PANTASKAH AKU
MENCINTAINYA?
Diterbitkan Oleh CV. R.A.De.Rozarie (Anggota Ikatan Penerbit Indonesia) Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177 Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia www.derozarie.co.id – 081333330187/0819671079
Pantaskah Aku Mencintainya? © September 2014 Eklektikus: Ariny NH Nadya Meisitha Editor: Tomy Michael Master Desain Tata Letak: Eko Puji Sulistyo
Angka Buku Standar Internasional: 9786021176016 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan
Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari CV. R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi. Terima kasih
PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK
SENARAI ISI Apologia Salah Jatuh Cinta Berondong Manis Debaran Cinta Penembakan Ala Rayhan Permintaan Maaf Dari Rayhan Lamaran Kedua Inilah Rasanya Menikah Gejolak Rumah Tangga Play Station Menjanda di Usia Muda Mama Pergi Untuk Selamanya Sofia Sakit Terbebas Dari Jeni Pondok Pesantren Al-Haq Kupu-Kupu Malam Ustadz Arizal Hijrah Ke Pesantren Bu Ika Si Guru Cantik Pantaskah Aku Mencintainya? Lamaran Nekat Rafly Permintaan Sofia Cinta Tak Harus Memiliki Kembalinya Rayhan Dalam Hidupku Mata Untuk Ustadz Epilog
i
nemo dat quod non habet tidak seorangpun memberikan yang tidak dia miliki
1
Apologia
Kebanyakan wanita jika mencintai pasangannya karena kelebihannya. Tapi aku mencintai dia karena kekurangannya. Kekurangan itu yang menjadikan dirinya berbeda dari pria mana pun di dunia ini. Dia seorang pria yang tegar, tabah menghadapi cobaan dan selalu mensyukuri nikmat Tuhan. Ingin sekali aku menjadi bagian hidupnya. Menutupi kekurangannya dengan kelebihanku. Tapi aku sadar diri siapa diriku dan siapa dirinya. Jika aku disuruh memilih antara kebahagiaannya atau kebahagiaanku sendiri maka aku akan memilih kebahagiaannya. Itulah yang membuatku se2
lalu mengurungkan niat untuk menyatakan cinta padanya. Kebahagiaannya bukanlah bersama diriku tapi bersama wanita yang jauh lebih baik dariku. Kumencintaimu lebih dari apapun Meskipun tiada satu orang pun yang tahu Lagu Kekasih Gelapku milik Ungu mengalun indah di HP-ku. Ya, lagu itu yang membuyarkan seluruh lamunanku. Meskipun aku pelupa tapi aku masih ingat lagu itu merupakan ringtone untuk panggilan masuk. Dengan mata sembab aku melihat ke arah HP yang masih berkedip dengan nada dering nyaring, seolah tak menyerah sebelum aku mengangkatnya. Aku meraih HP. Nama „Rayhan‟ tertera di layar HP. Seketika membuat jantungku berdenyut, dan hatiku menjadi perih. Kupegang HP itu tanpa niat untuk mengangkat telepon dari Rayhan. Lama HP itu berdering, seolah-olah Rayhan tidak mau menyerah di seberang sana. Sampai kemudian deringan mati dengan sendirinya. Aku bernafas lega. Tapi baru lima menit, HP kembali berdering dengan nyaring. Kali ini „Unknown Number‟ yang tertera di layar HP. Ih, siapa sih yang nelpon memakai nomor privasi segala? Rasa penasaran pun menyelimuti hatiku. Cepat-cepat kutekan tombol answer. Siapa tahu telepon kali ini penting! “Halo,” ucapku ramah. 3
“Halo juga Ika, apa kabarmu?” balasnya di seberang. Deg! Aku sungguh mengenali suara seseorang di seberang telepon. Rasa perih pun menyeruak di hatiku. Orang yang menelponku tak lain dan tak bukan adalah Rayhan, mantan suamiku. Rayhan dari dulu nggak pernah berubah, kalau menginginkan sesuatu pasti dia berusaha untuk mendapatkannya sampai titik darah penghabisan. Dan salah satu usahanya agar aku mau mengangkat telepon darinya adalah dia memakai nomor privasi. Mau apa lagi dia menelponku? Belum puaskah dirinya menyakiti aku? “Halo Ika kamu masih ada di sana kan?” tanyanya. Lamunanku buyar. “Iya, ngapain lagi sih kamu menelponku?” tanyaku balik tapi dengan nada ketus. Biar dia sadar aku tak suka diteleponnya. “Ika, bisakah kamu menemuiku di Kafe Cinta? Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Ini sangat penting!” Hah? Aku salah dengar? Dia mengajakku ketemuan di sebuah kafe. Ini hal yang langka. Selama tujuh tahun berpisah dia tak pernah menemuiku dan Sofia. Jangankan menemui kami, menghubungiku sekadar menanyakan kabar Sofia aja nggak pernah. Aduh, aku dilema nih. Aku terima ajakannya atau nggak 4
ya? Tapi biar bagaimanapun, Rayhan adalah ayah biologisnya Sofia Kamila, puteri kesayanganku. Mungkin dia mengajakku ketemuan karena dia merindukan Sofia. Lagipula aku tahu betul sifat Rayhan, dia lelaki yang gigih dan tidak akan menyerah sebelum aku menemuinya. Maka akhirnya aku yang menyerah dan memutuskan menerima ajakannya. “Oke, jam empat sore ya?” jawabku singkat. Setelah itu aku langsung memutuskan telepon. *** Aku tiba di kafe sekitar pukul 16.00. Begitu masuk ke kafe aku telah melihat seorang pria mengenakan jas hitam, dan berdasi telah stand by di meja nomor 4. Penampilan pria itu membuatnya terlihat jauh lebih manis dan dewasa. Tak salah lagi pria itu orang yang aku cari di tempat ini. Siapa lagi kalau bukan Rayhan? Meskipun aku sudah tujuh tahun tak bertemu dengannya tapi aku masih ingat betul wajahnya. Kalau dilihat dari penampilan Rayhan, dia pasti sekarang sudah sukses jadi direktur di sebuah perusahaan besar. Tetap saja penampilan Rayhan yang sekarang takkan bisa membuatku tertarik lagi padanya. Hatiku telah dipenuhi dengan nama seorang pria dan itu bukan nama Rayhan. Bayangan kelakuan Rayhan tujuh tahun silam
5
melintas di benakku, itulah yang membuat aku illfeel kalau berhadapan dengannya. “Ika, aku di sini!” ujar Rayhan berteriak memanggil namaku. Ia melambaikan tangan, sebagai tanda ia duduk di meja nomor 4. Mau tak mau aku harus menghampirinya. Begitu tiba di depannya. “Ray, aku nggak punya banyak waktu jadi langsung saja bilang tujuan kamu mengajakku ketemuan di tempat ini?” tanyaku dengan nada ketus. “Ika, duduklah terlebih dahulu! Nggak enak bicara sambil berdiri,” jawabnya. Tak ada pilihan lain selain menuruti permintaannya Lagian aku juga sudah capek berdiri terus. Aku duduk di kursi yang ada di depan Rayhan. Begitu aku duduk, Rayhan langsung mengutarakan tujuannya mengajakku ketemuan di tempat ini. Tujuannya membuatku kaget, secara dia memintaku rujuk dengannya. Jelas saja aku langsung menolak permintaannya. Halo, selama tujuh tahun ini dia nggak pernah menunjukkan batang hidungnya dalam hidupku masa sekarang dia muncul lagi dan mengajakku untuk rujuk. Nggak segampang itu kali!!! “Ika, please kembalilah ke pelukanku! Kasih aku kesempatan sekali lagi, aku janji takkan menyianyiakan kamu lagi,” ujar Rayhan sambil berlutut. Aku diam seribu bahasa, bingung mau jawab apa.
6
Tiba-tiba Rayhan berdiri, lalu memelukku dari belakang. Ya Tuhan, pelukan Rayhan masih hangat seperti yang dulu. Tapi kenapa saat ini getaran-getaran cinta itu tak ada lagi? Apakah itu artinya aku telah mati rasa pada Rayhan. “Ika, kok nggak jawab pertanyaanku sih? Kamu mau kan kembali ke pelukanku?” tanya Rayhan lagi. “Maaf Ray, aku nggak bisa.” Ucapku lirih. “Kenapa? Kamu nggak ingin anak kita bahagia? Kebahagiaan seorang anak memiliki orang tua lengkap.” Aku terdiam mendengar ucapan Rayhan. Perkataan Rayhan ada benarnya juga. Kebahagiaan anak memiliki orang tua yang lengkap. Haruskah aku mengorbankan perasaan demi kebahagiaan Sofia? Ya, Tuhan mengapa Rayhan hadir kembali setelah aku mencintai pria lain? Apakah ini merupakan rencana Tuhan agar aku bisa melupakan cintaku yang bertepuk sebelah tangan? Jika memang Rayhan satu-satunya jalan agar aku bisa melupakan cintaku yang bertepuk sebelah tangan berarti aku harus menerima ajakannya untuk bersatu lagi. Tapi bagaimana dengan hatiku? Hatiku diibaratkan seperti gelas. Jika gelas sudah hancur berkeping-keping maka gelas tersebut tak bisa lagi dipakai untuk minum. Rayhan sudah terlanjur membuat hatiku hancur berkeping-keping. Maka dari itu hatiku tak bisa mencintainya lagi. 7
Salah Jatuh Cinta
Martapura, April 2013 Heran deh yang menjalani try out dan he-ndak menghadapi UN kan muridku. Kenapa malah aku yang tegang dan merinding? Muridku malah santai saja seolah-olah nggak ada UN. Muridku bernama Cindy, dia pelajar SMA. Aku Dahlia Wiskasari, seorang guru les. Setiap menjelang UN, banyak orang tua yang memanggilku untuk mengajari anaknya. Mengajar les sebenarnya pekerjaan sampinganku. Profesi utamaku adalah sebagai editor dan penulis novel. Aku menjalani tiga profesi sekaligus. Aku melakukan ini demi mencukupi kebutuhanku dan anak8
ku. Ya, aku seorang single parents memiliki satu puteri berusia tujuh tahun. Aku menikah tahun 2005, pada saat itu usiaku dua puluh tahun. Pernikahanku hanya bertahan lima bulan. Aku bercerai dengan Rayhan, mantan suamiku karena dia lebih cinta sama PS alias Play Station. Rayhan berondong, usianya empat tahun lebih muda dariku. Aku jatuh cinta dengannya karena dia cerdas. Bayangkan saja usia lima belas tahun dia sudah kuliah. Awalnya dia sifatnya dewasa, makanya aku mau menikah dengannya. Tapi lama-kelamaan sifat aslinya kelihatan. Ternyata dia childish dan sangat manja. Hari ini aku mengajar matematika. Itu pelajaran paling kubenci. Awalnya aku menolak untuk mengajar matematika. Tapi mamanya Cindy terus memohon kepadaku. Berhubung aku orangnya baik hati dan nggak tegaan akhirnya aku terima tawaran beliau. Begitu membuka buku matematika aku langsung mengerutkan dahi. Mendadak mataku berkunang-kunang. Sumpah, angkanya banyak banget, ada variabelnya pula. Aku bingung gimana cara menjelaskan soal ini ke Cindy ya? Aku aja nggak ngerti, eh ralat bukan nggak ngerti tapi aku sudah kelamaan nggak sekolah makanya pelajaran matematika lenyap di otakku. Untung Cindy malas belajar, jadi aku biarkan dia main BB.
9
Tiba-tiba melintaslah seorang cowok. Sumpah, ganteng banget! Cowok itu tinggi, kulitnya putih, mulus pula, hidungnya mancung dan Rambutnya berponi sama seperti Vannes Wu. Itu lho salah satu personel F4 yang paling cool. “Woi, segitunya ngeliatin Rafly, kakak gue,” ujar Cindy mengejutkanku. Biasanya kan orang Banjar jika berbicara dengan orang yang lebih tua memakai bahasa ulun-pian. Tapi aku yang meminta Cindy kalau berbicara memakai lu-gue. Biar lebih akrab dan bersahabat. Gini-gini aku belum tuatua banget. Selain itu aku sudah terbiasa memakai lu-gue, secara novel-novelku memakai bahasa lugue. “Cowok cakep itu kakaknya Cindy? Berarti aku bisa dong aku minta comblangin ma kakaknya,” batinku. “Gue bisa kok buat lu jadian ma kakak gue. Siapa tahu setelah jadian ma lu dia jadi normal.” “Ciyus?” “Tapi ada syaratnya.” “Apa syaratnya?” “Lu jangan maksa gue belajar! Jangan ngadu ke nyokap gue!” “Terus nasib keuangan gue gimana? Nasib keuangan gue itu ada dinilai lu.” “Ya, lu harus milih cinta atau uang!” Aku terdiam sejenak. Aku milih cinta atau uang ya? Aku emang perlu uang tapi aku juga per10
lu cinta untuk menggantikan Rayhan. Tak berapa lama melintas lagi kakaknya Cindy. Pakaiannya sudah ganti. Kini ia memakai kemeja. Dia terlihat sangat tampan. Hatiku bertanya-tanya dia mau kemana? Jangan-jangan dia mau ngapelin ceweknya? “Kakak lu mau kemana? Kok ganteng banget?” tanyaku. “Paling dia ke salon nemuin cowoknya.” “Cowoknya? Lu gak salah ngomong?” “Gak lah. Nih gue kasih tahu Rafly alias kakak gue itu sebenarnya cinta sama sesama jenis.” Aku langsung lemas mendengar ucapan Cindy. Baru saja aku mulai jatuh cinta lagi. Eh, ternyata lagi-lagi aku salah jatuh cinta. Ya, Tuhan apa dosaku? Mengapa orang yang kucintai nggak ada yang waras? *** Gue berdiri di depan cermin. Gue memandangi wajah gue sendiri dalam-dalam. Wajah yang halus, tampan, hidung mancung, wajah oriental dan mempesona, dua mata yang tatapan menyihir semua kaum hawa. Perlahan air mata gue menetes “Tidak ada yang mengakui ketampanan lu, Rafly. Bahagiakah lu hidup dengan uang jutaan rupiah, yang lu dapet dari wanita setengah pria itu?” Gue mengatakan itu setengah berbisik pada bayangan diri gue sendiri di cermin. Gue jijik dengan diri gue sendiri. Tiap hari gue melakukan hubungan badan dengan Jeni alias 11
Hong Budiawan. Gue pengen lepas dari jeratan Jeni tapi nggak bisa karena gue banyak hutang budi sama Jeni. Lima tahun lalu saat gue benar-benar terjatuh. Pacar gue mengkhianati gue, dia hanya mengincar harta gue. Lebih parah lagi bokapnya mengambil seluruh aset perusahaan bokap gue. Seketika gue jatuh miskin, bokap meninggal karena serangan jantung, terus nyokap gue kena strok. Saat itu gue bingung nyari uang kemana. Jeni pun hadir dalam hidup gue. Dia datang dengan menolong gue. Dia memberikan rumah mewah, modal buat membangun perusahaan kembali, syaratnya hanya menemani hidupnya setiap hari. Awalnya gue nggak keberatan secara Jeni kan cantik, lebih cantik dari mantan gue. Tapi setelah tahu dia cewek jadi-jadian, gue langsung illfeel. Gue terlanjur basah, gue sudah menandatangani kontrak perjanjian sama Jeni. Selamanya gue nggak akan bisa lepas dari jerat Jeni. Tiba-tiba gue teringat perkataan seorang kakek, yang dulu gue temui di kuburan. Beliau berkata “Kamu akan lepas dari jerat setan, kalau ada seorang wanita yang tulus mencintaimu apa adanya”. Gue sendiri nggak mengerti apa maksud perkataan kakek tersebut. Apakah jerat setan yang dimaksud kakek tersebut adalah jerat Jeni. Gue tersenyum, berarti masih ada harapan gue bisa lepas dari jerat Jeni. Tapi akankah ada wanita yang mencintaiku apa adanya? Kalau wanita tahu ten12
tang gue yang sebenarnya pasti dia jijik berhadapan dengan gue. Gue yang sekarang sangat berbeda dengan gue yang dulu. Kalau dulu cewekcewek cantik mengejar-ngejar cinta gue. Secara gue kan sebelas dua belas sama Vannes Wu, bahkan ada cewek yang mengira gue kembaran Vannes Wu. Tapi kini tak ada satupun cewek yang mau dekat sama gue. *** Aku melirik jam dinding yang menempel di atas pintu kamar. Jarum jam telah menunjukkan pukul 00.00 alias tepat dua belas malam. Di saat semua ibu telah terlelap bersama buah hati tercintanya, aku malah baru saja menyelesaikan pekerjaan mengedit naskah. Beginilah hidup sebagai janda, siang malam banting tulang mencari nafkah. Andai dulu aku nggak menikah sama Rayhan pasti hidupku bahagia. Aku menoleh ke samping. Di sampingku telah tertidur pulas Sofia, buah hatiku tercinta. Aku membelai lembut rambut Sofia. Rasa capek setelah berjam-jam kerja hilang seketika saat melihat buah hati tertidur pulas. Aku tersenyum menatap wajah Sofia. Matanya, hidungnya, bahkan bibirnya sangat mirip dengan Rayhan. Meskipun Sofia mirip Rayhan, tapi aku tak bisa membencinya. Bagiku Sofia adalah peri kecilku. Dia yang membuatku menjadi wanita tegar dan kuat. 13
“Sofia, mama akan berjuang untuk membahagiakanmu. Tak peduli seberapa keras kehidupan yang harus aku jalani,” bisikku lembut ke telinga Sofia. Hoam…! Aku menguap lebar. Rasa kantuk sudah menyerang mataku. Mungkin sudah saatnya aku beristirahat. Tapi sebelum tidur, aku meraih diary tercinta. Sampai detik ini aku masih belum bisa menghilangkan kebiasaanku dari remaja yaitu curhat di buku diary dulu sebelum tidur. Sehari aja nggak curhat sama diary rasanya hidupku ada yang kurang. Hari ini aku mau curhat apa ya sama diary? Curhat tentang Rayhan? Nama Rayha, dan segala tentangnya sudah memenuhi lembarannya. Tiba-tiba bayangan cowok cakep yang kutemui saat mengajar les Cindy terlintas di otakku. Cowok itu tak lain dan tak bukan adalah Rafly. Ya, hari ini aku mau curhat sama diary tentang Rafly aja deh. Jari-jariku mulai menggoreskan tinta ke dalam buku diary. My Diary Eh, Diary aku mau curhat nih. Tadi aku ketemu sama cowok ganteng banget. Kegantengannya itu mirip Vannes Wu. Aku piker cowok itu yang bakal menggantikan posisi Rayhan di hatiku. Secara sudah tujuh tahun aku menjanda, baru kali ini aku jatuh cinta de-
14
ngan cowok. Tapi ternyata cowok itu homo alias cinta dengan sesama jenis. Lagi-lagi aku kecewa! Kedua kalinya aku jatuh cinta dengan orang yang salah. Kenapa ya sejak berpisah dengan Arizal aku selalu salah jatuh cinta? Arizal adalah satu-satunya orang yang kucintai sampai detik ini. Dia itu cinta pertamaku sejak SD. Aku berpisah dengan Arizal karena pindah ke Martapura. Dulu aku hidup di Solo, disanalah aku dipertemukan dengan Arizal. Arizal sekarang ada dimana ya? Aku merindukanmu.
15
Berondong Manis
Martapura, Februari 2005 Kini aku berada di sebuah hamparan padang rumput hijau membentang luas, ada pula kebun bunga yang sangat indah. Aku bingung siapa yang membawaku ke sini? Siapa pun orangnya aku berterima kasih. Aku betah berada di tempat ini. “Indah sekali, rasanya seperti di negeri dongeng,” ujarku takjub. Tiba-tiba seorang pria muncul dihadapanku. Ia mengenakan kemeja putih berlengan panjang, kuamati wajah pria tersebut lekat-lekat. Aha, tak salah lagi pria yang ada dihadapanku adalah 16
Arizal. Meskipun aku sudah lama berpisah dengannya tapi aku masih ingat wajah Arizal. Ada sesuatu yang mengganjal di hati. Wajah Arizal pucat pasi, meskipun demikian Arizal tetap terlihat tampan dan manis. Itulah yang membuatku jatuh cinta dengannya. “Ika, aku merindukanmu. Maukah kamu ikut denganku? Di sana ada air terjun yang sangat indah dan disanalah kita bisa bersama selamanya,” jawab Arizal. “Tentu saja aku mau ikut denganmu, Arizal. Kamu adalah orang yang paling aku cintai. Dan aku tak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya,” ucapku yakin. Arizal tersenyum manis. Lalu ia berjalan, aku pun mengikuti langkahnya. Maafkan aku menduakan cintamu Berat rasa hatiku tinggalkan dirinya Dan demi waktu yang bergulir di sampingmu Maafkan diriku sepenuh hatiku Terdengar sebuah lagu mengalun indah di telingaku. Dahiku berkerut siapa yang menyetel lagu di sini? Aku kan nggak bawa HP. Ah, entahlah! Yang penting aku sekarang bisa bersama lagi dengan Arizal. Namun tiba-tiba langkah Arizal terhenti. “Zal, kok berhenti?” “Ika, sepertinya kita belum ditakdirkan untuk bersama. Masih ada orang lain yang lebih memerlukanmu,” ujar Arizal.
17
Arizal melepas genggaman tangannya. Perlahan-lahan Arizal menjauh dariku. Dan dalam waktu lima menit Arizal hilang bagai ditelan bumi. “Arizal, kamu dimana? Jangan tinggalin aku! Aku nggak mau kehilangan kamu kedua kalinya!” teriakku sekeras-kerasnya. Seketika aku terbangun dari tidur. Eh, tadi itu hanya mimpi? Aku menepuk jidatku sendiri. Aku baru ingat lagu yang di mimpi tadi adalah ringtone SMS HP-ku. Argggh! Siapa sih SMS aku? Gara-gara dia aku terpisah lagi dengan Arizal. Padahal sedikit lagi aku bisa bersama dengan Arizal untuk selamanya. From: Unknown Number Hay, cewek! Siapapun kamu, aku yakin kamulah jodohku. Hufh… menyebalkan! SMS dari orang iseng, isinya nggak penting pula. Tiba-tiba air mata mengalir deras di pipiku. Kapan lagi aku bertemu Arizal? “Ya, ampun Ika jam segini kamu belum mandi? Jadi cewek itu jangan pemalas nanti lambat jodoh!” ujar mamaku yang tiba-tiba muncul di kamar. “Emang sekarang jam berapa sih?” tanyaku. “Jam sepuluh siang!” “Whats jam sepuluh? Mampus telat!” ujarku panik. Aku langsung beranjak dari tempat tidur, lalu bergegas ke kamar mandi. Hari ini adalah hari 18
pertamaku siaran radio, aku nggak boleh telat. Jadwal siaran pukul 11.00. Setengah jam telah berlalu kini aku sudah selesai mandi dan berpakaian rapi. Sebelum berangkat ke tempat mengajar les, aku menyempatkan diri untuk berdandan terlebih dahulu. Siapa tahu manajer radio nanti cowok ganteng hihihi. Kuoleskan bedak pada wajah, kukenakan bando warna pink pemberian sahabatku, dan yang terakhir kusemprot parfum di seluruh tubuhku. Biar badanku wangi semerbak. Setelah semua sudah beres aku siap berangkat siaran. Bismillahirrahmanirrahim, semoga hari siarannya lancar, doaku dalam hati. Sesampai di luar kamar aku celingakcelinguk mencari mama. Kata ustadz sebelum pergi wajib berpamitan kepada orang tua dan mencium tangan mereka dulu. Tapi di mana mama? Sekarang hanya mama orang tuaku satu-satunya. Papaku sudah meninggal dunia pada saat aku berusia sepuluh tahun. Jadi kalau aku pergi hanya berpamitan dengan Mama. Drrttt…! Drrttt…! HP-ku dalam tas bergetar. Kuraih HP tersebut. Di layar HP tertulis 1 pesan diterima. Cepatcepat aku membuka pesan itu. From: Mamaku
19
Ika, Mama lagi pergi ke arisan bareng tetangga. Kalau kamu pergi siaran, kunci pintunya terus taruh kunci rumah di tempat rahasia seperti biasa. *** “Halo, sobat Ariny. Jumpa lagi dalam ajang „Curhatan Remaja‟ tapi kali ini ditemanin sama Dahliany Wiskasari atau biasa dipanggil Ika. Selama dua jam ke depan kita akan membahas tentang all about kegalauan remaja. Bagi yang lagi galau bisa berpartisipasi mencurahkan kegalauannya di tiga line yaitu telepon di 0511 994560, SMS di nomor 085654910277, dan email
[email protected]. Sambil menunggu partisipasi kalian, kita dengarkan lagu terbaru Ungu berjudul Demi Waktu. Jangan kemana-mana ya tetap di 107,9 FM,” ujarku membuka acara di radio. Tanganku memutar lagu Ungu. Aku bernafas lega. Sumpah, tadi gugup banget. Untung aku tiap hari mendengarkan Radio Ariny FM. Jadi saat siaran lancar, tak ada kata yang terlewatkan. Drrttt…! Drrttt…! HP-ku bergetar kembali. Kuraih HP yang berada di tas. Kulihat ada sebuah SMS masuk. Cepat-cepat aku membuka SMS tersebut. From: Chella Azalea Putri Ciyeeee… yang sekarang jadi penyiar radio. Suara lu imut juga kalau di radio hihihi 20
Aku tersenyum membaca SMS dari Chella. Dia itu sahabat baikku di SMA. Katanya sih sekarang dia sudah menikah dan bekerja di pabrik roti gitu. Untung dia masih ingat denganku, secara kan sudah setahun lebih kami tak bertemu. Setelah tiga menit berlalu lagu Ungu pun berakhir. Dan itu berarti aku harus beraksi lagi cuap-cuap di radio. Aku menghidupkan tombol hijau agar suaraku terdengar. “Ya, kembali lagi bareng Ika di acara „curhatan remaja‟ hayo siapa yang lagi patah hati, Banyak masalah hidup? Nah, mending gabung di sini curahkanlah isi hatimu! Itung-itung mengurangi beban di dada.” Kringgg…! Terdengar bunyi telepon. “Wah, ternyata sudah ada yang berpartisipasi di line telepon. Yuk, kita angkat dulu! Halo, selamat siang. Siapa di mana?” tanyaku ramah. “Ulun1 someone, di mana aja.” “Someone, kamu ingin berbagi cerita apa nih?” “Ulun kan punya pacar. Kami pacaran dah tiga tahun lebih, tapi mama cewek ulun itu kada2 merestui hubungan kami. Lebih parah lagi cewek ulun dipaksa menikah dengan cowok lain.” Dia berhenti berbicara. “Terus?”
1 Ulun: Aku (Jika berbicara dengan orang yang lebih tua) 2 Kada: Nggak
21
“Cewek ulun itu ngajakin ulun kawin lari, dia gak mau dinikahkan ma cowok lain. Nah, menurut kakak ulun harus gimana? Apakah menuruti permintaan cewek ulun atau berpisah dengan dia?” “Hmmm… masalahnya rumit juga ya? Menurutku sih kamu sholat Istiqoroh dulu, kalau nanti kamu mimpiin cewekmu berarti dia memang jodohmu. Dan kamu harus memperjuangkan cinta kamu. Bila kamu gak mimpiin dia berarti bukan jodohmu, kamu harus merelakan cintamu.” Jawabku panjang lebar. “Oh, gitu ya kak. Makasih ya kak.” Tuuut… Tuut… sambungan telepon pun terputus. “Oke, di belakang someone siapa lagi yang mau curhat di line telepon? Halo... Sepertinya belum ada. Sembari menunggu partisipasi kalian berikutnya kita dengarkan lagu yang satu ini dulu. Jangan kemana-mana tetap di 107,9 FM.” Ujarku. Aku pun memutarkan lagu Ratu yang berjudul Teman Tapi Mesra. Tiba-tiba bos besar memasuki ruang siaran. Deg! Jantungku berdebar-debar, takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. “Ngapain bos besar masuk ruang siaran? Jangan-jangan tadi aku salah ngasih solusi, terus bos besar ngamuk dan tamatlah riwayatku hari ini,” batinku bertanya-tanya. Aku menggelengkan kepala. Nggak boleh berpikir negatif, karena biasanya sesuatu yang buruk terjadi karena diri kita sendiri 22
yang memikirkannya. Aku mencoba menenangkan diri, kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan. Bos besar semakin mendekatiku. Aduh, aku semakin gugup menghadapi beliau. Keringat pun bercucuran. “Ya, Tuhan. Jangan biarkan bos besar memecatku hari ini. Aku masih ingin jadi penyiar radio,” doaku dalam hati. “Ika, selamat ya! Hari pertamamu siaran berjalan lancar, kamu siaran seperti penyiar yang sudah berpengalaman,” ujar bos besar. “Ahh, bapak bisa saja memuji.” Ujarku tersipu malu. Aku mengucapkan syukur karena apa sesuatu yang buruk tidak terjadi. Bos besar malah memuji siaranku. “Oh, ya Ika. Tolong keluarlah sebentar! Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu,” ujar bos besar. “Seseorang? Siapa itu pak? Orangnya cowok atau cewek?” tanyaku heran. “Orangnya cowok, dia keponakan saya. Tadi dia nggak sengaja mendengar kamu siaran terus dia ingin berkenalan denganmu. Mau kan kenalan dengan keponakan saya?” Aku bangkit dari tempat duduk, lalu berjalan mengikuti bos besar. Sesampai di luar ruangan aku melihat lelaki berkulit manis sedang duduk di sofa. Kami mendekatinya. 23
“Hay, perkenalkan ulun Rayhan.” Ia mengulurkan tangan. Aku membalas uluran tangannya, “Ika,” jawabku singkat. Aku memandang wajahnya lekat-lekat, wajahnya manis juga terlebih ada lesung pipinya. Tapi sayang dia memakai kacamata tebal yang membuat penampilannya terlihat cupu. Kalau dilihat dari wajahnya Rayhan itu umurnya sekitar dua puluh dua tahun. Dag… dig… dug…! Tiba-tiba jantungku berdebar-debar. Debaran ini tak pernah aku rasakan saat berdekatan dengan laki-laki. Hatiku mulai bertanya-tanya, kenapa dekat Rayhan malah berdebar-debar? Mungkinkah debaran ini merupakan debaran cinta? Harus kuakui aku memang suka dengan Rayhan tapi apakah suka berarti cinta? “Kayaknya ulun ngefans nih ma pian. Apang3 suara pian merdu banar4,” ujarnya lagi. Aku tersipu mendengar pujiannya. “Jangan ba-ulun pian5 pang! Aku berasa tua nah, umurku baru sembilan belas tahun.” “Tetap tua pian kak, umur ulun baru lima belas tahun. Pasti pian mengira umur ulun lebih dua puluh tahun. Mungkin karena ulun sudah jadi mahasiswa makanya muka ulun kelihatan tua.” 3 Apang: Abisnya 4 Banar: Sekali 5 Pian: kamu (jika berbicara dengan orang yang lebih tua)
24
Mataku terbelalak mendengar ucapannya. Whats umur Rayhan baru lima belas tahun? Dia lima belas tahun sudah jadi mahasiswa? Pasti otaknya cerdas, makanya bisa loncat-loncat kelas. Jika Rayhan umur lima belas tahun berarti dia berondong manis dong! Mimpi apa aku semalam hari ini dipertemukan dengan berondong manis? Berondongnya cerdas pula! Pembicaraan pun berlanjut. Hmmm… Rayhan orangnya asyik juga. Dia nyambung kalau diajak ngobrol. Baru kali ini aku merasa nyaman berkomunikasi dengan orang yang lebih muda. Kami pun bertukar nomor HP dan alamat email. Rayhan memberikan kartu nama kepadaku. Di sana tertulis lengkap nomor HP, alamat email serta alamat lengkap Rayhan. Berhubung aku nggak punya kartu nama maka aku mencatatkan nomor HP dan alamat email di sebuah kertas. Cepatcepat aku memasukan kartu nama tersebut ke saku celana. Ntah mengapa aku merasa melupakan sesuatu. Aku melirik jam tanganku. Jarum jam telah menunjukkan pukul 12.50. “Oh my God ternyata aku ngobrol sama Rayhan sudah satu setengah jam. Aduh, tamatlah riwayatku. Bos besar pasti ngamuk gara-gara aku lupa siaran,” ujarku mengomel sendiri.
