BAB 2 SELEKSI DAN URAIAN PROSES 2.1
Seleksi Proses Gasifikasi
Gasifikasi merupakan kumpulan proses yang mengkonversi bahan bakar padat atau cair menjadi gas yang mudah terbakar (Basu, 2006: 2006 : 59). Gasifikasi batu bara pada prinsipnya prinsipn ya adalah suatu proses penghasilan gas sintesis (syngas) yang mudah terbakar dari batu bara. Pada umumnya, gasifikasi meliputi reaksi karbon dengan udara, O2, steam, CO2, atau campuran dari gas-gas tersebut pada suhu 700oC atau lebih untuk dapat menghasilkan produk gas yang dapat digunakan sebagai sumber panas atau bahan baku industri petrokimia. Setiap materi karbon baik liquid ataupun ataupu n solid diubah menjadi gas, zat yang tidak diharapkan seperti sulfur dan abu dihilangkan dari gas. (Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 5-6) Pada proses gasifikasi, bahan yang masuk akan mengalami hidrogenasi. hidrogen asi. Hal ini berarti hidrogen ditambahkan pada sistem secara langsung atau tak langsung atau bahan dipirolisis untuk menghilangkan karbon untuk menghasilkan produk dengan rasio hidrogen karbon yang lebih tinggi dari bahan. Proses ini dapat dilaksanakan secara terpisah atau bersamasama. (Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 7) Pada proses hidrogenasi tak langsung, steam digunakan sebagai sumber hidrogen dan hidrogen dihasilkan dalam reaktor gasifikasi. Proses hidrogenasi tak langsung dikenal juga sebagai proses gasifikasi udara atau oksigen, tergantung apakah udara atau oksigen yang digunakan sebagai sumber oksidan. Jika gasifikasi tidak menggunakan oksidan, melainkan hanya steam dan panas, maka gasifikasi tersebut disebut steam reforming . Selain itu, sedang dikembangkan proses gasifikasi katalitik. Katalis digunakan untuk menghasilkan gas H2 dan CO pada temperatur yang rendah. Namun, rintangan terbesar untuk mengkomersialisasi proses ini adalah katalis kat alis sangat mudah terdeaktivasi terdeak tivasi dan cost proses proses yang masih tinggi. (Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 7) Pada proses hidrogenasi langsung, bahan dipaparkan pada hidrogen pada tekanan tinggi untuk menghasilkan gas dengan kandungan metana yang lebih tinggi daripada proses hidrogenasi tak langsung. Proses hidrogenasi secara langsung juga disebut sebagai proses hidrogasifikasi. Proses ini biasanya digunakan untuk memproduksi SNG. (Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 7)
14
Sumber: Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 6 Gambar 2.1 Metode Gasifikasi
Berdasarkan produk yang dihasilkan maka dipilih proses gasifikasi dengan hidrogenasi tak langsung menggunakan steam sebagai sumber hidrogen dan menggunakan O2 sebagai oksidan.
2.2
Seleksi Gasifier
Terdapat 3 jenis penggas ( gasifier gasifier ) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batu bara, yaitu tipe moving-bed , fluidized-bed , dan entrained-flow.
2.2.1 Moving-Bed Gasifier
yang tertua dibandingkan dengan tipe gasifier yang yang Moving-bed adalah tipe gasifier yang lainnya. Dalam tipe gasifier ini ini ada dua bagian penting yang berlangsung, yaitu gas process dan water gas process . Keduanya memegang peranan penting pada awal proses producer dan produksi syngas dari batu bara. Dalam moving bed batu batu bara yang menjadi umpan reaktor berukuran <50 mm. Batu bara tersebut diumpankan dari atas reaktor dan akan terjadi tumpukan karena adanya gaya berat dari setiap partikel batu bara. Sedangkan steam dan udara (O2) dihembuskan dari arah yang berlawanan dengan arah masuknya batu bara, yakni
15
Sumber: Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 6 Gambar 2.1 Metode Gasifikasi
Berdasarkan produk yang dihasilkan maka dipilih proses gasifikasi dengan hidrogenasi tak langsung menggunakan steam sebagai sumber hidrogen dan menggunakan O2 sebagai oksidan.
2.2
Seleksi Gasifier
Terdapat 3 jenis penggas ( gasifier gasifier ) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batu bara, yaitu tipe moving-bed , fluidized-bed , dan entrained-flow.
2.2.1 Moving-Bed Gasifier
yang tertua dibandingkan dengan tipe gasifier yang yang Moving-bed adalah tipe gasifier yang lainnya. Dalam tipe gasifier ini ini ada dua bagian penting yang berlangsung, yaitu gas process dan water gas process . Keduanya memegang peranan penting pada awal proses producer dan produksi syngas dari batu bara. Dalam moving bed batu batu bara yang menjadi umpan reaktor berukuran <50 mm. Batu bara tersebut diumpankan dari atas reaktor dan akan terjadi tumpukan karena adanya gaya berat dari setiap partikel batu bara. Sedangkan steam dan udara (O2) dihembuskan dari arah yang berlawanan dengan arah masuknya batu bara, yakni
15
dari bagian bawah reaktor. Selanjutnya batu bara, steam dan udara (O2) ini akan bereaksi membentuk syngas. Mekanisme ini akan menyebabkan batu bara turun pelan-pelan selama proses, sehingga waktu tinggal (residence time) batu bara adalah lama yaitu sekitar 1 jam. Proses gasifikasi dengan menggunakan tipe gasifier ini menghasilkan produk sisa berupa abu. (Higman & Burgt, 2003: 87) Tipe gasifier moving-bed ini beroperasi pada suhu relatif yang rendah, yakni sekitar gasifier moving-bed ini 900oC, oleh sebab itu batu bara yang akan menjadi umpan harus memiliki suhu leleh abu (ash fusion temperature ) yang tinggi. Hal ini bertujuan agar abu tidak meleleh, karena apabila abu meleleh maka abu akan mengumpul di bagian bawah alat dan dapat menyumbat bagian tersebut. Hal ini akan a kan mengganggu proses gasifikasi yang terjadi. terjadi . Contoh: Lurgi Dry Ash Gasifier , British Gas Lurgi Gasifier , Ruhr 100 Gasifier . (Basu, 2006: 74)
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 90 Gambar 2.2 Moving-Bed Gasifier
Kelebihan gasifier tipe tipe moving-bed :
Sangat cocok untuk skala kecil dan mudah dalam desain serta pengoperasiannya.
Membutuhkan udara (O2) dalam jumlah yang sedikit.
Kekurangan gasifier tipe tipe moving-bed :
Sulit menjaga temperatur pada bed .
Kurang memadai dalam hal pencampuran gas untuk keperluan gasifikasi.
16
Syngas yang dihasilkan sulit sekali diprediksi sehingga kurang sesuai apabila
dipergunakan untuk produksi dalam skala besar.
Banyak menghasilkan N2 sehingga heating value produk gasifikasi rendah.
