LAPORAN PENELITIAN
PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN DENGAN MICROWAVE TERHADAP PRODUKSI BIOGAS
DARI JERAMI PADI
Oleh :
Indar Nur Purwayuga NIM. 21030111130140
Rudy Christianto NIM. 21030111130143
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
Halaman Pengesahan
Laporan Penelitian
Nama / NIM : Indar Nur Purwayuga NIM.
21030111130140
Nama / NIM : Rudy Christianto NIM. 21030111130143
Judul : "PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN DENGAN MICROWAVE
TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI JERAMI PADI"
"Semarang, April 2015 "
"Telah menyetujui, "
"Dosen Pembimbing "
" "
" "
" "
"Dr. Ir. Budiyono, M.Si. "
"NIP. 1966 0220 1991 02 "
"1001 "
RINGKASAN
Biogas adalah gas yang dihasilkan secara mikrobiologi dari limbah
organik. Jerami merupakan biomassa yang mengandung selulosa, hemiselulosa,
dan lignin yang sulit dipisahkan sehingga membutuhkan perlakuan khusus.
Dengan metode irradiasi microwave oven ini, struktur ikatan lignin akan
terurai akibat perlakuan pre-treatment sehingga struktur selulosa akan
lebih mudah ditembus oleh perlakuan biologis pada proses hidrolisis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan waktu microwave
terhadap biomassa jerami sebagai bahan baku pembuatan biogas.
Penelitian ini memiliki beberapa tahapan. Pertama, jerami dihancurkan
sehingga ukurannya mengecil. Jerami kemudian dimasukan kedalam microwave
oven, dengan daya 300, 450, dan 600 watt dan waktu 3, 4, dan 5 menit,
dengan distribusi suhu dan waktu tertentu. Setelah jerami melewati tahap
perlakuan pendahuluan, kemudian jerami memasuki tahap pembuatan biogas
dengan tabung fermentor. Analisa yang dilakukan berupa analisa kadar
selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Untuk analisa biogas diukur volume
biogas yang terbentuk.
SUMMARY
Biogas is gas produced from microbial activity in organic waste. Rice
straw is biomass containing cellulose, hemicellulose, and lignin that are
insoluble and thus required a special pretreatment. Microwave pretreatment
break down lignin structure so that celullose is more soluble after
pretreatment process. This study aimed to determine the effect of
temperature and time on the straw biomass as a raw material for biogas
production.
There are several stages in this study. First, the straw is pulverized
and sieved using 100 mesh screen. Straw that have been screened is then
inserted into a microwave oven under different temperatures of 200, 250,
and 300 °C for 30, 40, and 50 minutes consecutively. After pretreatment,
biogas will be produced using fermenter tube. Concentrations of cellulose,
hemicellulose, and lignin of the biogas will be determined. The volume of
biogas formed will also be measured.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Penelitian dengan judul "PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN DENGAN
MICROWAVE TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI JERAMI".
Dalam kesempatan ini penulis mengakui sepenuhnya bahwa tidaklah
mungkin menyelesaikan laporan penelitian ini tanpa doa, bantuan dan
dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dosen Pembimbing Dr. Ir. Budiono, M.Si yang telah berkenan
membimbing serta mengarahkan kami dalam penyusunan laporan
penelitian.
2. Bapak Dr. Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.T. sebagai koordinator dosen
pembimbing penelitian.
3. Kedua orangtua atas doa, kesabaran, limpahan kasih sayang,
dukungan, dan pengorbanan yang telah diberikan.
4. Teman-teman serta pihak-pihak yang mendukung penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak yang berkaitan dengan laporan ini yang bersifat
membangun demi kesempurnaan penyusunan laporan dimasa yang akan datang.
Semoga penelitian ini kelak dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
Ringkasan iii
Summary iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi vi
Daftar Gambar viii
Daftar Tabel ix
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Jerami 6
2.1.1 Potensi Limbah Jerami di Indonesia 7
2.1.2 Pemanfaatan Jerami secara Konvensional di Indonesia
8
2.2 Biogas 9
2.2.1 Jerami Sebagai Bahan Dasar Biogas 9
2.3 Fermentasi Anaerobik 10
2.3.1 Substrat untuk Fermentasi Anaerobik 10
2.3.2 Proses biokimia fermentasi anaerobik 11
2.3.3 Faktor faktor yang mempengaruhi Fermentasi Anaerobik
13
2.3.4 Mekanisme pre-treatment pada fermentasi anaerobik
17
2.4 Keuntungan Penerapan Teknologi Biogas 20
2.4.1 Energi Terbarukan 20
2.4.2 Mengurangi ketergantungan import bahan bakar 21
2.4.3 Penanganan Limbah 21
2.5 Hasil Hasil Penelitian Terdahulu 22
BAB III METODE PENELITIAN 24
3.1 Rancangan Penelitian 24
3.1.1 Penetapan Variabel 25
3.1.2 Bahan baku 25
3.1.3 Alat 25
3.1.4 Gambar Alat 26
3.2 Prosedur Kerja 26
3.3 Analisa Hasil 26
3.4 Jadwal Pelaksanaan 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 29
4.1 Pengaruh Perlakuan Pendahuluan terhadap Produksi Biogas 29
4.2 Pengaruh Waktu Perlakuan Pendahuluan terhadap Produksi Biogas 31
4.3 Pengaruh Daya Microwave Oven terhadap Produksi Biogas 34
4.4 Pengaruh Kadar Lignoselulosa terhadap Produksi Biogas 37
4.5 Pengaruh Radiasi Sinar Microwave terhadap Kadar Lignoselulosa Bahan
39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 42
5.1 Kesimpulan 42
5.2 Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perbandingan beberapa jenis bahan substrat 11
Gambar 2.2 Proses Fermentasi Anaerobik 12
Gambar 2.3 Hubungan Suhu, Waktu fermentasi dan yield metana
yang dihasilkan 15
Gambar 2.4 Hasil visual Atomic Force Microscope terhadap
substrat (a) pre-treatment dengan pemanasan konvensional (b) pre-
treatment dengan microwave 20
Gambar 3.1 Flow sheet sederhana perlakuan pendahuluan
microwave oven terhadap jerami. 24
Gambar 3.2 Alat-alat yang digunakan untuk perlakuan
pendahuluan jerami. 26
Gambar 4.1 Akumulasi Volume Biogas selama 14 Hari 30
Gambar 4.2 Akumulasi Produksi Biogas pada Pretreatment 300 watt 32
Gambar 4.2 Akumulasi Produksi Biogas pada Pretreatment 450 watt 33
Gambar 4.3 Akumulasi Produksi Biogas pada Pretreatment 600 watt 33
Gambar 4.4 Akumulasi Produksi Biogas pada Pretreatment 3 menit 35
Gambar 4.5 Akumulasi Produksi Biogas pada Pretreatment 4 menit 36
Gambar 4.6 Akumulasi Produksi Biogas pada Pretreatment 5 menit 36
Gambar 4.8 Kadar Se8lulosa, Hemiselulosa, dan Lignin, dan Biogas yang
dihasilkan pada Tiap Variabel 40
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik Jerami untuk Penggunaannya dalam Fermentasi 6
Tabel 2.2 Perbandingan varietas padi terhadap nisbah gabah/jerami yang
dihasilkan 7
Tabel 2.3 Perbandingan berbagai jenis feedstock terhadap potensinya untuk
biogas 14
Tabel 2.4 Solubilisasi pada Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin Setelah Pre-
treatment 19
Tabel 3.1 Distribusi variabel waktu dan suhu tanpa penambahan aquadest
25
Tabel 3.2 Jadwal pelaksanaan penelitian 28
Tabel 4.1 Hasil Produksi Biogas Tiap Hari 29
Tabel 4.2 Kandungan Lognoselulosa pada bahan Jerami 38
BAB I
PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Jerami adalah hasil samping usaha pertanian berupa tangkai
dan batang tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-
bijianya (padi) dipisahkan. Di Indonesia sendiri jerami telah
dimanfaatkan untuk pupuk organik, atap rumah sederhana, pakan
ternak, dan media tanam jamur. Namun pemanfaatan tersebut masih
dalam jumlah terbatas dan sebagiannya hanya pada wilayah tertentu
di Indonesia. Umumnya limbah pertanian ini dibakar untuk
mempercepat persiapan lahan, namun perlakuan ini akan berdampak
buruk pada lingkungan (menyebabkan kenaikan konsentrasi CO2, CO,
dan COx (gas rumah kaca)) dan juga pada manusia berupa gangguan
pernapasan akibat asap yang ditimbulkan (Makarim et al., 2007).