25
“Tenang, paman kada bakal sarik6 lawan pian. Mending pian tutup aja acaranya, biar kaina7 ulun antarkan pian bulik8,” sahut Rayhan. Aku mengangguk. Bergegas aku ke ruang siaran untuk menutup acara. *** My Diary Eh, diary kamu tau gak hari ini aku bahagia banget! Ada 3 hal yang bikin aku bahagia 1. Bahagia karena impianku jadi penyiar radio terwujud 2. Bahagia karena bisa membantu mengatasi masalah orang lain 3. Bahagia karena dipertemukan dengan berondong manis bernama Rayhan. Huwaaaaaaa… hari ini bagai kejatuhan dunia runtuh.
6 Sarik: Marah 7 Kaina: nanti 8 Bulik: Pulang
26
Debaran Cinta
Di parkiran studio radio, langit sudah mulai gelap dengan kabut tebalnya seolah menandakan hujan lebat segera turun untuk membasahi bumi. Aku baru saja selesai siaran kebetulan hari ini aku aku tidak membawa kendaraan. Tadi pagi aku naik ojek menuju radio. Dan sekarang nggak sengaja ketemu Rayhan. Rayhan lah yang mena-warkan dirinya untuk mengantarkan pulang. Rayhan memintaku naik ke motornya. 27
Aku menurutinya. Aku naik ke motor dan duduk mengesamping layaknya seorang perempuan feminim. Biasanya aku kalau dibonceng naik motor pasti duduknya mengangkang. Hal itu tidak terjadi karena hari ini aku memakai rok ketat. Aku berpegangan pada pinggang Rayhan. Setelah itu Rayhan tancap gas. Tiba-tiba hujan deras pun turun, padahal rumahku masih jauh. Rayhan menghentikan motornya tepat di depan pos ronda. Aku tak mengerti apa maksudnya. “Ray, kok berhenti? Rumahku kan masih jauh,” ujarku. “Kita berteduh di pos ronda dulu,” jawabnya. “Untuk apa berteduh kita kan sudah terlanjur basah kuyup. Mending kita lanjutkan perjalanan.” “Motorku mogok, kalau dipaksa hujanhujanan.” Pertama kalinya Rayhan memakai „aku‟ biasanya kan dia memakai „ulun‟ jika berbicara denganku. Harus kuakui gaya bicara Rayhan yang baru membuatnya lebih keren. Aku mengangguk. Lalu mengikuti Rayhan masuk ke pos ronda. Di pos ronda aku menggigil kedinginan. Aku sangat menyesal tadi waktu siaran nggak bawa jaket. Harusnya aku bisa memikirkan perubahan cuaca yang begitu cepat. Paginya cerah, bisa saja siang ataupun sore turun hujan. Tak disangka Rayhan mendekatiku lalu memasangkan jaket
28
yang dikenakannya ke tubuhku. OMG, mimpi apa aku semalam? Duar…! Petir pun menggelegar. Spontan aku memeluk Rayhan. Kehangatan pun menjalar ke dalam tubuhku. Lagi-lagi hatiku berdebar tapi kali ini debarannya lebih kencang dari yang sebelumnya. Lebih parah lagi kali ini darahku berdesir seolah-olah darah mengalir lebih cepat dari ujung kaki ke ujung kepala. Sejak saat ini aku yakin bahwa yang aku rasakan adalah cinta. Aku juga merasakan jantung Rayhan berdetak cepat. Muncullah pertanyaan di hatiku, “Apakah Rayhan juga merasakan hal yang sama dengan aku rasakan?” “Lama banget meluk aku? Betah ya meluk cowok manis kayak aku,” goda Rayhan. “Tapi aku senang kok dipeluk cewek secantik kamu,” sambungnya. Sontak aku langsung melepaskan pelukan. Saking terlenanya dengan kehangatan pelukan Rayhan aku tak sadar berapa lama aku memeluknya. Wajahku memerah seperti udang rebus. Namun Rayhan hanya tersenyum manis. Senyumannya benar-benar melelehkan hatiku. Berada di dekat Rayhan lama-kelamaan aku bisa mati. Mati ke dalam cintanya. *** Huufff… akhirnya kelar juga pekerjaan rumah. Tadi mama SMS aku katanya nggak bisa pu29
lang ke rumah karena Tante Ira, sahabat mama meninggal dunia. Jadi mau tak mau seluruh pekerjaan rumah mulai dari nyuci piring, masak, menyapu, sampai menyetrika aku yang mengerjakan. Setelah semua pekerjaan selesai aku merasakan badanku pegal-pegal, maklumlah nggak terbiasa kerja berat. Aku memutuskan langsung masuk kamar dan tidur lebih cepat dari biasanya. Biar esok pagi aku jauh lebih segar dan bersemangat buat siaran. Begitu hendak merebahkan diri di tempat tidur, tiba-tiba aku teringat HP. Sudah beberapa jam aku nggak megang HP, biasanya kan HP selalu di tanganku. Tapi HP-ku dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat keberadaan HP. Sesaat kemudian aku menepuk jidatku sendiri, HP kutaruh di tas dan tasnya aku masukan ke lemari. Pantas saja dari tadi nggak melihat batang hidung HP. Tanpa basa basi aku langsung membuka lemari. Untung lemarinya ada di depan tempat tidur. Setelah mendapati tas aku langsung mengambil HP. Mataku terbelalak ketika melihat layar HP. Di sana tertulis 10 missed call. Hatiku bertanyatanya siapa yang nelpon sesering ini? Kuklik view pada missed call, tujuannya aku ingin melihat nomor orang yang missed call. Tapi ternyata tulisannya private number. 30
Selain missed call, aku juga mendapat 10 pesan diterima. Bodohnya diriku lupa menghidupkan nada dering HP setelah pulang kerja. Terpaksa deh aku buka satu-persatu pesan tersebut. Pesan pertama datang dari mama Ika, sayang. Sebelum tidur cuci kaki dan tangan, kunci semua pintu dan jendela, dan periksa dapur siapa tahu ada kompor yang belum dimatikan. Aku mendengus kesal. Selalu saja mama memperlakukanku seperti anak kecil. Pesan kedua dari Chella. Ciyeeeeee… yang di pos ronda peluk-pelukan ma cowok. Cowoknya manis pula. Siapa tuh cowoknya? Pacar baru lu? Kok nggak bilang-bilang gue sih? Aku mengerutkan dahi. Chella kok bisa melihatku di pos ronda sih? Sumpahhh… aku malu banget! Pesan ketiga sampai Sembilan dari nomor tidak dikenal 085345777889. Ketujuh pesan tersebut isinya sama. Ika, kamu ada apa sih kok smsku nggak dibales? Teleponku juga gak diangkat. Kamu nggak apa-apa kan? Ternyata orang yang missed call dan memakai private number itu nomornya 085345777889. Tapi siapa pemilik nomor tersebut? Nomornya cantik banget. Teman-temanku kalau ganti kartu pasti mengabariku terlebih dahulu. Kutelusuri lagi kotak masuk siapa tahu aku menemukan jawaban atas pemilik nomor can31
tik tersebut. Dan pada pesan ke-10 aku menemukan jawabannya. Ika, yang cantik. Aku nggak bisa tidur nih, terbayang wajahmu terus. Terbayang saat tadi sore kamu meluk aku di pos ronda hehehehe :p Hiasi tidurmu dengan bantal cintaku Jadikan gulingmu sebagai pengganti diriku Selimuti dirimu dengan kasih sayanku Dalam kegelapan pasti ka nada pagi yang indah yang kamu dapatkan. Saat kamu membuka mata dipagi hari saat itulah aku selalu ada di hatimu Ku takkan pernah meninggalkan dirimu karena aku sangat menyayangimu By Rayhan Mataku melebar ketika membaca pesan tersebut. Benarkah yang dikatakan Rayhan pada pesan tersebut? Mungkinkah Rayhan menyayangiku? Ahh… entahlah. Lagipula rasa sayang kan bisa terjadi dengan siapapun. Mungkin juga Rayhan sayang denganku hanya sebagai sahabat. Yang penting sekarang aku harus membalas pesan yang masuk satu persatu. Balasan pesan untuk mama Iya, ma. Tanpa diingetin Ika dah tau apa yang dilakuin ketika sendirian di rumah. Mama sudah berkali-kali mengucapkan kalimat itu setiap pergi ninggalin rumah -_Balasan pesan untuk Chella 32
Apa yang lu lihat nggak seperti kenyataannya. Besok gue jelasin kronologi kejadiaan yang sebenarnya. Cowok yang lu liat bareng gue di pos ronda itu ponakannya bos gue. Oh ya satu lagi lu jangan bilang ke siapa-siapa tentang apa yang lu liat sore tadi. Kalau sampe mulut lu ember, gue jambak2 lu. Dan yang terakhir balasan pesan untuk Rayhan Sorry tadi aku lagi di dapur. HP ditinggal di kamar dan di silent jadi nggak denger SMS dan telepon dari kamu. Aku mengutak-atik HP untuk mengecek pulsa. Dan betapa kagetnya aku ketika mendapati pulsa tinggal Rp. 100,Sekarang tarif SMS naik tiga kali lipat sama seperti BBM ya? Kalau naik kok nggak ada infonya di iklan? Sesaat kemudian lagi-lagi aku menepuk jidat sendiri. Aku lupa isi pulsa. Sebelum SMS mereka, pulsaku tersisa 300 rupiah. Kayaknya penyakit pelupaku semakin parah deh! My Diary Eh, diary kamu tahu nggak? Sebenarnya aku tuh mulai suka ma Rayhan. Terbukti setiap dekat dengannya, jantungku berdebar-debar. Pantaskah aku menyukai Rayhan? Rayhan kan ponakan bos besar di tempat aku kerja. Kalau bos besar tahu aku menyukai ponakannya, sudah pasti aku bakal dimaki-maki. Lebih parah lagi dipecat. 33
Ya, Tuhan. Aku mohon hilangkan cinta ini dalam hatiku. Cinta ini membuat hatiku tersiksa dan cinta ini pula perlahan-lahan meembunuhku. Karena cinta ini tak kan pernah bisa aku miliki. Eh, diary curhatnya udah dulu ya! Badanku pegel-pegal plus aku ngantuk banget. Mala mini aku mau bobo cepet. Biar esok nggak bangun kesiangan. Dadahhh diary. Emmmmuuuaaaccch.
34
Penembakan Ala Rayhan
Aku punya teman Teman sepermainan Kemana ada dia selalu ada aku Lagu Ratu berjudul Teman Tapi Mesra mengalun indah di telingaku. Lagu itu pula yang membuyarkan seluruh mimpi indahku. “Aduh, siapa sih yang pagi-pagi nelpon aku? Ganggu aku tidur aja!” gerutuku. Dengan mata terpejam, tanganku meraba-raba mencari HP. Tak berapa lama HP telah berhasil kugenggam. Cepatcepat menekan tombol answer. Aku sudah hapal pencetan tombol HP jadi tanpa melihat pun aku tahu letak tombol answer. 35
“Halo,” sapaku ramah. “Halo juga. Kamu baru bangun ya Ika? Sudah baca Koran Banjarmasin Post hari ini belum?” Aku hafal betul suara orang yang menelponnya. Tak lain tak bukan adalah Rayhan, pria yang selama satu minggu ini dekat denganku. “Belum, aku nggak suka baca koran.” “Pokoknya kamu hari ini wajib baca Koran Banjarmasin Post titik. Kalau nggak aku bakal bilang ke paman dan meminta beliau untuk memecat kamu.” Ishh… Rayhan apa-apaan sih? Main ngancem aja! Daripada dipecat mending aku turutin kemauannya. Zaman sekarang nyari kerja susah. Apalagi kerja sesuai keinginan. Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidur. “Halo Ika, kamu masih ada di sana kan?” terdengar suara Rayhan. Aku baru ingat teleponnya Rayhan belum mati. “Iya, aku mau keluar dulu. Nyari koran yang kamu maksud.” Aku melangkahkan kaki ingin keluar kamar. Namun ternyata begitu di depan pintu aku merasa menginjak sesuatu. Aku menundukkan kepala. Wah, aku langsung bersyukur sesuatu yang kuinjak adalah koran yang kuinginkan. Aku garuk-garuk kepala yang tak gatal. Siapa yang naruh koran di depan pintu kamarku? Apa mama sudah pulang ke rumah?
36
“Maaa!” teriakku keras. Namun tak ada jawaban. Berarti mama belum pulang. Kalau bukan mama yang meletakkan koran itu di depan pintu terus siapa dong? Mendadak bulu kudukku berdiri. Ahh… entahlah. Siapapun yang meletakkan koran ini aku mengucapkan terima kasih karena aku nggak perlu susah payah mencari koran. Kuambil koran tersebut di lantai. Lalu kubawa ke tempat tidur lagi. Aku meraih HP ingin menelpon Rayhan untuk memberitahukan dia bahwa aku sudah mendapatkan koran itu. Eh, tahunya sambungan telepon dari Rayhan masih tersambung. Bagus deh kalau begitu, jadi aku nggak perlu keluar pulsa untuk nelpon dia. Kutempelkan telepon ke telinga. “Halo, Ray kamu masih hidup?” “Iya, gimana dah dapet korannya?” “Dah, aku harus buka koran yang halaman berapa?” “Kamu buka halaman sepuluh, nah kamu baca bagian iklan yang letaknya paling bawah sebelah kanan.” Aku langsung membalik-balikan koran mencari halaman sepuluh. Begitu sudah dapat halaman sepuluh, aku mengedarkan pandangan ke bagian iklan. Dan mataku langsung melotot melihat iklan di koran ini. 37
DICARI Seorang wanita bernama Dahliany Wiskasari. Dia berusia sembilan belas tahun dan bekerja di Radio Ariny FM. Dia harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya pada saya. Dia telah mencuri seluruh hati saya. Saya mencarinya untuk dipersunting menjadi istri saya. Dahliany Wiskasari, will you merry me? Buat yang membaca iklan ini. Tolong doakan saya agar lamaran saya diterima. Rayhan Aku nggak salah baca nih? Mimpi apa aku semalam jadi hari ini aku dilamar cowok lewat koran lebih parah lagi dilamar cowok umur lima belas tahun. Baru kali ini ada pria berumur lima belas tahun berani melamar cewek, terlebih lagi melamar lewat koran. Mukaku langsung berubah menjadi merah padam seperti udang rebus. Aku tak tahu merah menandakan marah atau bahagia dilamar Rayhan. Di satu sisi aku bahagia Rayhan berani melamarku. Berarti kan cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi di sisi hatiku yang lain marah besar karena cara lamarannya yang salah dan bikin aku malu. Bagaimana kalau seluruh keluarga, tetangga dan teman-temanku baca koran ini? Dimana aku menaruh mukaku? Pasti mereka bakal bilang “Ciyeee… yang dilamar lewat koran.” 38
“Halo, Ika. Gimana dah baca iklannya?” Tanya Rayhan. Rayhan benar-benar gila! Sudah mempermalukan aku, eh dia malah bicara dengan santai seolah nggak punya salah. “Rayhan, kamu apa-apaan sih? Malu-maluin aku aja! Mulai sekarang kamu jangan pernah deketin aku lagi!” ujarku sengit. “Lho, kok kamu malah marah-marah sih setelah baca iklanku di koran? Harusnya kamu senang dong aku telah menyatakan cinta padamu bahkan melamarmu juga.” “Iya, aku senang dan berterima kasih karena kamu melakukan itu. Tapi caramu menyatakan cinta dan melamarku itu yang salah dan memalukan aku.” “Sori deh kalau cara aku melamarmu salah. Aku hanya ingin melamarmu dengan cara yang berbeda dari yang lain. Sekali lagi aku minta maaf. Kamu boleh minta apapun sama aku, tapi aku mohon jangan memintaku untuk menjauhi kamu. Aku nggak sanggup melakukan itu. Karena aku sangat mencintaimu.” ujar Rayhan dengan nada sedih. Jujur, aku juga nggak sanggup Rayhan. Tapi mau gimana lagi Rayhan harus diberi pelajaran. Pelajaran yang aku berikan ke Rayhan nggak seberapa dan nggak bisa mengembalikan mukaku yang sudah terlanjur malu. Akhirnya aku memutuskan telepon dari Rayhan. Lalu kucabut kartu HP-ku. Biar Rayhan
39
nggak bisa menghubungiku lagi. Aku benar-benar marah dengannya. Aku melirik jam dinding. Jarum jam telah menunjukkan pukul 09.00. Harusnya sih sekarang aku siap-siap berangkat siaran. Tapi karena perbuatan Rayhan, aku jadi malas keluar rumah. Aku sudah nggak takut dipecat lagi. Sekarang aku malah bahagia bila bos besar memecatku. Itu berarti aku nggak perlu berhadapan dengan Rayhan lagi. Tapi sanggupkah aku tidak bertemu Rayhan? Tidak melihat wajah dan senyumnya yang manis? Ahh… Rayhan. Kamu benar-benar bikin aku gila! *** My Diary Eh, diary. Hari ini aku nggak curhat denganmu dulu ya? Hatiku lagi nggak enak. Nggak mood nulis diary yang panjang. Ini semua gara-gara Rayhan, pagipagi sudah bikin mood-ku rusak. Masa dia melamarku di Koran? OMG, mimpi apa gue semalam jadi hari ini dilamar berondong manis? Mau ditaruh dimana coba mukaku? Ya, Allah apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menerima pinangan Rayhan? Aku benar-benar dilema. Aku nggak boleh percaya om,ongan Rayhan. Dia kan masih bau kencur, belum ngerti apa-apa bisa jadi dia melamarku di Koran sebagai candaannya doang. Tapi gimana kalau dia serius dengan lamarannya? Aku jawab apa? 40
Ah, ntahlah. Itu bisa dipikirkan nanti. Yang penting sekarang aku harus menguji cinta Rayhan. Aku ingin membuktikan lamarannya itu serius atau candaannya doang? Dadahh!
41
Permintaan Maaf Dari Rayhan
Kring… kring… HP-ku berbunyi, menandakan panggilan masuk dari Chella. Ini HP-ku yang lain, aku punya dua ponsel, kebetulan Rayhan ataupun bos besarku nggak tahu nomorku yang ini, aku aman. Telepon datang di saat nggak tepat, aku baru saja masuk ke kantor radio saat HP berdering, bunyinya yang nyaring mampu membuat rekan penyiar lainnya menoleh ke arahku. Ups, aku lupa men-silent HP. Duh, Chella ini mau apa sih? Akupun mengangkat telepon di luar kantor. “Ada apa sih? Gue lagi di radio, nih!” Tanyaku jengkel. 42
“Ka, nama lu ada di koran, lu dilamar sama cowok di koran! So sweet nggak sih?” ujar Chella menggebu-gebu. Ini yang dilamar siapa, yang histeris siapa? Buset, bentar lagi satu Banjarmasin tahu soal lamaran di kolom iklan sialan itu. “So sweet pala lu kejedot pintu!” Seruku lagi, sahabatku ini benar-benar bikin aku kesal. “Itu cowok Cuma ABG labil iseng, lagian berondong gila begitu ditanggapin.” Lanjutku. “Tapi dia gila karena lu tahu, coba lu pikir apa cowok lain mau sampai ngelakuin hal nekat kayak gini? Dia gentleman banget, romantis, berani, beda sama cowok-cowok lain yang Cuma mentingin gengsi.” Chella meyakinkan aku agar bisa menerima tindakan Rayhan. No way, aku nggak bisa terima tindakan nekat cowok nggak tahu malu itu. “Sekarang gini, kalau dia nembak gue jadi pacar, gue masih bisa terima tapi dia minta gue jadi istri. Bayangkan, anak umur lima belas tahun mau nikah! Gue nggak bisa ngebayangin rumah tangga gue dipimpin oleh anak ingusan, mau jadi apa?” Erangku bertubi-tubi. “Iya, tapi lu bisa lihat positifnya, lu hargain sedikit usaha dia.” suara Chella melunak. Aku gemas, terusin aja belain Rayhan. “Kita terusin ntar aja, Chel. Gue mau siaran dulu.” Pamitku lalu langsung menutup panggilan tanpa menunggu jawaban Chella. Aku nggak peduli meskipun seluruh alam semesta membela Rayhan karena cowok ingusan itu udah bikin aku 43
malu. Duh, seandainya aku bisa ganti nama seminggu aja sampai seluruh penduduk Banjarmasin lupa sama iklan konyol itu. *** “Selamat pagi, sobat Ariny. Jumpa lagi sama Ika dalam program „Curhatan Remaja‟ as usual and always dua jam ke depan kita akan saling berbagi cerita ten-tang remaja. Apapun itu siapapun yang mau curhat baik soal cinta, sekolah, kuliah, ataupun ortu silakan sharing di tiga line yaitu telepon di 0511994560, SMS di nomor 085654910277, dan email di
[email protected]. dengan senang hati Ika akan memberi solusi untuk semua masalah kalian. Sebelum kalian curhat abis-abisan di acara ini, Ika puter lagu pembuka buat kalian, selamat mendengarkan tetap di 107,9 FM.” Ini dia resiko jadi penyiar radio, suaraku harus tetap stabil apapun masalahnya. Untung aku bisa mengendalikan diri di tengah rasa kesalku yang meledak-ledak terlebih lagi rekan-rekan penyiar terus-terusan meledekku hingga aku semakin malu. Untung nggak ada bos besar, coba kalau ada, habislah diriku. Bisa dipecat kalau salah memperlakukan keponakannya. Rayhan, aku sebenarnya sayang sama berondong itu tapi dia terlalu berani mengobral cinta. Secara logika, dia terlalu cepat memutuskan untuk menikah padahal yang aku tahu cowok belasan tahun itu masih labil, suka main, dan gonta44
ganti cewek. Memang Rayhan udah kuliah tapi kenapa itu anak kebelet kawin? Nggak habis pikir, deh! “Makasih buat semua sobat Ariny yang tetap setia bersama „Curhatan Remaja‟ masih dengan Ika di sini untuk menemani kalian semua di waktu santai ini. Pagi-pagi begini enaknya curhat, ya sama Ika. Saya pasti berikan solusi yang mudah-mudahan bisa membuat sobat Ariny semua lega karena masalah kalian terpecahkan. Yak, rupanya ada telepon masuk. Halo selamat pagi sobat Ariny! Dengan siapa di sana?” Aku cuap-cuap dengan lancar sampai aku menerima telepon. “Aku Mr. X di suatu tempat.” Sapa cowok di seberang. Tunggu, kayaknya aku kenal suara bass khas cowok baru akhil baligh ini. “Baik, Mr. X mau curhat apa?” Sahutku ramah tanpa prasangka apapun. “Salah nggak kalau mencintai cewek yang lebih tua?” Tanyanya pelan. Aku berpikir sebentar, kenapa sama seperti kisahku sekarang ya? “Dalam cinta nggak ada yang salah, perasaan itu muncul tanpa diduga dan kita nggak pernah bisa memilih siapa orang yang kita cintai. Kalau hati memilih cewek yang lebih tua kita bisa apa? Cinta itu anugerah, masa mau nolak sih?” ujarku bijak, aku mencoba untuk netral, aku nggak mau menghubunghubungkan kejadian yang aku alami dengan curhatan cowok di seberang sana. Tak lama kemudian terdengar suara gemerisik lembut yang sedikit 45
mengganggu telingaku. Aneh, kenapa nggak ada jawaban ya? Kriett… pintu studio terbuka pelan, biji mataku mengarah pada orang yang membuka pintu. What a surprise! Rayhan datang dengan membawa setoples kue chocolate chip kesukaanku. Mau apa lagi coba anak itu? Mau bikin aku malu lagi? Tadi di koran, sekarang radio, besok janganjangan aku masuk TV. “Emm… Sobat Ariny semua, kayaknya penelepon tadi matiin telepon tiba-tiba, sambil menunggu sobat lainnya gabung, mari kita dengan suara indah Rossa dalam lagu berjudul Kini.” Aku menyimpan rasa gugupku sekuat tenaga demi profesionalitas sebagai seorang penyiar radio. “Maaf atas kelancanganku melamar mbak Ika, semua karena aku cinta sama mbak Ika. Aku nggak mau mbak direbut sama cowok lain.” ujarnya memelas. Ia berlutut dihadapanku, “Mbak Ika, will you merry me?” sambungnya. Oh my God, baru kali ini aku melihat ada cowok umur lima belas tahun nekat melamar cewek yang lebih tua di depan umum. Kutatap matanya dengan seksama, di bola matanya terpancar sebuah keseriusan. Ini baru cowok remaja, begitu natural sesuai anak seusianya, polos, nggak dibuat-buat, dan mimik mukanya lucu banget, imut gitu. Cewek mana yang nggak melambung hatinya ketika dilamar di depan umum? Aku terpana. 46
Hatiku berdebar-debar. Namun demikian aku tak langsung menerima pinangannya. Betapapun hatiku ini sudah melompat-lompat ingin menyambut cinta Rayhan. Tetap saja aku tak dapat menutup mata akan kenyataan bahwa usia kami jauh berbeda. Apa kata dunia seorang Dahlia Wiskasari menikah dengan cowok umur lima belas tahun? Aku mengajaknya ngobrol berdua di kantin belakang studio, kita butuh bicara sebentar. Nida, rekan penyiar mau mengambil alih acara untuk beberapa menit. *** My Diary Huwaaaaa… Rayhan benar-benar gila! Masa hari ini gue dilamar dua kali ma dia? Pertama dilamar lewat koran, terus kedua dia melamar langsung di studio radio. OMG, mimpi apa gue semalam jadi hari ini dilamar berondong manis? Ya, Allah apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menerima pinangan Rayhan? Aku benar-benar dilema. Jujur aku salut dengan perjuangan Rayhan. Dan aku pun juga mencintainya. Tapi yang membuat kuragu adalah usia Rayhan yang masih terlalu muda untuk menikah. Usia segitu kan biasanya asyik-asyiknya menikmati masa remaja. Apa jangan-jangan Rayhan itu nggak normal ya? Siapa tahu aja dia punya penyakit yang bikin orang bisa jauh lebih tua daripada umurnya? Emang ada penyakit kayak gitu? 47
Entahlah kepalaku pusing memikirkan Rayhan. Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. Tadi sih aku sudah mengajukan syarat padanya. Aku mau menikah dengannya asal dia hidup mandiri, tanpa bantuan orang tuanya. Sanggupkah dia melakukan syarat dariku. Kalau dia nggak sanggup berarti nggak jodoh, tapi kalau dia sanggup itu artinya aku memecahkan rekor muri. Pertama kalinya di Martapura, cewek umur sembilan belas tahun menikah dengan cowok berondong berumur lima belas tahun. Udah dulu ya curhatnya. Daaah…
48
Lamaran Kedua
“Rayhan, pikiran kamu sepertinya begitu dewasa, aku maklum karena kamu kuliahnya cepat tapi kamu sebenarnya tahu nggak arti menikah itu apa?” Tanyaku padanya. Duh Rayhan, kamu punya muka kok ganteng banget? Bikin aku geregetan, berondong ini manis dan lucu. “Menikah itu ikatan resmi untuk hidup bersama, punya keturunan, saling berbagi dalam suka dan duka, miskin dan kaya, serta menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.” Jawabnya serius. “Wah, buat anak umur lima belas tahun pemikiran kamu dalam soal pernikahan. Belajar dari mana?” Aku bertanya lagi untuk mencairkan suasana 49
kaku di antara kita. “Well, sebelum aku terima permintaan maafnya, aku harus tahu seberapa keras perjuangan kamu mendapatkan aku.” Ujarku diplomatis. “Iklan koran tadi salah satu tanda keseriusan aku.” Dia menatapku lurus. Biji mata hitamnya menatapku lurus. Aih, mata itu indah banget! Cowok itu bikin aku terpesona, aku nggak bisa berkutik karenanya. Mendadak wajahku merah jambu, itu cowok bikin aku pans dingin. “Lalu untuk apa kamu ngelakuin itu? Nggak bisa jaga privasi apa?” “Aku ingin seluruh kota bahkan dunia tahu aku cinta kamu.” Well, yeah... ucapannya emang lebay buat ukuran bocah baru akhil baligh tapi perkataannya berhasil bikin hatiku campur aduk. Senang, malu, salah tingkah. Duh, apa yang harus aku lakukan? “Tapi menikah itu nggak gampang, apa kamu bisa menghidupi aku? Apa nantinya kamu nggak kesulitan membiayai anak istri? Kamu juga harus membagi waktu antara kuliah dan rumah tangga, apa kamu bisa? Aku tahu kamu anak orang kaya, tapi apa mau rumah tangga kita masih dibiayai orang tua?” “Aku punya usaha playstation dan semua uangnya mengalir ke rekeningku. Aku juga…” “Itu semua dari orang tuamu, kan? Aku pengen kamu cari sendiri, murni dari usaha kamu, aku nggak pengen bersuami tapi masih numpang ortu.” Balasku santai tapi tegas, sedikit nyelekit. 50
Dia tampak berpikir sebentar, aku meminum jus jambu untuk membasahi tenggorokanku yang kering sekaligus menetralisir rasa gugupku. Aku, seorang cewek tegar berusia sembilan belas tahun takluk lemah lunglai di hadapan cowok berondong cakep. Phiuuhh… memalukan. But I have to stay cool in front of him, don‟t let it show on my face. “Paling nggak, kamu melamar aku pakai duit hasil jerih payahmu sendiri.” Lanjutku. Dia berdiri lalu berjalan mendekatiku, perlahan dia bersimpuh dihadapanku, kepalanya menengadah ke arahku, dia memandangiku dengan tatapan penuh cinta bak pangeran akan melamar putri tercintanya. Tangannya meraih tanganku, menciumnya, menimbulkan dentuman kencang di jantung ini. “Untuk Ika, aku akan berusaha.” Ujarnya mantap. *** Di sinilah Rayhan, di sebuah warnet bernama Fastnet. Dia benar-benar memenuhi permintaanku, dia melamar pekerjaan sebagai penjaga warnet. Memang benar pekerjaan ini nggak sesuai dengan otak encernya, seharusnya dia bisa mendapat pekerjaan lebih dari ini tapi dia bersikeras ingin bekerja dari usahanya sendiri, tanpa bantuan fasilitas apapun termasuk dari ortunya. “Aku akan segera melamar dengan hasil jerih payahku sendiri. As your pleasure, beautiful.” 51
Begitu janjinya padaku, manis sekali. Aku terkesima dengan segala rayuannya, perlahan aku mulai membuka hati, aku sangat terkesan dengan perjuangannya. Dia bela-belain jaga warnet siang malam demi menepati janjinya untuk melamarku, tindakannya bagaikan seorang gentleman bukan ABG labil. Rayhan menyimpan sikap dewasa dalam hati aku kagum padanya, dengan hati dan seluruh perasaanku, aku menyatakan kalau aku mulai menyayanginya. *** “Jadi lu mau nerima lamarannya si berondong itu?” Tanya Chella sambil mengukur baju di depan tubuhnya. Dia dan aku sedang belanja baju di Mall. Bajuku banyak yang kedodoran karena tubuhku semakin kurus. Aku harus membeli beberapa baju lagi. “Apa salahnya? Toh, gue udah mulai sayang sama dia.” jawabku sambil meraih baju warna pink cerah dari gantungan baju. “Tapi kan, dia masih kecil banget, apa dia mampu jadi seorang kepala keluarga?” Tanya Chella lagi, dia rupanya belum yakin dengan jawabanku. “Yang kecil kan umurnya, tapi dia sudah dewasa banget. Buktinya dia mau kerja dengan hasil jerih payahnya sendiri buat ngelamar gue.” “Lu juga kayak kakak sama adiknya waktu jalan sama dia,” 52
“Apapun itu, yang penting gue sayang sama dia.” Chella menatapku aneh, seolah tak percaya kalau aku mulai membuka pintu hatiku lebarlebar untuk Rayhan. Mendadak otakku membayangkan wajah cakepnya yang begitu sungguhsungguh mengucap janji dan melaksanakannya, semua demi aku. Sebagai perempuan, aku begitu tersentuh akan usahanya. *** Tidurku yang nyenyak terganggu oleh bunyi HP. Perlahan kelopak mataku terbuka, seakan masih ada lem yang merekatkan kedua mataku. Ughh… aku ngulet sebentar lalu kedua tanganku mengucek-ucek mataku seraya mengumpulkan ragaku yang bertebangan di atas kepala. Nada dering itu terus memanggil tanpa kompromi. Ngomong-ngomong, ini jam berapa ya? Hah? Pukul satu pagi? Apa-apaan? Aku kira sekarang sudah subuh. Siapa orang nggak ada kerjaan yang telepon aku jam segini? Tanganku meraih telepon genggamku. “Rayhan?” ujarku senang sekaligus kesal. Kalau bukan si cakep ini, aku pasti akan makimaki si penelepon. “Halo sayang,” Sapaku mesra. “Cintaku, bisa keluar rumah sebentar aja.” Ujarnya di seberang. Aku langsung bersemangat. 53
Aku turun dari tempat tidur lalu mengintip keberadaannya dari kaca jendela kamar tidurku di lantai dua. Rayhan ada di bawah, dia membawa buket bunga mawar pink kesukaanku. Ada apa ya dini hari begini? Aku keluar mengendap-endap agar orang tuaku nggak bangun. Aku masih tetap memakai piyama putih bergambar beruang-beruang lucu dan sandal tidur berbentuk kelinci, wajahku juga belum diapa-apain, benar-benar masih natural bangun tidur, aku ingin menunjukkan aku apaadanya di depan Rayhan. “Kamu cantik kalau bangun tidur gitu.” Pujinya. Aku tersipu malu, aku nyaris nggak merasakan udara dingin dini hari yang menyelimuti tubuhku, aku bahagia karena bertemu Rayhan. Tuhan, inikah rasaya jatuh cinta? Anugerah ini sangat indah. Rayhan tampak ganteng sekali pagi ini, dia mengenakan kemeja abu-abu dengan garis-garis kuning, rambut ikalnya dicukur pendek, wangi parfum sporty tercium dari tubuhnya. Aduh, ini cowok makan apa sih kok bisa ganteng banget? Rayhan, I love you… “Makasih, ada apa pagi-pagi gini?” Tanyaku manis. “Aku udah nepatin janji,” dia mengeluarkan kotak kecil dari kantong kemejanya. Dadaku mulai berdegup kencang memicu aliran darahku yang 54
semakin deras mengalir. Katakan Rayhan, katakan. “Maukah kamu menikah denganku?” Got it, tanpa sadar aku mengajarkannya banyak hal, dia mengerti privasi, mencari uang sendiri, dan menepati janji. He did it! Aku bangga sekali padanya, remaja kelahiran tahun 1997 itu menjelma menjadi sosok dewasa, dia berhasil membuktikan padaku kalau umur tidak menentukan kedewasaan. “Aku mau.” Ujarku sambil tersenyum. Gurat kebahagiaan terpapar jelas di wajahnya, melihatnya tersenyum, aku jadi ikut tersenyum, gerakan melengkung di bibirnya itu sungguh membuatku melayang ke nirwana menyadari kalau tak lama lagi aku akan menjadi istrinya. “Dua kata dari kamu adalah kata terindah yang pernah aku dengar.” Bisiknya. Suara bass itu merasuk indah di telingaku. Selain cerdas dalam hal studi, Rayhan juga pandai merayu. Aku jatuh cinta padanya, aku bersedia menjadi istrinya. “Kamu sampai segitunya ngelamar aku pagipagi gini.” Ujarku. Dia tersenyum simpul. “Aku ingin menjadi orang pertama yang ngucapin selamat pagi ke kamu dan aku ingin hanya kita berdua yang tahu lamaran ini. As you want, just you and me.” Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, aku hanya bisa meneteskan air mata haru. Terima kasih Tuhan, Kau kirimkan Rayhan untukku. 55
My Diary Cintai aku bronis, bagiku kamu berondong manis… aku nyanyi dulu ya diary… hehehe soalnya aku seneng banget! Rayhan udah mastiin kalau dia akan melamarku untuk menikah dengannya. Nggak kebayang bakal nikah semuda ini (pikirku umur dua puluh lima sampe tiga puluh tahun gitu) eh, ternyata aku dilamar duluan sama anak kecil berotak dewasa. Apapun itu, aku mau banget nikah sama Rayhan, hatiku udah mantap, aku terharu akan perjuangannya untuk mendapatkan aku, dia begitu dewasa. Umur sih nggak masalah, yang penting pemikiran dan tindakannya. Ya, kan?
