DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RS. DR. CIPTO MANGUNKUSUMO PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK LII
PENDEKATAN PRAKTIS PUCAT: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak
Penyunting: Maria Abdulsalam Partini P. Trihono Nastiti Kaswandani Bernie Endyarni
Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit
Diterbitkan oleh: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Cetakan Pertama 2007
ISBN 978-979-8271-28-1
ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI/RSCM
Para Teman Sejawat yang saya hormati Assalamu`alaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah dan karuniaNya, kita diberikan nikmat kesehatan dan kekuatan untuk dapat mengikuti Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Ilmu Kesehatan Anak ke-52 ini. Penyelenggaraan PKB ke-52 ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para dokter sesuai tuntutan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini jelas disebut dalam Undang-undang RI No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, bahwa setiap dokter yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi, dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Topik PKB kali ini adalah “PENDEKATAN PRAKTIS PUCAT: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak.” Pemilihan topik ini berdasarkan kenyataan bahwa anemia merupakan masalah yang sering diderita oleh anak, dan sering dihadapi pada praktek sehari-hari baik oleh dokter umum maupun dokter anak. Anemia pada anak dapat merupakan suatu kedaruratan klinis yang akut maupun suatu keadaan yang kronis. Berbagai penyebab anemia sangat bervariasi, dengan manifestasi klinis yang beragam dari ringan hingga berat. Melalui PKB ini, diharapkan Sejawat sekalian dapat melakukan tata laksana dan memberikan terapi anemia yang sesuai secara profesional. Buku kumpulan makalah yang dipresentasikan pada PKB kali ini diharapkan dapat menjadi sumber kepustakaan bagi para Sejawat dan diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Kesehatan Anak. Akhir kata saya mengucapkan selamat mengikuti PKB ke-52. Wassalamu`alaikum Wr. Wb. Jakarta, 16 Juli 2007 Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Prof. Arwin AP Akib, Dr., SpA(K) NIP 140 060 899 iii
Kata Sambutan
Ketua Panitia Pelaksana PKB IKA LII
Rekan-rekan sejawat sekalian, Puji syukur kita ucapkan atas karuaniaNya sehingga kegiatan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Ilmu Kesehatan Anak ke-52 dapat terlaksana dengan baik. PKB ke-52 kali ini mengambil topik pendekatan praktis pucat, merupakan topik yang menarik karena masalah ini sering terabaikan oleh kita sebagai tenaga kesehatan. Anemia masih merupakan salah satu masalah di dunia, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa bayi, anak, remaja dan wanita hamil merupakan golongan yang paling rentan untuk terkena anemia. Anemia bukanlah suatu diagnosis tetapi merupakan tanda atau gejala dari penyakit sehingga penting untuk menegakkan diagnosis. Untuk itu diperlukan beberapa pengertian dasar seperti perkembangan hematopoiesis, klasifikasi anemia, pendekatan diagnosis serta tata laksana yang tepat. Selain itu, anemia juga dapat timbul oleh karena sistem lain seperti ginjal atau oleh karena penyakit infeksi. Sebagai dokter, terutama dokter anak, anemia merupakan keadaan yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan bila tidak didiagnosis penyebabnya serta tidak ditata laksana secara tepat, dapat menimbulkan gangguan proses tumbuh kembang . Dengan dikemasnya kegiatan PKB ini dalam bentuk simposium dan workshop maka diharapkan para peserta memperoleh manfaat yang sangat berguna dalam menangani masalah anemia pada bayi dan anak dalam praktek sehari-hari, sehingga penatalaksanaan pasien menjadi semakin baik. Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada segenap panitia PKB yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan acara ini, juga kepada para Mitra kerja sekalian yang turut membantu terlaksana kegiatan ini. Kami merasa kerjasama ini sangat menunjang terlaksananya kegiatan PKB ke-52 ini. Ketua Panitia Endang Windiastuti, Dr., SpA(K), MMed(Paed) iv
Tim PKB FKUI/RSCM
Ketua Sekretaris
Prof. DR. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Dr., Sp.A(K) Sudung O. Pardede, Dr., Sp.A(K)
Anggota
Imral Chair, Dr., Sp.A(K) Najib Advani, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Endang Windiastuti, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Rinawati Rohsiswatmo, Dr., Sp.A(K)
Seksi Dana
1. Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM 2. Koordinator Penelitian dan Pengembangan Departemen IKA FKUI/RSCM 3. Prof. DR. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Dr., Sp.A(K) 4. Hardiono D. Pusponegoro, Dr., Sp.A(K) 5. DR. Jose RL. Batubara, Dr., Sp.A(K) 6. Hindra Irawan Satari, Dr., Sp.A(K), MTropPaed 7. Badriul Hegar, Dr., Sp.A(K) 8. Evita Bermanshah Ifran, Dr., Sp.A(K) 9. Bambang Supriyatno, Dr., Sp.A(K)
Susunan Panitia
Pengarah
Prof. DR. Sri Rezeki Hadinegoro, Dr., Sp.A(K) Partini P. Trihono, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Sudung O. Pardede, Dr., Sp.A(K)
Ketua
Endang Windiastuti, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed)
Wakil Ketua
Darmawan B. Setyanto, Dr., Sp.A(K)
Sekretaris
Titis Prawitasari, Dr., Sp.A
Bendahara
Mulya Rahma Karyanti, Dr., Sp.A
Sie Ilmiah
Prof. Djajadiman Gatot, Dr., Sp.A(K) Partini P. Trihono, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Bernie Endyarni, Dr., Sp.A
Seksi Pameran
Pramita G. Dwipoerwantoro, Dr., Sp.A(K) Muzal Kadim, Dr., Sp.A Rismala Dewi, Dr., Sp.A
Seksi Perlengkapan Seksi Sidang
Mulyadi M. Djer, Dr., Sp.A(K) Nastiti Kaswandani, Dr., Sp.A Hikari A. Sjakti, Dr., Sp.A Najib Advani, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) R. Setyo Handryastuti, Dr., Sp.A
Seksi Konsumsi
H.F. Wulandari, Dr., Sp.A(K), MMed(Imaging) Rosalina Dewi Roeslani, Dr., Sp.A
vi
Daftar Penulis
Adji Suranto, Dr., Sp.A Instalasi Transfusi Darah FKUI/RSCM Jakarta Anita Halim, Dr. DR. Damayanti R. Sjarif, Dr., Sp.A(K) Divisi Gizi dan Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Prof. Djajadiman Gatot, Dr., Sp.A(K) Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Endang Windiastuti, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Idham Amir, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Prof. DR. Iskandar Wahidiyat, Dr., Sp.A(K) Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Maria Abdulsalam, Dr., Sp.A(K) Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta vii
Najib Advani, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Novie Amelia Chozie, Dr., Sp.A Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Partini P. Trihono, Dr., Sp.A(K), MMed(Paed) Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Pustika Amalia W. Wahidiyat, Dr., Sp.A(K) Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Rinawati Rohsiswatmo, Dr., Sp.A(K) Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Sawitri Dhewi, Dr. Soedjatmiko, Dr., Sp.A(K), MSi Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Prof. DR. Sri Rezeki Hadinegoro, Dr., Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta Teny Tjitrasari, Dr., Sp.A Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta
viii
Daftar Isi
Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI/RSCM.................iii Kata Sambutan Ketua Panitia Pelaksana PKB IKA LII................ iv Tim PKB IKA FKUI/RSCM......................................................... v Susunan Panitia........................................................................... vi Daftar Penulis............................................................................. vii Daftar Isi...................................................................................... ix Masalah anemia pada anak di Indonesia........................................1 Iskandar Wahidiyat
Perkembangan sistem hematopoetik.............................................4 Djajadiman Gatot, Endang Windiastuti
Klasifikasi mutakhir anemia pada anak ......................................14 Endang Windiastuti
Pendekatan diagnosis anemia pada anak.....................................20 Pustika Amalia W. Wahidiyat
Penyakit hemolitik pada neonatus . ............................................31 Rinawati Rohsiswatmo, Anita Halim
Anemia pada penyakit infeksi.....................................................41 Sri Rezeki Hadinegoro
Anemia pada beberapa penyakit ginjal........................................49 Partini P. Trihono
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak...................................59 Djajadiman Gatot, Novie Amelia Chozie, Teny Tjitrasari
ix
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak ......72 Soedjatmiko
Pengaruh anemia terhadap hemodinamik ..................................87 Najib Advani
Anemia pada bayi prematur........................................................93 Idham Amir, Sawitri Dhewi
Nutritional anemia . ..................................................................102 Damayanti R. Sjarif
Tata laksana anemia pada anak ................................................117 Teny Tjitrasari, Djajadiman Gatot, Maria Abdulsalam
Transfusi darah secara rasional . ........................................................ 130 Adji Suranto
Masalah anemia pada anak di Indonesia Iskandar Wahidiyat Tujuan: Mengetahui permasalahan anemia pada anak di Indonesia.
A
nemia ialah keadaan yang menunjukkan kadar hemoglobin seseorang lebih rendah dari kadar hemoglobin normal. Kriteria anemia menurut WHO tercantum pada Tabel 1. Penyebab anemia di negara kita ini, seperti juga di negara-negara lain, umumnya ialah akibat kekurangan nutrien (terutama zat besi), di samping protein dan mineral lain seperti mangan, cuprum, seng, dan lainnya. Bahanbahan itu diperlukan untuk pembuatan hemoglobin dalam tubuh kita. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, selain masalah gizi, masalah infeksi turut memperburuk kadar hemoglobin tubuh. Metabolisme yang meningkat pada setiap infeksi atau infestasi parasit akan memerlukan nutrien yang lebih banyak. Demikian pula pada keadaan infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infestasi parasit yang lama (malaria, cacing, dan lainnya), memerlukan nutrien yang lebih banyak lagi. Sebaliknya, infeksi dan infestasi parasit, akan lebih memperburuk keadaan anemia seseorang. Penyebab utama anemia di dunia ialah kekurangan nutrien, baik yang disengaja (diet) maupun kekurangan gizi seperti yang terjadi di negara-negara berkembang. Penyebab lain anemia ialah penyakit-penyakit yang menyerang sumsum tulang seperti anemia aplastik dan keganasan, adanya penghancuran (hemolisis) sel darah merah, baik berupa penyakit bawaan maupun didapat. Perdarahan nyata maupun yang tidak terlihat juga merupakan salah satu penyebab anemia.
Tabel 1. Anemia menurut kriteria WHO Umur 6 bulan – <5 tahun
Kadar Hb (g/dL) < 11
>5 tahun – 14 tahun Dewasa laki-laki Dewasa perempuan (tidak hamil) Dewasa perempuan (hamil)
< 12 < 13 < 12 < 11
Masalah anemia pada anak di Indonesia
Data anemia di Jakarta dan Indonesia Anemia yang terbanyak ditemukan di berbagai negara di dunia baik negara maju maupun berkembang merupakan anemia akibat kekurangan zat besi. Di negara berkembang prevalensinya sekitar 50-60% dari jumlah penduduk.1 Di Indonesia, menurut survei Rumah Tangga (RT) tahun 1995, prevalensi itu mencapai 40,5% pada balita.1 Pada tahun 1999, survei di beberapa sekolah di Jakarta, menunjukkan prevalensi sebesar 50% yang merupakan anemia defisensi besi (ADB).2 Menurut survei RT tahun 2001 ditemukan prevalensi ADB sebesar 48,1% pada balita.3 Jadi, sebenarnya sekitar separuh penduduk Indonesia menunjukkan anemia, yang terutama disebabkan anemia defisiensi besi. Sumantri (1978) dan Idjradinata (1993) dalam disertasinya menyatakan bahwa anemia yang sering ditemukan di Indonesia, sama dengan yang ditemukan di negara berkembang lainnya yakni anemia oleh karena kekurangan gizi (nutrien besi).4,5 Dampak utama dari anemia kekurangan zat besi ialah rendahnya IQ (Intelligent Quotient) anak-anak tersebut. Hal ini tentu akan berdampak ke masa depan, anak-anak harapan bangsa kita ini. Penyakit malaria saat ini mulai meningkat kembali. Penyakit ini menimbulkan hemolisis sel darah merah yang mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin pasien. Demikian pula dengan tuberkulosis, sebagai penyakit yang menahun dapat menimbulkan anemia. Penyakit menahun lain yang menimbulkan anemia ialah thalassemia, suatu kelainan bawaan yang diturunkan secara resesif kepada anak-anaknya. Pada penyakit ini terdapat ketidakmampuan tubuh untuk membentuk rantai β atau rantai α hemoglobin normal (HbA). Di Indonesia, kelainan gen rantai β diperkirakan sekitar 5%, di beberapa wilayah bahkan bisa mencapai 10-15%.6 Kelainan gen α frekuensinya lebih rendah. Penyakit thalassemia, menimbulkan masalah mediko-sosial yang besar karena biaya penanganannya sangat mahal (Rp. 300 juta/anak/tahun), sedangkan penyembuhannya hingga saat ini belum ada. Tanpa penanganan yang baik, anak thalassemia akan menjadi disable seumur hidupnya. Penyakit ini sebenarnya dapat dicegah, dan WHO telah memberikan panduan pencegahannya.
Diagnosis anemia Untuk menegakkan diagnosis anemia dengan benar memerlukan pemeriksaan laboratorium tertentu. Minimal pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, retikulosit, lekosit, hitung jenis, trombosit, dan gambaran sediaan apus darah tepi. Dengan melihat sediaan apus darah tepi kita dapat menduga kemungkinan kekurangan zat besi, kekurangan asam folat, vitamin B12, adanya faktor hemolisis, tanda-tanda keganasan atau ketidakmampuan sumsum tulang memproduksi sel-sel darah (aplastik). Dari pemeriksaan darah tepi, kita dapat
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
melanjutkan pemeriksaan laboratorium lainnya untuk mendekati diagnosis yang benar. Kadang kita harus sampai ke pemeriksaan DNA, terutama pada kasus yang sulit.
Penanganan anemia Penanganan anemia tentu bergantung pada diagnosisnya. Tidak jarang kita dihadapkan pada keadaan darurat seperti anemia dengan gambaran klinis yang berat, sesak napas disertai tanda-tanda gagal jantung, atau adanya perdarahan hebat. Pada keadaan ini, tentu keselamatan pasien harus diutamakan dan diagnosis menjadi nomor dua. Tetapi bila mungkin, lakukanlah pemeriksaan sederhana sebelum memberikan transfusi darah.
Daftar Pustaka 1. Hellen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in Indonesia. Report of the policy workshop on iron deficiency anemia in Indonesia. Jakarta, 1997:h.1-16. 2. Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anemia gizi besi. Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono, penyunting. Gizi dalam angka sampai dengan tahun 2003. Jakarta: DEPKES, 2005. h.41-44. 3. Penelitian anemia di sekolah dasar rural Cibubur Jakarta Timur. Unpublished data. 4. Soemantri AG. The relationship between iron deficiency anemia and concentration and school performance. 1978. Doctoral thesis. Diponegoro University. 5. Idjradinata PS. Akselerasi pertumbuhan dan pulihnya perkembangan bayi anemia kekurangan zat besi dengan suplementasi zat besi. Disertasi Universitas Padjajaran Bandung. 1993. 6. Sofro AS. Molecular pathology of the β-thalassemia in Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995;26:5-8. 7. Ringo-Ringo HP, Windiastuti E. Profil parameter hematologik dan anemia defisiensi zat besi pada anak berumur 0-6 bulan di RSUD banjarbaru. Sari Pediatri 2006;7:214-218.
Perkembangan sistem hematopoietik Djajadiman Gatot, Endang Windiastuti Tujuan: 1. Mengetahui organ dan proses hematopoiesis. 2. Mengetahui proses perkembangan granulopoiesis dan trombopoiesis, eritropoiesis dan hemoglobin (Hb) normal.
H
ematopoiesis adalah proses pembentukan semua jenis sel darah dari sel induk hematopoietik, termasuk di dalamnya adalah proses selfrenewal dari sel induk, proliferasi serta diferensiasi menjadi sel darah yang matur.1,2 Perkembangan sistem hematopoietik dimulai sejak awal proses embriogenesis dan akan berlanjut dari masa perkembangan fetus sampai neonatus dengan beberapa perubahan. Perkembangan ini berbeda dengan perkembangan organ lain yang umumnya dibentuk pada masa fetus dengan lokasi yang tetap dan tidak terdapat pembentukan baru setelah dewasa. Sel darah yang dibentuk oleh sistem hematopoietik mempunyai usia yang tetap dan pendek, tergantung pada jenis sel, misalnya usia leukosit dan trombosit hanya beberapa hari, sedang eritrosit berusia 120 hari, dan penggantian sel ini menghasilkan sel darah dalam rentang waktu yang relatif konstan. Sistem hematopoietik dalam perkembangannya memerlukan regulasi yang sangat kompleks. Regulasi ini dimulai sejak masa fetus yang sangat berbeda dibandingkan pada manusia dewasa. Pada orang dewasa, homeostatik dipertahankan oleh sistem regulasi hematopoietik primer, sedang pada masa embrio dan fetus terjadi perubahan-perubahan yang khas dan konstan pada semua fase perkembangan hematopoiesis. Setiap sel mempunyai regulatory growth factors yang berperan penting agar sel darah tetap dibentuk sesuai dengan jalur dan tipe sel.
Organ hematopoietik. Selama masa perkembangan pranatal, lokasi hematopoiesis berubah beberapa kali (Gambar 1.). Jaringan hematopoietik pertama kali tumbuh dari lapisan germinal mesoderm yang dibentuk pada saat proses grastulasi di vertebra embrio dan akan membentuk dua jenis hematopoiesis. Pertama disebut hematopoiesis
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
primitif yang tumbuh dari ekstra embrionik yolk-sac pada saat embrio berusia 19 hari, dan akan terus membentuk pulau-pulau darah sampai embrio berusia 8 minggu. Jenis kedua disebut hematopoiesis definitif yang tumbuh tidak lama setelah hematopoiesis primitif dan dimulai dari area splanchnopleura intra embrionik yang akan berkembang menjadi area aorta-gonad-mesonefros (AGM). Penelitian membuktikan bahwa endotelium AGM merupakan tempat yang sangat potensial dalam menunjang proses diferensiasi sel induk hematopoietik.3,4 Hematopoiesis primitif berlangsung tidak lama, dan akan berhenti pada saat embrio berusia 8 minggu. Hematopoiesis definitif akan berlangsung terus sampai periode postnatal. Perbedaan lain adalah hematopoiesis primitif terutama memproduksi sel eritrosit, sedang hematopoiesis definitif selain memproduksi eritrosit juga semua jenis sel darah (granulosit, limfosit, monosit dan megakariosit). Hematopoiesis definitif diawali oleh pembentukan pulau-pulau darah baru terutama di daerah ventral dari dorsal aorta dan proksimal vitelin serta arteri umbilikalis. Setelah hematopoiesis definitif terbentuk maka secara cepat hepar fetus akan dirangsang untuk menjadi tempat utama pembentukan hematopoiesis pada periode midgestasional. Limpa juga berperan selama masa hematopoiesis ini. Sel eritrosit dibuat oleh hepar fetus dalam bentuk seperti eritrosit dewasa ( tanpa inti ) dengan rantai globin α yang sama namun rantai globin β yang berbeda 1. Pada masa berikutnya, sumsum tulang menjadi tempat utama bagi pembentukan hematopoietik sampai dewasa. Sumsum tulang pada bayi dan anak mempunyai area aktif yang relatif lebih banyak dibandingkan dewasa, untuk memenuhi kebutuhan yang relatif lebih banyak karena proses tumbuh kembang seorang bayi.2
Gambar 1. Migrasi dan perjalanan perkembangan hematopoietik pada masa fetus 4.
Perkembangan sistem hematopoietik
Sel induk hematopoietik Sel induk adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk memperbaharui dirinya serta berdiferensiasi.5,6. Sel ini bersifat klonal (tunggal), pluripoten yang merupakan sel prekursor dari semua sel darah termasuk golongan mieloid (monosit, makrofag, neutrofil, basofil, eosinofil, eritrosit, megakariosit/trombosit dan beberapa sel dendritik) dan golongan limfoid (sel T, sel B dan beberapa sel dendritik). Jaringan hematopoietik mempunyai kemampuan regenerasi jangka pendek dan jangka panjang serta mempunyai progenitor yang multipoten, oligopoten dan unipoten. Kemampuan sel induk untuk memperbaharui dirinya serta berdiferensiasi harus ditunjang dengan microenvironment yang sesuai dan proses ini juga memerlukan interaksi antara hematopoietik induk/ sel progenitor dengan elemen stroma dari lokasi hematopoietik tersebut.3 Sel induk hematopoietik pada bayi dan anak umumnya ditemukan pada sumsum tulang yang terdapat pada tulang panjang seperti tulang tibia dan pelvis, sedang pada orang dewasa juga ditemukan pada tulang sternum dan iga. Di bawah pengaruh lokal dan humoral, sel induk pluripoten secara lambat akan melakukan replikasi dan berdiferensiasi menjadi jalur limfoid dan myeloid yang nantinya akan menjadi progenitor eitropoiesis, megakariopoiesis, granulopoiesis dan makrofag (Gambar 2.). Perkembangan, pembentukan serta regulasi sel hematopoietik memerlukan beberapa hematopoietic growth factors (Tabel 1.) yang mempunyai peran penting.
Gambar 2. Pengaruh lokal dan humoral pada regulasi perkembangan hematopoetik pada setiap tahap (diambil dari Hoffbrand AV, Lewis SM, dan Tuddenham EGD. Postgraduate Hematology 4th ed.Oxford:Butterworth Heinemann,1999.h.5)
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Tabel 1. Hematopoietic Growth Factors dan aktivitasnya.1,2 Sitokin Interleukin
Sitokin aktif pada Sel Induk Limfopoiesis Aktivitas Utama
IL-1
Menginduksi produksi sitokin lain dari beberapa sel; membantu stimulasi sel induk; modulasi respon imun
IL-2 IL-3 IL-4
T-cell growth factor, menghambat mielopoiesis dan eritropoiesis Stimulator multilineage (myeloid, eritroid, limfoid, megakariositik) Stimulus terhadap sel B dan sel dendritik; modulasi respon imun; ikut menstimulasi CFU-GM dan CFU-E
IL-5 IL-6
Stimulus terhadap sel B dan eosinofil Stimulus terhadap megakariopoiesis dan bersifat sinergis dengan IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, GM-CSF; meningkatkan proliferasi sel plasma.
IL-7 IL-8
Stimulus terhadap sel pre-B and sel induk Stimulus terhadap produksi dan fungsi neutrofil; berperan sebagai faktor proinflamator.
IL-9
Membantu stimulus terhadap CFU-GM; bersama eritropoietin menstimulasi BFU-E; meningkatkan produksi sel T; meningkatkan produksi sel mast bersamal IL-3.
IL-10 IL-11 IL-12 IL-13
Menghambat produksi sitokin, modulasi sel imun, stimulasi sel mast Aktifitasnya bersama IL-6. Meningkatkan pembentukan sel imunokompeten Menghambat produksi sitokin oleh monosit; stimulasi sel B dan aktivasi sel T.
IL-14 IL-15 IL-16 IL-17
Faktor pertumbuhan sel B Merangsang aktivitas sel T Berperan sebagai imunomodulator. Stimulus produksi Il-6, IL-8 dan G-CSF; membantu meningkatkan adesi molekul.
IL-18
Menginduksi produksi GM-CSF dan interferon-γ; menghambat produksi IL-10.
Colony-Stimulating Factors dan Eritropoietin CSF-1
Meningkatkan produksi dan fungsi monosit
G-CSF
Stimulus produksi granulosit dan meningkatkan fungsinya; stimulasi sel pre-B Stimulus produksi GM-CSF, monosit, granulosit, eosinofil, basofil; membantu menstimulasi beberapa jenis sel progenitor termasuk sel induk multipoten
GM-CSF Eritropoietin FLT-3 ligand Trombopoietin
Stimulus terhadap produksi eritrosit; membantu menstimulasi BFU-E, CFUMEG dan CFU-E Membantu stimulus terhadap sel induk multipoten dan sel dendritik. Regulator utama terhadap proliferasi dan diferensiasi megakariosit; membantu stimulus sel induk multipoten bersama IL-11; membantu proses eritropoiesis secara sinergis dengan eritropoietin.
IL = interleukin, CFU-GM = colony forming unit granulocyte macrophage, CFU-E = colony forming unit erythrocyte, GM-CSF = granulocyte macrophage colony stimulating factor, BFU-E = erythroid burst forming unit, CFU-MEG = colony forming unit megakaryocyte granulocyte.
Perkembangan sistem hematopoietik
Secara garis besar, hematopoietic growth factors merangsang proliferasi dengan cara menginduksi diferensiasi sel, mitogenesis dan mencegah apoptosis. Ada beberapa mekanisme faktor pertumbuhan ini dalam mencegah apoptosis, antara lain dengan meningkatkan sintesis protein anti apoptosis yang merupakan bagian dari gen bcl-2.1 Mekanisme lain adalah aktivasi protein kinase yang diduga akan membuat stimulasi terhadap gen bcl-2 untuk mencegah apoptosis.
Granulopoiesis Granulopoiesis terjadi di tempat yang sama dengan eritropoiesis kecuali limfopoiesis. Berdasarkan fungsinya maka leukosit dapat dibagi menjadi golongan granulositik, monositik dan limfosit. Granulopoietik khususnya neutrofil tidak diproduksi oleh yolk sac namun mulai dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di hepar fetus. Neutrofil merupakan golongan sel darah putih yang dibentuk pertama oleh fetus dan tidak seperti eritrosit yang dihasilkan oleh pulau-pulau darah di tempat tertentu maka neutrofil diproduksi di beberapa tempat yang menyebar terutama dekat dengan pembuluh darah yang kemudian dibawa ke hati 6 . Neutrofil juga tidak diproduksi oleh limpa namun dapat ditemukan pada limpa dalam bentuk yang matur yang kemudian menghilang, hal ini menyokong pendapat bahwa neutrofil setelah dibentuk akan dibawa melalui sirkulasi ke hati. Neutrofil dapat ditemukan pertama kali pada fetus berusia 5 minggu dalam kelompok kecil di sekitar aorta. Sel ini mengandung mieloperoksidase. Sumsum tulang mulai berkembang pada fetus berusia 8 minggu dan sampai usia 10 minggu akan terjadi perkembangan sumsum tulang yang pesat, namun neutrofil belum dapat ditemukan pada saat itu dan baru dapat ditemukan pada usia gestasi 10.5 minggu. Neutrofil pertama ini mempunyai inti bulat, mengandung mieloperoksidase dan dengan karakterisitik permukaan sebagai mieloblas dan promielosit. Sejak fetus berusia 14 minggu sampai lahir, sumsum tulang terutama diisi oleh neutrofil. Golongan makrofag (monosit) dibentuk oleh fetus pertama kali dibeberapa tempat yaitu yolk sac, hati, paru dan otak sebelum sumsum tulang terbentuk. Mekanisme regulasi granulopoiesis pada fetus belum sepenuhnya dimengerti, namun peran G-CSF dan M-CSF sangat penting, hal ini terbukti dari ekspresinya pada tulang fetus berusia 6 minggu dan pada hati fetus berusia 8 minggu. Sel darah putih lain adalah limfosit yang terutama diproduksi oleh sumsum tulang dan kelenjar timus. Sel induk pluripoten akan menjadi sel induk limfoid (CFU-L) diduga melalui stimulasi hormon spesifik dan akan mengha
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
silkan limfosit matur melalui beberapa keadaan. Sel limfosit yang diproduksi di bawah pengaruh kelenjar timus disebut sebagai sel T sedang sel B diproduksi oleh sumsum tulang.
Trombopoiesis Megakariosit diproduksi awalnya oleh sel induk pluripoten yang dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan (CSF) akan berdiferensiasi menjadi progenitor megakariosit dan akhirnya menghasilkan trombosit. Trombopoietin merupakan regulator fisiologik terhadap produksi trombosit yaitu merangsang Colony Forming Unit- Megakaryocyte (CFU-M) untuk memperoduksi megakariosit.1,6 Trombopoietin terutama ditemukan di ginjal dan hati. Proses produksi trombosit pada fetus dan pelepasannya dari megakariosit tidak sepenuhnya dimengerti meskipun proses ini sudah terjadi pada fetus.
Eritropoiesis Proses eritropoiesis dimulai sejak fetus dan dalam masa ini eritropoiesis dikendalikan oleh erythroid growth factor (eritropoietin) yang dihasilkan oleh fetus sendiri. Eritropoietin (EPO) tidak dapat menembus plasenta, sehingga stimulus terhadap eritropoietin maternal tidak akan meningkatkan produksi
Gambar 3. Tahapan proses eritropoiesis (diambil dari Schiffman FJ. Hematology Pathophysiology. Philadelphia:Lippincott Raven,1998.p.53)
Perkembangan sistem hematopoietik
eritrosit fetus, begitu pula sebaliknya supresi eritropoiesis pada ibu hamil tidak akan menimbulkan tekanan terhadap eritropoiesis fetus. Mekanisme regulasi eritropoiesis pada fetus masih belum sepenuhnya dimengerti meskipun terbukti ada beberapa stimulating factors yang berperan dalam menciptakan microenvironment, diferensiasi serta pematangan sel eritrosit. Namun, ternyata peran EPO lebih penting dibandingkan yang lain. Hati fetus dapat menghasilkan EPO selama kehamilan trimester pertama dan kedua, pada saat ini monosit dan makrofag merupakan sel yang menghasilkan EPO. Pada kehamilan trimester ketiga dan pada bayi berusia 1 minggu, organ yang memproduksi EPO berpindah dari hati ke ginjal. Mekanisme perpindahan ini diduga karena adanya perubahan tekanan oksigen pada arteri yang bermakna saat lahir.6 Proses eritropoiesis melibatkan beberapa sel yang berbeda dalam tingkat maturasi (Gambar 3.), yang awali dengan sel induk sampai pada sel eritrosit yang matang. Progenitor eritroid merupakan sel eritroid imatur yang sulit diidentifikasi secara morfologis namun dapat dideteksi dari fungsinya yaitu kemampuannya membentuk koloni eritroblas secara invitro. Penelitian membuktikan paling sedikit terdapat 2 jenis progenitor eritroid pada manusia yaitu CFU-E dan BFU-E, dengan pengaruh EPO maka kedua progenitor ini akan membuat koloni proeritroblas atau pronormoblas yang baik. Istilah eritroblas digunakan untuk semua sel eritrosit berinti sedangkan sel prekursor eritrosit disebut sebagai pronormoblas atau proeritroblas. Pada fase ini, hanya sedikit kandungan hemoglobin yang dapat dideteksi begitu pula zat besi, fase berikutnya ialah normoblas basofilik, atau eritroblas basofilik yang tidak lagi mengandung anak inti. Pematangan berlanjut menjadi normoblas polikromatofilik atau normoblas asidofilik dengan kandungan RNA ribosomal yang makin sedikit dan hemoglobin yang lebih banyak. Eritrosit yang kehilangan inti disebut sebagai retikulosit dengan ukuran lebih besar dari sel eritrosit matur dan mengandung organel sitoplasmik. Retikulosit akan masuk ke sirkulasi darah dan akan bertahan selama 1 hari untuk kemudian menjadi eritrosit matur. Perhitungan nilai retikulosit dapat digunakan sebagai parameter aktifitas eritropoiesis sumsum tulang. Pengendalian sistem eritropoiesis sangat penting karena sistem ini harus stabil menghadapi situasi baik normal maupun tidak normal. Perubahan pada kadar hemoglobin menyebabkan perubahan tekanan oksigen pada jaringan di ginjal, hal ini menimbulkan reaksi ginjal untuk mengeluarkan EPO yang akan merangsang sel progenitor eritrosit untuk berdiferensiasi (Gambar 4.).
Hemoglobin Hemoglobin merupakan bagian yang penting dari eritrosit sehingga proses biosintesisnya sangat berkaitan erat dengan eritropoiesis. Perubahan morfologi 10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Gambar 4. Peranan kadar oksigen dan eritropoitin pada proses eritropoisis (diambil dari Hoffbrand AV, Lewis SM, dan Tuddenham EGD. Postgraduate Hematology 4th ed.Oxford:Butterworth Heinemann,1999.h.17).
dan tingkat kematangan prekursor eritrosit berhubungan dengan produksi dan kandungan hemoglobin, ditandai dengan adanya aktivasi gen yang berhubungan dengan pembentukan hemoglobin pada awal diferensiasi CFU-E menjadi prekursor eritrosit. 7 Sintesis hemoglobin memerlukan 3 proses metabolik yang kompleks yang berhubungan dengan tiga komponen struktur dari hemoglobin yaitu protein (globin), protoporfirin dan besi. Interaksi yang dinamis antara heme dan globin membuat hemoglobin mempunyai kemampuan untuk pengangkutan oksigen yang reversible. Hemoglobin merupakan molekul tetramer yang terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida yang berbeda pada masa fetus, bayi dan dewasa. Pada orang dewasa, hemoglobin utama adalah Hb A yang terdiri dari 1 pasang rantai α dan 1 pasang rantai β ( α2β2), sedang hemoglobin pada fetus terutama terdiri dari 1 pasang rantai α dan 1 pasang rantai γ (α2γ2). Jenis rantai globin bervariasi dan berbeda tergantung dari jenis serta jumlah asam amino yang membentuknya dan untuk itu terdapat kromosom yang mengatur pembentukannya, untuk rantai α diatur oleh kromosom 16, sedang kromosom 11 mengatur pembentukan rantai β, γ dan λ. Terdapat 6 hemoglobin normal yang berbeda yang dapat ditemukan mulai dari masa embrio, fetus, anak dan orang dewasa yaitu hemoglobin embrionik: Gower 1, Gower 2 dan Portland; hemoglobin fetal: Hb F; hemoglobin dewasa: Hb A dan Hb A2. (Gambar 5.). Hemoglobin embrionik dibentuk pada awal kehidupan embrio dengan ciri-ciri yang mirip dengan Hb F. Rantai zeta (ξ) pada Hb Portland dan 11
Perkembangan sistem hematopoietik
Gambar 5. Sintesis rantai globin (diambil dari Israels LG dan Israels ED. Mechanism of Hematology. Winnipeg Canada:Core Health Service Inc.,2002.h.134)
Gower-1 mempunyai struktur yang menyerupai rantai α. Pada masa gestasi 4 – 8 minggu, Hb Gower mendominasi tetapi pada bulan ketiga kehamilan Hb Gower sudah menghilang. Hemoglobin fetal (Hb F) mempunyai sifat yang resisten terhadap denaturasi oleh alkali kuat. Setelah masa kehamilan 8 minggu, Hb F mendominasi dan mencapai 90% dari total hemoglobin pada masa gestasi 24 minggu. Selama kehamilan trimester ketiga, Hb F akan menurun secara perlahan sehingga pada saat lahir Hb F tinggal 70% dari hemoglobin total dan sintesis Hb F akan menurun secara drastis, sehingga pada bayi berusia 6 – 12 bulan hanya terdapat < 3% dan menjadi < 2% pada anak yang lebih besar.7,8 Hemoglobin A (dewasa) sudah dapat ditemukan pada embrio yang sangat muda sehingga dimungkinkan mendeteksi adanya hemoglobinopati pada masa pranatal atau kelainan pembentukan rantai globin pada kehamilan 12 minggu. Pada kehamilan 24 minggu, terdapat Hb A sebesar 5-10% yang secara konstan akan terus meningkat jumlahnya sampai 30% pada saat lahir. Kadar Hb A mencapai kadar orang dewasa pada bayi berusia 6 – 12 bulan, selain itu komponen minor Hb A2 ditemukan < 1% pada saat lahir. Rasio normal Hb A : Hb A2 ialah 30 : 1. 12
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Selama masa fetus dan awal masa kanak-kanak, kecepatan sintesis rantai γ dan rantai β serta jumlah Hb A dan Hb F mempunyai hubungan yang terbalik. Peningkatan rasio rantai α1/ α2 yang terjadi setelah usia gestasi 36 minggu diikuti dengan penurunan sintesis rantai γ yang cepat, hal ini mungkin dikoordinasikan oleh mekanisme molekuler.7
Daftar Pustaka. 1. Bondurant MC, Koury MJ. Origin and development of blood cells. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2004. h.169-193 2. Sieff CA, Nathan DG, Clark SC. The anatomy and physiology of hematopoiesis. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-5. Philadelphia: W.B. Saunders, 1998. h.162-216. 3. Ohneda O, Fennie C, Zheng Z, Donahue C, La H, Villacorta R, Cairns B, Lasky LA. Hematopoietc stem cell maintenance and differentiation are supported by embryonic aorta-gonad-mesonephros region-derived endothelium. Blood 1998;92:908-919. 4. Mikkola HKA, Orkin SH. The journey of developing hematopoietic stem cells. Development 2006;133:3733-3744. 5. Lubis B. Eritropoiesis. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi onkologi anak. Edisi ke-1. Badan Penerbit IDAI, 2005. h.1-6. 6. Ohls RK, Christensen RD. Development of the hematopoietic system. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h.1599-1606. 7. Dessypris EN, Sawyer ST. Erythropoiesis. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2004. h.194-214. 8. Piomelli S. Developmental hematology. Dalam: Weiner MA, Cairo MS, penyunting. Pediatric hematology / oncology secrets. Edisi ke-1. Philadelphia, 2002. h.5-6.
13
Klasifikasi anemia pada anak dan bayi Endang Windiastuti Tujuan: 1. Mengetahui jenis-jenis klasifikasi anemia pada anak. 2. Mengetahui jenis-jenis klasifikasi anemia pada bayi.
A
nemia bukanlah suatu diagnosis namun merupakan gejala dari suatu penyakit sehingga penting untuk mengetahui klasifikasi anemia agar memudahkan mencari penyebabnya. Sebagian besar anemia ditemukan secara tidak sengaja pada saat melakukan pemeriksaan rutin pada anak yang sehat atau pada keadaan sakit berat. Secara umum, anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai dengan umur (Tabel 1.). Keadaan ini mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah menurun. Bila kita menemukan seorang anak dengan anemia maka penting untuk menentukan apakah kejadian anemia tersebut disertai atau tanpa disertai kelainan / gangguan pada leukosit dan trombosit. Bila anemia disertai kelainan leukosit dan trombosit maka keadaan ini umumnya menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang (seperti pada leukemia, anemia aplastik) atau penyakit imunologis (AIDS dan SLE). Usia eritrosit normal adalah 120 hari, setelah itu eritrosit akan dimusnahkan dari sirkulasi melalui sistem retikuloendotelial. Pada keadaan normal dan stabil, kehilangan / penghancuran eritrosit setiap harinya diimbangi dengan proses eritropoiesis yang efektif dan anemia merupakan hasil ketidakseimbangan antara pembentukan eritrosit dengan proses hemolisis dan/ atau perdarahan. Secara garis besar proses fisiologis yang menjadi etiologi anemia dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu : (1) produksi eritrosit yang tidak efektif dan (2) destruksi eritrosit yang meningkat atau perdarahan. Kedua kategori di atas kadang saling berhubungan sebagai penyebab anemia selain itu mekanisme terjadinya anemia lebih dari satu namun bila ditemukan satu kelainan fungsional maka dapat dijadikan penyebab anemia yang utama. 14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Tabel 1. Kriteria anemia menurut kriteria WHO1 Usia 6 bulan - < 5 tahun > 5 tahun – 14 tahun Perempuan sehat Perempuan hamil Lelaki dewasa
Kadar Hb (g/dL) < 11 < 12 < 12 < 11 < 13
Klasifikasi anemia pada anak berdasarkan gangguan fungsional secara umum dapat dibagi menjadi 3 kategori (Tabel 2.) : I. Gangguan pembentukan sel eritrosit yang efektif II. Kehilangan darah / perdarahan III. Proses hemolitik / destruksi sel eritrosit Tabel 2. Klasifikasi fisiologis anemia pada anak menurut penyebabnya2,3 I. Gangguan pembentukan sel eritrosit yang efektif 1. Kegagalan sumsum tulang: a. Anemia aplastik : Kongenital Didapat b. Pure red cell aplasia : Sindroma Diamond-Blackfan Eritroblastopenia transien c. Desakan terhadap sumsum tulang 1) Keganasan 2) Osteopetrosis 3) Mielofibrosis d. Pancreatic insufficiency-marrow hypoplasia syndrome 2. Kegagalan produksi eritropoietin : a. Penyakit ginjal kronik b. Hipotiroidism, hipopituitarism c. Inflamasi kronik d. Malnutrisi protein 3. Gangguan maturasi sitoplasma sel eritrosit : a. Defisiensi besi b. Sindroma thalassemia c. Anemia sideroblastik d. Keracunan logam (lead) 4. Gangguan maturasi inti : a. Defisiensi vitamin B12 b. Defisiensi asam folat c. Thiamine-responsive megaloblastic anemia d. Kelainan metabolisme folat herediter e. Asiduria orotik 5. Anemia diseritropoietik primer 6. Protopofiria eritropoietik 7. Anemia sideroblastik refrakter II. Kehilangan darah / perdarahan. 1. Perdarahan akut 2. Perdarahan kronik III. Proses hemolitik / penghancuran sel eritrosit 1. Kelainan hemoglobin : a. Structural mutants b. Penurunan produksi globin ( Thalassemia)
15
Klasifikasi anemia pada anak dan bayi
2. Kelainan membran sel darah merah 3. Kelainan metabolisme sel darah merah 4. Reaksi antibodi 5. Mechanical injury to the erythrocyte : a. Sindroma hemolitik uremik b. Purpura trombositopenik trombotik c. Koagulasi intravaskuler diseminata. 6. Thermal injury to the erythrocyte 7. Oxidant-induced red cell injury. 8. Infectious agent-induced red cell injury 9. Hemoglobinuri nocturnal paroksismal. 10. Plasma-lipid-induced abnormalities of the red cell membrane.
Anemia merupakan manifestasi yang umum terjadi pada beberapa keadaan seperti kelainan sumsum tulang, kelainan primer eritrosit, penyakit inflamasi, defisiensi nutrisi dan penyakit sistemik lainnya. Eritrosit melalui hemoglobin merupakan satu-satunya sel yang sangat penting karena bertanggung jawab dalam transportasi oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Pada keadaan anemia akan terjadi hipoksia jaringan yang akan merangsang pembentukan eritropoietin (EPO) di ginjal sehingga terjadi peningkatan eritropoiesis. Peran EPO terutama pada pematangan sel progenitor eritrosit menjadi proeritroblas dalam sumsum tulang. Anemia yang terjadi akibat kegagalan sumsum tulang menyebabkan sumsum tulang tidak mampu memproduksi eritrosit untuk menggantikan yang hilang akibat proses fisiologis atau patologis. Pada keadaan ini, retikulosit dan normoblas dalam sumsum tulang akan rendah sesuai dengan derajat anemianya. Pada penyakit anemia aplastik, produksi eritropoietin normal namun tetap terjadi anemia karena terjadi penurunan sel stem hematopoietik dan atau sel progenitor eritrosit. Sumsum tulang yang aplasi atau hipoplasi juga dapat disebabkan oleh karena desakan (infiltrasi) pada keganasan, obat-obat kemoterapi, kloramfenikol dan radiasi. Anemia dapat juga terjadi karena produksi EPO yang kurang, keadaan ini dapat ditemukan pada penyakit ginjal kronis, hipotiroid, penyakit inflamasi kronik dan malnutrisi protein. Gangguan maturasi sitoplasma eritrosit dapat menimbulkan keadaan anemia, hal ini disebabkan oleh defisiensi besi. Besi dibutuhkan terutama pada sintesis heme tahap akhir, hal serupa juga ditemukan pada sindroma thalassemia, anemia sideroblastik dan keracunan logam. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat menyebabkan sintesis DNA terganggu yang akan menyebabkan gangguan pembelahan sel prekursor eritrosit. Defisiensi vitamin B12 umumnya jarang terjadi karena intake yang kurang mengandung kobalamin, namun lebih sering karena gangguan absorpsi seperti pada keadaan atrofi gaster dan gangguan absorpsi pada ileum terminal oleh karena pemakaian obat-obatan anti kejang seperti karbamazepin, asam 16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
valproat, fenitoin, diazepam dan fenobarbital. Defisiensi asam folat umumnya disebabkan oleh karena intake yang kurang atau karena kebutuhan yang meningkat seperti pada anak yang sedang dalam fase pertumbuhan. Anemia dapat terjadi karena proses hemolitik yang meningkat, proses ini dapat terjadi oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari kelainan membran eritrosit (eliptositosis, sferositosis, stomatositosis), kelainan enzim eritrosit (defisiensi glucose-6-phosphat dehydrogenase, γ-glutamylcysteine, piruvat kenase) dan kelainan molekul Hb ( Hb C, Hb S, thalassemia). Faktor ekstrinsik terdiri dari zat kimia (obat-obatan, bias ular), infeksi (bakteri, malaria), reaksi imun (reaksi transfusi, AIHA, inkompatibiltas ABO, paroxysmal noctural hemolytic), luka bakar, traumatik dan anemia hemolitik mikroangiopatik. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis anemia karena dapat menentukan gambaran anemia tersebut apakah hipokromik, mikrositik, normositik, makrositik atau terdapat sel abnormal seperti sferosit, sel target atau sel blas. Nilai Mean corpuscular volume (MCV) menunjukkan ukuran sel darah merah yang terdiri dari mikrositik (< Tabel 3. Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel darah merah2-4 A. Anemia mikrositik 1. Defisiensi besi (nutritional, perdarahan kronis) 2. Keracunan kronik logam (lead) 3. Sindroma Thalassemia 4. Anemia sideroblastik 5. Inflamasi kronik B. Anemia makrositik 1. Sumsum tulang megaloblastik a. Defisiensi vitamin B12 b. Defisiensi asam folat c. Asiduria orotik herediter d. Thiamine-responsive anemia 2. Sumsum tulang tidak megaloblastik a. Anemia aplastik b. Sindroma Diamond-Blackfan c. Hipotiroidism. d. Penyakit hati e. Infiltrasi sumsum tulang f. Anemia diseritropoietik. C. Anemia normositik 1. Anemia hemolitik kongenital a. Mutasi hemoglobin b. Defek enzim sel darah merah c. Kelainan pada membran sel darah merah 2. Anemia hemolitik didapat a. Antibody-mediated b. Anemia hemolitik mikroangiopatik c. Anemia hemolitik sekunder pada infeksi akut 3. Kehilangan darah akut 4. Splenic pooling 5. Penyakit ginjal kronik.
