Dr. H. M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 2.
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016), hlm. 26-27.
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 27
Dr. H. M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, hlm. 4
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 30
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 31
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 33
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 37
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 41-42
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 45
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 45-47
BAB II
PEMBAHASAN
Unsur-Unsur Pokok Pidana Islam
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu 1) al- rukn al-syar`i atau unsur formil, 2) al-rukn al-madi atau unsur materiil,dan 3) al-rukn al- adabi atau unsur moril.
Al-rukn al-syar`i atau unsur formil adalah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah, al-jani, atau dader kalau sebelumnya telah ada nash atau undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Dengan demikian, unsur formil ini sangat erat kaitannya dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Untuk bisa menuntut seseorang secara pidana, harus ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Dalam konteks hukum pidana islam, hingga buku ini ditulis, di indonesia masih belum ada indikasi yang mengarah pada pemberlakuan hukum yang satu ini. Oleh sebab itu, aturan yang ditegaskan pada unsur formil ini tentang larangan dan sanksi secara jelas dinyatakan dalam teks syara', y'itu Alquran dan hadis.
Al-rukn al-madi atau unsur materiil adalah unsur yang menyatakan bahwa untuk bisa dipidananya seorang pelaku jarimah, pelaku harus benar-benar telah terbukti melakukannya, baik yang bersifat positif (aktif melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif tidak melakukan sesuatu), termasuk ke dalam kasus pembiaran atas terjadinya sebuah tindak pidana di suatu tempat. Adakalanya tindak pidana itu telah benar-benar dilakukan secara sempurna oleh pelaku dan adakalanya belum atau tidak sempurna dalam menjalankannya akibat tertangkap basah pada saat beraksi. Tindak pidana dapat terjadi oleh seorang pelaku dan dapat pula dilakukan oleh pelaku yang jumlahnya lebih dari seorang seperti kasus kerja sama dalam berbuat pidana atau dalam hal penyertaan. Hal ini dalam hukum pidana islam disebut dengan istilah al-isytirak fi al-jarimah.
Terhadap suatu jenis tindak pidana yang belum sempurna –seperti seseorang yang baru saja mengantongi perhiasan lalu tertangkap oleh tuan rumah lalu ia berhasil melumpuhkan pencuri— pelaku belum dpat dihukum had (potong tangan), melainkan baru dapat dijatuhi hukuman takzir karena termasuk ke dalam kategori percobaan melakukan tindak pidana. Percobaan melakukan tindak pidana ini dalam hukum pidana islam disebut dengan istilah al-syuru' fi al-jarimah.
Al-rukn al-adabi atau unsur moril adalah unsur yang menyatakan bahwa seorang pelaku tindak pidana harus sebagai subjek yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau harus bisa dipersalahkan. Artinya, pelaku bukan orang gila, anak dibawah umur, atau berada di bawah ancaman dan keterpaksaan.
Kalau kondisi kejiwaan pelaku sedang bermasalah, ia wajib menjalani pemeriksaan terlebih dahulu. Di sinilah urgensi al-rukn al-adabi dalam hukum pidana islam yang merupakan hasil kolaborasi dan upaya kontekstualisasi antar fiqh jinayah klasik dan hukum pidana konvensional.
Jarimah Qishash
Secara etimologis qishash berasal dari kata قَصَّ – يَقُصُّ – قَصَصًا yang berarti تَتَبَّعَهُ mengikuti; menelusuri jejak atau langkah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
قَالَ ذَلِكَ كُنَّا نَبْغِ فَرْتَدَّ عَلَى ءَاثَارِ هِمَا قَصَصًا
Musa berkata, " Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. Al-Kahfi (18): 64)
Makna qishash secara bahasa ini ada kaitannya dengan kata kisah. Qishash berarti menelusuri jejak kaki manusia atau hewan, di mana antara jejak kaki dan telapak kaki pasti memiliki kesamaan bentuk. Sementara itu, kisah mengandung makna bahwa ada hubungan antara peristiwa asli dan kisah yang ditulis atau diceritakan oleh generasi berikutnya. Kesamaan antara peristiwa nyata dan kisah –di satu sisi— dan kesamaan antara jejak kaki dan telapak kaki –di sisi lain— merupakan bukti adanya relevansi antara kata qisas dan kisah dalam bahasa indonesia.
