TAFSIR AYAT IBADAH
(QS. AL BAQARAH AYAT KE-222)
Oleh: Imam Alfiannoor*)
Ayat Ke-222 Surah Al Baqarah
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Terjemahan Ayat:
Mereka bertanya kepada tentang mahidh. Katakanlah: "Ia adalah gangguan." Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah amat bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri.
Asbabun Nuzul Ayat Ke-222 Surah Al Baqarah
Redaksi ayat ke-222 Surah al Baqarah di awali dengan huruf (و) waw, berfungsi sebagai kata penghubungdari ayat sebelumnya ayat ke-221 (كلام معطوف على الأحكام المتقدمة) mengungkapkan perintah Allah swt kepada kaum muslimin (era Nabi saw) untuk tidak menikah dengan wanita-wanita musyrik, kecuali mereka telah memeluk agama Islam serta kebolehan menikahi wanita-wanita ahlul kitab. Sedangkan Ahlul Kitab dimaksud adalah mereka yang berpegang teguh pada kemurnian ajaran Taurat dan Injil. Oleh karena itu, konteks pembicaraan pada ayat berikutnya (ayat ke-222) masih berhubungan erat dengan ayat ke-221 tentang salahsatu Ahlul Kitab yaitu kaum Yahudi. Kemudian kata berikutnya adalah (يسألونك عن المحيض) yas'alunaka 'anil mahidh yang berarti mereka bertanya kepadamu (Muhammad saw) tentang al-mahidh. Dhamir yang terkandung dalam kata kerja (يسألون) menunjukkan pada ism dhamir (هم) berarti mereka yaitu kaum muslimin di masa Rasulullah saw yang pada ayat sebelumnya (ayat ke-221) menjadi obyek perintah Allah swt. Penafsiran ini dikuatkan dengan hadis tentang sebab turunnya ayat ini,
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ }
إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْيَهُودَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا فَلَا نُجَامِعُهُنَّ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا فَخَرَجَا فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا فَسَقَاهُمَا فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا
Terjemahannya:
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bahwa kaum Yahudi dahulu apabila kaum wanita mereka, mereka tidak memberinya makan dan tidak mempergaulinya di rumah. Maka para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Lalu Allah menurunkan, "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (al-Baqarah: 222) maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah". Maka hal tersebut sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka berkata, "Laki-laki ini tidak ingin meninggalkan sesuatu dari perkara kita melainkan dia menyelisihi kita padanya." Lalu Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi berkata demikian dan demikian, maka kami tidak menyenggamai kaum wanita." Raut wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam spontan berubah hingga kami mengira bahwa beliau telah marah pada keduanya, lalu keduanya keluar, keduanya pergi bertepatan ada hadiah susu yang diperuntukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Maka beliau kirim utusan untuk menyusul kepergian keduanya, dan beliau suguhkan minuman untuk keduanya. Keduanya pun sadar bahwa beliau tidak marah atas keduanya."
Berdasarkan hadis tersebut, maka turunnya ayat ke-222 surah al Baqarah tersebut disebabkan adanya kebutuhan jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang perlakuan kaum Yahudi terhadap wanita yang sedang menstruasi atau haid. Maka dengan adanya wahyu Allah ini, Rasulullah saw menegaskan bahwa diperbolehkan bergaul dengan wanita haid kecuali menikahinya atau berhubungan seksual dengannya. Disamping hadis tersbut, terdapat dua riwayat hadis lainnya yang menerangkan sebab turunnya ayat ke-222 surah Al Baqarah, seperti yang disebutkan dalam kitab Ahkamul Qur'an karya Ibnu Araby.
Metode Tafsir
Metode tafsir yang digunakan oleh penulis untuk penafsiran ayat ke-222 Surah al Baqarah adalah metode tafsir tahlily, dan penulis pun cenderung menggunakan model tafsir ahkam. Karena itu, dalam uraian penafsiran dijumpai sejumlah kitab tafsir dengan pendekatan hukum seperti sejumlah kitab tafsir yang berjudul Ahkamul Qur'an dari berbagai mufassir. Keunikan model tafsir ahkam adalah pengungkapan hukum oleh fuqaha dari setiap redaksi ayat yang memiliki implikasi hukum. Namun demikian, dari sejumlah literatur tafsir dengan pendekatan hukum sebagaimana yang penulis jumpai lebih banyak menggunakan metode tafsir tahlily, yaitu: diawali dengan menjelaskan kedudukan setiap kata dalam redaksi ayat, dan mengungkapkan pendapat hukum para fuqaha bila dijumpai kata dalam ayat tersebut memiliki implikasi atau konsekuensi hukum.
