BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) akan akan meningk
atkan pembangunan di segala bidang. Hal ini akan menimbulkan perilaku yang berubah di masyarakat. Peningkatan upaya kesehatan akan meningkatkan pemenuhan usia harapan hidup. Hal ini akan menimbulkan transisi demografi dengan banyaknya lansia dan akan terjadi transisi epidemiologi dimana penyakit infeksi belum dapat ditanggulangi namun disisi lain terjadi pula peningkatan penyakit degeneratif diantaranya: stroke, jantung dan pembuluh darah, diabetes melitus, hipertensi dan sebagainya. Stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah peny akitjantung, juga merupakan penyebab kecacatan nomor satu baik di negara majumaupun berkembang (AHA, 2010). Beban akibat stroke terutama diseba bkan
kecacatan yang akan menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat masyarakat
sehingga beban biaya yang tinggi oleh penderita, keluarga, masyarakat dan negara. Penelitian epidemiologi stroke di wilayah Asia Timur (Cina, Hongkon g, Taiwan, Japan, Korea Selatan,
Korea Utara dan negara-negara ASEAN)
selama tahun 1984- 2004, menemukan 4995 kasus baru di Cina, Taiwan dan Jepang. Insiden stroke di Cina sebesar 483/100.000 dan Jepang 201/100.00 0. Pada Tahun 2005 di Asia Tenggara, dilaporkan bahwa prevalensi stroke di Singapura sebesar 4,05%, sementara di Thailand sebesar 6.9%.Di Asia se perti Singapura, dengan meningkatnya
mutu pelayanan dan teknologi
kesehatan, angka kematian menurun dari dari 99 menjadi 55 55 per 100.000 pendu duk,sedangkan di Thailand dilaporkan kematian akibat stroke 11 per 100.000 penduduk.Hal ini mengakibatkan jumlah penderita
paska
selamat dengan kecacatan (disability (disability ) meningkat di masyarakat.
stroke yang
Data di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian peringkat keti ga tahun2011 (AHA,2010)
Pasien
rawat
inap dengan
stroke
sebanyak
23.636orangdengan Case 23.636orangdengan Case Fatality Rate (CFR) Rate (CFR) 17,8 %, pada pasien rawat jala n ditahunyang sama berjumlah 26.195 orang, sedangkan ditahun 2005 jumlah p asienrawat jalan sebanyak 96.095 orang (Depkes RI, 2005). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2008 angka prevalensi stroke di Indonesi a pada tahun 2007 sebesar 8,3 per 1000 penduduk dan yang telah didiagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus
stroke
di
masyarakat
telah didiagnosa oleh tenaga
kesehatan. Prevalensi stroke tertinggi dijumpai di NAD ( 16,6 ‰) dan ‰) dan terendah di Papua ( 3,8 ‰ ). Untuk
meningkatkan
pelosok Indonesia, pembangunan kesadaran, kemauan
dan
terwujud
kesehatan masyarakat di seluruh
kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya, Kementerian Kesehatan
RI
telah menyelenggarakan menyelenggarakan berbagai upaya pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan. berkesinambungan.
Pelayanan keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik saki t maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayana n keperawatan memberi memberi pengaruh yang yang cukup besar besar terhadap mutu pelayanan pelayanan secara keseluruhan
termasuk pelayanan keperawatan pasien dengan strok
e. Pelayanan keperawatan
pasien stroke dilakukan melalui kegiatan promotif,
preventif,
rehabilitatif, secara
kuratif,
terpadu,
terintegrasi
danberkesinambungan danberkesinambungan di pelayanan dasar maupun spesialistik. spesialistik. Oleh karena itu perlu disusun standar standar pelayanan pelayanan keperawatan rumah sakit sakit khusus khusus stroke. stroke.
Data di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian peringkat keti ga tahun2011 (AHA,2010)
Pasien
rawat
inap dengan
stroke
sebanyak
23.636orangdengan Case 23.636orangdengan Case Fatality Rate (CFR) Rate (CFR) 17,8 %, pada pasien rawat jala n ditahunyang sama berjumlah 26.195 orang, sedangkan ditahun 2005 jumlah p asienrawat jalan sebanyak 96.095 orang (Depkes RI, 2005). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2008 angka prevalensi stroke di Indonesi a pada tahun 2007 sebesar 8,3 per 1000 penduduk dan yang telah didiagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus
stroke
di
masyarakat
telah didiagnosa oleh tenaga
kesehatan. Prevalensi stroke tertinggi dijumpai di NAD ( 16,6 ‰) dan ‰) dan terendah di Papua ( 3,8 ‰ ). Untuk
meningkatkan
pelosok Indonesia, pembangunan kesadaran, kemauan
dan
terwujud
kesehatan masyarakat di seluruh
kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya, Kementerian Kesehatan
RI
telah menyelenggarakan menyelenggarakan berbagai upaya pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan. berkesinambungan.
Pelayanan keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik saki t maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayana n keperawatan memberi memberi pengaruh yang yang cukup besar besar terhadap mutu pelayanan pelayanan secara keseluruhan
termasuk pelayanan keperawatan pasien dengan strok
e. Pelayanan keperawatan
pasien stroke dilakukan melalui kegiatan promotif,
preventif,
rehabilitatif, secara
kuratif,
terpadu,
terintegrasi
danberkesinambungan danberkesinambungan di pelayanan dasar maupun spesialistik. spesialistik. Oleh karena itu perlu disusun standar standar pelayanan pelayanan keperawatan rumah sakit sakit khusus khusus stroke. stroke.
Berdasarkan patofisiologi dan perjalanan penyakit, penatalaksanaan terhadap penderita stroke dimulai sejak fase prapatogenesa,fase patogenesa dan fase pasca patogenesa, dengan pendekatan pelayanan paripurna dan terpadu. Fase prapatogenesa merupakan suatu fisik seseorang/individu yang mempunyai potensi untuk mendapat serangan stroke, kecenderungan ini umumnya disebabkan oleh adanya faktor resiko (hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, hiperkolesterol, dll) yang sudah lama diderita pasien. Fase patogenesa umumnya terjadi pada individu yang sedang menderita serangan stroke dan membutuhkan terapi/tindakan klinis di rumah sakit, penatalaksanaan penatalaksanaan fase
ini terdiri dari penatalaksanaan stadium
hiperakut, stadium akut dan stadium sub akut . Pada fase pasca patogenesa, penatalaksanaan stroke setelah melampaui fase akut mengutamakan prosedur neurorestorasi. Lesi patologik dianggap sudah stabil dan perubahan yang ada hanya merupakan proses adaptif dari sistem saraf terhadap lesi patologik atau adaptasi sosial terhadap kemampuan dan kecacatan yang ada. 1. Stadium Hiperakut Stadium Hiperakut adalah kumpulan gejala klinis yang terjadi pada menit/1 jam pertama serangan otak. Saat ini merupakan waktu yang ideal untuk melakukan tindakan emergency. 2. Stadium Akut Stadium Akut ditandai oleh keadaan fungsi vital dan keadaan klinis yang belum stabil. Keadaan ini berlangsung sejak fase hiperakut sampai dengan 2 minggu pasca serangan, tergantung dari jenis stroke dan keparahannya. 3.