***
56
Inilah Rasanya Menikah
“Saya terima nikah dan kawinnya Dahliany Wiskasari binti Dahlan Aristo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Hari pernikahan tiba, Rayhan mengucapkan ikrar sehidup semati di hadapan penghulu, saksi, dan seluruh keluarga dengan lantang. Ijab qabul dilaksanakan di rumahku mulai pukul delapan pagi. Rayhan tampak sangat tampan menggunakan baju pengantin mengkilap berwarna merah sedangkan aku memakai kebaya warna senada. Aku merasa sangat berdebar sejak kemarin, perutku serasa melilit menunggu waktu pernikahan, hatiku sangat bahagia. Aku nggak peduli gunjingan 57
orang tentang pernikahan muda ini, yang hamillah, dibilang tante-tante doyan berondong-lah, apaan coba? Gue yang nikah kenapa tetangga yang repot? “Aku akan menjaga kamu, bertanggung jawab terhadap kamu sampai akhir nanti, umur bukanlah halangan tapi hanyalah jarak yang nggak akan memisahkan kita. Aku sayang kamu.” Kata Rayhan sambil mencium keningku lembut. Di dekatnya, aku merasa seperti gadis kecil yang terlindungi oleh segenap kasih sayang yang Rayhan beri untukku. Dia segalanya, aku sangat menyayanginya. Entah kapan rasa itu tumbuh dengan tulus, aku tersentuh dengan kesungguhannya. Perempuan mana yang nggak terharu melihat perjuangannya kerja demi membeli mahar pernikahanku? Jaga warnet, ngajar les privat, sampai jualan pulsa ia kerjakan tanpa malu padahal dia anak orang kaya dan sangat tampan. Dia melepaskan semua gengsinya demi siapa? Demi aku. Ah, aku merasa terhormat menjadi miliknya. Rayhan, suamiku. *** Aku membuka mataku perlahan, mataku melihat pemandangan baru, sebuah kamar berhiaskan kain putih bertaburan bunga-bunga krisan segar bertebaran mengelilingi tembok, kasur yang aku tempati ini tadinya bertaburkan kelopak ma58
war mengelilingi sprei. Kamar pengantin ini menjadi saksi bisu penyerahan seluruh cintaku pada Rayhan. Di malam pertama ini dia memperlakukanku dengan lembut, aku sama sekali nggak kesakitan, dia tahu titik sensitif tubuhku, ritme bercintanya perlahan tapi pasti menggiringku menuju puncak gelora asmara. Gerakan mencumbunya seperti seorang pria dewasa, setiap dia bergerak menyudutkanku, aku merasakan getaran kenikmatan tak terhingga, aku nggak bisa lepas dari jeratan kasih dan sayangnya. “Pagi istriku,” Sapa rayhan sambil mencium bibirku sekilas lalu membuka jendela kamar. Dia sudah berpakaian rapi sedangkan aku masih mengumpulkan nyawaku yang beterbangan di udara dengan kondisi badan yang remuk redam akibat perbuatan Rayhan semalam. “Pagi suamiku, kok udah rapi? Mau kemana?” Tanyaku sambil mengucek-ucek mataku. “Nggak kemana-mana, aku mau tampil cantik di hari pertama di hadapan nyonya Rayhan.” Ujarnya sambil tersenyum manis sekali. “Sayang,” Ujarku tersipu. “Ayo, cari sarapan.” Ajaknya. “Khusus hari pertama, aku yang melayani kamu, you are my queen.” Ujarnya mesra. “Tapi aku belum mandi,” Rajukku.
59
“Aku mandiin?” Tawar Rayhan dengan tatapan nakal lalu naik ke kasur dan meraupku ke pelukannya. “Masih kurang yang tadi malam?” ujarku nggak mau kalah nakal. Biarin, sama suami sendiri aja. “Biar aja dulu, kamu capek, kasian. Sana mandi,” ujarnya lalu melepaskan pelukannya. *** Aku dan Rayhan tinggal di rumah pemberian orang tua Rayhan, tak apalah yang penting kita berdua mendapat tempat tinggal. Hari-hari berikutnya berlangsung mesra meskipun sedikit berkurang setelah malam pertama karena Rayhan mulai kuliah sedangkan aku siaran. Kita berdua mulai menjalani kesibukan masing-masing. Pagi ini aku memasak makanan kesukaannya yaitu tumis kangkung dan ayam pedas untuk sarapan. Aku mulai merasa kesulitan mengaturnya, aku membiasakan kita berdua makan di meja makan sebagaimana yang dilakukan sebuah keluarga tapi Rayhan bandel dia makan di depan televisi sambil menonton berita sepak bola. “Papa, ayo makan di meja makan.” Ajakku dengan nada selembut mungkin, aku harus menghormati suamiku meskipun aku yang lebih tua. “Ntar aja, Ma. Nanggung, abis iklan ada beritanya Arsenal, aku nggak mau ketinggalan.” Tol60
aknya, aku sebal sekali masa disuruh makan bareng istri aja nggak mau? “Pa, ayolah…” Ajakku lagi, sedikit memaksa. Rayhan nggak menggubris omonganku, dia tetap makan dengan santai. Aku gemas, aku langsung meninggalkannya untuk makan sendiri di meja makan. Dasar anak kecil! Maunya menang sendiri. Tak lama kemudian Rayhan datang ke meja makan, aku senang, kukira dia akan menemaniku makan ternyata dia hanya meletakkan piring kotor di meja makan. Ugh, kalau bukan suamiku, aku lemparkan piring itu padanya. Maaf, bukan bermaksud kasar maksudku aku akan menyuruhnya mencuci piringnya sendiri. “Ma, berangkat dulu.” Teriaknya pamit. Akupun mengejarnya, bukan begitu caranya pamit sama istri. “Pa, aku mau cium tangan dulu, kali.” Ujarku. “Oh, iya lupa. Belum ngeh kalau udah punya istri.” Rayhan nyengir kuda sementara aku mencium tangannya. “I love you.” Ujar Rayhan. *** “Laki-laki itu memang begitu, lagi.” Ujar Nida, rekan sesama penyiar radio. Kebetulan kamu 61
berdua lagi siaran bersama dalam program “Berita Siang”. “Kalau awal-awal mau menikah rasanya menggebu-gebu gitu tapi kalau sudah menikah kemesraannya mulai berkurang soalnya dia merasa memiliki lu secara utuh jadinya bakal lebih cuek.” Lanjutnya. Aku hanya bisa manggut-manggut. “Suami lu gimana, Da?” tanyaku. “Suamiku ya begitu, sama aja kok, namanya juga laki-laki. Jelasnya sih, cinta aja nggak cukup mempertahankan pernikahan, harus ada tanggung jawab, rasa pengertian, dan kebersamaan.” Jawab Nida. Nasihatnya menjadi bahan perenunganku, aku memang sangat terburu-buru mengambil keputusan. Benar kata ibuku yang sempat menentang pernikahanku dengan Rayhan, „laki-laki perlu kematangan dalam berpikir jika ingin menikah, nggak asal cinta saja.‟ Tapi aku sayang sama Rayhan. *** Inilah rasanya menikah, ada senang, ada susah, ada sebal, dan ada kangen. Sampai jam tujuh malam, Rayhan belum pulang. Aku berkalikali meneleponnya tapi nggak diangkat. Aku menunggunya di ruang makan, semua makanan sudah aku siapkan di meja makan tapi aku nggak mau makan sebelum Rayhan pulang. Perutku ini sudah keroncongan dari tadi sampai pukul sem-
62
bilan malam Rayhan tak juga datang. Aduh, suamiku kemana sih? Tepat pukul 20.30 Rayhan datang dengan wajah kucel dan pakaian yang masih tetap sama seperti saat dia berangkat tadi. “Dari mana aja, pa?” Tanyaku baik-baik. Aku sekuat tenaga menjaga emosi di hadapannya. “Ngerjain tugas kelompok di rumah temanku.” Ujarnya pendek. Gurat wajahnya terlihat sangat lelah mendengarkan pertanyaan-pertanyaanku yang seolah menginterogasikan dirinya. “Kok sampai malam banget?” “Ya tugasnya banyak, ma.” “Aku sampai nungguin papa buat makan malam, ayo makan sayang.” Ajakku sopan. Ingat kalau aku adalah istrinya, posisiku berada di bawahnya. “Kalau mau makan ya, makan aja, ma. Nggak usah nungguin aku. Udahlah, aku capek.” Ujarnya lalu berjalan masuk ke kamar. Aku merasa sia-sia, semua penantianku nggak dianggap sama sekali. Beginilah rasanya menikah dengan remaja yang masih ingin bebas. Aku nggak memperhitungkan ini saat pertama menikah. Seorang remaja masih labil dalam berpikir dan mengedepankan nafsu setiap menginginkan sesuatu. Aku meraih diary kesayangan, hanya diary satu-satunya teman curhatku. Aku ingin mencurahkan keluh kesahku pada diary. Kalau curhat sa63
ma orang, itu sama aja membuka aib suami sendiri. My Diary Menikah itu gampang, tinggal panggil penghulu doang… yang susah itu membuat pernikahan menjadi langgeng. Apalagi bagi orang yang menjalani pernikahan dini. Seperti aku, menikah di usia dua puluh tahun, adat istiadat orang Martapura Kalimantan Selatan umur lima belas tahun sudah banyak yang menikah. Aku menikah sama berondong bernama Rayhan. Rayhan umurnya lima belas tahun, usianya lima tahun lebih muda dariku. Aku jatuh cinta dengannya karena dia cerdas dan cakep pula Siapa sih yang nggak ingin punya suami cakep? Bayangkan saja usia lima belas tahun dia sudah kuliah. Awalnya dia sifatnya dewasa, makanya aku mau menikah dengannya. Tapi lama-kelamaan sifat aslinya kelihatan. Ternyata dia childish dan sangat manja. Bahkan lebih parahnya lagi dia lebih mencintai PS daripada aku. Teman-temanku selalu bilang, “Lu beruntung banget punya suami kayak Rayhan. Udah ganteng, cerdas, baik, orang tuanya tajir pula. Pasti rumah tangga lu bahagia.” Tapi kenyataannya rumah tanggaku sama sekali nggak bahagia. Eh, bahagia dikit ding. Bahagianya pas melakukan malam pertama. Dia kan masih polos jadi memperlakukanku malam itu halus banget. Se64
telahnya Tiap hari aku makan hati, Aku merasa sia-sia, semua penantianku nggak dianggap sama sekali. Beginilah rasanya menikah dengan remaja yang masih ingin bebas. Aku nggak memperhitungkan ini saat pertama menikah. Seorang remaja masih labil dalam berpikir dan mengedepankan nafsu setiap menginginkan sesuatu. Aku nggak menyesal mengalami pernikahan ini. Karena dari sini aku sadar cinta bukan hanya menuruti hati tapi juga memakai logika. Menikah harus dipikir matang-matang dan memilih calon imam rumah tangga nggak dari luarnya saja tapi lihat potensinya. Kini aku hanya bisa pasrah dengan rumah tangga yang tidak sehat. Berharap suatu hari pikiran Rayhan berubah dan bisa jadi imam rumah tangga plus ayah yang baik buat anakku kelak.
65
Gejolak Rumah Tangga
“Hoek… hoek…” Aku mual-mual pagi ini sebelum berangkat siaran, kepalaku serasa berputar kencang, saking kencangnya sampai badanku membentur dinding kamar mandi. Tanganku memegang perutku yang terasa diremas-remas. Aku ini kenapa ya? Tok Tok Tok! Pintu kamar mandi diketok oleh Rayhan hanya aku jawab dengan suara orang mual. “Mama, mama! Mama kenapa?” Tanya Rayhan panik. “Mual-mual, pa.” Jawabku. 66
“Ma, istirahat aja dulu, jangan siaran.” Sarannya. Keluar dari kamar mandi dipapah Rayhan menuju kamar, badanku lemas sekali, kepala pusing, aku sungguh nggak kuat. “Mama istirahat aja dulu, hari ini aku nggak ke kampus soalnya nggak ada kuliah. Aku mau nungguin mama. Kasihan, lagi sakit.” Ujarnya penuh kasih sayang. “Pa, aku udah dua bulan nggak mens.” “Nanti aku temenin ke dokter ya… Mama nggak boleh sakit.” Aku tersentuh, nggak percuma dia menjadi suamiku tercinta. Namun aku mulai nggak respek sama dia setelah dia menerima telepon dari seseorang di luar kamar. “Ma, aku ke PS-an dulu ya.” Pamitnya. Aku langsung kesal. “Kamu lebih milih mana tempat PS-an atau aku.” “Aku memilih kamu, tapi saat ini aku mendahulukan ini dulu soalnya ini urusan penting, tempat PS-ku nggak ada yang jaga. Kalau kemalingan gimana?” “Ya udah, deh. Aku nitip mangga muda ya, pa. Pengen banget nih,” Rajukku sedikit dengan nada paksaan. “Oke, cuma bentar kok, nanti pulangnya aku anterin ke dokter ya.” ***
67
Apa tempat play station lebih penting dari aku? Dia sudah janji mengantarkan aku ke dokter tapi kenapa sampai malam begini dia nggak datang? Apa dia lupa? Entah berapa kali aku mencoba menghubunginya sampai jempolku tipis gara-gara kebanyakan mengetik SMS dan telepon. Sebel banget! Semua SMS dan teleponku nggak digubris sama sekali. “Mama, aku pulang!” serunya sambil membuka pintu. Tangannya menjinjing kotak besar berwarna merah bertuliskan play station. Play station? Apa-apaaan ini? “Apa itu, Pa?” tanyaku dengan rupa masam. “Play station!” ujarnya ceria tanpa rasa bersalah, dia sama sekali nggak peka. “Buat apa?” “Ya buat maenlah, mam. Masa buat dimakan?” “Kamu beli PS bisa tapi lupa nganter aku ke dokter sama belikan mangga muda.” Ujarku datar dengan menyimpan rasa amarah yang mendalam. “Ya ampun, sayang. Aku lupa, maafin aku.” Ujarnya sambil meraih kedua tanganku lalu memandangku dengan tatapan memelas. “Nggak!” aku menghempaskan kedua tangannya. “Aku sendiri aja!” Lanjutku marah. ***
68
“Selamat, ya. Ibu positif hamil.” Kata Bidan Hani tempat aku memeriksakan diri. Aku nggak percaya perkataan bidan itu. Aku hamil? Padahal aku nggak punya pikiran cepat punya anak. Terima kasih, Tuhan. “Sudah berapa minggu, Bu?” “Satu minggu berjalan. Ibu harus sering kontrol sebulan sekali untuk memeriksakan keadaan janin dalam kandungan ibu.” “Baik, Bu bidan. Terima kasih, ya.” Ujarku pamit kemudian aku keluar dari klinik dan mengendarai sepeda motorku menuju supermarket untuk belanja bulanan sekaligus membeli susu khusus ibu hamil. Seharusnya aku nggak sendirian tapi Rayhan sibuk dengan play station barunya. Aku kesal, bukannya dia memberikan aku uang belanja tapi uangnya malah ia belikan play station. Aku sih nggak masalah karena aku punya gaji dari siaran tapi masa dia nggak melaksanakan kewajibannya untuk menafkahi istrinya? *** “Ya ampun, papa! Masih main PS sampai siang begini? Bukannya bantuin aku angkat belanjaan. Papa sudah makan?” Erangku begitu melihatnya masih sibuk dengan serangkaian game nggak penting itu. “Cerewet, ah! Udah masuk sana, ambilin aku makanan, suapin, lagi seru nih soalnya.” Balasnya 69
manja. Suapin? Udah mau jadi bapak minta suapin? Aku nggak bisa bersabar lagi, aku langsung mencabut kabel PS dari stop kontak. Biarin, bubar semua game yang dia mainkan. “Woy! Game-nya hampir tamat!” Serunya panik. “Biarin, biar tahu rasa, udah mau jadi bapak tapi jiwa masih anak-anak.” Ujarku sengit. “Mama apa-apaan, sih?” Dia berdiri lalu menatapku tajam seolah akan menelanku bulatbulat. “Kamu udah mau jadi bapak, kenapa masih main PS terus?” air mataku menggenang di kelopak mataku. Tak urung aku menangis juga, aku ini hamil muda tapi kenapa dia nggak peduli sama aku. “Maksud kamu?” “Kamu lebih milih PS atau anak kamu? Di sini, di perutku.” Ujarku sambil terisak dan menunjuk perutku. “Ya Tuhan, kamu hamil?” Tanyanya sambil mengguncang-guncangkan bahuku. Raut wajahnya terlihat sangat gembira. “Maafin aku, Ma. Mulai sekarang aku akan menjaga Mama lebih ketat karena sekarang aku akan mempunyai seorang anak.” Lanjutnya lalu memelukku erat tapi belum sempat aku menghapus air mataku, dia bilang. “Anaknya laki-laki ya, ma. Biar bisa nemenin aku main PS.” 70
Play Station
Ternyata kesadaran Rayhan tidak berlangsung lama, play station lebih menyedot perhatian cowok enam belas tahun itu. Bayangkan saja, cowok enam belas tahun memiliki anak? Sulit dipercaya, nantinya jika anakku ini lahir, aku seolah-olah punya dua anak. Aku merasa diduakan, mending dengan wanita, ini dengan sebuah benda, Rayhan rela nggak tidur berhari-hari demi PS tapi masa dia rela begadang buat nemenin aku yang lagi masa kritis kehamilan. Aku sering banget mual-mual dan muntah, tapi masa iya dia mau menemaniku? Mana janji manisnya dulu? Mana kelakuan dewasanya demi meyakinkan aku 71
untuk menikah dengannya? Apa dia menyesal menikah di usia muda? “Pa, ayolah, berhenti dulu main PS, sini ngobrol-ngobrol sama aku. Rencanain nama anak, kek, beliin apa gitu, kan usianya sudah empat bulan.” Ajakku sambil menggeret-geret bajunya. Percuma, matanya tetap ke layar televisi. Janji tinggallah janji, katanya mau menjagaku padahal dia tetap bermain play station. Kemarin saja saat aku minta temani ke mall dia malah pengen buru-buru pulang untuk menghabiskan permainan di play station. Ugh, kenapa dulu dia nggak menikahi play station aja? “Tunggulah, ma. Nanggung nih lagipula urusan nama nanti-nanti aja kalau anaknya sudah lahir.” Elaknya tanpa melihat wajahku sekalipun, ini seolah-olah dia ngomong sama TV bukan sama aku. “Pa, aku butuh perhatian Papa.” Rajukku lalu pergi ke kamar agar dia sadar kalau aku benarbenar butuh dia. Satu menit, dua menit, tiga menit, aku menunggunya untuk menemuiku. Dia lebih cinta sama PS kali, ya? “Ma! Sini ma!” Seru Rayhan. Perasaanku mendadak manjadi gembira, dia ingin aku menemaninya, pasti dia sudah berhenti main PS lalu sadar kalau aku membutuhkannya.
72
“Iya pa,” Ujarku setelah sampai ke depan televisi. “Ma, game Tekken 2 sudah selesai dan aku meraih Top Score!” Ujarnya senang. Ugh, emosiku melonjak tinggi ke ubun-ubun. Kukira dia ingin berduaan denganku ternyata hanya ingin bilang dia meraih top score. “Kamu, tuh, ya! Lupa kalau aku lagi hamil? Udah bela-belain lari ternyata mau bilang yang nggak penting ini! Kamu lebih sayang istri kamu apa PS kamu?” ujarku meradang. “Aku sayang kamu tapi aku ketagihan PS, ini sudah jadi hobi yang berarti banget buat aku, aku nggak bisa lepas dari PS. Kamu jangan paksa aku untuk memilih antara PS dan kamu aku nggak bisa hidup tanpa kalian berdua.” “Apaan, sih? Kamu itu lebih nggak bisa hidup tanpa PS daripada sama aku, suami mana yang cuekin istrinya gara-gara main PS?” “Ada waktunya kalau sama kamu, aku bisa bagi waktu.” “Bagi waktu apa? Aku periksa kehamilan sendiri gara-gara kamu ketagihan PS, aku tidur sendiri karena kamu begadang terus sama PS kamu. Apa itu bisa dibilang bagi waktu? Kamu lebih bisa hidup tanpa PS apa tanpa aku?” “Aku kan udah bilang tadi kalau jangan suruh aku memilih!” Rayhan mulai marah, tatapan matanya berkilat-kilat seolah ingin melumatku. Aku nggak mau tinggal diam, mataku melirik ke arah 73
benda kotak berwarna silver yang menjadi alasan Rayhan menduakan aku lalu aku mengangkatnya. “Ini? Kotak jelek ini yang bikin cinta kamu ke aku perlahan pudar? Ingat, kamu punya anak dan anak ini butuh kamu, kalau kamu udah nggak cinta lagi sama aku nggak masalah tapi jangan sampai kamu lupa sama anak kamu.” Tanganku merasa jijik memegang play station itu, dengan alasan yang sangat kekanakkanakan rumah tanggaku poranda. Akupun melemparkan play station itu ke tembok hingga hancur berkeping-keping. BRAKKK!! Benda itu hancur terbelah, nggak berbentuk lagi. Rayhan menatapnya dengan ekspresi marah. “PS gue!” Erangnya kemudian dengan penuh emosi tangan besarnya menampar pipi kananku dengan kencang. Aku hanya bisa berteriak kesakitan, aku merasakan ada cairan merah mengalir di sudut bibirku. Dia udah nggak sayang aku lagi, dia lebih sayang PS-nya yang aku banting. “Itu PS jerih payah gue tahu nggak? Itu hobi gue, kenapa malah lu rusakin?” Bentaknya geram. “Apa gue bukan hasil jerih payah lu? Lu belabelain jaga warnet buat ngelamar gue, lu sampai ngelamar gue dari koran. Apa lu lupa itu semua?” ujarku tak kalah sengit. Sekarang bahasanya bukan memakai aku dan kamu lagi. Tapi memakai lu-gue. Sekuat tenaga aku menyembunyikan air mataku di 74
hadapannya. Aku harus terlihat kuat meskipun disia-siakan. “Gue nggak lupa, tapi karena keberadaan lu, gue jadi nggak bebas, kemana-mana gue nggak bisa lepas dari pengawasan lu termasuk main PS ini.” “Lu emang anak kecil ya? Kalau pengen bebas buat apa lu menikah? Apa lu pantas jadi kepala keluarga? Lu itu masih kecil, nggak menikah. Ini kalau lu mau bebas.” Aku melepas cincin pernikahan itu, aku nggak tahan lagi berumah tangga dengannya. Aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Aku udah nggak tahan, seharusnya seorang suami mampu melindungi dan memimpin istrinya bukan malah main PS terus dan bertindak kasar.