Meningkatnya kebutuhan dan harga jual bahan bakar akhir-
akhir ini, serta semakin berkurangnya sumber bahan bakar minyak dan
gas, mendorong manusia untuk mencari sumber lain. Salah satu
alternatif untuk memecahkan kedua masalah tersebut di atas adalah
pemanfaatan sumber daya yang selama ini belum dikelola secara
maksimum di dalam sistem pertanian yaitu pemanfaatan energi
terbarukan (Haryati, 2006). Di Indonesia produksi padi sendiri
mencapai 50-70 juta ton per-tahunnya, hal ini membuat Indonesia
sangat berpeluang untuk mengoptimalisasikan potensi dari jerami
tersebut. Salah satu potensi jerami tersebut yaitu untuk bahan baku
pembuatan biogas.
Jerami padi mengandung kurang lebih 40% selulosa 30%
hemiselulosa dan 15% lignin. Kedua bahan polisakarida ini dapat
dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana. Hasil hidrolisis
tersebut selanjutnya dapat difermentasi menjadi etanol atau metana.
Namun karena fermentasi biomassa untuk menghasilkan bioetanol
relatif lebih kompleks dan belum ada metode pra-perlakuan yang
efektif maka penggunaan biomassa sebagai sumber biogas (metana),
merupakan pilihan yang lebih strategis. Jerami selama ini belum
dimanfaatkan secara optimum dan berpotensi untuk dikonversi menjadi
biogas. Nilai konversi jerami menjadi biogas mencapai 250-350/kg
berat kering (Arati, 2009).
Biogas adalah gas yang dihasilkan secara mikrobiologi dari
limbah organik (Khorshidi & Arikan, 2007). Biogas merupakan sumber
energi terbarukan yang mampu menyumbangkan andil dalam usaha
memenuhi kebutuhan bahan bakar. Biogas terdiri dari campuran metana
CH4 (55-74%), CO2 (25-50%), H2O (1-5%), H2S (0-0,5%), N2 (0-5%) dan
NH3 (0-0,05%) (Deublein & Steinhauser, 2008). Dekompisisi bahan
organik yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin
berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu perlu adanya perlakuan
pendahuluan untuk jerami.
Pre-treatment, atau perlakuan pendahuluan dalam hal ini
merupakan proses yang membuat biomassa lebih terhidrolisa dari
keadaan awalnya yang tahan terhadap hidrolisa. Ada banyak teknologi
pre-treatment, seperti perawatan termal, biokimia, mekanik dan
enzimatik (Estevez et al., 2012). Dalam termal pre-treatment panas
di transfer langsung ke dalam material secara konveksi, konduksi
ataupun radiasi menggunakan pemanas konvensional, atau pemanasan
langsung ke material yang ingin di panaskan melalui interaksi
molekul dengan medan elektromagnetik menggunakan energi gelombang
mikro. Energi elektromagnetik dari radiasi gelombang mikro diubah
menjadi energi panas. Teknik ini menggunakan alat yang disebut
microwave oven.
Bahan baku biogas dapat berasal dari biomassa
lignoselulosa, yang tersusun atas tiga komponen utama yaitu
selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Jerami merupakan biomassa yang
mengandung selulosa, hemiselulosa ,dan lignin yang sulit untuk
dipisahkan, sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Selulosa dalam
bahan lignoselulosa merupakan sumber karbon organik, sehingga bahan
tersebut dapat menjadi bahan baku potensial untuk pembuatan biogas.
Selulosa terdiri dari 2 tipe, yaitu kristalin dan amorf. Untuk
meningkatkan degradasi lignoselulosa, bagian kristal ini perlu
dikurangi. Sedangkan, lignin berfungsi memberi struktur pada
tanaman dan melindungi tanaman dari degradasi, terutama degradasi
biologis. Struktur lignin yang kompleks menyebabkan komponen ini
susah diuraikan dan dapat menghalangi proses hidrolisis selulosa,
sehingga akan menurunkan yield biogas (Rahayu et al., 2012). Dengan
metode iradiasi microwave oven ini struktur ikatan lignin akan
terurai akibat perlakuan pre-treatment sedangkan hemiselulosa dan
selulosa akan terlarut dalam air sehingga struktur selulosa akan
lebih mudah ditembus oleh perlakuan biologis (enzimatik) pada
proses hidrolisis (Pérez et al., 2008).
2 Perumusan Masalah
Gelombang mikro adalah gelombang elektromagnetik dengan
frekuensi yang sangat tinggi ,yaitu di atas 3GHz(3x109Hz)
(Wikipedia, 2013). Dalam hal ini, gelombang mikro akan dimanfaatkan
untuk pemanasan dengan alat microwave oven. Microwave oven adalah
sebuah alat yang menggunakan radiasi gelombang mikro untuk memasak
atau memanaskan makanan. Microwave oven bekerja dengan memancarkan
radiasi gelombang mikro, biasanya pada frekuensi 2.450 MHz dengan
panjang gelombang 12,24cm, yang menembus langsung ke bahan yang
dipanaskan. Molekul air, lemak, gula ataupun molekul lainya dalam
makanan atau bahan lain akan menyerap energi dari gelombang mikro
tersebut.
Teknik microwave memiliki banyak potensi keuntungan, karena
dapat menembus bahan, energi deposito dan menghasilkan panas di
seluruh volume material. Penggunaan energi microwave mengurangi
waktu pemanasan bahan, karena pemanasan menggunakan microwave ini
lebih cepat dari pemanasan biasa. Potensi keuntungan tidak hanya
mencakup pemanasan seragam material dan mengurangi waktu proses
tetapi juga meningkatkan efisiensi energi, pemanasan dengan cepat
dan dapat dikendalikan serta kontrol yang baik atas proses
pemanasan.
Irradiasi microwave dapat menyebabkan satu atau lebih
perubahan fitur dari biomassa selulosa, termasuk peningkatan luas
permukaan spesifik, penurunan polimerisasi dan kristalinitas
selulosa, hidrolisis oligomer yang terlarut oleh hemiselulosa dan
lignin depolimerisasi parsial (Odhner, 2012). Hal ini dapat membuat
substrat lebih mudah diakses oleh enzim karena peningkatan
ketersediaan permukaan kontak dan penurunan struktur kristalnya.
Disamping itu, pre-treatment termal menggunakan radiasi gelombang
mikro dapat menjadi metode yang baik untuk pre-treatment biomassa,
karena dapat merusak struktur yang kompleks dan kaku dari biomassa
yang membuatnya tahan terhadap tekanan mekanik dan serangan
enzimatik.
Jerami merupakan biomassa yang mengandung selulosa,
hemiselulosa ,dan lignin yang sulit untuk dipisahkan, sehingga
membutuhkan perlakuan khusus. Pre-treatment dengan menggunakan
radiasi gelombang mikro ini yang akan membantu jerami agar lebih
mudah diberikan perlakuan lebih lanjut untuk dijadikan sebagai
bahan dasar biogas. Ferreira et al (2013),menunjukkan bahwa
solubilisasi bahan organik partikulat dipengaruhi oleh perlakuan
pendahuluan termal dengan variabel suhu dan waktu. De Wild, Reith
dan Heeres (2011) menekankan bahwa selama iradiasi biomassa dengan
microwave oven, uap air akan hilang karena suhu naik dari suhu
ambien untuk 100oC. Dinesh et al (2006), menunjukan bahwa degradasi
dari biomassa untuk menguraikan komponen-komponennya telah
menunjukkan bahwa pirolisis hemiselulosa hilang pada suhu berkisar
130-194oC. Demirbas (2004) menunjukkan bahwa pirolisis
hemiselulosa, selulosa dan lignin rusak pada temperatur berkisar
197-257 0C, 237-347 0C dan 277-497 0C, masing-masing. Medic, Darr,
Shah, Potter dan Zimmerman (2012), menunjukan bahwa sejumlah besar
hemiselulosa dan selulosa hancur ketika biomassa dikeringkan dan
dipanaskan pada suhu 290 0C. Sapci (2013) menyatakan bahwa pre-
treatment biomassa termal dengan suhu 300oC mendapatkan konversi
yang lebih baik daripada suhu 200oC.
