BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia Islam Pemaknaan orientalisme seperti telah digambarkan
ternyata telah mengalami penyempitan objek bahasan. Orientalisme lebih
dipahami sebagai kajian atas Islam. Membicarakan kajian Islam di mata
orientalis nampaknya tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perkembangan
sejarah dan psikohistoris interaksi timur dan barat. Interaksinya dapat
dipandang sebagai hal yang ambivalen, karena kuatnya citra negatif Islam di
mata barat. Bangunan orientalisme jika dilihat dari akar sejarahnya
ternyata memang tidak terlepas dari kolonialisme, misionarisme, dan
imperialism. Mereka adalah 'saudara kembar' yang walaupun cara dan
operasionalnya berbeda, tetapi mereka akan saling melengkapi untuk satu
tujuan, yaitu menghancurkan Islam. Banyak pemikiran dari para orientalis
yang bertolak belakang dengan pemahaman umat islam pada umumnya. Kebanyakan
dari pemikiran orientalis tersebut terkesan merendahkan agama Islam.
Namun demikian dalam setiap fase perkembangan sejarah interaksi
tersebut, Islam tidaklah terus dicitrakan negatif, dari sekian orientalis
selalu ada yang bersikap objektif.
Diantara banyaknya tokoh orientalis yang berkomentar tentang islam
dalam hal ini penulis hanya akan terfokus pada pemikiran dari Ignaz
Goldziher saja.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Ignaz Goldziher ?
2. Bagaimana Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Al-Qur`an dan
Tafsir
3. Bagaimana Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Ignaz Goldziher
tentang Nabi Muhammad ?
4. Bagaimana Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Hadis dan Sunnah ?
5. Bagaimana Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Qira'ah Al-Qur`an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ignaz Goldziher
1. Pendidikan
Ignaz Goldziher adalah seorang yahudi yang lahir di Hungarian 22 Juni
1850. Goldziher mampu membaca teks Bible "asli" dalam bahasa Ibrani.
Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest,
Hungaria. Goldziher sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu
Aminus Vambery. (1832-1913), seorang pengembara dan juga pakar tentang
Turki. Aminus Vambery banyak mewarnai kehidupan intelektual Goldziher.
Perjalanan intelektual Goldziher sangat bermutu tinggi. Setelah
menyelesaikan studinya di Budapest.[1]
Pada Tahun 1871, Goldziher masih berusia 16 tahun. Goldziher sukses
mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan Wiena. Goldziher juga
terpilih sebagai anggota pertukaran pelajar dengan melakukan ekspedisi di
kawasan Timur Tengah dan menetap di Kairo. Selama di Kairo Goldziher sempat
bertukar kajian di Universitas al-Azhar, kemudian pergi ke Palestina dan
Suriah.[2] salah satu upaya untuk mengetahui Islam, banyak orientalis yang
mengunjungi negara-negara muslim agar mereka bisa langsung bertemu serta
berinteraksi dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syiria dan
Mesir pada tahun 1873-1874. Kemudian Goldziher juga dikenalkan oleh Dor Bey
(Edouard Dor) merupakan seorang pejabat Inspektur Jendral Madrasah pada
masa khodive Ismail di Mesir. Selanjutnya Dor Bey memperkenalkan Goldziher
kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Ketika itu Goldziher mengaku
bahwa ia bernama Ignaz al-Maghyar (Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya
"Muslim". Usaha ini dilakukan Goldziher dengan maksud dan tujuan agar bisa
belajar di Universitas al-Azhar.[3] Kegigihan serta semangat akhirnya
Goldziher menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar, seperti Syaikh al-
Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa Syaikh al-
Azhar lainnya.
Pada tahun 1874, Goldziher melanjutkan studinya ke Universitas
Leipzig, Jerman. Kemudian Goldziher meraih gelar doktor dari Universitas
tersebut ketika berusia 19 tahun. Karena intelektual Goldziher yang sangat
luar biasa, maka tak heran ia mendapatkan beasiswa setelah dari Leipzig.
Pada tahun 1875 usia 20 tahun, Goldziher melanjutkan penelitiannya di
Universitas Leiden, Belanda, selama 1 tahun. Selanjutnya pada usia 21
tahun, Goldziher pulang ke kampung halamannya dan menjadi dosen privat di
Universitas Budapest, Hungaria. Goldziher juga dipilih sebagai anggota
"akademi sains Hungaria", sebuah penghargaan yang diberikan kepada dirinya.