Kalau secara bahasa saja ada korelasi arti antara kata qisas dan kisah, dipastikan terdapat korelasi erat dengan makna qisas secara terminologi, yaitu kesamaan antara perbuatan pidana dan sanksi hukumnya, seperti dihukum mati akibat membunuh dan dianiaya akibat menganiaya.
Adapun arti qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Jurjani, yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan pleh pelaku tersebut (terhadap korban). Sementara itu dalam Al-Mu'jam Al-Waqsit, qishash diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.
Artinya, nyawa pelaku pembunuhan bisa dihilangkan karena pelaku pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiayaan dapat dianiaya karena ia pernah menganiaya korban. Dengan demikian, qisas adalah hukuman pembalasan yang diberlakukan lepada pelaku persis dengan tindak pudana yang dilakukan pelaku terhadap korban. Dalam agama-agama samawi –yaitu agama Yahudi, Nasrani, dan Islam— terdapat perbandingan yang cukup menarik mengenai pemberlakuan hukuman qisas ini.
Sebagai contoh, dalam Injil Matius 5: 38-42 terdapat pernyataan Yesus sebagai berikut.
Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama ia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.
Terkait dengan masalah perbandingan ajaran agama-agama samawi mengenai hukuman qisas ini, di Indonesia terdapat sebuah kasus yang sangat menarik, tepatnya di kawasan Bintara, Bekasi, Jawa Barat. Ade Sara Angelina Suroto dibunuh secara sadis oleh mantan pacarnya, Ahmad Imam Al-Hafitd, dan rivalnya, Assyifa Ramadhani. Hal yang sangat mengagumkan adalah sikap kedua orangtua korban, di mana Ade Sara merupakan putri satu-satunya. Dalam hal ini, Suroto, ayah kandung korban, mengatakan bahwa secara manusiawi orangtua psti marah engetahui anaknya diperlakukan sepeti itu. Akan tetapi, ia memaafkan kedua pelaku. Suroto bahkan mengaku bahwa permaafan yang dilakukannya adalah pengejawantahan perintah Tuhan.
Penulis yakin bahwa sikap kedua orangtua Ade Sara Angelina Suroto yang sangat mulia ini terinspirasu oleh Injil Matius sebagai pesan Yesus di atas.
Bagi orang Nasrani yang taat terhadap norma keagamaannya akan memiliki prinsip bahwa siapa pun yang membalas kejahatan dengan kejahatan berarti yang membalas sama jahatnya dengan yang melakukan kejahatan. Selain itu, dalam Injil tidak ada ajaran mengenai hukum pembalasan tindak pidana pembunuhn dan penganiayaan.
Dalam agama Yahudi, tidak ada permaafan bagi pembunuh dan pelaku penganiayaan. Ia harus dibalas dengan cara serupa. Pelaku wajib diqisas dan tidak perlu dimaafkan sebagaimna disebutkan dalam Injil Matius di atas.
Sementara itu, dalam Alquran terdapat hukum qisas; tetapi jika mau memaafkan, hal itu jauh lebih baik. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara agama Yahudi, Nasrani, dan Islam tentang eksistensi hukum qisas.
Pelaksanaan Eksekusi Qisas
Hukuman pembalasan secara setimpal ini tidak dibenarkan kalau dilakukan secara individu yang tidak melibatkan negara. Jika qisas dilaksanakan secara bebas, dipastikan akan terjadi kekacauan dan perang saudara antarkelompok, suku, atau golongan. Hal ini dapat dilihat dalam dua ayat berikut.
يا ايها الذين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والانثى بالانثى فمن عفي له من اخيه شيء فاتباع بالمعروف واداء اليه باحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب اليم
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdekadengan merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaknya ia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah (2): 178)
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الظالمون
Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim. (QS. AL-Maidah (5): 45)
Pada ayat tentang qisas pembunuhan, tampak jelas bahwa Allah memerintahkan secara umum kepada orang-orang yang beriman. Ini berarti dalam pelaksanaannya perlu melibatkan otoritas berwenang, yaitu ulil amri atau pemerintah. Demikian halnya dalam ayat tentang perintah puasa ramadhan. Untuk bisa melaksanakannya, harus ada campur tangan pemerintah, terutama mengenai penetapan awal bulan ramadhan.
Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi qisas, baik penganiayaan maupun pembunuhan, harus melibatkan pemerintah melalui mekanisme persidangan majelis hakim di pengadilan.