Masalah utamanya adalah berapa suhu serta waktu optimal yang
dibutuhkan jerami untuk di radiasi dengan microwave oven untuk
mendapatkan yield biogas yang tinggi, serta bagaimana pengaruh
kandungan jerami yang di tambahkan aquadest dan tanpa penambahan
aquadest.
3 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji pengaruh pemanasan dengan radiasi microwave oven
terhadap produksi biogas yang dihasilkan dari bahan jerami
2. Mengkaji pengaruh daya microwave oven terhadap perlakuan
pendahuluan biomassa jerami, sebagai bahan baku pembuatan
biogas.
3. Mengkaji pengaruh waktu pemanasan dengan radiasi microwave oven
terhadap perlakuan pendahuluan biomassa jerami,sebagai bahan
baku pembuatan biogas
4. Mengkaji pengaruh pemanasan dengan radiasi microwave oven
terhadap kandungan lignoselulosa pada bahan jerami
4 Manfaat Penelitian
1. Mengetahui pengaruh suhu radiasi microwave oven terhadap
biomassa jerami.
2. Mengetahui pengaruh waktu pemanasan dengan radiasi microwave
oven terhadap biomassa jerami.
3. Mengetahui perbedaan jerami dengan jerami yang di tambahkan
aquadest untuk perlakuan pendahuluan radiasi microwave oven.
4. Menambah nilai guna limbah jerami yang memiliki kandungan untuk
dijadikan sebagai sumber energi biogas.
5. Masyarakat dapat mengetahui pembuatan biogas dari jerami.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1 Jerami
Jerami merupakan hasil samping pertanian yang berupa batang
padi sisa proses penggilingan padi untuk diambil berasnya. Produksi
beras yang sangat besar di Indonesia yang mencapai mengakibatkan
melimpahnya produk samping berupa jerami. Masyarakat Indonesia
secara luas belum dapat memanfaatkan jerami. Kebanyakan, produk
samping hasil sisa pertanian ini dimusnahkan dengan cara dibakar,
ataupun hanya sebagai pakan ternak.
Tabel 2.1 Karakteristik Jerami untuk Penggunaannya dalam Fermentasi
" "Jerami "
"pH "- "
"TS (%) "91,6 ±0,02 "
"VS (%) "87,5 ±0,02 "
"Debu (%) "4,1 ±0,02 "
"VFA (g/l) "0,13 "
"Etanol (g/l) "N.D. "
"Total Nitrogen "1,3 ±0,04 "
"(g/l) " "
"Ammonia (g/l) "0,31 ±0,01 "
"Proteins (g/l) "6,5 ±0,17 "
"Lemak (%) "1,5 "
"Klason lignin "19,3 ±0,1 "
"(g/l) " "
"Arabinose (g/l)"2,6 ±0,19 "
"Xylose (g/l) "21,3 ±0,3 "
"Glukosa (g/l) "35,9 ±0,03 "
Jerami memiliki kandungan yang bisa digunakan sebagai bahan
substrat untuk fermentasi biogas. Dapat dilihat pada Tabel 2.1,
Jerami memiliki kandungan biomassa organik yang tinggi (TS dan VS),
serta perbandingan C:N yang sesuai dengan syarat syarat fermentasi
anaerobik. Selain itu, terdapat kandungan lignin yang cukup besar
pada jerami dan dapat menyebabkan berkurangnya yield biogas yang
dihasilkan lewat fermentasi anaerobik.
Penggunaan jerami sebagai bahan substrat fermentasi biogas
sendiri sudah diujicobakan dan menghasilkan hasil yang sangat
memuaskan. Namun penggunaannya masih kalah jika dibandingkan dengan
penggunaan kotoran ternak sebagai bahan dasar pembuatan biogas.
1 Potensi Limbah Jerami di Indonesia
Indonesia merupakan negara pengkonsumsi beras yang cukup
besar. Tiap tahunnya, 128 kilogram beras dikonsumsi per-kapita
(IRRI, 2007). Tingginya konsumsi nasi di Indonesia diimbangi dengan
produksi padi di Indonesia yang juga cukup melimpah. Sedikitnya, 34
juta ton beras tiap tahunnya diproduksi di Indonesia (IRRI, 2007).
Jumlah produksi yang sangat besar itu berimbas pada tingginya hasil
samping produksi beras yaitu gabah dan jerami padi.
Tabel II.2 Perbandingan Varietas Padi terhadap Nisbah Gabah/Jerami
yang Dihasilkan
Produksi jerami berbeda antar varietas meskipun sama sama
ditanam pada rejim air, tanah, dan musim yang sama (Makarim et al.,
2007). Nisbah gabah/jerami (grain straw ratio) juga sangat beragam
berkisar antara 0,3-1,2. Varietas padi modern dalam pertumbuhan
optimal mempunyai nisbah gabah/jerami 0,6 atau 0,7. Dapat dilihat
pada Tabel 2.2 , varietas padi Fatmawati memiliki bobot jerami dan
nisbah gabah/jerami yang relatif lebih rendah dibanding jenis
lainnya karena varietas ini menghasilkan sedikit anakan (Makarim et
al., 2007).
Luas lahan yang secara permanen ditanami adi di Indonesia
adalah 13000 Ha (IRRI, 2007). Dengan demikian, potensi limbah
jerami dapat diasumsikan mencapai 66300 ton tiap satu kali panen di
Indonesia. Limbah yang melimpah ini merupakan sumber biomassa
potensial yang pemanfaatannya belum maksimal di Indonesia.
2 Pemanfaatan Jerami secara Konvensional di Indonesia
1 Jerami Sebagai Alas Lantai Kandang Ternak
Petani tradisional menggunakan sisa jerami hasil panennya
untuk memberikan penghangat berupa alas pada kandang ternak. Alas
ini memiliki ketebalan 5-10 cm. Selain sebagai penghangat (Makarim
et al., 2007), campuran kotoran ternak dengan jerami akan
menghasilkan kompos yang baik. Alas jerami secara berkala perlu
diganti apabila alas rusak dan tidak dapat digunakan kembali.
Penggunaan jerami sebagai alas lantai kandang mempersyaratkan
kandang diberi atap dan dinding penghalang sehingga biomassa tetap
berada di kandang sampai waktunya diganti.
2 Jerami Sebagai Pakan Ternak
Pada saat rumput hijau tidak tersedia untuk pakan ternak,
jerami kering kerap digunakan sebagai pengganti rumput untuk pakan
sapi dan kerbau. Sebagian petani menyimpan jerami kering tempat
penyimpanan yangditempatkan di dalam kandang. Jerami kering untuk
pakan ternak sering dicampur dengan larutan garam dapur, larutan
urea, atau dibasahi dengan larutan formulasi mikroba yang
bermanfaat.
3 Jerami Sebagai Bahan Bakar
Jerami padi sebagai bahan bakar menghasilkan kalori (panas)
yang relatif rendah dan banyak membentuk asap dan abu. Jerami dapat
digunakan sebagai bahan bakar dalam industri genting, kapur maupun
gerabah. Namun penggunaannya dalam industri untuk saat ini
berkurang digantikan oleh limbah kulit kayu sebagai bahan bakar.
Penggunaan jerami sebagai bahan bakar memiliki resiko yakni,
sisa pembakaran yang mudah terbang (Makarim et al., 2007) sehingga
memungkinkan sisa pembakaran tersebut terbang dan membakar simpanan
jerami ataupun barang lain yang mudah terbakar. Di Indonesia,
penggunaan jerami sebahai bahan bakar mulai ditinggalkan karena
minyak dan gas bumi yang telatif murah.