Selanjutnya Goldziher menjadi calon pengajar bahasa Semit di Universitas
Budapest. Menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria (6). Salah satu
karirnya di luar negeri adalah ia pernah menjadi anggota akademi
perkumpulan orientalis dan aktif sebagai anggota di Royal Asiatic Society,
Asiatic Society of Bengal, the British Academy and the American Oriental
Society. Pada tahun 1904, Goldziher pun menjadi rektor pada mata kuliah
bahasa Hebrew atau Ibrani. Pengalaman paling berharga selama perjalanan
intelektualnya adalah ketika Goldziher mendapat beasiswa dari pemerintah
Hungaria untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo. Kemudian 10 tahun
kemudian, Goldziher tetap meneruskan karirnya menjadi guru besar bahasa
Semit di Universitas Budapest hingga akhir hayatnya, Ignaz Goldziher
meninggal dunia pada 13 November 1921, pada usia 66 tahun. [4]
2. Karya-karya Ignaz Goldziher
Karya Ignaz Goldziher banyak dipublikasikan dalam bentuk artikel
jurnal, kemudian ada dari beberapa naskahnya yang disunting hingga
dipublikasikan menjadi karya buku yang disumbangkan sebagai koleksi di
akademi Hungaria. Kebanyakan naskah itu ia tulis dalam bahasa jerman,
antara lain seperti judul :
a) Beitrage zur Literaturgeschichte de Shi'a (1874)
b) Beitrage zur Geschichte der Sparachgelehrsamkeit bei den Arabern
(Vienna 1871-1873)
c) Der Mythos bei den Hebyhern und seine geschichtliche
Entwickelung (Leipzig, 1876 Eng. Trans, R Martineanu, London,
1877)
d) Muhammedanische Studien (Halle, 1889-1890, 2 vols)
e) Abhandlungen zur arabischen Philologie (Leiden, 1896-1819, 2
vols)
f) Buch v, Wesen d. Seele (ed. 1907)
Selain itu masih banyak karya Ignaz Goldziher yang diterjemahkan dari
bahasa Jerman ke bahasa Inggris maupun ke bahasa Arab dan ke bahasa
lainnya. Baik dalam bentuk makalah yang berserakan dan buku-buku karyanya
yang lain. Kebanyakan buku-buku hasil karyanya yang berbahasa Jerman,
ketika diterjemahkan sudah diedit dan dibubuhi komentar-komentar oleh
penerjemahnya.
Adapun 4 karya Goldziher yang tebal dan terkenal yaitu :
1) Die Zahiriten, ihr Lehrsystem und Geschichte, Leipzig 1884. Edisi
bahasa arabnya berjudul al-zahiriyyah : Madzhabuhum wa Tarikhuhum di
dalam kata pengantarnya dia memberikan suatu keterangan yang
sistematis mengenai literatur-literatur Barat yang membicarakan
tentang prinsip-prinsip dan metode-metode hukum Islam (fiqh), di mana
dia juga menemukan adanya pertentangan antara aliran Zahiri dan Ahli
Sunnah mengenai arti dan penafsiran al-Qur'an. Kerena itu buku ini
merupakan suatu karya pertama kali yang meletakkan dasar-dasar
mengenai studi hukum Islam dengan metode-metode ilmu pengetahuan
Barat. [5]
2) Muhammedanische Studien (dua jilid) diterbitkan di Halle tahun 1889-
1890. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh C. R Barber
dam S. M Stern dengan judul Muslim Studies diterbitkan di London tabun
1967. [6] Di dalam jilid pertama Goldziher menguraikan bagaimana
semangat agama Islam. Bahkan spirit Islam ini juga dapat mengalahkan
perasaan Nasionalisme Persia, sehingga seluruh Timur Tengah pada waktu
itu dapat disatukan dengan semangat Islam. Pada jilid kedua Goldziher
membahas tentang hadis serta mengungkapkan urgensi hadis bukan dalam
arti yang sebenarnya menurut Islam. Menurutnya hadis merupakan sumber
utama untuk mengetahui perbincangan politik, keagamaan dan mistisme
dalam Islam. Masalah-masalah ini terjadi sepanjang masa. Hadis dipakai
senjata oleh masing-masing madzhab. Baik kelompok politik maupun paham
fiqih berupaya menggunakan hadis sebagai alat untuk menguasai