Stadium sub Akut. Stadium sub akut ditandai oleh adanya pemulihan pada lesi patologik saraf dan reorganisasi dari seluruh sistem saraf (kondisi ini masih tidak stabil), atadium ini disebut juga stadium restoratif. Tergantung dari jenis dan keparahan lesi syaraf serta kondisi ekstraneural yang berpengaruh. Stadium sub akut umumnya berlangsung selama 2 minggu sampai 6 bulan pasca Stroke, namun kompetensi pelayanan pelayanan di Unit Stroke berlangsung sampai 1 bulan pasca serangan otak yang tergantung pada keparahan klinis.
Pendekatan
terhadap
kasus-kasus
neurology
belakangan
mulai
berkembang kearah penanganan yang lebih agresif dan sesegera mungkin dengan tujuan menurunkan tingkat kematian, menurunkan angka kesakitan, mempersingkat lama perawatan, menurunkan angka kecacatan dan menekan biaya perawatan. Sebagian dari kasus neurology termasuk stroke merupakan kasus dengan kondisi kritis yang membutuhkan penanganan intensif yang cepat, tepat dan cermat. Untuk itu di di bentuklah unit khusus stroke yang berada di rumah sakit dr Bratanata yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan yang mendasari dibutuhkannya unit stroke, antara lain: 1. Insiden stroke di Indonesia yang tinggi dan cenderung meningkat terus, seiring dengan meningkatnya faktor resiko, penyebab dan pencetus stroke (gaya hidup masyarakat di perkotaan meliputi pola makan, merokok, aktifitas dan stress; dampak urbanisasi dan globalisasi), serta pengaruh dari meningkatnya jumlah populasi lanjut usia sebagai akibat bertambahnya umur harapan hidup. 2. Stroke dapat menyebabkan kematian dan menjadi penyebab kecacatan yang utama. 3. Pemahaman pimpinan Rumah Sakit dan para klinisi selain neurolog tentang stroke dan cara penanggulangannya masih perlu ditingkatkan. 4. Dibutuhkan manajemen/penatalaksanaan khusus dalam penatalaksanaan stroke di rumah sakit. 5. Belum adanya standarisasi pelayanan yang menyeluruh dan terpadu dalam penanganan stroke secara menyeluruh dan terpadu. 6. Belum adanya bentuk pelayanan multidisiplin untuk penderita stroke di Rumah Sakit. 7. Belum ada konsep-konsep dan prosedur penanganan terpadu neurorestorasi pada stroke. 8. Tantangan dalam pengobatan/penatalaksanaan stroke akut masih terus berkembang. 9. Belum tersebarluasnya pedoman penatalaksanaan stroke yang melibatkan baik pasien, keluarga maupun masyarakat mengenai kedaruratan stroke dan upaya-uapaya preventifnya. 10. Kurangnya kemampuan dan ketrampilan tenaga kesehatan di rumah sakit dalam penatalaksanaan stroke akut.
11. Kurangnya penelitian /kajian tentang data dasar stroke.
Tujuan Unit Stroke:
1. Menurunkan angka kematian penderita stroke 2. Menurunkan angka kecacatan fisik penderita stroke 3. Menurunkan angka kesakitan penderita stroke 4. Mempersiapkan penderita stroke untuk kembali pada fungsi semula di masyarakat 5. Meningkatkan rasa percaya diri penderita stroke 6. Mendidik, melatih sumber daya manusia dan menyebarkan metode perawatan dan pelatihan penderita stroke 7. Mengintensifkan pencegahan primer dan pentingnya penanganan yang cepat pada penderita stroke baru 8. Mendidik masyarakat dan menyebarkan metoda perawatan dan pelatihan bagi penderita pasca stroke. Anggota
tim stroke harus mempunyai kompetensi dan pengetahuan mengenai
tatalaksana stroke yang meliputi: 1. Melakukan diagnosa, terapi,perawatan dan evauasi stroke akut. 2. Membantu pemulihan penderita stroke seoptimal mungkin. 3. Menurunkan insiden stroke melalui usaha prevensi primer dengan edukasi. 4. Mengimplementasikan prevensi sekunder untuk menurunkan risiko stroke ulang. 5. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan riset stroke A. Batasan Operasional Meliputi :
Bab I
:
Pendahuluan
Bab II
:
Standar Ketenagaan
Bab III
:
Standar Fasilitas
Bab IV
:
Tata Pelaksanaan Pelayanan
Bab V
:
Logistik
Bab VI
:
Keselamatan Pasien
Bab VII
:
Keselamatan Kerja
Bab VIII
:
Pengendalian Mutu
Bab IX
:
Penutup
B. Landasan Hukum 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, 3. Undang-Undang Republik 1999
Indonesia
Nomor
8
Tahun
tentang Perlindungan Konsumen,
4. Permenkes RI Nomor:HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin da n Penyelenggaraan Praktik Perawat, 6. Permenkes RI Nomor :1796/MENKES/PER/8/2011 tentang Registras i Tenaga Kesehatan, 7.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
BAB II STANDAR KETENAGAAN
A. Kualifikasi sumber daya manusia NO
NAMA JABATAN
PENDIDIKAN
PELATIHAN / SEMINAR YANG PERNAH DI IKUTI
1
Kepala Unit Stroke
D III - Kep
BTCLS
2
Wakil Kepala Unit Stroke
D III - Kep
BTCLS
3
Ketua Tim
D III - Kep
BTCLS
4
Perawat Pelaksana
D III - Kep
BTCLS
5
Fisioterapis
D III - Fis
BHD
6
Petugas Administrasi
D III - Kep
-
Keterangan : 1. BTCLS
:
Basic Trauma Cardiac Life Support
2. BHD
:
Bantuan Hidup Dasar
B. Distribusi ketenagaan a. Untuk Dinas Pagi : Yang bertugas sejumlah ± 8 orang
Kategori : 1 orang Ka Unit Stroke 1 orang WaKa Ruangan 1 orang Perawat Penaggung jawab Shift 1 orang Petugas Administrasi 3 orang Perawat Pelaksana b. Untuk Dinas Sore : Yang bertugas sejumlah ± 3 orang
Kategori : 1 orang Perawat Penanggung Jawab Shift 2 orang perawat pelaksana c. Untuk Dinas Malam : Yang bertugas sejumlah ± 3 orang Kategori : 1 orang Perawat Penanggung Jawab Shift 2 orang perawat pelaksana
C. Pengaturan jaga
Pengaturan jadwal dinas perawat dibuat dan di pertanggung jawabkan oleh Kepala Unit Stroke dan disetujui oleh Ka Keperawatan
Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan dan direalisasikan ke perawat pelaksana setiap satu bulan.
Untuk tenaga perawat yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu, maka perawat tersebut dapat mengajukan permintaan dinas. Permintaan akan disesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang ada (apa bila tenaga cukup dan berimbang serta tidak mengganggu pelayanan, maka permintaan disetujui).