Kandungan tar dalam gas tinggi. (Basu, 2006: 64 ; Higman & Burgt, 2003: 87)
2.2.2 Fluidized-Bed Gasifier
Dalam fluidized-bed gasifier , batu bara yang digunakan lebih halus ukurannya, yakni <10 mm. Di dalam bed , steam, O2, dan batu bara tercampur dengan sempurna. Gaya gravitasi dari serbuk batu bara akan seimbang dengan gaya dorong ke atas steam dan O2 sehingga partikel batu bara ada dalam kondisi mengambang saat gasifikasi terjadi. Karena itu, zona drying , pyrolysis, oksidasi, dan reduksi tak dapat dibedakan, tapi suhu dalam bed sama di
semua titik. Bagaimanapun, gas hasil gasifikasi tetap mengandung sebagian kecil tar yang perlu dipisahkan. (Basu, 2006: 74) Tipikal gasifier ini memasukkan bahan bakarnya dari samping ( side feeding ) dan oksidan dari bagian bawah. Oksidan di sini selain sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media pengambang dari batu bara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed dan entrained flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. (Higman & Burgt, 2003: 100) Karena gasifier ini beroperasi pada suhu sekitar 950-1100oC, maka batu bara yang akan diproses harus memiliki temperatur melunak abu (softening temperature) di atas suhu operasional tersebut. Hal ini bertujuan agar abu yang dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat mengakibatkan terganggunya kondisi lapisan mengambang. Gasifier ini banyak digunakan untuk memproses batu bara peringkat rendah seperti lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis batu bara yang lain. Pengembangan lebih lanjut teknologi gasifier jenis ini sangat diharapkan untuk dapat mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batu bara peringkat rendah, biomassa, dan limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste).
17
Contoh: Winkler Gasifier , High Temperature Winkler (HTW) Gasifier , Kellog Brown and Root (KBR) Transport Gasifier , Kellog Rust Westinghouse (KRW) Gasifier , UGas Gasifier , Foster-Wheeler Partial Gasifier . (Higman & Burgt, 2003: 101-128)
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 99 Gambar 2.3 Fluidized-Bed Gasifier
Kelebihan gasifier tipe fluidized-bed :
Kondisi temperatur dalam bed dapat lebih dikontrol karena proses pencampuran yang baik.
Sesuai digunakan dalam skala industri. Heat transfer dan mass transfer antara gas dan partikel solid lebih sempurna.
Semua tipe batu bara dapat menjadi umpan dalam gasifier ini. Ash tidak meleleh sehingga proses pemisahannya mudah.
Kekurangan gasifier tipe fluidized-bed :
Konversi karbon yang cukup rendah.
Masih ada sebagian tar yang terbentuk. (Basu, 2006: 74 ; Higman & Burgt, 2003: 100)
18
2.2.3 Entrained-Flow Gasifier
Dalam entrained-flow kontak antara serbuk batu bara dengan steam dan udara (O2) dibuat sangat cepat sekali. Umpan yang digunakan untuk batu bara bisa berupa slurry feed maupun dry feed . Ukuran batu bara yang masuk sangat halus, berukuran <0,1 mm. (Higman & Burgt, 2003: 110) Batu bara serbuk ini disemburkan ke gasifier bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa oksigen atau udara. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200-1500oC, dengan waktu tinggal batu bara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi, pada dasarnya tidak ada batasan jenis batu bara yang akan digunakan karena abunya akan meleleh membentuk material seperti gelas ( glassy slag ) yang bersifat inert. Meski demikian, batu bara sub-bituminous sampai dengan anthracite lebih disukai untuk gasifier jenis ini. Lignit atau brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi yang besar. Meskipun abu akan meleleh membentuk slag , tapi batu bara berkadar abu tinggi sebaiknya dihindari pula karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu dalam jumlah banyak. Batu bara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan kapur (limestone) untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada gasifier pun dapat ditekan. Gasifikasi suhu tinggi pada gasifier ini menyebabkan kandungan metana dalam gas sintetik sangat sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat diperoleh. Contoh:
Koppers-Totzek Gasifier , Shell Gasifier , Prenflo (PRessurized Entrained-FLOw) Gasifier , Texaco Gasifier , Noell Gasifier , E-Gas Gasifier , Clean Coal Power
(CCP) Gasifier , Eagle Gasifier , Siemens Gasifier , Mitsubishi Heavy Industri (MHI) Gasifier . (Higman & Burgt, 2003: 109-139)
19
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 112 Gambar 2.4 Dry-Coal Feed Entrained-Flow Gasifier
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 111 Gambar 2.5 Coal-Water Slurry Feed Entrained-Flow Gasifier
Kelebihan gasifier tipe entrained-flow:
Bisa digunakan untuk jenis batu bara apa saja (grade rendah- grade tinggi).
Waktu kontak sangat cepat sehingga proses penggerombolan partikel dapat diminimalisasi.
Gas yang dihasilkan bebas tar .
20
Konversi karbon yang sangat tinggi (hampir 100%). Ash yang dihasilkan adalah inert, hal ini terjadi karena banyaknya O2 yang digunakan.
Sangat cocok digunakan pada skala industri karena hasil gasifikasi yang banyak.
Kekurangan gasifier tipe entrained-flow:
Membutuhkan O2 dalam jumlah yang besar.
Gas yang dihasilkan bersuhu sangat tinggi.
Sulitnya pendinginan gas yang keluar dari gasifier .
Sulitnya pemilihan konstruksi pada combustion zone dikarenakan tingginya suhu pada zone tersebut.
Ukuran reaktor lebih besar untuk space evaporasi air (jika menggunakan coal-water slurry feed ).
(Basu, 2006: 64 ; Higman & Burgt, 2003: 109-111)
Tabel 2.1 Perbandingan Jenis-Jenis Gasifier
Parameter
Moving-bed
Fluidized-bed
Entrained-flow
Ukuran partikel
<50 mm
<10 mm
<0,1 mm
Metode kontak
Counter-current .
Counter-current .
Co-current dan
Batu bara
Batu bara
down-flow. Batu
menumpuk dalam
terfluidisasi.
bara terfluidisasi.
Batu bara grade
Batu bara grade
Dapat
rendah (lignite).
rendah (lignite s.d.
menggasifikasi
Tidak bisa
sub-bituminous) dan
semua tipe batu
digunakan untuk
biomassa.
bara. Tidak cocok
gasifier .
Tipe batu bara
caking coal (batu
untuk biomassa.
bara yang memiliki kerapatan besar/sangat padat). Kandungan gas
Mengandung tar ,
Kandungan ash-dust
Gas bebas tar dan
keluar gasifier
phenol , naphta,
tinggi dengan
phenol serta
trace, amonia, ash-
sebagian kecil tar .
sedikit ash.
dust .
21
Toleransi kekasaran
Sangat baik
Baik
Buruk
Toleransi jenis
Batu bara kualitas
Batu bara kualitas
Segala jenis batu
partikel
rendah.
rendah dan
bara, tetapi tidak
biomassa.
cocok untuk
partikel
biomassa. Kebutuhan oksidan
Rendah
Menengah
Tinggi
Kebutuhan steam
Tinggi
Menengah
Rendah
Temperatur reaksi
1090°C
800-1000°C
>1990°C
Temperatur gas
450-650°C
800-1000°C
>1260°C
Efisiensi gas dingin
80%
89,2%
80%
Konversi batu bara
99%
97%
99%
Skala kecil
Skala menengah-
Skala besar
keluar gasifier
menjadi syngas Aplikasi
besar Masalah dalam
Produksi tar
Konversi karbon
aplikasi
Pendinginan raw syngas Sumber: Basu, 2006: 64
Berikut ini adalah adalah aspek yang menjadi parameter dalam pemilihan gasifier .
Konversi. Konversi
selalu
menjadi
salah
satu parameter dalam pemilihan
reaktor,
karena konversi menyatakan seberapa besar karbon dalam batu bara dapat bereaksi dengan media gasifikasi (oksigen dan steam). Fluidized-bed gasifier memiliki konversi yang terendah di antara kedua bed lainnya, namun dengan menggunakan teknologi HTW (adanya mekanisme recycle), konversi karbon dapat setara dengan kedua bed tersebut (Basu, 2006: 74).