persoalan kehidupan di tengah umat Islam. Jadi, hadis tidak digunakan
sebagai alat untuk mengetahui perilaku Nabi tetapi lebih untuk
kepentingan tiap kelompok aliran, baik politik maupun keagamaan.[7]
3) Vorlesungen uber den Islam, diterbitkan di Heidelberg tahun 1910 dan
edisi kedua diterbitkan tahun 1925. Buku ini sudah diterjemahkan
kedalam bahasa rusia (1911), Hongaria (1912), Perancis (1920), ke
dalam bahasa Inggris oleh Andras dan Ruth Hamory dengan judul
Introduction to Islamic Theology and law dan bahasa arab (1974) dengan
judul al-Aqidah wa al-Syariah fi al-Islam dan diterjemahkan pula ke
dalam bahasa Indonesia oleh Hersri Setiawan (1991) dengan judul
Pengantar Teologi dan Hukum Islam. Dalam buku ini, Goldziher
mendeskripsikan Islam dari berbagai aspeknya antara lain : Muhammad
dan Agama Islam, perkembangan Hukum, perkembangan Akidah, sekte-seket
Islam, Asketisme dan Dunia Mistisme Islam dan lainnya.[8]
4) Die Richtungen der Islamischen Koran auslegung, diterbitkan di Leiden
tahun 1920. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Swedia (1915), ke
dalam bahasa Arab oleh Abd al-Karim al-Najar dengan judul Madzahib al-
Tafsir al-Islami dan kedalam bahasa Indonesia (2003) oleh M. Alaika
Salamullah, Saipuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata dengan Judul
Madzahib Tafsir : dari Klasik hingga Modern. Buku ini terdiri dari 6
bab yang berisi penjelasan tafsir tahap awal, tafsir bi al-ma'tsur,
tafsir dalam perspektif Teologi rasional, tafsir dalam perspektif
tasawuf, tafsir dalam perspektif sekte keagamaan, dan tafsir era
kebangkitan Islam.[9]
B. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Al-Qur`an dan Tafsir
Goldziher mempunyai pandangan yang buruk terhadap Al-Qur`an,
menurutnya Al-Qur`an hanyalah sebagai alat bagi umat islam untuk dijadikan
senjata ampuh dalam melawan musuh-musuh, isi dari kandungan Al-Qur`an
bukanlah petunjuk yang benar, demikian Goldzher mempunyai strategi yang
baik disertai semangat yang besar untuk menghancurkan umat islam. Dengan
beragumen bahwa Al-Qur`an telah mengcopy paste ajaran romawi.[10] Kemudian
Goldziher juga mengungkapkan bahwa Al-Qur`an merupakan hasil cipta karya
Nabi Muhammad saw. Strategi Goldziher untuk meragukan otentisitas Al-Qur`an
dengan menggunakan pendekatan sejarah, dengan demikian beliau bisa banyak
mengomentari tentang sejarah bahkan kisah-kisah dalam Al-Qur`an. Hasil dari
pemikiran karya Goldziher dalam buku Mazhab Tafsir, dalam bukunya tersebut
beliau berusaha untuk menjelaskan sekte-sekte keagamaan dalam menafsirkan
Al-Qur`an.[11]
Goldziher memandang bahwa tafsir memiliki kepentingan teks suci Al-
Qur`an bukan lagi sebagai sumber agama tetapi lebih dari itu, Al-Qur`an
menjadi salah satu aliran keagamaan tertinggi bagi suatu kelompok ajaran
tertentu. Bahkan beberapa golongan aliran mazhab mengklaim bahwa kebenaran
Allah Adalah suatu bukti yang tidak bisa diganggu gugat. [12] Hasil
pemikiran karya Goldziher daam buku madzhab tafsir, Goldziher berusaha
untuk menjelaskan sekte-sekte keagamaan dalam menafsirkan Al-Qur'an. Dalam
karyanya beliau telah mengklasifikasikan serta menyeleksi berbagai sekte
aliran secara ringkas. Terdapat 5 sekte aliran dalam tafsir yakni:
Tradisionalis, dogmatis, mistik, sekretarian dan modernis. Perbedaan itu
menjadi keniscayaan tinggal bagaimana menyingkapi perbedaan tersebut.[13]
C. Pandangan Goldziher tentang Nabi Muhammad saw
Goldziher adalah seorang pakar yang telah jauh menela'ah tradisi
keilmuan islam, khususnya ilmu Al-Qur`an, tafsir, dan hadis Nabi.
