PENGERTIAN DAN TEORI-TEORI ETIKA
Tugas Akhir Etika Bisnis dan Profesi
Dosen Pengampu: Faqiatul Mariya Waharini, S.E., M.Si
Disusun Oleh: Dian Wicaksono Ebieta Ade Noviansary Novia Nur Anggraini Tri Mugiarti
12.0102.0070 15.0102.0006 15.0102.0043 15.0102.0065
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2018
Statement of Authorships “Kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Materi ini belum pernah disajikan sebagai bahan untuk makalah atau tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menggunakannya. Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Mata Kuliah
: Etika Bisnis dan Profesi
Judul Makalah/Tugas
: Pengertian dan Teori-teori Etika
Tanggal
: 09 Februari 2018
Dosen
: - Dosen 1 - Dosen 2
: Farida, S.E., M.Si : Faqiatul Mariya Waharini, S.E., M.Si
Yang Membuat Pernyataan Penulis 1
Penulis 2
Dian Wicaksono 12.0102.0070
Ebieta Ade Noviansary 15.0102.0006
Penulis 3
Penulis 4
Novia Nur Anggraini 15.0102.0043
Tri Mugiarti 15.0102.0065
BAB I PENDAHULUAN
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan di antara para etikawan tentang apakah etika bersifat absolut atau relatif. Para penganut paham etika absolut dengan berbagai argumentasi yang masuk akal meyakini bahwa ada prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak, berlaku universal kapan pun dan di mana pun. Sementara itu, para penganut etika relatif dengan berbagai argumentasi yang juga tampak masuk akal membantah hal ini. Mereka justru mengatakan bahwa tidak ada prinsip atau nilai moral yang berlaku umum. Prinsip atau nilai moral yang ada dalam masyarakat berbeda-beda untuk masyarakat yang berbeda dan untuk situasi yang berbeda pula. Tokoh berpengaruh pendukung paham etika absolut antara lain Immanuel Kant dan James Rachels yang berpendapat bahwa ada pokok teoretis yang umum di mana ada aturan-aturan moral tertentu yang dianut secara bersama-sama oleh semua masyarakat karena aturan-aturan itu penting untuk kelestarian masyarakat. Etika menjadi persoalan yang penting dalam aktivitas bisnis saat ini, bahkan menjadi pusat sorotan bisnis kontemporer. Hal ini dikarenakan aktivitas bisnis menimbulkan banyak perdebatan dan dilema khususnya terkait etika dalam operasional perusahaan. Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan yang melakukan praktik yang tidak etis untuk mencapai tujuannya. Praktik tidak etis yang dilakukan perusahaan antara lain adalah penyalahgunaan penentuan harga terhadap suatu produk atau jasa yang ditawarkan, tidak adanya kesejahteraan dalam organisasi, perlakuan tidak adil terhadap karyawan, tidak etis saat menjalin kerjasama dengan sesama rekan bisnis, tidak adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta berbagai pelanggaran etika lainnya (Haurissa dan Praptiningsih: 2014). Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan kajian etika berkenaan dengan bisnis agar memberi pegangan atau orientasi dalam menjalankan operasional perusahaan. Hasil yang diharapkan adalah dalam praktik operasional perusahaan untuk mencapai tujuannya tidak dengan menghalalkan segala cara. Makalah ini akan membahas beberapa teori yang tentang etika sebagai orientasi oleh pelaku bisnis dalam menjalankan perusahaannya sehingga tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan namun bermanfaat pula bagi masyarakat secara umum.