Jumlah media gasifikasi. Media menjadi
gasifikasi
yang
parameter
digunakan
di sini
adalah steam dan
adalah
jumlah
media
oksigen,
dimana
gasifikasinya.
yang
Semakin
banyak jumlah yang dibutuhkan, maka akan berdampak pada biaya utilitas yang dibutuhkan yang nantinya akan berpengaruh secara ekonomi. Konsumsi media
22
gasifikasi fluidized-bed , baik oksigen maupun steam berada di tengah-tengah. Artinya, ketiga jenis bed tersebut memiliki poin yang sama berdasarkan media gasifikasi.
Feedstock (coal rank ).
Yang
dimaksud
yang
menjadi
dengan feedstock ini adalah jenis batu bara umpan
masukan. Karena
di
Indonesia
(coal rank )
ini batu bara
yang
dihasilkan bervariasi jenisnya. Untuk low rank coal (lignite – sub-bituminous), penggunaan entrained-flow bed kurang menarik sebab kandungan air low rank coal masih cukup tinggi
sehingga tidak ekonomis menggunakan jenis bed tersebut karena membutuhkan banyak steam (Higman & Burgt, 2003: 111). Untuk moving-bed dan fluidized-bed memiliki poin
yang sama, sebab keduanya cocok digunakan untuk feedstock low rank coal .
Purity syngas (kemurnian syngas).
Produk
yang
dihasilkan
berupa
gas
yang
tentunya
diharapkan
kemurniannya, terutama dari kandungan tar . Di antara ketiga jenis bed tersebut, moving bed yang paling banyak menghasilkan tar , sedangkan entrained-flow yang paling sedikit. Di lain pihak, kandungan tar dalam fluidized-bed dapat ditekan jika suhu pirolisis dapat mencapai 1100-1200oC. Jika suhu tersebut tercapai, maka tar dapat terurai menjadi hidrokarbon ringan. (Basu, 2006: 65).
Cost . Cost atau biaya merupakan harga investasi dari unit reaktor yang digunakan.
Semakin tinggi suhu reaksi dalam gasifier , maka investasi untuk reaktor akan semakin tinggi karena dibutuhkan material yang tahan akan suhu panas. Jika dilihat dari suhu reaksinya, entrained-flow membutuhkan investasi yang paling besar sebab suhu reaksinya yang paling tinggi. Sedangkan untuk moving-bed dan fluidized-bed , seperti yang telah diringkaskan pada Tabel 2.1, range suhu reaksi dalam gasifier hampir sama sehingga dapat dianggap investasinya sama. (Habiburrohman, 2012: 30) Kelima parameter diatas akan ditentukan urutan prioritasnya menggunakan software Expert Choice, hasil dari pembobotan dapat dilihat pada tabel berikut.
23
Tabel 2.2 Hasil Pembobotan Setiap Parameter Pemilihan Reaktor
Parameter
Bobot
Konversi
0,107
Jumlah media gasifikasi
0,079
Feedstock (coal rank )
0,334
Purity syngas
0,235
Cost
0,246 Sumber: Habiburrohman, 2012: 31
Dari Tabel 2.2 terlihat bahwa urutan prioritas secara berurutan adalah feedstock (0,334), cost (0,246), kemurnian syngas (0,235), konversi (0,107), dan terakhir media gasifikasi (0,079).
Batu bara yang digunakan bisa jadi bervariasi jenisnya sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Dalam hal ini maka kemampuan fleksibilitas reaktor dalam memroses semua jenis batu bara (coal rank ) sebagai umpan dan dengan hasil produk yang masih stabil sangat penting. Oleh karena, itu feedstock menjadi parameter utama dalam pemilihan ini. Kedua disusul oleh cost yang merupakan harga investasi
dimana
akan
berpengaruh
terhadap
analisis
keekonomian. Faktor ketiga adalah kemurian syngas, hal ini penting karena syngas yang dihasilkan akan dijadikan sebagai bahan baku pupuk yang membutuhkan kemurnian dan rasio H/C yang cukup ketat. Selain itu, semakin murni maka akan berdampak pada treatment yang lebih mudah dan lebih ekonomis. Dan dua parameter yang terakhir adalah konversi dan media gasifikasi. Berikutnya akan dilakukan pemilihan reaktor yang ada berdasarkan parameter paramater yang telah ditentukan. Dalam pemilihan ini juga digunakan software Expert Choice, hasil penilaian disajikan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Hasil Penilaian Setiap Reaktor terhadap Setiap Parameter
Parameter
Moving-bed
Fluidized-bed
Entrained-flow
Konversi
0,540
0,163
0,297
Jumlah media gasifikasi
0,484
0,349
0,168
Feedstock (coal rank )
0,122
0,648
0,230
Purity syngas
0,122
0,320
0,558
Cost
0,297
0,540
0,163
1,565
2,02
1,416
Hasil
Sumber: Habiburrohman, 2012: 31
24
Pada Tabel 2.3 terlihat bahwa untuk setiap jenis reaktor sebenarnya mempunyai kelebihan masing-masing, seperti moving-bed yang mempunyai kelebihan dalam hal konversinya yang besar dan jumlah media gasifikasi yang kecil. Entrained-bed dengan kemurnian produknya yang tinggi, dan fluidized-bed dengan jenis batu bara sebagai umpannya dapat bervariasi. Setiap nilai tersebut akan digabungkan dan hasilnya akan dipilih reaktor dengan nilai paling besar. Dari hasil pembobotan pada Tabel 2.3, maka ditetapkan bahwa gasifier yang digunakan adalah jenis fluidized-bed . Jenis gasifier ini terpilih karena jenis batu bara sebagai masukan dapat bervariasi yang merupakan parameter utama, selain itu cost dari jenis ini lebih ekonomis daripada jenis lainnya. (Habiburrohman, 2012: 32)
2.3
Seleksi Oksidan
Ada dua oksidan yang biasa dipakai pada proses gasifikasi, yaitu udara, yang jumlahnya tak terbatas di sekitar gasifier , dan oksigen, yang perlu dipisahkan dulu dari udara dengan biaya tertentu. Pilihan alternatif lain adalah dengan menggunakan udara yang kandungan oksigennya lebih tinggi daripada udara biasa. Gasifikasi skala besar menggunakan oksigen dengan kemurnian yang tinggi (>90%). Hal ini disebabkan karena gas hasil gasifikasi biasa digunakan sebagai bahan baku industri chemicals dan petrochemicals dimana adanya nitrogen dengan jumlah yang besar akan
memperburuk proses sintesis produk dari industri-industri tersebut. Contohnya, untuk produksi amonia, gas hasil gasifikasi harus menggunakan oksidan dengan jumlah nitrogen maksimal 30%. Namun, kriteria ini tak berlaku untuk aplikasi pada pembangkit energi. Untuk gasifikasi waste dan biomassa, penggunaan udara sebagai oksidan lebih disukai. (Higman & Burgt, 2003: 219) Jadi, sebagai oksidan akan digunakan oksigen dengan kemurnian yang tinggi, yakni 98%. Hal ini karena: 1. Produk syngas akan digunakan untuk industri pupuk ( petrochemicals). 2. Jika digunakan udara, kandungan N2 yang tinggi (inert ) akan membebani gasifier sehingga dikhawatirkan suhu dalam gasifier tidak dapat mencapai 1.000oC seperti apa yang diinginkan. Apabila suhu tersebut tak tercapai, reaksi gasifikasi yang terjadi tidak dapat maksimal, dan juga dikhawatirkan konversi karbonnya rendah. Oleh karena itu, oksigen dengan kemurnian tinggi diharapkan mampu menyediakan energi yang cukup untuk reaksi gasifikasi dan juga agar konversi karbonnya tinggi. Jika tetap menggunakan udara, maka dibutuhkan volume yang lebih besar untuk menyamai volume oksigen 25