75
Menjanda Di Usia Muda
“Aku udah nggak tahan lagi, ma. Dia nggak pantas jadi seorang suami, dia masih seperti anak kecil, masa dia nampar aku gara-gara ngerusakkan PS-nya?” Curhatku dipelukan mama. “Sayang, mama sudah bilang dari dulu kalau pernikahan nggak cuma modal cinta tapi pikiran dan kelakuan harus matang agar siap menghadapi bahtera rumah tangga karena pernikahan itu membangun keluarga bahagia. Ada pemimpin dan yang dipimpin, kalian semua harus saling melengkapi.” Mama memberi nasihat padaku. Ini semua salahku, nggak mendengarkan kata-kata Mama dari dulu. Tahu be76
gini mending aku minta tunangan aja dulu sama Rayhan. “Anakku, laki-laki itu seperti burung, kalau kebebasannya dikekang, ia akan marah, ia nggak akan tahan menjalani hidupnya. Begitulah perasaan Rayhan, apalagi usianya masih muda, dia masih sangat labil dan membutuhkan banyak ruang untuk bermain. Dia masih belum punya rasa tanggung jawab terhadap anak-istri.” Lanjut Mama. “Artinya, umur menentukan kedewasaan ya, ma?” Tanyaku lagi. “Bisa jadi, karena faktor umur juga menentukan tindakan dan pemikiran kecuali orang-orang yang memang dididik menjadi sosok yang dewasa, mungkin itu yang nggak Rayhan punyai.” “Ma, aku nggak tahan, aku mau cerai sama Rayhan.” “Loh, kok kamu gitu? Selagi rumah tangga bisa dipertahankan, kamu harus bertahan demi anak yang ada dalam kandungan kamu.” “Nggak, Ma. Aku mau cerai sama Rayhan, aku nggak tahan berumah tangga sama anak kecil itu, cintanya semu sama aku, Ma. Dia Cuma mementingkan nafsu sama amarah, dia masih ingin main bukan berumah tangga. Aku udah salah pilih, Ma.” Aku menceritakan semua keluh kesahku pada Mama. Cuma beliau yang bisa mengerti aku. “Kamu yakin atas keputusan kamu?” Tanya mama memastikan
77
“Yakin sekali, ma. Lebih yakin daripada saat aku menikah dulu.” Ujarku mantap. “Menjadi janda itu nggak mudah, sayang. Banyak sekali konsekuensi yang harus kamu terima sebagai janda muda yang memiliki anak.” “Nggak apa-apa, aku akan merawat anak ini sebaik-baiknya meskipun dia lahir tanpa ayah daripada aku tetap bersama Rayhan yang sudah jelas nggak menginginkan aku.” “Apapun keputusanmu, mama selalu mendukung dan berdoa agar kamu mengambil keputusan yang tepat. Mama sayang kamu, nak.” *** Hari ini sidang terakhir perceraianku. Keadaan sudah semakin parah, aku membawa bukti play station yang rusak dengan hasil visum et repertum dari tamparan yang Rayhan berikan untukku. Segala mediasi yang dilakukan nggak akan merubah apapun, aku kan tetap berpisah dengan Rayhan. Terlihat sekali di persidangan kalau kami sudah saling membenci. Hubungan ini dimulai dengan indah tapi berakhir dengan konyol. Sebuah benda mengakhiri biduk rumah tanggaku dengan Rayhan. Karenanya, aku menjanda di usia muda. Sedih? Memang iya, tapi inilah yang terbaik untuk semua. Rayhan bisa bebas menjalani hobinya sedangkan aku menjalankan karir dan menjadi single parent. 78
“Rayhan, terima kasih untuk semuanya. Inilah akhir dari hubungan kita, semoga kamu bisa sebebas merpati sebagai seorang remaja.” Ujarku saat pertemuan terakhir sesaat setelah bercerai. Ia tidak bergeming, cowok itu hanya menatapku sambil tersenyum tipis. “Jaga anak kita baik-baik, ya.” Pesannya lalu berbalik meninggalkanku. Mendengar perkataannya, aku merasa ingin menangis, entah kenapa. Seandainya dia mampu menjadi suami yang baik dan meninggalkan kehidupan remajanya semua nggak akan berakhir seperti ini. *** My Diary Udah lama aku nggak menulis di buku ini,aku nggak pernah menyentuh kamu selama aku bersuami karena aku sibuk mengurus suamiku dan perceraian. Aku memang mencintai Rayhan tapi tindakannya membuat aku berpikir ulang untuk melanjutkan rumah tanggaku. Meskipun hasilnya seperti ini, aku tetap bahagia soalnya aku nggak sendiri, ada janin di dalam perutku yang selalu menemaniku sampai nanti. Yeah, dia memang anaknya Rayhan tapi dia nggak akan mengingatkan aku padanya. Aku nggak tahu harus sedih atau bahagia setelah perceraian ini satu yang harus aku sadari kalau status janda cerai dipandang miring oleh sebagian masyarakat tapi aku harus kuat, toh, orang lain nggak tahu kejadian sebenarnya. 79
Satu lagi, aku trauma melihat benda bernama play station, karena benda itu aku bercerai dengan Rayhan. Jika nanti anakku lahir, aku akan memberinya mainan lain yang lebih bermanfaat untuk tumbuh kembangnya. Emmmm… udah dulu ya diary, nanti kita sambung lagi curhat-curhatannya… langit masih biru kok tanpa Rayhan, aku akan tetap menjalani hidupku dengan ceria lagi seperti dulu!
80
Mama Pergi Untuk Selamanya
Tujuh bulan kemudian. Rumah Sakit Kasih Ibu, tempatku berpijak saat ini. Aku ke rumah sakit ingin memeriksa kandungan sekaligus ingin tes USG biar tahu anakku nanti jenis kelaminnya cowok atau cewek. Ini pertama kalinya aku datang ke rumah sakit seorang diri, sejak bercerai dengan Rayhan mama lah yang selalu menemaniku ke dokter kandungan. Tapi berhubung hari ini mama ada arisan ibu-ibu PKK makanya mama nggak bisa menemani. Terpaksa deh pergi sendirian. “Ibu Dahlia Wiskasari,” ujar suster yang berdiri di depan ruangan dokter. 81
Mendengar namaku yang dipanggil suster itu aku pun berdiri sambil memegangi perut. Begini rasanya hamil, kalau sudah duduk jadi susah sekali berdiri lagi. “Iya, sus saya yang bernama Dahlia Wiskasari,” jawabku setelah berhasil berdiri dengan baik. “Sekarang giliran Anda yang masuk ke ruangan dokter. Silakan masuk!” Pelan-pelan aku melangkahkan kaki memasuki ruangan dokter. Ibu dokter tersenyum manis ketika melihatku. “Selamat siang, Ibu Ika. Wah, tumben Ibu Ika datang seorang diri mamanya kemana?” “Mama lagi menghadiri arisan PKK.” “Oh, kalau suami Ibu Ika kemana? Beberapa kali ibu Ika periksa kandungan suami ibu nggak pernah ikut?” Aku tersenyum kecut ke arah ibu dokter. Kesekian kalinya ibu dokter bertanya seperti itu. Jika biasanya mama yang menjawab pertanyaan ibu dokter dengan alasan, “Saya yang ingin menemani anak saya ke dokter.” Tapi kali ini mau tak mau aku sendirilah yang harus menjawab pertanyaan ibu dokter. “Suami saya lagi sibuk kerja di luar kota,” ujarku berbohong. Aku nggak mungkin menceritakan keburukan Rayhan pada orang lain. Sebab biar bagaimanapun dia suamiku, pria yang aku cintai be82
berapa waktu yang lalu dan ayahnya anakku. “Oh, iya saya datang ke sini ingin tes USG sekaligus ingin periksa kandungan bisa kan?” aku mengalihkan pembicaraan. “Bisa, silakan naik ke ranjang!” Ibu Dokter menunjuk ranjang yang di sebelahnya. Dengan susah payah aku naik. Karena melihat aku kesusahan ibu dokter membantuku untuk naik ke ranjang tersebut. Dan akhirnya berhasil juga. Setelah aku berbaring di ranjang, ibu dokter menempelkan sebuah benda ke perutku. Sesaat kemudian ibu dokter menggerak-gerakkan benda itu di perutku. Ibu dokter pun tersenyum. “Ibu Ika, coba Anda liat layarnya. Yang bergerak-gerak itu janin bayi anda. Dia aktif sekali.” Ibu dokter sedikit memiringkan komputer yang ada di atas meja, seketika aku dapat melihat sesuatu yang bergerak-gerak di layar komputer. Benarkah yang bergerak-gerak itu anakku? Ya, Tuhan aku tak sabar melihatnya lahir ke dunia. Maafkan aku menduakan cintamu Berat rasa hatiku tinggalkan dirinya. Lagu Ungu berjudul Demi Waktu mengalun indah di HP-ku pertanda ada yang memanggil. Kulirik layar HP, di sana tertulis nomor tidak dikenal memanggil. “Aduh, siapa sih yang nelpon? Ganggu aku aja!” Aku mengedarkan pandangan ke arah ibu dokter. “Udah, angkat aja siapa tahu penting,” ujar 83
ibu dokter seolah mengerti apa yang aku rasakan. Ya, sudahlah aku klik tombol answer. “Halo, Assalamualaikum,” sapaku ramah. “Waalaikumsalam, apa benar Anda Dahlia Wiskasari?” “Iya, benar. Anda siapa?” “Apakah anda mengenal Ibu Aida?” “Iya, saya adalah anak Ibu Aida. Ada apa dengan ibu saya?” “Ibu anda mengalami kecelakaan dan sekarang berada di Rumah Sakit Kasih Ibu.” Jedger! Hatiku bagai disambar petir. Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba aku mendapat kabar buruk. Kabar tentang mama kecelakaan. Seketika HP-ku terjatuh. “Astagfirullah, Ibu Ika ada apa dengan Anda?” ujar ibu dokter membuyarkan lamunanku. “Maaf dok, saya buru-buru. Ibu saya mengalami kecelakaan.” Aku pun bangkit dari tempat tidur dan bergegas meninggalkan ruangan dokter kandungan. Aku berharap mama baik-baik saja. *** Suasana di kamar pasien itu terasa senyap. Hanya terdengar bunyi jam yang berdetak dan alat-alat rumah sakit. Mama sedang terbaring lemah di atas ranjang pasien, kepalanya dibalut 84
dengan perban. Mama bagaikan putri tidur yang sudah hampir seratus hari tetap setia mengatup kedua matanya. Mama koma, itulah yang dikatakan dokter padaku. Mama satu-satunya keluargaku di dunia ini. “Ah, aku benar-benar takut. Aku sangat takut kehilangan mam,” batin yang duduk di tepi ranjang. Aku pun menggenggam tangan mama sambil menangis. “Pokoknya gue harus menemukan orang yang menabrak Mama. Aku nggak akan membiarkan orang itu hidup tenang,” tekadku bulat. “Ika,” ujar mama lirih. “Mama sudah sadar? Alhamdulillah,” ucapku penuh rasa syukur. “Mama ingin bicara serius padamu.” “Bicara apa yah?” “Kamu kan sudah besar, kamu lah satusatunya harapan mama. Jika mama sudah nggak ada kamu jangan sedih. Kamu harus jadi wanita yang kuat dan tegar. Satu lagi kamu harus menjaga anakmu baikbaik sama seperti mama menjagamu selama ini.” Setelah berkata demikian mata mama terpejam kembali. “Ma, bangun ma!” teriakku sambil mengguncang tubuh mama. Namun mama tetap diam, aku panik. Tanganku langsung memencet tombol yang ada di dekat ranjang untuk memanggil dokter. Tak berapa lama dokter masuk, beliau langsung memeriksa mama. 85
“Innalillahi Wa inna Ilaihi Roji‟un. Mamamu telah berpulang ke Rahmatullah,” ujar dokter singkat. “Mama, jangan tinggalin aku!” jaritku sekeras-kerasnya. Namun jeritanku tak mengubah mama bangun kembali. “Kamu kan sudah besar, kamulah satu-satunya harapan mama. Jika mama sudah nggak ada kamu jangan sedih. Kamu harus jadi wanita yang kuat dan tegar. Satu lagi kamu harus menjaga anakmu baik-baik sama seperti mama menjagamu selama ini.” Kata-katanya sebelum menghembuskan nafas terakhir kembali terngiang di telingaku. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan mama, selama ini mama lah yang selalu menguatkanku jika lagi ada masalah. Jika mama tak ada sanggupkah aku bertahan di dunia ini seorang diri? “Mamaaaaa…!” teriakku sekali lagi.
86
Sofia Sakit
Martapura, April 2013 “Ma, sakit!” Rintih Sofia. Rintihannya membuyarkan seluruh lamunanku. Berapa lama aku melamun? Kenapa hari ini aku melamun tentang Rayhan? Huwaaa… ini pasti efek nulis diary tentang Rayhan. Makanya keinget dia. Aku pun bertekad Mulai malam ini aku harus bisa berhenti melamun tentang Rayhan. Buat apa melamunkan dia? Toh, dia nggak pernah ingat sama aku. “Ma, sakit!” rintih Sofia lagi. “Ya, ampun Sofi kamu kenapa? Apanya yang sakit?” tanyaku panik. 87
“Kepalaku sakit, Ma. Seperti dipukul dengan palu yang besar,” jawabnya sambil merengek. Aku menyentuh jidatnya Sofia. Dan ternyata… Oh my God, jidatnya panas sekali. Cepatcepat aku mengambil termometer untuk mengecek suhu badan Sofia. Aku melangkahkan kaki menuju dapur, karena seingatku termometer aku taruh di lemari dapur. Sekalian mau ambil air es buat kompres kepala Sofia. Siapa tahu esok hari panasnya sudah turun. Begitu tiba di dapur, aku langsung membuka lemari dapur. Tapi ternyata termometer yang aku cari tidak ada di sana. Dimana termometernya ya? Mungkinkah ada maling yang mengambil termometer? Ahh, mungkin aku Cuma lupa menaruh benda tersebut. Aku mencoba mengingat-ingat dimana menaruh benda tersebut. Lima menit kemudian aku menepuk jidatku sendiri. Aku baru ingat termometer tersebut ada di laci meja kamar sendiri. Kenapa akhir-akhir ini penyakin pelupaku tambah parah ya? Mungkinkah faktor usia? Padahal kan umurku belum tua-tua amat, masih dua puluh tujuh tahun. Ya, sudahlah. Yang penting sekarang adalah harus kembali ke kamar. Tapi sebelum kembali aku harus mengambil air es untuk mengompres Sofia. 88
Mataku terbelalak ketika kembali ke kamar. Ya, aku melihat Sofia tergeletak di lantai. Wajahnya pucat pasi dan hidungnya mengeluarkan cairan merah, yang tak lain dan tak bukan adalah darah. “Astaga! Sofi kamu kenapa? Ayo, bangun! Jangan bikin mama panik!” teriakku. Aku mencoba mengguncang tubuh Sofia, namun hasilnya nihil. Dia tetap diam. Aku meraih pergelangan tangannya. Alhamdulillah, denyut nadinya masih ada. Aku harus cepat membawa Sofia ke rumah sakit. Tapi bagaimana caranya? Rumahku jauh dari rumah sakit. Sedangkan aku tak punya kendaraan ataupun mobil. Aku berdoa semoga Tuhan mengirimkan malaikat untuk menyelamatkan nyawa Sofia. Mendadak aku teringat Rayhan. Ya, Rayhan harus tahu tentang keadaan anaknya. Untung HP-ku tergeletak di atas kasur, jadi nggak perlu susah payah mencari HP lagi. Kuraih HP tersebut, setelah benda berada dalam genggamanku jarijariku dengan lincah mencari nama Rayhan di kontak telepon. Begitu namanya ketemu langsung kutekan tombol hijau bertuliskan Yes/ok. Aku punya teman Teman sepermainan ahh... ahh Terdengar lagu Ratu sebagai nada ring back tone HP Rayhan. Memoriku melayang ke era tahun 2005-an. Zaman dimana lagu tersebut jadi tren 89
di kalangan anak muda. Kenapa sih Rayhan memasang ring back tone lagu itu? Apakah Rayhan masih ingat lagu kesayanganku? Cukup lama aku menunggu telepon tersambung. Aku mengetok kepala sendiri. Bodohnya diriku menelpon Rayhan, yang jelas-jelas tidak pernah memedulikan Sofia. Yang dia pedulikan hanya PS-nya. Dengan cepat jariku menekan tombol reject untuk membatalkan panggilan. Lalu memutuskan untuk menghubungi Chella saja. Dia sahabat terdekatku, dia pasti mau membantuku. “Halo, Chell. Please help me!” “Ika, lu kenapa? Kayaknya panik banget?” “Sofia, mendadak panas tinggi terus hidungnya mengeluarkan darah. Lu mau kan bantuin gue membawa Sofia ke rumah sakit?” “Oke, gue segera ke sana.” Aku bernafas lega, akhirnya Tuhan mengirimkan malaikat untuk menyelamatkan nyawa Sofia. Dari dulu hanya Chella malaikat hidupku. Ketika aku hendak melahirkan, Chella datang untuk mengantarkan aku ke rumah sakit. Dan sekarang Chella pulalah yang bersedia membawa Sofia ke rumah sakit. Aku banyak berhutang budi padanya. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Chella. *** Sedari tadi aku hanya mondar-mandir di ruang UGD. Chella sudah berkali-kali mencoba 90
menenangkanku tapi hatiku benar-benar gelisah tak menentu. Ibu mana yang tidak gelisah jika sang buah hati terkapar dalam ruangan UGD, dan aku tak boleh menemaninya di dalam. Satusatunya yang bisa membuatku tenang adalah kemunculan Dokter, dan beliau bilang “Sofia, baikbaik saja.” Setengah jam telah berlalu, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sang dokter yang daritadi kutunggu akhirnya keluar juga dari ruang UGD. Bergegas aku mendekati dokter. “Dok, gimana keadaan anak saya? Penyakit anak saya nggak parah kan?” tanyaku. Dokter hanya mengerutkan dahi, seolaholah beliau kebingungan harus berkata jujur atau tidak. “Dok, katakan saja hal sejujurnya. Insya Allah saya siap menerima kenyataan yang harus dialami anak saya,” lanjutku. “Anak anda terkena kanker otak stadium tiga,” jawab dokter. Duar! Hatiku bagai disambar petir tatkala mendengar ucapan dokter. Buah hatiku tercinta terkena kanker otak stadium tiga? Memang sih dua tahun terakhir ini Sofia sering sakit kepala. Aku pikir hanya sakit kepala biasa. Makanya selama ini tak pernah membawa Sofia ke rumah sakit. Ternyata sakit kepala yang dialami Sofia bukan sakit kepala biasa. “Dok, apakah ada cara untuk menyembuhkan kanker?” kali ini Chella yang bertanya. 91
“Sampai saat ini penyakit kanker belum ada obatnya. Tapi ada satu cara untuk memperlambat penyebaran sel kanker yaitu dengan kemoterapi.” Setelah berkata demikian Dokter pun berlalu. Chella memelukku erat. “Kamu yang sabar ya Ka. Aku yakin kamu pasti kuat menghadapi cobaan ini.” Tangisku pun pecah dalam pelukan Chella. “Apakah dengan kesabaran Sofia bisa sembuh? Tak ada yang bisa menyembuhkan kanker. Aku belum siap kehilangan Sofia. Satu-satunya yang bisa memperpanjang umur Sofia hanya kemoterapi, tapi kan cara itu menguras uang berjuta-juta? Aku mana aku dapat uang sebanyak itu? Hasil dari Pekerjaanku sebagai editor dan guru les aja nggak sampai jutaan,” ujarku sambil terisak. “Aku akan membantumu sekuat tenagaku. Tuhan pasti akan menolongmu dalam penyembuhan Sofia.” “Maaf mengganggu. Tadi saya nggak sengaja mendengar percakapan kalian. Kalau anda butuh uang datanglah pada saya. Saya akan memberikan pekerjaan dengan bayaran di muka,” sahut seorang wanita. Aku melepaskan pelukan Chella. Seketika aku melihat wanita cantik berdiri tegak di hapanku. Aku memandangi wanita itu dari ujung kaki ke ujung kepala. Wanita yang ada dihadapanku ini seperti model kelas atas. Tubuhnya tinggi dan langsing, kulitnya putih mulus terawatt, dia mengenakan sepatu hak tinggi berwarna merah dan rok mini berwarna merah pula. 92
Hatiku bertanya-tanya, “Siapa wanita itu? Mengapa tiba-tiba dia muncul menawari pekerjaan dengan bayaran di muka? Apakah dia malaikat cantik yang dikirim Tuhan untuk membantu pengobatan Sofia?” Wanita itu mengibaskan tangannya di depan mataku, “Halo, kok bengong?” “Maaf, anda siapa ya? Kalau saya boleh tahu pekerjaan yang anda tawarkan itu apa ya?” “Perkenalkan saya Delia Fransisca,” jawabnya singkat. Ia mengulurkan tangan, aku pun membalas uluran tangannya. Aku terpukau tangan Mbak Delia halus sekali. Sudah pasti mbak Delia nggak pernah mencuci baju, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Mbak Delia merogoh tasnya se/ perti mencari sesuatu barang gitu. Beberapa detik kemudian tangannya telah memegang sebuah kertas, seperti kartu nama. “Oh iya, sampai lupa nih kartu nama saya. Jika anda tertarik bekerja pada saya kabari saya. Nomor telepon dan alamat rumah saya tertulis di kartu nama tersebut,” ujar mbak Delia. Ia menyerahkan sepucuk kartu nama kepadaku. Aku menerimanya dengan senang hati. Aku membaca kartu nama tersebut. 93
Aku mengerutkan kening, Bekasi? Bekasi itu kan masih tetanggaan ma Jakarta? Jika Mbak Delia tinggal di Bekasi ngapain dia ke Banjarmasin? Wah, jangan-jangan dia kesini mencari tenaga kerja wanita untuk dikirim ke luar negeri. Seribu pertanyaan berkecamuk di hatiku. Sekaligus merinding juga sih, takut apa yang kupikirkan benar terjadi. Tetot… tetot… Terdengar bunyi aneh di telingaku. Bunyi itu pula lah yang menyadarkan aku dari lamunan. Aku celingak-celinguk mencari sumber suara. Masa di rumah sakit ada orang jualan bakso ojek? Aku melihat mbak Delia mendekatkan HP ke telinganya. Sejak saat itu pula aku tahu bahwa bunyi tadi merupakan ringtone HP Mbak Delia. Aku tak mengerti Mbak Delia berbicara apa di telepon. Soalnya Mbak Delia memakai bahasa Inggris dan berbicaranya cepat pula. Sekitar tiga menitan Mbak Delia menyudahi pembicaraannya di telepon. Eh, dia malah pamit pulang. Katanya sih tadi ada rekan bisnis menyuruh pulang. Nggak ada pilihan lain selain mengijinkannya pulang. Ya, mau gimana lagi masa orang ingin pulang aku tahan? Padahal nih aku masih ingin mengobrol dengan mbak Delia. Ingin menanyakan pekerjaan yang ditawarkannya kepadaku. Tapi ya sudahlah kalau memang aku perlu pekerjaan itu 94
aku akan menghubungi nomor yang tertera di kartu namanya tersebut. Setelah Mbak Delia pergi aku menoleh ke samping untuk minta pendapat Chella tentang Mbak Delia. Tapi ternyata di sampingku tak ada siapa-siapa. Loh Chella kemana? Pantas saja tadi tadi nggak terdengar suara Chella. Huh, dasar Chella dari dulu nggak pernah berubah kalau pergi nggak pamitan dulu. Chella sudah pergi sekarang satu-satunya teman curhatku hanyalah buku diary. Aku mengeluarkannya dari dalam tas. Untung aku selalu membawanya kemanapun aku pergi jadi aku bisa curhat kapanpun dan dimanapun. Jari-jariku kembali menggoreskan tinta di diary tercinta. *** My Diary Diary, hari ini aku sedih dan dilema. Sedih karena Sofia, terserang penyakit kanker otak stadium 3. Bayangkan kanker otak men! Penyakit yang nggak bisa disembuhkan dan menguras uang di kantong menyerang otak anakku. Meskipun aku masih sebel ma Rayhan tapi aku nggak bisa membenci Sofia, darah daging Rayhan. Kenapa harus anakku yang terserang penyakit itu? Kenapa nggak aku aja? Andai penyakit itu bisa dipindahkan, aku rela kok menerima penyakit itu. Secara aku kan sudah bosan hidup. Aku ingin menyusul Mama dan Papa di surga. 95
Oh ya tadikan aku bilang hari ini aku sedih dan dilema. Nah, dilemanya itu karena tadi siang aku ketemu dengan wanita cantik bernama mbak Delia Fransisca atau biasa kupanggil dengan Mbak Adel. Dia itu menawarkan kerjaan dengan gaji yang besar dan bisa dibayar di depan pula. Aku harus gimana? Aku emang perlu uang banyak untuk pengobatan Sofia, haruskah aku menerima tawaran pekerjaan dari Mbak Adel? Tapi gimana kalau kerjaannya nggak halal atau jadi TKW ke luar negeri? Ya, Allah berikanlah petunjukmu. Hamba benar-benar sangat dilema. Eh, Diary udah dulu ya curhatnya aku capek nulis.
96
Terbebas Dari Jeni
Alunan simfoni, menggertak lamunan malam. Segelas susu hangat pun dihidangkan mama tiba-tiba. Tumben, mama jam segini sudah pulang? Lebih mengherankan lagi beliau tahu-tahu masuk ke kamar gue, pakai bawain susu segala lagi. Emang gue anak kecil? Sejak mama sembuh dari penyakit stroknya, beliau menyibukkan diri dengan bisnis dan perusahaan baru. Beliau jarang pulang ke rumah, kalaupun pulan paling sebulan sekali. Gue menatap mata mama lekat-lekat. Dari sinar mata beliau sih gue tahu bahwa beliau ke kamar gue itu ingin membicarakan sesuatu yang pe97
nting ke gue. Nah, yang bikin hati gue bertanyatanya adalah sesuatu yang penting itu apa? Wah, jangan-jangan beliau meminta gue untuk segera menikah dengan cewek? Rasa cemas pun memenuhi hati. Tapi gue berusaha menyembunyikan rasa cemas itu di hadapan mama. Tapi gue nggak mampu berdalih, intinya gue nggak bisa acting tenang di depan mama. Beliau pasti tahu gue cemas, dan gelisah. Mama hanya tersenyum saat duduk di samping gue. Astaga! Berapa lama gue nggak melihat senyum mama? Terakhir kali gue melihat senyum mama saat ulang tahun gue yang ke dua puluh. “Galau karena Jeni lagi ya?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlempar ke arah gue. Bagaimana bisa mama tahu hal itu, padahal sudah susah payah gue berusaha menyembunyikan perasaan itu. Gue nggak mau mama tahu betapa tersiksanya gue bersama Jeni. Gue bersama Jeni juga demi kebahagian mama “Ah, Mama. Sok tahu banget! Enggak lah, udah bukan zamannya lagi untuk bergalau ria.” Jawab gue sekenanya. Lagi-lagi mama hanya tersenyum katkala mendengar jawaban gue itu, akhirnya digeseklah biola pemberian papa itu sambil mendendangkan sebait kata-kata. Ya, mama itu selain wanita karir mengurus beberapa bisnis perusahaan, beliau dulu pemain biola terkenal di kota ini. Tapi sejak papa 98
meninggal, mama berhenti jadi pemain biola. Beliau mau fokus mengembangkan perusahaan papa yang dapat suntikan dana dari Jeni. Sayang, biarkan angin membawa ragamu jauh dari perasaan ini, biarkan udara malam ini membawamu hanyut ke dalam muara kerinduan. Pergilah menggapai cintamu yang hakiki. Gue mengerutkan kening, nggak ngerti deh apa maksud syair atau kata yang diucapkan mama. Gue mencoba memberanikan diri bertanya pada mama, “Maksud mama apa?” “Mama tahu selama ini batinmu tersiksa hidup bersama Jeni. Kamu melakukan itu demi keuangan keluarga.” Mama menghela nafas. “Sudah saatnya kamu mengakhiri pengorbanan itu. Pergilah yang jauh dari kota ini, dan kemaja aja asal tidak terjangkau oleh Jeni,” Mama menyambung ucapannya. Mata gue terbelalak mendengar ucapan mama. Gue nggak salah dengar kan? Atau mama yang salah ngomong? Nggak ada angin, nggak ada hujan mama minta gue pergi jauh untuk melepaskan diri dari jerat Jeni. “Terus mama dan Cindy gimana? Mau ikut pergi sama Rafly juga?” tanyaku. “Cindy akan ikut mama pergi ke luar negeri, di sana nanti mama akan bayar semua hutang pada Jeni jadi kamu bisa tenang, tanpa takut diteror Jeni.” “Tapi ma, hutang keluarga kita nggak sedikit. Ratusan juta.”
99
“Kalau soal itu kamu tenang aja! Mama akan menikah dengan pria luar negeri, dan pria itu bersedia membayar hutang keluarga kita ke Jeni.” Hati gue bagai disambar petir mendengar ucapan mama. Mama mau menikah dengan pria bule tujuannya biar pria itu bersedia membayar hutang keluarga ke Jeni? Berarti yang dilakukan mama sama aja dengan menjual diri dong? Ini nggak bisa dibiarin! Gue harus mencegah keinginan mama! Gue nggak mau mama menderita hanya karena membayar hutang ke Jeni. “Ma, jangan aneh-aneh deh! Gimana kalau pria bule itu orangnya kasar atau lebih parah lagi seorang psyco? Rafly nggak akan membiarkan mama menikah dengan pria nggak jelas. Lebih baik Rafly aja yang menderita asal mama selalu bahagia.” “Rafly, dengar ya. Kebahagiaan mama itu melihat anak-anak mama bahagia. Dan mama tahu kebahagiaan kamu adalah terbebas dari jerat Jeni,” ujar mama seraya tersenyum simpul. *** Gue langsung memeluk mama. Setetes demi tetes air mata gue pun keluar. Jika kemarinkemarin gue menangis karena mengingat perbuatan gue ke Jeni, tapi kali ini gue menangis karena terharu atas yang dilakuin mama ke gue. Nyokap gue benar-benar top. Beliau rela mengorbankan kebahagiaan demi kebahagiaan gue. Pokoknya 100
mama, i love you full deh. Tenang aja gue pasti membalas jasa-jasa beliau kok. Tentu saja membalas jasa nyokap hanya dengan doa. Ya, setiap gue sholat pasti mendoakan mama agar rumah tangga beliau dengan pria bule itu bahagia dan pria bule itu nggak akan menyakiti mama. Mama melepas pelukan dari gue. Lalu beliau kembali menggesekkan biola kesayangan papa. Jujur, saat mama memainkan biola gue jadi sedih. Sedih karena teringat papa. Soalnya dulu waktu gue kecil papa selalu mengajari gue main bola, tapi gue nggak pernah mau dijarin main biola, gue sukanya main bola. Andai waktu bisa diputar kembali, gue pasti nggak akan menolak keinginan papa. Ah, lagi-lagi penyesalan datangnya terlambat. Dan semua itu hanya bisa jadi kenangan terindah. Alunan simfoni dan biola menghipnotis malam galau gue menjadi bernada.