17
Klasifikasi anemia pada anak dan bayi
7µm), makrositik (>8.5 µm) dan normositik (7 – 8.5 µm). Klasifikasi anemia secara morfologis membagi anemia menjadi 3, berdasarkan ukuran sel darah merah (Tabel 3.). Lanzkowsky6 mempunyai klasifikasi tersendiri untuk anemia pada masa neonatus seperti tampak pada Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi anemia pada masa neonatus I. Perdarahan : A. Pranatal 1. Transplasental fetomaternal 2. Intraplasental 3. Retroplasental 4. Twin-to-twin transfusion B. Intranatal 1. Kelainan umbilikus (ruptur, hematoma) 2. Kelainan plasenta ( plasenta multilobar, plasenta previa, abruptio placentae, trauma pada tindakan operasi sesar) C. Postnatal. 1. Eksternal ( perdarahan dari umbilikus, perdarahan gastrointestinal,iatrogenik). 2. Internal ( sefalhematom, perdarahan subaponeurotik/ subdural/ subarakhnoid/intraserebral, perdarahan retroperitoneal, hematom subcapsular hepar, ruptur hepar, ruptur lien) II. Anemia hemolitik : A. Defek kongenital eritrosit 1. Kelainan membran (sferositosis, eliptositosis, stomatositosis) 2. Kelainan hemoglobin (thalassemia, unstable hemoglobins) 3. Kelainan enzim (piruvat kinase, G6PD) B. Defek eritrosit didapat 1. Imun ( Rh, ABO, minor blood group) 2. Non-imun (infeksi, mikroangiopatik, efek toksik obat dan zat kimia, penyakit metabolik). III. Kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. A. Kongenital (anemia Diamond-Blackfan, anemia Fanconi) B. Didapat (infeksi virus, prematuritas)
Dengan mengetahui klasifikasi anemia pada anak dan bayi maka diharapkan lebih mempermudah mengetahui penyebab serta mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mendiagnosis anemia sehingga dengan demikian penanganannya menjadi lebih akurat dan lebih dini.
Daftar Pustaka 1. World Health Organization. Iron deficiency anemia : assessment, prevention and control [diakses 1 Juni 2007]. Diunduh dari http://www.who.int/reproductive health/docs/anaemia.pdf. 2. Lanzkowky P. Classification and diagnosis of anemia during childhood. Dalam: Lanzkowky P, Willis K, penyunting. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-2. New York: Churchill Livingstone;1995. h 1-34. 3. Oski F, Brugnara C, Nathan DG. A diagnostic approach to the anemic patient. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, penyunting. Hematology of infancy and child-
18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
hood. Edisi ke-6. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2003. h 375-384. 4. Sheth S. Diagnostic approach to anemia in childhood. Dalam: Weiner MA, Cairo MS, penyunting. Pediatric hematology / oncology secrets. Edisi ke-1. Philadelphia: Hanley & Belfus; 2002. h.1-4. 5. Pappo AS, Fields BW, Buchanan GR. Etiology of red blood cell macrocytosis during childhood: impact of new disease and therapies. Pediatrics. 1992;89:10631067. 6. Lanzkowky P. Anemia during tha neonatal period. Dalam: Lanzkowky P, Willis K, penyunting. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-2. New York: Churchill Livingstone;1995. h 15-33.
19
Pendekatan diagnosis anemia pada anak Pustika Amalia W. Wahidiyat Tujuan: 1. Mampu melakukan anamnesis yang baik yang mengarah ke diagnosis anemia pada anak. 2. Mampu melakukan pemeriksaan fisis dan mencari kelainan yang mengarah ke diagnosis anemia pada anak. 3. Mampu menginterpretasikan hasil laboratorium sederhana untuk menegakkan diagnosis anemia pada anak.
A
nemia merupakan satu di antara berbagai masalah yang sering ditemukan pada anak. Anemia dapat disebabkan oleh berbagai etiologi mulai dari anemia karena kekurangan nutrien hingga akibat kelainan bawaan. Gejala yang muncul juga sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai yang menimbulkan gejala berat. Anemia bukan merupakan suatu diagnosis. Rendahnya kadar hemoglobin (Hb) memberi petunjuk pada klinisi bahwa telah terjadi penurunan volume sel darah merah (SDM) yang harus dicari penyebabnya. Oleh karena penyebab anemia ini sangat banyak, kita sebagai klinisi harus waspada akan penyebab anemia pada anak dan harus benar-benar mengetahui bagaimana mengevaluasi anemia pada anak secara sistematis.1
Definisi Anemia Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya konsentrasi hemoglobin di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin.2
Pendekatan diagnosis Pada semua kasus penurunan kadar hemoglobin (anemia) dengan atau tanpa ditemukannya gejala klinis, pendekatan diagnosis dilakukan dengan melakukan anamesis yang baik, pemeriksaan fisis, dan ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium sederhana. Pemeriksaan laboratorium sederhana biasanya sudah 20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Tabel 1. Anemia menurut kriteria WHO:3 Usia 6 bulan - < 5 tahun ≥ 5 tahun - 14 tahun Dewasa lelaki Dewasa perempuan (tidak hamil) Dewasa perempuan (hamil)
Hemoglobin (g/dL) < 11 < 12 < 13 < 12 < 11
dapat memberi arahan pada kita untuk mencari penyebab dari anemia. Selain itu, ada pula pemeriksaan khusus yang harus atau sebaiknya dilakukan.1
Anamnesis Pada sebagian besar anak dengan anemia hanya sedikit yang menunjukkan gejala klinis, oleh karena itu diperlukan anamnesis yang baik. Dari anamnesis saja kadang-kadang kita dapat menentukan kemungkinan penyebab anemia. Dalam anamnesis kita perlu menanyakan hal-hal tersebut di bawah ini.1,2,4-7
1. Pucat Untuk mencari penyebab pucat, sebaiknya ditanyakan sudah berapa lama keadaan ini berlangsung (akut/kronis), walaupun biasanya orangtua tidak memperhatikan hal ini. Jika pucat baru saja terjadi (akut) pikirkan kemungkinan terjadinya anemia aplastik, leukemia akut, atau anemia hemolitik akut. Namun jika pucatnya sudah berlangsung lama dapat dipikirkan kemungkinan penyakit anemia defisiensi, thalassemia, anemia hemolitik autoimun (AIHA), bahkan mungkin malaria, oleh sebab itu perlu ditanyakan riwayat bepergian ke daerah endemis malaria.
2. Infeksi Penyakit infeksi seperti hepatitis, infeksi akut lain yang berat atau infeksi kronis dapat menimbulkan anemia defisiensi besi (ADB), anemia aplastik, anemia hemolitik dan aplasia sel darah merah. Diare yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan gangguan absorpsi besi, asam folat, dan vitamin B12. Diare kadang disertai perdarahan tersamar (occult blood loss), yang sering ditemukan pada infestasi parasit (cacing tambang, amuba, trichuris trichiura) sehingga dapat menyebabkan ADB.
3. Usia Anemia pada masa neonatal umumnya terjadi akibat suatu proses perdarahan baik yang akut maupun kronis pada masa pra, intra, dan pascanatal. Hemolisis kongenital sebagai akibat proses isoimmunization seperti yang terjadi pada ketidakcocokan golongan darah ABO atau rhesus sering ditandai adanya riwayat 21
Pendekatan diagnosis anemia pada anak
hiperbilirubinemia. Anemia pada periode ini dapat pula disebabkan oleh infeksi kongenital seperti infeksi akibat TORCH. Penyebab lain yang jarang terjadi yaitu gangguan produksi sel darah merah yang jarang terjadi baik kongenital seperti Diamond Blackfan Syndrome, atau didapat akibat adanya infeksi virus, atau anemia akibat prematuritas.4 Di negara maju, anemia akibat defisiensi nutrien pada bayi cukup bulan di bawah usia 6 bulan jarang terjadi, tetapi di negara seperti Indonesia hal ini perlu dipikirkan. Pada penelitian di Banjar Baru, 38,8% bayi kurang dari 6 bulan menderita ADB.5 Riwayat prematuritas atau kehamilan kembar, merupakan predisposisi terjadinya ADB. Selain karena gangguan nutrien, anemia pada bayi usia 3-6 bulan dapat juga disebabkan karena kelainan sintesis hemoglobin seperti thalassemia.
4. Jenis kelamin, suku bangsa, dan riwayat keluarga Beberapa penyakit tertentu seperti defisiensi enzim G6PD dan defisiensi enzim pyruvat kinase merupakan suatu X-linked disorders pada anak lelaki.2,4 Mengingat tingginya angka pembawa sifat (gene frequency) thalassemia hampir pada semua suku yang ada di Indonesia, biasanya pada anamnesis harus ditanyakan riwayat penyakit yang sama di dalam keluarga (gene frequency untuk thalassemia beta sekitar 3-10%, thalassemia alpha 2,6-11%, dan untuk pembawa sifat hemoglobin E sekitar 1,5-33%).1,4,6,7
5. Pencetus (obat, bahan kimia, radiasi) Radiasi, bahan-bahan kimia seperti benzen, organo-fosfat, obat-obatan berupa golongan oksidatif kuat, besinitoin, dan lain-lain dapat menimbulkan anemia hemolitik, anemia aplastik, leukemia dan sebagainya. Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah menanyakan lingkungan tempat tinggal yang dapat merupakan salah satu penyebab anemia aplastik, misalnya berdekatan dengan bengkel, daerah industri seperti pabrik cat, daerah pertanian, serta mengenai pekerjaan dan hobi pasien. Pemakaian obat-obatan tradisional seperti jamu, pemakaian kapur barus, obat-obat golongan sulfa atau golongan kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis akut pada individu dengan defisiensi enzim G6PD.
6. Makanan Riwayat makanan perlu ditanyakan pada anak-anak di semua usia, terutama batita dan anak remaja. Kedua kelompok umur ini sangat rentan untuk terjadinya anemia defisiensi besi akibat konsumsi makanan yang tidak adekuat disertai kebutuhan yang meningkat untuk pertumbuhan.1 Pada anamnesis perlu ditanyakan jenis makanan yang dikonsumsi dan pola makan, karena selain ketidakmampuan, ketidaktahuan orangtua dalam menyajikan makanan, juga 22
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
merupakan penyebab dari timbulnya anemia nutrienonal. Banyak orangtua sekarang yang memberi susu formula melebihi 24 oz (720 ml) /hari untuk anak di atas 1 tahun, sehingga kadar kalsium yang tinggi dalam susu sapi akan menghambat absorpsi besi yang berasal dari makanan.
7. Gangguan saraf dan otot, nyeri sendi atau nyeri tulang Sakit kepala, vertigo, tinitus, gangguan konsentrasi, pusing, dan cepat lelah merupakan gejala yang sering ditemukan pada anemia berat. Anemia yang disertai nyeri sendi atau tulang yang sulit didiskripsikan letaknya dapat merupakan suatu tanda infiltrasi sel leukemia pada tulang. Demikian halnya jika disertai gangguan neurologi yang tiba-tiba, seperti kelumpuhan, inkontinensia urin atau alvi, perlu dipikirkan kemungkinan tekanan dari neuroblastoma pada medulaspinalis.
8. Perdarahan Pada anak perempuan yang baru saja menstruasi harus ditanyakan adanya riwayat menstruasi yang tidak teratur dan berlebihan (menometroragi) karena sering menjadi penyebab utama defisiensi besi pada remaja wanita. Jika anemia disertai dengan adanya riwayat perdarahan, baik berupa petekie, ecchymosis atau hematom, pada sendi (hemarthrosis), atau saluran cerna, selain anemia yang dapat terjadi akibat perdarahan itu sendiri, pikirkan juga kemungkinan penyakit dasarnya misalnya anemia aplastik, leukemia akut, hemofilia, atau immune thrombocytopenia purpura (ITP).
Pemeriksaan fisis Seorang anak dengan anemia umumnya jarang memberikan gejala dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisisnya sampai nilai hematokrit kurang dari 25%. Penilaian pucat sangat bervariasi terutama pada anak berkulit putih atau berkulit gelap. Pucat dapat dideteksi dengan memeriksa konjungtiva, mukosa regio bukal, telapak tangan atau kaki, serta kuku.1 Pada pemeriksaan fisis harus diperhatikan 3 tanda gejala utama yaitu pucat atau anemia, perdarahan, dan pembesaran organ hati, limpa serta pembesaran kelenjar getah bening (Tabel 2.). Pada dugaan ke arah tumor padat perlu dicari kemungkinan adanya massa atau benjolan. Kelainan fisis lainnya di bawah ini juga dapat membantu dalam menegakkan diagnosis2:
1. Muka / wajah Perubahan bantuk muka seperti frontal bossing, facies Cooley dapat merupakan tanda yang cukup khas dari penyakit hemolitik menahun seperti thalassemia. 23
Pendekatan diagnosis anemia pada anak
Tabel 2. Tanda atau gejala pada pemeriksaan fisis dihubungkan dengan jenis penyakit Penyakit
Pucat/anemia
Perdarahan
Organomegali
Anemia defisiensi Anemia hemolitik akut
+ +
-
-
Anemia aplastik ITP Anemia pasca perdarahan
+ -/+ +/++
+ + +
-
Anemia hemolitik kronik
+
-/+
+
Leukemia akut Thalassemia with hipersplenisme Hemosiderosis hati Metastasis tumor
+ + + +
+ + + -/+
-/+ + + -/+
Penyakit infeksi kronis
+
-/+
-/+
2. Mata Adanya mikrokornea dapat merupakan tanda dari anemia aplastik kongenital (sindroma Fanconi). Proptosis bulbi disertai ecchymosis/hematoma periorbital merupakan tanda yang cukup khas untuk neuroblastoma. Aniridia dapat ditemukan pada tumor Wilms. Sklera yang ikterik menunjukkan adanya proses hemolisis, atau adanya proses eritropoiesis yang inefektif.
3. Kulit dan mukosa Jaundice dan hiperpigmentasi sering merupakan tanda dari anemia aplastik kongenital, atau akibat penumpukan besi (iron overload). Kulit tipis dan keriput, adanya warna rambut yang cepat berubah (beruban), glositis, stomatitits angularis merupakan tanda defisiensi besi, dan vitamin B12. Salmon pink seborrhoic dermatitis ditemukan pada Histiocytosis sel langerhans.
4. Kuku Kuku yang mudah patah, pecah-pecah, berbentuk seperti sendok (Spoon nails) disebut koilonichia yang merupakan suatu tanda khas ADB.
5. Gangguan neuromuskular Sakit kepala, vertigo, tinitus, penurunan daya konsentrasi bahkan prestasi seseorang, dan kelemahan otot sering menyertai anemia berat. Parestesi sering ditemukan pada anemia pernisiosa.
6. Gangguan gastrointestinal Glositis dan atrofi papil lidah banyak dijumpai pada anemia pernisiosa dan ADB. Hipertrofi ginggiva sering menyertai anemia pada leukemia akut. Munculnya ulkus dengan lesi nekrotik di sekitar mulut dan farings sering sebagai 24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
tanda dari suatu leukemia akut atau anemia aplastik. Hal ini akibat netropenia karena penyakit primernya. Disfagia sering disebabkan oleh ADB.
Pemeriksaan laboratorium Pada saat kita menghadapi seorang anak dengan anemia, harus diperhatikan dan ditentukan apakah kelainan yang terjadi hanya mengenai sistem eritropoesis saja atau juga sistem hematopoesis yang lain (sel darah putih dan trombosit). Jika kelainan yang terjadi mengenai lebih dari satu sistem hematopoesis, umumnya menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang (seperti pada anemia aplastik, leukemia, metastasis tumor ganas padat), penyakit imunologi (acquired immunodeficiency syndrome), adanya destruksi sel di darah perifer (immune thrombocytopenia purpura), atau merupakan tanda adanya sequestrasi sel (hipersplenisme).1,4 Pemeriksaan yang paling sederhana dan wajib dikerjakan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, lekosit, trombosit, hitung jenis, dan retikulosit) (Tabel 3.), mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH), mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC), dan red cells distribution width (RDW) (Tabel 4.), serta gambaran apus darah
Tabel 3. Pemeriksaan darah tepi lengkap Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Hitung Jenis
Retikulosit
MCV
RDW
ADB
↓
↓
N/↑
N
N/segmenter
N/↓
↓↓
↑
Anemia aplastik
↓
↓
↓
↓
↓
N/↓
N
ITP
N/↓
N/↓
N
↓
Limfositosis relatif N
N
N/↓
N
Leukemia akut
↓
↓
↓/N/↑
↓
Dominasi satu sel kadang ditemukan sel blast
↓
N/↓
N
Thalassemia minor Thalassemia mayor
N/↓
N/↓
N
N
N
↑
↓
↑
↓
↓
N/↓
N Normoblast +
↑↑
↓↓
↑↑
Anemia hemolitik lain
↓
↓
↓/N/↑ (leukositosis palsu) N
N
N Normoblast -/+
↑↑
N/↓
↑↑
ADB: anemia defisiensi besi, MCV: mean corpuscular volume, RDW: red cells distribution width, ITP: immune thrombocytopenia purpura.
25
Pendekatan diagnosis anemia pada anak
tepi. Sediaan apus darah tepi dapat menunjukkan adanya gambaran hipokrom, mikrositik, makrositik, normositik, atau menunjukkan adanya bentuk abnormal yang spesifik seperti sfesirositosis, sel target, sel sabit, atau sel blast. Dengan mengetahui nilai MCV dan retikulosit saja sudah banyak sekali membantu kita mencari ke arah diagnosis, misalnya MCV yang rendah (mikrositik) dapat mengarahkan kita pada anemia defisiensi besi, thalassemia, infeksi kronis, keracunan logam berat, malnutrien berat dan lain-lain. Adanya MCV yang tinggi (makrositik) mengarah kepada adanya anemia defisiensi asam folat, atau anemia defisiensi vitamin B12. Nilai MCV normal menunjukkan adanya kehilangan darah akut, penyakit hati, stadium awal defisiensi besi dan sebagainya. Retikulosit yang meningkat menunjukkan adanya peningkatan aktifitas eritropoiesis. Keadaan seperti ini sering ditemukan sebagai akibat adanya suatu proses hemolisis atau kehilangan darah yang kronis, sedangkan retikulosit yang rendah menunjukkan penurunan eritropoiesis seperti pada anemia aplastik atau eritroblastopenia. Tabel 4. Klasifikasi anemia berdasarkan pada nilai MCV dan RDW Red Cell Distribution Width (RDW)
Mean Corpuscular Volume (MCV) Rendah
Normal
Tinggi
Normal (11,5-14,5 %)
• Thalassemia trait
• Anemia aplastik
• Praleukemia
• Penyakit kronik • Anemia defisiensi besi • Thalassemia trait • Thalassemia alpha atau beta • Fragmentasi SDM
• Stadium awal defisiensi besi atau asam folat • Anemia dismorfik • Penyakit hati
• Anemia defisiensi asam folat • Anemia defisiensi vitamin B12
Tinggi (> 14,5%)
Nilai MCV, MCH, MCHC, dan RDW saat ini sudah dapat langsung diketahui dari perhitungan alat (electronic blood counting equipment). Pemeriksaan hitung jenis leukosit sangat membantu kita menentukan langkah selanjutnya. Jika nilai eosinofil tinggi, pikirkan kemungkinan infestasi parasit, atau alergi, jika nilai netrofil tinggi mengarah kepada infeksi bakteri, sedangkan limfosit yang tinggi menunjukkan adanya infeksi virus. Dominasi salah satu seri leukosit misalnya limfosit, monosit apalagi dalam stadium muda pikirkan kemungkinan leukemia akut. Tentunya pemeriksaan awal ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dibantu dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik, dan dilanjutkan pada pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik untuk mengarahkan kepada diagnosis pasti.2,4 26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Anemia Mikrositik Anemia mikrositik terbanyak dan dapat dicegah serta diobati adalah ADB. Menurut data survei rumah tangga tahun 2001 menunjukkan pravalensi ADB pada wanita hamil 40,1%, kelompok balita 48,1%, bayi kurang dari 1 tahun 55%, dan bayi berumur 0-6 bulan 61,3%. Anemia ini umumnya mudah didiagnosis, baik dalam bentuk yang ringan sekalipun.1,8,9 Proses terjadinya ADB melalui 3 tahap yaitu: deplesi besi, defisiensi besi dan akhirnya menjadi ADB. Penurunan kadar besi di dalam tubuh akan mengganggu pembentukan hemoglobin dan eritrosit. Jumlah eritrosit berkurang dan mengecil, sehingga nilai hematokrit berkurang. Darah tepi lengkap menunjukkan penurunan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) berupa anemia hipokrom mikrositik, jumlah leukosit, trombosit, dan hitung jenis normal. Pada apus darah tepi terlihat peningkatan variasi ukuran eritrosit (RDW), poikilositosis, dan anisositosis. Pemeriksaan biokimia yang merujuk kepada ADB adalah; kadar serum iron (SI) yang rendah, total iron binding capacity (TIBC) tinggi, saturasi transferin (ST) rendah, eritrosit portoporfirin (Epp) tinggi, feritin serum (FS) rendah, serum transferin receptor (sTfR) tinggi. Pada pemeriksaan sumsum tulang sedikit atau tidak ditemukan besi.10-13 Diagnosis banding tersering yang perlu diperhatikan adalah anemia akibat penyakit kronis atau thalassemia minor/trait. Anemia mikrositik ditemukan pula pada infeksi kronis. Pada keadaan ini, serum iron dan TIBC menurun dan kadang-kadang ST normal atau sedikit menurun. Indikator terpenting adalah C-reactive protein (CRP) positif, laju endap darah (LED) meningkat, dan biasanya cadangan besi di dalam sumsum tulang normal atau meningkat. Defisiensi besi bisa saja terjadi bersamaan dengan anemia akibat infeksi kronis, seperti pada arthritis rheumatoid, sehingga diagnosis sulit ditegakkan. Keadaan lain yang ditandai oleh anemia mikrositik hipokrom ialah thalassemia. Pada thalassemia minor, MCV biasanya telah nyata menurun sampai 50-70 µm3 pada Hb yang masih normal atau sedikit di bawah normal, dan jumlah eritrosit cenderung lebih tinggi (lebih dari 5 juta /mm3) untuk derajat anemianya. Ada beberapa indeks atau rumus yang digunakan untuk membedakan ADB dengan thalassemia minor antara lain Indeks Mentzer (perbandingan MCV terhadap jumlah eritrosit dalam juta/m3). Nilai < 13 didapatkan pada 85% pasien anemia karena thalassemia minor, sedangkan nilai > 13 ditemukan pada ADB. Jika menemukan seorang anak dengan risiko untuk ADB disertai indeks Mentzer > 13 sebaiknya diberikan preparat besi. Jika telah diberikan dosis yang adekuat selama 1 bulan, namun tidak didapat hasil yang optimal perlu dipikirkan kemungkinan thalassemia minor.1,9,14-17
27
Pendekatan diagnosis anemia pada anak
Pada thalassemia minor tanpa disertai defisiensi besi, kadar SI, TIBC, FS, dan Epp semuanya normal. Pemeriksaan analisis hemoglobin baik pada pasien maupun kedua orangtua pasien diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan status besi yang umum dipakai di dunia saat ini adalah serum feritin. Pemeriksaan ini dianggap masih dapat mewakili status cadangan besi di dalam tubuh. Harus di ingat bahwa serum feritin merupakan suatu reaktan fase akut yang mempunyai variasi diurnal yang sangat luas, kadarnya sering meningkat pada keadaan infeksi, inflamasi kronis, keganasan, penyakit hati dan sebagainya.18 Pemeriksaan lain yang sekarang merupakan parameter terbaru untuk mendeteksi ada tidaknya defisiensi besi pada tingkat sel adalah pemeriksaan serum transferin reseptor (sTfR). Parameter ini tidak dipengaruhi variasi diurnal. Peningkatan kadar sTfR akan tampak pada pasien yang menunjukkan adanya eritropoesis defisiensi besi atau pada ADB.19,20
Anemia normositik Menegakkan anemia normositik pada anak agak sulit, sehingga diperlukan pemeriksaan retikulosit, untuk mengetahui apakah anemia ini disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan destruksi SDM. Jika terjadi penghancuran SDM, hitung retikulosit akan meningkat. Pada keadaan ini kadar laktat dehidrogenase (LDH) meningkat, dan akan ditemukan tanda hemolisis pada gambaran apus darah tepi. Retikulosit rendah merupakan suatu tanda adanya hipoplasi atau aplasia sumsum tulang. Pada keadaan ini, pemeriksaan aspirasi sumsum tulang harus dilakukan. Infeksi Human parpovirus B 19 terutama pada anak dengan kelainan darah seperti thalassemia, sferositosis juga dapat menyebabkan depresi sumsum tulang, umumnya terjadi selama 6-8 hari. Pada defisiensi enzim seperti G6PD dan pyruvat kinase terdapat gambaran hemolisis pada darah tepinya terutama pada kasus defisiensi enzim G6PD yang homozigot. Pada kasus defisiensi G6PD adanya stres oksidatif dapat memicu munculnya anemia hemolitik akut dengan hiperbilirubinemia pada masa neonatus, sedangkan pada anak dapat terjadi penurunan kadar Hb. Kadar enzim G6PD yang rendah menunjukkan diagnosis pasti, tetapi kadar yang normal bahkan meningkat, tidak menyingkirkan kemungkinan adanya defisiensi enzim ini. Kadar yang normal atau bahkan meningkat dapat terjadi pada fase akut. Pemeriksaan perlu diulangi beberapa bulan kemudian setelah fase akut terlampaui. Di beberapa pusat di luar negeri pemeriksaan enzim G6PD dan pyruvat kinase merupakan pemeriksaan skrining neonatus yang telah dilakukan secara rutin sebelum bayi pulang.9
28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Anemia makrositik 1,2 Anemia makrositik pada anak jarang, tetapi umumnya disebabkan oleh defisiensi asam folat atau vitamin B12. Penyebab lain ialah penyakit hati dan hipotiroid. Defisiensi asam folat umumnya disebabkan oleh pola makanan yang tidak adekuat. Ada juga defisisensi asam folat yang bersifat sementara misalnya pada kasus myelodisplasia syndrome (MDS), atau pada pasien keganasan akibat pemberian obat sitostatika golongan anti metabolit seperti metotroksat, sitosin arabinosin, merkaptopurin.
Daftar Pustaka 1. Korones D. Anemia. Dalam: Green M, Haggerty RJ, Wietzman M, penyunting. Ambulatory pediatrics. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Company, 1999. h. 348-55. 2. Oski FA, Brugnara C, Nathan DG. A diagnostic Approach to the anemic patient. Chapter 10 h. 409-417. Edisi ke-6 vol 1 thn 2003. 3. World Health Organization. Methods of assessing iron status. Dalam: Iron deficiency anemia assessment, prevention, and control: a guide for programme managers, 2001. h.33. 4. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-2. New York: Churchill livingstone, 1995. h.15 5. Ringo-Ringo HP, Windiastuti E. Profil parameter hematologik dan anemia defisiensi zat besi pada anak berumur 0-6 bulan di RSUD banjarbaru. Sari Pediatri 2006;7:214-218. 6. Sofro AS. Molecular pathology of the β-thalassemia in Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1995;26:5-8. 7. Setianingsih I, Harahap A, Nainggolan IM. Alpha Thalassemia in Indonesia: phenotypes and molecular debesicts. Adv Exp Med Biol 2003;531:47-55. 8. Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anemia gizi besi. Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono, penyusun. Gizi dalam angka sampai dengan tahun 2003. Jakarta: DEPKES, 2005. h.41-44. 9. Irwin JJ, Kichner JT. Anemia in children. Diunduh dari: http://www/aafp. org/ afp/200110151015/1379.html. Diakses tanggal: 7 Juni 2007. 10. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency. Pediatric in Review 2002;23:171-178. 11. Glader B. Anemia: general considerations. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2004. h. 947-978. 12. Aksesson A, Bjellerup P, Berglund M, Bremme K, Vahter M. Soluble transferin receptor: Longitudinal assessment from pregnancy to postlactation. Obstet Gynecol 2002;99:260-266.
29
Pendekatan diagnosis anemia pada anak
13. Hersko C. Iron metabolism and chelation. Diunduh dari: http://www. charite. de./ch/medgen/eumedis/thalassemia04/ironmetabolism.html#N10014. 14. Andrews NC. Iron deficiency and related disorders. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11, vol 1. Philadelphia:Lippincott William & Wilkins; 2004. h. 979-1009. 15. Smith H. Normal values and appearance. Dalam: Smith H, penyunting. Diagnosis in paediatric haematology. New York: Churchill Livingstone; 1996. h. 1-33. 16. Bessman JD, Gilmer PR Jr, Gardner FH. Improve classification of anemias by MCV and RDW. Am J Clin Pathol 1983;80:322-326. 17. Qurtom HA, al-Saleh QA, Lubani MM, Hassanein A, Kaddoorah N, Qurtom MA, al-Sheikh T. The value of red cell distribution widht in the diagnosis of anaemia in children. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retr ieve&db=PubMed&list_uids=2792125&dopt=Abstract. 18. Lipschitz DA, Cook JD, Finch CA. A Clinical evaluation of serum besiritin as an index of iron stores. N Engl J Med 1974;290:1213-1216 19. Flower CH, Skikne BS, Covell AM, Cook JD. The clinical measurement of serum transferin receptor. J Lab Clin Med 1989;114:368-77 20. Kohgo Y, Niitsu Y, Kondo, H. et all. Serum transbesirrin receptor as a new index of erythropoiesis. Blood 1987;70:1955-58.
30
Penyakit hemolitik pada neonatus Rinawati Rohsiswatmo, Anita Halim Tujuan: 1. Mengenal gejala penyakit hemolitik pada neonatus 2. Mengetahui keadaan yang mendasarinya dan melakukan tata laksana secara adekuat.
H
emolisis ialah proses yang ditandai dengan peningkatan destruksi eritrosit, yang dapat dikompensasi tubuh dengan meningkatkan aktivitas eritropoiesis. Bila kompensasi tidak terjadi, atau tidak dapat memenuhi kecepatan destruksi eritrosit, maka dapat terjadi anemia, yang disebut anemia hemolitik.1 Umumnya anemia hemolitik pada anak muncul pertama kali pada periode neonatal, tetapi sebagian belum muncul sampai usia beberapa bulan, dan sebagian lagi meski sangat jarang, muncul hanya pada periode neonatal.2,3 Dalam pendekatan dengan neonatus yang memperlihatkan keadaan hemolitik, harus dipertimbangkan hemolisis fisiologis. Keadaan ini dapat terjadi karena masa hidup eritrositnya lebih pendek (80-100 hari pada neonatus cukup bulan/NCB, dan 60-80 hari pada neonatus kurang bulan/NKB) dibandingkan dengan eritrosit anak dan dewasa (100-120 hari).2 Belum diketahui dengan pasti mengapa masa hidup eritrosit neonatus lebih pendek dari eritrosit dewasa. Terdapat beberapa hipotesis seperti kurangnya deformabilitas membran sel, sensitivitas terhadap oksidan yang lebih tinggi pada eritrosit neonatus, dan instabilitas hemoglobin (Hb) fetus, sehingga eritrosit neonatus cepat mengalami lisis.2,3 Saat lahir kadar Hb NCB normal berkisar antara 14-20 g/dL, dengan rerata 17 g/dL.2,3,4 Dalam 3-4 jam setelah lahir terjadi peningkatan relatif Hb karena adanya hemokonsentrasi. Setelah 1 minggu pasca lahir, terjadi penurunan kadar Hb yang mencapai titik terendah (10-11 g/dL) pada usia 6-10 minggu dan berlangsung hingga usia 1 tahun. Keadaan ini yang disebut anemia fisiologis.5 Pada NKB kadar Hb saat lahir sedikit lebih rendah dibanding NCB. Anemia terjadi lebih cepat dan lebih progresif, mencapai kadar Hb yang lebih rendah (7-8 g/dL) dan berlangsung lebih lama.3,5 Hitung retikulosit pada NCB 3-7%, tetapi kemudian turun menjadi 1-3% pada hari ke-4, sampai kurang dari 1% pada hari ke-7 pasca lahir. Retikulosit 31
Penyakit hemolitik pada neonatus
pada NKB lebih tinggi, yaitu sekitar 6-10% dan dapat tetap tinggi untuk waktu yang lama. Eritrosit berinti juga didapatkan pada bayi baru lahir sampai berusia 3 hari pada NCB dan 7-10 hari pada NKB. Adanya retikulositosis dan eritrosit berinti yang persisten, mengarah pada kemungkinan hemolisis 2,3
Peningkatan destruksi eritrosit dan hiperbilirubinemia Penyakit hemolitik pada neonatal sering disertai dengan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam serum dan retikulositosis.2,3 Pada neonatus normal juga terjadi hiperbilirubinemia fisiologis. Hal ini disebabkan karena konsentrasi eritrosit yang besar saat lahir, umur eritrosit yang pendek dan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Selain itu juga terdapat defek fungsi enzim glukoronil transferase sehingga konjugasi bilirubin terhambat. Hiperbilirubinemia fisiologis dapat mencapai konsentrasi 12 mg/dL (puncak pada hari ke-4) pada NCB, atau 15 mg/dL (puncak pada hari ke-7) pada NKB. Pada gangguan hemolisis, bilirubin mencapai konsentrasi yang lebih tinggi dan ikterik dapat terdeteksi sebelum 36 jam.2 Selain itu dapat ditemukan hepatosplenomegali akibat aktivitas Sistem Retikulo Endotelial (SER) meningkat.4,6 Pada pemeriksaan apusan darah tepi, peningkatan destruksi eritrosit ditunjukkan dengan gambaran sferositosis, fragmentasi, dan eritrosit berinti.3,4 Terdapat beberapa pemeriksaan lain dalam mengevaluasi hemolisis seperti pemeriksaan konsentrasi karboksi hemoglobin dalam darah dan udara ekspirasi, kadar enzim laktat dehidrogenase, haptoglobin dan hemopeksin serum, serta urobilinogen dan hemosiderin urin, tetapi penerapannya pada neonatus masih terbatas.2
Diagnosis Banding Dalam pendekatan dengan neonatus yang diduga memiliki penyakit hemolitik, harus ditentukan apakah terdapat peningkatan destruksi eritrosit dan peningkatan produksi eritrosit yang non-fisiologis. Bila ada, maka langkah selanjutnya adalah menentukan apakah hemolisis tersebut disebabkan oleh kelainan eritrosit didapat atau kelainan eritrosit bawaan.1-5 (Tabel 1.) Selanjutnya akan dibahas penyebab penyakit hemolitik yang sering terjadi pada periode neonatal, yaitu hemolisis alo-imun karena inkompatibilitas Rhesus (Rh) dan ABO, defisiensi enzim G6PD, sepsis bakterial dan koagulasi intravaskular disseminata (KID).
32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Tabel 1. Penyebab anemia hemolitik pada periode neonatal1-5 Kelainan eritrosit didapat (Acquired RBC disorders)
Imun Hemolisis alo-imun (inkompatibilitas golongan darah ABO dan Rhesus) Penyakit imunologis ibu (SLE) Drug-induced (penisillin) Non-Imun Infeksi kongenital (Sitomegalovirus, Toksoplasma, Sifilis) Sepsis bakterial Koagulasi Intravaskular Disseminata (KID) Aktivasi sel T (enterokolitis nekrotikans, sepsis)
Kelainan eritrosit bawaan (Hereditary RBC disorders)
Defek membran (sferositosis, eliptositosis) Defisiensi enzim (glukosa-6-fosfat dehidrogenase, piruvat kinase) Hemoglobinopati (thalassemia alfa, thalassemia gammabeta) Instabilitas hemoglobin
1. Hemolisis aloimun Hemolisis aloimun merupakan penyebab tersering hemolisis pada neonatus. Pada keadaan ini terjadi respons imunologis antara antigen eritrosit janin dengan antibodi ibu.2,3 Antigen eritrosit janin yang sering menyebabkan hemolisis aloimun ialah antigen AB dan Rhesus.1
a. Inkompatibilitas ABO Inkompatibilitas ABO merupakan penyebab tersering hemolisis imun pada neonatus.2,3,5 Dua per tiga kasus hemolitik pada neonatus disebabkan inkompatibilitas ABO.4 Pada sekitar 15% kehamilan ditemukan inkompatibilitas ABO, tetapi reaksi antigen-antibodi terjadi hanya pada 3%, dengan hemolisis yang signifikan hanya pada sebagian kecil kasus (<1%).3,4,6,7 Gejala terjadi hanya pada ibu dengan golongan darah O dengan janin bergolongan darah A atau B.2-5
Patofisiologi Sensitisasi maternal pada ibu dengan golongan darah O oleh antigen A atau B janin akan memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG, yang dapat menembus plasenta, masuk ke sirkulasi janin dan menimbulkan hemolisis. Ibu dengan golongan darah A atau B memiliki anti-A atau anti-B berupa IgM, yang tidak dapat menembus plasenta.3-7 Anti-A dan anti-B dapat ditemukan sebelum ibu tersebut hamil. Selain oleh antigen AB eritrosit fetus, sensitisasi juga dapat terjadi oleh transfusi darah yang tidak kompatibel dan paparan terhadap Aatau B- like antigens, yang terdapat pada lingkungan, makanan dan bakteri. Hal ini menjelaskan mengapa hemolisis pada inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada kehamilan pertama.1,6,8,9 33
Penyakit hemolitik pada neonatus
Manifestasi inkompatibilitas ABO pada neonatus biasanya ringan. Hal ini disebabkan IgG anti-A dan anti-B juga berikatan dengan antigen A atau B pada beberapa sel lain (seperti epitel kelenjar saliva, endotel vaskular, epitel saluran cerna, pankreas dan ginjal), sehingga IgG yang tersisa untuk berikatan dengan antigen eritrosit terbatas. Selain itu antigen A dan B pada permukaan eritrosit neonatus belum terbentuk sempurna, sehingga lebih sedikit bersifat antigenik.3,7-10
Manifestasi klinis Gejala yang paling sering berupa ikterik, umumnya muncul dalam 24-48 jam pertama setelah lahir. Bila terapi tidak adekuat dapat terjadi kernikterus. Anemia dapat terjadi, umumnya ringan. Sangat jarang terjadi anemia yang berat dan hidrops fetalis. Jarang terdapat hepatosplenomegali.3-5 Di lain pihak dapat terjadi tanpa gejala, hanya ditemukan uji serologi yang positif, disebut maternal-fetal blood group incompatibility.1
Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan darah neonatus dapat ditemukan nilai Hb yang rendah, dan bilirubin indirek yang meningkat. Pemantauan kadar bilirubin indirek dilakukan secara berkala sampai stabil, tidak menunjukkan peningkatan lagi. Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan gambaran sferositosis, dan hitung retikulosit yang meningkat mencapai 10-30%.3-7 Uji Coombs direk pada neonatus seringkali menunjukkan hasil negatif atau positif lemah, sedangkan uji Coombs indirek umumnya menunjukkan titer yang positif.3-5,10
Penatalaksanaan Tata laksana dilakukan berdasarkan gejala yang ditemukan. Hiperbilirubinemia umumnya ringan dan cukup ditata laksana dengan fototerapi.3,5 Hidrasi harus adekuat. Terapi juga dilakukan terhadap faktor yang dapat memperberat seperti sepsis dan gangguan metabolik. Transfusi darah dan transfusi tukar jarang dilakukan. Intervensi invasif pada antenatal juga jarang dilakukan mengingat jarang sekali terjadi kasus yang berat dan sebagian besar memiliki prognosis yang baik.4
b. Inkompatibilitas Rh Sebagian besar kasus inkompatitilitas Rh (95%) disebabkan oleh antigen D, sisanya berkaitan dengan antigen C atau E.3,5 Sebagian besar populasi (sekitar 83%) memiliki antigen D, disebut memiliki golongan darah Rh(+).5 Hemolisis terjadi pada janin Rh(+) dengan ibu Rh(-). Individu dengan Rh(-) paling banyak didapatkan pada ras Kaukasian/kulit putih (15%), kulit hitam (5%), 34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
dan sedikit sekali ras Asia (<1%). Karena itu insidens paling banyak pada populasi Kaukasian, dan jarang sekali terjadi pada ras non-Kaukasian. 3,5-7 Inkompatibilitas Rh terjadi pada 1 dari 200 kehamilan, dengan kematian pada kehamilan pertama setelah sensitisasi sebanyak 20% nya dan 40% pada kehamilan berikutnya.10 Dengan intervensi dan terapi preventif, insidens kasus yang berat serta kematian janin telah menurun tajam.2,3,10-12
Patofisiologi Ibu dengan Rh(-) dapat terpapar dengan antigen Rh melalui 2 cara yaitu transfusi fetomaternal dan transfusi darah.5 Transfusi fetomaternal terjadi pada 75% kehamilan, dengan frekuensi paling banyak terjadi pada waktu persalinan.7 Risiko terjadinya transfusi fetomaternal meningkat pada abrupsi plasenta, abortus, toksemia, seksio sesaria, kehamilan ektopik, serta beberapa prosedur seperti amniosentesis dan kordosentesis.7,11 Paparan melalui transfusi darah jarang terjadi saat ini, karena telah dilakukannya cross-match antara darah donor dengan darah resipien. Pada paparan pertama, sebanyak 0,1 ml darah Rh(+) sudah dapat memicu terbentuknya anti-Rh, yang sebagian besar berupa IgG. Terjadinya sensitisasi ulang memicu terbentuknya lebih banyak IgG. Hal ini mengakibatkan hemolisis yang terjadi pada inkompatibilitas Rh lebih berat terjadi pada kehamilan berikutnya setelah terjadi sensitisasi.1-3,7,8,13 Transfer IgG melalui plasenta umumnya sudah dimulai awal trimester ke dua, dan bertambah progresif dengan meningkatnya usia gestasi. Pada janin cukup bulan kadar IgG dapat sama bahkan melebihi kadar IgG ibunya.1,8 Hal ini menyebabkan risiko terjadinya hemolisis bertambah sesuai dengan usia gestasi.3 IgG anti-Rh berikatan dengan antigen Rh eritrosit, membentuk rosettes pada makrofag di RES terutama limpa. Eritrosit kemudian dilisiskan oleh enzim lisosom yang dilepaskan makrofag dan limfosit.7 Risiko hemolisis oleh inkompatibilitas Rh menjadi lebih ringan bila disertai dengan inkompatibilitas ABO. Hal ini terjadi karena eritrosit fetus (Rh+ dan antigen A/B+) yang masuk ke sirkulasi ibu dengan cepat dihancurkan oleh anti-A/B, sebelum memicu sistem imun membentuk antibodi anti-Rh.3,8,10
Manifestasi klinis Hemolisis dapat terjadi intra-uterin. Bila berlangsung lama dan progresif akan menimbulkan anemia yang berat dengan usaha kompensasi berupa eritropoiesis di beberapa organ yaitu hati, limpa, sumsum tulang, dan jaringan ekstra-meduler (kulit dan plasenta). Hidrops fetalis sampai kematian janin terjadi akibat destruksi sel parenkim hati dan pengantian sel hati dengan sel eritroid, sehingga terjadi disfungsi hati dan hipoproteinemia. Ikterus sudah terdeteksi dalam 24 jam pertama, umumnya berat dan dapat terjadi kernikterus.7,8,10,12,13 35
Penyakit hemolitik pada neonatus
Pemeriksaan Penunjang •
•
Antenatal Pada ibu hamil Rh(-) dengan riwayat abortus/melahirkan bayi Rh (+) penting dilakukan uji Coombs indirek serial, untuk skrining dan pemantauan titer IgG anti-Rh dalam sirkulasi ibu. Dilakukan pula USG secara berkala untuk mendeteksi terjadinya hidrops fetalis. Amniosentesis umumnya dilakukan pada usia kehamilan 30-32 minggu, bertujuan untuk mengetahui kadar bilirubin sebagai prediktor beratnya penyakit. Pemeriksaan ini dapat dilakukan lebih awal bila pada uji serologi serial didapatkan titer yang tinggi (1:16 hingga 1:32) atau terdapat riwayat sensitisasi/hemolisis aloimun pada kehamilan sebelumnya.1,3,5,8,11,13 Postnatal Segera setelah persalinan, dapat dilakukan pemeriksaan Kleihauer-Betke pada ibu yang bertujuan untuk mendeteksi adanya eritrosit janin di antara sel darah merah ibu dan memperkirakan jumlahnya.1,3,11-13 Pada bayi dapat dilakukan uji Coombs direk, untuk mendeteksi adanya anti-Rh yang berikatan dengan antigen Rh eritrosit janin. Pemeriksaan lainnya yang juga dianjurkan pada bayi adalah kadar Hb, apusan darah tepi, dan kadar bilirubin serum serial. 1,3,5,8,11,13
Penatalaksanaan Pada kasus inkompatibilitas Rh yang ringan, umumnya cukup ditata laksana dengan fototerapi.3-6,8, Pada inkompatibilitas Rh berat yang sudah terdeteksi in utero, dapat dilakukan transfusi darah intra uterin (intraperitoneal atau intravaskular). Tindakan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya anemia yang berat dan hidrops fetalis. Selain itu dapat pula dipertimbangkan terminasi kehamilan lebih dini. Terminasi kehamilan pada usia gestasi 30-32 minggu dapat menurunkan angka kematian janin akibat penyakit ini sebanyak 60%. Bayi yang lahir dengan Hb tali pusat kurang dari 14 g/dL dan bilirubin serum lebih dari 4 mg/L, atau bilirubin 12-14 jam pasca lahir lebih dari 10 mg/dL dapat dilakukan transfusi tukar.3,9,13,14,15
Pencegahan Keadaan hemolisis oleh inkompatibilitas Rh yang lebih berat pada kehamilan berikutnya dapat dicegah dengan pemberian injeksi intramuskular antibodi anti-Rh. Ibu hamil Rh(-) dianjurkan untuk mendapatkan anti-Rh pada saat usia kehamilan 28 minggu dan 34 minggu. Setelah melahirkan, apabila bayi memiliki Rh(+), maka pemberian anti Rh diberikan lagi dalam 72 jam pasca persalinan. Anti-Rh digunakan sebagai profilaksis, mencegah terjadinya sensitisasi dengan cara menetralisir antigen Rh yang masuk sebelum direspons 36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
oleh sistem imun tubuh. Antibodi ini akan bertahan dalam 4-6 minggu, lalu perlahan-lahan menghilang.3,4,10,11 Dengan terapi preventif, kejadian aloimunisasi turun menjadi <1% kehamilan ibu Rh(-) dengan janin Rh(+).2,3,8,13,15
2. Defisiensi Enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) Hemolisis dapat terjadi pada defisiensi enzim eritrosit. Yang paling sering ialah defisiensi enzim G6PD dan defisiensi enzim piruvat kinase. Defisiensi enzim G6PD ditemukan tersebar di seluruh dunia, dengan frekuensi paling tinggi di negara Mediteranian, Afrika dan China. Sekitar 10% kulit hitam di Amerika menderita defisiensi enzim ini.3 Kelainan ini diturunkan secara X-linked recessive, sehingga kebanyakan bermanifestasi pada laki-laki. Umumnya terjadi hemolisis yang ringan, tetapi pada beberapa individu dapat menyebabkan anemia yang berat dan fatal.2,3,5
Patofisiologi Eritrosit dengan defisiensi G6PD mudah mengalami lisis karena tidak mampu bertahan dari stres oksidan eksternal. Akumulasi peroksida di dekat atau dalam eritrosit merupakan oksidan utama, mengakibatkan denaturasi globin (berupa gambaran Badan Heinz dalam apusan darah tepi), kerusakan membran eritrosit dan menurunkan deformabilitas, sehingga terjadi hemolisis.2,3 Eritrosit memiliki buffer intrasel yang berfungsi mendegradasi peroksida dan melindungi sel dari oksidasi, berupa glutation tereduksi yang dikenal dengan GSH. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) merupakan enzim yang diperlukan dalam regenerasi GSH. Pada defisiensi G6PD, kapasitas regenerasi GSH terbatas, sehingga sel menjadi rentan terhadap oksidan dan hemolisis.2,3 Hemolisis dan anemia terjadi hanya bila terjadi pajanan terhadap agen yang bersifat oksidan, seperti infeksi dan obat-obatan. Obat yang dieksresi dalam ASI, seperti nitrofurantoin dan sulfonamide dapat menyebabkan hemolisis pada neonatus dengan G6PD. Virus yang sering menginfeksi saluran napas dan virus hepatitis juga dapat menginduksi hemolisis. 2,3,5 Tabel 2. Obat yang dapat menyebabkan hemolisis pada neonatus dengan defisiensi G6PD5
Antimalaria (primaquin, quinine) Nitrofurantoin Sulfonamide Phenacetin Asam asetilsalisilat
Asam nalidiksat Methylen blue Naphthalene Vitamin K dosis tinggi Kloramfenikol
37
Penyakit hemolitik pada neonatus
Manifestasi klinis Hemolisis dapat terjadi spontan saat atau setelah pajanan dengan agen oksidatif. Anemia dan ikterik umumnya ringan tetapi pada beberapa neonatus dapat berat dan membutuhkan transfusi tukar. Hepatosplenomegali jarang ditemukan.5 Beratnya hemolisis tergantung dari potensi agen oksidatif, ras dan jenis kelamin. Pada kulit hitam, defisiensi hanya terbatas pada eritrosit yang tua, sehingga biasanya ringan dan self-limited. Sebaliknya pada kulit putih dan ras oriental, defisiensi terjadi pada semua eritrosit, sehingga lisis dapat terjadi pada semua eritrosit dan menimbulkan anemia dan hiperbilirubinemia yang berat.3,5
Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan gambaran anemia dengan sferositosis, retikulositosis, Badan Heinz dan crenated red cells. Pemeriksaan enzim G6PD dalam eritrosit diperlukan untuk memastikan diagnosis.2,3,5
Penatalaksanaan Tata laksana tergantung kondisi hiperbilirubinemianya. Pada keadaan yang ringan cukup dengan fototerapi, sedangkan pada kasus yang berat diperlukan tindakan transfusi tukar. Yang paling penting ialah menghindari agen yang bersifat oksidan pada neonatus dengan riwayat keluarga defisiensi G6PD.3,5
3. Infeksi kongenital dan sepsis bakterial Infeksi kongenital oleh cytomegalovirus, toksoplasma, sifilis dan sepsis bakterial dapat menyebabkan terjadinya hemolisis, yang kadang disertai trombositopenia. Mekanisme terjadinya hemolisis belum diketahui dengan jelas. Terdapat beberapa hipotesis yaitu terjadinya hiperplasia SER oleh infeksi, sekuestrasi eritrosit, aktivasi makrofag, pelepasan enzim (fosfolipase, neuraminidase) yang mempengaruhi membran lipid, atau mengubah struktur glikoprotein eritrosit sehingga masa hidupnya memendek.1-3 Pada infeksi kongenital sering ditemukan hepatosplenomegali dan tanda khas lainnya seperti katarak dan mikrosefalus.2 Pada sepsis bakterial, terjadi peningkatan bilirubin direk maupun indirek.2,3 Hemolisis oleh infeksi dapat bermanifestasi di awal periode neonatal, atau baru muncul setelah beberapa minggu setelah lahir.3
4. Koagulasi Intravaskular Disseminata (KID) KID ialah kelainan koagulasi yang didapat, dengan konsumsi trombosit dan faktor pembekuan intravaskular.5 Pada KID, proses koagulasi berlangsung tanpa 38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
kontrol, mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin mengikat trombosit dan membentuk clot multiple yang besar, menimbulkan trombosis makro dan mikrovaskular. Sel eritrosit yang melalui pembuluh darah dengan bekuan fibrin dan trombosit, mengalami fragmentasi menjadi skistosit yang fragile. Mekanisme ini dikenal dengan microangiopathic hemolysis.1,2,5,16 Skistosit kemudian difagosit oleh makrofag di sistem SER.1,2 Pada pemeriksaan darah, ditemukan trombositopenia. Pada apusan darah tepi ditemukan gambaran fragmentasi eritrosit, skistosit.1,2,5,16
Kesimpulan Penyakit hemolitik pada neonatus cukup sering ditemukan. Dalam pendekatan diagnosis penyakit ini, perlu dipertimbangkan keadaan fisiologis agar tidak terjadi overdiagnosis. Sebaliknya harus diwaspadai gejala dan tanda patologis agar tidak terjadi underdiagnosis. Manifestasi klinis yang paling menonjol ialah ikterik, terkadang disertai anemia. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam serum dan retikulositosis. Penyakit hemolitik yang sering ditemukan pada periode neonatal antara lain hemolisis alo-imun karena inkompatibilitas Rh dan ABO, defisiensi enzim G6PD, sepsis bakterial dan KID. Prognosis penyakit ini umumnya baik bila dilakukan diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat dan adekuat.