Kontribusi yang telah diberikan oleh Goldziher untu khazanah keilmuan dunia
islam juga begitu besar. Walaupun Goldziher seorang orientalis tetapi
sumbangsih karya pemikiran yang diberikannya memberi warna tersendiri bagi
islam. Menurutnya agama islam adalah keprasahan seorang hamba kepada
Tuhannya (Allah), hal ini merupakan salah satu ajaran dari Nabi Muhammad
untuk menyatukan hamba dengan Tuhannya, keprasahan hamba kepada Tuhannya
merupakan salah satu pendidikan istimewa dalam ajaran agama islam. Kemudian
menurutnya islam hanya sebagai agama yang bisa menyerap unsur-unsur dari
agama lain dengan membungkusnya secara rapi melalui cerita sejarah sehingga
seolah-olah islam adalah agama yang sangat murni. Padahal Islam mengambil
ajaran dari judaisme.[14] Dunia islam tanpa ilmu tidak akan mengenal
pengetahuan pemikiran yang spesifik. Artinya Agama Islam dalam menyebarkan
agama selalu berlandaskan ilmu. Ketika islam menyebarkan ajarannya tanpa
ilmu, maka akan dipertanyakan identitas utusan Allah, yakni Nabi Muhammad
sebagai pembawa risalah. [15]
Sangat berbeda dengan pandangan kaum muslim yang mendudukan Muhammad
dalam posisi yang teramat penting statusnya sebagai Nabi dan Rasul, dalam
pandangan orintalis citra Nabi Muhammmad secara garis besar dipahami dalam
dua posisi, yang pertama Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang telah
membebaskan dari kezhaliman, dan posisi yang lain dipahami sebagai paganis
dan penganut Kristen dan Yahudi murtad yang akan menghancurkan ajaran-
ajaran Kristen dan Yahudi, Intelektual yang pintar yang memiliki imajinasi
yang kuat dan pembohong, tukang sihir yang berpenyakit gila dan ayan. [16]
Visi Orientalis dalam memahami Muhammad ternyata beragam, bagi kaum
rivalis, terkadang semena-mena mereka melukiskan Muhammad tidak lebih
sebagai penipu dan pemimpin keji, terlebih lagi hal itu terjadi setelah
terjadinya Perang Salib. Misalnya D'Herbelot melukiskan Nabi Muhammad ialah
penipu yang terkenal dan pendiri serta pencipta suatu bid'ah yang telah
diberi nama agama. Yang kita sebut dengan Muhammadisme. Para penafsir Al-
Qur`an dan doktor-doktor hukum islam telah memberikan suatu penghormatan
dan pujian kepada Nabi Palsu itu yang tidak pernah diberikan oleh para
pengikut Aria, kaum Paulusia dan Paulunis. Dan kelompok bid'ah lainnya
kepada Yesus Kristus. [17] Lain dari itu seorang Dante Alighieri (1265-
1321) walaupun dalam beberapa wacana lain menyadari hutang Eropa terhadap
islam, karena kesombongan intelektualnya, ia menyatakan bahwa Muhammad
adalah pemuka dari jiwa-jiwa terkutuk yang membangkitkan perpecahan dalam
agama dan mengembangkan agama palsu.[18]
Adapun pandangan Goldziher tentang Nabi Muhammad sebagai pelopor
pembawa Islam, Goldziher mengira bahwa Nabi Muhammad telah menerima ajaran
dari unsur agama kristen, umumnya melalui jalan tradisi serta bid'ah yang
bertebaran didalam Gereja Timur. Dengan bid'ah dalam Gereja Timur maka Nabi
Muhammad mendapatkan pemberitaan suci. Dalam pandangannya Nabi Muhammad
memperoleh hubungan lahiriah urusan perdagangan ketika beliau belum
diangkat menjadi Rasul. Untuk memperkuat argumentasinya agama Kriten dan
Yahudi menyediakan unsur-unsur pokok dan takaran yang sama. Lima pokok
unsur yang dikenal dengan rukun islam sudah diperkenalkan oleh Nabi pada
periode Makkah memperolah bentuknya yang pasti pada periode Madinah. Jadi
menurut beliau unsur-unsur ajaran dalam Al-Qur`an sebenarnya banyak
menyerap unsur atau tradisi sebelumnya. Ditambah lagi dengan meluasnya
ekspansi perluasan umat islam ini mengindikasikan bahwa hadirnya Islam
ternyata belum mampu menjawab segala problematika yang ada, karena
penyempurnaan baru ada setelah diperoleh hasil Ijtihad generasi
selanjutnya. [19]
D. Pengertian Hadis dan Sunnah Menurut Ignez Goldziher
Menurut Goldziher, kata hadis mengandung pengertian tutur atau kisah,
dan pengabaran, baik yang menyangkut kehidupan secara umum, sejarah, maupun
keagamaan.[20] Pemahaman ini dapat dibaca melalui pernyataan berikut.
"The word hadith means tale, communication. Not only are communication
among those who have embraced the religious life called whether of times
long past or of more recent events".
"Kata hadis berarti tutur, pekabaran. Bukan hanya pekabaran diantara
orang-orang yang menganut kehidupan keruhanian yang disebut hadis itu,
tetapi data sejarah baik yang berupa duniawi maupun yang bersifat
keagamaan, demikian pula baik yang berasal dari masa silam maupun tentang
kejadian-kejadian dari masa yang paling mutakhir".