101
Pondok Pesantren Al-Haq
Gue bernafas lega akhirnya sampai juga di Bandara Soekarno-Hatta. Hari ini adalah hari bersejarah buat gue. Karena hari ini gue bebas dari jerat Jeni. Sengaja sih gue pergi lebih cepat, soalnya Jeni lagi di luar negeri. Dia nggak akan tahu kepergian gue. Untung mama mendukung kepergian gue. Beliau juga memberikan uang sebesar lima jutaan dan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat. Kata mama alamat itu adalah alamat sahabat mama waktu SMP. Dan dia pasti bersedia menampung gue. Gue keluar dari bandara sambil menyeret koper gue yang gede minta ampun. Sesampai di 102
luar bandara, gue celingak-celinguk kayak sapi ompong. Gue naik apa coba menuju alamat yang dikasih nyokap gue? Di tengah kebingungan gue, Allah selalu memberikan kemudahan. Melintaslah sebuah mobil taksi berwarna biru di hadapan gue. Tanpa basa-basi langsung aja gue cegat taksi itu. “Mas, bisa antarkan saya ke alamat yang ada di kertas ini nggak?” Tanya gue pada sopir taksi. Gue memperlihatkan secarik kertas yang diberikan mama gue ke sopir tersebut. Anehnya sang sopir yang gue tanyain malah cuma mengangguk. Mungkin sopirnya bisu atau malas bicara. Dan gue mengartikan anggukan sopir itu tanda bersedia mengantarkan gue ke alamat yang tertera di kertas pemberian mama. Ya, sudah, gue akhirnya masukkan koper ke bagasi mobil taksi. Setelah beres, gue langsung masuk ke mobil taksi tersebut. Gue duduk di depan, samping si sopir yang malas ngomong. Baru beberapa detik gue duduk, si sopir aneh sudah langsung tancap gas. Padahal gue belum memasang sabuk pengaman. Satu jam telah berlalu. Mendadak mobil taksi yang gue tumpangi berhenti tepat di depan bangunan yang besar, mewah dan megah. Model bangunan ini bentuknya sangat unik, arsitekturnya perpaduan antara China, timur tengah dan modern. Kalau diibaratkan bangunan ini seperti 103
hotel bintang lima yang ada di Arab Saudi. Tapi di atas pagar tertulis “PONDOK PESANTREN ALHAQ” Perasaan pesantren katanya norak, tapi ngeliat yang satu ini buat gue penasaran. Bangunannya berdiri kokoh, di atas pagar ada tulisan gede-gede “PONDOK PESANTREN AL-HAQ”, gerbang kampus aja kagak kayak gini-gini amat. Mata gue melebar ketika membaca tulisan yang di atas pagar itu. Pesantren? Sopir taksi yang aneh, nggak salah alamat kan? “Mas saya kan minta diantarkan ke alamat yang tertera di kertas ini. Kenapa saya malah diantar ke pesantren? Di kertas kan nggak ada tulisannya PONDOK PESANTREN AL-HAQ!” ujar gue ketus. “Alamat yang tertera di kertas ya di sini! Anda mau turun nggak?” jawab sopir aneh dengan nada tak kalah tinggi. Gue menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal. Masa iya sih mama mengirim gue ke pesantren? Untuk meyakinkan diri gue merogoh saku kemeja untuk mengambil HP. Setelah itu gue nyalain HP, soalnya tadi waktu di pesawat HP harus dimatiin. Langsung aja gue menelpon mama. “Halo, Rafly. Kamu sudah nyampe tujuan?” Tanya mama begitu telepon tersambung. “Halo juga. Mama benar nggak sih ngasih alamat ke Rafly? Masa begitu kata sopir taksi alamat yang
104
mama berikan itu ya Pondok Pesantren Al-Haq?” Tanya gue balik. “Rafly, maafin mama karena sudah bikin kamu bingung. Mama lupa bilang kalau alamat yang mama kasih itu ya alamat Pondok Pesantren Al-Haq. Sahabat mama waktu SMP itu sekarang jadi kepala sekolah di Pondok Pesantren Al-Haq. Tadi pagi mama nelpon dia katanya bersedia menerima kamu di sana,” jawab mama panjang lebar. Tuuut… Tuuut telepon terputus. Gue bingung kok mati sendiri? Perasaan pulsa masih banyak deh? Gue coba lihat HP, ternyata batrainya habis. Gue lupa nge-charge HP. “Woy, gimana nih Anda turun di sini atau terus?” Tanya sopir taksi mengagetkan gue. Gue cuma nyengir kuda, baru ingat kalau gue masih ada dalam taksi. Ya, sudahlah gue turun aja. Gue menyerahkan uang seratus ribuan pada sopir taksi yang judes. Gue benar-benar menyesal naik taksi ini. Gue berdiri di depan pesantren. Hati gue benar-benar dilema. Dilema karena bingung mau masuk ke pesantren atau nggak? Kalau masuk apakah gue sanggup menjalani kehidupan sebagai santri? Gue kan selama ini hidup bebas, sedangkan kehidupan di pesantren dipenuhi dengan aturanaturan ketat. Teman gue aja Cuma tahan dua bulan masuk pesantren. Apalagi gue? Tapi kalau gue nggak masuk ke pesantren ini gue tinggal dimana? 105
Kerja apa? Bisa-bisa gue cuma jadi gembel di Jakarta. Gue bergidik ngeri membayangkan jadi gembel. Berhubung gue nggak mau jadi gembel maka gue memutuskan untuk masuk ke pesantren ini. Nggak apa deh hidup tertekan yang penting bisa bahagia dunia akhirat. Ketika gue hendak mengetuk pagar pesantren, tiba-tiba pagar terbuka dengan sendirinya. Seketika gue melihat pria sekitar umur empat puluh tahunan, kepalanya memakai peci warna putih dan jenggotnya pun juga putih. “Rafly, selamat datang di pesantren ini. Perkenalkan nama saya Abu Bakar, saya sahabat mama kamu sekaligus kepala sekolah di pesantren ini.” Pria itu mengulurkan tangannya. Gue membalas uluran tangannya. Usai perkenalan beliau mengiring gue masuk ke pesantren. Begitu masuk, hawanya berubah menjadi sejuk sekali, seraya berada di pegunungan. Gue benar-benar takjub dengan pesantren ini. Gimana nggak takjub pesantrennya luas banget, yang lebih menakjubkan lagi terletak pada halamannya yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang cantik dan bikin mata segar. Pasti biaya mondok di sini mahal dan pastinya murid-murid betah di pesantren ini. Sambil berjalan memasuki pesantren, beliau menjelaskan tentang seluk beluk dan sejarah pesantren ini. 106
Kata beliau pesantren didirikan pada tahun 1970, nama pendirinya itu KH. Ahmad Syafi‟i. Pesantren ini terdiri dari sepuluh lantai, yang dapat ditelusuri menggunakan lift atau tangga. Lantai satu sampai lima khusus untuk santriwati sedangkan lantai enam sampai sepuluh khusus santriwan. Pesantren ini dilengkapi dengan fasilitas kolam renang, lapangan basket, warnet, dan minimarket. Setiap hari Sabtu dan Minggu kegiatan di pesantren diliburkan. Jadi santriwan dan santriwati bebas mau ngapain aja, asal mereka tidak keluar pesantren. Gue manggut-mangut mendengar penjelas-an beliau. Pesantren ini benar-benar keren, nggak ada duanya. Gue benar-benar bersyukur dikirim mama ke pesantren ini. Semoga pesantren bisa membantu gue untuk kembali ke jalan yang benar.
107
Kupu-Kupu Malam
Jakarta. Ibu kota dari Indonesia tempat di mana semua orang sibuk dengan diri sendiri, semua orang serba terburu-buru, macet, polusi, sesak. Inilah kota yang baru saja aku datangi sekarang. Aku menempuh perjalanan panjang dan lelah dari Martapura menuju ke sini demi sebuah pekerjaan, lebih tepatnya demi pengobatan anakku. Kata dokter, Sofia minggu ini juga harus menjalani kemoterapi. Biaya kemoterapi sangat mahal, dan satu-satunya jalan agar Sofia tetap bisa mendapatkan pengobatan kemoterapi adalah menerima pekerjaan yang ditawarkan Mbak Delia Fransisca. 108
Aku rela melakukan apapun asal Sofia bisa sembuh. Seandainya saja Rayhan tahu kalau anaknya sakit, apa dia akan melakukan hal yang sama denganku? Aku mengerti sekarang, kasih sayang seorang ibu melebihi apapun di dunia ini. Aku menitipkan Sofia kepada Chella. Karena nggak mungkin aku membawanya ke Jakarta. Dan Chella menawarkan dirinya untuk merawat Sofia. Katanya sih dia pengen ngerasain punya anak. Chella sudah menikah lima tahun lebih tapi dia belum juga dikaruniai anak. Akupun berjalan untuk mencari taksi sembari memegang erat tas yang aku bawa mengingat tingkat kriminalitas Jakarta yang begitu tinggi. Akhirnya aku menemukan sebuah taksi berwarna biru yang menawarkan tarif terjangkau menuju tempat tinggal Delia. Aku merenung sebentar di dalam taksi. Pekerjaan apa ini? Apa benar bisa mendatangkan banyak uang? Kalau memang harus menjadi TKW, aku nggak bisa asal pilih negara karena aku takut mendapat tindakan nggak terpuji dari majikan di sana. “Di sini alamatnya, Non.” Ujar supir taksi. Tanganku mengangsurkan sejumlah uang padanya lalu mengucapkan terima kasih. Di sinilah aku berdiri, di depan sebuah rumah besar berwarna biru. Rumah ini lumayan jauh dari keramaian, agak terpencil. 109
Kecurigaanku sirna, pikiranku bukan lagi ke arah TKW. Mana mungkin agen TKW secantik itu? Paling-paling dia agen penyalur model atau bintang film. Hihihi… secantik itukah aku? *** “Halo Ika,” Sapa Delia sambil menempelkan kedua pipinya ke pipiku. Aih, ini cewek kulitnya halus sekali mirip kulit bayi. Pasti dia menggunakan perawatan kelas atas. “Kamu pasti capek jauh-jauh ke sini.” Lanjutnya. “Nggak terlalu, sih, Del.” Jawabku. Sebenarnya capek banget, aku berangkat tadi pagi dari Martapura, eh, sampainya sore gara-gara pesawatnya delay. Malamnya baru sampai di rumah Delia. Secapek apapun kalau demi anak nggak akan terasa. “Mending kita duduk dulu, yuk. Abis itu kamu istirahat di kamar, di sini ada beberapa anak kos, jadi kamu nggak akan kesepian selama di sini.” “Mami Adel, aku berangkat dulu ya.” Suara manja seseorang cewek memotong basa-basiku dengan Delia. Aku menoleh ke arah suara itu. Mampus, mataku hampir keluar melihat penampilan cewek itu. Dia artis bukan, sih? Badannya tinggi semampai, kulitnya putih mulus, wajahnya sangat cantik bak cewek blasteran, rambutnya lurus panjang di cat warna coklat. Gaun kemben merah selutut ya110
ng ia kenakan sangat elegan, beradu dengan stiletto mengkilat warna senada. Alamak, diriku jadi minder. “Hati-hati, ya, sayang.” Ujar Delia sementara aku cuma bisa bengong. Kayaknya benar, dia agen penyalur artis, pikirku positif. “Kamu cantik, Ika. Badan kamu sintal, kulit kamu coklat eksotis, kamu nggak kelihatan kalau sudah punya anak, tinggal dipoles sedikit kamu bisa tampil sempurna.” Puji Delia. Aku merasa GR mendengarnya tapi apa benar aku akan jadi artis? “Errr… maaf, Del, pekerjaan apa yang akan aku jalani?” tanyaku memastikan. “Kamu akan tahu sendiri. Makanya sekarang kamu istirahat dulu, biar ada tenaga buat besok. Di kamar kamu udah aku siapin makanan. Kalau butuh apaapa kamu tinggal cari aku.” Jawabnya santai lalu ia mengantarkan aku ke sebuah kamar. *** Keesokan harinya aku dibangunkan pagi sekali oleh Adel, dia mengajakku sarapan bersama di meja makan. Wah, kalau begini terus tiap hari aku bisa hemat uang saku selama di Jakarta. Ada juga cewek penghuni kos lain yang ikut sarapan. Yah, cewek-cewek kinclong ini pada jutek sama aku. Waktu Adel memperkenalkanku saja wajah mereka jutek abis. “Setelah ini kita ke salon buat make over penampilan kamu biar makin cantik. Kecantikan adalah 111
salah satu modal pekerjaan kamu.” Ujar Adel sambil menyuapkan bubur ayam ke mulutnya. “Aku penasaran job seperti apa yang akan aku kerjakan ini?” tanyaku padanya. “Ada lah, sekarang kamu ber-kepo ria dulu aja. Nanti kamu juga tahu sendiri, pokoknya kerjaan kamu nanti enak dan menghasilkan banyak uang.” Kata-kata Delia semakin membuatku penasaran. Pekerjaan apa ya? Halal nggak? Kalaupun haram tapi kalau menghasilkan uang banyak apa Sofia bisa sembuh dengan uang yang aku kirim padanya? “Apa pekerjaannya halal, Del?” tanyaku kepo sedikit. “Halal atau haram yang terpenting anak kamu bisa sembuh, kan?” jawabnya. Aduh, kenapa jadi ambigu gini sih? Aku kan pengen tahu, kenapa jadi bawa-bawa penyakit anakku? Perasaanku mendadak nggak enak, aku takut kalau Sofia malah nggak selamat kalau aku kasih duit haram buat biaya pengobatannya. *** Jauhkan diri dari pikiran negatif, sekarang waktunya memanjakan diri dengan mandi susu, spa rempah-rempah, meni-pedi, facial, masker wajah, creambath, sampai catok rambut dilakukan demi mempercantik diriku. Entah untuk apa. Adel juga ikut menemaniku perawatan, seumur hidupku aku nggak pernah melakukan perawatan seper112
ti ini, aku sangat menikmatinya seakan lupa kalau pekerjaan baru menantiku. Kecantikan adalah modalnya, kira-kira pekerjaan apa itu? Aku melihat wajahku di cermin, aku akan dirias abis-abisan, sebelum itu aku memperhatikan detil wajahku, nggak ada lagi komedo, jerawat, flek hitam, kulitku mulus bak porselen mengkilat. Aku nggak percaya ini, mbak-mbak salon bisa bikin wajahku selicin ini, aku kelihatan seperti artis. Kalau Rayhan tahu apa dia terpesona lagi padaku, ya? Eh, kok tiba-tiba muncul Rayhan di otakku. Sudah. Lupakan. “Ika, lu cantik banget! Sumpah, gue udah nyangka lu bisa tampil lebih sempurna.” Puji Adel. Dia membelalakkan matanya takjub melihat perubahan penampilanku. Aku yang biasanya simple, apa adanya dan nggak banyak make up jadi kelihatan jauh lebih menawan. Aku menatap diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki, balutan gaun lengan Sabrina berwarna fuscia di atas lutut membuat penampilanku menggoda. Nggak percuma seharian penuh aku berkutat di salon ini. “Now, lu ikut gue, ada seseorang sedang menunggu lu,” Adel menggandeng tanganku. Firasatku mengatakan, sebentar lagi aku akan tahu pekerjaan baruku. Sofia, doakan mama biar bisa dapat uang yang banyak biar kamu sembuh. ***
113
“Om Richard, ini perempuan yang aku janjikan. Cantik, kan?” ujar Adel. Aku terkesiap, mataku terbelalaku melihat om-om gendut berkepala botak dan tampang mesum itu. Sudah kuduga, Adel bukanlah wanita baik-baik, dia seorang mucikari atau agen pekerja seks komersial. Ternyata cewek-cewek di tempat ini bukan anak kos melainkan kupu-kupu malam yang bekerja untuk Delia sementara rumah besar ini adalah markas mereka. “Pekerjaan” mereka boleh dilakukan di rumah ini atau tempat lain sesuai perjanjian. “Cantik sekali, lu emang nggak pernah salah pilih.” Kata om itu seraya memegang pipiku. Menjijikkan. Nafasnya bau rokok, dia berbicara dekat sekali dengan wajahku, aku muak melihatnya. “Gue berani sepuluh juta buat cewek ini asalkan dia semalam suntuk sama gue.” Ujarnya pada Adel sementara aku masih merasa mual akibat bau rokok yang menyengat dari nafas Om itu. Sebentar-sebentar, sepuluh juta? Dalam satu malam aku bisa menghasilkan uang sebanyak itu? Itu uang haram tapi kalau mengingat wajah Sofia, ingin rasanya aku segera mengumpulkan banyak uang untuk kesembuhannya. *** Pagi ini saat bangun tidur badanku remuk nggak karuan, om itu benar-benar agresif, aku nggak bisa berbuat apa-apa saat berada dalam ceng114
keramannya, dia mempermainkan aku seperti boneka saja. Apa om itu nggak ingat sama istri dan anaknya? Apa dia nggak malu kalau anaknya tahu ayahnya main gila dengan seorang pelacur? Rasa jijik, kesal, marah, berbaur menjadi satu. Aku berada dalam keadaan terjepit, sebenarnya aku ingin lari dari pekerjaan ini tapi aku harus bekerja apa lagi di Jakarta? Percuma kalau aku pulang tanpa membawa uang sepeserpun, kasihan Sofia harus menderita lebih lama lagi. Kamar in menjadi saksi persetubuhanku dengan orang asing, kelakuanku ini nggak terhormat, aku udah bikin orang tuaku di surga kecewa, tapi aku nggak punya pilihan lain. Ya Allah, berikan aku jalan keluar dari dosa besar ini, hamba mohon Ya Allah. Ringtone HP-ku berbunyi di tengah tangis doaku. Dari Sofia. Aku sengaja membelikan dia ponsel untuk menghubungiku kapanpun dia mau. “Mama lagi ngapain?” Suara imut itu bikin aku makin kangen sekaligus nggak tega. “Baru bangun tidur, sayang. Sofia lagi apa?” Tanyaku lagi. “Habis sholat dhuha, ma. Aku berdoa semoga mama selalu sehat dan aku sembuh dari sakit ini. Nggak enak, ma kepalaku sering pusing. Untung ada Tante Chella dan Om Ferry, yang menyayangi dan selalu menemaniku. Jadinya aku nggak kesepian.” Ya Allah, anakku rajin sholat sedangkan apa yang aku lakukan semalam? Berzinah dengan 115
orang tak dikenal. Tak terasa air mataku menetes, aku nggak rela kalau sampai anakku berobat dengan uang haram. “Ma, mama, mama kerja apa?” “Mama jaga minimarket, sayang. Mama kumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk kamu sayang.” Aku terpaksa berbohong agar dia nggak tahu kelakuan ibunya. Dosa apa aku ini hingga Tuhan menghukumku seperti ini, semoga karmaku nggak berlanjut ke Sofia. “Nggak apa-apa yang penting uangnya halal, ma.” Anakku pintar, di usia sekecil itu dia sudah mengerti haram dan halal. Dia sangat cerdas dan cepat belajar persis seperti papanya. Aku tercengang, uang sepuluh juta di depanku adalah uang haram, akan aku apakan uang itu? “Mama, Sofia kangen sekali, jangan lama-lama di Jakarta. Aku ingin tidur di pelukan mama.” Ucapannya membuatku meneteskan air mata. Di saat ia ingin memelukku, aku malah memeluk orang asing. Aku bodoh, aku tertipu bujuk rayu mucikari, seharusnya aku nggak buru-buru mengambil keputusan. Aku merasa nggak pantas menjadi ibu bagi sofia, aku ibu yang kotor. Mendadak aku ingin menulis diary. Sudah lama aku nggak curhat padanya. Selama ini hanya diary satu-satunya tempat curahan hatiku. Soalnya diary nggak pernah membocorkan rahasiaku. Aku
116
meraih tas, untung tas ada di sampingku jadi nggak perlu mencari ke sana kemari lagi. Aku mengubek-ubek seluruh isi tas namun tak kunjung menemukan diary kesayangan. Yang ada dalam tas hanya laptop, pakaian, obatobatan, dan perlengkapan mandi. Dimana diary kesayanganku? Apa jangan-jangan diary hilang atau ketinggalan di Martapura? Berhubung aku hanya bawa laptop, terpaksa selama di Jakarta nulis diary di laptop. Semoga nggak ada yang usil buka-buka laptopku. Kalau ada yang buka-buka laptopku tamatlah riwayatku. Rahasia bakal terbongkar. Aku mengklik microsoft word. Jemari tanganku mulai mengetik curahan hatiku. Apa yang kurasakan dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Siapa tahu curhatanku kelak jadi cerpen atau novel. Ternyata ada manfaatnya juga nulis diary di laptop. My Diary Sumpah, aku nyesel tiga kuadrat menerima pekerjaan dari Delia Fransisca. Pekerjaan yang dia berikan itu adalah jadi kupu-kupu malam. Pekerjaan yang selama ini aku hindari. Tuhan, kenapa sih aku selalu salah dalam memilih jalan hidup? Delapan tahun silam, aku salah dalam memilih suami dan sekarang aku salah dalam memilih pekerjaan. Ingin sekali aku lari dari kerjaan ini Tapi mau gimana lagi aku sudah terlanjur basah, sekalian aja 117
menyeburkan diri jangan naik ke dasar laut kalau belum menemukan mutiara. Aku sudah terlanjur datang ke Jakarta, kalau nggak menerima pekerjaan dari Delia, aku kerja apa? Mencari kerjaan di Jakarta susah, sementara Sofia harus menjalani kemoterapi minggu ini juga. Aku tahu Allah pasti marah melihat perbuatanku ini. Tapi aku yakin Allah mengetahui bahwa aku melakukan ini karena terpaksa. Allah maha pengampun, semoga Allah bisa mengampuni dosa-dosaku. Sofia, maafin mama karena membohongimu. Mama melakukan ini demi kesembuhanmu. Mama belum siap kehilanganmu.
118
Ustadz Arizal
Malam ini adalah malam kedua aku melayani tamu, kali ini pelangganku adalah seorang bule Australia. Dari sekian banyak perempuan cantik di rumah ini, dia memilihku. Semuanya kecewa karena bule itu berani membayar harga mahal dan akulah yang beruntung dipilihnya. Buatku ini bukan keberuntungan, melainkan kebuntungan, dosaku semakin menumpuk. “She‟s extremely beautiful and hot. I love her curvy body, I‟ll pay expensive for her.” Ujarnya pada Adel. Pantas saja dia lancar bahasa Inggris, dia juga penyalur kupu-kupu malam untuk bule. Dari
119
ucapannya aku menangkap kalau dia menyukaiku. “Yeah, she‟s a newbie here, you can making love with her as long as you want. She will make you feel right.” Balas Adel. Ya, aku mengerti, aku harus melayani nafsu orang lagi. Sofia, maafin mama nak. “Come on, baby. Give me a wonderful night.” Bisiknya. Aku nggak tergoda, aku mengikuti rangkulannya dengan tampang jengah. Nggak ikhlas. Biarin aku dibilang nggak profesional karena aku memang tertipu dan nggak bisa berbuat apa-apa lagi. *** Ini hidup wanita si kupu-kupu malam Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga Bibir senyum, kata halus merayu memanja Kepada setiap mereka yang datang Lagu itu mewakili perasaanku yang terdalam bahwa nggak semua pelacur itu melakukan perzinahan karena uang. Adapula yang terpaksa melakukannya dalam keadaan terjepit. Akupun begitu, tapi nggak lama lagi aku harus mengakhiri semuanya. Memang, Adel bukan tipe mucikari jahat yang suka menyiksa anak buahnya tapi lamalama nggak enak juga melayani orang berbeda setiap hari. Beban mental itu yang paling berat. Di tengah-tengah keagresifan bule itu menyetubuhiku, aku mendengar keributan dari luar 120
sana. Suara-suara berat laki-laki mendobrak pintu kamar dan suara Adel berteriak melengking. Aku segera mendorong bule itu jatuh dari kasur kemudian memasang bajuku. Kayaknya ada razia soalnya tadi teriak seperti itu. Aku panik, bule tolol itu terus bertanya sedangkan aku nggak peduli sama sekali dia juga nggak bakal tahu razia itu apa. BRAKK! Pintu kamar didobrak paksa oleh dua orang Satpol PP berbadan besar. Salah satu dari mereka menjerat tanganku dengan borgol dan satunya lagi membawa bule gila itu. Aku mengikuti tanpa pemberontakan seperti pelacur lain karena aku memang salah, aku terjebak dalam situasi yang salah. Biarkan orang-orang berseragam hijau ini merazia aku agar aku dapat kembali ke jalan yang benar. *** “Dahliany Wiskasari dari Martapura, datang kesini karena diajak Delia, ditawari pekerjaan ternyata harus menjadi PSK.” Ujar salah satu petugas Satpol PP yang menginterogasi aku. “Kamu kumpul sama yang lain dulu, sebentar lagi akan dilakukan sholat subuh berjamaah dilanjutkan dengan tausiyah sebagai kegiatan pembinaan untuk para PSK.” Lanjutnya. Aku hanya diam, nggak bisa berkata apapun. Aku malu, sedih, merasa bersalah, nggak seperti pelacur lainnya yang seolah udah biasa dirazia seperti ini. 121
“Gue sih sebenarnya suka dirazia, abis ini tausiyah dari ustadz ganteng banget, kuat iman pula, sayang banget padahal gue mau bercinta sama dia.” ujar salah satu PSK yang tinggal denganku, entah namanya siapa, kami nggak saling kenal soalnya tempat kami individual banget. “Emang lu udah berapa kali kena razia?” Tanyaku. “Enam kali dan gue nggak jera abisnya Satpol PP-nya nggak tegas, razia, data, pembinaan, udah. Mana bisa tobat kalau gitu?” “Iya sih, tapi kalau sudah ada niat tobat nggak usah nunggu jera.” “Elu tuh ya, masih baru aja mau tobat. Belum puas kali ngerasain nikmatnya laki-laki.” Dia menghasutku, aku nggak akan kena hasutannya. “Gue begini buat cari duit pengobatan kanker anak gue, bukan cari laki, dan sekarang gue sadar, ini bukan tempat gue.” “Ah, payah lu!” Cibirnya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. *** Ya Allah, belum terlambat untuk memohon ampun kepada-Mu. Aku memang baru berkecimpung di dunia kelam tapi aku telah merasa jauh dari Engkau ya Allah. Hamba-Mu ini merasa kotor dan berlumur dosa serta memikul rasa bersalah yang sangat berat pada Sofia, titipan-Mu. Aku merasa gagal sebagai seorang ibu. Astagfirullah… kalau saja aku tidak tertipu mungkin 122
aku sekarang sibuk mencari uang yang halal. Ampuni hamba-Mu ini ya Allah ya Maha Pengampun, tolong berikan hamba petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar dan sembuhkanlah Sofia hanya Engkaulah yang bisa menyembuhkan dia ya Tuhanku… Mukena lusuh milik Mushalla kantor Satpol PP basah karena air mataku luruh menjatuhi pakaian untuk sholat itu, setelah sholat subuh berjamaah aku berdoa dengan sungguh agar segala dosaku diampuni. Setelah razia ini berakhir, aku memutuskan berhenti menjadi PSK dan mencari rejeki lain yang halal. Anakku perempuan, jangan sampai dia menerima karma dari perbuatanku. Manusia pasti memiliki masa kelam saat roda kehidupan berada di bawah dan inilah masa kelamku tapi aku akan mendorong lagi roda hidup agar kembali ke atas. “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.” Suara bass lembut seorang pria membuyarkan lamunanku. Aku mencari sumber suara yang datangnya dari depan, aku menyipitkan mata agar dapat melihat lebih jelas karena aku menyadari kalau pria dengan baju koko berwarna biru itu ganteng banget. Aku menyesal mengambil tempat di belakang. Tuhanku, aku nggak percaya dengan apa yang aku lihat, sosok tampang berhidung mancung dengan tatapan mata yang tajam itu, dia muncul bak seorang malaikat dihadapanku, mungkin dialah jawaban Allah atas doaku tadi. Usta123
dz itu akan menuntunku kembali ke jalan yang benar. Sebelum memulai ceramah, ustadz ganteng itu memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Ustadz itu bernama Arizal Ridwan Arrasya. Subhanallah, nama yang indah sesuai dengan wajahnya yang tampan nan rupawan. Eh, tunggu namanya Arizal? Wah, jangan-jangan ustadz ganteng yang ceramah di depanku ini adalah Arizal, cinta pertamaku waktu SD? Berbagai pertanyaan bergelayut dibenakku. Untuk menemukan jawabannya aku harus menanyakan langsung pada Ustadz Arizal setelah selesai ceramah. Aku ingin menanyakan tentang tanggal lahirnya, dulu waktu SD sekolah dimana dan lainnya. Biar nggak penasaran, dia Arizal yang selama ini aku cari atau bukan? Tapi ternyata rencanaku tak berjalan sesuai harapan. Setelah Ustadz Arizal selesai ceramah aku malah menangis sejadi-jadinya. Soalnya tadi sepanjang ceramah Ustadz Arizal membahas tentang dosanya orang berzinah. “Dicabut cahaya (nur) keimanan di dalam zinah dan adzabnya di akhirat yang akan membawa para penzinah terpanggang di dalam neraka.” Itulah kata terakhir Ustadz Arizal, sebelum mengakhiri ceramahnya. Aku langsung merinding mendengar kata-kata tersebut. Mulutku tiada henti mengucapkan istigfar dan memohon 124
ampun kepada Allah. Sedangkan air mata semakin deras mengalir di pipiku. “Hmmm… apakah masih ada orang di sini?” ujar seorang pria mengagetkanku. Sontak, yang tadinya kepalaku menunduk sekarang jadi terangkat. Deg! Tepat di depanku telah berdiri tegak seorang pria tampannya Masya Allah. Aku mengucek mata untuk meyakinkan penglihatanku. Setelah berulang kali mengucek mata kini aku yakin bahwa penglihatanku nggak salah. Ya, orang yang berdiri tegak di depanku adalah Ustadz Arizal. “Hmmm… apakah masih ada orang di sini?” Ustadz Arizal mengulang pertanyaannya. Aku mengerutkan dahi, jelas-jelas di depannya ada aku masa dia nanya apa ada orang di sini? Apakah aku terlalu imut jadi nggak terlihat oleh Ustadz Arizal? Aku memandangi Ustadz Arizal dengan seksama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kalau lihat dari ujung kepala aku benar-benar tak berkedip. Wajahnya itu lho Subhanallah tampan sekali, memancarkan sinar cahaya alami. Baru kali aku melihat ada ustadz tampan sekali. Pantas saja para PSK di sini pada tergila-gila sama Ustadz Arizal. Tapi begitu lihat dari bawah Ustadz Arizal terlihat bawa tongkat. Tongkatnya itu seperti tongkat yang sering dibawa tukang pijat tuna netra.