Daftar Pustaka 1. Kelton JG, Chan H, Heddle N, et al. Acquired hemolytic anemia. Dalam: Wickramasinghe SN, McCullough J, penyunting. Blood and bone marrow pathology. Churchill Livingstone, 2002. h. 185-198 2. Glader B, Allen G. Neonatal hemolysis. Dalam: Alarcon PD, Werner E, penyunting. Neonatal hematology. New York: Cambridge University Press, 2005. h. 132-146. 3. Mentzer WC, Glader BE. Erythrocyte disorders in infancy. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, penyunting. Avery’s Diseases of the newborn. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005. h. 1187-1198 4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, et al. Blood Abnormalities. Dalam: Gomella TL, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases, drugs. Edisi ke-4. Lange McGraw-Hill, 1999. h. 314-322. 5. Levene MI, Tudehope DI, Therle MJ. Haematological disorders. Dalam: Essentials of Neonatal Medicine. Edisi ke-3. Oxford: Blackwell Science, 2000. h. 203-9 6. Anonym. Hemolytic Disease of the Newborn. Intensive Care Nursery House Staff Manual. The Regents of the University of California, 2004. h. 121-124. 7. Wagle S, Deshpande PG. Hemolytic disease of newborn. Itani O, Konop R, Clark DA, Wagner CL, Finer NN, Ed. Direvisi terakhir Juni 2006. Diakses pada tanggal
39
Penyakit hemolitik pada neonatus
11 Juni 2007. Diunduh dari: http://eMedicine.mht 8. Waldron PE, Cashore WJ. Hemolytic Disease in fetus and newborn. Dalam: Alarcon PD, Werner E. Neonatal Hematology. New York: Cambridge University Press, 2005. h. 91-119 9. Anonym. Hemolytic Disease of the newborn (ABO). Diakses pada tanggal 11 Juni 2007. Diunduh dari: http://encyclopedia.thefreedictionary.com 10. Bowman JM. Immune hemolytic disease. Dalam: Oski FA, Nathan DG, Orkin SH, Ed. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Co, 1998. h. 53-78 11. Anonym. Rh Disease. Diakses pada tanggal 11 Juni 2007. Diunduh dari: http:// encyclopedia.thefreedictionary.com 12. Silva MD, Derrick LA. Haemolytic disease of the newborn and its prevention. Dalam: Contreras M, Ed. ABC of transfusion. Edisi ke-3. London: BMJ Books, 2001 13. Urbaniak SJ, Greiss MA. RhD hemolytic disease of the fetus and the newborn. Blood Review 2000; 14:44-61. 14. Sindu E. Hemolytic disease of the newborn. Buletin Transfusi Darah 2002; 341:312 15. Letsky EA. Fetal and neonatal transfusion. Dalam: Contreras M, penyunting. ABC of transfusion. Edisi ke-3. London: BMJ Books, 2001 16. Anonym. Microangiopathic haemolytic anemia. Direvisi terakhir Maret 2007. Diakses pada tanggal 18 Juni 2007. Diunduh dari: http://encyclopedia. thefreedictionary.com
40
Anemia pada beberapa penyakit infeksi Sri Rezeki S Hadinegoro Tujuan: 1. Mengetahui kejadian anemia di berbagai penyakit infeksi. 2. Mengetahui beberapa penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia.
P
enyakit infeksi baik infeksi akut yang berat maupun infeksi menahun dapat menjadi salah satu sebab terjadinya anemia pada anak.1 Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin di dalam darah. Pada penyakit infeksi, anemia dapat disebabkan oleh gangguan produksi eritrosit di dalam sumsum tulang, penghancuran yang berlebihan dalam sirkulasi darah, ataupun anemia akibat perdarahan. Proses anemia pada penyakit infeksi tidak berhubungan dengan cadangan besi di dalam jaringan. Namun, pada penyakit infeksi menahun, serum iron dan total Fe binding capacity dapat menurun. Pada penyakit infeksi bakteri yang serius terutama infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang diakhiri dengan perdarahan.1 Khususnya penyakit infeksi menahun dilaporkan menjadi penyebab anemia terbanyak kedua, setelah anemia defisiensi besi.2 Gejala klinis pada anemia pada penyakit infeksi pada umumnya ringan sampai sedang, namun apabila penyakit dasarnya tidak dapat diatasi, anemia dapat memperberat perjalanan penyakit. Dalam makalah ini akan dibahas secara singkat kejadian anemia di berbagai penyakit infeksi.
Anemia pada Infeksi akut Anemia pada penyakit infeksi seringkali pada infeksi akut yang berat, yang dirawat di rumah sakit. Sepsis, meningitis, subakut endokarditis, Staphyllococcus aureus, merupakan penyakit infeksi berat yang sering disertai anemia.3 Pada infeksi berat, terutama sepsis, yang merupakan spektrum klinis akibat respons imun terhadap infeksi dengan gejala khas inflamasi sistemik dan gangguan koagulasi, sering dijumpai anemia. Dalam perjalanan penyakitnya, dapat terjadi 41
Anemia pada beberapa penyakit infeksi
berbagai kondisi, termasuk respons dari systemic inflammatory response (SIRS) sampai terjadi disfungsi organ sehingga mengakibatkan multiple organ failure dan tidak jarang menyebabkan kematian. Sumsum tulang tidak terkecuali, akan mengalami gangguan dalam proses hemopoiesis sehingga terjadi aplasia dan salah satu akibatnya adalah anemia.3 Proses yang terjadi dalam sepsis sangatlah kompleks, diawali dengan rangsangan pro-inflammatory cytokines, seperti tumor necrosis factor (TNF), IL1, IL-12, interferon gamma (IFN-gamma), and IL-6. Tubuh akan meregulasi dengan memproduksi anti-inflammatory cytokines (IL-10), soluble inhibitors [TNF receptors, IL-1 receptor type II, dan IL-1RA (bentuk inaktif dari IL-1)].4,5 Dalam situasi ini, pasien masuk dalam keadaan immunodepresi. Ketidakmampuan tubuh merespons terhadap semua sistem dapat menetap, dengan akibat mudah terjadi infeksi nosokomial, DIC yang dapat menyebabkan kematian.5
Infeksi Parvovirus Infeksi Parvovirus B19 banyak dilaporkan berhubungan dengan kerusakan pada eritrosit sehingga menyebabkan anemia. Parvovirus 19 merupakan pathogenic human parvovirus pertama yang ditemukan secara kebetulan dari darah donor orang sehat yang sedang diskrining untuk infeksi hepatitis B. Berdasarkan sifat biokimia dan biofisika yang dimiliki parvovirus dimasukkan dalam famili Parvoviridae, namun karena tropism terjadi di dalam sel darah merah maka dimasukkan dalam genus Erythrovirus. Saat ini telah diketahui bahwa tropism parvovirus dalam eritrosit dilakukan melalui perantara antigen erythrocyte P (globoside) yang diekspresikan pada permukaan eritrosit. 6 Penularan infeksi parvovirus B19 terjadi melalui penularan dari saluran nafas. Pada anak dengan status imunokompeten dengan eritrosit normal, infeksi parvovirus B19 pada umumnya ringan dan self limiting. Pada anak gejala diawali dengan demam ringan yang tidak khas, kadang-kadang disertai ruam eksantema makulopapular menyerupai ruam pada infeksi rubela berupa eritema infektiosum pada pipi (slapped cheeked syndrome). Sehingga seringkali sulit dibedakan dengan rubela atau penyakit eksantema akut yang lain. Sedangkan infeksi parvovirus pada dewasa disertai poliartritis yang kadangkala menetap untuk jangka lama. Gejala berat lainnya adalah vaskulitis dan neuropati perifer. Infeksi intrauterin dapat terjadi karena parvovirus dapat melalui plasenta sehingga menyebabkan hydrops fetalis dan fetal death sebagai akibat miokarditis berat. Pada pasien yang telah menderita anemia hemolitik apabila terkena infeksi parvovirus (infeksi nosokomial) dapat mengalami transient aplastic crisis. 5,6 Hal serupa pernah dilaporkan terjadi pada anak yang menderita hereditary spherocytosis. Anemia berat yang berlangsung lama atau relaps, dapat dialami oleh individu immuno compromised yang mendapat infeksi parvovirus B19 disebabkan karena destruksi red cell precursors yang 42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
menetap di dalam sumsum tulang. Prekursor leukosit dan trombosit dapat juga terkena sehingga terjadi kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi seluruh jenis sel darah.6,7 Untuk kasus demikian perlu diberikan pengobatan dengan imunoglobulin intravena dosis tinggi. Di negara empat musim pada umumnya terjadi pada musim dingin atau semi. Pada tahun 1993, 1994, dan 1997 pernah terjadi wabah di Inggris.7 Parvovirus B19 dapat juga ditularkan melalui transfusi darah atau komponen darah. Oleh karena itu penting mendapat perhatian kepada calon donor darah, mengingat manifestasi infeksi parvovirus B19 bervariasi dan 20%-50% kasus bersifat asimtomatik. Pada awalnya dilaporkan prevalensi donor yang menderita viremia asimtomatik 1 di antara 40.000 donor, namun dengan uji skrining yang lebih sensitif prevalensi meningkat menjadi 1 di antara 3000 selama periode non-endemik dan 1 di antara 167 donor saat endemik. Penularan dilaporkan dijumpai pada pasien thalassemia yang mendapat transfusi. Risiko penularan parvovirus meningkat pada pembuatan produk darah yang berasal dari ribuan sampel plasma yang telah terkontaminasi, karena satu sampel plasma donor dapat mengandung 1012 partikel virus /ml. 6,7 Saat ini sedang dikembangkan vaksin parvovirus untuk pencegahan yang akan diberikan pada pasien risiko tinggi seperti thalassemia, sickle cell anemia, HIV, vaksin akan disatukan dengan vaksin MMR.8 Disimpulkan bahwa skrining sampel darah donor terhadap infeksi parvovirus perlu dilaksanakan untuk mencegah penularan melalui produk darah dan komponen darah. Pada anak sehat dengan eritrosit normal, penyakit yang terjadi relatif ringan dan self limiting. Namun pada kelompok rentan seperti anak imunokompromais dan anak yang menderita sickle cell anemia gejala menjadi berat dan serius. Demikian pula apabila dijumpai anemia defisiensi.9 Episode anemia akut (transient aplastic crisis) pada pasien anemia sickle cell dan prolonged anaemia pada pasien imunokompromais, merefleksikan bahwa tropism parvovirus B19 terjadi pada erythroid progenitor cells.
Anemia pada penyakit menahun (iron-reutilization anemia) Anemia pada penyakit menahun disebabkan multifaktor dan seringkali terjadi bersamaan dengan defisiensi besi. Anemia perlu dicurigai apabila kita menjumpai infeksi menahun (endokarditis bakterialis subakut, osteomielitis, AIDS), penyakit inflamasi menahun (juvenile rheumatoid arthritis, SLE, sarkoidosis, demam rematik, penyakit Crohn, kolitis ulseratif), dan keganasan. Gambaran hematologik berupa anemia mikrositik, kadar reseptor serum transferin dan serum feritin terdapat di antara defisiensi besi dan anemia sideroblastik. Dilaporkan di seluruh dunia bahwa anemia akibat penyakit menahun merupakan anemia kedua terbanyak setelah anemia defisiensi besi. Pada awalnya 43
Anemia pada beberapa penyakit infeksi
bentuk eritrosit masih normal (normositik), namun makin lama menjadi mikrositik. Hal ini disebabkan karena kegagalan marrow erythroid mass untuk memenuhi kebutuhan untuk mengatasi anemia. Tipe anemia ini merupakan bagian dari penyakit menahun, terutama disebabkan oleh infeksi, inflamasi (terutama juvenile rheumatoid arthritis), atau keganasan; pada umumnya proses diawali dengan infeksi atau inflamasi akut. Patofisiologi diduga terjadi melalui tiga mekanisme.2 • Masa hidup eritosit memendek melalui mekanisme yang belum diketahui. • Gangguan respons sumsum tulang terhadap eritropoiesis disebabkan penurunan produksi eritropoietin (EPO) dan respons sumsum tulang terhadap EPO. • Terjadinya sekuestrasi besi di dalam sel inflamasi (makrofag) dan gangguan metabolisme besi intraselular sehingga mengakibatkan penurunan jumlah besi serta ketidakmampuan memobilisasi cadangan besi yang berguna untuk pembentukan eritrosit. Sampai saat ini hanya sedikit patogenesis yang diketahui dalam menerangkan terjadinya anemia pada infeksi menahun. Sel retikulum pada infeksi menahun cenderung akan menahan besi sehingga besi tidak mencukupi untuk sintesis hemoglobin. Hal ini mengakibatkan kegagalan proses kompensasi mengatasi anemia dengan meningkatkan produksi hemoglobin. Selain itu, sitokin yang diproduksi oleh makrofag misalnya IL-1β, tumor necrosis factor-α, interferon-β pada pasien yang menderita infeksi, inflamasi, dan keganasan, berperan pada penurunan produksi EPO dan gangguan pada metabolisme besi. Selain itu, peran inflammatory cytokine IL-6 menghasikan hepcidin, an ironregulatory hormone yang bertanggung jawab pada kelainan penyakit ini.10 Pada pemeriksaan hematologi, dijumpai anemia mikrositik atau marginal normocytic anemia. Maka, perlu diperiksa kadar serum iron, transferrin, transferrin receptor, dan serum ferritin. Pada umumnya kadar hemoglobin > 8 μg/dL apabila tidak ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya anemia. Serum feritin pada umumnya meningkat tetapi masih mungkin normal. Total iron binding capacity dan serum iron menurun. Apabila pada infeksi menahun dijumpai kadar feritin hanya sedikit (< 100 ng/mL) menandakan adanya defisiensi besi yang terjadi bersamaan. Perlu diperhatikan bahwa serum feritin sebagai acute-phase reactant dapat meningkat palsu, maka serum transferrin receptor dapat dipergunakan untuk membedakan dengan defisiensi besi dari akibat penyakit infeksi menahun apabila serum feritin >100 ng/mL. Pengobatan yang terpenting adalah pengobatan pada penyakit yang mendasarinya. Pada umumnya anemia yang terjadi ringan, tidak diperlukan transfusi, cukup pemberian preparat rekombinan eritropoietin. Transfusi hanya diperlukan atas indikasi. Oleh karena terjadi penurunan produksi dan resistensi sumsum tulang terhadap eritropoietin, maka dosis eritropoietin yang 44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
diperlukan 150 to 300 unit/kg, subkutan, 3 x per minggu. Keberhasilan akan tampak setelah 2 minggu pengobatan dengan peningkatan Hb > 0.5 μg/dL dan serum feritin < 400 ng/mL. Suplemen besi diperlukan untuk memastikan bahwa respons eritropoietin sudah adekuat.2,10
Anemia pada Malaria Anemia pada malaria erat hubungannya dengan proses eritropoiesis. Proses eritropoiesis sangat kompleks yang bukan saja menyangkut eritropoitin. Sel stroma sumsum tulang, c-kit ligand, short range acting hematopoietic growth factors seperti granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-3; insulin-like growth factor, platelet activating factor, prolactin, thrombopoietin, angiotensin II dan transcription factors, mempunyai fungsi penting dalam proses regulasi eritropoiesis. Sitokin tertentu, terutama Th-1 lymphocyte-mediated immune pathway, tampaknya berperan penting dalam kelangsungan proses eritropoiesis yang menyebabkan inflamasi dan anemia aplastik. Interleukin-1 dan TNF-alfa berperan dalam patogenesis anemia inflamasi, sedangkan IFNgamma berperan pada terjadinya anemia aplastik. Secara in-vitro dibuktikan bahwa IFN-gamma merupakan pembentuk direct inhibitor of erythroid precursor colony yang utama. Hal ini menyebabkan apoptosis dari erythroid colony-forming unit cells melalui interaksi antara Fas ligand dan Fas. Tumor necrosis factor menyebabkan reduksi masa eritrosit dan erythroid precursors pada percobaan binatang. Th-1 derived cytokines menyebabkan perubahan metabolisme besi, dan penyimpanannya di makrofag dalam retikuloendotelial. Sehingga, proses eritropoiesis menjadi terbatas dengan berkurangnya besi yang tersedia untuk sintesis heme.11 Anemia merupakan gejala yang biasa ditemukan pada berbagai tipe malaria. Keadaan anemia menjadi penting dan berbahaya pada pasien anak dan wanita hamil. Beberapa faktor berperan dalam terjadinya anemia pada malaria falciparum. Di negara berkembang, anemia pada umumnya terjadi bersamaan dengan keadaan malnutrisi dan kecacingan, sehingga masalahnya menjadi lebih kompleks. Pada malaria falciparum, anemia terjadi secara cepat sebagai akibat proses hemolisis yang berat. Derajat anemia berkorelasi dengan parasitemia dan schizontemia. Keadaan ini juga berhubungan dengan tingginya kadar bilirubin dan kreatinin. Infeksi bakteria sekunder, kehamilan, dan penyakit perdarahan yang ditelah diderita akan mencetuskan disseminated intravascular coagulation sehingga terjadi anemia. Namun pada kasus malaria anak, seringkali dijumpai anemia berat tetapi mengandung parasitemia rendah. Anemia pada malaria disebabkan oleh multifaktor. Penyebab termasuk kerusakan sel darah merah pada fase merogoni, penghancuran ini akan mempengaruhi kerusakan eritrosit yang tidak mengandung parasit (non-parasitised) yang merupakan kontributor utama anemia berat pada malaria, bone marrow dysfunction yang dapat menetap beberapa minggu, pemendekan daur hidup eritrosit, dan pen45
Anemia pada beberapa penyakit infeksi
ingkatan splenic clearance. Perdarahan saluran cerna masif pada malaria juga dapat menyebabkan anemia pada malaria.12 Anemia pada umumnya terjadi pada malaria falciparum akut dengan kadar hemoglobin berkisar antara derajat ringan sampai berat (kadar hemoglobin < 5 g/dL pada anak atau < 7 g/dL pada dewasa). Patogenesis molekular anemia yang terjadi pada malaria P. falciparum masih belum dimengerti. Anemia berat dapat ditemukan pada keadaan parasitemia rendah yang terjadi selama infeksi kronis, dan bahkan masih dapat dijumpai setelah pengobatan malaria selesai. Beberapa mekanisme pada patogenesis anemia, termasuk lisis dan fagositosis eritrosit, peningkatan sekuestrasi eritrosit yang mengandung parasit, dan penghancuran eritrosit secara autoimun. Namun tidak ada satu mekanisme tersendiri yang dapat menerangkan hubungannya dengan derajat penyakit. Telah pula dilaporkan bahwa manifestasi patogenik pada malaria seperti anemia berat dan malaria serebral disebabkan oleh produksi pro-inflammatory mediator sebagai respons terhadap parasit malaria. Studi hematologik pada malaria berat membuktikan eritropoiesis yang tidak efektif, dis-eritropoiesis sumsum tulang, dan jumlah dan rate proliferasi eritroblast rendah. Beberapa penelitian mendapatkan terjadinya supresi eritropoeisis pada malaria akibat gangguan produksi functional erythropoietin, growth factor yang diperlukan untuk pengembangan erythrocyte progenitor. Penelitian lain melaporkan produksi erythropoietin yang tidak adekuat dijumpai pada anemia karena malaria.12,13 Anemia seringkali menetap beberapa minggu setelah pengobatan malaria akut, dan berbagai faktor turut berperan. Pada beberapa kasus terdapat clearance infeksi terjadi tidak sempurna, malaria relaps, atau adanya infeksi malaria dari galur plasmodium yang berbeda. Sering juga dijumpai walaupun malaria telah sembuh dan pasien tidak lagi hidup di daerah endemis malaria, anemia menetap beberapa minggu setelah tujuh hari pengobatan antimalaria. Anemia yang terjadi setelah pengobatan lebih dominan bersifat hipoproliferatif daripada hemolitik. Dalam keadaan seperti ini, anemia yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh gangguan nutrisi atau proses inflamasi yang masih berlangsung. Alternatif lain episode malaria akut berdampak pada supresi berkepanjangan pada eritropoiesis. Supresi pada sumsum tulang disebabkan karena produksi eritropoietin yang tidak adekuat. Hal lain yang memperpanjang keadaan anemia pada malaria akut adalah peningkatan produksi inflammatory cytokines yang menetap dan mempengaruhi eritropoiesis.14 Komplikasi malaria yang terbanyak adalah anemia berat dan malaria serebral. Pada observasi selama tiga tahun pada anak di Zambia dijumpai bahwa anemia malaria menyebabkan 10% kasus perlu perawatan dan 9% di antaranya meninggal karena anemia berat. Anemia berat pada malaria berhubungan erat dengan 1) derajat parasitemia, 2) malnutrisi, 3) tidak dijumpai demam, dan 4) late onset pada musim terjadinya malaria. Jadi, adanya malnutrisi dan perubahan pola respons imun menyebabkan paparan P. Falciparum memanjang 46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
yang mempunyai kontribusi untuk terjadinya komplikasi. Kebutuhan transfusi bukan hanya berdasarkan kadar hemoglobin (Hb ≤7,1 g/dL), namun harus dilihat pula densitas parasitemia dan keadaan klinis. Badan kesehatan dunia WHO menganjurkan kadar hematokrit sebagai patokan yaitu kadar hematokrit <15% merupakan indikasi transfusi darah (10 ml/kg BB packed red cells atau 20 ml/kg BB whole blood).14,15
Anemia pada Investasi Cacing Anemia yang dijumpai pada anak yang menderita kecacingan adalah anemia akibat perdarahan yang menahun. Pada askariasis, kerusakan hati dapat terjadi sewaktu larva melakukan siklus dari usus melalui hati ke paru. Namun organ yang paling banyak terganggu adalah paru, karena semua larva Ascaris lumbricoides harus melalui paru sebelum menjadi cacing dewasa di usus. Hal ini terjadi sewaktu larva menembus pembuluh darah untuk masuk ke dalam alveoli paru. Pada infeksi yang ringan, trauma yang terjadi bisa berupa petekie, sedangkan pada infeksi yang berat darah mengumpul di alveoli dan bronkhioli sehingga mengakibatkan terjadinya edema paru. Pada ankilostomiasis (cacing tambang) dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat pada mukosa usus. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia hipokromik mikrositik. Bila penyakit berlangsung kronis, dapat disertai anemia berat, hipoalbuminemia dan edema. Hemoglobin kurang dari 5 g/dL dihubungkan dengan gagal jantung dan kematian yang tiba-tiba. Patogenesis anemia pada infeksi cacaing tambang tergantung pada 3 faktor yaitu kandungan besi dalam makanan, status cadangan besi dalam tubuh pasien, dan intensitas serta lamanya infeksi. Ketiga faktor ini bervariasi di negara tropis. Perdarahan yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang, tidak menunjukkan berkurangnya besi meskipun di dalam tubuhnya terdapat sampai 800 cacing tambang dewasa. Pada infeksi cacing tambang, kehilangan darah yang terjadi adalah 0,03-0,05 ml darah/cacing/hari pada Necator americanus dan 0,16-0,34 ml darah/cacing/hari pada Ancylostoma duodenale.16
Kesimpulan Anemia akibat infeksi akut maupun menahun tidak jarang dijumpai. Anemia yang disebabkan oleh penyakit infeksi menahun merupakan anemia tersering kedua setelah anemia defisiensi besi. Pada kasus anemia infeksi, sering ditemukan bersamaan dengan anemia lain terutama anemia defisiensi besi. Perjalanan penyakit menjadi lebih parah dan serius bila pasien menderita defisiensi imun atau malnutrisi. 47
Anemia pada beberapa penyakit infeksi
Daftar pustaka 1. Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen S, Ribeiro RC. Major hematologic diseases in the developing world. Diunduh: http://asheducationbook.hematologylibrary.org/cgi/content/full/2001/1/479. Diakses tanggal:10 Juni 2007. 2. Porter RS. Anemia of chronic disease (iron-reutilization anemia). Dalam: The Merck Manual of diagnosis and therapy. Beer MH, Porter RS, Jones TV, Kaplan JL, Berkwits M, penyunting. Edisi ke-18. West Point, USA: Merck Research Lab, 2006.h.1040-1. 3. Jansson LT, Kling S, Dallman PR. Anemia in children with acute infections seen in a primary care Pediatric outpatient clinic. Pediatr Infect Dis 1986;5:424-29. 4. Chamberlain NR. From systemic inflammatory response syndrome (SIRS) to bacterial sepsis with shock. Crit Care Med 2004; 29:1303-10. 5. Balk RA., Casey LC. Sepsis and septic shock. Crit Care Clin. 2000; 12:569-75. 6. CDC: National Centre for Infectious Disease, Respiratory & Enteric Virus Branch. Parvovirus B19 (fifth disease). Diunduh dari: http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/revb/ respiratory/parvo_b19.htm . Diakses tanggal: 5 Juni 2007. 7. Cohen B. Fortnightly review: parvovirus B19 an expanding spectrum of disease. BMJ 1995;311:1549-52. 8. Bansall GP, Hatfield JA, Dunn FE, Kramer AA, Brady F, Riggin CH, dkk. Candidate recombinant vaccine for human B19 parvovirus. J Infect Dis 1993 ;167:1034-44. 9. Lefrere JJ, Bourgois H. Human parvovirus associated with erythroblastopenia in iron deficiency anaemia. J Clin Pathol 1986;39:1277-8. 10. Sullivan M. Anemia of chronic disease (iron-reutilization anemia). Diunduh: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000565.htm. Diakses tanggal: 10 Juni 2007. 11. Davoren JB. The bone marrow and hematopoiesis. Dalam: Pathophysiology of disease, an introduction to clinical medicine. McPhee SJ, Lingappa VR, Ganong WF, penyunting. Edisi ke-4. New York, Toronto:Lange Med Book/MvGraw-Hill 2003.h.121-31. 12. Abdalla SH. Hematopoiesis in human malaria. Blood Cells 1990; 16:401-6. 13. Woodruff AW, Ansdell VE, Pettitt LE. Cause of anemia in malaria. Lancet. 1979;1:1055–7. 14. Burchard GD, Radloff P, Philipps J, Nkeyi M, Knobloch J, Kremsner PG. Increased erythropoietin production in children with severe malarial anemia. Am J Trop Med Hyg. 1995;53:547. 15. el Hassan AM, Saeed AM, Faundrey J, Jelkmann W. Decreased erythropoietin response in Plasmodium falciparum malaria-associated anemia. Eur J Haematol. 1997;59:299–304. 16. Gulani A, Nagpal J, Sachdev HPS. Effect of administration of intestinal anthelmintic drugs on haemoglobin: systematic review of randomised controlled trials. BMJ 2007;334:1095-9.
48
Anemia pada beberapa penyakit ginjal Partini Pudjiastuti Trihono Tujuan: 1. Mengenal anemia sebagai manifestasi klinis penting pada beberapa penyakit ginjal 2. Mengetahui jenis dan penyebab anemia pada beberapa penyakit ginjal
A
nemia sering ditemukan pada anak dengan berbagai penyakit ginjal, bahkan keadaan ini dapat merupakan satu-satunya gejala yang menuntun dokter sampai kepada diagnosis penyakit ginjal tersebut. Anemia pada penyakit ginjal, bila tidak terdeteksi, atau tidak ditata laksana dengan baik, akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada penderita penyakit ginjal tersebut. Hormon eritropoietin diproduksi oleh ginjal, namun anemia pada penyakit ginjal disebabkan oleh multifaktorial, tidak hanya disebabkan karena gangguan produksi hormon eritropoietin saja. Anemia pada penyakit ginjal merupakan akibat (sekunder) dari penyakit ginjal, sehingga tata laksana anemia pada penyakit ginjal yang utama adalah dengan tata laksana penyakit primer ginjal. Makalah ini membahas patogenesis anemia pada beberapa penyakit ginjal; antara lain penyakit ginjal kronik, sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis sekunder lain, serta membahas tata laksana anemia pada masing-masing kelainan ginjal tersebut.
Eritropoietin Eritropoiesis adalah proses dinamik produksi sel darah merah. Transformasi dari sel stem yang multipoten menjadi sel darah merah terjadi dalam 2 fase. Hormon eritropoietin hanya berperan pada fase I, sedangkan fase II tidak tergantung kepada hormon ini, tetapi membutuhkan suplai zat besi, vitamin B12, dan asam folat.1 Hormon eritropoietin (EPO) ialah suatu sialiglikoprotein dengan berat molekul 34.000 dalton, mengandung 165 asam amino, dihasilkan oleh sel 49
Anemia pada beberapa penyakit ginjal
fibroblas pada jaringan interstisial peritubular ginjal (90%), dan dalam jumlah kecil diproduksi di hati (10%).2 Hormon ini merupakan regulator utama dalam proses eritropoiesis, yang mempertahankan jumlah optimal massa sel darah merah yang beredar di dalam tubuh untuk menjamin oksigenisasi jaringan berlangsung dengan baik. Dalam keadaan normal kadar EPO dalam serum berkisar antara 8-18 mU/mL (sebanding dengan 0,1 mg/mL atau 5 pikomol/L), sedangkan dalam keadaan anemia kadarnya dapat meningkat sampai 100 – 1000 kali. Kadar EPO messenger RNA sangat sensitif terhadap perubahan oksigenisasi jaringan.1 Suatu mekanisme homeostasis berlangsung melalui mekanisme umpan balik yaitu bila sel renal mengalami hipoksia akan merangsang produksi EPO. Eritropoietin kemudian berikatan dengan reseptor pada progenitor sel darah merah di sumsum tulang. Transduksi signal melalui reseptor ini akan mencegah apoptosis sel darah merah dan memicu proses proliferasi dan diferensiasi menuju sel darah merah yang matur. Proses yang terjadi selanjutnya ialah peningkatan massa sel darah merah yang akan meningkatkan oksigenisasi jaringan, sehingga menurunkan rangsangan produksi EPO.3
Anemia pada penyakit ginjal kronik Batasan penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang berlangsung selama 3 bulan atau lebih yang ditandai dengan kelainan struktur ginjal (gambaran patologi anatomi) maupun kelainan fungsi ginjal yang dapat terlihat pada pemeriksaan darah, urin, maupun pencitraan, baik disertai maupun tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. Penyakit ginjal kronik juga didefinisikan sebagai penurunan laju filtrasi glomerulus di bawah 60 ml/menit/1,73 m2 yang telah berlangsung selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.4 Manifestasi penyakit ini tidak nyata atau tersembunyi, dan membahayakan (insidious disease) karena secara lambat namun pasti mempengaruhi fungsi ginjal. Penderita penyakit ginjal kronik seringkali tidak menyadari adanya penyakit ini, sampai suatu saat setelah berlangsung bertahun-tahun lamanya, penderita jatuh dalam gagal ginjal terminal yang memerlukan terapi pengganti ginjal, baik dialisis maupun transplantasi. PGK timbul sebagai konsekuensi dari berbagai penyakit, seperti hipertensi, pielonefritis kronik, glomerulonefritis kronik, baik primer maupun sekunder, penyakit ginjal kistik, diabetes melitus, dan lain-lain. Anemia merupakan komplikasi PGK yang sering ditemukan, dan dikenal dengan sebutan renal anemia. Penyebab anemia pada PGK ialah multifaktorial, ketidakmampuan ginjal untuk mensekresi hormon eritropoietin merupakan penyebab anemia yang utama, sehingga proses eritropoeisis tidak adekuat. Faktor lain yang menjadi penyebab anemia pada PGK ialah umur eritrosit yang memendek, terdapat inhibitor eritropoiesis, defisiensi besi dan asam 50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
folat, malnutrisi, osteodistrofi ginjal dan hiperparatiroidisme, reaksi inflamasi akut maupun kronik yang menghambat sekresi EPO, toksisitas aluminium, dan perdarahan. Hiperparatiroidisme menyebabkan anemia melalui beberapa cara; antara lain hormon PTH merupakan inhibitor langsung terhadap produksi eritropoietin, meningkatkan fragilitas osmotik sel darah merah, dan menyebabkan fibrosis sumsum tulang.5 Anemia sering ditemukan pada stadium awal PGK, dan derajat anemia semakin memburuk sejalan dengan progresivitas PGK. Angka kejadian anemia ditemukan sebesar 25% pada PGK dengan klirens kreatinin > 50 ml/menit, dan meningkat menjadi 44% pada kelompok PGK dengan klirens 35-49 ml/menit, 51% pada PGK dengan klirens antara 25-34 ml/menit, dan 87% pada pasien dengan klirens < 25 ml/menit.6 Berbagai penelitian pada dewasa dengan dialisis menunjukkan bahwa keadaan umum pasien akan memburuk bila kadar hemoglobin (Hb) < 10 g/dL, dan kesintasan pasien menurun bila kadar hematokrit (Ht) kurang dari 30-33%. Pada pasien PGK yang disertai anemia mempunyai risiko hipertrofi ventrikel kiri yang tinggi. Kualitas hidup dan kemampuan beraktivitas pasien PGK dengan dialisis meningkat bila kadar Hb mendekati nilai normal. Target Hb yang direkomendasikan adalah 12 g/dL (Ht 36%) pada laki-laki dan Hb 11 g/dL (Ht 33%) pada perempuan dan anak pra-pubertal.6,7 The American National Kidney Foundation Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) memberikan rekomendasi untuk memulai evaluasi anemia pada PGK bila laju filtrasi glomerulus < 60ml/menit/1,73 m2.4,7 Evaluasi renal anemia meliputi pemeriksaan darah tepi untuk melihat indeks sel darah merah dan retikulosit, profil besi (feritin dan kadar transferin), serta pemeriksaan darah samar tinja. Beberapa karakteristik anemia pada PGK adalah normokrom normositik, mean corpuscular volume (MCV) normal, kadar Hb dapat rendah mencapai 4-5 g/dL, jumlah retikulosit rendah, jumlah trombosit normal, dan dapat disertai leukositosis.8 Pada sumsum tulang terdapat hipoplasia eritroid, sedang leukopoiesis dan megakaryositopoiesis normal.1 Gambaran mikrositosis sel darah merah menunjukkan adanya defisiensi zat besi, keracunan aluminium, atau hemoglobinopatia; sedangkan gambaran makrositosis sel darah merah mungkin disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 atau asam folat. Manifestasi klinis renal anemia umumnya timbul pada kadar hematokrit 30% atau kurang, dan seringkali sulit dibedakan dengan gejala uremia.9 Pemberian EPO rekombinan (recombinant human erythropoietin/rhEPO) dapat mengkoreksi renal anemia. Sebuah uji klinis acak terkontrol (RCT) membuktikan bahwa pemberian rhEPO pada pasien PGK dengan anemia ringan, secara bermakna mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal dan memperlambat pelaksanaan terapi pengganti ginjal.10 Sebelum memulai pemberian rhEPO, beberapa faktor harus diperhatikan, seperti: nutrisi harus adekuat, hiperparatiroidisme harus diatasi lebih dulu, mencegah keracunan 51
Anemia pada beberapa penyakit ginjal
aluminium, obati infeksi atau reaksi inflamasi kronik, tambahkan zat hematinik seperti zat besi, asam folat, dan vitamin B12.6 Pemberian rhEPO dapat melalui intravena pada pasien dengan hemodialisis, dengan dosis awal 50-75 IU/kg/dosis, 3 kali seminggu, sampai target Hb atau Ht tercapai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 100-200 IU/kg/minggu. RhEPO dapat pula diberikan secara subkutan pada pasien tanpa dialisis atau pada pasien dengan dialisis peritoneal. Sebaiknya untuk pemberian rhEPO secara subkutan menggunakan rhEPO-beta, karena rhEPO-alfa dapat menimbulkan komplikasi aplasia sistim eritropoetik. Dosis rhEPO-beta 75-150 IU/kg/minggu, dan diharapkan target Hb tercapai dalam waktu 3 bulan. Algoritma tata laksana anemia pada anak dengan PGK dapat dilihat pada Gambar 1. Selama pemberian rhEPO harus selalu dilakukan pemantauan terhadap efek samping pemberian rhEPO seperti hipertensi, kejang, hiperkalemia, trombosis pada fistula arteriovena, penurunan klirens dialiser, hiperfosfatemia karena peningkatan napsu makan yang tidak diimbangi dengan peningkatan klirens fosfat.6
Gambar 1. Algoritma tata laksana anemia pada anak dengan PGK.6 Keterangan gambar: TSAT = saturasi transferin
52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Defisiensi zat besi merupakan penyebab utama kurangnya respons terhadap pemberian rhEPO sehingga kadar Hb tidak membaik. Penyebab defisiensi zat besi pada PGK adalah asupan zat besi tidak adekuat, kehilangan darah pada saat hemodialisis, perdarahan melalui saluran cerna, atau iatrogenik karena pengambilan darah yang terlalu sering untuk pemeriksaan diagnostik. Defisiensi zat besi pada PGK dapat pula disebabkan oleh absorbsi zat besi di usus yang tidak adekuat, inhibisi pelepasan besi dari makrofag, atau peningkatan kebutuhan zat besi selama pemberian rhEPO.11 Defisiensi zat besi pada PGK dapat dikoreksi dengan pemberian zat besi melalui oral maupun intravena. Pada anak, zat besi oral diberikan dalam bentuk fero-sulfat 2-6 mg/kg per hari atau pada anak dengan hemodialisis dapat diberikan feri-glukonat intravena dengan dosis 1,5 mg/kg. Di negara berkembang, seperti Indonesia, rhEPO masih terlalu mahal harganya. Alternatif lain untuk mengatasi anemia pada PGK adalah transfusi suspensi sel darah merah, yang dapat diberikan pada keadaan khusus, misalnya; perdarahan akut disertai gangguan hemodinamik, tidak memungkinkan pemberian rhEPO padahal kadar Hb < 7 g/dL, terdapat gangguan hemodinamik pada kadar Hb < 8 g/dL, penderita mengalami defisiensi zat besi sehingga belum dapat diberikan rhEPO, atau penderita tidak responsif dengan pemberian rhEPO. Transfusi suspensi sel darah merah diberikan secara bertahap dengan target pencapaian Hb 7-9 g/dL.12
Anemia pada sindrom nefrotik Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulonefritis primer terbanyak pada anak, dengan gejala utama berupa proteinuria masif dan selektif. Sindrom ini mempengaruhi eritropoiesis melalui 2 cara yaitu mempengaruhi kadar EPO dan transferin di dalam darah.13 Pada pasien sindrom nefrotik, terjadi kehilangan EPO melalui urin sehingga kadarnya di dalam darah menurun. Pada sindrom nefrotik relaps, kadar EPO di dalam darah sangat menurun dan berhubungan dengan peningkatan proteinuria. Keadaan ini menyebabkan anemia, yang dapat kembali normal seiring dengan pencapaian keadaan remisi. Di samping defisiensi EPO, pasien sindrom nefrotik juga kehilangan transferin melalui urin. Transferin ialah glikoprotein ukuran sedang yang terutama disintesis di hati. Transferin bertugas mengikat atom ion feri ke prekursor eritroid. Pada keadaan sindrom nefrotik relaps, transferin hilang melalui glomerulus. Karena transferin mengikat 2 atom ion feri, maka kehilangan transferin melalui urin mengakibatkan defisiensi zat besi. Defisiensi zat besi pada sindrom nefrotik dapat teratasi pada keadaan remisi atau dengan penggantian cadangan besi. Transferinuria menyebabkan disosiasi zat besi di dalam lumen tubulus proksimal, sehingga zat besi yang bebas akan menghasilkan zat radikal bebas 53
Anemia pada beberapa penyakit ginjal
di dalam lumen tubulus ginjal yang kemudian memicu kerusakan tubulointerstisial ginjal, selanjutnya menyebabkan kerusakan ginjal progresif. Kehilangan protein yang masif melalui urin dan peningkatan katabolisme protein akan mengakibatkan pasien sindrom nefrotik mengalami balans nitrogen yang negatif pada saat relaps. Keadaan kekurangan protein secara umum ini pada pasien sindrom nefrotik berperan pada terjadinya anemia. Di samping itu, pada sindrom nefrotik terdapat disfungsi sel T dan hipogamaglobulinemia yang menyebabkan pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi yang berulang, mempunyai peran pula dalam terjadinya anemia pada sindrom nefrotik.14 Anemia pada sindrom nefrotik akan membaik seiring dengan berkurangnya proteinuria seperti pada keadaan remisi.