Dalam pandangan Goldziher, perbedaan hadis dan sunnah tetap
dipertahankan. Ia menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu yang
teoritis dan sunnah adalah compendium aturan-aturan praktis . satu-satunya
kesamaan sifat diantara keduanya adalah bahwa keduanya berakar secara turun
temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah
dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum muslim pertama yang dipandang
berwenang dan telah pula dipraktikkan dinamakan sunnah atau adat/kebiasaan
keagamaan. Adapun bentuk yang memberikan pernyataan atau tata cara itu
disebut hadis atau tradisi.[21]
Goldziher juga menyinggung mengenai perbedaan hadis dan sunnah. Ia
cenderung membuat perbedaan antara keduanya. Ia menggunakan analisa empiris
dan tidak menggunakan analisa yang digunakan ahli hadis dalam memahami
suatu hadis . sehingga menghasilkan rumusan yang berbeda dengan mereka.
Goldziher berpendapat, bahwa pengertian hadis dan sunnah harus dibedakan.
Menurutnya, hadis adalah berita lisan yang bersumber dari Nabi saw.
sedangkan sunnah adalah hal yang menunjukkan pada permasalahan hukum atau
keagamaan, dengan tidak memandang ada atau tidak adanya berita mengenai
permasalahan tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari penyataan kutipan
ini:
"The difference which has to be kept in mind is this: hadith means, as
has been shown, an oral communication derived from the prophet, where as
Sunna, in the usage prevailing in the old muslim community, refers to a
religious or legal point, without regard to wether or not there an oral
tradition fot it."
"Perbedaan yang harus diingat adalah: Hadis, seperti telah diutaran,
berarti berita lisan yang bersumber dari Nabi, sedangkan Sunnah menurut
penggunaaan yang lazim di kalangan umat Islam kuno menunjukkan persoalan
hukum atau kegamaan, tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya berita lisan
tentang itu."
Selanjutnya, dia menambahkan bahwa ada satu persamaan antara hadis dan
sunnah, yaitu keduannya merupakan pengetahuan yang berakar secara turun-
temurun.
Menurut Goldziher, perkataan sunnah-sebagaimana yang dikenal ummat Islam
hingga saat ini-semula adalah istilah animis [22] yang sudah dikenal
masyarakat sejak masa pra Islam dahulu.[23] Dia menganggap bahwa istilah
tersebut telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan orang-
orang animis jauh sebelum kedatanggan Islam jadi konsep sunnah pra Islam
tersebut pada gilirannya seperti sangat populer dalam kehidupan umat Islam.
Dalam pandangan Goldziher, umat Islam seharusnya tidak perlu menciptakan
konsep dan pentinggnya sunnah dalam praktek hidup. Karena hal tersebut
sudah lama akrab pada masyarakat Arab sebelum Islam. Bagi mereka
(masyarakat Arab) sunnah berarti seluruh peraturan yang sesuai denga
tradisi-tradisi Arab dan warisan-warisan nenek moyang, serta adat
kebiasaan. Karena dalam pemahaman bangsa Arab kuno, sunnah adalah "aturan
emas", yakni apa saja yang telah menjadi adat adalah benar dan patut; apa
saja yang dilakukan nenek moyang mereka adalah pantas untuk ditiru.
Dengan demikian, terminologi sunnah sebagai sumber hukum pada mulanya
adalah masalah-masalah ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat, yang
kemudian pada masa belakangan pengertian tersebut terbatas hanya untuk
perbuatan-perbuatan Nabi saw. saja.
Pendapat Goldziher di atas bahwa sunnah adalah istilah animis yang
dipakai oleh Islam, sesungguhnya tidak benar sama sekali. Bahkan bertolak
belakang dengan kenyataan dan logika yang ada. Menurut Azami, kata sunnah
sudah dipakai dalam syair-syair Jahiliyah, Al-Qur`an, dan kitab-kitab
hadis, yaitu untuk menunjuk kepada arti tata cara, jalan, sikap hidup,
syari`at dan jalan hidup. Dan ini adalah arti yang sebenarnya. Kalaupun
orang-orang Jahiliyah atau orang yang menganut aliran animis menggunakan
sebuah kata dalam bahasa Arab untuk arti yang etimologis (harfiah,
lughawi), maka hal itu tidak berarti istilah itu menjadi milik Jahiliyah
atau animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka bahasa Arab pun seluruhnya juga
istilah Jahiliyah, dan tentu saja hal ini sulit diterima oleh akal
sehat.[24]
Mengenai tuduhan Goldziher yang menyebutkan bahwa sunnah adalah sebagai
tradisi nenek moyang atau adat istiadat masyarakat Jahiliyah. Perlu penulis
kemukakan bahwa sejak awal, terminologi sunnah memiliki pemahaman yang
beragam. Hal ini dapat dipahami dari penegasan Ibn `Umar ketika dia dituduh
berbeda dengan ayahnya, `Umar dalam persoalan haji Tamattu, dimana Ibnu
`Umar menyatakan bahwa haji Tamattu` itu ada berdasarkan Al-Qur`an dan
Rasulullah saw. sendiri melakukannya. Untuk menegaskan keyakinannya Ibnu
`Umar mengajukan sebuah pertanyaan diplomatis, "Manakah yang berhak
diikuti, sunnah Rasul atau sunnah `Umar?". Tampaknya hal itu sudah tampak
membuktikan adanya perbedaan makna antar kedua istilah tersebut, dimana
apabila terjadi perbedaan, sunnah Rasulullah yang wajib diikuti. Dengan
demikian jelaslah bahwa sunnah yang wajib diikuti adalah sunnah Nabi saw.