2 Biogas
Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari
pemecahan senyawa senyawa biomassa. Biogas mayoritas terdiri dari
metana dan karbon dioksida. Biogas sendiri sangat berpotensi untuk
dijadikan sumber bahan bakar baru untuk menggantikan bahan bakar
minyak yang semakin lama kapasitasnya akan semakin menurun
Biogas memiliki nilai kalor sebesar 4.800 - 6.700 kkal/m3
(Sutarno et al., 2007). Setara dengan 0,5-0,6 liter minyak solar,
namun dengan perbedaan mencolok bahwa biogas dapat diproduksi terus
menerus dengan menggunakan bahan biomassa yang tersedia. Yang
kedua, biogas memiliki biaya modal awal dan biaya operasional yang
sangat rendah. Jika dibandingkan dengan batubara, minyak, dan gas
alam, biogas memiliki nilai cost per energi yang dihasilkan yang
lebih kecil.
1 Jerami Sebagai Bahan Dasar Biogas
Bahan biomassa untuk biogas sendiri dapat digunakan sisa
hasil pertanian, limbah industri makanan, kotoran ternak, maupun
biomassa yang sengaja dikembangkan sebagai substrat untuk
fermentasi biogas.
Biogas yang berbahan dasar jerami sendiri sudah banyak
diteliti. Jerami sebagai bahan fermentasi biogas memiliki beberapa
kelebihan di antaranya :
Ketersediaan bahan yang dapat dijaga
Mudah diperoleh
Limbah yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat
Sumber biomassa yang jumlahnya sangat besar
Namun jerami juga memiliki kekurangan, di antaranya kandungan
lignin, hemiselulosa, dan selulosa yang dapat mengurangi yield
biogas yang dihasilkan. Hal ini dapat dikurangi dengan cara
melakukan pre-treatment tertentu pada substrat sebelum substrat
tersebut digunakan dalam fermentasi.
3 Fermentasi Anaerobik
Fermentasi aerobik merupakan proses biokimia dimana senyawa
organik komplek dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana tanpa
adanya oksigen pada proses tersebut. Fermentasi anaerobik merupakan
metode yang paling sering digunakan untuk memproduksi biogas karena
metode ini dapat memproduksi biogas dengan yield yang cukup besar
(55-70% metana) (Houtmeyers et al., 2011) dan biaya produksi yang
rendah (Yu et al., 2012). Pada proses pembuatan biogas, proses
fermentasi anaerobik ini menghasilkan biogas dan zat sisa digestat.
1 Substrat untuk Fermentasi Anaerobik
Ada banyak jenis biomassa yang dapat digunakan sebagai
substrat untuk memproduksi biogas melalui proses fermentasi
anaerobik. Berikut adalah beberapa jenis substrat yang sering
dipakai dalam proses pembuatan biogas :
Sisa dan hasil samping pertanian
Limbah cair
Kotoran ternak
Limbah organik yang berasal dari industri makanan dan
pertanian
Biomassa yang dikembangkan untuk menghasilkan energi
(contoh: mikroalgae)
Pemilihan substrat didasarkan pada kemampuan substrat untuk
menghasilkan yield methane yang besar. Dapat dilihat pada Gambar
2.1 , kotoran hewan tidak menghasilkan yield methane yang besar
sehingga kotoran hewan lebih sering dijadikan campuran (co-
substrat) bersama dengan substrat lain yang memiliki yield methane
yang tinggi
Gambar II.1 Perbandingan Beberapa Jenis Bahan Substrat (Al Seadi et
al. 2008)
2 Proses Biokimia Fermentasi Anaerobik
Seperti yang dikatakan sebelumnya, proses fermentasi aerobik
merupakan proses mikrobiologi berupa dekomposisi senyawa organik
tanpa adanya oksigen dalam proses. Produk utama proses ini adalah
biogas dan digestat. Biogas merupakan gas mudah terbakar yang
tersusun atas metana dan karbon dioksida. Sedangkan digestat
merupakan produk samping proses fermentasi anaerobik berupa sisa
samping substrat hasil dekomposisi.
Proses biokimia pembentukan biogas sendiri merupakan gabungan
dari beberapa langkah proses dimana pada setiap proses tersebut,
materi yang ada selalu dipecah menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Diagram sederhana proses fermentasi anaerobik ini dapat
dilihat di gambar 2.2 . Proses ini dapat disingkat menjadi empat
proses utama yakni hidrolisis, acidogenesis, acetogenesis, dan
methanogenesis (Teodorita et al., 2008).
Gambar II.1 Proses Fermentasi Anaerobik
1 Hidrolisis
Hidrolisis merupakan proses awal fermentasi anaerobik. Pada
proses ini, senyawa organik komplek dipecah menjadi senyawa senyawa
yang lebih sederhana. Karbohidrat, lemak, dan protein dipecah
menjadi glukosa, gliserol, asam lemak, dan sebagainya.
Mikroorganisme menghasilkan enzim yang mengubah biopolimer
menjadi senyawa yang lebih sederhana. Produk hasil proses ini
kemudian akan digunakan oleh mikroorganisme tersebut untuk proses
metabolismenya.
2 Acidogenesis
Proses acidogenesis merupakan proses fermentasi produk hasil
hidrolisis sehingga menghasilkan asam asetat, CO2, alkohol, dan
hidrogen. Proses ini melibatkan mikroorganisme fermentor.
5 Acetogenesis
Produk hasil acidogenesis yang tidak dapat diolah oleh
bakteri methanogenic kemudian diubah oleh bakteri acetogenic
melalui proses acetogenesis. Alkohol yang memiliki rantai lebih
dari satu karbon dioksidasi menjadi asam asetat dan hidrogen. Saat
methanogenesis berlangsung hidrogen akan diubah menjadi methane
oleh bakteri methanogenic. Proses acetogenesis dan methanogenesis
biasanya terjadi dalam waktu yang bersamaan.
6 Methanogenesis
Methanogenesis merupakan proses akhir dari serangkaian proses
fermentasi anaerobik. Hasil proses awal berupa asam asetat,
hidrogen, dan karbon dioksida, difermentasi oleh bakteri
methanogenic menjadi biogas. 70% metana yang terbentuk merupakan
hasil fermentasi dari asetat (Teodorita et al., 2008). Sedangkan
sisanya didapat dari konversi hidrogen dan CO2. Persamaan reaksi
yang terjadi adalah sebagai berikut :
(Teodorita et al., 2008)
Methanogenesis merupakan tahapan yang menentukan proses
fermentasi anaerobik secara keseluruhan. Proses ini merupakan
proses yang paling lambat di antara tahapan proses sebelumnya.
Apabila terjadi perubahan suhu saat proses maupun hadirnya oksigen
dalam jumlah besar dapat menghentikan proses pembentukan metana
3 Faktor faktor yang mempengaruhi Fermentasi Anaerobik
Pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme pada proses
fermentasi anaerobik sangat dipengaruhi oleh faktor faktor tertentu
seperti suhu, pH, kandungan oksigen, nutrient, dan kandungan
inhibitor seperti ammonia.
1 Jenis Bahan
Ada berbagai macam jenis bahan biomassa yang dapat digunakan
sebagai bahan fermentasi pembuatan biogas. Pemlihan bahan
didasarkan pada kandungan biomassa yang ada dan juga potensi biogas
yang dapat dihasilkan bahan.
Total solid dan rasio C/N merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan bahan untuk fermentasi. Jika rasio
C/N terlalu tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh
bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan
sedikit yang bereaksi dengan karbon, akibatnya gas yang dihasilkan
menjadi rendah (Haryati, 2006). Sebaliknya jika C/N rendah,
nitrogen akan dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk ammonia
(NH4) yang dapat meningkatkan pH substrat (Haryati, 2006).
Perbedaan jenis bahan tentunya mempengaruhi jumlah yield
biogas yang dihasilkan. Dapat dilihat dari Tabel 2.3, potensi yield
biogas yang dimiliki tiap tiap bahan memiliki perbedaan. Potensi
yield terbesar per kg volatil solid diperoleh oleh air dadih
(Sapci, 2013). Namun pemilihan bahan substrat biogas juga perlu
mempertimbangkan aspek - aspek lain seperti impuritas, ketersediaan
bahan dan lain lain.