Setiap tugas jaga / shift harus ada perawat penanggung jawab shift ( Katim ) dengan syarat pendidikan minimal D III Keperawatan dan masa kerja minimal 5 tahun, serta memiliki sertifikat BTCLS
Jadwal dinas terbagi atas dinas pagi, dinas sore, dinas malam, lepas malam, libur dan cuti.
Apabila ada tenaga perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak dapat jaga sesuai jadwal yang telah ditetapkan ( terencana ), maka perawat yang bersangkutan harus memberitahu Ka Unit Stroke : 2 jam sebelum dinas pagi, 4 jam sebelum dinas sore atau dinas malam. Sebelum memberitahu Ka Unit Stroke, diharapkan perawat yang bersangkutan sudah mencari perawat pengganti, Apabila perawat yang bersangkutan tidak mendapatkan perawat pengganti, maka Ka Unit Stroke akan mencari tenaga perawat pengganti yaitu perawat yang hari itu libur atau perawat Unit Stroke yang tempat tinggalnya dekat dengan lingkunagan / wilayah rumah sakit.
Apabila ada tenaga perawat tiba – tiba tidak dapat jaga sesuai jadwal yang telah ditetapkan ( tidak terencana ), maka Ka Unit Stroke akan mencari perawat pengganti yang hari itu libur atau perawat Unit Stroke yang tempat tinggalnya dekat dengan lingkungan / wilayah rumah sakit. Apabila perawat pengganti tidak di dapatkan, maka perawat yang dinas pada shift sebelumnya wajib untuk menggantikan. (Prosedur pengaturan jadwal dinas perawat Unit Stroke sesuai SOP terlampir).
BAB III STANDAR FASILITAS
A. Denah ruang Unit Stroke
B. Standar fasilitas 1. Bangunan Fisik Unit Stroke Memiliki bangunan yang terletak Di lantai Dua, Ruangan Kartika. Dekat Dengan Ruang Operasi Dan Ruang ICU. Pada bagian dalam ruangan terdiri dari : NO 1 2 3 4 5 6
RUANGAN Ruang Tunggu Keluarga Pasien Ruang Konsultasi Dokter Ruang Perawatan Ruang Perawat Toilet Gudang
JUMLAH 1 1 2 1 2 1
KET
2. Peralatan Medik, Dan Alkes a. Tempat tidur khusus dengan kasur dekubitus b. Bed side monitor dengan Alat pengukur tekanan darah, Pulse Oxymetri Dan EKG. c.
Alat pengukur suhu
d. Alat penghisap (suction) Portable e. Oksigen Central f.
Lampu Baca Hasil Radiologi
g. Defebrilator dan alat pacu jantung h. Emergency trolley yang berisi alat dan obat untuk keadaan emergency : laringoskop, ambu bag, O 2, OPA, adrenalin, Atrofin Sulfat i.
Pompa infus dan pompa syringe
j.
Infra Red ( fisioteraphy )
k.
Short Wave Diathermy ( fisioteraphy )
l.
Tempat Untuk Latihan Berjalan
m. Berbagai alat peraga untuk melatih fungsi sensorik dan motorik
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN
A. Alur Pelayanan Unit Stroke
POLI UMUM
IGD
PENUNJANG
POLI SYARAF
KONSUL
DIAGNOSTIK UNIT STROKE
PENURUNAN
STABIL
KESADARAN
SEMBUH
DI RUJUK
ICU
ADM/ KASIR
PASIEN
B. Kriteria masuk dan keluar Stroke Center Kriteria Pasien masuk Unit Stroke di bagi menjadi dua : 1. Prioritas I / Primer Kelompok ini merupakan Pasien Dengan Stroke Akut Baik Stroke Perdarahan Atau Stroke Penyumbatan yang memerlukan perawatan intensif dengan dukungan infus, obat-obatan dll. 2. Prioritas II / Sekunder Kelompok Ini merupakan pasien Dengan indikasi Neurologi lainya Serta Pasien dengan kondisi pasca Stroke. Kriteria Pasien Keluar Unit Stroke 1. Pasien dapat keluar dari unit stroke jika pasien sudah tidak memerlukan perawatan intensif atau sudah melewati fase kritis dari penyakitnya. 2. Pasien dapat keluar dari unit stroke jika pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga perlu dirawat di ruangan ICU. 3. Pasien dapat keluar dari unit stroke jika pasien atau keluarga pasien meminta untuk di rujuk ke rumah sakit lain.
C. Persiapan penerimaan pasien
1.
Pasien datang diruangan diterima oleh kepala ruangan atau perawat primer atau perawat yang diberi delegasi
2.
Perawat memperkenalkan diri pada klien dan keluarganya
3. Perawat bersama dengan karyawan lain memindahkan pasien ke tempat tidur (apabila pasien datang dengan berangkat atau kursi roda) dan berikan posisi yang nyaman 4. Perkenalkan pasien baru dengan pasien yang sekamar 5. Setelah pasien tenang dan situasi sudah memungkinkan perawat memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang Hak dan Kewajiban Pasien. orientasi ruangan. Perawatan (termasuk perawat yang bertanggung jawab dan sentralisasi obat), medis ( dokter yang bertanggung jawab dan jadwal visit) dan tata tertib ruangan. 6. Perawat menanyakan kembali tentang kejelas dan informasi yang telah disampaikan 7. Perawat melakukan pengkajian terhadap pasien sesuai dengan format Pengkajian 8. Perawat menunjukkan kamar atau tempat tidur klien dan mengantarkan ke tempat yang telah ditetapkan. 9. Apabila pasien atau keluarga sudah jelas, maka diminta untuk menendatangani Inform Consent sentralisasi obat. Serta Catatan Edukasi Terintegrasi. D. Monitoring pasien Unsur
penyelenggara
Unit
stroke,
terdiri
dari
2
(dua)
unsur
penyelenggara yaitu tim inti dan tim konsultan. a.
Tim Inti Adalah pelaksana yang mempunyai akses terhadap semua pasien
stroke yang peralatan)yang
dirawat dan terhadap sumber daya (tenaga,sarana dan digunakan
untuk
pengobatan,
perawatan
dan
rehabilitasi sesuai dengan mekanisme pelayanan standar yang ditetapkan. Anggota tim inti dapat merupakan bagian dari Unit Stroke yang secara geografis terlokalisir atau merupakan tim yang mobile (bergerak yang mengelola seluruh pasien stroke yang dirawat secara
berpencar di ruang rawat lainnya yang tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke Unit Stroke. Dokter spesialis neurologi yang bertindak juga sebagai pimpinan tim. Dokter
spesialis
neurovascular/
neurologi
stroke,
peminatan
neurorehabilitasi,
kegawatan
neurologi,
neurobehaviour
dan
peminatan lain sesuai kebutuhan pasien. Perawat mahir stroke. Perawat ini merupakan pelaksana utama dalam perawatan pasien di Unit Stroke. Tenaga keterapian fisik (fisioterapi, terapi wicara dan okupasi terapi). Dietisien. Perawatan stroke bekerja bekerjasama dengan dietisien mengatur pemberian nutrisi pada pasien. Pekerja sosial.
b.