Anemia pada glomerulonefritis akut Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus (GNAPS) merupakan glomerulonefritis sekunder yang paling sering ditemukan pada anak. Manifestasi klinis yang khas adalah hematuria nyata, proteinuria, edema dan hipertensi, serta gagal ginjal, yang didahului oleh infeksi saluran napas atas 1-2 minggu sebelumnya, atau infeksi kulit 3-6 minggu sebelum gejala klinis muncul. Pada stadium akut, anemia pada GNAPS disebabkan oleh proses hemodilusi karena pada keadaan ini terjadi overload cairan. Meskipun GNAPS merupakan self limited disease (80-85% akan sembuh tanpa gejala sisa), namun sebagian (sekitar 5%) akan menjadi subakut yang dikenal sebagai rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN). Sebagian besar manifestasi klinis GNAPS seperti hematuria nyata, oliguria, dan edema umumnya akan menghilang dalam 2-3 minggu sejak awitan penyakit, namun pada RPGN gejala-gejala tersebut menetap atau bahkan memburuk; seperti hematuria (dapat berupa hematuria nyata), proteinuria (dapat sampai nephrotic range), hipertensi dan perburukan fungsi ginjal. Hampir semua pasien RPGN mengalami gagal ginjal. Biopsi ginjal pada pasien dengan RPGN akan menunjukkan gambaran kresentik pada >50% glomerulus. Anemia ditemukan pada 70% anak dengan RPGN, kadar Hb dapat turun di bawah 9 g/dL, dengan gambaran eritrosit normokrom normositik. Pada pemeriksaan apusan darah tepi seringkali ditemukan tanda hemolisis.15
Anemia pada sindrom hemolitik uremik Sindrom hemolitik uremik (SHU) pada anak dapat dibagi 2 jenis; yaitu jenis yang disertai gejala prodromal diare disebut SHU D+ dan SHU yang tidak disertai diare atau disebut SHU D-. Sindrom hemolitik uremik D+ meliputi 54
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
90% anak penderita SHU, biasanya berusia 3 tahun atau kurang, dan dikaitkan dengan toksin yang dihasilkan oleh mikroba, yang disebut VT-producing Escherichia coli (VTEC). SHU D+ yang tipikal biasanya didahului dengan gejala diare berdarah yang disebabkan oleh shigella atau E.coli O157:H7. SHU D- dapat ditemukan pada anak segala usia bahkan neonatus, diduga bersifat familial dan diturunkan secara autosomal resesif. Patologi yang mendasari penyakit ini adalah thrombotic microangiopathy, yaitu kelainan oklusif mikrovaskular pada kapiler, arteriol, dan kadang-kadang pada arteri. Pemeriksaan fungsi koagulasi pada sindrom ini menunjukkan koagulasi diseminata. 16 Sindrom hemolitik uremik terdiri dari trias gejala yaitu anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, dan gagal ginjal. Gagal ginjal biasanya berat dan berlangsung lama, sehingga sebagian besar pasien membutuhkan dialisis. Sindrom ini dikaitkan dengan kerusakan sel endotel pembuluh darah mikro sehingga menimbulkan koagulasi intravaskular dan anemia hemolitik mikro-angiopatik sebagai akibat destruksi sel darah merah dan trombosit oleh benang-benang fibrin di dalam pembuluh darah yang sempit. Perlekatan trombosit menimbulkan mikrotrombus. Lumen kapiler menjadi semakin sempit karena edema endotel dan trombus. Keadaan ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal mendadak. Derajat hemolisis tidak berkorelasi dengan derajat gagal ginjal. Kadar Hb yang sangat rendah dapat ditemukan pada pasien SHU dengan penurunan fungsi ginjal yang tidak berat. Episode hemolisis dapat berulang dalam beberapa minggu. Sel darah merah berfragmentasi, disebut sebagai schistocytes. Ditemukan pula tanda hemolisis lain seperti peningkatan enzim laktat dehidrogenase, kadar bilirubin, dan retikulosis. Retikulosis yang terjadi tidak optimal karena produksi EPO tidak adekuat. Kadar haptoglobin menurun, dan uji Coombs menunjukkan hasil negatif. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan peningkatan jumlah megakaryosit.16
Anemia pada lupus eritematosus sistemik Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan keterlibatan multiorgan dan ditemukannya antibodi terhadap berbagai komponen inti sel. Keterlibatan ginjal hampir selalu ditemukan pada LES, disebut sebagai nefritis lupus. Manifestasi keterlibatan ginjal pada LES yang paling sering adalah proteinuria, yang dapat masif sehingga timbul gelaja sindrom nefrotik. Proteinuria seringkali disertai dengan hematuria mikroskopik, hipertensi, dan pada 50% kasus nefritis lupus disertai gagal ginjal. Disfungsi tubulus pada LES ditandai dengan peningkatan ekskresi β2-mikroglobulin, asidosis tubular renal, dan hiperkalemia. Diagnosis LES ditegakkan bila memenuhi 4 dari 11 kriteria klinis yang dikemukakan oleh American Association of Rheumatology (revisi tahun 1982), anemia merupakan 55
Anemia pada beberapa penyakit ginjal
salah satu dari kriteria tersebut. Anemia ditemukan pada lebih dari setengah kasus LES, dan umumnya bersifat normokrom normositer. Derajat anemia mencerminkan aktivitas lupus. Anemia hemolitik ditemukan pada < 10% LES, disertai dengan retikulositosis, uji Coombs positif, peningkatan biliriubin, dan penurunan heptaglobin. Anemia aplastik telah dilaporkan terjadi pada LES, dan responsif dengan pengobatan steroid.17
Anemia pada vaskulitis lain Vaskulitis adalah suatu kelompok penyakit dengan karakteristik ditemukannya infiltrat inflamasi (yang terutama terdiri atas neutrofil, eosinofil, atau sel mononuklear) pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi iskemia dan nekrosis jaringan. Pada anak dapat dibagi menjadi 2, yaitu vaskulitis primer, misalnya nefritis Henoch Shconlein, penyakit Kawasaki, arteritis Takayashu; dan vaskulitis sekunder, misalnya lupus eritematosus sistemik atau penyakit jaringan ikat lainnya. Karena ginjal merupakan organ yang mengandung banyak pembuluh darah maka vaskulitis sistemik umumnya mengenai organ ginjal dengan manifestasi nefritis, seperti hematuria, proteinuria, hipertensi, dan gagal ginjal. Diagnosis vaskulitis perlu dipikirkan bila seorang anak memberikan gejala sistemik (malaise, demam, kehilangan berat badan) disertai dengan disfungsi multiorgan; seperti purpura, ditemukan sel darah merah dan silinder eritrosit di dalam urin, artropati, serositis, kelainan jantung dan paru yang tidak dapat dijelaskan, ditambah lagi pada pemeriksaan darah ditemukan anemia, neutrofilia, trombositosis, peningkatan LED, dan peningkatan titer anti neutrophyll cytoplasmic antibody (ANCA).18
Familial juvenile megaloblastic anemia Familial juvenile megaloblastic anemia merupakan suatu bentuk kelainan metabolisme herediter yang disertai dengan kelainan glomerulus. Nama lain penyakit ini adalah sindrom Imerslund-Grasbeck, yang diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan primer sindrom ini adalah malabsorbsi selektif vitamin B12 pada ileum terminal. Anemia megaloblastik timbul pada masa bayi dan anak, disertai dengan proteinuria glomerular nonprogresif (78%) dan fungsi ginjal yang normal. Proteinuria terutama merupakan albuminuria yang persisten dan nonresponsif dengan pemberian vitamin B12. Anemia pada keadaan ini responsif dengan pengobatan sianokobalamin intramuskular.19,20 Pada pemeriksaan mikroskop elektron ditemukan perubahan minimal yang nonspesifik pada glomerulus.18
56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Kesimpulan Anemia merupakan manifestasi klinis yang sering dijumpai pada berbagai penyakit ginjal, sehingga kemungkinan adanya penyakit ginjal perlu dipikirkan bila menemukan anemia yang tidak jelas penyebabnya. Anemia merupakan akibat (sekunder) dari penyakit ginjal, namun di pihak lain anemia akan memperburuk penyakit ginjal itu sendiri. Perbaikan anemia pada umumnya mengikuti perbaikan penyakit ginjal primer. Koreksi anemia pada penyakit ginjal memperlambat progresivitas penyakit ginjal, menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta memperbaiki kualitas hidup.
Daftar Pustaka 1. Clarkson MR, Brenner BM. Hematologic consequences of renal failure. Dalam: Pocket Companion to Brenner & Rector’s. The Kidney. Edisi ke-7. Pennsylvania: Elsevier Saunders,2005. 2. Kher KK. Chronic renal failure. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. New York: McGraw Hill, 1992. h. 501-41. 3. Maxwell AP. Novel erythropoiesis-stimulating protein in the management of the anemia of chronic renal failure. Kidney Int 2002; 62: 720-9. 4. National Kidney Foundation – K/DOQI Guideline of chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2002;39 (Suppl 1): S17-S31. 5. Azhir A, Nasiri J, Gheisari J. Prevalence and severity of anemia in pediatric hemodialysis patients, a single center study. J Research Med Science 2006;11(6):4005. 6. Yap HK. Anaemia, renal osteodystrophy, growth failure in chronic renal failure. Dalam: Chiu MC, Yap HK, penyunting. Practical paediatric nephrology. An update of current practices. Hongkong: Medcom Limited, 2005.h.253-61. 7. Stevens P. Optimizing renal anaemia management-benefits of early referral and treatment. Nephrol Dial Transplant 2005;20(Suppl 8):viii22-6. 8. Sutaryo, Mulatsih S. Anemia pada keadaan khusus. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005.h. 58-63. 9. Himmelfarb J. Hematologic manifestations of chronic kidney disease. Dalam: Greenberg A, penyunting. Primer on kidney diseases. Edisi ke-4. Pensylvania: Saunders,2005. h.519-26. 10. Gouva C, Nikolopoulos P, Ioannidis JPA, Siampoulos KC. Treating anemia early in renal failure patients slows the decline of renal function: a randomized controlled trial. Kidney Int 2004;66:753-60. 11. Horl WH. Iron therapy for renal anemia: how much needed, how much harmful? Pediatr Nephrol 2007;22:480-9. 12. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus manajemen anemia pada pasien gagal ginjal kronik. Dalam: Pernefri, penyunting. Konsensus manajemen anemia
57
Anemia pada beberapa penyakit ginjal
pada pasien gagal ginjal kronik. Jakarta; Pernefri,2001. 13. McBryde KD, Kershaw DB, Smoyer WE. Pediatric steroid-resistant nephrotic syndrome. Curr Probl Pediatr 2001: 280-303. 14. Travis L, Glauser WW. Nephrotic syndrome. Diunduh dari http://www.emedicine. com/ped/topic1564.htm. Diakses tanggal 28 Mei 2007. 15. Cole BR, Madrigal LS. Acute proliferative glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins,2004.h.601-14. 16. Loirat C, Taylor CM. Hemolytic-uremic syndromes. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric nephrology.Edisi ke-5. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins,2004. h. 887-915. 17. Niaudet P, Salomon R. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins,2004.h.866-86. 18. Webb NJA, Brogan PA, Baildam EM. Renal manifestations of systemic disorders. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. Edisi ke-3. New York:Oxford University Press, 2003.h.381-403. 19. Altay C, Cetin M, Gumruk F, Irken G, Yetgin S, Laleli Y. Familial selective vitamin B12 malabsorption (Imerslund-Grasbeck syndrome) in a pool of Turkish patients. Pediatr-Hematol-Oncol. 1995; 12(1): 19-28 (Abstrak) 20. Gubler MC, Knebelmann B, Antignac C. Inherited glomerular disease. Dalam: Barratt TM, Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-4. Pensylvania: Lippincott Williams & Wilkins,1999. h. 489.
58
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak Djajadiman Gatot, Novie Amelia Chozie, Teny Tjitrasari Tujuan : 1. Mengetahui fisiologi hemostasis normal. 2. Mengetahui kelainan hemostasis yang sering dijumpai pada bayi dan anak. 3. Mengetahui pendekatan diagnosis dan tata laksana gangguan hemostasis yang sering dijumpai pada bayi dan anak.
D
alam praktek sehari-hari seringkali kita berhadapan dengan bayi dan anak yang mengalami perdarahan. Perdarahan merupakan kelainan hemostasis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak, sedangkan penyakit akibat kelainan tromboembolik relatif lebih jarang. Gangguan hemostasis pada bayi dan anak dapat berupa kelainan kongenital maupun didapat (acquired).1,2 Dalam makalah ini akan dibahas tentang hemostasis normal, kelainan hemostasis yang sering ditemukan pada bayi dan anak, pendekatan diagnosis pasien dengan gangguan hemostasis dan tata laksananya.
Hemostasis normal Proses hemostasis membutuhkan 4 komponen yang dapat berfungsi secara normal, yaitu (1) Pembuluh darah/vaskular, (2) Trombosit, (3) Kaskade koagulasi, dan (4) Sistem fibrinolisis. 1-3
Pembuluh darah Sel endotel pembuluh darah mempunyai fungsi esensial melindungi dinding pembuluh darah agar selalu dalam keadaan intak, yaitu dengan berperan sebagai sawar fisik yang mencegah kontak antara trombosit dalam sirkulasi darah dengan jaringan subendotel pembuluh darah, sehingga terbentuknya trombus dapat dicegah. Selain itu, sel endotel pembuluh darah berperan penting dalam proses koagulasi (procoagulant) dan juga dalam mencegah terjadinya koagulasi yang berlebihan dalam pembuluh darah (anticoagulant).2 (Tabel 1.) 59
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak
Tabel 1. Faktor-faktor dalam sel endotel pembuluh darah.2 Prokoagulan Vasospasme Produksi faktor koagulasi Inhibitor protein C Faktor VIII Faktor Von Willebrand Fibronectin Ekspresi antigen aktivasi p-selectin
Antikoagulan Inhibitor trombosit Nitric oxide Prostasiklin ADPase Fibrinolisis Heparans Trombomodulin Tissue factor pathway inhibitor Plasminogen activator
Gambar 1. Sel endotel pembuluh darah2
Bila terjadi kerusakan dinding pembuluh darah, sel endotel akan teraktivasi dan berada dalam keadaan proacoagulant state. Produksi serotonin, epinefrin, norepinefrin, tromboxan dan endothelin akan meningkat, sedangkan produksi nitric oxide, dan prostaglandin sel endotel akan berkurang, yang akan mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi.3 Keadaan ini juga memfasilitasi proses adhesi, aktivasi dan agregasi trombosit, sehingga terbentuk sumbat trombosit initial (initial platelet plug). Proses ini disebut juga hemostasis primer.2,3 (Gambar 1. ) Sebaliknya sel endotel juga berperan dalam menghambat pembentukan bekuan darah. Bila terdapat trombin, sel endotel akan menurunkan produksi prostasiklin sehingga aktivasi dan agregasi trombosit akan menurun. Selain itu sel endotel akan meningkatkan produksi trombomodulin, yang akan mengikat trombin dan selanjutnya ikatan ini akan mengaktivasi protein C yang merupakan bagian dari sistem fibrinolisis, sehingga pembentukan trombin 60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
selanjutnya akan dihambat. Sel endotel juga akan meningkatkan produksi tissue plasminogen activator yang merupakan enzim fibrinolisis yang utama.2,3 Dengan proses-proses di atas maka pembentukan bekuan darah yang berlebihan dalam tubuh dapat dicegah.
Trombosit Pada saat terjadi kerusakan dinding pembuluh darah, trombosit dalam sirkulasi akan berikatan dengan kolagen di jaringan subendotel dinding pembuluh darah yang rusak melalui reseptor GPIa/IIa, dan juga berikatan dengan faktor von Willebrand melalui reseptor GPIb/IX-V. Ikatan ini akan menyebabkan trombosit melepaskan kandungan granula dense dan granula-α, sehingga terjadi proses agregasi trombosit dan aktivasi kaskade faktor koagulasi untuk membentuk trombin.2-4 (Gambar 2)
Gambar 2. Aktivasi dan agregasi trombosit.2
Kaskade koagulasi Ditinjau secara laboratoris, kaskade koagulasi dibagi menjadi jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik diawali dengan aktivasi faktor XII (Hageman factor) oleh adanya kontak permukaan (contact surface), sedangkan jalur ekstrinsik dimulai dengan aktivasi faktor VII oleh faktor jaringan (TF/tissue factor). Secara fisiologis, kedua jalur ini bekerja sama memberikan stimulasi maksimal 61
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak
Gambar 3. Kaskade koagulasi2
Gambar 4. Sistem fibrinolisis.2
terhadap faktor X, untuk mengaktifkan protrombin menjadi trombin dengan bantuan faktor V. Selanjutnya trombin akan mengaktifkan faktor XIII, yang akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin.2-4 (Gambar 3)
Fibrinolisis Sistem fibrinolisis merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah pembentukan trombus, dan membantu penyembuhan dinding pembuluh darah agar aliran darah kembali lancar seperti semula. Sistem fibrinolisis terdiri dari faktor-faktor fibrinolisis (aktivator plasminogen, plasminogen dan plasmin) dan inhibitor sistem koagulasi dan trombosit (protein C, protein S, antitrombin III/AT-III dan tissue factor pathway inhibitor/ TFPI). Kedua sistem ini akan bekerja setelah diaktivasi oleh serangkaian proses enzimatik seperti juga sistem koagulasi. (Gambar 4.)
Kelainan hemostasis pada bayi dan anak Trombosis Trombosis pada anak relatif jarang dijumpai. Angka kejadian trombosis pada anak di negara maju adalah 0,07 per 10.000 anak dalam populasi umum.6 Anak relatif terlindungi dari trombosis karena sistem hemostasisnya masih imatur dan risiko aterosklerosis relatif rendah dibanding orang dewasa. Bayi (terutama neonatus) dan adolesens adalah kelompok usia yang paling rentan mengalami trombosis. Angka kejadian trombosis pada anak diperkirakan cenderung meningkat, seiring dengan membaiknya angka kesintasan penyakit-penyakit seperti leukemia, tumor padat dan penyakit jantung bawaan. Tata laksana penyakit-penyakit tersebut biasanya membutuhkan pemasangan 62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
kateter intravaskular dalam jangka waktu tertentu, sehingga meningkatkan risiko trombosis arterial maupun vena.6,7 Beberapa keadaan yang merupakan prothrombotic state adalah neonatus, defisiensi protein antikoagulan/fibrinolitik (protein C, protein S, antitrombin III, plasminogen), sintesis prokoagulan abnormal (misalnya faktor V Leiden), peningkatan kadar prokoagulan, penyakit metabolik seperti homosistinuria yang menyebabkan peningkatan akumulasi asam organik toksik dalam tubuh, vaskulitis (penyakit Kawasaki, SLE) dan kelainan eritrosit (penyakit sickle cell, polisitemia).6-8
Perdarahan Perdarahan pada bayi dan anak dapat disebabkan kelainan trombosit baik kuantitatif maupun kualitatif, kelainan pembuluh darah maupun kelainan koagulasi.1,8-10 Dengan memperhatikan gejala dan tanda klinis perdarahan, umumnya penyebab perdarahan dapat diperkirakan. (Tabel 2.) Tabel 2. Perbedaan klinis kelainan trombosit/vaskular dengan kelainan koagulasi9 (dikutip dengan modifikasi) Klinis
Kelainan trombosit/vaskular
Kelainan koagulasi
Jenis kelamin Riwayat keluarga (+) Petekie Hematoma dalam Ekimosis superfisial
Lebih sering perempuan Jarang Khas Jarang Khas, biasanya multipel dan berukuran kecil-kecil Jarang Jarang Khas
80-90% laki-laki Sering Jarang Sering Sering, biasanya soliter dan berukuran besar Khas Khas Sangat jarang
Hemartrosis Delayed bleeding Prolonged bleeding
Kelainan trombosit Kelainan trombosit yang paling sering menyebabkan perdarahan pada anak adalah trombositopenia. Trombositopenia dapat disebabkan oleh adanya peningkatan destruksi trombosit atau menurunnya produksi trombosit. Penyebab terbanyak trombositopenia pada bayi dan anak akibat peningkatan destruksi trombosit.11 Peningkatan destruksi trombosit dapat disebabkan oleh proses autoimun dan non-imun.11 Purpura trombositopenik imun (PTI) merupakan penyebab tersering trombositopenia pada anak akibat adanya peningkatan destruksi trombosit. Penyakit ini ditandai oleh jumlah trombosit yang kurang dari normal (< 150.000 /uL) akibat timbulnya antibodi terhadap membran trombosit. Gambaran klinis berupa perdarahan pada kulit (tersering berupa petekiae dan ekimosis) ataupun perdarahan mukosa yang mendadak timbul pada anak yang 63
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak
tampak sehat. Penyakit ini sering didahului oleh infeksi virus, terutama infeksi saluran pernapasan atas, yang terjadi 2-3 minggu sebelumnya. Insidens tersering pada usia 2-6 tahun dan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. Kelainan perdarahan ini tidak disertai demam, nyeri tulang, pucat, limfadenopati dan hepatosplenomegali.9,11-12 Trombositopenia non imun dapat disebabkan oleh sindrom hemolitik-uremik, purpura trombotik trombositopenik ataupun koagulasi intravaskular diseminata (KID).9,12
Kelainan pembuluh darah Perdarahan kulit akibat kelainan pembuluh darah disebut juga purpura vaskular. Purpura vaskular pada bayi dan anak dapat disebabkan beberapa keadaan, seperti vaskulitis (penyakit Henoch Schönlein, penyakit Kawasaki, poliarteritis nodosa), infeksi virus/bakteri, penyakit jaringan ikat (scurvy, sindrom Ehlers Danlos, sindrom Marfan), teleangiektasi hemoragik herediter, hiperproteinemia atau disproteinemia.11,14 Purpura vaskular yang paling sering ditemukan pada anak adalah penyakit Henoch Schönlein. Sekitar 75% kasus terjadi pada anak berusia 2 sampai 11 tahun, biasanya didahului infeksi saluran napas atau setelah mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Penyakit Henoch Schönlein merupakan vaskulitis yang diperantarai IgA dan mengenai pembuluh darah kecil. Penyakit ini ditandai dengan adanya purpura nontrombositopenik terutama di tungkai (dorsum kruris), nyeri perut, artritis dan nefritis.11
Kelainan koagulasi Defisiensi faktor koagulasi herediter pada anak yang paling banyak dijumpai adalah hemofilia.8,15 Dikenal 2 tipe hemofilia, hemofilia A dan hemofilia B. Pada hemofilia A terdapat kekurangan faktor VIII sedangkan hemofilia B terdapat kekurangan faktor IX. Gejala klinik hemofilia A dan hemofilia B sulit dibedakan. Perdarahan dapat terjadi secara spontan ataupun menyertai trauma yang ringan sampai sedang. Hal ini bergantung pada beratnya hemofilia. Manifestasi perdarahan yang biasanya dapat dijumpai ialah perdarahan mulut (frenulum, misalnya pada bayi), hemartrosis, hematoma subkutan atau intramuskular, perdarahan intrakranial, hematuria, epistaksis, atau perdarahan selaput lendir lainnya. Dapat pula dijumpai perdarahan yang terus berlangsung setelah suatu tindakan operatif ringan seperti cabut gigi, sirkumsisi dan lainnya. Pada hemofilia berat, gejala klinik biasanya timbul pada waktu bayi dapat merangkak. Dari semua episode perdarahan, hemartrosis merupakan yang paling banyak ditemukan, yaitu sekitar 85% dan lokasi tersering berturut-turut ialah lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan dan lain-lain. Hemofilia diturunkan secara sex (X) –linked recessive. Gen faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan panjang (q) kromosom X. Oleh karena itu, 64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
perempuan biasanya sebagai pembawa sifat sedangkan lelaki sebagai penderita. Seorang anak lelaki diduga menderita hemofilia apabila terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematoma), atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu, dengan atau tanpa riwayat keluarga yang positif. Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan atau uji hemostasis, seperti masa pembekuan memanjang, masa perdarahan dapat normal, protrombin biasanya normal, masa tromboplastin parsial memanjang, thromboplastin generation test abnormal dan kurangnya kadar faktor VIII atau faktor IX. Apabila sarana tersedia dapat ditambah dengan pemeriksaan petanda gen pada kromosom.15 Penyakit von Willebrand adalah kelainan koagulasi herediter yang tersering pada anak setelah hemofilia. Prevalensi penyakit ini kurang lebih 1% dari populasi umum. Sekitar 81% penyakit Von Willebrand merupakan tipe 1 yang ringan sedangkan sisanya adalah tipe 2 yang terdiri dari tipe 2A,2B dan 2N. Tipe 3 yang merupakan tipe paling berat sangat jarang. Gambaran klinis penyakit von Willebrand adalah perdarahan dari ringan sampai berat berupa kebiruan di kulit, epistaksis, menoragia dan perdarahan yang sulit berhenti bila terjadi luka pasca trauma atau operasi. Diagnosis ditegakkan bila pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung trombosit normal, masa perdarahan >10 menit, kadar Faktor VIII, Faktor von Willebrand : Antigen kofaktor Ristocetin (R.Co) di bawah 40 U/dL.16 Gangguan koagulasi didapat (acquired coagulation disorder) pada anak dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin K, penyakit hati atau ginjal, adanya inhibitor terhadap faktor koagulasi tertentu (misalnya inhibitor factor VIII, IX, von Willebrand dan protrombin) dan KID. Koagulasi intravaskular diseminata merupakan komplikasi dari berbagai keadaan lain seperti syok, infeksi berat/ sepsis bakteri Gram-negatif atau trauma kepala berat. KID ditandai dengan aktivasi faktor koagulasi dan fibrinolisis dan terbentuknya trombin dan plasmin. Selanjutnya terjadi deposisi fibrin secara difus di pembuluh-pembuluh darah kecil, sehingga terjadi trombosis mikrovaskular yang menyebabkan gangguan fungsi organ. Gejala klinis bervariasi sesuai penyakit dasarnya, disertai perdarahan. Hitung trombosit menurun, PT, aPTT, TT (thrombin time) memanjang, demikian pula kadar protrombin dan fibrinogen. Terdapat penurunan yang signifikan kadar protein C, protein S dan antitrombin III.17
Masalah hemostasis pada neonatus Neonatus rentan mengalami gangguan hemostasis karena fungsi sistem hemostasisnya masih imatur.18 Konsentrasi faktor-faktor koagulasi di dalam plasma, terutama faktor koagulasi yang pembentukannya bergantung kepada vitamin K (faktor II, VII, IX, X) masih rendah, yaitu sekitar 50% kadar normal orang dewasa. Demikian pula konsentrasi protein antikoagulan (antitrombin, 65
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak
protein C dan protein S) dan sistem fibrinolisis. Hal ini perlu diingat dalam menilai hasil pemeriksaan laboratorium hemostasis neonatus, untuk menggunakan nilai rujukan normal yang sesuai sehingga tidak terjadi kekeliruan interpretasi. Fungsi trombosit juga belum sempurna (hiporeaktif). Fungsi sistem hemostasis ini akan semakin matang dengan bertambahnya usia dan mencapai kadar yang kurang lebih sama dengan orang dewasa normal pada usia sekitar 6 bulan.18-19 Pada neonatus yang tidak tampak sakit (apparently well neonate), bila terdapat perdarahan perlu dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan seperti neonatal alloimmune thrombocytopenia atau gangguan koagulasi herediter. Pada neonatus yang sakit, misalnya infeksi berat atau sepsis, perdarahan terjadi umumnya karena koagulopati konsumtif (seperti KID) dan trombositopenia.19 Trombositopenia akibat peningkatan destruksi trombosit pada neonatus dapat disebabkan oleh neonatal autoimmune thrombocytopenia dan neonatal isoimmune (alloimmune) thrombocytopenia. Yang lebih sering ditemukan adalah neonatal isoimmune (alloimmune) thrombocytopenia. Gejala klinis keduanya tidak berbeda, namun terdapat perbedaan riwayat penyakit autoimun pada ibu. Pada neonatal autoimmune thrombocytopenia disebabkan oleh antibodi ibu yang terbentuk akibat penyakit PTI pada ibu, lupus eritematosus sistemik, ataupun obat yang melewati sawar plasenta. Neonatal isoimmune thrombocytopenia terjadi karena ibu membuat antibodi terhadap antigen trombosit janin yang dapat melewati sawar plasenta.11,12 Defisiensi faktor koagulasi herediter seperti hemofilia atau penyakit von Willebrand yang ringan-sedang umumnya tidak menyebabkan perdarahan pada masa neonatal. Pada gangguan yang berat dapat terjadi perdarahan tali pusat, sefalhematom luas, bruising, atau perdarahan yang sulit berhenti dari bekas tusukan pengambilan darah maupun pasca sirkumsisi. Penyebab perdarahan didapat pada neonatus yang paling sering adalah defisiensi vitamin K, koagulasi intravaskular diseminata dan gangguan fungsi hati seperti pada keadaan hipoksia, atresia bilier, hepatitis virus atau kelainan metabolik.19
Pendekatan diagnosis pasien dengan perdarahan Untuk menegakkan diagnosis pasien dengan keluhan utama perdarahan diperlukan pengetahuan dan ketrampilan dokter yang memadai. Anamnesis yang lengkap dan terarah dan pemeriksaan fisis yang cermat sangat membantu mengarahkan dokter untuk membuat diagnosis kerja sementara dan menentukan pemeriksaaan laboratorium yang diperlukan. Dalam menghadapi pasien dengan perdarahan, diperlukan data sebagai berikut :1,10,20 66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
• Who : usia, jenis kelamin dan riwayat perdarahan dalam keluarga. • When : awitan perdarahan dan perjalanan klinis, kemungkinan hubungan dengan penyakit lain yang sedang diderita pasien, riwayat trauma/ operasi,obat-obatan yang diminum pasien sebelumnya. • Where : lokasi atau organ yang mengalami perdarahan, apakah perdarahan terdapat di mukokutaneus (superfisial) atau di dalam sendi/otot. • What : karakteristik perdarahan (prolonged/delayed), bentuk perdarahan (petekie, ekimosis, atau hematoma) Dengan data yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium awal sebagai skrining : 10,20
1. Darah tepi lengkap Dari pemeriksaan ini ada dua informasi penting yang bisa digunakan untuk membantu diagnosis, yaitu ada/tidaknya trombositopenia sebagai salah satu sebab perdarahan dan perkiraan berapa lama/beratnya perdarahan (kadar Hb dan Ht).
2. Apusan darah tepi Apusan darah tepi penting untuk menilai morfologi sel darah merah dan konfirmasi jumlah serta morfologi trombosit. Pada KID dapat ditemukan adanya fragmentasi sel darah merah (schistocytosis) akibat dari proses mikroangiopatik.
3. Masa perdarahan/bleeding time (BT) Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan fungsi trombosit. Bila hitung trombosit >100.000/ul dan fungsi trombosit normal, maka akan didapatkan masa perdarahan normal (3-7 menit).
4. Prothrombin time (PT) dan aPTT (activated partial thromboplastin time) Prothrombin time dan aPTT merupakan uji terhadap hemostasis sekunder. PT berguna untuk menilai jalur ekstrinsik dan jalur bersama, sedangkan aPTT berguna untuk menilai jalur intrinsik dan jalur bersama kaskade koagulasi. PT lebih sensitif untuk menilai faktor koagulasi yang pembentukannya bergantung kepada vitamin K (II, VII, IX, X). Pemanjangan nilai aPTT merupakan indikasi defisiensi faktor koagulasi atau terdapat antikoagulan atau inhibitor dalam sirkulasi. Nilai aPTT akan memanjang umumnya bila kadar faktor koagulasi telah menurun sekitar 40% dari kadar normal dalam sirkulasi.
67
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak
Tabel 3 menunjukkan algoritma yang dapat digunakan untuk membantu menentukan penyebab perdarahan. Tabel 3. Algoritma 5-langkah pendekatan diagnosis pasien perdarahan20 Langkah 1
Adakah kelainan trombosit ? Trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit
Hitung trombosit Masa perdarahan
Langkah 2
Adakah defisiensi faktor koagulasi tertentu? Faktor VII, VIII, IX, X, V, XI, fibrinogen
PT, aPTT
Langkah 3
Adakah defisiensi faktor koagulasi multipel? Defisiensi vitamin K, penyakit hati, warfarin
PT, aPTT Kadar faktor koagulasi
Langkah 4
Kemungkinan antikoagulan dalam sirkulasi? Heparin, antibodi faktor VIII/IX, lupus antikoagulan
aPTT, TT, reptilase time
Langkah 5
Adakah koagulopati konsumtif? Sepsis, trauma, vaskulitis, sindrom hemolitik uremik, penyakit hati
Skrining KID: Hitung trombosit, apusan darah tepi, PT, aPTT, TT, fibrinogen, antitrombin III, α2-antiplasmin, D-dimer
Tata laksana Tata laksana pasien perdarahan bergantung pada keadaan klinis dan penyebab perdarahan. Mayoritas kasus PTI akut tidak memerlukan terapi karena PTI akut termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting disease).12,21,22 Terapi diberikan bila terjadi perdarahan berat, perdarahan mukosa, perdarahan kulit yang luas atau trombosit < 20.000/uL. Yang termasuk perdarahan berat adalah perdarahan intrakranial, perdarahan retina, epistaksis yang memerlukan tampon atau kauterisasi untuk menghentikannya, perdarahan gastrointestinal (hematemesis atau melena). Terapi lini pertama yang dapat diberikan pada PTI akut adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, dan Anti-D. Kortikosteroid yang diberikan berupa metilprednisolon 2 mg/kg/hari selama 1 minggu, kemudian diturunkan bertahap selama 1 minggu berikutnya.12,13 Aspirasi sumsum tulang pada kasus PTI masih controversial. Aspirasi sumsum tulang dilakukan bila trombosit < 20.000/uL, terdapat organomegali, gambaran bisitopenia atau pansitopenia, morfologi sel abnormal, adanya nyeri tulang, penurunan hemoglobin yang tidak sesuai dengan jumlah perdarahan dan bila akan diberikan kortikosteroid. Pada kasus PTI kronik perlu dilakukan aspirasi sumsum tulang, pemeriksaan ke arah penyakit autoimun (misalnya SLE), dan infeksi kronik seperti HIV, EBV, CMV.12,13,22 Rawat inap dilakukan pada PTI dengan trombosit < 20.000/uL, atau adanya perdarahan berat, anak usia < 3 tahun atau adanya permintaan orang tua.12
68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Terapi definitif untuk pasien dengan defisiensi faktor koagulasi tertentu seperti hemofilia adalah terapi pengganti (replacement therapy), yaitu pemberian faktor VIII atau faktor IX dan biasanya dilakukan beberapa hari sampai perdarahan berhenti dan selama fisioterapi.15 Kebutuhan faktor antihemofilia dapat dihitung dengan berbagai cara yaitu secara empiris atau berdasarkan persentase kadar faktor yang dibutuhkan pada berbagai jenis perdarahan atau tindakan. Dosis secara empiris faktor VIII yang diberikan adalah 20-25 U/kg setiap 12 jam sedangkan dosis faktor IX adalah 40-50 U/kg setiap 24 jam dengan terlebih dahulu memberikan dosis muatan awal (loading dose) diberikan sebanyak 2 kali lipat dosis biasa.15,23,24 Faktor VIII dapat diberikan dalam bentuk konsentrat ataupun kriopresipitat, sedangkan faktor IX dalam bentuk FFP (konsentrat faktor IX tidak tersedia di Indonesia). Sebelum pengobatan definitif dapat diberikan, sebagai langkah awal dan segera yang harus dilakukan pada pasien hemofilia adalah RICE yang terdiri dari Rest (istirahat), Ice (kompres es), Compression (ditekan/dibebat), dan Elevation (posisi ditinggikan). Tindakan ini dilakukan pada lokasi perdarahan untuk menghentikan/mengurangi perdarahan. Tindakan tersebut harus dikerjakan terutama apabila penderita jauh dari pusat pengobatan sebelum pengobatan definitif dapat diberikan. Untuk mengatasi rasa nyeri boleh diberikan analgetik yang tidak mengganggu agregasi trombosit.15 Penyakit von Willebrand ringan dan sedang jarang memerlukan pengobatan. Bila pengobatan lokal tidak berhasil pada penyakit tipe 1 dapat digunakan desmopressin, yaitu analog sintesis dari hormon antidiuretik vasopressin secara subkutan, intranasal atau intravena. Lebih dari 90% pasien penyakit von Willebrand tipe 1 memberikan hasil yang baik dengan pengobatan desmopressin, tetapi hasil bervariasi pada tipe 2. Pada perdarahan yang berat atau preoperasi perlu diberikan komponen darah (kriopresipitat atau konsentrat faktor VIII).16 Pe r d a r a h a n a k i b a t K I D b i a s a n y a d a p a t d i a t a s i d e n gan mengobati penyakit dasarnya dan mengatasi proses koagulopati konsumtif yang sedang berlangsung dengan pemberian transfusi trombosit, faktor koagulasi dan antirombin-III bila diperlukan. 17
Daftar Pustaka 1. Lusher JM. Clinical and laboratory approach to the patients with bleeding. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, penyunting. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. Edisi ke-6. Philadelphia, WB Saunders Company, 2003, h.1515-1526. 2. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. Edisi ke-4. New York: McGraw Hill; 2005. p.319-325. 3. Soliman DE, Broadman, LM. Coagulation defects. Anesthesiology Clin
69
Gangguan hemostasis pada bayi dan anak
2006;24:549-578. 4. Furie B, Furie BC. Molecular and cellular biology of blood coagulation. N Engl J Med 1992;326;800. 5. Butenas S, van’t Meer C, Mann KG. Normal thrombin generation. Blood 1999;94:2169. 6. Adcock DM. Pediatric thrombosis. Clinical Hemostasis Review 2003;17:2-6. 7. Richardson MW, Allen GA, Monahan PE. Thrombosis in children : Current perspective and distinct challenges. Thromb Haemost 2002;88:900. 8. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic disorder. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson BH. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 1651-1674. 9. Rodgers GM. Diagnostic approach to the bleeding disorders. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodger GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s Clinical Hematology. Philadelphia: Lippincott Wiliams and Wilkins; 2004, h. 1511-1528. 10. Allen GA, Glader B. Approach to the bleeding child. Pediatr Clin N Am 2002;49:1239-1256. 11. Leung AKC, Chan KW. Evaluating the child with purpura. Am Fam Physician 2001;64:419-428. 12. Wilson DB. Acquired platelet defects. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, penyunting. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. Sixth edition. Philadelphia, WB Saunders Company, 2003, h. 1597-1623. 13. Chu YW, Korb J, Sakamoto KM. Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Pediatric in Review 2000;21:95-104. 14. Beardsley DS, Nathan DG. Platelet abnormalities in infancy and childhood. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, penyunting. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. Sixth edition. Philadelphia, WB Saunders Company, 2003, h.1585-1630. 15. World Federation of Hemophilia. Guidelines for the management of Hemophilia. Canada: World Federation of Hemophilia; 2005. 16. Djajadiman Gatot. Penyakit von Willebrand. Dalam : Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 2005, h. 178-181. 17. Levi M, ten Cate H. Disseminated intravascular coagulation. N Engl J Med 1999;341:586. 18. Nuss R, Manco-Johnson M. Bleeding disorder in the neonate. NeoReviews 2000;1:e196-e200. 19. Albisetti M, Andrew M, Monagle P. Hemostatic abnormalities. Dalam: Alarcon PA, Werner EJ, penyunting. First edition. Neonatal Hematology. Cambridge, University Press, 2005, h. 310-348. 20. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. Fourth edition. New York: McGraw Hill; 2005. h.326-333. 21. Cines DB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic purpura. N Eng J Med 2002;346:995-1008. 22. Kühne T, Buchanan GR, Zimmerman S, Michaels LA, Kohan R, Berchtold W,
70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
et al. A prospective comperative study of 2540 infants & children with newly diagnosed idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) from the Intercontinental childhood ITP study grouh. J Pediatr 2003;143:605-8. 23. Manno CS. Management of bleeding disorders in children. Hematology 2005;:416-422. 24. Johnson LH, Gittelman M. Management of bleeding diathesis : a case based approach. Clin Ped Emerg Med 2005;6:149-155.
71
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak Soedjatmiko Tujuan: 1. Mengetahui defisiensi besi dapat disertai anemia atau tanpa anemia 2. Mengetahui peran besi pada fungsi otak dan dampak defisiensi besi pada fungsi otak 3. Mengetahui defisiensi besi dengan atau tanpa anemia dapat mengakibatkan rendahnya kecerdasan dan gangguan perilaku anak yang menetap 4. Mengetahui upaya pencegahan defisiensi besi pada bayi dan anak harus dilakukan sejak dini, yaitu sebelum ibu hamil (sejak remaja perempuan dan wanita usia subur) sampai anak umur 2 tahun.
Defisiensi besi dengan anemia dan tanpa anemia Defisiensi besi dapat disertai anemia atau tanpa anemia. Bila disertai anemia yaitu kadar hemoglobin (Hb) di bawah batas normal, berarti besi serum dan feritin sudah jauh di bawah batas normal (lihat Tabel 1.)1. Keadaan anemia relatif mudah ditemukan pada gejala klinis dan laboratorium sederhana, sehingga umumnya segera mendapat terapi. Namun, bila sudah terjadi anemia, sebenarnya keadaan sudah terlambat, terutama kalau berlangsung lama, dan terjadi pada saat otak berkembang pesat yaitu sampai umur 2 tahun. Bila besi serum dan feritin hanya tersedia dalam jumlah yang sedikit ketika otak sedang berkembang pesat, maka dapat terjadi defisit fungsi otak yang menetap sampai dewasa. 2,3 Bayi yang menderita anemia setelah diberikan terapi besi yang adekuat ternyata tetap terdapat keterlambatan perkembangan kognitif dan ketrampilan gerak pada umur 10 tahun, walaupun setelah terapi tidak terjadi anemia, dan cadangan zat besi selalu cukup.4 Oleh karena itu, pada masa bayi jangan hanya mendeteksi anemia saja, tetapi harus juga mendeteksi ada tidaknya defisiensi besi sebelum terjadi anemia. Hal ini untuk mencegah defisiensi besi sedini mungkin, dan menghindari defisit fungsi otak yang menetap.