berkadar tinggi, sebab kandungan oksigen dalam udara kecil. Dengan demikian diperlukan ukuran gasifier yang lebih besar. Ini akan mempengaruhi biaya pengadaan alat. 3. Dari awal, tujuan syngas ini adalah untuk mensubstitusi pemakaian gas alam oleh PT Pusri. Kita tahu bahwa sintesis amonia berjalan menurut reaksi: 3H2 ( g ) + N2 ( g )
2NH3 ( g )
Prioritas utama pemakaian gas alam adalah untuk menghasilkan H2 karena secara teoretis dibutuhkan 3 mol H2 untuk bereaksi dengan 1 mol N2. Secara alamiah pastilah kita akan memprioritaskan kebutuhan bahan baku yang lebih besar, apalagi N2 nantinya akan diperoleh dengan mudah dari udara. Oleh karena itu, diharapkan syngas yang digunakan sebagai pensubstitusi gas alam ini rendah kandungan N2 sehingga yield produk H2 akan lebih besar seperti yang akan dipaparkan sebagai berikut. Sebelum digunakan untuk sintesis amonia, dilakukan steam reforming terlebih dahulu terhadap gas alam untuk menghasilkan hidrogen menurut reaksi: CH4 ( g ) + H2O ( g )
CO ( g ) + 3H2 ( g )
ΔH
= +206 kJ
CO ( g ) + H2O ( g )
CO2 ( g ) + H2 ( g )
ΔH
= -41 kJ (Liu, 2006: 19)
Secara keseluruhan, reaksi steam reforming adalah reaksi endotermis sehingga dibutuhkan furnace untuk menaikkan temperatur reaksi. Bahan bakar yang digunakan pada furnace adalah gas alam itu sendiri. Fungsi produk syngas di sini selain sebagai substitusi gas alam sebagai bahan baku, juga bisa bertindak sebagai pengganti gas alam yang digunakan untuk bahan bakar furnace. Dengan demikian, pemakaian gas alam dapat diminimalisasi. Setelah melalui steam reforming , kandungan CO dalam gas masih cukup besar. Untuk memperbesar yield dari H2, maka gas akan diproses di shift converter reactor menurut reaksi:
CO ( g ) + H2O ( g )
CO2 ( g ) + H2 ( g )
ΔH
= -41 kJ
(pusri.co.id/ina/amonia-proses-produksi-amonia) Diharapkan kandungan CO yang tinggi dalam syngas dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan gas H2 yang akan digunakan sebagai bahan baku sintesis amonia yang kemudian akan digunakan untuk sintesis urea (pupuk). Dengan begitu penggunaan gas alam oleh PT Pusri ke depannya diharapkan dapat berkurang sehingga tidak terlalu bergantung pada supply gas alam yang tidak menentu.
26
4. Pada akhirnya, tujuan syngas yang diproduksi ini hanya untuk mensubstitusi penggunaan gas alam dan tidak mengubah proses yang sudah ada di pabrik tujuan.
2.4
Seleksi Pemisahan Kontaminan (Gas Cleaning )
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk proses pemisahan kontaminan dalam syngas, terutama senyawa sulfur (COS, H2S) dan CO2, antara lain:
Absorbsi dengan menggunakan pelarut liquid.
Adsorpsi menggunakan partikel solid.
Difusi dengan menggunakan membran permeabel atau semi permeabel.
Perbandingan antara ketiga metode diatas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.4 Perbandingan Metode Pemurnian Syngas dari Senyawa Sulfur dan CO2
Absorbsi
Mengkontakkan syngas
Adsorpsi
dengan solvent yang selektif memisahkan
solid carrier bed .
pada semacam
Beberapa adsorbant
membran polimer.
Terjadi di dalam kolom
beberapa memerlukan
komponen yang
yang dilengkapi tray
penggantian secara
melewati membran
atau packing .
berkala.
dipengaruhi oleh
Loading capacity
kelarutan kontaminan
tergantung property
tergantung dari
dalam pelarut dan rasio
fisik solvent (Σ solvent >
karakteristik komponen
ukuran pori membran
dan adsorbant ,
dengan diameter
Solvent dapat
temperatur, serta
kontaminan.
dipergunakan kembali
tekanan.
Karakteristik absorbsi
loading capacity >)
Biaya maintenance
secara sempurna.
Rentan terhadap korosi.
Adsorbant ZnO biasa
dipakai dalam adsorpsi H2S. Untuk mengadsorb
27
Rate transport dari
Operasional yang halus dan tidak bising.
Hampir dapat mengadsorb impurities
terlebih dahulu.
cukup mahal.
Melewatkan syngas
dapat diregenerasi,
dengan diregenerasi
H2S dan CO2.
→
Adsorpsi impurities pada
Difusi
Konsumsi energi yang rendah.
Biaya maintenance murah.
Membutuhkan space
H2S sampai konsentrasi
yang luas.
di bawah 10 ppbv, dapat digunakan adsorbant
Tidak perlu space yang luas.
CuO.
Mobilitas yang tiggi (beberapa modul membran dapat dipasang di atas kendaraan) (Austin, 1984: 94).
Kurang cocok untuk absorpsi CO2 dengan kandungan yang tinggi.
Masih jarang diaplikasikan dalam industri.
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 298-314
2.4.1 Seleksi Pelarut
Ada dua macam pelarut yang biasa digunakan untuk mengabsorb gas-gas asam, yaitu pelarut fisik dan pelarut kimia. Untuk mengetahui perbedaannya, akan dibandingkan pelarut selexol (pelarut fisik) dengan pelarut MDEA (pelarut kimia). Kedua pelarut tersebut digunakan sebagai perbandingan karena keduanya merupakan pelarut yang banyak digunakan dalam industri saat ini.
Tabel 2.5 Perbandingan Pelarut Fisik (Selexol) dan Pelarut Kimia (MDEA)
Selexol
MDEA
0,00073 mmHg
0,01 mmHg
Titik didih (760 mmHg)
175oC
247,2 oC
Viskositas (25 oC)
5,8 cPs
101 cPs
Kapasitas penyerapan
0,162 mol CO2/L
0,8 mol CO2/L
Perkiraan harga ($/lb)
1,32
1,4
Property
Tekanan uap (25 oC)
Sumber: Kohl & Nielsen, 1997: 49,1197 ; Higman & Burgt, 2003:302
28
Pelarut fisik maupun pelarut kimia memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Selexol memiliki tekanan uap yang rendah sehingga kehilangan pelarut saat regenerasi kecil. Selain itu, viskositas selexol cukup rendah sehingga energi yang diperluk an untuk memompa pelarut masuk dalam absorber tidak terlalu besar. Di lain pihak, kapasitas penyerapan CO2 oleh MDEA jauh lebih besar. Walaupun harganya lebih mahal, namun MDEA sangat cocok bila digunakan untuk absorpsi dengan kandungan CO2 yang tinggi (Kidnay, 2006: 105). MDEA ( Methyl Diethanole Amin) merupakan pelarut yang paling banyak digunakan saat ini untuk absorpsi CO2. MDEA yang digunakan sebagai pelarut memiliki konsentrasi antara 30-50% dengan solution loading 0,8 mol/mol. Sedangkan untuk pelarut amin lainnya, seperti MEA dan DEA, solution loading -nya berturut-turut 0,25-0,45 mol/mol dan 0,4-0,8 mol/mol. (Higman & Burgt, 2003: 302)
Tabel 2.6 Perbandingan Pelarut Amin
Pelarut Monoethanole Amine
Kelebihan
(MEA)
Kekurangan
Sangat reaktif terhadap
Alat rentan mengalami
CO2 dan H2S.
korosi,
Mampu menghilangkan
konsentrasinya di atas
CO2 dan
20%wt.