Menurut KUHP, di indonesia ada sembilan macam kejahatan yang di ancam pidana mati, yaitu 1) makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden, terdapat pada Pasal 104 KUHP; 2) melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang, terdapat pada Pasal 111 ayat (2) KUHP; 3) pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang, terdapat pada Pasal 124 ayat (3) KUHP; 4) menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara, terdapat pada Pasal 124 bis KUHP; 5) pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, terdapat pada Pasal 140 ayat (3) KUHP; 6) pembunuhan berencana, terdapat pada Pasal 340 KUHP; 7) pencurian dengan kekrasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati, terdapat pada Pasal 365 ayat (4) KUHP; 8) pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian, terdapat pada Pasal 444 KUHP; dan 9) kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan, terdapat pada Pasal 149 k ayat (2) dan Pasal 149 jo ayat (2) KUHP.
Terkait dengan hukuman mati bagi terpidana kasus terorisme, terdapat sebuah permintaan mengejutkan yang diajukan oleh Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudera. Mereka meminta agar eksekusi mati dilakukan dengan cara dipancung menggunakan pedang. Akan tetapi, permintaan ini ditolak Mahkamah Agung karena di indonesia tidak mengnal hukuman pancung seperti yang disebutkan dalam hadis berikut.
لَا قَوَدَ إلَّا بِالسَّيْفِ
Tidak layak hukuman mati dijatuhkan kecuali dengan pedang. (HR. Al-Thabrani dari Ibnu Mas'ud; Ibnu Majah dari Abu Bakrah; Al-Thayalisi, Ibnu Majah, dan Al-Baihaqi dari Al-Nu'man bin Basyir; serta Al-Baihaqi dari Abu Huraira)
Di samping itu, permintaan Amrozi dkk. Boleh jadi akibat adanya informasi bahwa proses kematian dengan dipancung lebih cepat dibandingkan dengan ditembak tepat di jantung. Menurut informasi dari dokter ahli saraf bahwa terpidana yang dipancung akan langsung meninggal sehingga ia tidak harus merasakan sakit yang lebih lama. Kalau ditembak tepat di jantung, paling tidak masih membutuhkan waktu 13 s.d 14 detik sejak jantung terpidana pecah hingga ia tidak mampu merasakan apa-apa karena saraf yang menuju ke bagian otak masih bekerja dalam jangka waktu tersebut. Sementara itu, kalau dipancung, seketika itu juga terpidana akan meninggal. Jika hal ini benar, apa yang dikemukakan Nabiصلى الله عليه وسلم dalam hadis di atas sangat tepat.
Kategorisasi Qisas
Dalam kajian hykum pidana islam sanksi qisas ada dua kategori, yaitu qisas karena melakukan jarimah pembunuhan dan penganiayaan.
Pembunuhan
Sanksi hukum qisas diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja dan terencana sebagaimana firman Allah,
يا ايها الذين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. (QS. Al-Baqarah (2): 178)
Ayat ini berisi tentang hukuman qisas bagi pelaku pembunuhan sengaja dan terencana serta apabila pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban ternyata memberikan maaf kepada pelaku, sanksi qisas turun dan beralih menjadi hukuman diat.
Dengan demikian, tidak setiap pelaku tindak pidana pembunuhan pasti diancam sanksi qisas, tetapi harus diteliti mengenai motivasi, cara, faktor pendorong, dan teknis melakukan pembunuhan. Hal ini sangat penting dilakukan karena jarimah pembunuhan oleh para ulama fiqh dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu
Pembunuhan sengaja
Pembunuhan semisengaja, dan
Pembunuhan tersalah
Ketiga macam pembunuhan di atas disepakati leh jumhur ulama, kecuali Imam Malik. sehubungan dengan itu, Abdul Qdir Audah mengatakan,
أَسَسُ ألْخِلَافِ أَنَّ مَالِكًا لَا يَعْتَرِفُ بِالْقَتْلِ سِبْهِ الْمْدِهِ الْمْدِ وَتَرَى أَنَّهُ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ إِلَا الْمْدُ وَالْخَطَاءُ فَمَنْ زَادَ قِسْمًا ثَالِثًا زَادَ عَلَى النَّصِّ
Perbedaan pendapat yang mendasar bahwa Imam Malik tidak mengenal jenis pembunuhan semisengaja, menurutnya,di dalam Alquran tidak ada jenis pembunuhan kecuali pembunuhan sengaja dan tersalah. Barangsiapa menambahkan jenis ketiga, berarti ia menambah ketentuan nash.