Tafsir Ayat Ke-222 Surah Al Baqarah
Kalimat (يسألونك عن...) dapat dijumpai di beberapa ayat dalam al-Qur'an. Jumlah kalimat dengan struktur seperti ini terdapat di 13 buah ayat dalam Al Qur'an, yaitu:
Qs. Al-Baqarah: 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ...
Qs. Al-Baqarah: 215
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ...
Qs. Al-Baqarah: 217
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ...
Qs. Al-Baqarah: 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ...
Qs. Al-Baqarah: 220
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى ...
Qs. Al-Baqarah: 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ...
Qs. Al-Maidah: 4
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ...
Qs. Al-'A'raf: 187
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ....
Qs. Al-Anfal: 1
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ....
Qs. Al-Isra: 85
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ....
Qs. Al-Kahfi: 83
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ....
Qs. Thaha: 105
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ...
Qs. An-Nazi'at: 42
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ...
Semua ayat al Qur'an yang memuat kalimat dengan struktur tersebut memiliki kesamaan subyek yang bertanya dan kepada siapa perihal itu ditanyakan. Subyek yang bertanya adalah para sahabat atau sebagian sahabat atau salah seorang sahabat Rasulullah saw dan mereka bertanya kepada Rasulullah saw. Berbeda dengan struktur kalimat (وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى) yang berbeda dari siapa yang bertanya atau menanyakan, karena tidak menunjukkan kepada sahabat tertentu. Di sisi lain, redaksi ayat dengan pola fi'il mudhari memiliki makna kesinambungan peristiwa atau masa keberlakuan yang selalu aktual dari masa ke masa atas perihal yang ditanyakan. Karena itu, konteks pembicaraan al-mahidh akan senantiasa aktual, bahkan menjadi perhatian umat manusia terutama umat Islam sejak zaman Rasulullah saw hingga zaman kekinian.
Kata (محيض) mahidh yang menjadi obyek pertanyaan para sahabat kepada Rasulullah saw berbeda makna dengan kata (حيض) haidh. Kata mahidh menggunakan pola ism makan yang berarti menunjukkan tempat keluarnya darah haid. Menurut al-Harrasiy, pola mahidh sama dengan pola penulisan kata mabith yang berarti tempat bermalam. Namun kata mahidh juga menunjukkan ism zaman, yang berarti menunjukkan masa haid, sehingga pertanyaan tentang mahidh dipahami juga sebagai pertanyaan tentang hubungan seksual di masa haid. Mengapa di dalam ayat ini digunakan ism atau kata mahidh bukan haidh. At Thabari menjelaskan bahwa tempat keluarnya darah haidh berasal dari farj. Dalam ilmu kedokteran, makna farj adalah liang vagina yang berada di antara lubang kencing dan anus. Dari tempat inilah, juga menjadi jalan kelahiran dan proses pembuahan. Karena itu, penggunaan kata mahidh dalam ayat ini sangat tepat dan akurat sesuai dengan penjelasan ilmu pengetahuan modern saat ini. Sedangkan menurut Ibnu 'Arabiy, kata mahidh mengandung tiga pengertian sekaligus yaitu menunjukkan haidh itu sendiri, tempat keluarnya darah haidh, dan waktu haidh.