H2S
secara
bersamaan.
terutama
Mengalami
jika
reaksi
Recovery CO2 dan H2S
irreversible dengan COS
tinggi.
dan CS2 sehingga tidak
Harganya paling murah
cocok digunakan untuk
dibanding pelarut amin
gas yang mengandung
lainnya.
kedua senyawa tersebut.
Tekanan uapnya tinggi sehingga banyak massa yang
hilang
saat
diregenerasi.
Energi yang dibutuhkan untuk regenerasi cukup tinggi.
29
Diethanole Amine
(DEA)
Tekanan uapnya lebih
Dapat bereaksi dengan
rendah dibanding MEA
CO2 secara irreversible
sehingga
sehingga pelarut ini tak
dapat
meminimalisasi
optimal jika digunakan
kehilangan massa saat
untuk
regenerasi.
dengan kandungan CO2
Dapat digunakan untuk
yang tinggi.
absorpsi
gas
absorpsi gas yang yang mengandung COS dan CS2. Methyl Diethanole Amine
(MDEA)
Tekanan uapnya sangat
Akibat
keselektifannya
rendah sehingga dapat
yang
tinggi
terhadap
digunakan
dengan
H2S, maka akan terjadi
konsentrasi
sampai
CO2 slippage sehingga
60%wt.
absorpsi
Sangat selektif terhadap
maksimal. Oleh karena
H2S.
itu pelarut ini biasanya
Tidak korosif.
digunakan
Sudah banyak digunakan
absorpsi gas CO2 tanpa
untuk absorpsi dengan
adanya H2S.
kandungan
CO2 yang
CO2 kurang
untuk
Harganya paling mahal
tinggi.
di antara pelarut amin
Energi untuk regenerasi
lainnya.
rendah. Sumber: Kohl & Nielsen, 1997: 49-54 ; Kidnay, 2006: 98-99
2.4.2 Hidrolisis COS
Karbonil sulfida bukan merupakan gas asam, maka hidrolisis COS untuk membentuk H2S sering dilakukan untuk pemurnian sulfur yang terkandung dalam COS. Tujuan pengonversian COS menjadi H2S disebabkan adsorben yang digunakan untuk proses desulfurisasi lebih selektif terhadap H2S daripada COS. Beberapa katalis padat telah digunakan untuk hidrolisis COS. Kohl & Riesenfield mengembangkan penggunaan katalis chromia-alumina dengan suhu operasi dalam kisaran 300-425oC. Hidrolisis COS
30
berlangsung cepat, dan kecepatan reaksi dalam reaktor tinggi. Akibatnya, ukuran reaktor hidrolisis COS kecil dan biaya reaktor hidrolisis COS sangat kecil dari biaya keseluruhan pra desain pabrik berbasis gasifikasi. (Bell, 2011: 115) Dengan memperhatikan faktor ekonomi serta efisiensi proses, pemisahan COS dilakukan melalui proses hidrolisis dan pemisahan H2S dilakukan dengan cara mengadsorbnya menggunakan adsorben ZnO. Pemisahan CO2 dan H2S yang mungkin masih ada dilakukan dengan cara absorbsi menggunakan solvent MDEA. Energi yang dibutuhkan untuk meregenerasi MDEA paling kecil dibanding MEA ataupun DEA. Karena tekanan uapnya rendah, maka kehilangan massa saat regenerasi dapat diminimalisasi. Selain itu, MDEA yang notabene lebih tidak korosif, akan memperpanjang waktu pemakaian alat. Dan yang paling penting, pemilihan solvent ini didasarkan pada kenyataan bahwasanya CO2 terdapat sangat banyak di dalam aliran syngas sehingga dibutuhkan pelarut dengan kapasitas penyerapan yang tinggi.
2.5
Spesifikasi Bahan Baku
Batu bara adalah bahan bakar fosil. Batu bara dapat terbakar, terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen. Batu bara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batu bara. (World Coal Institute) Secara umum, batu bara dapat dikenal dari kenampakan sifat fisiknya, yaitu berwarna coklat sampai hitam, berlapis, padat, mudah terbakar, kedap cahaya, nonkristalin, berkilap kusam sampai cemerlang, bersifat getas, dan pecahannya kasar. Unsur kimia utama pembentuk batu bara adalah karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N), dan sulfur (S). Analisa unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9 NS untuk bituminous coal d an C240H90O4 NS untuk high grade anthracite (Demirbas, 2010: 12). Untuk mengetahui tingkat (rank ) dari batu bara maka diperlukan analisa klasifikasi batu bara. Klasifikasi yang saat ini umum digunakan yaitu klasifikasi yang dibuat oleh ASTM ( American Society for Testing and Materials). Parameter dasar yang digunakan dalam klasifikasi ASTM yaitu:
Untuk batu bara berperingkat tinggi ( fixed carbon > 69%), parameter yang digunakan adalah jumlah karbon tertambat ( fixed carbon) dan zat terbang (volatile matter ). 31
Untuk batu bara berperingkat rendah (fixed carbon < 69%), parameter yang digunakan adalah nilai kalori (calorific value)-nya.
Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking ). (Kusuma, 2012: 43)
Tabel 2.7 Klasifikasi Batu Bara
Karbon Kelas
I. Antrasit
Tertambat
Nilai Panas
Karakteristik
wt%
BTU/lb
Gumpalan
1. Meta-antrasit
>98
2. Antrasit
92-98
3. Semiantrasit
86-92
1. Low-volatile bituminus
78-86
Tidak menggumpal
II. Bituminus
2. Medium-volatile
Biasanya
bituminus
69-78
menggumpal
3. High-volatile A bituminus
<69
>14.000
4. High-volatile B bituminus
13.000-14.000
5. High-volatile C bituminus
11.500-13.000
Menggumpal
III. Sub bituminus
IV. Lignit
1. Sub-bituminus A
9.500-10.500
2. Sub-bituminus B
8.300-9.500
3. Sub-bituminus C
8.300-9.500
1. Lignit A
6.300-8.300
2. Lignit B
<6.300
Tidak menggumpal
Sumber: Higman & Burgt, 2003: 43
Jenis-jenis batu bara: 1. Lignit. Batu bara coklat, merupakan batu bara dengan kualitas terendah dan digunakan sebagai bahan bakar untuk steam electric power generation. 32
2. Sub-bituminus. Properties-nya terletak pada range lignit sampai bituminus dan penggunaan utamanya
sebagai bahan bakar untuk steam electric power generation dan bahan bakar industri semen. 3. Bituminus. Batu bara tebal, biasanya hitam, kadang kala coklat tua, dapat berikatan dengan baik dengan bahan-bahan bercahaya dan tumpul. Penggunaan utamanya sebagai bahan bakar pada steam electric power generation dan bahan bakar tanur peleburan baja. 4. Antrasit. Batu bara dengan kualitas tertinggi. Batu bara yang lebih kuat, mengkilap, dan hitam. Utamanya digunakan untuk pemanasan komersial dan bricket . (chem-is-try.org)
Sumber: World Coal Institute Gambar 2.6 Mutu Batu Bara dan Pemakaiannya
33
Sumber: chem-is-try.org Gambar 2.7 Jenis Batu Bara dan Proses Pembentukannya
Kualitas batu bara berperan penting dalam menentukan kelas batu bara. Terdapat lima unsur utama pembentuk batu bara, yaitu karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), dan sulfur (S). Penentuan kualitas batu bara dapat diperoleh dengan cara mengetahui parameter kualitas pada batu bara. Hal ini dapat diketahui menggunakan analisa kimia dan pengujian laboratorium terhadap sampel batu bara. Analisa kualitas batu bara terdiri dari dua jenis, yaitu analisa proksimat dan analisa ultimat. Analisa proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank ) batu bara. Analisa ini memiliki empat parameter utama yang digunakan, yaitu: 1. Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batu bara. Besarnya kadar air ditentukan melalui pengeringan selama 1 jam pada suhu 104-110oC (Higman & Burgt, 2003: 45). Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
Kadar air bebas ( free surface moisture), yaitu air yang menempel pada permukaan batu bara yang berasal dari air hujan dan juga air semprotan yang mana akan mudah menguap dalam kondisi laboratorium.
Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu air yang terdapat pada rongga (pori) dan mineral yang terdapat dalam batu bara.
Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar air bebas ditambah dengan kadar air bawaan.
2. Kadar abu (ash), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal atau tidak terbakar sewaktu pembakaran batu bara. Kandungan utamanya adalah silika, alumina, oksida besi, lime, dan sebagian kecil oksida magnesium, titanium oksida, alkali, serta senyawa sulfur (Higman & Burgt, 2003: 45). 3. Zat terbang (volatile matter ), yaitu komponen-komponen dalam batu bara yang dapat lepas atau menguap pada saat dipanaskan pada suhu 900oC. Penentuan besarnya kadar 34
zat terbang dilakukan dengan memanaskan batu bara dalam sebuah wadah pelebur dengan waktu dan temperatur tertentu. Selisih massa awal dan massa setelah pemanasan , dikurangi dengan kadar air, merupakan massa zat terbang pada kondisi tersebut (Higman & Burgt, 2003: 45). Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral (volatile mineral matter ) dan zat terbang organik (volatile organic matter ). 4. Karbon tertambat ( fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang tertambat pada batu bara setelah kandungan-kandungan air, abu, dan zat terbangnya dihilangkan. Analisa ultimat adalah analisa sederhana yang digunakan untuk mengetahui unsurunsur pembentuk batu bara dengan hanya memperhatikan unsur kimia pembentuk yang penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks yang ada di dalam batu bara. Unsur yang diukur adalah karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur (Higman & Burgt, 2003: 46) (Kusuma, 2012: 42-43) Batu bara kualitas rendah ( Low Rank Coal/ LRC) secara umum dalam praktek komersial adalah batu bara yang memiliki kandungan panas yang rendah, yaitu kurang dari 5.100 kCal/kg, termasuk juga peringkat batu bara mulai dari lignit hingga sub-bituminus B yang memiliki kandungan panas kurang dari 9.500 BTU/lb (<5.278 kCal/kg). Dengan demikian dipilih batu bara dengan kalori terendah yang berasal dari PT Bukit Asam (Persero) Tbk. dengan spesifikasi seperti pada Tabel 2.8 berikut.
Tabel 2.8 Spesifikasi Batu Bara BA-55
No.
Parameter
1.
Total Moisture (TM)
2.
Calorific Value (CV)
(%, ar)
30,0
(kCal/kg, ar)
4.550
(kCal/kg, ad)
5.500
Inherent Moisture (IM)
(%, ad)
15,0
Ash Content
(%, ad)
8,0
Volatile Matter (VM)
(%, ad)
39,0
Fixed Carbon (FC)
(%, ad)
38,0
Gross CV
3.
Nilai
Proximate Analysis
35
4.
Ultimate Analysis Carbon (C)
(%, ad)
63,9
Hydrogen (H)
(%, ad)
5,2
Oxygen (O)
(%, ad)
28,5
Nitrogen (N)
(%, ad)
1,6
Sulphur (S)
(%, ad)
0,8
Sumber: Arullah dkk., 2010 ; Laporan Tahunan PT BA, 2013: 45
Pengertian satuan yang biasa dipakai dalam analisa batu bara:
As Received (ar): termasuk Total Moisture (TM).
Air Dried (ad): hanya termasuk Inherent Moisture (IM).
Dry Basis (db): tidak termasuk moisture.
(World Coal Association) Batu bara BA-55 dengan nilai kalori yang rendah diharapkan mampu dikonversi menjadi bahan lain yang memiliki nilai kalori yang lebih tinggi sehingga margin harga produk dan bahan baku dapat dibuat sebesar mungkin. Margin yang besar diharapkan mampu memberikan keuntungan pada perusahaan. Selain itu, batu bara kualitas rendah lainnya, yaitu BA-59, banyak dikonsumsi oleh PLTU sehingga kurang memungkinkan jika menggunakan BA-59 sebagai bahan baku (Laporan Tahunan PT BA, 2013: 88). Hasil analisa proksimat yang dilakukan pada laboratorium memiliki nilai kalori pada basis pelaporan air dried (ad). Pada basis ad ini, contoh batu bara ditempatkan pada ruangan udara terbuka sehingga secara perlahan kadar airnya akan mencapai titik kesetimbangan dengan kelembaban udara. Sedangkan untuk penggolongan batu bara menggunakan klasifikasi ASTM, batu bara digolongkan berdasarkan nilai kalori pada basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Analisa dengan menggunakan basis dmmf ini akan memberikan
gambaran mengenai komposisi organik murni pada batu bara. (Kusuma, 2012: 44)
2.6
Target Kualitas Produk
Produk yang dihasilkan dari proses gasifikasi ini berupa syngas ( synthesis gas), campuran gas yang mengandung H2 dan CO dengan jumlah yang bervariasi. S yngas harus memiliki tekanan tinggi, mengingat proses untuk sintesis amonia berlangsung pada tekanan yang tinggi (Higman & Burgt, 2003: 8). Selain itu, syngas harus bebas senyawa sulfur untuk
36
menghindari korosi pada alat dan menghindari lepasnya senyawa sulfur ke lingkungan saat proses pembakaran, carbon oxide (CO dan CO2), dan air (Higman & Burgt, 2003: 233). Di samping itu, produk samping berupa CO2 dengan kemurnian 90% dapat digunakan sebagai bahan baku sintesis urea. Namun, produk samping CO2 ini perlu treatment lanjutan untuk menghilangkan kandungan airnya, mengingat CO2 yang dapat digunakan untuk sistesis urea konsentrasinya harus lebih dari 98,5% (Higman & Bugt, 2003: 233). Berdasarkan spesifikasi standar syngas tersebut, maka target kualitas produk syngas pada pabrik ini adalah seperti pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Target Kualitas Produk Syngas Berdasarkan Komponen Penyusun
Komponen
Konsentrasi (%mol)
CO
55,0
H2
40,0
CH4
3,0
CO2
0,05
N2
1,5
H2O
0,45
Properties produk syngas yang dihasilkan adalah sebagai berikut.