Tabel II.3 Perbandingan Berbagai Jenis Feedstock terhadap Potensinya untuk
Biogas
"Jenis Bahan "Komponen "Rasio C/N"Yield "Impuritas "
" " " "Biogas "yang "
" "Organik " "m3kg-1VS "mungkin ada "
"Kotoran babi "Karbohidrat, "3 - 10 % "0,25 - "kayu, air, "
" "Protein " "0,50 "pasir, "
" "Lemak " " " jerami, "
" " " " "serabut "
"Kotoran Sapi "Karbohidrat, "6 - 20 % "0,2 - 0,3"tanah, air, "
" "Protein " " "jerami, "
" "Lemak " " "kayu "
"Isi Perut "Karbohidrat, "3 - 10 % "0,35 - "usus hewan "
"Ternak "Protein " "0,6 " "
" "Lemak " " " "
"Air Dadih "75-80% laktosa " "9,35 - "impuritas "
" " " "0,8 "saat "
" "20-25% protein " " "distribusi "
"Air Dadih murni"75-80% laktosa " "0,8 - "impuritas "
" " " "0,95 "saat "
" "20-25% protein " " "distribusi "
"Jerami "Karbohifrat, "80 - 100 "0,15 - "pasir, "
" "Lemak "% "0,35 " "
"Limbah Taman " "100 - 150"0,2 - 0,5"tanah, "
" " "% " "selulosa "
"Rerumputan " "12 - 25 %"0,55 "tanah "
"Limbah buah " "35% "0,25 - "tanah "
"buahan " " "0,5 " "
"Sisa Makanan " " "0,5 - 0,6"tulang, "
" " " " "plastik "
2 Suhu
Suhu yang stabil merupakan hal yang penting dijaga saat
proses fermentasi anaerobik berlangsung. Gambar 2.3 menunjukkan
hubungan suhu dengan yield metana yang dihasilkan
Gambar II.2 Hubungan Suhu, Waktu fermentasi dan yield metana yang
dihasilkan (Al Seadi et al. 2008)
Dari gambar 2.3 dapat disimpulkan bahwa suhu 50oC memiliki
yield metana yang paling besar dibandingkan dengan suhu proses 30oC
maupun 20oC. Suhu pada proses fermentasi anerobik mempengaruhi
kelarutan senyawa yang ada pada substrat. Semakin tinggi suhu
proses maka kelarutannya akan semakin tinggi sehingga memudahkan
bakteri untuk melakukan fermentasi (Jackowiak et al., 2011). Karena
itu, reaksi yang terjadi akan semakin cepat sehingga produksi
metana akan meningkat.
Suhu yang stabil sangat penting dalam proses fermentasi
dengan suhu proses 50oC. Hal ini disebabkan, bakteri termofilik
sangat sensitif terhadap fluktuasi suhu. Perubahan kecil suhu (±
1oC) yang terjadi selama proses dapat mengurangi yield metana yang
dihasilkan (Teodorita et al., 2008). Hal ini disebabkan bakteri
membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan perubahan suhu sehingga
menurunkan yield metana. Namun jika dipilih suhu proses 30oC,
bakteri yang digunakan (bakteri mesofilik) memiliki toleransi suhu
yang lebih besar dibanding bakteri thermofilik, sehingga perubahan
suhu yang terjadi (± 3oC) tidak banyak berpengaruh pada yield
metana.
3 pH
pH adalah ukuran keasaman suatu larutan campuran substrat
yang akan digunakan. pH optimum yang digunakan pada proses
fermentasi anaerobik berkisar antara 6,5 sampai 8 (Teodorita et
al., 2008). Pada saat proses fermentasi berlangsung, nilai pH dapat
meningkat seiring dengan munculnya ammonia sebagai hasil
dekomposisi protein maupun sebagai impuritas pada substrat.
4 Ammonia
Ammonia sebenarnya merupakan komponen yang penting saat
proses fermentasi anaerobik. Senyawa ini menyediakan nutrien yang
sangat penting bagi pertumbuhan bakteri pada proses fermentasi.
Namun, konsentrasi ammonia yang terlampau tinggi dapat menjadi
inhibitor proses fermentasi. Kandungan ammonia yang tinggi ini
biasanya terdapat pada bahan kotoran hewan. Karena itu, sebaiknya
konsentrasi ammonia dijaga cukup rendah, berkisar 80 mg/l
(Teodorita et al., 2008). Kandungan ammonia yang tinggi
mengakibatkan tumbuhnya inhibitor sehingga mengurangi yield biogas
yang dihasilkan (Khorshidi and Arikan, 2008). Pengendalian ammonia
dapat dilakukan dengan menggunakan pengaturan pH sehingga
mengurangi kadar racun ammonia di dalam substrat (Strik et al.,
2006)
5 Makro dan Mikronutrien
Makronutrien merupakan senyawa senyawa yang dibutuhkan
bakteri dalam jumlah yang cukup besar untuk metabolismenya.
Sedangkan mikronutrien adalah senyawa yang dibutuhkan bakteri dalam
jumlah kecil. Meskipun jumlahnya tidak besar, mikronutrien tetap
merupakan hal yang sangat penting dalam pertumbuhan bakteri. Rasio
optimum makronutrien (karbon, nitrogen, fosfor, dan sulfur) yang
sebaiknya ada dalam proses fermentasi adalah C:N:P:S = 600:15:5:1
(Teodorita et al., 2008). Kekurangan maupun kelebihan komponen
nutrien ini dapat menyebabkan gangguan pada proses fermentasi
anerobik sehingga berimbas kepada yield biogas yang dihasilkan.
Untuk itu perlu dipertimbangkan rasio C:N:P:S agar yield yang
diperoleh maksimal.
4 Mekanisme pre-treatment pada fermentasi anaerobik
Sebelum dilakukan proses fermentasi anaerobik, perlu
dilakukan proses pre-treatment awal untuk mengurangi impuritas
sekaligus memberikan kondisi optimum pada substrat untuk kemudian
difermentasi oleh mikroorganisme. Perlakuan pre-treatment akan
menambah yield biogas yang dihasilkan. Pre-treatment yang dilakukan
bergantung pada jenis bahan substrat yang akan digunakan.
1 Proses Pemilihan dan Pemisahan
Proses ini merupakan proses pemilihan bahan bahan yang dapat
digunakan sebagai substrat pemisahan dan proses pemisahan substrat
dari impuritas yang dapat mengganggu proses fermentasi nantinya.
Pengotor bahan seperti pasir, tanah, batu, plastik dan impuritas
lain dipisahkan dengan cara sedimentasi dalam storage tank maupun
dipisahkan secara manual dengan bantuan manusia.
Limbah rumah tangga dapat mengandung banyak impuritas seperti
plastik, besi, kayu, kaca dan material lain yang tidak dapat
difermentasikan. Material ini dapat menyebabkan kerusakan pada
pompa, pipa, maupun tangki fermentasi (Teodorita et al., 2008).
Impuritas ini dapat dipisahkan melalui serangkaian proses pemisahan
mekanik, magnetik maupun dengan cara manual.
2 Sanitasi
Sanitasi substrat merupakan hal yang penting dalam proses
fermentasi. Sanitasi yang baik tanpa adanya kontaminasi manusia
maupun mikroorganisme lain dapat menghasilkan suasana tangki
fermentasi yang baik untuk tumbuh bakteri (Teodorita et al., 2008).
Sanitasi biasanya dilakukan dengan cara memanaskan substrat umpan
sebelum dimasukan dalam tangki fermentasi.
3 Crushing
Crushing adalah proses penghancuran bahan dasar awal sehingga
diperoleh ukuran yang lebih kecil. Perlakuan ini bertujuan untuk
memperbesar luas permukaan substrat sehingga menambah yield biogas
yang dihasilkan. Alat yang digunakan bervariasi dari yang paling
sederhana dengan cara memotong manual dengan peggunakan pisau,
maupun dengan alat berupa mesin penggiling.
4 Mashing, homogenising
Proses ini merupakan proses lanjutan dari crushing yakni
menyeragamkan ukuran substrat dengan menggunakan filter untuk
menyeleksi substrat menurut ukuran ideal yang diinginkan. Dengan
demikian, maka substrat akan lebih seragam dan merata yield biogas
yang dihasilkan.