72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Tabel 1. Defisiensi besi dengan anemia dan tanpa anemia Defisiensi besi tanpa anemia
Defisiensi besi tanpa anemia
Defisiensi besi besi dengan anemia
Tahap
I
II
III
Hb Besi serum Total Iron Binding Capacity
Normal Normal 360 – 390 ug/dL
Normal < 60 ug/dL > 390 ug/dL
Dibawah normal < 40 ug/dL > 410 ug/dL
Saturasi transferrin Feritin Mean Corpuscular Volume
20 – 30% < 20 ug/dL Normal
< 15% < 12 ug/dL normal
< 10 % <12 ug/dL Kurang dari normal
Modifikasi dari: Raspati H dkk. Anemia defisiensi besi. Dalam Permono B, dkk. Editor. Buku Ajar hemato-onkologi anak 2005. hal 30-43.1
Peran besi pada fungsi otak Besi mempunyai peran yang penting bagi tubuh antara lain pada sintesis DNA, fungsi mitokondria, transportasi oksigen, produksi ATP dan melindungi sel dari kerusakan akibat oksidasi.2 Plasma transferin dapat menembus sawar darah otak. Konsentrasinya lebih tinggi pada cairan otak daripada di dalam plasma.5 Sebagian besar besi di otak disimpan dalam bentuk feritin.3 Konsentrasi besi di otak lebih tinggi dari metal lain, karena banyak dibutuhkan untuk proses mielinisasi dan sintesis neurotransmiter serotonin, dopamine, epinephrine dan norepinephrine.2 Besi dibutuhkan oleh oligodendroit untuk proses mielinisasi terutama neuron-neuron pada sistem sensori (visual, auditori), pembelajaran, dan perilaku. Besi dibutuhkan pula oleh neurotransmiter dopaminergik yang berpengaruh pada perkembangan perilaku inhibisi, perasaan (affek), pemrosesan perhatian dan ketrampilan gerakan ekstra. Besi juga dibutuhkan sebagai kofaktor enzim triptofan hidroksilase yang mensistesis serotonin dan tirosin hidroksilase yang mensintesis norepinephrine dan dopamine. Selain itu besi juga berperan pada metabolisme neuron di hipokampus dan lobus prefrontal yang penting perannya pada pemrosesan memori.3
Pengaruh defisiensi besi pada fungsi otak Gangguan fungsi otak dapat terjadi bila cadangan besi serum dan feritin di otak mulai menurun sebelum kadar di dalam darah menurun.2 Defisiensi besi tanpa anemia atau dengan anemia ringan hanya menyebabkan gangguan ringan bila berlangsung sebentar, namun berpotensi terjadinya gangguan fungsi otak yang menetap bila terjadi pada masa perkembangan otak yang cepat. 2 73
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak
Defisiensi besi di otak akan menyebabkan proses mielinisasi terganggu, sehingga hantaran impuls dan pemrosesan informasi oleh otak menjadi lambat. Selain itu akan mengakibatkan melambatnya pertumbuhan dendrit dan perubahan metabolisme di hipokampus, sehingga mengganggu pemrosesan informasi dan pengendalian emosi. Defisiensi besi juga menurunkan aktivitas enzim hidroksilase triptofan dan tirosin, yang mengakibatkan gangguan produksi serotonin dan dopamin, sehingga dapat terjadi gangguan pemusatan perhatian, pembelajaran dan perilaku. Defisiensi besi juga mengakibatkan penurunan densitas dan afinitas reseptor dopamin D2, sehingga berdampak pada gangguan fungsi neurotransmiter monoamin, yang dapat berakibat gangguan emosi, pemusatan perhatian dan hiperaktifitas. Selain itu defisiensi besi dapat menurunkan aktivitas protein dalam metabolisme energi oleh sitokrom C-oksidase, mengakibatkan mitokondria melepaskan oksidan yang mengganggu fungsi sel otak2. Defisiensi besi mengakibatkan gangguan transport oksigen yang mengakibatkan gangguan fungsi otak.6 Defisiensi besi dapat mengganggu fungsi pendengaran dan visual, karena mielinisasi pada sistem tersebut di batang otak pada awal masa bayi berlangsung sangat cepat, sehingga membutuhkan besi yang cukup. Dengan pemeriksaan Auditory Brain Response (ABR) dan fungsi penglihatan dengan Visual Evoked Potensial (VEP) pada bayi anemia terjadi perlambatan transmisi, yang tidak bisa dikoreksi dengan terapi besi. Pada umur 4 tahun, bayi yang pernah anemia, dengan menggunakan ABR dan VEP didapatkan masa latensi secara bermakna lebih panjang dibandingkan anak yang tidak pernah anemia di masa bayi walaupun telah mendapat terapi besi. 7 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka defisiensi besi berpotensi menimbulkan gangguan dalam menerima dan memproses informasi, memusatkan perhatian, hiperaktifitas, mengendalikan emosi, gerak, memori dan pembelajaran lingkungan sehingga mengakibatkan rendahnya kecerdasan anak, prestasi sekolah, ketrampilan pemecahan masalah dan gangguan perilaku.2,3,5-7
Pengaruh anemia pada kecerdasan dan perilaku anak Holst (1998) menyimpulkan gangguan perkembangan akibat defisiensi besi memang bukan penyebab tunggal, namun dipengaruhi oleh berbagai hal yang akhirnya secara langsung maupun tak langsung mengakibatkan rendahnya kemampuan anak.8 Salah satu faktor adalah lingkungan (sosial ekonomi) yang tidak menguntungkan, mengakibatkan rendahnya kemampuan pemberian makan yang baik, serta rendahnya kemampuan pengasuhan dan meningkatnya depresi maternal.8 Rendahnya kemampuan pemberian makan yang baik akan mengakibatkan kurangnya asupan besi, rendahnya besi di otak, gangguan mielinisasi dan 74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
fungsi dopaminergik, terlambatnya maturasi fungsi otak, lebih rentan terhadap tekanan, menyebabkan gangguan perilaku, isolasi sosial, sehingga akhirnya terjadi gangguan perkembangan. Selain itu, dipengaruhi pula oleh rendahnya kemampuan pengasuhan dan meningkatnya depresi maternal, mengakibatkan pengalaman pembelajaran (stimulasi) yang kurang sehingga mengakibatkan rendahnya kemampuan anak.8
Gambar 1. Pengaruh anemia defisiensi besi dini pada perkembangan anak menurut Holst. 8
Menurut McCann dan Ames (2007) lebih dari 40 laporan penelitian anak dan remaja dengan anemia ( > 60 % pada usia < 2 tahun), menyimpulkan bahwa anemia pada umur < 2 tahun maupun > 2 tahun mengakibatkan rendahnya kemampuan kognitif dan gangguan perilaku anak. Dengan pemberian zat besi tidak banyak memperbaiki perkembangan kognitif dan gangguan perilaku mereka.2 Ianotti dkk (2006) mengkaji 26 laporan penelitian uji acak terkontrol pemberian zat besi pada bayi dan anak umur 0 – 59 bulan yang mengalami defisiensi besi dengan dan tanpa anemia untuk menilai manfaat dan risikonya. Disimpulkan bahwa pada anak anemia maupun tidak anemia, dengan pemberian zat besi terjadi perbaikan keterlambatan kognitif dan perkembangan gerak, terutama dengan pemberian besi jangka panjang dosis rendah. Kadar hemoglobin dan cadangan zat besi merupakan determinan penting yang menentukan besarnya manfaat pemberian zat besi.3 Namun di daerah endemis malaria pemberian besi (+asam folat) oleh Smith dkk (1989) di Gambia menunjukkan peningkatan bermakna risiko demam yang lebih tinggi dan malaria yang lebih berat. Hal senada dilaporkan Sazawal dkk (2006) di Tanzania Zanzibar, yaitu terjadi peningkatan risiko malaria yang lebih berat bahkan kematian.3 75
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak
Sachdev dkk (2004) mengkaji 17 laporan penelitian uji acak terkontrol mengenai manfaat pemberian zat besi pada anak anemia umur 2 bulan sampai 12 tahun.9 Hampir semua penelitian menunjukkan adanya hubungan antara anemia dengan rendahnya perkembangan mental dan gerakan. Meta-analisis menyimpulkan bahwa pemberian zat besi pada anak anemia hanya meningkatkan sedikit nilai perkembangan mental, terutama dengan uji kecerdasan pada umur di atas 7 tahun. Pada anak anemia yang berumur kurang dari 27 bulan, tidak terbukti pemberian zat besi meningkatkan perkembangan mental dan gerakan.9 Metallinos-Katsaras dkk (2004) memberikan 15 mg besi setiap hari selama 2 bulan pada 21 anak anemia umur 3-4 tahun dan plasebo pada 28 anak dengan besi cukup. Setelah 2 bulan pada anak anemia terlihat peningkatan bermakna pada penurunan kesalahan, peningkatan ketepatan, dan lebih effisien.10 McGreggor dan Ani (2001) mengkaji 10 penelitian jangka panjang anak dengan anemia, 13 penelitian memberikan besi pada anak anemia berumur kurang dari 2 tahun dan 14 penelitian pada anak anemia berumur lebih dari umur 2 tahun, remaja dan dewasa. Hampir semua penelitian jangka panjang bayi dan anak dengan anemia menunjukkan hubungan yang kuat dengan rendahnya kecerdasan, keterlambatan perkembangan, gangguan perilaku dan rendahnya prestasi sekolah pada usia sekolah bahkan sampai masa remaja.11 Pemberian zat besi pada anak anemia berumur kurang dari 2 tahun dalam waktu singkat maupun lama, tidak dapat mengejar keterlambatan perkembangan, kecerdasan dan gangguan perilaku dibandingkan anak dengan defisiensi besi tanpa anemia. Hal ini diduga karena adanya gangguan perkembangan otak yang menetap akibat anemia pada masa perkembangan otak yang cepat yaitu sampai umur 2 tahun. Pada pemberian zat besi terhadap anak anemia berumur lebih dari 2 tahun, ada kecenderungan terjadinya peningkatan kemampuan kognitif, tetapi tidak meningkatkan prestasi sekolah.11
Pengaruh defisiensi besi tanpa anemia pada kecerdasan dan perilaku anak McCann dan Ames (2007) 2 mengkaji 17 laporan penelitian pada anak dan remaja yang mengalami defisiensi besi tanpa anemia, 9 penelitian pada anak berumur kurang dari 2 tahun dan 8 penelitian pada anak umur lebih dari 2 tahun sampai remaja. Disimpulkan bahwa defisiensi besi tanpa anemia juga berpengaruh pada perkembangan kognitif dan perilaku. Pada anak berumur lebih dari 2 tahun dan remaja dengan defisiensi tanpa anemia, terbukti terdapat defisit kognitif dan perilaku, namun akan membaik dengan pemberian besi. 2 Pemberian besi selama 6 bulan atau lebih pada anak berumur kurang dari 2 tahun dengan defisiensi besi tanpa anemia, umumnya akan terjadi 76
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
peningkatan bermakna pada Indeks Perkembangan Psikomotor (Psychomotor Developmental Indeks (PDI)) dan Indeks Perkembangan Mental. (Mental Developmental Indeks (MDI)) Bayley. Pemberian besi kurang dari 6 bulan umumnya belum menunjukkan perbedaan bermakna, walaupun ada penelitian yang menunjukkan peningkatan.2 Ianotti dkk (2006) mengkaji 26 laporan penelitian uji acak terkontrol pemberian besi pada bayi dan anak umur 0-59 bulan yang mengalami defisiensi besi dengan anemia dan tanpa anemia untuk menilai manfaat dan risikonya. Disimpulkan pada anak anemia maupun tidak anemia dengan pemberian zat besi terjadi perbaikan keterlambatan kognitif dan perkembangan gerak, terutama dengan pemberian besi jangka panjang dosis rendah. Kadar hemoglobin dan cadangan zat besi merupakan determinan penting yang menentukan besarnya manfaat pemberian zat besi.3
Anak umur kurang dari 2 tahun Wachs dkk (2005) meneliti temperamen bayi baru lahir yang mengalami defisiensi besi tanpa anemia, ternyata temperamen mempunyai korelasi dengan berat ringannya defisiensi besi. 12 Lind dkk (2004) di Indonesia memberi besi selama 6 bulan pada 666 anak berumur sekitar 6 bulan. Sebanyak 166 anak diberi besi 10 mg perhari, 167 anak diberi zinc 10 mg per hari, 164 anak diberi besi 10 mg dan zinc 10 mg, 169 anak diberi plasebo. Anak yang mendapat zat besi secara bermakna lebih tinggi nilai Indeks Perkembangan Psikomotor Bayley. Anak yang mendapat zat besi dan zinc berbeda bermakna pada panjang tumit ke lutut. 13 Black dkk (2004) di Bangladesh memberi besi setiap minggu selama 6 bulan pada 221 bayi berumur 6 hingga 12 bulan, berupa ferosulfat 20 mg + riboflavin 1mg (49 bayi), zinc acetate 20 mg + riboflavin 1 mg (49 bayi), ferosulfat 20 mg + zinc acetate 20 mg + riboflavin 1 mg (43 bayi), multivitamin mengandung zat besi dan zinc (35 bayi). Berdasarkan pemeriksaan Bayley Scale and Infant Development (BSID) dan HOME pada bayi yang mendapat zat besi saja dan zat besi + zinc didapatkan perbedaan bermakna pada lamanya orientasi eksplotasi. Penurunan Indeks Perkembangan Psikomotor lebih sedikit pada kelompok yang mendapat zat besi + zinc dan multivitamin. 14 Akman dkk (2004) memberikan besi selama 3 bulan pada 40 anak berumur 6 – 30 bulan dengan defisiensi besi tanpa anemia. Sebelum diberikan besi dengan uji DDST II (Denver Development Screening Test) dan Bayley pada kelompok defisiensi besi nilainya lebih rendah daripada kelompok kontrol. Setelah diberi besi selama 3 bulan terjadi peningkatan nilai pada kelompok defisiensi besi sehingga tidak berbeda dengan kelompok kontrol. 15
77
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak
Stolzfus dkk (2001) di Zanzibar, selama 12 bulan memberikan ferosulfat 10 mg per hari pada 307 bayi, dari 614 bayi dan anak berumur 6 hingga 59 bulan. Hasil uji perkembangan bicara dan motorik, terdapat sedikit perbedaan perkembangan berbicara (0.8 dari skala 20), perkembangan motorik meningkat nyata pada anak dengan Hb < 9,0 g/dL, dan berbeda bermakna dengan kadar Hb sebelum pemberian besi (p = 0.0015). 16 Lozzoff dkk (1996) di Costa Rica, memberikan besi selama 6 bulan 3 mg/kgBB 2 kali sehari pada 32 anak anemia umur 12 – 23 bulan, dan 27 anak defisiensi besi non anemia, sedangkan 27 anak non anemia tidak diberi suplementasi. Dengan pemeriksaan Bayley, Indeks Perkembangan Mental (MDI) dan Indeks Perkembangan Psikomotor (PDI) anak anemia lebih rendah nilai Indeks Perkembangan Psikomotor sampai umur 3 bulan, tetapi setelah 6 bulan dapat meningkat sehingga tidak berbeda bermakna dengan anak yang non anemia.17
Gambar 2. Nilai perkembangan mental anak umur 12-18 bulan dengan anemia, defisiensi besi tanpa anemia dan tanpa defisiensi besi sebelum dan setelah diberikan besi.18
Idjradinata dan Pollitt (1993) di Indonesia, selama 4 bulan memberikan ferosulfat 3mg/kgBB atau plasebo secara acak pada anak defisiensi besi berumur 12 hingga 18 bulan (50 anak anemia, defisiensi besi tanpa anemia 29 anak, tanpa defisiensi besi 47 anak). Berdasarkan uji Bayley, terdapat peningkatan bermakna MDI dan PDI pada anak yang anemia. Keterlambatan perkembangan membaik setelah 4 bulan. 18 Walter dkk (1989) di Chile selama 10 hari memberikan besi 45 mg per hari pada 196 anak berumur 12 bulan. Dengan Bayley, MDI dan PDI, setelah 10 hari dan 3 bulan tidak terdapat perbedaan, setelah 3 bulan anemia terkoreksi. 19 78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Lozoff dkk (1987) memberikan besi selama 1 minggu dan 3 bulan pada 38, 21 dan 45 anak berumur 12 hingga 23 bulan dengan defisiensi besi tanpa anemia, dengan pemeriksaan Bayley belum terlihat perbedaan bermakna terhadap kelompok kontrol. 20 Oski dkk (1983) memberikan besi selama 7 hari pada 28 bayi berumur 9 hingga 12 bulan dengan defisiensi besi tanpa anemia, terlihat peningkatan angka MDI lebih besar pada anak dengan defisiensi besi yang lebih berat. 21 Walter dkk (1983) memberikan besi selama 15 hari pada 12 dan 15 anak berumur 15 bulan dengan defisiensi besi tanpa anemia, dengan uji Bayley belum terjadi peningkatan bermakna dibandingkan kelompok kontrol. 22 Lozoff dkk (1982) di Guatemala selama 1 minggu memberikan besi 5mg/kgBB/hari, pada 31 bayi dan anak umur 6 hingga 24 bulan, 33 mendapat plasebo. Dengan pemeriksaan Bayley, tidak terjadi perbaikan nilai MDI dan PDI pada hari ke 6 hingga 8. 23
Umur 2 hingga 6 tahun Soewondo dkk (1989) di Indonesia selama 2 bulan memberi ferosulfat 50 mg perhari atau plasebo secara acak terhadap 127 anak berumur kurang dari 5 tahun (51 anak dengan defisiensi besi, 76 kelompok kontrol). Anak dengan anemia mengalami gangguan atensi visual dan pemahaman konsep, namun membaik setelah pemberian besi selama 2 bulan. Anak tanpa defisiensi besi tidak terlihat perbedaan. 24 Deinard dkk (1986)) melaporkan pemberian besi selama 6 bulan pada 45 anak berumur 1,5 hingga 5 tahun dengan defisiensi besi tanpa anemia belum terjadi peningkatan bermakna angka MDI, SB-IQ (Stanford Binet – Intelligent Quotient). Peningkatan lebih tinggi justru pada kelompok tanpa defisiensi zat besi. Hal tersebut terjadi karena pada penelitian ini banyak anak yang berumur lebih dari 2 tahun (perkembangan otak sudah mulai melambat) atau defisiensi besi sudah berlangsung lama, dengan kadar yang rendah, sehingga terjadi gangguan fungsi otak yang permanen. Akibatnya pemberian zat besi selama waktu 6 bulan belum menyebabkan terjadinya peningkatan perkembangan yang bermakna.25 Politt dkk. (1983) memberikan besi selama 3 bulan pada 15 anak berumur 3 hingga 6 tahun dengan defisiensi besi tanpa anemia, terjadi peningkatan kemampuan pembelajaran pada kelompok defisiensi besi tanpa anemia dibandingkan kelompok kontrol. 26
Umur 6 tahun sampai remaja dan dewasa Halteman dkk (2001) meneliti 142 anak dengan defisiensi besi tanpa anemia umur 6 hingga 16 tahun ternyata mempunyai nilai matematika lebih rendah dari anak tanpa defisiensi besi. 27 79
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak
Otero dkk (1999) meneliti 33 anak dengan defisiensi besi tanpa anemia umur 6 hingga 12 tahun ternyata mempunyai nilai Wechsler Intelligence Scale for Children – Revised (WISC-R) lebih rendah dan aktivitas EEG lebih lambat.28 Brunner dkk (1996) memberikan besi selama 8 minggu pada 81 anak berumur 13 hingga 18 tahun dengan defisiensi besi tanpa anemia. Terjadi peningkatan kecerdasan pada kelompok remaja perempuan defisiensi besi tanpa anemia dibanding kontrol. 29 Lynn dan Harland (1996) memberikan besi selama 16 minggu pada 208 remaja berumur 12 hingga 15 tahun, pada remaja dengan feritin serum < 12ug/dL terlihat peningkatan IQ sebesar 5,8 dibanding 205 kelompok plasebo.30 Politt dkk (1989) memberikan besi selama 16 minggu pada 47 anak berumur 9 hingga 11 tahun dengan defisiensi tanpa anemia, kemampuan bahasa belum mampu menyamai kelompok tanpa defisiensi besi.31 Gronner dkk (1986) memberikan besi selama 1 bulan pada 38 remaja dan dewasa muda berumur 14 hingga 24 tahun dengan defisiensi besi tanpa anemia. Terjadi peningkatan lebih tinggi nilai aritmatika dan uji simbol angka pada kelompok defisiensi besi tanpa anemia dibanding kontrol.32
Upaya pencegahan gangguan kecerdasan dan perilaku akibat defisiensi besi Meningkatkan cadangan besi pada ibu dan calon ibu (remaja perempuan) Meinzenn-Derr dkk(2006) di Mexico meneliti 183 bayi secara kohort sejak Maret 1998 sampai April 2003, menyimpulkan bahwa ibu yang anemia mempunyai risiko 3 kali lebih besar memiliki bayi anemia. 33 Penelitian dePee dkk (2002) menyimpulkan bahwa bayi Indonesia yang lahir dari ibu anemia berisiko tinggi menderita anemia pula.34 Prevalensi anemia ibu hamil di Indonesia menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Indonesia (SKRT) 2001 adalah 40,1 %, tetapi bayi usia 0 hingga 6 bulan yang anemia jauh lebih tinggi (61,3%), meningkat pada bayi 6 hingga 12 bulan ( 64,8%) , menurun pada bayi usia 12 hingga 24 bulan (58 %) (UNTORO, 2007). 35 Ratnadi dan Soetjiningsih (2001) melaporkan bahwa di Bali, anemia pada bayi yang mendapat ASI umur 0-6 bulan hanya 6 % tetapi pada umur 9 hingga 12 bulan menjadi 65%.36 Berdasarkan angka-angka tersebut diperkirakan ibu hamil sedikitnya 61,3% mengalami defisiensi besi, 40, 1% dengan anemia dan 21% tanpa anemia. Oleh karena itu pencegahan defisiensi besi harus dimulai sejak sebelum hamil, karena anemia pada ibu tidak hamil cukup tinggi (sekitar 25,3% hingga 28,7 %), juga pada remaja perempuan (26,5%). 80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Meningkatkan cadangan besi pada anak umur 0-2 tahun
Sekartini dkk (2005) meneliti di Kelurahan Utan Kayu Jakarta 55 bayi berumur 4 hingga 12 bulan yang lahir cukup bulan dari keluarga berpenghasilan menengah dan rendah, sebanyak 38 % menderita anemia, sebagian besar (73,3 %) pada umur 8 hingga 12 bulan, yang termuda berusia 4 bulan, kadar Hb terendah 8,9 g/dL, dengan kadar feritin serum 3,2 ug. 37
Tabel 2. Prevalensi anemia pada bayi dan balita Indonesia 35 Umur
Prevalensi (%)
0 – 5 bulan 6 – 11 bulan 12 – 23 bulan 24 – 35 bulan 36 – 47 bulan 48 – 59 bulan Rata-rata
61,3 64,8 58 54,4 38,6 32,1 47
Survey Kesehatan Rumah Tangga 2001
Berdasarkan kenyataan tingginya anemia pada umur 0 hingga 2 tahun (58 -64,5%), berarti defisiensi besi dengan dan tanpa anemia pada umur tersebut lebih dari 65%. Kalau hal ini berlangsung lama maka mereka berpotensi mempunyai kecerdasan rendah dan gangguan perilaku di kemudian hari Penelitian Yayasan Kusuma Buana (2007) menemukan prevalensi anemia di 17 Sekolah Dasar Jakarta rata-rata 23,2 %, angka terendah ditemukan di Utan Kayu Utara (sekitar 11 %), tertinggi di Kebon Manggis (sekitar 51%). Distribusi anemia pada murid SD tersebut tertinggi di kelas 1 SD (30,7%), kemudian bertahap menurun tiap kelas, terendah di kelas 6 (14,8 %).38 Kalau keadaan itu terjadi sejak bayi, maka kelak mereka akan menjadi remaja dan dewasa dengan kecerdasan yang lebih rendah dan berpotensi gangguan perilaku. Hal ini mungkin penyebab Indeks Perkembangan Manusia Indonesia tahun 2005 sangat rendah, di ASEAN urutan ke 6 (urutan ke 110 dunia), di bawah Vietnam (108) bahkan di bawah Palestina (102) yang sedang bergejolak (UNTORO, 2007). Oleh karena itu, anak umur 0 hingga 2 tahun harus mendapat perhatian khusus, selain remaja perempuan, calon ibu dan ibu hamil.35
81
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak
Pentingnya skrining sejak dini dan tambahan besi rutin sejak bayi Killip dkk (2007) mengutip the US Preventive Service Task Force yang merekomendasikan pemeriksaan feritin serum sebagai diagnosis awal. Pemberian rutin tambahan besi umur 6 hingga 12 bulan pada bayi berisiko tinggi defisiensi besi.39 Kazal (2002) menganjurkan skrining untuk deteksi dini dilakukan pada umur 9 bulan, 15 bulan dan 2 tahun, selain kadar hemoglobin / hematokrit, sebaiknya periksa juga protoporfirin eritrosis. Untuk mencegah defisiensi besi pada tahun pertama bila mendapat ASI berikan tambahan besi sejak umur 4 atau 6 bulan. Bila tidak mendapat ASI harus minum susu formula yang difortifikasi besi, hindari susu sapi segar.40 Sheriff dkk (2001) menganjurkan agar skrining defisiensi besi dilakukan sebelum umur 8 bulan, karena anemia pada umur 8 bulan mengakibatkan keterlambatan perkembangan pada umur 18 bulan. 41 Karena di Indonesia prevalensi bayi umur 0 hingga 5 bulan sangat tinggi (61,3%) sebaiknya skrining dilakukan sebelum umur 6 bulan. Iannotti dkk (2006) mengutip Stoltzfus & Dreffuss (1998) menganjurkan suplementasi besi berdasarkan kriteria seperti tertulis di Tabel 3. Tabel 3. Dosis untuk pemberian suplementasi besi bayi dan balita.3 Indikasi Semua
Dosis 2 mg/kgbb/hari
Lama pemberian Umur 2 – 23 bulan
Berat lahir normal (umur 6 – 23 bulan)
Tidak mendapat makanan yang difortifikasi besi
2 mg/kgbb/hari
Umur 6 – 23 bulan
Berat lahir normal (umur 24 – 59 bulan)
Prevalensi anemia > 40 %
2 mg/kgbb/hari
Selama 3 bulan
Berat lahir rendah (umur 2-23 bulan)
Prevalensi anemia > 40 %
Friel dkk (2003) dan Lozoff dkk (2003) menyimpulkan bahwa pemberian besi rutin dengan dosis rendah pada bayi sehat tanpa anemia selama 6 bulan memberikan manfaat yang bermakna. Friel dkk (2003) dengan uji acak tersamar ganda setiap hari dari umur 1 hingga 6 bulan memberikan 7,5 mg besi elemental dalam bentuk ferosulfat pada 77 bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI. Ternyata pada umur 13 bulan terjadi peningkatan yang bermakna pada tajam penglihatan dan nilai PDI Bayley dibanding plasebo.42 82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Lozoff dkk (2003) di Chile memberikan besi setiap hari sejak umur 6 bulan sampai berumur 12 bulan pada 1123 bayi sehat cukup bulan tanpa anemia dibandingkan 534 bayi yang tidak diberi besi. Ketika umur 12 bulan pada kelompok kontrol 22.6 % terjadi anemia, yang mendapat besi hanya 3,1% anemia. Bayi yang tidak mendapat besi lebih lambat dalam pemrosesan informasi, mereka kurang dalam afeksi positif, interaksi sosial dan kurang peduli reaksi pengasuh. Mereka tidak mau memberikan mainan, ketika marah sukar ditenangkan dengan kata-kata atau benda-benda. Mereka juga agak terlambat merangkak dan cenderung rewel.43
Kesimpulan 1. Bayi, anak dan remaja dengan anemia defisiensi besi akan mengalami gangguan perkembangan, kecerdasan dan perilaku. Dengan pemberian besi jangka panjang (minimal 6 bulan) hanya terjadi sedikit perbaikan, bahkan sebagian tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna. 2. Bayi, anak dan remaja tanpa anemia tetapi menderita defisiensi besi juga akan mengalami gangguan perkembangan, kecerdasan dan perilaku, namun dengan pemberian besi jangka panjang akan terjadi perbaikan yang bermakna. 3. Defisiensi besi tanpa anemia yang berlangsung lama dan terjadi pada masa perkembangan otak yang cepat (sejak janin 6 bulan sampai umur 2 tahun) dapat mengakibatkan gangguan fungsi otak menetap, yang tidak bisa dikoreksi dengan pemberian besi. 4. Mengingat prevalensi anemia pada ibu hamil sangat tinggi, maka pencegahan defisiensi besi harus dimulai dengan meningkatkan cadangan besi ibu sebelum hamil dan calon ibu (remaja perempuan). 5. Mengingat prevalensi anemia tinggi pada masa perkembangan otak yang cepat (0 sampai 2 tahun) maka perlu pemberian besi rutin pada masa tersebut untuk mencegah gangguan fungsi otak yang menetap sampai usia sekolah, remaja dan dewasa. 6. Pemberian besi secara massal dan rutin di daerah endemis malaria harus dilakukan dengan hati-hati.
Daftar Pustaka 1. Raspati H. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B, penyunting. Buku Ajar hemato-onkologi anak 2005. h. 30-43. 2. Joyce C, McCann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation between iron deficiency during development and deficits in cognitive or behavioral function. Am J Clin Nutr 2007;85:931– 45.
83
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak
3. Iannotti LL, Tielsch JM, Black MM, Black RE. Iron supplementation in early childhood : health benefit and risks. Am J Clin Nutr 2006;84: 1261-76. 4. Lozzof B. Poorer behavioral and developmental outcome more than 10 years after treatment for iron deficiency in infancy. Pediatrics 2000;105(4):E51. 5. Grein J. The Cognitive Effect of Iron Deficiency in Non-Anemic Children. Nutrition Noteworthy 2001; 4(1). 6. Gordon N. Iron deficiency and the intelect. Brain & Development 2003;25:3– 8. 7. Algarin C, Peirano P, Garrido M, Pizzaro F, Lozoff. Iron Deficiency Anemia in Infancy : Long-Lasting Effects on Auditory and Visual System Functioning. Pediatr Res 2003;53:217-223. 8. Holst MC. Developmental and behavioral effects of iron deficiency anemia in Infant. Nutr Today 1998;33:27-36. 9. Sachdev HPS, Gera T, Nestel P. Effect of iron supplementation on mental and motor development in children : systemic review of randomized controlled trials. Pub Health Nutr 2004;8(2): 117-132. 10. Metallinos-Katsaras E, Valassi-Adam E, Dewey KG, Lonnerdal BL, Stamoulakatou A, Pollitt E. Effect of Iron Supplementation on Cognition in Greek Preschoolers. EJCN 2004;58:1532-42. 11. Grantham-McGregor, Ani C. A review of studies on the effect of Iron Deficiency on Cognitive Development in Children. J Nutr 131 : 649S-668S, 2001. 12. Wachs TD, Pollitt E, Cueto S, Jacoby E, Creed-Kanashiro H. Relation of neonatal iron status to individual variability in neonatal temperament. Dev Psychobiol 2005;46:141–53 13. Lind T, Lonnerdal B, Stenlund H, A community-based randomized controlled trial of iron and zinc supplementation in Indonesian infants: effects on growth and development. Am J Clin Nutr 2004;80:729–36 14. Black MM, Baqui AH, Zaman K, et al. Iron and zinc supplementation promote motor development and exploratory behavior among Bangladeshi infants. Am J Clin Nutr 2004;80:903–10 15. Akman M, Cebeci D, Okur V, Angin H, Abali O, Akman AC. The effects of iron deficiency on infants’ developmental test performance. Acta Paediatr 2004;93:1391–6 16. Stoltzfus RJ, Kvalsvig JD, Chwaya HM. Effects of iron supplementation and anthelmintic treatment on motor and language development of preschool children in Zanzibar: double blind, placebo controlled study. BMJ 2001;323:1389–93. 17. Lozoff B, Wolf AW, Jimenez E. Iron-deficiency anemia and infant development: effects of extended oral iron therapy. J Pediatr 1996;129:382–9. 18. Idjradinata P, Pollitt E. Reversal of developmental delays in iron-deficient anaemic infants treated with iron. Lancet 1993;34:1–4. 19. Walter T, De Andraca I, Chadud P, Perales CG. Iron deficiency anemia: adverse effects on infant psychomotor development. Pediatrics 1989;84:7–17. 20. Lozoff B, Brittenham GM, Wolf AW. Iron deficiency anemia and iron therapy effects on infant developmental test performance. Pediatrics 1987;79:981–95. 21. Oski FA, Honig AS, Helu B, Howanitz P. Effect of iron therapy on behavior performance in nonanemic, iron-deficient infants. Pediatrics 1983;71:877–80.
84
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
22. Walter T, Kovalskys J, Stekel A. Effect of mild iron deficiency on infant mental development scores. J Pediatr 1983;102:519–22. 23. Lozoff B, Brittenham GM, Viteri FE, Wolf AW, Urrutia JJ. The effects of shortterm oral iron therapy on developmental deficits in iron-deficient anemic infants. J Pediatr 1982;100:351–7. 24. Soewondo S, Husaini M, Pollitt E. Effects of iron deficiency on attention and learning processes in preschool children: Bandung, Indonesia. Am J Clin Nutr 1989;50:667–74. 25. Deinard AS, List A, Lindgren B, Hunt JV, Chang PN. Cognitive deficits in irondeficient and iron-deficient anemic children. J Pediatr 1986;108:681–9. 26. Pollitt E, Leibel RL, Greenfield DB. Iron deficiency and cognitive test performance in preschool children. Nutr Behav 1983;1:137–46. 27. Halterman JS, Kaczorowski JM, Aligne CA, Auinger P, Szilagyi PG. Iron deficiency and cognitive achievement among school-aged children and adolescents in the United States. Pediatrics 2001;107:1381–6. 28. Otero GA, Aguirre DM, Porcayo R, Fernandez T. Psychological and electroencephalographic study in school children with iron deficiency. Int J Neurosci 1999;99:113–21. 29. Brunner AB. Randomized study of cognitive effects of iron supplementation in non-anemic iron-deficient adolescent girl. Lancet 1996;348:992-6. 30. Lynn R, Harland EP. A positive effect of iron supplementation on the IQS of iron deficient children. Elsevier Science, 1998. 31. Pollitt E, Hathirat P, Kotchabhakdi NJ, Missell L, Valyasevi A. Iron deficiency and educational achievement in Thailand. Am J Clin Nutr 1989;50:687–96; discussion 696–7. 32. Groner JA, Holtzman NA, Charney E, Mellits ED. A randomized trial of oral iron on tests of short-term memory and attention span in young pregnant women. J Adolesc Health Care 1986;7:44–8 33. Meinzen-Derr JK, Guererro ML, Altaye M, Ortega-Gallegos H, Ruiz-Palacios GM, Morrow AL. Risk of Infant Anemia is Ascociated with Exclusive BreastFeeding and Maternal Anemia in Mexican Cohort. J Nutr 2006:136:452-58. 34. DePee S., Bloem MW, Mayangsari, Kiess L, Yip R, Kosen S. The High Prevalence of Low Hemoglobon Concentration among Indonesian Infants Aged 3-5 Months is Related to Maternal Anemia. J Nutr 2002;132:2215-2221 35. Untoro R. Peningkatan Kualitas Hidup Anak Melalui Pencegahan Anemia Gizi Besi. Disajikan pada Kampanye Anti Anemia 2006-2008. Depkes, Jakarta, 1 Maret 2007. 36. Ratnadi IGAA, Soetjiningsih. Iron Status in breast-fed infants. Paediatr Indones 2001;41:191-6. 37. Sekartini R, Soedjatmiko, Wawolumaya C, Yuniar I, Dewi R. Prevalensi Anemia Defisiensi Besi pada Bayi Usia 4-12 Bulan di Kecamatan Matraman dan Sekitarnya, Jakarta Timur. Sari Pediatri 2005 ;7:2-8. 38. Sasongko A. Prevalensi Anemia pada 17 Sekolah Dasar di Jakarta. Disajikan pada Kampanye Anti Anemia 2006-2008. Depkes, Jakarta, 1 Maret 2007. 39. Killip S, Bennet JM, Chanbers MD. Iron Deficiency Anemia. Am Fam Physician 2007; 75:671-8.
85
Pengaruh defisiensi besi pada kecerdasan dan perilaku anak
40. Kazal L. Prevention of Iron Deficiency in Infant and Toddlers. Am Fam Physicians 2002; 66: 1217-24, 1227. 41. Sherriff A, Emond A, Bell JC, Golding J, ALSPAC Study Team. Should infants be screened for anemia? A prospective study investigating the relation between hemoglobine at 8, 12, and 18 months and development at 18 months. Arch Dis Child 2001;84:480-5 42. Friel JK, Azis K, Andrews WL, Harding SV, Courage ML, Adams RJ. A Doublemasked, Randomized Control Trial of Iron Supplemntation in Early Infancy in Health Term Breast-fed Infants. J Pediatr 2003;143:582-6. 43. Lozoff B, Andraca ID, Castillo M, Smith JB, Walter T, Pino P. Behavioral and Developmental Effects of Preventing Iron-Deffiency Anemia in Healthy FullTerm Infants. Pediatrics 2003;112:846-54.
86
Pengaruh anemia terhadap hemodinamik Najib Advani Tujuan: 1. Mampu memahami dan mengenali secara klinis perubahan hemodinamik yang terjadi pada anemia kronis. 2. Melakukan tata laksana awal jika terjadi komplikasi berupa gagal jantung.
P
ada makalah ini yang akan dibicarakan adalah pengaruh anemia yang berlangsung kronis terhadap sistem kardiovaskular. Jantung dapat dianggap sebagai sebuah pompa dengan output yang sebanding dengan volume pengisian, dan berbanding terbalik dengan tahanan yang dialami oleh pompa tersebut. Ketika volume diastolik akhir ventrikel meningkat (terjadi dilatasi), jantung yang sehat akan meningkatkan isi sekuncup (stroke volume) sampai suatu nilai maksimum yang jika dilampaui, isi sekuncup tidak akan dapat meningkat lagi (sesuai dengan hukum Starling). Akibat peningkatan isi sekuncup, akan terjadi peningkatan curah jantung (cardiac output). Curah jantung adalah jumlah darah (liter) yang dipompa setiap ventrikel per satuan waktu (menit). Curah jantung dapat dihitung sebagai hasil perkalian antara laju jantung (heart rate) dengan isi sekuncup (stroke volume) Curah Jantung = Laju jantung X Isi sekuncup Otot jantung dengan gangguan kontraktilitas intrinsik, membutuhkan dilatasi yang lebih besar untuk menghasilkan peningkatan isi sekuncup, dan tidak mencapai curah jantung maksimal seperti pada keadaan miokardium normal. Kemampuan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan oleh isi sekuncup yang dipengaruhi preload (isi diastolik akhir), afterload (tahanan yang dialami ejeksi ventrikel) dan kontraktilitas miokard. Curah jantung dapat meningkat sampai tahap tertentu dengan meningkatkan frekuensi jantung atau isi sekuncup. Isi sekuncup dapat ditingkatkan dengan meningkatkan preload dan kontraktilitas atau mengurangi afterload. Secara fisiologis, ketidakmampuan jantung untuk mengisi (meningkatkan preload) dikenal sebagai disfungsi diastolik. Sedangkan ketidakmampuan jantung 87
Pengaruh anemia terhadap hemodinamik
untuk memompa (meningkatkan kontraktilitas) dikenal sebagai disfungsi sistolik. Disfungsi sistolik dapat merupakan akibat kegagalan otot (kardiomiopati dilatasi), atau obstruksi jalan keluar. Disfungsi diastolik dapat diakibatkan oleh relaksasi otot yang tidak baik atau kaku (pada kardiomiopati restriktif), penyakit perikardium (kardiomiopati konstriktif), atau obstruksi jalan masuk. Pada anemia yang berat terjadi disfungsi sistolik. Anemia merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan peningkatan cardiac output (curah jantung) dan merupakan salah satu penyebab gagal jantung pada jantung yang sebelumnya normal. Pada anemia oleh sebab apapun, sirkulasi akan menjadi hiperkinetis namun akan cepat membaik dengan koreksi anemia. Kongesti sirkulasi yang timbul akibat anemia serupa dengan yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Meski kejadian ini jarang dijumpai namun merupakan komplikasi yang serius dari anemia berat.
Pengaruh anemia kronis pada sistem kardiovaskular 1. Curah jantung Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada anemia kronis yang berat, curah jantung saat istirahat hampir selalu meningkat meskipun seandainya terjadi kongesti sirkulasi. Curah jantung saat istirahat biasanya meningkat jika kadar hemoglobin berada di bawah 7 g/dL dan akan lebih meningkat lagi jika anemia semakin berat. Jika kadar hemoglobin mencapai di bawah 7 g/dL pada anemia kronis, cadangan ekstraksi oksigen di jaringan mengalami ‘kelelahan’, sehingga sebagai kompensasi curah jantung harus ditingkatkan. Peningkatan curah jantung terutama disebabkan oleh peningkatan isi sekuncup, sedangkan peningkatan laju jantung terjadi secara minimal. Pada sistem sirkulasi timbul keadaan yang bersifat keluaran tinggi (high output). Pada keadaan high output yang terkompensasi, preload tidak berubah, kontraktilitas meningkat dan afterload berkurang.
2. Isi sekuncup Pada anemia, biasanya isi sekuncup akan meningkat meskipun laju jantung cepat. Peningkatan ini juga akan terjadi saat latihan. Keadaan ini tidak terjadi pada individu dengan hemoglobin normal, pada kondisi ini peningkatan curah jantung selama latihan lebih banyak disebabkan oleh takikardia dibandingkan peningkatan isi sekuncup.
88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
3. Tekanan atrium kanan Tekanan atrium kanan biasanya masih normal pada anemia namun akan meningkat jika terjadi kongesti sirkulasi.
4. Kinerja ventrikel kiri (left ventricle performance) Kinerja atau kekuatan ejeksi ventrikel kiri akan meningkat saat istirahat, jika hemoglobin di bawah 7 g/dL. Saat latihan, peningkatan ini juga akan lebih tinggi pada penderita anemia dibandingkan orang normal.
5. Afterload Secara umum, faktor penentu yang utama pada afterload ventrikel atau resistensi yang dialami oleh ejeksi ventrikel adalah resistensi vaskular dan viskositas darah. Pada anemia terjadi penurunan resistensi vaskular baik sistemik maupun pulmonal dan terjadi penurunan viskositas darah. Akibatnya terjadi penurunan afterload yang akan meringankan beban kerja ventrikel saat kontraksi.
6. Preload Preload atau isi diastolik akhir pada anemia tidak mengalami perubahan.
7. Kontraktilitas Pada anemia terjadi peningkatan kontraktilitas miokardium.
Mekanisme kompensasi pada anemia Perubahan utama secara fisiologis pada anemia adalah menurunnya kapasitas angkut oksigen darah (oxygen carrying capacity), yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan menimbulkan berbagai mekanisme kompensasi, misalnya dilatasi vaskular perifer. Dilatasi ini menimbulkan penurunan resistensi vaskular sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke perifer. Terjadi juga peningkatan ekstraksi oksigen dari darah oleh jaringan. Hal yang paling penting adalah terjadinya peningkatan curah jantung. Peningkatan ini terjadi secara linier dan sebanding dengan peningkatan derajat anemia. Jika kadar hemoglobin terus mengalami penurunan dan mencapai 2-3 g/dL, kemampuan untuk mengkompensasi baik melalui peningkatan curah jantung maupun ekstraksi oksigen jaringan tidak lagi memadai sehingga mengakibatkan hipoksia yang signifikan. Pada keadaan ini kongesti sirkulasi dan bahkan angina pektoris dapat timbul. Anemia, apapun sebabnya, misalnya defisiensi besi, sickle cell disease, gagal ginjal atau penyakit kronis lainnya, mengakibatkan keadaan high output karena 89
Pengaruh anemia terhadap hemodinamik
peningkatan curah jantung yang digunakan untuk kompensasi penurunan daya angkut oksigen. Keadaan high output meningkatkan kebutuhan energi miokard, dan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kardiomiopati dilatasi. Pada sirkulasi high output yang terkompensasi, preload tidak berubah, kontraktilitas miokard meningkat dan afterload menurun seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Gagal jantung biasanya tidak terjadi sampai hemoglobin di bawah 6 g/dL. Akan tetapi pada anak yang sudah menderita gagal jantung, misalnya karena suatu penyakit jantung bawaan, kadar hemoglobin lebih dari 6 g/dL pun akan memperburuk gagal jantung. Meskipun demikian, perbaikan akan cepat terjadi jika anemia dikoreksi. Hal ini karena anemia akan memperburuk kondisinya dan menambah beban kerja jantung. Pada penderita dengan defek septum atrium misalnya, anemia membuat pirau dari kiri ke kanan bertambah sehingga aliran darah ke paru meningkat.
Manifestasi klinis anemia kronis Penderita dengan anemia dengan hemoglobin di bawah 7 g/dL dapat menunjukkan keadaan klinis sebagai berikut : 1. Anak yang agak besar mengeluh mudah lelah dan sesak saat latihan. Pada saat istirahat umumnya keluhan ini tak terjadi meskipun kadar hemoglobin sangat rendah. 2. Palpitasi dan edema ringan pada mata kaki. 3. Tekanan darah sistolik normal disertai tekanan nadi yang meningkat. Prekordium hiperaktif dan apeks mungkin bergeser ke kiri akibat pembesaran jantung. 4. Laju jantung biasanya masih dalam batas normal. 5. Bunyi jantung 1 dan 2 keras, dapat terdengar irama derap ( gallop). 6. Bising yang paling sering ditemukan adalah bising ejeksi sistolik tanpa getaran bising dengan derajat tidak lebih dari 3 pada skala 6. Bising ini terdengar pada sela iga 2 garis parasternal kiri. Dapat juga terdengar di apeks. 7. Systolic bruit dan dengung vena (venous hum) terdengar di leher. Nadi biasanya teraba. 8. Kuat sebagai akibat peningkatan isi sekuncup. 9. Semua bising dan bunyi jantung yang timbul akibat anemia dapat menghilang jika anemia dikoreksi. 10. Gejala dan tanda gagal jantung misalnya ortopnu, dispneu saat istirahat dan edema signifikan dapat timbul jika terjadi kongesti sirkulasi. 11. Foto torak dapat menunjukkan kardiomegali. 12. Elektrokardiogram tidak menunjukkan gambaran yang spesifik. 90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
13. Ekokardiografi menunjukkan gambaran sesuai kardiomiopati dilatasi misalnya pembesaran ventrikel serta penurunan kontraktilitas. Jika anemia lebih berat (hemoglobin < 5 g/dL) dapat timbul tanda gejala gagal jantung. Gagal jantung ini merupakan high output, karena curah jantung di atas nilai normal.