125
Tongkat? Untuk apa Ustadz Arizal menggunakan tongkat? Apa jangan-jangan Ustadz Arizal seorang tuna netra? Astagfirullah, aku nggak boleh berpikiran buruk. “Sepertinya ada cewek yang lagi terpesona dengan ketampananku? Hehehe,” ujar Ustadz Arizal seraya tersenyum simpul. Busyet, ni ustadz ternyata narsis juga, batinku. “Kok ustadz tahu saya terpesona dengan ketampanan Anda?” tanyaku balik. Sumpah, aku malu banget. Pasti mukaku sekarang kayak kepiting rebus, merah merona saking malunya. “Ya, tahu dari mata hati dong.” “Lho kok tahu dari mata hati? Apa ustadz yang bisa melihat saya yang tadi tadi bengong terpana akan ketampanan Anda?” pertanyaan-pertanyaan itu keluar sendiri dari mulutku tanpa aku pikirkan terlebih dahulu. Aduh, aku salah ngomong. Kalau memang benar Ustadz Arizal seorang tuna netra dia pasti tersinggung. Dan mendadak wajah Ustadz Arizal berubah jadi sedih. “Maaf ustadz kalau pertanyaan saya tadi salah dan menyinggung Anda.” Seketika senyum Ustadz Arizal merekah. “Ya, nggak apa-apa kok. Lagipula pertanyaanmu tidak salah, aku memang nggak bisa lihat kamu. Aku seorang tuna netra, makanya tadi kan aku nanya ada orang di
126
sini? Eh, kamu nggak menjawab. Aku coba-coba narsis baru deh kamu menjawab.” Ternyata benar dugaanku Ustadz Arizal seorang tuna netra. Di dunia ini memang tidak ada yang sempurna. Di balik kesempurnaan wajahnya Ustadz Arizal memiliki sebuah kekurangan. Kekurangannya terletak pada matanya. Aku semakin kagum dengan Ustadz Arizal, meskipun dia memiliki kekurangan dia tidak malu muncul di muka umum. Kalau saja aku yang berada di posisi dia pasti aku kerjaannya menangis dan nggak mau keluar kamar. “Kok diam? Kamu merasa kasihan sama aku ya? Atau jangan-jangan kamu malah pergi?” “Saya justru semakin terpesona dengan ustadz, hehehe.” Jawabku malu-malu. Harus kuakui ini pertama kalinya aku jujur mengakui terpesona. Si Ustadz Arizal Cuma senyum-senyum. Mungkin dia GR setelah kupuji. Senyumnya subhanallah manis banget. “Ustadz, mending duduk deh! Nggak enak ngobrol sambil berdiri!” ujarku mempersilakan dia duduk. Perlahan Ustadz Arizal duduk di lantai. Duduknya itu dekat banget sama aku. Kalau dia bisa lihat mungkin dia sedikit menjauh duduknya. Kan orang yang beriman nggak boleh terlalu dekat dengan yang bukan muhrimnya. “Kalau dilihat dari cara berbicara, kamu sepertinya orang baik-baik. Kamu hanya terpaksa kan men-
127
jalani profesi ini?” Ustadz Arizal memulai obrolan setelah dirinya duduk. Aku melongo saat mendengar pertanyaan Ustadz Arizal. Kok dia bisa tahu sih apa yang aku alami? Wah, berarti selain menjadi ustadz dia juga menjadi peramal punya ilmu menerawang mata batin seseorang. Dia pasti sudah bisa menebak masalahku tinggal nunggu aku bercerita. Sekarang aku jadi bingung mau ceita atau nggak ya? Kalau cerita aku pasti malu tapi kalau nggak dadaku sesak. “Udah, cerita aja nggak apa kok! Rahasiamu terjaga, kalau cerita kan siapa tahu aku bisa membantu. Minimal membantumu meringankan beban di hati,” ujarnya lagi. Tuh kan benar dugaanku dia tahu apa yang aku pikirkan dan aku rasakan. Akhirnya aku pun menceritakan apa yang aku alami padanya. Mulai dari perceraianku dengan Rayhan, Sofia sakit kanker otak, dan sampai pertemuanku dengan Delia Fransisca semuanya diceritakan secara panjang lebar. Saat aku bercerita Ustadz Arizal hanya manggut-mangut. Tapi begitu aku selesai bercerita lagi-lagi dia tersenyum. Ya, ampun ustadz ini demen banget senyum. Senyumannya bikin hatiku makin cenat-cenut. Secara gitu loh senyumnya manis banget, seperti senyuman Dude Harlino.
128
“Untung kamu bertemu denganku. Aku bisa membantumu mencarikan solusi pengobatan anakmu.” “Maksud ustadz apa ya?” tanyaku sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatal. Ustadz Arizal tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya merogoh saku celananya. Baru sadar ternyata Ustadz Arizal memakai celana panjang. Biasanya kan ustadz itu kalau ceramah memakai sarung. Wah, berarti Ustadz Arizal BUB alias bukan ustadz biasa. Tak lama kemudian Ustadz Arizal mengeluarkan sebuah kertas yang bergulung dan kertas yang bentuknya persegi panjang. Kalau ditebak pasti kertas yang bentuknya persegi panjang itu kartu nama. Jangan-jangan ustadz naksir aku makanya dia ingin memberi kartu namanya padaku, batinku penuh percaya diri. “Kalau kamu perlu pekerjaan yang halal dan ingin anakmu sembuh datanglah ke pesantrenku. Pesantrenku lagi memerlukan seorang guru bahasa Indonesia, pesantrenku juga membuka pengobatan alternatif secara gratis untuk penderita kanker. Alamatnya tertulis di kartu nama saya,” ujarnya seraya menyerahkan kertas yang bergulung dan sepucuk kartu nama. Aku menerima pemberian Ustadz Arizal dengan mata berbinar. Ustadz Arizal benar-benar malaikat yang dikirim Allah untuk menolong hidupku. Allah maha mengetahui, dia pasti menolong umat-Nya yang sedang kesusahan. 129
Setelah memberikan kartu nama, Ustadz Arizal berpamitan untuk pulang. Katanya sih jam sembilan nanti ada acara ceramah di masjid pesantrennya. Waktu cepat sekali berlalu, ingin deh aku menghentikan waktu agar aku bisa terus berada di dekat Ustadz Arizal. Begitu dia tak terlihat lagi batang hidungnya aku jadi teringat akan sesuatu. Aku baru ingat bahwa aku lupa menanyakan tanggal lahir Ustadz Arizal, dulu waktu SD sekolah dimana. Payahnya diriku, penyakit pelupaku makin parah. Tapi nggak apa-apa deh. Yang penting aku sudah mendapatkan kartu namanya. Pertanyaan itu bisa lain kali aku tanyakan kalau aku sudah berada di pesantrennya. Bahagianya hatiku hari ini. “Huwaaaa… Arizal I‟m coming! Tunggu aku di hatimu!” teriakku gaje. Ups, sorry. Untung di masjid ini lagi sepi, coba kalau banyak orang pasti mereka mengiraku gila. Harus kuakui sekarang aku memang gila, gila karena Ustadz Arizal. *** My Diary Halo, diary. Nggak bosan kan jadi tempat curhatanku? Seperti biasa aku ingin curhat denganmu. Tapi sebelum curhat aku ingijn memberi tahumu dulu bahwa hidup manusia itu tak pernah lepas dari penderitaan. Kayak hidupku sekarang penderitaannya banyak banget. Mulai dari menjanda di usia muda, me130
nafkahi anak seorang diri, buah hati terkena kanker otak, terjerumus jadi kupu-kupu malam bahkan sampai ketangkap razia Satpol PP. Tapi dibalik penderitaanku Allah mengirimkan kebahagiaan. Kebahagiaanku yang pertama adalah Ditahan Satpol PP hanya dua setengah jam saja. Padahal nih ya tadinya aku mengira bakal mendekam di penjara bertahun-tahun. Dan kebahagiaanku yang paling sempurna adalah Allah mengirimkan malaikat tak bersayap nan tampan rupawan ke dalam hidupku. Malaikat itu mempunyai nama dan namanya itu bukan Ridwan, Mikail, atau nama yang sering muncul di buku pelajaran Aqidah Akhlak ketika belajar 10 nama malaikat yang wajib kita ketahui. Nama malaikat yang bertemu denganku adalah Arizal. Mimpi apa kemarin jadi hari ini dipertemukan dengan Ustadz Arizal yang tampan rupawan? Eh, ngomongin soal mimpi aku baru sadar kalau sudah dua hari nggak tidur. Diary, udah dulu ya curhatnya aku mau tidur dulu. Siapa tahu kali ini mimpi dipatok ular? Terus besoknya dilamar Ustadz Arizal. Hehehehe, bolehkan berharap?
131
Hijrah Ke Pesantren
Mataku setengah terbuka ketika mendengar azan. Hal yang pertama aku lakukan ketika membuka mata adalah melirik jam yang menempel di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul 15.00. Mataku melebar. Whats jam tiga sore? Berarti aku tidur sudah lima jam. Rasanya itu sesuatu banget. Baru kali ini aku tidur nyenyak banget, saking nyenyaknya aku tertidur sampai lima jam. Kemarin-kemarin aku tidur paling Cuma setengah jam, paling lama satu jam. Mendadak teringat Chella. Segera kuraih HP yang ada di samping bantalku. Jari-jariku si132
buk memencet nomor Chella. Ya, aku ingin menelponnya untuk menanyakan kabar Sofia dan memintanya mengantar Sofia ke Jakarta. Aku sudah memutuskan untuk menerima tawaran Ustadz Arizal. Karena itu satu-satunya cara untuk pengobatan Sofia. Dan mungkin bila nanti kita kan bertemu Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali Rasa yang kutinggal mati Aku geleng-geleng kepala saat mendengar RBT HP Chella. Dari tahun 2005-sekarang Chella RBT-nya itu-itu aja, nggak pernah diganti. Tahu sih Chella sangat mengidolakan Ariel Peterpan. Tapi kan lagu-lagu Peterpan banyak. Apalagi sekarang Peterpan sudah ganti nama jadi Noah. Kalau aku ketemu Chella, akan kusuruh dia mengganti ring back tone, biar nggak bosan ketika menelpon dia. “Halo,” terdengar suara Chella. “Halo juga Chella, tumben lu angkat telepon gue cepat? Bisanya lu angkatnya lama banget, sampai jamuran gue,” cerocosku. “Ye, lu gimana sih diangkat cepat ngomel diangkat lama tambah ngomel. Yang benar yang mana?” teriak Chella dengan suara cemprengnya. “Eh, gimana lancar kejaan di ibu kota?” Tanya Chella. Akupun menelan ludah. “Alhamdulillah lancar, Chel. Ini, gue udah menemukan solusi buat penyakit Sofia.” Ujarku sedikit 133
berbohong padahal pekerjaanku tidak lancar akibat kena razia. “ Apaan? Kasihan anak lu nih, terlalu lama menderita.” “Lu bisa anter Sofia ke Jakarta nggak? Gue menemukan pengobatan alternatif gratis bagi penderita kanker, gue rasa itu cocok banget buat anak gue ketimbang kemoterapi yang malah bikin dia tersiksa tapi hasilnya nggak ada.” “Yah, nggak jadi ngasih surprise dong!” ujar Chella dengan nada kecewa. “Surprise apaan?” tanyaku bingung. Maklumlah baru bangun tidur jadi otakku masih loading lama. “Hmmm…, nggak apa kok. Maksud gue itu oke deh segera gue bawa Sofia ke Jakarta. SMS-in tempat tinggal lu, ya.” Kali ini kata-kata meragukan. Aku merasa Chella menyembunyikan sesuatu dariku. “Gue di hotel, gue baru cari tempat kos baru tempat gue sebelumnya di razia… eh, maksud gue kebakaran.” Ups, hampir saja aku keceplosan. Biar saja aku sendiri yang tahu rahasia ini. “Hah? Tapi lu nggak apa-apa kan?” Tanyanya kaget. “Kalau nggak mana bisa gue telepon lu sekarang?” “Syukurlah, lu nggak kenapa-kenapa, gue dan Sofia masih butuh lu.” “Oke, gue kirim alamat pesantren gue ya?” 134
“Pesantren? Lu nggak lagi ngelantur, kan?” Tanya Chella seolah nggak yakin dengan apa yang kukatakan. “Iya, ada malaikat baik hati yang membawa gue kesana buat kerja jadi guru bahasa Indonesia. Makanya gue tinggal di pesantren itu.” “Wuih, nanti pulang-pulang lu jadi ibu ustadzah.” “Amin,” Jawabku pendek sambil berharap dari hati yang terdalam. Gue akan jadi ibu ustadzah setelah menikah dengan Ustadz Arizal. Tuuut… Tuut tiba-tiba telepon terputus. Aku mendengus kesal. Tapi sudah tak heran lagi, sifat Chella kan memang seperti itu kalau bertemu ataupun lagi teleponan pasti dia pergi nggak pamit. Ya, sudahlah. Yang penting sekarang aku harus mengirimkan alamat pesantren ke Chella. Biar dia begitu sampai di Jakarta langsung menuju pesantren Ustadz Arizal. *** Sebelum pergi ke pesantren, aku mencoba berdandan terlebih dahulu. Aku mencoba melakukan eksperimen hijab ala Fatin Shidqia Lubis juara X Factor yang berhijab cantik itu. Aku menyelempangkan kain hijab paris ke atas kepala yang sudah dipasang dalaman, kemudian aku menyematkan peniti di bawah dagu. Voila, Ika berhijab! Aku memandangi wajahku di cermin, cantik dan muslimah. Terbersit satu pertanyaan di hati “Pantaskah 135
aku memakai hijab ini?” Aku pernah membaca artikel di fanpage sebuah facebook. Isi artikelnya “Pantas tidaknya berhijab yang menilai itu Allah. Yang penting dengan berhijab kamu telah melaksanakan kewajiban Allah untuk menutup aurat.” Aku senyum-senyum sendiri di muka cermin. Andai saja Ustadz Arizal bisa melihat, dia pasti terpesona sama aku. Astaga! Mikir apa aku? Ustadz Arizal sudah rela membantuku ke jalan yang benar saja, syukur Alhamdulillah... Masa sekarang aku menginginkan Ustadz Arizal terpesona denganku? Pikiran yang jelek ini harus segera dibuang jauh-jauh dari otak. Aku pun beranjak dari hotel menuju pesantren naik taksi, sebenarnya aku dilema menggunakan uang hasil perzinahan itu tapi keadaan benar-benar terdesak karena tak ada uang sepeserpun yang tersisa di dompet ini. Mudahmudahan nanti di pesantren gajinya dibayar di muka agar aku bisa membuang jauh-jauh uang haram itu. Begitu tiba di pesantren. Aku terkagumkagum memandangi pesantren yang megah dan besar di depan mata. Pondok Pesantren Al-Haq ini akan menjadi rumah keduaku. Samar-samar aku melihat wanita-wanita solehah wara-wiri di sana, pakaian yang mereka kenakan berbeda sekali dengan bajuku, mereka memakai hijab bukan untuk gaya akan tetapi kewajiban di hadapan Allah SWT, 136
hijab mereka panjang menutupi dada hingga ke atas perut, pakaian mereka longgar dan menggunakan rok panjang sedangkan aku masih menggunakan celana. Mungkin sebaiknya aku pulang dan ganti baju tapi kayaknya aku nggak bawa rok terus aku harus gimana? “Ika?” Panggil seorang laki-laki, aku menoleh. Betapa terkejutnya aku tatkala melihat sosok rupawan mengenakan baju takwa dan berjalan dengan tongkat. Ustadz Arizal. Bukan Ustadz Biasa melainkan Ustadz Pangeran. dentuman di dadaku langsung bergema menyemarakkan relung jantungku bersamaan dengan pertanyaan yang terlintas di pikiranku bagaimana bisa dia menebak dengan benar orang yang baru sampai depan pesantren? Apa mata hatinya begitu kuat? “Iya, kenapa ustadz bisa tahu aku ada di sini?” Tanyaku penasaran. “Sudah aku bilang mata hatiku sangat kuat, memang aku punya kekurangan tapi itu malah memberikan aku kelebihan yang lain.” jawabnya santai. Biji matanya menghadap ke arah lain tapi aku tahu dia bicara padaku karena tidak ada orang lain di sekitar kami. “Ustadz hebat, aku yang bisa melihat saja nggak sepeka ustadz.” “Ah, biasa saja, ayo masuk. Saya antar ke dalam untuk melihat-lihat dan berkenalan dengan calon murid-murid kamu.” Ajaknya ramah. Huff, kenapa aku jadi kayak anak baru gede gini ya rasanya? 137
aku merasakan jatuh cinta entah ke berapa kali tapi kali ini aku benar-benar takluk di hadapannya. Duh Tuhan, Tolonglah aku. *** Pesan dari kepala pesantren adalah aku harus mengganti celanaku yang sedikit ketat dengan rok longgar seperti yang dipakai santriwati di sini dan aku nggak bisa pakai hijab lucu seperti yang dipakai Fatin melainkan hijab sepanjang perut tanpa gaya seperti model hijab jaman sekarang. Dipikir-pikir benar juga sih, gaya hijab sekarang malah membuat wanita jadi pusat perhatian seharusnya hijab itu melindungi perempuan dari sorotan mata laki-laki yang bukan muhrimnya. Pesantren itu sangat luas, setiap kelas dibatasi pilar-pilar elegan dengan arsitektur timur tengah. Aku seperti berada dalam film Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Negeri 5 Menara. Santriwan dan santriwatinya juga sopan, mereka selalu menyapa dengan sapaan “Assalamualaikum”. Semua santri di sini wajib bercakap bahasa Inggris dan Arab, dan bagi santri yang melanggarnya akan dihukum mencuci baju santri satu angkatan. Pondok Pesantren Al-Haq berdiri pada tahun 1970 oleh KH. Ahmad Syafi‟i. Pesantren yang terdiri dari sepuluh lantai ini memiliki fasilitas lift 138
dan tangga. Lantai 1-5 khusus untuk santriwati sedangkan lantai 6-10 khusus santriwan. Pesantren ini juga dilengkapi dengan fasilitas kolam renang, lapangan basket, warnet, dan minimarket dengan syarat kolam renang dan lapangan basket putra dan putri berbeda karena semuanya dilarang keras mempertontonkan aurat masing-masing. Setiap hari Sabtu dan Minggu pesantren libur. Jadi santriwan dan santriwati bebas asal tidak keluar pesantren. “Ustadz, saya tinggal di pesantren ini?” Tanyaku sembari berjalan mengelilingi pesantren. “Iya, nanti kamu saya antar ke pondok guru wanita. Pegawai yang masih lajang dan anak rantau kami fasilitasi tempat tinggal di sini. Tenang aja, ini nggak pakai potong gaji.” Jawabnya bijak. Ternyata di balik kesusahan aku masih diberikan kenikmatan oleh Tuhan. Sekarang aku mengerti, meskipun aku seorang janda, aku nggak sendirian, aku masih punya Tuhan yang selalu ada untukku. *** My Diary Diary, sumpah aku nggak nyangka banget sekarang aku jadi penghuni pesantren. Lebih nggak nyangka lagi pesantren yang kini aku tinggali itu luas banget seperti istana. Emang sih pesantren itu banyak aturan, tapi nggak masalah buatku. Yang penting aku bisa dekat dengan malaikat tak bersayap tapi tampan rupawan (BACA: Ustadz Arizal). 139
Aku sih berharapnya suatu saat si ustadz tampan itu lama-kelamaan jatuh hati padaku. Boleh dong aku berharap demikian?
140
Bu Ika Si Guru Cantik
Gue masuk Madrasah Aliyah setara SMA di sini, gue mulai betah karena suasana pesantren ini sejuk dan menyenangkan. Santri-santri di sini juga ramah-ramah, nggak ada bully dari mereka yang semuanya cowok-cowok ini. Nggak sulit buat gue untuk menyesuaikan diri sama suasana di pesantren ini. Hati gue tenang banget karena setiap sore ada kegiatan tadarus Al-qur‟an, sholat berjama‟ah, membaca surat yasin setiap sehabis sholat maghrib, sampai tahajud di malam hari. Gue bahagia banget, baru kali ini gue merasa dekat dengan Sang Pencipta dan gue bisa merasakan
141
nikmatnya tidur teratur. Padahal dulu gue selalu tidur larut malam. Perlahan tapi pasti gue bisa melupakan bayang-bayang Jeni, si bencong keparat itu. Gue nggak mau ingat-ingat lagi kalau tubuhku pernah jadi mainannya. Gue punya harga diri dan kesempatan untuk jadi lebih baik. Semoga aja di pesantren ini gue bisa bangkit dan menemukan seseorang yang mencintaiku apa adanya. “Assalamualaikum warahmatullahhi wabarakatuh.” Sapa seorang guru baru yang masuk ke kelas. Subhanallah, dia cantik sekali. Dandanannya natural dengan dibalut busana muslimah, tertutup dan longgar tapi tetap menawan. Seketika aku terpesona melihat wajah cantiknya. “Selamat pagi santriwan yang baik hati, saya Dahliany Wiskasari atau bisa dipanggil Ika. Saya di sini mengajar bahasa Inodnesia maka dari itu saya berbicara bahasa Indonesia dari tadi. Untuk hari ini kalian bebas karena pertama kali saya mengajar akan saya isi dengan perkenalan. Baik, ada pertanyaan?” ujar Bu Ika. Dia bagaikan seorang malaikat yang berdiri di depan kelas. Dia begitu cantik, tutur katanya lembut dan keibuan. Dialah wanita idamanku. Apa salah seorang murid mencintai gurunya? Cinta tidak pernah salah, bukan? “Bu, ibu berasal dari mana?” Tanya seorang santri.
142
“Saya dari Martapura, Banjarmasin.” Jawab Bu Ika. Banjar? Itu kan tempat asal gue? Berarti kita satu kampong, dong? “Bu, ulun juga orang Banjar.” Timpalku. Bu Ika sedikit terperanjat lalu tersenyum kembali menanggapi pertanyaanku. “Wah, saya tidak menyangka di Jakarta yang sebesar ini saya bisa bertemu dengan orang Banjarmasin.” Ujarnya lembut. “Baik anak-anak sekarang kita mulain perkenalannya. Kali ini bukan sembarang perkenalan akan tetapi kita akan berkenalan dengan cara mengajar ibu.” Ibu Ika, tutur katanya lembut, senyumnya manis, keibuan, dia pas sekali dengan yang gue impikan. Setiap malam gue selalu berdoa supaya aku diberi pendamping seperti bidadari. Gue yakin Ibu Ika adalah jawaban doa gue selama ini. *** “Bu Ika!” Panggil seorang santriwan. Aku menoleh, ternyata dia Rafly, aku hanya sekadar tahu dari Cindy adiknya sekaligus murid les privatku. Dulu aku pernah naksir sama dia tapi mendadak illfeel gara-gara kata Cindy, dia homo. Yeah, dia ganteng, wajahnya mirip si Mei Chuo di Meteor Garden a.k.a Vanness Wu tapi kalau dia pencinta sesama jenis, siapa yang mau? “Iya,” Jawabku menjaga wibawa. Aku menjaga wibawa padahal aku sudah tahu siapa dia. Ah, aku pura-pura nggak tahu aja. 143
“Ibu, saya nggak nyangka kalau kita satu kampung. Padahal di Jakarta ini sulit sekali bertemu dengan orang Martapura.” Ujarnya. Wajahnya berbinarbinar. Ada apa dengan anak ini? Aku nggak tahu harus jawab apa, aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya. “Ibu, ibu, satu yang ibu harus tahu.” Lanjutnya dengan bersemangat. “Apa?” “Wajah ibu mengalihkan duniaku.” *** “Sofia!” Pekikku saat melihat anakku berjalan di sebelah Chella. Aku langsung berlari memeluknya. Aku kangen banget sama anakku yang menggemaskan ini. Aku ciumi pipi Sofia bertubitubi, dia tampak sangat kurus dan pucat, kasihan dia harus menanggung penderitaan seberat ini. “Ika, lu nggak apa-apa kan?” Tanya Chella sambil memperhatikan penampilanku. Aku nggak modis lagi seperti dulu. “Nggak apa-apa emangnya kenapa?” Tanyaku sambil berdiri menggendong Sofia. Dia ringan sekali, Ya Allah. Aku ingin anakku sembuh. “Baju lu kenapa panjang-panjang begini?” Tanyanya heran. “Gue baru sadar kalau baju kayak gini adalah baju yang benar, menutup aurat, melindungi perem-
144
puan dari niat jahat laki-laki, dan gue juga kerja di pesantren masa gue mau pakai baju kayak biasanya?” “Gitu, ya? Gue jadi sungkan mau masuk pesantren lu. Gue juga salut sama lu, Jakarta malah bikin lu lebih baik.” Ujarnya kagum. “Gue sebentar lagi mau ajak Sofia ke dalam, lu gimana? Apa ikut ke dalam? Gue pinjemin baju.” Tawarku. “Ikut aja,deh. Gue juga nggak ngerti Jakarta. Siapa tahu gue bisa tobat kayak lu.” Aku mengangguk lalu tersenyum manis. “Makasih ya, lu emang sobat gue yang paling baik.” *** Gue nggak yakin sama apa yang gue lihat. Bu Ika gendong anak? Anaknya, kah? Masa ibu yang imut-imut itu punya anak? Dia lagi bercakap-cakap sama Ustadz Arizal, gue cuma melihat dari jauh. Gue memperhatikan gerak-gerik Bu Ika. Hatiku terdorong untuk mendekati mereka. “Pagi Ibu Ika, pak ustadz.” Sapa gue. Gue memberikan senyum pada cewek di samping Bu Ika. “Rafly, kamu ngapain di sini?” Tanya Ibu Ika. “Jalan-jalan aja, bu. Ini siapa, bu?” gue bertanya lagi sambil menunjuk anak kecil yang pucat itu. “Ini Sofia, anak saya.” jawab Bu Ika. 145
“Ika ini single parent, loh!” Timpal Chella centil sambil mengerlingkan matanya ke arah Bu Ika. Gue terperanjat, gue nggak nyangka Bu Ika udah punya anak dan dia harus menjanda di usia semuda itu. Berarti dia sosok yang tegar dalam menjalani hidup. Gue jadi kagum dengannya. Tapi tiba-tiba gue kaget saat Ustadz Arizal mengantar bu Ika ke ruang terapi Anti kanker. Ini kan, ruangan buat pengobatan alternatif kanker menggunakan kulit manggis? Siapa yang kena kanker? Apa Ibu Ika? Atau anaknya? “Bu, siapa yang kena kanker?” Gue memberanikan diri buat bertanya. Bu, maafin santrimu yang kepo ini. “Anak saya.” jawab Bu Ika singkat. Hati gue makin miris. Gue kira cuma gue yang menderita ternyata bu ika juga punya penderitaan yang sama. Hidup seseorang pasti memiliki cobaan masing-masing. Gue jadi ingat ceramah Ustadz Arizal kemarin, beliau bilang kalau Allah tidak akan memberi cobaan melampau batas kemampuan manusia. Bagaimana bisa seorang janda harus bertahan tatkala anaknya terkena kanker sementara Bu Ika sendirian menghadapi semuanya? Gue paham sekarang bahwa setiap orang pasti memiliki masa kelam serta cobaan dalam hidupnya dan Allah 146
sudah membagi semuanya sesuai kemampuan umat-Nya. “Ya Allah, saya turut prihatin, Bu.” Gue prihatin kemudian tangan gue beralih ke pipi Sofia yang pucat tapi lembut seperti bayi. “Bertahan ya, sayang. Kamu pasti bisa sembuh.” Tak disangka Sofia tersenyum sama gue, sepertinya dia suka sama gue. “Amin, terima kasih kakak.” Ujarnya manja. Gue gemas banget lihat Sofia, dia mirip sekali dengan Bu Ika. “Pintarnya anak mama. Ayo masuk.” Ujar Bu Ika kemudian dia masuk ke ruang pengobatan alternatif. Bu ika, selain wajahmu yang mengalihkan duniaku, duniamu juga memberikan pembelajaran hidup. I‟m into you, Bu Ika... *** “Ika, santri lu yang tadi cakep juga! Ustadznya apalagi, hidup lu kenapa dikelilingi cowok cakep, sih?” Tanya Chella. Aku hanya tersenyum tipis sambil mengelus rambut Sofia yang tidur pulas karena kelelahan dan minum obat herbal dari terapi tadi. “Santri itu namanya Rafly, dia anak Martapura, sekampung sama kita. Nah, kalau Ustadz Arizal, jangan macam-macam, dia inceran gue.” Ujarku sambil cengar-cengir nggak jelas. “Alah, dasar janda sok ABG lu!” Cibir Chella. 147
“Biarin, janda juga manusia yang berhak mencari cinta.” Aku membela diriku sendiri. “Iya sih, kasihan sofia, dia butuh bapak. Untung kemaren ada nyokap yang ngurusin Sofia waktu gue kerja. Kalau nggak bisa-bisa dia terlantar.” “Kalau aja Rayhan bisa sedikit dewasa biar bisa perhatian sama anaknya yang lucu ini. Salah apa sih Sofia? Kenapa dia yang harus menanggung semuanya.” Di tengah obrolan kami, HP-ku berbunyi, ada SMS dari Rafly. Ass. Bu Ika, slmt malam Semoga hari esok lbh baik dr hari ini Salam utk si kecil Sofia Aku hanya tersenyum simpul, bocah ini sok perhatian padahal aku sudah paham kalau cowok yang lebih muda itu lebih besar hasrat daripada tanggung jawab. Waktu ngejar-ngejar semangat banget, pas udah dapat malah disia-siakan. “Lu ngapain senyum-senyum begitu? Bayangin yang nggak-nggak sama Ustadz Arizal, ya?” Tuduh Chella. “Ya nggak lah, ini si Rafly SMS perhatian ke gue.” Jawabku. “Nah, itu berondong naksir lu tahu. Iyain aja, dia cakep dan baik lagipula kalau lu nungguin ustadz sama aja lu berharap kosong. Tipe-tipe kayak Ustadz Arizal itu lebih mementingkan ibadah daripada cewek jadinya mending lu tanggapin si Rafly.” Ujar Chella. “Eh, Rafly tu homo.” 148
“Nggak mungkin, kalau homo ngapain dia suka sama lu?” Pekik Chella tak percaya. “Dulu gue sama dia pernah ketemu waktu gue ngajar di tempat Cindy, dia itu kakaknya Cindy, adiknya sendiri yang bilang kalau kakanya homo. Dia bisa normal lagi memang, tapi gue nggak bisa sama berondong terus. Gue kapok.” Tolakku. Tegas. *** My Diary Dear diary, hari ini hari pertama aku mengajar bahasa Indonesia di Pondok Pesantren Al-Haq. Aku senang sekali karena bisa memberikan ilmu yang bermanfaat buat para santri. Suasananya di sini juga enak, tentera, sejuk, santrinya ramah-ramah. Tapi, ada satu yang paling ramah di antara semuanya yaitu Rafly. Kamu ingat nggak diary, di lembar-lembar terdahulu aku pernah menulis tentang Rafly si Vaness Wu yang ternyata gay. Sekarang kita ketemu lagi, dia makin ganteng dan yang bikin terkejut lagi, dia kayaknya naksir aku soalnya dia tiba-tiba bilang “wajahmu mengalihkan duniaku” ke aku dan gelagatnya juga kayak orang naksir. Apa dia udah nggak homo lagi? Duh, kenapa aku selalu dikelilingi sama berondong sih? Masa jodohku berondong? Aku kan maunya sama Ustadz Arizal? Aduh aku ini kenapa sih? Mendingan aku tidur sekarang karena besok anakku mau terapi. Kata Ustadz Arizal terapinya pagi sekitar jam tujuh, jadi gue harus bangun pagi. Udah dulu ya diary, muach… 149
Pantaskah Aku Mencintainya?