Dari ketiga jenis tindak pidana pembunuhan tersebut, sanksi hukuman qisas hanya berlaku pada pembunuhan jenis pertama, yaitu jenis pembunuhan sengaja.
Sementara itu, dalam hal jarimah pembunuhan semisengaja dan tersalah, sanksi hukumannya berupa diat mukhaffafah atau diat ringan, bukan diat mughallazah atau diat berat sebab diat mughallazah di antaranya diberlakukan pada pembunuhan sengaja yang dimaafkan pihak keluarga korban.
Masalah diat yang diperberat dan diperingani ini dijelaskan oleh Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani. Ia berpendapat bahwa ada lima sebab status diat ditingkatkan dari mukhaffafah menjadi mughallazah, yaitu 1) pembunuhan sengaja, 2) pembunuhan semisengaja, 3) terjadi di tanah haram 4) terjadi pada bulan haram, 5) terjadi dalam lingkup keluarga. Sementara itu, ada empat sebab status diat diturunkan dari mughallazah menjadi mukhaffafah, yaitu 1) korban seorang wanita, 2) korban seorang budak, 3) korbannya berupa janin (aborsi), dan 4) korbannya seorang kafir. Dalam kasus pertama, diatnya ½ (50 ekor unta), kasus kedua ¼ (25 ekor unta, kasus ketiga berupa ghurnah (5 ekor unta), dan kasus keempat 1/3 (33 ekor unta) atau kurang.
Penganiayaan
Qisas disyariatkan karena melakukan jarimah pelukaan atau penganiayaan secara eksplisit dijelaskan oleh Allah dalam ayat berikut.
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص
Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). (QS. AL-Maidah (5): 45)
Kalau diteliti dengan seksama, redaksi ayat di atas memang tidak secara tegas menyatakan bahwa hukum qisas dalam penganiayaan itu dinyatakan berlaku bagi umat islam, tetapi juga tidak terdapat pernyataan lain yang menunjukkan bahwa ketetapan hukmnya telah terhapus dan tidak berlaku lagi bagi umat islam. Menurut jumhur ulama, Hanafiyah, Malikiyah, sebagian Syafiiyah, dan sebuah riwayat Ahmad –di mana pendapat ini dinilai sebagai yang paling tepat— bahwa bahwa ayat-ayat tentang qisas terdapat anggota badan tetap berlaku bagi umat islam. sementara itu, menurut ulama kalangan Asy'ariyah bahwa hal ini tidak berlaku bagi orang islam (syar'u man qablana). Menurut Al-Zuhaili, pendapat ini didukung oleh Al-Ghazali, Al-Amidi, Al-Razi, dan Ibnu Hazm. Sementara itu, Ibnu Al-Qusyairi dan Ibnu Burhan bersikap diam (tawaqquf) sampai terdapat dalil sahih yang menegaskannya.
Dengan demikian, pendapat jumhur ulama jauh lebih kuat daripada pendapat lainnya sehingga qisas terhadap anggota badan masih tetap berlaku dengan sanksi hukum yang beragam sesuai dengan jenis, cara, serta di bagian tubuh sebelah mana jarimah penganiayaan dilakukan pelaku terhadap korban.
Diat Pembunuhan dan Konsep Qisamah
Diat adalah uang tebusan sebagai ganti rugi akibat kasus pembunuhan dan atau penganiayaan yang mendapatkan pemaafan dari keluarga korban dan wajib dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban. Diat dalam bahasa Arab juga disebut al-aql, sementara keluarga pihak pelaku jarimah disebut dengan al-aqilah. Biasanya pelaku dan keluarganya mengumpulkan harta untuk membeli seekor atau beberapa ekor unta sebagai tebusan untuk keluarga korban. Unta-unta itu diikat di halaman rumah keluarga korban kemudian diserahkan kepada pihak keluarga korban. Gotong-royong antarkeluarga dalam mengumpulkan sejumlah uang untuk diatbini merupakan satu pengecualian dari konsep pertanggungjawaban pidana sebab pada dasarnya seseorang tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan orang lain, termasuk keluarga dekat. Namun, dalam masalah berpatungan dalam mengumpulkan uang diat ini memang merupakan satu-satunya pengecualian.