Tata laksana anemia dari segi kardiologis Etiologi anemia perlu dicari, dan anemia dikoreksi guna mencegah pengaruh negatif yang berlanjut terhadap sistem kardiovaskular. Jika terjadi gagal jantung, maka perlu diberikan transfusi darah untuk memperbaiki sistem sirkulasi. Transfusi harus dilakukan secara perlahan dengan pemantauan yang baik. Gunakan packed red cell dan bukan whole blood kecuali pada anemia akibat perdarahan masif (akut). Jika mungkin, lakukan pemantauan tekanan atrium kanan selama proses transfusi berlangsung. Karena transfusi darah akan meningkatkan volume darah yang akan memberatkan kerja jantung, pemberian diuretik seperti furosemid secara intravena sebanyak 1 mg/kgBB secara perlahan dilakukan saat transfusi dimulai. Selama transfusi berlangsung, pasien harus diobservasi terhadap kemungkinan terjadinya edema paru yang secara klinis dapat dilihat dari peningkatan laju pernafasan, adanya batuk dan gelisah. Jika ini terjadi, pemberian diuretik dapat diulang dan kecepatan transfusi dikurangi.
Daftar Pustaka 1. Varat MA, Adolph RJ, Fowler NO. Cardiovascular effects of anemia. Am Heart J 1972; 83:415-26. 2. Gelb BD,Abdenur J. Metabolic Heart Disease. Dalam: Garson A, Bricker, JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The Science and Practice of Pediatric Cardiology. Edisi ke-2. Baltimore: William & Wilkins, 1998;1895-931. 3. Mott AR, Breinholt JP. Classification of types of heart failure. Dalam: Chang AC, Towbin JA, penyunting. Heart failure in children and young adults. Edisi ke-2. Philadelphia: Sanders-Elsevier,2006. 4. Jordan SC, Scott O. Heart Disease in Paediatrics. Edisi ke -3. London: Butterworths,1989.h. 324-325. 5. Brannon ES, Merrill AJ, Warren JV, Stead EA. The cardiac output in patients with chronic anemia as measured by the technique of right arterial catheterization. J Clin Invest 1945;24:332-6. 6. Leight L,Snider T, Clifford GO, Hellems HK.Hemodynamics studies in sickle cell anemia. Circulation 1954;10:653-62.
91
Pengaruh anemia terhadap hemodinamik
7. Roy SB, Bhatia ML, Mathur VS, Virmani S. Hemodynamic effects of chronic severe anemia. Circulation 1963;28:346-356. 8. Talner NS. Heart failure. Dalam : Emmanouilides GC, Allen HD, penyunting. Moss and Adams Heart disease in infants, children and adolescents. Edisi ke-5. Baltimore : Williams and Wilkins, 1995.h. 1746-71.
92
Anemia pada bayi prematur Idham Amir, Sawitri Dhewi Tujuan: 1. Mengetahui anemia sebagai salah satu komplikasi pada bayi prematur 2. Mengetahui diagnosis dan penatalaksaan anemia pada bayi prematur
K
emajuan teknologi dan pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi janin dan bayi baru lahir (BBL), telah mampu menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi berat lahir rendah (BBLR). Pada saat yang sama, angka kejadian anemia pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) juga menurun, yang diperlihatkan dengan penurunan jumlah transfusi darah. Meskipun demikian, di Amerika Serikat, antara 60% sampai 80% BBLSR sedikitnya tetap memerlukan satu kali transfusi darah selama perawatan.1 Di Indonesia data ini belum ada. Semua bayi akan mengalami penurunan kadar hemoglobin (Hb) setelah lahir, karena BBL mengalami transisi dari kondisi relatif hipoksia dalam kandungan menjadi hiperoksia pada saat lahir. Oksigenisasi jaringan yang lebih baik ini akan menghentikan produksi eritropoetin (EPO) dan proses eritropoesis. Pada bayi cukup bulan, kadar Hb paling rendah terjadi pada usia 6-12 minggu, yaitu Hb 9,5-11,0 g/dL. Anemia pada bayi cukup bulan merupakan hal yang normal dan tidak memberikan dampak klinis yang buruk.2-4 Pada bayi prematur, anemia yang terjadi lebih berat dan timbul lebih dini. Kadar Hb yang lebih rendah disebabkan pembentukan sel darah merah (SDM) pada bayi prematur terjadi pada kadar O2 yang lebih rendah dibandingkan bayi cukup bulan. Anemia pada bayi prematur (ABP) dianggap non fisiologis karena disertai gejala klinis.4 Anemia pada bayi prematur merupakan respons patologis bayi prematur terhadap periode transisi di atas, dan ditandai dengan rendahnya kadar EPO. ABP adalah anemia yang paling sering ditemukan pada BBL dan terutama terjadi pada bayi dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu.1,5 Penyebab anemia pada bayi prematur multifaktorial.4,6 Patogenesis ABP agak spesifik sehingga penanganannya berbeda dengan jenis anemia lainnya pada bayi baru lahir.1 Pada makalah ini akan dibahas mengenai diagnosis dan penatalaksanaan ABP. 93
Anemia pada bayi prematur
Angka kejadian Angka kejadian ABP berbanding terbalik dengan masa gestasi dan berat lahir. Makin imatur bayi, kemungkinan terjadinya ABP makin besar. ABP bukan merupakan masalah pada bayi dengan masa gestasi lebih dari 32 minggu, sedagkan pada bayi dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu sampai 50% di antaranya akan memberikan gejala klinis. Pada ABP, kadar Hb terendah biasanya terjadi pada saat bayi berusia 4-10 minggu, yaitu Hb 8-10 g/dL jika dilahirkan dengan berat lahir 1200-1400 g, atau Hb 6-9 g/dL jika dilahirkan dengan berat lahir di bawah 1200 g.7 Meskipun hormon testosteron setidaknya berperan dalam meningkatkan kadar Hb pada saat lahir, sehingga pada bayi laki-laki kadar Hb relatif lebih tinggi, namun hal ini tidak mempengaruhi kejadian ABP. Faktor ras juga tidak berhubungan dengan terjadinya ABP.7
Patofisiologi Beberapa mekanisme yang berperan dalam terjadinya ABP adalah produksi sel darah merah yang tidak adekuat untuk pertumbuhan bayi kurang bulan, usia SDM yang lebih pendek, kehilangan darah, dan adanya defisiensi vitamin E, B12, dan asam folat.3,4,7
1. Produksi sel darah merah yang tidak adekuat Mekanisme pertama terjadinya anemia adalah produksi SDM yang tidak adekuat untuk pertumbuhan bayi kurang bulan. Lokasi pembentukan EPO dan SDM berubah selama masa kehamilan. Pada minggu-minggu pertama embriogenesis, eritrosit janin diproduksi di yolk sac, yang selanjutnya diambil alih oleh hati. Pada akhir trimester pertama, hati menjadi tempat utama pembentukan SDM. Setelah itu sumsum tulang mulai berperan dalam produksi SDM. Kurang lebih pada minggu ke-32 kehamilan, sumsum tulang dan hati bersama-sama menghasilkan SDM. Pada minggu ke 40, sumsum tulang merupakan satu-satunya tempat produksi SDM. Kelahiran prematur tidak mempercepat proses di atas.3 EPO bukan merupakan satu-satunya faktor pertumbuhan untuk eritropoesis, namun EPO adalah yang terpenting. Sintesis EPO awalnya terjadi di hati janin yang secara bertahap akan digantikan oleh ginjal.6 Pada akhir kehamilan prematur, hati tetap merupakan sumber utama EPO. EPO diproduksi sebagai respons terhadap anemia dan hipoksia. Hati membutuhkan kadar anemia dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan ginjal untuk stimulasi produksi EPO.4,6 Produksi EPO tidak terjadi sampai kadar hemoglobin mencapai 6-7 g/dL, sehingga pembentukan SDM pada bayi sangat prematur (hati merupakan organ 94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
utama pembentukan EPO) akan terhenti meskipun terdapat gejala anemia.3,8 Resolusi spontan baru akan terjadi pada masa gestasi 40 minggu, bersamaan dengan bergesernya sintesis EPO dari hati yang relatif kurang sensitif terhadap hipoksia ke ginjal.7 EPO (endogen dan eksogen), membutuhkan volume yang besar dalam pemberiannya dan dieliminasi lebih cepat sehingga waktu untuk stimulasi sumsum tulang sangat singkat. Erythroid progenitors pada bayi prematur akan bereaksi terhadap EPO (endogen dan eksogen), namun reaksinya dapat berkurang bila cadangan besi tidak cukup. Meskipun bayi dapat menghasilkan peningkatan konsentrasi EPO dan retikulosit, namun pertumbuhan bayi yang cepat akan menghalangi peningkatan kadar Hb.8
2. Usia sel darah merah yang lebih pendek Usia sel darah merah pada BBL setengah sampai dua per tiga sel darah merah dewasa. Sel darah merah bayi yang sangat prematur hanya dapat bertahan 30 sampai dengan 50 hari. Usia SDM yang lebih pendek ini disebabkan beberapa faktor, antara lain berkurangnya kadar ATP, karnitin, dan aktivitas enzim intrasel; lebih rentan terhadap peroksidase lemak; dan membran sel lebih mudah mengalami fragmentasi.4-6
3. Kehilangan darah Kehilangan darah pada bayi prematur terutama disebabkan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk pemantauan keadaan bayi. Darah yang hilang untuk keperluan ini bisa 5% sampai 10% dari volume darah bayi. Selain itu kehilangan darah juga dapat disebabkan transfusi janin ke plasenta. Hal ini dapat terjadi bila bayi yang dilahirkan untuk beberapa saat berada di atas plasenta.4-6,8
4. Defisiensi asam folat, vitamin B12 dan E ABP tetap terjadi pada bayi dengan status nutrisi yang baik. Meskipun demikian, adanya defisiensi asam folat, vitamin B12 dan E akan memperberat penyakit ini. Bayi kurang bulan lahir dengan kadar vitamin E yang lebih rendah dibandingkan bayi cukup bulan. Bila tambahan vitamin E tidak diberikan, defisiensi ini akan bertahan selama 2 hingga 3 bulan. Vitamin E adalah senyawa antioksidan yang sangat diperlukan untuk keutuhan SDM. Bila terjadi defisiensi vitamin E, SDM akan mudah pecah karena kerusakan membran dan peroksidase lemak. Terdapat beberapa laporan mengenai anemia hemolitik yang disebabkan defisiensi vitamin E pada bayi prematur yang berusia antara 6-10 minggu. Anemia hemolitik ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin E.4
95
Anemia pada bayi prematur
Diagnosis Perdebatan mengenai manifestasi klinis ABP terus berlangsung. Adapun manifestasi klinis yang sering dihubungkan dengan ABP adalah sebagai berikut :7 1. Pucat 2. Gangguan pertumbuhan meskipun telah diberikan kalori yang cukup, sering dianggap sebagai manifestasi ABP. Beberapa penelitian melaporkan adanya kenaikan berat badan setelah transfusi darah. 3. Depresi pernapasan (apnu dan takipnu) dapat terjadi pada anemia yang berat. Beberapa penelitian memperlihatkan membaiknya gejala klinis ini setelah transfusi darah. Meskipun demikian, penelitian lain juga mendapatkan hasil yang sama setelah pemberian kristaloid. 4. Aktifitas yang menurun. 5. Asidosis metabolik terjadi karena gangguan oksigenisasi jaringan pada anemia yang berat sehingga menimbulkan peningkatan metabolisme anaerob dan pembentukan asam laktat. Transfusi darah dapat menurunkan kadar asam laktat pada bayi prematur yang anemia. Beberapa ahli menyarankan menggunakan kadar asam laktat sebagai petunjuk dalam pemberian transfusi darah. 6. Takikardia terjadi karena oksigenisasi jaringan yang tidak baik akan menimbulkan peningkatan curah jantung melalui peningkatan laju jantung. Pemberian transfusi darah akan menurunkan laju jantung pada bayi yang anemia. 7. Murmur atau bising jantung.
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain darah tepi lengkap, yang memperlihatkan hasil:7 1. Jumlah sel darah putih dan trombosit normal. 2. Kadar Hb < 10 g/dL, namun dapat turun sampai 6-7 g/dL. Kadar Hb paling rendah biasanya terjadi pada bayi-bayi kecil. 3. Bentuk SDM adalah normositik, normokrom. 4. Jumlah retikulosit sedikit jika anemia disebabkan kadar EPO yang rendah. Meskipun demikian peningkatan jumlah retikulosit bukan merupakan pertanda kesembuhan dari ABP. 5. Tidak didapatkan sel abnormal pada sediaan apus darah tepi Dalam melakukan evaluasi anemia, kemungkinan proses hemolisis harus dipertimbangkan, seperti inkompatibilitas ABO dan Rh. Oleh karena itu, uji Coombs direct perlu dilakukan. Bila didapatkan hasil positif harus dipastikan proses hemolisis tidak terus berlangsung.6 96
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Penatalaksanaan Penanganan kasus ABP meliputi aspek pencegahan, transfusi darah dan pemberian recombinant human erytropoietin (rHuEPO).6,7
Pencegahan Pengurangan pengambilan darah pada bayi prematur akan mengurangi transfusi darah.6,7,9,10 Dalam merawat bayi prematur, setiap pemeriksaan laboratorium harus dipertimbangan secara seksama. Rumah sakit yang mempunyai perawatan bayi prematur hendaknya mempunyai fasilitas laboratorium yang hanya membutuhkan sedikit darah untuk bermacam pemeriksaan laboratorium.6 Penggunaan alat monitor non invasif, seperti alat monitor SaO2, pO2, dan pCO2 setidaknya dapat mengurangi pengambilan darah. Namun tidak ada data yang menunjukkan dampaknya terhadap ABP.6,7 Teknologi baru yang hanya membutuhkan lebih sedikit darah untuk berbagai pemeriksaan laboratorium saat ini sedang dikembangkan.7,11 Juga dikembangkan teknik khusus yang memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah dan kimia darah secara bedside tanpa kehilangan darah, yaitu dengan menghubungkan alat khusus dengan kateter arteri umbilikalis. Dampak kemajuan teknologi di atas terhadap timbulnya anemia dan perlunya transfusi masih diteliti.7
Transfusi darah Transfusi SDM tetap merupakan terapi utama ABP. Kekerapan transfusi tergantung masa gestasi, beratnya penyakit, dan protokol transfusi darah yang ada di rumah sakit.11 Keputusan untuk memberi transfusi darah hendaknya dipertimbangkan secara seksama mengingat komplikasi yang mungkin timbul, seperti infeksi, graft-versus-host disease, gangguan asam basa dan elektrolit, hemolisis, gangguan eritropoesis dan imunosupresi.4 Transfusi dini juga dihubungkan dengan retinopathy of prematurity dan bronchopulmonary dysplasia.1 Oleh karena itu, untuk mengurangi komplikasi di atas, darah untuk transfusi hendaknya melalui proses iradiasi, leukocyte-reduced dan penyaringan (screening). Risiko infeksi cytomegalovirus (CMV) sangat menurun drastis (meskipun tidak 100%) dengan pemberian darah yang bebas CMV. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan uji serologi terhadap CMV atau darah diproses melalui filter leukosit. Metode yang terakhir juga dapat mengurangi infeksi yang penularannya melalui leukosit seperti virus Epstein-Barr, retroviruses, dan Yersinia enterolitica.7,12 Dalam 2 dekade terakhir terjadi penurunan dalam jumlah transfusi darah. Penurunan ini terutama disebabkan penggunaan protokol transfusi yang memasukkan beberapa faktor dalam menentukan transfusi darah, yaitu 97
Anemia pada bayi prematur
kadar Hb, beratnya masalah kardiorespirasi, dan gejala klasik dari anemia yang patologis.5,6 Pedoman pemberian transfusi darah di Fakultas Kedokteran Universitas South Carolina adalah sebagai berikut :7 1. Pada syok karena perdarahan akut 2. Pada penyakit jantung bawaan biru, Hb dipertahankan pada kadar yang lebih tinggi (saturasi penuh pada kadar 11-12g/dL) 3. Bila kadar hematokrit < 35 – 40%, transfusi darah diberikan pada keadaan sebagai berikut: Penyakit paru yang berat (memerlukan FiO2 > 35% melalui head box atau continous positive airway pressure (CPAP) atau ventilasi mekanik dengan mean airway pressure (MAP) > 6 cm H2O) Anemia yang terjadi dapat menimbulkan gagal jantung 4. Bila kadar hematokrit < 25 – 30%, transfusi darah diberikan pada keadaan sebagai berikut: Bayi memerlukan CPAP < 6 atau head box dan kanula nasal dengan FiO2 < 35%. Bayi mengalami apnu dan bradikardi yang bermakna (> 9 episode dalam 12 jam, atau 2 episode dalam 24 jam tetapi memerlukan ventilasi balon-sungkup) meskipun telah mendapat methylxanthines pada dosis yang tepat. Pasien mengalami takikardia atau takipnu yang menetap selama 24 jam tanpa penyebab yang jelas. Kenaikan berat badan yang tidak sesuai meskipun telah diberikan kalori yang cukup Bayi yang direncanakan menjalani operasi (hendaknya dikonsultasikan dengan tim bedah). 5. Kehilangan darah karena pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi transfusi 6. Transfusi darah berdasarkan kadar hematokrit (Ht) hanya dilakukan bila Ht < 21% dengan retikulosit < 100.000/ul. 7. Mengurangi paparan terhadap banyaknya donor.13 Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyimpan SDM dengan bahan pengawet citrate-phospahtedextrose-adenine [CPDA-1] dan bahan tambahan (seperti Adsol). Dengan cara di atas darah dapat disimpan selama 35-42 hari, sehingga mencukupi selama perawatan di rumah sakit dan hanya berasal dari 1 orang donor.4,14 Darah tersebut diberikan dalam kemasan khusus. Kekhawatiran tingginya kadar potasium pada darah yang disimpan tidak terbukti, selama transfusi diberikan dalam volume kecil.7
Recombinant Human Erythropoietin (rHuEPO) Bayi prematur memberikan respons yang baik terhadap pemberian rHuEPO 98
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
dan suplementasi besi yang ditandai dengan cepatnya peningkatan retikulosit.5,9 Meskipun rHuEPO tidak dapat mencegah transfusi dini, namun obat ini dapat mengurangi kebutuhan transfusi pada minggu-minggu selanjutnya (di atas minggu ke tiga).7,11,16 Pada BBLSR, pemberian rHuEPO juga memberikan respons yang baik dan obat ini terbukti aman.4 Pemberian rHuEPO dengan besi tidak mengganggu tumbuh atau kembang bayi, namun pengaruhnya terhadap kebutuhan transfusi darah sangat kecil.7,16 Tidak ada kesepakatan tentang saat pemberian, dosis, cara atau lama pengobatan.4,6 Berdasarkan metaanalisis uji-uji klinis yang ada dapat disimpulkan bahwa baik dan buruknya rHuEPO masih perlu diteliti lebih lanjut. Sediaan rHuEPO ini belum diterima secara universal sebagai terapi baku ABP.4,7,17 Namun, dalam keluarga yang agamanya tidak memperkenankan transfusi darah, pemberian rHuEPO sangat dianjurkan.4,6 Salah satu protokol pemberian rHuEPO dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Asupan vitamin E, B-12, folat dan besi yang cukup diperlukan untuk menghindari lebih cepatnya penurunan kadar hemoglobin pada bayi kurang bulan dan efektivitas terapi rHuEPO.7 Tabel 1. Protokol pemberian rHuEPO 1. Saat mulai / lama pengobatan: Berat lahir < 750 gram: mulai hari ke-14 selama 6 minggu Berat lahir 751 – 1250 gram: mulai hari ke-7 selama 4 minggu 2. Dosis: 250 – 400 unit/kgBB/dosis tiga kali seminggu (Senin/Rabu/Jumat) antara jam 10 – 11 pagi. Dapat diberikan secara IV (pada bayi yang sedang diberikan total parenteral nutrition (TPN)) atau subkutan (bayi asupan oral penuh) 3. Persiapan: Subkutan: tanpa pengenceran (2000 unit/ml) IV: Encerkan 2 ml (2000 unit/ml) dengan 8 ml normal salin untuk mendapatkan konsentrasi akhir 400 unit/ml. Jangan dikocok. Obat akan diencerkan di farmasi dan harus diberikan segera selama 4 jam. Pemberian IV dapat bersamaan dengan TPN. 4. Preparat besi dan vitamin E merupakan suplemen selama terapi Epogen Jika pemberian minum per oral ≤ 20 ml/kgBB/hari: preparat besi dekstran IV 1 mg/kgBB/hari diberikan bersamaan dengan TPN (konsentrasi asam amino harus ≥ 2 %). Jika pemberian minum per oral > 20 ml/kgBB/hari: sulfas ferosus per oral 3 mg/ kgBB/hari + vitamin E 5 IU/hari. Jika pemberian minum per oral penuh: sulfas ferosus 6 mg/kgBB/hari + vitamin E 10 IU/hari.
Prognosis Prognosis ABP baik. Kesembuhan secara spontan akan terjadi pada usia 3-6 bulan. Meskipun kecil kemungkinan bayi kurang bulan mengalami anemia berat sampai meninggal, namun komplikasi transfusi darah dapat menyebabkan 99
Anemia pada bayi prematur
kematian. Anemia juga dianggap berperan dalam timbulnya berbagai gejala termasuk apnu, asupan makanan yang buruk dan kenaikan berat badan yang tidak adekuat.7
Kesimpulan 1. ABP masih merupakan masalah pada bayi prematur meskipun telah dicapai berbagai kemajuan dalam bidang neonatologi 2. Pemberian rHuEPO, penerapan protokol transfusi darah yang ketat, usaha memperkecil kehilangan darah dan optimalisasi asupan nutrisi, dapat mengurangi jumlah transfusi pada bayi prematur dan mengurangi jumlah bayi prematur yang memerlukan transfusi darah 3. Pemberian rHuEPO belum diterima secara universal sebagai terapi baku anemia pada bayi prematur 4. Untuk para dokter anak di Indonesia diharapkan dapat mengenal dan memahami lebih mendalam mengenai ABP agar penanganan bayi prematur menjadi lebih baik.
Daftar pustaka 1. Becerra M. Is it possible to avoid blood transfusions in anemia of prematurity? Edisi ke-2. Chilean, 2004. h. 31-5. 2. Lachance C, Chessex P, Fouron JC. Myocardial, erythropoietic, and metabolic adaptations to anemia of prematurity. J Pediatr 1994; 125 (2): 278-82. 3. Ohls RK. Developmental erythropoiesis. Dalam: Polin RA, Fox WW, Ed. Fetal and neonatal physiology. Vol 2. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co. h. 1762-86. 4. Mentzer WC, Glader BE. Erythrocyte disorders in infancy. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005. h. 1203-6. 5. Sheth S. Hematology. Dalam: Polin RA, Spitzer AR. Fetal and neonatal secrets. Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2007. h. 273-7. 6. Kling PJ. Anemia of prematurity and indications for erythropoietin therapy. Dalam: Alarcan PD, Werner E. Neonatal hematology. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. h. 58-63. 7. Potter CF, Southgate WM. Anemia of prematurity. 2006. [diakses pada tanggal 28 Mei 2007]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com//ped/topic2629.htm. 8. Strauss RG. Erythropoietin in the pathogenesis and treatment of neonatal anemia. Transfusion 1995 Jan; 35 (1): 68-73. 9. Glader B. Physiologic anemia of infancy. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1610-1. 10. Ringer SA, Richardson DK, Sacher RA, Keszler M, Churchill WH. Variations
100
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
11. 12.
13. 14. 15. 16.
17.
in transfusion practice in neonatal intensive care. Pediatrics 1998; 101 (2): 194200. Carbonell EX, Figueras AJ, Alvarez E. Erythropoietin and prematurity—where do we stand? J Perinat Med 2005; 33 (4): 277-86. Bowden RA, Slitcher SJ, Sayers M, Weisdorf D, Cays M. A comparison of filtered leukocyte-reduced and cytomegalovirus (CMV) seronegative blood products for the prevention of transfusion-associated CMV infection after marrow transplant. Blood 1995; 86 (9): 3598-603. Strauss RG. Controversies in the management of the anemia of prematurity using single-donor red blood cell transfusions and/or recombinant human erythropoietin. Transfus Med Rev 2006; 20 (1): 34-44. Strauss RG. Practical issues in neonatal transfusion practice. Am J Clin Pathol 1997; 107: 857-63. Al-Kharfy T, Smyth JA, Wadsworth L, Krystal G, Fitzgerald C, et al. Erythropoietin therapy in neonates at risk of having bronchopulmonary dysplasia and requiring multiple transfusions. J Pediatr 1996; 129 (1): 89-96. Ohls RK, Ehrenkranz RA, Das A, Dusick AM, Yolton K, et al. Neurodevelopmental outcome and growth at 18 to 22 months corrected age in extremely low birth weight infants treated with early erythropoietin and iron. Pediatrics 2004; 114: 1287-91. Vamvakas EC, Strauss RG. Meta-analysis of controlled clinical trials studying the efficacy of rHEPO in reducing blood transfusions in the anemia of prematurity. Transfusion 2001; 41 (3): 406-15.
101
Nutritional anemia Damayanti Rusli Sjarif Tujuan: 1. Mengetahui peranan nutrisi dalam erythropoiesis 2. Mengetahui akibat defisiensi atau intoksikasi zat nutrisi pada sel darah marah 3. Mengenali nutritional anemia secara dini 4. Mengetahui tata laksana nutritional anemia
I
stilah anemia (penulisan dalam bahasa Inggris Amerika) atau anaemia (penulisan dalam bahasa Inggris British) berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tanpa darah”. Pada keadaan anemia terjadi defisiensi sel darah merah dan atau hemoglobin, akibatnya terjadi penurunan kemampuan sel darah merah untuk mentransfer oksigen ke jaringan sehingga berisiko hipoksia jaringan. Oleh karena semua sel tubuh manusia memerlukan oksigen untuk kelangsungan hidupnya, berbagai derajat anemia dapat memberikan konsekuensi klinis yang sangat bervariasi. Secara garis besar anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan pendekatan kinetis (mengevaluasi produksi, destruksi atau kehilangan akut) dan morfologis (berdasarkan ukuran sel darah merah, mikrositik-normositik-makrositik). Selain itu anemia dapat juga diklasifikasikan berdasarkan etiologinya antara lain nutritional anemia, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan zat gizi. Penatalaksanaan nutritional anemia pada makalah ini lebih difokuskan pada pencegahan serta deteksi dini.
Peranan nutrisi dalam erythropoiesis Erythropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah. Setiap harinya sekitar 1% sel darah merah tua akan di fagositosis dan dihancurkan, selanjutnya digantikan oleh sel darah merah baru. Zat besi, asam folat dan vitamin B12 berperan penting dalam erythropoiesis. Erythroblasts memerlukan asam folat dan vitamin B12 untuk berproliferasi pada fase diferensiasinya. Defisiensi asam folat dan vitamin B12 menghambat sintesis purin dan timidilat, menghambat sintesis DNA, dan menyebabkan apoptosis erythroblast pada stadium basophilic dan poly chromatophilic sehingga menghasilkan retikulosit yang besar yang 102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
menyebabkan anemia sebagai akibat erythropoiesis yang tidak efektif.(Koury dkk, 1997) Erythroblasts memerlukan besi dalam jumlah besar untuk mensintesis hemoglobin. Sejumlah besar besi didaur ulang setiap harinya dari hasil pemecahan hemoglobin dari sel darah merah tua yang sudah dihancurkan. Akhir-akhir ini, beberapa protein telah teridentifikasi berperan dalam absorbsi, penyimpanan, serta ekspor selular besi non-heme. Kadar heme dalam erythroblast mengatur asupan besi dan sintesis hemoglobin, oleh sebab itu, defisiensi besi berakibat anemia karena lambatnya laju produksi menghasilkan sel darah merah yang lebih kecil ukurannya serta mengandung lebih sedikit hemoglobin (Koury dan Ponka, 2004).
Nutritional anemia Defisiensi besi, asam folat dan vitamin B12, merupakan penyebab nutritional anemia yang tersering. Disamping itu juga dilaporkan penyebab lain yang relatif jarang yaitu defisiensi vitamin A, B2, B6, C dan defisiensi tembaga (Cu). Selain itu intoksikasi Zn (seng) dilaporkan menyebabkan anemia sideroblastik, dan intoksikasi vitamin K dilaporkan menyebabkan anemia hemolitik pada tikus. Secara morfologis, nutritional anemia diklasifikasikan sebagai mikrosik dan makrositik. Anemia mikrositik biasanya disebabkan oleh gagal atau insufisiensi sintesis hemoglobin. Defisiensi besi baik karena asupan yang kurang atau kehilangan darah, dapat menyebabkan defek sintesis heme, sedangkan defisiensi piridoksin, defisiensi tembaga dan intoksikasi Zn dapat menyebabkan anemia sideroblastik. Anemia makrositik diklasifikasikan sebagai megaloblastik dan non-megaloblastik, berdasarkan ada-tidaknya gangguan sintesis DNA globin. Anemia megaloblastik terjadi akibat gangguan sintesis DNA. Meskipun demikian sintesis RNA tetap berlangsung sehingga terjadi penimbunan komponen sitoplasma pada sel yang sedang bermitosis yang berakibat pembentukan sel yang lebih besar daripada normal. Anemia megaloblastik seringkali disertai adanya hipersegmentasi neutrofil. Ko-enzim vitamin B12 dan folat diperlukan untuk sintesis timidilat dan purin, dengan demikian defisiensi vitamin B12 dan/atau asam folat dapat menghambat sintesis DNA. Defisiensi vitamin B12 yang disebabkan oleh defisiensi faktor intrinsik yang diproduksi sel-sel parietal lambung dan diperlukan untuk absorbsi disebut juga anemia pernisiosa. (lihat Gambar 1)
103
Nutritional anemia
Gambar 1. Skema nutritional anemia pada proses erythropoiesis (diunduh dari www.uq.edu.au/vdu/CellMaturation.gif)
Pendekatan nutrisi nutritional anemia Anemia mikrositik 1. Defisiensi Besi Metabolisme besi Besi adalah mineral yang vital untuk semua mahluk hidup karena esensial untuk berbagai proses metabolik, termasuk transport oksigen, sintesis DNA, dan transport elektron. Keseimbangan besi di dalam tubuh diatur sedemikian rupa sehingga dapat memastikan absorbsi besi yang cukup untuk mengkompensasi besi yang dikeluarkan oleh tubuh. Keseimbangan ini sebagian besar ditentukan oleh absorbsi besi di bagian proksimal usus halus. Defisiensi besi dapat disebabkan oleh berkurangnya absorbsi besi atau kehilangan besi tubuh yang berlebihan. Berkurangnya absorbsi besi umumnya disebabkan oleh defisiensi asupan besi dalam bentuk yang mudah diabsorbsi dari makanan. Kehilangan besi tubuh yang berlebihan biasanya sebagai akibat perdarahan kronik. Malabsorbsi besi akibat berkurangnya tempat absorbsi (small bowel diseases), jarang ditemukan. 104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Gambar 2. Metabolisme besi (diunduh dari www.mfi.ku.dk/ppaulev/chapter22/images/22-16.jpg)
Ambilan zat besi di bagian proksimal usus halus terjadi dalam 3 jaras yang berbeda, yaitu jaras heme, jaras besi ferric, dan jaras besi ferrous. Besi heme tidak di khelasi dan dipresipitasi oleh sejumlah konstituen diet (misalnya fitat, fosfat, tannat, oksalat dan karbonat) yang menyebabkan besi non-heme sulit diabsorbsi. Heme tetap larut serta mudah diabsorbsi dari produk degradasi globin (berasal dari mioglobin dan hemoglobin) yang dihasilkan oleh enzimenzim pankreas. Besi heme dan non-heme diabsorbsi ke dalam enterosit secara non-kompetitif. Heme memasuki sel sebagai metalloporphyrin utuh, kemungkinan melalui mekanisme vesikuler. Heme didegradasi di dalam enterosit oleh heme oksigenase dan melepaskan besi yang melewati membran sel basolateral kemudian berkompetisi dengan besi non-heme untuk berikatan dengan transferin di plasma. Besi ferric memasuki sel menggunakan jaras beta3-integrin dan mobilferrin, sedangkan besi ferrous menggunakan jaras divalent metal transporter-1 (DMT-1). Sebagian besar besi non-heme dalam makanan adalah besi ferric. Beberapa protein dianggap berpengaruh pada absorbsi besi yaitu stimulator transport besi (stimulators of iron transport = SFT) yang dilaporkan dapat meningkatkan absorbsi besi ferric dan besi ferrous, serta hephaestin yang penting dalam transfer besi dari enterosit ke plasma. Meskipun demikian interaksi antar protein ini masih dalam penelitian. Sebagian besar besi yang disalurkan ke sel-sel non-intestinal terikat dengan transferin. Besi transferin di salurkan ke sel nonintestinal melalui 105
Nutritional anemia
dua jaras, jaras klasik, tergantung pada reseptor transferin (afinitas tinggi, kapasitas rendah) dan jaras bebas dari reseptor transferin (afinitas rendah, kapasitas tinggi). Pada jaras klasik transferin, kompleks besi transferin memasuki sel dalam endosome. Asidifikasi endosome melepaskan besi dari transferin sehingga dapat memasuki sel. Apotransferin disalurkan kembali oleh endosome ke plasma untuk digunakan kembali. Cara penyaluran besi dengan jaras bebas transferin reseptor tidak diketahui. Sel-sel nonintestinal juga memiliki jaras mobilferrin, integrin dan DMT1. Jika tidak ada besi-transferin, fungsinya tidak jelas, meskipun demikian keberadaannya kemungkinan menambah kemampuan memfasilitasi ambilan besi seluler.
Patofisiologi anemia defisiensi besi Apabila tidak tersedia besi yang cukup untuk produksi hemoglobin normal, terjadilah anemia. Sel darah merah yang diproduksi kecil dan pucat, sediaan apus darah tepi memperlihatkan kadar MCHC dan MCV yang rendah. Oleh karena itu gambaran klasik anemia defisiensi besi adalah mikrositik hipokrom. Anemia defisiensi besi dini atau ringan hanya memperlihatkan mikrositosis tanpa hipokrom, karena ini merupakan hiporegeneratif anemia.
Gambar 3. Skema yang menggambarkan hubungan antar defisiensi besi dengan anemia defisiensi besi (dikutip dari Kazal dkk, 2002).
106
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Gejala klinis Fatigue, anemia, depresi, pusing, amenore, dismenore, migrain, penyakit Meniere, kesulitan belajar, restless legs syndrome Tabel 1. Kebutuhan besi (DRI/RDA) untuk anak dan remaja Kebutuhan besi (DRI/RDA) untuk anak dan remaja Usia Kebutuhan 0-6 bulan 10 mg 6-12 bulan 15 mg 1-10 tahun 10-15 mg 11-18 tahun 10-18 mg DRI: Dietary reference intakes; RDA: Recommended dietary allowances
Interaksi nutrien-nutrien Sinergis Fosfor, bismuth, germanium, nickel, mangan, vitamin A, B1, C, folat, niacin, niacinamide, lecithin, protein Antagonis Seng (Zn), kalsium, magnesium, timah (Sn), cobalt, vitamin B2, B5, B12, E, caffeine, insoluble fiber, beras (phytates), teh (asam tannat), protein kedelai, susu sapi (kasein), bayam (asam aksalat)
Tata laksana nutrisi defisiensi besi Kaitan antar anemia defisiensi besi dengan gangguan perkembangan belum diketahui dengan jelas, yang jelas efek ini tidak akan ditemukan sebelum defisiensi menjadi berat dan kronis sehingga menyebabkan anemia. Pada saat itu, terapi besi akan mengatasi anemia dan memulihkan kekurangan besi, tetapi fungsi perkembangan yang sudah terlanjur buruk akan menetap. Oleh sebab itu intervensi harus berfokus pada pencegahan defisiensi besi. Pencegahan dikelompokkan menjadi primer dan sekunder. Pencegahan primer bertujuan mencegah terjadinya defisiensi besi dengan menerapkan pola makan sehat, sedangkan pencegahan sekunder berupa deteksi dini serta pengobatan segera. Pencegahan primer pada tahun pertama kehidupan, caranya termasuk menghindari konsumsi susu sapi segar, memulai suplementasi besi pada usia 4 hingga 6 bulan pada bayi yang mendapat ASI, dan menggunakan susu formula yang difortifikasi besi jika bayi tidak mendapat ASI secara eksklusif. Pemberian ASI akan menurunkan risiko defisiensi besi, meskipun kandungan besi dalam ASI rendah tetapi bioavailabilitasnya 50%. Meskipun 107
Nutritional anemia
Sumber besi heme dan non-heme Tabel 2. Sumber besi heme dan non-heme
demikian bayi yang mendapatkan ASI eksklusif berisiko defisiensi besi pada usia 4-6 bulan. Oleh karena itu dianjurkan untuk memberikan suplementasi besi elemental 1 mg/ kg BB /hari sejak usia 4 bulan pada bayi cukup bulan. Risiko terbesar defisiensi besi adalah bayi yang mengonsumsi susu sapi segar, karena kandungan besinya rendah (< 2mg/L) dan besinya sulit diabsorbsi. Selain itu perbandingan kasein : whey dalam susu sapi segar yang 80 : 20, menyebabkan penyerapan besi dari sumber lain terhambat. Oleh sebab itu jika bayi tidak mendapatkan ASI maka dianjurkan menggunakan susu formula yang difortifikasi besi. Diperkirakan besi yang diabsorbsi dari susu formula 108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
berbasis susu sapi berkisar dari kurang daripada 5% pada bayi cukup bulan yang mengonsumsi formula predominan kasein sampai 40% pada bayi berat lahir rendah yang mengonsumsi formula predominan whey. Jika mengonsumsi susu formula berbasis kedelai, persentasi besi yang diabsorbsi berkisar dari kurang 1% sampai 7%. Pada dasarnya formula berbasis susu sapi mengandung besi < 2mg/L. Setelah difortifikasi besi, susu formula dikelompokkan menjadi formula rendah besi jika kadar besi < 6,7 mg/L, dan formula tinggi besi jika >6,7 mg/L. American Academy of Pediatrics (AAP,1999) merekomendasikan bayi usia 0-12 bulan hanya boleh mengonsumsi susu formula yang difortifikasi besi dengan kadar 4 -12 mg/L. Selain itu kadar kasein pada susu formula berbasis susu sapi lebih rendah daripada susu sapi segar yaitu kasein : whey = 40:60, sehingga mendekati komposisi ASI yaitu 20:80. Bayi cukup bulan dan kurang bulan yang mengonsumsi susu formula tinggi besi secara tunggal atau dikombinasi dengan ASI mampu mempertahankan kecukupan besi tanpa tambahan suplementasi besi. Pada tahun kedua kehidupan, defisiensi besi dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan yang kaya besi dan vitamin C, membatasi konsumsi susu sapi menjadi kurang dari 720 ml per hari, dan memberikan vitamin yang difortifikasi besi setiap hari. Setiap bayi dan anak yang tidak mendapat pencegahan primer harus diskrining defisiensi besi (pencegahan sekunder). Skrining dilakukan pada usia 9 -12 bulan, 6 bulan kemudian dan usia 24 bulan. Kadar hemoglobin/hematokrit saja tidak dapat mendeteksi adanya defisiensi besi tanpa anemia, berdasarkan gambar di bawah, dapat dilihat bahwa kadar feritin dapat dipakai untuk mendeteksi adanya defisiensi besi secara dini, meskipun perlu berhati-hati dalam menginterpretasikannya dalam keadaan inflamasi misalnya infeksi. Hasil skrining yang positif merupakan indikasi pengobatan besi (Kazai, 2002).
2. Anemia sideroblastik Defisiensi piridoksin dan tembaga (Cu), serta intoksikasi seng (Zn) (Alcinder dan Bridges, 2001). Proses biosintesis heme dimulai dari mitokondria dengan kondensasi glisin dan suksinil-CoA membentuk asam delta-amino levulanat (ALA). Piridoksal fosfat yang merupakan metabolit dari piridoksin bertindak sebagai co-factor dalam reaksi ALA. Selanjutnya proses berpindah ke sitoplasma yang terjadi beberapa tahapan transformasi enzimatik yang menghasilkan coproporfirinogen III. Molekul ini kembali memasuki mitokondria, kemudian terjadi beberapa modifikasi termasuk insersi besi ke dalam cincin protoporfirin IX, yang akhirnya menghasilkan heme. Defek dalam tahapan mitokondria biosintesis heme menyebabkan anemia sideroblastik, sedangkan defek dari tahapan sitoplasma menyebabkan berbagai bentuk porfiria. 109
Nutritional anemia
Gambar 4. Skema sederhana dari biosintesis heme (dikutip dari Alcinder dan Bridges, 2001).
Piridoksin dan tembaga terlibat dalam biosintesis heme. Defisiensi piridoksin primer biasanya akibat malnutrisi seringkali menyebabkan anemia sideroblastik. Meskipun demikian manifestasi lain seperti neuropati perifer dan dermatitis mendominasi gambaran klinis. Peranan tembaga pada metabolisme besi sangat kompleks. Tembaga meningkatkan absorbsi besi di usus halus, memodulasi aktifitas retikuloendotelial, memfasilitasi ambilan besi seluler dari transferin dan mendorong inkorporasi besi ke dalam heme. Defisiensi tembaga (karena malnutrisi, nutrisi parenteral total jangka panjang, operasi lambung, prematuritas, suplementasi seng, khelasi ekstrim) dapat menyebabkan anemia sideroblastik didapat. Tabel 3. Kebutuhan tembaga untuk anak dan remaja Kebutuhan tembaga untuk anak dan remaja Usia Bayi 0-6 bulan Bayi 6-12 bulan Anak 1-3 tahun Anak 4-8 tahun Anak/remaja 9-13 tahun Remaja 14-18 tahun
Kebutuhan 200 mcg (AI) 220 mcg (AI) 340 mcg (AI) 440 mcg (AI) 700 mcg (AI) 890 mcg (AI)
Sumber tembaga: • seafood (tiram, cumi, lobster, kerang, kepiting, dan clams) • jerohan (hati sapi, ginjal dan jantung) 110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
• kacang-kacangan dan mentega kacang mis kacang mede, macadamia, pecans, almonds (kenari), pistachios • Legumes (kedelai, lentils, kacang tanah • Cerealia yang diperkaya • Buah-buahan dan sayuran buah kering, jamur, tomat, kentang, ubi jalar, pisang, anggur, dan alpukat
Anemia makrosik jenis megaloblastik Patogenesis anemia megaloblastik Anemia megaloblastik terjadi karena ketidak-seimbangan antara suplai co-factor yang diperlukan untuk sintesis DNA dan kebutuhan produksi DNA. Dua co-factor yang terpenting adalah asam folat dan vitamin B12., yang berfungsi sebagai donor metil. DNA berbeda dengan RNA berdasarkan 2 faktor yaitu pada DNA menggunakan deoksiribose serta timin sedangkan pada RNA ribose dan urasil.