Pertanyaan tentang al-Mahidh dijawab dengan jawaban (أذى) adzaa yang bermakna gangguan yang muncul dari sifat haid itu sendiri, bukan sifat tempat keluarnya darah haid (farj). Abu Ja'far at Thabari memberikan definisi al Adzaa yaitu sesuatu yang buruk atau menyakitkan dan membawa keburukan kepada yang lainnya, sehingga untuk kedudukan kata adzaa (ism nakirah) memunculkan makna keragaman gangguan dari peristiwa menstruasi terhadap fisik dan psikis wanita, juga terhadap pria. Secara fisik, dengan keluarnya darah yang segar, mengakibatkan gangguan pada jasmani wanita. Rasa sakit seringkali melilit perutnya akibat rahim berkontraksi. Di sisi lain, kedatangan tamu bulanan ini mengakibatkan nafsu seksual wanita sangat menurun; emosinya sering kali tidak terkontrol. Hubungan seks ketika itu tidak melahirkan hubungan intim antara pasangan; apalagi dengan darah yang selalu siap keluar. Itu adalah gangguan psikis bagi wanita. Darah yang aromanya tidak sedap serta tidak menyenangkan untuk dilihat merupakan salah satu aspek gangguan pada pria, di samping emosi istri yang tidak stabil yang juga tidak jarang mengganggu ketenangan suami, atau siapa pun di sekeliling wanita. Sel telur pun, dengan datangnya haid, keluar serta belum ada gantinya sampai beberapa lama setelah wanita suci sehingga pembuahan yang merupakan sala satu tujuan hubungan seks tidak mungkin akan terjadi pada masa haid. Oleh sebab itu—lanjut ayat di atas (فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ) hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita, dalam arti tidak bersetubuh, pada waktu mereka mengalami haid, atau pada tempat haid itu keluar. Ini berarti boleh mendekati asal bukan pada tempat haid, yakni bukan pada tempat gangguan itu. Nabi mengizinkan untuk bercumbu pada bagian atas, tidak di bagian bawah. Imam al-Syafi'iy mengungkapkan--menurut sebagian ahli ilmu al Qur'an—bahwa kecenderungan perintah menjauhi wanita di waktu haid adalah menjauhkan diri dari seluruh badan wanita. Namun sunnah Rasulullah saw memberikan takhsis bahwa menjauhi wanita bukan menjauhi keseluruhan badannya, namun hanya menjauhi tempat keluarnya darah haid (farj) dan membolehkan menggauli pada bagian lainnya. Demikian juga, Abu Hanifah pun berpendapat serupa bahwa potongan ayat ini menunjukkan kekhususan bagian dari anggota tubuh wanita yang harus dijauhi. Karena itu, Abu Hanifah memahami ayat ini: "Katakanlah wahai Muhammad bahwa haid itu merupakan gangguan, karena itu jauhilah apa yang datang dari wanita tatkala haid terutama menjauhi farj sebagai tempat jalan keluarnya darah haid." Pendapat serupa juga dijumpai dalam kitab tafsir At Thabary yang menyebutkan hadis dengan makna bahwa perintah menjauhi wanita dari al mahidh dimaksudkan sebagai perintah untuk tidak melakukan persetubuhan ketika wanita sedang haid. Walaupun dilarang bersetubuh, namun tetap bisa bergaul pada kegiatan kehidupan lainnya, seperti tidur bersama, makan bersama, dan tidak mengucilkannya.
Di sini, ditegaskan lagi kata mahidh, walaupun bisa jadi ada sementara orang yang merasa cukup menunjukkannya dengan kata itu. Misalnya hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu itu atau pada tempat itu. Tetapi bila demikian redaksinya, boleh jadi ada yang menduga adanya larangan berhubungan seks setiap istri mengalami gangguan apa pun. Padahal, tidak demikian yang dimaksud karena ada gangguan lain terhadap istri yang secara hukum tidak mengakibatkan larangan ini. Penyebutan kata mahidh sekaligus untuk menggambarkan bahwa darah yang keluar dari vagina wanita—misalnya istihadhah—tidak selalu menimbulkan gangguan yang sama dengan gangguan yang dialami saat haid. Karena itu, jika wanita mengalami istihadhah dia wajib shalat, tidak seperti kalau mereka haid.