apabila tradisi atau adat istiadat diartikan sebagai sunnah, maka apa
maksud ucapan Ibnu `Umar tadi? [25]
E. Tentang Qira'ah Al-Qur'an
Sebagaimana diketahui, tulisan Allah atau khot, mengalami perkembangan
sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, Al-Qur'an ditulis
'gundul', tanpa tanda baca sedikitpun. Dari sinilah Golziher menyimpulkan
bahwa teks 'gundul' ini yang menyebabkan variant readings (perbedaan
bacaan). Ia mengatakan bahwa banyakan qira'ah itu bersumber dari tulisan Al-
Qur'an (rasm) yang asalnya tidak mempunyai titik (naqt) dan baris (syakl
atau harakat). Menurutnya, qira'ah itu dasarnya adalah rasm. Pemahaman ini
dapat dibaca melalui pernyataannya berikut ini:
"Lahirnya sebagian besar perbedaan (qira'ah) tersebut dikembalikan pada
karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat
menghadirkan suara (vocal) pembacaan yang berbeda, tergantung pada
perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf atau dibawahnya
serta berapa jumlah titik tersebut. Demikian halnya pada ukuran-ukuran
suara (vocal) pembacaan yang dihasilkan. Perbedaan harakat-harakat (tanda
baca) yang tidak ditemukan batasnya dalam tulisan Arab yang asli memicu
perbedaan posisi I'rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat, yang
menyebabkan lahirnya perbedaan makna (dalalah). Dengan demikian, perbedaan
karena tidak adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf resmi dan
perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan bentuk dari huruf-
huruf yang diam (tidak terbaca), merupakan faktor utama lahirnya perbedaan
qira'ah dalam teks yang tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya
kurang jelas".[26]
Dalam hal ini, Golziher memberikan sejumlah contoh. Pertama, perbedaan
karena ketiadaan titik pada bentuk huruf tertulis:
Firman Allah:
((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((((((( (((((((((((((( ((((((((((((
(((((((( (((( (((((((( ((((((( (((((((((( ((((( ((((((( (((((((((((((((
((((
Menurutnya sebagian sarjana (ulama) qira'ah membaca lafadz
(((((((((((((( yang tertulis dengan huruf ba (sebagian satu titik) dengan
bacaanتستكثرون yaitu dengan huruf tsa (bertitik tiga).
Kedua, perbedaan harakat yang dihasilkan dalam huruf-huruf tidak
berbunyi, dimana dari satu muncul perbedaan gramatika (nahwu). Firman Allah
menyatakan:
((( ((((((((( (((((((((((((((( (((( ((((((((((( ((((( ((((((((( (((((
(((((((((( (((
Dengan mengikuti perbedaan bacaan diantara para sarjana qira'ah pada
lafaz yang menunjukkan turunnya malaikat, apakah itu ((((((((( atau تنزيل
atau تنزيل diturunkan Semua qira'ah tersebut diwakili oleh wilayah yang
berbeda-beda. Kalimat tersebut memiliki makna sesuai dengan kalimatnya:
"Kami menurunkan malaikat atau malaikat turun".[27]
Namun pendapat Goldziher ini dibantah oleh para ulama ahli qira'ah.