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsepsi Etika Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang menurut Kerat (1998) adalah adat istiadat atau kebiasaan. Perpanjangan dari adat istiadat membangun suatu aturan kuat di masyarakat, yaitu setiap tindakan mengikuti aturan, dan aturan tersebut membentuk moral masyarakat dalam menghargai adat istiadat yang berlaku. Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Meskipun keduanya terkait dengan baik dan buruknya tindakan manusia, etika dan moral memiliki pengertian yang berbeda. Moral lebih terkait dengan nilai baik dan buruk setiap perubahan manusia, sedangkan etika lebih merupakan ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk tersebut (Hendar Riyadi, 2007: 114 dalam Abdul Aziz: 2013). Etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki setiap dasar norma tersebut, serta mempersoalkan hak dari setiap lembaga. Etika menuntut orang agar bersikap rasional terhadap semua norma sehingga membantu manusia menjadi lebih otonom. Otonomi (kebebasan) manusia tidak terletak dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan tindakan yang sewenangsewenang, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-norma yang diyakininya sendiri sebagai kewajibannya. Etika merupakan pembahasan yang bersifat fungsional mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari segi baik dan buruknya tingkah laku terebut. Etika atau norma dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara hal yang sah dan hal yang tidak sah, hal yang baik dan buruk, serta hal yang salah dan hal yang benar. Etikawan dari Yunani Kuno mengembangkan berbagai pemikiran untuk mendiskusikan berbagai cara untuk menjadikan kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup secara peripurna sesuai dengan tujuan hidup dan cita-citanya. B. PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL Perilaku moral adalah perilaku yang mengikuti kode moral kelompok masyarakat tertentu. Moral dalam hal ini berarti adat kebiasaan atau tradisi. Perilaku tidak bermoral berarti perilaku yang gagal mematuhi harapan kelompok sosial tersebut. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku yang menyimpang dari harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan yang bersangkutan dalam memahami harapan kelompok sosial. Kebanyakan perilaku anak balita dapat digolongkan ke dalam perilaku di luar kesadaran moral (unmoral behavior). Perkembangan moral (moral development) bergantung pada perkembangan intelektual seseorang.
Tingkat (Level) Tingkat I (Praconventional) Usia < 10 tahun
Sublevel 1. Orientasi pada hukuman 2. Orientasi pada hadiah 3. Orientasi anak baik 4. Orientasi otoritas
Ciri Menonjol Mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman Menyesuaikan diri untuk memperoleh hadiah/pujian Tingkat II Menyesuaikan diri untuk menghindari celaan (Conventional) orang lain Usia 10-13 tahun Mematuhi hukum dan peraturan sosial untuk menghindari kecaman dari otoritas dan perasaan bersalah karena tidak melakukan kewajiban Tingkat III 5. Orientasi kontrak Tindakan yang dilaksanakan atas dasar (Postconventional) sosial prinsip yang disepakati bersama masyarakat Usia > 13 tahun demi kehormatan diri 6. Orientasi prinsip Tindakan yang didasarkan atas prinsip etika etika yang diyakini diri sendiri untuk menghindari penghukuman diri Tabel 1. Tahap-tahap Perkembangan Moral Anak Menurut Kohlberg
1. Pra-konvensional Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anakanak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri. Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Tahap kedua, perspektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral. 2. Konvensional Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan
pandangan
dan
harapan
masyarakat.
Tingkat
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. 3. Pasca-konvensional Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individuindividu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional. Individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan
kesejahteraan
sosial
harus
diubah
bila
perlu
demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk banyak orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan
mayoritas,
dan
kompromi.
Dalam
hal
ini,
pemerintahan
yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasarkan pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional.
C. TEORI ETIKA Teori merupakan tulang punggung suatu ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam (dan sosial) yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada, sedangkan teori adalah pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Fungsi teori dan ilmu pengetahuan adalah untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol. Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Sebagai ilmu, etika belum semapan ilmu fisika atau ilmu ekonomi. Berikut ini diuraikan secara garis besar beberapa teori yang berpengaruh. 1. Egoisme Rachel (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme yaitu: egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (selfish). Altruisme adalah suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interst). Jadi yang membedakan tindakan berkutat diri (egoisme psikologis) dengan tindakan untuk kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap orang lain. Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Paham/teori egoisme etis ini menimbulkan banyak dukungan sekaligus kritikan. Alasan yang mendukung teori egoisme etis, antara lain: a. Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. b. Pandangan tentang kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan moralitas sehat. Alasan yang menentang teori egoisme etis antara lain: a. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. b. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. 2. Utilitarianisme Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang berarti bermanfaat. Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut kepentingan orang