Gambar 5. Perbedaan struktur kimia purin pada RNA dan DNA
Defisiensi asam folat
Gambar 6. Struktur kimia asam folat (diunduh dari www.chemistry.lamar.edu/~martincb/research.html)
111
Nutritional anemia
Komposisi asam folat terdiri dari cincin pterin yang terikat dengan asam paraaminobenzoat (PABA) dan berkonyugasi dengan satu atau lebih glutamate. Asam folat terdapat di sayuran berdaun hijau (bayam, brokoli), buah-buahan keluarga citrus (jeruk, tomat), kacang-kacangan (kacang merah, kacang lima) dan produk hewan (hati ayam, hati sapi). Asam folat bersifat esensial karena manusia tidak dapat membentuknya secara endogen, karena tidak dapat mensintesis PABA, atau tidak dapat mengkonyugasi glutamat pertama. Folat ada di dalam makanan alamiah dan jaringan dalam bentuk poliglutamat karena bentuk ini berfungsi mempertahankan folat di dalam sel. Di plasma dan urin, ditemukan dalam bentuk monoglutamat karena hanya dalam bentuk inilah dapat ditransportasikan melewati membrane sel. Enzim di dalam lumen usus halus dapat mengubah folat poliglutamat ke bentuk monoglutamat, yang diabsorbsi di bagian proksimal jejunum melalui transport aktif dan pasif. Di dalam plasma, folat terutama dalam bentuk 5-metiltetrahidrofolat (5-metil THFA) dan berikatan secara longgar dengan albumin plasma di sirkulasi. THFA yang merupakan bentuk aktif asam folat dihasilkan dari reduksi asam folat dua tahap oleh enzim dihidrofolat reduktase. TFHA berperan dalam mentransfer satu unit carbon (misalnya metil, metilen dan formil) kepada substrat esensial yang terlibat dalam sintesis DNA, RNA, dan protein. Lebih spesifik lagi, TFHA terlibat dalam reaksi enzimatik yang diperlukan untuk mensintesis purin, timidin dan asam amino. Cobalamin (B-12) diperlukan untuk mengkonversi 5-methyl THFA menjadi THFA, jika terdapat defisiensi B12 maka folat akan terperangkap dalam bentuk 5-methyl THFA dan tidak dapat berpartisipasi lagi dalam jaras metaboliknya sebagai akibat terjadilah anemia megaloblastik. Suplementasi folat dosis tinggi dapat mem bypass. Perangkap folat sehingga tidak terjadi anemia megaloblastik, meskipun demikian gejala yang berkaitan dengan defisiensi B12 tetap berlangsung secara progresif. Folat dapat hilang dari makanan selama proses mempersiapkan, memasak atau penyimpanan.Untuk mempertahankan folat perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Sebaiknya menyajikan buah-buahan dan sayuran dalam keadaan mentah 2. Kukus, rebus atau bilas sayuran dengan air seminimal mungkin 3. Simpan sayuran dalam lemari pendingin Defisiensi asam folat dapat terjadi jika kebutuhan folat meningkat tidak terpenuhi oleh peningkatan asupan, bila asupan folat tidak mencapai yang direkomendasikan, dan bila ekskresi meningkat. Medikasi yang menghambat metabolisme folat dapat juga meningkatkan kebutuhan vitamin ini dan berisiko defisiensi. Keadaan medis yang dapat meningkatkan kebutuhan folat atau mengakibatkan peningkatan ekskresi pada anak adalah • malabsorbsi • dialisis ginjal • penyakit hati 112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Medikasi yang menghambat penggunaan folat adalah • anti-konvulsan misalnya dilantin, fenitoin dan primidin • metformin (kadangkala diresepkan untuk mengendalikan kadar gula darah pada DM tipe-2 ) • sulfasalazine (digunakan untuk mengendalikan inflamasi yang terkait penyakit crohn dan kolitis ulserativa) • triamterene (sebagai diutrika) • methotrexate (digunakan untuk kanker dan penyakit lain misalnya arthritis rheumatoid ) • barbiturates (biasanya digunakan sebagai sedatif) Tabel 4. Beberapa sumber asam folat Beberapa sumber asam folat Makanan Ukuran saji Jumlah (Micrograms) Hati ayam 3.5 oz 770 Cerealia 1/2 to 1 1/2 cup 100 to 400 Hati sapi 3.5 oz 217 Lentils, dimasak 1/2 cup 180 Chickpeas 1/2 cup 141 Asparagus 1/2 cup 132 Bayam, dimasak 1/2 cup 131 Black beans 1/2 cup 128 Burrito dengan kacang 2 118 Kacang merah 1/2 cup 115 Kacang Lima 1/2 cup 78 Jus tomat 1 cup 48 Brussels sprouts 1/2 cup 47 Jeruk 1 medium 47 Brokoli, dimasak 1/2 cup 39 Fast-food French fries Large order 38 Wheat germ 2 tbsp 38 Fortified white bread 1 slice 38 * based on Daily Value for folate of 400 micrograms (Source: Food Values of Portions Commonly Used, 16th edition)
% Daily Value* 193 25 to 100 54 45 35 33 33 32 30 29 20 12 12 12 10 10 10 10
(dikutip dari http://www.nal.usda.gov/fnic/cgi-bin/nut_search.pl). Tabel 5. Recommended dietary allowances asam folat untuk anak dan remaja RDA asam folat untuk anak dan remaja Usia Kebutuhan 1-3 tahun 150 ug/ hari 4-8 tahun 200 ug/hari 9-13 tahun 300 mg/hari 14-18 tahun 400 mg/hari >19 tahun 400 mg/hari
113
Nutritional anemia
Defisiensi vitamin B12 Vitamin B12 (cobalamin, Cbl) adalah vitamin larut dalam air dan merupakan anggota keluarga corrinoid yang mengandung inti corrin yang terdiri dari struktur cincin tetrapyrollic. Pusat dari inti cincin tetrapyrollic mengandung ion cobalt yang dapat berikatan dengan kelompok metil, deoksiadenosil-, hidrokso-, atau siano-. Dalam makanan vitamin B12 terikat pada protein. HCl di lambung membebaskan vitamin B12 dari protein saat pencernaan. Begitu dilepaskan, vitamin B12 berkombinasi dengan substansi yang disebut faktor intrinsik. Bentuk kompleks inilah yang diabsorbsi oleh usus halus. Defisiensi vitamin B12 dapat terjadi karena asupan yang kurang misalnya pada vegan yang tidak mengonsumsi bahan makanan hewani atau gangguan absorbsi misalnya pada kelainan lambung atau usus halus. Kadang kala satu-satunya gejala kelainan usus halus ini adalah penurunan fungsi kognitif ringan akibat defisiensi vitamin B12, sedangkan anemia dan dementia muncul kemudian. Vitamin B12 secara alamiah terdapat pada makanan yang berasal dari hewan, termasuk ikan, daging, unggas, telur, susu, dan produk susu. Serealia yang difortifikasi merupakan sumber vitamin B12 untuk vegetarian. Proton pump inhibitors (PPI) misalnya omeprazole, H2 receptor antagonist misalnya ranitidin, simetidine dapat menghambat absorbsi vitamin B12
Gambar 7. Struktur kimia vitamin B12 (diunduh dari www.libaware.economads.com/images/cobalaminintro_1.gif)
114
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Tabel 6. Sumber vitamin B12 Makanan
Micrograms Percent (μg) Daily per saji Value
Mollusks, clam, mixed species, cooked, 3 ounces Liver, beef, braised, 1 slice Fortified breakfast cereals, (100%) fortified), ¾ cup Trout, rainbow, wild, cooked, 3 ounces Salmon, sockeye, cooked, 3 ounces Trout, rainbow, farmed, cooked, 3 ounces Beef, top sirloin, lean, choice, broiled, 3 ounces Fast Food, Cheeseburger, regular, double patty & bun, 1 sandwich Fast Food, Taco, 1 large Fortified breakfast cereals (25% fortified), ¾ cup Yogurt, plain, skim, with 13 grams protein per cup, 1 cup Haddock, cooked, 3 ounces Clams, breaded & fried, ¾ cup Tuna, white, canned in water, drained solids, 3 ounces Milk, 1 cup Pork, cured, ham, lean only, canned, roasted, 3 ounces Egg, whole, hard boiled, 1 American pasteurized cheese food, 1 ounces Chicken, breast, meat only, roasted, ½ breast
84,1 47,9 6,0 5,4 4,9 4,2 2,4 1,9 1,6 1,5 1,4 1,2 1,1 1,0 0,9 0,6 0,6 0,3 0,3
1400 780 100 90 80 50 40 30 25 25 25 20 20 15 15 10 10 6 6
(dikutip dari http://www.nal.usda.gov/fnic/cgi-bin/nut_search.pl).
Tabel 7. Recommended dietary allowances vitamin B12 untuk anak dan remaja RDA vitamin B12 untuk anak dan remaja Usia Kebutuhan 1-3 tahun 0.9 ug/ hari 4-8 tahun 1.2 ug/hari 9-13 tahun 1.8 ug/hari 14-18 tahun 2.4 ug/hari >19 tahun 2.4 ug/hari
Kesimpulan Langkah awal mencurigai adanya nutritional anemia adalah mencari faktorfaktor yang dapat menyebabkan anemia defisiensi, kemudian mencocokkannya dengan temuan klinis serta melakukan skrining laboratorium darah tepi lengkap termasuk gambaran darah tepi untuk melihat morfologis sel darah merah. Pemeriksaan selanjutnya disesuaikan dengan jenis anemia yang dicurigai. Sedangkan tata laksana nutrisi diutamakan melakukan pencegahan primer dengan pola makan yang cukup dan seimbang sesuai dengan kebutuhan individual. 115
Nutritional anemia
Daftar Pustaka 1. Alcinder T, Bridges KR. www.SIDEROBLASTIC ANEMIAS.htm 2. American Academy of Pediatrics Committee on Nutrition. Iron-fortified infant formulas. Pediatrics 1989;84:1114-5. 3. Brick W, Burgess R. Macrocytosis. www.emedicine.com/med/topic1381.htm 4. Gentili A, Vohra M, Subir V, et al. Folic acid deficiency. www.emedicine.com/ med/topic802.htm 5. Harper J. Anemia megaloblastic. www.emedicine.com/ped/topic2575.htm 6. Kazal LA JR. Prevention of Iron Deficiency in Infants and Toddlers. Am Fam Physician 2002;66:1217-24,1227 7. Konrad ME. Iron deficiency anemia. www.medicine.com/med/topic188.htm 8. Koury MJ, Horne DW, Brown ZA, et al. Apoptosis of Late-Stage Erythroblasts in Megaloblastic Anemia: Association With DNA Damage and Macrocyte Production Blood 1997:89:4617-4623 9. Koury MJ, Ponka P. New insights into eruthropoiesis: The roles of folate, vitamin B12 and Iron Annual Review of Nutrition 2004;24:105-131 10. Oh RC, Brown DL. Vitamin B12 deficiency. Am Fam Physician 2003;67:97986,993-4.
116
Tata laksana anemia pada anak Teny Tjitrasari, Djajadiman Gatot, Maria Abdulsalam Tujuan: 1. Mengetahui tata laksana anemia defisiensi besi. 2. Mengetahui tata laksana anemia aplastik. 3. Mengetahui tata laksana anemia akibat keganasan. 4. Mengetahui tata laksana anemia hemolitik auto imun (AIHA). 5. Mengetahui tata laksana thalassemia. 6. Mengatahui tata laksana anemia pada penyakit infeksi.
Tata laksana anemia defisiensi besi Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan penyebab terbanyak anemia dan masih merupakan masalah di dunia. Tata laksana ADB secara garis besar meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan.
Pengobatan Pengobatan anemia defisiensi besi meliputi pemberian preparat besi dan mengatasi faktor etiologi (Tabel 1.).1-5 Pemberian preparat besi yang dianjurkan adalah 3-6 mg/kg/hari dalam bentuk besi elemental yang terbagi dalam 2-3 dosis.1-6 Efek samping yang mungkin terjadi pada pemberian preparat besi secara oral adalah gejala gastrointestinal berupa sakit perut, kembung dan konstipasi. Ada berbagai cara untuk mengurangi efek samping tersebut yaitu dengan cara diberikan segera setelah makan, diberikan dalam bentuk tablet yang lepas lambat (slow released) atau dimulai dengan dosis rendah kemudian dinaikkan secara bertahap.1-5 Preparat besi yang tersedia saat ini dapat dilihat pada Tabel 2. Preparat besi diberikan sampai kadar feritin normal. Bila tidak ada biaya untuk memeriksa kadar feritin, preparat besi diberikan hingga dicapai kadar hemoglobin normal yang kemudian dilanjutkan 2 bulan berikutnya. Responss yang diharapkan bila diberikan preparat besi dapat dilihat pada Tabel 3. Keterbatasan pada pemberian preparat besi oral adalah rasa yang tidak enak, efek samping pada saluran pencernaan seperti dikemukakan di atas, dan kepatuhan rendah.1-5,7 117
Tata laksana anemia pada anak
Tabel 1. Etiologi anemia defisiensi besi 1-5 1. Bayi di bawah umur 1 tahun - Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir kembar - ASI eksklusif tanpa adanya suplementasi besi - Pemberian susu formula yang tidak difortifikasi 2. Anak umur 1 sampai dengan 2 tahun - Asupan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan (hanya minum susu) - Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun - Malabsorbsi - Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan divertikulum Meckeli 3. Anak berumur 2 sampai dengan 5 tahun - Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme - Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun - Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan divertikulum Meckeli 4. Anak berumur 5 tahun sampai dengan masa remaja - Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan poliposis 5. Usia remaja sampai dengan dewasa - Pada wanita antara lain mentruasi berlebihan
Tabel 2. Preparat besi dan kandungan besi elemental3-5,7 Preparat Tablet / kapsul Ferrous fumarate Ferrous gluconate Ferrous sulfat Ferrous sulfat, slow released Polysaccharide-iron complex Suspensi cair Ferrous fumarate Ferrous sulphate Parenteral Iron dextran Sodium ferric gluconate Iron sucrose
Sediaan
Kandungan besi elemental
300 mg/kap 300 mg/tab 300-325 mg/tab 160 mg/tab
99 mg/kap 35 mg/tab 60-65 mg/tab 65 mg/tab
150 mg/kap
150 mg/kap
60 mg/ml Drop: 75 mg/ml Sirup : 30 mg/ml
20 mg/ml Drop : 15 mg/ml Sirup : 6 mg/ml
-
50 mg/ml 12,5 mg/ml 20 mg/ml
Selama pemberian terapi besi, keluarga harus diberikan edukasi mengenai diet. Konsumsi susu harus dibatasi (500 ml/24 jam).2,3 Hal ini bertujuan untuk meningkatkan konsumsi makanan tinggi kadar besi dan kehilangan darah akibat alergi protein susu akan menurun.2 Kadar besi pada ikan, hati, daging, lebih tinggi dibandingkan dengan kadar yang ada di dalam beras, bayam, gandum, kacang kedelai. Penyerapan besi sumber nabati dapat dihambat oleh tanin, 118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Tabel 3. Respons terhadap pemberian preparat besi2,3 Waktu setelah pemberian besi
Respons
12-24 jam
Penggantian enzim besi intrasel; penurunan iritabilitas, peningkatan nafsu makan
36-48 jam
Respons sumsum tulang awal berupa hiperplasia sistem eritropoeitik
48-72 jam
Retikulositosis, puncaknya pada hari ke 5-7
4-30 hari 1-3 bulan
Peningkatan kadar hemoglobin Pengisian cadangan besi
kalsium, fitat, dan dipercepat oleh vitamin C, HCl, asam amino dan fruktosa. Besi yang berasal dari ikan, hati dan daging tidak dipengaruhi oleh zat-zat tersebut.3,4 Bila pemberian preparat besi oral tidak berhasil, maka diindikasikan untuk diberikan besi secara parenteral.1-4,7 Tetapi perlu diperhatikan bahwa pemberian preparat besi secara parenteral dapat menimbulkan efek samping berupa syok anafilaksis.2-4,7 Transfusi darah hanya diberikan bila didapatkan kadar hemoglobin kurang dari 4 g/dL.1,2 Di Departemen IKA RSCM, transfusi darah diberikan bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL, dengan mempertimbangkan bahwa pada keadaan Hb kurang dari 6 g/dL sudah dapat terjadi gangguan kardiovaskular. Transfusi darah juga diindikasikan bila terdapat gangguan kardiovaskular, infeksi berat, atau akan menjalani operasi, walaupun kadar Hb masih lebih dari 6 g/dL. Faktor lain yang mendukung keberhasilan terapi anemia defisiensi besi yaitu mengatasi faktor etiologi anemia defisiensi besi seperti yang tercantum pada Tabel 1. Kegagalan terapi pada anemia defisiensi besi antara lain dapat disebabkan oleh dosis yang tidak sesuai, diberikan bentuk besi yang sulit diabsorbsi, tidak mengatasi penyebabnya atau karena diagnosis yang tidak tepat.1-4
Pencegahan Pencegahan primer Pada bayi yang masih mendapatkan ASI, dianjurkan untuk mendapatkan ASI eksklusif selama minimal 6 bulan, karena walaupun ASI hanya mengandung kadar besi yang rendah (0,5-1 mg/L) tetapi absorbsinya sangat tinggi yaitu 50%.1-3,9 Sedangkan susu sapi yang mempunyai kandungan hampir sama dengan ASI, absorbsinya hanya 10%. Bahkan susu formula yang sudah difortifikasi oleh zat besi (12 mg/L), absorbsinya hanya 4%.9 Bila bayi tidak mendapatkan ASI, dianjurkan untuk memberikan susu formula yang sudah difortifikasi besi. 119
Tata laksana anemia pada anak
Untuk mencegah defisiensi besi, susu formula dibatasi hanya 24 oz/hari bahkan ada yang menganjurkan sebanyak 16 oz/hari.2-5,9 Selain memperhatikan asupan yang harus diberikan, suplementasi besi harus tetap dianjurkan. Untuk bayi cukup bulan diberikan suplementasi besi elemental 1 mg/kg/hari, maksimum 15 mg/hari, yang dimulai pada usia 4-6 bulan. Untuk bayi dengan berat lahir rendah, diberikan 2 mg/kg/hari, maksimum 15 mg/hari yang dimulai usia 2 bulan. Bayi dengan berat lahir 1000 -1500 gram mendapatkan besi elemental 3 mg/kg/hari; dan bayi dengan berat lahir kurang dari 1000 gram mendapatkan besi elemental 4 mg/kg/hari. Anak usia 2-5 tahun mendapatkan besi elemental 20-30 mg/hari, usia 6-11 tahun mendapatkan besi elemental 30-60 mg/hari dan remaja mendapatkan besi elemental 60 mg/hari.1,3,9,10
Pencegahan sekunder Bayi yang disertai satu atau lebih kriteria risiko seperti yang tercantum pada Tabel 3. harus menjalani skrining untuk kemungkinan menderita defisiensi besi. Dari semua faktor risiko yang tersebut pada Tabel 4, pemberian susu sapi pada 1 tahun pertama kehidupan merupakan faktor risiko yang paling poten terhadap kemungkinan terjadinya defisiensi besi demikian pula dengan kemiskinan. Skrining secara terus menerus harus pula dilakukan pada semua bayi dari keluarga tidak mampu.4 Skrining pada bayi cukup bulan dengan faktor risiko di atas dilakukan pada usia 9-12 bulan. Sedangkan pada bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah dan kehamilan kembar, skrining dilakukan pada usia 6 bulan. Setelah usia 12 bulan, semua anak yang pada waktu masa bayinya tidak menjalani skrining perlu menjalaninya pada saat itu.4 Tabel 4. Faktor risiko untuk terjadinya defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan1-5 Diet Minum susu sapi Susu formula rendah besi ASI eksklusif tanpa suplementasi besi Pranatal/perinatal Anemia selama kehamilan Berat badan lahir rendah Prematuritas Kehamilan kembar Sosial ekonomi Sosial ekonomi rendah Pendatang dari negara sedang berkembang Pertumbuhan cepat
120
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Anak yang berusia 1-3 tahun yang mempunyai risiko defisiensi besi (pernah menderita ADB, konsumsi susu lebih dari 24 oz/hari, diet rendah besi dan vitamin C, berasal dari keluarga yang berimigrasi dari negara yang sedang berkembang) dianjurkan pula untuk menjalani skrining pada usia antara 15-18 bulan dan pada usia 24 bulan.3,4,11 Skrining meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap dan bila ada biaya sebaiknya diperiksa pula kadar feritin dalam serum dan saturasi transferin.4-11
Kontroversi Salah satu penyebab kegagalan terapi pada anemia defisiensi besi adalah faktor ketidakpatuhan.1-5,7 Salah satu cara untuk mengatasi hal ini dengan memberikan suplementasi besi hanya 1 kali perhari dibandingkan 3 kali per hari.12 Di beberapa negara dilakukan pemberian preparat besi 1-2 kali per minggu.3,13-15 Penelitian Siddiqui dkk dan Sungthong dkk menunjukkan peningkatan kadar hemoglobin lebih tinggi pada yang diberikan tiap hari dibandingkan dengan yang diberikan per minggu. Walaupun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik, tetapi hal ini dapat memperbaiki kognitif yang cukup bermakna secara statistik.13-14 Selain itu, pemberian per minggu juga mengurangi biaya dan efek samping.13-15 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai mikronutrien lain meningkatkan respons terhadap pemberian terapi besi. Di lain pihak, absorbsi besi dihambat oleh nutrien lain seperti kalsium, magnesium dan seng.10 Penelitian uji klinis acak terkontrol yang dilakukan oleh Geltzman dkk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan status besi dan hemoglobin pada bayi yang diberikan multivitamin bersama suplementasi besi dibandingkan yang hanya diberikan multivitamin saja.16
Anemia aplastik Anemia aplastik merupakan salah satu penyakit yang diperantarai oleh proses imunologis yang menyerang sumsum tulang.17,18 Pada anak, terapi definitif anemia aplastik, terutama yang berat, adalah transplantasi sumsum tulang yang memberikan keberhasilan terapi hingga 90%.17,19 Pada penderita dengan keterbatasan biaya atau yang tidak mempunyai donor yang sesuai, dapat diberikan antithymocyte globulin (ATG) dan siklosporin dengan atau tanpa pemberian granulocyte colony stimulating factor (GCSF). Keberhasilan terapi pada kombinasi ini berkisar 45-77%. Dosis ATG diberikan 15 mg/kgbb per hari selama 5 hari dengan infus lambat selama 12 jam. Sebagai pencegahan terjadinya serum sickness, diberikan metilprednisolon 2 mg/kg/hari 121
Tata laksana anemia pada anak
IV pada hari 1-7, kemudian diberikan 1 mg/kg/hari oral selama hari ke 8-14 yang kemudian ditappering off hingga hari ke 30. Siklosporin diberikan dengan dosis 6 mg/kg/hari oral dimulai hari ke 1, kemudian dilanjutkan hingga hari ke 180. Kadar siklosporin di dalam darah dipantau untuk mempertahankan kadar 100-200 ng/ml. GCSF diberikan secara intravena atau subkutan dengan dosis 400 ug/m2 /hari pada hari 1 sampai dengan 90. Setelah jumlah leukosit mencapai lebih dari 5000/mm3, maka GCSF diberikan 3 kali seminggu.17,1923 Penelitian Kojima dkk menggunakan tambahan danazol dengan dosis 5 mg/kg/hari oral dimulai pada hari 1 sampai dengan180 memberikan respons 55-77%.22 Sebaliknya, penelitian Führer dkk memperlihatkan hasil yang baik walaupun tanpa pemberian danazol.24 Mengingat androgen mempunyai efek samping yang cukup berat, mereka tidak menganjurkan untuk memberikan androgen pada pasien anemia aplastik.24 Bila tidak memberikan respons terhadap imunosupresif atau terjadi relaps, maka tetap dianjurkan untuk menjalani transplantasi sumsum tulang.17,24 Tata laksana suportif pada anemia aplastik meliputi penghindaran penyebab (bila diketahui).17,19 Pemberian transfusi harus diberikan secara hati-hari untuk mencegah sensitisasi antigen dan masuknya penyakit virus. Transfusi trombosit ditujukan untuk mencegah perdarahan pada organ-organ vital dengan mempertahankan kadar trombosit di atas 20.000/ml. Pada remaja wanita yang sudah menstruasi, dapat diberikan kontrasepsi untuk mencegah perdarahan yang mengancam jiwa. Pemberian kontrasepsi ini tidak diperlukan bila pasien sudah mendapat obat androgen sebagai terapi anemia aplastik. Untuk mengurangi perdarahan, dapat diberikan ε-aminocaproic acid 50 mg/kg, dibagi dalam 4 dosis per oral. Hindari infeksi sedapat mungkin. Bila terdapat demam, lakukan kultur dari sumber yang dicurigai sebagai penyebab infeksi yaitu darah, urin, tinja, sputum dan lain sebagainya. Terapi yang diberikan meliputi antibiotika dengan spektrum luas secara intravena. Bila masih terdapat demam, mungkin perlu ditambahkan antijamur dan bila terdapat lesi herpetik dapat diberikan asiklovir. Sedangkan bila didapatkan infeksi perirektal, dapat diberikan klindamisin atau metronidazol untuk mengatasi bakteri anaerob.19
Anemia pada keganasan Penyebab utama anemia pada penyakit keganasan adalah menurunnya produksi sel darah merah. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh desakan sel tumor pada sumsum tulang, aplasi sumsum tulang sementara akibat kemoterapi, atau supresi sistem eritropoeisis karena adanya inflamasi (akibat keganasan itu sendiri ataupun infeksi). Anemia bisa juga terjadi akibat adanya perdarahan karena trombosit yang rendah. Jarang anemia disebabkan oleh hemolisis karena kemoterapi, infeksi ataupun alloantibodi yang diinduksi oleh transfusi.25-27 122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Lanzkowsky mengajukan indikasi transfusi darah PRC pada penyakit keganasan adalah bila Hb kurang dari 8 g/dL atau bila disertai gangguan kardiovaskular atau perdarahan walaupun Hb masih lebih dari 8 g/dL.28 Sedangkan Rogers mengajukan indikasi transfusi PRC pada penyakit keganasan adalah Hb kurang dari 7 g/dL, atau Hb kurang dari 10 g/dL yang direncanakan untuk menjalani operasi ataupun narkose, dan Hb 8-10 g/dL bila akan mendapatkan kemoterapi.25 Pada keadaan hiperleukositosis, transfusi diberikan dengan target tidak melebihi Hb 10 g/dL untuk menghindari peningkatan viskositas.29 Pemberian eritropoeitin rekombinan secara bermakna mengurangi risiko pasien untuk mendapatkan transfusi pada anemia akibat keganasan (RR 0,67).27 Penggunaan eritropoietin ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi anemia akibat keganasan yang tidak menghendaki transfusi seperti penderita yang menganut Saksi Yehuwa. Eritropoietin diberikan bila Hb < 10 g/dL dengan dosis 150 IU/kg/kali, tiga kali seminggu, subkutan, selama minimum 4 minggu. Dosis dapat ditingkatkan hingga 300 IU/kg bila pasien tidak menunjukkan respons pada dosis initial. Alternatif lain adalah dengan cara memberikan dosis 40.000 IU setiap minggu. Dosis eritropoeitin dapat dititrasi untuk mempertahankan Hb 12-13 g/dL, atau pemberian dapat dimulai kembali bila Hb sudah mencapai 10 g/dL.27,28,30
Anemia hemolitik Anemia hemolitik auto imun Anemia hemolitik auto imun (AHAI) dibedakan berdasarkan jenis penyebab antibodi yang timbul. Antibodi klas IgG merupakan penyebab tersering AHAI pada anak. Bila antibodi klas IgG yang timbul maka AHAI termasuk jenis yang warm type. Sedangkan bila yang timbul adalah kelas IgM maka AHAI termasuk jenis yang cold type.31-33
Warm type Jenis warm type memberikan respons yang baik terhadap pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah metil prednisolon 1-2 mg/kg/ hari per oral atau hidrokortison 8-40 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilakukan tappering off selama 3-4 minggu. Bila selama 3 minggu tidak terlihat adanya respons, maka kemungkinan pasien tidak respons terhadap kortikosteroid, sehingga harus diberikan alternatif pengobatan lain seperti imunoglobulin intravena, azatioprin, siklosporin, danazol, atau sitostatika.31-34 Splenektomi mungkin bermanfaat tetapi mengandung risiko infeksi yang tinggi terutama pada pasien kurang dari 5 tahun.31-33 Rituximab 123
Tata laksana anemia pada anak
merupakan antibodi-monoklonal yang spesifik untuk antigen CD20 yang terdapat pada permukaan limfosit B sebagai penghasil antibodi.31-35,36 Penelitian Zecca dkk yang menggunakan Rituximab dengan dosis 375 mg/m2/dosis menunjukkan respons pengobatan sebesar 87%.35 Pemantauan berkala kadar hemoglobin, jumlah retikulosit, ukuran limpa, dan kadar hemoglobinuria sebaiknya dilakukan setiap hari bila ada biaya. Uji Coombs dan kadar haptoglobin diperiksa setiap minggu.32 Transfusi diberikan dengan jenis darah yang paling ”compatible”, pada saat kadar Hb kurang dari 5 g/dL dengan sebelumnya diberikan kortikosteroid dan tidak lebih dari 8 g/dL.33 Selama pemberian transfusi darah, harus dilakukan pemantauan ketat terhadap kemungkinan terjadinya proses hemolitik pada pasien. Darah yang diberikan sedapat mungkin merupakan darah PRC cuci.31-33 Harus dipikirkan bahwa AHAI yang terjadi merupakan satu bagian penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE).33
Cold type Tata laksana juga meliputi pengobatan penyakit primernya. Transfusi darah yang diberikan harus dalam keadaan hangat untuk mencegah timbulnya reaksi antibodi. Bila terjadi anemia yang berat, dapat diberikan sitostatika seperti siklofosfamid dan klorambusil karena AHAI jenis ini tidak memberikan respons terhadap kortikosteroid.31,32,34
Thalassemia Terapi suportif pada thalassemia meliputi pemberian transfusi darah dan pemberian kelasi besi untuk mencegah dan mengatasi komplikasi iron overload pada organ akibat transfusi. Thalassemia International Federation menganjurkan untuk memberikan tranfusi pada kadar < 9 g/dL dan tidak melebihi 15 g/dL.37 Sedangkan Rund & Rachmilewitz justru menganjurkan untuk memberikan transfusi darah dengan target Hb 9-10 g/dL untuk mengurangi kemungkinan iron overload dan alloimunization.38 Berdasarkan opini tersebut di atas, transfusi darah di Departemen IKA RSCM diberikan pada saat kadar Hb kurang dari 8 g/dL dengan target Hb 12 g/dL. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi tubuh yang baik dan mempertimbangkan ketersediaan darah di Bank Darah. Dianjurkan untuk menggunakan darah yang rendah leukosit (leucoreduced/leucodepleted PRC) untuk mengurangi reaksi transfusi, dan telah melalui skrining terhadap hepatitis B, hepatitis C, HIV dan HTLV-1.37,38 Jumlah darah yang sudah diberikan perlu dicatat, bila sudah mencapai 10-15 kali transfusi atau 5 liter, pasien diperiksakan kadar feritin. Bila feritin > 1000 ng/mL, maka dianjurkan untuk memberikan kelasi besi.37 Kelasi besi yang telah beredar di Indonesia ialah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. 124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Berbagai penelitian menunjukkan pemakaian kombinasi deferoksamin dan deferipron memberikan hasil yang baik. Kebutuhan akan terapi kombinasi didasari oleh perlunya meningkatkan kepatuhan dalam terapi kelasi besi dan kebutuhan kardioproteksi.39-41 Dasar terapi kombinasi ini adalah adanya shuttle effect. Deferipron bekerja memasuki sel dan mengikat besi yang kemudian membawanya ke plasma. Selanjutnya besi ditransfer ke deferoksamin untuk diekskresikan melalui urin dan feses.39 Pencatatan jumlah transfusi diperlukan pula untuk menentukan waktu untuk melakukan pengangkatan limpa. Splenektomi dianjurkan untuk pasien yang sudah mendapatkan darah lebih dari 220 ml/kg/tahun, dan/atau limpa yang sangat membesar yang ditakutkan terjadinya ruptur limpa. Asam folat diberikan 2x2,5 mg untuk anak kurang dari 1 tahun sedangkan anak yang lebih tua 2x5 mg per hari. Vitamin E diberikan 2x100 IU untuk anak kurang dari 5 tahun sedangkan anak yang lebih tua 2x200 IU. Vitamin C hanya diberikan pada waktu menggunakan deferoksamin dengan dosis 2-3 mg/kg/hari.37 Infeksi akibat transfusi dicegah dengan melakukan skrining menyeluruh pada darah transfusi. Diperlukan pemantauan berkala fungsi-fungsi organ akibat iron overload yang meliputi pemantauan fungsi hati, jantung, dan hormon Pemberian terapi hormonal (seksual, tiroid, dan hormon pertumbuhan) untuk meningkatkan tumbuh kembang, dan maturasi seksual. Pemberian inhibitor osteoklas seperti bifosfonat ditujukan untuk mencegah osteopenia dan osteoporosis.38 Transplantasi sumsum tulang memberikan harapan untuk pasien thalassemia walaupun masih mempunyai beberapa kendala seperti mendapatkan donor yang sesuai dan harga yang mahal. Penggunaan obat seperti 5-azacytidin, hidroksiurea dan beberapa turunan butirat dapat mengurangi beratnya penyakit thalassemia dengan cara meningkatkan sintesis HbF. Penggunaan terapi gen pada penyakit thalassemia masih dalam penelitian dan kendala terbesar berhubungan dengan menemukan vektor yang sesuai.38 Diagnosis pranatal dilakukan pada usia kehamilan 10 minggu untuk biopsi villi korionik dan 14-20 minggu untuk pemeriksaan amniosentesis. Diagnosis pranatal di masa depan, diharapkan akan dilakukan dengan cara non invasif menggunakan sampel darah ibu untuk mendapatkan DNA fetus untuk dianalisa.42
Anemia pada penyakit infeksi Anemia pada penderita dalam keadaan sakit berat, atau terdapat gejala-gejala seperti asidosis metabolik, sesak napas, atau gagal jantung, perlu segera diatasi dengan pemberian transfusi PRC tanpa melihat kadar Hb. Sebaiknya transfusi diberikan setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik, minimal sediaan apus darah tepi, untuk mencari penyebab anemianya.43 125
Tata laksana anemia pada anak
Pada keadaan infeksi ringan-sedang, anemia akibat defisiensi besi cukup diterapi dengan preparat besi oral sambil mengatasi penyakit infeksinya. Studi meta-analisis terhadap penelitian uji acak terkontrol menunjukkan bahwa suplementasi besi tidak mempunyai dampak buruk terhadap kejadian penyakit infeksi pada anak. Studi ini melaporkan bahwa terdapat sedikit peningkatan risiko kejadian diare pada anak yang mendapat suplementasi besi tetapi tidak bermakna secara klinis (perbedaan 0,05 episode/anak tahun).44 Penelitian De Silva dkk menunjukkan bahwa suplementasi besi pada penderita anemia defisiensi besi dengan infeksi saluran napas bagian atas mempercepat penyembuhan infeksi, mengurangi jumlah hari sakit dan mengurangi episode terjadinya ISPA yang bermakna secara statistik (p<0,005). Tidak dilaporkan efek samping suplementasi besi pada penelitian ini.45 Pada keadaan infeksi berat atau sepsis, pemberian suplementasi besi masih kontroversial. Selain adanya masalah cara pemberian, absorbsi dan toleransi gastrointestinal yang buruk, efektivitas suplementasi besi pada infeksi berat dinilai kurang efektif akibat tingginya sitokin yang dihasilkan pada keadaan infeksi berat.46 Pada keadaan anemia yang terjadi karena penyakit kronik, biasanya tidak diperlukan terapi kecuali terdapat gejala klinis. Sebaiknya dilakukan monitoring hingga 4-8 minggu. Bila penyakit kronik telah berhasil diatasi, biasanya kadar Hb dan parameter lainnya akan kembali normal paling cepat dalam waktu 2 minggu. Bila masih belum terdapat perbaikan, pasien dapat diberikan eritropoietin rekombinan.47
Daftar pustaka 1. Lanzkowsky P. Iron deficiency anemia. Dalam: Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2. Churchill Livingstone Inc, New York 1995. h. 3550. 2. Glader B. Iron deficiency anemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h. 1614-6. 3. Sandoval C, Jayabose S, Eden AN. Trends in diagnosis and management of iron deficiency during infancy and early childhood. Hematol Oncol Clin N Am 2004;18:1423-38. 4. Killip S, Bennett JM, Chambers MD. Iron deficiency anemia. Am Fam Physician 2007;75:671-8. 5. Segel GB, Hirsh MG, Feig SA. Managing anemia in pediatric office practice: part 1. Pediatr Rev 2002;23:75-84. 6. Grantham-McGregor S, Ani C. A review of studies on the effect of iron deficiency on cognitive development in children. J Nutr 2001;131:649S-68S. 7. Briggs GC. Identifying and treating common anemias. Diunduh dari http://
126
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
22.
23.
www.freece.com/FreeCe/Article.asp?dbArticleID=105. Diakses pada tanggal 14 Desember 2006. Beutler E, Hoffbrand AF, Cook JD. Iron deficiency and overload. Hematology 2003;2003:40-61. Oski FA. Iron deficiency in infancy and childhood. N Engl J Med 1993;329:1903. Allen LH. Iron supplements: scientific issues concerning efficacy and implications for research and programs. J Nutr 2002;132:813S-9S. Brugnara C. Iron deficiency and erythropoiesis: New diagnostic approaches. Clin Chemistry 2003;49:1573-8. Zlotkin S, Arthur P, Antwi KY, Yeung G. Randomized, controlled trial of single versus 3-times-daily ferrous sulfate drops for treatment of anemia. Pediatrics 2001;108:613-6. Siddiqui IA, Rahman MA, Jaleel A. Efficacy of daily vs weekly supplementation of iron in schoolchildren with low iron status. J Trop Ped 2004;50:276-8. Sungthong R, Mo-suwan L, Chongsuvivatwong V, Geater AF. Once-weekly and 5-days a week iron supplementation differentially affect cognitive function but not school performance in Thai children. J Nutr 2004;134:2349-54. Awasthi S, Verma T, Vir S. Effectiveness of biweekly versus daily iron-folic acid administration on anemia status in preschool children. J Trop Ped 2005;51:67-71 Geltzman PL, Meyers AF, Mehta SD, Brugnara C, Villon I, Wu YA, et al. Daily multivitamins with iron to prevent anemia in high-risk infants: a randomized clinical trial. Pediatrics 2004;114:86-93. Hord JD. The acquired pancytopenias. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h. 1644-6. Young NS, Maciejewski J. The pathophysiology of acquired aplastic anemia. N Engl J Med 1997;336:1365-72. Lanzkowsky P. Bone marrow faillure. Dalam: Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2. Churchill Livingstone Inc, New York 1995. h. 77-96. Kojima S, Fukuda M, Miyajima Y, Matsuyama T, Horibe K. Treatment of aplastic anemia in children with recombinant human granulocyte colony-stimulating factor. Blood 1991;77:937-41. Marsh J, Sxhrezenmeier H, Marin P, Ilhan O, Ljungman P, McCann S,dkk. Prospective randomized multicenter study comparing cyclosporin alone versus the combination of antithymocyte globulin and cyclosporin for treatment of patients with nonsevere aplastic anemia: a report from the European Blood and Marrow transplant (EBMT) severe aplastic anemia working party. Blood 1999;93:2191-5. Kojima S, Hibi S, Kosaka Y, Yamamoto M, Tsuchida M, Mugishima H, dkk. Immunosupressive therapy using antithymocyte globulin, cyclosporine and danazol with or without human granulocyte colony-stimulating factor in children with acquired aplastic anemia. Blood 2000;96:2049-54. Locasculli A, Bruno B, Rambaldi A, Sarcco P, Dufour C, Finnelli C, dkk. Treatment of severe aplastic anemia with antilymphocyte globulin, cyclosporin and two different granulocyte colony-stimulating factor regimens: a GITMO prospective randomized study. Haematologica 2004;89:1052-61.
127
Tata laksana anemia pada anak
24. Führer M, Rampf U, Baumann I, Faldum A, Niemeyer C, Janka-Schaub G, dkk. Immunosuppressive therapy for aplastic anemia in children: a more severe disease predicts better survival. Blood 2005;106:2102-4. 25. Rogers ZR, Aquino VM, Buchanan GR. Hematologic suportives care and hematopoeitic cytokines. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, penyunting. Principles and practice of pediatric oncology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002,. h. 1205-38. 26. Dicato M. Anemia in cancer: some pathophysiological aspects. The oncologist 2003;8:19-21. 27. Engert A. Recombinant human erythropoietin in oncology: current status and further development. Annals of Oncology 2005;16:1584-95. 28. Lanzkowsky P. Supportive care and management of oncologic emergencies. Dalam: Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2. Churchill Livingstone Inc, New York 1995. h. 589. 29. Rheingold S, Lange BJ. Oncologic emergencies. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, penyunting. Principles and practice of pediatric oncology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. h. 1205-38. 30. Stasi R, Amadori S, Littlewood TJ, Terzoli E, Newland AC, Provan D. Management of cancer-related anemia with erythropoietic agents: doubts, certainties, and concerns. The Oncologist 2005;10:539-54. 31. Segel GB. Hemolytic anemias resulting from extracellular factors. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. WB Saunders, Philadelphia 2004. h. 1638-40. 32. Lanzkowsky P. Hemolytic anemia. Dalam: Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2. Churchill Livingstone Inc, New York 1995. h. 97-152. 33. Ware RE, Rosse WF. Autoimmune hemolytic anemia. Dalam: Nathan DG, Orkin SH, Ginsburg D, Cook AT, penyunting. Nathan and Oski’s: Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company; 2003. h. 521-59. 34. Rosse WF, Hillmen P, Schreiber AD. Immune-mediated hemolytic anemia. Hematology 2004;2004:48-62. 35. Zecca M, Nobili B, Ramenghi U, Perrotta S, Amendola G, Rosito P, et al. Rituximab for the treatment of refractory autoimmune hemolytic anemia in children. Blood 2003;101:3857-61. 36. Hoffman PC. Immune hemolytic anemia – selected topics. Hematology 2006:2006:13-8. 37. Thalassemia International Federation. Guidelines for the clinical management of thalassemia; 2000. 38. Rund D, Rachmilewitz E. β-Thalassemia. N Engl J Med 2005;353:1135-46. 39. Beutler E, Hoffbrand AV, Cook JD. Iron chelation therapy. Hematology 2003;:4652. 40. Origa R, Bina P, Agus A, Crobu G, Defraia E, Dessì C, dkk. Combined therapy with deferiprone and desferrioxamine in thalassemia major. Haematologica 2005;90:1309-14. 41. Telfer P, Coen PG, Cristou S, Hadjigavriel M, Kolnakou A, Pangalou E, dkk. Survival of medically treated thalassemia patients in Cyprus. Trends and risk factors over the periode 1980-2004. Haematologica 2006;91:1187-92.
128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
42. Wiknjosastro GH. The prospect of prenatal diagnosis of Thalassemia in Indonesia. Disajikan pada Pelatihan Thalassemia, Lembaga Eijkman – PHTDI. Jakarta, 11-13 Mei 2007. 43. Gatot D, Andriastuti M, Chozie NA. Suplementasi besi pada anemia dengan penyakit infeksi (iron and infection). Dalam: Arief S, Ugrasena IDG, Fardah A, penyunting. Comprehensive management in children with Hematology-Oncology Problem. SINAS UKK Hematologi-Onkologi, Infeksi dan Pediatri tropik, Nutrisi dan Penyakit metabolik pada anak bekerjasama dengan IDAI cabang Jawa Timur; Surabaya, November 2006. h. 105-12. 44. Gera T, Sachdev HPS. Effect of iron supplementation on incidence of infectious illness in children: systematic review. BMJ 2002;325:1142-51. 45. De Silva A, Atukorata S, Weerasinghe I, Ahluwalia N. Iron supplementation improves iron status and reduces mortality in children with or without upper respiratory tract infections: a randomized controlled study in Colombo, Srilanka. Am J Clin Nutr 2003;77:234-41. 46. Pieracci FM, Barie FS. Diagnosis and management of iron-related anemias in critical illness. Crit Care Med 2006;34:1898-905. 47. Gardner LB, Benz Jr EJ. Anemia of chronic disease. Dalam: Hoffman, penyunting. Hematology: Basic principles and practice. Edisi ke-4. New York: Churcill Livingstone; 2005. h. 465-9.
129
Transfusi darah rasional Adji Suranto Tujuan: 1. Mengetahui transfusi darah yang rasional. 2. Mengetahui kelainan-kelainan hematologipada bayi dan anak yang sering memerlukan tranfusi darah 3. Mengetahui indikasi, kontra indikasi, dosis dan reaksi simpang transfusi darah 4. Mengetahui berbagai jenis darah/ komponen, kandungan dan cara penyimpanannya 5. Mengetahui prosedur transfusi darah secara baik dan benar
S
ejarah transfusi kedokteran modern berawal pada tahun 1901 saat Karl Landsteiner (1868-1943) untuk pertama kalinya menemukan golongan darah ABO. Sejak itulah pilar-pilar transfusi modern mulai berdiri. Kemudian pada tahun 1911, Carlo Moreschi menemukan tes antiglobulin. Sayangnya ia terbunuh dalam Perang Dunia I, dan penemuannya sirna. Hingga pada tahun 1945, RRA Coombs menemukan kembali tes antiglobulin, selanjutnya sering disebut sebagai tes Coombs untuk mengabadikan namanya. Kemajuan bidang transfusi kedokteran memasuki babak baru ketika Luis Agate pada tahun 1911 menggunakan sitrat sebagai antikoagulan sel darah merah. Dalam tekanan perang dunia yang berkecamuk, zat antikoagulan jangka panjang, disebut ACD (Acid Citrate Dextrose), untuk pertama kalinya dikem bangkan. Pada waktu itu darah lengkap yang disimpan dalam botol tutup karet dapat bertahan disimpan selama 21 hari dalam lemari pendingin. Kemudian penyempurnaan dan perkembangan ilmu transfusi makin maju hingga pada awal tahun 1960-an labu darah plastik diproduksi. Dengan adanya penemuan ini memungkinkan darah/komponen darah disimpan secara steril dan baik sesuai dengan karakternya masing-masing.1 Saat ini telah banyak kemajuan yang dicapai dalam bidang riset ilmu kedokteran transfusi. Semua upaya dilakukan untuk mewujudkan transfusi darah dengan menggunakan darah/ komponen darah/ produk turunannya secara aman, berkualitas dan memberikan efek terapetik. Riset di bidang imunohematologi telah menghasilkan berbagai metode pemeriksaan yang canggih. Sebagai contoh pemeriksaan golongan darah dan crossmatch dengan 130
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
metode tes slide dan tube, kini mulai digantikan dengan metode tes gel yang lebih akurat dan praktis. Selain itu uji skrining terhadap penyakit infeksi yang ditularkan melalui transfusi darah (IMLTD) semakin dikembangkan dengan penyempurnaan berbagai teknik pemeriksaan yang telah ada seperti ELISA dan penemuan metode NAT (Nucleic Acid Testing) yang dapat memperpendek periode jendela infeksi virus. Mengingat transfusi darah merupakan suatu prosedur medis yang di satu sisi dapat memberikan manfaat dan efek terapetik, namun di sisi lain jika dilakukan secara tidak rasional berpotensi membahayakan atau merugikan pasien, maka perlu diketahui rasionalitas dari prosedur ini.