5 Pre-treatment Lanjutan Menggunakan Gelombang Mikro
Selain perlakuan tersebut terdapat pula perlakuan perlakuan
tambahan yang bertujuan untuk menambah yield biogas yang
dihasilkan. Perlakuan tambahan ini disesuaikan dengan kandungan
jenis substrat yang digunakan. Pada jerami yang memiliki komponen
lignin, selulosa dan hemiselulosa perlu adanya pre-treatment
tambahan guna memudahkan mikroorganisme untuk melakukan fermentasi
pada bahan (Kuglarz et al., 2013).
Pre-treatment ini dilakukan dengan memanaskan bahan
menggunakan gelombang mikro. Bahan dimasukkan dalam alat microwave
untuk kemudian dipanaskan pada daya dan waktu tertentu. Pemanasan
pada selulosa pada suhu tinggi akan menaikkan kemampuan
mikroorganisme untuk melakukan fermentasi sehingga menghasilkan
yield biogas yang lebih besar (Beszédes et al., 2007; Kuglarz et
al., 2013; Yu et al., 2012).
Tabel II.4 Solubilisasi pada Hemiselulosa, Selulosa dan
Lignin Setelah Pre-treatment
"Komponen "Pre-treatment "Pre-treatment dengan "
" "Menggunakan Microwave"Pemanasan "
" "(%) "Konvensional (%) "
"Volatil "24,5 ±1,5 "15,4 ±1,2 "
"solid " " "
"Hemiselulos"23,5 ±1,7 "7,4 ±1,4 "
"a " " "
"Selulosa "0 "0 "
"Lignin "2 ±0,2 "1,8 ±0,2 "
Tabel 2.4 menunjukkan bahwa pemanasan menggunakan microwave
menghasilkan performa yang lebih baik juka dibandingkan dengan
pemanasan konvensional. Hal ini disebabkan karena pemanasan
menggunakan microwave merupakan pemanasan yang selektif, yakni
hanya bereaksi terhadap senyawa polar (Yu et al., 2012). Microwave
tidak memanaskan senyawa senyawa non polar (Dehani P et al., 2013).
Air pelarut merupakan senyawa yang sangat polar, sedangkan
selulosa, hemiselulosa maupun lignin merupakan senyawa non polar.
Dengan demikian maka terjadi pemanasan yang tidak merata dalam
larutan. Beberapa titik pada larutan lebih panas dari yang lain
sehingga akan menyebabkan kerusakan pada lignoselulosa dan larutnya
hemiselulosa. (Z-H. Hu. et al., 2012)
Penelitian terhadap substrat hasil pre-treatment menggunakan
sinar X menunjukkan perubahan kristalinitas struktur selulosa yang
ada pada substrat (Z-H, Hu et al., 2012). Perubahan ini menunjukkan
adanya pemecahan dinding dinding sel sehingga memudahkan
mikroorganisme untuk menyerang substrat. (de la Hoz. et al., 2005).
Gambar II.3 Hasil visual Atomic Force Microscope terhadap substrat
(a) pre-treatment dengan pemanasan konvensional (b) pre-treatment
dengan microwave
Dari gambar 2.4 dapat dilihat bahwa microwave dapat
menghasilkan granul granul yang berukuran sangat kecil, menunjukkan
bahwa lapisan lignin lebih banyak yang hancur saat proses pre-
treatment menggunakan microwave dibandingkan dengan pemanasan
secara konvensional. Dengan hancurnya lapisan lignin maka
memudahkan mikroorganisme untuk melakukan fermentasi. Berdasarkan
analisa analisa tersebut, microwave memberikan kira kira 15%
performa yang lebih baik jika dibandingkan dengan pre-treatment
menggunakan pemanasan biasa.
4 Keuntungan Penerapan Teknologi Biogas
1 Energi Terbarukan
Kebutuhan energi global saat ini masih dikuasai oleh bahan
bahan fosil. Bahan fosil ini berasal dari sisa sisa makhluk hidup
yang mengendap dalam bumi selama ratusan juta tahun. Karena itu,
bahan fosil dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang tidak dapat
diperbaharui sehingga persediaannya akan semakin menipis dan habis
sebelum bahan fosil yang baru ada dan dapat digunakan. Di Indonesia
sendiri kebutuhan energi terus meningkat sebesar 3,93% per tahunnya
(Singh and Setiawan, 2013). Untuk itu perlu dilakukan upaya - upaya
untuk mencari potensi sumber energi lain untuk mencukupi kebutuhan
energi Indonesia.
Biogas hasil proses fermentasi merupakan energi yang dapat
diperbarui dimana produksinya dapat dijaga kelangsungannya sehingga
dapat dijadikan sebagai energi tak terbatas (Teodorita et al.,
2008). Biogas tidak hanya memberi ketersediaan energi, namun juga
memberikan kontribusi penting dalam perlindungan terhadap kerusakan
lingkungan.
2 Mengurangi Ketergantungan Import Bahan Bakar
Bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang sangat terbatas
dan hanya dapat diambil dari tempat - tempat tertentu. Beberapa
negara yang tidak memiliki sumber bahan bakar fosil dengan terpaksa
harus membeli ke negara lain yang memiliki sumber melimpah.
Indonesia sendiri setiap tahunnya mengimpor tidak kurang dari
98 juta barel minyak mentah yang kemudian diolah untuk memenuhi
kebutuhan energi dalam negeri (Center for Data and Information on
Energy and Mineral Resources, 2012; Purwono, 2013). Sebesar Rp.
1.435.406.719.999.000,00 dana APBN dikeluarkan sebesar hanya untuk
kepentingan subsidi BBM di Indonesia (Purwono, 2013).
Pengembangan sumber energi lain sebagai alternatif bahan
bakar fosil tentunya dapat mengurangi ketergantungan terhadap
import bahan bakar. Biomassa tertentu dapat dikembangkan sebagai
bahan dasar fermentasi biogas untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
suatu negeri (Singh and Setiawan, 2013).
3 Penanganan Limbah
Salah satu keuntungan utama dari produksi biogas dengan
fermentasi anaerobik adalah kemampuan untuk mengubah limbah yang
ada, untuk dijadikan bahan dasar fermentasi biogas (Teodorita et
al., 2008). Dalam kehidupan sehari hari baik domestik maupun
industri, penanganan limbah merupakan hal yang sangat susah untuk
dilakukan.
Produksi biogas merupakan salah satu cara yang dapat mengubah
limbah menjadi bahan bakar yang sangat bermanfaat (Makarim et al.,
2007). Produksi biogas dari fermentasi limbah dapat mengurangi
volume limbah sekaligus mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk
mengolah limbah yang ada.
5 Hasil - Hasil Penelitian Terdahulu
Ferreira et al (2013) ,menunjukkan bahwa solubilisasi bahan
organik partikulat dipengaruhi oleh perlakuan pendahuluan termal
dengan variabel suhu dan waktu. Pada penelitian ini digunakan
thermal pre-treatment untuk melarutkan partikel partikel
lignoselulosa. Sumber bahan massa yang digunakan adalah jerami.
Jerami ini kemudian dipanaskan dengan suhu (150-220 oC) dan waktu
(1-15 menit) yang bervariasi. Hasil percobaan dimodelkan
menggunakan model reaksi orde satu untuk sehingga diperoleh
konstanta hidrolisisnya. Kondisi optimum diperoleh saat digunakan
pre-treatment selama 1 menit pada suhu 220 oC (Ferreira et al.,
2013).
Penelitian menggunakan microwave sebagai pre-treatment biogas
juga dilaporkan oleh De Wild, Reith dan Heeres (2011). De Wild et
al (2011) menekankan bahwa selama iradiasi biomassa dengan
microwave oven, uap air akan hilang karena suhu naik dari suhu
ambien untuk 100oC. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pre-
treatment menaikkan yield produk di semua bahan baku yang digunakan
(Wild, 2011).
Selain itu, Dinesh et al (2006) melaporkan bahwa pemanasan
dapat digunakan untuk mendegradasi biomassa untuk menguraikan
komponen-komponennya. Hemiselulosa akan mulai terdegradasi pada
kisaran suhu 130-194oC. Dinesh et al (2006). menyarankan perlunya
pengembangan penggunaan katalis untuk pre-treatment pada fermentasi
biogas maupun bio-oil.