banyak
(kepentingan bersama, kepentingan
masyarakat). Dari uraian sebelumnya, paham utilitarianisme dapat diringkas sebagai berikut: a. Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan, atau hasilnya). b. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan. c. Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap paham ini antara lain: a. Sebagaimana
paham
egoisme,
utilitarianisme
juga
hanya
menekankan
tujuan/manfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani (spiritual). b. Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu/minoritas demi keuntungan sebagian besar orang (mayoritas). 3. Deontologi Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Kedua teori egoisme dan utilitarianisme sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut. Bila akibat dari suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologi. Untuk memahami lebih lanjut tentang paham deontologi ini, sebaiknya dipahami terlebih dahulu dua konsep penting yang dikemukakan oleh Kant, yaitu konsep imperative hypothesis dan imperative categories. Imperative hypothesis adalah perintah-perintah (ought) yang bersifat khusus yang harus diikuti jika seseorang mempunyai keinginan yang relevan. Imperative categories adalah kewajiban moral yang mewajibkan kita begitu saja tanpa syarat apa pun. Dengan dasar pemikiran yang sama, dapat dijelaskan bahwa beberapa tindakan seperti membunuh, mencuri, dan beberapa jenis tindakan lainnya dapat dikategorikan sebagai imperative categories, atau keharusan/kewajiban moral yang bersifat universal dan mutlak. Teori ini memiliki keyakinan bahwa sesuatu yang baik berakar dari keberhasilan manusia dalam mengerjakan tugas atau kewajibannya. Teori ini diketahui juga bertentangan dengan teori Teleological yang mengganggap bahwa
semua hal di dunia diciptakan Tuhan untuk melayani umat manusia. Teori deontologi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: a. Rational monism Teori ini dibuat oleh Immanuel Kant yang menyakini bahwa suatu tindakan dianggap bermoral jika dilakukan dengan sense of duty (rasa tanggung jawab). Tugas atau kewajiban individu adalah melakukan sesuatu yang rasional dan bermoral, sehingga semua tindakan yang berasal dari keinginan Tuhan dianggap bermoral. Untuk membedakan tindakan bermoral dan tidak bermoral, maka perlu diajarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Ukuran yang digunakan adalah hati nurani individu yang bersangkutan. b. Traditional deontology Teori ini memiliki dasar religi yang kuat, yaitu menyakini Tuhan dan kesucian hidup. Tugas dan kewajiban moral berpedoman pada perintah Tuhan. Semua tindakan yang harus dilakukan harus berdasarkan perintah Tuhan. c. Intuitionistic pluralis Teori ini tidak memiliki prinsip utama, hanya menyatakan bahwa ada beberapa aturan moral atau kewajiban yang harus diikuti oleh semua manusia. Aturan dan kewajiban tersebut sama pentingnya sehingga sering muncul konflik satu aturan dengan aturan lainnya. Tujuh kewajiban utama yang harus dilakukan manusia : 1) Kewajiban akan kebenaran, kepatuhan, ketaatan, menjaga rahasia, setia, dan tidak berbohong. 2) Kewajiban untuk berderma, murah hati, dan membantu orang lain. 3) Tidak merugikan orang lain. 4) Menjunjung tinggi keadilan. 5) Wajib memperbaiki kesalahan yang ada 6) Wajib bersyukur, membalas budi kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita (khususnya orang tua). 7) Kewajiban untuk mengembangkan kemampuan diri Dewi (2016) menyebutkan bahwa unsur utama yang terkandung dalam etika deontologi adalah sebagai berikut: a. Kemurahan Hati Inti dari prinsip kemurahan hati adalah tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan orang lain dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain. Dapat diimplementasikan oleh karyawan dengan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, bersikap sopan terhadap klien atau
pihak luar, serta bekerja sesuai standar yang telah ditentukan perusahaan dan bekerja maksimal untuk mencapai tujuan yang baik. b. Keadilan Prinsip keadilan menyatakan bahwa mereka yang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tida sederajat diperlakukan tidak sederajat sesuai dengan kebutuhan mereka. Misal dengan memperlakukan setiap karyawan dengan sama, pemberian kompensasi yang sesuai dengan tingkat kerja karyawan, serta menempatkan karyawan pada posisi kerja yang sesuai dengan kemampuannya. c. Otonomi Prinsip
otonomi
menyatakan
bahwa
setiap
individu
mempunyai
kebebasan menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka
pilih.