Tim Konsultan Adalah para ahli yang ikut mengelola pasien stroke sesuai dengan
probema yang membutuhkan pengelolahan sesuai dengan bidang keahlian
yang
bersangkutan.
Tim
konsultan
melaksanakan
pengelolaan atas dasar konsultatif. Disiplin Ilmu Penyakit Dalam. Disiplin Ilmu Penyakit Jantung Disiplin Ilmu Penyakit Paru Disiplin Ilmu Bedah Saraf. Disiplin Ilmu Rehabilitasi Medik Disiplin Ilmu Penyakit Jiwa Disiplin Ilmu Intensive Care Unit (ICU) / Neuro Critical Care. Disiplin Ilmu Radiologi/ Neuroradiologi Disiplin Ilmu Bedah vaskular Disiplin Ilmu Kesehatan Anak Stroke Pada fase akut perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien stroke. Sepertiga pasien stroke mengalami perburukan neurologis selama beberapa hari
pertama (terutama 24 jam pertama) dan lebih 25% mengalami progresi (berkembang Perkembangan
atau
tetap
kerusakan
mengalami neurologis
kerusakan disebabkan
neurologis). oleh
proses
intraserebral seperti “ischaemic cascade” selain itu dihubungkan dengan hemodinamik sistemik, biokimia dan gangguan fisiologis yang memungkinkan untuk diatasi. Penelitian Normal brain function relies on physiological mechanismFungsi otak normal bergantung pada mekanisme fisiologis which ensure that the brain receives both the correct quantityyang memastikan bahwa otak menerima jumlah dan kualitas
darah
yang
normal.
Jumlah
darah
tergantung
pada
autoregulasi sedangkan kualitas darah tergantung pada kadar oksigen dan glukosa darah. After a stroke, the autoregulation system becomes disturbed,Setelah stroke, sistem autoregulasi mengalami gangguan, sehingga otak tergantung pada tekanan darah sistemik untuk menerima darah yang cukup (Jones, Leathley, McAdam & Watkins, 2007). Pengobatan antihypertensi diberikan pada stroke iskemik jika tekanan darah sistole > 220 mmHg atau mean arterial blood pressure (MAP) >120 mmHg. Menurunkan tekanan darah sekitar 15% selama 24 jam pertama direkomendasikan (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, & Bakshi, 2011).. Antihipertensi parenteral diberikan jika pasien mengalami hipertensi emergensi dengan 1 atau lebih masalah yaitu: hipertensi ensefalopati, hipertensi nefropati, hipertensi cardiac failure/Infark miokard, pembedahan aorta, pre eklampsia/eklampsia atau perdarahan intraserebral dengan tekanan darah sistole > 200 mmHg (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, & Bakshi, 2011). Saturasi oksigen dipantau melalui pemeriksaan analisa gas darah (hasil pemeriksaan laboratorium belum ada). Pada fase akut, selain saturasi oksigen, hal yang harus diperhatikan adalah pengaturan posisi. Pasien dengan posisi rekumben (berbaring pada satu sisi/miring dan posisi supine mempunyai saturasi oksigen yang lebih rendah. Pasien dengan posisi kepala ditinggikan dapat mempertahankan kadar saturasi O2 tetap tinggi, dan harus dipastikan bahwa posisi pasien tidak
merosot ketika dalam posisi ini. Pemberian oksigen sering diberikan pada stroke fase akut, meskipun keuntungan dan risiko pemberian oksigen tidak sepenuhnya dipahami (Jones, Leathley, McAdam & Watkins, 2007). Oksigen sebaiknya diberikan jika saturasi oksigen <95% (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, & Bakshi, 2011). Peningkatan kadar glukosa darah sering ditemukan pada stroke fase akut. Kadar glukosa serebral yang tinggi meningkatkan glikolisis anaerob selama iskemik dengan akumulasi asam laktat yang bersifat neurotoksik pada penumbra iskemik (Khan & Ziauddin, 2001). Peningkatan
kadar
glukosa
darah
berhubungan
dengan
perkembangan stroke, beratnya stroke, perluasan infark, outcome yang jelek, peningkatan morbiditas dan mortalitas (Jones, Leathley, McAdam & Watkins, 2007). Kadar glukosa plasma >200 mg/dl dih ubungkan dengan outcome yang jelek. Hal ini tergantung usia, beratnya stroke dan sub-type stroke (Khan & Ziauddin, 2001). Blood glucose levels should be closely monitored in thKadar glukosa darah harus dipantau secara ketat pada stroke acute phase of stroke so that changes in plasma glucofase akut sehingga perubahan kadar glukosa plasma dapat diidentifikasi dan diobati jika perlu concentrations can be identified and treated if necessary(Jones, Leathley, McAdam & Watkins, 2007). Glukosa darah dipertahankan antara 70-190 mg/dl. Jika terjadi peningkatan glukosa darah >140 mg/dl harus diatasi dengan pemberian insulin dengan melakukan sliding scale selama minggu pertama setelah stroke (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, & Bakshi, 2011). Jika pasien stroke mengalami demam (>37.5°C) diobati dengan paracetamol dan cari kemungkinan penyebab infeksi. Hypothermia <34°C harus dihindari karena dapat menyebabkan koagulopati, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi dan aritmia (Prasad, Kaul, Padma, Gorthi, Khurana, & Bakshi, 2011). which means that the brain becomes dependent on systemicIntervensi lain yang dilakukan yaitu mengatur posisi head up 30o, memberi oksigen 4 liter/menit, memasang infus Asering 500 ml/12 jam, melakukan pemeriksaan EKG, rontgen thoraks
dan CT scan. Melakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah, menjelaskan tentang faktor yang memicu serangan stroke, memotivasi pasien untuk mengkonsumsi obat-obatan sesuai dengan dosis dan memotivasi untuk tetap memeriksakan kesehatan secara rutin. E. Pengunaan alat medik (SOP Terlampir) a. Syringe pump b. Infusion pump c. Suction d. Defibrilator e. Infra Red f.
Short Wave Diathermy
F. Konsultasi 1. Fisioterapis fisioterapi hemiparese Aplikasi teknologi fisioterapi dan efek fisiologis teknologi fisioterapi pada hemiparese dextra oleh karena stroke non haemorhagik Modalitas Fisioterapi yang digunakan untuk menangani kondisi stroke stadium akut atau flaccid ini, bertujuan untuk; (1) mencegah komplikasi pada fungsi paru akibat tirah baring yang lama. (2) menghambat spastisitas, pola sinergis ketika ada peningkatan tonus. (3) mengurangi oedem pada anggota gerak atas dan bawah sisi sakit . (4) merangsang timbulnya tonus kearah normal, pola gerak dan koordinasi gerak. (5) meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional. Pelaksanaan terapi dilakukan pada ruang ICU dan bangsal rawat inap. Adapun teknik yang di gunakan diantaranya : 1). Passive breathing excercise Karena sudah satu minggu pasien mengalami serangan stroke.Dan saat ini sebagian besar waktunya digunakan untuk tiduran oleh pasien. Istirahat yang cukup lama dibed dan inaktifitas akan menurunkan metabolisme secara umum .Hal ini mengakibatkan penurunan kapasitas
fungsional pada sistim tubuh yang komplek, dengan manifestasi klinis berupa sindrom imobilisasi (Saleem dan Vallbona). Pada pasien yang menderita defisit neurologis efek imobilisasi berakibat pada
penurunan
kapasitas
fungsional.