Selama beberapa hari ini gue mencoba menyelami dan mengenali perasaan gue pada Bu Ika serta gue juga mencoba dekat dengan anaknya. Ada yang pernah bilang sama gue kalau mau mendekati janda harus PDKT sama anaknya juga. So far, nggak ada masalah, setiap Bu Ika ngajar, dia selalu bawa sofia dan dia senang main sama gue. Ceramah Ustadz Arizal kali ini berguna banget buat gue. Dalam Islam, ternyata pacaran itu haram, kalau kita punya hasrat atau perasaan terhadap lawan jenis, lamarlah ia untuk menikah karena pernikahan adalah kewajiban kita sebagai umat-Nya. Menikah juga melindungi kita dari 150
zinah. Ceramah Ustadz Arizal membuka pencerahan untuk gue. Kalau gue mencintai Ibu Ika maka gue harus melamarnya. “Rafly, lu ngapain ngelamun?” Tegur Dika. Ah, si pendek ini ganggu rancangan masa depan gue aja. Begini, resiko satu kamar ada empat cowok, pasti nggak ada yang diam kecuali tidur semua. “Nggak apa-apa.” Jawabku pendek. “Kerjain aja tugas Bu Ika, buset, cantik-cantik ngasih tugas banyak banget.” Protesnya lagi. Ah, dada gue berdegup kencang kalau ada yang menyebut nama Bu Ika. “Itu kan biar kita disiplin, demi kebaikan kita juga.” “Si Rafly naksir Bu Ika, tuh!” Timpal Yayan si kurus yang kalau ngomong medok Madura itu. “Apa-apaan, sih?” Sangkalku. Gue belum siap menceritakan perasaan gue ini sama teman-teman soalnya gue malu banget! *** “Bu Ika!” Panggil Ustadz Arizal. Aku menoleh lalu tersenyum padanya. Aku selalu mencoba untuk tersenyum meskipun ustadz nggak bisa melihatku. Aku mengambil keuntungan dari keadaan ini, Ustadz Arizal nggak bisa melihat wajahku yang merah seperti apel fuji. “Ya, Pak Ustadz.” 151
“Bagaimana perkembangan Sofia?” Tanyanya. “Alhamdulillah, dia tidak mengeluh sakit lagi.” Jawabku singkat. “Alhamdulillah, teruskan terapinya agar Sofia bisa sembuh total dari kanker. Lalu, Bu Ika senang bekerja sekaligus tinggal di sini?” “Saya senang sekali, apalagi santri di sini ramah-ramah. Saya juga mendapat ketenangan batim karena di sini selalu terdengar lantunan ayat-ayat AlQur‟an setiap waktu.” “Syukurlah, karena biasanya orang-orang menganggap pesantren ini tempat orang nakal yang ingin bertobat padahal sebenarnya pesantren ini untuk siapapun yang ingin kembali ke jalan yang benar.” Mendadak hatiku terenyuh, aku pernah menjadi seorang pezinah, aku merasa kotor, dan di sinilah aku mendapat ketenangan batin tapi aku merasa sekeras apapun aku bertobat, ingatan tentang masa kelam itu selalu ada. Aku tetap mantan seorang pelacur. Aku pernah berzinah dengan beberapa laki-laki, apa pantas aku bersujud pada Allah? Dan apa pantas aku berdampingan dengan Ustadz Arizal? “Sekalipun seorang pelacur yang bertobat, apa Allah akan senantiasa mengampuni umat-Nya?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. “Bu Ika, dulu sudah pernah saya bilang kalau Allah pasti mengampuni semua umat tanpa terkecuali. 152
Manusia itu tempatnya salah dan khilaf, kita juga tak luput dari godaan duniawi. Allah akan selalu ada di dekat umat-Nya.” “Ustadz, aku merasa nggak pantas berada di tengah-tengah orang-orang sholeh di sini. Aku bertemu ustadz di tempat razia Satpol PP dan aku merasa sangat hina.” Ujarku sambil menahan malu. Aku menyelami lagi perasaanku, aku mencoba mengenal lagi hatiku sendiri, apa benar aku mencintai Ustadz Arizal? Apa benar dia cinta pertamaku? Kalaupun iya, apa dia mau menerima keadaan kotorku? Aku ini mantan pelacur, janda, laki-laki mana yang mau menerima keadaanku? Aku melihat sorot mata Ustadz Arizal yang penuh dengan ketegaran, wajahnya menyiratkan ketegaran di antara cobaan. Wajahnya terlukis kesucian, bersih seperti air wudhu, sedangkan aku hanyalah manusia yang lebih kotor daripada jelaga. Apa pantas aku bersamanya? *** Aku mampir ke Mushalla pesantren sehabis mengajar. Kebetulan hari ini aku tidak mengajar di kelas Rafly, aku bebas dari tatapan matanya yang seolah ingin memilikiku dari ujung rambut hingga ujung kaki, nggak lagi-lagi deh ngincer berondong ganteng, nanti doyan PS atau game online lagi. Aku hanya bisa duduk di pinggir Mushalla karena aku sedang menstruasi, aku nggak boleh menginjak tempat suci. 153
Penatnya mengajar seolah tergantikan oleh sejuknya suara itu. Aku mulai tersentuh ketika melihat Ustadz Arizal sedang melantunkan adzan Ashar. Dia melafalkan lantunan adzan dengan merdu. Hatiku merasa tenang. Setiap lantunan adzan yang dia lafalkan meresap sampai ke relung jiwaku. Ini adalah panggilan sholat paling indah yang pernah aku dengarkan. Aku memerhatikannya, lama hingga ia menyadari. Dia menoleh, mengambil tongkat lalu memanggilku. “Siapa itu?” Tanyanya. Dia peka sekali, penglihatannya yang kurang malah membuat perasaanya kuat. Tuhan memang adil, di balik kekurangan pasti ada kelebihan. “Ika, mas ustadz.”jawabku. Dia terlalu muda untuk aku panggil “Pak.” “Oh, Bu Ika. Mau sholat?” Tanyanya. “Maaf, mas. Saya sedang berhalangan. Saya hanya beristirahat sebentar. Tapi saya nggak menginjak tempat suci, loh, mas.” Jawabku. Dalam hati aku menahan rasa grogi tatkala bertatapan dengan Ustadz Arizal. Ya Allah, kenapa Engkau menciptakan manusia seperti ini? Dalam balutan baju takwa biru muda dengan celana hitam itu dia tampak seperti pangeran tampan. Dude harlino aja kalah. Ada yang kurang dari Ustadz Arizal, sayapnya mana, ya? 154
“Oh, nggak apa-apa. Gimana Sofia? Sehat, kan?” Tanyanya. Wah, kenapa dia perhatian terus sama anakku ya? Apa jangan-jangan dia naksir ibunya? Secara aturan laki-laki mau mendekati single parent kan harus mendekati anaknya duluan. Aduh, jadi janda GR banget sih? “Alhamdulillah, dia sudah mulai makan banyak dan sakit kepalanya sudah berkurang.” Jawabku. “Alhamdulillah, senang rasanya mendengar putrimu baikan. Nanti kalau Sofia sudah benar-benar sehat, daftarkan saja dia ke madrasah ibtidaiyah, dia harus mendapat pendidikan yang baik. Tenang saja, ada potongan untuk pegawai pesantren. Anak Ibu harus menjadi orang yang pintar sekaligus bertakwa.” Ujarnya. Aku termangu, benar juga, jangan sampai Sofia terkena karma atas kelakuan ibunya. Untung saja uang hasil melacur nggak sepeserpun aku kasih ke Sofia, aku nggak akan membiarkan hasil uang haram mengalir dalam setiap tetesan darah di tubuhnya. Ustadz Arizal sekali lagi memberikan aku pecerahan. Dia bagaikan seorang malaikat dari Tuhan. Pantaskah seorang mantan pelacur mendampingi Ustadz? Ya Allah, jawab aku. *** “Mama, Ustadz Arizal mana?” Tanya anakku saat menjumpaiku di kamar. Aku baru datang dari Mushalla. 155
“Di Mushalla, sayang. Barusan mama ketemu.”ujarku lalu duduk di sebelahnya. Hanya aku dan Sofia di kamar ini, Chella sudah kembali ke Banjar tempo hari. “Kalau Kak Rafly?” Tanyanya lagi. Sorot mata bulatnya mengatakan kalau dia sangat penasaran. “Kayaknya ada di kelas soalnya seharian ini Mama nggak ketemu sama dia.” “Ma, aku mau Ustadz Arizal sama Kak Rafly yang jadi papaku.” Pintanya polos. Mataku terbelalak, ini anak kecil-kecil kemaruk, ya? Hehehe… Mirip Rayhan, bukan aku. “Papa kamu itu Rayhan, bukan Ustadz atau Rafly.” Sanggahku. “Papa Rayhan itu cuek, ma. Kalau Pak Ustadz sama Kak Rafly itu perhatian, suka kasih aku permen sama selalu tanyain keadaan aku. Kalau aku jadi mama, aku mau nikahin dua-duanya.” Ujarnya lagi. “Eh, sejak kapan kamu jadi centil gini? Orang itu hanya boleh punya satu pasangan. Harus pilih salah satu.” “Kalau begitu mama pilih siapa? Ustadz Arizal atau Kak Rafly?” tanyanya serius. Kedipan matanya menandakan keinginan yang besar. Ini ulah Rayhan, keturunannya bisa cerdas begini, kritis banget. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu. Tentu saja aku memilih Ustadz Arizal
156
tapi apa iya dia mau sama aku? Si janda bekas pelacur. Apa aku pantas untuknya? *** My Diary Dear diary, hari ini aku senang karena keadaan Sofia makin membaik. Dia menunjukkan kemajuan yang pesat dari hari ke hari. Tahu begini dari awal aku keliling mencari obat alternatif saja daripada aku harus bekerja pada mucikari yang jelas-jelas bikin aku dosa besar. Untung saja Allah maha besar, masih ada kesempatan untuk bertobat. Ngomong-ngomong soal tobat, aku jadi ingat sama Ustadz Arizal. Dia banyak memberi pencerahan bagi hidupku, karenanya aku jadi tahu kalau Allah nggak pernah tidur, Dia selalu memaafkan setiap umat. Biarpun begitu, aku merasa malu padanya, dia tahu kalau aku bekas PSK karena dia yang ngisi ceramah di kantor Satpol PP. itu yang bikin aku sungkan setiap ketemu dia padahal aku berharap kalau perasaan dia sama dengan perasaanku padanya. Diary, aku mencintainya. Semakin hari aku yakin kalau dialah Arizal cinta pertamaku. Eh, cinta terakhir ding! Soalnya cinta pertamaku tetap Rayhan. Ntahlah biarkan takdir yang menjawabnya. Siapapun jodohku kelak berharap dia yang terbaik untukku dan Sofia.
157
Lamaran Nekat Rafly
Rafly bikin ulah. Setelah upacara selesai dan murid-murid bubar Rafly tiba-tiba mengambil mikrofon lalu musik mengalun indah di telingaku. Aku hapal intro lagu dari Ungu, band kesukaanku. Ini kan lagu Kupinang Kau dengan Bismillah. Anak itu mau ngelamar siapa, sih? Pasti bukan aku soalnya santri di sini juga cantik-cantik. Aku dengerin lamat-lamat dari barisan khusus guru, suaranya bagus juga. Denger-denger sih, Rafly itu kerabatnya kepala sekolah, jadinya dia enak kalau mau pakai fasilitas sekolah. Tuhan memberikanku cinta Untuk ku persembahkan hanyalah padamu 158
Dia anugerahkanku kasih Hanya untuk berkasih berbagi denganmu Atas restu Allah ku ingin milikimu Ku berharap kau menjadi yang terakhir untukku Restu Allah ku mencintai dirimu Ku pinang kau dengan Bismillah Hampa terasa bila ku tanpamu Hidupku terasa mati jika ku tak bersamamu Hanya dirimu satu yang aku inginkan Ku bersumpah sampai mati hanyalah dirimu (hanyalah dirimu) Atas restu Allah ku ingin milikimu Ku berharap kau menjadi yang terakhir untukku Restu Allah ku mencintai dirimu Ku pinang kau dengan Bismillah Atas restu Allah ku ingin milikimu Ku berharap kau menjadi yang terakhir untukku Restu Allah ku mencintai dirimu Ku pinang kau dengan Bismillah “Lagu ini saya persembahkan untuk Ibu Dahliany Wiskasari atau Ibu Ika. Dia sudah merebut hati saya. ibu, kalau ibu berkenan, maukah Anda menikah de-ngan saya?” Ujarnya lantang. Mati gue! Ini anak apa-apaan sih? Dia sudah mempermalukan gue di hadapan seluruh penghuni pesantren. Aduh, di sebelahku ada Ustadz Arizal, dia hanya senyam-senyum mendengar pernyataan tadi. Masa dia nggak cemburu? Ayolah, ustadz cemburulah terus ustadz menghampiri Ra159
fly dan bilang “Langkahi dulu mayat saya kalau mau mendapatkan Ika.” STOP! Aku terlalu banyak nonton sinetron rupanya, ini kenyataan. Sekali lagi aku ditembak di depan umum sama berondong. Barangkali ada berondong lagi yang mau nembak aku melalui iklan di TV? Huft… *** “Bu Ika!” panggil gue. Aku sampai belabelain lari di koridor pesantren demi mengejar Ibu Ika. Dia nggak menjawab lamaranku. Aku nggak peduli sama penghuni pesantren lain yang penting aku bisa dapetin Ibu Ika. “Bu, saya serius tadi, kenapa ibu nggak kasih jawaban?” Tanya gue. Bu Ika berbalik menghadap gue lalu menatap mata gue dalam-dalam. “Rafly, kamu jangan terburu-buru. Kamu berani melamar sebelum tahu siapa saya sebenarnya. Saya juga punya anak di sini, dia sangat kritis, mau bilang apa kalau dia tahu semua ini?” “Tapi saya cinta sama Ibu, saya mau menikahi ibu.” Rajukku. “Berondong manis, aku ini sudah pengalaman, kamu nggak tahu apa-apa soal saya.” “Saya mau ta‟aruf dengan ibu, agar kita bisa saling mengenal.” Sahut gue mantap. ***
160
My Diary Huwaaaa… benar kan dugaanku bahwa si Rafly naksir ma aku. Lebih parah lagi dia hari ini melamarku di tempat umum. Sumpah, malu banget! Heran juga sih ma diriku sendiri kenapa ya pria yang melamarku itu pasti berondong? Apakah di dunia ini tak ada lagi pria dewasa yang mencintaiku? Hmmm… ngomongin Rafly, dia cakep juga lebih cakep dari Rayhan. Tapi tetap aja berondong. Aku tak ingin kejadian masa lalu yang pahit terulang lagi dalam hidupku. Cinta berondong itu biasa menggebugebu. Dan pernikahan yang didasari oleh rasa yang menggebu-gebu itu adalah pernikahan yang paling cepat berakhir. Aduh, lagi aku mengalami dilema cinta? Lamaran Rafly aku terima atau tolak ya? Kalau aku tolak ntar Rafly patah hati terus bunuh diri! Wah, bisa-bisa wajahku nongol di Koran, kali ini yang tertulis di Koran DAHLIA WISKASARI MENJADI PENYEBAB KEMATIAN PRIA BERUMUR 23 TAHUN YANG BERNAMA RAFLY. Nauuzubillah min dzalik, jangan sampai hal itu terjadi. Ya, Allah hamba mohon berikanlah petunjuk-Mu yang terbaik pada hamba-Mu yang cantik. Kalau memang Rafly memang jodoh terbaik untukku, Insya Allah aku akan menerimanya dengan hati yang lapang. Padahal di lubuk hati terdalam aku menginginkan Ustadz Arizal lah jodohku. Salahkah aku berharap demikian?
161
Eh, diary dah dulu ya curhatnya. Aku capek nulis.
162
Permintaan Sofia
“Saya tahu sama kamu, kamu itu adiknya Cindy, murid les privatku. Dia sendiri yang bilang kalau kamu pencinta sesama jenis.” Ujarku. Aku mengajaknya ke tempat sepi, agar tidak timbul fitnah, aku mengajak serta salah satu santriwati yang sudah aku percaya, namanya Ratmi. Aku percaya dia nggak akan membocorkan rahasiaku. “Ibu, semua orang pasti mengalami masa kelam dalam hidup saya juga pernahmengalami saat setiap hari saya melakukan hubungan badan dengan Jeni alias Jono. Saat terpuruk, pacar saya berkhianat, dia hanya mengincar harta saya. Lebih parah lagi ayahnya mengambil seluruh aset perusahaan ayah saya. Seketika 163
saya jatuh miskin, ayah meninggal karena serangan jantung, terus ibu saya strok. Saat itu saya bingung mencari uang kemana. Jeni pun hadir dalam hidup saya. Dia datang menolong. Dia memberikan rumah mewah, modal buat membangun perusahaan kembali, syaratnya hanya menemani hidupnya setiap hari. Awalnya saya nggak keberatan karena kecantikan Jeni. Tapi setelah tau dia banci, saya langsung muak. Saya terlanjur menandatangani kontrak perjanjian dengannya. Untung Tuhan membalikkan keadaan, mama sembuh, dan saya lepas dari jerat Jeni.” Ujar Rafly panjang lebar. Aku terhenyak, segitu menderitanya si Rafly? Aku nggak nyangka dibalik sikapnya yang nekat, dia menyimpan sebuah penderitaan berat. “Maaf, gara-gara ini masa lalu kamu jadi terbuka kembali.” Balasku sungkan. Rafly hanya tersenyum simpul. “Sejak bertemu dengan ibu, saya merasa terlahir kembali dan masa lalu itu nggak pernah ada. Ibu semangat baru saya.” ujarnya berapi-api. Aku jadi nggak tega. Kenapa kamu nggak suka sama cewek lain aja, Raf? Pasti bakalan ada yang mau sama kamu. “Setelah kamu tahu siapa saya, kamu nggak akan suka lagi dengan saya. saya ini janda…” “Janda juga berhak dicintai dan mencintai, ibu.” Potongnya. Aduh, hasratnya berapi-api. Dia masih sangat muda, kelakuannya persis seperti Rayhan sa164
at melamarku dulu. Agresif dan terkesan memaksa. “Ya, saya tahu tapi kamu sebaiknya mendengarkan perjalanan hidup seorang janda.” Kataku tegas. “Saya punya banyak waktu untuk mendengarkan, bu.” Ujarnya nggak kalah tegas. “Baik, saya tunggu di tepat ini setelah pelajaran hari ini selesai.” *** “Ika, bagaimana rasanya dilamar murid?” Tanya Ustadz Arizal. Di ruang guru dia memanggil namaku, kalau di lingkungan sekolah dia memanggilku mbak atau ibu untuk menjaga wibawa di depan santri. Kebetulan tempat dudukku dan Ustadz Arizal tidak terlalu jauh. “Aneh, dulu saya juga dilamar di depan umum sama mantan suami saya. Malah melalui iklan koran dan dia itu jauh lebih muda dari saya.” jawabku. “Wah, unik sekali. Saya mana berani seperti itu. Kelakuan anak-anak jaman sekarang memang kreatif.” Ujarnya. Ah, ini ustadz bikin galau. “Kalau ustadz sendiri bagaimana melamar perempuan?” Tanyaku iseng dan sedikit kepo. “Aduh, saya nggak tahu karena saya belum pernah melamar perempuan. Lagipula mana ada perempuan yang mau sama si buta dari Pondok Pesantren AlHaq ini.” Candanya.
165
Aku mau, ustadz! Aku mau! Jeritku dalam hati. “Alah, masa? ustadz kan cakep dan agamis, pasti banyak yang antri.” “Iya, antri jadi makmum di masjid.” Candanya lagi. “Nggaklah, kalau menurut saya melamar yang baik adalah bertamu ke rumah perempuan dengan orang tua kemudian mengutarakan maksud kedatangan saat bertamu itu bukan malah nyanyi-nyanyi di depan banyak orang kayak tadi.” Dari perkataannya, ustadz nggak setuju dengan cara Rafly melamarku. Kalau aku menolak lamaran Rafly, apa Ustadz Arizal mau melamarku? *** Gue digantung, Ibu Ika nggak jawab lamaran gue, teman-teman satu kelas juga meledek gue habis-habisan. Gue sebenarnya nggak peduli yang penting ibu Ika bisa memberikan aku jawaban pasti atas lamaran gue. “Kak Rafly!” panggil seorang anak kecil. OMG! Baru aja gue memikirkan Ika eh, sekarang malah anaknya yang muncul. Gue mencari-cari sosok Ibu Ika tapi tak kelihatan juga. Berarti Sofia ke sini sendirian? Ada apa? Dia mencari ibunya? “Sofia, ada apa?” Ujarku sambil membelai rambut hitamnya. 166
“Kak, tadi aku dengar kakak melamar mamaku ya?” Tanyanya. “Iya, sayang.” “Melamar itu apa, kak?” Tanyanya polos. Benar kata Ibu Ika, anaknya sangat cerdas. “Melamar itu meminta seseorang untuk menikah.” Jawab gue. “Tuh kan, mama itu gimana, sih? Kemarin aku nyuruh mama buat memilih antara Kak Rafly sama Ustadz Arizal soalnya aku pengen dua-duanya jadi papa aku tapi kata mama nggak boleh menikah sama dua orang.” Ujarnya polos. Gue terhenyak sebentar. Kenapa harus Ustadz Arizal? “Kenapa ada Ustadz Arizal, sayang?” Tanya gue penasaran. “Aku gini-gini lancar baca, kak. Mama taruh buku diarynya sembarangan, aku baca kalau mama suka sama Ustadz Arizal. Katanya mama cinta sama Ustadz Arizal tapi mama malu soalnya dia bekas pelacur. Aku nggak mengerti pelacur itu apa, intinya mama suka sama ustadz tapi aku yang suka sama Kak Rafly soalnya kakak orang pertama yang senyum sama aku sesampainya aku di sini.” Ujarnya apa-adanya. Kepala gue sakit menerima kenyataan yang terlontar dari mulut manis Sofia. Pantas saja Bu Ika bilang kalau gue belum tahu siapa dia sebenarnya, ternyata begini ceritanya. “Kakak, aku nggak baca semuanya soalnya takut ketahuan mama. Tapi tapi, pelacur itu apa, kak?”
167
“Pelacur itu…” Aku nggak tega menjawab, aku langsung bersimpuh dan memeluk Sofia seerat mungkin.
***
168
Cinta Tak Harus Memiliki
Rafly niat nggak, sih? Sampai sore aku tungguin di tempat tadi kenapa nggak datang? Aku mau nyuapin Sofia sama buatkan dia jamu. Aduh, ini berondong ke mana sih? “Ustadz Arizal, tahu Rafly di mana?” alamak, aku lupa kalau Ustadz Arizal nggak bisa melihat. Ngapain aku tanya sama dia? tapi cuma ada dia yang lewat, lainnya sudah kembali ke pondok. “Dari suaranya tadi di taman.” Jawabnya. “Terima kasih, saya segera ke sana.” Bego, kenapa sekarang jadi gue yang nyari-nyari Rafly? Tapi kenapa perasaan berkata kalau gue harus menemui dia? 169
“Kakak! Makannya mana?” pekik seorang anak kecil. Aku mengenal suara itu, suara Sofia. “Ini pesawatnya mau mendarat, bandaranya buka dulu!” Balas seorang cowok. Hah? Anakku disuapin sama Rafly? Aku ng-gak percaya saat Sofia tampak sangat bahagia di pelukan Rafly. “Sofia? Rafly?” Ujarku. Sofia terkesiap, dia sembunyi di balik kaki Rafly. “Bu Ika, maaf saya lancang ajak Sofia main.” Ujar Rafly. Dia tampak seperti bapak sedang menyuapi anaknya. Dia berdiri sambil memegang piring. “Nggak apa-apa. Tadi kenapa kamu nggak datang?” tanyaku. “Saya sudah tahu semuanya, bu.” Kata Rafly tegas. “Tahu? Tahu apa?” *** Bencana itu saat Sofia tahu kalau aku ini mantan pelacur, semua ini salahku yang teledor meletakkan diary. Memang sekarang dia nggak tahu artinya pelacur tapi kalau dia tumbuh besar kemudian dia mengerti gimana? Kenapa semuanya serumit ini? Aku jadi nggak mood nulis diary, anakku kritis pemikirannya, kalau dibaca lagi gimana?