Kapan hubungan seks dapat dilakukan? Kapan saja, tetapi dengan syarat Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ). Huruf waw (و) berfungsi sebagai kata penghubung dengan redaksi kalimat sebelumnya, karena makna suci di sini berhubungan dengan keadaan suci dari haid. Imam al-Syafi'iy menjelaskan bahwa kata (يَطْهُرْنَ) diartikan dengan keadaan wanita dalam kondisi haid atau berhenti haidnya sebelum mandi besar yang disebut junub, dan dalam kondisi seperti ini wanita tersebut tidak boleh sholat dan thawwaf. Di dalam kitab Bahrul Ulum atau yang dikenal dengan kitab Tafsir al-Samarqandy disebutkan bahwa bila wanita masa haidnya kurang dari 10 hari dan belum mandi, maka dilarang untuk mendekatinya, namun bila masa haidnya genap 10 hari, maka dibolehkan untuk mendekatinya sampai dirinya bersuci dengan mandi. Sedangkan potongan ayat yang bermakna jangan dekat, bukan jangan lakukan, karena nafsu seksual sering kali sulit dibendung. Namun, mendekati yang dimaksud di sini adalah mendekati tempat di mana dapat terjadi hubungan seks yang berbuah. Namun demikian, mendekati wanita dalam kondisi haid atau pun berhenti haid dan belum mandi dibolehkan, bukan dengan adanya keinginan berjima.
Ada dua bacaan yang diperkenalkan dalam ayat ini, (يَطْهُرْنَ) yathhurna dan (يَتَطَهَّرْنَ) yatathahharna: yang pertama berarti suci, yakni berhenti haidnya; dan yang kedua berarti amat suci, yakni mandi setelah haidnya berhenti. Tentu saja, yang kedua lebih ketat daripada yang pertama, dan agaknya ini lebih baik dan memang lebih suci.
Apabila mereka telah suci (bersuci), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kamu (فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ). Dalam potongan ayat ini, dijumpai kata tathahharna yang bermakna 'telah bersuci', dengan cara mandi junub. Tempat yang diperintahkan-Nya itu, akan terlihat dalam ayat berikutnya yaitu pada ayat ke-223 surah al Baqarah.
Ayat ini ditutup dengan firmanNya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai juga orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri. Penyebutan obyek (التوابين) al-tawwaabiin lebih awal dari (المتطهرين) al-mutathahhiriin memiliki argumentasi tersendiri. Yaitu, perlakuan diskriminatif masyarakat jahiliyah terhadap wanita haid yang tidak lagi dilakukan oleh umat Islam sejak turunnya ayat ini (Ayat ke-222 Surah Al Baqarah). Sedangkan orang-orang yang menyucikan dirinya tidak hanya dari kalangan wanita haid tetapi juga kalangan pria atau para suami muslim yang memperlakukan istrinya yang sedang haid sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Ungkapan kecintaan Allah swt kepada orang-orang yang bertaubat dari segala dosa adalah juga merupakan ajakan untuk kembali berpegah teguh kepada jalan yang lurus, terutama bagi siapa saja yang sempat tergelincir berbuat dosa, terutama dosa disebabkan dari pelanggaran ketetapan-ketetapan syariat Allah swt. Pintu taubat selalu terbuka bagi siapa yang ingin kembali kepada Allah dan menaati ketetapan-ketetapanNya. Sedangkan ungkapan kecintaan Allah swt terhadap orang-orang yang senantiasa membersihkan dirinya/bersuci adalah merupakan ajakan untuk senantiasa menyucikan diri dari segala gangguan fisik maupun psikis.
Bertaubat adalah menyucikan diri dari kotoran batin, sedang menyucikan diri dari kotoran lahir adalah mandi atau berwudhu. Demikianlah penyucian jasmani dan ruhani digabung oleh penutup ayat ini; sekaligus memberi isyarat bahwa hubungan seks baru dapat dibenarkan jika haid telah berhenti dan istri telah mandi.
Kesimpulan
Ayat ke-222 Surah Al Baqarah merupakan ayat yang menegaskan tentang ketetapan Allah swt tentang syariat pergaulan suami terhadap wanita haid.
Kata al-Mahidh mengandung tiga makna yaitu haidh, tempat keluarnya darah haid, dan waktu haidh. Kandungan tiga makna ini dalam satu kata al-Mahidh mengisyaratkan bahwa pergaulan terhadap wanita haidh tidak hanya sebatas pengaturan hubungan seksual antara suami dan istri, tetapi juga aspek dampak psikis yang dirasakan langsung oleh wanita yang sedang mengalami haid.
Hubungan seks dengan istri bila tidak dalam kondisi haid dan telah bersuci.