Hal
ini
menyebabkan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan potensi fungsi maksimal yang dimiliki pasien. Manifestasi klinik sindrom imobilisasi salah satunya pada sistem respirasi yang berupa : (a) penurunan kapasitas vital (b) penurunan ventilasi volunter maksimal (c) perubahan regional dalam ventilasi/perfusi (d) gangguan mekanisme batuk. 2). Positioning Setiap posisi atau gerak dari pasien harus selalu berada dalam lingkup pola penyembuhan atau berlawanan dengan pola spastisitas yang timbul kemudian, posisi dan latihan gerak dalam pola penyembuhan harus sejak dini dilaksanakan.Pengaturan posisi yang benar dengan posisi anatomis, ini bermanfaat untuk menghambat pola sinergis dan spastisitas ketika adanya peningkatan tonus. Posisi tidur terlentang, posisi bahu dan lengan diletakkan diatas bantal sehingga bahu sedikit terdorong ke depan (protaksi) karena pada paisen stroke cenderung untuk terjadi retraksi bahu.Posisi bantal diletakkan dibawah tungkai bawah dengan maksud agar panggul tidak jatuh kebelakang dan tungkai tidak eksternal rotasi. Posisi miring kesisi sehat berfungsi agar tidak terjadi dekubitus dan untuk mencegah komplikasi fungsi paru akibat tirah baring yang lama karena karena sangkar thorak terfiksir dalam posisi ekspirasi, dengan posisi bahu protaksi dan lengan lurus didepan bantal.Posisi miring kesisi sakit, dengan posisi bahu terdorong kedepan dan tidak tertindih akan memberikan rasa berat badan pada sisi lumpuh.Pengaturan posisi elevasi pada ekstremitas bawah dan ekstremitas atas berguna untuk menurunkan oedem dengan menganut prinsip gravitasi dengan postural drainage lewat pembuluh darah dan limfe.Pengaturan posisi furniture pasien disisi lumpuh dengan tujuan (1) rotasi kepala yang diikuti mata paisen secara otomatis kearah benda yang terletak dimeja menimbulkan suatu kebiasaan untuk meluruskan
lengan yang sakit dalam pola penyembuhan (2) berat badan bergeser kerah sisi tubuh terutama sendi panggul, merangsang kesadaran akan sisi yang paralisis (3) gerakan memutar bahu terhadap panggul merupakan gerakan penting dalam mencegah spastisitas. 3). Stimulasi taktil terhadap kulit, otot, persendian dengan tehnik – tehnik: tapping, swiping, aproksimasi. Stimulasi taktil pada prinsipnya harus menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang golgi tendon dan muscle spindle.Impuls yang berasal dari gelondong otot dan organ tendon dikirim oleh serat konduksi yang paling kaya bermyelin yaitu serat Ia.Impuls propioseptif lain yang berasal dari reseptor fasia, sendi dan jaringan ikat yang lebih dalam, berjalan dalam serat yang kurang bermyelin.Ketukan, swiping, tapping dan aproksimasi akan merangsang propioseptor pada kulit dan persendian, gelondong otot akan bereaksi dengan dikirimnya impuls ke motoneuron
anterior,
perangsangan
neuron
ini
menyebabkan
peningkatan kontraksi secara singkat. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi tendon akan diinformasikan melalui afferen ke susunan saraf pusat
sehingga
akan
mengkontribusikan
fasiltas
dan
inhibisi
(gracanin).Rangsangan taktil yang diulang-ulang akan memberikan informasi ke “supraspinal mechanisme” sehingga terjadi pola gerak yang terintegrai dan menjadi gerakan-gerakan pola fungsional. Stimulasi taktil melalui saraf motoris perifer melatih fungsi tangan “graps” dan “release” serta dapat memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam melakukan gerakan . 4). Latihan gerak pasif dengan pola gerak propioceptive neuromusculer fasilitation dengan tehnik rhytmical initiation . PNF adalah kependekan dari propioceptive Neuromuscular Fasilitation. Dimana
maksud
dari
fasilitasi
disini
adalah
membuat
lebih
mudah.Dengan demikian kita bisa memberikan tindakan dengan efisien dengan selalu memperhatikan ketepatan dan fungsi gerakan yang dilakukan pasien.Propiceptieve, dengan metode PNF maka akan semakin diperkuat dan diintensifkan rangsangan – rangsangan spesifik melalui
receptor
yaitu
panca
indra
dan
atau
propioceptor.Neuromusculair, juga untuk meningkatkan respons dari
sistem neouromusculair. Filosofi dari PNF adalah menangani atau mengobati pasien secara total dengan tujuan mencapai fungsi-fungsi yang optimal dari pasien.PNF berlatar belakang atas konsep sebagai berikut : bahwa kehidupan (dalam arti sempit) adalah sederetan reaksi atas sederetan rangsangan – rangsangan yang diterimanya.Manusia dengan cara demikian akan dapat mencapai bermacam – macam kemampuan
motorik.Bila
ada
gangguan
terhadap
mekanisme
neuromusculair, berarti seseorang tidak dalam kondisi untuk siap bereaksi terhadap rangsangan -rangsangan yang datang sehingga dia tidak mampu untuk bereaksi kearah yang tepat seperti yang dikehendaki.Metode
PNF
berusaha
memberikan
rangsangan –
rangsangan yang sesuai dengan reaksi yang dikehendaki, yang pada akhirnya
akan
dicapai
kemampuan
atau
gerakan
yang
terkoordinasi.Lewat rangsangan – rangsangan tadi fisioterapis berusaha untuk mengaktifkan lagi mekanisme yang latent dan cadangan – cadangannya dengan tujuan utama untuk meningkatkan kemampuan fungsional.Metode PNF menganut prinsip – prinsip (1) Ilmu proses tumbuh kembang, perkembangan motoris berkembang dari cranial ke caudal dan dari proksimal ke distal.Gerakan terkoordinasi pada orang dewasa
berlangsung
dari
distal
ke
proksimal.Gerakan
selalu
sebelumnya didahului dengan kontrol sikap (stabilisasi), dimana stabilisasi akan menentukan kualitas dari gerakan (2) Prinsip Neurofisiologis, Overflow principe; motoris impuls dapat diperkuat oleh motoris impuls yang lain dari group otot yang lebih kuat yang dalam waktu bersamaan berkontraksi, dimana otot –otot tersebut kira – kira mempunyai fungsi yang sama (otot – otot synergis).overflow principe akan
menimbulkan
apa
yang
disebut
irradiatie
atau
summatie.Rangsangan saraf motoris mempunyai ambang rangsang tertentu (semua atau tidak sama sekali).(3) Prinsip ilmu gerak, latihan – latihan isometris ditujukan untuk memperbaiki sikap sedangkan latihan isotonis ditujukan untuk memperbaiki gerakan.Gerakan tunggal murni tidak ada dalam kehidupan, otak hanya mengenal aktifitas otot secara group bukan gerakan individual,setiap gerakan terjadi dalam arah tiga dimensi.gerakan akan semakin kuat bila terjadi bersama – sama