Menurut para ulama ahli qira'ah, dasar fiqih itu adalah riwayat. Ragam
qira'ah telah ada lebih dulu sebelum adanya rasm atau rasm Al-Qur'an telah
disepakati dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung
berbagai qira'ah yang diterima.[28] Misalnya, dengan menyembunyikan (hadzf)
alif pada kata ملك(QS: 1 : 4) demi mengakomodasi qira'ah yang diriwayatkan
oleh Imam 'Asim, al-Kisa'I, Ya'kub dan khalaf ("maliki" dibaca panjang,
dengan alif), sekaligus qira'ah yang diriwayatkan oleh Abu Amar, Ibn
Katsir, Nafi', Abu Ja'far, dan Ibn 'Amir ('maliki" dibaca pendek, tanpa
alif).[29]
Para ulama qira'ah telah sepakat tentang rukun dan syarat diterimanya
sebuah qira'ah, yaitu: (1) didukung oleh riwayat yang mutawatir, (2) sesuai
dengan mushaf Utsmani atau sesuai dengan salah satu dari enam masahif rasm'
Utsmani (yakni yang dikirim ke Mekah, Basrah, Kuffah, Damaskus, Madinah,
dan yang disimpan oleh Khalifah 'Utsman r.a sendiri), dan (3) sesuai dengan
salah satu kaidah bahasa Arab.[30]
Sejarah al-Qur'an mengisyaratkan bahwa pada kurun awal sejarah Islam,
al-Qur'an ditulis "gundul", tanpa tanda baca sedikit pun. Sistem vokalisasi
baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm' Utsmani sama sekali
tidak menimbulkan masalah karena kaum Muslimin saat itu belajar al-Qur'an
langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan.
Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.[31] Jadi tulisan Arab
bukanlah penyebab lahirnya perbedaan qira'ah. Bahkan dia sangat membantu
untuk mendalami qira'ah-qira'ah yang sahih dengan situasinya pada waktu
penulisan mushaf 'Utsmani yakni belum adanya titik dan harakah. Pedoman
utama bukanlah tulisan karena apabila ada satu bacaan yang mungkin
terkadang Islam, dan sesuai dengan Mushaf 'Utsmani tetapi tidak
diriwayatkan dari Rasulullah, akan bacaan itu ditolak oleh para ulama
Islam. Al-Suyuti dalam kitabnya al-Itqon ketika memberi penjelasan mengenai
ketiga rukun qira'ah juga mengatakan hal tersebut.[32]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ignaz Goldziher mempunyai objek material dan formal sebagai berikut :
1. Tafsir : menggunakan pendekatan historis-kritis dalam membangun sebuah
asumsi tentang perbedaan tafsir Al-Qur`an dengan melihat penjelasan
dari hadis Rasul serta peradaban muslim (arab kuno) hingga pada saat
ini.
2. Hadis : Goldziher mempertanyakan keautentikan hadis karena berbeda
dengan Al-Qur'an yang sudah dijamin keasliannya oleh Allah, hal itu ia
mulai dengan skeptisisme terhadap hadis sehingga ia ingin mengkaji
ulang hadis dengan pendekatan historis-kritisnya.
3. Nabi Muhammad : Nabi Muhammad sebagai pelopor pembawa Islam, Goldziher
mengira bahwa Nabi Muhammad telah menerima ajaran dari unsur agama
kristen, umumnya melalui jalan tradisi serta bid'ah yang bertebaran
didalam Gereja Timur. Dengan bid'ah dalam Gereja Timur maka Nabi
Muhammad mendapatkan pemberitaan suci. Dalam pandangannya Nabi
Muhammad memperoleh hubungan lahiriah urusan perdagangan ketika beliau
belum diangkat menjadi Rasul. Untuk memperkuat argumentasinya agama
Kriten dan Yahudi menyediakan unsur-unsur pokok dan takaran yang sama.
Lima pokok unsur yang dikenal dengan rukun islam sudah diperkenalkan
oleh Nabi pada periode Makkah memperolah bentuknya yang pasti pada
periode Madinah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
1978
Anwar Syarifuddin, Mohammad, ed., Kajian Orientalis terhadap Al-Qur'an dan
Hadis, Ciputat : Sekata Cendikia, 2015
Ana Mariyam, Siti, "Studi Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Perkembangan
Tafsir bi al-Ma'tsur" Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2016
Arif, Syamsuddin, OrientalismedanDiabolismePemikiran Jakarta: GemaInsani,
2008
Azami, M.M,, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Prof. H.
Ali Mustafa Yaqub, M.A., cet.III Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006
Darmalaksana, Wahyudin, Hadis di Mata Orientalis Telaah atas Pandangan
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung: Benang Merah Press 2004.
Goldziher, Ignaz, MadzabTafsir: Dari AliranKlasikHingga Modern, Penerjemah
M..AlaikaSalamullah, dkk. Yogyakarta: Elsaq Press, 2003
Hayyan al-Andalusi , Abu.Al-Bahr al-Muhit Beirut: Dar al-Fikr, 1992
al-jazari , Ibn, Taqrib al-Nasyr fi al-'Asyr Kairo: Dir al-Hadits, 1992
Mutmainah, "Hadis dalam Perspektif Goldziher" Skripsi Institut Ilmu Al-
Qur'an Jakarta Tahun 2008
Said, Edward, Orientalisme Bandung:Pustaka Slaman 1994
Sou'yb, Joesoef , Orientalis dan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedia Tokoh Orietalis ; irwan Masduqi, "Ignaz
Goldziher" diakses pada 22 Oketober 2017 dari
http://irwanmasqudi83.blogspot.com/Ignaz-Goldziher-oleh-irwan-masqudi-
di.html.