DAFTAR PUSTAKA
al Baihaqy al Naisabury, Abu Bakr Ahmad ibn Husain ibn 'Ali ibn Abdullah ibn Musa (Ed.). Ahkamul Qur'an li Imam al-Syafi'iy. Beirut: Dar Ihya al-Ulum, 1990.
al-Bagdadiy, Abi al-Faraj Jamaluddin Abdurrahman ibn 'Ali ibn Muhammad al-Jauziy al-Qurasyi. Zaadul Masiir fi Ilm al-Tafsiir. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002.
al-Darwisy, Muhyiddin. I'rab al-Qur'an al-Karim Wa Bayanuhu. Homs, Suriah: Dar al-Irsyad, 1980.
Ensiklopedi 9 Kitab Hadis, lidwa.com.
al-Harrasiy, 'Imaduddin ibn Muhammad at Thabary. Ahkam al-Qur'an. Beirut: al-Maktabah Ilmiyah, t.th.
Ibnu Arabiy. Ahkam al-Qur'an. Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, t.th.
al-Khathib, Abd al-Karim Yunus. al-Tafsir al-Qur'aniy Li al-Qur'an. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th.
al-Naisabury, Abu al-Hasan Muslim ibn Hajaj. Shahih Muslim, Nomor Hadist: 302. Riyadh: Dar Thaibah, 2006.
al-Samarqandy, Abu Laits Nash ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim. Tafsir al-Samarqandy (Bahrul Ulum). Beirut: Dar Kutb Ilmiyah, t.th.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
________________. Tafsir al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur'an, Jilid I. Jakarta: Lentera Hati, 2011.
al-Sam'aniy, Abi al-Muzhaffar. Tafsir al-Qur'an. Riyadh: Dar al-Wathan, 1997.
al-Thabary, Abi Ja'far Muhammad ibn Jarir. Tafsir al-Thabary (Jami' al-Bayan 'an ta'wil al Qur'an. t.tp. : Mu'assah al Risalah, 2000.
al-'Ukbariy, Abu al-Baqa Abdullah ibn Husain al-Tibyan fii I'rab al-Qur'an. T.tp: Isa al-Halaby, 1976.
al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1985.
Zulyadain. Menimbang Kontorversi Pemaknaan Konsep Ahl Al-Kitāb Dalam Al-Qur'an. Dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Volume 16 Nomor 2, Desember 2012.
*)Mahasiswa Pascasarjana Program Doktoral (S3) UIN Antasari Banjarmasin. Makalah ini dipresentasikan pada perkuliahan Studi Tafsir Ayat Ahkam.
M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur'an, Jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm. 582.
Muhyiddin al-Darwisy, I'rab al-Qur'an al-Karim Wa Bayanuhu, (Homs, Suriah: Dar al-Irsyad, 1980), Hlm. 331.
ahl al-kitāb adalah sebutan bagi orang-orang yang berpegang kepada agama yang mempunyai kitab suci yang berasal dari Tuhan. Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw. menamakan orang-orang Yahudi dan Nasranai itu dengan ahl al- kitāb untuk membedakan mereka dari para penyembah berhala dan orang-orang kafir lainnya. Menurut al-Qur'an, kitab suci tersebut, telah diubah oleh pendeta-pendeta mereka, yang diimani oleh kaum muslimin bukan yang sudah diubah itu tetapi yang asli diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. (Zulyadain, Menimbang Kontorversi Pemaknaan Konsep Ahl Al-Kitāb Dalam Al-Qur'an, dalam Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Volume 16 Nomor 2, Desember 2012, hlm. 310)
Abu al-Hasan Muslim ibn Hajaj al-Naisabury, Shahih Muslim, Nomor 302, (Riyadh: Dar Thaibah, 2006), hlm. 150.
Ensiklopedi 9 Kitab Hadis, lidwa.com.
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan untuk menjawab pertanyaan salah seorang sahabat Nabi saw dari kalangan Anshar yang bernama Amru bin Dihdah. Abu Laits Nash ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim al-Samarqandy, Tafsir al-Samarqandy (Bahrul Ulum), (Beirut: Dar Kutb Ilmiyah, t,th), hlm. 205.
Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufassirnya yang dhidangkannya secara runtut sesuai dengan penurunan ayat-ayat Al Qur'an dalam Mushaf. Biasanya yang dhidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata, Munasabah/hubungan dengan ayat sebelumnya, Sabab an-Nuzul (kalau ada), makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghidangkan aneka pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambahkan uraian tentang aneka Qira'at, I'rab ayat-ayat yang ditafsirkan serta keistimewaan susunan kata-katanya. [M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 378]
'Imaduddin ibn Muhammad at Thabary Al Harrasiy, Ahkam al-Qur'an, (Beirut: al-Maktabah Ilmiyah, t.th), hlm. 134.
Ibnu Arabiy, Ahkam al-Qur'an, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, t.th), hlm. 222; Lihat pula Abu al-Baqa Abdullah ibn Husain al-'Ukbariy, al-Tibyan fii I'rab al-Qur'an, (T.tp. : Isa al-Halaby, 1976), hlm.
Al Harrasiy, op. cit., hlm. 136.
Abu Ja'far at Thabary berkata :
والأذى" هو ما يؤذى به من مكروه فيه. وهو في هذا الموضع يسمى"أذى" لنتن ريحه وقذره ونجاسته، وهو جامع لمعان شتى من خلال الأذى، غير واحدة.
Abi Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary (Jami' al-Bayan 'an ta'wil al Qur'an), (t.tp. : Mu'assah al Risalah, 2000), Hlm. 722.
Imam Asy Syafi'iy berkata:
وقال بعض اهل العلم بالقرآن فأتوهن من حيث أمركم الله أن تهتزلوهن ؛ يعنى فى مواضع الحيض. وكانت الآية محتملة لما قال؛ ومحتملة :أَنَّ اعْتِزَالَهُنَّ: اعْتِزَالُ جَمِيعِ أَبْدَانِهِنَّ، وَدَلَّتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى اعْتِزَالِ مَا تَحْتَ الْإِزَارِ مِنْهَا، وَإِبَاحَةِ مَا فَوْقَهَا
Abu Bakr Ahmad ibn Husain ibn 'Ali ibn Abdullah ibn Musa al Baihaqy al Naisabury (Ed.), Ahkamul Qur'an li Imam al-Syafi'iy, (Beirut: Dar Ihya al-Ulum, 1990), hlm. 64.
Ibid.
At Thabary, op. cit., hlm.
Definisi istihadhah adalah darah yang mengalir bukan pada waktu biasa (selain haid dan nifas) disebabkan sakit di bagian pangkal (dekat) rahim. Pendarahan ini disebut al'aadzil. [Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid I, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985) hlm. 478]
Abu Bakr al-Baihaqy, Ahkamul Qur'an Li al-Syafi'iy, op.cit., hlm. 65; Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa wanita haidh tidak diperbolehkan beri'tikaf di mesjid, berpuasa, menyentuh mushaf Al Qur'an dan membaca Al Qur'an. [Abu Muhammad al-Husain ibn Mas'ud ibn Muhammad ibn al-Fara' al-Bagwiy al-Syafi'iy, Tafsir al-Bagwiy/Ma'alim al-Tanzil fi Tafsiir al-Qur'an, (Beirut: Dar Ihya al Turats al Mahdiy, 1420 H), hlm.
Al-Samarqandy, op. cit., hlm. 207.
Bacaan pertama diriwayatkan oleh Abu bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud, sedangkan bacaan kedua diikuti oleh Ahlul Kufah. (Abi al-Muzhaffar al-Sam'aniy, Tafsir al-Qur'an, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1997), hlm. 224)
Ibnu Abbas dan Mujahid menafsirkan kata tathahharna dengan igtasalna bil ma atau mereka (wanita yang telah berhenti haid itu) telah mandi dengan air, sebagai syarat diperbolehkannya bersetubuh dengan mereka. [Abi al-Faraj Jamaluddin Abdurrahman ibn 'Ali ibn Muhammad al-Jauziy al-Qurasyi al-Bagdadiy, Zaadul Masiir fi Ilm al-tafsiir, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), hlm. 132]
Abd al-Karim Yunus al-Khathib, al-Tafsir al-Qur'aniy Li al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th.), hlm. 254.
9