dengnan gerakan total yang lain.Dengan dasar – dasar tersebut, metode PNF menyusun latihan – latihan dalam gerakan – gerakan yang selalu melibatkan lebih dari satu sendi dan mempunyai 3 komponen gerakan.Latihan akan lebih cepat berhasil apabila pasien secara penuh mampu melakukan suatu gerakan dari pada bila hanya melakukan sebagian saja.Hindarkan faktor – faktor yang menghambat latihan misal latihan seharusnya tanpa menimbulkan rasa sakit, pengulangan – pengulangan yang banyak dan bervariasi, sikap posisi awal akan memberikan hasil yang lebih baik, aktifitas yang lama penting untuk meningkatkan
kekuatan,
koordinasi,
kondisi
dari
sistem
neuromusculair.Tehnik – tehnik PNF adalah alat fasilitasi yang dipilih dengan maksud yang spesifik, tehnik – tehnik tersebut mempunyai maksud (1) mengajarkan pola gerak, menambah kekuatan otot (3) relaksasi (4) memperbaiki koordinasi (5) memperbaiki gerak (6) mengajarkan kembali gerakan (7) menambah stabilisasi. 5) Mobilisasi dini dengan latihan secara pasif dan aktif. Pemulihan motorik ialah kembalinya fungsi motorik yang disebabkan oleh pemulihan sistem saraf pada daerah otak yang terkena.Pemulihan motorik sangat bervariasi, banyak diantara mereka yang mengalami pemulihan lengkap (recovery completely) namun tidak sedikit pula yang harus
berlatih
keras
guna
memperoleh
kembali
kemampuan
fungsionalnya atau bahkan banyak diantaranya harus menjalani kehidupannya dengan beberapa disabilitas. Pemulihan motorik terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu (1) resolusi dari faktor – faktor lokal yang merusak dan ini biasanya merupakan pemulihan spontan yang umumnya berlangsung antara 3 sampai dengan 6 bulan. Bahkan proses ini bisa hanya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, proses ini meliputi pengurangan oedem lokal, perbaikan sirkulasi darah lokal dan penyerapan jaringan yang rusak (2) Neuroplastisitas yang terjadi pada stadium lanjut, penderita stroke mempunyai hubungan bermakna terhadap reorganisasi yang disebut “Neural
Plasticity”
penyembuhan
saraf
dalam
proses
penderita
perbaikan
stroke
harus
sistem ditangani
sarafnya. secara
menyeluruh sejak fase awal hingga fase penyembuhan salah satu pendekatannya adalah pendekatan fisik (physical therapy). ( Purbo kuntono, 1997) Proses perbaikan pada penderita stroke, pada fase awal perbaikan fungsional neurologi berupa perbaikan lesi primer oleh penyerapan kembali oedema di otak dan membaiknya sistem vaskularisasi.Dalam beberapa waktu kemudian berlanjut ke perbaikan fungsi aksonal atau aktivasi sinaps yang tidak efektif.Pada penderita stroke, perbaikan fungsi neuron berlangsung kurang lebih dalam waktu satu tahun. Prediksi perbaikan ini sangat tergantung dari luasnya defisit neurologi awal, perkembangan lesi, ukuran dan topis kelainan di otak, serta keadaan sebelumnya. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh usia nutrisi dan tindakan terapi (fisioterapi) yang juga merupakan faktor yang menentukan
dalam
proses
perbaikan.Kemampuan
otak
untuk
memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dari fungsi yang mengalami cendera\kerusakan disebut “neural plastisity” Otak mempunyai kemampuan untuk beradaptasi, memperbaiki, mengatasi perubahan
lingkungan
nya
(bahaya-bahaya)
melalui
penyatuan
neuronal kembali yang dikelompokan menjadi : (1) Sprouting ( Collateral Sprouting ) merupakan respon neuron daerah yang tidak mengalami cendera dari sel-sel yang utuh ke daerah yang debervasi
setelah
ada
cendera.Perhatikan
fungsi
SSP
dapat
berlangsung beberapa bulan atau tahun setelah cendera dan dapat terjadi secara luas di otak pada daerah setal nukleus, hipokampus, dan sistem saraf tepi. (2) Unmasking, dalam keadaan normal, banyak akson dan sinaps yang tidak aktif. Apabila “ Jalur Utama” mengalami kerusakan maka fungsinya akan diambil oleh akson menurut wall dan kabath, jalur sinapsis mempunyai mekanisme homestatik, dimana penurunan masukan akan menyebabkan naiknya eksitabilitas sinapsnya . (3)Diachisia (Dissipation of diachisia) keadaan dimana terdapat hilangnya kesinambungan fungsi atau adanya hambatan fungsi dari traktus -traktus sentral di otak (Purbo kuntono, 1997 yang dikutip dari Meryl Roth Gesch M, 1992) .
Maka perbaikan fungsi pada penderita post stroke dapat dilakukan melalui dua cara : (1) Latihan gerak atau mobilisasi dini untuk mempengaruhi fasilitas dan mendidik kembali fungsi otot terhadap sisi anggota yang lesi (2) Latihan untuk mempengaruhi gerak kompensasi sebagai pengganti daerah yang akan lesi. Pada fase penyembuhan ini latihan sangat berpengaruh dalam derajat maupun kecepatan perbaikan fungsi.Mobilisasi dengan latihan pasif dan latihan aktif sedini mungkin yang dilakukan serta berulang-ulang akan menjadi gerak yang terkontrol atau terkendali.
2.
Gizi
Pemberian makanan pada penderita stroke disesuaikan dengan keadaan penderita, antara lain apakah kesadaran penderita menurun atau tidak, dan ada tidaknya gangguan fungsi menelan. Pada pasien stroke iskemik biasanya kesadaran tidak menurun dan tidak ada gangguan fungsi menelan. Sedangkan pada stroke hemoragik kesadaran sering kali menurun sampai terjadi koma dan ditemukan disfagia (gangguan menelan). Selain itu, pasien stroke juga mngalami gangguan mengunyah, dan saluran cerna lain seperti tukak stres. Sekitar 30 - 40% pasien mengalami disfagia, dan sekitar 18% mengalami tukau stres pada penderita stroke iskemik, dan sekitar 48% pada penderita stroke hemoragik. Untuk mencegah penurunan status gizi dan mencapai gizi yang optimal, diperlukan penatalaksanaan asupan gizi yang tepat pada penderita stroke. Jalur pemberian zat gizi dapat melalui mulut (per oral), enteral (melalui sonde), melalui pipa (NGT) maupun parenteral (dengan selang infus) berdasarkan kondisi penderita. Namun, terkadang penyulit yang
timbul
pada
pemberian
nutrisi
melalui
infus
(parenteral)
berkepanjangan menimbulkan komplikasi phlebitis (radang pembuluh vena) sehingga juga menghambat kegiatan fisioterapi penderita.