Demirbas (2004) menyelidiki tentang pengaruh kelembapan bahan
baku terhadap produk biogas yang dihasilkan. Penelitian ini
menggunakan kayu spruce yang memiliki perbedaan kondisi kelembapan
sebagai bahan dasarnya. Hasil percobaan menunjukan bahwa kelembapan
pada bahan memiliki pengaruh signifikan terhadap degradasi pada
proses pre-treatment sehingga mempengaruhi yield biogas yang
dihasilkan.
Penelitian lain dilakukan oleh Medic, Darr, Shah, Potter dan
Zimmerman (2012). Penelitian tersebut menunjukan bahwa sejumlah
besar hemiselulosa dan selulosa hancur ketika biomassa dikeringkan
dan dipanaskan pada suhu 290 0C. Dari penelitian tersebut
disimpulkan bahwa kelembapan bahan sangat berpengaruh terhadap
yield energi yang dihasilkan (Medic et al., 2012).
Sapci (2013) menggunakan berbagai jenis jerami sebagai bahan
dasar untuk fermentasi biogas. Perubahan karakteristik fisis dan
kimia dipelajari sebagai akibat dari pre-treatment yang diberikan
kepada bahan. Pre-treatment yang dipakai adalah menggunakan
microwave pada suhu 200-300 oC. Kemudian bahan difermentasi selama
60 hari. Hasil penelitian menyatakan bahwa pre-treatment pada suhu
300 oC menghasilkan konversi yang lebih besar (Sapci, 2013).
BAB III
METODE PENELITIAN
1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dapat digambarkan dalam sebuah blok diagram
sederhana yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Dibawah sinar matahari
1 cm
Gambar 3.1 Flow sheet sederhana Perlakuan Pendahuluan Microwave Oven
terhadap Jerami.
1 Penetapan Variabel
1. Variabel tetap
Ukuran jerami setelah pengayakan adalah 1 cm.
2. Variabel berubah
- Waktu iradiasi : 3 menit, 4 menit, 5 menit
- Daya iradiasi : 300 watt, 450 watt, dan 600 watt
Adapun rincian kondisi variabelnya dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Distribusi Variabel Waktu dan Suhu Tanpa Penambahan
Aquadest
"Run "1 "
" "1 "2 "3 "4 "
" "1 "2 "3 "4 "
" "1 "2 "3 "4 "
"300w,3m "117 "39 "25 "12 "
"300w,4m "154 "42 "23 "10 "
"300w,5m "129 "37 "24 "11 "
"450w,3m "130 "41 "23 "11 "
"450w,4m "194 "42 "23 "9 "
"450w,5m "135 "42 "21 "10 "
"600w,3m "119 "40 "24 "11 "
"600w,4m "157 "39 "24 "9 "
"600w,5m "109 "41 "23 "10 "
"kontrol "115 "36 "21 "14 "
Dari table tersebut dapat dilihat volume biogas terbesar dihasilkan
oleh bahan yang diradiasi dengan daya 450 watt selama 4 menit yaitu
menghasilkan biogas sebanyak 190 ml. Pada bahan tersebut, kandungan
selulosa bahan merupakan kandungan selulosa yang tertinggi di antara
variabel lainnya (42%). Sedangkan kandungan ligninnya justru paling
rendah (9%) Pada tabel dapat dilihat bahwa perlakuan pendahuluan
menggunakan microwave dapat meningkatkan kandungan selulosa pada bahan,
sekaligus menurunkan kandungan ligninnya (Yu et al., 2012). Karena itu,
produksi biogas pun meningkat. Jika dibandingkan dengan produksi biogas
tanpa perlakuan pendahuluan, terjadi peningkatan rata rata sebesar 23,8
ml biogas. Hal itu selaras pula dengan peningkatan kandungan selulosa
yang meningkat rata rata sebesar 5,3% dan penurunan kandungan lignin
rata rata sebesar 3%. Peningkatan ini terjadi akibat perlakuan yang
dilakukan oleh microwave.
Microwave dapat melarutkan lignin dalam bahan tanpa merusak
kandungan selulosa pada bahan, sehingga kandungan selulosa yang dapat
diakses oleh bakteri akan semakin meningkat (Z-H. Hu. et al, 2012).
Microwave tidak memanaskan senyawa senyawa non polar. Air pelarut
merupakan senyawa yang sangat polar, sedangkan selulosa, hemiselulosa
maupun lignin merupakan senyawa non polar. Dengan demikian maka terjadi
pemanasan yang tidak merata dalam larutan. Beberapa titik pada larutan
lebih panas dari yang lain sehingga akan menyebabkan kerusakan pada
lignoselulosa (Z-H. Hu. et al, 2012). Hal ini menyebabkan kandungan
selulosa meningkat sedangkan kandungan lignin akan semakin sedikit.
Kondisi tersebut menyebabkan produksi biogas yang didapat semakin
tinggi.
Peningkatan produksi biogas terbesar berdasaarkan hasil penelitian
terdapat pada variabel 450 watt dengan waktu 4 menit. Dapat dilihat
pada grafik, kandungan selulosa pada variabel tersebut memiliki nilai
paling tinggi di antara lainnya, selain itu kandungan lignin sangat
kecil. Kondisi ini menyebabkan bakteri pengurai mudah mendegradasi
jerami sehinggga produksi biogas yang dihasilkan mencapai 193 ml
(Rahayu et al., 2012).
2 Pengaruh Radiasi Sinar Microwave Terhadap Kadar Lignoselulosa
Bahan
Untuk memperoleh hasil produksi biogas yang maksimal diperlukan
kondisi tertentu yang paling ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme
nantinya. Kondisi ideal tersebut di atntaranya juga dipengaruhi oleh
kadar lignoselulosa bahan. Kadar selulosa pada bahan merupakan sumber
biomassa yang diperlukan bakteri untuk berkembang dan menghasilkan
produk biogas nantinya. Sedangkan kandungan lignin pada bahan justru
akan menghambat proses degradasi karena lignin menghalangi akses
mikroorganisme pada selulosa. Pemancaran menggunakan sinar microwave
akan mempengaruhi kandungan lignoselulosa di dalam bahan. Pengaruh
pemancaran terhadap bahan disajikan pada grafik 4.16.
Gambar 4.8 Kadar Se8lulosa, Hemiselulosa, dan Lignin, dan Biogas yang
dihasilkan pada Tiap Variabel
Berdasarkan gambar 4.8 secara keseluruhan terjadi peningkatan
kadar selulosa sebesar 5.3% dan penurunan kadar lignin sebesar 3%.
Peningkatan kadar selulosa maksimum dicapai pada bahan yang telah
diradiasi menggunakan microwave berdaya 450 watt selama 4 menit, 450
watt selama 4 menit dan 600 watt selama 4 menit dengan kenaikan
mencapai 20%. Sedangkan kadar lignin minimum diperoleh pada bahan yang
telah diradiasi dengan daya 450 watt selama 4 menit dan 450 watt selama
5 menit. Sedangkan perubahan paling kecil terjadi pada bahan yang
diradiasi dengan daya 300 watt selama 3 menit baik dilihat dari jumlah
selulosa, hemiselulosa maupun ligninnya.
Radiasi microwave dapat melarutkan lignin dalam bahan tanpa merusak
kandungan selulosa pada bahan, sehingga kandungan selulosa yang dapat
diakses oleh bakteri akan semakin meningkat (Z-H. Hu. et al, 2012).
Microwave tidak memanaskan senyawa senyawa non polar. Air pelarut
merupakan senyawa yang sangat polar, sedangkan selulosa, hemiselulosa
maupun lignin merupakan senyawa non polar. Dengan demikian maka terjadi
pemanasan yang tidak merata dalam larutan. Beberapa titik pada larutan
lebih panas dari yang lain sehingga akan menyebabkan kerusakan pada
lignoselulosa (Z-H. Hu. et al, 2012). Radiasi sinar microwave dapat
menyebabkan satu atau lebih perubahan struktur selulosik biomassa
termasuk peningkatan luas permukaan yang spesifik, penurunan
polimerisasi dan kristalinitas dari selulosa, hidrolisis kimia dari
hemiselulosa dan depolimerisasi dari lignin (Odhner et al .,2012).