Dasar hukum diat adalah firman Allah SWT dalah Surah Al-Baqarah ayat 178 dan Surah Al-Maidah ayat 45. Dalam ayat tersebut dinyatakanbahwa barangsiapa mendapatkan permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan itu mengikuti cara yang baik, artinya tidak boleh dendam. Demikian halnya dalam ayat qisas penganiayaan yang juga disebutkan bahwa barangsiapa berkenaan melepaskan hak qisas, artinya dianiayaya oleh seseorang,tetapi ia lebih memilih memaafkan pelaku, hal itu akan sangat lebih baik dan mulia, bahkan keluarga korban akan memperoleh pengampunan dosa.
Terdapat dua macam diat dalam hukum pidana islam,yaitu mughallazah (berat) dan diat mukhaffafah (ringan). Diat mukhaffafah berlaku pada kasus pembunuhan tersalah, sedangkan diat mughallazah berlaku pada kasus pembunuhan semisengaja. Adapun dalam kasus pembunuhan sengaja yang mendapat permaafan dari keluarga korban, menurut ulama dari kalangan mazhab Syafi'I dan Hanbali, berlaku diat mughallazah. Akan tetapi, menurut ulama dari kalangan mazhab Hanafi, pembunuhan sengaja tidak berlaku diat. Mengenai masalah diat mughallazah bagi pembunuhan sengaja dan semisengaja, Al-Jaza'iri mengatakan bahwa ulama kalangan Hanafiyah mewajibkan diat mughallazah oleh pihak keluarga pelaku, sedangkan pelakunya wajib membayar kafarat serta terhalang hak warisnya.
Untuk melengkapi pembahasan tentang qisas dan diat, biasanya dikemukakakn mengenai konsep qisamah. Kata qisamah berasal dari kata qasama yang berarti bersumpah. Sumpah di sini terkait kasus pidana pembunuhan yang dalam waktu agak lama tidak diketahui siapa pembunuhnya. Jika ada kasus pembunuhan yang tidak segera diketahui siapa pelakunya, pihak keluarga korban bisa melacak Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan cara mengumpulkan sedikitnya lima puluh orang laki-laki agar secara keseluruhan mereka bersumpah bahwa tidak ada di antara mereka yang melakukan pembunuhan. Jika mereka semua sanggup melakukan sumpah seperti ini, mereka terbebas dari kewajiban membayar diat kepada keluarga korban. Akan tetapi, jika mereka tidak mau bersumpah, seluruh masyarakat di mana TKP itu berada wajib membayar diat kepada keluarga korban.
Diat penganiayaan Fisik
berbeda dengan pembahasan diat pembunuhan, pada diat penganiayaan terdapat spesifikasi dan identifikasi jenis-jenis penganiayaan serta di bagian tubuh mana hal itu terjadi. Pada tubuh manusia ada anggota badan yang tunggal dan berpasangan. Contoh anggota tubuh yang tunggal adalah hidung, lidah, dan alat vital. Sementara itu, pada anggota tubuh yang berpasangan adalah tangan, kaki, mata, bibir, pipi, telinga, testis, payudara, serta pantat.
Diat berlaku pada penganiayaan anggota tubuh. Ketentuannya, jika anggota tubuh —baik tunggal maupun berpasangan— dipotong atau sekedar dilukai hingga tidak berfungsi secara baik, berlaku diat secara sempurna.akan tetapi, jika yang terluka sebagian saja atau salah satu dari anggota tubuh yang berpasangan, hanya separuh dari diat yang disepakati di sebuah tempat dan masa terntentu. Diat sempurna berupa seratus ekor unta dan separuhnya adalah lima puluh ekor unta.
Dengan melihat ketentuan diat di atas, pada dasarnya hukum pidana islam sudah sangat detail dan terperinci. Akan tetapi, sayangnya pembahasan ini selalu ada di bagian akhir dari kitab fiqh sehingga jarang terbaca oleh para santri, pelajar, dan mahasiswa. Oleh sebab itu, banyak pihak yang masih menyadari tentang risiko berat bagi pelaku penganiayaan, terlebih jika hal itu terjadi di negara yang memberlakukan hukum pidana islam, seperti Saudi Arabia.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Unsur pokok pidana islam ada tiga, yakni unsur formil, unsur materiil dan unsur moril. Kemudian jarimah qisas secara terminologi menurut Al-Jurjani yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban.
Daftar Pustaka
Irfan, Dr. H. M. Nurul. 2012. Fiqh Jinayah. Jakarta. AMZAH.
-------------------------- . 2016. Hukum Pidana Islam. Jakarta. AMZAH.
9 " Fiqh Jinayah