Perusahaan
dapat
memfasilitasi
karyawannya
untuk
mengembangkan karirnya sesuai dengan prosedur yang ditetapkan perusahaan. d. Kejujuran Prinsip kejujuran dapat
diartikan sebagai menyatakan hal yang
sebenarnya dan tidak berbohong. Kejujuran merupakan dasar timbulnya saling percaya antar karyawan di organisasi. Penyelesaian sebuah proyek perusahaan dengan baik oleh karyawan merupakan salah satu bentuk implementasi prinsip kejujuran. e. Ketaatan Prinsip ketaatan diartikan sebagai tanggung jawab untuk setia pada suatu kesepakatan. Dapat dinilai berdasarkan ketaatan terhadap peraturan perusahaan, ketaatan terhadap perjanjian, ketaatan terhadap prosedur kerja dan atasan perusahaan. 4. Teori Hak Menurut teori hak, suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM). Namun sebagaimana dikatakan oleh Bertens (2000), teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber otoritas, yaitu: hak hukum (legal right), hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), dan hak kontraktual (contractual right). Hak legal adalah hak yang didasarkan atas sistem atau yuridiksi hukum suatu negara, di mana sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan. Hak moral dihubungkan dengan pribadi manusia secara individu, atau dalam beberapa kasus dihubungkan dengan kelompok—bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak kontraktual
mengikat individu-individu yang membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing pihak. Indonesia juga telah mempunyai Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak warga negara yang diatur dalam UU ini, antara lain: a. Hak untuk hidup b. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan c. Hak untuk memperoleh keadilan d. Hak untuk kebebasan pribadi e. Hak atas rasa aman f.
Hak atas kesejahteraan
g. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan h. Hak wanita i.
Hak anak
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory) Teori keutamaan tidak menyatakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis. Bila ini ditanyakan pada penganut paham egoisme, maka jawabannya adalah: suatu tindakan disebut etis bila mampu memenuhi kepentingan individu (self-interest) dan suatu tindakan disebut tidak etis bila tidak mampu memenuhi
kepentingan
individu
yang
bersangkutan.
Teori
ini
tidak
lagi
memepertanyakan suatu tidakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai sifatsifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Sebenarnya, teori keutamaan bukan merupakan teori yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori etika tindakan (deontologi, teleologi) karena sifat keutamaan bersumber dari tindakan yang berulang-ulang. 6. Teori Etika Teonom Sebenarnya setiap agama mempunyai filsafat etika yang hampir sama. Salah satunya adalah teori etika teonom yang dilandasi oleh filsafat Kristen. Teori ini mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan-aturan/perintah Allah sebagaimana telah dituangkan dalam kitab suci. Ada empat persamaan fundamental filsafat etika semua agama, yaitu: a. Semua agama mengakui bahwa umat manusia memiliki tujuan tertingggi selain tujuan hidup di dunia.
b. Semua agama mengakui adanya Tuhan dan semua agama mengakui adanya kekuatan tak terbatas yang mengatur alam raya ini. c. Etika bukan saja diperlukan untuk mengatur perilaku hidup manusia di dunia, tetapi juga sebagai salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir (tujuan tertinggi) umat manusia. d. Semua agama mempunyai ajaran moral (etika) yang bersumber dari kitab suci masing-masing. Terlepas dari apakah manusia mengakui atau tidak mengakui adanya Tuhan, setiap manusia telah diberikan Tuhan potensi kecerdasan tak terbatas (kecerdasan hati nurani, intuisi, kecerdasan spiritual, atau apa pun sebutan lainnya) yang melampaui kecerdasan rasional. Tujuan tertinggi umat manusia hanya dapat dicapai bila potensi kecerdasan tak terbatas ini dimanfaatkan. D. Prinsip-prinsip Etika Menurut Keraf (1998), prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis adalah prinsip otonomi, prinsip kejujuran, prinsip keadilan, prinsip saling menguntungkan, dan prinsip integritas moral. Sonny Keraf (1998) menjelaskan bahwa prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut : 1. Prinsip Otonomi; yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. 2. Prinsip Kejujuran; terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. 3. Prinsip Keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai criteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan. 4. Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principle); menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. 