Transfusi darah rasional Transfusi darah merupakan suatu prosedur medis yang bersifat life saving pada banyak kondisi. Oleh karenanya, perhatian terhadap keamanan prosedur ini menjadikan indikasi transfusi darah sangatlah ketat. Bila memungkinkan, terapi alternatif kini dapat digunakan dalam upaya menurunkan tindakan transfusi darah. Saat ini telah diproduksi berbagai produk dalam bidang transfusi alternatif seperti obat hematinik, eritropoeitin, colony stimulating factors, DDAVP (1-deamino-8-d-arginine vasopressin), asam traneksamat dan lainnya yang bertujuan untuk menurunkan risiko yang mungkin timbul akibat transfusi darah.2 Di lain pihak, berbagai riset di bidang transfusi kedokteran terus dikembangkan untuk menyediakan darah/ komponen darah yang aman dan berkualitas bagi pasien. Riset tersebut meliputi penyempurnaan dalam bidang skrining/deteksi terhadap IMLTD, pengembangan metode pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, skrining antibodi, inaktivasi virus pada produk darah/komponen, penyediaan darah/komponen dari donor tunggal dengan cara aferesis donasi, transfusi autologus dan lain-lain. Secara garis besar tujuan dari transfusi darah adalah memberikan darah atau produk darah yang paling aman dan cocok sesuai kebutuhan pasien agar tujuan terapi dapat tercapai. Sekali seorang dokter memutuskan untuk memberikan transfusi, harus memahami benar pengetahuan tentang komposisi darah, indikasi, kontraindikasi, perhitungan dosis, dan risiko transfusi.3 Sangatlah bijak bila direnungkan kembali slogan: Any transfusion which is not indicated is contraindicated.4 Setiap klinisi seharusnya menimbang secara cermat untung rugi prosedur transfusi darah. Untuk itu setiap klinisi harus menjalankan praktek transfusi secara rasional dan semestinya berdasarkan evidence based medicine, walaupun hasil-hasil kajian evidence based medicine tentang praktek transfusi 131
Transfusi darah rasional
darah datanya masih sangat terbatas. Saat ini masih banyak klinisi yang dalam mengambil keputusan memberikan transfusi hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan opini semata daripada berdasarkan bukti ilmiah. Transfusi darah rasional adalah suatu praktek transfusi yang dilakukan oleh seorang dokter atas dasar indikasi yang kuat, menggunakan pilihan darah/ komponen darah yang tepat dan sesuai kebutuhan resipien, memakai dosis yang tepat, mempunyai manfaat yang jauh lebih besar daripada kerugiannya dan mengetahui reaksi simpang yang mungkin timbul akibat prosedur ini. 3-6 Kini sudah saatnya rasionalitas transfusi darah menjadi pedoman setiap dokter yang akan melakukan praktek transfusi sebagai bagian dari pelayanan kedokteran sehari hari dimanapun ia bekerja.
Transfusi komponen darah3, 6, 7 Komponen darah dibuat dari darah lengkap melalui teknik sentrifugasi. Kemajuan teknologi di bidang ini telah banyak memberikan manfaat antara lain: 1. Dapat diproduksi beraneka komponen darah atau produk turunan darah seperti PRC, suspensi trombosit, fresh frozen plasma (FFP), plasma, kriopresipitat, albumin dan lainnya. 2. Komponen darah yang diproduksi dapat diberikan kepada resipien secara spesifik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klinisnya. 3. Komponen darah tersedia dalam bentuk konsentrat sehingga mengurangi volume transfusi. 4. Menurunkan risiko reaksi imunologis. 5. Menurunkan risiko penularan penyakit. 6. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan darah donor yang telah didonasikan. 7. Pengawasan mutu produk lebih sederhana.
Transfusi darah rasional pada anak Tumbuh kembang merupakan suatu proses utama yang khas dalam kehidupan anak. Proses ini memerlukan asupan nutrien yang cukup, diantaranya adalah oksigen yang diedarkan oleh darah. Apabila terdapat gangguan pada darah baik berupa gangguan sirkulasi ataupun komponen darahnya, akan mengganggu proses tumbuh kembang ini. Sehingga transfusi darah mungkin diperlukan pada beberapa keadaan untuk menjaga agar anak tetap dalam keadaan optimal mencapai tumbuh kembangnya.4
132
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Transfusi darah pada bayi dan anak memerlukan perhatian khusus karena beberapa faktor antara lain:8,9 1. Anak merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit infeksi yang ditularkan melalui transfusi darah (IMLTD) dan reaksi simpang transfusi lainnya, karena organ maupun sistem imunitasnya masih imatur khususnya pada neonatus. 2. Neonatus merupakan kelompok penerima transfusi dengan frekuensi yang tinggi. 3. Dengan tertolongnya anak yang ditransfusi akan meningkatkan harapan hidupnya. 4. Reaksi simpang transfusi yang didapat akan berdampak pada periode kehidupan selanjutnya. Atas dasar tersebut di atas, transfusi darah yang rasional pada anak harus selalu memperhatikan dua aspek yaitu indikasi yang tepat dan pemilihan darah/ komponen darah terbaik untuk digunakan.
Kelainan hematologis pada bayi dan anak yang sering memerlukan transfusi 1. Anemia 10 Anemia anak didefinisikan sebagai menurunnya kadar hemoglobin (Hb) atau volume sel darah merah di bawah nilai normal yang sesuai untuk anak sehat. Kadar Hb atau hematokrit (Ht) normal berbeda sesuai dengan golongan umur anak sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Hb Normal pada Neonatus dan Anak 10 Umur
Konsentrasi Hemoglobin (g/dL)
Darah tali pusat (term) Neonatus hari 1 1 bulan 3 bulan 6 bulan- 6 tahun 7- 13 tahun
±16,5 ±18,0 ±14,0 ±11,0 ±12,0 ±13,0
>14 tahun
Seperti pada orang dewasa, sesuai jenis kelamin
Etiologi10 Anak, terutama yang berusia sangat muda berisiko menderita anemia berat. Sebagian besar transfusi pada anak diberikan pada kelompok anak umur kurang dari 3 tahun. Hal ini umumnya disebabkan oleh beberapa faktor/kombinasi faktor seperti pada Tabel 2. 133
Transfusi darah rasional
Tabel 2. Etiologi anemia pada anak Penurunan produksi sel darah merah 1. Defisiensi nutrien karena asupan/ absorbsi yang tak mencukupi 2. Infeksi HIV 3. Penyakit kronis/ peradangan 4. Keracunan timbal 5. Penyakit ginjal kronis 6. Neoplasma (leukimia, neoplasma yang menyerang sumsum tulang) Peningkatan destruksi sel darah merah 1. Malaria 2. Hemoglobinopati (penyakit sickle cell, thalassemia) 3. Defisiensi G6PD 4. Inkompatibilitas Rhesus/ ABO pada neonatus 5. Penyakit autoimun 6. Sferositosis Kehilangan sel darah merah 1. Infestasi cacing tambang 2. Trauma akut 3. Operasi 4. Pengambilan sampel darah untuk diagnostik berulang
Transfusi Sel Darah Merah pada Anemia10,11,12 Keputusan untuk memberikan transfusi darah tidak boleh ditentukan atas dasar kadar Hb saja, tapi juga harus berdasarkan penilaian kondisi klinis anak secara seksama. Oleh sebab, itu hasil pemeriksaan laboratorium dan penilaian klinis sangatlah esensial dan menjadi landasan dalam memutuskan perlu tidaknya transfusi darah. Seorang anak yang menderita anemia sedang dan pneumonia, mungkin membutuhkan peningkatan kapasitas angkut oksigen lebih besar dibandingkan anak lain dengan Hb yang lebih rendah namun kondisi klinisnya stabil. Bila kondisi anak stabil, monitor yang ketat, terapi yang efektif untuk kondisi yang menyertainya, misalnya infeksi akut, oksigenasi dapat membaik tanpa perlu transfusi. Pada kebanyakan anak, transfusi PRC harus dipertimbangkan setelah kehilangan darah akut mencapai 15%-20% dari volume darah totalnya. Pada kehilangan darah akut, seperti yang terjadi akibat trauma dan selama pembedahan, kadar Hb dan Ht mungkin tidak menggambarkan banyaknya darah yang hilang. Oleh karena itu, adanya tanda-tanda hipoperfusi seperti pucat, hipotensi, takikardia dan penurunan status mental harus digunakan sebagai dasar untuk menentukan terapi pengganti yang tepat. Pasien dengan anemia kronis seringkali dapat mentolerir anemia yang relatif berat karena tubuhnya melakukan kompensasi tanpa memerlukan transfusi. Seorang anak berumur > 1 tahun dengan sistim kardiovaskular yang baik dapat mentolerir kadar Hb 7-8 g/dL. Sedangkan pada kasus lain, misalnya neonatus dengan anemia sickle cell atau thalassemia memerlukan pertimbangan khusus. 134
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Transfusi PRC harus menggunakan darah ABO yang kompatibel dengan pasien. Walaupun semua pasien dapat menerima PRC golongan O, tapi tetap harus menggunakan unit PRC yang spesifik sesuai dengan golongan darah pasien. Pasien Rhesus positif dapat menerima PRC Rhesus positif maupun negatif. Tetapi pasien Rhesus negatif harus menerima PRC Rhesus negatif untuk mencegah timbulnya respons imun terhadap antigen D (antigen Rhesus). Karena imun respons yang terbentuk dapat menyebabkan hemolisis ekstravaskular lambat dan dapat menimbulkan komplikasi transfusi berikutnya atau berpengaruh terhadap kehamilan. American Association of Blood Banks (AABB) menyusun pedoman transfusi pada pasien yang berumur lebih dari 4 bulan sebagai berikut: Tabel 3. Pedoman transfusi PRC pada pasien > 4 bulan11 Kehilangan darah intraoperatif ≥ 15% total volume darah (TVD) 1. Hemoglobin < 8 g/dL - Pada periode perioperatif, dengan gejala gejala anemia - Pada kemoterapi/ radioterapi - Pada anemia kongenital kronis/ anemia simptomatik didapat - Pada prosedur bedah emergensi dengan kehilangan darah yang dapat diperkirakan pada pasien anemia preoperatif yang bermakna - Pada anemia preoperatif bila terapi korektif lainnya tidak tersedia 2. Kehilangan darah akut dengan hipovolemia yang tidak responsif terhadap terapi lain. 3. Hemoglobin < 13 g/dL dengan - Penyakit paru berat - ECMO 4. Program transfusi berkelanjutan (seperti pada B thalasemia dan Sindrom Diamond Blackfan yang tidak responsif terhadap terapi).
Dosis dan Kecepatan Pemberian Tabel 4. Dosis transfusi pada anak 11 Komponen Sel darah merah Trombosit Granulosit
Volume 10- 15 ml/ kg BB 5 - 10 ml/ kg BB ≥ 1 x 109 netrofil/kg BB dalam volume 15ml/kg BB
Peningkatan yang diharapkan Hb meningkat 2-3 g/dL Trombosit meningkat 50.000-100.000/µl Diulang sampai terlihat respon klinis
FFP AHF
10- 15 ml/kg BB 1- 2 unit/ 10 kg BB
Aktivitas faktor meningkat 15- 20% Fibrinogen meningkat 60 -100 mg/kgBB
AHF: Anti hemophilic factor
Dosis PRC sebesar 10-15 ml/ kg BB akan menaikkan kadar Hb hingga 2-3 g/dL. Lama pemberian transfusi umumnya 1-2 jam, dan harus sudah diselesaikan dalam waktu 4 jam. Kecepatan pemberian transfusi dapat disesuaikan menurut keadaan klinis pasien dan kebutuhannya. 135
Transfusi darah rasional
Prosedur Transfusi10-12 Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberi transfusi darah antara lain: 1. Bila transfusi telah diputuskan, berilah darah dengan jumlah atau dosis yang dapat membuat kondisi klinis anak stabil. 2. Pada pasien yang berisiko mengalami gangguan circulatory overload, sebaiknya transfusi darah menggunakan PRC, karena penggunaan darah lengkap dapat mencetuskan atau memperburuk payah jantung yang dideritanya. 3. PRC dosis 5 ml/kgBB setara dengan darah lengkap dosis 10 ml/kgBB dalam hal kapasitas angkut oksigennya. 4. Bila memungkinkan, gunakan labu darah pediatrik dan device untuk mengatur volume dan kecepatan transfusi. 5. Furosemide 1 mg/kgBB per oral atau 0,5 mg/kgBB IV lambat, dosis maksimal 20 mg/kgBB; diberikan bila pasien memperlihatkan gejala gagal jantung atau edema paru. 6. Selama transfusi dilakukan monitor terhadap tanda-tanda: gagal jantung, demam, distres pernapasan, takipnu, hipotensi, reaksi transfusi akut, syok, hemolisis (jaundice, hepatosplenomegali), perdarahan akibat DIC. 7. Setelah transfusi dilakukan, reevaluasi kadar Hb dan Ht pasien, serta kondisi klinisnya. 8. Bila pasien masih anemia dengan gejala klinis hipoksia atau kadar Hb yang kritis dapat diberikan transfusi lagi.
Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Transfusi Darah10-13 1. Jangan menggunakan darah yang tersisa dalam labu darah untuk transfusi berikutnya. Hal ini berisiko masuknya bakteri ke dalam labu darah saat transfusi pertama dan berproliferasi selama darah berada di luar lemari pendingin. 2. Setelah 4 jam transfusi, PRC yang masih tersisa di dalam labu darah tidak boleh digunakan lagi. 3. Bila pasien masih memerlukan transfusi darah lagi harus menggunakan labu darah yang baru . 4. Sebaiknya menggunakan blood set standar dengan filter (170-260 um) untuk menyaring bekuan dan agregat. 5. Blood set diganti setelah pemakaian 3-4 unit atau setelah 12 jam. 6. Obat-obatan dan cairan infus tak boleh dicampur dalam satu tabung/labu darah kecuali NaCl 0.9%. 7. Hindari kemungkinan pencemaran terhadap infeksi dengan menjaga labu darah tetap utuh.
136
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
8. Bila terjadi reaksi transfusi segera hentikan transfusi dan segera menghubungi bank darah rumah sakit untuk dilakukan penelusuran/ pemeriksaan lanjutan. Tabel 5. Batas waktu transfusi10 Darah Lengkap (DL)/ Whole Blood (WB)
Mulai Infus Dalam waktu 30 menit setelah unit dikeluarkan dari bank darah
Selesai Infus Maksimal 4 jam
Konsentrat Trombosit FFP dan atau Kriopresipitat
Segera Segera
20 menit 20 menit
2. Trombositopenia10-12 Transfusi trombosit diindikasikan untuk terapi perdarahan yang diakibatkan trombositopenia dan atau disfungsi kualitatif trombosit baik kongenital maupun didapat. Pada neonatus jumlah normal trombositnya 80.000-450.000 /ul. Setelah berumur 1 minggu kadarnya mencapai nilai seperti pada orang dewasa, yaitu 150.000-450.000/ul. Jumlah trombosit yang kurang dari 150.000/ul dipertimbangkan sebagai suatu kondisi trombositopenia.
Tata laksana trombositopenia10-12 Terapi trombositopenia bervariasi dan ditujukan pada penyebabnya; pada idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), transfusi darah atau trombosit diindikasikan bila terjadi perdarahan yang mengancam jiwa, gangguan didapat lainnya harus ditata laksana dengan perawatan suportif, meliputi pengobatan infeksi dan penghentian obat-obatan yang mungkin menjadi penyebab gangguan. Pada neonatal immune thrombocytopenia, jika tersedia, pemberian transfusi trombosit yang kompatibel (seperti trombosit cuci dan trombosit yang diiradiasi yang berasal dari ibu si bayi ) cukup efektif.
Tujuan transfusi trombosit10-12 Tujuan utama terapi transfusi trombosit adalah mengontrol atau menghentikan perdarahan. Oleh karenanya respons klinis lebih penting daripada sekedar peningkatan kadar trombosit saja.
Indikasi transfusi trombosit10-12 AABB membuat pedoman transfusi trombosit pada neonatus dan anak sebagai berikut:
137
Transfusi darah rasional
Tabel 6. Pedoman transfusi trombosit pada neonatus11 1. Kadar trombosit 5000-10.000/ul disertai dengan kegagalan produksi trombosit 2. Kadar trombosit < 30.000/ul pada neonatus disertai dengan kegagalan produksi trombosit 3. Kadar trombosit < 50.000/ul pada bayi prematur stabil - Dengan perdarahan aktif - Prosedur invasif disertai dengan kegagalan produksi trombosit 4. Kadar trombosit < 100.000/ul pada bayi prematur sakit - Dengan perdarahan aktif - Prosedur invasif pada pasien dengan DIC Tabel 7. Pedoman transfusi trombosit pada anak11
1. Menjaga kadar trombosit ≥ 100.000/ul pada perdarahan SSP atau direncanakan tindakan operasi SSP
2. Menjaga kadar trombosit ≥ 3.
50.000 jika terdapat perdarahan aktif atau akan menjalani operasi mayor Sebagai transfusi profilaksis pada pasien dengan kadar trombosit 5-10.000 /ul.
Kontra Indikasi11,12 Transfusi trombosit tidak direkomendasikan untuk terapi rutin ITP, karena mekanisme imunologis yang sama yang menyebabkan destruksi trombosit autologus juga akan menghancurkan trombosit yang ditransfusikan. Beberapa pasien ITP memperlihatkan waktu perdarahan yang normal. Oleh sebab itu, transfusi trombosit hanya diberikan bila didapatkan perdarahan berat atau mengancam jiwa. Transfusi trombosit juga merupakan kontra indikasi pada pasien dengan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), sindrom hemolitik uremik (SHU) atau pada heparin- induced thrombocytopenia (HIT), kecuali timbul perdarahan aktif atau direncanakan suatu prosedur operasi.
Pemeriksaan trombosit pratransfusi 11,12 Pasien yang akan menerima transfusi konsentrat trombosit multipel atau akan mendapat volume plasma yang lebih besar dari aferesis, direkomendasikan menerima konsentrat trombosit yang ABO kompatibel, karena ada laporan terjadinya hemolisis pada kondisi seperti ini. Pada bayi juga harus ditransfusi dengan konsentrat trombosit yang ABO kompatibel bila memungkinkan, karena volume darahnya yang kecil. Jika konsentrat trombosit yang ABO kompatibel tidak tersedia, reduksi volume dapat bermanfaat sebagai salah satu cara untuk membuang plasma yang inkompatibel. Karena konsentrat trombosit mengandung eritrosit dalam jumlah kecil, sehingga harus diberikan konsentrat trombosit yang Rhesus kompatibel untuk mencegah pembentukan anti D (anti Rh) pada resipien dengan Rhesus negatif. 138
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Saat ini beberapa strategi untuk mencegah timbulnya alloimunisasi terhadap trombosit telah dievaluasi. Sebuah kelompok studi yang melakukan ujicoba pengurangan allloimunisasi terhadap trombosit melaporkan bahwa penggunaan konsentrat trombosit, baik yang leucocyte depleted maupun darah yang telah diiradiasi dengan UVB menurunkan insidens pembentukan antibodi HLA dari 45% hingga 17-21%. 13
Dosis dan cara pemberian10-12 Dosis trombosit untuk anak adalah 5-10 ml/kg BB baik yang berasal dari konsentrat trombosit hasil sentrifugasi darah lengkap setelah koleksinya, maupun yang berasal dari aferesis trombosit (platelet pheresis). Dengan dosis tersebut diharapkan dapat meningkatkan hitung trombosit sebanyak 50.000/ul. Untuk anak yang memiliki berat badan > 10 kg, dosis konsentrat trombosit sebanyak 1 unit per 10 kg BB dapat memberikan hasil yang sama. Namun respons ini tak akan terjadi bila bayi atau anak mengalami sepsis, demam, DIC, atau adanya koagulopati konsumtif. Cara lain untuk menentukan dosis trombosit ialah berdasarkan peng hitungan luas permukaan tubuh (LPB) yaitu 4 unit konsentrat trombosit/m2. Cara perhitungan lain adalah menggunakan formula 13, yaitu menghitung volume darah resipien terlebih dahulu dengan rumus: BB pasien (kg) dibagi 13. Hasil perhitungan dinyatakan dalam mililiter. Untuk mendapatkan unitnya, hasil tadi dibagi dengan 350, yaitu jumlah darah yang terkumpul untuk setiap donasinya.6,14. Cara pemberian: konsentrat trombosit dapat dikumpulkan sebelum ditransfusikan pada pasien. Konsentrat trombosit harus ditransfusikan tak lebih dari 4 jam setelah pooling. Laju transfusi trombosit secepat mungkin sepanjang dapat ditolerir oleh pasien. Sebaiknya transfusi trombosit telah selesai dalam waktu 20 menit. Sebelum mentransfusikan trombosit sebaiknya dilakukan priming menggunakan cairan garam fisiologis. Trombosit sebaiknya ditransfusi menggunakan blood set dengan filter standar yaitu 170-260 mikron. Namun untuk transfusi 1 unit trombosit, filter 80 mikron lebih baik digunakan. Filter yang berukuran lebih kecil ini ideal digunakan untuk transfusi volume kecil karena tubing lebih sedikit sehingga ruang matinya berkurang. 10-12
Transfusi trombosit profilaksis10-12 Transfusi trombosit untuk profilaksis diindikasikan pada pasien trombositopenia yang stabil tanpa bukti adanya perdarahan, bila kadar trombositnya turun hingga < 10.000/ul. Namun beberapa klinisi memilih memberikan transfusi trombosit pada ambang yang lebih tinggi yaitu 10.000-20.000/ul pada pasien yang dalam kondisi stabil. Apabila pasien menderita demam atau infeksi, batas ambang 20.000-50.000/ ul mungkin lebih tepat. 139
Transfusi darah rasional
3. Gangguan faktor koagulasi6,10-12 Beberapa penyakit pada bayi atau anak yang timbul sebagai akibat gangguan faktor koagulasi adalah: Defisiensi faktor koagulasi herediter/ bawaan: seperti hemofilia A dan hemofilia B karena kekurangan F VIII, IX dan penyakit von Willebrand. Perdarahan oleh karena defisiensi faktor koagulasi didapat, pada defisiensi vitamin K. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), dilutional coagulopathy sebagai akibat transfusi masif atau penggantian volume. Tabel 8. Pedoman transfusi FFP 11 1. Terapi Pengganti Bila konsentrat faktor spesifik tidak tersedia, termasuk tapi tidak terbatas pada F II, V , X, dan XI, protein C atau S. PT > 1,5 x nilai tengah normal pada usia yang sesuai dan atau PTT> 1,5 x nilai normal tertinggi pada usia yang sesuai. Selama therapeutic plasma exchange jika FFP diindikasikan 2. Menetralkan warfarin pada keadaan darurat, misalnya sebelum suatu prosedur invasif dengan perdarahan aktif.
Dosis6,10-12 Dosis FFP sebesar 10-15 ml/kg BB diharapkan dapat meningkatkan kadar faktor koagulasi hingga 15-20%. Pemberian FFP pada pasien hemofilia B harus ABO kompatibel untuk mencegah terjadinya anemia hemolitik karena proses isohemaglutinin. Karena efek FFP hanya bertahan sekitar 6-12 jam, maka waktu pemberiannya harus diperhatikan untuk menghindari pemberian ulangan yang tidak diperlukan. Transfusi FFP menggunakan filter darah standar berukuran 180 mikron. Tabel 9. Faktor koagulasi dalam FFP dan waktu paruhnya15 Faktor I (fibrinogen) II (prothrombin) V (proaccelerin) VII (proconvertin) VIII (antihemophiliac factor) IX ( Christmas factor) X (Stuart-Prower factor) XI (plasma thromboplastin antecedent) XII (Hageman factor) XIII (fibrin stabilising factor) Antithrombin Protein C Protein S Fibronectin
140
Waktu paruh (jam) 72-120 72 12 2-5 8-12 24 24-40 60-80 40-50 216-240 24-60 6-8 12-60 24-72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Waktu paruh bisa memendek bila terjadi konsumsi berlebihan misalnya pada DIC, pembedahan, atau episode trombosis. Tabel 10. Pedoman Transfusi Kriopresipitat11 1. Hipofibrinogenemia atau disfibrinogenemia dengan perdarahan aktif atau akan menjalani suatu prosedur invasif. 2. Defisiensi F XIII dengan perdarahan aktif atau akan menjalani suatu prosedur invasif. 3. Terbatasnya donor kriopresipitat langsung pada episode perdarahan pada anak kecil dengan hemofilia A. 4. Penyakit von Willebrand bila DDAVP merupakan kontraindikasi atau tidak tersedia, dan bila konsentrat F VIII yang dibuat dari plasma yang diinaktivasi virusnya, yang mengandung faktor vWB, tidak tersedia. Perdarahan aktif Sebelum suatu prosedur invasif
Dosis6,10,11,12 Kriopresipitat digunakan pada hemofilia A untuk mengatasi episode perdarahan akut. Kriopresipitat juga dapat digunakan untuk terapi penyakit von Willebrand dan defisiensi fibrinogen. Dosis kriopresipitat sebesar 1-2 unit/ 10 kg BB dapat meningkatkan kadar fibrinogen anak kecil hingga 60-100 mg/dl. Pada bayi, 1 unit kriopresipitat sebagai dosis standar biasanya dapat mencukupi untuk hemostasis. Transfusi kriopresipitat menggunakan filter darah standar berukuran 180 mikron.
4. Granulositopenia11,12,16 Granulositopenia dapat terjadi karena infeksi, penekanan oleh kemoterapi, dan penggunaan obat non sitostatik seperti kotrimoksasol dan lainnya. Pada keadaan granulositopenia berat (jumlah granulosit < 500/ ul) yang berlangsung lama disertai gejala infeksi bakteri atau jamur yang tidak dapat diatasi dengan obat antibakteri dan anti jamur yang sesuai (setelah lebih dari 48 jam), transfusi granulosit perlu dipertimbangkan.16 Pemberian transfusi granulosit pada anak diindikasikan pada keadaan:11 1. Neonatus dan anak dengan neutropenia atau disfungsi granulosit disertai sepsis bakterial yang tidak responsif dengan terapi standar. 2. Neonatus dan anak dengan neutropenia yang menderita infeksi jamur dan tidak responsif dengan terapi standar.
Dosis11,12 Pada bayi, dosis 10-15 ml/kg BB dapat digunakan, dan memberikan 1x 109 hingga 2x 109 PMN/kg BB. Untuk anak yang lebih besar, dosis sekurangkurangnya 1x 1010 PMN/kg BB dapat diberikan. Konsentrat granulosit yang diperoleh melalui aferesis menghasilkan kadar yang lebih tinggi dibandingkan 141
Transfusi darah rasional
yang berasal dari buffy coats. Konsentrat granulosit harus ditransfusikan selama 1-2 jam, sepanjang dapat ditoleransi.
Darah, komponen darah dan produk turunannya1,10,12, 13,17,18, 19 Komponen darah dibuat dari darah lengkap (DL) donor yang telah dikumpul kan dalam kantong yang sudah diberi antikoagulan. Darah lengkap kemudian dipisahkan menjadi berbagai komponen untuk menjaga agar viabilitas dan fungsi masing-masing sel darah selama penyimpanan tetap optimal. Dengan teknik sentrifugasi DL dipisahkan menjadi komponen selular dan plasma. Hal ini dapat dilakukan karena sel darah merah, trombosit dan plasma mempunyai berat jenis yang berbeda sehingga DL dapat diproses menjadi berbagai komponen dan juga produk turunan lainnya. 1. Darah Lengkap ( DL, whole blood ) Deskripsi: satu unit darah yang dikumpulkan dalam kantong yang telah diberi sejumlah antikoagulan dan tidak menjalani proses lanjutan. Spesifikasi: volume 450 ml ± 10%, Hb >45 g/unit, hemolisis (pada saat kadaluarsa) < 0,8%. Umur: tergantung pada jenis antikoagulan yang digunakan. Bisa disimpan hingga 35 hari. Penyimpanan: suhu 2-60 C. Waktu maksimal yang masih diperbolehkan berada di luar suhu penyimpanannya sebelum transfusi, adalah 30 menit. Keterangan: DL yang disimpan < 24 jam pada suhu 20-24 0 C yang masih bisa diharapkan mengandung trombosit hidup, dan memiliki kadar terapetik faktor koagulasi labil, yaitu F V dan VIII. 2. Darah Lengkap Leucocyte Depleted Deskripsi: satu unit darah yang dikumpulkan dalam kantong yang telah diberi antikoagulan dan disaring/ filter untuk membuang sebagian besar leukosit. Darah mengandung sel darah merah dan komponen plasma darah donor. Spesifikasi: volume 450 ml ± 10%, Hb > 45 g/unit; hemolisis (pada saat kadaluarsa) < 0,8%, hitung lekosit < 1x 10 6/ unit. Umur: tergantung pada jenis antikoagulan yang digunakan, bisa disimpan hingga 35 hari Penyimpanan: suhu 2-60 C. Waktu maksimal yang masih diperbolehkan berada di luar suhu penyimpanannya sebelum transfusi, adalah 30 menit. Keterangan: DL yang disimpan < 24 jam pada suhu 20-24 0 C yang masih bisa diharapkan mengandung trombosit hidup, dan memiliki kadar terapetik faktor koagulasi labil, yaitu F V dan VIII. 142
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
3. Suspensi sel darah merah (PRC, Packed Red Cells) Komponen sel darah merah diperoleh dari pemisahan DL dari sebagian besar plasmanya setelah proses sentrifugasi. Komponen sel darah merah dapat diresuspensi lagi dengan cairan aditif untuk memperpanjang masa simpan. Spesifikasi: volume > 240 ml; Hb > 45 g/unit; Ht 0,50-0,75; hemolisis (pada saat kadaluarsa) < 0,8%. Umur: 42 hari pada suhu 2-60 C. Penyimpanan: suhu 2-60 C. Waktu maksimal yang masih diperbolehkan berada di luar suhu penyimpanannya sebelum transfusi, adalah 30 menit. 4. Suspensi sel darah merah Leucocyte Depleted (Leucodepleted PRC) Komponen sel darah merah diperoleh dari pemisahan DL dari sebagian besar plasmanya setelah proses sentrifugasi. Komponen sel darah merah dapat diresuspensi lagi dengan cairan aditif untuk memperpanjang masa simpan. Komponen sel darah merah difilter untuk membuang leukositnya. Spesifikasi: volume > 200 ml; Hb > 40 g/unit; Ht 0,50-0,75; hemolisis (pada saat kadaluarsa) < 0,8%; hitung lekosit < 1x 10 6/ unit. Umur: 42 hari pada suhu 2-6 0 C dengan cairan aditif. Penyimpanan: suhu 2-60 C. Waktu maksimal yang masih diperbolehkan berada di luar suhu penyimpanannya sebelum transfusi, adalah 30 menit. 5. Suspensi sel darah merah cuci (PRC Cuci, Washed Red Cells, WE, Washed Erythrocytes) Komponen ini dibuat dengan cara mencuci sel darah merah dengan cairan NaCl fisiologis, baik dengan cara manual maupun semi otomatis, dengan tujuan membuang sebagian besar plasma protein, antibodi dan elektrolit. Spesifikasi: volume > 130 ml; Hb > 40 g/unit; Ht 0,40-0,75; hemolisis (pada saat kadaluarsa) < 0,8%; setelah pencucian terakhir, protein total supernatan < 0,5 g/unit. Umur: 24 jam pada suhu 2-6 0 C setelah pencucian bila diresuspensi dengan garam fisiologis. Umur dapat lebih panjang bila diresuspensi dengan cairan aditif. Penyimpanan: suhu 2-60 C. Waktu maksimal yang masih diperbolehkan berada di luar suhu penyimpanannya sebelum transfusi, adalah 30 menit. Transfusi setiap unitnya harus diselesaikan dalam waktu 4 jam. 6. Suspensi sel darah merah beku cuci (Frozen, Thawed and Washed Red Cells) Komponen ini dibuat dengan cara membekukan sel darah merah dengan menggunakan cairan pengawet gliserol, sehingga dapat disimpan hingga 143
Transfusi darah rasional
7. 8. 9.
10.
144
10 tahun. Pada saat akan ditransfusikan, komponen ini dicairkan terlebih dahulu dan dicuci sebelum digunakan dalam waktu 24 jam. Komponen ini terutama digunakan untuk transfusi autologus pasien dengan golongan darah langka dan pada keadaan kelangkaan stok darah. Suspensi sel darah merah yang diiradiasi (Irradiated Blood) Komponen ini adalah sel darah merah yang telah diiradiasi dengan sinar gamma dosis 25-30 Gy. Tujuan iradiasi adalah untuk mematikan sel limfosit yang ada dalam produk ini. Indikasi: untuk pasien imunodefisiensi kongenital atau didapat, misalnya pada pasien pasca transplantasi organ atau sumsum tulang dan juga pada neonatus. Masa simpan: 28 hari setelah iradiasi. Konsentrat trombosit Deskripsi: konsentrat trombosit dibuat dari hasil pemisahan satu unit DL dan kemudian disuspensi dengan sedikit plasmanya. Spesifikasi: volume 40-60 ml, hitung trombosit > 55 x 10 9/ unit. pH (pada saat kadaluarsa) 6,8-7,4 ; hitung lekosit < 0,2 x 10 9/ unit. Umur: 5 hari pada suhu 20- 24 0 C. Penyimpanan: pada suhu 20-24 0 C. Selama penyimpanan trombosit harus diagitasi dalam inkubator. Konsentrat trombosit aferesis Deskripsi: Konsentrat trombosit yang diproduksi dari seorang donor trombosit dengan menggunakan mesin aferesis. Trombosit dan sejumlah plasma ditampung dalam kantong yang telah diberi cairan nutrien aditif. Sedangkan komponen lain yang tidak diperlukan dikembalikan ke tubuh donor. Spesifikasi: volume > 100 ml, hitung trombosit > 240 x 10 9/ unit, pH (pada saat kadaluarsa) 6,8-7,4 ; hitung lekosit < 1,0 x 10 9/ unit. Umur: 5 hari pada suhu 20- 24 0 C. Penyimpanan: pada suhu 20-24 0 C. Selama penyimpanan trombosit harus diagitasi dalam inkubator. Konsentrat trombosit aferesis Leucocyte Depleted Deskripsi: Konsentrat trombosit yang diproduksi dari seorang donor trombosit dengan menggunakan mesin aferesis. Trombosit dan sejumlah plasma ditampung dalam kantong yang telah diberi cairan nutrien aditif. Sedangkan komponen lain yang tidak diperlukan dikembalikan ke tubuh donor. Deplesi leukosit dilakukan selama atau segera setelah pengumpulan. Spesifikasi: volume > 100 ml, hitung trombosit > 240 x 10 9/ unit, pH (pada saat kadaluarsa) 6,8-7,4 ; hitung lekosit < 1,0 x 10 9/ unit. Umur: 5 hari pada suhu 20- 24 0 C. Penyimpanan: pada suhu 20-24 0 C. Selama penyimpanan trombosit harus diagitasi dalam inkubator.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
11. Plasma segar beku (FFP, Fresh Frozen Plasma) Deskripsi: Plasma segar beku dibuat dengan cara pemisahan plasma dari DL dan dilakukan pembekuan dalam waktu 8 jam setelah pengumpulan DL. Satu unit FFP mengandung semua faktor pembekuan, termasuk kira kira 200 unit F VIII dan F V. Spesifikasi: volume 150-300 ml, F VIIIc > 0,7 IU/ml. Umur : 12 bulan pada suhu - 25 0 C atau kurang. Penyimpanan: pada suhu -25 0 C atau kurang. 12. Plasma cair (Liquid Plasma ) Deskripsi: Plasma cair adalah suatu produk yang dihasilkan dari proses pemisahan 1 unit DL. Kandungan: Plasma cair tidak mengandung faktor koagulasi labil (F V dan VIII). Plasma cair mengandung faktor koagulasi stabil, yaitu F II, VII, IX, X, XI. Penyimpanan: pada suhu 4 0 C. 13. Kriopresipitat (Cryoprecipitate) Deskripsi: Kriopresipitat dibuat dari FFP dengan cara mencairkan secara perlahan (thawing) pada suhu 1-6 C0. Presipitat (cryo) akan terpisah dari supernatan dan dibekukan kembali. Kriopresipitat mengandung F VIII, fibrinogen, F XIII, vWF, dan fibronectin dari FFP. Spesifikasi: volume 10- 40 ml, fibrinogen > 140 mg/ unit, F VIII c> 70 IU/ unit. Umur : 12 bulan pada suhu - 25 0 C atau kurang. Penyimpanan: pada suhu -25 0 C atau kurang. 14. Kriopresipitat aferesis Deskripsi: Kriopresipitat aferesis dibuat dari FFP aferesis dengan cara mencairkan secara perlahan (thawing) pada suhu 1-6 C0. Kriopresipitat aferesis mengandung F VIII dan fibrinogen. Spesifikasi: volume 60 ml ± 10%, fibrinogen > 140 mg/ unit, F VIII c> 70 IU/ unit. Umur : 12 bulan pada suhu - 25 0 C atau kurang. Penyimpanan: pada suhu -25 0 C atau kurang. 15. Konsentrat granulosit (Granulocyte Concentrate) Konsentrat ini diperoleh dengan cara leukoferesis atau sentrifugasi DL. Leukoferesis merupakan suatu cara untuk mendapatkan konsentrat granulosit, sedangkan sentrifugasi DL menghasilkan granulosit dengan fungsi tidak adekuat yang disebut buffy coat. Sediaan ini diindikasikan pada sepsis atau neutropenia berat (PMN < 500/µl). Transfusi komponen ini harus ABO kompatibel karena pada proses pe ngumpulan granulosit masih mengandung 25 – 50 ml sel darah merah. Suhu penyimpanan 20-24º C, dan harus segera diberikan karena masa simpannya 24 jam dan diberikan perlahan selama 2-4 jam. 145
Transfusi darah rasional
16. Albumin Albumin dibuat dengan cara mengumpulkan ribuan plasma donor dengan teknik fraksionasi etanol dingin. Larutan albumin tidak mengandung bakterisid atau antibiotik. Produk akhir disterilkan melalui filtrasi, lalu dipanaskan selama 10 jam pada suhu 59,5°-60,5°C untuk menginaktivasi virus yang mengkontaminasi.
Reaksi simpang transfusi 17,20,21 Transfusi merupakan suatu tindakan medis yang mempunyai banyak risiko. Risiko yang timbul karena prosedur ini termasuk dalam suatu kelompok besar yang disebut sebagai reaksi simpang transfusi (transfusion related adverse events). Unit Transfusi Darah secara internasional telah melakukan skrining, baik melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, maupun laboratoris untuk mendeteksi retrovirus, hepatitis, dan sifilis, tetapi tidak secara total mengeliminasi kemung kinan penularan infeksi virus, sehingga perlu disertai usaha untuk mengurangi tindakan transfusi seminimal mungkin.20,21 Berdasarkan waktu manifestasinya reaksi transfusi dibagi menjadi: 1. Reaksi Transfusi Tipe Cepat Reaksi terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemberian transfusi. Gejala yang sering terlihat pada anak adalah adalah demam atau reaksi alergi. Reaksi lainnya berupa reaksi hemolitik tipe cepat, baik karena mekanisme imun atau non imun, kelebihan sirkulasi, Transfusion-related acute lung injury (TRALI), kontaminasi bakteri, hipotermi, hiperkalemi, hipokalsemi dan hipoglikemi. 2. Reaksi Transfusi Tipe Lambat Reaksi hemolitik tipe lambat biasanya terjadi 4 - 7 hari bahkan ada yang terjadi setelah 21 hari transfusi. Reaksi transfusi tipe lambat lainnya adalah graft versus host disease (GVHD) yang terjadi karena dihancurkannya limfosit resipien yang dalam keadaan imunokompromais oleh limfosit donor yang akan menimbulkan gejala peradangan (inflammatory response). Hal ini terjadi karena ketidak cocokan HLA (human leucocyte antigen), yang biasanya timbul 4 - 30 hari pasca transfusi dengan gejala kemerahan pada kulit, kerusakan mukosa mulut, diare dan gejala lain akibat kerusakan hati. Efek samping transfusi lainnya yatu hemosiderosis atau penimbunan besi terjadi pada pasien yang mendapat transfusi berulang seperti pada thalassemia dan anemia aplastik. Untuk mencegah hal tersebut perlu diberikan terapi kelasi besi. Dampak buruk transfusi lainnya adalah penularan penyakit IMLTD yang mempunyai masa inkubasi lama seperti HIV.
146
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lII
Adapun reaksi simpang transfusi yang mungkin timbul selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 11. Reaksi simpang transfusi13 Reaksi Simpang Transfusi
Insidens
Alergi Febrile non haemolytic transfusion reaction
1-3% infus plasma 1:100
Kelebihan cairan (circulatory overload) Reaksi transfusi hemolitik lambat Transfusion-related acute lung injury (TRALI) Inkompatibilitas ABO
Mencapai 1 % pasien 1: 4,000-9,000 1: 5,000-10000
Infeksi bakteri Reaksi anafilaktoid atau anafilaksis Infeksi virus
Classical Creutzfeldt- Jacob Disease (cCJD) Variant Creutzfeldt- Jacob Disease (vCJD) Purpura Pasca Transfusi Transfusion-acquired Graft-versus-host disease (TA-GVHD) Komplikasi metabolik Kelebihan zat besi (iron overload) Immune modulation
Bervariasi, dilaporkan 1:12000- 77,000 1: 100000 (under reported) 1: 20,000-170,000 HIV: 1:4,808,000 Hepatitis C: 1: 3,12,000 Hepatitis B: 1: 971,000 HTLV I/II kurang dari 1: 1 juta Tidak ada laporan, studi retrospektif melaporkan kemungkinan transmisi cCJD kecil Tidak ada laporan pada manusia. Secara teori transmisi cCJD lewat transfusi tidak diketahui Jarang Jarang Bervariasi Belum diketahui
Kesimpulan Mengingat transfusi darah merupakan suatu tindakan yang penuh risiko, maka setiap dokter harus menjalankan praktek transfusi secara rasional dengan memperhatikan risk and benefit ratio, agar dampak buruk reaksi simpang transfusi dapat diminimalkan.
Daftar Pustaka 1. Westphal RG. Handbook of Transfusion Medicine, Edisi ke-3. American Red Cross Blood Services; Washington, USA, 1996. 2. Lou J. New Trends in Blood Transfusion. Dalam: Gatot D, Abdulsalam M, Windiastuti E. Darah dan Tumbuh Kembang : Aspek Transfusi. Naskah Lengkap PKB IKA XLI FKUI, 24-25 Juni 1998, Jakarta. p71. 3. Gupte S. The Textbook of Blood Banks and Transfusion Medicine. Edisi ke-1. Jay Pee Brothers Medical Publisher, New Delhi, 2000.
147
Transfusi darah rasional
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20. 21.
148
Moeslichan S. Darah dan Tumbuh Kembang. Dalam: Gatot D, Abdulsalam M, Windiastuti E. Darah dan Tumbuh Kembang : Aspek Transfusi. Naskah Lengkap PKB IKA XLI FKUI, 24-25 Juni 1998, Jakarta. p1-8. Moeslichan S. Kajian Pediatrik terhadap Transfusi Darah. Pidato Pengukuhan Guru Besar FKUI, Jakarta 16 Agustus 1995. Windiastuti E. Transfusi Komponen Darah Secara Rasional. Dalam: Gatot D, Abdulsalam M, Windiastuti E. Darah dan Tumbuh Kembang : Aspek Transfusi. Naskah Lengkap PKB IKA XLI FKUI, 24-25 Juni 1998, Jakarta. p9-21. Sudarmanto B, Tamam M, Sumantri AG. Transfusi Darah dan Transplantasi. Dalam: Permono B, Sutaryo, Abdulsalam M, dkk. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cet ke 2, IDAI 2008, p217-226. New HV. Pediatric Transfusion. Vox Sanguinis (2006) 90, 1-9. Murray NA, Roberts IAG. Neonatal Transfusion Practices. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2004;89:F101. World Health Organization. The Clinical Use of Blood. WHO. Blood Transfusion Safety, Geneva, 2001. Roseff SD. Pediatric Transfusion. A Physician’s Handbook. Edisi ke-1., American Association Of Blood Banks, Bethesda, USA 2003. Triulzi DJ. Blood Transfusion Therapy. A Physician’s Handbook. Edisi ke-7. American Association Of Blood Banks, Bethesda, USA 2002. Australian Red Cross Blood Service. Transfusion Medicine Manual Book 2003. Australia: Australian Red Cross Blood Service, 2003 Gatot D. Transfusi Darah pada Anak, Buletin Transfusi Darah: no.383 Juli 2005 Th. Ke XXXI, Jakarta. Cohen H, Kernoff PBA, Colvin BBT. Plasma, Plasma Products and Indications for their Use. In: Contreras M. ABC of Transfusion, edisi ke-3. BMJ Books Publishing Group, London, 1998. Gatot D. Transfusi pada Penyakit Keganasan. Dalam: Gatot D, Abdulsalam M, Windiastuti E. Darah dan Tumbuh Kembang : Aspek Transfusi. Naskah Lengkap PKB IKA XLI FKUI, 24-25 Juni 1998, Jakarta. p53-62. AABB Technical Manual, edisi ke-12. American Association of Blood Banks, Bethesda Maryland, USA, 2002. Australian Red Cross Blood Service. Circular of Information: An Extension of Blood Components Labels. Australia: Australian Red Cross Blood Service, 2003. Azis A. Penyediaan Darah yang Aman serta Pemilihannya. Disampaikan dalam Simposium Pemanfaatan Darah Transfusi Secara Rasional dalam Sistem Penyediaan Darah yang Aman untuk Rumah Sakit. Hotel Menara Peninsula, Jakarta, 20 Oktober 2003. De Palma L, Luban NLC. Blood Component Therapy in The Perinatal Period: Guidelines and Recommendations. Pediatrics 1993;91:530-536. Strauss RG. Transfusions Therapy in Neonates. AJDC 1991;145:904-911.