Kesulitan menelan pada penderita, terutama yang berbentuk cairan, perlu latihan menelan dengan bantuan gel atau guarcol. Guarcol ini tidak berbau dan tidak memiliki rasa, rendah kalori dan tinggi akan gum yang dapat digunakan untuk mengentalkan cairan, makanan dan minuman. Tahapan pemberian makanan dan minuman 1. Pada tahap akut (24-48 jam) Bila kesadaran penderita menurun atau tidak sadar, diberikan makanan parenteral (makanan intravena) melalui selang infung, dan dilanjutkan dengan makanan lewat pipa (NGT). Pemberian makanan perlu hati -hati untuk memonitor kebutuhan gizi dan cairan yang diperlukan. Kelebihan cairan dan peningkatan gula darah di dalam darah dapat menyebabkan edema serebri. Energi yang diberikan sesuai kebutuhan basal tubuh, protein diberikan sampai dengan 1,5 g/ kg berat badan/ hari, dan lemak sampai 2,5 g/ kg berat bedan/ hari dan dekstrosa maksimal 7 g/ kg berat badan/ hari. Para peneliti memberi rekomendasi agar kadar gula darah dipertahankan pada level 150-200 mg % pad afase akut stroke. 2. Pada tahap pemulihan ·
Bila pasien sadar dan tidak disfagia, dapat diberikan makanan
melalui mulut (oral) secara bertahap seperti makanan lunak, saring hingga berupa bentuk makanan yang biasa dengan porsi kecil dan sering. ·
Bila terjadi disfagia, jalur pemberian makanan diberikan bertahap
mulai parenteral, kemudian ¼ bagian mulut (per oral) dan ¾ bagian melalui pipa (NGT), selanjutnya ½ bagian per oral (semi padat dan semi cair melalui NGT) dan diet lengkap (makanan dan minuman oral). ·
Bila penderita mengalami tukak stres akibat asam lambung dan
gastrin meningkat, diberikan makanan secara bertahap juga dimulai dengan makanan enteral (bila tidak ada perdarahan diberikan melalui selang infus (parenteral) sampai perdarahan berhenti. Pada penderita dengan gangguan menelan, pemberian makanan disesuaikan juga sebagai berikut : a.
Bila penderita mengalami kesulitan menelan, diet yang diberikan
yaitu :
·
Makanan dengan aroma dan rasa yang tajam dengan tujuan untuk
merangsang dapat menelan semaksimal mungkin. ·
Makanan dengna suhu hangat/dingin untuk merangsang dapat
menelan semaksimal mungkin ·
Makanan yang semi padat untuk menghindari obstruksi
(penyumbatan). ·
Potongan makanan yang tidak terlalu besar untuk menghindari
obstruksi. · b.
Makanan porsi kecil dan sering agar asupan makanan optimal. Bila
sensasi
(rasa)
di
mulut
menurun,
maka
sebaiknya
dipertimbangkan : ·
Letakkan makanan di area paling sensitif, suhu makanan dingin,
makanan dengan aroma dan rasa yang tajam agar penderita mendapatkan rasa yang maksimal. ·
Tidak mencampur makanan dengan berbagai tekstur agar
memudahkan menelan. c. Bila koordinasi otot mulut melemah, maka dipertimbangkan : ·
Makanan semi padat agar ke otot mulut minimal.
·
Hindari makanan yang licin untuk menghindari masuk ke saluran
nafas. ·
Makanan porsi kecil dan sering agar asupan makanan optimal.
d. Bila porsi elevasi laring menurun, sebaiknya : ·
Makanan kental dan lembut untuk mencegah menempelnya
makanan pada laring. ·
Hindari potongan makanan yang besar untuk mencegah obstruksi.
e.
Bila pita suara yang menutup optimal, sebaiknya cairan yang
diberikan tidak terlalu encer untuk mencegah cairan masuk ke saluran pernafasan. c. Jenis diet Pemberian jenis makanan sebaiknya disesuian dengan faktorfaktor risiko yang ada pada penderita. Pada prinsipnya, diet yang diberikan adalah diet seimbang dengan modifikasi yang disesuaikan dengan penyakit penyerta lain yang dialami penderita. Misalnya, penderita stroke dengan hipertensi, sebaiknya diberikan menu diet
seimbang dengan jumlah garam yang dibatasi. Seeorang dnegan penyakit Diabetes mellitus, asupan gula dalam diet harus dibatasi. Bagi penderita stroke dengan peninggian asam urat, maka diet yang dianjurkan untuk membatasi asupan purin. Pengaturan diet merupakan hal yang penting, karena merupakan salah satu upaya untuk mencegah stroke berulang. Oleh karena itu, keluarga terdekat perlu sekali mengetahui jenis yang tepat untuk perawatan penderita di rumah dengan menanyakan pada dokter/ahli gizi sebelum pasien kembali dari rumah sakit. Tujuan Diet a). Memberikan asupan cukup untuk memenuhi kebutuhan zat gizi pasien dengan memperhatikan kondisi fisik/klinis dan komplikasi penyakit yang ada. b). Memberikan makanan dengan kandungan zat gizi yang adekuat untuk mencapai status gizi yang optimal dan mencapai berat badan normal. c). Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. d). Membantu menurunkan tekanan darh penderita hingga mencapai normal. e). Membantu mengurangi retensi garam atau air dalam jaringan tubuh. f). Mengurangi bdan mencegah komplikasi lanjut] g). Membantu mengurangi keluhan pasien
Prinsip Diet a). Rendah garam b). Rendah Kolesterol
Syarat Diet a) Energi diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan umur, jenis kelamin, tinggi badan, aktifitas fisik, dan factor stress untuk memnuhi kebutuhan gizi pasien sehingga mencapai status gizi tetap normal. b)
Protein diberikan sebesar 1 gr/kgBBI/hr karena pasien dalam
keadaan status gizi baik.
c) Lemak diberikan cukup sebesar 20% dari total kebutuhan enrgi total, diutamakan
sumber
lemak
tak
jenuh
ganda
untuk
mencegah
dislipidemia sebagai pncetus CVA. d)
Karbohidrat diberikan sebesar 65% dari total kebutuhan energi,
terutama digunakan jenis karbohidrat kompleks. e)
Diberikan diet rendah garam II yaitu 600-800 mg Na atau ¼ sendok
the garam dapur untuk mengurangi retensi cairan dan menurrunkan tekanan darah. f)
Serat diberikan cukup, yaitu 25 g/hr agar tidak terlalu memberatkan
kerja organ pencernaan. g)
Kolesterol dibatasi < 300 mg sehari.
h)
Vitamin dan mineral cukup untuk menunjang proses metabolisme
dalam tubuh. i)
Cairan cukup, yaitu 6-8 gelas untuk mencegah dehidrasi.