Tekanan
: 26,67 bar.
Suhu
: 50oC.
Berat molekul
: 18,76.
Kapasitas panas
: 29,92 kJ/kg.oC.
Viskositas
: 0,01598 cP.
Densitas
: 18,58 kg/m3.
LHV
: 2,764 x 105 kJ/kmol.
HHV
: 2,925 x 105 kJ/kmol. (Aspen HYSYS 8.0)
Properties dari masing-masing komponen penyusun syngas adalah sebagai berikut.
1. Karbon monoksida (CO). Sifat fisika karbon monoksida (Perry, 2008: 2-32):
Gas tidak berwarna.
Berat molekul
: 28,01 g/mol.
37
Titik leleh
: -207oC.
Titik didih
: -192oC.
Specific gravity
: 0,81 pada -195oC.
Kelarutan
: 3 cc dalam 100cc air pada 0oC ; larut dalam alkohol ; tidak : larut dalam eter.
Sifat kimia karbon monoksida:
Karbon monoksida bereaksi dengan hidrogen menghasilkan gas metana: CO ( g ) + 3H2 ( g ) ---> CH4 ( g ) + H2O ( g )
2. Hidrogen (H2). Sifat fisika hidrogen (Perry, 2008: 2-15):
Gas tidak berwarna.
Berat molekul
: 2,02 g/mol.
Titik leleh
: -259,1oC.
Titik didih
: -252,7oC.
Specific gravity
: 0,0709 pada -252,7oC (liquid) ; 0,0608 (referred to air ).
Kelarutan
: 2,1 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 0,85 cc dalam 100cc air pada 85oC.
Sifat kimia hidrogen (Vogel, 1989) sebagai berikut.
Hidrogen dapat digunakan sebagai potensial standar oksidasi-reduksi pada temperatur 25oC sebesar 0 volt. Reaksi: H2 + 2e- ---> 2H+
3. Metana (CH4). Sifat fisika metana (Perry, 2008: 2-40):
Gas.
Berat molekul
: 16,04 g/mol.
Titik leleh
: -182,6oC.
Titik didih
: -161,4oC.
Specific gravity
: 0,415 pada -164oC.
Kelarutan
: 0,4 cc dalam 100cc air pada 20oC ; 47 cc dalam 100cc alkohol pada 20oC ; 104 cc dalam 100cc eter pada 10oC.
4. Karbon dioksida (CO2). Sifat fisika karbon dioksida (Perry, 2008: 2-12):
Gas tidak berwarna.
Berat molekul
: 44,01 g/mol. 38
Titik leleh
: -56,6oC pada 5,2 atm.
Titik didih
: -78,5oC (menyublim).
Specific gravity
: 1,101 pada -87oC (liquid) ; 1,53 (referred to air ) ; 1,56 pada
Kelarutan
-79oC ( solid ). : 179,7 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 90,1 cc dalam 100cc air pada 20oC ; larut dalam larutan asam dan alkali.
5. Nitrogen (N2). Sifat fisika nitrogen (Perry, 2008: 2-20):
Gas tidak berwarna.
Berat molekul
: 28,01 g/mol.
Titik leleh
: -209,86oC.
Titik didih
: -195,8oC.
Specific gravity
: 1,026 pada -252,5oC ; 0,808 pada -195,8oC ; 12,5 pada 0oC (referred to hydrogen).
Kelarutan
: 2,35 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 1,55 cc dalam 100cc air pada 20oC ; larut sebagian kecil dalam alkali.
2.7
Kapasitas
Kapasitas pada Pabrik Syngas dari Gasifikasi Batu Bara Kualitas Rendah sebagai Pasokan Gas Pabrik Pupuk ini adalah sebagai berikut. Umpan batu bara
= 617.760 ton/tahun.
Kapasitas produk syngas
= 653.000 ton/tahun (sekitar 29.000 MMSCF per tahun).
2.8
Basis Perhitungan
Massa batu bara masuk
= 617.760 ton/tahun = 1.872 ton/hari = 78.000 kg/jam.
Waktu operasi
= 1 jam operasi.
1 hari = 24 jam, 1 tahun
= 330 hari.
2.9
Basis Desain Data
Pabrik ini direncanakan akan didirikan di Tanjung Enim, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dengan kondisi alam seperti pada Tabel 2.10.
39
Tabel 2.10 Kondisi Alam Tanjung Enim
Parameter
Nilai
Kelembaban udara (%)
52-96
Suhu (oC)
23-33
Curah hujan (mm/tahun) Gempa (SR)
3,6-332,8 -
Kecepatan angin (km/jam)
25
Sumber: www.bmkg.go.id
2.10 Uraian Proses
Gambar 2.8 Block Flow Diagram Proses Pembuatan Syngas dari Batu Bara
2.10.1 Unit Penyiapan Batu Bara
Proses awal gasifikasi dimulai dari penyiapan batu bara BA-55. Batu bara BA-55 dari open yard akan di-treatment dengan berbagai macam perlakuan agar sesuai dengan kondisi
dalam reaktor gasifier . Mula-mula batu bara dari open yard coal (F-111) diangkut menggunakan belt conveyor (J-112) menuju hammer mill (C-110). Di hammer mill ini terjadi proses size reduction dari batu bara berukuran 5 cm menjadi ukuran yang diinginkan, yaitu 1-6 mm. Setelah itu, batu bara yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam rotary-tube dryer (B-120) untuk menguapkan sebagian air bawaan yang ada dalam batu bara. Tidak seperti rotary dryer pada umumnya yang menggunakan udara panas sebagai media pemanas, media
pemanas yang digunakan dalam rotary-tube dryer adalah steam bertekanan yang dialirkan searah dengan arah aliran batu bara. Jika dilihat dari cara pengontakkan media pemanas dengan material, tipe rotary dryer yang digunakan adalah tipe tidak langsung, dimana panas ditransfer dari steam yang ada di dalam tube ke batu bara dengan cara konduksi. Media pemanas dan tipe tidak langsung ini digunakan karena batu bara merupakan material yang 40
mudah terbakar sehingga kontak batu bara dengan oksigen yang dapat memicu reaksi pembakaran sebisa mungkin dihindari (Mujumdar, 2006: 1018). Batu bara yang kandungan airnya telah diuapkan kemudian diangkut oleh scrapper conveyor (J-121) untuk dimasukkan ke dalam bunker (F-211) dengan bantuan bucket elevator (J-122). Dari bunker , batu bara dimasukkan ke dalam lock hopper (F-212) untuk dinaikkan tekanannya dari tekanan atmosfer (1,01 bar) menjadi 31 bar menggunakan gas inert . Kenaikan tekanan ini bertujuan untuk menyesuaikan tekanan batu bara dengan tekanan operasi gasifier . Dari lock hopper , batu bara dikeluarkan melalui mekanisme air lock dan dimasukkan ke dalam gasifier menggunakan screw conveyor (J-213). Mekanisme air lock ini memungkinkan untuk mengeluarkan batu bara dari lock hopper tanpa ikut sertanya gas inert (Rautalin & Wilen, 1992: 12).