5. Prinsip Integritas Moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau orang-orangnya maupun perusahaannya. Di samping 5 prinsip diatas, dalam menciptakan etika bisnis ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1. Pengendalian diri 2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility) 3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi 4. Menciptakan persaingan yang sehat 5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan” 6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) 7. Mampu menyatakan yang benar itu benar 8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah 9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama 10. Kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati 11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif yang berupa peraturan perundang-undangan Penerapan etika bisnis sangat penting terutama dalam menghadapi era pasar bebas dimana perusahaan-perusahaan harus dapat bersaing berhadapan dengan kekuatan perusahaan asing. Perusahaan asing ini biasanya memiliki kekuatan yang lebih terutama mengenai bidang sumber daya manusia, manajemen, modal dan teknologi. E. ETIKA ABAD KE-20 1. Arti Kata “Baik” Menurut George Edward Moore Kata baik adalah kunci dari moralitas, namun Moore merasa heran tidak satu pun etikawan yang berbicara kata baik tersebut, seakan-akan hal itu sudah jelas dengan sendirinya. Ada yang menafsirkan kata baik sebagai nikmat (kaum hedonis), memenuhi
keinginan
individu
(etika
egoisme,
etika
psikologis),
memenuhi
kepentingan orang banyak (etika utilitarianisme), memenuhi kehendak Allah (etika teonom), dan bahkan ada yang mengatakan kata baik tidak mempunyai arti. Suatu kata tidak dapat didefinisikan jika kata tersebut tidak lagi terdiri atas bagian-bagian sehingga tidak dapat dianalisis. Berdasarkan penjelasan ini, menurut Moore kata baik tidak dapat didefinisikan. Setiap usaha untuk mendefinisikannya akan selalu menimbulkan kerancuan. 2. Tatanan Nilai Max Scheller Scheller sebenarnya membantah anggapan teori imperative category Immanuel Kant yang mengatakan bahwa hakikat moralitas terdiri atas kehendak untuk memenuhi kewajiban karena kewajiban itu sendiri. Manusia wajib memenuhi sesuatu untuk mencapai sesuatu yang baik, dan yang baik itu adalah nilai. Jadi, inti
dari tindakan moral adalah tujuan merealisasi nilai-nilai dan bukan asal memenuhi kewajiban saja. Nilai-nilai bersifat material dan apriori. Material di sini bukan dalam arti ada kaitan dengan materi, tetapi sebagai lawan dari kata formal. Menurut Schaller, ada empat gugus nilai yang masing-masing mandiri dan berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu: (1) nilai-nilai sekitar enak atau tidak enak, (2) nilai-nilai vital, (3) nilai-nilai rohani murni, dan (4) nilai-nilai sekitar roh kudus. 3. Etika Situasi Joseph Fletcher Joseph Fletcher termasuk tokoh yang menentang adanya prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak. Ia berpendapat bahwa setiap kewajiban moral selalu bergantung pada situasi konkret. Sesuatu ketika berada dalam situasi tertentu bisa jadi baik dan tepat, tetapi ketika berada dalam situasi yang lain bisa jadi jelek dan salah. 4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch Iris
Murdoch
mengamati
bahwa
teori-teori
etika
pasca-Kant
yang
memusatkan perhatiannya kepada kehendak bebas tidak mengenai sasaran. Menurut Murdoch, yang khas dari teori-teori etika paasca-Kant adalah bahwa nilainilai moral dibuang dari dunia nyata. Teori Murdoch menyatakan bahwa bukan kemampuan otonom yang menciptakan nilai, melainkan kemampuan untuk melihat dengan penuh kasih dan adil. Hanya pandangan yang adil dan penuh kasih yang menghasilkan pengertian yang betul-betul benar. 5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederic Skinner Skinner mengatakan bahwa pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia tidak memadai sehingga yang diperlukan bukanlah ilmu etika, tetapi sebuah teknologi kelakuan. Ia mengacu pada ilmu kelakuan sederhana yang dikembangkan oleh Pavlov. Ide dasar Skinner adalah menemukan teknologi/cara untuk mengubah perilaku. Apabila kita dapat merekayasa kondisi-kondisi kehidupan seseorang, maka kita dapat merekayasa kelakuannya. 6. Prinsip Tanggung Jawab Hans Jonas Etika tradisional hanya memperhatikan akibat tindakan manusia dalam lingkungan dekat dan sesat. Etika macam ini tidak dapat lagi menghadapi ancaman global kehidupan manusia dan semua kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Jonas menekankan pentingnya dirancang etika baru yang berfokus pada tanggung jawab. Intinya adalah kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas ketuhanan kondisikondisi kehidupan umat manusia di masa depan. 7. Kegagalan Etika Pencerahan Alasdair Maclntyre Maclntyre mengatakan bahwa etika pencerahan telah gagal karena pencerahan atas nama rasionalitas justru telah membuang apa yang menjadi dasar
rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu pandangan teleologis tentang manusia. Yang dimaksud oleh Maclntyre adalah pandangan dari Aristoteles sampai dengan pandangan Thomas Aquinas bahwa manusia sebenarnya mempunyai tujuan hakiki (telos) dan bahwa manusia hidup untuk mencapai tujuan itu. 8. Etika Islami Perbedaan etika bisnis islami dengan etika bisnis konvensional yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Etika bisnis islami memiliki dua cakupan, yaitu: a. Cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yan manusiawi dan tidak disriminatif serta pendidikan berkelanjutan. b. Cakupan eksternal meliputi aspek transparansi, akuntabilitas, kejujuran, dan tanggung
jawab.