j)
Makanan diberika dengan konsistensi lunak yaitu nasi tim
dikarenakan kondisi pasien saat itu masih lemah dan giginya sudah tidak lengkap. k)
Makanan yang tidak dianjurkan yaitu produk olahan yang dibuat
dengan garam dapur, baking soda, kue-kue yang terlalu manis dan gurih. l)
Sayuran yang disarankan dimakan adalah sayuran berserat
sedang, yaitu bayam, labu siam, kacang panjang, tomat, taoge, wortel. Kangkung. m) Sayuran yang tidak disarankan adalah sayuran yang menimbulkan gas, seperti sawi, kol, kembang kol dan lobak :sayuran berserat tinggi seperti daun singkong, daun katuk, daun melinjo, dan sayuran mentah. n)
Sumber protein nabati yang tidak dianjurkan yaitu pindakas dan
semua kacnag-kacangan yang diawet dengan natrium atau digoreng. o)
Bahan makanan yang tidak disarankan adalah daging ayam, dan
daging sapi yang berlemak, jerohan,dendeng, abon, kornet, daging asap, ikan sarden, ikan asin, ebi, uadang kering, telur asin, es krim, keju, susu full cream.
p)
Buah yang perlu dibatasi adalah buah yang mnenimbulkan gas
seperti nangka, durian, dan buah yang diawet dengan natriumseperti biah kaleng dan asinan. q)
Sumber lemak yang perlu dibatasi adalah minyak kelapa, minyak
kelapa sawit, margarine dana mentega biasa, santan kental, krim dan produk gorengan. r)
Bumbu yan perlu dibatasi adalah bumbu yang tajam seperti cabe,
merica dan cuka yang mengandung bahan pengawet garam natrium seperti vetsin, kecap asin, kecap manis, petis, saos tomat, terasi, soda, baking powder.
G. Pengiriman pasien Dilakukan Sesuai SOP Yang telah di sepakati ( SOP ) Terlampir a. Pengiriman ke rawat inap b. Pengiriman ke kamar operasi c. Pengiriman rujukan d. Pengiriman ke kamar jenazah
H. Pencacatan dan pelaporan kegiatan pelayanan a. Pelaporan Harian : dilaksanakan oleh masing-masing TIM tentang tugas dan tanggung jawab, laporan pasien, pelayanan pasien, permasalahan yang ada kepada Kepala Ruangan. b. Pelaporan Mingguan : Laporan mingguan yang merupakan rekap dari laporan harian. c.
Pelaporan
Bulanan
:
Rekapan
pelaporan
mingguan
tentang
permasalahan dan pemecahannya dan Kepala Ruangan melaporkannya ke Kepala Keperawatan meneruskannya ke Kepala Rumah Sakit. Evaluasi Untuk mengukur dan memantau keberhasilan program Unit Stroke maka dilakukan evaluasi terhadap keseluruhan program Unit Stroke dan
identifikasi setiap permasalahan yang ditemukan untuk tindakan perbaikan.
Evaluasi yang dilakukan adalah: a. Evaluasi program setiap tahun b. Evaluasi standar prosedur operasional setiap 3 tahun dan setiap saat apabila perlu untuk segera dilakukan perbaikan.
BAB V LOGISTIK
A.
Prosedur penyediaan Alat Kesehatan dan Obat 1. Prosedur penyediaan Alat kesehatan Alat-alat Kesehatan Di Unit Stroke, Yang Dibutuhkan Di Ajukan Ke Bagian pengadaan Rumah Sakit. Setelah itu di hadapkan ke Kepala Rumah Sakit Tk IV dr Bratanata, dan jika mendapat persetujuan maka di kembalikan lagi ke Bagian Pengadaan Rumah Sakit Untuk Di tindak lanjuti. 2. Prosedur Penyediaan Obat Tiap Tim Per Shift yang bertanggung jawab di bagian pengadaan obat, Merekapitulasi kebutuhan obat yang akan diberikan kepada pasien. Lalu melakukan pemesanan dan pengambilan obat ke bagian farmasi.
BAB VI KESELAMATAN KERJA
Keselamatan kerja mempunyai kegiatan yang sangat berkaitan erat dengan keadaan yang disebabkan kelalaian petugas . Pekerjaan yang terorganisir, dikerjakan sesuai prosedur, tempat kerja yang terjamin dan aman, istirahat yang cukup dapat mengurangi bahaya dan kecelakaan dalam melakukan proses asuhan keperawatan kepada pasien. Kecelakaan tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dapat dicegah, terjadinya dengan tiba-tiba dan tentunya tidak direncanakan atau pun diharapkan oleh pegawai atau perawat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat – alat yang ada di unit stroke serta melukai pegawai atau perawat. 1. Pengertian Keselamatan kerja (safety) adalah segala upaya atau tindakan yang harus diterapkan dalam rangka menghindari kecelakaan yang terjadi akibat kesalahan kerja petugas ataupun kelalaian/kesengajaan.
2. Tujuan Syarat-syarat keselamatan kerja meliputi seluruh aspek pekerjaan yang berbahaya dengan tujuan : a. Mencengah dan mengurangi kecelakaan b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran c. Mencegah, mengurangi ledakan d. Memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian lain yang berbahaya e. Memberi pertolongan pada kecelakaan f.
Memberi perlindungan pada pekerja
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasny suhu, kelembapan, debu, kotoran, asap. uap, gas hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi,suara dan getaran. h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik/psikis, keracunan, infeksi dan penularan. i.
Menyelenggarakan penyelenggara udara yang cukup
j.
Memelihara Kebersihan, kesehatan dan ketertiban
k. Memperoleh kebersihan antara tenaga kerja, alat kerja,lingkungan, cara dan proses kerja nya. 3. Prinsip Keselamatan Kerja a. Pengendalian teknis mencakup 1. Letak dan bentuk konstruksi alat sesuai dengan kegiatan dan memenuhi syarat yang telah ditentukan. 2. Perlengkapan alat kecil yang cukup disertai tempat penyimpanan yang praktis. 3. Penerapan dan ventilasi yang cukup 4. Tersedianya ruang istirahat untuk pegawai atau perawat b. Adanya pengawasan kerja yang dilakukan oleh penganggung jawab dan terciptanya kebiasaan kerja yang baik oleh pegawai atau perawat. c. Pekerjaan yang ditugaskan hendaknya sesuai dengan kemampuan kerja dari perawat. d. Volume kerja yang dibebankan hendaknya sesuai dengan jam kerja yang telah ditetapkan.
BAB VII PENGENDALIAN MUTU
A. Angka ketidak lengkapan rekam medis Unit Stroke Merujuk Pada Standar Operasional Prosedur Unit Rekam Medis. B. Angka kematian spesifik Unit Stroke Merujuk Pada Standar Operasional Prosedur TIM Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien. C. Angka infeksi nosokomial (pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi jarum infus) Unit Stroke Merujuk Pada Standar Operasional Prosedur TIM Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien. D. Indikator klinik dan insiden keselamatan pasien Unit Stroke Merujuk Pada Standar Operasional Prosedur TIM Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien.
BAB VIII PENUTUP
Dengan ditetapkannya Pedoman standar pelayanan keperawatan stroke diharapkan dapat menjadi acuan dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaaan, asuhan keperawatan stroke dan pembinaan pelayanan keperawatan Di Unit Stroke. Dalam penerapan standar pelayanan keperawatan stroke di rumah sakit perlu dilengkapi Standar Prosedur Operasional (SPO) diikuti dengan pemantuan dan evaluasi yang dilakukan secara berkesinambungan.