-----------------------
[1] A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam (Jakarta : Bulan
Bintang, 1978) h. 46
[2] Mohammad Anwar Syarifuddin, ed., Kajian Orientalis terhadap Al-
Qur'an dan Hadis (Ciputat : Sekata Cendikia, 2015) h. 65
[3] A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam, h. 47
[4] A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam, h. 49
[5] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedia Tokoh Orietalis ; irwan Masduqi,
"Ignaz Goldziher" diakses pada 22 Oketober 2017 dari
http://irwanmasqudi83.blogspot.com/Ignaz-Goldziher-oleh-irwan-masqudi-
di.html.
[6] A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam, h. 51
[7] Mutmainah, "Hadis dalam Perspektif Goldziher" Skripsi Institut
Ilmu Al-Qur'an Jakarta Tahun 2008 , h. 27, tidak diterbitkan.
[8] A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam, h. 51
[9] Mutmainah, "Hadis dalam Perspektif Goldziher" Skripsi Institut
Ilmu Al-Qur'an Jakarta Tahun 2008 , h. 28-29, tidak diterbitkan.
[10] Muhammad Anwar Syarifuddin, ed, Kajian Orientalis terhadap Al-
Qur`an dan Hadis (Ciputat: Sekata Cendikia, 2015), h.67
[11] Siti Ana Mariyam, "Studi Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang
Perkembangan Tafsir bi al-Ma'tsur" Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2016, Tidak diterbitkan h. 43
[12] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, h.ii dan h. ix
[13] Ignaz Goldziher, MadzabTafsir: Dari AliranKlasikHingga Modern,
Penerjemah M..AlaikaSalamullah, dkk.
[14] Muhammad Anwar Syarifuddin, ed, Kajian Orientalis terhadap Al-
Qur`an dan Hadis (Ciputat: Sekata Cendikia, 2015), h.66
[15] Siti Ana Mariyam, "Studi Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang
Perkembangan Tafsir bi al-Ma'tsur" Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2016, Tidak diterbitkan h. 40
[16] Lihat Nasrullah Alif, "Citra Muhammad dimata Orientalis" dalam
Majalah Islamika, no3, 1994, h.116-120. Lihat juga Ensiklopedi Islam,
(Jakarta:Ichktar Baru Van Hoove, 1994) h.56
[17] Edward Said, Orientalisme (Bandung:Pustaka Slaman 1994) h. 85
[18] Joesoef Sou'yb, Orientalis dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1985) h.85
[19] Goldziher, Introduction to Islamic Theologi and Law, Hersri
Setawan, h.4
[20] M. Anwar Syarifuddin (editor), Kajian Orientalis Terhadap Al-
Qur`an dan Hadis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanpa tahun.
[21] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis Telaah atas
Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press
2004) cet.1 hlm 93-94.
[22] Animis adalah penganut paham animisme, suatu paham bahwa alam
ini atau suatu benda memiliki roh atau jiwa.
[23] M.M, Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah
Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A., cet.III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),
hlm 20
[24] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hlm 21
[25] Mutmainah, "Hadis dalam Perspektif Goldziher" Skripsi Institut
Ilmu Al-Qur'an Jakarta Tahun 2008 , h. 51-52, tidak diterbitkan.
[26]IgnazGoldziher, MadzabTafsir: Dari AliranKlasikHingga Modern,
Penerjemah M..AlaikaSalamullah, dkk. (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), h. 7-
8
[27]IgnazGoldziher, MadzabTafsir: Dari AliranKlasikHingga Modern,
Penerjemah M..AlaikaSalamullah, dkk. (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), h. 9-
14
[28]!"SyamsuddinArif, OrientalismedanDiabolismePemikiran(Jakarta:
GemaInsani, 2008), h. 13
[29]Abu Hayyan al-Andalusi.Al-Bahr al-Muhit(Beirut: Dar al-Fikr,
1992), jilid 1, h. 36-37
[30]Ibn al-jazari, Taqrib al-Nasyr fi al-'Asyr(Kairo: Dir al-Hadits,
1992), h. 25-26
[31]SyamsuddinArif, OrientalismedanDiabolismePemikiran, h. 12-13
[32]Jalaluddin 'Abdurrahman al-Suyuti, al-Itqon fi 'Ulu al-Qur'an
(Beirut: Maktabah al-'Asriyyah, 1988), juz IV, h. 145