2.10.2 Unit Gasifikasi
Oksidan berupa O2 dari oxygen storage tank (F-214) dinaikkan tekanannya dari 1,01 bar menjadi 32 bar dengan cara dipompa menggunakan oxygen pump (L-215). Kemudian oksidan bertekanan ini dilewatkan pada oxygen vaporizer (E-216) untuk mengubah fasenya menjadi gas dan untuk menaikkan suhunya dari -185oC menjadi 160oC. Gas oksigen ini kemudian diinjeksikan melalui injector nozzle ke dalam gasifier (R-210). Gasifier yang digunakan berjenis fluidized-bed dengan tipikal proses High Temperature Winkler (HTW Gasifier ). Gasifier ini bekerja pada kondisi temperatur 1.000oC dan tekanan 30 bar. Hal yang
membedakan gasifier fluidized-bed dengan tipe gasifier lain adalah sistem terfluidisasi yang membuat heat transfer dan mass transfer antara gas dan partikel solid lebih sempurna serta penggunaan temperatur yang tidak terlalu tinggi sehingga mudah untuk dikontrol dan dikendalikan (Basu, 2006: 74). Kemajuan yang paling penting dari teknologi ini adalah kenaikan tekanan yang mencapai 30 bar. Adanya kemajuan ini diharapkan mampu menurunkan energi kompresi. Temperatur yang tinggi juga berguna untuk meningkatkan konversi karbon dan kualitas gas, dimana semakin tinggi suhu, kandungan tar akan semakin menurun. (Higman & Burgt, 2003: 103). Di dalam gasifier terjadi berbagai macam reaksi yang dimodelkan menjadi tiga reaksi, yaitu reaksi pirolisis (devolatilisasi), reaksi pembakaran, dan reaksi gasifikasi. Mulanya, batu bara akan mengalami proses pirolisis untuk dekomposisi batu bara secara kimia dengan bantuan panas. Hasil dari pirolisis adalah karbon, ash, dan gas-gas ringan. Pada pirolisis dengan temperatur tinggi, produk yang dominan adalah gas, sedangkan pada temperatur rendah produk yang dominan adalah tar dan minyak berat (Cherimisinoff & Rezaiyan, 2005: 41
147). Karena temperatur dalam gasifier cukup tinggi (1.000oC), maka diasumsikan tak ada tar atau minyak berat yang terbentuk. Reaksi pirolisis: Batu bara
C ( s) + CH4 + CO + CO 2 + H2 + H2O+ H2S + COS + N 2 + Ash ( s) (Cherimisinoff & Rezaiyan, 2005: 17; Higman & Burgt, 2003: 31)
Karbon hasil pirolisis akan mengalami reaksi pembakaran dengan O2 yang berasal dari tangki penyimpan. Sebagian besar O2 yang diinjeksikan dalam gasifier ini akan digunakan untuk zona pembakaran. Proses pembakaran ini menghasilkan karbon dioksida, karbon monoksida, dan uap air, yang menyediakan panas untuk reaksi gasifikasi selanjutnya. Pirolisis dan pembakaran adalah proses yang sangat cepat. Reaksi-reaksi pembakaran: C ( s) + ½O2
CO
∆H
= -111MJ/kmol
CO
+ ½O2
CO2
∆H
= -283 MJ/kmol
H2
+
H2O
∆H
= -242 MJ/kmol
½O2
(Higman & Burgt, 2003: 10) Reaksi gasifikasi terjadi karena karbon bereaksi dengan karbon dioksida dan steam untuk menghasilkan karbon monoksida dan hidrogen. Reaksinya: a) Reaksi Boudouard:
C ( s) + CO2
2CO
∆H
= +172 MJ/kmol
b) Reaksi Water Gas:
C ( s) + H2O
CO + H2
∆H
= +131 MJ/kmol
c) Reaksi Shift Convertion: CO + H2O
CO2 + H2
∆H
= -41 MJ/kmol
d) Reaksi Metanasi:
CH4
∆H
= -75 MJ/kmol
C ( s) + 2H2
(Higman & Burgt, 2003: 10) Reaksi Boudouard merupakan reaksi endotermis yang menghasilkan CO. Reaksi water gas dan shift convertion merupakan reaksi utama pada gasifikasi batu bara karena pada
reaksi ini dihasilkan syngas H2 dan CO beserta dengan CO2 sebagai hasil samping. Dan yang terakhir reaksi samping metanasi yang menghasilkan metana dalam jumlah yang sedikit. Karbon (char ) yang tidak bereaksi dan 10% dari total ash turun sebagai slag di bagian bottom (Basu, 2006: 320). Syngas yang keluar dari gasifier akan menuju cyclone (H-217)
untuk memisahkan ash yang terbawa keluar, lalu menuju ke waste heat boiler 1 (E-311) °
untuk didinginkan. Syngas didinginkan dengan media pendingin air dari suhu 1.000 C menjadi 300oC. Proses pendinginan ini menghasilkan steam yang dapat digunakan untuk untuk proses selanjutnya.
42
2.10.3 Unit Purifikasi Gas
Syngas dari gasifier masih mengandung berbagai senyawa pengotor, seperti H2S,
COS, dan CO2. Adanya senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan risiko korosi pada peralatan dan merusak katalis, termasuk katalis dalam proses pembuatan pupuk. Oleh karena itu syngas perlu dimurnikan terlebih dahulu. (Higman & Burgt, 2003: 208) Karbonil sulfida bukan merupakan gas asam, maka hidrolisis COS untuk membentuk H2S sering dilakukan untuk pemurnian sulfur yang terkandung dalam COS. Tujuan pengonversian COS menjadi H2S disebabkan adsorben yang digunakan untuk proses desulfurisasi lebih selektif terhadap H2S daripada COS. Reaksi hidrolisis terjadi di COS hydrolysis reactor (R-310) dengan suhu operasi 303oC dan tekanan 29 bar dengan bantuan
katalis chromia-alumina. COS + H2O
↔
H2S + CO2 (Bell, 2011: 115)
Setelah semua sulfur terdapat dalam bentuk senyawa H2S, kemudian dilakukan proses pemisahan terhadap H2S. Unit pemisahan senyawa sulfur adalah tangki desulfurizer (D-320) yang bekerja pada suhu 310oC dan tekanan 28,5 bar dengan bantuan adsorben ZnO. Reaksinya sebagai berikut. H2S + ZnO ( s)
H2O + ZnS ( s)
Pada umunya, adsorben ZnO tidak dapat diregenerasi. Akibatnya, adsorben ini kurang praktis jika digunakan untuk adsorpsi dengan konsentrasi H2S yang tinggi (Bell, 2011: 128). Untuk keperluan downstream industri pupuk, kandungan H2S di aliran syngas yang keluar dari tangki desulfurizer diharapkan dapat kurang dari 1 ppmv (Higman & Burgt, 2003: 233). Syngas dari desulfurizer yang bebas dari kandungan H2S kemudian diturunkan
suhunya melalui waste heat boiler 2 (E-333) sehingga suhunya menjadi 50oC. Media pendingin yang digunakan adalah air. Proses pendinginan ini juga menghasilkan steam yang dapat digunakan untuk proses lainnya. Penurunan suhu bertujuan untuk menaikkan %recovery dari absorber karena absorber bekerja lebih baik pada suhu yang rendah dan tekanan tinggi. Selanjutnya, syngas dialirkan menuju kolom absorber (D-330) yang beroperasi pada suhu 50oC dan tekanan 27 bar. Pelarut MDEA 40% berat dari MDEA storage tank (F-331) diumpankan ke kolom absorber dengan bantuan MDEA pump (L-332). Larutan
MDEA akan mengabsorb gas CO2, dan kemudian keluar menuju stripper (D-340) untuk proses recovery kembali pelarut. Sedangkan produk syngas bersih yang keluar dari absorber dialirkan melalui gas pipeline. 43