170
Ringtone HP-ku berdering nyaring, dari Rafly. Mau apa lagi dia? “Halo.” “Malam, bu. Maaf mengganggu karena memang aturannya santriwan tidak boleh ke pondok santriwati jadi saya menelepon saja agar galau saya sedikit berkurang.” Kata Rafly. Aku menghela nafas. Hati dan otakku lelah dengan semua ini. “Iya ada apa?” “Bu, maafkan saya, karena ulah nekat saya, semua jadi rumit.” “Maaf nggak ada gunanya, sekarang yang penting bagaimana saya harus menjelaskan pada Sofia tentang masa lalu saya yang kelam.” Aku berbicara dengan tegas agar Rafly mengerti betapa kerasnya hidupku ini. “Saya janji, saya akan membantu menjelaskan ini kepada Sofia, bu. Saya sudah bisa mengambil hatinya. Dia seharusnya tahu agar tidak terjadi salah paham. Saya yakin Ibu orang baik dan terhormat, pasti ada alasan mengapa ibu melakukan ini semua.” “Sok tahu.” Cibirku. “Terserah ibu, saya yakin dengan perasaan saya ini dan satu lagi.” Rafly berdeham. “Cinta tak harus memiliki, kalau jodoh nantinya kita akan bertemu lagi.” tutupnya cepat. Aku hanya bisa menghela nafas berat. *** Penolakan itu membuat gue patah hati sekaligus belajar bahwa cinta tak harus memiliki. 171
Gue juga mendapat pelajaran hidup bahwa manusia pasti memiliki masa kelam dalam hidupnya. Pasca penolakan tidak langsung itu ternyata nggak ada yang berubah, Ibu Ika tetap baik kepadaku, dia juga sering curhat tentang Ustadz Arizal, awalnya cemburu tapi kalau orang yang dicintai bahagia, kita harus ikut bahagia, kan? Sofia juga makin dekat sama gue dan pada saat yang tepat gue akan membantu Ibu Ika untuk menjelaskan tentang pelacur itu. Bu Ika sudah cerita semuanya, ternyata dia ditipu oleh cewek yang menawari dia pekerjaan saat ia butuh uang untuk pengobatan Sofia. Razia Satpol PP yang mempertemukannya dengan Ustadz Arizal kemudian dia ditawari untuk menjadi seorang guru sekaligus mengobati Sofia di pesantren ini. Bu Ika itu bukan janda biasa, dia janda tegar. Salut sama dia. Cinta memang tidak bisa dihapus dengan mudah tapi seiring berjalannya waktu pasti ada perubahan lagipula kalau jodoh pasti bertemu. *** “Halo Kakak Rafly!” Sapa adik gue si Cindy di telepon. Gue kangen banget sama dia, lama banget nggak telepon soalnya. Untung dia yang telepon duluan jadi gue nggak perlu repot-repot isi pulsa buat nelepon dia. “Halo, kenapa lu lama nggak telepon? Abang, kangen tau!” 172
“Kirain elunya sibuk, bang sampai nggak telepon berbulan-bulan?” “Nggak juga, palingan sibuk ngaji, belajar, gitu-gitu aja.” “Lu dapat cewek nggak? Apa masih suka cowok?” sialan adik gue, dia tetap usil. “Dapat, dong! Meskipun ditolak tapi asal lu tahu aja gue normal.” “Iya-iya, Vaness Wu yang ganteng. Terus, ceritain soal cewek apes itu,” “Lu kenal kok, dia Ika, guru privat lu dulu. Gue nggak pernah tahu muka sama dia, eh, ketemunya di pesantren.” “Hah, ceritain kakaaaaakkkkk...” Teriaknya di kuping gue. Aduh, kenapa gue punya adik yang mulutnya nelen mikrofon gini? Keras banget ngomongnya. *** My Diary Dear diary, kali ini aku harus menyimpan kamu di tempat yang sangat tersembunyi karena anakku udah mulai pintar bongkar-bongkar barangku. Dia juga lancar banget membaca dan berpikir cepat. Begini nih, keturunan Rahyan. Nanti kalau besar, Sofia pasti akselerasi, mudah-mudahan labilnya nggak kayak papanya juga. Sofia baca buku harian ini, untung nggak semuanya, dia jadi tahu kalau aku kesengsem sama Ustadz Arizal, untung aja bibir manisnya nggak ember kalau ketemu Ustadz Arizal. Dan akhirnya, aku menolak 173
Rafly secara tidak langsung karena Sofia membocorkan ke Rafly kalau aku suka sama Ustadz Arizal. Diapun mundur teratur tapi ia aku anggap seperti adikku sendiri. Untuk perasaanku sama Ustadz Arizal, aku akan menjalaninya seperti air yang mengalir. Aku sedikit mengutip perkataan Rafly “Cinta tak harus memiliki, kalau jodoh nantinya kita akan bertemu lagi.” Udah dulu ya diary... sampai ketemu… Muach
174
Kembalinya Rayhan Dalam Hidupku
Satu Tahun kemudian Kini Sofia sudah sembuh total dari penyakit kankernya. Pengobatan alternatif yang diterapkan oleh Pondok Pesantren Al-Haq benar-benar manjur. Bersyukur Allah mempertemukanku dengan Ustadz Arizal. Pertemuan dengannya membawa kesembuhan untuk Sofia tapi juga membawa bencana untuk hatiku. Ya, aku jatuh cinta dengan Ustadz Arizal. Kebanyakan wanita jika mencintai pasangannya karena kelebihannya. Tapi aku mencintai dia karena kekurangannya. Kekurangan itu yang 175
menjadikan dirinya berbeda dari pria mana pun di dunia ini. Dia seorang pria yang tegar, tabah menghadapi cobaan dan selalu mensyukuri nikmat Tuhan. Ingin sekali aku menjadi bagian dalam hidupnya. Menutupi kekurangannya dengan kelebihanku. Tapi aku sadar diri siapa aku dan siapa dirinya. Jika aku disuruh memilih antara kebahagiaannya atau kebahagiaanku sendiri maka aku akan memilih kebahagiaannya. Itulah yang membuatku selalu mengurungkan niat untuk menyatakan cinta padanya. Kebahagiaannya bukanlah bersama diriku tapi bersama wanita yang jauh lebih baik dariku. Maka dari itu begitu Sofia sembuh total, aku memutuskan kembali ke tanah kelahiran di Martapura. Tak bisa kupungkiri semakin lama berada di dekat Ustadz Arizal, aku semakin mencintainya. Awal-awal memang berat berpisah dengan Ustadz Arizal. Tapi aku yakin kepergianku perlahanlahan bisa menghapus rasa cinta ini padanya. Kumencintaimu lebih dari apapun Meskipun tiada satu orang pun yang tahu Lagu Kekasih Gelapku milik Ungu mengalun indah di HP-ku. Ya, lagu itu yang membuyarkan seluruh lamunanku. Meskipun aku pelupa tapi aku masih ingat lagu itu merupakan ringtone untuk panggilan masuk. Dengan mata sembab aku melihat ke arah HP-ku masih berkedip dengan 176
nada dering yang berbunyi nyaring, seolah tak menyerah sebelum aku mengangkatnya. Aku meraih HP. Nama „Rayhan‟ tertera di layar HP. Seketika membuat jantungku berdenyut, dan hatiku menjadi perih. Kupegang HP itu tanpa niat untuk mengangkat telepon dari Rayhan. Lama HP itu berdering, seolah-olah Rayhan tidak mau menyerah di seberang sana. Sampai kemudian deringan mati dengan sendirinya. Aku bernafas lega. Tapi baru lima menit HP kembali berdering dengan nyaring. Kali ini „Unknown Number‟ yang tertera di layar HP. Ih, siapa sih yang nelpon memakai nomor privasi segala? Rasa penasaran pun menyelimuti hatiku. Cepat-cepat kutekan tombol answer. Siapa tahu telepon kali ini penting! “Halo,” ucapku ramah. “Halo juga Ika, apa kabarmu?” balasnya di seberang. Deg! Aku sungguh mengenali suara seseorang di seberang telepon. Rasa perih pun menyeruak di hatiku. Orang yang menelponku tak lain dan tak bukan adalah Rayhan, mantan suamiku. Rayhan dari dulu nggak pernah berubah, kalau menginginkan sesuatu pasti dia berusaha untuk mendapatkannya sampai titik darah penghabisan. Dan salah satu usahanya agar aku mau mengangkat telepon darinya adalah dia memakai nomor
177
privasi. Mau apa lagi dia menelponku? Belum puaskah dirinya menyakiti aku? “Halo Ika kamu masih ada di sana kan?” tanyanya. Lamunanku buyar. “Iya, ngapain lagi sih kamu menelponku?” tanyaku balik tapi dengan nada ketus. Biar dia sadar aku tak suka diteleponnya. “Ika, bisakah kamu menemuiku di Kafe Cinta? Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Ini sangat penting!” Hah? Aku salah dengar? Dia mengajakku ketemuan di sebuah kafe. Ini hal yang langka. Selama tujuh tahun berpisah dia tak pernah menemuiku dan Sofia. Jangankan menemui kami, menghubungiku sekadar menanyakan kabar Sofia aja nggak pernah. Aduh, aku dilema nih. Aku terima ajakannya atau nggak ya? Tapi biar bagaimanapun Rayhan adalah ayah biologisnya Sofia Kamila, puteri kesayanganku. Mungkin dia mengajakku ketemuan karena dia merindukan Sofia. Lagipula aku tahu betul sifat Rayhan, dia lelaki yang gigih dan tidak akan menyerah sebelum aku menemuinya. Maka akhirnya aku yang menyerah dan memutuskan menerima ajakannya. “Oke, jam empat sore ya?” jawabku singkat. Setelah itu aku langsung memutuskan telepon. *** 178
Aku tiba di kafe sekitar pukul 16.00. Begitu masuk ke kafe aku telah melihat seorang pria mengenakan jas hitam, dan berdasi telah stand by di meja nomor 4. Penampilan pria itu membuatnya terlihat jauh lebih manis dan dewasa. Tak salah lagi pria itu orang yang aku cari di tempat ini. Siapa lagi kalau bukan Rayhan? Meskipun aku sudah tujuh tahun tak bertemu dengannya tapi masih kuingat betul wajahnya. Kalau dilihat dari penampilan Rayhan, dia pasti sekarang sudah sukses jadi direktur di sebuah perusahaan besar. Tetap saja penampilan Rayhan yang sekarang takkan bisa membuatku tertarik lagi padanya. Hatiku telah dipenuhi dengan nama seorang pria dan itu bukan nama Rayhan. Bayangan kelakuan Rayhan tujuh tahun silam melintas di benakku, itulah yang membuat aku illfeel kalau berhadapan dengannya. “Ika, aku di sini!” ujar Rayhan berteriak memanggil namaku. Ia melambaikan tangan, sebagai tanda ia duduk di meja nomor 4. Mau tak mau aku harus menghampirinya. Begitu tiba di depannya. Yang ada Rayhan malah bengong kayak sapi ompong. Mungkin dia terpesona dengan penampilanku yang baru. “Assalamualaikum Ray. Ray, aku nggak punya banyak waktu jadi langsung saja bilang tujuan kamu mengajakku ketemuan di tempat ini?” tanyaku dengan nada ketus. 179
“Ika, duduklah terlebih dahulu! Nggak enak bicara sambil berdiri,” jawabnya. Tak ada pilihan lain selain menuruti permintaannya Lagian aku juga sudah capek berdiri terus. Aku duduk di kursi yang ada di depan Rayhan. Begitu aku duduk Rayhan langsung mengutarakan tujuannya mengajakku ketemuan di tempat ini. Tujuannya membuatku kaget, secara dia memintaku rujuk dengannya. Jelas saja aku langsung menolak permintaannya. Halo, selama tujuh tahun ini dia nggak pernah menunjukkan batang hidungnya dalam hidupku masa sekarang dia muncul lagi dan mengajakku untuk rujuk. Nggak segampang itu kali! “Ika, please kembalilah ke pelukanku! Kasih aku kesempatan sekali lagi, aku janji takkan menyianyiakan kamu lagi,” ujar Rayhan sambil berlutut. Aku diam seribu bahasa, bingung mau jawab apa. Tiba-tiba Rayhan berdiri, lalu memelukku dari belakang. Ya Tuhan, pelukan Rayhan masih hangat seperti yang dulu. Tapi kenapa saat ini getaran-getaran cinta itu tak ada lagi? Apakah itu artinya aku telah mati rasa pada Rayhan. Mendadak aku teringat ceramah Ustadz Arizal, beliau mengatakan “Seseorang yang sudah lama bercerai itu bukan muhrimnya lagi. Haram hukumnya jika berpelukan, pelukan termasuk zinah juga,” seketika aku langsung beristighfar tiga kali. Perlahan aku melepaskan diri dari pelukan Rayhan. 180
“Ika, kok gitu sih? Kamu nggak kangen sama pelukanku? Aku kangen banget sama pelukanmu dan bibirmu yang manis,” ujarnya dengan nada manja. “Maaf Ray, sekarang kita bukan muhrim lagi. Haram hukumnya jika berpelukan,” jawabku sekenanya. “Maaf, aku nggak tahu kalau kamu berubah jadi wanita solehah. Tapi aku tetap cinta kok. Ika, tolong jawab pertanyaanku, kamu mau kan kembali ke pelukanku?” Tanya Rayhan lagi. “Maaf Ray, aku nggak bisa.” Ucapku lirih. “Kenapa? Kamu nggak ingin anak kita bahagia? Kebahagiaan seorang anak memiliki orang tua lengkap.” Aku terdiam mendengar ucapan Rayhan. Perkataan Rayhan ada benarnya juga. Kebahagiaan anak memiliki orang tua yang lengkap. Haruskah aku mengorbankan perasaan demi kebahagiaan Sofia? Ya, Allah mengapa Rayhan hadir kembali setelah aku mencintai pria lain? Apakah ini merupakan rencana Allah agar aku bisa melupakan cintaku yang bertepuk sebelah tangan? Jika memang Rayhan satu-satunya jalan agar aku bisa melupakan cinta yang bertepuk sebelah tangan berarti aku harus menerima ajakannya untuk bersatu lagi. Tapi bagaimana dengan hatiku? Hatiku diibaratkan seperti gelas. Jika gelas sudah hancur berkeping-keping maka gelas tersebut tak bisa lagi dipakai untuk minum. Rayhan sudah terlanjur membuat hatiku hancur lebur. Maka dari itu hati ini tak bisa mencintainya lagi. 181
Mata Untuk Ustadz
Gue nggak tahan lagi sama rasa sakit ini. Semua anggota tubuhnya terasa nyeri menghujam dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gue hanya bisa menyembunyikan semua rasa sakit ini tanpa ada seorangpun tahu. Semua teman-teman gue hanya tahu kalau gue ini sedang sakit flu yang tak kunjung sembuh. Gue sampai menyewa kamar khusus dengan alasan agar teman-teman lain tidak tertular penyakit ini. Jenny. Dialah penyebab utama penyakit laknat ini merasuki tubuh gue. Gue yakin dia telah melakukan maksiat dengan banyak orang sebelum 182
gue dan akhirnya gue juga kecipratan efek dari perbuatan jahanam yang dia lakukan. Satu tendangan menghujam di perut, gue ingin mengeluarkan segala isinya segera. Ya Allah, sudah berapa kali untuk hari ini hamba-Mu ke kamar kecil? Saking lelahnya berdiri duduk, gue pengen tinggal di kloset aja biar nggak repot kalau mau buang hajat. Teman-teman menyuruh gue untuk segera ke dokter tapi gue nggak mau. Gue enggan mengetahui penyakit apa yang bersemayam di tubuh gue sekarang. Lebih tepatnya gue takut kalau nantinya kekhawatiran gue terbukti. Percikan air wudhu begitu menyegarkan jiwa gue yang kering, membasahi tubuh gue yang haus akan kesejukan. Panas. Semua rasanya seperti terbakar. Sakitnya luar biasa saat menelan makanan, lidah gue pahit kayak menghisap jamu, pantas saja tubuhku jadi kurus kering begini, makan aja susah. Gue pun bercermin. Gue nggak melihat kegantengan itu lagi di refleksi wajah basah itu, wajah cakep ala Vaness Wu yang dielu-elukan cewek tiba-tiba menguap. Laki-laki yang berdiri di depan gue hanya pria dengan kulit melekat di tubuh membungkus tulang belulang, mataku cekung, bibir pucat, dan kulit yang keriput. Astagfirullah, harusnya gue sholat daripada mengeluh seperti ini. Biar Tuhan yang jadi saksi penderitaan 183
gue ini. Cobaan penyakit hanyalah ujian, Allah sayang sama gue. Gue bergegas untuk melafalkan niat sholat dengan khusyuk. Gue sengaja memilih untuk sholat di kamar saja agar tidak mengganggu jemaah lain di masjid. Mereka pasti takut ketularan penyakit flu parah gue ini. Mata gue tertumbuk pada diary merah jambu yang tergeletak di kasur. Milik Ibu Ika. Ah, pantaskah gue mencintainya dengan keadaan seperti ini? Lagipula dia mencintai Ustadz Arizal. Semuanya tertera dalam buku itu, gue sudah membacanya semalam. Dan, gue harus memberikannya, ini amanah. Setidaknya sebelum semuanya terlambat. *** Wajah gue tertutup masker hijau untuk menutup bibir dan hidung gue demi mencegah virus menyebar ke seluruh penghuni pesantren. Gue mau nggak mau harus mengikuti pelajaran untuk mengejar ketinggalan karena sakit kemarin. “Raf, lu sakit apa sih?” tanya Robi, teman sebangku gue. “Flu doang, kok.” Badan gue agak menjauh darinya agar dia nggak tertular. Sistem imun tubuh gue lagi kacau balau. Penyakit silih berganti menembus dinding 184
kekebalan tubuh gue, kalau sampai menular, bisabisa sakit flu ini menyebar seperti mata rantai. “Tapi wajah lu kok kayak ada ruam-ruam merah dan luka gitu, sih?” “Masa sih? Gue nggak liat tadi di cermin,” tukas gue. “Iya, itu di pelipis,” tunjuknya. Hhh… penyakit apa lagi ini, keluh gue dalam hati. “Lu sebenarnya kenapa, Raf?” tanya Robi seraya menepuk punggung gue. “Sakit.” Akupun bergegas keluar kelas menuju toilet pria untuk melihat perubahan wajah gue. Astagfirullah, apa lagi ini? Ya Allah, kalau memang ini jalan malaikat-Mu mengambilku, tolong segera cabut nyawa ini. *** “Kamu kenapa, Raf?” tanya Ustadz Arizal. Gue menemuinya di masjid saat beliau sedang i‟tikaf dan berdzikir. “Andai ustadz bisa melihat keadaan saya sekarang,” keluh gue. “Saya masih punya mata hati,” ujarnya penuh rasa syukur. Gue melihat wajah ustadz, subhanallah, kesempurnaan garis mukanya begitu memikat hati siapapun wanita yang melihatnya. Sayang, keindahan itu harus tertutupi dengan kekurangan. Seke185
lebat pikiran hadir dalam benakku tatkala memandangi wajah rupawannya. Apabila ajal menjemput, gue akan mendonorkan mata gue padanya agar ustadz bisa melihat dunia. Biarlah, kalaupun gue harus memberikan warisan sesuatu, gue akan mewariskan mata kepada Ustadz Arizal. Dan, agar beliau bisa melihat kecantikan Ibu Ika. *** Perjalanan hidup gue dari bayi sampai hari ini terekam jelas dihadapanku bagaikan sebuah film berjudul “Hidup Rafly”. Telingaku bisa mendengar tangisan dari mama, adik, dan temanteman tapi tubuh gue terasa kaku dan sakit sekali. Pak ustadz pernah berkata kalau ruh kita diambil dari kaki dan rasanya sangat nyeri kalau kita tidak meninggal dengan khusnul khotimah. Gue pasrah, gue emang banyak dosa. Ya Allah, di detik-detik akhir hidupku ini sempatkanlah hamba-Mu bertobat. Astagfirullah, ujar gue berkali-kali di dalam hati. Semoga masih ada waktu untuk bertobat. Semoga amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat bisa menyelamatkan gue dari siksa kubur. Secercah cahaya menghampiriku, inikah wujud malaikat? Waktu gue sudah berakhirkah? Gue merasa terbang ke atas dan bisa melihat jasad gue tergolek lemah di kasur rumah sakit diiringi tangisan keluarga dan teman-teman. Biarlah ia di186
kubur tanpa mata karena mata gue ada di Ustadz Arizal sementara gue akan mengikuti langkah malaikat ini menuju hidup yang sebenarnya.
187
Epilog
Setelah bertemu dengan Rayhan di Kafe Cinta, aku langsung pulang ke rumah. Soalnya tadi aku janji dengan Sofia sebentar saja. Untung jarak Kafe Cinta dan rumahku sangat dekat. Hanya memerlukan waktu lima menit. Dan kini aku telah berada di depan pintu rumah. “Sofia, mama pulang!” teriakku. Namun tak ada jawaban dari dalam. Aku bingung sendiri biasanya kan begitu aku pulang kerja atau dari mana pun dia langsung menyahut dan memelukku erat. Wah, jangan-jangan penyakit Sofia kumat, terus dia pingsan di kamar atau toilet? Berbagai pikiran buruk melintas di otakku. 188
Untuk menemukan jawabannya cepat-cepat aku membuka pintu. Begitu pintu berhasil dibuka aku berlari menuju kamar. Benar dugaanku Sofia ada di kamar. Pantas saja dia tidak menjawab panggilanku tadi ternyata dia lagi salat. Alhamdulillah, dia tidak kenapa-kenapa. “Ya, Allah. Sofia ingin sekali memiliki keluarga yang lengkap. Ada mama dan papa, seperti keluarga Sofia yang lain. Jika Allah tidak mengijinkan papa dan mama bersatu kembali, Sofia ingin Allah mengirimkan papa baru seperti Ustadz Arizal atau Kak Rafly juga boleh. Sofia rela kok sakit kanker lagi dan diberi umur pendek. Tapi Sofia mohon Allah memberikan kebahagiaan sebelum mencabut nyawa Sofia. Dan kebahagiaan Sofia adalah mempunyai keluarga yang lengkap,” ujar Sofia setelah mengucapkan salam. Aku tak percaya apa yang diucapkan Sofia dalam doanya. Jadi selama ini Sofia menginginkan keluarga yang lengkap? Pantas saja selama di pesantren Sofia begitu ingin aku menikah dengan Ustadz Arizal atau Rafly. Ahh… betapa egoisnya aku selama ini yang tak pernah tahu keinginan anak sendiri. Aku menjauh dari kamar menuju dapur. Aku tak ingin Sofia menyadari kehadiranku. Dan tiba-tiba saja mataku berubah merebak merah. Kantung mataku siap menumpahkan rinai yang
189
tertahan dari tadi. Kalau di dapur kan aku bisa menangis sejadi-jadinya. Mendadak teringat Rayhan, beberapa jam yang lalu dia mengajak rujuk. Dan sekarang aku mendengar doa Sofia yang paling tulus. Apakah semua ini rencana Allah untuk mempersatukanku kembali dengan Rayhan? Jujur aku trauma hidup bersamanya. Aku takut kejadian masa lalu terulang lagi. Tapi kembali dengan Rayhan merupakan kebahagiaan Sofia, aku rela melakukannya walau mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Drrttt...! Drrttt...! Tiba-tiba HP-ku bergetar mengagetkanku. Perlahan kuambil ponsel itu dari tas yang bertengger di bahuku. Lalu kuambil HP berwarna biru metalik itu. Saat kubaca si penelepon, alisku berkerut. Rayhan panjang umur, baru saja aku mau SMS dia eh dia sudah nelepon duluan. Langsung saja ku klik tombol answer. “Assalamualaikum, Ray.” Sapaku. Sejak aku pulang dari pesantrenku selalu mengucapkan Assalamualikum bila bertemu dengan orang dan mengangkat telepon. “Waalaikumsalam, Ika kamu kenapa? Dari suaramu kayaknya kamu habis menangis. Anak kita si Sofia baik-baik aja kan?” tanyanya bertubi-tubi. Ingin sekali aku menjawabnya dengan kata, “Rayhan kok jadi perhatian gini sih? Kenapa baru sekarang perhatiannya? Sofia sakit kamu nggak pernah
190
nanyain.” Tapi urung kuucapkan. Takut masalah jadi runyam. “Halo, masih ada orang di sana? Ditanya kok diem?” “Eh, nggak apa kok. By the way, ada apa nih nelpon?” tanyaku balik. “Aku cuma ingin bilang jangan lama-lama memberi jawaban atas ajakanku di Kafe Cinta. Aku sudah kangen banget, ingin segera memelukmu dan mencium bibirmu yang manis. Kan katamu tadi kita sekarang bukan muhrim jadi kalau mau memeluk dan menciummu kita harus menikah lagi,” jawab Rayhan. “Kamu tenang aja aku sudah menyiapkan jawaban atas ajakanmu.” “Apa jawabannya?” “Kalau kamu mau tahu jawabannya datanglah ke rumahku nanti malam sehabis Isya.” “Dengan senang hati. Aku juga sudah kangen banget sama Sofia, tungguin aku ya?” *** “Assalamualaikum,” sapa seorang pria di luar tamu. Dari suaranya aku tahu siapa yang datang. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Jarum jam baru menjukkan pukul setengah delapan waktu Indonesia tengah. Cepat banget Rayhan datang ke sini? Emang sih dari dulu Rayhan kalau berjanji nggak pernah datang telat. Tapi kalau kecepatan salah juga. Salahnya itu karena dia datang sebelum roti bo191
luku matang. Entah mengapa aku pengen banget bikin kue bolu buat Rayhan. Mungkin sekarang aku juga merindukannya. Tapi rinduku tertutupi oleh ego dan rasa trauma di masa lalu. “Assalamualaikum,” Rayhan mengulang sapaannya. “Ma, ada tamu mengucapkan salam kok nggak dijawab? Ustadz Arizal pernah bilang menjawab salam itu hukumnya wajib,” ujar Sofia yang sedari tadi berada di sampingku. Aku langsung beristigfar, saking sibuknya pikiran sendiri sampai lupa menjawab salam. “Waalaikumsalam!” teriakku dari dapur. “Ma, siapa sih tamunya? Papa Rayhan ya?” Tanya Sofia polos. Aku salut kepekaan Sofia tajam juga, nggak kalah dengan kepekaan Ustadz Arizal. Secara terakhir kali Rayhan melihat Sofia pada saat melahirkannya. Jadi logikanya Sofia mana pernah tahu suara papanya seperti apa. Tapi kini Sofia bisa menebak Rayhan lah yang datang. “Iya, yang datang Papa Rayhan,” jawabku sekenanya. Senyum Sofia merekah seperti anak yang baru dikasih hadiah ulang tahun. Sofia pun berlari menuju ke ruang tamu. Ah…, betapa inginnya aku menyusul Sofia tapi sayang kue boluku belum matang. Kalau ditinggal nanti gosong. Aku membiarkan Sofia mengobrol dengan Rayhan terlebih dahulu. Kalau kue bolunya sudah matang baru deh aku menemui mereka di ruang tamu. 192
Sepuluh menit kemudian kue bolu bikinanku matang juga. Langkah pertama yang aku lakukan adalah mematikan kompor, lalu mengangkat kue dari kompor. Waw, kuenya panas banget tapi untungnya aku sudah memakai sarung tangan. Langkah terakhir yang aku lakukan ya, membawa kue ini ke ruang tamu. “Mama akhirnya keluar juga,” ujar Sofia begitu aku sampai di ruang tamu. Sofia memintaku duduk di samping Rayhan. Tapi aku hanya tersenyum dan duduk jauh dari Rayhan. “Ma, kok duduknya jauh banget? Kenapa nggak di samping papa aja?” “Sayang, kan mama dan papa sudah bukan muhrimnya lagi. Kata Ustadz Arizal, seorang wanita tidak boleh terlalu dekat dengan pria yang bukan muhrimnya.” Aku menerangkan pada Sofia. Padahal aslinya aku malas duduk di samping Rayhan. Sofia manggut-manggut dan tampak sedang berpikir. “Oh, berarti mama harus cepat menentukan tanggal pernikahan sama papa. Biar mama dan papa bisa dekat tiap hari, dan Sofia punya keluarga yang lengkap,” celetuk Sofia polos. Aku melotot ke arah Rayhan, seolah menuntut pertanyaan “Kamu tadi ngomong apa sih ke Sofia?” Tapi yang dipelototin malah cekikikan nggak jelas. Mungkin dia bangga karena anaknya pintar ngomong.
193
“Sof, tadi waktu mama lagi di dapur Papa Rayhan ngomong apa aja ke kamu?” Tanyaku. Sofia jauh lebih jujur daripada Rayhan. “Tadi kata Papa Rayhan, kedatangan papa ke sini ingin menentukan tanggal pernikahan sama mama soalnya mama sudah nggak sabar ingin kembali jadi istri papa.” Wajahku berubah jadi merah padam. Sumpah, Rayhan benar-benar menyebalkan. Bisabisanya dia bohong pada Sofia. Aku kan nggak bicara seperti itu. Pengen banget aku menjitak Rayhan, tapi sayang aku masih belum muhrimnya. Awas aja entar kalau aku sudah sah jadi istrinya dia akan kuhajar sampai teler. Rayhan merogoh saku jasnya. Beberapa detik kemudian tangannya telah mengeluarkan kotak berwarna merah dan bentuk hati. Ia membuka kotak itu. Dan ternyata… Oh No! Isi kotak itu adalah cincin pernikahanku dengannya tujuh tahun silam. “Ika, kamu masih ingat ingat kan dengan cincin ini? Ya, ini adalah cincin pernikahan kita. Cincin ini hanya ingin melekat di jari manismu. Will you marry me?” ucap Rayhan disertai dengan senyum manisnya. Andalan Rayhan dari dulu untuk merayu cewek adalah menggunakan senyum manisnya. Senyumnya itu bikin hati cewek meleleh dan nggak bisa menolak permintaannya.
194
“Ya, cepat dong jawab pertanyaan papa! Kasian kan papa jamuran nunggu jawaban mama,” celetuk Sofia. Aku mengangguk. Tujuanku mengundang Rayhan datang ke sini kan karena aku telah bersedia menikah lagi dengannya. Detik ini juga senyum Rayhan mengembang. Di matanya juga terpancar kebahagiaan. Rayhan ingin memelukku tapi kularang karena kita belum muhrim. Ia dapat mengerti dan bisa menerimanya. Sofia juga tampak sangat bahagia aku menerima lamaran papanya lagi. Betapa bahagianya hatiku melihat Sofia bahagia. “Assalamualaikum,” aku menoleh ke sumber suara. Deg! Jantungku serasa mau copot. Telah berdiri tegak malaikat tak bersayap tapi tampan rupawan. Siapa lagi kalau bukan Ustadz Arizal? Aduh ngapain sih dia datang ke sini? Dari mana dia tahu alamat rumahku? Aku pergi dari hidupnya kan untuk melupakan dia. Kenapa dia sekarang muncul lagi dalam hidupku? “Waalaikumsalam,” aku menjawab salam Ustadz Arizal. Aku mempersilakan Ustadz Arizal masuk dan duduk di sofa. Ustadz Arizal mengangguk sambil tersenyum manis. Ya, ampun sudah lama banget aku nggak liat senyum manisnya. Ketika Us195
tadz Arizal melangkah menuju sofa kok aku merasa penampilan Ustadz Arizal berbeda dari yang kemarin? Aku memandangi Ustadz Arizal dengan seksama. Penampilannya tetap rapi, memakai baju koko warna biru, memakai celana panjang dan peci putih. Terus yang beda apa ya? Aku garukgaruk kepala yang tak gatal, sambil mengingat penampilan Ustadz Arizal setahun yang lalu. Aha, aku baru ingat teriakku dalam hati. Ternyata yang membuat penampilan Ustadz Arizal berbeda dari tahun yang lalu adalah hari ini dia tidak memakai tongkat lagi kalau jalan. Mungkin mata batinnya makin kuat jadi tidak memerlukan tongkat lagi ketika berjalan. “Ika, kok kamu ngeliatin aku sampai segitunya sih?” Tanya Ustadz Arizal disertai kedipan centil. “Hmmm …, kayaknya aku tahu deh. Kamu pasti heran kan karena aku hari ini nggak memakai tongkat lagi kalau berjalan?” Tu kan benar dugaanku mata batinnya makin kuat. “Ika, aku ingin jujur sama kamu. Aku sebenarnya sudah tidak buta lagi,” ujar Ustadz Arizal. “Serius? Gimana ceritanya?” “Ada seorang cowok yang mengidap penyakit HIV, hidupnya hanya bertahan delapan bulan. Nah, sebelum cowok itu meninggal dia ingin mendonorkan matanya untukku. Kamu tahu siapa cowok itu?”
196
Aku menggeleng. Mana kutahu siapa cowok itu? “Cowok itu adalah Rafly…” omongannya Ustadz Arizal terhenti. Lalu pandangannya beralih ke Rayhan. “Bro, boleh nggak aku ngomong empat mata sama calon istrimu? Tenang aja aku nggak akan merebut calon istrimu,” ujarnya pada Rayhan. “Yuk, Sofia kita ke dalam! Papa sudah kangen banget sama kamu.” Rayhan pun menggendong Sofia dan pergi menjauh dari ruang tamu. Kini hanya ada aku dan Ustadz Arizal di ruang tamu. Aduh, hatiku makin nggak karuan berduaan sama Ustadz Arizal. “Ika, sebelum Rafly meninggal dia menyerahkan buku ini padaku.” Ustadz Arizal merogoh saku celananya. Lalu mengeluarkan buku warna pink. Mataku terbelalak ketika melihat buku itu. Itu kan buku diary-ku? Kok bisa ada di Rafly? “Buku diarymu ketinggalan di pesantren dan Rafly yang menemukannya. Dia bilang kamu mencintaiku. Semua bukti cintamu ada di diary ini.” Ustadz Arizal bernafas sejenak. “Ketika aku sudah melihat, aku segera membaca diary hatimu. Aku kaget, karena kamu selama ini mencari dan merindukanku.” “Maksud ustadz? Aku semakin bingung.” “Di diarymu ini tertulis kamu merindukan sahabatmu waktu SD yang bernama Arizal Ridwan Maulana. Dan aku lah Arizal yang kamu cari!” “Apa buktinya?”
197
“Aku lahir tanggal 29 September 1987. Waktu SD sekolah di SD Al-Amin, Cemani Sukoharjo, apa lagi yang bisa membuatmu yakin bahwa aku Arizal yang kamu rindukan?” Aku tak percaya dengan apa yang diucapkan Ustadz Arizal. Tapi yang dikatakannya benar. Satu lagi kejutan dari Allah. Ya, hari ini aku dipertemukan dengan Arizal, cinta pertamaku sejak SD. Lebih tak menyangka lagi Arizal yang aku cari adalah Ustadz Arizal. “Kedatanganku ke sini sebenarnya ingin melamarmu. Karena sebenarnya aku mencintaimu. Tapi sayang cintaku terlambat, aku sudah kembali pada ayahnya Sofia. Cinta tak harus memiliki, aku bahagia bila kamu dan Sofia bahagia.” Butir-butir kristal mengalir deras dari pipiku. Akhir cintaku seperti ini. Salut, keikhlasan Ustadz Arizal. Tapi sampai kapan pun aku dan Ustadz Arizal bersahabat. Sahabat sama berharganya dengan buah hatiku. TAMAT
198
Eklektikus
A
riny Nurul Haq anak pertama dari dua bersaudara. Lahir di Solo, 16 september 1991 yang bertepatan juga dengan lahirnya Ariel Noah. Kini ia tinggal di Jl. Martapura Lama RT. 02 RW. 01. Desa Keramat Baru, Martapura Timur Kalimantan Selatan, 70619. Karya tulisnya antara lain Novel “Kuntilanak gaul”, Novel “Diantara Dua Pilihan”, “Ketika cinta semerah darah”, Novel “Love Storm in Seoul” dan antologi cerita pendek. Lebih lengkapnya, silakan membuka laman www.arinysusanti.blogspot.com. Dan untuk berinteraksi virtual dengan gadis manis ini dapat menghubungi
[email protected]
N
adya Meisitha. Sisi romantis begitu dominan pada setiap karyanya. Ia tidak pernah jenuh mengguratkan cerita cinta meskipun kadangkala ingin meracik tema lainnya. Karyanya berjudul Dua Mikha, antologi Valentine Berdarah, dan KKN. Ia dapat dicari di @nadya_mey untuk bertukar karya, kritik, dan saran. Salam Karya!
199
CATATAN
200