Kondisi tersebut menyebabkan produksi biogas yang didapat semakin
tinggi.
Kondisi ideal dicapai oleh bahan yang diradiasi menggunakan sinar
berdaya 450 watt dengan waktu 4 menit. Dapat dilihat pada grafik 4.16,
kandungan selulosa pada variabel tersebut memiliki nilai paling tinggi
di antara lainnya, selain itu kandungan lignin sangat kecil. Kondisi
ini menyebabkan bakteri pengurai lebih mudah mendegradasi jerami
sehinggga produksi biogas yang dihasilkan mencapai 193 ml (Rahayu et
al., 2012).
BAB V
PENUTUP
1 Kesimpulan
1. Perlakuan pendahuluan menggunakan microwave oven dapat mengubah
struktur lignoselulosa yang kompleks dan meningkatkan kadar
selulosa sehingga volume biogas yang dihasilkan lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa perlakuan pendahuluan
2. Waktu optimum dalam perlakuan pendahuluan menggunakan microwave
oven adalah 4 menit, jika terlalu lama kadar air dalam biomassa
akan habis, jika terlalu sebentar lignoselulosa dalam biomassa
belum terdegradasi dengan baik.
3. Daya optimum dalam perlakuan pendahuluan menggunakan microwave oven
adalah 450 watt, pada daya 300 watt lignin belum terdegradasi
dengan baik, sedangkan pada daya 600 watt kadar selulosa dalam
jerami dapat rusak.
4. Kadar lignin pada jerami yang diberikan perlakuan pendahuluan
dengan microwave oven lebih rendah dibandingkan dengan tanpa
perlakuan pendahuluan, dan kadar selulosanya lebih tinggi setelah
diberikan perlakuan pendahuluan dengan microwave oven.
2 Saran
1. Sebelum dimasukan kedalam microwave oven biomassa sebaiknya
dibasahi terlebih dahulu untuk menghindari terbakarnya biomassa.
2. Pengukuran volume biogas dilakukan setiap hari pada jam yang sama,
untuk mendapatkan akurasi pengukuran yang baik.
3. Jerami dimasukan dahulu dalam botol biogas, agar pemberian bakteri
dan air dapat merata ke seluruh jerami dalam tabung biogas.
DAFTAR PUSTAKA
Arati, J.M., 2009. Evaluating The Economic Feasibility of Anaerobic
Digestion of Kawangware Market Waste. Kansas State University.
Beszédes, S., Kertész, S., László, Z., Hodúr, C., Szabó, G., 2007. Biogas
Production of Ozone and / or Microwave-pretreated Canned Maize
Production Sludges 1–6.
Blom, A., Peterson, A., Persson, T., Johansson, L.-G., Jarlsvik, T.,
Jacoby, J., Kjellvander, H., 2012. Biogas from Lignocellulosic Biomass.
Avfall Sverige.
Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources, 2012.
Handbook of Energy & Economic of Indonesia, 9th ed. Ministry of Energy
and Mineral Resources, Jakarta.
Dehani P, F.R., Argo, B.D., Yulianingsih, R., 2013. Pemanfaatan Iradiasi
Gelombang Mikro Untuk Memaksimalkan Proses Pre-treatment Degradasi
Lignin Jerami Padi (pada Produksi Bioetanol). J. Bioproses Komod. Trop.
1, 13–20.
Demirbas, A., 2004. Effect of Initial Moisture Content on The Yields of
Oily Products from Pyrolysis of Biomass 71, 803–815.
Deublein, D., Steinhauser, A., 2008. Biogas from Waste and Renewable
Resources : An Indtroduction. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Germany.
Estevez, M.M., Linjordet, R., Morken, J., 2012. Organik Loading Rate Effect
on Anaerobic Digestion : Case Study on Co-digestion of Lignocellulosic
Pre-treated Material with Cow Manure . Bioresour. Technol. 86. 900-911
Ferreira, L.C., Donoso-Bravo, a, Nilsen, P.J., Fdz-Polanco, F., Pérez-
Elvira, S.I., 2013. Influence of Thermal Pre-treatment on The
Biochemical Methane Potential of Wheat Straw. Bioresour. Technol. 143,
251–7.
Haryati, T., 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Wartazoa 16, 160–169.
Houtmeyers, S., Appels, L., Daled, M., 2011. Effects of Microwave Pre-
treatment on The Sludge Characteristics and Anaerobic Digestion. Water
Research. 18-30
IRRI, 2007. Data Penting Padi Dunia dan Beberapa Negara Asia, 1st ed. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Jackowiak, D., Bassard, D., Pauss, a, Ribeiro, T., 2011. Optimisation of a
Microwave Pre-treatment of Wheat Straw for Methane Production.
Bioresour. Technol. 102, 6750–6756.
Khorshidi, N., Arikan, B., 2008. Experimental Practice in Order to
Increasing Efficiency of Biogas Production by Treating Digestate Sludge.
University College of Boras.
Kuglarz, M., Karakashev, D., Angelidaki, I., 2013. Microwave and Thermal
Pre-treatment as Methods for Increasing the Biogas Potential of
Secondary Sludge from Municipal Wastewater Treatment Plants. Bioresour.
Technol. 134, 290–7.
Makarim, A.K., Sumarno, Suyamto, 2007. Jerami Padi Pengelolaan dan
Pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Medic, D., Darr, M., Shah, A., Potter, B., Zimmerman, J., 2012. Effects of
Torrefaction Process Parameters on Biomass Feedstock Upgrading. Fuel 91,
147–154.
Mohan, D., Pittman, C.U., Steele, P.H., 2006. Pyrolysis of Wood / Biomass
for Bio-oil : A Critical Review. Energy & Fuels 20, 848–889.
Pérez, J. a., Ballesteros, I., Ballesteros, M., Sáez, F., Negro, M.J.,
Manzanares, P., 2008. Optimizing Liquid Hot Water Pre-treatment
Conditions to Enhance Sugar Recovery from Wheat Straw for Fuel-Etanol
Production. Fuel 87, 3640–3647.
Purwono, B.S.A., 2013. Biogas Digester as an Alternative Energy Strategy in
the Marginal Villages in Indonesia. Energy Procedia 32, 136–144.
Rahayu, D.R., Ardani, P., Hendriani, N., Juliastuti, S.R., 2012. Pembuatan
Biogas dari Enceng Gondok Pre-treatment dengan Jamur Phanerochaete. J.
Tek. POMITS 1, 1–3.
Sapci, Z., 2013. The Eeffect of Microwave Pre-treatment on Biogas
Broduction from Agricultural Straws. Bioresour. Technol. 128, 487–94.
Singh, R., Setiawan, A.D., 2013. Biomass Energy Policies and Strategies :
Harvesting Potential in India and Indonesia. Renew. Sustain. Energy Rev.
22, 332–345.
Strik, D.P.B.T.B., Domnanovich, a. M., Holubar, P., 2006. A pH-based
Control of Ammonia in Biogas during Anaerobic Digestion of Artificial
Pig Manure and Maize Silage. Process Biochem. 41, 1235–1238.
Sutarno, I., Sc, M., Firdaus, F., Si, S., 2007. Analisis Prestasi Produksi
Biogas ( CH 4 ) dari Polyethilene Biodigester Berbahan Baku Limbah
Ternak Sapi. Logika 4, 31–37.
Teodorita, A.S., Rutz, D., Prassl, H., Kottner, M., Finsterwalder, T.,
2008. Biogas Handbook. Universitu of Southern Denmark Esbjerg, Niels
Bohrs Vej 9-10, Esbjerg.
Wild, P. De, 2011. Biomass Pyrolysis for Chemicals. Rijksuniversiteit
Groningen, Groningen.
Yu, H.-Q., Harada, H., Hu, Z.-H., Yue, Z.-B., Li, Y.-Y., Liu, S.-Y., 2012.
Mechanisms of Microwave Irradiation Pre-treatment for Enhancing
Anaerobic Digestion of Cattail by Rumen Microorganisms. Appl. Energy 93,
229–236.
-----------------------
Jerami
Pengeringan
Penggilingan Jerami
Pengayakan
Perlakuan pendahuluan Microwave
Pembuatan Biogas