memperhatikan
Cakupan
aspek
ini
lingkungan
termasuk dan
kesediaan
masyarakat
perusahaan sebagai
untuk
stakeholder
perusahaan. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktik culas seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain sebagainya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
F. TEORI ETIKA DAN PARADIGMA HAKIKAT MANUSIA Paradigma No.
Teori
Penalaran Teori
1
Egoisme
Tujuan dari tindakan
2
Utilitarianisme
Tujuan dari tindakan
3
DeontologiKant
Tindakan itu sendiri
4
Teori Hak
5
Teori Keutamaan
Tingkat kepatuhan terhadap HAM Disposisi karakter
Kriteria Etis
Tujuan Hidup
Memenuhi kepentingan pribadi Memberi manfaat/ kegunaan bagi banyak orang Kewajiban mutlak setiap orang Aturan tentang hak asasi manusia (HAM)
Kenikmatan duniawi secara individu Kesejahteraan duniawi masyarakat
Karakter positifnegatif individu
Kebahagiaan duniawi dan mental
Demi kewajiban itu sendiri Demi martabat kemanusiaan
Hakikat Manusia dan Kecerdasan Hakikat tidak utuh (PQ, IQ) Hakikat tidak utuh (PQ, IQ, EQ) Hakikat tidak utuh (IQ, EQ) Hakikat tidak utuh (IQ) Hakikat tidak utuh (IQ, EQ)
6
Teori Teonom
Disposisi karakter dan tingkat keimanan
Karakter mulia dan mematuhi kitab suci agama masing-masing individu dan masyarakat
(psikologis) Kebahagiaan rohani (surgawi, akhirat, moksa, nirmala), mental, dan duniawi
Hakikat utuh (PQ, IQ, EQ, SQ)
Tabel 2 Teori Etika dan Hubungannya dengan Paradigma Hakikat Manusia dan Kecerdasan
Ilmu etika ke depan hendaknya didasarkan atas paradigma manusia utuh, yaitu suatu pola pikir yang mengutamakan integritas dan keseimbangan pada: 1. Pertumbuhan PQ, IQ, EQ, dan SQ. 2. Kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan Tuhan. 3. Keseimbangan tujuan lahiriah (duniawi) dengan tujuan rohaniah (spiritual). Dari uraian mengenai cara membangun manusia utuh yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya semua teori etika yang pada awal kemunculannya bagaikan potongan-potongan terpisah dan berdiri sendiri, ternyata dapat dipadukan karena sifatnya yang saling melengkapi. Inti dari hakikat manusia utuh adalah keseimbangan, yang bisa diringkas sebagai berikut: 1. Keseimbangan antara hak (teori hak) dan kewajiban (teori deontologi). 2. Keseimbangan tujuan duniawi (teori teleologi) dan rohani (teori teonom). 3. Keseimbangan antara kepentingan individu (teori egoisme) dan kepentingan masyarakat (teori utilitarianisme). 4. Gabungan ketiga butir di atas akan menentukan karakter seseorang (teori keutamaan). 5. Hidup adalah suatu proses evolusi kesadaran. G. Peran Etika dalam Kegiatan Bisnis Berikut ini adalah beberapa peran etika dalam kegiatan bisnis (Haurissa dan Praptiningsih: 2014): 2. Etika harus menjadi pedoman dalam kegiatan masyarakat, dan seharusnya juga menjadi pedoman bagi pebisnis. 3. Etika berperan sebagai penghubung pelaku bisnis. Pelayanan purna jual merupakan refleksi nilai atau etika yang diterapkan perusahaan untuk menjaga loyalitas konsumennya. 4. Etika juga berperan sebagai syarat utama untuk kelangsungan hidup perusahaan. Loyalitas konsumen dapat membantu perusahaan agar tetap bisa bertahan. 5. Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari perumusan etika yang akan digunakan sebagai norma perilaku sebelum aturan (hukum) perilaku
dibuat dan dilaksanakan, atau aturan (norma) etika tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan hukum. 6. Sebagai kontrol terhadap individu. Pelaku dalam bisnis melalui penerapan kebiasaan atau budaya moral atas pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dalam prinsip moral sebagai inti kekuatan suatu perusahaan dengan mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab, disiplin, berperilaku tanpa diskriminasi.
