merupakan penyebab pertumbuhan tanaman meningkat lebih baik sampai umur 12 bulan. Khususnya untuk pH tanah gambut setelah perioda tanam 12 bulan ternyata tidak menunjukkan perbedaan, pH tanah gambut dengan pertumbuhan abu boiler di awal tanam menjadi bersifat asam kembali setelah 12 bulan perioda tanam. t anam.
Demikian pula hal nya dengan sifat tanah gambut di lapangan yang berada pada lahan HTI juga tidak mengalami perubahan berarti. Namun bila dibandingkan dengan tanah control, pada tanah gambut yang mendapat aplikasi abu boiler ada sedikit peningkatan kadar Ca, Mg, K, Na, dan K TK. Berarti aplikasi abu boiler selain dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman juga dapat memperbaiki sifat kimia tanah gambut yang kesuburannya kurang baik. Kesuburan biologis tanah adalah kesuburan yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme tanah. Aktivitas biologis tanah secar langsung menentukan tingkat kesuburan tanah dengan peranannya dalam proses dekomposisi. Dalam penelitian ini pengaruh aplikasi abu boiler terhadap kesuburan biologis tanah gambut dilakukan dengan pengukuran produksi CO2 dan C-mic terhadap tanah setelah umur 12 bulan, yang datanya disajikan pada gambar 5. Dari gambar 5 terlihat bahwa aktivitas mikroorganisme tanah yang mendapat aplikasi abu boiler lebih baik dibandingkan tanah control. Produksi CO2 pada tanah dengan aplikasi abu boiler 5-10 kg/pohon mencapai 18,5 ± 18,8 mg CO2/kg/hari. Namun bila berdasarkan berat C-mikroba, tidak ada pengaruh berarti antara tanah yang mendapat aplikasi abu boiler dengan tanah yang tanpa pemberian abu boiler. Atas dasar analisis tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa aplikasi abu boiler bo iler dapat membantu perbaikan sifat biologis tanah. Penggunaan abu boiler yang mengandung logam berat dikhawatirkan dapat terakumulasi pada media tanah sehingga dapat berakibat pada penurunan kualitas bahkan pencemaran tanah. Hasil analisa logam berat dalam tanah gambut setelah umur 12 bulan ditampilkan pada Tabel 6. Berdasarkan data-data pada table 6 terlihat bahwa kandungan logam berat dalam tanah gambut secara keseluruhan rendah masih dalam batas kisaran yang dijumpai pada tanah normal yaitu untuk Pb = 2 -300 mg/kg, Ca = 0,1 ± 2,0 mg/kg, Cn = 2 ± 250 mg/kg, Cr = 5- 1500 mg/kg, Ni = 2 ± 750 mg/kg dan Zn = 1 ± 900 mg/kg (1). Aplikasi abu boiler yang mengandung logam berat tidak menunjukkan pengaruh berarti terhadap terjadinya akumulasi logam berat dalam tanah. Berarti
aplikasi abu boiler sampai dosis 10 kg/pohon yang diberikan pada awal tanam tidak menyebabkan terjadinya pencemaran logam berat dalam tanah.
c.
KESIMPULAN
d. DAFTAR PUSTAKA