BAB III PENUTUP
Etika sebagai disiplin ilmu, berhubungan dengan kajian secara kritis tentang adat kebiasaan, nilai-nilai dan norma-norma dan perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Sebagai ilmu, etika belum semapan ilmu fisika atau ilmu ekonomi. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau prespektive yang berlainan. Berbagai teori etika yang muncul antara lain karena adanya perbedaan prespektif dan penafsiran tentang apa yang menjadi tujuan akhir hidup umat manusia, seperti teori egoisme, utilitarianisme, deontologi, teori hak, teori keutamaan,dan teori etika teonom. Disamping itu, sifat teori dalam ilmu etika masih lebih banyak untuk menjelaskan sesuatu, belum sampai pada tahap untuk meramalkan, apalagi untuk mengontrol suatu tindakan atau perilaku. Perkembangan ilmu etika menjadi salah kaprah karena hanya dilandasi oleh hakikat manusia utuh yaitu suatu paradigma tentang hakikat manusia yang hanya mengandalkan kekuatan pikiran untuk mencari kebenaran, mengejar makna hidup duniawi, dan melupakan potensi kekuatan spiritual, kekuatan tak terbatas, kekuatan Tuhan dalam diri manusia tersebut. Semua teori etika yang pada awal kemunculanya bagaikan potongan-potongan terpisah dan berdiri sendiri, ternyata dapat dipadukan karena sifatnya yang saling melengkapi. Etika absolut dapat didefinisikan sebagai paham etika yang menekankan bahwa prinsip moral itu universal, berlaku untuk siapa saja, dan di mana saja, tidak ada tawar menawar dalam prinsip ini, juga tidak tergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip moral dapat berubah sewaktu-waktu. Sedangkan etika relatif mengungkapkan bahwa tidak ada prinsip atau nilai moral yang berlaku umum. Hakikat manusia utuh adalah keseimbangan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan tujuan duniawi dan rohani, keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, serta shidup adalah suatu proses evolusi kesadaran.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2014. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba Empat. Aziz, Abdul. 2013. Etika Bisnis Perspektif Islam. Bandung: Alfabeta. Dewi, Chatrina Sari. 2016. Analisis Penerapan Etika Deontologi Terkait Ketenagakerjaan pada PT Trisakti Cipta Nusantara Di Surabaya-Jawa Timur. AGORA. Vol. 4, No. 2, (2016): 294-303. Haurissa, Lina Juliana dan Maria Praptiningsih. 2014. Analisis Penerapan Etika Bisnis pada PT Maju Jaya di Pare-Jawa Timur. AGORA. Vol. 2, No. 2, (2014). Keraf, Sonny. 2012. Etika Bisnis: Tuntutan da Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius. Sroka, Wlodzimierz dan Marketa Lorinczy. 2015. The Perception of Ethics in Business: Analysis of Research Results. Procedia Economics and Finance. 34 (2015): 156163. Tabarcea, Andrei. 2015. The Deontological Hero. Procedia Economics and Finance. 23 (2015): 1296-1301.